MUSAQQAH, MUZARA’AH, DAN MUKHABARAH
A.
Pengertian dan
Hukum Musaqah
Secara etimologi, musaqah
berarti transaksi dalam pengairan, yang oleh penduduk Madinah disebut dengan al-
mu’amalah. Secara terminologi, musaqah didefenisikan oleh para ulama fiqh
sebagai berikut:
Menurut
Abdurrahman al-Jaziri[1], musaqah
ialah:
“Akad untuk
pemeliharaan pohon kurma, tanaman (pertanian), dan yang lainnya dengan syarat-syarat tertentu”.
Menurut Ibn ‘Abidin
yang dikutip Nasrun Haroen[2], musaqah
adalah:
“Penyerahan sebidang kebun kepada petani untuk digarap dan dirawat
dengan ketentuan bahwa petani mendapatkan bagian dari hasil kebun itu”.
Ulama Syafi’i
mendefenisikan:
“Mempekerjakan petani penggarap untuk menggarap kurma atau pohon
anggur saja dengan cara mengairi dan merawatnya, dan hasil kurma atau anggur
itu dibagi bersama antara pemilik dan petani yang menggarap”.
Dengan demikian,
akad musaqah adalah sebuah bentuk kerja sama antara pemilik kebun dan
petani penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat sehingga
memberikan hasil yang maksimal. Kemudian, segala sesuatu yang dihasilkan pihak
kedua berupa buah merupakan hak bersama antara pemilik dan penggarap sesuai
dengan kesepakatan yang mereka buat.
Kerja sama dalam
bentuk musaqah ini berbeda dengan mengupah tukang kebun untuk merawat
tanaman, karena hasil yang diterimanya adalah upah yang telah pasti ukurannya
dan bukan dari hasilnya yang belum tentu[3].
Menurut kebanyakan
ulama, hukum musaqah yaitu boleh atau mubah, berdasarkan sabda Rasulullah saw:
“Dari Ibnu Umar,
sesungguhnya Nabi saw. telah memberikan kebun beliau kepada penduduk Khaibar agar dipelihara oleh mereka
dengan perjanjian: mereka akan
memperoleh dari penghasilannya, baik dari bauh-buahan maupun hasil tanamannya” (HR. Muslim).
B.
Rukun, Syarat,
dan Berakhirnya Akad Musaqah
1.
Rukun Musaqah
Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa
yang menjadi rukun dalam akad musaqah adalah ijab dari pemilik tanah
perkebunan, kabul dari petani penggarap, dan pekerjaan dari pihak penggarap[4].
Adapun Jumhur ulama fiqh yang terdiri dari ulama Malikiyah, Syafi’iyah,
dan Hanabilah berpendirian bahwa rukun musaqah ada lima yaitu:
a.
Dua orang/
pihak yang melakukan transaksi.
b.
Tanah yang
dijadikan objek musaqah.
c.
Jenis usaha
yang akan dilakukan petani penggarap.
d.
Ketentuan
mengenai pembagian hasil musaqah.
e.
Shighat (ungkapan) ijab dan kabul[5].
2.
Syarat Musaqah
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing rukun
sebagai berikut:
a.
Kedua belah
pihak yang melakukan transaksi musaqah harus orang yang cakap bertindak hukum,
yakni dewasa (akil balig) dan berakal.
b.
Objek musaqah
itu harus terdiri atas pepohonan yang
mempunyai buah. Dalam menentukan objek musaqah ini terdapat perbedaan
pendapat ulama fiqh. Menurut ulama Hanafiyah, yang boleh menjadi objek
musaqah adalah pepohonan yang berbuah (boleh berbuah), seperti kurma, anggur
dan terong. Akann tetapi, ulama Hanafiyah mutaakhkhirin menyatakan, musaqah
juga berlaku pada pepohonan yang tidak mempunyai buah, jika hal itu dibutuhkan
masyarakat. Ulama Malikiyah, menyatakan bahwa yang menjadi objek musaqah
itu adalah tanaman keras dan palawija, seperti kurma, terong, apel dan anggur
dengan syarat bahwa:
1)
Akad musaqah
itu dilakukan sebelum buah itu layak dipanen.
2)
Tenggang waktu
yang ditentukan jelas.
3)
Akadnya
dilakukan setelah tanaman itu tumbuh.
4)
Pemilik
perkebunan tidak mampu untuk mengolah dan memelihara tanaman itu.
Menurut ulama
Hanabilah, yang boleh dijadikan objek musaqah adalah terhadap tanaman
yang buahnya boleh dikonsumsi. Oleh sebab itu, musaqah tidak berlaku
terhadap tanaman yang tidak memiliki buah.
Adapun ulama
Syafi’i berpendapat bahwa yang boleh dijadikan objek akad musaqah adalah
kurma dan anggur saja, sebagaimana sabda Rasulullah saw:
“Rasulullah saw.menyerahkan
perkebunan kurma di Khaibar kepada orang Yahudi dengan ketentuan sebagian dari
hasilnya, baik buah-buahan maupun dari biji-bijian menjadi milik orang Yahudi
itu”.
c.
Tanah itu
diserahkan sepenuhnya kepada petani penggarap setelah akad berlangsung untuk
digarap, tanpa campur tangan pemilik tanah.
d.
Hasil (buah)
yang dihasilkan dari kebun itu merupakan hak mereka bersama, sesuai dengan
kesepakatan yang mereka buat, baik dibagi dua, tiga dan sebagainya. Menurut
Imam Syafi’i yang terkuat, sah melakukan peerjanjian musaqah pada kebun yang
telah mulai berbuah, tetapi buahnya belum dapat dipastikan akan baik (belum
matang).
e.
Lamanya
perjanjian harus jelas, karena transaksi ini sama dengan transaksi sewa-menyewa
agar terhindar dari ketidak pastian[6].
3.
Berakhirnya
Akad Musaqah
Menurut para ulama fiqh,akad musaqah berakhir
apabila:
a.
Tenggang waktu
yang disepakati dalam akad telah habis.
b.
Salah satu
pihak meninggal dunia.
c.
Ada uzur yang
membuat salah satu pihak tidak boleh melanjutkan akad.
Uzur yang mereka
maksud dalam hal ini diantaranya adalah petani penggarap itu terkenal sebagai
seorang pencuri hasil tanaman dan petani penggarap itu sakit yang tidak
memungkinkan dai untuk bekerja.
Jika petani yang
wafat, maka ahli warisnya boleh melanjutkan akad itu jika tanaman itu belum
dipanen. Adapun jika pemilik perkebunan yang wafat, maka pekerjaan petani harus
dilanjutkan. Jika kedua belah pihak yang berakad meninggal dunia, kedua belah
pihak ahli waris boleh memilih antara meneruskan atau menghentikannya[7].
Akan tetapi, ulama
Malikiyah menyatakan bahwa akad musaqah ialah akad yang boleh diwarisi, jika
salah satu pihak meninggal dunia dan tidak boleh dibatalkan hanya karena ada
uzur dari pihak petani. Ulama Syafi’iyah, juga menyatakan bahwa akad musaqah
tidak boleh dibatalkan karena adanya uzur. Jika petani penggarap mempunyai
uzur, maka harus ditunjuk salah seorang yang bertanggung jawab untuk
melanjutkan pekerjaan itu. Menurut ulama Hanabilah, akad musaqah sama dengan
akad muzara’ah, yaitu akad yang tidak mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh
sebab itu, masing-masing pihak boleh saja membatalkan akad itu. Jika pembatalan
akad itu dilakukan setelah pohon berbuah, maka buah itu dibagi dua antara
pemilik kebun dan petani penggarap, sesuai dengan kesepakatan yang telah ada[8].
C.
Hikmah Musaqah
Ada orang kaya
yang memiliki tanah yang ditanami pohon kurma dan pohon-pohon yang lain, tetapi
dia tidak mampu untuk menyirami (memelihara) pohon ini karena ada suatu
halangan yang menghalanginya. Maka Allah Yang Maha Bijaksana memperbolehkan
orang itu untuk mengadakan suatu perjanjian dengan orang yang dapat
menyiraminya, yang masing-masing mendapatkan bagian dari buah yang dihasilkan.
Dalam hal ini ada dua hikmah:
1.
Menghilangkan
kemiskinan dari pundak orang-orang miskin sehingga dapat mencukupi
kebutuhannya.
2.
Salling tukar
manfaat di antara manusia.
Disamping itu, ada
faedah lain bagi pemilik pohon, yaitu karena pemeliharaan telah berjasa merawat
hingga pohon menjadi besar. Kalau sendainya pohon itu dibiarkan begitu saja
tanpa disirami, tentu dapat mati dalam waktu singkat. Belum lagi faedah dari
adanya ikatan cinta, kasih sayang, antara sesama manusia, maka jadilah umat itu
umat yang bersatu dan bekerja untuk kemaslahatan, sehingga apa yang diperoleh
mengandung faedah yang besar[9].
D.
Pengertian dan
Hukum Muzara’ah
Secara etimologi, muzara’ah
berarti kerja sama di bidang pertanian antara pihak pemilik tanah dan petani
penggarap. Secara terminologi, terdapat beberapa defenisi muzara’ah yang
dikemukakan ulama fiqh.
Ulama Malikiyah[10]
mendefeniskan:
“Perserikatan
dalam pertanian”
Ulama Hanabilah[11]
mendefenisikan:
“Penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan
hasilnya dibagi berdua”
Kedua defenisi
dalam kebiasaan Indonesia disebut sebagai “ paruhan sawah”. Penduduk Irak
menyebutnya “ al- mukhabarah”. Tetapi dalam al-mukhabarah, bibit
yang ditanam berasal dari pemilik tanah.
Imam Syafi’i[12]
mendefenisikan:
“ pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan
bibit pertanian disediakan penggarap tanah”.
Dalam muhkarabah,
bibit yang akan ditanam disediakan oleh penggarap tanah, sedangkan dalam
muzara’ah, bibit yang akan ditanam boleh dari pemilik.
Jadi, muzara’ah
itu yaitu kerja sama antara pemilik tanah dan penggarap tanah dengan perjanjian
bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama, sedangkan benih (bibit)
tanaman berasal dari pemilik tanah. Bila dalam kerja sama ini bibit disediakan
oleh pekerja, maka secara khusus kerja sama ini disebut al-mukhabarah.
Antara muzara’ah
dan musaqah terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya ialah kedua-duanya
merupakan akad (perjanjian) bagi hasil. Adapun perbedaannya ialah: didalam
musaqah tanaman telah ada tetapi, memerlukan tenaga kerja untuk memeliharanya.
Didalam muzara’ah, tanaman di tanah belum ada, tanahnya masih harus digarap
dahulu oleh penggarapnya[13].
Kerja sama dalam
bentuk muzara’ah menurut kebanyakan ulama fiqh hukumnya mubah (boleh). Dasar
kebolehannya itu, disamping dapat dipahami dari keumuman firman Allah yang
menyuruh saling menolong, juga secara khusus hadis Nabi dari Ibnu Abbas menurut
riwayat al-Bukhari yang mengatakan:
“Bahwasanya
Rasulullah saw.mempekerjakan penduduk
khaibar (dalam pertanian) dengan
imbalan bagian dari apa yang dihasilkannya, dalam bentuk tanaman atau buah-buahan”. (HR. Bukhari, Muslim, Abu
Dawud dan Nasa’i).
E.
Rukun dan
Syarat Muzara’ah
Jumhur ulama yang
membolehkan akad muzara’ah mengemukakan rukun dan syarat yang harus
dipenuhi, sehingga akad dianggap sah.
Rukun Muzara’ah
menurut mereka sebagai berukut:
1.
Pemilik tanah.
2.
Petani
penggarap.
3.
Objek
muzara’ah, yaitu antara manfaat tanah dan hasil kerja petani.
4.
Ijab dan kabul.
Contoh ijab dan kabul: “ Saya serahkan tanah pertanian saya ini kepada engkau
untuk digarap dan hasilnya nanti kita bagi berdua”. Petani penggarap menjawab:
“ Saya terima tanah pertanian ini untuk digarap dengan imbalan hasilnya dibagi
dua”. Jika hal ini telah terlaksana, maka akad ini sah dan mengikat. Namun,
ulama Hanabilah mengatakan bahwa penerimaan (kabul) akad muzara’ah tidak perlu
denngan ungkapan, tetapi boleh juga dengan tindakan, yaitu petani langsung
menggarap tanah itu[14].
Adapun syarat-syarat muzara’ah,
menurut jumhur ulama sebagai berikut:
1.
Syarat yang
menyangkut orang yang berakad: keduanya harus sudah baliq dan berakal.
2.
Syarat yang
menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas, sehingga benih yang akan
ditanam itu jelas dan akan menghasilkan.
3.
Syarat yang
menyangkut tanah pertanian sebagai berukut:
a.
Menurut adat
dikalangan para petani, tanah ini boleh digarap dan menghasilkan. Jika tanah
ini tanah tandus dan kering sehingga tidak memungkinkan untuk dijadikan tanah
pertanian, maka akad muzara’ah tidak sah.
b.
Batas-batas
tanah itu jelas.
c.
Tanah itu
diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Apabila disyaratkan bahwa
pemilik tanah ikut mengolah pertanian itu maka akad muzara’ah tidak sah.
4.
Syarat-syarat
yang menyangkut dengan hasil panen sebagai berikut:
a.
Pembagian hasil
panen bagi masing-masing pihak harus jelas.
b.
Hasil itu
benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa boleh ada pengkhususan.
c.
Pembagian hasil
panen itu ditentukan: setengah, sepertiga, atau seperempat, sejak dari awal
akad, sehingga tidak timbul perselisihan di kemudian hari. Dan penentuannya
tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak, seperti saru kwintal
untuk pekerja, atau satu karung, karena kemungkinan seluruh hasil panen jauh
dibawah itu atau dapat juga jauh melampaui jumlah itu.
5.
Syarat yang
menyangkut jangka waktu juga harus dijelaskan dalam akad sejak semula, karena
akad muzara’ah mengandung makna akad al-ijarah (sewa-menyewa atau upah
mengupah) dengan imbalan sebagian hasil
panen. Oleh sebeb itu, jangka waktunya harus jelas. Untuk penentuan jangka
waktu ini biasanya disesuaikan dengan adat setempat.
Untuk objek akad, jumhur ulama yang membolehkan al-muzara’ah, mensyaratkan juga harus jelas, baik berupa jasa petani, sehingga benih yang akan ditanam datangnya dari pemilik tanah, maupun pemanfaatan tanah, sehingga benihnya dari petani[15].
F.
Pengertian dan
Hukum Mukhabarah
Mukhabarah
adalah bentuk kerja sama antara pemilik sawah /tanah dan penggarap dengan
perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara pemilik tanah dan penggarap
menurut kesepakatan bersama, sedangkan biaya dan benihnya dari penggarap tanah.
Perbedaan antara muzara’ah
dan mukhabarah hanya terletak pada benih tanaman. Dalam muzara’ah benih
tanaman berasal dari pemilik tanah, sedangkan dalam mukhabarah, benih tanaman
berasal dari pihak penggarap.[16]
Pada umumnya kerja
sama mukhabarah ini dilakukan pada perkebunan yang benihnya relatif murah,
seperti padi, jangung dan kacang. Namun, tidak menutup kemungkinan pada tanaman
yang benihnya relatif murah pun dilakukan kerja sama muzara’ah.
Hukum mukhabarah
sama dengan muzara’ah, yaitu mubah (boleh). Landasan hukum mukhabarah
adalah sabda Nabi SAW yang sekira kira artinya:
“Dari Thawus r.a bahwa ia suka bermukhabarah. Amru berkata: Lalu
aku katakana kepadanya: Ya Abu Abdurrahman, kalau engkau tinggalkan mukhabarah
ini, nanti mereka mengatakan bahwa Nabi SAW telah melarang mukhabarah. Lantas
Thawus berkata: Hai Amr, telah menceritakan kepadaku orang yang
sungguh-sungguhmengetahui akan hal itu, yaitu Ibn Abbas bahwa Nabi SAW tidak
melarang mukhabarah itu, hanya beliau berkata: seseorang memberi manfaat kepada
saudaranya lebih baik dari pada ia mengambil manfaat itu dengan upah tertentu”.
(Hr. Muslim) .
G.
Zakat Muzara’ah
dan Mukhabarah
Pada prinsipnya
ketentuan wajib zakat itu dibebankan kepada orang mampu. Dalam arti telah
mempunyai harta hasil pertanian yang wajib dizakati( jika telah sampai batas
nisab). Maka dalam kerja sama seperti ini salah satu atau keduanya (pemilik
sawah/lading dan penggarap) membayar zakat bila telah nisab.
Jika dipandang
dari siapa asal benih tanaman, maka dalam muzara’ah yang wajib zakat
adalah pemilik tanah, karena dialah yang menanam. Sedangkan penggarap hanya
mengambil upah kerja. Dalam mukhabarah, yang wajib zakat adalah penggarap
(petani), karena dialah hakikatnya yang menanam. Sedangkan pemilik tanah seolah-olah
mengambil sewa tanahnya. Jika benih berasal dari keduanya, maka zakat
diwajibkan kepada keduanya jika sudah senisab sebelum pendapatan dibagi dua.
Menurut Yusuf
Qardawi, jika pemilik itu menyerahkan penggarapan tanahnya kepada orang lain
dengan imbalan seperempat, sepertiga atau setengah hasil
sesuai dengan perjanjian, maka zakat dikenakan atas kedua bagian masing-masing
bila cukup senisab. Bila bagian salah seorang cukup senisab, sedangkan yang
seorang lagi tidak, maka zakat wajib bagi atas yang memiliki bagian yang cukukp
senisab, sedangkan yang tidak cukup senisab tidak wajib zakat. Tetapi Imam
Syafi’i, berpendapat bahwa keduanya dipandang satu orang, yang oleh karena itu
wajib secara bersama-sama menanggung zakatnya bila jumlah hasil sampai lima
wasaq: masing-masing mengeluarkan 10% dari bagiannya.[17]
H.
Hikmah
Muzara’ah dan Mukharabah[18]
Sebagian orang ada
yang mempunyai binatang ternak. Dia mampu untuk menggarap sawah dan dapat
mengembangkannya, tetapi tidak memiliki tanah. Adapula orang yang memiliki
tanah yang subur untuk ditanami tetapi tidak punya binatang ternak dan tidak
mampu untuk menggarapnya. Kalau dijalin kerja sama antara mereka, dimana yang
satu menyerahkan tanah dan bibit, sedangkan yang lain menggarap dan bekerja
menggunakan binantangnya dengan tetap mendapatkan bagian masing-masing, maka
yang terjadi adalah kemakmuran bumi, dan semakin luasnya daerah pertanian yang
merupakan sumber kekayaan terbesar.
I.
Ringkasan Bab 6
1.
Secara
etimologi, Musaqah berarti transaksi dalam pengairan. Secara terminologi
fiqh, musaqqah yaitu akad untuk pemeliharaan pohom kurma, tanaman
(pertanian) , dan lainnya dengan syarat-syarat tertentu. Atau penyerahan
sebidang kebun pada petani untuk digarap dan dirawat dengan ketentuan bahwa
petani mendapatkan bagian dari hasil kebun itu. Menurut kebanyakan ulama, hukum
musaqqah yaitu boleh atau mubah.
2.
Jumhur ulama fiqh
berpendirian bahwa rukun musaqqah ada lima, yaitu:
a.
Dua orang/
pihak yang melakukan transaksi.
b.
Tanah yang
dijadikan objek musaqqah.
c.
Jenis usaha
yang akan dilakukan petani penggarap.
d.
Ketentuan
mengenai pembagian hasil musaqqah.
e.
Sighat (ungkapan) ijab dan Kabul.
Adapun syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh masing-masing rukun sebagai berikut:
a.
Kedua belah
pihak yang melakukan transaksi musaqqah harus orang yang cakap nbertindak
hukum, yakni dewasa (akil balig) dan berakal.
b.
Objek musaqqah
itu harus terdiri atas pepohonan yang mempunyai buah.
c.
Lamanya
perjanjian harus jelas.
Akad musaqqah berakhir
apabila:
a.
Tenggang waktu
yang disepakati dalam akad telah habis.
b.
Salah satu
pihak meninggal dunia.
c.
Ada uzur yang
membuat salah satu pihak tidak boleh melanjudkan akad.
3.
Hikmah Musaqqah,
antara lain:
a.
Menghilangkan
kemiskinan dari pundak orang-orang miskin sehingga dapat mencukupi
kebutuhannya.
b.
Saling tukar
manfaat diantara manusia.
4.
Secara
etimologi, muzara’ah berarti kerja sama dibidang pertanian antara pihak
pemilik tanah dan petani penggarap. Secara terminologi, muzara’ah ialah
pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit
pertanian disediakan penggarap tanah. Dalam mukharabah, bibit yang akan
ditanam disediakan oleh penggarap tanah, sedangkan dalam al-muza’raah, bibit
yang akan ditanam boleh dari pemilik.
Antara muzara’ah dan musaqqah terdapat persamaan dan
perbedaan. Persamaannya ialah kedua-duanya merupakan akad (perjanjian) bagi
hasil. Adapun perbedaannya ialah: didalam musaqqah tanaman telah ada tetapi
memerlukan tenaga kerja untuk memeliharanya. Didalam muzara’ah, tanaman di
tanah belum ada, tanahnya masih harus digarap dulu oleh penggarapnya. Kerja
sama dalam bentuk muzaraah menurut kebanyakan ulama fiqh hukumnya mubah (boleh)
.
Rukun muzara’ah sebagai berikut:
a.
Pemilik tanah.
b.
Petani penggarap.
c.
Objek
al-muza’raah, yaitu anytara
manfaat tanah dan hasil kerja petani.
d.
Ijab dan Kabul.
Adapun syarat-syarat muzaraah
sebagai berikut:
a.
Syarat yang
menyangkut orang yang berakad: keduanya harus telah balig dan berakal.
b.
Syarat yang
menyangkut benih yang harus ditanam harus jelas, sehingga benih yang akan
ditanam itu jelas dan akan menghasilkan.
c.
Syarat yang
menyangkut tanah pertanian sebagai berikut:
1)
Menurut adat
dikalangan para petani, tanah itu boleh digarap dan menghasilkan.
2)
Batas-batas
tanah itu jelas.
3)
Tanah itu
diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap.
d.
Syarat-syarat
yang menyangkut dengan hasil panen sebagai berikut:
1)
Pembagian hasil
panen bagi masing-masing pihak harus jelas.
2)
Hasil itu
benar-benar milik bersama orang yang berakad. Tanpa boleh ada pengkhususan.
5.
Mukhabarah
adalah bentuk kerja sama antara pemilik sawah /tanah dan penggarap dengan
perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara pemilik tanah dan penggarap
menurut kesepakatan bersama, sedangkan biaya dan benihnya dari penggarap tanah.
Perbedaan antara muzara’ah dan mukhabarah hanya terletak pada
benih tanaman. Dalam muzara’ah benih tanaman berasal dari pemilik tanah,
sedangkan dalam mukhabarah, benih tanaman berasal dari pihak penggarap.
Hukum mukharabah sama dengan
muzara’ah. Yaitu mubah (boleh) .
6.
Pada prinsipnya
ketentuan wajib zakat itu dibebankan kepada orang mampu. Dalam arti telah
mempunyai harta hasil pertanian yang wajib dizakati( jika telah sampai batas
nisab). Maka dalam kerja sama seperti ini salah satu atau keduanya (pemilik
sawah/lading dan penggarap) membayar zakat bila telah nisab.
Jika dipandang dari siapa asal benih
tanaman, maka dalam muzara’ah yang wajib zakat adalah pemilik tanah,
karena dialah yang menanam. Sedangkan penggarap hanya mengambil upah kerja.
Dalam mukhabarah, yang wajib zakat adalah penggarap (petani), karena dialah
hakikatnya yang menanam. Sedangkan pemilik tanah seolah-olah mengambil sewa
tanahnya. Jika benih berasal dari keduanya, maka zakat diwajibkan kepada
keduanya jika sudah senisab sebelum pendapatan dibagi dua.
7.
Sebagian orang
ada yang mempunyai binatang ternak. Dia mampu untuk menggarap sawah dan dapat
mengembangkannya, tetapi tidak memiliki tanah. Adapula orang yang memiliki
tanah yang subur untuk ditanami tetapi tidak punya binatang ternak dan tidak
mampu untuk menggarapnya. Kalau dijalin kerja sama antara mereka, dimana yang
satu menyerahkan tanah dan bibit, sedangkan yang lain menggarap dan bekerja
menggunakan binantangnya dengan tetap mendapatkan bagian masing-masing, maka
yang terjadi adalah kemakmuran bumi, dan semakin luasnya daerah pertanian yang
merupakan sumber kekayaan terbesar.
Baca Juga;/.....
👉MUSAQQAH, MUZARA’AH, DAN MUKHABARAH
👉KHIYAR DALAM JUAL BELI
👉BANK, RIBA, DAN RENTE
👉ARIAH (PINJAMAN) DAN HIWALAH (PEMINDAHAN UTANG)
👉WAKAF
👉ASH-SHULHU (PERDAMAIAN)
Artikel terkait lainnya.... 👉AL-WAKALAH (PERWAKILAN)
👉KHIYAR DALAM JUAL BELI
👉SEDEKAH, HIBAH, DAN HADIAH
👉HARTA DAN PERMASLAHANNNYA
👉HAK MILIK DAN AKAD
[1] Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-
Mazahib al- Arba’ah, (Beirut: Dar al- Taqwa, 2003), juz III, hlm.
20.
[2] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (jakarta:
Gaya Media Pratama, 2007), cet. Ke-2, hlm. 275.
[3] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh,
(Bogor: Kencana. 2003), cet. Ke-1, hlm. 243.
[4] Nasrun Haroen, Op. Cit., hlm. 284.
[5]
Ibid.
[6]
Ibid., hlm. 284 dan seterusnya.
[7]
Ibid., hlm. 287.
[8]
Ibid., hlm. 288.
[9] Syeikh Ali Ahmad al- Jurjawi, Falsafah,
dan Hikmah Hukum Islam, penerjemah: Hadi Muljo dan Shobahussurur,
(Semarang: CV. Asy-Syifa, 1992), cet. Ke-1, hlm. 398.
[10]
Lihat Nasrun Haroen, Op. Cit., hlm. 275.
[11] Ibid.
[12]
Ibid.
[13]
Lihat Abdul Mujieb, Op. Cit., hlm. 237.
[14]
Lihat Nasru Haroen, Op. Cit., hlm. 278.
[15]
Ibid., hlm. 278-279.
[16] Abdul Mujieb, Op. cit., hlm. 221.
[17] Yusuf Qardawi, Fiqh al-Zakat
(Hukum Zakat) , penerjemah: Salman Harun (et al) , (Bogor: PT.
Pustaka Litera Antar Nusa,, 1993) , cet. Ke- 3, hlm. 375.
[18] Lihat Syeikh Ali Ahmad al-Jurjawi,
Op. cit., hlm. 397
0 Comment