Pengertian Fiqh, Syariah, dan Hukum Islam
Pengertian fiqh atau ilmu fiqh sangat berkaitan dengan syariah, karena fiqh itu pada hakikatnya adalah jabaran praktis dari syariah. Karenanya, sebelum memberikan penjelasan tentang arti fiqh, ter- lebih dahulu perlu dijelaskan arti dan hakikat syariah.
1. Pengertian Syariah
Secara etimologis (lughawi) syariah berarti “jalan ke tempat pengairan” atau “jalan yang harus diikuti”, atau “tempat lalu air di sungai”. Arti terakhir ini digunakan orang Arab sampai sekarang.
Kata syariah muncul dalam beberapa ayat Al-Qur’an, seperti pa- da surat al-Maidah (5): 48; asy-Syura (42): 13; dan al-Jatsiyah (45):
18, yang mengandung arti “jalan yang jelas yang membawa kepada kemenangan”. Dalam hal ini, agama yang ditetapkan Allah untuk manusia disebut syariah, dalam artian lughawi, karena umat Islam selalu melaluinya dalam kehidupannya di dunia. Kesamaan syariah Islam dengan jalan air adalah dari segi bahwa siapa yang mengikuti syariah ia akan mengalir dan bersih jiwanya. Allah menjadikan air sebagai penyebab kehidupan tumbuh-tumbuhan dan hewan sebagaimana Dia menjadikan syariah sebagai penyebab kehidupan jiwa insani.
Menurut para ahli, definisi syariah adalah: “Segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia di luar yang menge- nai akhlak”. Dengan demikian, “syariah” itu adalah nama bagi hu- kum-hukum yang bersifat amaliah.
Walaupun pada mulanya syariah itu diartikan “agama” sebagaimana yang disinggung Allah dalam surat asy-Syura (42): 13, namun kemudian dikhususkan penggunaannya untuk hukum amaliah. Pengkhususan ini dimaksudkan karena agama pada dasarnya adalah satu dan berlaku secara universal, sedangkan syariah berlaku untuk masing-masing umat yang berbeda dengan umat sebelumnya. Dengan demikian, kata “syariah” lebih khusus dari agama. Syariah adalah hukum amaliah yang berbeda menurut perbedaan Rasul yang membawanya dan setiap yang datang kemudian mengoreksi yang datang lebih dahulu. Sedangkan dasar agama, yaitu ‘akidah/tauhid, tidak berbeda antara Rasul yang satu dengan lainnya.
Di antara ulama ada yang lebih mengkhususkan lagi pemakaian kata “syariah” itu dengan: “Apa-apa yang bersangkutan dengan per- adilan serta pengajuan perkara kepada mahkamah dan tidak mencakup kepada halal dan haram”.
Qatadah, menurut yang diriwayatkan al-Thabari, menggunakan kata “syariah” kepada hal yang menyangkut kewajiban, had, pe- rintah dan larangan; tidak termasuk di dalamnya ‘akidah, hikmah, dan ibarat yang tercakup dalam agama. Syaltut mengartikan syariah dengan “hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan Allah bagi hamba-Nya untuk diikuti dalam hubungannya dengan Allah dan hubungannya dengan sesama manusia”. Dr. Farouk Abu Zeid menjelaskan bahwa syariah ialah: “Apa-apa yang ditetapkan Allah melalui lisan Nabi-Nya”. Allah adalah pembuat hukum yang me- nyangkut kehidupan agama dan kehidupan dunia.
2. Pengertian Fiqh
Kata “fiqh”, secara etimologis berarti “paham yang men- dalam”. Bila “paham” dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat lahiriah, maka fiqh berarti paham yang menyampaikan ilmu lahir kepada ilmu batin. Karena itulah at-Tirmidzi menyebutkan, “fiqh tentang sesuatu,” berarti mengetahui batinnya sampai kepada kedalamannya.
Kata “faqaha”
Kata “amaliah” yang terdapat dalam definisi di atas menjelaskan bahwa fiqh itu hanya menyangkut tindak tanduk manusia yang bersifat lahiriah. Dengan demikian, hal-hal yang bersifat bukan amaliah seperti masalah keimanan atau ‘akidah tidak termasuk dalam lingkungan fiqh dalam artian ini. Umpamanya ketentuan bahwa Allah itu bersifat Esa dan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat.
Penggunaan kata “digali dan ditemukan” mengandung arti bah- wa fiqh itu adalah hasil penggalian, penemuan, penganalisisan, dan penentuan ketetapan tentang hukum. Karenanya bila bukan dalam bentuk hasil suatu penggalian-seperti mengetahui apa-apa yang secara lahir dan jelas dikatakan Allah-tidak disebut fiqh. Fiqh itu adalah hasil penemuan mujtahid dalam hal-hal yang tidak dijelaskan oleh nash.
Kata “tafsili” dalam definisi itu menjelaskan tentang dalil-dalil yang digunakan seorang faqih atau mujtahid dalam penggalian dan penemuannya. Karena itu, ilmu yang diperoleh orang awam dari seorang mujtahid yang terlepas dari dalil tidak termasuk ke dalam pengertian fiqh.
Al-Amidi memberikan definisi fiqh yang berbeda dengan definisi di atas, yaitu: “Ilmu tentang seperangkat hukum-hukum syara’ yang bersifat furu‘iyah yang berhasil didapatkan melalui penalaran atau istidlal”.
Kata “furu‘iyah” dalam definisi al-Amidi ini menjelaskan bahwa ilmu tentang dalil dan macam-macamnya sebagai hujah, bukanlah fiqh menurut artian ahli ushul, sekalipun yang diketahui itu adalah hukum yang bersifat nazhari.
Penggunaan kata “penalaran” dan “istidlal” (yang sama mak- sudnya dengan “digali”) menurut istilah Ibnu Subki di atas memberikan penjelasan bahwa fiqh itu adalah hasil penalaran dan istidlal. Ilmu yang diperoleh bukan dengan cara seperti itu-seperti ilmu Nabi tentang apa yang diketahuinya dengan perantaraan wahyu-tidak disebut fiqh.
Dengan menganalisis kedua definisi yang disebutkan di atas da- pat ditemukan hakikat dari fiqh, yaitu:
a. fiqh itu adalah ilmu tentang hukum Allah;
b. yang dibicarakan adalah hal-hal yang bersifat amaliah furu‘iyah;
c. pengetahuan tentang hukum Allah itu didasarkan kepada da- lil tafsili; dan
d. fiqh itu digali dan ditemukan melalui penalaran dan istidlal se- orang mujtahid atau faqih.
Dengan demikian, secara ringkas dapat dikatakan, “Fiqh itu adalah dugaan kuat yang dicapai seorang mujtahid dalam usahanya menemukan hukum Allah.”
Dari pengertian fiqh dan syariah di atas terlihat kaitan yang sangat erat antara fiqh dengan syariah. Syariah diartikan dengan ketentuan yang ditetapkan Allah tentang tingkah laku manusia di dunia dalam mencapai kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat. Ketentuan Allah itu terbatas dalam firman Allah dan penjelasannya yang diwahyukan melalui lisan Nabi.
Semua tindakan manusia di dunia dalam mencapai kehidupan yang baik itu harus tunduk kepada kehendak Allah dan Rasulullah. Kehendak Allah dan Rasul itu sebagian terdapat secara tertulis dalam kitab-Nya yang disebut syari‘ah, sedangkan sebagian besar lainnya tersimpan di balik atau di luar yang tertulis itu.
Untuk mengetahui keseluruhan apa yang dikehendaki Allah tentang tingkah laku manusia itu, harus ada pemahaman mendalam tentang syariah, sehingga secara amaliah syariah itu dapat diterapkan dalam kondisi dan situasi bagaimanapun. Hasil pemahaman itu di- tuangkan dalam bentuk ketentuan yang terinci. Ketentuan terinci ten- tang tingkah laku manusia mukalaf yang diramu dan diformulasikan sebagai hasil pemahaman terhadap syariah itu disebut fiqh.
3. Pengertian Hukum Islam
Hukum Islam merupakan rangkaian dari kata “hukum” dan kata “Islam”. Kedua kata itu, secara terpisah, merupakan kata yang digunakan dalam bahasa Arab dan terdapat dalam Al-Qur’an, juga berlaku dalam bahasa Indonesia. “Hukum Islam” sebagai suatu rangkaian kata telah menjadi bahasa Indonesia yang hidup dan terpakai, namun bukan merupakan kata yang terpakai dalam bahasa Arab, dan tidak ditemukan dalam Al-Qur’an; juga tidak ditemukan dalam literatur yang berbahasa Arab. Karena itu kita tidak akan menemukan artinya secara definitif.
Untuk memahami pengertian hukum Islam, perlu diketahui lebih dahulu kata “hukum” dalam bahasa Indonesia, kemudian pengertian hukum itu disandarkan kepada kata “Islam”. Ada kesulitan dalam memberikan definisi kepada kata “hukum” karena setiap definisi akan menemukan titik lemah. Karena itu, untuk memudahkan me- mahami pengertian hukum, berikut ini akan diketengahkan definisi hukum secara sederhana, yaitu: “Seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat, disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu, berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya”.
Definisi ini tentunya masih mengandung kelemahan, namun dapat memberikan pengertian yang mudah dipahami.
Bila kata “hukum” menurut definisi di atas dihubungkan kepada “Islam” atau “Syara’”, maka “hukum Islam” akan berarti: “Se- perangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunah Rasul tentang tingkah laku manusia mukalaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam”.
Kata “seperangkat peraturan” menjelaskan bahwa yang dimak- sud dengan hukum Islam itu adalah peraturan yang dirumuskan secara terperinci dan mempunyai kekuatan yang mengikat.
Kata “yang berdasarkan wahyu Allah dan sunah Rasul” men- jelaskan bahwa perangkat peraturan itu digali dari dan berdasarkan kepada wahyu Allah dan sunah Rasul, atau yang populer dengan sebutan “syariah”.
Kata “tentang tingkah laku manusia mukalaf” mengandung arti bahwa hukum Islam itu hanya mengatur tindak lahir dari manusia yang dikenai hukum. Peraturan tersebut berlaku dan mempunyai kekuatan terhadap orang-orang yang meyakini kebenaran wahyu dan sunah Rasul itu, yang dimaksud dalam hal ini adalah umat Islam.
Bila artian sederhana tentang “hukum Islam” itu dihubungkan kepada pengertian “fiqh” sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan hukum Islam itu adalah yang bernama “fiqh” dalam literatur Islam yang berbahasa Arab. Dengan demikian, setiap kata “fiqh” dalam buku ini berarti “hukum Islam”.
Kajian tentang hukum Islam itu mengandung dua bidang pokok yang masing-masing luas cakupannya, yaitu:
Pertama, kajian tentang perangkat peraturan terinci yang bersifat amaliah dan harus diikuti umat Islam dalam kehidupan beragama. Inilah yang secara sederhana disebut “fiqh” dalam artian khusus dengan segala lingkup bahasannya.
Kedua, kajian tentang ketentuan serta cara dan usaha yang sis- tematis dalam menghasilkan perangkat peraturan yang terinci itu disebut “ushul fiqh”, atau dalam arti lain “sistem metodologi fiqh”. Fiqh dan ushul fiqh merupakan dua bahasan terpisah, namun saling berkaitan. Pada waktu menguraikan suatu ketentuan tentang fiqh, untuk menguatkan bahasannya, sering disertai penjelasan mengenai kenapa ketentuan itu begitu adanya, sehingga memasuki lapangan pembahasan ushul fiqh. Demikian pula sebaliknya waktu membicarakan ushul fiqh, untuk lebih memperjelas bahasannya dikemukakan contoh-contoh yang berada dalam lingkup bahasan fiqh.
B. Sejarah dan Perkembangan Fiqh
1. Fiqh pada Masa Nabi
Bila kita memahami pengertian fiqh itu sebagai hasil penalaran seorang ahli atas maksud hukum Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia, maka timbul pertanyaan apakah fiqh itu sudah mulai ada pada waktu Nabi Muhammad SAW. masih hidup?
Suatu hal yang nyata terjadi adalah bahwa Nabi telah berbuat sehubungan dengan turunnya ayat-ayat Qur’an yang mengandung hukum (ayat-ayat hukum). Tidak semua ayat hukum itu memberikan penjelasan yang mudah dipahami untuk kemudian dilaksanakan secara praktis sesuai dengan kehendak Allah. Karena itu Nabi memberikan penjelasan mengenai maksud setiap ayat hukum itu kepada umatnya, sehingga ayat-ayat yang tadinya, belum dalam bentuk petunjuk praktis, menjadi jelas dan dapat dilaksanakan secara praktis. Nabi memberikan penjelasan dengan ucapan, perbuatan, dan pengakuannya yang kemu- dian disebut sunah Nabi. Apakah hukum-hukum yang bersifat amaliah yang dihasilkan oleh Nabi yang bersumber kepada Al-Qur’an itu dapat disebut fiqh?
Telah dijelaskan bahwa fiqh adalah hasil penalaran seseorang yang berkualitas mujtahid atas hukum Allah atau hukum-hukum amaliah yang dihasilkan dari dalil-dalilnya melalui penalaran atau ijtihad. Apabila penjelasan dari Nabi yang berbentuk sunah itu me- rupakan hasil penalaran atas ayat-ayat hukum, maka apa yang dikemukakan Nabi itu dapat disebut fiqh atau lebih tepat disebut “Fiqh sunah”.
Kemungkinan Nabi melakukan ijtihad dalam menghasilkan su- nahnya diperselisihkan para ulama. Perbedaan pendapat itu berpangkal pada pemahaman ayat 3-4 surat an-Najm (53):
yang kemudian ternyata keikutsertaan mereka membawa ben- cana kepada pasukan muslim. Ayat ini mengandung kritikan atas tindakan Nabi. Kalau tindakan Nabi itu atas tuntunan wahyu, tentu tidak akan muncul kritikan itu. Hal ini menun- jukkan bahwa kebijaksanaan Nabi yang mengizinkan ikutnya orang munafik itu dasarnya adalah ijtihad.
3. Sunah Nabi yang berbunyi:
Sesungguhnya aku menetapkan hukum berdasarkan apa-apa yang lahir, dan kamu minta penyelesaian permusuhanmu kepadaku. Barangkali seseorang di antaramu lebih lihai dalam beperkara dibandingkan yang lain. Siapa yang aku putuskan untuknya sesuatu berkenan dengan harta orang lain, janganlah dimakan. Sesungguhnya aku memberikan kepadanya potongan api neraka.
Riwayat tersebut menunjukkan bahwa Nabi sendiri terkadang memutuskan perkara yang mungkin tidak betul secara ma- teriil. Hal ini berarti tindakan itu semata didasarkan kepada ijtihadnya, bukan dari wahyu.
Kedua, ulama kalam Asy‘ariyyah, mayoritas ulama Mu‘tazilah, Abu Ali al-Jubbai dan anaknya Hasyim, berpendapat bahwa Nabi tidak boleh berijtihad dalam hukum syara’. Alasan mereka adalah:
a. Firman Allah dalam surat an-Najm (53): 3-4:
Ayat ini menjadi dalil utama bahwa semua yang muncul dari lisan Nabi adalah dari wahyu dan tidak ada yang di luar wa- hyu. Ijtihad tidak berasal dari wahyu, karenanya tidak ada ucapan Nabi yang muncul dari ijtihadnya sendiri.
b. Nabi SAW. berkemampuan untuk sampai kepada hukum secara meyakinkan melalui wahyu. Sedangkan hasil ijtihad hanyalah bersifat zhanni. Bila mampu untuk sampai kepada yang meya- kinkan (qath‘i), maka tidak boleh menempuh yang tidak meya- kinkan (zhanni). Di samping itu, ijtihad hanya dapat dilakukan bila tidak ada nash; sedangkan selama Nabi masih hidup, tidak mungkin nash itu sudah terhenti.
c. Sering terjadi Nabi tidak dapat memberikan jawaban atas per- tanyaan yang diajukan sahabatnya tentang sesuatu kasus. Dalam keadan demikian, Nabi menyuruh menunggu sampai turunnya wahyu yang akan menjawabnya. Seandainya Nabi dapat mem- berikan jawaban dengan hasil ijtihadnya, tentu tidak perlu Nabi berlama-lama menunggu turun wahyu untuk menjawabnya.
Ketiga, pendapat “jalan tengah” dari kedua pendapat di atas, menyatakan bahwa Nabi dapat saja berijtihad dalam masalah pe- perangan, tetapi tidak dalam masalah hukum syara’. Kelompok ini menggunakan gabungan dalil-dalil yang dikemukakan dua pendapat sebelumnya.
Bila diperhatikan ketiga pendapat tersebut beserta argumen ma- sing-masing, kita cenderung pada pendapat yang mengatakan tidak semua yang muncul dari lisan Nabi itu dibimbing wahyu. Dalam kenyataan memang beliau pernah berijtihad untuk memahami dan menjalankan wahyu Allah dalam hal-hal yang memerlukan penjelasan dari Nabi yang sebagiannya dibimbing wahyu. Dalam hal-hal yang tidak mendapat koreksi dari Allah, maka hal itu muncul sebagai sunah Nabi yang wajib ditaati. Dengan demikian, sebagian sunah Nabi adalah berdasarkan pada ijtihadnya.
Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa fiqh sudah mulai ada semenjak Nabi masih hidup dengan pola yang sederhana sesuai dengan kesederhanaan kondisi masyarakat Arab yang menjalankan fiqh pada waktu itu. Di bawah ini dikemukakan beberapa contoh fiqh Nabi dalam beberapa bidang hukum.
a. Shalat
Perintah melakukan shalat banyak sekali terdapat dalam Al- Qur’an dengan berbagai cara dan berbagai bentuk. Tidak ada satu ayat pun yang menjelaskan apa dan bagaimana praktik shalat itu. Dalam keadaan begitu perintah shalat menurut apa adanya tidak mungkin dilaksanakan. Nabi mengetahui maksud perintah Allah itu, karena itu Nabi menjelaskan kepada umatnya dengan menggunakan sunah-Nya.
Nabi mengarahkan kata “shalat” itu kepada perbuatan tertentu dengan tindakan yang berisi beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam di hadapan para sahabatnya. Kemudian beliau berkata, “Inilah yang dimaksud dengan shalat”. Dalam suatu hadis Nabi bersabda,
Adapun mengenai waktu-waktu pelaksanaan shalat, muncul dalam beberapa ayat Al-Qur’an pada tempat yang terpisah.
1. Surat ar-Rum (30): 17:
Maka bertasbihlah kepada Allah di waktu kamu berada di petang hari dan waktu kamu berada di waktu subuh.
2. Surat al-Isra (17): 78:
Waktu zuhur bila telah tergelincir matahari sampai bayang- bayang sepanjang badan dan belum masuk waktu ashar; waktu ashar selama matahari belum menguning; dan waktu maghrib selama belum hilang cahaya matahari; waktu isya sampai pertengahan malam dan waktu subuh dan terbit fajar sampai terbit matahari.
Tentang jumlah raka‘at shalat untuk setiap waktu yang lima itu tidak ada sama sekali penjelasannya dalam Al-Qur’an. Ketetapan jumlah raka‘at shalat datang dari Nabi sendiri dalam hadis fi’li secara bertahap. Jumlah raka‘at itu berbeda pada waktu sebelum dengan sesudah hijrah. Hal ini dijelaskan dalam hadis dari Aisyah dalam versi yang berbeda-beda menurut riwayat Bukhari dan Ahmad:
Difardukan shalat itu dua-dua raka‘at. Kemudian berlangsung hijrah, maka difardukan empat-empat raka‘at dan ditetapkan shalat safar seperti yang semula (dua raka‘at).
Ditambahkan oleh Ahmad dari jalur Ibnu Kaisan dengan ucapan:
yang tetap (seperti semula) karena panjangnya bacaan shalat, begitu pula shalat maghrib karena ia merupakan waktu yang ganjil dalam sehari.
Dalam surat al-Araf (7): 31, Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman bila kamu melakukan shalat basuhlah mukamu dan kedua tanganmu sampai sikut; sapulah kepalamu dan basuhlah kakimu sampai mata kaki.
Selanjutnya Nabi menjelaskan cara-cara berwudhu’ dalam hadis dari Abu Hurairah menurut riwayat Muslim.
Sesungguhnya dia bila berwudhu dibasuhnya mukanya, maka dilanjutkannya wudhunya; kemudian dibasuhnya tangannya sebelah kanan sampai lengannya, kemudian tangan kirinya sampai lengan; kemudian ia menyapu kepalanya, kemudian dibasuhnya kaki kanannya sampai betis; kemudian dibasuhnya kaki kirinya sampai betis kemudian dia berkata, “Beginilah Rasul Allah saya lihat melakukan wudhu.”
Dalam surat al-Jumu‘ah (62): 9, Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru melakukan shalat
Jumat, segeralah datang melakukan shalat dan tinggalkanlah
jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Dari ayat ini, Nabi memahami kewajiban shalat Jumat. Adapun mengenai caranya, dijelaskan secara rinci dalam Sunnahnya.
b. Zakat
Perintah untuk melaksanakan zakat begitu banyak muncul dalam Al-Qur’an dengan berbagai cara dan bentuk yang sebagian besar di antaranya dirangkaikan dengan perintah shalat. Menurut pemahaman lughawiî, zakat itu berarti membersihkan, tumbuh, berkah dan pujian. Kemudian Nabi mengarahkan penggunaan kata “zakat” itu untuk “pemberian tertentu dari harta tertentu, menurut cara tertentu”.
Bentuk perintah zakat dapat dilihat dalam contoh ayat di bawah ini:
Nabi dengan hadis dari Ibnu Abbas, muttafaq ‘alaihi (perawinya: Bukhari dan Muslim), yang berbunyi:
Sesungguhnya Allah telah memfardukan zakat atas mereka da- lam harta mereka; diambil dari orang kaya-kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang miskin mereka.
Tentang apa-apa yang dizakatkan, batas nisabnya serta berapa kadar yang harus dizakatkan, dijelaskan Nabi dengan hadis-hadis sebagai berikut:
1. Unta, hadis dari Anas menurut riwayat Bukhari:
Setiap 24 ekor unta atau kurang, maka zakatnya seekor kambing betina untuk setiap 5 ekor unta, jika jumlahnya 25 sampai 35 ekor, maka zakatnya satu ekor anak unta betina berumur 1-2 tahun atau satu ekor anak unta jantan berumur 3-4 tahun, jika jumlahnya 36 sampai 45, maka zakatnya seekor anak unta ber- umur 2-3 tahun, dan jika jumlahnya 46 sampai 60 ekor unta maka zakatnya adalah seekor unta betina berumur 3-4 tahun.
2. Sapi, hadis dari Muaz ibn Jabal menurut riwayat lima perawi hadis:
Pada tanam-tanaman yang diairi dengan mata air atau hujan kewajiban zakatnya adalah sepersepuluh; dalam tanaman yang diairi dengan kincir kewajiban zakatnya adalah seperdua puluh.
5. Barang perniagaan, hadis dari Samrah ibn Jundab menurut ri- wayat Abu Daud:
Sesungguhnya Rasul Allah pernah menyuruh kita mengeluarkan zakat dari sesuatu yang disiapkan untuk diperjualbelikan.
6. Barang rikaz, hadis dari Abu Hurairah, muttafaq ‘alaih (Bukhari dan Muslim):
Di dalam rikaz itu ada kewajiban zakat sebesar seperlima.
Tentang siapa-siapa yang berhak menerima zakat secara lang- sung, disebutkan Allah dalam surat at-Taubah (9): 60:
Sesungguhnya shadaqah (zakat) itu adalah untuk para fuqara, orang miskin, untuk amil untuk orang yang dijinakkan hatinya; untuk mernerdekakan hamba; dan orang yang dijerat hutang untuk kepentingan sabilillah dan ibnu sabil; merupakan kewa- jiban dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Bijaksana.
Dengan penjelasan yang diberikan Nabi tentang ayat-ayat zakat yang tersebut dalam Al-Qur’an dapatlah dilakukan kewajiban berzakat meskipun dalam cara yang sederhana.
c. Puasa
Perintah Allah yang menyuruh melakukan puasa banyak terdapat dalam Al-Qur’an yang kadang-kadang beriringan dengan kewajiban shalat dan zakat. Kewajiban puasa secara terpisah muncul dalam Firman Allah, suratl-aqarah (2): 183-185:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Siapa yang berada dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan, boleh ia berbuka dan untuk itu ia harus menggantinya di hari-hari lain. Untuk orang yang sudah uzur dan tidak mampu berpuasa, maka ia harus membayar fidiah dalam bentuk memberi makan orang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya.
Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Bulan Ramadhan yang diturunkan padanya Al-Qur’an menjadi petunjuk bagi manusia dan merupakan bukti petunjuk Tuhan dan sebagai furqan (pemisah antara yang benar dan salah). Siapa di antaramu yang telah menyaksikan masuknya bulan Ramadhan itu hendaklah ia berpuasa. Siapa yang sakit atau dalam perjalanan dan tidak melakukan puasa, hendaklah ia melakukan di hari-hari lain. Allah menghendaki untukmu kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan. Hendaklah kamu sempurnakan bilangan puasa itu dan hendaklah kamu bertakbir kepada Allah atas petunjuk yang diberikan-Nya kepadamu; mudah-mudahan kamu bersyukur.
Dalam ayat di atas dijelaskan keharusan berpuasa, bulan untuk melakukan puasa, perhitungan masuk bulan puasa dan orang-orang yang mendapat keringanan untuk tidak melakukan puasa Ramadhan. Tentang awal dan akhir waktu puasa serta apa-apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama puasa dijelaskan dalam surat al-Baqarah (2): 187:
Dihalalkan bagimu pada malam puasa itu menggauli istrimu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu telah mengkhianati dirimu sendiri, maka Allah memberi maaf atasmu. Maka sekarang gaulilah mereka dan perolehlah apa yang telah ditentukan Allah kepadamu, dan makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam sebagai tanda waktu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam ...
Untuk memperjelas penentuan awal dan akhir waktu bulan Ra- madhan dijelaskan Nabi dengan sabdanya dari Ibnu Umar menurut riwayat muttafaq ‘alaih:
Bila kamu melihat bulan (masuk bulan Ramadhan, puasalah kamu dan bila kamu telah melihat bulan (tanda masuk bulan Syawal) berbukalah kamu; maka bila kamu tidak melihatnya karena mendung perhitungkanlah ...
Selanjutnya Nabi menjelaskan cara-cara berbuka dan sahur serta perbuatan-perbuatan baik untuk dilakukan selama bulan Ramadhan, sebagai kelengkapan dari pelaksanaan kewajiban puasa.
Demikian pula cara-cara Nabi memahami ayat-ayat Qur’an yang berkenaan dengan ibadah pokok lainnya dan menjelaskannya kepada umatnya. Hal yang sama berlaku pula terhadap ayat-ayat Qur’an yang berkenaan dengan masalah muamalat dalam arti umum.Bila dalam hal ibadah penjelasan Allah lebih bersifat jelas dan rinci, maka dalam bidang muamalat pada umumnya lebih bersifat umum, garis besar, tidak terinci, dan memberi petunjuk yang tidak jelas serta tidak pasti. Karena itu dalam hal-hal ibadat, lebih mudah Nabi memahaminya sehingga tidak banyak memerlukan penjelasan Nabi untuk melaksanakannya. Sebaliknya dalam bidang muamalat, Nabi lebih banyak menggunakan nalar dalam memahami ayat hu- kum untuk dapat dilaksanakan secara praktis oleh umatnya.
Pada saat memahami ayat-ayat hukum dan menggunakan nalar untuk menghasilkan petunjuk pelaksanaannya, kelihatannya Nabi memperhatikan dan mempertimbangkan lingkungan di mana beliau berada. Hal tersebut dapat dilihat pada sunah Nabi yang menjelaskan ayat-ayat tersebut dengan hal-hal yang mudah dipahami umatnya waktu itu dengan mengemukakan contoh-contoh yang terdapat di lingkungannya.
Pada waktu Nabi mencoba memahami maksud Allah yang me- wajibkan zakat atas orang kaya untuk diberikan kepada orang miskin,
terlihat Nabi menetapkan barang-barang yang dizakatkan dalam bentuk harta yang nyata waktu itu di lingkungan kehidupan Nabi, baik dalam bentuk hewan ternak maupun tanaman dan buah-buahan.
Di samping itu, penjelasan yang diberikan Nabi lebih banyak dalam bentuk melayani pertanyaan yang diajukan umatnya, baik ten- tang pemahaman atas suatu ayat Al-Qur’an maupun tentang hal-hal yang memerlukan jawaban, karena jawabannya tidak tersebut dalam Al-Qur’an. Penjelasan Nabi dalam bentuk petunjuk pelaksanaan dari kehendak Allah yang tersebut dalam Al-Qur’an itu disebut “Fiqh”, atau “Fiqh Nabi” atau disebut juga “Fiqh al-sunah”. Pola dari “Fiqh Nabi” sesuai dengan pola hidup masyarakat Arab waktu itu, yaitu sederhana, mudah, dan tidak berbelit-belit.
Dalam masa Nabi atau pada masa periode tasyri’ ini, sumber hukum yang digunakan Nabi dalam menetapkan fatwanya adalah Al-Qur’an.
Ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an telah meliputi semua segi kehidupan manusia dalam kedudukannya sebagai pribadi di depan Allah atau masyarakat, maupun dalam kedudukannya sebagai salah seorang anggota masyarakat dalam hubungannya dengan anggota masyarakat lainnya. Penjelasan yang diberikan Nabi me- lingkupi hal-hal yang termuat dalam Al-Qur’an, sehingga Fiqh Nabi sudah mencakup bidang yang sangat luas meskipun dalam bentuk pelaksanaan yang sederhana dan mudah.
2. Fiqh pada Masa Sahabat
Dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW. sempurnalah turunnya ayat-ayat Al-Qur’an dan sunah Nabi, juga dengan sendirinya sudah terhenti. Kemudian terjadi perubahan yang besar sekali dalam ke- hidupan masyarakat, karena telah meluasnya wilayah Islam dan semakin kompleksnya kehidupan umat.
Keimanan umat yang sudah tinggi dan kepatuhannya akan perintah agama, menuntut mereka untuk selalu menghubungkan tingkah lakunya sehari-hari dengan nilai agama. Karena itu umat memerlukan jawaban hukum dalam menghadapi setiap persoalan dalam kehidupannya.
Ada tiga hal pokok yang berkembang waktu itu sehubungan dengan hukum.
Pertama, begitu banyaknya muncul kejadian baru yang mem- butuhkan jawaban hukum yang secara lahiriah tidak dapat ditemukan jawabannya dalam Al-Qur’an maupun penjelasan dari sunah Nabi.
Kedua, timbulnya masalah-masalah yang secara lahir telah diatur ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an maupun sunah Nabi, namun ketentuan itu dalam keadaan tertentu sulit untuk diterapkan dan menghendaki pemahaman baru agar relevan dengan perkembangan dan persoalan yang dihadapi.
Ketiga, dalam Al-Qur’an ditemukan penjelasan terhadap suatu kejadian secara jelas dan terpisah. Bila hal tersebut berlaku dalam kejadian tertentu, para sahabat menemukan kesulitan dalam me- nerapkan dalil-dalil yang ada.
Ketiga pokok masalah di atas memerlukan pemikiran mendalam atau nalar dari para ahli yang disebut ijtihâd. Dalam menghadapi hal tersebut berkembanglah pemikiran para sahabat.
1. Dalam menghadapi bentuk pertama, yaitu masalah yang baru ter- jadi, para sahabat mencari jawabannya dari lahir ayat Al-Qur’an, kemudian mencari dari penjelasan yang pernah diberikan Nabi. Bila tidak menemukan jawabannya secara jelas, mereka mencoba mencari jawabannya dari balik lahir lafaz hukum yang ada. De- ngan cara ini, lahir lafaz ayat itu dapat direntangkannya kepada kejadian yang baru itu. Usaha ini dapat ditempuh, melalui bebe- rapa cara, di antaranya:
a. Dengan semata pemahaman lafaz, yaitu memahami maksud yang terkandung dalam lahir lafaz. Umpamanya bagaimana hu- kum membakar harta anak yatim. Ketentuan yang jelas dalam Al-Qur’an hanya larangan memakan harta anak yatim secara aniaya, sedangkan hukum membakarnya tidak ada. Karena semua orang tahu bahwa membakar dan memakan harta itu sama dalam hal mengurangi atau menghilangkan harta anak yatim, maka keduanya juga sama hukumnya, yaitu haram. Cara ini kemudian disebut penggunaan metode mafhum.
b. Dengan cara memahami alasan atau ‘Illat yang terdapat dalam suatu kasus (kejadian) yang baru, kemudian meng- hubungkannya kepada dalil nash yang memiliki alasan atau
‘Illat yang sama dengan kasus tersebut. Cara ini kemudian disebut metode qiyâs.
Penunjukan pengganti Nabi untuk urusan keduniaan belum ada ketentuannya. Tidak ada ketentuan yang mengatur sistem khilafah dalam Qur’an atau sunah Nabi. Setelah Nabi wafat, masalah ini segera muncul. Para sahabat berpikir bahwa masalah memimpin urusan dunia dapat dihubungkan kepada pemimpin urusan ibadat. Ternyata Abu Bakar pernah ditunjuk Nabi untuk menggantikan beliau menjadi imam shalat jamaah, sewaktu Nabi sakit. Atas dasar ini para sahabat berpendapat bahwa yang akan menggantikan Nabi dalam urusan dunia- yaitu menjadi khalifah-adalah Abu Bakar. Pemikiran seperti ini berkembang di kalangan sahabat yang kemudian dikenal dengan pemikiran secara qiyâs.
Dalam periode sahabat ini penggunaan ijtihad masih terbatas pada metode mafhum dan qiyâs. Cara ini pun sudah dapat menjawab semua persoalan yang muncul waktu itu.
2. Persoalan dalam bentuk kedua-yaitu perubahan keadaan yang menghendaki perubahan pemikiran-walaupun jarak waktu periode Nabi dengan periode sahabat relatif pendek dan ber- sambung, namun perkembangan kehidupan begitu cepat yang menuntut adanya perubahan pemikiran.
Allah SWT. dalam Al-Qur’an mewajibkan zakat. Nabi dalam sunah-Nya menyebutkan bahwa zakat itu diambil dari orang kaya dan diberikan kepada orang miskin. Nabi disuruh Allah untuk mengambil harta zakat dari umatnya (QS. at-Taubah/9:
103). Cara yang dilakukan Nabi adalah cara yang bijaksana sesuai dengan pesan Allah untuk berdakwah dengan cara bi- jaksana (QS. al-Nahl/16: 125). Atas kesadaran umat waktu itu, kewajiban zakat dapat terlaksana secara baik.
Pada masa Abu Bakar menjadi khalifah, beliau melihat bahwa pemungutan zakat secara lemah lembut seperti yang dilakukan Nabi tidak efektif lagi karena adanya kecenderungan pembang- kangan dari sebagian masyarakat terhadap kewajiban membayar zakat. Karena itu Abu Bakar mengambil sikap yang keras, bahkan menetapkan untuk memerangi orang-orang yang tidak mau membayar kewajiban zakat. Dasar pemikiran Abu Bakar ialah bahwa menempuh sikap lemah lembut sebagaimana dilakukan oleh Nabi, kewajiban membayar zakat tidak dapat ditegakkan.
Allah SWT. melarang orang Islam meminum khamar secara tegas (QS. al-Maidah/5: 90) karena perbuatan tersebut meru- pakan dosa besar; meskipun ada sedikit manfaat di dalamnya. Karena dalam larangan lain Allah SWT. menetapkan sanksi- nya, sedangkan dalam larangan khamar tidak diiringi dengan sanksi, maka Nabi melalui ijtihadnya menetapkan sanksi mi- num khamar, yaitu dera sebanyak 40 kali. Pelaksanaan sanksi yang ditetapkan Nabi itu dapat menjerakan orang. Dengan demikian tujuan larangan telah tercapai.
Pada masa Umar ibn Khattab menjadi khalifah, kebiasaan minum khamar waktu jahiliah kambuh lagi di kalangan orang Islam dan sanksi dera 40 kali sudah kurang efektif sebagai alat penjera. Umar memikirkan cara untuk membuat orang jera minum khamar yang merupakan tujuan dari hukum. Dalam hal ini Umar menetapkan sanksi mimun khamar menjadi 80 kali dera, sehingga orang menjadi bertambah takut meminum khamar. Dengan demikian, sanksi yang ditetapkan Umar berbeda dengan yang ditetapkan Nabi sebelumnya, untuk mencapai tujuan larangan, yaitu menjerakan berbuat kejahatan.
Dalam surat al-Anfal (8): 41, Allah berfirman:
Ketahuilah sesungguhnya bila kamu mendapatkan suatu harta rampasan, maka seperlimanya untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil.
Dalam memahami ayat tersebut, Nabi membagi harta rampasan perang menjadi dua kelompok. Tumpukan pertama sebanyak 1/5 bagian dibagikan kepada pihak-pihak yang disebutkan dalam ayat Al-Qur’an, sedangkan sisanya dibagikan
kepada orang-orang yang ikut dalam perang yang menghasilkan harta rampasan itu.
Pada waktu Umar memerintah, pasukan Islam berhasil menaklukkan tanah subur di Irak. Umar berpendapat tidak maslahat kalau hak 4/5 harta rampasan itu dibagi habis di kalangan pasukan. Beliau berpendapat lebih banyak maslahatnya bila tanah rampasan itu tidak dibagikan untuk pasukan, tetapi dibiarkan digarap orang yang memiliki tanah itu, namun sebagian hasilnya dipungut untuk kepentingan umat, termasuk untuk keperluan perang.
Dalam contoh tersebut Umar menetapkan hukum yang berbeda dengan apa yang berlaku pada masa Nabi dan khalifah Abu Bakar berdasarkan pertimbangan maslahat. Tindakan Umar ini banyak menjelaskan bahwa pemahaman Umar atas ayat Al-Qur’an berbeda dengan apa yang dipahami Nabi karena kondisi dalam kedua masa itu telah berbeda.
Pada masa Nabi, azan memberi tahu masuk waktu Jumat dilakukan satu kali, yaitu setelah khatib naik mimbar. Hal ini merupakan pemahaman terhadap ayat 9 surat al-Jumu‘ah (62) yang berbunyi:
Hai orang-orang yang beriman, bila kamu dipanggil untuk me- lakukan shalat Jumat, segeralah mendatanginya dan tinggalkan segala bentuk jual beli.
Azan satu kali itu di masa Nabi telah cukup untuk memberi tahu orang Islam untuk menghadiri shalat Jumat. Pada waktu
‘Utsman ibn ‘Affan menjadi khalifah, umat Islam semakin banyak dan wilayahnya semakin luas. Kalau azan hanya satu kali saja, pemberitahuan belum tentu akan merata ke seluruh umat di sekitar itu. Karenanya, ‘Utsman menetapkan azan shalat Jumat menjadi dua kali. Hal ini dijelaskan dalam sebuah atsar dari Su‘eb bin Jazid menurut riwayat Bukhari, Nasa‘i dan Abu Daud:
Adalah pada mulanya azan Jumat itu bila khatib telah duduk di atas mimbar pada masa Rasul Allah, Abu Bakar dan masa
‘Umar. Pada masa ‘Utsman dan telah banyak orang, ditambah azan itu menjadi tiga kali (satu kali terakhir adalah ikamah)
3. Persoalan ketiga adalah mengenai pemahaman terhadap dua ayat yang terpisah. Ayat Al-Qur’an menetapkan hukum untuk setiap kejadian dengan hukum tertentu secara terpisah. Untuk penerapan ayat tersebut, Nabi telah memberikan penjelasan, sehingga hukum itu dapat dilaksanakan menurut apa adanya. Umpamanya hak kewarisan saudara-saudara dijelaskan Allah dalam surat an-Nisa’/4 ayat 12 untuk saudara seibu; ayat 176 untuk saudara-saudara kandung atau seayah. Dalam surat an-Nisa’/4 ayat 11 dijelaskan mengenai hak kewarisan ayah, yaitu 1/6 bagian, bila pewaris ada meninggalkan anak. Ayat
176 surat an-Nisa’ itu mengandung arti bahwa bila ada ayah, saudara-saudara tidak menerima hak kewarisan, karena ayah lebih utama dari saudara.
Tentang kakek, tidak secara jelas disebutkan dalam Al-Qur’an, namun dalam pengertian umum orang Arab, kakek adalah se- bagai pengganti ayah bila tidak ada ayah. Dalam hal ini Nabi memberikan penjelasan dalam hadis dari Amran ibn Husein enurut riwayat Ahmad, Abu Daud, dan at-Tarmizi:
Sesungguhnya seseorang datang kepada Nabi dan berkata, “Anak dari anak saya meninggal, bagaimana harta warisannya untuk saya?” Nabi menjawab, “Untuknya seperenam.”
Kasus bertemunya saudara-saudara dengan kakek dalam satu kelompok ahli waris, mungkin belum terjadi pada masa Nabi hingga tidak ada penjelasannya dari Nabi. Pada waktu peme- rintahan Abu Bakar, kasus ini muncul di hadapan beliau. Dengan pertimbangan bahwa kakek menempati kedudukan ayah bila ayah tidak ada dan saudara tidak berhak mewaris bersama ayah, maka dalam kasus ini Abu Bakar berpendapat dan memfatwakan bahwa saudara-saudara tidak berhak menerima warisan bila ber- sama dengan kakek. Sahabat lain, di antaranya ‘Umar bin Khat- tab dengan pertimbangan bahwa kewarisan saudara dijelaskan dalam Qur’an sedangkan kakek tidak dijelaskan dalam Qur’an, menetapkan fatwanya bahwa saudara-saudara dapat mewaris dan berbagi bersama kakek.
Ayat 12 surat an-Nisa’ (4) menjelaskan saudara seibu sebagai ahli waris dzul furûdh, yaitu 1/6 bila sendirian dan 1/3 bila bersama- sama; sedangkan saudara laki-laki kandung atau seayah tidak dijelaskan furudh-Nya dalam surat an-Nisa’ ayat 176. Kedudu- kannya sebagai “ahli waris sisa harta” (‘ashâbah) dijelaskan Nabi dalam hadis dari Ibnu Abbas melalui riwayat muttafaq ‘alaih:
Dalam hal ini ‘Umar menetapkan bahwa saudara kandung ber- gabung dengan saudara seibu dalam mengambil hak 1/3 harta, yaitu hak saudara seibu.
Hak istri atas peninggalan mendiang suaminya dijelaskan secara pasti dalam Al-Qur’an, yaitu pada surat an-Nisa’ (4): 12, yaitu
1/4 bagian bila suami tidak meninggalkan anak dan 1/8 bila suami meninggalkan anak. Istri ini tidak mendapat hak apa-apa bila sebelum suami mati si istri telah dicerai lebih dahulu.
Tentang bagaimana kalau suami menceraikan istrinya dalam keadaan sakit keras dan dapat diperkirakan maksud mencerai- kan itu adalah untuk menghindarkan istri dari hak kewarisan. Dalam hal ini, timbul perbedaan pendapat di kalangan sahabat karena khusus untuk ini tidak ada penjelasan hukum sebelum- nya. ‘Utsman ibn ‘Affan berpendapat dan menetapkan fatwanya bahwa si istri berhak atas warisan suaminya, sebagaimana terse- but dalam riwayat bahwa Abdurrahman ibn Auf menceraikan istrinya ketika ia sedang sakit. ‘Utsman memberikan warisan un- tuk istrinya yang tertalak itu menurut kadar yang berlaku.
‘Idah wanita yang diceraikan suaminya dalam keadaan hamil dijelaskan Allah dalam surat at-Thalaq (65): 4, yaitu sampai melahirkan anak:
Tetapi tidak ada penjelasan yang pasti dari Allah maupun dari Nabi tentang ‘idah wanita yang kematian suami dalam keadaan hamil; apakah menggunakan ayat 4 surat at-Thalaq meskipun be- lum 4 bulan 10 hari sebagaimana yang dikehendaki ayat 234 surat al-Baqarah (2). Atau menggunakan ayat 234 surat al-Baqarah (2) meskipun anaknya belum lahir sebagaimana yang dituntut surat al-Thalaq (65): 4. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan sahabat. ‘Ali ibn Abi Thalib berpendapat dan berfatwa bahwa ‘idah wanita itu adalah masa yang terpanjang di antara dua masa itu. Dasar pertimbangannya adalah kehati-hatian dalam mengamalkan dua ayat tersebut di atas. Ulama lain di antaranya
‘Umar Ibn Khattab berpendapat bahwa ‘idahnya tetap melahirkan anak, meskipun belum sampai masanya 4 bulan 10 hari.
Demikianlah sekadar contoh pemikiran sahabat tentang hukum, baik dalam hal tidak ada dalil tertulis yang menjelaskannya, atau keadaan sudah berubah yang menghendaki perubahan pemikiran; atau dalam bentuk ketiga yaitu penerapan ayat terhadap dua kejadian yang bergabung. Pemikiran ini menghasilkan pendapat berbeda yang pada akhirnya menghasilkan pihak-pihak yang berbeda, masing- masing diikuti para pengikutnya. Perbedaan ini pada umumnya disebabkan oleh karena tidak adanya petunjuk yang pasti dari Al- Qur’an dan tidak ada pula penjelasan dari Nabi.
Di antara perbedaan pendapat yang berkembang di kalangan sahabat dalam memahami hukum Allah, terkadang terdapat kesamaan pendapat di kalangan mereka. Kesamaan pendapat ini di kemudian hari diistilahkan dengan “ijma’”. Kesamaan ini mungkin munculnya dari pemahaman dan penerimaan bersama atas keterangan Nabi yang kurang kuat sandarannya. Bentuk ini disebut kesamaan atau ijma’ yang menyandarkan diri kepada nash atau petunjuk yang ada. Umpamanya dalam menetapkan hak kewarisan nenek atas harta warisan sebesar1/6 bagian. Memang untuk ini ada petunjuk dari Nabi yang berasal dari Qubeisah Ibn Zueb menurut riwayat ashhâb al-khamsah selain Nasa‘i dan disahkan Tarmizi.
Jelas hadis itu kurang kuat sandarannya karena Abu Bakar sendiri sampai tidak mengetahui hadis itu. Namun setelah diterima hadis itu oleh Abu Bakar dengan kesaksian dua orang sahabat yaitu Mughirah ibn Syu’bah dan Muhammad ibn Maslamah, Abu Bakar menetapkan hak nenek sebesar 1/6. Apa yang telah disampaikan Abu Bakar itu ternyata diterima (disetujui) semua pihak sehingga menjadi ijmâ’ shahabat.
Bentuk kesamaan pendapat kedua adalah kesamaan yang me- mang sama sekali tidak menyandarkan diri kepada dalil mana pun, ia semata-mata hasil pendapat yang kemudian didukung pendapat- pendapat yang lain. Umpamanya wanita hamil dari perbuatan zina dibolehkan kawin menurut ijma’ sahabat. Kasus ini muncul di masa Umar. Ia menetapkan bolehnya wanita tersebut kawin di depan para sahabat lainnya, dan ternyata tidak ada yang menolaknya. Hal ini berarti ijmâ’ sukûtî di kalangan sahabat.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pada masa sahabat, sumber yang digunakan dalam merumuskan fiqh adalah Al-Qur’an, penjelasan Nabi yang disebut sunah, dan ijtihad yang terbatas pada qiyas serta ijmâ’ shahabat. Bila pada masa Nabi proses penetapan fiqh disebut pembinaan fiqh, maka pada masa sahabat disebut pe- riode pengembangan fiqh.
3. Fiqh pada Masa Imam Mujtahid
Bila pada masa Nabi sumber fiqh adalah Al-Qur’an, maka pada masa sahabat dikembangkan dengan dijadikannya petunjuk Nabi dan ijtihad sebagai sumber penetapan fiqh. Sesudah masa sahabat, penetapan fiqh dengan menggunakan sunah dan ijtihad ini sudah begitu berkembang dan meluas. Dalam kadar penerimaan dua sum- ber itu terlihat kecenderungan mengarah pada dua bentuk.
Pertama, dalam menetapkan hasil ijtihad lebih banyak menggunakan hadis Nabi dibandingkan dengan menggunakan ijtihad, meskipun keduanya tetap dijadikan sumber. Kelompok yang menggunakan cara ini biasa disebut “Ahl al-Hadîs”. Kelompok ini lebih banyak tinggal di wilayah Hijaz, khususnya Madinah.
Kedua, dalam menetapkan fiqh lebih banyak menggunakan sumber ra’yu atau ijtihad ketimbang hadis, meskipun hadis juga banyak digunakan. Kelompok ini disebut “Ahl al-Ra’yi”. Kelompok
ini lebih banyak mengambil tempat di wilayah Irak, khususnya
Kufah dan Basrah.
Munculnya dua kecenderungan ini dapat dipahami, terutama karena adanya dua latar belakang historis dan sosial budaya yang berbeda. Ahl al-Hadîs muncul di wilayah Hijaz adalah karena Hijaz khususnya Madinah dan Mekah adalah wilayah tempat Nabi bermukim dalam mengembangkan Islam. Dengan demikian, orang-orang Islam di wilayah ini lebih banyak mengetahui tentang kehidupan Nabi dan dengan sendirinya banyak mendengar dan mengetahui hadis dari Nabi. Sebaliknya, Irak atau Kufah, karena jauhnya lokasi dari wilayah kehidupan Nabi, maka pengetahuan mereka akan hadis Nabi tidak sebanyak yang diperoleh orang Islam di Hijaz. Di samping itu, kehidupan sosial dan muamalat begitu luas serta kompleks karena lokasinya yang lebih maju dari Hijaz. Untuk mengatasi itu semua mereka lebih banyak dan lebih sering menggunakan ijtihad dalam penetapan fiqh. ljtihad itu pun tidak lagi terbatas pada penggunaan metode qiyâs sebagaimana berlaku pada masa sebelumnya. Kedua aliran ini sama-sama berkembang dengan pesat. Masing-masing melahirkan madrasah-madrasah fiqh dan menghasilkan para ahli fiqh.
Kelompok “Ahl al-Hadîs” menonjolkan dua madrasah, yaitu Madrasah Madinah dan Madrasah Mekah. Dari Madrasah Madinah muncul para fuqaha terkemuka, seperti: Aisyah ummul Mukminin; Abdullah ibn ‘Umar ibn Khattab; Abu Hurairah; Said ibn Musayyab; Urwah ibn Zuber; Abu Bakar ibn Abd al-Rahman; Ali ibn Husein; Ubaidullah ibn Abdullah; Salim ibn Abdullah; Sulaiman ibn Yassar, Qasim ibn Ahmad; Nafi’ Maula ibn ‘Umar; Muhammad ibn Salim; Abu Ja’far; Abu Zinad; Yahya ibn Zaid al- Anshari; Rabi‘ah ibn ‘Abdurrahman.
Madrasah Mekah menghasilkan fuqaha sebagai berikut: Ab- dullah ibn Abbas; Mujahid; Ikrimah, Atha’ ibn Abi Rabah; dan Abu Zubeir. Hasil dari tempaan Madrasah Madinah dan Mekah ini muncul seorang mujtahid besar ahli hadis, yaitu Malik bin Anas yang ke- mudian diikuti kelompok besar yang disebut Mazhab Malikiyyah.
Ahl al-Ra’yi menampilkan dua Madrasah besar, yaitu: Madrasah Kufah dan Madrasah Basrah di wilayah Irak. Dari Madrasah Kufah muncul mujtahid ahl al-ra’yi, seperti: ‘Alqamah ibn Qeis; Masruk bin Ajda’; ‘Ubaidah ibnu ‘Umar; Aswad ibn Yazid al-Nakha‘i; Ibrahim al-Nakha‘i, Said ibn Zubeir; ‘Amir al-Sya’bi. Sedangkan Madrasah Basrah menghasilkan mujtahid yang terbesarnya, yaitu: Anas ibn Malik. Dari para fuqaha Madrasah Irak ini muncul mujtahid besar ahl al-ra’yi yaitu Abu Hanifah dengan banyak pengikutnya, yang disebut ulama Mazhab Hanafiyyah.
Kemudian, pada pertengahan abad kedua Hijriah tampil seseorang mujtahid besar yang pernah menggali pengetahuan dan pengalaman dari Madrasah Hijaz dan juga dari Madrasah Irak, yaitu Imam Abu
‘Abdillah Muhammad ibn Idris al-Syafi‘i.
Iman Syafi‘i mencoba mengambil jalan tengah antara pendapat kelompok ahl al-hadîs dan ahl al-ra’yi. Beliau menggunakan lebih banyak sumber ra’yu, tetapi tidak seluas yang digunakan kelompok ahl al-ra’yi, dan dalam waktu yang sama banyak pula menggunakan sumber hadîs, tetapi tidak seluas yang digunakan ahl al-hadîs. Ia mengambil sikap kompromi dan pengembangan antara aliran ra’yu dan aliran hadîs. Metode Imam Syafi‘i ini berkembang dengan pesat dan mempunyai pengikut yang banyak, baik di Irak maupun di Mesir, yang kemudian disebut Mazhab Syafi‘iyyah.
Di antara pengikut terkemuka Iman Syafi‘i yang kemudian lebih mewarnai pendapatnya dengan hadis ialah Ahmad bin Hanbal, yang kemudian mempunyai banyak pengikut, yang disebut Mazhab Hanabilah.
Di samping itu, tampil pula mujtahid yang dalam pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an lebih banyak berpedoman kepada lahir lafaz dan menghindarkan diri dari membawa pemahamannya keluar (di balik) lahir lafaz. Tokoh yang masyhur pengembang cara pemikiran ini adalah Daud bin ‘Ali yang juga mempunyai banyak pengikut, dan berkembang sampai waktu ini. Aliran ini kemudian disebut Mazhab Zhahiriyyah.
Kelima aliran tersebut berada dalam lingkup aliran kalam Ahl al-sunah wa al-Jama’ah. Aliran fiqh yang juga muncul dalam masa ini
adalah Mazhab Syi‘ah yang dapat bertahan sampai waktu ini. Mazhab terbesar dari kelompok ini, adalah Mazhab Syi‘ah Imamiyah.
Setiap aliran fiqh tersebut mengembangkan paham dan metode pemikirannya yang kemudian tersebar luas melalui murid-murid mujtahid dan di kalangan para pengikutnya. Suatu hal yang patut dipahami dan digarisbawahi bahwa mereka itu berbeda pandangan (pendapat) hanya dalam masalah furû’ (cabang, bukan pokok); dan mereka tidak berbeda dalam masalah pokok/inti agama yang telah diterangkan Allah dalam Al-Qur’an secara jelas dan pasti.
Periode ini ditandai oleh beberapa kegiatan ijtihad yang meng- hasilkan fiqh dalam bentuknya yang mengagumkan.
Pertama, kegiatan menetapkan metode berpikir dalam memahami sumber hukum. Untuk maksud ini para ulama menyusun kaidah- kaidah yang dapat mengarahkan mereka dalam usaha mengistinbath- kan hukum dari dalil yang sudah ada. Kaidah ini kemudian disebut Ushul Fiqh. Dengan kaidah ushul ini secara sistematis ulama mujtahid dapat memahami maksud Allah yang tertuang dalam ayat-ayat hukum. Perbedaan dalam penentuan kaidah ini pada dasarnya menentukan perbedaan ulama dalam formulasi fiqh. Ushul fiqh yang telah tersusun dalam bentuk ilmu yang sistematis muncul dalam karya Imam Syafi‘i yang bermanaAl-Risâlah.
Kedua, kegiatan penetapan istilah-istilah hukum yang digunakan dalam fiqh. Pada mulanya umat Islam dengan taat melaksanakan perintah-perintah Allah dalam Qur’an atau suruhan Nabi yang tersebut dalam sunah-Nya, meskipun belum mengenal istilah-istilah hukum. Demikian pula ketaatan mereka dalam menjauhi semua yang dilarang syara’.
Untuk memudahkan umat Islam dalam memahami perintah dan larangan syara’, ulama mujtahid mencoba memberi istilah ter- hadap setiap hukum syara’ yang berkenaan dengan tingkah laku mujtahid. Pada waktu ini dipisahkan antara perbuatan yang wajib, sunah, makruh, haram, dan mubah. Dikembangkan pula pengertian tentang syarat, rukun, sebab, mani’, shah, batal, halal, dan haram. Dengan demikian, setiap umat dapat menempatkan tingkah lakunya dalam hubungannya dengan kepatuhan terhadap hukum syara’ kepada istilah-istilah tersebut.
Ketiga, menyusun kitab fiqh secara sistematis, yang tersusun dalam bab dan pasal; bagian dan subbagian yang mencakup semua masalah hukum, baik yang berkenaan dalam hubungannya dengan Allah, maupun dalam hubungannya dengan manusia dan alam ling- kungannya; masing-masing sesuai dengan metode dan cara berpikir imam mujtahidnya.
4. Fiqh dalam Periode Taklid
Akhir dari masa gemilang ijtihad pada periode imam mujtahid ditandai dengan telah tersusunnya secara rapi dan sistematis kitab- kitab fiqh sesuai dengan aliran berpikir mazhab masing-masing. Dari satu segi, pembukuan fiqh ini ada dampak positifnya yaitu kemudahan bagi umat Islam dalam beramal, karena semua masalah agama telah dapat mereka temukan jawabannya dalam kitab fiqh yang ditulis para mujtahid sebelumnya. Tetapi dari segi lain, terdapat dampak negatifnya yaitu terhentinya daya ijtihad, karena orang tidak merasa perlu lagi berpikir tentang hukum, sebab semuanya sudah tersedia jawabannya.
Kegiatan ijtihad pada masa ini terbatas pada usaha pengembangan, pensyarahan dan perincian kitab fiqh dari imam mujtahid yang ada (terdahulu), dan tidak muncul lagi pendapat atau pemikiran baru.
Kitab fiqh yang dihasilkan para mujtahid terdahulu diteruskan dan dilanjutkan oleh pengikut mazhab kepada generasi sesudahnya, tanpa ada maksud untuk memikirkan atau mengkajinya kembali secara kritis dan kreatif meskipun situasi dan kondisi umat yang akan menjalankannya sudah sangat jauh berbeda dengan kondisi di saat fiqh itu dirumuskan oleh imam mujtahid. Karena itu sudah mulai banyak ketentuan-ketentuan fiqh lama itu yang tidak dapat diikuti untuk diterapkan secara praktis. Selain itu, sangat banyak masalah fiqh yang tidak dapat dipecahkan hanya dengan semata membolak-balik kitab-kitab fiqh yang ada itu. Jika pada masa imam mujtahid, fiqh yang disusunnya itu berjalan secara praktis dengan daya aktualitas yang tinggi, maka pada masa berikutnya, fiqh dalam bidang-bidang tertentu sudah kehilangan daya aktualitasnya
5. Reformulasi Fiqh Islam
Dalam satu segi, umat Islam menginginkan kembali kehidupannya diatur oleh hukum Allah. Tetapi dari segi lain, kitab-kitab fiqh yang ada pada waktu ini-yang merupakan formulasi resmi dari hukum syara’-belum seluruhnya memenuhi keinginan umat Islam, oleh karena kondisi sekarang yang sudah jauh berbeda dengan kondisi ulama mujtahid ketika mereka memformulasikan kitab fiqh itu.
Keadaan demikian itu mendorong para pemikir muslim untuk menempuh usaha reaktualisasi hukum yang dapat menghasilkan formulasi fiqh yang baru, sehingga dapat menuntun kehidupan keagamaan dan keduniaan umat Islam, sesuai dengan persoalan zamannya.
C. Pengertian dan Ruang Lingkup Ushul Fiqh
1. Latar Belakang
Pada waktu Nabi Muhammad SAW. masih hidup, segala persoalan hukum yang timbul langsung ditanyakan kepada beliau. Beliau mem- berikan jawaban hukum dengan menyebutkan ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam keadaan tertentu yang tidak ditemukan jawabannya dalam Al-Qur’an, beliau memberikan jawaban melalui penetapan beliau yang disebut hadis atau sunah. Al-Qur’an dan penjelasannya dalam bentuk hadis disebut “Sumber Pokok Hukum Islam”.
Al-Qur’an turun dalam bahasa Arab. Demikian pula hadis yang disampaikan Nabi, juga berbahasa Arab. Para sahabat Nabi mempunyai pengetahuan yang luas tentang bahasa Arab itu sebagai bahasa ibunya. Mereka mengetahui secara baik arti setiap lafaz-nya dan maksud dari setiap ungkapannya. Pengalaman mereka dalam menyertai kehidupan Nabi dan pengetahuan mereka tentang sebab-sebab serta latar belakang turunnya ayat-ayat hukum memungkinkan mereka mengetahui rahasia dari setiap hukum yang ditetapkan Allah. Karenanya, mereka tidak merasa memerlukan sesuatu di balik itu dalam usaha mereka memformulasikan hukum dari sumbernya yang telah ada, sebagaimana mereka tidak memerlukan kaidah bahasa dalam memahami Al-Qur’an dan hadis Nabi yang berbahasa Arab itu.
Bila para sahabat Nabi menemukan kejadian yang timbul dalam kehidupan mereka dan memerlukan ketentuan hukumnya, mereka men- cari jawabannya dalam Al-Qur’an. Bila tidak menemukan jawabannya secara harfiah dalam Al-Qur’an, mereka mencoba mencarinya dalam koleksi hadis Nabi. Bila dalam hadis Nabi tidak juga mereka temukan jawabannya, mereka menggunakan daya nalar yang dinamakan ijtihad. Dalam berijtihad itu mereka mencari titik kesamaan dari suatu kejadian yang dihadapinya itu dengan apa-apa yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan hadis. Mereka selalu mendasarkan pertimbangan pada usaha “memelihara kemaslahatan umat” yang menjadi dasar dalam penetapan hukum syara’.
Dengan cara seperti itulah Muaz ibn Jabal memberikan jawaban kepada Nabi dalam dialog di antara keduanya sewaktu Muaz diutus Nabi ke Yaman untuk menduduki jabatan qadhi.
Nabi : “Bagaimana cara Anda menetapkan hukum bila kepada Anda dihadapkan perkara yang memerlukan ketetapan hukum?”
Muaz : “Aku menetapkan hukum berdasarkan Kitab Allah.”
Nabi : “Bila Anda tidak menemukan jawabannya dalam Kitab
Allah?”
Muaz : “Aku menetapkan hukum dengan sunah Nabi.”
Nabi : “Bila dalam sunah, Anda juga tidak menemukannya?”
Muaz : “Aku melakukan ijtihad dan aku tidak akan gegabah da- lam ijtihadku.”
Jawaban Muaz dengan urut-urut seperti itu mendapat pe- ngakuan dari Nabi Muhammad SAW..
Allah SWT. dalam surat an-Nisa’(4): 59 berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, patuhlah kamu kepada Allah dan patuhlah kamu kepada Rasul dan orang-orang yang
memimpin urusanmu. Bila kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul.
Suruhan Allah dalam ayat ini untuk menaati Allah dan Rasul-Nya berarti perintah untuk mengikuti apa-apa yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi. Suruhan untuk menaati ulil amri berarti perintah untuk mengikuti kesepakatan para ulama mujtahid dalam menetapkan hukum, karena mereka adalah orang-orang yang mengurus kepentingan umat Islam dalam bidang hukum. Suruhan untuk memulangkan hal dan urusan yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasul berarti perintah untuk menggunakan qiyâs (daya nalar) dalam hal-hal yang tidak ditemukan jawabannya dalam Al-Qur’an, hadis, dan tidak ada pula ijmâ’ atau kesepakatan ulama mujtahid. Dengan demikian, dalil hukum syara’ yang disepakati di kalangan ulama jumhur adalah empat yaitu Al-Qur’an, hadis atau sunah, Ijma’, dan Qiyâs.
Setelah masa gemilang itu berlalu, datanglah suatu masa di mana umat Islam sudah bercampur baur antara orang-orang yang berbahasa Arab dan memahaminya secara baik dengan orang-orang yang tidak berbahasa Arab atau tidak memahaminya secara baik. Waktu itu bahasa Arab menjadi sesuatu yang harus dipelajari untuk memahami hukum- hukum Allah. Karenanya para ahli berusaha menyusun kaidah-kaidah untuk menjaga seseorang dari kesalahan dalam memahami Al-Qur’an dan hadis yang keduanya adalah sumber pokok ajaran Islam.
Kemudian para ulama mujtahid merasa perlu menetapkan dan menyusun kaidah atau aturan permainan yang dijadikan pedoman dalam merumuskan hukum dari sumber-sumbernya dengan memer- hatikan asas dan kaidah yang ditetapkan ahli bahasa yang memahami dan menggunakan bahasa Arab secara baik. Di samping itu, juga memerhatikan jiwa syariah dan tujuan Allah menempatkan mukalaf dalam tanggung jawab hukum. Kaidah dalam memahami hukum Allah dari sumbernya itulah yang disebut ushul fiqh.
2. Pengertian Ushul Fiqh
Kata “ushul fiqh” adalah kata ganda yang terdiri dari kata “ushul”
dan kata “fiqh”. Kata “fiqh” secara etimologi berarti “paham yang
mendalam”. Kata ini muncul sebanyak 20 kali dalam Al-Qur’an dengan arti paham itu, umpamanya dalam surat al-Kahfi (18): 93:
“dalil syara’” itu ada aturannya dalam bentuk kaidah, umpamanya: “Setiap perintah itu menunjukkan wajib”. Pengetahuan tentang kaidah- kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’ tersebut, itulah yang disebut “Ilmu Ushul Fiqh”.
Dari penjelasan sederhana di atas dapat diketahui perbedaan ushul fiqh dari fiqh. Ushul fiqh adalah pedoman atau aturan-aturan yang membatasi dan menjelaskan cara-cara yang harus diikuti seorang fakih dalam usahanya menggali dan mengeluarkan hukum syara’ dari dalilnya; sedangkan fiqh ialah hukum-hukum syara’ yang telah digali dan dirumuskan dari dalil-dalil menurut aturan yang sudah ditentukan itu.
Adapun perbedaan antara “ushul fiqh” dengan “kaidah fiqhiyah” terletak pada lingkup bahasannya. Kaidah fiqhiyah berada dalam lingkup bahasan fiqh, bukan dalam lingkup bahasan ushul fiqh. Usul fiqh menjelaskan ketentuan atau aturan yang harus diikuti seorang mujtahid untuk menghindarkan dirinya dari kesalahan dalam usahanya merumuskan hukum syara’ dari dalilnya. Adapun kaidah fiqhiyah adalah kumpulan hukum-hukum kesamaan yang setiap hal dirujukkan kepada satu pola yang sama; seperti kaidah khiyâr, atau kaidah-kaidah fasakh secara umum.
3. Perkembangan Ushul Fiqh
Ilmu ushul fiqh bersamaan munculnya dengan ilmu fiqh meskipun dalam penyusunannya ilmu fiqh dilakukan lebih dahulu dari ushul fiqh. Sebenarnya keberadaan fiqh harus didahului oleh ushul fiqh, karena ushul fiqh itu adalah ketentuan atau kaidah yang harus diikuti mujtahid pada waktu menghasilkan fiqhnya. Namun dalam perumusannya ushul fiqh datang belakangan.
Perumusan fiqh sebenarnya sudah dimulai langsung sesudah Nabi wafat, yaitu pada periode sahabat. Pemikiran dalam ushul fiqh telah ada pada waktu perumusan fiqh itu. Para sahabat-di antaranya Umar Ibn Khattab, Ibnu Mas‘ud, ‘Ali ibn Abi Thalib umpamanya-pada waktu mengemukakan pendapatnya tentang hukum, sebenarnya sudah menggunakan aturan atau pedoman dalam merumuskan hukum, meskipun secara jelas mereka tidak mengemukakan demikian.
Sewaktu ‘Ali ibn Abi Thalib menetapkan hukuman cambuk sebanyak 80 kali terhadap peminum khamar, beliau berkata, “Bila ia minum ia akan mabuk dan bila ia mabuk, ia akan menuduh orang berbuat zina secara tidak benar; maka kepadanya diberikan sanksi tuduhan berbuat zina.” Dari pernyataan ‘Ali itu, akan diketahui bahwa ‘Ali rupanya menggunakan kaidah menutup pintu kejahatan yang akan timbul atau “sad al-dzari‘ah”.
‘Abdullah ibn Mas’ud sewaktu mengemukakan pendapatnya tentang wanita hamil yang kematian suami ‘idahnya adalah melahirkan anak, mengemukakan argumennya dengan Firman Allah dalam surat at-Thalaq (85) ayat 4, meskipun juga ada Firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) yang menjelaskan bahwa istri yang kematian suami
‘idahnya empat bulan sepuluh hari. Dalam menetapkan pendapat ini beliau mengatakan bahwa ayat 4 surat at-Thalaq datang sesudah ayat
234 surat al-Baqarah (2).
Dari tindakan Ibnu Mas’ud tersebut kelihatan bahwa dalam me- netapkan fatwanya itu ia menggunakan kaidah ushul, tentang nasakh- mansûkh, yaitu bahwa dalil yang datang kemudian menasakhkan dalil yang datang terdahulu. Dari apa yang dilakukan lbnu Mas‘ud ini dan juga dari apa yang dilakukan ‘Ali ibn Abi Thalib dalam contoh di atas kita dapat memahami bahwa para sahabat dalam me- lakukan ijtihad mengikuti suatu pedoman tertentu meskipun tidak dirumuskan secara jelas.
Pada periode tabi‘în lapangan istinbath atau perumusan hukum semakin meluas karena begitu banyaknya peristiwa hukum yang bermunculan. Dalam masa itu beberapa orang ulama tabi‘in tampil sebagai pemberi fatwa hukum terhadap kejadian yang muncul; umpamanya Sa‘id ibn Musayyab di Madinah dan lbrahim al-Nakha‘i di lrak. Masing-masing ulama ini mengetahui secara baik ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an dan mempunyai koleksi yang lengkap tentang hadis Nabi. Jika mereka tidak menemukan jawaban hukum dalam Al-Qur’an atau hadis, sebagian dari mereka mengikuti metode maslahat dan sebagian mengikuti metode qiyas. Usaha istinbath hukum yang dilakukan Ibrahim al-Nakha‘i dan ulama Irak lainnya mengarah kepada mengeluarkan ‘Illat hukum
dari nash dan menerapkannya terhadap peristiwa yang lama yang baru bermunculan kemudian hari.
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa metode yang digunakan dalam merumuskan hukum syara’ semakin memperlihatkan ben- tuknya. Perbedaan metode yang digunakan menyebabkan timbulnya perbedaan aliran dalam fiqh.
Abu Hanifah dalam usaha merumuskan fiqhnya menggunakan metode tersendiri. Ia menetapkan Al-Qur’an sebagai sumber pokok, kemudian hadis Nabi, berikutnya fatwa sahabat. Ia mengambil hukum-hukum yang telah disepakati para sahabat. Dalam hal-hal yang ulama sahabat berbeda pendapat, ia memilih satu di antaranya yang dianggap lebih kuat. Abu Hanifah tidak mengambil pendapat ulama tabi‘in sebagai dalil dengan pertimbangan bahwa ulama tabi‘in itu berada dalam satu ranking dengannya. Metodenya dalam menggunakan qiyâs dan istihsân terlihat nyata sekali.
Imam Malik menempuh metode ushuli yang lebih jelas meng- gunakan tradisi yang hidup di kalangan penduduk Madinah, se- bagaimana dinyatakan dalam buku dan risalahnya. Terlihat usahanya menolak hadis yang dihubungkan kepada Nabi karena hadis itu menyalahi nash Al-Qur’an. Imam Malik lebih banyak menggunakan hadis ketimbang Abu Hanifah; mungkin karena begitu banyaknya hadis yang dia temukan. Dalam penggunaan qiyâs, ia memberikan persyaratan yang begitu berat. Tetapi di balik itu, Imam Malik meng- gunakan maslahat mursalah yang tidak digunakan ulama jumhur; sebagai imbangan dari istihsân yang digunakan Abu Hanifah. Metode yang digunakan Imam Malik dalam merumuskan hukum syara’ merupakan pantulan dari aliran Hijaz, sebagaimana metode yang digunakan Abu Hanifah merupakan pantulan dari aliran Irak.
Setelah Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, tampil Imam Syafi‘i. Ia menemukan dalam masanya perbendaharaan fiqh yang sudah berkembang semenjak periode sahabat, tabi‘in, dan imam-imam yang mendahuluinya. Ia menemukan perbincangan tentang fiqh begitu meriah yang diwarnai diskusi dan polemik yang menarik di antara tokoh-tokoh yang berbeda pendapat. Perdebatan terbuka berlangsung di antara kubu Madinah dan kubu Irak. Imam Syafi‘i menggali
pengalaman dalam berbagai diskusi di tengah pendapat yang berbeda itu. Ia memiliki pengetahuan tentang fiqh Maliki yang diterimanya langsung dari Imam Malik. Ia juga sempat menimba pengetahuan dan pengalaman dari Muhammad ibn Hasan al-Syaibani (murid Abu Hanifah) sewaktu ia berada di Irak. Selain itu, ia pun mendalami fiqh ulama Mekah tempat ia lahir dan berkembang. Modal pengalaman dan pengetahuannya yang luas dan mendalam itu, memberi petunjuk kepada Imam Syafi‘i untuk meletakkan pedoman dan neraca berpikir yang menjelaskan langkah-langkah yang harus dilakukan mujtahid dalam merumuskan hukum dari dalilnya. Metode berpikir yang dirumuskan Imam Syafi‘i itulah yang kemudian disebut “ushul fiqh”.
Imam Syafi‘i pantas disebut sebagai orang pertama yang me- nyusun sistem metodologi berpikir tentang hukum Islam, yang kemudian populer dengan sebutan ushul fiqh; sehingga tidak salah ucapan seseorang orientalis Inggris, N. J. Coulson, yang mengatakan bahwa Imam Syafi‘i adalah arsitek ilmu fiqh. Hal ini bukanlah berarti beliau yang merintis dan mengembangkan ilmu tersebut. Jauh sebelumnya, mulai dari para sahabat, tabi‘in, bahkan di kalangan imam mujtahid belakangan seperti Abu Hanifah, Imam Malik dan juga di kalangan ulama Syi‘ah seperti Muhammad al-Baqir dan Ja’far al-Shadiq sudah menemukan dan menggunakan metodologi dalam perumusan fiqh. Tetapi mereka belum menyusun ilmu itu secara sistematis sehingga dapat disebut sebagai ilmu yang berdiri sendiri.
Kemampuan Imam Syafi‘i dalam melahirkan ilmu ushul fiqh ini ditopang beberapa faktor yang ada pada diri dan pengalamannya. Pengalamannya yang lama di pedesaan Arab memungkinkannya me- nimba pengetahuan tentang bahasa Arab bahkan ia menjadi salah seorang ahli Lisân al-‘Arab. Dengan ilmu ini ia memiliki kemampuan yang tinggi dalam merumuskan kaidah untuk mengeluarkan hukum syara’ dari teks Al-Qur’an dan hadis yang keduanya berbahasa Arab orisinal.
Selama keberadaannya di Mekah, Imam Syafi‘i mewarisi ilmu Al-Qur’an dari ‘Abdullah ibn ‘Abbas yang memungkinkannya untuk mengenal nasikh-mansûkh dalam Al-Qur’an. Di samping itu, ia berkesempatan pula mendalami hadis Nabi dari ulama hadis yang
memungkinkannya mengenal kedudukan sunah bagi Al-Qur’an sehingga beliau dapat menyelesaikan pendapat dan anggapan adanya pertentangan antara Al-Qur’an dengan Hadis Nabi. Penguasaannya yang baik terhadap fiqh aliran tradisionalis (Hijaz) dan fiqh aliran rasionalis (Irak) merupakan modal dasar penyusunan kaidah-kaidah dalam menggunakan qiyâs. Dengan segenap kemampuannya itu, Imam Syafi‘i berhasil menyusun metodologi yang sistematis dalam merumuskan hukum syara’.
Sepeninggal Imam Syafi‘i pembicaraan tentang ushul fiqh se- makin menarik, dan ushul fiqh itu sendiri semakin berkembang. Pada dasarnya ulama fiqh pengikut imam mujtahid yang datang kemudian mengikuti dasar-dasar yang sudah disusun Imam Syafi‘i. Dalam pengembangannya terlihat adanya perbedaan arah yang menyebabkan perbedaan dalam ushul fiqh.
Sebagian ulama yang kebanyakan pengikut Imam Syafi‘i mencoba mengembangkan ushul fiqh Syafi‘i dengan cara, antara lain: men- syarahkan, memerinci yang bersifat garis besar, mempercabangkan pokok pikiran Imam Syafi‘i, sehingga ushul fiqh Syafi‘iyyah menemukan bentuknya yang sempurna.
Sebagian ulama mengambil sebagian dari pokok-pokok pikiran Imam Syafi‘i itu dan tidak mengikutinya dalam bagian lain yang bersifat rincian. Sebagai ganti dari yang tidak diikutinya itu ditambahkannya hal-hal yang sudah menjadi dasar bagi pikiran imam mereka. Kelompok ulama Hanafiyah mengambil sebagian yang dasar-dasarnya diletakkan Imam Syafi‘i, kemudian mereka menambahkan pemikiran tentang istihsan dan ‘urf yang diambil dari imam mereka. Kelompok ulama Malikiyah, di samping mengikuti beberapa dasar yang diletakkan Imam Syafi‘i, mereka tidak mengikuti pendapat Syafi‘i yang menolak ijmâ’ ahli Madinah dan memasukkan tambahan berupa maslahat mursalah serta prinsip penetapan hukum berdasarkan sad al-dzarâ‘i.
Pada prinsipnya fuqaha mazhab yang empat tidak berbeda dengan dasar yang ditetapkan Imam Syafi‘i tentang penggunaan dalil yang empat, yaitu: Al-Qur’an, hadis, Ijma’ dan Qiyas, meskipun dalam kadar penggunaannya terdapat perbedaan. Di samping itu, masing-masing menggunakan dalil tambahan yang tidak digunakan ulama lainnya.
Meskipun kemudian sesudah meninggalnya imam-imam muj- tahid yang empat dinyatakan bahwa kegiatan ijtihad terhenti, namun sebenarnya yang terhenti adalah kegiatan ijtihad mutlaq sedangkan ijtihad terhadap ushul mazhab yang tertentu masih tetap berlangsung yang masing-masing mengarah kepada menguatnya ushul fiqh yang dirintis para imam pendahulunya.
Sesudah melembaganya mazhab-mazhab fiqh, maka arah pe- ngembangan ushul fiqh terlihat dalam dua bentuk yang berbeda.
Pertama, arah pemikiran murni, yaitu penyusunan kaidah ushul yang tidak terpengaruh kepada furu’ mazhab mana pun. Perhatian pembahasan dalam hal ini mengarah kepada penerapan kaidah dan menguatkannya, tanpa terikat pada amal yang berkembang di ka- langan mazhab. Perkembangan ushul fiqh menurut arah ini disebut ushul fiqh Syafi‘iyah atau ushul fiqh aliran Mutakallimin. Penamaan ulama Mutakallimin atau ulama kalam tersebut, dalam hal ini karena pemikiran ulama kalam di bidang ini mengelompok dalam aliran ushul fiqh. Di antara buku ushul fiqh yang disusun menurut metode ini adalah:
1. Kitab al-Mu’tamad karangan Abu Hasan al-Bashri yang dalam aliran kalam beraliran Mu’tazilah;
2. Kitab al-Burhân karangan Imam al-Haramain; dan
3. Kitab al-Mustashfâ karangan al-Ghazali.
Ketiga kitab tersebut oleh ulama yang datang kemudian dibuat ikhtisar sehingga menjadi karangan pendek. Karangan pendek ini kemudian oleh ulama belakangan disyarahkan. Kemudian syarah itu diberi hasyiyah, sehingga akhirnya berkembang menjadi kitab- kitab ushul fiqh dalam mazhab Syafi‘i.
Kedua, mengarah pada penyusunan ushul fiqh yang terpengaruh pada furu’ dan menyesuaikannya bagi kepentingan furu’ dan berusaha mengembangkan ijtihad yang telah berlangsung sebelumnya. Hal ini berarti bahwa pengikut mazhab melakukan ijtihad untuk memelihara hukum fiqh yang dicapai oleh ulama pendahulu mazhabnya. Mereka mengemukakan kaidah-kaidah yang mendukung dan menguatkan mazhab mereka. Ulama fuqaha yang lebih banyak menggunakan
metode ini adalah ulama kelompok Hanafiyah. Karena itu metode ushul fiqh menurut metode ini disebut metode ushul Hanafiyah. Kitab-kitab ushul fiqh menurut metode ini, antara lain:
1. Kitab Ushûl karangan al-Karahki;
2. Kitab al-Ushûl karangan Abu Bakar al-Razi; dan
3. Kitab Ta’sîs al-Nazhar karangan al-Dabbusi.
Sesudah itu bermunculan kitab-kitab ushul fiqh aliran Hanafiyah, seperti karangan al-Baidhawi, al-Sarhisi, dan lain-lainnya.
Sesudah dua metode ini berjalan mapan dan berkembang me- nurut aliran masing-masing, ditemukan pula kitab-kitab ushul fiqh yang merupakan gabungan dari kedua aliran tersebut. Sebagian ditulis oleh ulama dari mazhab Syafi‘i seperti kitab Jam‘ul Jawâmi’ oleh Ibnu Subki dan sebagian ditulis ulama mazhab Hanafi seperti kitab al-Tahrîr oleh Kamaluddin ibn al-Hummam.
4. Tujuan dan Manfaat Ushul Fiqh
Tujuan yang hendak dicapai dari ilmu ushul fiqh ialah untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang terinci agar sampai kepada hukum-hukum syara’ yang bersifat
‘amali yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu. Dengan kaidah ushul serta bahasannya itu dapat dipahami nash-nash syara’ dan hukum yang terkandung di dalamnya. Demikian pula dapat dipahami secara baik dan tepat apa-apa yang dirumuskan ulama mujtahid dan bagaimana mereka sampai kepada rumusan itu.
Metnang dengan metode tersebut para ulama telah berhasil me- rumuskan hukum syara’ dan telah terjabar secara rinci dalam kitab- kitab fiqh. Lantas untuk apa lagi, ushul fiqh itu bagi umat yang datang kemudian? Dalam hal ini ada dua maksud mengetahui ushul fiqh itu.
Pertama, bila kita sudah mengetahui metode ushul fiqh yang dirumuskan ulama terdahulu, maka bila suatu ketika kita menghadapi masalah baru yang tidak mungkin ditemukan hukumnya dalam kitab- kitab fiqh terdahulu, maka kita akan dapat mencari jawaban hukum terhadap masalah baru itu dengan cara menerapkan kaidah-kaidah hasil rumusan ulama terdahulu itu.
Kedua, bila kita menghadapi masalah hukum fiqh yang terurai dalam kitab-kitab fiqh, tetapi mengalami kesukaran dalam penerapannya karena sudah begitu jauhnya perubahan yang terjadi, dan kita ingin mengkaji ulang rumusan fuqaha lama itu atau ingin merumuskan hukum yang sesuai dengan kemaslahatan dan tuntutan kondisi yang menghendakinya, maka usaha yang harus ditempuh adalah merumuskan kaidah baru yang memungkinkan timbulnya rumusan baru dalam fiqh. Kaji ulang terhadap suatu kaidah atau menentukan kaidah baru itu tidak mungkin dapat dilakukan bila tidak mengetahui secara baik usaha dan cara ulama lama dalam merumuskan kaidahnya. Hal itu akan diketahui secara baik dalam ilmu ushul fiqh.
5. Pokok Pembahasan Ushul Fiqh
Bertitik tolak dari definisi ushul fiqh yang disebutkan di atas, maka bahasan pokok ushul fiqh itu adalah tentang:
a. Dalil-dalil atau sumber hukum syara’;
b. Hukum-hukum syara’ yang terkandung dalam dalil itu; dan
c. Kaidah-kaidah tentang usaha dan cara mengeluarkan hukum
syara’ dan dalil atau sumber yang mengandungnya.
Dalam membicarakan sumber hukum dibicarakan pula kemung- kinan terjadinya benturan antara dalil-dalil dan cara menyelesaikannya. Dibahas pula tentang orang-orang yang berhak dan berwenang menggunakan kaidah atau metode dalam melahirkan hukum syara’ tersebut. Hal ini memunculkan pembahasan tentang ijtihad dan mujtahid. Kemudian membahas mengenai tindakan dan usaha yang dapat ditempuh orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan dan kemungkinan berijtihad atau pembahasan tentang taklid dan hal-hal lain yang berhubungan dengannya.
Dalam sistematika penyusunan pokok-pokok bahasan terdapat perbedaan yang disebabkan perbedaan arah dan penekanan dari beberapa pokok bahasan tersebut.
A. Pengertian Fiqh, Syariah, dan Hukum Islam
Pengertian fiqh atau ilmu fiqh sangat berkaitan dengan syariah, karena fiqh itu pada hakikatnya adalah jabaran praktis dari syariah. Karenanya, sebelum memberikan penjelasan tentang arti fiqh, ter- lebih dahulu perlu dijelaskan arti dan hakikat syariah.
1. Pengertian Syariah
Secara etimologis (lughawi) syariah berarti “jalan ke tempat pengairan” atau “jalan yang harus diikuti”, atau “tempat lalu air di sungai”. Arti terakhir ini digunakan orang Arab sampai sekarang.
Kata syariah muncul dalam beberapa ayat Al-Qur’an, seperti pa- da surat al-Maidah (5): 48; asy-Syura (42): 13; dan al-Jatsiyah (45):
18, yang mengandung arti “jalan yang jelas yang membawa kepada kemenangan”. Dalam hal ini, agama yang ditetapkan Allah untuk manusia disebut syariah, dalam artian lughawi, karena umat Islam selalu melaluinya dalam kehidupannya di dunia. Kesamaan syariah Islam dengan jalan air adalah dari segi bahwa siapa yang mengikuti syariah ia akan mengalir dan bersih jiwanya. Allah menjadikan air sebagai penyebab kehidupan tumbuh-tumbuhan dan hewan sebagaimana Dia menjadikan syariah sebagai penyebab kehidupan jiwa insani.
Menurut para ahli, definisi syariah adalah: “Segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia di luar yang menge- nai akhlak”. Dengan demikian, “syariah” itu adalah nama bagi hu- kum-hukum yang bersifat amaliah.
Walaupun pada mulanya syariah itu diartikan “agama” sebagaimana yang disinggung Allah dalam surat asy-Syura (42): 13, namun kemudian dikhususkan penggunaannya untuk hukum amaliah. Pengkhususan ini dimaksudkan karena agama pada dasarnya adalah satu dan berlaku secara universal, sedangkan syariah berlaku untuk masing-masing umat yang berbeda dengan umat sebelumnya. Dengan demikian, kata “syariah” lebih khusus dari agama. Syariah adalah hukum amaliah yang berbeda menurut perbedaan Rasul yang membawanya dan setiap yang datang kemudian mengoreksi yang datang lebih dahulu. Sedangkan dasar agama, yaitu ‘akidah/tauhid, tidak berbeda antara Rasul yang satu dengan lainnya.
Di antara ulama ada yang lebih mengkhususkan lagi pemakaian kata “syariah” itu dengan: “Apa-apa yang bersangkutan dengan per- adilan serta pengajuan perkara kepada mahkamah dan tidak mencakup kepada halal dan haram”.
Qatadah, menurut yang diriwayatkan al-Thabari, menggunakan kata “syariah” kepada hal yang menyangkut kewajiban, had, pe- rintah dan larangan; tidak termasuk di dalamnya ‘akidah, hikmah, dan ibarat yang tercakup dalam agama. Syaltut mengartikan syariah dengan “hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan Allah bagi hamba-Nya untuk diikuti dalam hubungannya dengan Allah dan hubungannya dengan sesama manusia”. Dr. Farouk Abu Zeid menjelaskan bahwa syariah ialah: “Apa-apa yang ditetapkan Allah melalui lisan Nabi-Nya”. Allah adalah pembuat hukum yang me- nyangkut kehidupan agama dan kehidupan dunia.
2. Pengertian Fiqh
Kata “fiqh”, secara etimologis berarti “paham yang men- dalam”. Bila “paham” dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat lahiriah, maka fiqh berarti paham yang menyampaikan ilmu lahir kepada ilmu batin. Karena itulah at-Tirmidzi menyebutkan, “fiqh tentang sesuatu,” berarti mengetahui batinnya sampai kepada kedalamannya.
Kata “faqaha”
Kata “amaliah” yang terdapat dalam definisi di atas menjelaskan bahwa fiqh itu hanya menyangkut tindak tanduk manusia yang bersifat lahiriah. Dengan demikian, hal-hal yang bersifat bukan amaliah seperti masalah keimanan atau ‘akidah tidak termasuk dalam lingkungan fiqh dalam artian ini. Umpamanya ketentuan bahwa Allah itu bersifat Esa dan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat.
Penggunaan kata “digali dan ditemukan” mengandung arti bah- wa fiqh itu adalah hasil penggalian, penemuan, penganalisisan, dan penentuan ketetapan tentang hukum. Karenanya bila bukan dalam bentuk hasil suatu penggalian-seperti mengetahui apa-apa yang secara lahir dan jelas dikatakan Allah-tidak disebut fiqh. Fiqh itu adalah hasil penemuan mujtahid dalam hal-hal yang tidak dijelaskan oleh nash.
Kata “tafsili” dalam definisi itu menjelaskan tentang dalil-dalil yang digunakan seorang faqih atau mujtahid dalam penggalian dan penemuannya. Karena itu, ilmu yang diperoleh orang awam dari seorang mujtahid yang terlepas dari dalil tidak termasuk ke dalam pengertian fiqh.
Al-Amidi memberikan definisi fiqh yang berbeda dengan definisi di atas, yaitu: “Ilmu tentang seperangkat hukum-hukum syara’ yang bersifat furu‘iyah yang berhasil didapatkan melalui penalaran atau istidlal”.
Kata “furu‘iyah” dalam definisi al-Amidi ini menjelaskan bahwa ilmu tentang dalil dan macam-macamnya sebagai hujah, bukanlah fiqh menurut artian ahli ushul, sekalipun yang diketahui itu adalah hukum yang bersifat nazhari.
Penggunaan kata “penalaran” dan “istidlal” (yang sama mak- sudnya dengan “digali”) menurut istilah Ibnu Subki di atas memberikan penjelasan bahwa fiqh itu adalah hasil penalaran dan istidlal. Ilmu yang diperoleh bukan dengan cara seperti itu-seperti ilmu Nabi tentang apa yang diketahuinya dengan perantaraan wahyu-tidak disebut fiqh.
Dengan menganalisis kedua definisi yang disebutkan di atas da- pat ditemukan hakikat dari fiqh, yaitu:
a. fiqh itu adalah ilmu tentang hukum Allah;
b. yang dibicarakan adalah hal-hal yang bersifat amaliah furu‘iyah;
c. pengetahuan tentang hukum Allah itu didasarkan kepada da- lil tafsili; dan
d. fiqh itu digali dan ditemukan melalui penalaran dan istidlal se- orang mujtahid atau faqih.
Dengan demikian, secara ringkas dapat dikatakan, “Fiqh itu adalah dugaan kuat yang dicapai seorang mujtahid dalam usahanya menemukan hukum Allah.”
Dari pengertian fiqh dan syariah di atas terlihat kaitan yang sangat erat antara fiqh dengan syariah. Syariah diartikan dengan ketentuan yang ditetapkan Allah tentang tingkah laku manusia di dunia dalam mencapai kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat. Ketentuan Allah itu terbatas dalam firman Allah dan penjelasannya yang diwahyukan melalui lisan Nabi.
Semua tindakan manusia di dunia dalam mencapai kehidupan yang baik itu harus tunduk kepada kehendak Allah dan Rasulullah. Kehendak Allah dan Rasul itu sebagian terdapat secara tertulis dalam kitab-Nya yang disebut syari‘ah, sedangkan sebagian besar lainnya tersimpan di balik atau di luar yang tertulis itu.
Untuk mengetahui keseluruhan apa yang dikehendaki Allah tentang tingkah laku manusia itu, harus ada pemahaman mendalam tentang syariah, sehingga secara amaliah syariah itu dapat diterapkan dalam kondisi dan situasi bagaimanapun. Hasil pemahaman itu di- tuangkan dalam bentuk ketentuan yang terinci. Ketentuan terinci ten- tang tingkah laku manusia mukalaf yang diramu dan diformulasikan sebagai hasil pemahaman terhadap syariah itu disebut fiqh.
3. Pengertian Hukum Islam
Hukum Islam merupakan rangkaian dari kata “hukum” dan kata “Islam”. Kedua kata itu, secara terpisah, merupakan kata yang digunakan dalam bahasa Arab dan terdapat dalam Al-Qur’an, juga berlaku dalam bahasa Indonesia. “Hukum Islam” sebagai suatu rangkaian kata telah menjadi bahasa Indonesia yang hidup dan terpakai, namun bukan merupakan kata yang terpakai dalam bahasa Arab, dan tidak ditemukan dalam Al-Qur’an; juga tidak ditemukan dalam literatur yang berbahasa Arab. Karena itu kita tidak akan menemukan artinya secara definitif.
Untuk memahami pengertian hukum Islam, perlu diketahui lebih dahulu kata “hukum” dalam bahasa Indonesia, kemudian pengertian hukum itu disandarkan kepada kata “Islam”. Ada kesulitan dalam memberikan definisi kepada kata “hukum” karena setiap definisi akan menemukan titik lemah. Karena itu, untuk memudahkan me- mahami pengertian hukum, berikut ini akan diketengahkan definisi hukum secara sederhana, yaitu: “Seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat, disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu, berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya”.
Definisi ini tentunya masih mengandung kelemahan, namun dapat memberikan pengertian yang mudah dipahami.
Bila kata “hukum” menurut definisi di atas dihubungkan kepada “Islam” atau “Syara’”, maka “hukum Islam” akan berarti: “Se- perangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunah Rasul tentang tingkah laku manusia mukalaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam”.
Kata “seperangkat peraturan” menjelaskan bahwa yang dimak- sud dengan hukum Islam itu adalah peraturan yang dirumuskan secara terperinci dan mempunyai kekuatan yang mengikat.
Kata “yang berdasarkan wahyu Allah dan sunah Rasul” men- jelaskan bahwa perangkat peraturan itu digali dari dan berdasarkan kepada wahyu Allah dan sunah Rasul, atau yang populer dengan sebutan “syariah”.
Kata “tentang tingkah laku manusia mukalaf” mengandung arti bahwa hukum Islam itu hanya mengatur tindak lahir dari manusia yang dikenai hukum. Peraturan tersebut berlaku dan mempunyai kekuatan terhadap orang-orang yang meyakini kebenaran wahyu dan sunah Rasul itu, yang dimaksud dalam hal ini adalah umat Islam.
Bila artian sederhana tentang “hukum Islam” itu dihubungkan kepada pengertian “fiqh” sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan hukum Islam itu adalah yang bernama “fiqh” dalam literatur Islam yang berbahasa Arab. Dengan demikian, setiap kata “fiqh” dalam buku ini berarti “hukum Islam”.
Kajian tentang hukum Islam itu mengandung dua bidang pokok yang masing-masing luas cakupannya, yaitu:
Pertama, kajian tentang perangkat peraturan terinci yang bersifat amaliah dan harus diikuti umat Islam dalam kehidupan beragama. Inilah yang secara sederhana disebut “fiqh” dalam artian khusus dengan segala lingkup bahasannya.
Kedua, kajian tentang ketentuan serta cara dan usaha yang sis- tematis dalam menghasilkan perangkat peraturan yang terinci itu disebut “ushul fiqh”, atau dalam arti lain “sistem metodologi fiqh”. Fiqh dan ushul fiqh merupakan dua bahasan terpisah, namun saling berkaitan. Pada waktu menguraikan suatu ketentuan tentang fiqh, untuk menguatkan bahasannya, sering disertai penjelasan mengenai kenapa ketentuan itu begitu adanya, sehingga memasuki lapangan pembahasan ushul fiqh. Demikian pula sebaliknya waktu membicarakan ushul fiqh, untuk lebih memperjelas bahasannya dikemukakan contoh-contoh yang berada dalam lingkup bahasan fiqh.
B. Sejarah dan Perkembangan Fiqh
1. Fiqh pada Masa Nabi
Bila kita memahami pengertian fiqh itu sebagai hasil penalaran seorang ahli atas maksud hukum Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia, maka timbul pertanyaan apakah fiqh itu sudah mulai ada pada waktu Nabi Muhammad SAW. masih hidup?
Suatu hal yang nyata terjadi adalah bahwa Nabi telah berbuat sehubungan dengan turunnya ayat-ayat Qur’an yang mengandung hukum (ayat-ayat hukum). Tidak semua ayat hukum itu memberikan penjelasan yang mudah dipahami untuk kemudian dilaksanakan secara praktis sesuai dengan kehendak Allah. Karena itu Nabi memberikan penjelasan mengenai maksud setiap ayat hukum itu kepada umatnya, sehingga ayat-ayat yang tadinya, belum dalam bentuk petunjuk praktis, menjadi jelas dan dapat dilaksanakan secara praktis. Nabi memberikan penjelasan dengan ucapan, perbuatan, dan pengakuannya yang kemu- dian disebut sunah Nabi. Apakah hukum-hukum yang bersifat amaliah yang dihasilkan oleh Nabi yang bersumber kepada Al-Qur’an itu dapat disebut fiqh?
Telah dijelaskan bahwa fiqh adalah hasil penalaran seseorang yang berkualitas mujtahid atas hukum Allah atau hukum-hukum amaliah yang dihasilkan dari dalil-dalilnya melalui penalaran atau ijtihad. Apabila penjelasan dari Nabi yang berbentuk sunah itu me- rupakan hasil penalaran atas ayat-ayat hukum, maka apa yang dikemukakan Nabi itu dapat disebut fiqh atau lebih tepat disebut “Fiqh sunah”.
Kemungkinan Nabi melakukan ijtihad dalam menghasilkan su- nahnya diperselisihkan para ulama. Perbedaan pendapat itu berpangkal pada pemahaman ayat 3-4 surat an-Najm (53):
yang kemudian ternyata keikutsertaan mereka membawa ben- cana kepada pasukan muslim. Ayat ini mengandung kritikan atas tindakan Nabi. Kalau tindakan Nabi itu atas tuntunan wahyu, tentu tidak akan muncul kritikan itu. Hal ini menun- jukkan bahwa kebijaksanaan Nabi yang mengizinkan ikutnya orang munafik itu dasarnya adalah ijtihad.
3. Sunah Nabi yang berbunyi:
Sesungguhnya aku menetapkan hukum berdasarkan apa-apa yang lahir, dan kamu minta penyelesaian permusuhanmu kepadaku. Barangkali seseorang di antaramu lebih lihai dalam beperkara dibandingkan yang lain. Siapa yang aku putuskan untuknya sesuatu berkenan dengan harta orang lain, janganlah dimakan. Sesungguhnya aku memberikan kepadanya potongan api neraka.
Riwayat tersebut menunjukkan bahwa Nabi sendiri terkadang memutuskan perkara yang mungkin tidak betul secara ma- teriil. Hal ini berarti tindakan itu semata didasarkan kepada ijtihadnya, bukan dari wahyu.
Kedua, ulama kalam Asy‘ariyyah, mayoritas ulama Mu‘tazilah, Abu Ali al-Jubbai dan anaknya Hasyim, berpendapat bahwa Nabi tidak boleh berijtihad dalam hukum syara’. Alasan mereka adalah:
a. Firman Allah dalam surat an-Najm (53): 3-4:
Ayat ini menjadi dalil utama bahwa semua yang muncul dari lisan Nabi adalah dari wahyu dan tidak ada yang di luar wa- hyu. Ijtihad tidak berasal dari wahyu, karenanya tidak ada ucapan Nabi yang muncul dari ijtihadnya sendiri.
b. Nabi SAW. berkemampuan untuk sampai kepada hukum secara meyakinkan melalui wahyu. Sedangkan hasil ijtihad hanyalah bersifat zhanni. Bila mampu untuk sampai kepada yang meya- kinkan (qath‘i), maka tidak boleh menempuh yang tidak meya- kinkan (zhanni). Di samping itu, ijtihad hanya dapat dilakukan bila tidak ada nash; sedangkan selama Nabi masih hidup, tidak mungkin nash itu sudah terhenti.
c. Sering terjadi Nabi tidak dapat memberikan jawaban atas per- tanyaan yang diajukan sahabatnya tentang sesuatu kasus. Dalam keadan demikian, Nabi menyuruh menunggu sampai turunnya wahyu yang akan menjawabnya. Seandainya Nabi dapat mem- berikan jawaban dengan hasil ijtihadnya, tentu tidak perlu Nabi berlama-lama menunggu turun wahyu untuk menjawabnya.
Ketiga, pendapat “jalan tengah” dari kedua pendapat di atas, menyatakan bahwa Nabi dapat saja berijtihad dalam masalah pe- perangan, tetapi tidak dalam masalah hukum syara’. Kelompok ini menggunakan gabungan dalil-dalil yang dikemukakan dua pendapat sebelumnya.
Bila diperhatikan ketiga pendapat tersebut beserta argumen ma- sing-masing, kita cenderung pada pendapat yang mengatakan tidak semua yang muncul dari lisan Nabi itu dibimbing wahyu. Dalam kenyataan memang beliau pernah berijtihad untuk memahami dan menjalankan wahyu Allah dalam hal-hal yang memerlukan penjelasan dari Nabi yang sebagiannya dibimbing wahyu. Dalam hal-hal yang tidak mendapat koreksi dari Allah, maka hal itu muncul sebagai sunah Nabi yang wajib ditaati. Dengan demikian, sebagian sunah Nabi adalah berdasarkan pada ijtihadnya.
Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa fiqh sudah mulai ada semenjak Nabi masih hidup dengan pola yang sederhana sesuai dengan kesederhanaan kondisi masyarakat Arab yang menjalankan fiqh pada waktu itu. Di bawah ini dikemukakan beberapa contoh fiqh Nabi dalam beberapa bidang hukum.
a. Shalat
Perintah melakukan shalat banyak sekali terdapat dalam Al- Qur’an dengan berbagai cara dan berbagai bentuk. Tidak ada satu ayat pun yang menjelaskan apa dan bagaimana praktik shalat itu. Dalam keadaan begitu perintah shalat menurut apa adanya tidak mungkin dilaksanakan. Nabi mengetahui maksud perintah Allah itu, karena itu Nabi menjelaskan kepada umatnya dengan menggunakan sunah-Nya.
Nabi mengarahkan kata “shalat” itu kepada perbuatan tertentu dengan tindakan yang berisi beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam di hadapan para sahabatnya. Kemudian beliau berkata, “Inilah yang dimaksud dengan shalat”. Dalam suatu hadis Nabi bersabda,
Adapun mengenai waktu-waktu pelaksanaan shalat, muncul dalam beberapa ayat Al-Qur’an pada tempat yang terpisah.
1. Surat ar-Rum (30): 17:
Maka bertasbihlah kepada Allah di waktu kamu berada di petang hari dan waktu kamu berada di waktu subuh.
2. Surat al-Isra (17): 78:
Waktu zuhur bila telah tergelincir matahari sampai bayang- bayang sepanjang badan dan belum masuk waktu ashar; waktu ashar selama matahari belum menguning; dan waktu maghrib selama belum hilang cahaya matahari; waktu isya sampai pertengahan malam dan waktu subuh dan terbit fajar sampai terbit matahari.
Tentang jumlah raka‘at shalat untuk setiap waktu yang lima itu tidak ada sama sekali penjelasannya dalam Al-Qur’an. Ketetapan jumlah raka‘at shalat datang dari Nabi sendiri dalam hadis fi’li secara bertahap. Jumlah raka‘at itu berbeda pada waktu sebelum dengan sesudah hijrah. Hal ini dijelaskan dalam hadis dari Aisyah dalam versi yang berbeda-beda menurut riwayat Bukhari dan Ahmad:
Difardukan shalat itu dua-dua raka‘at. Kemudian berlangsung hijrah, maka difardukan empat-empat raka‘at dan ditetapkan shalat safar seperti yang semula (dua raka‘at).
Ditambahkan oleh Ahmad dari jalur Ibnu Kaisan dengan ucapan:
yang tetap (seperti semula) karena panjangnya bacaan shalat, begitu pula shalat maghrib karena ia merupakan waktu yang ganjil dalam sehari.
Dalam surat al-Araf (7): 31, Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman bila kamu melakukan shalat basuhlah mukamu dan kedua tanganmu sampai sikut; sapulah kepalamu dan basuhlah kakimu sampai mata kaki.
Selanjutnya Nabi menjelaskan cara-cara berwudhu’ dalam hadis dari Abu Hurairah menurut riwayat Muslim.
Sesungguhnya dia bila berwudhu dibasuhnya mukanya, maka dilanjutkannya wudhunya; kemudian dibasuhnya tangannya sebelah kanan sampai lengannya, kemudian tangan kirinya sampai lengan; kemudian ia menyapu kepalanya, kemudian dibasuhnya kaki kanannya sampai betis; kemudian dibasuhnya kaki kirinya sampai betis kemudian dia berkata, “Beginilah Rasul Allah saya lihat melakukan wudhu.”
Dalam surat al-Jumu‘ah (62): 9, Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru melakukan shalat
Jumat, segeralah datang melakukan shalat dan tinggalkanlah
jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Dari ayat ini, Nabi memahami kewajiban shalat Jumat. Adapun mengenai caranya, dijelaskan secara rinci dalam Sunnahnya.
b. Zakat
Perintah untuk melaksanakan zakat begitu banyak muncul dalam Al-Qur’an dengan berbagai cara dan bentuk yang sebagian besar di antaranya dirangkaikan dengan perintah shalat. Menurut pemahaman lughawiî, zakat itu berarti membersihkan, tumbuh, berkah dan pujian. Kemudian Nabi mengarahkan penggunaan kata “zakat” itu untuk “pemberian tertentu dari harta tertentu, menurut cara tertentu”.
Bentuk perintah zakat dapat dilihat dalam contoh ayat di bawah ini:
Nabi dengan hadis dari Ibnu Abbas, muttafaq ‘alaihi (perawinya: Bukhari dan Muslim), yang berbunyi:
Sesungguhnya Allah telah memfardukan zakat atas mereka da- lam harta mereka; diambil dari orang kaya-kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang miskin mereka.
Tentang apa-apa yang dizakatkan, batas nisabnya serta berapa kadar yang harus dizakatkan, dijelaskan Nabi dengan hadis-hadis sebagai berikut:
1. Unta, hadis dari Anas menurut riwayat Bukhari:
Setiap 24 ekor unta atau kurang, maka zakatnya seekor kambing betina untuk setiap 5 ekor unta, jika jumlahnya 25 sampai 35 ekor, maka zakatnya satu ekor anak unta betina berumur 1-2 tahun atau satu ekor anak unta jantan berumur 3-4 tahun, jika jumlahnya 36 sampai 45, maka zakatnya seekor anak unta ber- umur 2-3 tahun, dan jika jumlahnya 46 sampai 60 ekor unta maka zakatnya adalah seekor unta betina berumur 3-4 tahun.
2. Sapi, hadis dari Muaz ibn Jabal menurut riwayat lima perawi hadis:
Pada tanam-tanaman yang diairi dengan mata air atau hujan kewajiban zakatnya adalah sepersepuluh; dalam tanaman yang diairi dengan kincir kewajiban zakatnya adalah seperdua puluh.
5. Barang perniagaan, hadis dari Samrah ibn Jundab menurut ri- wayat Abu Daud:
Sesungguhnya Rasul Allah pernah menyuruh kita mengeluarkan zakat dari sesuatu yang disiapkan untuk diperjualbelikan.
6. Barang rikaz, hadis dari Abu Hurairah, muttafaq ‘alaih (Bukhari dan Muslim):
Di dalam rikaz itu ada kewajiban zakat sebesar seperlima.
Tentang siapa-siapa yang berhak menerima zakat secara lang- sung, disebutkan Allah dalam surat at-Taubah (9): 60:
Sesungguhnya shadaqah (zakat) itu adalah untuk para fuqara, orang miskin, untuk amil untuk orang yang dijinakkan hatinya; untuk mernerdekakan hamba; dan orang yang dijerat hutang untuk kepentingan sabilillah dan ibnu sabil; merupakan kewa- jiban dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Bijaksana.
Dengan penjelasan yang diberikan Nabi tentang ayat-ayat zakat yang tersebut dalam Al-Qur’an dapatlah dilakukan kewajiban berzakat meskipun dalam cara yang sederhana.
c. Puasa
Perintah Allah yang menyuruh melakukan puasa banyak terdapat dalam Al-Qur’an yang kadang-kadang beriringan dengan kewajiban shalat dan zakat. Kewajiban puasa secara terpisah muncul dalam Firman Allah, suratl-aqarah (2): 183-185:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Siapa yang berada dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan, boleh ia berbuka dan untuk itu ia harus menggantinya di hari-hari lain. Untuk orang yang sudah uzur dan tidak mampu berpuasa, maka ia harus membayar fidiah dalam bentuk memberi makan orang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya.
Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Bulan Ramadhan yang diturunkan padanya Al-Qur’an menjadi petunjuk bagi manusia dan merupakan bukti petunjuk Tuhan dan sebagai furqan (pemisah antara yang benar dan salah). Siapa di antaramu yang telah menyaksikan masuknya bulan Ramadhan itu hendaklah ia berpuasa. Siapa yang sakit atau dalam perjalanan dan tidak melakukan puasa, hendaklah ia melakukan di hari-hari lain. Allah menghendaki untukmu kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan. Hendaklah kamu sempurnakan bilangan puasa itu dan hendaklah kamu bertakbir kepada Allah atas petunjuk yang diberikan-Nya kepadamu; mudah-mudahan kamu bersyukur.
Dalam ayat di atas dijelaskan keharusan berpuasa, bulan untuk melakukan puasa, perhitungan masuk bulan puasa dan orang-orang yang mendapat keringanan untuk tidak melakukan puasa Ramadhan. Tentang awal dan akhir waktu puasa serta apa-apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama puasa dijelaskan dalam surat al-Baqarah (2): 187:
Dihalalkan bagimu pada malam puasa itu menggauli istrimu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu telah mengkhianati dirimu sendiri, maka Allah memberi maaf atasmu. Maka sekarang gaulilah mereka dan perolehlah apa yang telah ditentukan Allah kepadamu, dan makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam sebagai tanda waktu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam ...
Untuk memperjelas penentuan awal dan akhir waktu bulan Ra- madhan dijelaskan Nabi dengan sabdanya dari Ibnu Umar menurut riwayat muttafaq ‘alaih:
Bila kamu melihat bulan (masuk bulan Ramadhan, puasalah kamu dan bila kamu telah melihat bulan (tanda masuk bulan Syawal) berbukalah kamu; maka bila kamu tidak melihatnya karena mendung perhitungkanlah ...
Selanjutnya Nabi menjelaskan cara-cara berbuka dan sahur serta perbuatan-perbuatan baik untuk dilakukan selama bulan Ramadhan, sebagai kelengkapan dari pelaksanaan kewajiban puasa.
Demikian pula cara-cara Nabi memahami ayat-ayat Qur’an yang berkenaan dengan ibadah pokok lainnya dan menjelaskannya kepada umatnya. Hal yang sama berlaku pula terhadap ayat-ayat Qur’an yang berkenaan dengan masalah muamalat dalam arti umum.Bila dalam hal ibadah penjelasan Allah lebih bersifat jelas dan rinci, maka dalam bidang muamalat pada umumnya lebih bersifat umum, garis besar, tidak terinci, dan memberi petunjuk yang tidak jelas serta tidak pasti. Karena itu dalam hal-hal ibadat, lebih mudah Nabi memahaminya sehingga tidak banyak memerlukan penjelasan Nabi untuk melaksanakannya. Sebaliknya dalam bidang muamalat, Nabi lebih banyak menggunakan nalar dalam memahami ayat hu- kum untuk dapat dilaksanakan secara praktis oleh umatnya.
Pada saat memahami ayat-ayat hukum dan menggunakan nalar untuk menghasilkan petunjuk pelaksanaannya, kelihatannya Nabi memperhatikan dan mempertimbangkan lingkungan di mana beliau berada. Hal tersebut dapat dilihat pada sunah Nabi yang menjelaskan ayat-ayat tersebut dengan hal-hal yang mudah dipahami umatnya waktu itu dengan mengemukakan contoh-contoh yang terdapat di lingkungannya.
Pada waktu Nabi mencoba memahami maksud Allah yang me- wajibkan zakat atas orang kaya untuk diberikan kepada orang miskin,
terlihat Nabi menetapkan barang-barang yang dizakatkan dalam bentuk harta yang nyata waktu itu di lingkungan kehidupan Nabi, baik dalam bentuk hewan ternak maupun tanaman dan buah-buahan.
Di samping itu, penjelasan yang diberikan Nabi lebih banyak dalam bentuk melayani pertanyaan yang diajukan umatnya, baik ten- tang pemahaman atas suatu ayat Al-Qur’an maupun tentang hal-hal yang memerlukan jawaban, karena jawabannya tidak tersebut dalam Al-Qur’an. Penjelasan Nabi dalam bentuk petunjuk pelaksanaan dari kehendak Allah yang tersebut dalam Al-Qur’an itu disebut “Fiqh”, atau “Fiqh Nabi” atau disebut juga “Fiqh al-sunah”. Pola dari “Fiqh Nabi” sesuai dengan pola hidup masyarakat Arab waktu itu, yaitu sederhana, mudah, dan tidak berbelit-belit.
Dalam masa Nabi atau pada masa periode tasyri’ ini, sumber hukum yang digunakan Nabi dalam menetapkan fatwanya adalah Al-Qur’an.
Ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an telah meliputi semua segi kehidupan manusia dalam kedudukannya sebagai pribadi di depan Allah atau masyarakat, maupun dalam kedudukannya sebagai salah seorang anggota masyarakat dalam hubungannya dengan anggota masyarakat lainnya. Penjelasan yang diberikan Nabi me- lingkupi hal-hal yang termuat dalam Al-Qur’an, sehingga Fiqh Nabi sudah mencakup bidang yang sangat luas meskipun dalam bentuk pelaksanaan yang sederhana dan mudah.
2. Fiqh pada Masa Sahabat
Dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW. sempurnalah turunnya ayat-ayat Al-Qur’an dan sunah Nabi, juga dengan sendirinya sudah terhenti. Kemudian terjadi perubahan yang besar sekali dalam ke- hidupan masyarakat, karena telah meluasnya wilayah Islam dan semakin kompleksnya kehidupan umat.
Keimanan umat yang sudah tinggi dan kepatuhannya akan perintah agama, menuntut mereka untuk selalu menghubungkan tingkah lakunya sehari-hari dengan nilai agama. Karena itu umat memerlukan jawaban hukum dalam menghadapi setiap persoalan dalam kehidupannya.
Ada tiga hal pokok yang berkembang waktu itu sehubungan dengan hukum.
Pertama, begitu banyaknya muncul kejadian baru yang mem- butuhkan jawaban hukum yang secara lahiriah tidak dapat ditemukan jawabannya dalam Al-Qur’an maupun penjelasan dari sunah Nabi.
Kedua, timbulnya masalah-masalah yang secara lahir telah diatur ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an maupun sunah Nabi, namun ketentuan itu dalam keadaan tertentu sulit untuk diterapkan dan menghendaki pemahaman baru agar relevan dengan perkembangan dan persoalan yang dihadapi.
Ketiga, dalam Al-Qur’an ditemukan penjelasan terhadap suatu kejadian secara jelas dan terpisah. Bila hal tersebut berlaku dalam kejadian tertentu, para sahabat menemukan kesulitan dalam me- nerapkan dalil-dalil yang ada.
Ketiga pokok masalah di atas memerlukan pemikiran mendalam atau nalar dari para ahli yang disebut ijtihâd. Dalam menghadapi hal tersebut berkembanglah pemikiran para sahabat.
1. Dalam menghadapi bentuk pertama, yaitu masalah yang baru ter- jadi, para sahabat mencari jawabannya dari lahir ayat Al-Qur’an, kemudian mencari dari penjelasan yang pernah diberikan Nabi. Bila tidak menemukan jawabannya secara jelas, mereka mencoba mencari jawabannya dari balik lahir lafaz hukum yang ada. De- ngan cara ini, lahir lafaz ayat itu dapat direntangkannya kepada kejadian yang baru itu. Usaha ini dapat ditempuh, melalui bebe- rapa cara, di antaranya:
a. Dengan semata pemahaman lafaz, yaitu memahami maksud yang terkandung dalam lahir lafaz. Umpamanya bagaimana hu- kum membakar harta anak yatim. Ketentuan yang jelas dalam Al-Qur’an hanya larangan memakan harta anak yatim secara aniaya, sedangkan hukum membakarnya tidak ada. Karena semua orang tahu bahwa membakar dan memakan harta itu sama dalam hal mengurangi atau menghilangkan harta anak yatim, maka keduanya juga sama hukumnya, yaitu haram. Cara ini kemudian disebut penggunaan metode mafhum.
b. Dengan cara memahami alasan atau ‘Illat yang terdapat dalam suatu kasus (kejadian) yang baru, kemudian meng- hubungkannya kepada dalil nash yang memiliki alasan atau
‘Illat yang sama dengan kasus tersebut. Cara ini kemudian disebut metode qiyâs.
Penunjukan pengganti Nabi untuk urusan keduniaan belum ada ketentuannya. Tidak ada ketentuan yang mengatur sistem khilafah dalam Qur’an atau sunah Nabi. Setelah Nabi wafat, masalah ini segera muncul. Para sahabat berpikir bahwa masalah memimpin urusan dunia dapat dihubungkan kepada pemimpin urusan ibadat. Ternyata Abu Bakar pernah ditunjuk Nabi untuk menggantikan beliau menjadi imam shalat jamaah, sewaktu Nabi sakit. Atas dasar ini para sahabat berpendapat bahwa yang akan menggantikan Nabi dalam urusan dunia- yaitu menjadi khalifah-adalah Abu Bakar. Pemikiran seperti ini berkembang di kalangan sahabat yang kemudian dikenal dengan pemikiran secara qiyâs.
Dalam periode sahabat ini penggunaan ijtihad masih terbatas pada metode mafhum dan qiyâs. Cara ini pun sudah dapat menjawab semua persoalan yang muncul waktu itu.
2. Persoalan dalam bentuk kedua-yaitu perubahan keadaan yang menghendaki perubahan pemikiran-walaupun jarak waktu periode Nabi dengan periode sahabat relatif pendek dan ber- sambung, namun perkembangan kehidupan begitu cepat yang menuntut adanya perubahan pemikiran.
Allah SWT. dalam Al-Qur’an mewajibkan zakat. Nabi dalam sunah-Nya menyebutkan bahwa zakat itu diambil dari orang kaya dan diberikan kepada orang miskin. Nabi disuruh Allah untuk mengambil harta zakat dari umatnya (QS. at-Taubah/9:
103). Cara yang dilakukan Nabi adalah cara yang bijaksana sesuai dengan pesan Allah untuk berdakwah dengan cara bi- jaksana (QS. al-Nahl/16: 125). Atas kesadaran umat waktu itu, kewajiban zakat dapat terlaksana secara baik.
Pada masa Abu Bakar menjadi khalifah, beliau melihat bahwa pemungutan zakat secara lemah lembut seperti yang dilakukan Nabi tidak efektif lagi karena adanya kecenderungan pembang- kangan dari sebagian masyarakat terhadap kewajiban membayar zakat. Karena itu Abu Bakar mengambil sikap yang keras, bahkan menetapkan untuk memerangi orang-orang yang tidak mau membayar kewajiban zakat. Dasar pemikiran Abu Bakar ialah bahwa menempuh sikap lemah lembut sebagaimana dilakukan oleh Nabi, kewajiban membayar zakat tidak dapat ditegakkan.
Allah SWT. melarang orang Islam meminum khamar secara tegas (QS. al-Maidah/5: 90) karena perbuatan tersebut meru- pakan dosa besar; meskipun ada sedikit manfaat di dalamnya. Karena dalam larangan lain Allah SWT. menetapkan sanksi- nya, sedangkan dalam larangan khamar tidak diiringi dengan sanksi, maka Nabi melalui ijtihadnya menetapkan sanksi mi- num khamar, yaitu dera sebanyak 40 kali. Pelaksanaan sanksi yang ditetapkan Nabi itu dapat menjerakan orang. Dengan demikian tujuan larangan telah tercapai.
Pada masa Umar ibn Khattab menjadi khalifah, kebiasaan minum khamar waktu jahiliah kambuh lagi di kalangan orang Islam dan sanksi dera 40 kali sudah kurang efektif sebagai alat penjera. Umar memikirkan cara untuk membuat orang jera minum khamar yang merupakan tujuan dari hukum. Dalam hal ini Umar menetapkan sanksi mimun khamar menjadi 80 kali dera, sehingga orang menjadi bertambah takut meminum khamar. Dengan demikian, sanksi yang ditetapkan Umar berbeda dengan yang ditetapkan Nabi sebelumnya, untuk mencapai tujuan larangan, yaitu menjerakan berbuat kejahatan.
Dalam surat al-Anfal (8): 41, Allah berfirman:
Ketahuilah sesungguhnya bila kamu mendapatkan suatu harta rampasan, maka seperlimanya untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil.
Dalam memahami ayat tersebut, Nabi membagi harta rampasan perang menjadi dua kelompok. Tumpukan pertama sebanyak 1/5 bagian dibagikan kepada pihak-pihak yang disebutkan dalam ayat Al-Qur’an, sedangkan sisanya dibagikan
kepada orang-orang yang ikut dalam perang yang menghasilkan harta rampasan itu.
Pada waktu Umar memerintah, pasukan Islam berhasil menaklukkan tanah subur di Irak. Umar berpendapat tidak maslahat kalau hak 4/5 harta rampasan itu dibagi habis di kalangan pasukan. Beliau berpendapat lebih banyak maslahatnya bila tanah rampasan itu tidak dibagikan untuk pasukan, tetapi dibiarkan digarap orang yang memiliki tanah itu, namun sebagian hasilnya dipungut untuk kepentingan umat, termasuk untuk keperluan perang.
Dalam contoh tersebut Umar menetapkan hukum yang berbeda dengan apa yang berlaku pada masa Nabi dan khalifah Abu Bakar berdasarkan pertimbangan maslahat. Tindakan Umar ini banyak menjelaskan bahwa pemahaman Umar atas ayat Al-Qur’an berbeda dengan apa yang dipahami Nabi karena kondisi dalam kedua masa itu telah berbeda.
Pada masa Nabi, azan memberi tahu masuk waktu Jumat dilakukan satu kali, yaitu setelah khatib naik mimbar. Hal ini merupakan pemahaman terhadap ayat 9 surat al-Jumu‘ah (62) yang berbunyi:
Hai orang-orang yang beriman, bila kamu dipanggil untuk me- lakukan shalat Jumat, segeralah mendatanginya dan tinggalkan segala bentuk jual beli.
Azan satu kali itu di masa Nabi telah cukup untuk memberi tahu orang Islam untuk menghadiri shalat Jumat. Pada waktu
‘Utsman ibn ‘Affan menjadi khalifah, umat Islam semakin banyak dan wilayahnya semakin luas. Kalau azan hanya satu kali saja, pemberitahuan belum tentu akan merata ke seluruh umat di sekitar itu. Karenanya, ‘Utsman menetapkan azan shalat Jumat menjadi dua kali. Hal ini dijelaskan dalam sebuah atsar dari Su‘eb bin Jazid menurut riwayat Bukhari, Nasa‘i dan Abu Daud:
Adalah pada mulanya azan Jumat itu bila khatib telah duduk di atas mimbar pada masa Rasul Allah, Abu Bakar dan masa
‘Umar. Pada masa ‘Utsman dan telah banyak orang, ditambah azan itu menjadi tiga kali (satu kali terakhir adalah ikamah)
3. Persoalan ketiga adalah mengenai pemahaman terhadap dua ayat yang terpisah. Ayat Al-Qur’an menetapkan hukum untuk setiap kejadian dengan hukum tertentu secara terpisah. Untuk penerapan ayat tersebut, Nabi telah memberikan penjelasan, sehingga hukum itu dapat dilaksanakan menurut apa adanya. Umpamanya hak kewarisan saudara-saudara dijelaskan Allah dalam surat an-Nisa’/4 ayat 12 untuk saudara seibu; ayat 176 untuk saudara-saudara kandung atau seayah. Dalam surat an-Nisa’/4 ayat 11 dijelaskan mengenai hak kewarisan ayah, yaitu 1/6 bagian, bila pewaris ada meninggalkan anak. Ayat
176 surat an-Nisa’ itu mengandung arti bahwa bila ada ayah, saudara-saudara tidak menerima hak kewarisan, karena ayah lebih utama dari saudara.
Tentang kakek, tidak secara jelas disebutkan dalam Al-Qur’an, namun dalam pengertian umum orang Arab, kakek adalah se- bagai pengganti ayah bila tidak ada ayah. Dalam hal ini Nabi memberikan penjelasan dalam hadis dari Amran ibn Husein enurut riwayat Ahmad, Abu Daud, dan at-Tarmizi:
Sesungguhnya seseorang datang kepada Nabi dan berkata, “Anak dari anak saya meninggal, bagaimana harta warisannya untuk saya?” Nabi menjawab, “Untuknya seperenam.”
Kasus bertemunya saudara-saudara dengan kakek dalam satu kelompok ahli waris, mungkin belum terjadi pada masa Nabi hingga tidak ada penjelasannya dari Nabi. Pada waktu peme- rintahan Abu Bakar, kasus ini muncul di hadapan beliau. Dengan pertimbangan bahwa kakek menempati kedudukan ayah bila ayah tidak ada dan saudara tidak berhak mewaris bersama ayah, maka dalam kasus ini Abu Bakar berpendapat dan memfatwakan bahwa saudara-saudara tidak berhak menerima warisan bila ber- sama dengan kakek. Sahabat lain, di antaranya ‘Umar bin Khat- tab dengan pertimbangan bahwa kewarisan saudara dijelaskan dalam Qur’an sedangkan kakek tidak dijelaskan dalam Qur’an, menetapkan fatwanya bahwa saudara-saudara dapat mewaris dan berbagi bersama kakek.
Ayat 12 surat an-Nisa’ (4) menjelaskan saudara seibu sebagai ahli waris dzul furûdh, yaitu 1/6 bila sendirian dan 1/3 bila bersama- sama; sedangkan saudara laki-laki kandung atau seayah tidak dijelaskan furudh-Nya dalam surat an-Nisa’ ayat 176. Kedudu- kannya sebagai “ahli waris sisa harta” (‘ashâbah) dijelaskan Nabi dalam hadis dari Ibnu Abbas melalui riwayat muttafaq ‘alaih:
Dalam hal ini ‘Umar menetapkan bahwa saudara kandung ber- gabung dengan saudara seibu dalam mengambil hak 1/3 harta, yaitu hak saudara seibu.
Hak istri atas peninggalan mendiang suaminya dijelaskan secara pasti dalam Al-Qur’an, yaitu pada surat an-Nisa’ (4): 12, yaitu
1/4 bagian bila suami tidak meninggalkan anak dan 1/8 bila suami meninggalkan anak. Istri ini tidak mendapat hak apa-apa bila sebelum suami mati si istri telah dicerai lebih dahulu.
Tentang bagaimana kalau suami menceraikan istrinya dalam keadaan sakit keras dan dapat diperkirakan maksud mencerai- kan itu adalah untuk menghindarkan istri dari hak kewarisan. Dalam hal ini, timbul perbedaan pendapat di kalangan sahabat karena khusus untuk ini tidak ada penjelasan hukum sebelum- nya. ‘Utsman ibn ‘Affan berpendapat dan menetapkan fatwanya bahwa si istri berhak atas warisan suaminya, sebagaimana terse- but dalam riwayat bahwa Abdurrahman ibn Auf menceraikan istrinya ketika ia sedang sakit. ‘Utsman memberikan warisan un- tuk istrinya yang tertalak itu menurut kadar yang berlaku.
‘Idah wanita yang diceraikan suaminya dalam keadaan hamil dijelaskan Allah dalam surat at-Thalaq (65): 4, yaitu sampai melahirkan anak:
Tetapi tidak ada penjelasan yang pasti dari Allah maupun dari Nabi tentang ‘idah wanita yang kematian suami dalam keadaan hamil; apakah menggunakan ayat 4 surat at-Thalaq meskipun be- lum 4 bulan 10 hari sebagaimana yang dikehendaki ayat 234 surat al-Baqarah (2). Atau menggunakan ayat 234 surat al-Baqarah (2) meskipun anaknya belum lahir sebagaimana yang dituntut surat al-Thalaq (65): 4. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan sahabat. ‘Ali ibn Abi Thalib berpendapat dan berfatwa bahwa ‘idah wanita itu adalah masa yang terpanjang di antara dua masa itu. Dasar pertimbangannya adalah kehati-hatian dalam mengamalkan dua ayat tersebut di atas. Ulama lain di antaranya
‘Umar Ibn Khattab berpendapat bahwa ‘idahnya tetap melahirkan anak, meskipun belum sampai masanya 4 bulan 10 hari.
Demikianlah sekadar contoh pemikiran sahabat tentang hukum, baik dalam hal tidak ada dalil tertulis yang menjelaskannya, atau keadaan sudah berubah yang menghendaki perubahan pemikiran; atau dalam bentuk ketiga yaitu penerapan ayat terhadap dua kejadian yang bergabung. Pemikiran ini menghasilkan pendapat berbeda yang pada akhirnya menghasilkan pihak-pihak yang berbeda, masing- masing diikuti para pengikutnya. Perbedaan ini pada umumnya disebabkan oleh karena tidak adanya petunjuk yang pasti dari Al- Qur’an dan tidak ada pula penjelasan dari Nabi.
Di antara perbedaan pendapat yang berkembang di kalangan sahabat dalam memahami hukum Allah, terkadang terdapat kesamaan pendapat di kalangan mereka. Kesamaan pendapat ini di kemudian hari diistilahkan dengan “ijma’”. Kesamaan ini mungkin munculnya dari pemahaman dan penerimaan bersama atas keterangan Nabi yang kurang kuat sandarannya. Bentuk ini disebut kesamaan atau ijma’ yang menyandarkan diri kepada nash atau petunjuk yang ada. Umpamanya dalam menetapkan hak kewarisan nenek atas harta warisan sebesar1/6 bagian. Memang untuk ini ada petunjuk dari Nabi yang berasal dari Qubeisah Ibn Zueb menurut riwayat ashhâb al-khamsah selain Nasa‘i dan disahkan Tarmizi.
Jelas hadis itu kurang kuat sandarannya karena Abu Bakar sendiri sampai tidak mengetahui hadis itu. Namun setelah diterima hadis itu oleh Abu Bakar dengan kesaksian dua orang sahabat yaitu Mughirah ibn Syu’bah dan Muhammad ibn Maslamah, Abu Bakar menetapkan hak nenek sebesar 1/6. Apa yang telah disampaikan Abu Bakar itu ternyata diterima (disetujui) semua pihak sehingga menjadi ijmâ’ shahabat.
Bentuk kesamaan pendapat kedua adalah kesamaan yang me- mang sama sekali tidak menyandarkan diri kepada dalil mana pun, ia semata-mata hasil pendapat yang kemudian didukung pendapat- pendapat yang lain. Umpamanya wanita hamil dari perbuatan zina dibolehkan kawin menurut ijma’ sahabat. Kasus ini muncul di masa Umar. Ia menetapkan bolehnya wanita tersebut kawin di depan para sahabat lainnya, dan ternyata tidak ada yang menolaknya. Hal ini berarti ijmâ’ sukûtî di kalangan sahabat.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pada masa sahabat, sumber yang digunakan dalam merumuskan fiqh adalah Al-Qur’an, penjelasan Nabi yang disebut sunah, dan ijtihad yang terbatas pada qiyas serta ijmâ’ shahabat. Bila pada masa Nabi proses penetapan fiqh disebut pembinaan fiqh, maka pada masa sahabat disebut pe- riode pengembangan fiqh.
3. Fiqh pada Masa Imam Mujtahid
Bila pada masa Nabi sumber fiqh adalah Al-Qur’an, maka pada masa sahabat dikembangkan dengan dijadikannya petunjuk Nabi dan ijtihad sebagai sumber penetapan fiqh. Sesudah masa sahabat, penetapan fiqh dengan menggunakan sunah dan ijtihad ini sudah begitu berkembang dan meluas. Dalam kadar penerimaan dua sum- ber itu terlihat kecenderungan mengarah pada dua bentuk.
Pertama, dalam menetapkan hasil ijtihad lebih banyak menggunakan hadis Nabi dibandingkan dengan menggunakan ijtihad, meskipun keduanya tetap dijadikan sumber. Kelompok yang menggunakan cara ini biasa disebut “Ahl al-Hadîs”. Kelompok ini lebih banyak tinggal di wilayah Hijaz, khususnya Madinah.
Kedua, dalam menetapkan fiqh lebih banyak menggunakan sumber ra’yu atau ijtihad ketimbang hadis, meskipun hadis juga banyak digunakan. Kelompok ini disebut “Ahl al-Ra’yi”. Kelompok
ini lebih banyak mengambil tempat di wilayah Irak, khususnya
Kufah dan Basrah.
Munculnya dua kecenderungan ini dapat dipahami, terutama karena adanya dua latar belakang historis dan sosial budaya yang berbeda. Ahl al-Hadîs muncul di wilayah Hijaz adalah karena Hijaz khususnya Madinah dan Mekah adalah wilayah tempat Nabi bermukim dalam mengembangkan Islam. Dengan demikian, orang-orang Islam di wilayah ini lebih banyak mengetahui tentang kehidupan Nabi dan dengan sendirinya banyak mendengar dan mengetahui hadis dari Nabi. Sebaliknya, Irak atau Kufah, karena jauhnya lokasi dari wilayah kehidupan Nabi, maka pengetahuan mereka akan hadis Nabi tidak sebanyak yang diperoleh orang Islam di Hijaz. Di samping itu, kehidupan sosial dan muamalat begitu luas serta kompleks karena lokasinya yang lebih maju dari Hijaz. Untuk mengatasi itu semua mereka lebih banyak dan lebih sering menggunakan ijtihad dalam penetapan fiqh. ljtihad itu pun tidak lagi terbatas pada penggunaan metode qiyâs sebagaimana berlaku pada masa sebelumnya. Kedua aliran ini sama-sama berkembang dengan pesat. Masing-masing melahirkan madrasah-madrasah fiqh dan menghasilkan para ahli fiqh.
Kelompok “Ahl al-Hadîs” menonjolkan dua madrasah, yaitu Madrasah Madinah dan Madrasah Mekah. Dari Madrasah Madinah muncul para fuqaha terkemuka, seperti: Aisyah ummul Mukminin; Abdullah ibn ‘Umar ibn Khattab; Abu Hurairah; Said ibn Musayyab; Urwah ibn Zuber; Abu Bakar ibn Abd al-Rahman; Ali ibn Husein; Ubaidullah ibn Abdullah; Salim ibn Abdullah; Sulaiman ibn Yassar, Qasim ibn Ahmad; Nafi’ Maula ibn ‘Umar; Muhammad ibn Salim; Abu Ja’far; Abu Zinad; Yahya ibn Zaid al- Anshari; Rabi‘ah ibn ‘Abdurrahman.
Madrasah Mekah menghasilkan fuqaha sebagai berikut: Ab- dullah ibn Abbas; Mujahid; Ikrimah, Atha’ ibn Abi Rabah; dan Abu Zubeir. Hasil dari tempaan Madrasah Madinah dan Mekah ini muncul seorang mujtahid besar ahli hadis, yaitu Malik bin Anas yang ke- mudian diikuti kelompok besar yang disebut Mazhab Malikiyyah.
Ahl al-Ra’yi menampilkan dua Madrasah besar, yaitu: Madrasah Kufah dan Madrasah Basrah di wilayah Irak. Dari Madrasah Kufah muncul mujtahid ahl al-ra’yi, seperti: ‘Alqamah ibn Qeis; Masruk bin Ajda’; ‘Ubaidah ibnu ‘Umar; Aswad ibn Yazid al-Nakha‘i; Ibrahim al-Nakha‘i, Said ibn Zubeir; ‘Amir al-Sya’bi. Sedangkan Madrasah Basrah menghasilkan mujtahid yang terbesarnya, yaitu: Anas ibn Malik. Dari para fuqaha Madrasah Irak ini muncul mujtahid besar ahl al-ra’yi yaitu Abu Hanifah dengan banyak pengikutnya, yang disebut ulama Mazhab Hanafiyyah.
Kemudian, pada pertengahan abad kedua Hijriah tampil seseorang mujtahid besar yang pernah menggali pengetahuan dan pengalaman dari Madrasah Hijaz dan juga dari Madrasah Irak, yaitu Imam Abu
‘Abdillah Muhammad ibn Idris al-Syafi‘i.
Iman Syafi‘i mencoba mengambil jalan tengah antara pendapat kelompok ahl al-hadîs dan ahl al-ra’yi. Beliau menggunakan lebih banyak sumber ra’yu, tetapi tidak seluas yang digunakan kelompok ahl al-ra’yi, dan dalam waktu yang sama banyak pula menggunakan sumber hadîs, tetapi tidak seluas yang digunakan ahl al-hadîs. Ia mengambil sikap kompromi dan pengembangan antara aliran ra’yu dan aliran hadîs. Metode Imam Syafi‘i ini berkembang dengan pesat dan mempunyai pengikut yang banyak, baik di Irak maupun di Mesir, yang kemudian disebut Mazhab Syafi‘iyyah.
Di antara pengikut terkemuka Iman Syafi‘i yang kemudian lebih mewarnai pendapatnya dengan hadis ialah Ahmad bin Hanbal, yang kemudian mempunyai banyak pengikut, yang disebut Mazhab Hanabilah.
Di samping itu, tampil pula mujtahid yang dalam pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an lebih banyak berpedoman kepada lahir lafaz dan menghindarkan diri dari membawa pemahamannya keluar (di balik) lahir lafaz. Tokoh yang masyhur pengembang cara pemikiran ini adalah Daud bin ‘Ali yang juga mempunyai banyak pengikut, dan berkembang sampai waktu ini. Aliran ini kemudian disebut Mazhab Zhahiriyyah.
Kelima aliran tersebut berada dalam lingkup aliran kalam Ahl al-sunah wa al-Jama’ah. Aliran fiqh yang juga muncul dalam masa ini
adalah Mazhab Syi‘ah yang dapat bertahan sampai waktu ini. Mazhab terbesar dari kelompok ini, adalah Mazhab Syi‘ah Imamiyah.
Setiap aliran fiqh tersebut mengembangkan paham dan metode pemikirannya yang kemudian tersebar luas melalui murid-murid mujtahid dan di kalangan para pengikutnya. Suatu hal yang patut dipahami dan digarisbawahi bahwa mereka itu berbeda pandangan (pendapat) hanya dalam masalah furû’ (cabang, bukan pokok); dan mereka tidak berbeda dalam masalah pokok/inti agama yang telah diterangkan Allah dalam Al-Qur’an secara jelas dan pasti.
Periode ini ditandai oleh beberapa kegiatan ijtihad yang meng- hasilkan fiqh dalam bentuknya yang mengagumkan.
Pertama, kegiatan menetapkan metode berpikir dalam memahami sumber hukum. Untuk maksud ini para ulama menyusun kaidah- kaidah yang dapat mengarahkan mereka dalam usaha mengistinbath- kan hukum dari dalil yang sudah ada. Kaidah ini kemudian disebut Ushul Fiqh. Dengan kaidah ushul ini secara sistematis ulama mujtahid dapat memahami maksud Allah yang tertuang dalam ayat-ayat hukum. Perbedaan dalam penentuan kaidah ini pada dasarnya menentukan perbedaan ulama dalam formulasi fiqh. Ushul fiqh yang telah tersusun dalam bentuk ilmu yang sistematis muncul dalam karya Imam Syafi‘i yang bermanaAl-Risâlah.
Kedua, kegiatan penetapan istilah-istilah hukum yang digunakan dalam fiqh. Pada mulanya umat Islam dengan taat melaksanakan perintah-perintah Allah dalam Qur’an atau suruhan Nabi yang tersebut dalam sunah-Nya, meskipun belum mengenal istilah-istilah hukum. Demikian pula ketaatan mereka dalam menjauhi semua yang dilarang syara’.
Untuk memudahkan umat Islam dalam memahami perintah dan larangan syara’, ulama mujtahid mencoba memberi istilah ter- hadap setiap hukum syara’ yang berkenaan dengan tingkah laku mujtahid. Pada waktu ini dipisahkan antara perbuatan yang wajib, sunah, makruh, haram, dan mubah. Dikembangkan pula pengertian tentang syarat, rukun, sebab, mani’, shah, batal, halal, dan haram. Dengan demikian, setiap umat dapat menempatkan tingkah lakunya dalam hubungannya dengan kepatuhan terhadap hukum syara’ kepada istilah-istilah tersebut.
Ketiga, menyusun kitab fiqh secara sistematis, yang tersusun dalam bab dan pasal; bagian dan subbagian yang mencakup semua masalah hukum, baik yang berkenaan dalam hubungannya dengan Allah, maupun dalam hubungannya dengan manusia dan alam ling- kungannya; masing-masing sesuai dengan metode dan cara berpikir imam mujtahidnya.
4. Fiqh dalam Periode Taklid
Akhir dari masa gemilang ijtihad pada periode imam mujtahid ditandai dengan telah tersusunnya secara rapi dan sistematis kitab- kitab fiqh sesuai dengan aliran berpikir mazhab masing-masing. Dari satu segi, pembukuan fiqh ini ada dampak positifnya yaitu kemudahan bagi umat Islam dalam beramal, karena semua masalah agama telah dapat mereka temukan jawabannya dalam kitab fiqh yang ditulis para mujtahid sebelumnya. Tetapi dari segi lain, terdapat dampak negatifnya yaitu terhentinya daya ijtihad, karena orang tidak merasa perlu lagi berpikir tentang hukum, sebab semuanya sudah tersedia jawabannya.
Kegiatan ijtihad pada masa ini terbatas pada usaha pengembangan, pensyarahan dan perincian kitab fiqh dari imam mujtahid yang ada (terdahulu), dan tidak muncul lagi pendapat atau pemikiran baru.
Kitab fiqh yang dihasilkan para mujtahid terdahulu diteruskan dan dilanjutkan oleh pengikut mazhab kepada generasi sesudahnya, tanpa ada maksud untuk memikirkan atau mengkajinya kembali secara kritis dan kreatif meskipun situasi dan kondisi umat yang akan menjalankannya sudah sangat jauh berbeda dengan kondisi di saat fiqh itu dirumuskan oleh imam mujtahid. Karena itu sudah mulai banyak ketentuan-ketentuan fiqh lama itu yang tidak dapat diikuti untuk diterapkan secara praktis. Selain itu, sangat banyak masalah fiqh yang tidak dapat dipecahkan hanya dengan semata membolak-balik kitab-kitab fiqh yang ada itu. Jika pada masa imam mujtahid, fiqh yang disusunnya itu berjalan secara praktis dengan daya aktualitas yang tinggi, maka pada masa berikutnya, fiqh dalam bidang-bidang tertentu sudah kehilangan daya aktualitasnya
5. Reformulasi Fiqh Islam
Dalam satu segi, umat Islam menginginkan kembali kehidupannya diatur oleh hukum Allah. Tetapi dari segi lain, kitab-kitab fiqh yang ada pada waktu ini-yang merupakan formulasi resmi dari hukum syara’-belum seluruhnya memenuhi keinginan umat Islam, oleh karena kondisi sekarang yang sudah jauh berbeda dengan kondisi ulama mujtahid ketika mereka memformulasikan kitab fiqh itu.
Keadaan demikian itu mendorong para pemikir muslim untuk menempuh usaha reaktualisasi hukum yang dapat menghasilkan formulasi fiqh yang baru, sehingga dapat menuntun kehidupan keagamaan dan keduniaan umat Islam, sesuai dengan persoalan zamannya.
C. Pengertian dan Ruang Lingkup Ushul Fiqh
1. Latar Belakang
Pada waktu Nabi Muhammad SAW. masih hidup, segala persoalan hukum yang timbul langsung ditanyakan kepada beliau. Beliau mem- berikan jawaban hukum dengan menyebutkan ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam keadaan tertentu yang tidak ditemukan jawabannya dalam Al-Qur’an, beliau memberikan jawaban melalui penetapan beliau yang disebut hadis atau sunah. Al-Qur’an dan penjelasannya dalam bentuk hadis disebut “Sumber Pokok Hukum Islam”.
Al-Qur’an turun dalam bahasa Arab. Demikian pula hadis yang disampaikan Nabi, juga berbahasa Arab. Para sahabat Nabi mempunyai pengetahuan yang luas tentang bahasa Arab itu sebagai bahasa ibunya. Mereka mengetahui secara baik arti setiap lafaz-nya dan maksud dari setiap ungkapannya. Pengalaman mereka dalam menyertai kehidupan Nabi dan pengetahuan mereka tentang sebab-sebab serta latar belakang turunnya ayat-ayat hukum memungkinkan mereka mengetahui rahasia dari setiap hukum yang ditetapkan Allah. Karenanya, mereka tidak merasa memerlukan sesuatu di balik itu dalam usaha mereka memformulasikan hukum dari sumbernya yang telah ada, sebagaimana mereka tidak memerlukan kaidah bahasa dalam memahami Al-Qur’an dan hadis Nabi yang berbahasa Arab itu.
Bila para sahabat Nabi menemukan kejadian yang timbul dalam kehidupan mereka dan memerlukan ketentuan hukumnya, mereka men- cari jawabannya dalam Al-Qur’an. Bila tidak menemukan jawabannya secara harfiah dalam Al-Qur’an, mereka mencoba mencarinya dalam koleksi hadis Nabi. Bila dalam hadis Nabi tidak juga mereka temukan jawabannya, mereka menggunakan daya nalar yang dinamakan ijtihad. Dalam berijtihad itu mereka mencari titik kesamaan dari suatu kejadian yang dihadapinya itu dengan apa-apa yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan hadis. Mereka selalu mendasarkan pertimbangan pada usaha “memelihara kemaslahatan umat” yang menjadi dasar dalam penetapan hukum syara’.
Dengan cara seperti itulah Muaz ibn Jabal memberikan jawaban kepada Nabi dalam dialog di antara keduanya sewaktu Muaz diutus Nabi ke Yaman untuk menduduki jabatan qadhi.
Nabi : “Bagaimana cara Anda menetapkan hukum bila kepada Anda dihadapkan perkara yang memerlukan ketetapan hukum?”
Muaz : “Aku menetapkan hukum berdasarkan Kitab Allah.”
Nabi : “Bila Anda tidak menemukan jawabannya dalam Kitab
Allah?”
Muaz : “Aku menetapkan hukum dengan sunah Nabi.”
Nabi : “Bila dalam sunah, Anda juga tidak menemukannya?”
Muaz : “Aku melakukan ijtihad dan aku tidak akan gegabah da- lam ijtihadku.”
Jawaban Muaz dengan urut-urut seperti itu mendapat pe- ngakuan dari Nabi Muhammad SAW..
Allah SWT. dalam surat an-Nisa’(4): 59 berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, patuhlah kamu kepada Allah dan patuhlah kamu kepada Rasul dan orang-orang yang
memimpin urusanmu. Bila kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul.
Suruhan Allah dalam ayat ini untuk menaati Allah dan Rasul-Nya berarti perintah untuk mengikuti apa-apa yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi. Suruhan untuk menaati ulil amri berarti perintah untuk mengikuti kesepakatan para ulama mujtahid dalam menetapkan hukum, karena mereka adalah orang-orang yang mengurus kepentingan umat Islam dalam bidang hukum. Suruhan untuk memulangkan hal dan urusan yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasul berarti perintah untuk menggunakan qiyâs (daya nalar) dalam hal-hal yang tidak ditemukan jawabannya dalam Al-Qur’an, hadis, dan tidak ada pula ijmâ’ atau kesepakatan ulama mujtahid. Dengan demikian, dalil hukum syara’ yang disepakati di kalangan ulama jumhur adalah empat yaitu Al-Qur’an, hadis atau sunah, Ijma’, dan Qiyâs.
Setelah masa gemilang itu berlalu, datanglah suatu masa di mana umat Islam sudah bercampur baur antara orang-orang yang berbahasa Arab dan memahaminya secara baik dengan orang-orang yang tidak berbahasa Arab atau tidak memahaminya secara baik. Waktu itu bahasa Arab menjadi sesuatu yang harus dipelajari untuk memahami hukum- hukum Allah. Karenanya para ahli berusaha menyusun kaidah-kaidah untuk menjaga seseorang dari kesalahan dalam memahami Al-Qur’an dan hadis yang keduanya adalah sumber pokok ajaran Islam.
Kemudian para ulama mujtahid merasa perlu menetapkan dan menyusun kaidah atau aturan permainan yang dijadikan pedoman dalam merumuskan hukum dari sumber-sumbernya dengan memer- hatikan asas dan kaidah yang ditetapkan ahli bahasa yang memahami dan menggunakan bahasa Arab secara baik. Di samping itu, juga memerhatikan jiwa syariah dan tujuan Allah menempatkan mukalaf dalam tanggung jawab hukum. Kaidah dalam memahami hukum Allah dari sumbernya itulah yang disebut ushul fiqh.
2. Pengertian Ushul Fiqh
Kata “ushul fiqh” adalah kata ganda yang terdiri dari kata “ushul”
dan kata “fiqh”. Kata “fiqh” secara etimologi berarti “paham yang
mendalam”. Kata ini muncul sebanyak 20 kali dalam Al-Qur’an dengan arti paham itu, umpamanya dalam surat al-Kahfi (18): 93:
“dalil syara’” itu ada aturannya dalam bentuk kaidah, umpamanya: “Setiap perintah itu menunjukkan wajib”. Pengetahuan tentang kaidah- kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’ tersebut, itulah yang disebut “Ilmu Ushul Fiqh”.
Dari penjelasan sederhana di atas dapat diketahui perbedaan ushul fiqh dari fiqh. Ushul fiqh adalah pedoman atau aturan-aturan yang membatasi dan menjelaskan cara-cara yang harus diikuti seorang fakih dalam usahanya menggali dan mengeluarkan hukum syara’ dari dalilnya; sedangkan fiqh ialah hukum-hukum syara’ yang telah digali dan dirumuskan dari dalil-dalil menurut aturan yang sudah ditentukan itu.
Adapun perbedaan antara “ushul fiqh” dengan “kaidah fiqhiyah” terletak pada lingkup bahasannya. Kaidah fiqhiyah berada dalam lingkup bahasan fiqh, bukan dalam lingkup bahasan ushul fiqh. Usul fiqh menjelaskan ketentuan atau aturan yang harus diikuti seorang mujtahid untuk menghindarkan dirinya dari kesalahan dalam usahanya merumuskan hukum syara’ dari dalilnya. Adapun kaidah fiqhiyah adalah kumpulan hukum-hukum kesamaan yang setiap hal dirujukkan kepada satu pola yang sama; seperti kaidah khiyâr, atau kaidah-kaidah fasakh secara umum.
3. Perkembangan Ushul Fiqh
Ilmu ushul fiqh bersamaan munculnya dengan ilmu fiqh meskipun dalam penyusunannya ilmu fiqh dilakukan lebih dahulu dari ushul fiqh. Sebenarnya keberadaan fiqh harus didahului oleh ushul fiqh, karena ushul fiqh itu adalah ketentuan atau kaidah yang harus diikuti mujtahid pada waktu menghasilkan fiqhnya. Namun dalam perumusannya ushul fiqh datang belakangan.
Perumusan fiqh sebenarnya sudah dimulai langsung sesudah Nabi wafat, yaitu pada periode sahabat. Pemikiran dalam ushul fiqh telah ada pada waktu perumusan fiqh itu. Para sahabat-di antaranya Umar Ibn Khattab, Ibnu Mas‘ud, ‘Ali ibn Abi Thalib umpamanya-pada waktu mengemukakan pendapatnya tentang hukum, sebenarnya sudah menggunakan aturan atau pedoman dalam merumuskan hukum, meskipun secara jelas mereka tidak mengemukakan demikian.
Sewaktu ‘Ali ibn Abi Thalib menetapkan hukuman cambuk sebanyak 80 kali terhadap peminum khamar, beliau berkata, “Bila ia minum ia akan mabuk dan bila ia mabuk, ia akan menuduh orang berbuat zina secara tidak benar; maka kepadanya diberikan sanksi tuduhan berbuat zina.” Dari pernyataan ‘Ali itu, akan diketahui bahwa ‘Ali rupanya menggunakan kaidah menutup pintu kejahatan yang akan timbul atau “sad al-dzari‘ah”.
‘Abdullah ibn Mas’ud sewaktu mengemukakan pendapatnya tentang wanita hamil yang kematian suami ‘idahnya adalah melahirkan anak, mengemukakan argumennya dengan Firman Allah dalam surat at-Thalaq (85) ayat 4, meskipun juga ada Firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) yang menjelaskan bahwa istri yang kematian suami
‘idahnya empat bulan sepuluh hari. Dalam menetapkan pendapat ini beliau mengatakan bahwa ayat 4 surat at-Thalaq datang sesudah ayat
234 surat al-Baqarah (2).
Dari tindakan Ibnu Mas’ud tersebut kelihatan bahwa dalam me- netapkan fatwanya itu ia menggunakan kaidah ushul, tentang nasakh- mansûkh, yaitu bahwa dalil yang datang kemudian menasakhkan dalil yang datang terdahulu. Dari apa yang dilakukan lbnu Mas‘ud ini dan juga dari apa yang dilakukan ‘Ali ibn Abi Thalib dalam contoh di atas kita dapat memahami bahwa para sahabat dalam me- lakukan ijtihad mengikuti suatu pedoman tertentu meskipun tidak dirumuskan secara jelas.
Pada periode tabi‘în lapangan istinbath atau perumusan hukum semakin meluas karena begitu banyaknya peristiwa hukum yang bermunculan. Dalam masa itu beberapa orang ulama tabi‘in tampil sebagai pemberi fatwa hukum terhadap kejadian yang muncul; umpamanya Sa‘id ibn Musayyab di Madinah dan lbrahim al-Nakha‘i di lrak. Masing-masing ulama ini mengetahui secara baik ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an dan mempunyai koleksi yang lengkap tentang hadis Nabi. Jika mereka tidak menemukan jawaban hukum dalam Al-Qur’an atau hadis, sebagian dari mereka mengikuti metode maslahat dan sebagian mengikuti metode qiyas. Usaha istinbath hukum yang dilakukan Ibrahim al-Nakha‘i dan ulama Irak lainnya mengarah kepada mengeluarkan ‘Illat hukum
dari nash dan menerapkannya terhadap peristiwa yang lama yang baru bermunculan kemudian hari.
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa metode yang digunakan dalam merumuskan hukum syara’ semakin memperlihatkan ben- tuknya. Perbedaan metode yang digunakan menyebabkan timbulnya perbedaan aliran dalam fiqh.
Abu Hanifah dalam usaha merumuskan fiqhnya menggunakan metode tersendiri. Ia menetapkan Al-Qur’an sebagai sumber pokok, kemudian hadis Nabi, berikutnya fatwa sahabat. Ia mengambil hukum-hukum yang telah disepakati para sahabat. Dalam hal-hal yang ulama sahabat berbeda pendapat, ia memilih satu di antaranya yang dianggap lebih kuat. Abu Hanifah tidak mengambil pendapat ulama tabi‘in sebagai dalil dengan pertimbangan bahwa ulama tabi‘in itu berada dalam satu ranking dengannya. Metodenya dalam menggunakan qiyâs dan istihsân terlihat nyata sekali.
Imam Malik menempuh metode ushuli yang lebih jelas meng- gunakan tradisi yang hidup di kalangan penduduk Madinah, se- bagaimana dinyatakan dalam buku dan risalahnya. Terlihat usahanya menolak hadis yang dihubungkan kepada Nabi karena hadis itu menyalahi nash Al-Qur’an. Imam Malik lebih banyak menggunakan hadis ketimbang Abu Hanifah; mungkin karena begitu banyaknya hadis yang dia temukan. Dalam penggunaan qiyâs, ia memberikan persyaratan yang begitu berat. Tetapi di balik itu, Imam Malik meng- gunakan maslahat mursalah yang tidak digunakan ulama jumhur; sebagai imbangan dari istihsân yang digunakan Abu Hanifah. Metode yang digunakan Imam Malik dalam merumuskan hukum syara’ merupakan pantulan dari aliran Hijaz, sebagaimana metode yang digunakan Abu Hanifah merupakan pantulan dari aliran Irak.
Setelah Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, tampil Imam Syafi‘i. Ia menemukan dalam masanya perbendaharaan fiqh yang sudah berkembang semenjak periode sahabat, tabi‘in, dan imam-imam yang mendahuluinya. Ia menemukan perbincangan tentang fiqh begitu meriah yang diwarnai diskusi dan polemik yang menarik di antara tokoh-tokoh yang berbeda pendapat. Perdebatan terbuka berlangsung di antara kubu Madinah dan kubu Irak. Imam Syafi‘i menggali
pengalaman dalam berbagai diskusi di tengah pendapat yang berbeda itu. Ia memiliki pengetahuan tentang fiqh Maliki yang diterimanya langsung dari Imam Malik. Ia juga sempat menimba pengetahuan dan pengalaman dari Muhammad ibn Hasan al-Syaibani (murid Abu Hanifah) sewaktu ia berada di Irak. Selain itu, ia pun mendalami fiqh ulama Mekah tempat ia lahir dan berkembang. Modal pengalaman dan pengetahuannya yang luas dan mendalam itu, memberi petunjuk kepada Imam Syafi‘i untuk meletakkan pedoman dan neraca berpikir yang menjelaskan langkah-langkah yang harus dilakukan mujtahid dalam merumuskan hukum dari dalilnya. Metode berpikir yang dirumuskan Imam Syafi‘i itulah yang kemudian disebut “ushul fiqh”.
Imam Syafi‘i pantas disebut sebagai orang pertama yang me- nyusun sistem metodologi berpikir tentang hukum Islam, yang kemudian populer dengan sebutan ushul fiqh; sehingga tidak salah ucapan seseorang orientalis Inggris, N. J. Coulson, yang mengatakan bahwa Imam Syafi‘i adalah arsitek ilmu fiqh. Hal ini bukanlah berarti beliau yang merintis dan mengembangkan ilmu tersebut. Jauh sebelumnya, mulai dari para sahabat, tabi‘in, bahkan di kalangan imam mujtahid belakangan seperti Abu Hanifah, Imam Malik dan juga di kalangan ulama Syi‘ah seperti Muhammad al-Baqir dan Ja’far al-Shadiq sudah menemukan dan menggunakan metodologi dalam perumusan fiqh. Tetapi mereka belum menyusun ilmu itu secara sistematis sehingga dapat disebut sebagai ilmu yang berdiri sendiri.
Kemampuan Imam Syafi‘i dalam melahirkan ilmu ushul fiqh ini ditopang beberapa faktor yang ada pada diri dan pengalamannya. Pengalamannya yang lama di pedesaan Arab memungkinkannya me- nimba pengetahuan tentang bahasa Arab bahkan ia menjadi salah seorang ahli Lisân al-‘Arab. Dengan ilmu ini ia memiliki kemampuan yang tinggi dalam merumuskan kaidah untuk mengeluarkan hukum syara’ dari teks Al-Qur’an dan hadis yang keduanya berbahasa Arab orisinal.
Selama keberadaannya di Mekah, Imam Syafi‘i mewarisi ilmu Al-Qur’an dari ‘Abdullah ibn ‘Abbas yang memungkinkannya untuk mengenal nasikh-mansûkh dalam Al-Qur’an. Di samping itu, ia berkesempatan pula mendalami hadis Nabi dari ulama hadis yang
memungkinkannya mengenal kedudukan sunah bagi Al-Qur’an sehingga beliau dapat menyelesaikan pendapat dan anggapan adanya pertentangan antara Al-Qur’an dengan Hadis Nabi. Penguasaannya yang baik terhadap fiqh aliran tradisionalis (Hijaz) dan fiqh aliran rasionalis (Irak) merupakan modal dasar penyusunan kaidah-kaidah dalam menggunakan qiyâs. Dengan segenap kemampuannya itu, Imam Syafi‘i berhasil menyusun metodologi yang sistematis dalam merumuskan hukum syara’.
Sepeninggal Imam Syafi‘i pembicaraan tentang ushul fiqh se- makin menarik, dan ushul fiqh itu sendiri semakin berkembang. Pada dasarnya ulama fiqh pengikut imam mujtahid yang datang kemudian mengikuti dasar-dasar yang sudah disusun Imam Syafi‘i. Dalam pengembangannya terlihat adanya perbedaan arah yang menyebabkan perbedaan dalam ushul fiqh.
Sebagian ulama yang kebanyakan pengikut Imam Syafi‘i mencoba mengembangkan ushul fiqh Syafi‘i dengan cara, antara lain: men- syarahkan, memerinci yang bersifat garis besar, mempercabangkan pokok pikiran Imam Syafi‘i, sehingga ushul fiqh Syafi‘iyyah menemukan bentuknya yang sempurna.
Sebagian ulama mengambil sebagian dari pokok-pokok pikiran Imam Syafi‘i itu dan tidak mengikutinya dalam bagian lain yang bersifat rincian. Sebagai ganti dari yang tidak diikutinya itu ditambahkannya hal-hal yang sudah menjadi dasar bagi pikiran imam mereka. Kelompok ulama Hanafiyah mengambil sebagian yang dasar-dasarnya diletakkan Imam Syafi‘i, kemudian mereka menambahkan pemikiran tentang istihsan dan ‘urf yang diambil dari imam mereka. Kelompok ulama Malikiyah, di samping mengikuti beberapa dasar yang diletakkan Imam Syafi‘i, mereka tidak mengikuti pendapat Syafi‘i yang menolak ijmâ’ ahli Madinah dan memasukkan tambahan berupa maslahat mursalah serta prinsip penetapan hukum berdasarkan sad al-dzarâ‘i.
Pada prinsipnya fuqaha mazhab yang empat tidak berbeda dengan dasar yang ditetapkan Imam Syafi‘i tentang penggunaan dalil yang empat, yaitu: Al-Qur’an, hadis, Ijma’ dan Qiyas, meskipun dalam kadar penggunaannya terdapat perbedaan. Di samping itu, masing-masing menggunakan dalil tambahan yang tidak digunakan ulama lainnya.
Meskipun kemudian sesudah meninggalnya imam-imam muj- tahid yang empat dinyatakan bahwa kegiatan ijtihad terhenti, namun sebenarnya yang terhenti adalah kegiatan ijtihad mutlaq sedangkan ijtihad terhadap ushul mazhab yang tertentu masih tetap berlangsung yang masing-masing mengarah kepada menguatnya ushul fiqh yang dirintis para imam pendahulunya.
Sesudah melembaganya mazhab-mazhab fiqh, maka arah pe- ngembangan ushul fiqh terlihat dalam dua bentuk yang berbeda.
Pertama, arah pemikiran murni, yaitu penyusunan kaidah ushul yang tidak terpengaruh kepada furu’ mazhab mana pun. Perhatian pembahasan dalam hal ini mengarah kepada penerapan kaidah dan menguatkannya, tanpa terikat pada amal yang berkembang di ka- langan mazhab. Perkembangan ushul fiqh menurut arah ini disebut ushul fiqh Syafi‘iyah atau ushul fiqh aliran Mutakallimin. Penamaan ulama Mutakallimin atau ulama kalam tersebut, dalam hal ini karena pemikiran ulama kalam di bidang ini mengelompok dalam aliran ushul fiqh. Di antara buku ushul fiqh yang disusun menurut metode ini adalah:
1. Kitab al-Mu’tamad karangan Abu Hasan al-Bashri yang dalam aliran kalam beraliran Mu’tazilah;
2. Kitab al-Burhân karangan Imam al-Haramain; dan
3. Kitab al-Mustashfâ karangan al-Ghazali.
Ketiga kitab tersebut oleh ulama yang datang kemudian dibuat ikhtisar sehingga menjadi karangan pendek. Karangan pendek ini kemudian oleh ulama belakangan disyarahkan. Kemudian syarah itu diberi hasyiyah, sehingga akhirnya berkembang menjadi kitab- kitab ushul fiqh dalam mazhab Syafi‘i.
Kedua, mengarah pada penyusunan ushul fiqh yang terpengaruh pada furu’ dan menyesuaikannya bagi kepentingan furu’ dan berusaha mengembangkan ijtihad yang telah berlangsung sebelumnya. Hal ini berarti bahwa pengikut mazhab melakukan ijtihad untuk memelihara hukum fiqh yang dicapai oleh ulama pendahulu mazhabnya. Mereka mengemukakan kaidah-kaidah yang mendukung dan menguatkan mazhab mereka. Ulama fuqaha yang lebih banyak menggunakan
metode ini adalah ulama kelompok Hanafiyah. Karena itu metode ushul fiqh menurut metode ini disebut metode ushul Hanafiyah. Kitab-kitab ushul fiqh menurut metode ini, antara lain:
1. Kitab Ushûl karangan al-Karahki;
2. Kitab al-Ushûl karangan Abu Bakar al-Razi; dan
3. Kitab Ta’sîs al-Nazhar karangan al-Dabbusi.
Sesudah itu bermunculan kitab-kitab ushul fiqh aliran Hanafiyah, seperti karangan al-Baidhawi, al-Sarhisi, dan lain-lainnya.
Sesudah dua metode ini berjalan mapan dan berkembang me- nurut aliran masing-masing, ditemukan pula kitab-kitab ushul fiqh yang merupakan gabungan dari kedua aliran tersebut. Sebagian ditulis oleh ulama dari mazhab Syafi‘i seperti kitab Jam‘ul Jawâmi’ oleh Ibnu Subki dan sebagian ditulis ulama mazhab Hanafi seperti kitab al-Tahrîr oleh Kamaluddin ibn al-Hummam.
4. Tujuan dan Manfaat Ushul Fiqh
Tujuan yang hendak dicapai dari ilmu ushul fiqh ialah untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang terinci agar sampai kepada hukum-hukum syara’ yang bersifat
‘amali yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu. Dengan kaidah ushul serta bahasannya itu dapat dipahami nash-nash syara’ dan hukum yang terkandung di dalamnya. Demikian pula dapat dipahami secara baik dan tepat apa-apa yang dirumuskan ulama mujtahid dan bagaimana mereka sampai kepada rumusan itu.
Metnang dengan metode tersebut para ulama telah berhasil me- rumuskan hukum syara’ dan telah terjabar secara rinci dalam kitab- kitab fiqh. Lantas untuk apa lagi, ushul fiqh itu bagi umat yang datang kemudian? Dalam hal ini ada dua maksud mengetahui ushul fiqh itu.
Pertama, bila kita sudah mengetahui metode ushul fiqh yang dirumuskan ulama terdahulu, maka bila suatu ketika kita menghadapi masalah baru yang tidak mungkin ditemukan hukumnya dalam kitab- kitab fiqh terdahulu, maka kita akan dapat mencari jawaban hukum terhadap masalah baru itu dengan cara menerapkan kaidah-kaidah hasil rumusan ulama terdahulu itu.
Kedua, bila kita menghadapi masalah hukum fiqh yang terurai dalam kitab-kitab fiqh, tetapi mengalami kesukaran dalam penerapannya karena sudah begitu jauhnya perubahan yang terjadi, dan kita ingin mengkaji ulang rumusan fuqaha lama itu atau ingin merumuskan hukum yang sesuai dengan kemaslahatan dan tuntutan kondisi yang menghendakinya, maka usaha yang harus ditempuh adalah merumuskan kaidah baru yang memungkinkan timbulnya rumusan baru dalam fiqh. Kaji ulang terhadap suatu kaidah atau menentukan kaidah baru itu tidak mungkin dapat dilakukan bila tidak mengetahui secara baik usaha dan cara ulama lama dalam merumuskan kaidahnya. Hal itu akan diketahui secara baik dalam ilmu ushul fiqh.
5. Pokok Pembahasan Ushul Fiqh
Bertitik tolak dari definisi ushul fiqh yang disebutkan di atas, maka bahasan pokok ushul fiqh itu adalah tentang:
a. Dalil-dalil atau sumber hukum syara’;
b. Hukum-hukum syara’ yang terkandung dalam dalil itu; dan
c. Kaidah-kaidah tentang usaha dan cara mengeluarkan hukum
syara’ dan dalil atau sumber yang mengandungnya.
Dalam membicarakan sumber hukum dibicarakan pula kemung- kinan terjadinya benturan antara dalil-dalil dan cara menyelesaikannya. Dibahas pula tentang orang-orang yang berhak dan berwenang menggunakan kaidah atau metode dalam melahirkan hukum syara’ tersebut. Hal ini memunculkan pembahasan tentang ijtihad dan mujtahid. Kemudian membahas mengenai tindakan dan usaha yang dapat ditempuh orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan dan kemungkinan berijtihad atau pembahasan tentang taklid dan hal-hal lain yang berhubungan dengannya.
Dalam sistematika penyusunan pokok-pokok bahasan terdapat perbedaan yang disebabkan perbedaan arah dan penekanan dari beberapa pokok bahasan tersebut.
A. Pengertian Fiqh, Syariah, dan Hukum Islam
Pengertian fiqh atau ilmu fiqh sangat berkaitan dengan syariah, karena fiqh itu pada hakikatnya adalah jabaran praktis dari syariah. Karenanya, sebelum memberikan penjelasan tentang arti fiqh, ter- lebih dahulu perlu dijelaskan arti dan hakikat syariah.
1. Pengertian Syariah
Secara etimologis (lughawi) syariah berarti “jalan ke tempat pengairan” atau “jalan yang harus diikuti”, atau “tempat lalu air di sungai”. Arti terakhir ini digunakan orang Arab sampai sekarang.
Kata syariah muncul dalam beberapa ayat Al-Qur’an, seperti pa- da surat al-Maidah (5): 48; asy-Syura (42): 13; dan al-Jatsiyah (45):
18, yang mengandung arti “jalan yang jelas yang membawa kepada kemenangan”. Dalam hal ini, agama yang ditetapkan Allah untuk manusia disebut syariah, dalam artian lughawi, karena umat Islam selalu melaluinya dalam kehidupannya di dunia. Kesamaan syariah Islam dengan jalan air adalah dari segi bahwa siapa yang mengikuti syariah ia akan mengalir dan bersih jiwanya. Allah menjadikan air sebagai penyebab kehidupan tumbuh-tumbuhan dan hewan sebagaimana Dia menjadikan syariah sebagai penyebab kehidupan jiwa insani.
Menurut para ahli, definisi syariah adalah: “Segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia di luar yang menge- nai akhlak”. Dengan demikian, “syariah” itu adalah nama bagi hu- kum-hukum yang bersifat amaliah.
Walaupun pada mulanya syariah itu diartikan “agama” sebagaimana yang disinggung Allah dalam surat asy-Syura (42): 13, namun kemudian dikhususkan penggunaannya untuk hukum amaliah. Pengkhususan ini dimaksudkan karena agama pada dasarnya adalah satu dan berlaku secara universal, sedangkan syariah berlaku untuk masing-masing umat yang berbeda dengan umat sebelumnya. Dengan demikian, kata “syariah” lebih khusus dari agama. Syariah adalah hukum amaliah yang berbeda menurut perbedaan Rasul yang membawanya dan setiap yang datang kemudian mengoreksi yang datang lebih dahulu. Sedangkan dasar agama, yaitu ‘akidah/tauhid, tidak berbeda antara Rasul yang satu dengan lainnya.
Di antara ulama ada yang lebih mengkhususkan lagi pemakaian kata “syariah” itu dengan: “Apa-apa yang bersangkutan dengan per- adilan serta pengajuan perkara kepada mahkamah dan tidak mencakup kepada halal dan haram”.
Qatadah, menurut yang diriwayatkan al-Thabari, menggunakan kata “syariah” kepada hal yang menyangkut kewajiban, had, pe- rintah dan larangan; tidak termasuk di dalamnya ‘akidah, hikmah, dan ibarat yang tercakup dalam agama. Syaltut mengartikan syariah dengan “hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan Allah bagi hamba-Nya untuk diikuti dalam hubungannya dengan Allah dan hubungannya dengan sesama manusia”. Dr. Farouk Abu Zeid menjelaskan bahwa syariah ialah: “Apa-apa yang ditetapkan Allah melalui lisan Nabi-Nya”. Allah adalah pembuat hukum yang me- nyangkut kehidupan agama dan kehidupan dunia.
2. Pengertian Fiqh
Kata “fiqh”, secara etimologis berarti “paham yang men- dalam”. Bila “paham” dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat lahiriah, maka fiqh berarti paham yang menyampaikan ilmu lahir kepada ilmu batin. Karena itulah at-Tirmidzi menyebutkan, “fiqh tentang sesuatu,” berarti mengetahui batinnya sampai kepada kedalamannya.
Kata “faqaha”
Kata “amaliah” yang terdapat dalam definisi di atas menjelaskan bahwa fiqh itu hanya menyangkut tindak tanduk manusia yang bersifat lahiriah. Dengan demikian, hal-hal yang bersifat bukan amaliah seperti masalah keimanan atau ‘akidah tidak termasuk dalam lingkungan fiqh dalam artian ini. Umpamanya ketentuan bahwa Allah itu bersifat Esa dan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat.
Penggunaan kata “digali dan ditemukan” mengandung arti bah- wa fiqh itu adalah hasil penggalian, penemuan, penganalisisan, dan penentuan ketetapan tentang hukum. Karenanya bila bukan dalam bentuk hasil suatu penggalian-seperti mengetahui apa-apa yang secara lahir dan jelas dikatakan Allah-tidak disebut fiqh. Fiqh itu adalah hasil penemuan mujtahid dalam hal-hal yang tidak dijelaskan oleh nash.
Kata “tafsili” dalam definisi itu menjelaskan tentang dalil-dalil yang digunakan seorang faqih atau mujtahid dalam penggalian dan penemuannya. Karena itu, ilmu yang diperoleh orang awam dari seorang mujtahid yang terlepas dari dalil tidak termasuk ke dalam pengertian fiqh.
Al-Amidi memberikan definisi fiqh yang berbeda dengan definisi di atas, yaitu: “Ilmu tentang seperangkat hukum-hukum syara’ yang bersifat furu‘iyah yang berhasil didapatkan melalui penalaran atau istidlal”.
Kata “furu‘iyah” dalam definisi al-Amidi ini menjelaskan bahwa ilmu tentang dalil dan macam-macamnya sebagai hujah, bukanlah fiqh menurut artian ahli ushul, sekalipun yang diketahui itu adalah hukum yang bersifat nazhari.
Penggunaan kata “penalaran” dan “istidlal” (yang sama mak- sudnya dengan “digali”) menurut istilah Ibnu Subki di atas memberikan penjelasan bahwa fiqh itu adalah hasil penalaran dan istidlal. Ilmu yang diperoleh bukan dengan cara seperti itu-seperti ilmu Nabi tentang apa yang diketahuinya dengan perantaraan wahyu-tidak disebut fiqh.
Dengan menganalisis kedua definisi yang disebutkan di atas da- pat ditemukan hakikat dari fiqh, yaitu:
a. fiqh itu adalah ilmu tentang hukum Allah;
b. yang dibicarakan adalah hal-hal yang bersifat amaliah furu‘iyah;
c. pengetahuan tentang hukum Allah itu didasarkan kepada da- lil tafsili; dan
d. fiqh itu digali dan ditemukan melalui penalaran dan istidlal se- orang mujtahid atau faqih.
Dengan demikian, secara ringkas dapat dikatakan, “Fiqh itu adalah dugaan kuat yang dicapai seorang mujtahid dalam usahanya menemukan hukum Allah.”
Dari pengertian fiqh dan syariah di atas terlihat kaitan yang sangat erat antara fiqh dengan syariah. Syariah diartikan dengan ketentuan yang ditetapkan Allah tentang tingkah laku manusia di dunia dalam mencapai kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat. Ketentuan Allah itu terbatas dalam firman Allah dan penjelasannya yang diwahyukan melalui lisan Nabi.
Semua tindakan manusia di dunia dalam mencapai kehidupan yang baik itu harus tunduk kepada kehendak Allah dan Rasulullah. Kehendak Allah dan Rasul itu sebagian terdapat secara tertulis dalam kitab-Nya yang disebut syari‘ah, sedangkan sebagian besar lainnya tersimpan di balik atau di luar yang tertulis itu.
Untuk mengetahui keseluruhan apa yang dikehendaki Allah tentang tingkah laku manusia itu, harus ada pemahaman mendalam tentang syariah, sehingga secara amaliah syariah itu dapat diterapkan dalam kondisi dan situasi bagaimanapun. Hasil pemahaman itu di- tuangkan dalam bentuk ketentuan yang terinci. Ketentuan terinci ten- tang tingkah laku manusia mukalaf yang diramu dan diformulasikan sebagai hasil pemahaman terhadap syariah itu disebut fiqh.
3. Pengertian Hukum Islam
Hukum Islam merupakan rangkaian dari kata “hukum” dan kata “Islam”. Kedua kata itu, secara terpisah, merupakan kata yang digunakan dalam bahasa Arab dan terdapat dalam Al-Qur’an, juga berlaku dalam bahasa Indonesia. “Hukum Islam” sebagai suatu rangkaian kata telah menjadi bahasa Indonesia yang hidup dan terpakai, namun bukan merupakan kata yang terpakai dalam bahasa Arab, dan tidak ditemukan dalam Al-Qur’an; juga tidak ditemukan dalam literatur yang berbahasa Arab. Karena itu kita tidak akan menemukan artinya secara definitif.
Untuk memahami pengertian hukum Islam, perlu diketahui lebih dahulu kata “hukum” dalam bahasa Indonesia, kemudian pengertian hukum itu disandarkan kepada kata “Islam”. Ada kesulitan dalam memberikan definisi kepada kata “hukum” karena setiap definisi akan menemukan titik lemah. Karena itu, untuk memudahkan me- mahami pengertian hukum, berikut ini akan diketengahkan definisi hukum secara sederhana, yaitu: “Seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat, disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu, berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya”.
Definisi ini tentunya masih mengandung kelemahan, namun dapat memberikan pengertian yang mudah dipahami.
Bila kata “hukum” menurut definisi di atas dihubungkan kepada “Islam” atau “Syara’”, maka “hukum Islam” akan berarti: “Se- perangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunah Rasul tentang tingkah laku manusia mukalaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam”.
Kata “seperangkat peraturan” menjelaskan bahwa yang dimak- sud dengan hukum Islam itu adalah peraturan yang dirumuskan secara terperinci dan mempunyai kekuatan yang mengikat.
Kata “yang berdasarkan wahyu Allah dan sunah Rasul” men- jelaskan bahwa perangkat peraturan itu digali dari dan berdasarkan kepada wahyu Allah dan sunah Rasul, atau yang populer dengan sebutan “syariah”.
Kata “tentang tingkah laku manusia mukalaf” mengandung arti bahwa hukum Islam itu hanya mengatur tindak lahir dari manusia yang dikenai hukum. Peraturan tersebut berlaku dan mempunyai kekuatan terhadap orang-orang yang meyakini kebenaran wahyu dan sunah Rasul itu, yang dimaksud dalam hal ini adalah umat Islam.
Bila artian sederhana tentang “hukum Islam” itu dihubungkan kepada pengertian “fiqh” sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan hukum Islam itu adalah yang bernama “fiqh” dalam literatur Islam yang berbahasa Arab. Dengan demikian, setiap kata “fiqh” dalam buku ini berarti “hukum Islam”.
Kajian tentang hukum Islam itu mengandung dua bidang pokok yang masing-masing luas cakupannya, yaitu:
Pertama, kajian tentang perangkat peraturan terinci yang bersifat amaliah dan harus diikuti umat Islam dalam kehidupan beragama. Inilah yang secara sederhana disebut “fiqh” dalam artian khusus dengan segala lingkup bahasannya.
Kedua, kajian tentang ketentuan serta cara dan usaha yang sis- tematis dalam menghasilkan perangkat peraturan yang terinci itu disebut “ushul fiqh”, atau dalam arti lain “sistem metodologi fiqh”. Fiqh dan ushul fiqh merupakan dua bahasan terpisah, namun saling berkaitan. Pada waktu menguraikan suatu ketentuan tentang fiqh, untuk menguatkan bahasannya, sering disertai penjelasan mengenai kenapa ketentuan itu begitu adanya, sehingga memasuki lapangan pembahasan ushul fiqh. Demikian pula sebaliknya waktu membicarakan ushul fiqh, untuk lebih memperjelas bahasannya dikemukakan contoh-contoh yang berada dalam lingkup bahasan fiqh.
B. Sejarah dan Perkembangan Fiqh
1. Fiqh pada Masa Nabi
Bila kita memahami pengertian fiqh itu sebagai hasil penalaran seorang ahli atas maksud hukum Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia, maka timbul pertanyaan apakah fiqh itu sudah mulai ada pada waktu Nabi Muhammad SAW. masih hidup?
Suatu hal yang nyata terjadi adalah bahwa Nabi telah berbuat sehubungan dengan turunnya ayat-ayat Qur’an yang mengandung hukum (ayat-ayat hukum). Tidak semua ayat hukum itu memberikan penjelasan yang mudah dipahami untuk kemudian dilaksanakan secara praktis sesuai dengan kehendak Allah. Karena itu Nabi memberikan penjelasan mengenai maksud setiap ayat hukum itu kepada umatnya, sehingga ayat-ayat yang tadinya, belum dalam bentuk petunjuk praktis, menjadi jelas dan dapat dilaksanakan secara praktis. Nabi memberikan penjelasan dengan ucapan, perbuatan, dan pengakuannya yang kemu- dian disebut sunah Nabi. Apakah hukum-hukum yang bersifat amaliah yang dihasilkan oleh Nabi yang bersumber kepada Al-Qur’an itu dapat disebut fiqh?
Telah dijelaskan bahwa fiqh adalah hasil penalaran seseorang yang berkualitas mujtahid atas hukum Allah atau hukum-hukum amaliah yang dihasilkan dari dalil-dalilnya melalui penalaran atau ijtihad. Apabila penjelasan dari Nabi yang berbentuk sunah itu me- rupakan hasil penalaran atas ayat-ayat hukum, maka apa yang dikemukakan Nabi itu dapat disebut fiqh atau lebih tepat disebut “Fiqh sunah”.
Kemungkinan Nabi melakukan ijtihad dalam menghasilkan su- nahnya diperselisihkan para ulama. Perbedaan pendapat itu berpangkal pada pemahaman ayat 3-4 surat an-Najm (53):
yang kemudian ternyata keikutsertaan mereka membawa ben- cana kepada pasukan muslim. Ayat ini mengandung kritikan atas tindakan Nabi. Kalau tindakan Nabi itu atas tuntunan wahyu, tentu tidak akan muncul kritikan itu. Hal ini menun- jukkan bahwa kebijaksanaan Nabi yang mengizinkan ikutnya orang munafik itu dasarnya adalah ijtihad.
3. Sunah Nabi yang berbunyi:
Sesungguhnya aku menetapkan hukum berdasarkan apa-apa yang lahir, dan kamu minta penyelesaian permusuhanmu kepadaku. Barangkali seseorang di antaramu lebih lihai dalam beperkara dibandingkan yang lain. Siapa yang aku putuskan untuknya sesuatu berkenan dengan harta orang lain, janganlah dimakan. Sesungguhnya aku memberikan kepadanya potongan api neraka.
Riwayat tersebut menunjukkan bahwa Nabi sendiri terkadang memutuskan perkara yang mungkin tidak betul secara ma- teriil. Hal ini berarti tindakan itu semata didasarkan kepada ijtihadnya, bukan dari wahyu.
Kedua, ulama kalam Asy‘ariyyah, mayoritas ulama Mu‘tazilah, Abu Ali al-Jubbai dan anaknya Hasyim, berpendapat bahwa Nabi tidak boleh berijtihad dalam hukum syara’. Alasan mereka adalah:
a. Firman Allah dalam surat an-Najm (53): 3-4:
Ayat ini menjadi dalil utama bahwa semua yang muncul dari lisan Nabi adalah dari wahyu dan tidak ada yang di luar wa- hyu. Ijtihad tidak berasal dari wahyu, karenanya tidak ada ucapan Nabi yang muncul dari ijtihadnya sendiri.
b. Nabi SAW. berkemampuan untuk sampai kepada hukum secara meyakinkan melalui wahyu. Sedangkan hasil ijtihad hanyalah bersifat zhanni. Bila mampu untuk sampai kepada yang meya- kinkan (qath‘i), maka tidak boleh menempuh yang tidak meya- kinkan (zhanni). Di samping itu, ijtihad hanya dapat dilakukan bila tidak ada nash; sedangkan selama Nabi masih hidup, tidak mungkin nash itu sudah terhenti.
c. Sering terjadi Nabi tidak dapat memberikan jawaban atas per- tanyaan yang diajukan sahabatnya tentang sesuatu kasus. Dalam keadan demikian, Nabi menyuruh menunggu sampai turunnya wahyu yang akan menjawabnya. Seandainya Nabi dapat mem- berikan jawaban dengan hasil ijtihadnya, tentu tidak perlu Nabi berlama-lama menunggu turun wahyu untuk menjawabnya.
Ketiga, pendapat “jalan tengah” dari kedua pendapat di atas, menyatakan bahwa Nabi dapat saja berijtihad dalam masalah pe- perangan, tetapi tidak dalam masalah hukum syara’. Kelompok ini menggunakan gabungan dalil-dalil yang dikemukakan dua pendapat sebelumnya.
Bila diperhatikan ketiga pendapat tersebut beserta argumen ma- sing-masing, kita cenderung pada pendapat yang mengatakan tidak semua yang muncul dari lisan Nabi itu dibimbing wahyu. Dalam kenyataan memang beliau pernah berijtihad untuk memahami dan menjalankan wahyu Allah dalam hal-hal yang memerlukan penjelasan dari Nabi yang sebagiannya dibimbing wahyu. Dalam hal-hal yang tidak mendapat koreksi dari Allah, maka hal itu muncul sebagai sunah Nabi yang wajib ditaati. Dengan demikian, sebagian sunah Nabi adalah berdasarkan pada ijtihadnya.
Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa fiqh sudah mulai ada semenjak Nabi masih hidup dengan pola yang sederhana sesuai dengan kesederhanaan kondisi masyarakat Arab yang menjalankan fiqh pada waktu itu. Di bawah ini dikemukakan beberapa contoh fiqh Nabi dalam beberapa bidang hukum.
a. Shalat
Perintah melakukan shalat banyak sekali terdapat dalam Al- Qur’an dengan berbagai cara dan berbagai bentuk. Tidak ada satu ayat pun yang menjelaskan apa dan bagaimana praktik shalat itu. Dalam keadaan begitu perintah shalat menurut apa adanya tidak mungkin dilaksanakan. Nabi mengetahui maksud perintah Allah itu, karena itu Nabi menjelaskan kepada umatnya dengan menggunakan sunah-Nya.
Nabi mengarahkan kata “shalat” itu kepada perbuatan tertentu dengan tindakan yang berisi beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam di hadapan para sahabatnya. Kemudian beliau berkata, “Inilah yang dimaksud dengan shalat”. Dalam suatu hadis Nabi bersabda,
Adapun mengenai waktu-waktu pelaksanaan shalat, muncul dalam beberapa ayat Al-Qur’an pada tempat yang terpisah.
1. Surat ar-Rum (30): 17:
Maka bertasbihlah kepada Allah di waktu kamu berada di petang hari dan waktu kamu berada di waktu subuh.
2. Surat al-Isra (17): 78:
Waktu zuhur bila telah tergelincir matahari sampai bayang- bayang sepanjang badan dan belum masuk waktu ashar; waktu ashar selama matahari belum menguning; dan waktu maghrib selama belum hilang cahaya matahari; waktu isya sampai pertengahan malam dan waktu subuh dan terbit fajar sampai terbit matahari.
Tentang jumlah raka‘at shalat untuk setiap waktu yang lima itu tidak ada sama sekali penjelasannya dalam Al-Qur’an. Ketetapan jumlah raka‘at shalat datang dari Nabi sendiri dalam hadis fi’li secara bertahap. Jumlah raka‘at itu berbeda pada waktu sebelum dengan sesudah hijrah. Hal ini dijelaskan dalam hadis dari Aisyah dalam versi yang berbeda-beda menurut riwayat Bukhari dan Ahmad:
Difardukan shalat itu dua-dua raka‘at. Kemudian berlangsung hijrah, maka difardukan empat-empat raka‘at dan ditetapkan shalat safar seperti yang semula (dua raka‘at).
Ditambahkan oleh Ahmad dari jalur Ibnu Kaisan dengan ucapan:
yang tetap (seperti semula) karena panjangnya bacaan shalat, begitu pula shalat maghrib karena ia merupakan waktu yang ganjil dalam sehari.
Dalam surat al-Araf (7): 31, Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman bila kamu melakukan shalat basuhlah mukamu dan kedua tanganmu sampai sikut; sapulah kepalamu dan basuhlah kakimu sampai mata kaki.
Selanjutnya Nabi menjelaskan cara-cara berwudhu’ dalam hadis dari Abu Hurairah menurut riwayat Muslim.
Sesungguhnya dia bila berwudhu dibasuhnya mukanya, maka dilanjutkannya wudhunya; kemudian dibasuhnya tangannya sebelah kanan sampai lengannya, kemudian tangan kirinya sampai lengan; kemudian ia menyapu kepalanya, kemudian dibasuhnya kaki kanannya sampai betis; kemudian dibasuhnya kaki kirinya sampai betis kemudian dia berkata, “Beginilah Rasul Allah saya lihat melakukan wudhu.”
Dalam surat al-Jumu‘ah (62): 9, Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru melakukan shalat
Jumat, segeralah datang melakukan shalat dan tinggalkanlah
jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Dari ayat ini, Nabi memahami kewajiban shalat Jumat. Adapun mengenai caranya, dijelaskan secara rinci dalam Sunnahnya.
b. Zakat
Perintah untuk melaksanakan zakat begitu banyak muncul dalam Al-Qur’an dengan berbagai cara dan bentuk yang sebagian besar di antaranya dirangkaikan dengan perintah shalat. Menurut pemahaman lughawiî, zakat itu berarti membersihkan, tumbuh, berkah dan pujian. Kemudian Nabi mengarahkan penggunaan kata “zakat” itu untuk “pemberian tertentu dari harta tertentu, menurut cara tertentu”.
Bentuk perintah zakat dapat dilihat dalam contoh ayat di bawah ini:
Nabi dengan hadis dari Ibnu Abbas, muttafaq ‘alaihi (perawinya: Bukhari dan Muslim), yang berbunyi:
Sesungguhnya Allah telah memfardukan zakat atas mereka da- lam harta mereka; diambil dari orang kaya-kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang miskin mereka.
Tentang apa-apa yang dizakatkan, batas nisabnya serta berapa kadar yang harus dizakatkan, dijelaskan Nabi dengan hadis-hadis sebagai berikut:
1. Unta, hadis dari Anas menurut riwayat Bukhari:
Setiap 24 ekor unta atau kurang, maka zakatnya seekor kambing betina untuk setiap 5 ekor unta, jika jumlahnya 25 sampai 35 ekor, maka zakatnya satu ekor anak unta betina berumur 1-2 tahun atau satu ekor anak unta jantan berumur 3-4 tahun, jika jumlahnya 36 sampai 45, maka zakatnya seekor anak unta ber- umur 2-3 tahun, dan jika jumlahnya 46 sampai 60 ekor unta maka zakatnya adalah seekor unta betina berumur 3-4 tahun.
2. Sapi, hadis dari Muaz ibn Jabal menurut riwayat lima perawi hadis:
Pada tanam-tanaman yang diairi dengan mata air atau hujan kewajiban zakatnya adalah sepersepuluh; dalam tanaman yang diairi dengan kincir kewajiban zakatnya adalah seperdua puluh.
5. Barang perniagaan, hadis dari Samrah ibn Jundab menurut ri- wayat Abu Daud:
Sesungguhnya Rasul Allah pernah menyuruh kita mengeluarkan zakat dari sesuatu yang disiapkan untuk diperjualbelikan.
6. Barang rikaz, hadis dari Abu Hurairah, muttafaq ‘alaih (Bukhari dan Muslim):
Di dalam rikaz itu ada kewajiban zakat sebesar seperlima.
Tentang siapa-siapa yang berhak menerima zakat secara lang- sung, disebutkan Allah dalam surat at-Taubah (9): 60:
Sesungguhnya shadaqah (zakat) itu adalah untuk para fuqara, orang miskin, untuk amil untuk orang yang dijinakkan hatinya; untuk mernerdekakan hamba; dan orang yang dijerat hutang untuk kepentingan sabilillah dan ibnu sabil; merupakan kewa- jiban dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Bijaksana.
Dengan penjelasan yang diberikan Nabi tentang ayat-ayat zakat yang tersebut dalam Al-Qur’an dapatlah dilakukan kewajiban berzakat meskipun dalam cara yang sederhana.
c. Puasa
Perintah Allah yang menyuruh melakukan puasa banyak terdapat dalam Al-Qur’an yang kadang-kadang beriringan dengan kewajiban shalat dan zakat. Kewajiban puasa secara terpisah muncul dalam Firman Allah, suratl-aqarah (2): 183-185:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Siapa yang berada dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan, boleh ia berbuka dan untuk itu ia harus menggantinya di hari-hari lain. Untuk orang yang sudah uzur dan tidak mampu berpuasa, maka ia harus membayar fidiah dalam bentuk memberi makan orang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya.
Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Bulan Ramadhan yang diturunkan padanya Al-Qur’an menjadi petunjuk bagi manusia dan merupakan bukti petunjuk Tuhan dan sebagai furqan (pemisah antara yang benar dan salah). Siapa di antaramu yang telah menyaksikan masuknya bulan Ramadhan itu hendaklah ia berpuasa. Siapa yang sakit atau dalam perjalanan dan tidak melakukan puasa, hendaklah ia melakukan di hari-hari lain. Allah menghendaki untukmu kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan. Hendaklah kamu sempurnakan bilangan puasa itu dan hendaklah kamu bertakbir kepada Allah atas petunjuk yang diberikan-Nya kepadamu; mudah-mudahan kamu bersyukur.
Dalam ayat di atas dijelaskan keharusan berpuasa, bulan untuk melakukan puasa, perhitungan masuk bulan puasa dan orang-orang yang mendapat keringanan untuk tidak melakukan puasa Ramadhan. Tentang awal dan akhir waktu puasa serta apa-apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama puasa dijelaskan dalam surat al-Baqarah (2): 187:
Dihalalkan bagimu pada malam puasa itu menggauli istrimu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu telah mengkhianati dirimu sendiri, maka Allah memberi maaf atasmu. Maka sekarang gaulilah mereka dan perolehlah apa yang telah ditentukan Allah kepadamu, dan makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam sebagai tanda waktu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam ...
Untuk memperjelas penentuan awal dan akhir waktu bulan Ra- madhan dijelaskan Nabi dengan sabdanya dari Ibnu Umar menurut riwayat muttafaq ‘alaih:
Bila kamu melihat bulan (masuk bulan Ramadhan, puasalah kamu dan bila kamu telah melihat bulan (tanda masuk bulan Syawal) berbukalah kamu; maka bila kamu tidak melihatnya karena mendung perhitungkanlah ...
Selanjutnya Nabi menjelaskan cara-cara berbuka dan sahur serta perbuatan-perbuatan baik untuk dilakukan selama bulan Ramadhan, sebagai kelengkapan dari pelaksanaan kewajiban puasa.
Demikian pula cara-cara Nabi memahami ayat-ayat Qur’an yang berkenaan dengan ibadah pokok lainnya dan menjelaskannya kepada umatnya. Hal yang sama berlaku pula terhadap ayat-ayat Qur’an yang berkenaan dengan masalah muamalat dalam arti umum.Bila dalam hal ibadah penjelasan Allah lebih bersifat jelas dan rinci, maka dalam bidang muamalat pada umumnya lebih bersifat umum, garis besar, tidak terinci, dan memberi petunjuk yang tidak jelas serta tidak pasti. Karena itu dalam hal-hal ibadat, lebih mudah Nabi memahaminya sehingga tidak banyak memerlukan penjelasan Nabi untuk melaksanakannya. Sebaliknya dalam bidang muamalat, Nabi lebih banyak menggunakan nalar dalam memahami ayat hu- kum untuk dapat dilaksanakan secara praktis oleh umatnya.
Pada saat memahami ayat-ayat hukum dan menggunakan nalar untuk menghasilkan petunjuk pelaksanaannya, kelihatannya Nabi memperhatikan dan mempertimbangkan lingkungan di mana beliau berada. Hal tersebut dapat dilihat pada sunah Nabi yang menjelaskan ayat-ayat tersebut dengan hal-hal yang mudah dipahami umatnya waktu itu dengan mengemukakan contoh-contoh yang terdapat di lingkungannya.
Pada waktu Nabi mencoba memahami maksud Allah yang me- wajibkan zakat atas orang kaya untuk diberikan kepada orang miskin,
terlihat Nabi menetapkan barang-barang yang dizakatkan dalam bentuk harta yang nyata waktu itu di lingkungan kehidupan Nabi, baik dalam bentuk hewan ternak maupun tanaman dan buah-buahan.
Di samping itu, penjelasan yang diberikan Nabi lebih banyak dalam bentuk melayani pertanyaan yang diajukan umatnya, baik ten- tang pemahaman atas suatu ayat Al-Qur’an maupun tentang hal-hal yang memerlukan jawaban, karena jawabannya tidak tersebut dalam Al-Qur’an. Penjelasan Nabi dalam bentuk petunjuk pelaksanaan dari kehendak Allah yang tersebut dalam Al-Qur’an itu disebut “Fiqh”, atau “Fiqh Nabi” atau disebut juga “Fiqh al-sunah”. Pola dari “Fiqh Nabi” sesuai dengan pola hidup masyarakat Arab waktu itu, yaitu sederhana, mudah, dan tidak berbelit-belit.
Dalam masa Nabi atau pada masa periode tasyri’ ini, sumber hukum yang digunakan Nabi dalam menetapkan fatwanya adalah Al-Qur’an.
Ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an telah meliputi semua segi kehidupan manusia dalam kedudukannya sebagai pribadi di depan Allah atau masyarakat, maupun dalam kedudukannya sebagai salah seorang anggota masyarakat dalam hubungannya dengan anggota masyarakat lainnya. Penjelasan yang diberikan Nabi me- lingkupi hal-hal yang termuat dalam Al-Qur’an, sehingga Fiqh Nabi sudah mencakup bidang yang sangat luas meskipun dalam bentuk pelaksanaan yang sederhana dan mudah.
2. Fiqh pada Masa Sahabat
Dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW. sempurnalah turunnya ayat-ayat Al-Qur’an dan sunah Nabi, juga dengan sendirinya sudah terhenti. Kemudian terjadi perubahan yang besar sekali dalam ke- hidupan masyarakat, karena telah meluasnya wilayah Islam dan semakin kompleksnya kehidupan umat.
Keimanan umat yang sudah tinggi dan kepatuhannya akan perintah agama, menuntut mereka untuk selalu menghubungkan tingkah lakunya sehari-hari dengan nilai agama. Karena itu umat memerlukan jawaban hukum dalam menghadapi setiap persoalan dalam kehidupannya.
Ada tiga hal pokok yang berkembang waktu itu sehubungan dengan hukum.
Pertama, begitu banyaknya muncul kejadian baru yang mem- butuhkan jawaban hukum yang secara lahiriah tidak dapat ditemukan jawabannya dalam Al-Qur’an maupun penjelasan dari sunah Nabi.
Kedua, timbulnya masalah-masalah yang secara lahir telah diatur ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an maupun sunah Nabi, namun ketentuan itu dalam keadaan tertentu sulit untuk diterapkan dan menghendaki pemahaman baru agar relevan dengan perkembangan dan persoalan yang dihadapi.
Ketiga, dalam Al-Qur’an ditemukan penjelasan terhadap suatu kejadian secara jelas dan terpisah. Bila hal tersebut berlaku dalam kejadian tertentu, para sahabat menemukan kesulitan dalam me- nerapkan dalil-dalil yang ada.
Ketiga pokok masalah di atas memerlukan pemikiran mendalam atau nalar dari para ahli yang disebut ijtihâd. Dalam menghadapi hal tersebut berkembanglah pemikiran para sahabat.
1. Dalam menghadapi bentuk pertama, yaitu masalah yang baru ter- jadi, para sahabat mencari jawabannya dari lahir ayat Al-Qur’an, kemudian mencari dari penjelasan yang pernah diberikan Nabi. Bila tidak menemukan jawabannya secara jelas, mereka mencoba mencari jawabannya dari balik lahir lafaz hukum yang ada. De- ngan cara ini, lahir lafaz ayat itu dapat direntangkannya kepada kejadian yang baru itu. Usaha ini dapat ditempuh, melalui bebe- rapa cara, di antaranya:
a. Dengan semata pemahaman lafaz, yaitu memahami maksud yang terkandung dalam lahir lafaz. Umpamanya bagaimana hu- kum membakar harta anak yatim. Ketentuan yang jelas dalam Al-Qur’an hanya larangan memakan harta anak yatim secara aniaya, sedangkan hukum membakarnya tidak ada. Karena semua orang tahu bahwa membakar dan memakan harta itu sama dalam hal mengurangi atau menghilangkan harta anak yatim, maka keduanya juga sama hukumnya, yaitu haram. Cara ini kemudian disebut penggunaan metode mafhum.
b. Dengan cara memahami alasan atau ‘Illat yang terdapat dalam suatu kasus (kejadian) yang baru, kemudian meng- hubungkannya kepada dalil nash yang memiliki alasan atau
‘Illat yang sama dengan kasus tersebut. Cara ini kemudian disebut metode qiyâs.
Penunjukan pengganti Nabi untuk urusan keduniaan belum ada ketentuannya. Tidak ada ketentuan yang mengatur sistem khilafah dalam Qur’an atau sunah Nabi. Setelah Nabi wafat, masalah ini segera muncul. Para sahabat berpikir bahwa masalah memimpin urusan dunia dapat dihubungkan kepada pemimpin urusan ibadat. Ternyata Abu Bakar pernah ditunjuk Nabi untuk menggantikan beliau menjadi imam shalat jamaah, sewaktu Nabi sakit. Atas dasar ini para sahabat berpendapat bahwa yang akan menggantikan Nabi dalam urusan dunia- yaitu menjadi khalifah-adalah Abu Bakar. Pemikiran seperti ini berkembang di kalangan sahabat yang kemudian dikenal dengan pemikiran secara qiyâs.
Dalam periode sahabat ini penggunaan ijtihad masih terbatas pada metode mafhum dan qiyâs. Cara ini pun sudah dapat menjawab semua persoalan yang muncul waktu itu.
2. Persoalan dalam bentuk kedua-yaitu perubahan keadaan yang menghendaki perubahan pemikiran-walaupun jarak waktu periode Nabi dengan periode sahabat relatif pendek dan ber- sambung, namun perkembangan kehidupan begitu cepat yang menuntut adanya perubahan pemikiran.
Allah SWT. dalam Al-Qur’an mewajibkan zakat. Nabi dalam sunah-Nya menyebutkan bahwa zakat itu diambil dari orang kaya dan diberikan kepada orang miskin. Nabi disuruh Allah untuk mengambil harta zakat dari umatnya (QS. at-Taubah/9:
103). Cara yang dilakukan Nabi adalah cara yang bijaksana sesuai dengan pesan Allah untuk berdakwah dengan cara bi- jaksana (QS. al-Nahl/16: 125). Atas kesadaran umat waktu itu, kewajiban zakat dapat terlaksana secara baik.
Pada masa Abu Bakar menjadi khalifah, beliau melihat bahwa pemungutan zakat secara lemah lembut seperti yang dilakukan Nabi tidak efektif lagi karena adanya kecenderungan pembang- kangan dari sebagian masyarakat terhadap kewajiban membayar zakat. Karena itu Abu Bakar mengambil sikap yang keras, bahkan menetapkan untuk memerangi orang-orang yang tidak mau membayar kewajiban zakat. Dasar pemikiran Abu Bakar ialah bahwa menempuh sikap lemah lembut sebagaimana dilakukan oleh Nabi, kewajiban membayar zakat tidak dapat ditegakkan.
Allah SWT. melarang orang Islam meminum khamar secara tegas (QS. al-Maidah/5: 90) karena perbuatan tersebut meru- pakan dosa besar; meskipun ada sedikit manfaat di dalamnya. Karena dalam larangan lain Allah SWT. menetapkan sanksi- nya, sedangkan dalam larangan khamar tidak diiringi dengan sanksi, maka Nabi melalui ijtihadnya menetapkan sanksi mi- num khamar, yaitu dera sebanyak 40 kali. Pelaksanaan sanksi yang ditetapkan Nabi itu dapat menjerakan orang. Dengan demikian tujuan larangan telah tercapai.
Pada masa Umar ibn Khattab menjadi khalifah, kebiasaan minum khamar waktu jahiliah kambuh lagi di kalangan orang Islam dan sanksi dera 40 kali sudah kurang efektif sebagai alat penjera. Umar memikirkan cara untuk membuat orang jera minum khamar yang merupakan tujuan dari hukum. Dalam hal ini Umar menetapkan sanksi mimun khamar menjadi 80 kali dera, sehingga orang menjadi bertambah takut meminum khamar. Dengan demikian, sanksi yang ditetapkan Umar berbeda dengan yang ditetapkan Nabi sebelumnya, untuk mencapai tujuan larangan, yaitu menjerakan berbuat kejahatan.
Dalam surat al-Anfal (8): 41, Allah berfirman:
Ketahuilah sesungguhnya bila kamu mendapatkan suatu harta rampasan, maka seperlimanya untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil.
Dalam memahami ayat tersebut, Nabi membagi harta rampasan perang menjadi dua kelompok. Tumpukan pertama sebanyak 1/5 bagian dibagikan kepada pihak-pihak yang disebutkan dalam ayat Al-Qur’an, sedangkan sisanya dibagikan
kepada orang-orang yang ikut dalam perang yang menghasilkan harta rampasan itu.
Pada waktu Umar memerintah, pasukan Islam berhasil menaklukkan tanah subur di Irak. Umar berpendapat tidak maslahat kalau hak 4/5 harta rampasan itu dibagi habis di kalangan pasukan. Beliau berpendapat lebih banyak maslahatnya bila tanah rampasan itu tidak dibagikan untuk pasukan, tetapi dibiarkan digarap orang yang memiliki tanah itu, namun sebagian hasilnya dipungut untuk kepentingan umat, termasuk untuk keperluan perang.
Dalam contoh tersebut Umar menetapkan hukum yang berbeda dengan apa yang berlaku pada masa Nabi dan khalifah Abu Bakar berdasarkan pertimbangan maslahat. Tindakan Umar ini banyak menjelaskan bahwa pemahaman Umar atas ayat Al-Qur’an berbeda dengan apa yang dipahami Nabi karena kondisi dalam kedua masa itu telah berbeda.
Pada masa Nabi, azan memberi tahu masuk waktu Jumat dilakukan satu kali, yaitu setelah khatib naik mimbar. Hal ini merupakan pemahaman terhadap ayat 9 surat al-Jumu‘ah (62) yang berbunyi:
Hai orang-orang yang beriman, bila kamu dipanggil untuk me- lakukan shalat Jumat, segeralah mendatanginya dan tinggalkan segala bentuk jual beli.
Azan satu kali itu di masa Nabi telah cukup untuk memberi tahu orang Islam untuk menghadiri shalat Jumat. Pada waktu
‘Utsman ibn ‘Affan menjadi khalifah, umat Islam semakin banyak dan wilayahnya semakin luas. Kalau azan hanya satu kali saja, pemberitahuan belum tentu akan merata ke seluruh umat di sekitar itu. Karenanya, ‘Utsman menetapkan azan shalat Jumat menjadi dua kali. Hal ini dijelaskan dalam sebuah atsar dari Su‘eb bin Jazid menurut riwayat Bukhari, Nasa‘i dan Abu Daud:
Adalah pada mulanya azan Jumat itu bila khatib telah duduk di atas mimbar pada masa Rasul Allah, Abu Bakar dan masa
‘Umar. Pada masa ‘Utsman dan telah banyak orang, ditambah azan itu menjadi tiga kali (satu kali terakhir adalah ikamah)
3. Persoalan ketiga adalah mengenai pemahaman terhadap dua ayat yang terpisah. Ayat Al-Qur’an menetapkan hukum untuk setiap kejadian dengan hukum tertentu secara terpisah. Untuk penerapan ayat tersebut, Nabi telah memberikan penjelasan, sehingga hukum itu dapat dilaksanakan menurut apa adanya. Umpamanya hak kewarisan saudara-saudara dijelaskan Allah dalam surat an-Nisa’/4 ayat 12 untuk saudara seibu; ayat 176 untuk saudara-saudara kandung atau seayah. Dalam surat an-Nisa’/4 ayat 11 dijelaskan mengenai hak kewarisan ayah, yaitu 1/6 bagian, bila pewaris ada meninggalkan anak. Ayat
176 surat an-Nisa’ itu mengandung arti bahwa bila ada ayah, saudara-saudara tidak menerima hak kewarisan, karena ayah lebih utama dari saudara.
Tentang kakek, tidak secara jelas disebutkan dalam Al-Qur’an, namun dalam pengertian umum orang Arab, kakek adalah se- bagai pengganti ayah bila tidak ada ayah. Dalam hal ini Nabi memberikan penjelasan dalam hadis dari Amran ibn Husein enurut riwayat Ahmad, Abu Daud, dan at-Tarmizi:
Sesungguhnya seseorang datang kepada Nabi dan berkata, “Anak dari anak saya meninggal, bagaimana harta warisannya untuk saya?” Nabi menjawab, “Untuknya seperenam.”
Kasus bertemunya saudara-saudara dengan kakek dalam satu kelompok ahli waris, mungkin belum terjadi pada masa Nabi hingga tidak ada penjelasannya dari Nabi. Pada waktu peme- rintahan Abu Bakar, kasus ini muncul di hadapan beliau. Dengan pertimbangan bahwa kakek menempati kedudukan ayah bila ayah tidak ada dan saudara tidak berhak mewaris bersama ayah, maka dalam kasus ini Abu Bakar berpendapat dan memfatwakan bahwa saudara-saudara tidak berhak menerima warisan bila ber- sama dengan kakek. Sahabat lain, di antaranya ‘Umar bin Khat- tab dengan pertimbangan bahwa kewarisan saudara dijelaskan dalam Qur’an sedangkan kakek tidak dijelaskan dalam Qur’an, menetapkan fatwanya bahwa saudara-saudara dapat mewaris dan berbagi bersama kakek.
Ayat 12 surat an-Nisa’ (4) menjelaskan saudara seibu sebagai ahli waris dzul furûdh, yaitu 1/6 bila sendirian dan 1/3 bila bersama- sama; sedangkan saudara laki-laki kandung atau seayah tidak dijelaskan furudh-Nya dalam surat an-Nisa’ ayat 176. Kedudu- kannya sebagai “ahli waris sisa harta” (‘ashâbah) dijelaskan Nabi dalam hadis dari Ibnu Abbas melalui riwayat muttafaq ‘alaih:
Dalam hal ini ‘Umar menetapkan bahwa saudara kandung ber- gabung dengan saudara seibu dalam mengambil hak 1/3 harta, yaitu hak saudara seibu.
Hak istri atas peninggalan mendiang suaminya dijelaskan secara pasti dalam Al-Qur’an, yaitu pada surat an-Nisa’ (4): 12, yaitu
1/4 bagian bila suami tidak meninggalkan anak dan 1/8 bila suami meninggalkan anak. Istri ini tidak mendapat hak apa-apa bila sebelum suami mati si istri telah dicerai lebih dahulu.
Tentang bagaimana kalau suami menceraikan istrinya dalam keadaan sakit keras dan dapat diperkirakan maksud mencerai- kan itu adalah untuk menghindarkan istri dari hak kewarisan. Dalam hal ini, timbul perbedaan pendapat di kalangan sahabat karena khusus untuk ini tidak ada penjelasan hukum sebelum- nya. ‘Utsman ibn ‘Affan berpendapat dan menetapkan fatwanya bahwa si istri berhak atas warisan suaminya, sebagaimana terse- but dalam riwayat bahwa Abdurrahman ibn Auf menceraikan istrinya ketika ia sedang sakit. ‘Utsman memberikan warisan un- tuk istrinya yang tertalak itu menurut kadar yang berlaku.
‘Idah wanita yang diceraikan suaminya dalam keadaan hamil dijelaskan Allah dalam surat at-Thalaq (65): 4, yaitu sampai melahirkan anak:
Tetapi tidak ada penjelasan yang pasti dari Allah maupun dari Nabi tentang ‘idah wanita yang kematian suami dalam keadaan hamil; apakah menggunakan ayat 4 surat at-Thalaq meskipun be- lum 4 bulan 10 hari sebagaimana yang dikehendaki ayat 234 surat al-Baqarah (2). Atau menggunakan ayat 234 surat al-Baqarah (2) meskipun anaknya belum lahir sebagaimana yang dituntut surat al-Thalaq (65): 4. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan sahabat. ‘Ali ibn Abi Thalib berpendapat dan berfatwa bahwa ‘idah wanita itu adalah masa yang terpanjang di antara dua masa itu. Dasar pertimbangannya adalah kehati-hatian dalam mengamalkan dua ayat tersebut di atas. Ulama lain di antaranya
‘Umar Ibn Khattab berpendapat bahwa ‘idahnya tetap melahirkan anak, meskipun belum sampai masanya 4 bulan 10 hari.
Demikianlah sekadar contoh pemikiran sahabat tentang hukum, baik dalam hal tidak ada dalil tertulis yang menjelaskannya, atau keadaan sudah berubah yang menghendaki perubahan pemikiran; atau dalam bentuk ketiga yaitu penerapan ayat terhadap dua kejadian yang bergabung. Pemikiran ini menghasilkan pendapat berbeda yang pada akhirnya menghasilkan pihak-pihak yang berbeda, masing- masing diikuti para pengikutnya. Perbedaan ini pada umumnya disebabkan oleh karena tidak adanya petunjuk yang pasti dari Al- Qur’an dan tidak ada pula penjelasan dari Nabi.
Di antara perbedaan pendapat yang berkembang di kalangan sahabat dalam memahami hukum Allah, terkadang terdapat kesamaan pendapat di kalangan mereka. Kesamaan pendapat ini di kemudian hari diistilahkan dengan “ijma’”. Kesamaan ini mungkin munculnya dari pemahaman dan penerimaan bersama atas keterangan Nabi yang kurang kuat sandarannya. Bentuk ini disebut kesamaan atau ijma’ yang menyandarkan diri kepada nash atau petunjuk yang ada. Umpamanya dalam menetapkan hak kewarisan nenek atas harta warisan sebesar1/6 bagian. Memang untuk ini ada petunjuk dari Nabi yang berasal dari Qubeisah Ibn Zueb menurut riwayat ashhâb al-khamsah selain Nasa‘i dan disahkan Tarmizi.
Jelas hadis itu kurang kuat sandarannya karena Abu Bakar sendiri sampai tidak mengetahui hadis itu. Namun setelah diterima hadis itu oleh Abu Bakar dengan kesaksian dua orang sahabat yaitu Mughirah ibn Syu’bah dan Muhammad ibn Maslamah, Abu Bakar menetapkan hak nenek sebesar 1/6. Apa yang telah disampaikan Abu Bakar itu ternyata diterima (disetujui) semua pihak sehingga menjadi ijmâ’ shahabat.
Bentuk kesamaan pendapat kedua adalah kesamaan yang me- mang sama sekali tidak menyandarkan diri kepada dalil mana pun, ia semata-mata hasil pendapat yang kemudian didukung pendapat- pendapat yang lain. Umpamanya wanita hamil dari perbuatan zina dibolehkan kawin menurut ijma’ sahabat. Kasus ini muncul di masa Umar. Ia menetapkan bolehnya wanita tersebut kawin di depan para sahabat lainnya, dan ternyata tidak ada yang menolaknya. Hal ini berarti ijmâ’ sukûtî di kalangan sahabat.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pada masa sahabat, sumber yang digunakan dalam merumuskan fiqh adalah Al-Qur’an, penjelasan Nabi yang disebut sunah, dan ijtihad yang terbatas pada qiyas serta ijmâ’ shahabat. Bila pada masa Nabi proses penetapan fiqh disebut pembinaan fiqh, maka pada masa sahabat disebut pe- riode pengembangan fiqh.
3. Fiqh pada Masa Imam Mujtahid
Bila pada masa Nabi sumber fiqh adalah Al-Qur’an, maka pada masa sahabat dikembangkan dengan dijadikannya petunjuk Nabi dan ijtihad sebagai sumber penetapan fiqh. Sesudah masa sahabat, penetapan fiqh dengan menggunakan sunah dan ijtihad ini sudah begitu berkembang dan meluas. Dalam kadar penerimaan dua sum- ber itu terlihat kecenderungan mengarah pada dua bentuk.
Pertama, dalam menetapkan hasil ijtihad lebih banyak menggunakan hadis Nabi dibandingkan dengan menggunakan ijtihad, meskipun keduanya tetap dijadikan sumber. Kelompok yang menggunakan cara ini biasa disebut “Ahl al-Hadîs”. Kelompok ini lebih banyak tinggal di wilayah Hijaz, khususnya Madinah.
Kedua, dalam menetapkan fiqh lebih banyak menggunakan sumber ra’yu atau ijtihad ketimbang hadis, meskipun hadis juga banyak digunakan. Kelompok ini disebut “Ahl al-Ra’yi”. Kelompok
ini lebih banyak mengambil tempat di wilayah Irak, khususnya
Kufah dan Basrah.
Munculnya dua kecenderungan ini dapat dipahami, terutama karena adanya dua latar belakang historis dan sosial budaya yang berbeda. Ahl al-Hadîs muncul di wilayah Hijaz adalah karena Hijaz khususnya Madinah dan Mekah adalah wilayah tempat Nabi bermukim dalam mengembangkan Islam. Dengan demikian, orang-orang Islam di wilayah ini lebih banyak mengetahui tentang kehidupan Nabi dan dengan sendirinya banyak mendengar dan mengetahui hadis dari Nabi. Sebaliknya, Irak atau Kufah, karena jauhnya lokasi dari wilayah kehidupan Nabi, maka pengetahuan mereka akan hadis Nabi tidak sebanyak yang diperoleh orang Islam di Hijaz. Di samping itu, kehidupan sosial dan muamalat begitu luas serta kompleks karena lokasinya yang lebih maju dari Hijaz. Untuk mengatasi itu semua mereka lebih banyak dan lebih sering menggunakan ijtihad dalam penetapan fiqh. ljtihad itu pun tidak lagi terbatas pada penggunaan metode qiyâs sebagaimana berlaku pada masa sebelumnya. Kedua aliran ini sama-sama berkembang dengan pesat. Masing-masing melahirkan madrasah-madrasah fiqh dan menghasilkan para ahli fiqh.
Kelompok “Ahl al-Hadîs” menonjolkan dua madrasah, yaitu Madrasah Madinah dan Madrasah Mekah. Dari Madrasah Madinah muncul para fuqaha terkemuka, seperti: Aisyah ummul Mukminin; Abdullah ibn ‘Umar ibn Khattab; Abu Hurairah; Said ibn Musayyab; Urwah ibn Zuber; Abu Bakar ibn Abd al-Rahman; Ali ibn Husein; Ubaidullah ibn Abdullah; Salim ibn Abdullah; Sulaiman ibn Yassar, Qasim ibn Ahmad; Nafi’ Maula ibn ‘Umar; Muhammad ibn Salim; Abu Ja’far; Abu Zinad; Yahya ibn Zaid al- Anshari; Rabi‘ah ibn ‘Abdurrahman.
Madrasah Mekah menghasilkan fuqaha sebagai berikut: Ab- dullah ibn Abbas; Mujahid; Ikrimah, Atha’ ibn Abi Rabah; dan Abu Zubeir. Hasil dari tempaan Madrasah Madinah dan Mekah ini muncul seorang mujtahid besar ahli hadis, yaitu Malik bin Anas yang ke- mudian diikuti kelompok besar yang disebut Mazhab Malikiyyah.
Ahl al-Ra’yi menampilkan dua Madrasah besar, yaitu: Madrasah Kufah dan Madrasah Basrah di wilayah Irak. Dari Madrasah Kufah muncul mujtahid ahl al-ra’yi, seperti: ‘Alqamah ibn Qeis; Masruk bin Ajda’; ‘Ubaidah ibnu ‘Umar; Aswad ibn Yazid al-Nakha‘i; Ibrahim al-Nakha‘i, Said ibn Zubeir; ‘Amir al-Sya’bi. Sedangkan Madrasah Basrah menghasilkan mujtahid yang terbesarnya, yaitu: Anas ibn Malik. Dari para fuqaha Madrasah Irak ini muncul mujtahid besar ahl al-ra’yi yaitu Abu Hanifah dengan banyak pengikutnya, yang disebut ulama Mazhab Hanafiyyah.
Kemudian, pada pertengahan abad kedua Hijriah tampil seseorang mujtahid besar yang pernah menggali pengetahuan dan pengalaman dari Madrasah Hijaz dan juga dari Madrasah Irak, yaitu Imam Abu
‘Abdillah Muhammad ibn Idris al-Syafi‘i.
Iman Syafi‘i mencoba mengambil jalan tengah antara pendapat kelompok ahl al-hadîs dan ahl al-ra’yi. Beliau menggunakan lebih banyak sumber ra’yu, tetapi tidak seluas yang digunakan kelompok ahl al-ra’yi, dan dalam waktu yang sama banyak pula menggunakan sumber hadîs, tetapi tidak seluas yang digunakan ahl al-hadîs. Ia mengambil sikap kompromi dan pengembangan antara aliran ra’yu dan aliran hadîs. Metode Imam Syafi‘i ini berkembang dengan pesat dan mempunyai pengikut yang banyak, baik di Irak maupun di Mesir, yang kemudian disebut Mazhab Syafi‘iyyah.
Di antara pengikut terkemuka Iman Syafi‘i yang kemudian lebih mewarnai pendapatnya dengan hadis ialah Ahmad bin Hanbal, yang kemudian mempunyai banyak pengikut, yang disebut Mazhab Hanabilah.
Di samping itu, tampil pula mujtahid yang dalam pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an lebih banyak berpedoman kepada lahir lafaz dan menghindarkan diri dari membawa pemahamannya keluar (di balik) lahir lafaz. Tokoh yang masyhur pengembang cara pemikiran ini adalah Daud bin ‘Ali yang juga mempunyai banyak pengikut, dan berkembang sampai waktu ini. Aliran ini kemudian disebut Mazhab Zhahiriyyah.
Kelima aliran tersebut berada dalam lingkup aliran kalam Ahl al-sunah wa al-Jama’ah. Aliran fiqh yang juga muncul dalam masa ini
adalah Mazhab Syi‘ah yang dapat bertahan sampai waktu ini. Mazhab terbesar dari kelompok ini, adalah Mazhab Syi‘ah Imamiyah.
Setiap aliran fiqh tersebut mengembangkan paham dan metode pemikirannya yang kemudian tersebar luas melalui murid-murid mujtahid dan di kalangan para pengikutnya. Suatu hal yang patut dipahami dan digarisbawahi bahwa mereka itu berbeda pandangan (pendapat) hanya dalam masalah furû’ (cabang, bukan pokok); dan mereka tidak berbeda dalam masalah pokok/inti agama yang telah diterangkan Allah dalam Al-Qur’an secara jelas dan pasti.
Periode ini ditandai oleh beberapa kegiatan ijtihad yang meng- hasilkan fiqh dalam bentuknya yang mengagumkan.
Pertama, kegiatan menetapkan metode berpikir dalam memahami sumber hukum. Untuk maksud ini para ulama menyusun kaidah- kaidah yang dapat mengarahkan mereka dalam usaha mengistinbath- kan hukum dari dalil yang sudah ada. Kaidah ini kemudian disebut Ushul Fiqh. Dengan kaidah ushul ini secara sistematis ulama mujtahid dapat memahami maksud Allah yang tertuang dalam ayat-ayat hukum. Perbedaan dalam penentuan kaidah ini pada dasarnya menentukan perbedaan ulama dalam formulasi fiqh. Ushul fiqh yang telah tersusun dalam bentuk ilmu yang sistematis muncul dalam karya Imam Syafi‘i yang bermanaAl-Risâlah.
Kedua, kegiatan penetapan istilah-istilah hukum yang digunakan dalam fiqh. Pada mulanya umat Islam dengan taat melaksanakan perintah-perintah Allah dalam Qur’an atau suruhan Nabi yang tersebut dalam sunah-Nya, meskipun belum mengenal istilah-istilah hukum. Demikian pula ketaatan mereka dalam menjauhi semua yang dilarang syara’.
Untuk memudahkan umat Islam dalam memahami perintah dan larangan syara’, ulama mujtahid mencoba memberi istilah ter- hadap setiap hukum syara’ yang berkenaan dengan tingkah laku mujtahid. Pada waktu ini dipisahkan antara perbuatan yang wajib, sunah, makruh, haram, dan mubah. Dikembangkan pula pengertian tentang syarat, rukun, sebab, mani’, shah, batal, halal, dan haram. Dengan demikian, setiap umat dapat menempatkan tingkah lakunya dalam hubungannya dengan kepatuhan terhadap hukum syara’ kepada istilah-istilah tersebut.
Ketiga, menyusun kitab fiqh secara sistematis, yang tersusun dalam bab dan pasal; bagian dan subbagian yang mencakup semua masalah hukum, baik yang berkenaan dalam hubungannya dengan Allah, maupun dalam hubungannya dengan manusia dan alam ling- kungannya; masing-masing sesuai dengan metode dan cara berpikir imam mujtahidnya.
4. Fiqh dalam Periode Taklid
Akhir dari masa gemilang ijtihad pada periode imam mujtahid ditandai dengan telah tersusunnya secara rapi dan sistematis kitab- kitab fiqh sesuai dengan aliran berpikir mazhab masing-masing. Dari satu segi, pembukuan fiqh ini ada dampak positifnya yaitu kemudahan bagi umat Islam dalam beramal, karena semua masalah agama telah dapat mereka temukan jawabannya dalam kitab fiqh yang ditulis para mujtahid sebelumnya. Tetapi dari segi lain, terdapat dampak negatifnya yaitu terhentinya daya ijtihad, karena orang tidak merasa perlu lagi berpikir tentang hukum, sebab semuanya sudah tersedia jawabannya.
Kegiatan ijtihad pada masa ini terbatas pada usaha pengembangan, pensyarahan dan perincian kitab fiqh dari imam mujtahid yang ada (terdahulu), dan tidak muncul lagi pendapat atau pemikiran baru.
Kitab fiqh yang dihasilkan para mujtahid terdahulu diteruskan dan dilanjutkan oleh pengikut mazhab kepada generasi sesudahnya, tanpa ada maksud untuk memikirkan atau mengkajinya kembali secara kritis dan kreatif meskipun situasi dan kondisi umat yang akan menjalankannya sudah sangat jauh berbeda dengan kondisi di saat fiqh itu dirumuskan oleh imam mujtahid. Karena itu sudah mulai banyak ketentuan-ketentuan fiqh lama itu yang tidak dapat diikuti untuk diterapkan secara praktis. Selain itu, sangat banyak masalah fiqh yang tidak dapat dipecahkan hanya dengan semata membolak-balik kitab-kitab fiqh yang ada itu. Jika pada masa imam mujtahid, fiqh yang disusunnya itu berjalan secara praktis dengan daya aktualitas yang tinggi, maka pada masa berikutnya, fiqh dalam bidang-bidang tertentu sudah kehilangan daya aktualitasnya
5. Reformulasi Fiqh Islam
Dalam satu segi, umat Islam menginginkan kembali kehidupannya diatur oleh hukum Allah. Tetapi dari segi lain, kitab-kitab fiqh yang ada pada waktu ini-yang merupakan formulasi resmi dari hukum syara’-belum seluruhnya memenuhi keinginan umat Islam, oleh karena kondisi sekarang yang sudah jauh berbeda dengan kondisi ulama mujtahid ketika mereka memformulasikan kitab fiqh itu.
Keadaan demikian itu mendorong para pemikir muslim untuk menempuh usaha reaktualisasi hukum yang dapat menghasilkan formulasi fiqh yang baru, sehingga dapat menuntun kehidupan keagamaan dan keduniaan umat Islam, sesuai dengan persoalan zamannya.
C. Pengertian dan Ruang Lingkup Ushul Fiqh
1. Latar Belakang
Pada waktu Nabi Muhammad SAW. masih hidup, segala persoalan hukum yang timbul langsung ditanyakan kepada beliau. Beliau mem- berikan jawaban hukum dengan menyebutkan ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam keadaan tertentu yang tidak ditemukan jawabannya dalam Al-Qur’an, beliau memberikan jawaban melalui penetapan beliau yang disebut hadis atau sunah. Al-Qur’an dan penjelasannya dalam bentuk hadis disebut “Sumber Pokok Hukum Islam”.
Al-Qur’an turun dalam bahasa Arab. Demikian pula hadis yang disampaikan Nabi, juga berbahasa Arab. Para sahabat Nabi mempunyai pengetahuan yang luas tentang bahasa Arab itu sebagai bahasa ibunya. Mereka mengetahui secara baik arti setiap lafaz-nya dan maksud dari setiap ungkapannya. Pengalaman mereka dalam menyertai kehidupan Nabi dan pengetahuan mereka tentang sebab-sebab serta latar belakang turunnya ayat-ayat hukum memungkinkan mereka mengetahui rahasia dari setiap hukum yang ditetapkan Allah. Karenanya, mereka tidak merasa memerlukan sesuatu di balik itu dalam usaha mereka memformulasikan hukum dari sumbernya yang telah ada, sebagaimana mereka tidak memerlukan kaidah bahasa dalam memahami Al-Qur’an dan hadis Nabi yang berbahasa Arab itu.
Bila para sahabat Nabi menemukan kejadian yang timbul dalam kehidupan mereka dan memerlukan ketentuan hukumnya, mereka men- cari jawabannya dalam Al-Qur’an. Bila tidak menemukan jawabannya secara harfiah dalam Al-Qur’an, mereka mencoba mencarinya dalam koleksi hadis Nabi. Bila dalam hadis Nabi tidak juga mereka temukan jawabannya, mereka menggunakan daya nalar yang dinamakan ijtihad. Dalam berijtihad itu mereka mencari titik kesamaan dari suatu kejadian yang dihadapinya itu dengan apa-apa yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan hadis. Mereka selalu mendasarkan pertimbangan pada usaha “memelihara kemaslahatan umat” yang menjadi dasar dalam penetapan hukum syara’.
Dengan cara seperti itulah Muaz ibn Jabal memberikan jawaban kepada Nabi dalam dialog di antara keduanya sewaktu Muaz diutus Nabi ke Yaman untuk menduduki jabatan qadhi.
Nabi : “Bagaimana cara Anda menetapkan hukum bila kepada Anda dihadapkan perkara yang memerlukan ketetapan hukum?”
Muaz : “Aku menetapkan hukum berdasarkan Kitab Allah.”
Nabi : “Bila Anda tidak menemukan jawabannya dalam Kitab
Allah?”
Muaz : “Aku menetapkan hukum dengan sunah Nabi.”
Nabi : “Bila dalam sunah, Anda juga tidak menemukannya?”
Muaz : “Aku melakukan ijtihad dan aku tidak akan gegabah da- lam ijtihadku.”
Jawaban Muaz dengan urut-urut seperti itu mendapat pe- ngakuan dari Nabi Muhammad SAW..
Allah SWT. dalam surat an-Nisa’(4): 59 berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, patuhlah kamu kepada Allah dan patuhlah kamu kepada Rasul dan orang-orang yang
memimpin urusanmu. Bila kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul.
Suruhan Allah dalam ayat ini untuk menaati Allah dan Rasul-Nya berarti perintah untuk mengikuti apa-apa yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi. Suruhan untuk menaati ulil amri berarti perintah untuk mengikuti kesepakatan para ulama mujtahid dalam menetapkan hukum, karena mereka adalah orang-orang yang mengurus kepentingan umat Islam dalam bidang hukum. Suruhan untuk memulangkan hal dan urusan yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasul berarti perintah untuk menggunakan qiyâs (daya nalar) dalam hal-hal yang tidak ditemukan jawabannya dalam Al-Qur’an, hadis, dan tidak ada pula ijmâ’ atau kesepakatan ulama mujtahid. Dengan demikian, dalil hukum syara’ yang disepakati di kalangan ulama jumhur adalah empat yaitu Al-Qur’an, hadis atau sunah, Ijma’, dan Qiyâs.
Setelah masa gemilang itu berlalu, datanglah suatu masa di mana umat Islam sudah bercampur baur antara orang-orang yang berbahasa Arab dan memahaminya secara baik dengan orang-orang yang tidak berbahasa Arab atau tidak memahaminya secara baik. Waktu itu bahasa Arab menjadi sesuatu yang harus dipelajari untuk memahami hukum- hukum Allah. Karenanya para ahli berusaha menyusun kaidah-kaidah untuk menjaga seseorang dari kesalahan dalam memahami Al-Qur’an dan hadis yang keduanya adalah sumber pokok ajaran Islam.
Kemudian para ulama mujtahid merasa perlu menetapkan dan menyusun kaidah atau aturan permainan yang dijadikan pedoman dalam merumuskan hukum dari sumber-sumbernya dengan memer- hatikan asas dan kaidah yang ditetapkan ahli bahasa yang memahami dan menggunakan bahasa Arab secara baik. Di samping itu, juga memerhatikan jiwa syariah dan tujuan Allah menempatkan mukalaf dalam tanggung jawab hukum. Kaidah dalam memahami hukum Allah dari sumbernya itulah yang disebut ushul fiqh.
2. Pengertian Ushul Fiqh
Kata “ushul fiqh” adalah kata ganda yang terdiri dari kata “ushul”
dan kata “fiqh”. Kata “fiqh” secara etimologi berarti “paham yang
mendalam”. Kata ini muncul sebanyak 20 kali dalam Al-Qur’an dengan arti paham itu, umpamanya dalam surat al-Kahfi (18): 93:
“dalil syara’” itu ada aturannya dalam bentuk kaidah, umpamanya: “Setiap perintah itu menunjukkan wajib”. Pengetahuan tentang kaidah- kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’ tersebut, itulah yang disebut “Ilmu Ushul Fiqh”.
Dari penjelasan sederhana di atas dapat diketahui perbedaan ushul fiqh dari fiqh. Ushul fiqh adalah pedoman atau aturan-aturan yang membatasi dan menjelaskan cara-cara yang harus diikuti seorang fakih dalam usahanya menggali dan mengeluarkan hukum syara’ dari dalilnya; sedangkan fiqh ialah hukum-hukum syara’ yang telah digali dan dirumuskan dari dalil-dalil menurut aturan yang sudah ditentukan itu.
Adapun perbedaan antara “ushul fiqh” dengan “kaidah fiqhiyah” terletak pada lingkup bahasannya. Kaidah fiqhiyah berada dalam lingkup bahasan fiqh, bukan dalam lingkup bahasan ushul fiqh. Usul fiqh menjelaskan ketentuan atau aturan yang harus diikuti seorang mujtahid untuk menghindarkan dirinya dari kesalahan dalam usahanya merumuskan hukum syara’ dari dalilnya. Adapun kaidah fiqhiyah adalah kumpulan hukum-hukum kesamaan yang setiap hal dirujukkan kepada satu pola yang sama; seperti kaidah khiyâr, atau kaidah-kaidah fasakh secara umum.
3. Perkembangan Ushul Fiqh
Ilmu ushul fiqh bersamaan munculnya dengan ilmu fiqh meskipun dalam penyusunannya ilmu fiqh dilakukan lebih dahulu dari ushul fiqh. Sebenarnya keberadaan fiqh harus didahului oleh ushul fiqh, karena ushul fiqh itu adalah ketentuan atau kaidah yang harus diikuti mujtahid pada waktu menghasilkan fiqhnya. Namun dalam perumusannya ushul fiqh datang belakangan.
Perumusan fiqh sebenarnya sudah dimulai langsung sesudah Nabi wafat, yaitu pada periode sahabat. Pemikiran dalam ushul fiqh telah ada pada waktu perumusan fiqh itu. Para sahabat-di antaranya Umar Ibn Khattab, Ibnu Mas‘ud, ‘Ali ibn Abi Thalib umpamanya-pada waktu mengemukakan pendapatnya tentang hukum, sebenarnya sudah menggunakan aturan atau pedoman dalam merumuskan hukum, meskipun secara jelas mereka tidak mengemukakan demikian.
Sewaktu ‘Ali ibn Abi Thalib menetapkan hukuman cambuk sebanyak 80 kali terhadap peminum khamar, beliau berkata, “Bila ia minum ia akan mabuk dan bila ia mabuk, ia akan menuduh orang berbuat zina secara tidak benar; maka kepadanya diberikan sanksi tuduhan berbuat zina.” Dari pernyataan ‘Ali itu, akan diketahui bahwa ‘Ali rupanya menggunakan kaidah menutup pintu kejahatan yang akan timbul atau “sad al-dzari‘ah”.
‘Abdullah ibn Mas’ud sewaktu mengemukakan pendapatnya tentang wanita hamil yang kematian suami ‘idahnya adalah melahirkan anak, mengemukakan argumennya dengan Firman Allah dalam surat at-Thalaq (85) ayat 4, meskipun juga ada Firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) yang menjelaskan bahwa istri yang kematian suami
‘idahnya empat bulan sepuluh hari. Dalam menetapkan pendapat ini beliau mengatakan bahwa ayat 4 surat at-Thalaq datang sesudah ayat
234 surat al-Baqarah (2).
Dari tindakan Ibnu Mas’ud tersebut kelihatan bahwa dalam me- netapkan fatwanya itu ia menggunakan kaidah ushul, tentang nasakh- mansûkh, yaitu bahwa dalil yang datang kemudian menasakhkan dalil yang datang terdahulu. Dari apa yang dilakukan lbnu Mas‘ud ini dan juga dari apa yang dilakukan ‘Ali ibn Abi Thalib dalam contoh di atas kita dapat memahami bahwa para sahabat dalam me- lakukan ijtihad mengikuti suatu pedoman tertentu meskipun tidak dirumuskan secara jelas.
Pada periode tabi‘în lapangan istinbath atau perumusan hukum semakin meluas karena begitu banyaknya peristiwa hukum yang bermunculan. Dalam masa itu beberapa orang ulama tabi‘in tampil sebagai pemberi fatwa hukum terhadap kejadian yang muncul; umpamanya Sa‘id ibn Musayyab di Madinah dan lbrahim al-Nakha‘i di lrak. Masing-masing ulama ini mengetahui secara baik ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an dan mempunyai koleksi yang lengkap tentang hadis Nabi. Jika mereka tidak menemukan jawaban hukum dalam Al-Qur’an atau hadis, sebagian dari mereka mengikuti metode maslahat dan sebagian mengikuti metode qiyas. Usaha istinbath hukum yang dilakukan Ibrahim al-Nakha‘i dan ulama Irak lainnya mengarah kepada mengeluarkan ‘Illat hukum
dari nash dan menerapkannya terhadap peristiwa yang lama yang baru bermunculan kemudian hari.
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa metode yang digunakan dalam merumuskan hukum syara’ semakin memperlihatkan ben- tuknya. Perbedaan metode yang digunakan menyebabkan timbulnya perbedaan aliran dalam fiqh.
Abu Hanifah dalam usaha merumuskan fiqhnya menggunakan metode tersendiri. Ia menetapkan Al-Qur’an sebagai sumber pokok, kemudian hadis Nabi, berikutnya fatwa sahabat. Ia mengambil hukum-hukum yang telah disepakati para sahabat. Dalam hal-hal yang ulama sahabat berbeda pendapat, ia memilih satu di antaranya yang dianggap lebih kuat. Abu Hanifah tidak mengambil pendapat ulama tabi‘in sebagai dalil dengan pertimbangan bahwa ulama tabi‘in itu berada dalam satu ranking dengannya. Metodenya dalam menggunakan qiyâs dan istihsân terlihat nyata sekali.
Imam Malik menempuh metode ushuli yang lebih jelas meng- gunakan tradisi yang hidup di kalangan penduduk Madinah, se- bagaimana dinyatakan dalam buku dan risalahnya. Terlihat usahanya menolak hadis yang dihubungkan kepada Nabi karena hadis itu menyalahi nash Al-Qur’an. Imam Malik lebih banyak menggunakan hadis ketimbang Abu Hanifah; mungkin karena begitu banyaknya hadis yang dia temukan. Dalam penggunaan qiyâs, ia memberikan persyaratan yang begitu berat. Tetapi di balik itu, Imam Malik meng- gunakan maslahat mursalah yang tidak digunakan ulama jumhur; sebagai imbangan dari istihsân yang digunakan Abu Hanifah. Metode yang digunakan Imam Malik dalam merumuskan hukum syara’ merupakan pantulan dari aliran Hijaz, sebagaimana metode yang digunakan Abu Hanifah merupakan pantulan dari aliran Irak.
Setelah Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, tampil Imam Syafi‘i. Ia menemukan dalam masanya perbendaharaan fiqh yang sudah berkembang semenjak periode sahabat, tabi‘in, dan imam-imam yang mendahuluinya. Ia menemukan perbincangan tentang fiqh begitu meriah yang diwarnai diskusi dan polemik yang menarik di antara tokoh-tokoh yang berbeda pendapat. Perdebatan terbuka berlangsung di antara kubu Madinah dan kubu Irak. Imam Syafi‘i menggali
pengalaman dalam berbagai diskusi di tengah pendapat yang berbeda itu. Ia memiliki pengetahuan tentang fiqh Maliki yang diterimanya langsung dari Imam Malik. Ia juga sempat menimba pengetahuan dan pengalaman dari Muhammad ibn Hasan al-Syaibani (murid Abu Hanifah) sewaktu ia berada di Irak. Selain itu, ia pun mendalami fiqh ulama Mekah tempat ia lahir dan berkembang. Modal pengalaman dan pengetahuannya yang luas dan mendalam itu, memberi petunjuk kepada Imam Syafi‘i untuk meletakkan pedoman dan neraca berpikir yang menjelaskan langkah-langkah yang harus dilakukan mujtahid dalam merumuskan hukum dari dalilnya. Metode berpikir yang dirumuskan Imam Syafi‘i itulah yang kemudian disebut “ushul fiqh”.
Imam Syafi‘i pantas disebut sebagai orang pertama yang me- nyusun sistem metodologi berpikir tentang hukum Islam, yang kemudian populer dengan sebutan ushul fiqh; sehingga tidak salah ucapan seseorang orientalis Inggris, N. J. Coulson, yang mengatakan bahwa Imam Syafi‘i adalah arsitek ilmu fiqh. Hal ini bukanlah berarti beliau yang merintis dan mengembangkan ilmu tersebut. Jauh sebelumnya, mulai dari para sahabat, tabi‘in, bahkan di kalangan imam mujtahid belakangan seperti Abu Hanifah, Imam Malik dan juga di kalangan ulama Syi‘ah seperti Muhammad al-Baqir dan Ja’far al-Shadiq sudah menemukan dan menggunakan metodologi dalam perumusan fiqh. Tetapi mereka belum menyusun ilmu itu secara sistematis sehingga dapat disebut sebagai ilmu yang berdiri sendiri.
Kemampuan Imam Syafi‘i dalam melahirkan ilmu ushul fiqh ini ditopang beberapa faktor yang ada pada diri dan pengalamannya. Pengalamannya yang lama di pedesaan Arab memungkinkannya me- nimba pengetahuan tentang bahasa Arab bahkan ia menjadi salah seorang ahli Lisân al-‘Arab. Dengan ilmu ini ia memiliki kemampuan yang tinggi dalam merumuskan kaidah untuk mengeluarkan hukum syara’ dari teks Al-Qur’an dan hadis yang keduanya berbahasa Arab orisinal.
Selama keberadaannya di Mekah, Imam Syafi‘i mewarisi ilmu Al-Qur’an dari ‘Abdullah ibn ‘Abbas yang memungkinkannya untuk mengenal nasikh-mansûkh dalam Al-Qur’an. Di samping itu, ia berkesempatan pula mendalami hadis Nabi dari ulama hadis yang
memungkinkannya mengenal kedudukan sunah bagi Al-Qur’an sehingga beliau dapat menyelesaikan pendapat dan anggapan adanya pertentangan antara Al-Qur’an dengan Hadis Nabi. Penguasaannya yang baik terhadap fiqh aliran tradisionalis (Hijaz) dan fiqh aliran rasionalis (Irak) merupakan modal dasar penyusunan kaidah-kaidah dalam menggunakan qiyâs. Dengan segenap kemampuannya itu, Imam Syafi‘i berhasil menyusun metodologi yang sistematis dalam merumuskan hukum syara’.
Sepeninggal Imam Syafi‘i pembicaraan tentang ushul fiqh se- makin menarik, dan ushul fiqh itu sendiri semakin berkembang. Pada dasarnya ulama fiqh pengikut imam mujtahid yang datang kemudian mengikuti dasar-dasar yang sudah disusun Imam Syafi‘i. Dalam pengembangannya terlihat adanya perbedaan arah yang menyebabkan perbedaan dalam ushul fiqh.
Sebagian ulama yang kebanyakan pengikut Imam Syafi‘i mencoba mengembangkan ushul fiqh Syafi‘i dengan cara, antara lain: men- syarahkan, memerinci yang bersifat garis besar, mempercabangkan pokok pikiran Imam Syafi‘i, sehingga ushul fiqh Syafi‘iyyah menemukan bentuknya yang sempurna.
Sebagian ulama mengambil sebagian dari pokok-pokok pikiran Imam Syafi‘i itu dan tidak mengikutinya dalam bagian lain yang bersifat rincian. Sebagai ganti dari yang tidak diikutinya itu ditambahkannya hal-hal yang sudah menjadi dasar bagi pikiran imam mereka. Kelompok ulama Hanafiyah mengambil sebagian yang dasar-dasarnya diletakkan Imam Syafi‘i, kemudian mereka menambahkan pemikiran tentang istihsan dan ‘urf yang diambil dari imam mereka. Kelompok ulama Malikiyah, di samping mengikuti beberapa dasar yang diletakkan Imam Syafi‘i, mereka tidak mengikuti pendapat Syafi‘i yang menolak ijmâ’ ahli Madinah dan memasukkan tambahan berupa maslahat mursalah serta prinsip penetapan hukum berdasarkan sad al-dzarâ‘i.
Pada prinsipnya fuqaha mazhab yang empat tidak berbeda dengan dasar yang ditetapkan Imam Syafi‘i tentang penggunaan dalil yang empat, yaitu: Al-Qur’an, hadis, Ijma’ dan Qiyas, meskipun dalam kadar penggunaannya terdapat perbedaan. Di samping itu, masing-masing menggunakan dalil tambahan yang tidak digunakan ulama lainnya.
Meskipun kemudian sesudah meninggalnya imam-imam muj- tahid yang empat dinyatakan bahwa kegiatan ijtihad terhenti, namun sebenarnya yang terhenti adalah kegiatan ijtihad mutlaq sedangkan ijtihad terhadap ushul mazhab yang tertentu masih tetap berlangsung yang masing-masing mengarah kepada menguatnya ushul fiqh yang dirintis para imam pendahulunya.
Sesudah melembaganya mazhab-mazhab fiqh, maka arah pe- ngembangan ushul fiqh terlihat dalam dua bentuk yang berbeda.
Pertama, arah pemikiran murni, yaitu penyusunan kaidah ushul yang tidak terpengaruh kepada furu’ mazhab mana pun. Perhatian pembahasan dalam hal ini mengarah kepada penerapan kaidah dan menguatkannya, tanpa terikat pada amal yang berkembang di ka- langan mazhab. Perkembangan ushul fiqh menurut arah ini disebut ushul fiqh Syafi‘iyah atau ushul fiqh aliran Mutakallimin. Penamaan ulama Mutakallimin atau ulama kalam tersebut, dalam hal ini karena pemikiran ulama kalam di bidang ini mengelompok dalam aliran ushul fiqh. Di antara buku ushul fiqh yang disusun menurut metode ini adalah:
1. Kitab al-Mu’tamad karangan Abu Hasan al-Bashri yang dalam aliran kalam beraliran Mu’tazilah;
2. Kitab al-Burhân karangan Imam al-Haramain; dan
3. Kitab al-Mustashfâ karangan al-Ghazali.
Ketiga kitab tersebut oleh ulama yang datang kemudian dibuat ikhtisar sehingga menjadi karangan pendek. Karangan pendek ini kemudian oleh ulama belakangan disyarahkan. Kemudian syarah itu diberi hasyiyah, sehingga akhirnya berkembang menjadi kitab- kitab ushul fiqh dalam mazhab Syafi‘i.
Kedua, mengarah pada penyusunan ushul fiqh yang terpengaruh pada furu’ dan menyesuaikannya bagi kepentingan furu’ dan berusaha mengembangkan ijtihad yang telah berlangsung sebelumnya. Hal ini berarti bahwa pengikut mazhab melakukan ijtihad untuk memelihara hukum fiqh yang dicapai oleh ulama pendahulu mazhabnya. Mereka mengemukakan kaidah-kaidah yang mendukung dan menguatkan mazhab mereka. Ulama fuqaha yang lebih banyak menggunakan
metode ini adalah ulama kelompok Hanafiyah. Karena itu metode ushul fiqh menurut metode ini disebut metode ushul Hanafiyah. Kitab-kitab ushul fiqh menurut metode ini, antara lain:
1. Kitab Ushûl karangan al-Karahki;
2. Kitab al-Ushûl karangan Abu Bakar al-Razi; dan
3. Kitab Ta’sîs al-Nazhar karangan al-Dabbusi.
Sesudah itu bermunculan kitab-kitab ushul fiqh aliran Hanafiyah, seperti karangan al-Baidhawi, al-Sarhisi, dan lain-lainnya.
Sesudah dua metode ini berjalan mapan dan berkembang me- nurut aliran masing-masing, ditemukan pula kitab-kitab ushul fiqh yang merupakan gabungan dari kedua aliran tersebut. Sebagian ditulis oleh ulama dari mazhab Syafi‘i seperti kitab Jam‘ul Jawâmi’ oleh Ibnu Subki dan sebagian ditulis ulama mazhab Hanafi seperti kitab al-Tahrîr oleh Kamaluddin ibn al-Hummam.
4. Tujuan dan Manfaat Ushul Fiqh
Tujuan yang hendak dicapai dari ilmu ushul fiqh ialah untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang terinci agar sampai kepada hukum-hukum syara’ yang bersifat
‘amali yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu. Dengan kaidah ushul serta bahasannya itu dapat dipahami nash-nash syara’ dan hukum yang terkandung di dalamnya. Demikian pula dapat dipahami secara baik dan tepat apa-apa yang dirumuskan ulama mujtahid dan bagaimana mereka sampai kepada rumusan itu.
Metnang dengan metode tersebut para ulama telah berhasil me- rumuskan hukum syara’ dan telah terjabar secara rinci dalam kitab- kitab fiqh. Lantas untuk apa lagi, ushul fiqh itu bagi umat yang datang kemudian? Dalam hal ini ada dua maksud mengetahui ushul fiqh itu.
Pertama, bila kita sudah mengetahui metode ushul fiqh yang dirumuskan ulama terdahulu, maka bila suatu ketika kita menghadapi masalah baru yang tidak mungkin ditemukan hukumnya dalam kitab- kitab fiqh terdahulu, maka kita akan dapat mencari jawaban hukum terhadap masalah baru itu dengan cara menerapkan kaidah-kaidah hasil rumusan ulama terdahulu itu.
Kedua, bila kita menghadapi masalah hukum fiqh yang terurai dalam kitab-kitab fiqh, tetapi mengalami kesukaran dalam penerapannya karena sudah begitu jauhnya perubahan yang terjadi, dan kita ingin mengkaji ulang rumusan fuqaha lama itu atau ingin merumuskan hukum yang sesuai dengan kemaslahatan dan tuntutan kondisi yang menghendakinya, maka usaha yang harus ditempuh adalah merumuskan kaidah baru yang memungkinkan timbulnya rumusan baru dalam fiqh. Kaji ulang terhadap suatu kaidah atau menentukan kaidah baru itu tidak mungkin dapat dilakukan bila tidak mengetahui secara baik usaha dan cara ulama lama dalam merumuskan kaidahnya. Hal itu akan diketahui secara baik dalam ilmu ushul fiqh.
5. Pokok Pembahasan Ushul Fiqh
Bertitik tolak dari definisi ushul fiqh yang disebutkan di atas, maka bahasan pokok ushul fiqh itu adalah tentang:
a. Dalil-dalil atau sumber hukum syara’;
b. Hukum-hukum syara’ yang terkandung dalam dalil itu; dan
c. Kaidah-kaidah tentang usaha dan cara mengeluarkan hukum
syara’ dan dalil atau sumber yang mengandungnya.
Dalam membicarakan sumber hukum dibicarakan pula kemung- kinan terjadinya benturan antara dalil-dalil dan cara menyelesaikannya. Dibahas pula tentang orang-orang yang berhak dan berwenang menggunakan kaidah atau metode dalam melahirkan hukum syara’ tersebut. Hal ini memunculkan pembahasan tentang ijtihad dan mujtahid. Kemudian membahas mengenai tindakan dan usaha yang dapat ditempuh orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan dan kemungkinan berijtihad atau pembahasan tentang taklid dan hal-hal lain yang berhubungan dengannya.
Dalam sistematika penyusunan pokok-pokok bahasan terdapat perbedaan yang disebabkan perbedaan arah dan penekanan dari beberapa pokok bahasan tersebut.
0 Comment