BAB I
PENDAHULUAN
Setelah terbunuhnya khlifah Utsman bin Affan,
kepemimpinan digantikan oleh Ali bin Abi Thalib. Dalam pengankatan itu telah
terjadi pro dan kontra dilangan Islam, ditambah lagi Ali tidak menuntaskan
permasalahan keamatian Ustman. Pada masa Ali ini terjadi bentrok senjata antara sesama
kaum muslim, sampai puncaknya pada tahun ke-37 H ketika terjadi perperangan Shiffin
antara kelompok Ali dengan Kelompok Mu’awiyah. Dalam perperangan tersebut Mu’awiyah
terdesak lalu mereka mengusulkan untuk melakukan Tahkim. Masing-masing
kelompok mengutus seorang degelasi, kelompok Ali mempercayakan kepada Abu Musa
al-Asy’ri dan Mu’awiyah mengutus Amr bin Ash. Dalam Tahkim tersebut
Mu’awiyah berhasil menerapkan siasat politiknya (tipu muslihat) dengan
menggulingkan Ali dari kedudukannya sebagai Khalifah dan Menobatkan Mu’awiyah
sebagai penggantinya.
Keputusan Tahkim itu mengakibatkan sebagian
pengikut Ali memalingkan diri dari kelompok Ali yang dikenal dengan Khawarij[1].
Khawarij menilai semua mereka khafir karena telah melakukan dosa besar. Masalah
khafir mengkhafirkan ini semakin marak waktu itu sehingga secara tidak langsung
mucul satu kelompok yang tidak mau menganggap para sahabat khafir. Mereka
menilai bahwa selagi seseorang beriman tidak pantas dianggap khafir. Masalah
mereka melakukan dosa besar, terserah kepada Allah di akhirat, apakah akan
menghukumnya atau memaafkannya. Inilah kelompok yang tersohor dengan Murji’ah [2].
Pada makalah ini penulis membahas kedua aliran tersebut
yang dibatasi dalam ruang lingkup pengertian, ajaran pokok serta sekte-sekte
yang muncul dalam kedua aliran itu. Penulis sudah berupaya semampunya untuk
memaparkan dan menuangkan informasi serta mencurahkan pendapat dalam makalah
ini, namun sebagai manusia yang tidak terhindar dari kekurangan maka penulis
mohon kritikan dan kontibusi pemikirian yang bersifat konstruktif dari peserta
dan bimbingan serta arahan dari dosen pembimbing.
BAB II
PEMBAHASAN
KHAWARIJ DAN MURJI’AH
A.
Khawarij
1.
Pengertaian
dan Latar Belakang Mucul
Khawarij merupakan bentuk plural dari
kata kharij yang berasal dari kata kharaja, yang berarti keluar.
Khawarij secara etimologi berarti orang yang keluar, sedangkan menurut
terminologi berarti orang-orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib
karena tidak setuju dengan Tahkim (Arbitrase) sebagai cara penyelesaian
benturuan politik antara Ali dan Mu’awiyah. Khawarij menjadi kelompok oposisi,
tidak memihak kepada Ali dan tidak pula
bergabung kepada Mu’awiyah.[3]
Al-Syahrastani mendefenisikan
khawarij dengan defenisi yang lebih umum, yaitu seluruh orang yang keluar dari
pemimpin yang besar yang telah disepakati oleh masyarakat, baik keluar pada masa Al-Khalifah Al-Rasyidi,
pada masa sahabat, masa Thabi’in maupun pemimpin pada seluruh zaman[4]. Selain
nama khawarij, juga digunakan nama al-Mariqah karena mereka
dianggap telah keluar dari agama yang benar sebagai mana anak panah keluar dari
busurnya. Penamaan ini diberikan oleh kelompok yang menjadi rival khawarij.
Selanjutnya al-Haruriyah juga diberikan kepada kelompok ini, karena
memisahkan diri dari kelompok Ali, mereka menetapkan pimpinan baru di Harura,
suatu desa yang terletak di dekat kota Khufah di Irak.[5]
Khawarij sendiri menyebut diri mereka
dengan al-Syurah, artinya orang yang mengorbankan diri mereka untuk
mencari keridha-an Allah. Ungkapan ini mereka landaskan dengan firman Allah
pada surat al-Baqarah ayat 207:
ÆÏBur Ĩ$¨Y9$# `tB Ìô±o çm|¡øÿtR uä!$tóÏGö/$# ÉV$|ÊósD «!$# 3 ª!$#ur 8$râäu Ï$t6Ïèø9$$Î/
Artinya: Dan di antara manusia ada
orang yang mengorbankan dirinya Karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha
Penyantun kepada hamba-hamba Nya.
Mereka
beranggapan bahwa mereka adalah orang yang bersedia mengorbankan diri untuk
Allah.[6]
Menurut Analisa penulis penamaan
kelompok ini bisa beraneka rangam disebabkan ada sudut pandang dalam pemberian
nama yang berbeda. Manyoritas umat Islam menamakan mereka khawarij, karena
mereka telah dipandang keluar dari kelompok Ali dan Mu’awiyah kemudian
mendirikan kelompok baru. Khawarij sendiri menamakan kelompok mereka dengan al-Syura
karena mereka memandang diri mereka bersedia menjual dan mengorbankan diri demi
mencari keridhoan Allah, sedangkan penamaan al-Muriqah diberikan oleh
rivalnya karena ajaran mereka dinilai sudah keluar dari ajaran agama Islam.
Kalau kita perhatikan semua penamaan kelompok ini, maka yang paling terkenal
adalah Khawarij.
Latar balakang munculnya Aliran Khawarij
di kalangan tentata Ali ketika peperangan memuncak antara pasukan Ali dan
pasukan Mu’awiyah. Ketika mereka terdesak oleh pasukan Ali, Mu’awiyah
merencanakan untuk mundur, tetapi kemudian terbentuk dengan muculnya pemikiran
untuk melakukan Tahkim.[7]
Peperangan ini erat kaitannya dengan
dilema pelantikan atau mengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah.
Seperti diketahui bahwa dalam pengangkatan Ali sebagai khalifah tidaklah
semulus pengangkatan tiga khalifah sebelumnya, yaitu Abu Bakar al-Shiddiq, Umar
bin Khattab dan Utsman bin Affan, tetapi mendapat tentangan dari berbagai
pihak. Pihak-pihak yang menentang itu, yang termashur di antaranya, datang dari
kelompok Thalhah (bersama Zubeir dan Aisyah) dan Mu’awiyah. Tantangan dari
Thalhah dengan cepat dapat dapat diatasi oleh Ali tanpa berbuntut panjang.
Thalhah dan Zubeir mati terbunuh, sedangkan Aisyah sendiri berhasil ditawan dan
dipulangkan kembali ke Mekah. Sebaliknya, tantangan dari Mu’awiyah, sekalipun
dapat diatasi dengan cepat pula oleh Ali melalui pertempuran di Shiffin, namun
ternyata mendatangkan buntut panjang dan serius. Pertempuran antara Ali dengan
Muawiyah tidak habis di Shiffin saja, tetapi berlanjut pada proses Tahkim yang
kontroversial, atau lebih dikenal dengan peristiwa Arbitrase. Proses
arbitrase yang kontrovesial inilah yang memicu munculnya kelompok Khawarij,
yaitu kelompok umat Islam yang keluar dari barisan Ali yang kecewa dengan
keputusan sidang.[8]
Pendapat lain mengatakan, Ali
memutuskan untuk menerima keputusan Tahkim dari Mu’awiyah karena
dipaksakan oleh kelompok orang yang keluar dan memaksa Ali untuk menerima Tahkim.
Kedua belah pihak sepakat untuk mengangkat seorang hakam dari
masing-masing. Mu’awiyah memilih ‘Amr bin al-‘Ash. Sementara itu, Ali pada
mulanya hendak mengangkat Abdullah bin Abbas, tetapi atas desakan pasukannya
yang keluar itu, akhirnya mengangkat Abu Musa al-‘Asy’ari. Upaya Tahkim
akhirnya berakhir dengan suatu keputusan, yaitu menurunkan Ali dari jabantan
khalifah dan mengukuhkan Mu’awiyah menjadi penggantinya. Hasil Tahkim
lebih menguntungan bagi pemberontak yang dipimpin oleh Mu’awiyah. Anehnya,
kelompok yang semula memaksakan Ali untuk menerima Tahkim dan menujuk
orang yang menjadi hakim atas pilihan mereka itu, belakangan memandang Tahkim
sebagai kejahatan yang besar. Kemudian mereka menuntut Ali agar segera
bertaubat karena dipadang telah berbuat dosa besar. Menurut mereka, Ali yang
menyetujui untuk ber-tahkim berarti telah menjadi kafir, sebagaimana mereka
juga telah menjadi kafir, tetapi kemudian bertaubat. Pandangan kelomok ini
kemudian diikuti oleh orang-orang arab pegunungan. Semboyan mereka yang
terkenal adalah, “tidak ada hukum kecuali hukum Allah”. Mereka kemudian
memerangi Ali, setelah terlibat dahulu berdiolog dengan Ali, kemudian
mengukuhkan pendapatnya.[9]
2.
Ciri-Ciri
Perdebatan Khawarij
Di dalam perdebatan dan ucapan merka
terdapat ciri-ciri sebagai berikut:[10]
a.
Fasih dan
lancer berbicara, serta menguasai metode. Mereka adalah orang-orang yang tepat,
tidak getar menghadapi lawan dan tidak terhalang oleh pikiran yang sempit.
b.
Kelompok
ini berusaha mempelajari al-Qur’an dan Sunnah, serta memahami hadits dan
tradisi Arab dengan tekun, penjelasan yang terang dan semangat yang tinggi.
c.
Mereka
menyenangi perbedaan dan diskusi tentang sya’ir dan ungkapan-ungkapan Arab.
Mereka suka berdiskusi dengan lawan walaupun dalam masa perang.
d.
Perdebatan
mereka diliputi fanatismi. Penganut paham khawarij tidak akan menerima dan
mengakui pendapat lawan debat mereka walaupun pendapat tidak dekat kepada
kebenaran atau kebenaran yang terkandung di dalamnya sangat jelas. Sebaliknya,
kuatnya argumentasi yang dikemukakan lawan mereka semakin memantakan keyakinan
yang mereka anut, karena mereka akan berusaha mencari dalil yang dapat
mendukung pendapat mereka. Hal itu terjadi karena pemikiran aliran khawarij
yang menyipang itu sudah menguasai jiwa, hati, alur berpikir, dan seluruh benak
mereka. Disamping itu mereka sangat senang bermusuhan, sesuai dengan watak
pengunungan mereka
e.
Kaum
khawarij senantiasa berpengang pada makna lahir al-Qur’an tanpa mau mengkaji
maksut, tujuan dan kontes nash. Kapan pun menemukan makna lahir nash, mereka akan
berhenti disitu tanpa mau bergerak sedikitpun. Dengan menggunakan makna lahir
nash, mereka menolak tuduhan kejahatan yang mereka lalukan.
3.
Ajaran
Pokok Khawarij
Golongan khawarij mucul karena
masalah politik, namun dalam perkembangan berikutnya mereka banyak membicarakan
masalah theologi, sehingga mereka tergolong ke dalam suatu aliran dalam ilmu
kalam. Sekalipun khawarij sudah terbagi menjadi beberapa sekte dan mempunyai
dokrin yang berbeda. Dalam berbagai referensi ajaran-ajaran pokok aliran
khawarij berkisar mengenai soal-soal khalifah (politik ketatanegaraan), dosa
besar, khafir dan amal perbuatan umat Islam.[11]
a.
Khalifah atau
kepala pemerintahan umat Islam, tidak mesti orang yang berasal dari suku
Quraisy, dapat dipilih siapa saja dari umat Islam yang mampu dan sanggup
berlaku adil, jika tidak mampu wajib dijatuhkan. Selain itu khalifah tidak
bersifat turun temurun. Seperti yang ditulis Harun Nasution, kaum khawarij
memang mempunyai pendapat yang berlainan dengan pendapat yang dianut pada masa
itu yaitu khlifah haruslah berasal dari kalangan Quraisy. Pendapat ini kemudian
menjadi teori ketatanegaraan yang dianut oleh ahli sunnah. Ahmad Amin juga
menemukakan hal yang sama, bahwa posisi khalifah itu bukan hanya hak khusus
suku Quraisy, semua umat Islam mempunyai peluang untuk itu.
b.
Orang Islam
yang membuat dosa besar, menjadi khafir. Dosa besar yang dimaksud kaum khawarij
yaitu orang yang ber-tahkim tidak dengan al-Qur’an, tak sepaham dengan
mereka, berzina, memakan hak anak yatim dan lain-lain
c.
Untuk
menentukan khafir atau tidaknya seorang Islam terletak pada amal perbuatannya.
Menurut kaum khawarij, sungguhpun seseorang telah mengucapkan dua kalimat
syahadat, tetapi kemudaian melanggar ketentuan agama, maka orang seperti itu
tetap dihukum khafir. Hal itu sejalan dengan apa yang ditulis Ahmad Amin, bahwa
tiada tuhan selain Allah dan Muhammad itu adalah utusan-Nya kemudian orang yang
itu tidak mengamalkan ketentuan-ketentuan agama, maka orang tersebut bagi
mereka telah menjadi khafir.
4.
Sekte-Sekte
Aliran Khawarij
Sekte dalam aliran khawarij antara
lain:
a.
Al-Muhakkimah
Al-Muhakkimah adalah mereka yang
keluar dari barisan Ali ketika berlangsung peristiwa tahkim (albitrase)
dan kemudian berkumpul disuatu temapat yang bernama Harura, bagian dari negeri Kufah.
Pempinan mereka diantaranya Abdullah bin al-Kawa, Kutab bin al-‘Awar, Abdillah bin
Wahab, al-Rasiby. Al-Muhakkimah adalah khawarij yang pertama berdiri dari
pengikut-pengikut Ali, merekalah yang berpendapat bahwa Ali, Mu’awiyah, kedua
pengantra yang menjadi hakim pada peristiwa tahkim, serta semua orang
yang menyetujui tahkim sebagai orang-orang yang bersalah dan menjadi khafir.[12] Al-Muhakkimah
sendiri dimaksurkan untuk prinsip dan golongan mereka yang berhukum dengan
hukum Allah, “la hukma illa Allah”.
[13]
b.
Al-Zariqah
Al-Zariqah merupakan sekte terbesar
kedua setelah al-Muhakkimah. Nama sekte ini diambil dari pimpinan terpilih
mereka, yaitu Naïf bin al-Azraq. Mereka berdomisili di perbatasan Irak dan Iran.
Paham-paham mereka lebih radikal atau estrem ketimbang al-muhakkimah.[14]
Prinsip yang membedakan al-Zariqah dari
aliran khawarij lainnya adalah:[15]
1)
Mereka memandang
orang yang berda pendapat dengan mereka tidak hanya bukan mukmin, tetapi juga
musyrik, kekal di neraka serta hal diperangi dan dibunuh.
2)
Di wilayah
perang dibebarkan melakukan tindakan apapun yang dibolehkan dalam perperangan
melawan orang khafir, baik merampas harta, menahan anak-anak dan para wanita,
memperbudak musuh yang tertangkap, serta boleh membunuh mereka yang tidak mau
turut berperang.
3)
Mereka juga
berpendapat bahwa anak-anak dari orang yang berbeda paham dengan al-Zariqah adalah
kekal di nereka.
4)
Dalam bidang
fiqh, mereka tidak mengaku adanya hukum rajam.
5)
Hukuman dera
bagi pelaku zina hanya diberlakukan pada orang yang menuduh bahwa wanita
terpelihara (muhsham) telah zina.
6)
Mereka juga
berpendapat bahwa para nabi bisa saja melakukan dosa besar dan kecil
c.
Al-Najdah
Sekte ini dinamakan al-Najdah karena
dinisbatkan kepada pimpinan terpilihnya, yaitu Najdah bin Amir al-Hanafi dari Yamamah
di Arabia Tengah. Terpilihnya Najdah sebagai pemimpin sekte ini tidak terlepas
dari sumbangan Abu Fudaik dan kawan-kawannya yang pada awalnya adalah pengikut
al-Azraq dari sekte al-Zariqah juga. Para pendiri sekte ini pergi meninggalkan
al-Zariqah disebabkan karena mereka tidak dapat menerima beberapa ajaran yang
ekstrem dari al-Zariqah. Di antaranya tentang orang yang tidak mau berhijrah ke
lingkungan al-Zariqah adalah musyrik. Dan ajaran yang membolehkan membunuh anak
dan istri orang-orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka.
Paham mereka tidak seeksrem paham al-Zariqah.
Bagi mereka orang yang tidak secara aktif mendukung mereka tidaklah dianggap khafir,
tetapi hanya sekedar munafik. Mereka memberikan wewenang kepada anggotanya
untuk hidup di wilayah lain, sekalipun di luar wilayah kekuasaan khawarij.
Mereka membolehkan anggotanya untuk melakukan taqiyah (yaitu suatu sikap
yang menyembunyikan pandangan ke-Najdahannya).[16]
d.
Al-Jaridah
Penamaam sekte ini juga dinisbatkan
kepada tokoh utamanya, yaitu Abd al-Karim Ibn Ajrah. Di samping sekte al-Najdah,
sekte ini tergolong sedikit lebih moderat. Hal itu tergambar dari pendapat
mereka tentang berhijrah. Bagi mereka, berhijrah bukanlah merupakan kewajiban,
melainkan hanyalah sebuah kebijakan. Karena itu, orang-orang al-Jaridah boleh
saja berdomisili di luar daerah kekuasaaan sekte al-Jaridah.
Pendapat sekte al-Jaridah yang
menonjol adalah penolakan mereka terhadap surat Yunuf tidak mereka akui sebagai
bagian dari al-Qur’an.[17]
e.
Al-Syufiah
Penamaan sekte ini juga dinisbahkan
kepada tokoh utamanya, yaitu Zaid Ibn al-Asfar. Aliran ini juga dianggap
ekstrem seperti al-Zariqah. Di antara pendapat-pendapat mereka juga ada yang
terkesan lebih lunak terutama untuk hal-hal berikut: [18]
1)
Orang
Sufriah yang tidak berhijrah tidaklah dipandang khafir.
2)
Mereka tidak
sependapat dengan pendapat yang boleh membunuh anak-anak orang khafir (musrik).
3)
Mereka membagi
dosa besar menjadi dua:
a)
Dosa besar
yang ada sanksinya di dunia seperti berzina, membunuh dan mencuri.
b)
Dosa besar
yang tidak ada sanksi di dunia seperti meninggalkan sholat dan puasa.
4)
Cakupan dar
al-harb (daerah yang harus diperangi) juga dibatasi.
5)
Kufur
tidaklah selamanya keluar dari agama Islam.
6)
Taqiyah
hanya boleh dalam bentuk perkataan dan tidak dalam bentuk perbuatan.
7)
Untuk
keaman dari, seorang wanita muslim boleh kawin denga satu lelaki khafir, di
daerah bukan Islam.
f.
Al-Ibadiah
Sekte ini juga dinisbahkan kepada
pimpinannya, yaitu Abdullah Ibn Ibad. Sebelumnya, Ibn Ibad adalah mengikut al-Zariqah.
Karena tidak bisa menerima pendapat-pendapat ekstrim itu. Di antara
pendapat-pendapat sekte al-Ibadiah ini ialah:[19]
1)
Orang yang
tidak sepaham dengan mereka bukanlah musrik, tetapi khafir.
2)
Daerah
orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka bukanlah dar al-hard, tapi dar
al-tauhid.
3)
Pelaku
dosa besar masih tetap muwahhid, yaitu orang meng-Esa-kan Tuhan.
4)
Yang boleh
dirampas dalam perang adalah kuda dan senjata.
5.
Aliran-Aliran
Khawarij yang Dipandang Keluar dari Islam
a.
Yazidiyyah
Aliran ini semula adalah pengikut
aliran al-Ibadiah, tetapi kemudian berpendapat bahwa Allah akan mengutus
seorang rasul dari kalangan luar Arab yang akan diberi kitab yang akan
menggantikan syari’at Muhammad
b.
Maimuniyyah
Aliran ini memperbolehkan seseorang
menikahi cucu-cucu perempuan dari anak laki-laki dan anak perempuan. Mereka
juga mengingkari surat Yunuf dalam al-Qur’an, karena menurut mereka surah itu
berikan kisah porno, sehingga tidak pantas dinisbahkan kepada Allah. Dengan
pendapat itu mereka sebenarnya telah mencela Allah karena keyakinan mereka yang
salah.[20]
Menurut pemikirna penulis, apapun
nama aliran yang timbul dalam Islam, apabila telah menyalahi hal-hal yang pokok
atau yang prinsip dari ajaran Islam itu sendiri, maka mereka telah dipandang
keluar dari Islam. Begitu juga halnya dengan sekte-sekte itu telah menyalahi
hal-hal yang prinsip menurut ajaran Islam, maka sesungguhnya mereka telah
keluar dari kelompok Islam.
B.
Mujri’ah
1.
Pengertian
dan Latar Bekang Muncul
Murji’ah merupakan isim fa’il dari
kata arja’a yang berarti menangguhkan atau mengharapkan. Murji’ah secara
etimologi berarti orang yang menangguhkan atau orang yang meminta suatu
pengharapan, sedangkan menurut terminologi berarti orang yang menangguhkan
masalah pelaku dosa besar kepada Allah dan berharap semoga Allah mengampuninya.[21]
Sebagaimana halnya dengan kelompok Khawarij,
golongan Murji’ah muncul disebabkan masalah politik. Namun bedannya adalah
golongan khawarij muncul disebabkan oleh masalah politik secara langsung,
sedangkan Murji’ah muncul disebabkan oleh masalah politik secara tidak
langsung. Golongan ini lebih bersikap netral dan pasif terhadap masalah yang
berkembang ketika itu, terutama dalam penilan pelaku dosa besar, apabila pelaku
dosa besar itu sudah menjadi kafir atau masih tergolong mukmin. Murji’ah
menilai bahwa pelaku dosa besar masih tetap mukmin, masalah dosa besar yang
dilakukannya ditangguhkan dan diserahkan kepada Allah. Dosa tidak bisa merusak
keimanan seseorang sebagai mana amal baik tidak membentuk kekufuran.
Kelihatannya yang melatar belakangi
mereka berpaham demikian, karena cerara sosial mereka termasuk kelompok yang
sudah mampu dari segi ekonomi, sehingga lebih mengutamakan suasana kedamaian
tanpa ingin mengambil resiko dengan mendiskreditakan orang lain. Menurut Yusran
Asmuni, hal-hal yang melatarbekangi kehadiran al-Muji’ah antara lain: [22]
a.
Perbedaan
pendapat antara Syi’ah dan Khawarij dalam mengkhafirkan orang yang ingin
merebut kekuasaan Ali dan orang yang menyetujui Tahkim.
b.
Adanya
pendapat yang menyalah Aisyah dan kawan-kawannya yang menyebabkan terjadinya
perang jamal.
c.
Ada pendapat
yang menyalahkan orang yang ingin merebut kekuasaan Usman bin Affan.
2.
Ajaran Pokok Muji’ah
Secara global paham atau ajaran pokok
Muji’ah adalah:[23]
a.
Iman hanya
sekedar membenarkan dan mengakui dalam hati. Amal perbuatan tidak berpengaruh
kepada iman sebagaimana kebaikan dan tidak membantu kekufuran.
b.
Muslim
yang melakukan dosa besar bukan kafir selam ia mengakui dua kalimat syahadat.
c.
Hukum
terhadap perbuatan manusia ditangguhkan sampai hari kiamat dan diserahkan
kepada Allah apakah pelaku dosa besar diampuni atau tidak.
3.
Sekte-Sekte
Murji’ah
Leteratur mengenai pertumbuhan dan
perkembangan pemikiran murji’ah sulit untuk diketahui karena sebab yang tidak
jelas. Sebagaimana yang dituturkan oleh Harun Nasution. Namun secara garis
besar dikelompokkan kepada dua golongan yaitu golongan Moderat dan golongan Ektrim.[24]
Al-Syahrastani membagi kelompok murji’ah menjadi empat golongan, yaitu: [25]
a.
Murji’aj
Khawarij
b.
Murji’ah
Qadariah
c.
Murji’ah
Jabariah
d.
Murji’ah
Asli
Sayangnya al-Syahrastani tidak
memberikan penjelasan apa yang dimaksud dari masing-masing golongan tersebut
sehingga penulis tidak bisa untuk menjelaskan ajaran dari mereka. Tetapi
barangkali penggolongan ini disebabkan karena mereka sebagian pengikut murji’ah
itu ada yang pahamnya mendekati kepada paham khawarij, qadariah dan jabariah
dan ada yang berdiri sendiri tanpa ada sama dengan paham kelompok lain, sehinnga
al-Syahrastani mengklasifikasikan murji’ah kepada golongan tersebut.
Dalam makalah ini penulis mencoba
memaparkan sekte murji’ah secara garis besar saja:
a.
Golongan mujri’ah
yang moderat
Yang termasuk kedalam kelompok moderat ini seperti
al-Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan ahli
hadits. Diantara ajara mereka:
1)
Pelaku dosa
besar bukan khafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum sesuai
dengan besar dosanya dan ada kemungkinan Tuhan akan mengampuninya sehingga ia
tidak masuk neraka sama sekali.
2)
Iman
adalah pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, rasul-rasul, tentang segala apa
yang datang dari tuhan dalam bentuk global tidak dalam perincian. Tidak ada
perbedaan antara manusia dalam hal iman.
b.
Golongan
murji’ah ekstrim
Yang termasuk kedalam kelompok ektrim
ini antara lain al-Jahmiah (pengikut Jahm Ibn Shafwan). Diantara ajaran mereka
adalah:
1)
Muslim yang
percaya pada tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah menjadi
kafir, karena iman dan kufur letaknya dalam hati.
2)
Iman
adalah mengetahui tuhan dan kufur adalah tidak tahu pada tuhan, oleh karena itu
shalat tidak termasuk ibadah kepada Allah sebab ibadah adalah iman kepada Allah
dalam pengertian mengetahui tuhan.
Agaknya ajaran yang mementingkan iman
saja tanpa direalisasikan dengan perbuatan akan menimbulakan
pelanggaran-pelanggaran moral dan merusak nilai-nilai akhlak sebab yang penting
hanya iman, sedangkan norma-norma akhlak tidak begitu penting hingga tidak jadi
masalah kalau diabaikan.
Dengan demikian pandangan penulis akan membuat seseorang
yang sudah mengaku beriman melalaikan kewajiban-kewajiban agama yang seharusnya
direalisasikan dengan perbuatan dan tingkah laku.
BAB III
PENUTUP
Dari paparan
makalah tentang Khawarij dan Murji’ah dapat ditarik beberapa kesimpulan:
1.
Khawarij dan
Murji’ah muncul berawal dari masalah konflik politik, namun pada perkembangan
berikutnya mereka tidak terlepas dari masalah theology maka kedua kelompok ini
menjadi bagian aliran dalam ilmu Kalam.
2.
Khawarij terpecah
menjadi beberapa sekte, tapi secara garis besar pembahasan mereka tidak
terlepas dari masalah siapa yang pantas menjadi khalifah dan bagaimana hukumnya
orang yang melakukan dosa besar.
3.
Khawarij sangat
keras terhadap pelaku dosa besar, namun sangat demokratis dalam pemilihan
khalifah.
4.
Murji’ah adalah
kelompok yang ingin menetralisir kondisi perbedaan pendapat tentang masalah khafir
dan mukmin.
5.
Murji’ah lebih
mementingkan iman dan doktrinnya dari pada amal perbuatan.
DAFTAR PUSTAKA
Abu
Zahrah, Imam Muhammad. Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam. (Jakarta:
Logos, 1996)
Abd
al-Karim al-Syahraatani, Muhammad. Al-Millal Wa Al-Nihal, (Beirut: Dar
al-fikr, t.th)
Asmuni, Yusran. Ilmu Tauhid, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. Ke-3, h. 106
Alhendra,
Pemikiran kalam, (Bandung: Alfabeta, 2000)
Effendy,
Macthtar. Ensiklopedi Agama dan Filsafat. Buku ke-3, Entri J-M,
(Palembang: Universitas Sriwijaya, 2001)
Masyur,
Laily. Pemikiran Kalam Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994),
Cet. Ke-1
Nata,
Abuddin. Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafinda
Persada, 1995)
Nasution,
Harun. Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah, Analisa Perbandingan. (Jakarta:
UI Press, 1996), Cet. Ke-5
Zar,
Sirajuddin. Teolgogi Islam Aliran dan Ajaran, (Padang: IAIN Press, 2003)
[1]Suatu golongan sempilan dalam Islam, yang terjadi akibat perpecahan
politik antara Ali dan Mu’awiyah. Golongan Khawarij ini pada mulanya termasuk
golongan Ali tetapi oleh karena Ali menerima permintaan perdamaian Sifin dari
golongan Mu’awiyah, padahal kedudukan militer dan politik lebih kuat golongan
Ali, maka sebagian golongan Ali itu dipimpin oleh Abdullah bin Wahab al-Rasid,
keluar (Khawarij artinya keluar) dari kepemimpinan Ali dan membentuk golongan
yang ketiga, yang dinamakan Khawarij. (Lihat: Macthtar Effendy, Ensiklopedi
Agama dan Filsafat. Buku ke-3, Entri J-M, (Palembang: Universitas
Sriwijaya, 2001), h 183.
[2] Mujri’ah, bahasa arab dari asal kata arj’a-yurji’u, artinya =
menunda. Di dalam theology Islam adalah salah satu golongan theology Islam yang
diperkenalkan oleh Ghailan al- dimasyqi , yaitu golongan yang menghendaki agar
perselisihan, konflik politik antara Ali dan Muawiyah ditunda dahulu
penyelesaiannya, demikian juga pembangkangan golongan khawarij terhadap Ali
dengan Mu’awiyah, agar semua perselisihan ini dan Allah akan menyelesaikan di
akhirat nanti. Ibid h. 98
[3] Lihat Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah,
Analisa Perbandingan. (Jakarta: UI Press, 1996), Cet. Ke-5 h. 11. Lihat
juga Laily Masyur, Pemikiran Kalam Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1994), Cet. Ke-1, h. 29
[4] Muhammad Abd al-Kharim al-Syahrastani, Al-Milal Wa Al-Nihal,
(Beirut: Dar al-Fikr, t.Th), h 144
[5] Lihat Harun Nasution, loc.cit. Lihat juga Yusran Asmuni, Ilmu
Tauhid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. Ke-3, h. 103-104.
Lihat Juga Laily Mansur, loc.cit.
[6] Lihat Harun Nasution, loc.cit.
Lihat juga Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1994), h. 93. Lihat juga Mustafa Muhammad Asy-Syaki’ah, Islam
Tidak Bermazhab, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), Cet. Ke-1, h. 104.
Lihat juga Yusran Asmuni, loc.cit
[7] Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam
Islam. (Jakarta: Logos, 1996), h
63
[8] Alhendra, Pemikiran Islam, (Bandung: Alfabeta, 2000), h. 27
[9] Imam Muhammad Abu Zahrah, Op.Cit,
h. 63-64
[10] Ibid, h. 74-77
[11] Sirajuddin Zar, Teolgogi Islam Aliran dan Ajaran, (Padang:
IAIN Press, 2003), h. 27-28
[12] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, (Jakarta:
Raja Grafinda Persada, 1995), h. 31
[13] Alhendra, Op.Cit, h. 30
[14] Ibid, h. 31
[15] Imam Muhammad Abu Zahrah, Op.Cit, h. 79
[16] Alhendra, Op.Cit, h.
32-33
[17] Ibid, h. 33
[18] Ibid, h. 34-35
[19] Ibid, h. 35-36
[20] Imam Muhammad Abu Zahrah, Op.Cit, h. 84-85
[21] Muhammad Abd al-Karim al-Syahraatani, Al-Millal Wa Al-Nihal, (Beirut:
Dar al-fikr, t.th) h 193
[22] Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996), Cet. Ke-3, h. 106
[23] Ibid, h. 106
[24] Lihat Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah,
Analisa Perbandingan. (Jakarta: UI Press, 1996), Cet. Ke-5 h. 24
[25] Muhammad Abd al-Karim al-Syahraatani, loc.cit
0 Comment