A. Pengertian dan Hukum Sedekah
Secara bahasa kata sedekah berasal
dari bahasa Arab shadaqah yang
secara bahasa berarti tindakan yang benar. Pada awal pertumbuhan Islam, sedekah
diartikan sebagai pemberian yang disunahkan. Tetapi, setelah kewajibkan zakat
disyariatkan yang dalam al-Qur’an sering disebutkan dengan kata shadaqah
maka shadaqah mempunyai dua arti. Pertama, shadaqah sunah / tathawwu’
(sedekah) dan wajib (zakat).[1] Yang
menjadi pembahasan dalam bab ini adalah shadaqah sunah yang di
masyarakat sering diucapkan dengan istilah sedekah.
Secara syara’ (terminologi),
sedekah diartikan sebagai ssebuah pemberian seseorang secara ikhlas kepada
orang yang berhak menerima yang diiringi juga oleh oahala dari Allah.[2] Contoh,
memberikan sejumlah uang, beras, atau benda-benda lain yang bermanfaat kepada
orang lain yang membutuhkan. Berdasarkan pengertian ini, maka yang namanya
infak (pemberian/sumbangan) termasuk ke dalam kategori sedekah.
B.
Dasar Hukum Sedekah
Secara ijma, ulama
menetapkan bahwa hukum sedekah ialah sunah. Islam mensyariatkan sedekah karena
di dalamnya terdapat unsur memberikan pertolongan kepada pihak yang
membutuhkan. Di dalam al-Qur’an banyak ayat yang menganjurkan agar kita
bersedekah diantaranya terdapat dalam firman Allah swt. Surat al-Baqarah ayat
280 dan ayat 261.
“Dan jika (orang yang berutang itu) dalam
kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan. Dan menyedekahkan
(sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. ”
(Qs:2/280)
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh)
orang-orang yang menafkahkan hartany dijalan Allah adalah serupa dengan sebutir
benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah
melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. Dan Allah Maha luas
(karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Qs.2/261)
Pengertian
menafkahkan harta di jalan Allah meliputi belanja untuk kepentingan jihad,
pembangunan perguruan Islam, rumah sakit, dan usaha penyelidikan ilmiah.
Dalam
hadisnya, rasul memerintahkan agar umatnya bersedekah meskipun dalam jumlah
yang sedikit.
“Lindungilah dirimu semua dari siksa api neraka
dengan bersedekah meskipun hanya dengan separuh biji kurma.” (Bukhari
Muslim)
Dalam hadis yang lain Rasul bersabda:
“Sedekah tidak akan mengurangi harta, Allah tidak akan menambah kepada hamba sebab suka memaafkan kecuali baginya sebagai kemuliaan, dan tidaklah seseorang itu merendah diri kecuali Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim)
C.
Hukum yang Terkait dengan Sedekah
Pada dasarnya sedekah dapat
diberikan kapan dan dimana saja tanpa terkait oleh waktu dan tempat. Namun, ada
waktu dan tempat tertentu yang lebih diutamakan yaitu lebih dianjurkan pada
bulan Ramadhan. Dijelaskan juga dalam kitab Kifayat al-Akhyar, sedekah sangat dianjurkan ketika sedang
menghadapi perkara penting, sakit atau bepergian, berad di kota Mekkah dan
Madinah, peperangan, haji, dan pada waktu-waktu yang utama seperti sepuluh hari
dibulan Zulhijjah, dan hari raya.[3]
Pada dasarnya, sedekah dapat
diberikan kepada siapa saja yang membutuhkan, namun ada beberapa kelompok orang
yang lebih utama yaitu kepada famili yang paling memusuhi, famili yang jauh
hendaklah didahulukan dari tetangga yang bukan famili. Karena selain sedekah,
pemberian itu akan mempererat hubungan silaturahmi.
Selain itu dalam menggunakan juga
kita harus memilih cara yang lebih baik dalam bersedekah yaitu dengan cara
sembunyi-sembunyi. Hal itu lebih utama dibanding terang-terangan.[4]
D.
Sedekah yang Tidak Dibolehkan
Sedekah hukumnya diperbolehkan
selama benda yang disedahkan itu adalah milik diri sendiri dan benda itu dari
zatnya suci dan diperoleh dengan cara yang benar, meskipun kumlahnya sedikit.
Maka jika barang itu statusnya milik bersama atau orang lain, maka tidak sah
benda itu disedekahkan karena barang yang disedekahkan harus didasari oleh
keihklasan dan kerelaan dari pemiliknya. Berkaitan dengan hal ini, maka tidak
boleh seorang istri menyedekahkan harta suaminya kecuali tanpa izin darinya.
Tetapi, jika telah berlaku kebiasaan dalam rumah tangga seoarang istri boleh
menyedekahkan harta tertentu seperti makanan, maka hukumnya boleh tanpa minta
izin kepada suaminya terlebih dahulu. Dalam hal ini, bukan hanya seorang istri
yang mendapat pahala tetapi suami pun mendapat pahala.
Demikian halnya, haram
menyedekahkan benda yang secara zat dihukumi haram seperti babi, dan anjing.
Atau benda itu diperoleh dengan cara yang diharamkan seperti mencuri, merampok
atau korupsi karena hal itu bukan miliknya secara sah, dan Allah juga tidak
menerima sedekah dari yang haram atau bersumber dari cara yang haram
sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis bahwa “Sesungguhnya Allah itu Suci
tidak akan menerima kecuali yang suci pula” (HR. Muslim). Kemudian, Rasulullah
menyebutkan seseorang laki-laki yang lam berkelana dengan rambutnya yang kusut,
pakaianya yang berdebu, menandahkan tangannya ke langti seraya berkata, Ya
Tuhanku, Ya Tuhanku, padahal makannya haram, pakaiannya haram, minumnya haram,
dan dibesarkan dari sesuatu yang haram, maka bagaimana doanya dapat dikabulkan
? (HR. Muslim).
Hal ini yang perlu diperhatikan
dalam bersedekah adalah faktor kebutuhan. Orang yang memiliki sesuatu tetapi,
sesuatu itu dibutuhkan untuk menafkahi keluarganya atau membayar utangnya maka
sesuatu itu tidak boleh untuk disedekahkan.[5]
Sedekah hendaknya disalurkan tepat
sasarannya artinya orang yang menerima adalah mereka yang benar-benar berhak
dan sangat membutuhkan seperti fakir miskin. Maka orang kaya tidak
diperbolehkan menerima sedekah dengan cara memperlihatkan dirinya sebagai orang
fakir. Demikian halnya, dengan orang yang sehat dan mampu bekerja dengan baik
haram baginya meminta-meminta sedekah kepada orang lain dan sedekah yang
diterima itu hukumnya harta haram, demikian menurut imam al-Mawardi. Disunahkan
dalam penyaluran zakat itu dikhususkan kepada mereka yang ahli kebaikan dan
orang-orang yang benar-benar membutuhkannya. Makruh hukumnya bagi orang yang
telah menyedekahkan sesuatu kepada orang lain kemudian ia mengambil alih
sesuatu itu menjadi miliknya baik dengan cara hibah atau mengganti dan haram
menyebut-menyebut sedekahnya, hal terakhir ini dapat membatalkan pahala
sedekahnya.
Dalam al-Qur’an surat al-Taubah
ayat 60, secara tegas ada beberapa golongan yang berhak menerima sedekah.
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk
orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf
yang dibujuk haitnya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang,
untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, maka sebagai
sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.” (Qs:8/60)
Menurut mufasir yang dimaksud:
1.
Orang fakir: orang yang amat sengsara hidupnya,
tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya.
2.
Orang miskin: orang yang tidak cukup
penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan.
3.
Pengurus zakat: orang yang diberi tugas untuk
mengumpulkan dan membagikan zakat.
4.
Mualaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam
dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah.
5. Memerdekakan budak: mencakup juga untuk
melepaskan muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir.
6. Orang berutang: orang yang berutang karena untuk
kepentingan yang bukan maksiat dan sanggup membayarnya. Adapun orang yang
berhutan untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan
zakat, walaupun ia mampu membayarnya.
7.
Pada jalan Allah (sabilillah): yaitu untuk
keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin, diantara mufasirin ada yang
berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum
seperti mendirikan sekolah, dan rumah sakit.
8.
Orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan
maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
Selain itu delapan ashnaf (golongan) diatas,
sedekah juga diberikan kepada isteri, anak, dan pelayan. Hal ini didasari oleh
hadis Rasulullah “Bersedekahlah kamu, lalu seorang laki-laki bertanya, Ya
Rasulullah saya mempunyai satu dinar uang, rasul berkata, “sedekahkanlah untuk
dirimu sendiri”, laki-laki itu berkata lagi, “ada lagi satu dinar lagi ya
Rasulullah”, maka rasulullah berkata, “sedekahkan untuk isterimu”, kemudian ia
berkata lagi, “masih ada satu dinar lagi ya Rasulullah”, rasul berkata,
“sedekahkan kepada pelayanmu”, ia berkata lagi, “ada satu dinar lagi ya
rasulullah”, rasulullah berkata “terserah padamu, engkau lebih mengetahui ke
mana yang lebih baik.” (HR. Abu Daud, al-Nasai, dan Hakim).
Pada riwayat
yang lain dijelaskan bahwa membiarkan burung yang memakan buah-buahan dari
tanaman yang yang ditanam adalah sedekah.
“tidaklah seorang muslim bercocok tanam dikebun atau disawah kemudian buahnya dimakan oleh burung, manusia, atau binatang lainnya kecuali baginya itu sedekah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
E.
Perkara yang dapat Membatalkan Sedekah
Ada beberapa perkara yang dapat menghilangkan pahala
sedekah:
1.
Al-Mann (membangkit-bangkitkan) artinya
menyebut-menyebut dihadapan orang lain.
2. Al-Adza (menyakiti) artinya sedekah itu
dapat menyakiti perasaan orang lain yang menerimanya baik dengan ucapan atau
perbuatan.
Mereka ini tidak mendapat manfaat
di dunia dari usaha-usaha mereka dan tidak pula mendapat pahala diakhirat.
Poin satu dan dua diatas didasari
oleh al-Qur’an surat al-Baqarahayat 264:
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-menyebut dan
menyakiti (perasaan si penerima).” (Qs: 2/264)
3. Riya (memamerkan) artinya memperlihatkan
sedekah kepada orang lain karena ingin dipuji. Bersedekah jika ada orang tetapi
jika dalam keadaan sepi ia tidak mau bersedekah. Dijelaskan oleh al-Qur’an
surat al-Baqarah ayat 262:
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala disisi tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Qs: 2/262)
F.
Bentuk-Bentuk Sedekah
Dalam Islam sedekah memiliki arti
luas bukan hanya berbentuk materi tetapi mencakup semua kebaikan baik bersifat
fisik maupun non fisik. Berdasarkan hadis, para ulama membagi sedekah menjadi :
1.
Memberikan sesuatu dalam bentuk materi kepada
orang lain.
2.
Berbuat baik dan menahan diri dari kejahatan.
3.
Berlaku adil dalam mendamaikan orang yang
bersengketa.
4.
Membantu orang lain yang akan menaiki kendaraan
yang akan ditumpangi.
5.
Membantu mengangkat barang orang lain ke dalam
kendaraannya.
6.
Menyingkirkan benda-benda yang mengganggu dari
tengah jalan seperti duri, batu, dan kayu.
7.
Melangkahkan kaki ke jalan Allah.
8.
Mengucapkan zikir seperti tasbih, tahmid, tahlil
dan istighfar.
9.
Menyuruh orang lain berbuat baik dan mencegahnya
dari kemungkaran.
10. Membimbing
orang buta, tuli, dan bisu serta menjuluki orang yang meminta petunjuk tentang
sesuatu seperti alamat rumah.
11. Memberikan
senyuman kepada orang lain.
Dari uraian di atas tentang
sedekah maka ada beberapa perbedaan antara sedekah dan zakat dilihat dari tiga
aspek:
1.
Orang yang melakukan
Sedekah dianjurkan kepada semua orang beriman baik
yang memiliki harta atau tidak karena bersedekahtidak mesti harus yang berharta
sedangkan zakat diwajibkan kepada mereka yang memiliki harta.
2.
Benda yang disedekahkan
Benda yang disedekahkan bukan hanya terbatas pada
harta secara fisik tetapi mencakup semua macam kebaikan. Adapun zakat, benda
yang dikeluarkan terbatas hanya harta kekayaan secara fisik seperti uang, hasil
pertanian, peternakan, perdagangan, dan hasil profesi yang lainnya.
3.
Orang yang menerima
Sedekah untuk semua orang tetapi zakat dikhususkan
kepada delapan golongan sebagaimana telah disebutkan.
G.
Hikmah Sedekah
Sedekah memiliki nilai sosial yang
sangat tinggi. Orang yang bersedekah dengan ikhlas ia buka hanya mendapatkan
pahala tetapi juga memeiliki hubungan sosial yang baik. Hikmah yang dapat
dipetik:
1. Orang yang bersedekah lebih mulia dibanding
orang yang menerimanya sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis “Tangan
diatas lebih baik dari tangan yang dibawah”
2. Mempererat hubungan sesama manusia terutama
kepada kaum fakir miskin, menghilangkan sifat bahkil dan egois, dan dapat
membersihkan harta serta dapat meredam murka Tuhan.
3.
Orang yang bersedekah senantiasa didoakan oleh
kedua malaikat.
“Tidaklah seorang laki-laki berada di pagi hari kecuali dua malaikat berdoa, Ya Allah berilah ganti orang yang menafkahkan (menyedekahkannya) hartanya dan berikanlah kehancuran orang yang menahan hartanya.” (HR. Bukhari Muslim).
2.
HIBAH
A.
Pengertian dan Hukum Hibah
Secara bahasa kata hibah berasal
dari bahasa arab al-Hibah yang berarti
pemberian atau hadiah dan bangun (bangkit). Kata hibah terambil dari kata “hubuubur
riih” artinya muruuruha (perjalanan angin).[6]
Kemudian, dipakailah kata hibah dengan maksud memberikan kepada orang lain baik
berupa harta ataupun bukan. Kata hibah yang bentuk amr-nya hab
terdapat dalam al-Qur’an Ali-Imran ayat 38:
“Zakari berkata, Ya Tuhan-ku berilah aku dari sisi
engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya engkau mendengar doa.” (Qs:3/38)
Secara terminologi (syara’) jumhur ulama
mendefenisikan hibah:
“Akad yang mengakibatkan pemilikan harta tanpa
ganti rugi yang dilakukan oleh seorang dalam keadaan hidup kepada orang lain
secara sukarela.”[7]
Dari
defenisi diatas dapat diambil pengertian bahwa hibah merupakan pemberian harta
kepada orang lain tanpa imbalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dimana
orang yang diberi bebas menggunakan harta tersebut. Artinya, harta menjadi hak
milik orang yang diberi. Jika orang yang memberikan hartanya kepada orang lain
untuk dimanfaatkan tetapi tidak sebagai hak milik maka itu disebut I’aarah
(pinjaman). Jika pemberian itu disertai dengan imbalan maka yang seperti itu
namanya jual beli.
Benda
yang diberikan statusnya belum menjadi milik orang yang diberi kecuali benda
itu telah diterima, tidak dengan semata-mata akad. Nabi Muhammad saw. Pernah
memberikan 30 buah kasturi kepada Najasyi kemudian Najasyi, itu meninggal dan
ia belum menerimanya lalu Nabi mencabut kembali pembriannya itu.
Menurut
Sayyid Sabiq, jika seorang memberikan sesuatu yang bukan jenis harta yang halal
seperti khamar atau bangkai maka hal ini tidak layak untuk dijadikan sebagai
hadiah. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah waktunya, yaitu hibah dilakukan
ketika si pemberi (orang yang mempuntai harta) itu masih hidup jika telah mati
maka bukan lagi hibah tetapi itu namanya wasiat.
Ada beberapa bentuk pemberian selain hibah.
1.
Sedekah yaitu pemberian harta kepada orang lain
tanpa mengganti dan hal ini dilakukan semata angin memperoleh ganjaran (pahala)
dari Allah swt.
2.
Ibraa’ yaitu menghibahkan uang kepada
fisik yang berutang.
3.
Wasiat yaitu pemberian seseorang kepada orang
lain yang diakadkan ketika masih hidup dan baru diberikan setelah orang yang
berwasiat itu meninggal.
4. Hadiah yaitu pemberian dari seseorang kepada orang lain tanpa adanya pengganti dengan maksud memuliakan.
B.
Dasar Hukum Hibah
Para ulama fiqh sepakat
bahwa hukum hibah itu sunah. Hal ini didasari oleh nash al-Qur’an dan hadis
Nabi.
a.
Dalil al-Qur’an
1.
Qs. an-Nisa ayat 4
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang
kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka
menyerahkan kepada kaum sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka
makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya.” (Qs: 4/4)
2.
Qs. al-Baqarah ayat 177
“Memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan
pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta dan (memerdekakan) hamba
sahaya.” (Qs.: 2/177)
b.
Dalil al-hadis
“Saling memberikan hadiahlah, maka kamu akan saling
mencintai.” (HR. Bukhari Muslim).
“Siapa yang mendapatkan kebaikan dari saudaranya
yang bukan karena mengharap dan meinta-minta, maka hendaklah ia menerimanya dan
menolaknya, karena itu adalah rezeki yang diberikan oleh Allah kepadanya.” (HR.
Ahmad).
“Seandainya aku diberi hadiah sepotong kaki
binatang tentu aku akan menerimanya. Dan seandainya aku diundang untuk makan
sepotong kaki binatang tentu aku akan mengabulkan undangan tersebut.” (HR.
Ahmad an Tirmidzi).
C.
Rukun dan Syarat Hibah
Jumhul ulama mengemukakan bahwa rukun hibah itu ada
empat:
1.
Orang yang menghibahkan (al-Wahib)
2.
Harta yang dihibahkan (al-mauhub)
3.
Lafal hibah
4.
Orang yang menerima hibah (mauhub lahu)
Syarat-syarat Hibah
a.
Syarat Orang yang Menghibah (Pemberi Hadiah)
1.
Penghibah memiliki sesuatu yang dihibahkan.
2.
Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya
artinya orang yang cakap dan bebas bertindak menurut hukum.
3.
Penghibah itu orang dewasa, berakal, dan cerdas.
Tidak disyaratkan penghibah itu harus muslim. Hal ini berdasarkan hadis Bukhari
yang menyatakan diperbolehkan menerima hadiah dari penyembah berhala.
4.
Penghibah itu tidak dipaksa sebab hibah
merupakan akad yang disyaratkan adanya kerelaan.[8]
b.
Syarat Orang yang Diberi Hadiah
Orang yang diberi hadiah
benar-benar ada pada waktu diberi hibah, bila tidak ada atau diperkirakan
keberadaannya misalnya masih dalam bentuk janin maka itu tidak sah hibah. Jika
orang yang diberi hibah itu ada pada waktu pemberian hibah, akan tetapi ia
masih kecil atau gila maka hibah itu harus diambil oleh walinya, pemeliharanya,
atau orang yang mendidiknya sekalipun ia asing.[9]
c.
Syarat Benda yang Dihibahkan
1.
Benar-benar benda itu ada ketika akad
berlangsung. Maka benda yang wujudnya akan seperti anak sapi yang masih dalam
perut ibunya atau buah yang belum muncul dipohon maka hukumnya batal. Para
ulama mengemukakan kaidah tentang harta yang dihibahkan “Segala sesuatu yang
sah untuk dijual-belikan sah pula untuk dihibahkan.”
2.
Harta itu memiliki nilai (manfaat). Maka menurut
pengikut Ahmad bin Hambal sah menghibahkan anjing piaraan dan najis yang dapat
dimanfaatkan.
3.
Dapat dimiliki zatnya artinya benda itu sesuatu
yang biasa untuk dimiliki, dapat diterima bendanya, dan dapat berpindah dari
tangan ke tangan lain. Maka tidak sah menghibahkan air disungai, ikan di laut,
burung di udara masjid, atau pesantren.
4.
Harta yang akan dihibahkan itu bernilai harta
menurut syara’ maka tidak sah menghibahkan darah dan minuman keras.
5.
Harta itu benar-benar menurut orang yang
menghibahkan. Maka, tidak boleh menghibahkan sesuatu yang ada ditangannya
tetapi itu kepunyaan orang lain seperti harta anak yatim yang diamanatkan
kepada seseorang.
6.
Menurut Hanfiah, jika barang itu berbentuk rumah
maka harus bersifat utuh meskipun rumah itu boleh dibagi. Tetapi ulama
Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah membolehkan hibah berupa sebagian rumah.
7. Harta yang dihibahkan terpisah dari yang lainnya, tidak terkait dengan harta atau hak lainnya. Karena pada prinsipnya barang yang dihibahkan dapat digunakan setelah akad berlangsung. Jika orang menghibahkan sebidang tanah tetapi didalamnya ada tanaman milik orang yang menghibahkan, atau ada orang yang menghibahkan rumah, sedangkan rumah itu ada benda milik yang menghibahkan, atau menghibahkan sapi sedang hamil, sedangkan yang dihibahkan itu hanya induknya sedangkan anaknya tidak. Maka, ketiga bentuk hibah seperti tersebut diatas hukumya batal atau tidak sah.
Tentang hukum menghibahkan semua harta yang dimiliki terdapat perbedaan. Menurut jumhur ulama, seseorang boleh menghibahkan semua harta yang dimilikinya. Adapun menurut Muhammad Ibnu al-Hasan dan sebagian pengikut mazhab Hanafi berpendapat bahwa tidak sah menghibahkan semua harta, meskipun dalam kebaikan karena mereka menganggap yang berbuat seperti itu orang yang dungu yang wajib dibatasi tindakannya.[10] Menghibahkan utang kepada orang yang berutang sama dengan membebaskannya dari utang itu.[11]
D.
Balasan Hadiah dan Pencabutan Hadiah
Disunahkan membalas hadiah
sekalipun hadiah itu dari orang yang lebih tinggi. Hal ini didasari oleh hadis
Nabi:
“Rasulullah pernah menerima hadiah dan membalasnya,
dalam riwayat ibnu abu Syaibh dan membalas dengan apa yang lebih baik darinya.”
(HR. Bukhari).
Nabi
melakukan hal itu yaitu untuk membalas kebaikan dengan kebaikan semisal sehinga
tidak ada seorangpun yang mengutangkan kebaikan kepada beliau.
Berkata
al-Khattabi sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sabiq, diantara ulama ada yang
membagi hadiah menjadi tiga:
a.
Pemberian kepada orangyang lebih rendah seperti
kepada pembantu karena untuk menghormati dan mengasihinya. Pemberian semacam
ini tidak menghendaki pembalasan.
b.
Pemberian orang kecil kepada orang besar untuk
mendapatkan kebutuhan dan manfaat. Maka pemberian ini wajib dibalas, seperti
orang miskin memberikan hasil tanamannya kepada orang kaya.
c. Pemberian dari orang kepada orang lain yang setingkat dengannya yang mengandung kecintaan dan pendekatan. Dikatakan bahwa pemberian seperti ini wajib dibalas. Contohnya, hadiah kondangan pengantin atau khitanan. Juga termasuk hadiah yang wajib dibalas jika seorang diberi hadiah dan disyaratkan untuk membalasnya maka ia wajib membalasnya.[12]
Mencabut Pemberian
Menurut jumhur ulama pemberian haram
diminta kembali dalam keadaan apa pun sekalipun antara saudara atau suami
isteri kecuali jika pemberi hadiah itu adalah seorang ayah dan penerimanya
adalah anaknya sendiri.[13] Mereka
beralasan kepada sabda Nabi:
“Orang yang menarik kembali hibahnya sama seperti
anjing yang menjilat muntahnya.” (HR. Abu Daud dan Nasai).
Dalam hadis yang lain Rasulullah bersabda:
“Tidak seorang pun boleh menarik kembali
pemberiannya kecuali pemberian ayah kepada anaknya.” (HR. Ahmad).
Kebolehan
seorang ayah mencabut pemberian yang telah diberikan kepada anaknya karena ia
lebih berhak menjaga kemaslahatan anaknya.
Berbeda
dengan ulama Hanafiyah, menurut mereka hibah itu tidak mengikat. Oleh sebab
itu, pemberi hibah boleh saja mencabut kembali hadiahnya, alasannya yang mereka
kemukakan adalah hadis Nabi:
“Orang yang menghibahkan hartanya lebih berhak terhadap hartanya selama hadiah itu tidak diiringi oleh ganti rugi.” (HR. Ibnu Majah, al-Daru Quthni, At-Thabrani dan al-Hakim).
Akan
tetapi, mereka juga melarang menarik hadiah dari orang lain dengan catatan jika
penerima hibah telah memberi imbalan dan penerima hibah telah menerimanya.
Menurut Sayyid Sabiq, penghibah yang tidak boleh menarik kembali hibahnya yaitu yang semata-mata memberikan tanpa meminta imbalan. Adapun penghibah yang diperbolehkan menarik hibahnya adalah penghibah yang memberikan agar hibahnya itu diberi imbalan dan dibalas.[14]
E.
Pemberian Ayah kepada Anaknya
Para ulama sepakat bahwa seorang
ayah harus meperlakukan anak-anaknya dengan perlakuan yang adil. Seorang ayah
tidak diperbolehkan melebihkan pemberian kepada sebagian anak-anaknya diatas
anak yang lain. Karena perlakuan seperti itu akan menanamkan permusuhan dan
memutuskan hubungan silaturahmi yang diperintahkan oleh Allah. Bagi seorang
ayah, perlakuan tidak adil dengan melebihkan pemberian kepada anak diatas yang
lainnya yaitu perbuatan curang. Maka, ayah yang melakukan seperti itu hendaklah
ia membatalkannya. Rasulullah bersabda:
“Persamakanlah diantara anak-anakmu dalam
pemberian. Seandainya aku hendak melebihkan seseorang tentulah aku lebihkan
anak-anak perempuan.” (HR. Thabrani)
Nabi dan keluarganya tidak boleh menerima sedekah tetapi kalau itu berbentuk hibah hukumnya boleh. Hal ini didasari oleh hadis tentang Barirah (hambah Siti Aisyah) yang diberi sedekah kurma. Lalu kurma itu dibawakan kepada Nabi saw. untuk dijamu. Maka Rasulullah diingatkan oleh Siti Aisyah bahwa kurma itu adalah sedekah orang untuk Barirah. Oleh karena, Barirah menjamu Nabi dengan kurma itu, maka kurma itu sekarang menjadi hadiah atau hibah dari Barirah untuk Rasulullah. Sebelum ini kurma itu memang sedekah bagi Barirah tetapi sekarang menjadi hadiah dari Barirah. Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Huraira, dikatakan. “Jika Nabi dibawakan makanan nabi bertanya, jika dikatakan hadiah beliau mau memakannya dan jika dikatakan sedekah beliai tidak memakannya.”
F.
Pemberian ‘Umra dan Ruqbah
a.
‘Umra
Umra artinya umur, sedangkan
ruqba berarti mengintai. Pemberian dengan kedua cara di atas yaitu
kebiasaan orang Arab jahiliyah yang kemudian di lestarikan menjadi syariat
Islam. Hukum umra itu jaiz atau boleh berdasarkan hadist nabi:
“umra itu boleh”. (HR. Tirmidzi)
Menurut Sayyid Sabiq ‘umra
adalah semacam hibah. Yaitu seseorang menghibahkan sesuatu kepada orang lain
selama dia hidup dan jika
yang diberi hadiah itu mati maka barang itu kembali lagi kepada penghibah.[15] Aku ‘umra-
kan rumah ini kepadamu artinya aku berikan kepadamu selama engkau hidup. Orang
yang mengucapkan umra disebut mu’mir dan benda yang diumrakan
disebut mu’mar.
Berdasarkan hadis Nabi,
pengembalian umra setelah orang yang diberi itu mati adalah batal.
Seharusnya kepemilikan umra itu bersifat permanen bagi orang yang diberi
‘umra semasa hidupnya. Setelah orang yang diberi umra itu mati
maka berpindah kepada ahli warisnya, jika tidak memiliki ahli waris maka
diberikan kepada baitulmal. Pendapat ini dianut oleh Hanafi, Syafi’i, dan Ahmad
berdasarkan hadis Nabi:
“Dari urwah bahwa Nabi bersabda: barang siapa
diberi umra maka umra itu baginya dan bagi anak-anaknya. Umra itu diwarisi oleh
orang yang mewarisi diantara anak-anaknya sesudah ia mati.”
Berbeda
dengan imam Malik ia berkata bahwa umra adalah pemilikan manfaat dan
bukan penguasaan. Jika umra itu diberikan kepada seseorang, maka itu
baginya selama ia hidup dan tidak dapat diwariskan. Jika diberikan kepadanya
dan anak-anaknya setelah ia meninggal maka umra itu menjadi harta
warisan bagi keluarganya.[16]
b.
Ruqbah
Ruqbah ialah bila seseorang
berkata kepada temannya “aku ruqbakan rumahku kepadamu aku berikan kepadamu
selama engkau hidup”. Jika engkau mati sebelum aku maka kembalikan rumah
itu kepadaku. Dan jika aku mati sebelum kamu maka rumah itu menjadi milikmu dan
orang sesudahmu. Maka masing-masing keduanya ini menunggu kematian sahabatnya
sehingga kepemilikan rumah ini menjadi milik siapa yang masih hidup diantara
mereka berdua.
Hukum ruqbah itu bolehkan
sebagaimana hukum ‘umra menurut Syafi’i dan Ahmad. Abu Hanifah
berpendapat ‘umra itu diwariskan dan ruqbah itu barang pinjaman.
Kebolehan Ruqbah
berdasarkan hadis Nabi:
“Umra itu diperbolehkan bagi orang yang mengumrakannya dan ruqbah juga diperbolehkan bagi orang yang meruqbahkan.” (HR. Abu Dawud, an-Nasa’I, ibnu Majah, al-Tirmidzi, berkata: hadis hasan).
Persoalan
Seorang ayah mengundang orang lain untuk menghadiri khitanan anaknya. Para undangan membawa hadiah yang tidak disebutkan untuk si anak atau si ayah, bagaimana hukumnya. Maka harus dilihat bentuk pemberiannya kemudian diberikan kepada yang lebih berhak. Jika hadiah itu sesuai dengan anaknya seperti pakaian anak-anak maka itu untuk anaknya. Jika hadiah itu sesuai untuk ayahnya maka hadiah itu untuk ayahnya seperti baju bapak-bapak dan sebagainya. Tapi jika bentuk hadiah itu cocok untuk keduanya seperti uang maka hal ini diperlukan bukti-bukti yang lebih menguatkan. Dan untuk kebiasaan, hadiah yang berupa uang biasanya kotaknya terpisah, ada kotak hadiah untuk ayah dan ada kotak hadiah untuk anak.
G.
Hikmah Pemberian (hibah)
Allah dan Rasul-Nya memerintahkan
kepada sesama manusia untuk saling memberi. Biasanya orang yang suka memberi
maka dia juga akan diberi. Kebiasaan saling memberi yaitu perbuatan yang sangat
manusiawi sebagai ucapan terima kasih. Dalam hadis Nabi dijelaskan bahwa “Orang
yang tidak berterima kasih kepada manusia, maka ia tidak bersyukur kepada
Allah.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Ada beberapa hikmah yang dapat
dipetik dari pemberian.
a.
Menghilangkan penyakit dengki yang dapat merusak
keimanan.
b.
Mendatangkan rasa saling mengasihi, mencintai,
dan menyayangi, dan menghilangkan sifat egois dan bakhil.
c.
Menghilangkan rasa dendam. Dalam hadis Nabi
dijelaskan:
“Saling memberi hadiahlah kamu karena sesungguhnya hadiah dapat menghilangkan rasa dendam.”
3.
Ringkasan Bab 9
1.
Sedekah adalah pemberian seseorang secara ikhlas
kepada orang yang berhak menerima dimana pihak pemberi akan mendapatkan pahala
dari Allah. Hibah dinyatakan sah jika memenuhi rukun dan syarat. Sedekah dapat
diberikan kapan saja dan dimana saja tanpa terikat oleh waktu dan tempat.
Namun, ada waktu dan tempat tertentu yang lebih diutamakan. Sedekah dapat
diberikan kepada siapa saja yang membutuhkan, namun ada beberapa kelompok orang
yang lebih utama yaitu kepada famili uang paling memusuhi. Cara yang lebih baik
dalam bersedekah yaitu dengan cara sembunyi-sembunyi. Sedekah hukumnya sunah
selama itu milik sendiri dan benda itu dari segi zatnya suci dan diperoleh
dengan cara yang benar, meskipun jumlahnya sedikit, tidak sah jika benda itu
milik bersama karena barang yang disedekahkan harus didasari oleh keikhlasan
dan kerelaan dari pemiliknya.
2.
Disunahkan dalam penyaluran sedekah itu
dikhususkan kepada mereka yang ahli kebaikan dan orang-orang yang benar-benar
membutuhkannya. Makruh hukumnya bagi orang yang telah menyedekahkan sesuatu
kepada orang lain, kemudian ia mengambil alih sesuatu itu menjadi miliknya baik
dengan cara hibah atau mengganti.
3.
Hibah merupakan pemberian harta orang yang masih
hidup kepada orang lain tanpa imbalan tetapi semata untuk mendekatkan diri kepada
Allah dimana orang yang diberi bebas menggunakan harta tersebut.
4.
Benda yang diberikan statusnya belum menjadi
milik orang yang diberi kecuali benda itu telah diterima, tidak dengan
semata-mata akad. Benda yang jenisnya haram seperti khamar atau bangkai maka
hal ini tidak layak untuk dijadikan sebagai hadiah. Menghibahkan semua harta
yang dimiliki terdapat perbedaan. Menurut jumhur ulama, seseorang boleh
menghibahkan semua harta yang dimilikinya. Adapun menurut Muhammad Ibnu
al-Hasan dan sebagian pengikut mazhab Hanafi berpendapat tidak sah menghibahkan
semua harta meskipun dalam kebaikan katena mereka menganggap yang berbuat
seperti itu orang yang dungu yang wajib dibatasi tindakannya. Adapun
menghibahkan utang kepada orang yang berutang sama dengan membebaskannya dari
utang itu.
5.
Menurut jumhur ulama pemberian haram diminta
kembali dalam keadaan apa pun sekalipun antara saudara atau suami isteri
kecuali pemberi hadiah itu adalah seseorang ayah dan penerimanya adaklah
anaknya sendiri. Berbeda denagn ulama Hanafiyah menurut mereka hibah itu tidak
mengikat. Pemberi hibah boleh saja mencabut kembali hadiahnya karena ada hadis “Orang
yang menghibahkan hartanya lebih berhak terhadap hartanya selama hibah itu
tidak diiringi oleh ganti rugi”. (HR. Ibnu Majah, al-Daru Quthni).
6.
Umra adalah semacam hibah, yaitu
memberikan sesuatu kepada orang lain selama dia hidup dan jika yang diberi
hadiah itu mati, maka barang itu kembali lagi kepada penghibah. Adapun ruqbah
merupakan pemberian yang dikaitkan dengan umur kedua belah pihak (pemberi dan
yang diberi). Keduanya ini, menunggu kematian sahabatnya sehingga kepemilikan
rumah ini menjadi milik siapa yang masih hidup diantara mereka berdua. Lafal ruqbah
seperti “ Jika engkau mati sebelum aku, maka kembalikan rumah itu kepadaku. Dan
jika aku mati sebelum kamu, maka rumah itu menjadi milikmu dan sesudahmu ”
Hukum ruqbah dan umra’ dibolehkan menurut Syafi’I dan Ahmad.
Baca Juga;/.....
👉MUSAQQAH, MUZARA’AH, DAN MUKHABARAH
👉KHIYAR DALAM JUAL BELI
👉BANK, RIBA, DAN RENTE
👉ARIAH (PINJAMAN) DAN HIWALAH (PEMINDAHAN UTANG)
👉WAKAF
👉ASH-SHULHU (PERDAMAIAN)
Artikel terkait lainnya.... 👉AL-WAKALAH (PERWAKILAN)
👉KHIYAR DALAM JUAL BELI
👉SEDEKAH, HIBAH, DAN HADIAH
👉HARTA DAN PERMASLAHANNNYA
👉HAK MILIK DAN AKAD
[1]Nasrun
Harun, Fiqh Muamalah,(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hlm. 88
[2]
Al-Jurjani, at-Ta’rifat
[3]Imam
Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhammad al-Husaini., Op.cit, hlm. 455
[4]
Ibid
[5]Imam
Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhammad al-Husaini, Op. cit., hlm. 456
[6]Sayyid
Sabiq, Op. cit, hlm.984
[7]Nasrun
Harun, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hlm. 82
[8]Sayyid
Sabiq, Op. cit., Jilid III, hlm. 985
[9]
Ibid
[10]Sayyid
Sabiq, Op. cit., hlm. 986
[11]
Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhammad al-Husaini., Op. cit., hlm. 730
[12]Sayyid
Sabiq, Op. cit., hlm. 986-987
[13]Ibnu
Rusyd, Op. cit., Jilid III, hlm. 334
[14]Sayyid
Sabiq, Op. cit., Jilid III, hlm. 989
[15]Sayyid
Sabiq, Op. cit., Jilid III, hlm. 990
[16]Sayyid
Sabiq, Op. cit., Jilid III, hlm. 991
0 Comment