BAB I
PENDAHULUAN
Alhamdulillah
wassolatu wassalama ‘ala rosulillah la nabiyya ba’dah, tanpa terasa pembahasan
sejarah pemikiran dalam islam telah sampai pada Maturidiyyah Samarqand dan
Bukhara.
Maturidi dan
Asy’ari muncul sebagai reaksi terhadap Mu’tazilah yang terlalu mengandalkan
Akal, khususnya Otak Bagian Kiri, dimana ciri-cirinya adalah : Rasional,
terkait IQ, Kognitif, Logis, Realistis,
Analistik, Kuantitatif, Serial, Linier, Terencana, Kausal, Fokus, Verbal,
Intrapersonal, Motorik Kanan, sedangkan Asy’ari dan Maturidi lebih mendahulukan
Wahyu yang ditemani Akal khususnya Otak
Kanan , dimana ciri-cirinya adalah : Emosional, Terkait EQ, Afektif, Intutif, Imajinatif, Artistik, Kualitatif, Spasial, Paralel, Lateral, Tak Terencana,
difus, Visual, Interpersonal, Motorik Kiri. Kalau tidak salah Dengan ini kami
ingin menyampaikan pendapat bahwa kurang
tepat rasanya jika mengatakan bahwa Mu’tazilah mendahulukan Akal dari pada
wahyu dan Asy’ari serta Maturidi mendahulukan Wahyu dari Akal, tapi menurut pemahaman
kami Mu’tazilah dan Asy’ari sama-sama mendahulukan wahyu tapi ketika
memahaminya Mu’tazilah kebanyakan porsinya menggunakan Otak Kiri, sedangkan
Asya’ari dan Maturidi lebih Dominan Otak Kanannya.
Adapun
hal-hal yang akan kita bahas dalam makalah ini adalah pendapat-pendapat Maturidi Samarqand dan
Maturidi Bukhara tentang akal dan wahyu,
perbuatan manusia, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, sifat Tuhan, melihat
Tuhan kalam Tuhan, perbuatan manusia ( baik dan buruk )
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang Masalah
Aliran al-Maturidiyah adalah sebuah aliran yang tidak jauh berbeda dengan aliran al-Asy’ariyah. Keduanya lahir sebagai bentuk pembelaan
terhadap sunnah. Bila aliran al-Asy’ariyah berkembang di Basrah maka aliran
al-Maturidiyah berkembang di Samarkand.
Kota tempat aliran ini lahir merupakan salah satu kawasan peradaban
yang maju. menjadi pusat perkembangan
Mu’tazilah. Sehingga lahirnya aliran maturidiyah sebagai bentuk perlawanan
terhadap pemikiran mu’tazilah pada masa tersebut yang lebih condong
berfikir dengan cara filosof yunani.[1]
B. Sejarah Timbul Al-Maturidiyah
Aliran al-Maturidiyah berdiri atas prakarsa
al-Maturidi pada tahun pertama abad ke-4 H di wilayah Samarkand.[2] Aliran ini sebenarnya dilahirkan untuk memenuhi kebutuhan
mendesak yang menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstrimitas kaum
rasionalis, dimana pada waktu itu yang berada dibarisan paling depan adalah
Mu’tazilah, maupun kaum tekstualitas yang dipelopori oleh kaum Hambaliyah (para
pengikut Imam Ibnu Hambal).
Pada awalnya asy’ariyah dan maturidiyah ini dipisahkan oleh jarak. Aliran Asy’ariyah
berkembang di Irak dan Syam (Suriah) kemudian meluas sampai ke Mesir sedangkan
aliran Maturidiyah di Samarqand dan di daerah-daerah seberang sungai
(Oxus-pen). Pada perkembangan selanjutnya
kedua aliran ini bisa hidup dalam pemikiran yang kompleks dan membentuk suatu mazhab. Ini karena adanya perbedaan sudut pandang mengenai masalah-masalah fiqh
pada kedua aliran.Ini menjadi faktor pendorong untuk mereka berlomba dan survive.
Orang-orang Hanafiah (pengikut imam Hanafi) membentengi aliran-aliran maturidiyah dan mereka kaitkan akarnya sampai pada imam
Abu Hanifah sendiri. Teolog yang juga bermazhab Hanafiyah seperti Maturidi
adalah Abu Ja’far al-Tahawi dari Mesir. Dia adalah seorang ulama besar di bidang
hadits dan fiqh yang telah mengembangkan dogma-dogma teologi yang lebih besar.
Pada perkembangan selanjutnya, mazhab Asy’ariyah tetap
populer pada pengikut Syaf’iyah dan mazhab Maturidiyah terbatas penganutnya di
antara pengikut Hanafi.[3]
C. Biografi
a. Abu
Manshur Al-Maturidi (pendiri Maturidiyah Samarkand)
Nama lengkap beliau adalah
Muhammad Bin Muhammad Abu Manshur Al-Maturidy. Garis keturunannya masih
bersambung dengan sahabat Abu Ayub Al-Anshary.[4]Dia
lahir dikota Maturid, Samarqand. Tahun kelahirannya tidak diketahui dengan
jelas, diperkirakan sekitar tahun 238 dan kemudian meninggal pada tahun 333 H.
Beliau juga digelari imam al-huda, imam al-mutakallimin, dan raiys ahlussunnah.[5]
Sedikit yang dapat diketahui secara
langsung dari dirinya, mazhab yang
dibentuknya berkembang tegak melalui tulisan murid-muridnya.Ia memperoleh
pelajaran ilmu fiqh dan ilmu kalam dari seorang alim bernama Ali Nazar Bin Wahya Al-Baikhi, yang dalam negerinya sedang terjadi
perdebatan antara ulama fiqih dan hadits dengan orang-orang Mu’tazilah baik
mengenai ilmu kalam, maupun ilmu fiqih dan pokok-pokoknya. Dan Abu Hanafi juga
termasuk salah satu gurunya. Dari guru-gurunya itulah membuat al Maturidi dikenal dalam bidang fiqih,
ilmu Kalam, tafsir sekalipun akhirnya ia lebih populer sebagai mutakallimin.
Oleh karena ia lebih banyak memfokuskan perhatiannya kepada ilmu kalam, karena
ketika itu ia banyak berhadapan dengan paham teologi lain seperti Mu’tazilah[6]
Suasana yang penuh
pertentangan itu mendorong Maturidi bersungguh-sungguh menyelidiki persoalan-persoalan tsb, sehingga
akhirnya ia menjadi seorang alim dalam ilmu fiqh dan ushul-ushulnya, serta dalam ilmu kalam. Ulama yang ahli tentang
ushuluddin waktu itu sangat sedikit sehingga ia terpaksa mengembara kian kemari
untuk memperoleh bahan-bahan dan alasan yang dikehendakinya, sebagaimana ia
pernah pergi ke Bashrah sampai 22 kali untuk menghadiri ceramah-ceramah
mengenai “aqaid dan kuliah-kuliah ilmu fiqh sampai akhirnya ia menjadi ahli dalam
ilmu tersebut.[7]
Sistem berfikir maturidi tidak berbeda banyak dengan Al-Asy’ari. Banyak segi-segi persamaan, disamping ada sekitar
10 masalah yang berbeda pendapat antara lain: masalah taqdir. Asy’ari tampak
lebih dekat kepada Jabariyah sedangkan Al-Maturidi tampak lebih dekat kepada
Qadariyah. Persamaannya, adalah menentang Mu’tazilah.[8]
Karena beliau hidup di masa ketika sekte Mu’tazilah mempergunakan teknik logika
Yunani untuk berdebat. Ia mempergunakan argumen itu juga untuk mempertahankan
teologi Islam.[9]
Karangan beliau terbagi dalam
3 cabang penting yaitu tafsir, ilmu kalam dan ushul fiqih. Di antara karya
beliau dalam ilmu kalam adalah kitab tauhid yang menunjukkan kemampuan nalar
dan keluasan wawasannya dalam menggunakan dalil-dalil, aqaid untuk mempertahankan
pendapatnya. Buku ini juga memperlihatkan kepada kita bagaimana beliau
menguasai beragam pendapat yang bertolak belakang dengan ajaran ahlus-sunnah
wal jamaah baik itu dimiliki kelompok yang menyandarkan pada ajaran Islam atau
di luar Islam. Semua itu kemudian digabungkan dengan kemampuan logika
yang tinggi. Hal ini bukanlah sesuatu yang mudah kecuali bagi orang yang telah
menguasai dalil-dalil aqli yang ada dan paham akan penggunannnya. Kepandaian
beliau juga sangat menonjol dalam penggunaan bahasa. Terbukti dengan komentar
Az-Zamakhsyari terhadap beliau berbunyi “tidaklah metode ini ditempuh melainkan
oleh seseorang yang ahli dalam ilmu ma’ani dan ilmu bayan.[10]
Karya beliau dalam bidang tafsir adalah ta’wilatul quran, sedangkan
dalam ushul fiqh adalah ma’khadussyarai dan jadal namun kedua
karyanya yang akhir ini tidak ditemukan.
Pemikiran-pemikiran al Maturidi jika dikaji lebih dekat, maka akan didapati
bahwa al Maturidi memberikan otoritas yang lebih besar kepada akal manusia
dibandingkan dengan Asy’ari. Namun demikian di kalangan Maturidiah sendiri ada
dua kelompok yang juga memiliki
kecenderungan pemikiran yang berbeda yaitu kelompok Samarkand yaitu
pengikut-pengikut al Maturidi sendiri yang paham-paham teologinya dan kelompok
Bukhara yaitu pengikut al Bazdawi yang condong kepada Asy’ariyah.
b. Imam al Bazdawi (pendiri Maturudiyah
Bukhara)
Nama
lengkapnya ialah Abu Yusr Muhammad bin Muhammad bin al Husain bin Abd. Karim al
Bazdawi, dilahirkan pad tahun 421 H.18 Kakek al Bazdawi yaitu Abd. Karim,
hidupnya semasa dengan al Maturidi dan salah satu murid al Maturidi, maka
wajarlah jika cucunya juga menjadi pengikut aliran Maturidiyah. Sebagai tangga
pertama, al Bazdawi memahami ajaran-ajaran al Maturidi lewat ayahnya.[11]
Al
Bazdawi mulai memahami ajaran-ajaran al Maturidiyah lewat lingkungan
keluarganya kemudian dikembangkan pada kegiatannya mencari ilmu pada
ulama-ulama secara tidak terikat. Ada beberapa nama ulama sebagai guru al
Bazdawi antara lain : Ya’kub bin Yusuf bin Muhammad al Naisaburi dan Syekh al
Imam Abu Khatib. Di samping itu, ia juga menelaah buku-buku filosof seperti al
Kindi dan buku-buku Mu’tazilah seperti Abd. Jabbar al Razi, al Jubba’i, al
Ka’bi, dan al Nadham. Selain itu ia juga mendalami pemikiran al Asy’ari dalam kitab
al Mu’jiz. Adapun dari karangan-karangan al Maturidi yang dipelajari ialah
kitab al Tauhid dan kitab Ta’wilah al Qur’an.[12]
Al
Bazdawi berada di Bukhara pada tahun 478 H / 1085 M. Kemudian ia menjabat
sebagai qadhi Samarkand pada tahun 481 H / 1088 M, lalu kembali di Bukhara dan
meninggal di kota tersebut tahun 493 H / 1099 M.
D. Pokok-pokok Ajarannya
a.
Maturidiyah Samarkand
Sebagai pengikut Abu Hanifah
yang banyak memakai rasio dalam pandangan keagamaannya, al-Maturidi banyak pula
memakai akal dalam sistem teologinya. Oleh karena itu antara teologinya dan
teologi al-Asy’ariyah banyak perbedaan, sungguhpun keduanya timbul sebagai
reaksi terhadap aliran Mu’tazilah.
Akal dan Wahyu
Berbicara
mengenai akal dan wahyu dalam paham teologi, maka ada empat masalah pokok yang
diperdebatkan. Apakah keempat masalah tersebut dapat diketahui akal atau
tidak,
apakah hanya dapat diketahui oleh wahyu dan lain sebagainya. Keempat masalah
pokok tersebut adalah : Mengetahui Tuhan, Kewajiban mengetahui Tuhan,
Mengetahui baik dan buruk dan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang
buruk sebelum datangnya wahyu.
Al
Maturidi berpendapat bahwa akal dapat mengetahui eksistensi Tuhan. Oleh karena
Allah sendiri memerintahkan manusia untuk menyelidiki dan merenungi alam ini.
Ini menunjukkan bahwa dengan akal, manusia dapat mencapai ma’rifat kepada
Allah.[13]
Mengenai
kewajiban manusia akan kemampuan mengetahui Tuhan dengan akalnya menurut al
Maturidi Samarkand sebelum datangnya wahyu itu juga adalah wajib diketahui oleh
akal, maka setiap orang yang sudah mencapai dewasa (baligh dan berakal)
berkewajiban mengetahui Tuhan.16sehingga
akan berdosa bila tidak percaya kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu.
Begitu
pula mengenai baik dan buruk, akal pun dapat mengetahui sifat baik yang
terdapat dalam yang baik dan sifat buruk yang terdapat dalam yang buruk. Dengan
demikian, akal yang juga tahu bahwa berbuat buruk adalah buruk dan berbuat baik
adalah baik. Akal selanjutnya akan membawa kepada kemuliaan dan melarang
manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan yang membawa kepada kerendahan.
Perintah dan larangan dengan demikian menjadi wajib dengan kemestian akal. Yang
diwajibkan akal adalah adanya perintah larangan yang dapat diketahui akal
hanyalah sebab wajibnya perintah dan larangan itu.[14]
Adapun
mengenai kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk, menurut paham
Maturidiah Samarkand akal tidak berdaya mewajibkan manusia terhadap hal
tersebut. Karena kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk hanya dapat
diketahui oleh wahyu.
Tentang sifat-sifat Tuhan
Bagi
al Maturidi bahwa Tuhan itu mempunyai sifat-sifat, tetapi sifat-sifat itu bukan
zat. Dengan kata lain sifat-sifat itu bukanlah suatu yang berdiri pada zat,
seperti: Tuhan mengetahui bukan dengan zat-NYA, tapi dengan pengetahuan-NYA.
Sifat itu qadim dengan qadimnya zat. Kekalnya sifat-sifat itu sendiri, akan
tetapi kekalnya sifat itu melalui kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan.
Oleh
karena sifat-sifat itu bukan berdiri sendiri maka tidaklah terjadi ta’addud
al qudama’ sebagaimana paham Mu’tazilah yang menafikan sifat karena
beranggapan akan terjadi ta’addud al qudama’[15]
Tentang perbuatan manusia
Maturidi
berpendapat bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan. Ada dua jenis
perbuatan yakni : perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan
dimanifestasikan dalam bentuk penciptaan daya dalam diri manusia, dan pemakaian
daya itulah merupakan perbuatan manusia.
Dari
keterangan di atas dapat dilihat bahwa Maturidi mengambil jalan tengah antara
Mu’tazilah dengan Asy’ariyah, dimana Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia
menciptakan perbuatannya dengan adanya kemampuan yang diberikan oleh Allah
kepadanya, sedangkan pendapat Asy’ariyah yang menyatakan bahwa manusia tidak
mempunyai efektifitas dalam perbuatannya karena ia hanya memiliki kasab yang
terjadi bersamaan dangan penciptaan daya dan bukan pengaruh dirinya. Sedangkan
Maturidi memandang kasab itu ada karena kemampuan dan pengaruh manusia.
Tentang dosa besar
Ia sepaham dengan Asy’ary yaitu orang yang berdosa besar masih tetap mukmin.
dan soal dosa besarnya nanti akan ditentukan Allah kelak diakhirat. Jadi Ãa
menolak faham posisi menengah kaum Mu’taziiah.
Tentang al-wa’ad wal wa’id
Beliau sepaham dengan
Muktazilah bahwa janji dan ancaman Allah tidak boleh tidak mesti tcrjadi kelak.
Tentang antrophomorphisme
Al-Maturidi juga sependapat
dengan Mu’tazilah. Ia tidak sependapat
dengan Asy-ari bahwa ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk
jasmani tak dapat di interpretasi atau ta’wil. Menurut pendapatnya bahwa tangan, wajah dan
sebagainya di beri arti majazi atau kiasan.
Ada banyak konsep yang beliau
kemukakan namun kiranya yang perlu diketahui sanggahan beliau terhadap
pandangan Mu’tazilah yang menetapkan bahwa apa
yang dilakukan oleh Allah itu bukan dengan ikhtiar tapi karena suatu keharusan
dan hal lain yang berhubungan dengan fi’lullah
Beliau mengatakan bahwa af’al
yang dimiliki oleh Allah adalah dalam bentuk penciptaanya (khuluqan wa
iyjadan), sedangkan yang dimiliki manusia adalah kasb sebagai bentuk
ciptaan. Semua ini sebagai dasar bahwa fi’il Allah sebagai sesuatu yang dilihat
secara hakikatnya dan fi’il manusia
sebagai majaz. Teori yang beliau kemukakan nantinya sebagai radd atas paham Jabariyah, Qadariyah dan Mu’tazilah.
Secara umum aliran
al-maturidiyah tidak jauh berbeda dengan al-asyariyah dalam prinsip dasar-
hanya berbeda dalam pengungkapan atau penjelasannya. Yang paling menonjol
adalah bahwasanya asy’ary berpendapat Maturidi menyetujui kebebasan berkehendak
sesuai dengan konsekuensi logis dan gagasan keadilan dan gagasan pembalasan
Tuhan, sedang al-Asyari berpendapat bahwa kehendak Tuhan tidak dapat
dibayangkan dalam kapasitas logika manusia. Tuhan dapat saja mengirim manusia
yang baik ke dalam neraka. Al-Maturidi mengakui bahwa pahala dan atau hukurnan
adalah sebanding dengan perbuatan manusia itu sendiri.
Perbedaan lain al-asy’ari berpendapat
bahwa makrifat kepada Allah adalah berdasarkan tuntunan syara’, sedangkan al-
Maturidi berpendapat hal itu diwajibkan oleh akal fikiran. Sesuatu itu baik atau
buruk, diwajibkan oleh syara’ atau
dilarangnya. Sedangkan menurut al-Maturidi, sesuatu itu sendiri mempunyal sifat
baik dan buruk. Dalam hal ini al-Maturidy tampak lebih mendekati Mu’tazilah.
Sekalipun
aI-Maturidiyah memberikan porsi akal fikiran lebih banyak dan karena itu dia
mendakati Mu’tazilah. Namun bila diperhatikan ternyata terdapat pula perbedaan.
Mu’tazilah berpendapat bahwa ma’rifat kepada Allah adalah kewajiban akal
fikiran namun al-Maturidi menilai bahwa makrifat kepada Allah mungkin merupakan kewajiban akal fikiran,
tetapi kewajiban itu tidak akan terjadi kecuali dengan izin yang membuat
kewajiban yaitu Allah swt.
- Maturidiyah Bukhara (al Bazdawi)
Ada beberapa pemikiran al Bazdawi yang dapat di
kemukakan, di antaranya sebagai berikut:
1)
Akal dan Wahyu
Al
Bazdawi berpendapat bahwa akal tidak dapat mengetahui tentang kewajiban
mengetahui Tuhan sekalipun akal dapat mengetahui Tuhan dan mengetahui baik dan
buruk. Kewajiban mengetahui Tuhan haruslah melalui wahyu.
Begitu
pula akal tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban mengerjakan yang baik dan
buruk. Akal dalam hal ini hanya dapat mengetahui baik dan buruk saja. Sedangkan
menentukan kewajiban mengenai baik dan buruk adalah wahyu.
Dalam
paham golongan Bukhara dikatakan bahwa akal tidak dapat mengetahui
kewajiban-kewajiban dan hanya mengetahui sebab-sebab yang membuat kewajiban-kewajiban
menjadi suatu kewajiban. Di sini dapat dipahami bahwa mengetahui Tuhan dalam
arti berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu tidaklah wajib bagi
manusia.
Di
sinilah wahyu mempunyai fungsi yang sangat penting bagi akal untuk memastikan
kewajiban melaksanakan hal-hal yang baik dan menjauhi hal-hal yang buruk.
Sebagaimana dikatakan al Bazdawi, akal tidak dapat memperoleh petunjuk
bagaimana cara beribadah dan mengabdi kepada Tuhan. Akal juga tidak dapat
memperoleh petunjuk untuk melaksanakan hukum-hukum dalam perbuatan-perbuatan
jahat.
2)
Sifat-sifat Tuhan
Al Bazdawi berpendapat
bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Tuhan pun qadim. Akan tetapi untuk
menghindari banyaknya yang menyertai qadimnya zat Tuhan, maka al Bazdawi
mengatakan bahwa ke qadiman sifat-sifat Tuhan itu melalui ke qadiman yang
melekat pada diri zat Tuhan, bukan melalui ke qadiman sifat-sifat itu
sendiri.
3) Keadilan Tuhan
Maturidiyah
Bukhara’ berpendapat, bahwa keadilan Tuhan harus dipahami dalam kontek kekuasaan
dan kehendak mutlak Tuhan. Secara jelas Al‑Bazdawi menyatakan bahwa Tuhan tidak
mempunyai tujuan dan tidak mempunyai unsur pendorong untuk menciptakan kosmos.
Tuhan berbuat sekehendakNya sendiri. (Nasution, 1986: 124)
Dengan demikian
posisi aliran Maturidyah Bukhara dalam menginterpretasikan keadilan Tuhan
adalah lebih dekat pada aliran Asy’ariyah. Masalah dalil yang dipakai pun sama.
4)
Perbuatan manusia
Al Bazdawi berpendapat
bahwa perbuatan manusia itu di ciptakan Tuhan, sekalipun perbuatan tersebut di
sebabkan oleh qudrah hadisah yang berasal dari manusia itu sendiri.
Karena timbulnya perbuatan itu terdapat dua daya yaitu daya untuk mewujudkan
dan daya untuk melakukan.
Meskipun dua tokoh
aliran Maturidi dan juga Asy’ari berbeda dalam beberapa hal tetapi punya
prinsip yang sama. Jika terdapat pertentangan antara akal dan usaha, maka akal
harus tunduk kepada wahyu. Itulah satu contoh sehingga mereka terpadu dengan
satu aliran besar (Ahlu Sunnah Wal Jama’ah). Di samping itu mereka tampil
menentang Mu’tazilah, hanya saja Asy’ari berhadapan langsung dengan pikiran
yang sangat bertentangan dengan Mu’tazilah.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
- Doktrin-doktrin teologi al-Maturidi diantaranya akal dan wahyu, perbuatan manusia, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, sifat Tuhan, melihat Tuhan kalam Tuhan, perbuatan manusia.
- Golongan Al-Maturidi Samarkand berpendapat mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan dan mengetahui perbuatan baik dan jahat dapat diketahui oleh akal sementara kewajiban mengetahui perbuatan baik dan jahat hanya dapat diketahui oleh wahyu
- Golongan Maturidi Bukhara berpendapat mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui oleh akal sedangkan mengetahui baik dan jahat serta kewajiban mengetahui baik dan jahat dapat diketahui oleh wahyu.
DAFTAR PUSTAKA
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam (Cet
I; Jakarta; Sinar Grafika ofset, 1995), h.80
Sayyed Hossein Nasr. Intelektual
islam. (Cet I; Yogakarta; Pustaka Pelajar. 1996), h. 15
AIi al-Magrihiy, Imam
Ahlussunnah wal Jama’ah Abu Mansur al-Maturidi (Cairo; Risalah
Doktorah
as-Syarf al al-Uwla. Kulliat al-Adab. t.th ) h. 11-12
AIi Jum’ah dkk, Mausu’ah A’lam al-Fikr al-lslamiy,(Cet.
III; Kairo; Wizarat al-Awqai, 2004), h. 873
Ibid
Abubakar
Aceh, Ahlussunnah wal Jama’ah, (Cet. I; Jakarta: Yayasan Baitul Mal,
1969), h.23
Ahmad
Hanafi. MA. Teologi Islam (Cet IX: Bulan Bintang: Jakarta. 1991 ), h. 69
Andi Tahir Hamid. Berbagai Agama dun Kepercayaan.
(Cet I: Makassar: A.T.Hamid, 2003) h. 186
AIi al-Magrihiy, Imam Ahlussunnah wal Jama’ah Abu
Mansur al-Maturidi (Cairo: Risalah Doktorah as-Syarf al al-Uwla. Kulliat
al-Adab. t.th ) h. 20
Harun
Nasution, Teologi Islam, (Cet V. Jakarta: UI Press, 1986), h. 76-77
Tarikh al Mazahib al Islamiyah., h. 201.
Kitab Ushul al Din., h. 207.
Teologi Islam., h. 89-90.
Kitab Ushul al Din., h.
10.
Teologi Islam., h. 77.
Kitab Ushul al Din., h. 11.
Nasution,
Harun., Falsafat Agama., Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
[2]
Ibrahim Madkour, Aliran dan
Teori Filsafat Islam (Cet I; Jakarta; Sinar Grafika ofset, 1995), h.80
[3]
Sayyed Hossein Nasr. Intelektual
islam. (Cet I; Yogakarta; Pustaka Pelajar. 1996), h. 15
[4] AIi al-Magrihiy, Imam Ahlussunnah wal Jama’ah Abu Mansur
al-Maturidi (Cairo; Risalah Doktorah as-Syarf al al-Uwla. Kulliat al-Adab.
t.th ) h. 11-12
[5]
AIi Jum’ah dkk, Mausu’ah A’lam al-Fikr
al-lslamiy,(Cet. III; Kairo; Wizarat al-Awqai, 2004), h. 873
[6] Ibid
[7] Abubakar Aceh, Ahlussunnah wal Jama’ah, (Cet.
I; Jakarta: Yayasan Baitul Mal, 1969), h.23
[8] Ahmad Hanafi. MA. Teologi Islam (Cet IX: Bulan
Bintang: Jakarta. 1991 ), h. 69
[9] Andi Tahir Hamid. Berbagai Agama dun Kepercayaan.
(Cet I: Makassar: A.T.Hamid, 2003) h. 186
[10] AIi al-Magrihiy, Imam Ahlussunnah wal Jama’ah Abu Mansur
al-Maturidi (Cairo: Risalah Doktorah as-Syarf
[11] Harun Nasution, Teologi Islam, (Cet V. Jakarta:
UI Press, 1986), h. 76-77
0 Comment