HAKIKAT DAN PESAN DAKWAH
A. Pedahuluan
Dakwah
merupakan sesuatu yang integral dengan Islam. Ketika membicarakan dakwah
sesungguhnya mengkaji apa yang terkandung dalam Islam itu sendiri, karena
dakwah sebagai kegiatan menyampaikan ajaran Islam. Ketika membahas filsafat
dakwah, Sayuti Farid member pengertian filsafat sebagai pemikiran
sedalam-dalamnya, seluas-luasnya, dan sejauh-jauhnya tetang hakikat segala yang
ada dan mungkin ada.[1]
Al-Qur'an menyebutkan kata dakwah dan derivasinya sebanyak 198 kali, tersebar
dalam 55 surat dan bertempat dalam 176 ayat. Ayat-ayat tersebut sebagian besar
turun di Makkah, dan sebagian yang lain turun di Madinah.[2]
Dari hasil
analisis terhadap ayat-ayat tersebut diketahui bahwa terma dakwah dalam
al-Qur'an dipergunakan untuk pengertian yang lebih luas dari pemaknaan dakwah
yang dipergunakan oleh masyarakat dakwah. Dalam pengertian agama, dakwah
mengandung arti panggilan dari Tuhan dan Rasul-Nya untuk umat manusia agar
percaya kepada ajaran Islam dan mewujudkan ajaran yang dipercayainya itu dalam
segala kehidupan dalam rangka mencari kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Hakikat dakwah yang ditekankan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw dan kaumnya adalah agar terus menerus untuk menyeru kepada perbuatan yang ma’ruf danmencegah perbuatan mungkar. Kedua istilah ini bersifat umum dan komprehensif. Islam bukan saja berdasarkan wahyu, tetapi terlibat kebiasaan-kebiasaan yang hidup dalam masyarakat, selama nilai-nilai kebiasaan tersebut tidak bertentangan dengan apa yang terkandung dalam al-Qur'an. Oleh karena itu, ajaran Islam tidak hanya dari Allah, tetapi juga muncul dari interpretasi dan inovasi akal manusia.
B. Pembahasan
- Hakekat Dakwah
Istilah dakwah secara
bahasa berasal dari bahasa Arab, د,ع,وyang berarti dasar kecenderungan
sesuatu disebabkan suara dan kata-kata.[3] Dari akar kata
ini terangkai menjadi kata دعا- يدعو-دعوة yang berarti menyeru, memanggil, mengajak, dan
menjamu.[4] Seruan dan
panggilan tersebut dapat dilakukan dengan suara, kata-kata, atau perbuatan.[5] Secara istilah
kata dakwah mengalami perkembangan makna seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan. Sedangkan pencantuman "Islam" setelah kata
"dakwah" dimaksudkan untuk mempertegas kata dan kandungan missi
“dakwah” karena dalam Al-Qur’an digambarkan ada dua sistem dakwah : pertama,
dakwah menuju jalan Allah SWT, jalan kebaikan atau jalan sorga, seperti tampak
dalam ayat : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu” (QS. an-Nahl :
125), dan “Allah menyeru (manusia) ke sorga dan menunjuki orang-orang yang
dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus (Islam).” (QS Yunus: 25);[6] Kedua, dakwah menuju pada jalan setan, jalan
keburukan atau jalan ke api neraka, seperti dalam ayat, “dan apakah mereka
(akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun setan menyuruh mereka ke dalam siksa
api neraka.” (QS. Luqman : 21)[7]. Dua model
dakwah ini dijelaskan al-Qur'ah : mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran. (QS. al-Baqarah : 221).
Para pakar ketika menulis buku dakwah biasanya
mempertegas dengan "da'wah ilallah", atau "dakwah
Islam". Istilah "Islam" berarti kepatuhan, damai dan tenteram
dengan kata lain damai melalui kepatuhan kepada Allah. Dengan demikian
"Islam" adalah jalan hidup (diin) yang memberikan kedamaian,
keamanan dan kesejahteraan yang dicapai manusia dengan penyerahan diri dan
patuh secara penuh kepada perintah Allah dan Rasul Allah. Menurut Sayyid Sabiq
Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada Muhammad Saw yang terdiri atas
iman dan amal. Iman menyangkut akidah dan amal menyangkut syari’ah. Hubungan
antara akidah atau iman dengan amal atau syari’ah tidak dapat dipisahkan ,
bahwa akidah menjadi landasan bagi syari’ah dan syari’ah bertumpu pada akidah.
Dengan tercakupnya aspek amal atau syari’ah dan muamalah maka ajaran Islam
tidak berhenti pada keyakinan saja tetapi secara langsung dan operasional
menyangkut masalah-masalah kehidupan yang bersifat duniawi, termasuk dalam
wilayah kehidupan masyarakat dan negara[8]
Menurut Abdul Karim Zaidan, dakwah adalah mengajak ke
jalan Allah, yakni ajakan ke jalan dinul Islam yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw. Pakar lainnya
Ahmad Ahmad Ghulusy menjelaskan bahwa "dakwah ialah pekerjaan atau ucapan
untuk mempengaruhi manusia supaya mengikuti Islam".[9] Muhammad Abu
Zahrah menjelaskan dakwah dalam dua hal; pertama, adanya organisasi (sistem)
dakwah untuk menunaikan fardhu kifayah dan kedua, pelaksanaan dakwah
perorangan.[10] Sedangkan menurut
Sayyid Quthub, dakwah adalah usaha orang beriman mewujudkan sistem (ajaran)
Islam dalam realitas kehidupan atau usaha orang beriman mengkokohkan sistem
Allah dalam kehidupan manusia baik pada tataran individu (fardiyyah),
keluar (usrah), masyarakat (mujtama’) dan umat (ummah)
demi kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.[11]
Ali Mahfuzd – sebagai pencetus gagasan dan penyusunan
pola ilmiah ilmu dakwah – memberi batasan mengenai dakwah sebagai
“membangkitkan kesadaran manusia di atas kebaikan dan bimbingan, menyuruh
berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang munkar, supaya mereka
memperoleh kabahagiaan dunia dan akhirat”.[12]
Salmadanis –
dalam Filsafat Dakwah – membaginya menjadi dakwah dalam artian sempit
dan luas. Dakwah dalam artian sempit adalah pembicaraan seputar ibadah mahdhah
(rutinitas) dengan sistem penyampaiannya yang sangat sederhana, yang biasa
disebut dengan tabligh. Sedangkan dakwah dalam artian luas meliputi semua
potensi yang ada pada manusia dan terkait dengan kehidupan kesehariannya sepanjang
zaman.[13]
Dakwah dalam artian yang luas, banyak ilmuan yang memberikan batasan-batasan
tertentu sesuai dengan sudut pandang yang mereka miliki. Perbedaan sudut
pandang tersebut mempengaruhi terhadap sistem dan unsur-unsur dakwah, seperti
materi dan metode yang relevan yang digunakan. Misalnya Syeik Ali Mahfuzd,
dalam definisi di atas lebih menitikberatkan kajiannya kepada al-khair dan
al-huda, yaitu kebajikan dan petunjuk yang diartikan dengan
ajaran Islam dengan tujuan akhirnya yang ingin dicapai adalah kebahagiaan dunia
dan akhirat. Dakwah dapat juga diartikan sebagai usaha mengajak manusia dengan
cara hikmah ke jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan dalam rangka
mencari kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.[14]
Dr. Taufiq
al-Wail memberikan definisi dakwah adalah
mengumpulkan manusia-manusia dalam kebaikan, menunjuki mereka jalan yang
benar dengan cara merealisasikan manhaj Allah di bumi dalam ucapan dan
amalan. Sementara M. Masyhur Amin, berpendapat dakwah adalah suatu aktivitas
yang mendorong manusia memeluk agama Islam melalui cara yang bijaksana dengan
materi ajaran Islam agar mereka mendapat kesejahteraan dunia dan kebahagiaan di
akhirat.[15]
Dakwah Islam pada hakekatnya mengajak umat manusia ke jalan Allah (sistem
Islam) sebagai ikhtiar kolektif mewujudkan Islam dengan berbagai aspeknya dalam
kehidupan pribadi, keluarga, institusi, jamaah (kelompok) dan umat (masyarakat)
dalam rangka mewujudkan khairu ummah (masyarakat yang adil dan makmur
yang memperoleh ridha Allah swt).[16]
Muhammad
Thahir Harun, mengemukakan bahwa dakwah adalah usaha para ulama dan orang-orang
yang mempunyai pengetahuan dalam agama, sehingga akan membuka mata mereka
kepada urusan agama. Pendapat di atas hanya tertuju kepada ulama dan
orang-orang yang mempunyai ilmu pengetahuan. Pendapat ini benar bila dipandang
dakwah sebagai upaya memajukan umat, jika dakwah diberikan oleh yang bukan
ahlinya akan membawa akibat yang kurang menguntungkan bagi kemajuan umat Islam.[17]
Dalam al-Qur’an, kata dakwah dapat berarti do’a permohonan (QS. 2: 186), seruan
(QS. 41: 33), panggilan untuk nama (QS. 7: 180), sementara ilmuan memberikan
beberapa pengertian terhadap kata dakwah sebagaimana yang dikemukakan di atas.
Definisi
dakwah tersebut semuanya bertemu di suatu titik, yaitu dakwah. Dakwah merupakan
suatu upaya dan kegiatan dalam wujud ucapan maupun ajakan kepada orang lain
untuk memahami dan mengamalkan ajaran agama Islam agar meraih kebahagiaan di
dunia dan di akhirat. Jadi aktivitas dakwah meliputi penjelasan, penyampaian,
pembinaan dan pembentukan pribadi, keluarga dan masyarakat Islam.
Hasil yang
dicapai dalam aktivitas dakwah sangat tergantung pada profil seorang da’i.
Dalam al-Qur’an dan Sunnah terdapat penjelasan tentang al amr al ma’ruf wa
al nahy al munkar, bahwa mereka yang layak menyampaikan dakwah islamiah
adalah orang-orang yang mampu mengajarkan agama baik melalui tulisan, ceramah, maupun mengajar secara individu dan
masyarakat dapat memahaminya. Mereka semua bertanggung jawab atas apa yang
mereka lakukan, mereka juga disebut dengan
Ahlu al-Zikr.[18]
Menurut A.
Hasjmy, dalam bukunya Dustur Dakwah Menurut al-Qur’an, bahwa Imam
Al-Ghazali mengemukakan da’i adalah para penasehat, para pemimpin, dan para
pemberi ingat, yang memberikan nasehat dengan baik, yang mengarang dan
berkhutbah, yang memusatkan jiwa dan raganya dalam wa’ad dan wa’id (berita
pahala dan siksa) dan dalam membicarakan kampong akhirat untuk melepaskan
orang-orang yang karam dalam gelombang dunia.[19]
Sementara Syamsuri Siddiq dalam bukunya Dakwah dan Teknik Berkhutbah, menjelaskan
bahwa da’i bisa diartikan suatu badan yang berusaha untuk melakukan kegiatan
yang disengaja dan berencana, bertujuan untuk mengajak, meningkatkan dan
mengembangkan kesadaran orang perorangan dan masyarakat supaya tertarik kepada
ajaran Islam dan bersedia melaksanakannya.[20]
Jadi, dapat dipahami bahwa hakikat dakwah yang ditekankan oleh Allah swt kepada Rasul dan kaumnya adalah agar terus menerus untuk menyeru kepada perbuatan yang ma’ruf dan mencegah perbuatan yang munkar demi terwujudnya ajaran Islam (sistem Islam) dalam semua segi kehidupan yang dilakukan baik dengan lisan dan tulisan maupun dengan perbuatan dalam kehidupan perorangan (fardiyah), keluarga (usrah), kelompok (thaifah), masyarakat (mujtama') dan negara (daulah) secara berjama'ah (terorganisir) dengan sistem dan metode tertentu sampai terwujud masyarakat yang berkualitas khaira ummah dan daulah thayyibah" sehingga Islam menjadi sebagai rahmat seluruh alam dalam rangka mecapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat dalam ridha Allah.
- Konsep al Amr bi al Ma’ruf wa
al Nahy al Munkar
Para filosof dan teolog sering membahas tentang arti baik dan buruk, serta tentang pencipta kelakuan tersebut, yakni apakah kelakuan itu merupakan hasil pilihan atau perbuatan manusia sendiri, ataukah berada di luar kemampuannya. Namun, secara nyata terlihat dan sekaligus kita akui bahwa terdapat manusia yang berkelakuan baik, dan juga sebaliknya. Ini berarti bahwa manusia memiliki kedua potensi tersebut. Terdapat sekian banyak ayat al-Qur'an yang dipahami menguraikan hakikat kedua hal tersebut, antara lain:[21]
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua
jalan”
(Q.S. Al Balad/90:10).[22]
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya” (Q.S. Asy Syams/91:7-8).
Walaupun
kedua potensi tersebut terdapat dalam diri manusia, namun ditemukan
isyarat-isyarat dalam al-Qur'an bahwa kebajikan lebih dahulu menghiasi diri
manusia dari pada kejahatan, dan bahwa manusia pada dasarnya cenderung kepada
kebajikan.[23]
Kecenderungan manusia kepada kebaikan terbukti dari persamaan konsep-konsep
pokok moral pada setiap peradaban dan zaman, perbedaan – jika terjadi –
terletak pada bentuk. Tidak ada peradaban yang menganggap baik kebohongan,
penipuan, pencurian, atau pembunuhan. Begitu juga tidak ada peradaban yang
menilai penghormatan kepada orang tua itu adalah buruk. Tetapi, bagaimana
seharusnya bentuk penghormatan itu? Boleh jadi cara penghormatan kepada
keduanya berbeda-beda antara satu masyarakat pada generasi tertentu dengan
masyarakat pada generasi lain.
Secara
filosofi Qadhi Abdul Jabbar – dalam Syarh al-Ushul al-Khamsah, dalam
Salmadanis – mengemukakan bahwa ma’ruf ialah semua perbuatan yang pelakunya
mengetahui akan kebaikannya atau sesuatu yang menunjukkan kebaikan, sedangkan
munkar ialah semua perbuatan yang pelakunya mengetahui akan keburukannya atau
sesuatu yang menunjukkan kepada keburukan. Selanjutnya Abdul Jabbar
mengemukakan bahwa, perbuatan baik (al-hasan) adalah perbuatan yang
pelakunya berhak mendapat pujian (yastahiqq al-madh). Sebaliknya
perbuatan jahat (al-qabih) pelakunya berhak mendapat celaan (yastahiqq
al-zamm).[24]
Batasan di atas terlihat sangat luas dan umum, karena baik dan buruknya
perbuatan tersebut dinilai oleh pelakunya sendiri.
A. Hasjmy
dalam bukunya Dustur Dakwah menurut al-Qur'an,mengemukakan bahwa al
amr al ma’ruf wa al nahy al munkar adalah dua kata yang sangat umum. Ma’ruf
adalah mencakup segala apa yang dikenal bahwa ia patut, baik dan benar,
mengenai akhlak, adat istiadat, segala perbuatan yang berfaedah dan barakahnya
kembali kepada pribadi dan masyarakat, dan di dalamnya tidak terdapat
pemaksaan, kemesuman, kedurjanaan, dan segala hal buruk lainnya. Sedang munkar
adalah segala apa yang dikenal bahwa ia jahat dan keji, mengenai akhlak, adat
istiadat, segala perbuatan yang bencana kemudharatannya kembali kepada pribadi
dan masyarakat, dan di dalamnya terdapat pemaksaan, kemesuman, kedurjanaan, dan
segala hal buruk lainnya.[25]
Al ma’ruf
menurut perspektif teolog, misalnya Mu’tazilah adalah apa yang telah mereka
sepakati baik (ma ajma’u ‘alaihi) sedangkan munkar adalah pandangan
orang-orang yang berbeda paham dengan mereka (ma yarahu mukhalifuhum).[26]
Selanjutnya Qadhi Abdul Jabbar mengemukakan bahwa perbuatan baik adalah
perbuatan yang pelakunya berhak mendapat pujian. Sebaliknya perbuatan jahat
adalah perbuatan yang pelakunya berhak mendapat celaan.[27]
Menurut Mu’tazilah al amr al ma’ruf wa al nahy al munkar merupakan
syarat untuk membina umat menjadi baik dan bahagia, karena keimanan seseorang
tergantung kepada bentuk perbuatannya. Melaksanakan al amr al ma’ruf wa al
nahy al munkar menurut mereka cukup dengan seruan, akan tetapi jika
terpaksa boleh dengan kekerasan sekalipun menimbulkan peperangan.[28]
Melaksanakan al
amr al ma’ruf wa al nahy al munkar menurut teolog adalah bukan untuk
golongan tertentu saja,tetapi kewajiban bagi semua golongan umat Islam lainnya.
Maka, siapapun manusia yang tidak melakukannya hendaklah diluruskan jalan
hidupnya dengan melakukan jihad terhadap dirinya yang sifatnya sama dengan
melakukan jihad terhadap orang kafir atau fasik.
Kewajiban
tersebut sesuai dengan kemampuan mereka, apakah dengan mengangkat senjata, atau
dengan cara lainnya. Ajaran ini berlaku baik terhadap orang-orang kafir maupun
golongan Islam yang tidak mengikuti mazhab mereka.
Di dalam Syarh al-Ushul al-Khamsah, Qadhi Abdul Jabbar – dalam Salmadanis – mengemukakan argumentasi tentang kewajiban melaksanakan al amr al ma’ruf wa al nahy al munkar, di antaranya firman Allah surat Ali Imran ayat 110:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik” (Q.S. Ali Imran/3: 110)
Pada ayat ini
sebenarnya tidak ditemui bentuk perintah yang mewajibkan al amr al ma’ruf wa
al nahy al munkar. Akan tetapi melihat sudut pujian Tuhan terhadap terhadap
orang yang beriman sebagai umat yang terbaik. Dengan demikian kewajiban di sini
bukanlah berdasarkan perintah, tetapi berdasarkan informasi, di mana seandainya
al amr al ma’ruf wa al nahy al munkar bukan suatu kebaikan yang wajib
dilaksanakan, tentu Tuhan tidak akan memberikan pujian tersebut.
Bahkan al
Zamakhsyari, seorang ulama tafsir di kalangan Mu’tazilah lebih jauh lagi
memahami ayat di atas, dengan menambahkan beberapa hadits untuk menguatkan
bahwa prinsip kewajiban di sini adalah fardhu kifayah. Karena tidak pantaslah
seseorang melakukan al ma’ruf wa al munkar.[29]
Perumpamaan orang yang menetapi ketentuan Allah
dengan orang yang melanggarnya adalah seperti suatu kaum yang berada di
atas perahu, sebahagian mereka ada di bagian atas dan sebahagian lagi ada di
bagian bawah, orang-orang yang berada di bagian bawah, apabila mengambil
air melewati orang-orang yang berada di atas, lalu mereka berkata, ”bagaimana
seandainya kita membuat suatu lubang di tempat kita ini dan kita
tidak perlu izin kepada orang yang berada di atas kita”, maka
seandainya orang yang berada di bagian atas membiarkannya, semuanya
akan binasa, dan apabila mencegahnya mereka akan selamat semuanya.
(H.R. Bukhari).
Ahli kalam sepakat tentang kewajiban al amr al ma’ruf wa al nahy al munkar, hanya saja terdapat perbedaan pandangan tentang cara pelaksanaannya. Di antaranya ada yang memandang kewajiban itu hanya dilaksanakan dengan hati, dan lisan, sementara pandangan lain menggunakan kekerasanpun wajib, jika diperlukan. Pendapat pertama seperti yang dianut oleh sebahagian ahl al sunnah seperti al Ghazali. Bahwa bagi masyarakat muslim yang tidak mempunyai kemampuan merobah pemimpinnya zalim, tetap bersikap patuh padanya. Menurut paham Mu’tazilah, pelaksanaan al amr al ma’ruf wa al nahy al munkar bisa dilaksanakan dengan cara apa saja, termasuk menggunakan kekerasan, sesuai dengan pertimbangan akal dan diisyaratkan oleh Allah dalam firman-Nya:[30]
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil” (Q.S. al Hujurat/49:7)
Dalam
menafsirkan ayat ini, Abdul Jabbar mengaitkannya dengan kewajiban al amr al
ma’ruf wa al nahy al munkar. Menurutnya, dalam ayat ini dijelaskan dua cara
penyelesaian sengketa; pertama, dengan cara damai (al-islah),
kemudian jika tidak efektif barulah digunakan cara kedua, yaitu tindakan
kekerasan, dengan demikian al amr al ma’ruf wa al nahy al munkar harus
dilaksanakan secara bertahap sesuai kebutuhan dan target yang akan dicapai.[31]
Kemudian Qadhi Abdul Jabbar menambahkan dalam hal pelaksanaan al amr al
ma’ruf wa al nahy al munkar, dibagi kepada dua kategori. Pertama, al
amr al ma’ruf wa al nahy al munkar hanya ditangani oleh imam, misalnya
dalam hal pemberian sanksi hukum, pengerahan kekuatan militer, dan lain
sebagainya. Kedua, al amr al ma’ruf wa al nahy al munkar
dilaksanakan secara perorangan dan kolektif, misalnya pengajaran etika dan
akhlak di masyarakat, pencegahan kemaksiatan di masyarakat, dan lainnya.[32]
Dengan
demikian, prinsip al amr al ma’ruf wa al nahy al munkar menurut ahli
kalam adalah wajib, namun kewajiban itu muncul setelah seseorang memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1.
Mengetahui secara pasti bahwa apa yang disuruhnya itu
baik, dan apa yang dilarangnya itu munkar.
2.
Mengetahui atau berat dugaan akan terjadinya kemunkaran
yang dibekali dengan ilmu pengetahuan
3.
Mengetahui atau berat dugaan bahwa tindakannya tidak
mengakibatkan bahaya yang lebih besar
4.
Mengetahui atau berat dugaan bahwa upaya tersebut ada
pengaruhnya
5.
Mengetahui atau berat dugaan bahwa tindakannya tidak
membahayakan dirinya.
Melihat
kepada syarat di atas, menunjukkan bahwa al amr al ma’ruf wa al nahy al
munkar harus dilaksanakan penuh pertimbangan dan perhitungan. Dengan
demikian diperlukan manajemen yang matang, sehingga tidak terjadi kekeliruan
atau usaha yang sia-sia. Disinilah arti penting, bahwa dakwah harus
dilaksanakan secara kolektif.
Sedangkan
Ahmad Musthafa Al Maraghi dalam menafsirkan surat Ali Imran ayat 110 diatas,
membedakan kata الخير dan المعروف. Kata الخير adalah sesuatu yang di dalamnya terkandung
kebaikan bagi umat manusia dalam masalah agama (prinsip ajaran agama) dan
duniawi. Kata المعروف adalah apa yang dianggap baik oleh
syari’at dan akal, sedangkan kata المنكر adalah lawan dari kata المعروف.
Di sini Allah
swt memerintahkan agar melakukan penyempurnaan terhadap selain mereka, yaitu
anggota-anggota masyarakat dan menghimbau agar mengikuti perintah-perintah
syari’at serta meninggalkan larangan-larangan-Nya, Sebagai pengukuhan terhadap
mereka untuk memelihara hukum-hukum syari’at dalam rangka memelihara syari’at
dan undang-undang. Jadi, hendaklah dalam jiwa manusia itu tertanam cinta kepada
kebaikan dan berpegang teguh pada syari’at.[33]
Menurut A.
Hanafi, prinsip al amr al ma’ruf wa al nahy al munkar ini sangat erat
kaitannya dengan taklif. Pendapat tersebut juga didukung oleh Abdul
Jabbar, yang mengatakan bahwa taklif maksudnya informasi yang disampaikan kepada
seseorang untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang bermanfaat
atau yang berbahaya serta adanya kesukaran yang menyertainya dengan ketentuan
keadaannya tidak sampai dalam bentuk paksaan.
Dari definisi di atas, terlihat tingkatan perintah yang diberikan Tuhan
melalui informasi yang disampaikan kepada seseorang. Pertama, al-‘Ilm atau
informasi. Hal ini diperoleh dari anugerah Tuhan yang disebut al-‘Ilm
al daruri, yang datang dengan sendirinya tanpa diusahakan,
seperti dasar-dasar kebaikan, keburukan, dan kewajiban-kewajiban. Berdasarkan
hal ini, semua manusia yang sudah baligh disebut mukhallaf. Kedua,
tindakan yang bertanggungjawab. Menurut Qadhi Abdul Jabbar, perintah
untuk melakukan sesuatu terbagi kepada dua kategori. Pertama, diberi pahala bagi yang
mengerjakannya dan disiksa bagi yang meninggalkannya, perintah ini disebut
wajib. Kedua, diberi pahala bagi yang mengerjakannya dan tidak disiksa
bagi yang tidak meninggalkannya, perintah ini disebut sunat. Larangan juga
terbagi kepada dua, pertama, diberi pahala bagi yang tidak
mengerjakannya dan disiksa bagi yang melakukannya, larangan ini disebut haram. Kedua,
diberi pahala bagi yang tidak meninggalkannya, dan tidak disiksa bagi yang
mengerjakannya, larangan ini disebut makruh.
Menurut Al
Maraghi Orang yang diajak bicara dalam ayat di atas ialah kaum muslimin secara
keseluruhan. Mereka terkena taklif agar memilih suatu golongan yang
melaksanakan kegiatan dakwah tersebut. Dalam praktek keseharian Al Maraghi
menekankan bahwa golongan yang menyeru kepada yang ma’ruf ada beberapa syarat
yang harus dimiliki agar ia dapat melaksanakan kewajibannya dengan
sebaik-baiknya dan bisa menjadi contoh saleh yang menjadi panutan dalam ilmu
dan amalnya, yakni: [34]
1.
Hendaknya da’i pandai dalam bidang al-Qur'an, Sunnah
Nabi, Sirah Nabi, dan sahabat.
2.
Pandai membaca situasi orang-orang yang sedang didakwahi
3.
Mengetahui bahasa umat yang dituju oleh dakwahnya
4.
Mengetahui agama, aliran, sekte-sekte masyarakat, agar
juru dakwah mampu menganalisa kebathilan yang terkandung di dalamnya.
Quraish Shihab - dalam Wawasan al-Qur'an – menjelaskan tentang kata ma’ruf dari ayat berikut:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”.
Menurut
Quraish Shihab, kata ma’ruf pada ayat di atas mengacu pada kebiasaan dan
adat istiadat yang tidak bertentangan dengan al-khair, prinsip-prinsip
ajaran Islam. Rincian dan penjabaran kebaikan dapat beragam sesuai dengan
kondisi dan situasi masyarakat. Sehingga sangat mungkin suatu masyarakat
berbeda pandangan dengan masyarakat lain. Selama rincian itu tidak bertentangan
dengan prinsip ajaran agama, maka itulah yang ma’ruf. [35]
Pakar-pakar
hukum menetapkan bahwa adat kebiasaan dalam suatu masyarakat selama tidak
bertentangan dengan prinsip ajaran Islam, dapat dijadikan sebagai salah satu
pertimbangan hukum (al adat muhakkimah). Demikian ketentuan yang mereka
tetapkan setelah menghimpun sekian banyak rincian argumentasi keagamaan.
Terkait
dengan kewajiban pelaksanan amar ma'ruf nahi mungkar bersifat individu
atau kolektif di masyarakt. Dalam hal ini Abdul Jabbar melaksanakannya sebagai
kewajiban kolektif,[36]
tetapi ini bukan berarti tanggung jawab individu dikesampingkan, karena sesuai
dengan keyakinan mereka, bahwa setiap individu bertanggung
jawab untuk terlaksananya kewajiban kolektif. Artinya setiap individu
bertanggung jawab melaksanakannya, hanya saja pelaksanaannya melalui
wadah kolektif, tidak bertindak dengan sendiri-sendiri. Dalam hal
penerapan amar ma'ruf nahi mungkar, Qadhi Abdul Jabbar membagi kepada
dua kategori dengan ungkapan menyangkut hal yang hanya ditangani oleh para imam
adalah seperti pelaksanaan sanksi hukum, kebijaksanaan untuk menjaga
kesucian Islam, pengerahan kekuatan meliter dan sebagainya, sedangkan hal-hal
yang di tangani oleh semua orang secara perorangan atau secara
kolektif, adalah seperti pencegahan minuman keras, pencurian, perkosaan dan
sebagainya.[37]
- Hubungannya dengan Ulama,
Muballigh, dan Umara’
Ulama menurut
M. Natsir adalah orang-orang yang – tafaquh fiddin - memperdalam ilmu
agama, mempelajari syari’ah Islam, memperkokoh aqidah, menggali ilmu agama
sedalam-dalamnya bukan untuk disimpan saja dikepala, atau sekedar untuk
ditanamkan di dalam jiwa, sehingga asyik dengan ilmu tersebut, melainkan harus
dipergunakan dalam rangka al amr al ma’ruf wa al nahy al munkar, yang
disebut dengan istilah jihadunnafsi.[38]
Ulama menurut M. Natsir adalah seorang
da’i yang juga harus mengemban tugas al amr al ma’ruf wa al nahy al
munkar. Dalam hal ini, karena ia telah memenuhi syarat-syarat dalam
berdakwah. Bahkan dengan tegas M. Natsir mengatakan bahwa risalah terbesar
ulama atau bahkan seluruh umat Muhammad saw adalah membawa umat Islam tampil ke
depan sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 110.
Sementara
muballigh, secara etimologi بلغا berakar dari kata بلغا-يبلغ-بلوغا-بليغا bentuk jamaknya بلغا berarti صـارا اوكان فصيحا, yaitu ucapan yang fasih sampai kepada
yang dimaksud, atau diartikan sesuatu ucapan yang telah sampai kepada orang
lain yang berbekas di hatinya.[39] Zamaksyari – dalam Da’i dan Kepemimpinan –
mengatakan
قولا بليغا: هو قول مؤثر في قلوب
يغتنم به اغتماما ويستشعر منه الخوف استشعارا artinya perkataan yang membekas di hati yang
sebelumnya tertutup hingga menimbulkan kesadaran yang mendalam.[40]
Atau juga diartikan dengan kata-kata menggugah jiwa.
Pengertian di
atas member titik fokus kepada kata “sampai” yang berkaitan dengan kata
“berbekas”. Jika dilihat dari segi metode dakwah, keduanya sangat sangat
terkait dengan metode maw’izah hasanah dalam bentuk qaulan balighan, yaitu
perkataan yang sampai kepada maksud yang dituju, serta memberi bekas ke dalam
hati orang yang diajak bicara. Kalimat qaulan balighan adalah gaya
bahasa al-Qur’an yang bertujuan mengetok jiwa yang kesat dan kasar, kepada jiwa
yang dalam menerima kebenaran sehingga akhirnya dapat merubah tingkah laku umat
kepada jalan yang diredhai Allah swt.[41]
Melihat kepada tujuan yang hendak dicapai, tujuan tabligh sama dengan tujuan
dakwah yaitu mengajak orang kepada apa yang diredhai Allah swt. Namun secara
teknik, pelaksanaan dakwah dan tabligh mempunyai penekanan yang berbeda.
Pelaksanaan dakwah lebih kepada kelompok (thaifah),
masyarakat (mujtama') dan negara (daulah) secara berjama'ah
(terorganisir),
sedangkan tabligh secara perorangan (fardiyah), dan keluarga (usrah).
Umara’ atau
pemimpin dalam Islam disebut khalifah, imam dan amir dan
jabatannya dikenal dengan khalifah, imamat, dan imarat. Kesemuanya
itu menunjukkan kepada satu pengertian, walaupun masa pertumbuhannya berbeda
satu sama lainnya. Menurut Abdul Jabbar, secara etimologi al-imamat
adalah orang yang berada di depan, apakah ia pantas atau tidak pantas menduduki
posisi tersebut. Secara terminology ialah orang yang mempunyai otoritas kepada
masyarakat dan juga kepada urusan-urusan mereka.[42]
Hubungan umara’ dengan dakwah berdasarkan firman Allah swt, sebagai berikut:
“(yaitu) orang-orang yang jika Kami
teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang,
menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang
mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan” (Q.S. Al Hajj/22:41)
Hubungan
dakwah dengan umara’ bukan hubungan seputar dakwah, akan tetapi jauh lebih
besar dari itu, yaitu: masalah wilayah, kekuasaa hukum, peperangan, peradilan,
undang-undang, masalah sosial, stabilitas keamanan, hubungan internasional, dan
lain sebagainya. Tugas mulia dari kekuasaan atau umara’ adalah menciptakan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat dan mengupayakan terciptanya kemakmuran,
dan usaha ke arah itu dilaksanakan melalui kegiatan dakwah. Kegiatan dakwah
tidak akan berjalan dengan lancar tanpa adanya pemimpin. Sekurang-kurangnya ada
dua badan resmi yang dapat dijadikan benteng untuk bisa berdirinya dakwah dalam
masyarakat, yaitu:
a. Pihak-pihak resmi (pemerintah) bertanggungjawab terhadap
pelaksanaannya, dalam hal ini adalah penguasa.
b. Bila tidak mendapatkan pada yang pertama, hendaknya
manusia berjalan di belakang para ulama yang memikul tugas ini.
Dengan demikian masalah pemimpin merupakan bagian dakwah, karena ajaran ini merupakan rekonstruksi umat Islam. Semua sasaran kehidupan umat Islam mesti melalui media dakwah, misalnya masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Baca Juga;//...............
👉HAKIKAT METODE DAKWAH BI AL-HIKMAH
👉HAKIKAT METODE DAKWAH
👉PERKEMBANGAN AKTIVITAS DAKWAH DALAM ALQUR’AN
👉KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP DAKWAH DAN FILSAFAT
👉HAKIKAT METODE DAKWAH MAUIZAH AL-HASANAH
👉PANDANGAN FILSAFAT DAKWAH TERHADAP ILMU PENGETAHUAN
👉HAKIKAT TUJUAN DAKWAH
👉Hakikat Metode Dakwah Mujadalah Billati Hiya Ahsan
👉HAKEKAT MEDIA/ ALAT DAKWAH
👉HAKIKAT DAN PESAN DAKWAH
👉HAKIKAT KEPEMIMPINAN UMAT
C. Kesimpulan
Dakwah pada
hakikatnya adalah menyeru, mengajak, menjelaskan yang dilakukan secara
berkesinambungan untuk berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar demi terwujudnya ajaran Islam
(sistem Islam) dalam semua segi kehidupan, yang dilakukan baik dengan lisan dan tulisan maupun
dengan perbuatan dalam kehidupan perorangan (fardiyah), keluarga (usrah),
kelompok (thaifah), masyarakat (mujtama') dan negara (daulah)
secara berjama'ah (terorganisir) dengan sistem
dan metode tertentu sampai terwujud masyarakat yang berkualitas khaira
ummah dan daulah thayyibah"
sehingga Islam menjadi sebagai rahmat seluruh alam dalam rangka mecapai
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat dalam ridha Allah.
Daftar Pustaka
A. Hasjmy, Dustur
Da’wah Menurut al-Quran, Jakarta: Bulan Bintang, 1974
Ahmad,
Amrullah, Dakwah sebagai Ilmu (suatu Pendekatan Epistimologi), Yogyakarta:
IAIN Sunan Kalijaga, 1994
_______,
“Konstruksi Keilmuan Dakwah dan Pengembangan Jurusan Kosentrasi Studi”, Makalah
Makalah disampaikan pada Seminar dan
Lokakarya "Pengembangan Keilmuan Dakwah dan Prospek Kerja", APDI Unit
Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, Semarang 19-20 Desember 2008.
Jaya, Yahya, Teologi
Agama Islam Klasik, Padang, Angkasa Raya, 2000, cet. ke-1
atsir, Ibnu,
Tafsir Ibnu Katsir, Bab VI, Juz 1
Mahfuzd, Ali,
Hidayah al-Mursyidin, Beirut: Dar
al Ma’arif, tt
Al Maraghi,
Ahmad Musthafa, Tafsir Al Maraghi Terjemah, Jilid 4, Semarang: Toha
Putra, 1993
Mulkhan,
Abdul Munir, Ideologisasi Gerakan Dakwah Episode Kehidupan M. Natsir dan
Azhar Basyir, Yogyakarta: SipPress, 1996, cet. ke-1,
An-Nabiry, Fathul Bari, Meniti
Dakwah Kenal Perjuangan Para Da’i, Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2008
Nasution, Harun,
Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya jilid II, Jakarta: UI-Press, 1985
Omar, Thoha
Jahya, Ilmu Dakwah, Jakarta: Widjaya, 1967
Quthub, Sayyid, Fî
Zhilâl, Jld. I
Ar-Rafi’i,
Mushthafa, Potret Juru Dakwah, Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2002
Sabiq, Sayyid, Al-‘Aqâid
Al-Islâmiyyah, Kairo : Maktabah Mansurat, t.t.
Salmadanis, Da’i
dan Kepemimpinan, Jakarta: TMF Press, 2004
_______, Filsafat
Dakwah, Jakarta: Surau, 2003, cet. ke-2
Shihab, M.
Quraish, Wawasan al-Qur'an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung:
Mizan, 2003, cet. ke-XIV
Sulthon,
Muhammad, Desain Ilmu Dakwah: Kajian Ontologis, Epistimologi, dan AKsiologi,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003
Yahya Jaya, Teologi
Agama Islam Klasik, Padang, Angkasa Raya, 2000
Yunus,
Mahmud, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung , 1989
Zahrah,
Muhammad Abu, Buhūts Fî Ad-Da’wah, Kairo : Majma’ Al-Buhuts
Al-Islâmiyyah, 1983
[1]
Muhammad Sulthon, Desain Ilmu Dakwah: Kajian Ontologis, Epistimologi, dan
AKsiologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 1
[3]
Abi al Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria, Mu’jam Muqayyis al Lughat, Mesir:
Musthafa al Baabi al Halabi, 1969 dalam Salmadanis, Filsafat Dakwah, (Jakarta:
Suarau, 2003), h. 76
[5]
Abi Al-Husain Ahmad Ibnu Faris, Mu’jam Maqâyis
Al-Lughoh, (Beirut: Dâr Al-Fikr, 1979), h. 279. dalam Amrullah Ahmad, “Konstruksi
Keilmuan Dakwah dan Pengembangan Jurusan Kosentrasi Studi”, Makalah Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya
"Pengembangan Keilmuan Dakwah dan Prospek Kerja", APDI Unit Fakultas
Dakwah IAIN Walisongo, Semarang 19-20 Desember 2008.
[6]
Penggunaan kata dakwah untuk arti ajakan ke jalan yang
benar dalam beberapa ayat ini, QS. Al-A’râf:24, 192, dan 198, Yusuf:108,
Al-Ra’d: 14 dan 36, Al-Ghafir, 42-43, Kahfi:57, Al-Mu’minun:73, Ali Imrân:104,
Al-‘An’âm:71, Al-Hajj:67, Al-Qashash:87, Al-Syura:15, Al-Ahqaf:31-32, dan
Al-Ahzâb:46
[7] Perhatikan pula
penggunaan kata dakwah untuk arti yang sama dalam QS. Ath-Thur: 13, Yusuf:33,
dan Al-Qamar:
6
[8] Sayyid Sabiq, Al-‘Aqâid
Al-Islâmiyyah, (Kairo : Maktabah Mansurat, t.t.), h. 6.
[9] Ahmad Ahmad Ghulusy, Ad-Da’wah
Al-Islâmiyayah, Ushūluha wa Washâiliha, (Kairo : Dâr Al-Kitab Al-Mishri,
1987), h. 9. Dalam Amrullah Ahmad, “Konstruksi Keilmuan Dakwah dan Pengembangan
Jurusan Kosentrasi Studi”, Makalah Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya
"Pengembangan Keilmuan Dakwah dan Prospek Kerja", APDI Unit Fakultas
Dakwah IAIN Walisongo, Semarang 19-20 Desember 2008.
[10] Muhammad Abu Zahrah, Buhūts Fî
Ad-Da’wah, (Kairo : Majma’ Al-Buhuts Al-Islâmiyyah, 1983), h. 27
[11] Sayyid Quthub,
Fî Zhilâl, Jld. I, h. 187, 444, 447, Jld. II, h. 689, 696, 810, 825, 949 lihat juga Amrullah Ahmad,
“Konstruksi Keilmuan Dakwah ..., h. 12
[14]
Ali Mahfuzd, op. cit., h. 17, lihat juga Thoha Jahya Omar, Ilmu
Dakwah, (Jakarta: Widjaya, 1967), h.1.
[16]
Amrullah Ahmad, Dakwah sebagai Ilmu (suatu Pendekatan Epistimologi), Yogyakarta:
IAIN Sunan Kalijaga, 1994), h. 6
[21]
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2003), cet. ke-XIV
[22] Ibnu Katsir - dalam Tafsir Ibnu Katsir- menjelaskan
yang dimaksud dengan dua jalan pada ayat di atas ialah jalan kebajikan dan
jalan kejahatan طريق الخير وطريق الشر. Jalan kebajikan dicontohkan dalam ayat berikut:
اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
[النحل: 121]: “(lagi) yang mensyukuri ni'mat-ni'mat
Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus” sementara jalan kejahatan
digambarkan pada ayat berikut:
فَاهْدُوهُمْ
إِلَى صِرَاطِ الْجَحِيمِ [الصافات: 23]: “selain Allah; maka tunjukkanlah
kepada mereka jalan ke neraka” lebih lanjut lihat Tafsir Ibnu Katsir, Bab VI,
Juz 1, h. 127.
[23]
Kecenderungan manusia kepada kebaikan tergambar dari hadits Rasulullah saw:
كل مولول يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أوسنصرا نه أويمجسانه
“Setiap
anak dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah), hanya saja kedua orang tuanya
(lingkungannya) yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi”. (H.R.
Bukhari)
[28]
Iman bagi mereka tidak cukup hanya dengan tasdiq, seperti yang terdapat pada
paham Murji’ah, akan tetapi tasdiq diikuti dengan amal ketaatan dan sunat. Iman
akan bertambah jika diiringi dengan amal ketaatan dan sunat, dan sebaliknya
iman akan berkurang jika diiringi dengan kemaksiatan. Lebih lanjut lihat Yahya
Jaya, Teologi Agama Islam Klasik, (Padang, Angkasa Raya, 2000), cet.
ke-1, h.74. lihat juga Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya
jilid II, (Jakarta: UI-Press, 1985), h.39
“kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang
munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu
lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasik” (Q.S. Ali Imran/3: 110)
14 Lebih lanjut, lihat Ahmad Musthafa Al Maraghi, Tafsir Al
Maraghi Terjemah, Jilid 4, (Semarang: Toha Putra, 1993), cet. ke-2, h. 35
[36] Qadhi Abdul Jabbar, Syarh...,
op. cit., hlm. 148.
[37] Ibid
0 Comment