PENGERTIAN HAK DAN MILIK
Kata hak berasal dari bahasa Arab al-haqq, yang secara etimologi mempunyai
beberapa pengertian yang berbeda, di antaranya berarti: milik ketetapan dan
kepastian, menetapkan dan menjelaskan, bagian (kewajiban), dan kebenaran.
Contoh al-haqq
diartikan dengan ketetapan dan kepastian
terdapat dalam surat Yasin ayat 7yang artinya:
Sesungguhnya telah
pasti berlaku perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka, karena
tidak beriman
Contoh al-haqq
diartikan dengan menetapkan dan menjelaskan
tercantum dalam surat al-Anfal ayat 8 yang artinya:
Agar Allah
menetapkan yang hak (Islam) dan membatalkan yang batil (syirik)...
Contoh al-haqq
diartikan dengan bagian (kewajiban) yang terbatas tercantum pada surat
al-Baqarah ayat 241yang artinya:
Kepada
wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan mut'ah oleh suaminya)
menurut yang makruf sebagai suatu kewajiban bagi orang orang takwa.
Contoh al-haqq
diartikan dengan kebenaran sebagi lawan dari
kebatilan tercantum dalam surat Yunus ayat 35yang
artinya:
Katakanlah: Apakah
di antara sekutu-sekutumu ada yang menunjuki kepada kebenaran?.
Dalam terminologi fiqh terdapat
beberapa pengertian al-haqq yang dikemukakan oleh para ulama fiqih, diantaranya
menurut
Wahbahal-Zuhaili:[1]
"Suatu hukum yang telah ditetapkan secara
syara"
Menurut Syeikh Ali al-Kalif[2]
"Kemaslahatan yang diperoleh secara syara"
Mustafa Ahmad al-Zarqa" mendefinisikannya dengan
"Kekhususan yang ditetapkan syara' atas suatu
kekuasaan"
Ibn Nujaim mendefinisikannya lebih singkat dengan:
"Suatu kekhususan yang terlindung"
Menurut WahbahalZuhaily, yang dikutip
oleh Nasrun Haroen definisi yang komprehensif adalah definisi yang dikemukakan
Ibn Nujaim dan Mustafa Ahmad al-Zarqa' di atas, karena kedua definisi itu
mencakup berbagai macam hak, seperti hak Allah terhadap hamba-Nya (shalat,
puasa, dan lain-lain), hak-hak yang menyangkut perkawinan, hak-hak umum,
seperti hak-hak negara, kehartabendaan dan nonmateri seperti hak perwalian atas
seseorang.
Kata milik berasal dari bahasa Arab al-milk, yang secara etimologi berarti
penguasaan terhadap sesuatu. Al-Milk
juga berarti sesuatu yang dimiliki (harta). Milk
juga merupakan hubungan seseorang dengan suatu harta yang diakui oleh syara' yang menjadikannya mempunyai
kekuasaan khusus terhadap harta itu, sehingga ia dapat melakukan tindakan hukum
terhadap harta tersebut, kecuali adanya kalangan syara'. Kata milik dalam
bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari kata al-milk dalam bahasa Arab.
Secara terminologi, al-milk
didefinisikan oleh Muhammad Abu Zahrah[3]
sebagai berikut:
"Pengkhususan seseorang terhadap pemilik sesuatu
benda menurut syara' untuk bertindak secara bebas dan bertujuan mengambil manfaatnya
selama tidak ada penghalang yang bersifat syara".
Artinya, benda yang dikhususkan kepada
seseorang itu sepenuhnya berada dalam penguasaannya, sehingga orang lain tidak
boleh bertindak dan memanfaatkannya. Pemilik harta bebas untuk bertindak hukum terhadap
hartanya, seperti jual beli, hibah, wakaf dan meminjamkannya kepada orang lain,
selama tidak ada halangan dari syara'.
Contoh halangan syara' antara lain
orang itu belum cakap bertindak hukum, misalnya anak kecil, orang gila, atau
kecakapan hukumnya hilang seperti orang yang jatuh pailit, sehingga dalam
hal-hal tertentu mereka tidak dapat bertindak hukum terhadap miliknya sendiri.
Dengan kata lain, apabila seseorang
telah memiliki suatu benda yang sah menurut syara',
orang tersebut bebas bertindak terhadap benda tersebut, baik akan dijual maupun
akan digadaikan, baik dia sendiri yang melakukannya maupun melalui perantara
orang lain.
Berdasarkan definisi tersebut, dapat
dibedakan antara hak dan milik. Untuk lebih jelasnya dicontohkan sebagai
berikut: Seorang pengampu berhak menggunakan harta orang yang berada di bawah ampuannya.
Pengampu berhak untuk membelanjakan harta itu dan pemiliknya adalah orang yang
berada di bawah ampuannya. Dengan kata lain, tidak semua yang memiliki benda
berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki.
Hak yang dijelaskan di atas adakalanya
merupakan sulthah (kekuasaan)
adakalanya berupa taklif (tanggung jawab).
1. Sulthah
terbagi dua, yaitu sulthah 'ala al-nafsi
dan ala syaiin mu'ayyan.
-Sultan
ala al-nafsi ialah hak seseorang terhadap jiwa seperti
hak hadhanah (pemeliharaan anak)
-Sulthah
ala syai in mu'ayanin ialah hak manusia untuk memilih sesuatu,
seperti seseorang berhak memiliki sebuah mobil.
2. Taklif
adalah orang yang bertanggung jawab. Taklif
adakalanya tanggungan pribadi (ahdahsyakhshiyyalt),
seperti seorang buruh menjalankan tugasnya, adakalanya tanggungan harta (ahdah maliyah), seperti membayar utang.
Para fukaha berpendapat bahwa hak
merupakan imbangan dari benda (a'yan),
sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hak bukanlah harta. [4]
B.
Sebab-Sebab Pemilikan
Para ulama fiqh mengatakan bahwa ada empat cara pemilikan
harta yang disyariatkan Islam:[5]
1. Melalui penguasaan terhadap harta yang belum
dimiliki seseorang atau lembaga hukum lainnya, yang dalam Islam disebut harta yang
mubah. Contohnya: bebatuan di sungai yang belum dimiliki seseorang atau lembaga
hukum. Apabila seseorang mengambil batu dan pasir dari sungai itu dan
membawanya ke rumahnya, maka batu dan pasir itu menjadi miliknya, dan orang
lain tidak bolenmengambil batu dan pasir yang telah ia kuasai itu. Atau seseorang
ikan di laut lepas dan membawanya pulang. Batu, pasir, dan ikan yang telah ia
kuasai itu boleh ia perjualbelikan, boleh ia sedekahkan kepada orang lain dan
boleh digunakan sendiri, karena batu, pasir, dan ikan itu telah menjadi
miliknya.
Penguasaan terhadap harta yang mubah
dalam fiqih Islam mempunyai arti yang khusus, merupakan asal dari suatu pe milikan
tanpa adanya ganti rugi. Artinya, penguasaan seseorang terhadap harta mubah
merupakan milik awal, tanpa didahului oleh pemilikan sebelumnya. Bedanya akan
kelihatan dengan pemilikan melalui suatu transaksi. Dalam transaksi seseorang
telah memiliki terlebih dahulu suatu harta, baru kemudian ia gunakan miliknya itu
untuk mendapatkan harta lain yang boleh ia miliki. Misalnya, dalam jual beli
seseorang telah terlebih dahulu memiliki uang atau yang secara hukum dikatakan
memiliki uang, kemudian ia beli sebuah mobil, maka mobil itu ia miliki
berdasarkan uang yang telah ia miliki sebelumnya. Dalam memiliki suatu yang
mubah tidak demikian halnya, karena seseorang hanya mengambil sesuatu yang
ingin ia miliki dari harta mubah itu, tanpa mengimbalinya dengan harta yang
lain. Inilah yang dimaksudkan para ulama fiqhsebagi pemilikan asal/awal.
2. Melalui suatu transaksi yang ia lakukan dengan
orang atau suatu lembaga hukum, seperti jual beli, hibah, dan wakaf.
3. Melalui peninggalan seseorang, seperti menerima
harta warisan dari ahli warisnya yang wafat.
4. Hasil/buah dari harta yang telah dimiliki
seseorang, sama ada hasil itu datang secara alami, seperti buah pohon di kebun,
anak sapi yang lahir, dan bulu domba seseorang, atau melalui suatu usaha
pemiliknya, seperti hasil usahanya sebagai pekerja, atau keuntungan dagang yang
diperoleh seorang pedagang.
Cara pemilikan harta nomor satu
sebagaimana dijelaskan di atasdisebut juga dengan istilah ihrazal-mubahat, yaitu memiliki sesuatuyang boleh dimiliki, atau
menempatkan sesuatu yang boleh dimiliki di suatu tempat untuk dimiliki.
Cara pemilikan harta nomor dua
sebagaimana dijelaskan di atasdisebut dengan istilah al-uqud (aqad), yakni transaksi.
Cara pemilikan harta nomor tiga
sebagaimana dijelaskan di atas disebut dengan istilah al-khalafiyah (pewarisan).
Cara pemilikan harta nomor empat
sebagaimana dijelaskan di atas disebut dengan istilah al-tawallud min al-mamluk (berkembang biak).[6]
C.
Hikmah Kepemilikan
Dengan mengetahui cara-cara pemilikan
harta menurut syariat Islam banyak hikmah yang dapat digali untuk kemaslahatan
hidup manusia, antara lain dalam garis besarnya:
1. Manusia tidak boleh sembarangan memiliki harta,
tanpa mengetahui aturan-aturan yang berlaku yang telah disyariatkan Islam.
2. Manusia akan mempunyai prinsip bahwa mencari harta
itu harus dengan cara-cara yang baik, benar, dan halal.
3. Memiliki harta bukan hak mutlak bagi manusia,
tetapi merupakan suatu amanah (titipan) dari Allah swt yang harus digunakan dan
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan hidup manusia dan disalurkan di
jalan Allah untuk memperoleh rida-Nya.
4. Menjaga diri untuk tidak terjerumus kepada hal-hal
yang diharamkan oleh syara' dalam
memiliki harta
5 Manusia akan hidup tenang dan tentram apabila dalam
mencari dan memiliki harta itu dilakukan dengan cara-cara yang baik benar, dan
halal. kemudian digunakan dan dimanfaatkan sesuai dengan panduan
(aturan-aturan) Allah swt.
D.
Pengertian Akad
Kata akad berasal dari bahasa Arab
al-'aqd yang secara etimologi berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan (al-ittifaq). Secara terminologi figh, akad didefinisikan dengan:
"Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan
kabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang
berpengaruh kepada objek perikatan".
Pencantuman kata-kata yang sesuai
dengan kehendak syariat" maksudnya bahwa seluruh perikatan yang dilakukan
oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sejalan dengan
kehendak '. Misalnya, kesepakatan untuk melakukan transaksi riba, menipu orang
lain, atau merampok kekayaan orang lain. Adapun pencantuman kata-kata
"berpengaruh pada objek perikatan" maksudnya adalah terjadinya perpindahan
kepemilikan dari satu pihak yang melakukan ijab) kepada pihak yang lain (yang
menyatakan kabul)."[7]
Hasbi Ash Shiddieqy,[8] yang
mengutip definisi yang dikemukakan Al-Sanhury, akad adalah:
"Perikatan ijab dan kabul yang dibenarkan syara'
yang menetapkan kerelaan kedua belah pihak".
Ada pula yang mendefinisikan, akad adalah:
"Ikatan atas bagian-bagian tasharruf
(pengelolaan) menurut syara dengan cara serah terima".
E.
Rukun-Rukun dan Syarat-Syarat Akad.
1 Rukun-Rukun Akad.
Rukun-Rukun akad sebagai berikut:
a. Aqid, adalah orang yang berakad; terkadang
masing-masine pihak terdiri dari satu orang, terkadang terdiri dari beberapa orang.
Misalnya, penjual dan pembeli beras di pasar biasanya masing-masing pihak satu
orang: ahli waris sepakat untuk memberikan sesuatu kepada pihak yang lain yang
terdiri dari beberapa orang. Orang yang berakad terkadang orang memiliki hak
(aqidashli) dan merupakan wakil dari yang memiliki hak.
b. Ma'qud 'alaih, adalah benda-benda yang diakadkan,
seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual beli, dalam akad hibah
(pemberian), gadai, utang yang dijamin seseorang dalam akad kafalah.
c. Maudhu' al-'aqd, yaitu tujuan atau maksud pokok
meng- adakan akad. Berbeda akad maka berbedalah tujuan pokok akad. Dalam akad
jual beli misalnya, tujuan pokoknya yaitu memindahkan barang dari penjual
kepada pembeli dengan diberi ganti. Tujuan pokok akad hibah yaitu memindahkan barang
dari pembeli kepada yang diberi untuk dimilikinya tanpa pengganti (iwadh).
Tujuan pokok akad ijarah yaitu memberikan manfaat dengan adanya pengganti.
Tujuan pokok akad ijarah yaitu memberikan manfaat dari seseorang kepada yang
lain tanpa ada pengganti.
d. Shighatal-aqd adalah ijab kabul. ijab adalah
permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai
gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad Adapun kabul ialah perkataan yang
keluar dari pihak yang berakad pula yang diucapkan setelah adanya ijab.
Pengertian ijab kabul dalam pengamalan dewasa ini adalah bertukarnya sesuatu
dengan yang lain sehingga penjual dan pembeli dalam membeli sesuatu terkadang
tidak berhadapan, misalnya yang berlangganan majalah Panjimas, pembeli
mengirimkan uang melalui pos wesel dan pembeli menerima majalah tersebut dari
petugas pos.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam
shighatal'aqd ialah:
1. Shighatalaqd harus jelas pengertiannya. Kata-kata
dalam ijab kabul harus jelas dan tidak memiliki banyak pengertian, misalnya
seseorang berkata: "Aku serahkan barang ini", kalimat ini masih
kurang jelas sehingga masih menimbulkan pertanyaan apakah benda ini diserahkan
sebagai pemberian, penjualan, atau titipan. Kalimat yang lengkapnya ialah: "Aku
serahkan benda ini kepadamu sebagai hadiah atau pemberian".
2) Harus bersesuaian antara ijab dan qabul. Antara
yang berijab dan menerima tidak boleh berbeda lafal, misalnya seseorang berkata:
"Aku serahkan benda ini kepadamu sebagai titipan", tetapi yang
mengucapkan kabul berkata: "Aku terima benda ini sebagai pemberian".
Adanya kesimpangsiuran dalam ijab dan kabul akan menimbulkan persengketaan yang
dilarang oleh Islam, karena bertentangan dengan islam di antara manusia.
3) Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak-pihak yang
bersangkutan, tidak terpaksa, dan tidak karena diancam atau ditakut-takuti oleh
orang lain karena dalam tijarah (jual beli) harus saling merelakan.
Mengucapkan dengan lidah merupakan
salah satu cara yang ditempuh dalam mengadakan akad, tetapi ada juga cara lain
yang dapat menggambarkan kehendak untuk berakad. Para ulama fiqh menerangkan
beberapa cara yang ditempuh dalam akad, yaitu:
1) Dengan cara tulisan (kitabah), misalnya dua 'aqid
berjauhan tempatnya, maka ijab kabul boleh dengan kitabah. Atas dasar inilah
para fukaha membentuk kaidah:
"Tulisan itu sama dengan ucapan".
Dengan ketentuan, kitabah tersebut dapat dipahami
kedua belah pihak dengan jelas.
2) Isyarat. Bagi orang-0rang tertentu, akad atau ijab
dan kabul, tidak dapat dilaksanakan dengan ucapan dan tulisan, misalnya seseorang
yang bisu tidak dapat mengadakan ijab kabul dengan bahasa, orang yang tidak
pandai tulis baca tidak mampu mengadakan ijab dan kabul dengan tulisan. Maka
orang yang bisu dan tidak pandai tulis baca tidak dapat melakukan ijab kabul
dengan ucapan dan tulisan. Dengan demikian ka atau akad dilakukan dengan
isyarat. Maka dibuatkan kaidah sebagai berikut:
"Isyarat bagi orang bisu sama dengan ucapan
lidah".
3) Ta'athi
(saling memberi), seperti seseorang yang melakukanpemberian kepada seseorang
dan orang tersebut memberikanimbalan kepada yang memberi tanpa ditentukan besar
imbalannya. Dengan contoh yang jelas dapat diuraikan sebagai berikut: Seorang
pengail ikan sering memberikan ikan hias pancingannya kepada seorang petani,
petani ini memberi beberapa liter beras kepada pengail yang memberikan ikan tanpa
disebutkan besar imbalan yang dikehendaki oleh pembeli ikan. Proses di atas itu
dinamakan ta'athi, tetapi menurut sebagian
ulama, jual beli seperti itu tidak dibenarkan
4) Lisan al-hal.
Menurut sebagian ulama, apabila seseorang meninggalkan barang-barang di hadapan
orang lain, kemudian dia pergi dan orang yang ditinggali barang-barang itu
berdiam diri saja, hal itu dipandang telah ada akad ida' (titipan) antara orang yang meletakkan barang dan yang
menghadapi barang titipan ini dengan jalan dalalah al-hal.
2. Syarat-Syarat Akad
Setiap akad mempunyai syarat yang ditentukan syara'
yang wajib disempurnakan Syarat syarat terjadinya akad ada dua macam:[9]
a.Syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu
syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad. Syarat-syarat umum
yang harus dipenuhi dalam berbagai macam akad
sebagai berikut:
1) Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak
(ahli).
Tidak sah akad orang yang tidak cakap bertindak,
seperti orang gila, orang yang berada di bawah pengampuan (mahjur), dan karena boros.
2) Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.
3) Akad itu diizinkan oleh syara'. dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya,
walupun dia bukan 'aqid yang memiliki
barang.
4) Janganlah akad itu akad yang dilarang oleh syara', seperti jual beli mulamasah (saling merasakan).
5) Akad dapat memberikan faedah, sehingga tidaklah sah
bila rahn (gadai) dianggap sebagai
imbangan amanah (kepercayaan).
6) Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum
terjadi kabul. Maka apabila orang yang berijab menarik kembali hijabnya sebelum
kabul maka batallah hijabnya.
7) ijab dan qabul mesti bersambung, schingga bila
seseorang yang berijab telah berpisah sebelum adanya kabul, maka ijab tersebut
menjadi batal.
b. Syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu
syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad. Syarat khusus ini dapat
juga disebut syarat idhafi (tambahan)
yang harus ada di samping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi
dalam pernikahan.
F.
Macam-Macam Akad
Para ulama fiqh mengemukakan bahwa
akad itu dapat dibagi dilihat dari beberapa segi. Jika dilihat dari segi
keabsahannya menurut syara' akad
terbagi dua,[10]
yaitu:
1. Akad Sahih,
ialah akad yang telah memenuhi rukun-rukun da syarat-syaratnya. Hukum dari akad
sahih ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu dan
mengikat kepada pihak-pihak yang berakad. Akad yang sahih ini dibagi lagi oleh
ulama Hanafiyah dan Malikiyah menjadi dua macam 12
yaitu:
a. Akad yang nafis
(sempurna untuk dilaksanakan), ialah akad yang dilangsungkan dengan memenuhi
rukun dan syaratnya dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya.
b. Akad mauquf, adalah akad yang dilakukan seseorang
yang cakap bertindak hukum, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk
melangsungkan dan melaksanakan akad ini seperti akad yang dilangsungkan oleh
anak kecil yang telah mumayyiz. Dalam
kasus seperti ini, akad ini baru sah secara sempurna dan memiliki akibat hukum
apabila jual beli itu diizinkan oleh wali anak kecil ini. Contoh lain dari akad
mauquf adalah yang disebut dalam fiqh
dengan aqad
al-fudhuli.
Misalnya, Ahmad memberikan uang sebesar Rp. 2000000 kepada Hasan untuk membeli
seekor kambing. Ternyata di tempat penjualan kambing, uang Rp. 2000000 itu
dapat membeli dua ekor kambing, sehingga Hasan membeli dua ekor kambing. Keabsahan
akad jual beli dengan dua ekor kambing ini amat tergantung kepada persetujuan
Ahmad, karena Hasan diperintahkan hanya membeli seekor kambing. Apabila Ahmad
menyetujui akad yang telah dilaksanakan Hasan itu maka jual beli itu menjadi sah.
Jika tidak disetujui Ahmad maka jual beli itu Akan tetapi, ulama Syafi'iyah dan
Hanabilah menganggap
jual beli mawquf itu sebagai jual beli yang batil
Jika dilihat dari sisi mengikat atau
tidaknya jual beli yang sahih itu, para ulama fiqh membaginya kepada dua macam,
yaitu:[11]
1 Akad yang bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang
berakad, sehingga salah satu pihak tidak boleh membatalkan akad itu tanpa
seizin pihak lain, seperti akad jual beli dan sewa
menyewa.
2. Akad yang tidak bersifat mengikat bagi pihak-pihak
yang berakad, seperti dalam akad al-wakalah (perwakilan), al-'ariyah (pinjam-meminjam), dan al-wadhi'ah (barang titipan).
Akad yang mengikat bagi pihak-pihak
yang melangsungkanakad itu dibagi lagi oleh para ulama fiqh menjadi tiga macamyaitu:
a. Akad yang mengikat dan tidak dapat dibatalkan sama
sekali.Akad perkawinan termasuk akad yang tidak boleh dibatalkan, kecuali
dengan cara-cara yang dibolehkan syara',
seperti
melalui talak dan al-khulu'
(tuntutan cerai yang diajukan istri kepada suaminya dengan kesediaan pihak
istri untuk membayar ganti rugi).
b. Akad yang mengikat, tetapi dapat dibatalkan atas
kehendak kedua belah pihak, seperti akad jual beli, sewa-menyewa, perdamaian, al-muzara'ah (kerja sama dalam
pertanian) dan al-musaqah (kerja sama dalam perkebunan).
Dalam akad-akad seperti ini berlaku hak khiyar
(hak memilih untuk meneruskan akad yang telah memenuhi rukun dan syaratnya atau
membatalkannya)
c. Akad yang hanya mengikat salah satu pihak yang
berakad, seperti akad al-rahn dan al-kafalah.
2. Akad yang
tidak Sahih, yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau
syarat-syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad mu tidak berlaku dan tidak
mengikat pihak-pihak yang berakad. Kemudian, ulama Hanafiyah membagi akad yang
tidak sahih ini kepada dua macam, yaitu akad yang batil dan fasid.
Suatu akad dikatakan batil apabila akad itu
tidak memenuhi salah satu rukunnya atau ada larangan langsung dari syara’ Misalnya, objek jual beli itu
tidak jelas. Atau terdapat unsur tipuan, seperti menjual ikan dalam lautan,
atau salah satu pihak yang berakad tidak cakap bertindak hukum. Adapun akad
fasid menurut mereka merupakan suatu akad yang pada dasarnya disyariatkan, akan
tetapi sifat yang diakadkan itu tidak jelas Misalnya, menjual rumah atau
kendaraan yang tidak ditunjukkan tipe, jenis, dan bentuk rumah yang dijual,
atau tidak disebutkan brand kendaraan yang dijual, sehingga menimbulkan
perselisihan antara penjual dan pembeli. Jual beli seperti ini, menurut ulama Hanafiyah,
adalah fasid, dan jual beli ini dianggap sah apabila unsur-unsur yang
menyebabkan kefasidannya itu dihilangkan misalnya dengan menjelaskan tipe,
jenis, dan bentuk rumah yang dijual, atau menjelaskan brand dan jenis kendaraan
yang dijual.[12]
Akan tetapi, jumhur ulama figh menyatakan bahwa akad yang batil
dan fasid mengandung esensi yang sama, yaitu tidak sah dan akad itu tidak
mengakibatkan hukum apa pun.[13]
Ditinjau dari segi penamaannya, para
ulama fiqih membagi akad kepada dua macam, yaitu:
1. Al-'Uqudal-musamma,
yaitu akad yang ditentukan namanya oleh syara' serta dijelaskan hukumnya,
seperti jual beli, sewa menyewa, perserikatan, hibah, al-wakalah, wakaf, al-hiaa
al-ji'alah,
wasiat, dan perkawinan.
2. Al-Uqudghairal-musamma,
ialah akad-akad yang penama annya dilakukan oleh masyarakat sesuai dengan
keperluan mereka di sepanjang zaman dan tempat, seperti al-istishna dan ba'ial-wafa.
G.
Berakhirnya Akad
Para ulama fiqh menyatakan bahwa suatu akad dapat
berakhir apabila:
1.Berakhirnya masa berlaku akad itu, apabila akad tu mempunyai
tenggang waktu
2 Dibatalkan oleh pihak pihak yang berakad, apabila
akad sifatnya tidak mengikat
3.Dalam akad yang bersifat mengikat, suatu akad dapat
dianggap berakhir jika:
a.jual beli itu fasad, seperti
terdapat unsur-unsur luan salah satu rukun atau syaratnya tidak terpenuhi
b. berlakunya khiyar syarat, aib, atau rukyat.
c. akad itu tidak dilaksanakan oleh
salah satu pihak
d. tercapainya tujuan akad itu sampai
sempurna
4. Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia.Dalam
hubunganini para ulama yg menyatakan bahwa tidak semua akad otomatis
berakhir dengan wafatnya salah satu pihak yang
melaksanakan akad. Akad yang berakhir dengan wafatnya salah satu pihak yang melaksanakan
akad, di antaranya akad sewa menyewa, perahu al-kafalah, at-syirkah, al-wakalah,
dan al-muzara'ah Akad juga akan berakhir dalam ba'lalushul (suatu bentuk jual
beli yang keabsahan akadnya tergantung pada persetujuan orang lain) apabila
tidak mendapat persetujuan dari pemilik modal
H.
Hikmah Akad
Diadakannya akad dalam muamalah antar
sesama manusia tentu
mempunyai hikmah, antara lain:
1. Adanya ikatan yang kuat antara dua orang atau lebih
di dalam bertransaksi atau memiliki sesuatu.
2 Tidak dapat sembarangan dalam membatalkan suatu
ikatan perjanjian, karena telah diatur secara syar'i
5 Akad merupakan "payung hukum" di dalam
kepemilikan sesuatu, sehingga pihak lain tidak dapat menggugat atau memilikinya.
👉MUSAQQAH, MUZARA’AH, DAN MUKHABARAH
👉KHIYAR DALAM JUAL BELI
👉BANK, RIBA, DAN RENTE
👉ARIAH (PINJAMAN) DAN HIWALAH (PEMINDAHAN UTANG)
👉WAKAF
👉ASH-SHULHU (PERDAMAIAN)
Artikel terkait lainnya.... 👉AL-WAKALAH (PERWAKILAN)
👉KHIYAR DALAM JUAL BELI
👉SEDEKAH, HIBAH, DAN HADIAH
👉HARTA DAN PERMASLAHANNNYA
👉HAK MILIK DAN AKAD
[1]Wahbah
al-Zuhaily, Al-fiqh al-islami wa
Adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr. 2005), juz 4, hlm. 8.
[2]
Syeikh Ali al-khalif, Al-Haqq wa
al-zimmah, (Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi,
1976), hlm. 36.
[3]
Muhammad Abu Zahrah, Al-Milkiyah wa
Nazhariyah al-aqd fi al-syari’ah al-Islamiyah, (Mesir: Dar al-Fikr
Al-Arabi, 1962), hlm. 15.
[4]
Lihat Hendi Suhendi, Op, cit., hlm.
34.
[5]
Lihat Mustafa Ahnad al-Zarqa’, Op, cit., hlm.
242. Dan sererusnya.
[6]
Lihat Hasbi As Shiddieqy, Op, cit.,
hlm. 8-9.
[7]
Lihat Nasrun Haroen, Op, cit., hlm.
97.
[8]
Hasbi Ash Shiddieqy, Op, cit., hlm.
21.
[9]
Lihat Hasbi Ash Shiddieqy, Op, cit., hlm.
27-28.
[10] Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), jilid IV, hlm,
240.
[11]
Ibid., hlm. 241.
[12] Wahbah al-Zuhaily, Op, cit., hlm. 235.
[13]
Ibid.
0 Comment