A.
Bank dan Macam-Macamnya
1.
Pengertian
dan Sejarahnya
Dalam
Ensiklopedia Indonesia, bank atau perbankan adalah lembaga keuangan yamg usaha
pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta
peredaran uang dengan tujuan memenuhi kebutuhan kredit dengan modal sendiri
atau orang lain.[1]
Dari
pengertian di atas, bank memiliki dua arti penting, yaitu sebagai perantara
pemberi kredit dan menciptakan uang.
Dalam
lintas sejarah sebenarnya bank telah dikenal kurang lebih 2.500 tahun sebelum
masehi di Mesir Purba dan Yunani kemudian dikembangkan oleh bangsa Romawi.
Perbankan modern berkembang di Italia pada abad pertengahan yang di kuasai oleh
beberapa keluarga untuk membiayai kepuasan dan perdagangan wol. Bank pertama
berdiri di Venesia dan Genoa di Italia kira-kira abad ke-14.Kota tersebut
dikenal sebagai kota perdagangan. Dari kedua kota ini berpindahlah system bank
ke Eropa Barat. Kemudian, berkembang pesat pada abad ke-18 dan ke-19.[2]
Di
lihat dari fungsinya, bank terbagi menjadi dua. Pertama, bank primer, yaitu
bank sirkulasi yang menciptakan uang. Kedua, bank sekunder, yaitu bank yang
tidak menciptakan uang juga tidak memperbesar dan memperkecil arus uang,
seperti bank-bank umum, tabungan, pembiayaan usaha, dan pembangunan.
Sedangakan
rente dilihat dari segi bahasa berasal dari bahasa Belanda, yang berarti bunga.
Adapun menurut istilah sebagai mana dikemukakan oleh Dr. Fuad. M. Fachruddin,
rente adalah keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan bank karena jasanya
meminjamkan uang untuk melancarkan perusahaan orang yang meminjam. Berkat
bantuan bank, perusahaan bertambah maju dan keuntungan yang diperolehnya juga
bertambah banyak. Permasalahan yang kemudian muncul adalah rente atau bunga
bank itu termasuk riba atau bukan?
2.
Bank
Konvensional dan Bank Islam
Yang
dimaksud dengan bank non-Islam (conventional bank) adalah lembaga keuangan yang
fungsi utamanya untuk menghimpun dana yang kemudian disalurkan kepada orang
atau lembaga yang membutuhkannya guna investasi (penanaman modal) dan
usaha-usaha yang produktif dengan sistem bunga. Contohnya BNI, BRI, dan BCA.
Yang
dimaksud dengan bank Islam adalah suatu lembaga yang fungsi utamanya menghimpun
dana untuk disalurkan kepada orang atau lembaga yang membutuhkannya dengan
system tanpa bunga.[3]
Contoh Bank Muamalah.
Tujuan
didirikannya bank Islam adalah untuk menghindari bunga uang yang diberlakukan oleh bank konvensional.
Dari definisi di atas maka dsapat dibedakan antara bank konvensional dengan
bank Islam yaitu bank konvensional
memakai system bunga sedangkan bank Islam tidak.
Sebagai pengganti sistem bunga maka bank Islam
menempuh cara-cara sebagai berikut:
1. Wadiah yaitu
titpan uang, barang, dan surat-surat berharga. Dalam operasinya bank Islam
menghimpun dengan cara menerima deposito berupa uang benda dan surat berharga
sebagai amanat yang wajib dijaga keselamatannya oleh bank Isalm. Bank berhak
menggunakan dana tersebut tanpa harus membayar imbalannya. Namun bank harus
menjamin bahwa dana itu dapat dikembalikan tepat pada waktu pemilik deposito
memerlukannya.[4]
2.
Mudharabah
(kerja sama antara pemilik modal dan
pelaksana). Dengan mudharabah bank
Islam dapat memberikan tambahan modal kepada pengusaha untuk perusahaannya
dengan perjanjian bagi hasil, baik untung ataupun rugi sesuai dengan perjanjian
yang telah ditentukan sebelumnya.
3. Musyarakah/syirkah
(persekutuan). Pihak bank dan penguasa sama-sama mempunyai andil (saham) pada
usaha patungan. Kedua belah pihak andil dalam mengelola usaha patungan itu dan
menanggung untung rugi bersama atas dasar perjanjian profit loss and sharing.
4. Murobahah
(jual beli barang dengan tambahan harga
atas dasar harga pembelian yang pertama secara jujur). Syarat murobahah antara lain bahwa pihak bank
harus memberikan informasi selengkapnya kepada pembeli tentang harga
pembeliannya dan keuntungan bersihnya dari cost
plus-nya.
5.
Qard
hasan (pinjaman yang baik). Bank Islam dapat
memberikan pinjaman tanpa bunga kepada para nasabah yang baik terutama para
nasabah yang memiliki deposito di bank Islam.
6. Bank Islam boleh
mengelola zakat di negara yang pemerintahannya tidak mengelola zakat secara
langsung. Bank Islam juga dapat menggunakan sebagian zakat yang terkumpul untuk
proyek-proyek yang produktif yang hasilnya untuk kepentingan agama dan umum.
Bank Islam juga boleh menerima dan memungut pembayaran untuk mengganti biaya
yang langsung dikeluarkan oleh bank dalam melaksanakn pekerjaannya untuk
melayani kepentingan para nasabah misalnya biaya materai, dan telepon dalam
memberitahukan rekening.
7. Membayar gaji para
karyawan bank yang melakukan pekerjaan untuk lepentingan nasabah, untuk sarana
dan prasarana yang disediakan oleh bank dan biaya administrasi pada umumnya.[5]
B.
Riba
dan Pembagiannya
Secara bahasa, riba berarti tambahan.
Dalam istilah hokum islam, riba berarti tambahan baik berupa tunai, benda,
maupun jasa yang mengharuskan pihak peminjam untuk membayar selain jumlah uang
yang dipinjamkan kepada pihak yang meminjamkan pada hari jatuh waktu
mengembalikan uang pinjaman itu. Riba semacam ini disebut dengan riba nasiah.
Menurut Satria Efendi, riba nasiah adalah tambahan pembayaran atas
jumlah modal yang disyaratkan lebih dahulu yang harus dibayar oleh si peminjam
kepada yang meminjam tanpa resiko sebagai imbalan dari jarak waktu pembayaran
yang diberikan kepada si peminjam. Riba nasiah ini terjadi dalam utang piutang,
oleh karena itu disebut juga dengan riba duyun
dan disebut juga dengan riba jahiliyah, sebab masyarakat Arab sebelum
Islam telah dikenal melakukan suatu kebiasaan membebankan tambahan pembayaran
atau semua jenis pinjaman yang dikenal dengan sebutan riba. Juga disebut dengan
riba jali atau qath’, sebab jelas dan pasti
diharamkannya oleh al-qur’an. Praktik riba nasiah ini pernah di praktikkan oleh kaum Thaqif
yang biasa meminjamkan uang kepada Bani Mughirah. Setelah waktu pembayaran
tiba, kaum Mughirah berjanji akan membayar lebih banyak apabila mereka diberi
tenggang waktu pembayaran. Sebagian tokoh sahabat Nabi, seperti paman
Nabi,Abbas dan Khalid bin Walid, pernah mempraktikkannya. Ayat pengharaman riba
ini membuat heran orang musyrik terhadap larangan prakktek riba, karena telah
menganggap jual beli itu sama dengan riba.[6] Ayat
tersebut berbunyi:
Artinya: orang-orang yang makan
(mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual
beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
menghyaramkan riba. (QS.2 : 275).
Uraian di atas memberikan kejelasan bahwa
riba nasiah mengandung tiga unsur:
1. Adanya
tambahan pembayaran atau modal yang dipinjamkan.
2. Tambahan
itu tanpa resiko kecuali sebagai imbalan dari tenggang waktu yang diperoleh si
peminjam.
3. Tambahan
itu disyaratkan dalam pemberian piutang dan tenggang waktu.
Tambahan dalam membayar utang oleh orang
yang berutang ketika membayar dan tanpa ada syarat sebelumnya. Hal itu
dibolehkan, bahkan dianggap perbuatan ihsan
(baik) dan Rasulullah pernah melakukannya.[7] Di
mana beliau pernah berutang kepada seseorang seekor hewan. Kemudian beliau
bayar dengan hewan yang lebih tua umurnya daripada hewan yang beliau utangi itu,
kemudian beliau bersabda:
Artinya:
“Sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah orang yang paling baik dalam membayar
utangnya”. (HR. Bukhari muslim).
Untuk membedakan mana tambahan yang
termasuk riba atau tindakan terpuji. Para fuqaha
menjelaskan,tambahan pembayaran utang yang termasuk riba jika hal itu
disyaratkan pada waktu akad. Artinya seseorang mau memberikan utang dengan
syarat ada tambahan dalam pengembaliannya. Ini adalah tindakan yang tercela
karena ada kezaliman dan pemerasan. Adapun tambahan yang terpuji itu tidak
dijanjikan pada waktu akad. Tambahan itu diberikan oleh orang yang berutang
ketika ia membayar yang sifatnya tidak mengikat hanya sebagai tanda terima
kasih kepada orang yang telah memberikan utang kepadanya.
Jenis keedua adalah yang disebut riba fadhal. Menurut Ibnu Qayyum, riba fadhal ialah riba yang kedudukannya
sebagai penunjang diharamkannya riba nasiah.
Dengan kata lain bahwa riba fadhal
diharamkan supaya seseorang tidak melakukan riba nasiah yang sudah jelas keharamannya. Maka Rasul melarang menjual
emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma,
kecuali dengan sama banyak dan secara tunai. Barang siapa yang menambah atau minta tambah, masuklah ia pada riba. Yang
mengambil dan yang memberi sama hukiumnya. (HR. Bukhari).
Dari pengertian di atas, para fuqaha menyimpulkan bahwa riba fadhal ialah kelebihan yang terdapat
dalam tukar menukar anatara benda-benda sejenis, seperti emas dengan emas,
perak dengan perak.
Semua agama samawi (Islam, Yahudi, dan
Nasrani) mengharamkan riba karena dianggap sebuah praktik yang sangat
membahayakan. Di dalam kitab perjanjian lama ayat 25 pasal 22 kitab keluaran
sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sabiq “jika
kamu meminjamkan harta kepada salah seorang putra bangsaku, janganlah kamu
bersikap seperti orang yang mengutangkan, jangan kamu meminta keuntungan
hartamuaa”. Hal senada dekemukakan pada ayat 35 pasal 25 kitab imamat, “jika saudaramu mebutuhkan sesuatu maka
tanggunglah. Jangan kau meminta darinya keuntungan dan manfaat”. Paus Pius
berkata “sesungguhnya pemakan riba mereka
kehilangan harga diri/kemulian dalam hidup di dunia dan mereka bukan orang yang
pantas dikapankan setelah mereka mati”.
Alqur’an menyinggung keharaman riba secara
kronologis di berbagai tempat. Pada periode Mekkah turun firman Allah swt.
surat ar-Ruum 39.
Artinya:
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan
berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhoan Allah, maka (yang
berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
(QS.:30/39).
Pada periode Madianh turun ayat yang
secara jelas dan tegas tentang keharam riba, terdapat dalam surat Ali Imran
ayat 130.
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda
dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS:
3/130).
Dan ayat terakhir yang memperkuat
keharaman riba terdapat dalam surat al-Baqarah 278-279.
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang –orang yang beriman. Maka jikia kamu
tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan
Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),
maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
Dua ayat terakhir di atas mempertegas
sebuah penolakan secara jelas terehadap orang yang mengatakan bahwa riba tidak
haram kecuali jika berlipat ganda. Allah tidak memperbolehkan pengembalian uang
kecuali mengembalikan modal pokok tanpa ada tambahan.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim secara jelas riba adalah perbuatan haram, termasuk salah
satu dari lima dosa besar yang membinasakan.
Dalam hadis yang lain keharaman riba
bukan hanya kepada pelakunya, tetapi semua pihak yang membantu terlaksananya
perbuatan riba sebagaiman hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
Artinya: “Allah melaknat pemakan riba, orang yang
memberikan makannya, saksi-saksinya, dan penulisnya”. (HR. Bukhari dan Muslim).
C.
Hikmah
Keharaman Riba
Islam dengan tegas dan pasti
mengharamkan riba. Hal itu untuk menjaga kemaslahatan hidup manusia dari
kerusakan moral (akhlak), soaisal, dan ekonominya.
Menurut
Yusuf Qardhawi, para ulama telah menyebutkan panjang lebar hikmah diharamkannya
riba secara rasional, antara lain:
1. Riba
berarti mengambil harta orang lain tanpa hak.
2. Riba
dapat melemahkan kreativitas manusia untuk berusaha atau bekerja, sehingga
manusia melalaikan perdagangannya, perusahaannya. Hal ini akan memutus
kreativitas hidup manusia di dunia. Hidupnya bergantung kepada riba yang
diperolehnya tanpa usaha. Hal ini merusak tatanan ekonomi.
3. Riba
mrnghilangkan nilai kebaikan dan keadilan dalam utang piutang. Keharaman riba
membuat jiwa manusia menjadi suci dari sifat lintah darat. Hal ini mengandung
pesan moral yang sangat tinggi.
4. Dari
Biasanya orang memberi utang adalah orang kaya dan orang berutang adalah orang
miskin. Mengambil kelebihan utang dari orang yang miskin yang sangat
bertentangan dengan sifat rahmat Allah swt. Hal ini akan merusak sendi-sendi
kehidupan sosial.[8]
Adapun
Sayyid Sabiq berpendapat, diharamkannya riba karena didalamnya terdapat unsur
yang merusak:
1. Menimbulkan
permusuhan dan menghilangkan semangat tolong menolong. Semua agama terutama
Islam sangat menyeru tolong menolong dan membenci orang yang mengutamakan
kepentingan pribadi dan egois serta orang yang mengekploitasi kerja orang lain.
2. Riba
akan melahirkan metal pemboros yang tidak mau bekerja, menimbulkan penimbunan
harta tanpa usaha tak ubahnya seperti benalu (pohon parasit) yang nempel di
pohon lain. Islam menghargai keja keras dan menghormati orang yang suka bekerja
dan menjadikan kerja sebagai sarana mata pencaharian, menuntun orang kepada
keahlian dan akan mengangkat semangat seseorang.
3. Riba
sebagai salah satu cara menjajah.
4. Islam
menghimbau agar manusia memberikan pinjaman kepada yang memerlukan dengan baik
untuk mendapat pahala bukan mengekploitasi orang lemah.[9]
Dampak
negatif diakibatkan dari riba sebagaimana tersebut di atas sangat berbahaya
bagi kehidupan manusia secara individu, keluarga, masyarakat dan berbangsa.
Jika praktek riba ini tumbuh subur di masyarakat maka tgerjadi sistem kapitalis dimana terjadi pemerasan dann penganiayaan terhadap kaum lemah. Orang kaya semakin kaya dan miskin semakin tertindas.
D.
HUKUM
BUNGA BANK
Sistem
bunga dalam bank mengharuskan mereka yang menitipkan uaang untuk jangka waktu
tertentu mendapat pengembalian uang titipan itu dari bank ditambah dengan bunga
yang jumlahnya telah ditentukan pada hari penitipan uang. Sebaliknya, kepada
mereka yang meminjam uang dari bank untuk jangka waktu tertentu oleh bank
diharuskan untuk mengembalkan uang yang dipinjam. Selain itu, ia pun harus
memberikan uang tambahan yang jumlahnya telah bdisepakati pada waktu
pengembalian pinjaman. Uang tambahan itu disebut dengan bunga.
Hukum
bunga bank tergolong masalah ijtihad. Oelh karena oitu, terdapat beberapa
pendapat tentang hokum bunga bank. Menurut penelitian penulis ada empat
kelompok ulama tentang hukum bunga bank. Pertama kelompok muharrimun (kelompok yang menghukuminya haram secara mutlak). Kedua
kelompok yang mengharamkan jika bersifat
konsumtif. Ketiga, muhallimun
(kelompok yang menghalalkan) dan keempat, kelompok yang menganggapnya syubahat. Lebih jelasnya, dapat dilihat
uaraian berikut ini:[10]
1. Abu
Zahra, Abu A’la al-Maududi, M. Abdullah al-Araby dan Yusuf Qardhawi, Sayyid
Sabiq, Jaad al-Haqq Ali Jaad al-Haqq dan Fuad Muhammad Fachruddin, mengatakan
bahwa bunga bank itu riba nasiah yang
mutlak keharamannya. Oleh karena itu, umat Islam tidak boleh berhubungan dnegan
bank yang memakai sistem bunga, kecuali dalam keadaan darurat. Tetapi Yusuf
Qardhawi tidak mengenal istilah darurat dalam keharaman bunga bank. Beliau
mengaharamkan bunga bank secara mutlak.
2. Mustafa
A. Zarqa berpendapt bahwa riba yang diharamkan adalah yang bersofat konsumtif
seperti yang berllaku pada zaman jahiliyah sebagai bentuk pemerasan pada kaum
lemah yang konsumtif. Berbeda yang bersifat produktif tidakalh termasuk haram. Hal senada juga
dikemukakan oleh M. Hatta. Dia membedakan
antara riba dan rente. Menurutnya riba itu sifatnya konsumtif dan
memeras si peminjam yang membutuhkan pinjaman uang untuk memenuhi kebutuhan
pokoknya. Adapun rente sifatnya produktif, yaitu dana yang dipinjamkan kepada
peminjam digunakan untuk modal usaha yang menghasilkan keuntungan.
3. A.
Hasan (persis) berpendapat bahwa bunga bank (rente) seprti yang berlaku di
Indonesia bukan termasuk riba yang diharamkan karena tidak berlipat ganda
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu dapat keberuntungan. (QS. Ali Imran:
130).
4.
Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam mukatamar di Siduarjo 1968
memutuskan bahwa bunga yang diberikan oleh bank kepada para nasabahnya atau
sebaliknya termasuk perkara syubahat (belum jelas keharamannya). Karena yang
diharamkan, menurut Muhammadiyah riba yang mengarah pemerasan sejalan dengan
QS. 2:279).
Artinya: Maka jika kamu tidak mmengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasuln-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya daan tidak (pula) dianiaya. (QS. Al-Baqarah:279).
Muhammadiyah masih ragu apakah ada unsur
pemerasan dalam operasional bank. Oleh karena itu, Muhammadiyah menganggapnya
syubahat. Tetapi Muhammadiyah membolehkannya jiak dalam keadaan terpaksa saja.
5. Fuad
Mohammad Fachruddin. Ia membedakan anatara riba dan rente. Menurutnya:
Dari silang pendapat tentang bunga bank di
atas dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1)
Pendapat yang
mengharamkan secara mutlak.
2)
Pendapat yang
mengharamkan jika bersifat kinsumtif. Tetapi jika bersifat produktif hukumnya
boleh.
3)
Pendapat yang
menghalalkan secara mutlak.
4)
Pendapat yang
menghukuminya sebagai perkara syubahat (belum pasti keharaman dan kehalalannya).
E.
Anlisis
Argumentasi
Masing-masing
klaim tentang hukum bunga bank yang dikemukakan oleh para ulama berakar dari
perbedaan penafsiran mereka terhadap nash
yang berbicara tentang riba. Sehingga masing-masing kelompok memiliki
argumentasi yang diayakininya benar. Terlebih masalah bunga bank termasuk
masalah ijtihad. Namun realitas yang bada bagi umat Islam termasuk di Indonesia
sudah menjadi terbiasa hidup dengan bunga bank tanpa ada perasaan risih dan
tidak menganggap bank itu sesuatu yang terpaksa atau darurat.
Praktik
pinjam meminjam uang dengan suku bunga tinggi dan akumulatif, seperti yang
dilakukan oleh para rentenir memang sering menimbulkan permusuhan antara warga
masyarakat. Rentenir sering dijuluki sebagai “lintah darat”. Hingga si peminjam
tidak lepas dari jeratan rentenir. Lalu lahirlah satu kelas dimasyarakat yang
hidup mewah dari hasil rentenir yang memeras pihak peminjam. Jika demikian
halnya, maka tidakalah diragukan bahwa sistem bunga/rente seperti itu dikutuk
dan haram hukumnya. Sebagaimana yang tgerjadi pada masa jahiliyah yang disebut
dengan riba qirat (utang) atau riba nasiah. Karena jelas di dalamnya
mengandung penganiayaan dan penindasan terhadap orang-orang yang membutuhkan.
Keharamannya bukan masalah berlipat ganda atau tidak. Tetapi ada pihak yang
diuntungkan dana ada pihak yang dirugikan. Jadi kesimpulannya riba itu
diharamkan dalam Islam karena mengandung kelebihan yang merugikan pihak
peminjam, sehingga pihak peminjam merasa teraniaya dan tertindas. Jika
kelebihan itu tidak merugikan salah satu puhak, maka tidak dinamakan riba.
Itulah riba yang dimaksud dalam ayat al-Qur’an :
Artinya:
Allah telah menghalalkan jula beli dan
mengharamkan riba. (QS. al-Baqarah : 2 / 275).
Kemudian
permasalahannya adalah apakah bunga bank didalamnya mengandung unsur
penganiayaan/penindasan atau tidak?
Bank
merupakan lembaga penting dan sistem bunganya merupakan satu mekanisme bank
unutk mengelola peredaran modal masyarakat. Masyarakat dapat menitipkan
modalnya kepada bank. Kemudian, bank meminjamkan dana itu kepada anggota
masyarakat lain yang membutuhkan. Masyarakat yang meminjam uang ke bank pada
umumnya digunakan sebagai moda usaha bukan untuk kebutuhan konsumtif. Dan ia
akan mendapatkan keuntungan dari usahanya.
Dengan
menitipkan uang kepada bank untuk jangka waktu tertentu, pemilik modal akan
kebhilangan haknya untuk menggunakan daya beli dari modalnya dalam jangka waktu
tertentu. Sebaliknya, yang bmeminjam dana tersebut melalui bank yang tidak lain
berasal dari modal titipan tadi dapat memanfaatkan modal tadi, sehingga
menghasilkan keuntungan. Berdasarkan prinsip tidak ada pihak yang dirugikan,
maka tidaklah adil kalau pemilik asli modal yang kehilangan hak untuk
menggunakan daya beli modalnya untuk jangka waktu tertentu tidak mendapat
imbalan. Sementara itu, peminjam dana yang menggunakannya untuki modal usaha
dan beruntung tidak harus membagi keuntungannya dengan pemilik asli modal.
Salah satu keberatan yang muncul terhadap sistem bunga bank karena jumlah atau
persentase bunga telah ditetapkan lebih dahulu. Maka sebagai alternatifnya
ditawarkan sistem bagi hasil yang berarti nanti diperhitungkan untung dan rugi
perusahaan. Kemudian, dibagi antara pemilik asli dan pengguna modal, baik
untungnya maupun ruginya. tetapi pengelolaan sistem bagi hasil sebagaimana yang
dipraktikkan oleh bank Islam permasalahannya sangat kompleks dan rumit tidak
efisien.
Hal
yang mungkin terjadi bahwa si peminjam dana dalam mengelolanya terjadi
kegagalan atau kerugian. Tetapi pada umumnya, masyarakat menerima dengan baik
dan merasa diuntungkan oleh sistem bunga bank. Penetapan besarnya persentase
bunga yang akan diterima memberikan perasaan pasti pada para pemilik modal.
Tidak adanya kepastian persentase bunga seperti yang terdapat dalam bank Islam
merupakan salah satu penyebab mengapa bank itu sukar menari modal.
Islam
memang mengajarkan kepada orang yang memiliki rezeki yang blebih agar membantu
meminjaminya kepada orang lain yang membutuhkan tanpa mengharap keuntungan.
Tetapi himbauan ini menjadi tidak relevan kalau modal yang dipindah-tangankan
untuk sementara itu meliputi jumlah besar dan untuk modal usaha bukan untuk
memenuhi kebutuhan konsumtif keluarga.
Syekh
Azhar Sayyid Thantawi yang juga mantan mufti besar berbeda dengan pendahulunya,
Syekh Jad al-Haq. Thantawi menyatakan bahwa bunga deposito berjangka di bank yang
ditetapkan besar persentasenya terlebih dahulu itu tidak haram menurut Islam.[11]
Fatwa ini sejalan dengan apa yang ditulis oleh Rasyid Ridha dalam Tafsir
al-Manar, “tidak termasuk riba seseorang yang memberikan kepada orang lain uang
untuk di investasikan sambil menentukan baginya dari hasil usaha tersebut kadar
tertentu. Karena transaksi semacam ini menguntungkan bagi pemilik dan pengelola
modal. Adapun riba yang diharamkan itu merugikan salah satu pihak tanpa alas an
serta menguntungkan pihak lain tanpa usaha.”
Diriwayatkan
dalam sebuah hadis, bahwa Jabir pernah memberikanutang pada Nabi. Ketika Jabir
mendatanginya, Nabi membayar utangnya dan melebihkannya. Beliau bersabda:
Artinya:
“Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik dalam membayar utang.”
F.
bank
dan Fee
Fee
artinya pungutan dana yang dibebankan kepada nasabah bank untuki kepentingan
administrasi, seperti keperluan kertas, dan biaya operasional. Pungutan itu
pada hakikatnya termasuk bunga. Maka permasalahannya tidak berbeda jauh dengan
masalah bunga bank. Ulama yang mengaharamkan bunga bank, maka mereka pun
mengharamkan fee, karena berarti itu
kelebihan, yaitu dengan mengambil manfaat dari sebuah transaksi utang-piutang.
Tegasnya, mereka menganggap fee adalah
riba, meskipun fee itu digunakan
untuk dana operasional. Adapun ulama yang menghalalkan bunga bank dengan alas
an keadaan bank itu darurat atau alas an lainnya, merekapun mengatakan bahwa fee bukan termasuk riba, oelh karena itu
hukumnya boleh. Disamping merekapun beralasan bahwa tanpa fee, maka bank tidak dapat beroperasi. Maka keberadaan sesuatu
sebagai alat sama hukumnya denga keberadaan asal. Dalam hal ini, hukum fee sama dengan bunga bank, yaitu boleh.
Baca Juga;/......
👉PENGERTIAN HAK DAN MILIK
👉HAK MILIK DAN AKAD
👉MUSAQQAH, MUZARA’AH, DAN MUKHABARAH
👉AL-WAKALAH (PERWAKILAN)
👉KHIYAR DALAM JUAL BELI
👉BANK, RIBA, DAN RENTE
👉ARIAH (PINJAMAN) DAN HIWALAH (PEMINDAHAN UTANG)
👉WAKAF
👉ASH-SHULHU (PERDAMAIAN)
G. Ringkasan
1.
Bank atau perbankan
adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa
dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang dengan tujuan memenuhi
kebutuha kredit dengan modal sendiri atau orang lain.
2.
Secara bahasa, riba
berarti tambahan. Dalam istilah hukum Islam, riba berarti tambahan baik berupa
tunai, benda, maupun jasa yang mengahruskan pihak peminjam untuk membayar
selain jumlah uang yang dipinjamkan kepada pihak yang meminjamkan pada hari
jatuh waktu mengembalikan uang pinjaman itu. Riba semacam ini disebut dengan
riba nasiah. Dalam nasiah mengandung tiga unsur:
a.
Adanya tambahan pembayaran atau modal yang
dipinjamkan.
b.
Tambahan itu tanpa resiko kecuali sebagai imbalan dari tenggang waktu yang
diperoleh si peminjam.
c.
Tambahan itu disyaratkan dalam pemberian
piutang dan tenggang waktu.
3.
Pembagian riba: pertama
riba nasiah (telah dijelaskan). Kedua
riba fadhal ialah riba yang
kedudukannya sebagai penunjang diharamkannya riba nasiah. Dengan kata lain, bahwa riba fadhal diharamkan supaya seseorang tidak melakukan riba nasiah yang sudah jelas keharamannya.
Maka Rasul melarang menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dnegan
gandum, kurma dengan kurma kecuali dengan sama banyak dan tunai.
4.
Seluruh ulama dan agama
samawi sepakat mengaharamkan riba karena dampaknya sngat negatif diantaranya:
a.
Menimbulakn permusuhan
dan menghilangkan semangat tolong menolong.
b.
Riba akan melahirkan satu
kelas dimasyarakat yang hidup mewah tanpa bekerja. Ia ibarat benalu yang tumbuh
yang merugikan pihak lain.
c.
Riba penyebab danya
penjajahan.
d.
Islam menghimbau agar
manusia memberikan pinjaman kepada yang memerlukan untuk mendapat pahala bukan
mngekploitasi orang lemah.
5.
Hukum bunga bank
tergolong masalah ijtihad. Oleh karena itu, terdapat beberapa pendapat tentang
hukum bunga bank dengan argumentasinya masing-masing. Pertama, kelompok muharrimun (kelompok yang menghukuminya
haram secara mutlak). Kedua, kelompok yang mengaharamkan jika bersifat
konsumtif jika produktif boleh. Ketiga, muhallilun
(kelompok yang menghalalkan) dan keempat, kelompok yang menganggapnya syubahat
(belum pasti keharaman dan kehalalannya).
6.
Fee
artinya pungutan dana yang dibebankan
kepada nasabah bank untuk kepentingan administrasi, seperti keperluan kertas,
dan biaya operasional. Pungutan itu pada hakikatnya termasuk bunga. Maka hukum
permasalahannya tidak berbeda jauh dengan masalah bunga bank.
Baca Juga;/.....
👉MUSAQQAH, MUZARA’AH, DAN MUKHABARAH
👉KHIYAR DALAM JUAL BELI
👉BANK, RIBA, DAN RENTE
👉ARIAH (PINJAMAN) DAN HIWALAH (PEMINDAHAN UTANG)
👉WAKAF
👉ASH-SHULHU (PERDAMAIAN)
Artikel terkait lainnya.... 👉AL-WAKALAH (PERWAKILAN)
👉KHIYAR DALAM JUAL BELI
👉SEDEKAH, HIBAH, DAN HADIAH
👉HARTA DAN PERMASLAHANNNYA
👉HAK MILIK DAN AKAD
[1] Ensiklopedia Indonesia, (Jakarta: Ikhtiar Baru, 1980), hlm.
393-394.
[2]
Fuad M.
Fachruddin, Riba dalam Bank, Koperasi,
Perseroan, dan Asuransi, (Bandung: PT. al-Maarif, 1985), hlm. 110.
[3] Masfuk Zuhdi, Masail fiqhiyah, (Jakarta: Haji
Masagung, 1988), hlm. 143.
[4] Nejatullah Shiddiqi, pemikiran ekonomi Islam, alih bahasa AM
Saefuddin, (Jakarta: LIPPM, 1986), hlm. 82-84.
[5] Masfuk Zuhdi, Op. cit. hlm. 144.
[6] Satria Efendi, Riba dalam Pandangan Fiqh, Kajian Islam tentang Berbagai Masalah
Kontemporer, (Jakarta: Hikmah Syahid Indah, 1988), hlm. 147.
[7] Quraish Shihab, Riba Menurut al-Qur’an, Kajian Islam tentang
Berbagai Masalah Kontemporer (Jakarta: Hikmah Syahid Indah, 1988), hlm.
136.
[8] Yusuf Qardhawi, Dr.,
al-Halal wa al-Haram, (Beirut: Maktabah al-Islamy, 1994), Cet. Ke-15, hlm.
242-243.
[9] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr,
2006), Juz III, hlm. 868.
[10] M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2000), hlm. 49.
[11] Munawir Syadzali, Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta:
Paramadina, 1977), Cet. Ke-1, hlm. 14.
0 Comment