A. Pengertian
Filsafat
Di dalam memahami suatu pengertian yang secara mendalam
dan mendasar, tentunya dilihat dari berbagai dimensi. Dalam hal ini, untuk
mengetahui pengertian filsafat dapat dilihat dari empat posisi, di antaranya;
dari posisi bahasa (etimologis), dari posisi filsafat sebagai ilmu, dari posisi
filsafat sebagai kata benda dan dilihat dari posisi filsafat sebagai suatu
kegiatan manusia.
Ditinjau dari segi bahasa (etimologis), kata filsafat
berasal dari bahasa Yunani, yaitu philosophia. Philo artinya cinta, dan sophia
berarti bijaksana atau kebenaran. Sehingga philosophia mengandung arti
cinta kepada kebenaran.[1]
Orang yang mencintai kebenaran, maka ia akan berupaya memperoleh dan
memilikinya. Sementara dalam pengertian yang lain, kata filsafat juga berarti
cinta pada pengetahuan dan kebijaksanaan, maksudnya yaitu ingin dan dengan rasa
keinginan itulah ia berusaha mencapai atau mendalami hal yang diinginkan,
begitu juga dengan pengetahuan yaitu tahu dengan mendalam sampai ke
akar-akarnya atau sampai ke dasar segala dasar.[2]
Kata filsafat juga telah di Arabkan falsafah yang berarti pengkajian
asal usul segala sesuatu.
Ditinjau filsafat sebagai ilmu, maka
filsafat memiliki objek, metoda dan sistem tersendiri secara terminologis.
Dalam hal ini dilihat dalam sudut pandang yang berbeda dikalangan para ahli, di
antaranya adalah:
a.
Plato seorang
Bapak filsafat Yunani, yang mengatakan bahwa filsafat adalah ”Ilmu
pengetahuan yang berusaha mencapai kebenaran yang asli, karena kebenaran adalah
mutlak di tangan Tuhan atau pengetahuan tentang segala yang ada”.
b.
Aristoteles,
mengatakan filsafat bahwa ”Ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang di
dalamnya ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politk, sosial, budaya
dan estetika”.
c.
Al-Farabi,
Filosof Islam, mengatakan bahwa filsafat ialah ”Pengetahuan tentang yang ada
menurut hakikatnya yang sebenarnya”.
d.
Immanuel Kant,
mengatakan filsafat adalah ”Ilmu pokok dan pangkal segala penetahuan yang
mencakup di dalamnya empat kajian; apa yang dapat diketahui, dijawab oleh
metafisika, apa yang boleh dikerjakan, di jawab oleh etika, apa yang dinamakan
manusia, di jawab oleh antropologi, apa harapan manusia, di jawab oleh agama”.
e.
Muhammad Yusuf
Musa, mengatakan filsafat adalah renungan akal dalam berfikirnya, yang
ditujukan untuk mengenal hakikat wujud di dalam makro-kosmos yang mengungkungi
manusia di dalam mikro-kosmos (manusia sendiri) dan pangkal pertama dari semua
yang demikian itu.[3]
Dengan demikian hakikat dari filsafat itu ialah berfikir
dengan tertib, bebas mendalam ke akar-akarnya. Dalam menyelidiki philosopi,
berdasarkan akal, sejauhmana akal dapat mencapai sesuatu yang difikirkan.
Filsafat mengandung gambaran-gambaran dari dengan dan kemana sebenarnya yang
akan terjadi, dan dengan demikian filsafat artinya menyelidiki hakikat
kenyataan berdasarkan pikiran.
Sementara filsafat sebagai kata benda, filsafat dipandang
sebagai kata benda/alam pikiran. Dalam hal ini filsafat ialah sekumpulan
masalah-masalah yang langsung dan mendapat perhatian dari manusia yang
dicarikan jawabannya oleh ahli filsafat. Kemudian filsafat itu suatu kumpulan
sikap kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara
tidak kritis.
Pengertian di atas menggambarkan bahwa filsafat adalah
sebagai alam pikiran manusia. Lalu bagaimana manusia meresponnya, misalnya apa
itu agama, apakah sebenarnya hidup ini, benarkah hidup ini sementara, apakah
ada hidup setelah hidup ini kembali nantinya dan lain sebagainya.
Dari filsafat sebagai suatu kegiatan manusia, maka dalam
hal ini berfilsafat adalah suatu kegiatan berpikir yang dilakukan oleh mansia
untuk menjawab dari berbagai masalah, dengan demikian Titus[4]
mengajukan pengertian filsafat yaitu:
a.
Suatu proses
kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan seabgai sesuatu yang dijunjung
tinggi oleh manusia.
b.
Sebagai analisa
logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep
c.
Suatu usaha
untuk memperoleh gambaran keseluruhan
Dari ketiga pengertian ini penekanannya adalah kepada proses bukan kepada hasil yang dicapai. Oleh sebab itu proses dengan melalui beberapa tahapan lain; logis alam berubah-ubah, setiap yang berubah adalah baharu dan alam adalah baharu, yaitu bahwa alam baharu bukan kebetulan akan tetapi melalui proses logis.
B.
Sejarah Filsafat
dalam Islam
Sejarah filsafat bermula di Pesisir Samudra Mediteranian
bagian Timur pada abad ke-6 SM. Menurut Majid Fakhry, sejak semula filsafat
ditandai dengan rencana umat manusia untuk menjawab persoalan seputar alam,
manusia dan Tuhan. Itulah sebabnya filsafat pada gilirannya mampu melahirkan
sains-sains besar, seperti fisika, etika, matematika, dan metafisika yang
menjadi batu bata kebudayaan dunia.[5]
Dari Asia Minor, kepulauan yang terletak antara Samudra
Mediterania dan Laut Hitam, filsafat menyeberangi Aegean (sebuah teluk yang
berada di Samudra Mediterania) menuju tanah Yunani. Untuk ribuan tahun lamanya,
Athena menjadi tanah air filsafat. Ketika Iskandariyah didirikan oleh Iskandar
Agung pada 332 SM, filsafat mulai merambah dunia Timur, dan berpuncak pada
tahun 529 M.
Pada tahun itu, kata Majid Fakhry, demikian juga
al-Ahwani, Kaisar Bizantium, Justianus menutup sekolah-sekolah tinggi filsafat
di Athena dan mengusir semua filosofnya dari daerah tersebut, karena ajaran
filosof menurutnya bertentangan dengan ajaran Kristen. Sebagai ancaman bagi
eksistens agama Kristen. Tujuh guru filsafat paling termuka dipimpin oleh
Damascius (w. 553 M) dan Simplicus (w. 533 M), lari menyeberang perbatasan
Bizantium menuju Persia. Di sana, para guru filsafat ini disambut hangat oleh
Chosroes I (Anushirwan) yang begitu mengagumi filsafat dan sains Yunani.
Sekitar 555 M, Chosroes I mendirikan sekolah Jundishapur sebagai pusat studi
Hellenik dari riset kedokteran.[6]
Namun demikian, transpormasi filsafat Yunani yang paling
radikal, kata Majid Fakhry terjadi di Iskandariyah bukan di Jundishapur. Di
Iskandariyah ini filsafat menjadi benar-benar mendunia. Kecendrungan religius
dan mistisnya malah hampir-hampir tak dikenal oleh orang-orang Yunani
terdahulu. Oleh karenanya, nama-nama yang dikaitkan dengan filsafat
Iskandariyah atau Hellenistik umumnya adalah Plotinus (w. 270 M), Porphyr dari
Tyre (w. 303 M), dan Jamblichus (w. 330 M), yang seluruhnya hidup pada zaman
Iskandar Agung.
Ketika Mesir takluk di bawah orang-orang Arab pada tahun
641 M, Iskandariyah tetap berkembang sebagai pusat filsafat, kedokteran dan
sains Yunani. Juga teologi Kristen-Hellenistik yang berdampak luas pada
perkembangan filsafat dan teologi Muslim di kemudian hari. Sebagai akibat dari
penaklukan wilayah Mesir oleh orang-orang Arab ini, maka tren kebudayaan dan
pemikiran bergerak ke arah Timur yang berawal dari Damaskus pada masa Dinasti
Umayyah (661-750 M) dan berlanjut sampai ke Baghdad pada masa Dinasti Abbasiyah
(750-1258 M).
Semenjak Islam lahir di Jazirah Arabia di awal abad ke
VII M, jumlah orang Arab yang menjadi penghuni jazirah itu yang mampu menulis
dan membaca sangat sedikit dan dapat dihitung dengan jari. Ini dapat dipahami
bahwa pada waktu itu bangsa Arab dapat dikatakan tidak mengenal ilmu dan
filsafat, sebagaimana yang telah dikenal oleh bangsa-bangsa tetangga mereka
yang tinggal di Mesir, Syam, Irak, Persia dan kawasan lain di sekitar Laut
Tengah. Potensi bangsa Arab di bidang ilmu dan falsafat sampai pada waktu itu
belum pernah dikembangkan atau diaktualkan sebagaimana mestinya.[7]
Akhirnya sejarah Islam menunjukkan bahwa perintah pertama
yang terkandung dalam wahyu yang pertama kali diterima Nabi Muhammad SAW adalah
perintah ”bacalah!” sebanyak dua kali. Perintah ini merupakan salah satu keistimewaan
wahyu (al-Qur’an) dalam Islam. Jadi jelas dari wahyu tersebut bahwa membaca dan
belajar adalah aktivitas pertama yang diperintahkan oleh wahyu dalam Islam.
Maka dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi SAW banyak pernyataan dan perintah yang
mendorong manusia menjadi peneliti, menjadi peneliti, menjadi penuntut ilmu,
atau menjadi pemikir dan dalam Islam menghargai tinggi mereka yang berilmu,
menghargai orang yang bersikap kritis, dan mencela sikap taklid.[8]
Karena memang al-Qur’an pada dasarnya merupakan buku
petunjuk dan pegangan keagamaan, namnun di antara isinya mendorong umat Islam
supaya banyak berpikir. Hal ini dimaksudkan agar mereka melalui pemikiran
akalnya sampai pada kesimpulan adanya Allah Pencipta Alam semesta dan sebab
dari segala kejadian di alam ini.[9]
Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang mendorong umat Islam
untuk melakukan kegiatan berpikir, di antaranya adalah:
1.
Kata-kata
berasal dari ’aqala mengandung arti mengerti, memahami, dan berpikir.
Terdapat 45 ayat, di antaranya; QS:[2]:242, QS:[8]:22, QS:[16]:11-12.
2.
Kata-kata yang
berasal dari nazhara melihat secara abstrak dalam arti berpikir dan
merenungkan atau menalar, terdapat dalam al-Qur’an lebih dari 30 ayat. Di
antaranya QS:[50]:6-7, QS:[86]:5-7, QS:[47]:24.
3.
Kata yang
berasal dari tadabbara mengandung arti merenungkan, terdapat dalam
beberapa ayat, seperti surat Shad: 29 dan Muhammad ayat 24
4.
Kata yang
berasal dari tafakkara yang berarti berpikir, terdapat 16 ayat dalam
al-Qur’an di antaranya QS:[16]:68-69, QS:[45]:12-13
5.
Kata-kata yang
berasal dari faqiha yang berarti mengerti, dan paham. Terdapat 16 ayat
dalam al-Qur’an. Di antaranya: QS:[17]:44, QS:[6]:97-98, dan QS:[9]:122.
6.
Kata-kata yang
berasal dari tazakkara yang berarti mengingat, memperoleh peringatan
mendapat pelajaran, memperhatikan dan mempelajari, yang semuanya mengandung
perbuatan berpikir, terdapat dalam lebih dari 44 ayat. Di antaranya QS:[16]:17,
QS:[39]:9, dan QS:[51]:47-49.
7.
Kata-kata yang
berasal dari fahima yang berarti memahami dalam bentuk fahhama di
antara QS:[21]:78-79.
8.
Ulu al-bab yang berarti
orang berpikiran, di antaranya terdapat dalam surat Yusuf [12]:111 dan surat
Ali Imran [3]:190, ulu al’ilm yang berarti orang berilmu, di antaranya
terdapat dalam surat Ali Imran [3]:18, ulu al-abshar yang berarti orang
mempunyai pandangan, di antaranya terdapat dalam surat an-Nur [24]:44, ulu
al-Nuha yang berarti orang bijaksana, di antaranya terdapat dalam surat
al-Anfal [8]:22 dan Al-Nahl [16]:11-12; dan juga kata ayat sendiri erat
hubungannya dengan perbuatan berpikir, yang berarti aslinya adalah tanda.[10]
Perintah berpikir terdapat pula dalam ayat kauniyah.
Ayat-ayat ini menggambarkan kejadian alam semesta. Semua kejadian tersebut yang
oleh al-Qur’an diperintahkan umat Islam untuk memikirkan dan merenungkan.[11]
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa intisari filsafat
terdapat dalam al-Qur’an tetapi al-Qur’an bukanlah buku filsafat. Agaknya
itulah sebabnya para filosof Muslim sebagai yang dikatakan Ibnu Rusyd bahwa
filsafat bukanlah haram dalam Islam. Bahkan, menurutnya hukum berfilsafat adalah
wajib dan sekurang-kurangnya dianjurkan oleh agama (sunnah).[12]
Sementara itu, yang lainnya ada yang menyamakan kata filsafat dan fillosof
dengan kata hikmah dan hakim yang ada dalam al-Qur’an.[13]
Jadi penaklukan Iskandariyah pada tahun 641 oleh orang-orang
Arab merupakan momentum berharga bagi bangsa Arab untuk bersentuhan langsung
dengan peradaban Yunani. Sebagaimana diketahui bahwa kawasan Timur Tengah,
seperti; Mesir, Suriah dan Irak ketika diperintah oleh Iskandar Agung tak
ubahnya seperti zaman peradaban Yunani. Pada masa Ptolemy I, Mesir terutama
Iskandariah merupakan kota ilmu dan sains yang menggantikan posisi Athena.
Iskandariyah menjelma sebagai pusat bergelutnya pemikiran spekulatif Yunani
dengan berbagai tradisi keagamaan dan mistis Mesir, Pheonisia, dan Persia serta
Yahudi dan Kristen. Hasil utama pergelutan itu adalah berkibarnya Neoplatonisme
yang dipelopori oleh Plotinus dan muridnya Porphyry yang tersohor.
Dengan demikian berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa sejarah filsafat dalam Islam bila dinisbahkan dengan
al-Qur’an dan hadis Rasul Saw tidaklah berlebihan bahwa pemikiran ilmiah dalam
Islam adalah seperti nisbah roh dengan badan yang dihidupkan oleh roh itu.
Memandang keduanya sebagai roh adalah pantas dan sesuai dengan pandangan
al-Qur’an sendiri tentang dirinya, seperti dinyatakan dalam al-Qur’an 42:52,
yang artinya ”Dan demikianlah kami wahyukan kepadamu ruh dengan perintah
Kami”. Penamaan apa yang diwahyukan itu dengan ruh mengandung arti bahwa
ajaran wahyu baik berupa al-Qur'an maupun berupa hadis Nabi haruslah
diaktualkan terus menerus sebagai ruh yang mendorong umat manusia umumnya dan
muslimin khususnya untuk menghidupkan emosi, kemauan, pikiran, perbuatan, dan
peradaban yang baik dan benar pada diri mereka dimuka bumi ini, yang
diaplikasikan sebagai roh yang menghidupkan kebenaran dan kebaikan atau
menghidupkan pemikiran ilmiah dan falsafi.
C.
Pembagian
Filsafat
Adapun pembagian filsafat ini dapat dilihat dari berbagai
pendpaat para tokoh-tokohnya, antara lain adalah:
1.
Aristoteles,
membagi kepada empat cabang, yaitu:
a.
Logika, yaitu
ilmu tentang bagaimana cara berpikir yang benar sehingga sampai pada kesimpulan
yang benar. Hal ini adalah sebagai pengantar seseorang kepada dunia filsafat.
b.
Filsafat
Teoritis, yaitu meliputi; fisik membicarakan tentang dunia material, matematika
membicarakan alam ditinjau dari segi jumlah dan metafisika, mempersoalkan
tentang hakikat segala yang ada sebagai awal sejarah lahirnya filsafat.
c.
Filsafat
praktis, yaitu meliputi etika, membicarakan bagaimana semestinya tingkah laku
dalam kaitannya dalam memperoleh kebahagiaan, ekonomi, membcarakan bagaimana
semestinya untuk mencapai tingkat kemakmuran, dan politk membicarakan bagaimana
semestinya masyarakat dan negara untuk mendapatkan ketenteraman hidup.
d.
Filsafat
Peotika (kesenian), yaitu membicarakan bagaimana semestinya manusia memperoleh
kepuasaan dalam hidupnya.
2.
ENSIE (Eerste
Nenerlanse Systematich Ingeriche Encylopedie) sebuah lembaga yang mendalami
filsafat di Belanda, membagi filsafat kepada sembilan bagian yaitu; metafisika,
logika, filsafat mengenal, filsafat pengetahuan, filsafat alam, filsafat
kebudayaan etika, estetika dan antropologi.
3.
Al-Farabi,
membagi filsafat kepada filsafat teoritis dan filsafat praktis.[14]
Memperhatikan pembagian filsafat di atas dapat
disimpulkan bahwa kajian filsafat nampaknya secara garis besarnya meliputi
kepada tiga aspek saja yaitu; Tuhan, manusia dan alam.
D.
Filsafat Dakwah
Bila digabungkan kata filsafat dengan kata dakwah, maka
menjadi kata majemuk ’filsafat dakwah’, bisa juga disebut dengan hikmah
dakwah, kebenaran dakwah. Kalau diperhatikan kedua akar kata di atas, yaitu
filsafat dan dakwah, maka sesuatu dapat dikatakan sebagai filsafat, manakala
terlebih dahulu mengetahui karakteristik dari filsafat tersebut. Dalam hal ini
dapat dirumuskan kepada empat bidang, yaitu:
1.
Skeptis, yaitu
sifat keraguan-keraguan terhadap suatu kebenaran sebelum memperoleh argumentasi
yang kuat dan lengkap yang akhirnya akan membawa kepada suatu keyakinan. Sifat
keraguan yang dimaksud dalam hal ini bukan meragukan ajaran agama (Islam),
melainkan meragukan kemampuan manusia dalam memahami ajaran agama dalam
menetapkan porsi kebenaran tersebut kepada manusia.
2.
Komunalisme,
yaitu bahwa hasil pemikiran filsafat adalah milik semua masyarakat umum, tanpa
memandang kelas ekonomi, kaya, miskin ilmuan atau bukan, berkeyakinan atau
tidak, akan dapat diterima oleh semua unsur. Misalnya ajaran al-Qur'an bukan
hanya dapat dipraktekan oleh orang Islam saja, barangkali sangat boleh jadi
akan dapat direalisasikan oleh semua orang tanpa membedakan dari masa asalnya.
3.
Disintrestednes,
yaitu suatu aktivitas tanpa diikat oleh suatu kepentingan khusus, akan tetapi
berpikir bebas sesuai apa adanya, bukan bagaimana semestinya. Sehingga para
failosuf di uji dalam upaya menjelaskan isi dunia, jika mungkin mampu merubah
dunia.
4.
Universalisme,
yaitu berfilsafat adalah seluruh umat manusia. Perbedaan dengan komunalisme
adalah terletak pada materinya, jika komunalisme mengandung makna bahwa materi
temuan filsafat menjadi milik seluruh umat manusia, maka universalisme lebih
menekankan kepada hak, yaitu semua umat manusia berhak berfilsafat.[15]
Memperhatikan karakteristik di atas, maka filsafat dakwah
mampu berargumentasi bahwa ajaran Islam yang disampaikan bukan hanya dirasakan oleh
umat Islam semata, akan tetapi dirasakan oleh semua orang dimana dan kapan
saja. Karena ajaran Islam adalah rahmatan li al-’alamin. Dalam
keterangan lain dapat dikatakan, bahwa filsafat dakwah ialah membahas
faktor-faktor dan dasar-dasar dakwah Islam secara analitis, kritis dengan
tujuan untuk menyatakan kebenaran Islam atau setidak-tidaknya untuk menjelaskan
bahwa ajaran Islam itu tidak bertentangan dengan logika, sehingga orang mudah
tertarik serta bersedia mengamalkannya.
Dengan demikian, filsafat dakwah adalah suatu pengetahuan yang mengkaji dakwah dan penyampaian mengenal islam di dalam acuan filsafat kosmos, ketuhanan, manusia, penciptaan, sosial, akhlak, dan sebagainya yang telah terdapat dasar-dasarnya di dalam sumber dakwah itu sendiri.
E.
Tujuan Dakwah,
Ilmu Dakwah dan Filsafat Dakwah
Tujuan dakwah sebagai komunikasi adalah memberi informasi
tentang agama Islam. Tujuan ini bukanlah tujuan final. Perkembangan antara
tabligh dan dakwah tidaklah berakhi dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW, tabligh
dan dakwah itu berlangsung terus menerus selama masih berdir langit dan bumi,
untuk menyampaikan informasi mengenai agama Islam, agar semua orang memperoleh
pengetahuan tentang agama Islam dan mengerti tidaknya umat ini dengan Islam
adalah akan terlihat mereka melakukan kebaikan dan meninggalkan perbuatan
tercela. Tidak hanya sebatas itu, akan tetapi kebaikan itu sekaligus juga akan
mengimbas kepada keluarga dan masyarakat. Untuk hal ini diperlukan dakwah yang
tidak henti-hentinya. Hal ini dilakukan oleh para ulama dan ilmuan sosial
dengan kemampuannya. Inilah tujuan pada tahap kewajiban memberi informasi dan
kewajiban menyampaikan.
Adapun tujuan final dari dakwah ini untuk mencapai
keselmatan dan kesentosaan manusia di dunia dan di akhirat nanti. Maksudnya ialah
memperoleh kebahagiaan di dalam kehiupan ini dan kehidupan lain dalam dunia
yang kekal dan abadi, sesudah kehidupan di dunia ini.
Tujuan dakwah tidak identik dengan tujuan ilmu dakwah.
Bila tujuan dakwah untuk menyampaikan informasi tentang agama Islam dan
memperkenalkannya kepada semua umat manusia, maka ilmu dakwah bertujuan melihat
alternatif-alternatif yang lebih berdayaguna dalam menyebarkan informasi
tersebut. Dengan kata lain, imu dakwah mempersoalkan metode dan sistem yang
terlibat dalam penelitian tentang proses dakwah serta dalam hal penerapannya
dalam kehidupan manusia.
Sedangkan tujuan filsafat dakwah adalah saat memberikan
pemahaman yang bersifat universal tentang suatu unit ajaran Islam secara
mendalam, mendasar dan radikal sampai ke akar-akarnya, sehingga akhirnya dapat
membawa kepada kebenaran yang hakiki. Kebenaran hakiki tersebut
terimplementasikan dalam sikap kesehariannya sebagai seorang Islam. Filsafat
dakwah lebih jauh bertujuan untuk memberikan kepuasaan bagi seseorang yang
sekaligus dapat membawa seseorang kepada kebahagiaan jiwa yang amat berharga.
Dapat mengantarkan seseorang sampai kepada kepercayaan secara dokmatis dan
absolut.[16]
👉HAKIKAT METODE DAKWAH BI AL-HIKMAH
Daftar Pustaka
Dahlan, Aziz, Abdul, Pemikiran Filsafat dalam Islam, Padang:
IAIN ”IB” Press, 2000
Fakhry,
Majid, A Short Introduction to Islamic Philoshopy, Theology and Mysticism, terj.
Zaimul Am, Bandung: Mizan, 2001
Mustafa
‘Abd al-Raziq, Tahmid li Tarikh al-Falsafat al-Islamiyyat, t.tp: Lajnat
al-Ta’lif wa Tarharmat wa al-Nasyr, 1959
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta:
Universitas Indonesia, 1983
_______, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Al-Qur’an,
(Jakarta: Makalah IAIN Jakarta, 12 Juni 1990
Nolan, Smith, Titus, ,
Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1984
Rusyd, Muhammad Ibnu, Abu al-Walid, Fashl al-Maqal fi ma baiyn al-Hikmat wa
al-Syari’at min al-Ittishal, Tahkik Muhammad ’Imarat, Kairo: Dar
al-Ma’arif, 1972
Salmadanis, Fisafat Dakwah, Jakarta: Surau, 2003
Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam (Filosof dan Filsafat),
Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004
[1] Salmadanis, Fisafat
Dakwah, (Jakarta: Surau, 2003), h. 5
[2] Sirajuddin
Zar, Filsafat Islam (Filosof dan Filsafat), (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004), h. 3
[3] Salmadanis, op.cit., h. 7
[4] Titus Smith,
Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1984), h. 11
[5] Majid Fakhry, A Short
Introduction to Islamic Philoshopy, Theology and Mysticism, terj. Zaimul
Am, (Bandung: Mizan, 2001), h. 1 Salmadanis, op.cit., h. 15
[6] Salmadanis, op.cit., h. 16
[7] Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran
Filsafat dalam Islam, (Padang: IAIN ”IB” Press, 2000), cet ke-2, h. 7
[8] Ibid., h. 9
[9] Sirajuddin Zar, op.cit., h.
20
[10] Harun
Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia,
1983), h. 21-22
[11] Harun Nasution,
Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Makalah IAIN
Jakarta), 12 Juni 1990, h. 2
[12] Abu al-Walid
Muhammad Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal
fi ma baiyn al-Hikmat wa al-Syari’at min al-Ittishal, Tahkik Muhammad
’Imarat, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1972), h. 22-23
[13] Mustafa ‘Abd
al-Raziq, Tahmid li Tarikh al-Falsafat al-Islamiyyat, t.tp: Lajnat
al-Ta’lif wa Tarharmat wa al-Nasyr, 1959), cet ke-11, h. 16
[14] Salmadanis, op.cit., h. 19
[15] Ibid., h. 32
[16] Ibid., h. 34
0 Comment