Dinasti Ghaznawi, Dinasti Buwaihi dan Dinasti Saljuk
PENDAHULUAN
Kita sama-sama mengetahui bahwa sejarah peradaban Islam pada masa Daulah Bani Abbasiyah adalah puncak keemasan, baik itu politik, keamanan, ekonomi, pendidikan, sosial kemasyarakatan dan lain-lain. Kemajuan Dinasti Abbasiyah ditandai dengan adanya kontak peradaban Islam dengan peradaban Yunani yang berada di Mesir dan Persia.
Akan tetapi Dinasti Abbasiyah
tidak bisa bertahan lama, karena mengalami kemunduran, sehingga menyebabkan
beberapa provinsi memproklamirkan lahirnya daulah yang baru, dan Dinasti
Abbasiyah hanya pada periode pertama dari tiga periode yang dapat menjalankan
tugasnya karena untuk untuk periode kedua dan ketiga Dinasti Abbasiyah
digerakkan oleh Dinasti Ghaznawi, Dinasti Buwaihi dan Dinasti Saljuk, meskipun
secara simbolis khalifah Abbasiyah masih menjabat sebagai kepala pemerintahan.
Melalui makalah ini,
penulis mencoba untuk membahas sejarah kepemimpinan Dinasti Ghaznawi, Dinasti
Buwaihi dan Dinasti Saljuk serta hal-hal yang berkaitan erat dengan esensi
keadaan peradabaan Islam pada masa pemerintahan waktu itu.
A.
Dinasti
Ghaznawi
1.
Awal berdirinya
Dinasti Ghaznawi
Bangsa Turki yang mendapat perhatian
penuh oleh Dinasti Samaniyah untuk berada pada barisan pemerintahan adalah
Alptakin. Pada awalnya ia dikokohkan sebagai anggota pegawai dinasti. Lantas
pada puncak karirnya dinobatkan menjadi gubernur Khurasan. Peristiwa ini
terjadi sekitar tahun 961 M dan terlukis dalam sejarah bahwa Alptakin telah
berhasil merebut Ghana di Afghanistan tahun 962 M.
Sebagian cuplikan sejarah menyebutkan
bahwa diawali oleh rasa dengki dari pihak penguasa, maka Alptakin bersama
pengikutnya harus meninggalkan negeri Khurasan untuk membuat daerah baru yang
bisa memberikan nilai-nilai positif bagi perkembangan kekuasaannya. Suatu
daerah yang sangat strategis yang dikenal dengan Ghazna. Maka diperkuatnyalah
kota itu, termasuk diantaranya pembuatan parit dan benteng pada Tahun 962 M.[1]
Setelah Alptakin wafat digantikan oleh
salah satu keturunannya yaitu Sabaktakin. Ia menjadi penguasa Dinasti
Ghaznawiyah pada tahun 977 M. Pada awalnya ia memiliki Khurasan sebagai hadiah
dari raja Samani Nuh bin Mansur atas jasanya berhasil memadamkan pemberontakan
di Transoxiana. Setelah menguasai Persia Sabaktakin menguasai Pesyawar,
kemudian Kabul dan wilayah India. Setelah berjuang selama 20 tahun Sabaktakin
meninggal pada tahun 997 M. Walaupun berasal dari bangsa Turki namun ia dapat
menyatukan kedua bangsa Turki dan Afghanistan karena sama-sama satu mazhab
yaitu ahlu sunnah wal jamaah.[2]
Sabaktakin digantikan oleh putra
sulungnya yang bernama Ismail, sayangnya Ismail tidak bijak dalam mengatur
pemerintahan dan dalam menguasai Ghaznah Ismail dikerjai oleh pasukannya sampai
harta ayahnya habis. Maka bangkitlah Amir Mahmud untuk mengulingkan saudaranya,
dan setelah berhasil merebut Ghaznah, ia mengangkat dirinya sebagai sultan
Ghaznawiyah.
Wilayah Dinasti Ghaznawiyah meliputi
Iran bagian Timur, Afghanistan, Pakistan dan beberapa wilayah bagian India.
Pusat pemerintahannya di kota Ghazna, Afghanistan. Dinasti inilah yang mampu
menembus sampai ke India menyebarkan agama Islam, menghancurkan berhala
menggantikan kuil dengan mesjid[3]
Dinasti ini berusia lebih dari 200 tahun (336 H/ 977 M – 582 H/ 1186 M) di Iran
Timur dan wilayah yang sekarang menjadi Afghanistan.[4]
2.
Kemajuan Dinasti
Ghaznawi
a. Aspek
Politik
Pada masa Sabaktikin, wilayah Dinasti Ghaznawi
diperluas dengan ditaklukannya beberapa wilayah di Sijistan dan Kusdar.
Disamping itu ia mampu mempertahankan Transoxania dan Iran bagian barat dari
serbuan Bani Saljuk.[5]
Dalam
pemerintahan Sultan Mahmûd al-Ghaznawi, kemajuan bidang politik
mencapai puncaknya. Ghazna yang semula adalah kerajaan kecil, yang di sana-sini
terdapat reruntuhan bangunan akibat perang. Kerajaan tersebut menjadi luas,
dari pinggir laut Kaspia di utara hingga sungai Gangga di India, dari sungai
Ozus di Amudarya (Asia Tengah) sampai sungai Indus (pesisir selatan India).
Sultan Mahmûd al-Ghaznawi adalah panglima
perang perkasa, dia lebih banyak berada di medan perang daripada “duduk” di
istana kebesarannya. Sejarah mencatat, lewat peperangan yang dilakukan, dia
mampu menaklukan wilayah Khurasan (1012 M), dataran tinggi Pamir (1000 M),
Peshawar, Khasmir dan Bathinda (1004 M), Punjab (1006 M), Kangra (1009), Delhi
(1015), Mathura, Kanauj (1019), dan Gujarat (1026).[6]
b. Bidang
Pendidikan dan IPTEK
1)
Mahmud Ghazna
mengerahkan kesungguhannya untuk menjadikan kota Ghazna sebagai pusat ilmu
pengetahuan dan sebagai tempat berkumpulnya para ilmuwan, ahli hukum, ulama
fuqaha, para ahli bahasa, ahli fisika astronomi, geografi tasawuf dan falsafah.
2)
Mahmud membangun
sekolah-sekolah yang di lengkapi dengan perpustakaan.
3)
Dalam
pengembangan ilmu, Mahmud Ghaznawi menghimpun para sarjana dan punjangga,
diberi tempat tinggal, dibiayai dan diberi dukungan.
c.
Bidang Ekonomi dan Perdagangan
Kemajuan yang dicapai dalam bidang ekonomi dan
perdagangan pada masa Sultan Mahmud adalah kesejahteraan dan perekonomian
masyarakat yang semakin meningkat serta memajukan ekonomi masyarakat melalui
perdagangan, Pertanian dan retribusi
pajak.
Penaklukan terhadap
daerah-daerah yang kaya dan subur memberikan dampak yang sangat besar terhadap
kemajuan dinasti Ghaznawi di bidang ekonomi. Setiap berhasil dari penaklukan, Sultan Mahmud selalu
membawa harta rampasan ke Kota Ghazna dan membagi-bagikanya kepada rakyat serta
digunakan untuk berbagai pembangunan madrasah dan sarana sosial lainnya .[7]
Harta rampasan yang melimpah dan restribusi
pajak yang dikumpulkan dari seluruh daerah taklukan, mampu menghidupkan
berbagai aktivitas perekonomian, sehingga tidak berlebihan bila dikatakan
dinasti ini menjadi kerajaan yang makmur.
d.
Bidang Kesenian dan Arsitektur
Masa kejayaan
dinasti Ghaznawi didukung oleh berbagai faktor diantaranya adalah karena adanya
perhatian dari Sultan terhadap perkembangan bidang seni dan arsitektur. Hal ini
ditandai dengan didirikannya sebuah
masjid yang bernama Arus al-Falaq, membangun Istana di Afgan dan Shal,
serta membangun taman Sad Hasan dan istana Fazuri. Begitu megah di kota Ghazna
pada masa pemerintahan sultan Mahmud.[8]
Masjid Arus al- Falaq adalah
masjid termegah pada masa itu
dimana lantainya dilapisi dengan marmer, mihrabnya terdiri dari batu pualam,
yang dihiasi emas. Dan bahan bangunannya sebahagian besar didatangkan dari
India.
3.
Kemunduran Dinasti Ghaznawi
Pada saat
sultan Mahmud masih hidup, ia mengambil kebijakan dengan menunjuk
puteranya Muhammad sebagai
penggantinya, tetapi kebijakan itu tidak
disetujui pihak militer. Menurut mereka yang lebih berhak untuk menjadi sultan
adalah Mas`ud karena selalu berhasil memimpin peperangan. Konflik kedua kakak
beradik ini menimbulkan perselisihan yang berujung dengan perang yang
dimenangkan oleh Mas`ud.[9] Secara
langsung konflik internal tersebut tentunya mempengaruhi pemerintaahan,
sehingga ada di antara daerah – daerah yang tidak mau lagi tunduk kepada Sultan
Ghaznawi.
Kesempatan ini
dimanfaatkan oleh orang – orang Saljuk, mereka mulai berupaya untuk merebut
kekuasaan dinasti Ghaznawi. Kekuatan Sultan Mas`ud pun dapat dikalahkan pada
akhirnya banyak daerah yang melepaskan diri di wilayah Iran bagian Barat serta
seluruh Khurasan. Pertempuran melawan orang-orang Saljuk berlangsung terus hingga tahun 1049
M sampai pada masa pemerintahan Mas`ud.
Untuk
sementara dapat ditata kembali tetapi tidak bertahan lama. Selain ancaman dari
orang Saljuk juga muncul ancaman dari suku Ghur dan Zhur turut melemahkan
wibawa dinasti. Mereka menyerang Ghazna pada tahun 1151 M dan berhasil
menguasainya. Pada saat itu pusat
pemerintahan pindah ke Lahore pada Tahun 1186 M namun tidak bertahan lama.
Dinasti Ghaznawi
dijarah oleh orang – orang Gharriyah
yang dipimpin oleh `Alauddin Jihan –suz yang dikenal dengan ” Penghasut dunia”
pada tahun 545/1151M. Tampilnya Ghuriyyah di Afganistan Tengah mengurangi
kekuasaan Ghaznawi terakhir,[10]
dengan cara menjadikan anak Khusraw sebagai tawanan setelah jatunya daerah
Pesyawar ke tangan Syihabuddin. Akhirnya Khusraw membayar upeti dan menyerah
pada tahun 1187 M. Ia akhirnya ditawan dan di bunuh bersama anaknya. Dengan
demikian Dinasti Ghaznawi berakhir.
B. Dinansti Buwaihi
1.
Awal Berdirinya Dinasti Buwaihi
Nenek
moyang Buwaihi berasal dari negeri Dailam sebelah timur Khurasan. Keluarga Bani
Buwaihi berasal dari keturunan Raja-raj Persia melanjutkan seorang tokohnya
yang bernama Buyyah (Buwaihi). Keturunan dari Buwaihi inilah yang kelak akan
menjadi penguasa Irak yang gigih. Mereka Itu adalah Ali, Al Hasan, dan Ahmad.
Dari mereka inilah dimulai nama Dinasti Buwaihi, pemegang kekuasaan dan
penguasa tertinggi di Bagdad dari 945-1055 M.[11]
Dinasti
Buwaihi adalah salah satu Dinansti yang ada pada masa Abbasiyah. Latar belakang
berdirinya Dinasti Buwahi ini diawali dari tiga orang bersaudara yang berasal
dari Dailam (Tabaristan) yang terletak di pantai Khazar yaitu daerah pegunungan
yang di huni oleh orang-orang yang disebut Dayalimah. Mereka adalah campuran
dari orang Iran danTurki yang keras, kuat, giat, pandai berperang dan sangat perkasa.[12]
Pada
abad ke 10 Dailam dapat memerangi bangsa Turki sebagai pemasok tentara bayaran
bagi dunia Islam. Mereka mengabdi kepada Mardawij. Mardawij menunjuk mereka
menjadi gubernur di daaerah-daerah yang menjadi bawahannya. Setelah Mardawij
meninggal (943), maka kekuasaan berada dibawah tangan Ali dan
saudara-saudaranya.
Tahun
945 mereka (Ahmad bin Buwaihi ) memasuki kota Bagdad yang pada saat itu pemegang
kekuasaan oleh Khalifah al-Mustakfi. Di mana pada masa ini banyak terjadi
pemberontakan dan pertikaian di kalangan istana. Tahun 946 Ahmad bin Buwaihi
menurunkan al-Mustakfi dan menggantikannya dengan muqtadir yang memakai gelar
tahta al-Muti. Pada pertemuan pertama ketika masih kekhalifahan al-Muktafi
kekuasaan keuangan di Irak diberikan kepada Ahmad bin Buwaihi dan namanya di
cetak dalam uang logam dengan menamakan diri sebagai khalifah. Mereka membuat
pemasukan khusus untuk khalifah yang berjumlah 5000 dirham
sehari.
2.
Kemajuan Dinasti Buwaihi
a.
Pemerintahan dan Politik
Sistem pemerintahan Dinasti Buwaihi tidak independen
seperti Dinasti Samaniyah. Ali masih mengakui otoritas Baghdad sebagai pusat
kekuasaan Dinasti Abbasiyyah, sekalipun pada waktu itu sudah amat lemah.
Jabatan para penguasa Dinasti Buwaihi tidak lain sebatas gubernur, bukan
khalifah. Ini jelas berbeda dengan status jabatan penguasa beberapa dinasti
sebelumnya menjelaskan bahwa, para penguasa Dinasti Buwaihi banyak menyandang
gelar Seperti gelar “Syahansyah” (Rajadiraja). Dengan demikian, Dinasti
Buwaihi termasuk generasi penerus peradaban seperti halnya Dinasti Samaniyah,
yang bermaksud mengembalikan kejayaannya.
Konsep
politik Dinasti Buwaihi bentuknya adalah kekeluargaan. Oleh sebab itu pola
kepemimpin tiga pemimpin Buwaihi yang pertama dipererat oleh ikatan
persaudaraan dari para pendirinya.[13]
Prinsip kekeluargaan ini dapat dilihat dari kebiasaan mendahulukan yang lebih
tinggi dan menghormati yang lebih tua.
Dinasti Buwaihi yang bertahan selama 123
tahun dan dapat dibagi ke dalam tiga periode, yaitu:
1.
Periode pertama sebagai periode konsolidasi kekuasaan
yang dilakukan oleh ‘Ali Ibnu Buwayh (‘Imad al-Daulah), Hasan Ibnu Buwayhi
(Rukn al-Daulah), Ahmad Ibnu Buwayhi (Mu’iz al-Daulah) dan kemudian diteruskan
oleh keturunan mereka, Bakhtiyar (putra Mu’izz al Daulah) dan ‘Adhud Al-Daulah
(putra Rukn Al-Daulah). Karena ‘Imad Al-Daulah tidak mempunyai anak, di fars ia
digantikan oleh kemenakan lelakinya, ‘Adud Al-Daulah.
2.
Periode kerajaan dimulai dengan keberhasilan ‘Adud
Al-Daulah meraih kekuasaan di Bagdad, dan terus berlangsung selama masa
pemerintahan putra-putranya, sham-sham Al-Daulah (983-87), Syaraf Al-Daulah
(987-89), dan Baha ‘Al-Daulah (989-1012).
3.
‘Adhud Al-Daulah adalah Raja Buwaihi yang paling
terkemuka, yang pada masa pemerintahannya kerajaan mencapai kekuasaannya yang
paling besar dan luas meskipun kesatuan yang telah dia bangun menjadi
terpecah-pecah setelah kematiannya, percekcokan di antara putra-putranya
merupakan gejala kemunduran yang baru di mulai.[14]
Secara
fisik adminitratif dapat dinyatakan bahwa pergeseran kekuasaan dari khalifah
kepada amir adalah pemusatan kontrol politik dan adminitrasi dari istana
kekhalifahan (Dar Al-Khalifah) ke istana kerajaan (Dar Al-Mamlakah) yang baru
saja didirikan di Baghdad.
Luasnya wilayah kekuasaan Abbasiyah
dan kesulitan kontak dengan wilayah propinsi menyebabkan disintegrasi
pemerintahan tersebut. Di samping itu, sistem pemerintahan Buwaihi yang
disandarkan pada kekuasaan militer, memudahkan untuk menguasai Baghdad,
bersamaan dengan menurunnya kekuatan militer di pemerintahan pusat.
Selama
periode Buwaihi, tercatat beberapa Amirul Umara yang pemerintah di Baghdad
yaitu:
1.
Mu’iz ad-Daulah tahun 945 M
2.
‘Izz ad-Daulah Bakhtiyar tahun 967 M
3.
Adud ad-Daulah tahun 978 M
4.
Samsan ad-Daulah tahun 973 M
5.
Sharaf ad-Daulah tahun 983 M
6.
Baha ad-Daulah tahun 989 M
7.
Sulthan ad-Daulah tahun 1012 M
8.
Musharif ad-Daulah tahun 1020 M
9.
Jalal ad-Daulah tahun 1025 M
10.
Imadudin Abu Kalijar tahun 1044 M
11.
Al Malik ar-Rahim tahun 1045-1055 M[15]
b.
Pemahaman keagamaan
Dalam
hal keagamaan pada dinasti Buawaihi mereka adalah penganut syiah yang dikenal
kuat dan keras serta memiliki kebebasan yang tinggi. Perkenalan mereka dengan
syiah diawali dengan pengungsian golongan ‘Aliyyah yang ditindas oleh Bani ‘Abbasiyah.
Seorang kalangan ‘Aliyyah menyebarkan Syi’ah di wilayah Dailam dan mendirikan
sebuah kerajaan ‘Aliyah yang independen di Dailam dan Jilan.
c.
Pendidikan dan IPTEK
Pada
masa pemerintahan Buwaihi lahir lah para ilmuwan besar seperti Al-Farabi, Ibnu
Sina dan kelompok studi ikhwan as-shafa.[16]
Pada periode pemerintahan Adud Daulah diliputi oleh kedamaian dan keamanan
sehingga perkembangan kebudayaan serta perkembangan ilmu ekonomi, matematika,
kedokteran dan kesusastraan telah mencapai puncaknya.
3.
Keruntuhan Dinasti Buwaihi
Dinasti
Buwaihi dalam menjalankan roda pemerintahan semula
didasarkan kepada kekuatan militer orang-orang pengunungan Dailam. Namun
setelah berapa lama, mereka tidak bisa lagi mempertahankan keunggulan
militernya, dan para Buwaihi makin bersandar pada tentara bayaran dari Turki.
Maka menjelang abad ke 10, mengurus sebuah provinsi dan penyelenggaraan sebuah
negara kecil yang independen merupakan masalah tetapi pada akhir periode
Buwaihi para prajurit tidak berminat lagi pada pertemuan tetapi pada akhir
periode Buwaihi para prajurit tidak berminat pada uang dan memaksa para amir
untuk memberi anggaran pada tentara yang lebih besar yang bisa ditanggung oleh
perekonomian.
Ikatan kekeluargaan
yang pada mulanya merupakan sumber kekuatan bagi bani Buwaihi. Ketiga
bersaudara yang mendirikan Dinasti Buwaihi berkuasa, kompeten dan saling
mempercayai satu sama lain, tetapi selanjutnya ketika pemerintahan berada
ditangan keturunan mereka, terjadilah perebutan kekuasaan yang mengakibatkan
perselisihan dan saling bunuh-membunuh.
Dan dilihat dari
segi bala tentara, tentara yang menjadi sandaran kekuatan tidak berasal dari
suku yaitu bangsa Dailam dan bangsa Turki sehingga menyebabkan terjadinya
persaingan diantara para tentara. Kedua kelompok tentara tersebut juga berada
dalam hal mazhab. Orang-orang Dailam adalah Zaidiyah, sedangkan bangsa Turki
adalah orang Sunni.
Faktor-faktor
yang menjadi penyebab mundurnya pemerintahan Buwaihi adalah :
1.
Sistem
pemerintahan yang semula didasarkan pada kekuatan militer, belakangan
diorganisir menjadi sebuah rezim yang lebih setia terhadap pimpinan mereka atas
kekayaan dan kekuasaan daripada setia terhadap negara.
2.
Konsep ikatan
keluarga yang menjadi kekuatan Diansti Buwaihi pada masa-masa awal, tidak bisa
dibina lagi pada masa-masa selanjutnya. Konflik antar anggota keluarga
menjadikan lemahnya pemerintahan di pusat.
3.
Pertentangan
antara aliran-aliran keagamaan. Sebagaimana diketahui bahwa Dinasti Buwaihi
adalah penyebar madzhab Syi’ah yang sungguh bersemangat, di balik kebanyakan
rakyat Baghdad yang bermadzhab sunni. Pertentangan tersebut pada periode awal
Dinasti tidak begitu nampak, terutama pada masa Adud ad-Daulah, kemudian mulai
menajam kembali dan mengalami puncak pada akhir Dinasti Buwaihi di Baghdad. Hal
ini tidak terlepas dari peran dan kebijakan Khalifah al-Qadir yang mengepalai
pertempuran sunni melawan Syi’ah dan berusaha mengorganisir sebuah misi Sunni
untuk menjadi praktek keagamaan. Melalui sebuah pengumuman yang resmi, ia
menjadikan Hambali sebagai madzhab muslim yang resmi.[17]
C. Dinasti Saljuq
1.
Awal berdirinya Dinasti Saljuq
Sejalan
dengan semakin melemahnya kekuatan politik Bani Buwaihi, makin banyak pula
gangguan dari luar yang membawa kepada kemunduran dan kehancuran dinasti ini.
Faktor-faktor eksternal tersebut diantaranya adalah semakin gencarnya serangan
Bizantium ke tanah Islam dan semakin banyaknya dinasti kecil yang membebaskan
diri dari kekuasaan pusat di Baghdad.[18]
Saljuq
adalah nama keluarga keturunan Saljuq bin Tufaq dari Suku Bangsa Gazz dari
Turki yang menguasai Asia Barat Daya pada abad ke-11 dan akhirnya mendirikan
sebuah kekaisaran yang meliputi kawasan Mesopotamia, Suriah, Palestina dan
sebahagian Iran. Wilayah kekuasaan yang demikian luas hingga abad ke-13.[19]
Penamaan Dinasti Saljuq dinisbahkan kepada Saljuq bin Tufaq, yang merupakan
nenek moyangnya, ia adalah salah satu anggota suku Oghuz Kaum Saljuq bermukim
berdekatan dengan kaum Samaniyah dan Ghaznah, dan mereka telah menganut agama
Islam serta sangat fanatik dengan mazhab Ahlu Sunnah yang tersebar luas di
kawasan itu.[20]
Ketika
peperangan antara dinasti Samaniyah dan Ghaznawi meletus, kaum Saljuq
berpihak kepada kaum Samaniyah hingga akhirnya Dinasti Samaniyah lumpuh,
sementara Dinasti Ghaznawi semakin jaya. Ini memberi kesempatan kepada kaum
Saljuq untuk memerdekakan diri bersama-sama dengan sisa-sisa milik kerajaan
yang runtuh.
2.
Kemajuan Dinasti Saljuq
a.
Bidang Politik
dan Pemerintahan
Pada masa pemerintahan Dinasti Saljuk,
mereka mengembalikan jabatan wazir yang sebelumnya ditukar dengan khatib oleh
Dinasti Buwaihi. Di samping itu, mereka melakukan ekspansi ke daerah-daerah
yang berada di sekitar wilayah kekuasaannya seperti Jurjan, Tabaristan, Rayy,
Qazwain, Zanjan, bahkan hampir
mengusai seluruh wilayah Iran, Wilayah Irak Barat, Kirman, Kurzistan dan Oman.
Puncaknya pada masa pemerintahan Alp-Arselan,
kekuasaan dinasti Saljuk sampai ke Asia Barat, yaitu daerah Bizantium sebagai
pusat kebudayaan Romawi, Perancis, Armenia, Guzz dan al-Akhraj. Dalam ekspansi
ini terjadi peristiwa yang dinamakan dengan manzikart (1071 M), di mana Raja
Romawi Romanus Drogenes memerintahakan tentaranya untuk menentang tentara Alp-Arselan
dan mendengar pernyataan tersebut membakar semangat perang kaum Saljuk sebagai
wujud mempertahankan harga diri dan kaumnya.[21]
b.
Bidang Ilmu Pengetahuan
Pada masa pemerintahan Al-Arselan, ilmu
pengetahuan mulai berkembang dan mengalami kemajuan pada masa pemerintahan
Malik Syah bersama perdana mentrinya Nizham al-Mulk. Nizam al-Mulk inilah yang
memprakarsai berdirinya Universitas Nizhamiyah (1065 M) dan madrasah Hanafiyah
di Baghdad. Nizham al-Mulk ini adalah seorang yang ahli dalam berbagai disiplin
ilmu, seperti ilmu agama, pemerintahan dan ilmu pasti.
Pada masa Malik Syah inilah lahir
ilmuan-ilmuan muslim seperti al-Zamakhsyari dalam bidang tafsir, bahasa dan
theology, al-Qusyairi dalam bidang tafsir, Abu Hamid al-Ghazali dalam bidang
theology, Farid al-Din al-Aththar dan Umar Kayam dalam bidang sastra dan
matematika.[22]
c.
Bidang Keagamaan
Pada periode
Dinasti Saljuq masa pemerintahan Tughril Beq. Munculnya semangat dan persatuan
di atas Manhaj Islam yang benar, hal ini dimulai oleh Tughril Beq yang mengajak
kaum muslimin untuk berpihak kepada khalifah yang resmi, dan menentang aliran
Syi’ah yang menimbulkan perpecahan di antara umat.
Kemudian yang
lebih penting lagi diingat Sultan alih arselan telah kembali menyatakan umat di
bawah, panji Islam, bersatu untuk berjihad fi sabilillah, seorang pemimpin umat
sekaligus panglima perang yang berhasil membangkitkan semangat persatuan dan
keasatuan kaum muslimin dalam mempertahankan dan membela agamanya. Khalifah
Abbasiyah dan sultan Saljuq sama berpegang kepada mazhab Ahlu sunnah. Ini telah
memudahkan kerja sama di antara kedua belah pihak dan telah mendorong kaum
Saljuq itu menyangjung dan menghormati dengan setingginya khalifah-khalifah
Abbasiyah.[23]
3.
Kehancuran Dinasti Saljuq
Faktor
Internal
Faktor
internal adalah dari kemunduran Dinasti Saljuq pemberontakan golongan Islamiyah
dari kelompok Hasy syasyin, yang diketuai oleh Hasan bin sabah. Hasysyasyin yang terkenal dengan perbuatan kejam, menipu dan
pembunuh yang dengan perkataan As- Sasins, dalam bahasa Inggris yang berarti
penumpah darah atau pembunuh. Faktor lain diantaranya ialah:
-
Perselisihan yang
terjadi di dalam keluarga, antara saudara, paman, anak-anak dan cucu.
-
Dimunculkan api fitnah oleh para pejabat dan menteri.
-
Lemahkannya para khalifah Bani Abbasiyah dalam menghadapi
kekuatan militer Saljuq. Sehingga pemerintahan Bani Abbas tidak mampu menolak
siapa pun yang duduk di kursi kesultanan Saljuq
-
Ketidakmampuan pemerintahan Saljuq dalam menyatukan
wilayah Syam, Mesir dan Iraq di bawah panji kekuasaan Bani Abbas.
-
Konspirasi orang-orang pemberontak terhadap kesultanan
Saljuq yang mereka lakukan dengan cara membunuh dan menghabisi para sultan dan pemimpin
– pemimpin serta komandan perangnya.
Faktor Eksternal
Berupa perperangan
yang kita kenal dengan perang Salib yang datang secara beruntun dan setengah
pasukan Barbar ke pusat – pusat kota Dinasti Saljuq. Jadi kedua faktor
tersebutlah yang membuat Dinasti Saljuq runtuh yang bermula kepada kekuatan
hubungan di antara pemegang wasiat untuk Mahmud dan saudara – saudara Mahmud,
terutama dari pihak ayah Barkiya Ruk. Hal itu segera memicu pertengkaran besar
di dalam keluarga Saljuq.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Wilayah dinasti Ghaznawiyah meliputi Iran bagian timur,
Afganistan, Pakistan, dan beberapa wilayah bagian India. Pusat pemerintahannya
di kota Ghazna Afganistan. Dinasti inilah yang mampu menembus sampai ke India
menyebarkan agama Islam, menghancurkan berhala mengantikan kuil dengan mesjid. [24]
Dinasti ini didirikan oleh Sabaktakin dan berjaya pada masa pemerintahan Mahmud
Ghaznawi. Pemerintahan Dinasti ini berakhir pada masa pemerintahan Khusraw
Malik karena diserang oleh Dinasti Ghuri dan Khusraw Malik bersama anaknya
Malik Syah mati di bunuh.
2.
Dinasti Buwaihi adalah salah satu Dinansti yang ada pada
masa Abbasiyah. Wilayah. Dinasti Buwaihi meliputi Asfahan, Syiraz dan kirman di
Persia. Dinasti Buwaihi banyak menghidupkan syiar Syi'ah. Salah satu yang
menyebabkan kemunduran Dinasti Buwaihi karena adanya konsep ikatan keluarga
yang menjadi kekuatan Diansti Buwaihi pada masa-masa awal, tidak bisa dibina
lagi pada masa-masa selanjutnya. Konflik antar anggota keluarga menjadikan
lemahnya pemerintahan di pusat.
3.
Dinasti Saljuq didirikan oleh Saljuq bin Tufak dari suku
bangsa Gazz. Pada masa Saljuq inilah ilmu pengetahuan berkembang. Sedangkan
dinasti Saljuq mengalami kemunduran dan keruntuhan di antaranya akibat
perseteruan dalam perebutan jabatan, baik di kalangan keluarga maupun pejabat
pemerintah.
B.
Saran
Sebagai insan biasa
penulis tidak akan pernah sempurna dalam segala hal termasuk dalam makalah ini,
untuk itu semua kritikan dan saran yang membangun sangat penulis butuhkan,
karena penulis yakin makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Walaupun demikian
adanya mudah-mudahan makalah ini bermanfaat untuk menambah dan mampu membuka
cakrawala kita tentang sejarah peradaban Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
C.E. Bosworth, Dinasti-
Dinasti Islam, Judul Asli The Islamic Dinasties, Terj. Hasan
Ilyas, Bandung: Mizan, 1993
Chair, Abd.dkk., Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam Khilafah. Jakarta : PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, tt
http://gun2-ab.blogspot.com/2009/02/dinasti-buwaihi.html.
Kamis, 27 Oktober 2011
http://shofiulloh.blogspot.com/. Selasa, 21 April
2009
http://kliksosok.blogspot.com/2007/08/dinasti
buwaihi
Hamka, Sejarah Umat Islam,
Jakarta: Bulan Bintang, 1981
al-Isy, Yusuf. Dinasti
Abbasiyah. Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2007
L. Kraemer, Joel. Renaisance Islam. terj. Asep
Saefullah.
Bandung: Mizan, 2003
Munir, Samsul. Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta: Amzah, 2009
Syou’ib, Yosoef. Sejarah Daulah Abbasiyah II. Jakarta:
Bulan Bintang, 1997
Sunanto, Musyrifah. Sejarah
Islam Klasik, Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Jakarta: Kencana Prenada
Media group, 2007
Su’ud, Abu. Islamologi. Jakarta: Rineka Cipta, 2003
Syalabi, Ahmad. Sejarah dan
Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2008
Thohir, Ajid. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia
Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada,2004
Yatim. Badri. Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2010
Watt, W. Montgomery. Kejayaan Islam Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis,
Terj. Hartono. Yokyakarta: Tiara Wacana, 1990
[1]
Hamka, Sejarah Umat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), h.120
[2]
Dikutip dari situs http://shofiulloh.blogspot.com/.
Selasa, 21 April 2009
[3]
Dikutip dari situs http://shofiulloh.blogspot.com/.
Selasa, 21 April 2009
[4]
Abd. Chair,dkk., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Khilafah, (Jakarta : PT.
Ikhtiar Baru Van Hoeve, tt), h. 12
[5]
Yosoef Syou’ib, Sejarah Daulah Abbasiyah II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997),
h. 218
[6]
Ibid., h.243
[7]W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam
Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, Terj. Hartono, (Yokyakarta: Tiara
Wacana, 1990),h.213
[8]
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Islam,( Jakarta: Kencana Prenada Media group, 2007), Cet ke 3, h.
172
[10]
C.E. Bosworth, Dinasti- Dinasti Islam, Judul Asli The Islamic
Dinasties, Terj. Hasan Ilyas,
(Bandung: Mizan, 1993),h. 207
[11]
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada,2004), h.159-160
[12]
Yusuf al-Isy, Dinasti Abbasiyah, (Jakarta: Pustaka al-Kausar,
2007),.h.198
[13]
Namun pada generasi kedua dan ketiga
solidaritas kekeluargaan (fanatisme) semakin berkurang.
[14]
Joel L. Kraemer, Renaisance Islam, terj. Asep Saefullah, (Bandung: Mizan 2003),h.63-64
[15]
http://kliksosok,blogspot.com/2007/08/dinasti-buwaihi
tanggal 27 Oktober 2011
[16]
Abu Su’ud, Islamologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h.80
[17]
http://gun2-ab.blogspot.com/2009/02/dinasti-buwaihi.html
tanggal 27 Oktober 2011
[18]
Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2010)
Cet.ke-22,. H. 72
[19]
Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta: Amzah, 2009), Cet.
Ke-1, h.278
[20]
Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam,(Jakarta:PT. pustaka
al-husna baru, 2008), cet ke-3, h.277
[21]
Ahmad Syalabi, loc.cit.
[22]
Badri Yatim, op.cit., h. 76
[23]
A. Syalabi, Op.Cit, h,280
[24]
Dikutip dari situs http://shofiulloh.blogspot.com/. Selasa, 21 April
2009
0 Comment