A.
Sejarah
Mu’tazilah
Mu’tazilah berasal dari
kata i’tazala - ya’tazilu i’tizal –
i’tizalan; mu’tazilah, yang
berarti orang yang memisahkan diri atau mengasingkan diri. Kata tersebut dapat
dipakai dalam setiap tindakan, seperti apabila seseorang mengasingkan diri atau
memisahkan diri dari kelompoknya, maka orang itu dikatakan ber-i’tizal.[1]
Mengenai
tentang Asal Usul Mu’tazilah, ada tiga riwayat yang menerangkan arti kata “ اعتزل ”
(memisahkan diri, menjauhkan diri, dan menyalahi pendapat orang lain), yaitu:
1. Disebut Mu’tazilah karena Wasil bin ‘Atha
(meninggal 131 H) dan ‘Amr bin ‘Ubaid (meninggal 145 H) menjauhkan diri dari
pengajian Hasan Basri (meninggal 110 H) di Masjid Basrah dan kemudian mereka
membentuk pengajian sendiri. Sebagai kelanjutan pendapatnya tentang orang yang
melakukan dosa besar ( Murtakab Al-Kabir˜ah ), tidaklah dikatakan mukmin
lengkap dan kafir lengkap, melainkan ada pada satu tempat di antara dua tempat
( Manzilah Baina Manzilatain ).[2] Semuanya itu
dikarenakan keluarnya atau menjauhnya Wasil bin Atha dari majelis Hasan
Basri yang disebut dengan Mu’tazilah (orang yang menjauhkan diri atau orang
yang memisahkan diri).
2. Menurut riwayat lain,
disebut Mu’tazilah karena mereka menjauhkan (menyalahi) semua pendapat yang
telah ada tentang orang yang mengerjakan dosa besar.[3]
3. Disebut Mu’tazilah, karena pendapat
mereka yang mengatakan bahwa pembuat / pelaku dosa besar berarti menjauhkan
diri dari golongan orang-orang mu’min dan juga dari golongan orang-orang kafir.[4]
Ada perbedaan riwayat
ini dengan riwayat sebelumnya. Menurut riwayat yang kedua, Mu’tazilah
menjadi nama (sifat) golongan itu sendiri, karena mereka mencetuskan pendapat
baru yang menyalahi orang-orang yang sebelum mereka. Sedangkan menurut riwayat
yang ketiga, ke Mu’tazilahan mula-mula menjadi sifat si pelaku dosa besar,
kemudian menjadi sifat atau nama golongan yang berpendapat demikian, yaitu
pelaku dosa besar menyendiri dari orang-orang mukmin dan dari orang-orang
kafir. Penulis berpendapat bahwa riwayat yang benar adalah riwayat yang pertama
yang menerangkan bahwa Wasil bin Atha memisahkan diri dari majlis Hasan Basri,
ketika itulah munculnya nama mu’tazilah atau ‘intaza.
Dari ketiga riwayat
yang telah disebutkan di atas, dapat dipahami bahwa peristiwa munculnya aliran
Mu’tazilah adalah pada peristiwa yang dialami Hasan Basri dan kedua muridnya
(Wasil bin Atha dan ‘Amr bin ‘Ubaid), dan aliran Mu’tazilah muncul karena
persoalan agama semata-mata.
Secara politis,
golongan Mu’tazilah merujuk kepada sahabat seperti Sa’ad bin Abi Waqqas,
Abdullah bin Umar, dan Zaid bin Sabit yang mengambil sikap netral terhadap
pengangkatan Ali sebagai Khalifah keempat. Mereka tidak memberikan bai’at
dan dukunngan kepada Ali, melainkan memisahkan diri (I’tizal ) dari
permusuhan antara kubu Mu’awiyah dan Ali. Mereka memilih pergi ke Masjid membaca
Al-Qur’an dan mendalami pengetahuan agama dengan akal dan hati mereka.[5]
Demikian pula halnya dengan
Wasil bin ‘Atha yang bersikap netral terhadap pembunuhan Usman dan peperangan
antara Ali danThalhah, Zubeir dan Aisyah
dalam perang Jamal.[6]
Dengan persoalan itulah mereka disebut golongan Mu’tazilah, yang menyendiri
dari persoalan politik.
B.
Pemikiran
Mu’tazilah
Dalam melaksanakan
perannya, golongan Mu’tazilah mempunyai konsep atau pemikiran yang asasi
(pokok). Dengan pikiran-pikiran itulah mereka bisa dikatakan bahwa seseorang
itu penganut paham Mu’tazilah. Adapun pemikiran atau kosep-konsep mereka itu
adalah:
1.
Al-Ushũl Al-Khamsah
Para tokoh
Mu’tazilah mengumpulkan atau menyepakati Ushũl Al-Khamsah
yang menjadi ciri khas golongan ini, sehingga para tokoh Mu’tazilah mengatakan
“tidaklah disebut golongan Mu’tazilah apabila tidak meyakini Al-Ushũl Al-Khamsah”. Khiyath[7]
berpendapat “kami tidak mendorong atau mengajak orang-orang untuk sepakat
dengan kami tentang Al-’adl, dan mereka mengatakan dengan “Tasyb˜ih”
dan kebanyakan orang sepakat dengan kami tentang Tauhid dan al-‘Adl, mereka berbeda pendapat
dengan kami tentang persoalan Al-Wa’d Wal Wa’˜id,
Asm˜a’
dan Ahk˜am.
Tidaklah berhak atau tidak pantas seseorang itu dikatakan Mu’tazilah, sehingga
mereka sepakat dengan Al-Ushũl Al-Khamsah,
yaitu : At-Tauhid, Al’adl, Alwa’d Wal Wa’˜id, Al-Manzilah Baina
Manzilatain, Al-Amr Bilma’ruf Wan Nahyu ‘An Al-Mungkar.”[8]
Ungkapan Khiyath
di atas menimbulkan perbedaan pendapat antara kelompok atau Al-Firaq Al-
Islam, seperti mereka sepakat atau sependapat antara Jahmiyah dan
Mu’tazilah, tentang Takwil, dan
mereka berbeda pendapat tentang Qadar. Oleh karena itu, Al-Jahmiyah bukanlah termasuk
golongan Mu’tazilah.
Istilah Al-Ushũl Al-Khamsah
pada masa Wasil bin ‘Atha tidak lebih dari yang telah disebutkan di atas dan
sebahagian dari pembahasan pada masa Wasil bin ‘Atha belum matang menurut Syaharastani,[9] kemudian
disempurnakan oleh beberapa tokoh Mu’tazilah yang lain seperti Abu Huzail.
Penjelasan
tentang Al-Ushũl
Al-Khamsah itu adalah sebagai berikut:
a. Tauhid[10]
Semua orang Muslim
sepakat untuk mentauhidkan Allah SWT, akan tetapi kaum Mu’tazilah mentauhidkan Allah
dengan mentanzihkan (menyucikan) secara mutlak dari sifat-sifat makhluk,
dengan dalil firman Allah SWT:
ليس
كمثله شيء
”tidak ada yang menyerupai Allah dengan sesuatu”.
Bahwa Allah tidak bertubuh (jism),
tidak menyerupai, tidak berbentuk, tidak daging dan tidak darah.[11]
Tauhid,
memiliki arti “Penetapan bahwa Al-Quran itu adalah makhluk”, sebab jika Al-Qur’an
bukan makhluk, berarti terjadi sejumlah zat yang qadĩm (menurut mereka
Allah adalah Qadĩm, dan jika Al-Qur’an adalah Qadĩm, berarti syirik dan tidak
bertauhid). Disamping itu pemahaman Mu’tazilah
tentang tauhid juga menawarkan konsep Dzat dan Sifat, ta’wĩl dan
ru’yah Allah.
b. Al-’Adl
Dalam masalah Al-‘Adl, kaum Mu’tazilah
berkeyakinan bahwa manusia bebas memilih, bebas berkehendak dan bertanggung
jawab atas pilihan dan kehendaknya itu.[12] Menurut
mereka inilah yang disebut dengan keadilan Tuhan. Mereka beranggapan bahwa
kemaksiatan itu tidak mungkin datang dari Tuhan, karena manusia itulah yang
menciptakan kemaksiatan dan melakukannya. Mereka menamakan diri mereka dengan Ahlu
Al- ‘Adl .
Kata-kata Tuhan ‘Adl
mengandung arti bahwa segala perbuatannya adalah baik, bahwa Ia tidak dapat
berbuat buruk, dan bahwa Dia tidak dapat mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya
terhadap manusia.[13] Oleh
karena itu, Tuhan tidak bersifat zalim dalam memberi hukuman, tidak dapat
menghukum anak-anak orang musyrik lantaran dosa orang tuanya, tidak dapat
meletakkan beban yang tak dapat dipikul oleh manusia dan mesti memberi upah
kepada orang yang patuh kepadanya, dan memberikan hukuman terhadap orang yang
tidak patuh padanya.[14] Dalam
arti lain, keadilan juga berarti berbuat baik sebagaimana mestinya, serta
sesuai dengan kepentingan manusia dan memberi reword ataupun hukuman
kepada manusia sesuai dengan apa yang dilakukannya. Jelaslah apa yang
dikemukakan oleh Mu’tazilah tentang keadilan Tuhan mengandung arti
kewajiban-kewajiban yang harus dihormati Tuhan.[15]
Al-‘Adl ada dua konsep,
yaitu sifat dan perbuatan. Maka, demikianlah
konsep keadilan menurut Mu’tazilah, bahwa keadilan menghendaki supaya Tuhan
melaksanakan kewajiban-kewajibannya.
c. Al-Wa’d wa Al- Wa˜id
Janji dan Ancaman (Al-Wa’d
wa Al-Wa˜id)
adalah pokok ajaran ketiga kaum Mu’tazilah. Pembahasan ini erat kaitannya
dengan keadilan Tuhan, karena Tuhan itu tidak dikatakan adil kalau Dia tidak
memberikan ganjaran, yaitu memberi pahala (surga) kepada orang yang berbuat
baik, dan tidak menyiksa orang yang berbuat jahat.[16]
Menurut ‘Abdul Jabbar
bin Ahmad Al-Wa’du adalah :
أما الوعد فهو كل خبر يتضمن إيصال نفع إلى الغير أو
دفع ضرر عنه فى المستقبل[17]
“Al-Wa’d adalah setiap kabar atau berita
yang mencakup sampainya mamfaat kepada yang lain, atau menolak mudarat darinya
untuk yang akan datang”.
Sedangkan Al-Wa’id
menurut ‘Abdul Jabbar bin Ahmad adalah:
و أما الوعيد فهو كل خبر يتضمن إيصال ضرر إلى الغير
أو تفويت عنه المستقبل[18]
“ Al- Wa˜id adalah setiap khabar
yang mencakup sampainya mudarat kepada yang lain, atau lenyap darinya yang akan
datang”.
Al-wa’du wa Al- Wa˜id
maksudnya adalah apabila Tuhan mengancam sebagian hamba-Nya dengan siksaan,
maka tidak boleh bagi Tuhan untuk tidak menyiksa-Nya dan tidak menyalahi
ancaman-Nya, sebab Tuhan tidak mengingkari janji, artinya menurut mereka Tuhan
tidak memaafkan orang-orang yang dikehendaki-Nya dan tidak mengampuni dosa-dosa
(selain syirik) bagi yang dikehendaki-Nya.
d. Al-Manzilah baina Al-
Manzilataini
Al-Manzilah baina Al-Manzilataini
dalam istilah Mutakallimin, yaitu ilmu tentang orang yang melakukan dosa
besar namanya diantara dua nama, dan hukumnya antara dua hukum.[19]
Wasil bin ‘Atha
berpendapat bahwa sohib al-kabãir (pelaku dosa besar) bukanlah mukmin,
bukan juga kafir, dan bukan juga munafik, tetapi adalah fasik.[20] Maka,
yang dimaksud dengan Al-Manzilah Baina Al-Manzilataini adalah posisi
diantara duaposisi atau hukuman bagi
pelaku dosa besar.
Munculnya konsep ini
didasari pada masa Wasil bin ‘Atha ketika mengikuti majelis Hasan Basri, lalu
Wasil berbeda pendapat dengan gurunya tersebut tentang pelaku dosa besar.
Pelaku dosa besar menurut Wasil bin ‘Atha adalah pelaku dosa besar itu bukan
mukmin, bukan jaga kafir, dan bukan juga munafik, melainkan fasik. Maka, posisi
mereka adalah di antara dua posisi.
e. Al-Amru bi al- makruf wa an-
Nahu ‘an al- Munkar
Menurut Mu’tazilah Al-Amru
bi al- makruf wa an- Nahu ‘an al- Munkar hukumnya adalah wajib, semua kaum
Mu’tazilah sepakat tentang hukumnya kecuali Abu Bakar Al-Asham.[21] ini
didasari kepada:
·
Al-Qur’an
surat Ali ‘Imran ;110
“kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang
munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu
lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasik.”
·
As-Sunnah
Hadis diriwayatkan oleh Muslim dari Abu
Sa’id Al-Khudri:
من رأي منكم منكرا فليغيره بيده فان لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذالك أضعف الاءيمان (رواه مسلم(
“Siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran,
hendaklah mengambil tindakan secara fisik. Jika engkau tidak kuasa, lakukanlah
dengan ucapanmu. Jika itu pun tidak mampu, lakukanlah dengan kalbumu. (Akan
tetapi yang terakhir) ini merupakan iman yang paling lemah”. (H.R. Muslim)
·
Al-Ijmak[22], tidak
ada keraguan padanya karena ulama telah sepakat tentang Mu’tazilah Al-Amru
bi al- makruf wa an- Nahu ‘an al- Munkar.
Al-Amru bi AlMakruf
mengikut kepada makmur bih, jika sesuatu sunat, maka hukumnya sunat. Beda
halnya dengan An-Nahu ‘An al- Mungkar hukumnya wajib semuanya.
Meninggalkan yang mungkar itu wajib dikarenakan yang mungkar itu bersifat keji.[23]
Keterangan di atas
tersebut menjelaskan, bahwa untu melakukan Al-Amru bi al- makruf wa an- Nahu
‘an al- Munkar adalah wajib. Inilah konsep yang ditawarkan oleh Mu’tazilah
untuk menyelamatkan Iman seseorang, supaya seseorang itu mampu untuk
melaksanakan Imannya dalam perbuatannya sehari-hari.
2.
Akal
dan Wahyu
a.
Akal
Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan
teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan
persoalan yang dibawa oleh kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan, mereka
banyak menggunakan akal sehingga mereka mendapat nama kaum Rasionalis Islam. (Harun Nasution)[24]
Ilmu teologi yang
membahas tentang ke-Tuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia kepada Tuhan, memakai
akal dan wahyu dalam memperoleh pengetahuan tentang kedua hal yang tersebut.
Akal berfungsi sebagai daya berfikir yang ada dalam jiwa manusia, berusaha
keras untuk sampai kepada Tuhan, dan wahyu sebagai pengkabaran dari alam
metafisika yang turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan
dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan.[25]
Bagi kaum Mu’tazilah,
segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantara akal, dan
kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dengan
demikian, berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu adalah wajib.
Baik dan jahat dapat diketahui dengan akal demikian juga mengerjakan yang baik
dan menjauhi yang jahat adalah wajib.[26]
Kaum Mu’tazilah
berpendapat bahwa Akal dapat mengetahui segalanya, artinya akal dapat
mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk itu adalah
wajib.
b.
Wahyu
Ibn Abi Hasym dalam
menentang pendapat lawannya ( kaum Brahma) berkata “yang memperolok-olokkan
sujud sewaktu sembahyang, dan tawaf mengelilingi Ka’bah dan ritual-ritual di
dalam Islam tidak ada gunanya, oleh karena itu harus ditolak”. Lalu Ibn Abi
Hasym menjelaskan bahwa ritual-ritual dalam ibadah dapat diketahui manusia
melalui wahyu bukan melalui akal.[27]
Akal dapat mengetahui kewajiban
berterima kasih kepada Tuhan, tapi wahyulah yang menerangkan kepada manusia cara
yang tepat menyembahnya.
Fungsi wahyu bagi
Mu’tazilah adalah untuk memberikan konfirmasi dan informasi tentang perincian
hukum dan upah yang akan diterima manusia di akhirat.[28]
3.
Sifat
Tuhan
Dalam aliran teologi
Islam, hal yang menimbulkan dan membangkitkan adrenalin dalam perdebatan
mereka adalah tentang sifat Tuhan, yang menimbulkan pertanyaan apakah Tuhan
mempunyai sifat atau tidak? Jika Tuhan mempunyai sifat, mustahillah sifat itu
kekal seperti kekalnya zat Tuhan. Jika sifat-sifat itu kekal, maka yang
bersifat kekal bukanlah satu, tetapi banyak (ta’addud al-qudamã’ atau multiplicity
of eternals). [29]
Pemahaman kaum
Mu’tazilah mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat-sifat, dan tidak
berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan dan kehendak yang betul-betul
mutlak, tetapi kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan mempunyai batasan-batasan
tertentu, artinya Tuhan tidak mempunyai sifat. Ini bukan berarti bagi mereka
Tuhan tidak mengetahui, tidak mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai hajat dan
sebagainya. Menurut mereka, Tuhan tetap
mengetahui, tetap berkuasa dan sebagainya. Abu Huzail mengatakan bahwa Tuhan mengetahui dengan perantara
pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri.[30] Maka
pengetahuan-Nya menurut Abu Huzail adalah Tuhan itu sendiri, yaitu esensi atau
zat Tuhan itu sendiri. Artinya, Tuhan mengetahui dengan esensi-Nya, mendengar
dengan zat-Nya, melihat dengan Zatnya, dan berkata dengan Zat-Nya. Sedangkan
menurut Al-Juba’I, untuk mengetahui Tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat
dalam bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui.[31]
4.
Iman
dan Kufur
الإيمان عند أبي الهذيل هو عبارة عن أداء الطاعات الفرائض
منها و النوافل و اجتناب المقبحات[32]
“ Iman menurut Abi Huzail adalah ibarat dari melaksanakan keta’atan yang wajib
dan yang sunat, dan menjauhi yang keji-keji”.
Iman menurut Mu’tzilah
adalah pelaksanaan perintah-perintah Tuhan.[33]
Maksudnya adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada Tuhan. Jadi, orang yang
membenarkan (Tashîiq) dalam hati bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan
Muhammad Rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban itu tidak
dikatakan mukmin. Tegasnya, iman adalah amal. Iman tidak berarti pasif,
menerima apa yang dikatakan orang lain, iman mesti aktif karena akal mampu
mengetahui kewajiban-kewajiban kepada Tuhan dan berterimakasiah kepada-Nya.
Kaum Mu’tazilah
berpendapat bahwa orang mukmin yang mengerjakan dosa besar dan mati sebelum bertaubat,
tidak lagi dikatakan mukmin dan tidak pula kafir, tetapi adalah fasiq. Maka,
tempat mereka di akhirat tidak masuk neraka dan surga. Jelasnya menurut kaum
Mutazilah, orang mu’min yang berbuat dosa besar (Murtakab Al-Kabirah)
dan mati sebelum bertaubat, maka tempatnya adalah diantara dua tempat, yakni
antara neraka dan surga (Manzilah baina Manzilatain).
5.
Perbuatan
Manusia
Al-Juba’I menerangkan
bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya, berbuat baik dan
buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri.[34]
Perbuatan manusia diciptakan oleh manusia itu sendiri bukan oleh Tuhan.
Abdul Jabbar (wafat 415
H) berpendapat bahwa perbuatan manusia
bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang
mewujudkan perbuatannya.[35]
Perbuatan adalah apa yang dihasilkan dengan daya yang bersifat baru.[36]
Keterangan di atas
sudah menerangkan bahwa kehendak dan perbuatan manusia adalah kehendak manusia
sendiri, tanpa ikut campur tangan Tuhan. Kalaulah yang menciptakan perbuatan
manusia itu adalah Tuhan, tentu Tuhan itu bersifat zalim, karena manusia juga
ada yang berbuat buruk atau keji. Tuhan tentu tidak mungkin berbuat hal yang
demikian, tentu ini tidak dapat diterima oleh akal.[37]
Mu’tazilah berdalil dengan ayat;
“ yang membuat segala sesuatu yang Dia
ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah”.
xsù
ãNn=÷ès? Ó§øÿtR
!$¨B uÅ"÷zé&
Mçlm;
`ÏiB Ío§è%
&ûãüôãr& Lä!#ty_
$yJÎ/
(#qçR%x. tbqè=yJ÷èt [39]ÇÊÐÈ
“tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat
yang menanti, yang indah dipandang sebagai Balasan bagi mereka, atas apa yang
mereka kerjakan”.
Sekiranya
perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia, maka
pemberian pahala atau balasan dari Tuhan tidak ada artinya. Begitu juga ayat
yang memberi kebebasan kepada manusia untuk percaya atau tidak percaya. Agar
ayat ini tidak mengandung dusta, maka perbuatan manusia tetap perbuatannya,[40]
dan bukan perbuatan ke ikut sertaan Tuhan.
6.
Perbuatan
Tuhan dan Mihnah
a.
Perbuatan
Tuhan
Menurut aliran
Mu’tazilah, perbuatan Tuhan itu
mempunyai tujuan dalam perbuatan-perbuatan-Nya, tetapi karena Tuhan maha suci
daripada sifat-sifat yang berbuat
kepentingan dari manusia, perbuatan-perbuatan Tuhan adalah untuk
kepentingan yang maujûd yang lain selain Allah.[41]
Dengan demikian
golongan Mu’tazilah beraanggapan bahwa yang maujud itu diciptakan untuk
manusia sebagai makhluk tertinggi. Oleh karena itu, mereka mempunyai
kecenderungan melihat dari sudut kepentingan manusia, sesuai dengan kehendak
dan kekuasaan mutlak Tuhan. Maksudnya
adalah bahwa kekuasaan mutlak Tuhan mempunyai batas-batas, sedangkan Tuhan
menurut Al-Manar tidak bersifat absolute seperti halnya dengan raja-raja
yang menjatuhkan hukuman sekehendaknya semata-mata.[42]
Kewajiban Tuhan
terhadap manusia menurut Mu’tazilah, yaitu; kewajiban Tuhan menepati
janji-janji-Nya, mengirim Rasul-rasul untuk memberi petunjuk kepada manusia,
memberi rezeki kepada manusia dan sebagainya.[43] Pemahaman
ini muncul karena konsep Mu’tazilah tentang keadilan Tuhan dan berjalan sejajar
dengan faham adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.[44]
Perbuatan Tuhan
menurut Mu’tazilah tidak terlepas dari soal Al-Shalâh Wa Al-Aslah (berbuat
baik dan terbaik).[45] Inilah term
Mu’tazilah yang menerangkan tentang kewajiban Tuhan berbuat baik dan yang
terbaik untuk manusia.
b.
Mihnah
Aliran mu’tazilah
dijadikan sebagai mazhab negara pada masa dinasti Abbasiyyah, yaitu pada masa
pemerintahan tiga orang khalifah; Al-Makmun ( 813-833 M), Al-Mu’tashim (
833-842 M ), dan Al- Wasiq ( 842-847 M).
Dalam masa pemerintahan khalifah inilah, Mu’tazilah melakukan ujian keyakinan (
Mihnah) dengan Mengatakan
Al-Qur’an adalah makhluk ( Khuluq Al-Qur’an), ini
dilakukannya karena Mu’tazilah berkeyakinan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah,
kalam itu terdiri dari kata-kata, kata-kata itu tersusun dari huruf-huruf, dan
terdiri dari surat-syrat dan ayat-ayat, bahkan turunnya Al-Qur’an ada yang
dahulu ada yang kemudian, sehingga Al-Qur’an itu tidah bisa dikatakan qadĩm melainkan
al-Qur’an itu adalah baharu artinya diciptakan oleh Tuhun. Disisi lain logika
yang ditawarkan Mu’tazilah adalah jika Al-Qur’an itu qadĩm, tentu terjadi dua yang qadĩm, itu
adalah mustahil menurut akal.
Mihnah
ini dilakukan oleh Mu’tazilah karena mereka melihat ini adalah suatu yang amat
penting, mempunyai hubungan yang erat dengan akidah, maka orang yang tidak
mengatakan Al-Qur’an Makhluk dikatakan Syirik di penjara dan disisksa seperti
Ibnu Taimiyah. Segi lain menunjukkan bahwa ajaran pokok Mu’tazilah adalah
Al-Amru bi Al -Makruf wa An- Nahu ‘an Al- Mungkar,
dengan landasan ini juga mereka melakukan ujian keyakinan.
C.
Ciri-ciri
kerasionalan aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah salah
satu teologi Islam yang di juluki rasionalis dalam Islam. Corak pemikiran
mereka memberi wawasan yang besar kepada akal dalam memecahkan persoalan
keagamaan dengan cara melakukan takwil kepada nash. Karena, menurut keyakinan,
Al quran dan hadist tidak mungkin bertentangan dengan akal pikiran yang sehat.
Ciri-ciri kerasionalan mereka adalah :[46]
1.
Mereka
memberikan akal kedudukan yang tinggi. Dengan memberikan kedudukan yang tinggi
mereka tidak mengambil arti harfiah dari teks wahyu yang tidak sejalan dengan
pemikiran filosofis dan ilmiah.
2.
Manusia,
menurut mereka bebas, bebas berbuat dengan berkehendak. Karena akal kuat,
manusia menurut paham mereeka, mampu berdiri sendiri, mempunyai kebebasan dan
kemauan serta kehendak yang mampu berpikir secara mendalam.
3.
Keadilan
Tuhan. Paham ini membawa mereka kepada keyakinan adanya hokum alam (sunatullah)
.
Melihat kepada
ciri-ciri diatas, mereka adalah kaum yang kritis, mereka baru menerima satu
pendapat apabila sesuai dengan pemikiran filosofis dan ilmiah mereka.
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Mu’tazilah adalah
aliran kalam atau aliran teologi dalam Islam yang sangat terkenal dengan
rasionalis dalam Islam. Seseorang baru bisa dikatakan berfahamkan atau golongan
Mu’tazilah, apabila seseorang itu meyakini Al-Ushûl Al-Khamsah dan
ajaran-ajaran pokok Mu’tazilah lainnya.
Golongan ini dalam
menjalankan atau menerapkan pikiran atau konsep teologinya berusaha untuk
menyucikan Allah dari sifat-sifat tercela. Golongan inipun lebih mendahulukan
Akalnya dari pada wahyu. Menurut mereka wahyu hanya berfungsi sebagai pemberi
berita atau informasi dalam menjalankan ritual-ritual ibadah.
b.
Saran
Makalah ini, tentu
masih ada kekurang-kekurang, karena dalam makalah ini penulis hanya
mengetengahkan pokok-pokok pemikiran aliran Mu’tazilah, penulis tidak
menyajikan perdebatan atau perbedaan pendapat.
Maka harapan penulis
kepada kita semua supaya bisa untuk membahas, hal-hal yang berkaitan dengan
perdebatan-perdebatan yang terjadi antara golongan-golongan teologi yang lain.
Setiap pokok pikiran yang dilontarkan Mu’tazilah, menimbulkan perdebatan atau
perbedaan pendapat dengan, aliran teologi Islam yang lain, seperti Kawarij, Murji’ah, Ahlhu sunnah
dll.
Wallahu
‘Alam bis Sawab
DAFTAR KEPUSTAKAAN
A. Hanafi. Pengantar Theology Islam. 1995. Jakarta
: PT. Al-Husna Zikra, Cet. Ke - 6.
Amin, Ahmad. 1963. Dhuha al- Islam, Al-Qahirah:
Maktab al-nahdhat al-Mishat.
Dusar, Bakri. 2001. Tauhid dan Ilmu Kalam, Padang:
IAIN-IB Press.
Jabbar ,‘Abdu bin Muhammad. 1996 M/ 1416 H. Syarh
Al-Ushũl
Al-Khamsah, Qohirah-Mesir: Maktabah Wahbah.
Jalal Syaraf, Muhammad dan Ali Abd al-Mu’thi Muhammad. 1987.Al-fikr
al-Siyãsi fi Al-Islãm, Iskandariyah : Dar al-Ma’rifah.
Nasution, Harun. 1983. Teologi Islam aliran-aliran sejarah analisa
perbandingan, Jakarta: Universitas Indonesia.
Subhi, Ahmad Mahmud. 1985 M/1405 H. Fi ‘Ilmi Kalãm
Dirãsah Falsafiyyah Li Arãi Al-firak Al-Islamiyyah Fi Ushul Al-Din
Al-Mu’tazilah, Bairut-Libanon: Dar an Nahdhah al Arabiyah.
Sueb, Musa. 2004. Kekuasaan Manusia & Takdir
Tuhan. Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya.
Zar, Sirajuddin. 2002. Aliran Mu’tazilah dan
Sambungannya Terhadap Ilmu Kalam, Padang: IAIN-IB Press.
------------------. 2003.Teologi Islam Aliran dan
Ajaran, Padang : IAIN-IB Press.
[1] Sirajuddin
Zar, Aliran Mu’tazilah dan Sumbangannya
Terhadap Ilmu Kalam, ( Padang: IAIN –IB Press, 2002), h.31
[2] A.
Hanafi, Pengantar Theology Islam, ( Jakarta PT.Al-Husna Zikra, 1995),
cet. Ke-6, hal.65
[3] Ibid
[4] Ibid
[5]
Musa Sueb, Kekusaan Manusia & Takdir Tuhan, ( Jakarta CV. Pedoman
Ilmu Jaya, 2004), hal.26. lihat juga Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abd
al-Mu’thi Muhammad, Alfikr al-Siyasi fi Al-Islam, (Dar al-Ma’rifah,
Iskandariyah, 1987), hal.129.
[6] Ibid, hal.26, lihat juga Ahmad Amin,Duha
Al- Islam,( Al-Qahirah: Maktab al-nahdhat al-Mishat, 1963),
hal.78-79
[7]
Alkhiyath: Al Intishar Tahqiq An- Nabruj, 123-126, yang dikutip oleh
ahmaad Muhammad Subhi.
[8]
Ahmad Mahmud Subhi Op.Cit, hal.119
[9] Ibid.
[11]Ibid.
[12]
Sirajuddin Zar, Op.Cit, hal. 49
[13]
Harun Nasution, Op.Cit, hal.124, lihat juga di dalam Syarah Al-Ushũl Al-Khamsah karangan Abdul jabbar bin Ahmad, فإذا قيل إنه تعالى عدل فالمراد به أن أفعاله كلها
حسنة و أنه لا يفعل القبيح ولا يخل بما هو
واجب عليه
“apa bila dikatakan sesungguhnya Tuhan yang maha tinggi Adil, maka maksudnya
adalah, Tuhan melaksanakan kebaikan, dan Tuhan tiak melakukan yang keji, maka
Tuhan itu wajib berbuat baik.”
[14] Ibid,
hal. 124-125
[15] Ibid.
[16]
Sirajuddin Zar, Op.Cit, hal.53
[17]’Abdu
Jabbar bin Muhammad, Syarah Al-Ushũl Al-Khamsah, Maktabah Wahbah
Al-Qahiroh-Mesir, 1996 M/1416 H., hal.134
[18] Ibid
[19] Ibid,
hal.137
[20] Ibid,
hal.138
[21]
Ahmad Muhammad Subhi, Op.Cit, hal.166
[22] ’Abdu Jabbar bin Muhammad , Op. Cit, hal.142
[23] Ahmad Muhammad Subhi, Op.Cit, hal.167
[24] Harun Nasution, Op.Cit, hal.38
[25] Ibid, hal.79.
[26] Ibid, hal.80.
[27] Ibid, hal.96.
[28] Ibid,
hal.98.
[29] Ibid,
hal. 135
[30] Ibid.
[31] Ibid,
lihat juga Maqolat, II/176-178
[32] ‘Abdul
Jabbar bin Ahmad, Op.Cit, hal.707
[33]
Harun Nasution, Op.Cit.hal.147
[34] Ibid,hal.
102
[35]
‘Abdul Jabbar bin Ahmad,Op.Cit, hal.323
[36]
Harun Nasution, Loc. Cit,
[37] Ibid,
hal. 104-105.
[38]
Q.S. Al-Sajdah, ayat 7.
[39]
Q.S. Al-Sajdah, ayat 17.
[40]
Harun Naution, Op.Cit, hal.105-106.
[41]
Bakri Dusar, Tauhid dan Ilmu Kalam,( Padang IAIN-IB Press, , 2001),
hal.57
[42] Ibid.
[43]
Harun Nasution, Op. Cit, hal.128.
[44] Ibid.
[45] Ibid,
hal.129.
[46] Sirajuddin Zar, Op.Cit, h. 10-12
0 Comment