A Pengertian Hak dan Milik
Kata hak
berasal dari bahasa Arab al-haqq, yang secara etimologi mempunyai beberapa
pengertian yang berbeda, diantaranya berarti: milik, ketetapan dan kepastian,
menetapkan dan menjelaskan, bagaian (kewajiban), dan kebenaran.
Contoh al-haqq
diartikan dengan ketetapan dan kepastian terhadap dalam surat Yasin ayat 7:
Contoh al-haqq
diartikan dengan menetapkan dan menjelaskan tercantum dalam surat al-Anfal ayat
8:
Contoh al-haqq
diartikan dengan bagian (kewajiban) yang terbatas tercantum pada surat
al-baqarah ayat 241:
Contoh al-haqq
diartikan dengan kebenaran sebagi lawan dari kebatilan tercantum pada surah
Yunus ayat 35:
Dalam
terminologi fiqh terhadap beberapa pengertian al-haqq yang di
kemukakan oleh para ulama fiqh, diantaranya menurut wahbah al-Zuhaily[1]
yang artinya: ''suatu hukum yang telah di tetapkan secara syara''.
Menurut Syeikh
Ali al-Kalif[2], yang
artinya: ''kemaslahatan yang di peroleh secara syara''.
Mustafa Ahmad
al-Zarqa'[3]
mendenifisikannya dengan: ''kekhususan yang di tetapkan syara'atas suatu
kekuasaan''.
Ibn Nujaim[4]
mendenifisikannya lebih singkat dengan: ''Suatu kekhususan yang terlindungi.''
Menurut wahbah
al:Zuhaily, yang dikutip oleh Nasrun Haroen,[5]
Definisi yang komprehensif ialah defenisi yang dikemukakan Ibn Nurjaim dan
Mustafa Ahmad al-Zarqa'di atas, karena kedua defenisi itu mencakup berbagai
macam hak, seperti hak Allah terhadap hamba-Nya (shalat,puasa, dan lain-lain),
hak-hak yang menyangkut perkawinan,hak umum, seperti hak-hak negara,
kehartabendaan dan nonmateri seperti hak perwalian atas seseorang.
Kata milik
berasal dari bahasa Arab al-milk, yang secara etimologi berarti penguasaan
terhadapat sesuatu. Al –Milk juga berarti sesuatu yang dimiliki ( harta
).Milk juga merupakan hubungan seseorang dengan suatu harta yang diakui
oleh syara', yang menjadikannya mempunyai kekuasaan khusus terhadap
harta itu, sehingga ia dapat melakukan tindakan hukum terhadap harta tersebut,
kecuali adanya kalangan syara',. Kata milik dalam bahasa indonesia
merupakan kata serapan dari kata al-milk dalam bahasa Arab.
Secara
terminologi, al-milk didefenisikan ole Muhammad Abu Zahrah[6]
sebagai berikut artinya:
"Pengkhususan seseorang terhadap pemilik
sesuatu benda menurut syara' untuk bertindak secara bebas dan bertujuan
mengambil manfaatnya selama tidak ada penghalangan yang bersifat syara".
Artinya, benda yang dikhususkan kepada seseorang itu
sepenuhnnya berada dalam penguasaanya, sehingga orang lain tidak boleh
bertindak dan memenfaatkannya.pemilik harta bebas untuk bertindak hukum
terhadap hartanya, seperti jual beli, hibah, wakaf , dan meminjamkannya kepada
orang lain, selama tidak ada halangan syara'. Contoh halangan syara
antara lain orang itu belum cakap bertindak hukum, misalnya anak kecil, orang
gila, atau kecakapan hukumnya hilang, seperti orang yang jatuh pailit, sehingga
dalam hal-hal tertentu mereka tidak dapat bertindak hukum terhadap miliknya
sendiri.[7]
Dengan kata lain, apabila seseorang telah memiliki suatu benda yang sah
menurut syara', orang tersebut bebas bertindak terhadap benda tersebut, baik
akan dijual maupun akan digadaikan, baik dia sendiri yang melakukannya maupun
melalui perantaraan orang lain.
Berdasarkan definisi tersebut, dapat dibedakan antara hak dan milik. Untuk
lebih jelasnya dicontohkan sebagai berikut: Seorang pengampu berhak menggunakan
harta orang yang berada di bawah ampuannya. Pengampu berhak untuk membelanjakan
harta itu dan pemiliknya adalah orang yang berada dibawah ampuannya. Dengan
kata lain, tidak semua yang memliki benda berhak menggunakan dan tidak semua
yang punya hak penggunaan dapat memiliki.
Hak yang dijelaskan diatas adakalanya merupakan sulthah (kekuasaan)
adakalanya berupa taklif (tanggung jawab).
1. Sulthah
terbagi dua, yaitu sulthah 'ala al-nafsi dan 'ala syaiin mu'ayyanin.
- Sulthah 'ala al-nafsi ialah hak seseorang terhadap jiwa, seperti hak hadhanah
(pemeliharaan anak).
- Sulthah 'ala syaiin mu'ayyanin ialah hak manusia untuk memiliki sesuatu, seperti seseorang berhak
memiliki sebuah mobil.
2. Taklif adalah orang yang bertanggung jawab. Taklif adakalanya tanggungan
pribadi ('ahdah syakhshiyyah), seperti seorang buruh menjalankan
tugasnya, adakalanya tanggung jawab harta ('ahdah maliyah), seperti
membayar utang.
Para fukaha berpendapat bahwa hak merupakan imbangan dari benda (a'yan),
sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hak bukanlah harta.[8]
B
SEBAB SEBAB PEMILIKAN
Para ulama fiqih menyatakan bahwa ada
empat cara pemilikan harta yang di
syariatkan Islam:[9]
1. Melalui penguasaan terhadap harta yang belum
dimiliki seseorang atau lembaga hukum lainnya, yang dalam Islam disebut harta
yang mubah. Contohnya : bebatuan di sungai yang belum di miliki seseorang atau
lembaga hukum. Apabila seseorang mengambel batu dan pasir dari sungai itu dan
membawanya kerumahnya, maka batu dan pasir itu menjadi miliknya, dan orang lain
tidak boleh mengambel batu dan pasir yang telah ia kuasai itu. Atau seseorang
menangkap ikan di laut lepas dan membawanya pulang. Batu, pasir, dan ikan yang
telah ia kuasai itu boleh ia memperjual belikan, boleh ia sedekahkan kepada
orang lain dan boleh di gunakan sendiri, karna batu, pasir, dan ikan itu telah
menjadi miliknya.
Penguasaan terhadap harta yang mubah dalam fiqh Islam mempunyai arti yang
khusus, merupakan asal dari suatu pemilikan tanpa ada ganti rugi. Artinya,
penguasaan seseorang terhadap harta mubah merupakan milik awal, tanpa didahului
oleh pemilikan sebelumnya. Bedanya akan kelihatan dengan pemilikan melalui
suatu transaksi. Dalam transaksi seseorang telah memiliki terlebih dahulu suatu
harta, baru kemudian ia gunakan miliknya itu untuk mendapatkan harta lain yang
boleh ia miliki. Misalnya, dalam jual beli seseorang telah terlebih dahulu
memiliki uang atau yang secara hukum dikatakan memiliki uang, kemudian ia
membeli sebuah mobil, maka mobil itu ia memiliki berdasarkan uang yang telah ia
miliki sebelumnya. Dalam memiliki suatu yang mubah tidak demikian halnya,
karena seseorang hanya mengambil sesuatu yang ingin ia miliki dari harta mubah
itu, tanpa mengimbalinya dengan harta yang lain. Inilah yang dimaksudkan para
ulama fiqh sebagai pemilikan asal atau awal.
2. Melalui suatu transaksi yang ia lakukan dengan
orang atau suatu lembaga hukum, seperti jual beli, hibah, dan wakaf.
3. Melalui peninggalan seseorang, seperti
menerima harta warisan dari ahli warisannya yang wafat.
4. Hasil/buah dari harta yang telah ia miliki seseorang,
sama ada hasil itu datang secara alami, seperti buah pohon di kebun, anak sapi
yang lahir, dan bulu domba seseorang, atau melalui suatu usaha pemiliknya,
seperti hasil usahanya sebagai pekerja atau keuntungan dagang yang diperoleh
seorang pedagang.
Cara pemilikan harta nomor satu sebagaimana
dijelaskan diatas disebut juga dengan istilah Ihraz al-Mubahat, yaitu
memiliki sesuatu yang boleh dimiliki atau menempatkan sesuatu yang boleh
dimiliki disuatu tempat untuk dimiliki.
Cara pemilikan harta nomor dua sebagaimana
dijelaskan diatas disebut dengan istilah Al-'Uqud ('aqad), yakni
transaksi.
Cara pemilikan harta nomor tiga sebagimana
dijelaskan diatas disebut dengan istilah Al-Khalafiyah (pewarisan).
Cara pemilikan harta nomor empat sebagaimana
dijelaskan diatas disebut dengan istilah Al-Tawallud min al-mamluk
(berkembang biak).[10]
C
Hikmah
Kepemilikan
Dengan mengetahui cara-cara pemilkan harta
menurut syariah Islam banyak hikmah yang dapat kita gali untuk kemaslahatan
hidup manusia, antara lain dalam garis besarnya:
1. Manusia tidak boleh sembarangan memiliki
harta, tanpa mengetahui aturan-aturan yang berlaku yang telah di syariatkan
Islam.
2. Manusia akan mempunyai prinsip bahwa mencari
harta itu harus dengan cara-cara yang baik, benar, dan halal.
3. Memiliki harta bukan hak mutlak bagi manusia,
tetapi merupakan suatu amanah (titipan)dari Allah swt.yang harus digunakan dan
di manfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan hidup manusiadan di salurankan
di jalan Allah untuk memperoleh rida-Nya.
4. Menjaga diri untuk tidak terjerumus kepada
hal-hal yang diharamkan oleh syara' dalam memiliki harta.
5. Manusia akan hidup tenang dan tentram apabila dalam mencari dan memiliki harta itu dilakukan dengan cara-cara yang baik, benar, dan halal, kemudian diguanakan dan dimanfaatkan sesuai dengan panduan (aturan-aturan) Allah swt.
D
PENGERTIAN AKAD
Kata akad berasal dari bahasa Arab al-'aqd
yang secara etimologi berarti perimatan, perjanjian, dan permufakatan
(al-ittifaq). Secara terminologi fiqih, akad didefiniskan dengan: ''Pertalian
ijab (pertanyaan melakukan ikatan) dan kabul (pernyataan penerimaan ikatan)
sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh kepada objek perikatan.''
Pecantuaman kata-kata yang ''sesuai dengan
kehendak syariat'' maksudnya bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua
pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sejalan dengan kehendak syara'.
Misalnya, kesepakatan untuk melakukan transaksi riba, menipu orang lain, atau
merampok kekayaan orang lain. Adapun pencantuman kata- kata ''berpengaruh pada
objek perikatan" maksudnya adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari
satu pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak yang lain (yang menyatakan
kabul)''.[11]
Hasbi Ash Siddieqy,[12]
yang mengutip definisi yang dikemukakan Al-Sanhury, akad ialah: "Perikatan
ijab dan kabul yang dibenarkan syara',
yang menetapkan kerelaan kedua belah pihak".
Adapula yang mendefinisan, akad ialah:
"Ikatan atas bagian-bagian tasharuf (pengelolaan) menurut syara' dengan
cara serah terima".[13]
E
Rukun-Rukun dan
Syarat-Syarat Akad
1. Rukun-rukun Akad
Rukun-rukun
akad sebagai berikut:[14]
a. 'Aqid, adalah orang
yang berakad; terkadang masing-masing pihak terdiri dari satu orang, terkadang
terdiri dari beberapa orang. Misalnya, penjual dan pembeli beras dipasar
masing-masing pihak satu orang; ahli warisa sepakat untuk memberikan sesuatu
kepada pihak yang lain yang terdiri dari beberapa orang. Seseorang yang berakad
terkadang orang memiliki hak ('aqid ashli) dan merupakan wakil dari yang
memiliki hak.
b. Ma'qud 'alaih, ialah
benda-benda yang diakadkan seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual
beli, dalam akad hibah atau (pemberian, gadai, utang yang dijamin seseorang
dalam akad kafalah.
c. Maudhu' al-'aqd, yaitu tujuan
atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda akad maka berbedalah tujuan pokok
akad. Dalam akad jual beli misalnya, tujuan pokoknya yaitu memindahkan barang
dari penjual kepada pemberi dengan diberi ganti. Tujuan pokok akad hibah yaitu
memindahkan barang dari pemberian kepada yang diberi utnuk dimilikinya tanpa
pengganti ('iwadh). Tujuan pokok akad ijarah yaitu memberikan manfaat dengan
adanya pengganti. Tujaun pokok akad i'arah yaitu memberikan manfaat dari
seseorang kepada yang lain tanpa ada pengganti.
d. Shighat al-'aqd, ialah ijab
kabul. Ijab ialah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang
berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad. Adapun kabul ialah
yang diucapkan setelah adanya ijab. Pengertian ijab kabul dalam pengalaman
dewas ini ialah bertukarnya sesuatu dengan yang lain sehingga penjualan dan
pembeli dalam membeli sesuatu terkadang tidak berhadapan, misalnya yang
berlangganan majalah panji mas, pembeli mengirimkan uang melalui pos wesel dan
pembeli menerima majalah tersebut dari petugas pos.
1.
Harus jelas dan
tidak memiliki banyak pengertian. Kata-kata dalam ijab kabul harus jelas dan
tidak memiliki banyak pengertian misalnya seseorang berkata: "aku serakhan
barang ini", kalimat ini masih kurang jelas sehingga masih menimbulkan
pertanyaan apakah benda ini diserahkan sebagai pemberian, penjualan ataupun
titipan-titipan. Kalimat yang leangkapnya: "aku serahkan benda ini
kepadamu sebagai hadiah pemberian".
2.
Harus
bersesuaian antara ijab dan kabul. Antara yang berhijab dan menerima tidak
boleh berbeda lafal, misalnya seseorang berkata "aku serahkan benda ini
kepadamu sebagai titipan", tetapi yang mengucapakan kabul berkata:
"aku terima benda ini sebagai pemberian". Adanya kesimpangsiuran dalam
ijab dan kabul akan menimbulkan perselengketaan yang dilarang oleh Islam karna
bertentangan dengan Islam diantara manusia.
3. Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak-pihak yang bersangkutan, tidak terpaksa, dan tidak karena diancam atau ditakut-takuti oleh orang lain karena dalam tijarah (jual beli) harus saling merelakan.
Mengucapkan dengan lidah merupakan salah satu cara yang ditempuh dalam
mengadakan akad, tetapi ada juga cara lain yang
dapat menggambarkan kehendak untuk berakad. Para ulama fiqh beberapa
cara yang ditempuh dalam akad, yaitu:
1) Dengan cara
tulisan (kitabah), misalnya dua 'aqd berjauhan tempatnya maka ijab kabul boleh
dengan kitabah. Atas dasar inilah para fukaha membentuk kiadah: "tulisan
itu sama dengan ucapan".
Dengan ketentuanm kitabah tersebut dapat
dipahami kedua belah pihak dengan jelas.
2) Isyarat. Bagi
orang-orang tertentu, akad atau ijab dan kabul, tidak dapat dilaksanakan dengan
ucapan dan tulisan, misalnya seseorang yang bisu tidak dapat mengadakan ijab
dan kabul dengan bahasa, orang yang tidak pandai tulisan baca tidak mampu
mengadakan ijab dan kabul dengan tulisan. Maka orang yang bisu dan tidak pandai
tulis dan baca tidak dapat melakukan ijab kabul dengan ucapan dan tulisan.
Dengan demikian, kabul atau akad dilakukan dengan isyarat. Maka dibuatkan
kaidah sebagai berikut: "Isyarat bagi orang bisu sama dengan ucapan
lidah".
3)
Ta'athi (saling
memberi), seperti seseorang yang melakukan pemberian kepada seseorang dan orang
tersebut memberikan imbalan kepada yang memberi tanpa ditentukan besar
imbalannya. Dengan contoh yang jelas dapat diuraikan sebagai berikut: Seseorang
pengail ikan sering memberikan ikan hasil pancingannya kepada seorang petani,
petani ini memberikan beberapa liter beras kepada pengkail yang memberikan ikan
tanpa disebutkan besar imbalan yang dikehendaki pemberi ikan. Proses diatas itu
dinamakan ta'athi, tetapi menurut sebagian ulama, jual beli seperti itu tidak
dibenarkan.
4) Lisan al-hal. Menurut sebagai ulama, apabila sesorang meninggalkan barang-barang dihadapan orang lain, kemudian dia pergi dan orang yang ditinggalin barang-barang itu berdiam diri saja, hal itu dipandang telah ada akad ida' (titipan) antara orang yang meletakkan barang yang menghadapi barang titipan ini dengan jalan dalalah al-hal.
2. Syarat-syarat Akad
Setiap akad
mempunyai syarat yang ditentukan syara' yang wajib disempurnakan. Syarat-syarat
terjadi akad ada dua macam:[15]
a. Syarat-syarat
yang bersifat umum, yaitu syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai
akad. Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai macam akad sebagai
berikut:
1) Kedua orang
yang melakukan akad cakap bertindak (ahli). Tidak sah akad orang yang tidak
cakap bertindak seperti orang gila orang yang berada dibawah pengampuan
(mahjur) dan karena boros.
2)
Yang dijadikan
objek akad dapat menerima hukumnya.
3) Akad itu
diijinkan oleh syara' dilakukan oleh orang yang mempunyai hak untuk
melakukannya, walaupun dia bukan 'aqid yang memberikan barang.
4) Janganlah akad
itu akad yang dialrang oleh syara' seperti jual beli/mulasamah (saling
merasakan).
5) Akad dapat
memberikan faedah, sehingga tidaklah sah bila rahn atau gadai, dianggap sebagai
imabalan amanah (kepercayaan).
6) Ijab itu
berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul. Maka apabila orang yang
berijab menarik kembali ijabnya sebelum kabul maka batallah ijabnya.
7) Ijab dan kabul
mesti bersambung, sehingga bila seorang yang berijab telah berpisah sebelum adanya
kabul, maka ijab tersebut menjadi batal.
b.
Syarat-syarat
yang bersifat khusus, yaitu syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam
sebagian akad. Syarat khusus ini dapat juga disebut syarat idhafi
(tambahan) yang harus ada disamping syarat-syarat yang umum, seperti syarat
adanya saksi dalam pernikahan.
F
Macam-macam
Akad
Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad itu
dapat dibagi dilihat dari beberapa segi. Jika dilihat dari segi keabsahannya
menurut syara' akad terbagi dua,[16]
yaitu:
1. Akad Sahih, ialah akad yang telah memenuhi
rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Hukum dari akad sahih ini adalah berlakunya
seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu dan mengikat kepada pihak-pihak
yang berakad. Akad yang sahih ini dibagi oleh ulama Hanafiyah dan Malikiyah
menjadi dua macam[17]
yaitu:
a. Akad yang nafiz
(sempurna untuk dilaksanakan), ialah akad yang dilangsungkan dengan memenuhi
rukun dan syaratnya tidak ada penghalang untuk melaksanakannya.
b. Akad Mawquf, ialah akad yang dialkukan sesorang yang cakap bertindak hukum, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan akad ini, seperti akad yang dilangsungkan oleh anak kecil yang telah mubayyiz. Dalam kasus seperti ini, akad ini baru sah secara sempurna dan memiliki akibat hukum apabila jual beli itu diijinkan oleh wali anak kecil ini. Contoh lain dari akad mawquf adalah yang disebut dalam fiqh dan 'aqad al-fudhuli. Misalnya, ahmad memberi uang sebesar Rp. 2.000.000 kepada hasan untuk membeli seekor kambing. Ternyata ditempat penjualan kambing, uang Rp. 2.000.000 itu dapat membeli dua ekor kambing, sehingga hasan membeli dua ekor kambing. Apabila ahmad menyetujui akad yang telah dilaksanakan oleh hasan itu maka jual beli itu menjadi sah. Jika tidak disetujui ahmad maka jual beli itu tidak sah. Akan tetapi, ulama Syafi'iyah dan Hanabilah menganggap jual beli mawquf itu sebagai jual beli yang bathil.
Jika dilihat dari sisi mengikat atau tidaknya jual beli yang sahih itu,
para ulama fiqh membaginya kepada dua macam[18]
yaitu:
1.
Akad yang
bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang berakad, sehingga salah satu pihak lain
tidak boleh membatalkan akad itu tanpa siizin pihak lain, seperti akad jual
beli dan sewa-menyewa.
2.
Akad yang tidak
boleh bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang berakad, seperti dalam akad
al-wakalah (perwakilan), al-ariyah
( pinjam-meminjam), dan al-wadhi'ah (barang
titipan).
Akad yang mengikat bagi pihak pihak yang
melangsungkan akad itu di bagi lagi oleh para ulama fiqh menjadi tiga macam,
yaitu :
a. Akad yang
mengikuti dan tidak dibatalakan sama sekali. Akad perkawinan termaksud akad
yang tidak boleh dibatalkan, kecuali dengan cara-cara yang dibolehkan syara,
seperti melalui talak dan khulu' (tuntutan cerai yang di ajukan istri kepda
suaminya dengan kesedian pihak istri untuk membanyar ganti rugi).
b. Akad yang
mengikat , tetapi dapat dibatalkan atas kehendak kedua belah pihak, seperti
akad jual beli, sewa-menyewa, perdamaian ,al-muzara'ah (kerja sama dalam
pertanian ), dan al-musaqah (kerja sama dalam perkebunan).dalam akad –akad
seperti ini berlaku hak khiyar(hak memilih untuk meneruskan akad yang telah
memenuhi rukun dan syaratnya atau membatalkannya).
c. Akad yang hanya
mengikat salah satu pihak yang berakad, seperti akad al-rahn dan al-kafalah.[19]
3. Akad yang tidak
sahih,yaitu akad yang terdapat kekeurangan pada rukun atau syarat-syaratnya,
sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat
pihak-pihak yang berakad. Kemudian, ulama Hanafiyah membagi akad yaang tidak sahih
ini kepada dua macam, yaitu akad yang batil dan fasid.
[1] Wahhab al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), juz 4, hlm. 8.
[2] Syekh Ali al-Khalif, Al-Haqq wa al-Zimmah,
(Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, 1976), hlm. 36.
[3] Mustafa Ahmad al-Zarqa', Al-Madkhal al-Fiqh
al-'Am, jilid III, hlm. 10.
[4] Ibn Nujaim al-Hanafi, Al-Asybah wa al-Vazhair, (Beurut: Dar
al-Kutub al-'Ilmiyah, t.th), hlm. 87.
[5] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007),
cet. Ke-2, hlm. 2.
[6] Muhammad Abu Zahrah, Al-Milkiyah Nazhariyah al-'aqad fi al-syari'ah
al-islamiyah, (Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, 1962), hlm. 15.
[7] Mustafa Ahmad al-Zarqa', Op. Cit.,
jilid I, hlm. 241.
[8] Lihat Hendi Suhendi, Op. Cit., hlm. 34.
[9] Lihat Mustafa Ahmad al-Zarqa', Op. Cit., hlm. 242 dan seterusnya.
[10] Lihat Hasbi As Shiddieqy, Op. Cit., hlm. 8-9.
[11] Lihat Nasrun Haroen, Op.Cit., hlm. 97.
[12] Hasbi Ash Siddieqy, Op. Cit., hlm. 21.
[13] Lihat
Hendi Suhendi, Op. Cit., hlm. 46.
[14] Ibid., hlm. 47-48.
[15] Lihat Hasbi Ash Shiddieqy, Op. Cit., hlm. 27-28.
[16] Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1984), jilid IV, hlm. 240.
[17] Ibid., hlm. 241.
[18] Ibid., hlm. 241.
[19] Lihat Nasrul haroen,Op.Cit.,hlm.107.
0 Comment