PENDAHULUAN
Problematika teologis di kalangan umat Islam muncul pada masa
pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib (656-661M) yang ditandai dengan
munculnya kelompok dari pendukung Ali yang memisahkan diri mereka karena tidak
setuju dengan sikap Ali yang menerima Tahkim dalam
menyelesaikan konfliknya dengan Muawiyah bin abi Sofyan pada waktu perang
Shiffin. Kelompok ini selanjutnya dikenal dengan Kelompok Khawarij. Lahirnya
Kelompok Khawarij ini menjadi dasar kemunculan kelompok baru yang dikenal
dengan nama Murji’ah. Lahirnya Aliran teologi ini mengawali kemunculan berbagai
Aliran-Aliran teologi di dunia islam. Pada masa-masa selanjutnya wilayah Islam telah berkembang ke timur
dan kebarat. Meluasnya wilayah Islam mempunyai akibat yang berarti bagi
perkembangan pemikiran umat Islam. Umat Islam mulai bersentuhan dengan
keyakinan-keyakinan dan pemikiran-pemikiran dan ajaran-ajaran lain, terutama
dengan filsafat Yunani. Prinsip-prinsip dasar dari pemikira Yunanilah yang
mempengaruhi corak pemikiran rasional di kalangan umat islam. Di samping itu
dikalangan umat islam itu sendiri, terutama masyarakat Arab lebih cendrung
memakai cara-cara tradisional dari segi pemikiran.
Dengan demikian, disamping corak pemikiran tradisional, corak
pemikiran rasional dan liberal juga telah berkembang di dunia Islam. Kedua
bentuk pemikiran itu dikenal dengan paham Jabariayah dan paham Qadariah.
Perbedaan nyata antara bentuk paham Jabariyah dan paham Qadariah
terlihat nyata ketika menjawab pertanyaan: sampai dimanakah manusia bergantung
pada kehendak mutlak Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya? Atau manusia
terikat seluruhnya dengan kehendak mutlak Tuhan?.
JABARIYAH DAN QADARIYAH
Oleh: Zilfaroni
A.
Aliran Jabariayah
1.
Sejarah munculnya Aliran Jabariyah
Nama Jabariyah berasal dari kata جَبَرَ yang mengandung
arti “memaksa” atau جَبَرٌ yang mengandung arti “terpaksa”.[1]
Dikatakan demikian, karena segala sesuatu yang terjadi bukanlah atas kehendak
manusia itu sendiri, akan tetapi perbuatan itu terjadi atau terlaksana adalah
atas kekuasaan Allah semata. Seumpama terbit dan terbenamnya matahari, pahala
dan siksa. Dalam hal ini manusia bagaikan kapas, kemana angin bertiup kesanalah
kapas pergi. Dengan demikian dapat dikemukakan, bahwa Allah akan memperbuat
sesuatu adalah atas kehendak, karena kekuasaan dan kemutlakan-NYA dalam berbuat.[2]
Pola pikir Jabariyah kelihatannya sudah dikenal bangsa Arab sebelum
Islam, mereka kelihatannya lebih dipengaruhi oleh paham fatalis[3].
Bangsa Arab pada waktu itu bersifat serba sederhana dan jauh dari pengetahuan,
terpaksa menyesuaikan hidup mereka dengan suasana padang pasir yang tandus dan
gersang. Mereka tidak banyak melihat jalan untuk merubah keadaan sekeliling
mereka sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Mereka merasa lemah dan tak
kuasa menghadapi berbagai kekerasan dan kesukaran hidup yang ditimbulkan oleh
suasana padang pasir. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka banyak bergantung
pada kehendak alam.[4]
Pada masa Nabi, benih-benih paham Jabariyah itu sudah ada
perdebatan di antara para sahabat di seputar masalah qadar Tuhan merupakan
salah satu indikatornya. Rasulullah SAW, menyuruh umat Islam beriman kepada
taqdir, tetapi beliau mencegah mereka membicarakannya secara mendalam. Pada masa
sahabat (Khulafa’ al-Rasyidin) kelihatannya sudah ada orang yang berpikir
Jabariyah.[5]
Diceritakan dalam suatu riwayat yang masyhur bahwa Khalifah Umar bin Khattab
pernah bertanya kepada seorang pencuri yang dihadapkan kepadanya: “Mengapa kamu
mencuri?” Lalu ia menjawab:”Allah telah menetapkan perbuatan tersebut atas saya
sejak azali”. Riwayat ini menunjukkan bahwa masalah qadha dan qadar merupakan
masalah yang pertama dipersoalkan Khalifah Umar bin Khattab menghukum pencuri
itu karena menafsirkan perbuatannya itu dengan pemahaman yang salah, sehingga
dia berani menisbahkan kepada Allah perbuatan mencuri yang dilakukan.[6]
Pada masa pemerintahan bani Umayah, pandangan tentang Jabar
semakin mencuat ke permukaan. Abdullah bin Abbas dengan suratnya, memberi
reaksi keras kepada penduduk Syiria yang
diduga berpaham Jabariyah. Hal yang sama dilakukan oleh Hasan Basri kepada
penduduk Basrah. Ini menunjukkan bahwa sebagai suatu pola pikir (Mazhab) yang
dianut, dipelajari, dan dikembangkan terjadi pada akhir pemerintahan Bani
Umayah.[7]
Paham Jabariyah pertama kali dikembangkan oleh al-Ja’ad bin Dirham
dan Jahm bin Safwam yang menyebarkannya sehingga memperoleh pengikut yang
banyak. Adapun ajaran Jabariyah ini juga dikenal dengan mazhab Jahamiyah, paham
ini jelas didasarkan pada kuasa Allah yang mutlak meliputi segala sesuatu.[8] Di
samping dua tokoh utama ini, ada lagi tokoh lain yang cukup dikenal dari
kalangan Jabariyah yaitu al-Husein bin Mahmun al-Najjar dan Dhirar bin Amr yang
menganut paham Jabariyah moderat, sedangkan al-Ja’ad bin Dirham dan Jahm bin
Safwam menganut paham Jabariyah ekstrem.[9]
2.
Pemikiran dan Ajaran Aliran Jabariyah
a.
Pemikiran Aliran Jabariyah
Jabariyah
menganut paham bahwa hidup manusia itu sudah ditentukan oleh Allah. Segala
gerak-geriknya ditentukan oleh Allah, manusia tidak mempunyai daya, tidak
mempunyai kehendak sendiri, tidak mempunyai pilihan, manusia dalam perbuatan
adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya
perbuatan-perbuatan diciptakan tuhan dalam dirinya.[10]
Paham Jabariyah dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu Jabariyah
ekstrim dan Jabariyah moderat.
a1.
Jabariyah ekstrim
Golongan ini
memahami manusia tidak mempunyai kebebasan dan kemerdekaan dalam menentukan
kehendak dan perbuatannya, tetapi terikat kepada kehendak mutlak Tuhan.
Perbuatan-perbuatan diciptakan Tuhan di dalam diri manusia, tak obahnya dengan
gerakan yang diciptakan dalam benda-benda mati. Oleh karena itu manusia
dikatakan “berbuat” bukan dalam arti sebenarnya, melainkan dalam arti majazi
atau kiasan, tak obahnya sebagaimana disebut air mengalir, batu bergerak,
matahari terbit, dan sebagainya. Segala perbuatan manusia merupakan perbuatan
yang dipaksakan atas dirinya, termasuk di dalam perbuatan-perbuatan seperti
mengerjakan kewajiban, menerima pahala, dan siksa. Singkatnya, manusia tidaklah
punya andil dalam perbuatannya. Manusia tidak obahnya bagaikan wayang yang
dikendalikan oleh dalangnya.[11]
b1.
Jabariyah moderat
Golongan ini
memahami bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun
perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai peranan di dalamnya. Tenaga yang
diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek
untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab
(acquisition). Menurut faham kasab, manusia tidaklah majbur
(dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan
tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia itu memperoleh perbuatan
yang diciptakan.[12]
b.
Ajaran Aliran Jabariyah
Faham
Jabariyah ini terpecah menjadi 3 firqah besar yaitu : Aliran Jahmiyah, yang dipimpin
oleh Jaham bin Safwan, Aliran Najjariyah, yang dipimpin oleh Husein bin
Muhammad an Najjar, Aliran Dlirariyah, yang dipimpin oleh Dlirar bin Umar.[13]
Ketiga firqah ini memiliki ajaran-ajarannya masing.
a1.
Aliran Jahmiyah
1) Penggunaan
Takwil. Artinya, Allah tidak dapat disifati dengan sifat-sifat makhluk. Dan
karena itu ia menakwilkan sifat-sifat Allah yang ada persamaannya dengan
sifat-sifat manusia. Akibatnya dia tidak mengakui Alquran sebagai kalam Allah
yang qadim, karena yang qadim itu hanya Allah saja. Jadi Alquran itu makhluk.
2) Surga
dan neraka tidak kekal. Akan datang suatu masa yang padanya surga dan neraka akan fana dengan segala
isinya dan yang tinggal kekal hanya Allah saja. Selain dari Allah, semuanya
akan binasa. Kata khulud (خلود) yang disebut
dalam firman Allah (dalam surat al-Bayyinah/98:6 dan 8) untuk segala isi surga
dan neraka ditakwilkan dengan makna “lama tinggal” (طول المدّة) bukan dengan
arti “selama-lamanya” (دوام).
3) Iman.
Menurut pendapat Jaham bin Safwam, iman itu adalah ma’rifah atau pengakuan hati
saja akan wujud Allah dan kerasulan Nabi Muhammad. Ucapan dengan lisan akan dua
kalimah syahadat dan pengamalan dengan anggota badan akan ajaran Islam seperti
shalat, puasa, dan sebagainya bukan daripada iman
4) Ma’rifah
iman itu wajib berdasarkan akal sebelum turunnya wahyu atau kedatangan Rasul.
Pendapat ini juga terdapat kemudian dalam Mazhab Mu’tazilah. Setiap orang yang
membela kebenaran Islam terhadap kepercayaan yang lain dan juga bagi orang yang
menakwilkan ayat-ayat Alquran, maka wajib atasnya berpegang kepada
kaidah-kaidah akal.[14]
b1.
Aliran Najjariyah
1) Tuhan
menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia bagian atau peran dalam
mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab dalam teori
Al-Asy’ari. Dengan demikian, manusia dalam pandangan An-Najar tidak lagi seperti
wayang yang gerakannya tergantung pada dalang, sebab tenaga yang diciptakan
Tuhan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan
perbuatan-perbuatannya.
2) Tuhan
tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa Tuhan
dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat
melihat Tuhan.[15]
c1.Aliran
Dhirariyah
1) Manusia
tidak hanya merupakan wayang yang digerakan dalang. Manusia mempunyai bagian
dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan
perbuatannya.
2) Tuhan
dapat dilihat di akhirat melalui indera keenam.
3) Hujjah
yang dapat diterima setelah wafat Nabi adalah ijtihad. Hadis ahad tidak dapat
dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.[16]
c. Dasar
Al-Qur’an yang sejajar dengan pemahaman aliran jabariyah
a1.Dalam surat al-Saffat ayat 96
ª!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ
“Padahal
Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”.
b1.
Dalam surat al-Insan ayat 30:
$tBur tbrâä!$t±n@ HwÎ) br& uä!$t±o ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JÎ=tã $VJÅ3ym ÇÌÉÈ
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila
dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui
lagi Maha Bijaksana.”.
c1.Dalam surat al-An’am ayat 122:
`tBurr& tb%x. $\GøtB çm»oY÷uômr'sù $oYù=yèy_ur ¼çms9 #YqçR ÓÅ´ôJt ¾ÏmÎ/ Îû Ĩ$¨Y9$# `yJx.
¼ã&é#sW¨B Îû ÏM»yJè=à9$# }§øs9 8lÍ$s¿2 $pk÷]ÏiB 4 Ï9ºxx. z`Îiã tûïÌÏÿ»s3ù=Ï9 $tB (#qçR%x.
cqè=yJ÷èt ÇÊËËÈ
“Dan Apakah orang yang
sudah mati kemudian Dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya
cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu Dia dapat berjalan di tengah-tengah
masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap
gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami
jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan”
d1.
Dalam surat al-Hadid ayat 22:
“Tiada suatu bencanapun
yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah
tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya
yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
e1.Dalam surat al-Anfal ayat 17:
“Maka
(yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang
membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi
Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan
untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang
baik. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”[17]
B.
Aliran
Qadariyah
1.
Sejarah munculnya Aliran Qadariyah
Qadariyah
berasal dari bahasa Arab, yaitu kata qadara (قدر) yang artinya kemampuan (استطاع) dan
kekuatan (قوي).[18]
Nama Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau
kemampuan untuk melakukan kehendaknya, Dalam istilah Inggrisnya, paham ini
dikenal dengan nama free will dan free act (manusia bebas
berkeinginan dan berkehendak).[19]
Golongan Qadariyah pertama kali muncul kira-kira pada tahun 70 H-689
M di Irak pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan yang hidup antara tahun
685–705 M. Kelompok Qadariyah ini dimotori oleh Ma’bad bin Juhani al-Bisry (w.
699 M) dan Al-Ja’du bin Dirham.[20] Pada awal
munculnya kelompok Qadariyah ini diduga sebagai protes atas kezaliman politik
Bani Umayah. Qadariyah sangat bertolak belakang dengan paham kelompok
Jabariyah. Jabariyah mempunyai kepercayaan bahwa segala sesuatu tentang manusia
sudah terkait dengan ketentuan Allah, sementara Qadariyah mengatakan bahwa
manusia tidak selamanya terkait pada ketentuan Allah semata, tetapi harus
disertai dengan upaya dan usaha untuk menentukan nasibnya. Aliran Qadariyah termasuk yang cukup cepat
berkembang dan mendapat dukungan cukup luas di kalangan masyarakat. [21]
Ma’bad al-Juhaini menyebarkan pahamnya di Irak, sedang Ghailan
menyebarkannya di Damaskus. Menurut Ibn Nabatah, Ma’bad maupun temannya Ghailan
mengambil paham itu dari seorang Kristen yang masuk Islam dan murtad kembali.
Ma’bad sendiri adalah seorang tabi’I yang jujur. Akan tetapi, ia memasuki
lapangan politik dan memihak kepada Abd al-Rahman Ibn al-Asy’as dalam menentang
kekuasaan bani Umayah. Dalam pertempuran dengan Hujjad, Ma’bad mati terbunuh
pada tahun 80 H/699 M.
Sepeninggal Ma’bad, Ghailan terus menyebarkan pahamnya di Damaskus.
Akan tetapi ia mendapat tantangan dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Setelah
Umar wafat, Ghailan terus menyebarkan pahamnya, sehingga akhirnya ia mati
dihukum bunuh oleh Hisyam bin Abdul Malik.[22]
Sejak terbunuhnya tokoh-tokoh Qadariyah, bukan berarti aliran
Qadariyah ikut terkubur bersama tokohnya. Meskipun dari kalangan minoritas,
paham Qadariyah dihidupkan terus oleh kelompok Mu’tazilah dan dibangkitkan
kembali oleh kalangan para pembaru Islam di zaman modern.
2.
Pemikiran dan Ajaran Aliran Qadariyah
a.
Pemikiran Aliran Qadariyah
Qadariyah juga melahirkan
pemikiran tentang perbuatan manusia. Qadariyah menganut paham kebebasan manusia
dalam berbuat.[23]Aliran
Qadariyah menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas
kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala
perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik itu berbuat baik maupun berbuat
jahat. Karena itu ia berhak menentukan pahala atas kebaikan yang dilakukannya
dan juga berhak memperoleh hukuman atas kejahatan yang telah ia perbuat.[24] Paham
ini tampaknya lebih mendorong kemajuan bagi manusia, meningkatkan rasa tanggung
jawab, dan menumbuhkan prasangka baik kepada Tuhan.[25]
Kelompok
Qadariyah juga percaya kepada taqdir. Akan tetapi taqdir bagi mereka bukanlah
bermakna “nasib” melainkan bermakna kemampuan, kekuatan, atau kekuasaan. Faham
takdir dalam pandangan Qadariyah adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya
untuk alam semesta beserta seluruh isinya yang dalam istilah Al-qur’an adalah
sunatullah[26], yaitu hukum-hukum Tuhan yang diciptakan-NYA,
dan hukum-hukum itu berlaku untuk alam semesta beserta isinya. Alam semesta beserta
segala isinya tentulah berjalan menurut sunnatullah yang telah ditetapkan oleh
Allah. Sunnatullah menunjukkan perjalanan sebab akibat. Manusia mampu
mengetahui dan membuat rencana untuk melaksanakan pilihan dalam hidupnya.
Bahkan manusia harus mampu menguak rahasia sunnatullah yang amat banyak dan
rumit itu. Apalagi sesuai dengan yang dinyatakan oleh Allah sendiri bahwa
sunnatullah itu tidaklah akan pernah berubah.[27]
b.
Ajaran Aliran Qadariyah
Di antara cirr-ciri
paham Qadariyah adalah sebagai berikut.
a1.Manusia
berkuasa penuh untuk menentukan nasib dan perbuatannya, maka perbuatan dan
nasib manusia itu dilakukan dan terjadi atas kehendak dirinya sendiri, tanpa ada
campur tangan Allah SWT.
b1.
Iman adalah ma’rifah serta mengetahui dengan lisan adanya Allah dan
Rasul-NYA, yakni dengan hati dan lisan saja. Sedangkan amalan itu bukan bagian
dari iman. Amalan menduduki tempat kedua setelah iman. Artinya, apabila
seseorang yang telah menyatakan imannya dengan pengakuan hati dan ucapan lisan,
maka dia tidak lagi dituntut sesudahnya untuk beramal.[28]
c1.Orang yang
sudah beriman tidak perlu tergesa-gesa menjalankan ibadah dan amal-amal
kebajikan lainnya.[29]
Adapun pokok-pokok ajaran Qadariyah Menurut Dr.
Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul Islam halaman 297/298, adalah
sebagai berikut:[30]
a1. Orang yang berdosa besar itu bukanlah kafir,
dan bukanlah mukmin, tapi fasik dan orang fasik itu masuk neraka secara kekal.
b1. Allah SWT tidak menciptakan amal perbuatan
manusia, melainkan manusia lah yang menciptakannya dan karena itulah maka
manusia akan menerima pembalasan baik (surga) atas segala amal baiknya, dan
menerima balasan buruk (siksa Neraka) atas segala amal perbuatannya yang salah
dan dosa karena itu pula, maka Allah berhak disebut adil.
c1. Kaum Qadariyah mengatakan bahwa Allah itu maha
esa atau satu dalam ati bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat azali, seprti
ilmu, Kudrat, hayat, mendengar dan melihat yang bukan dengan zat nya sendiri.
Menurut mereka Allah SWT, itu mengetahui, berkuasa, hidup, mendengar, dan melihat
dengan zatnya sendiri.
d1. Kaum Qadariyah berpendapat bahwa akal manusia
mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, walaupun Allah tidak
menurunkan agama. Sebab, katanya segala sesuatu ada yang memiliki sifat yang
menyebabkan baik atau buruk.
c.
Dasar Al-Qur’an yang sejajar dengan
pemahaman aliran Qadariyah
a1.Dalam surat al-Ra’ad
Ayat 11:
“Bagi manusia ada
malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.
Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”
b1. Dalam Surat al-Kahfi ayat 29:
“Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu;
Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa
yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan
bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika
mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi
yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan
tempat istirahat yang paling jelek.”
c1.Dalam surat Ali
Imran ayat 165:
“Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud),
Padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu
(pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan)
ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.”
d1.
Dalam surat Fushilat ayat 40:
“{Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Kami,
mereka tidak tersembunyi dari kami. Maka Apakah orang-orang yang dilemparkan ke
dalam neraka lebih baik, ataukah orang-orang yang datang dengan aman sentosa
pada hari kiamat? perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha
melihat apa yang kamu kerjakan.”[31]
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Jabariyah
adalah paham yang menganut bahwa hidup manusia ditentukan oleh Allah dan manusia tidak mampu untuk berbuat
apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak
mempunyai pilihan. Manusia dalam
perbuatan adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan
baginya perbuatan-perbuatan diciptakan tuhan dalam dirinya.
Sedangkan
Qadariyah adalah paham yang menganut bahwa manusia
mempunyai qudrah atau kemampuan untuk melakukan kehendaknya. Dalam istilah
Inggrisnya, paham ini dikenal dengan nama free will dan free act. Kelompok Qadariyah juga percaya kepada taqdir. Akan tetapi taqdir
bagi mereka bukanlah bermakna “nasib” melainkan bermakna kemampuan, kekuatan,
atau kekuasaan.
Dua kutub
akidah ini bukan lah sesuatu hal yang harus di pertentangkan tapi bisa di
jadikan sebuah formula dalam menjalani kehidupan. Kita harus meyakini bahwa
kita tak punya daya tak punya kekuatan kecuali dengan allah, sedangkan Allah
menyuruh kita untuk berusaha, ini menjadi
tugas yg di perintahkan allah pada manusia di permukaan bumi.
B.
Saran
Diminta kritik dan saran dari para pembaca
terhadap kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam makalah ini demi
kesempurnaan. Semoga makalah ini bisa menjadi bahan rujukan para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
A.W.
Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Yogyakarta:
Pustaka Progressif, 1984), h. 164
Bakri
Dusar, Tauhid dan Ilmu Kalam, (Padang: IAIN-IB Press, 2001), h. 59-60
Paham
fatalis adalah suatu paham yang menganut bahwa segala sesuatu terjadi menurut
nasib yang tidak dapat ditawar-tawar lagi (pasrah). Manusia tidaklah memiliki
andil dalam perbuatannya, tetapi Tuhanlah yang menentukan segala-galanya.
Alkhendra,
Pemikiran Kalam, (Bandung: Alfabeta, 2000), h. 42
Duskiman
Sa’ad, Aliran dalam Islam: Perbedaan Pemahaman terhadap Kajian Teologi Islam,
(Padang: IAIN-IB Press, 2001), h. 38
Ahmad
Daudy, Kuliah Ilmu Kalam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1997), h. 20
Muslim
Munaf, Tauhid Ilmu Kalam, (Padang: IAIN-IB Press, 1999), h. 150
Rosihon
Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: (CV Pustaka Setia, 2007),
h. 160
http://jowo.jw.lt/pustaka/buku/Islam/Perpecahan.com
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Karya Insan Indonesia,
2004)
http://www.Aliran-Aliran
dalam Ilmu Kalam.com
[1]
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Yogyakarta:
Pustaka Progressif, 1984), h. 164
[2]
Bakri Dusar, Tauhid dan Ilmu Kalam, (Padang: IAIN-IB Press, 2001), h.
59-60
[3] Paham fatalis adalah suatu paham yang menganut bahwa segala sesuatu
terjadi menurut nasib yang tidak dapat ditawar-tawar lagi (pasrah). Manusia
tidaklah memiliki andil dalam perbuatannya, tetapi Tuhanlah yang menentukan
segala-galanya.
[4]
Alkhendra, Pemikiran Kalam, (Bandung: Alfabeta, 2000), h. 42
[5]
Duskiman Sa’ad, Aliran dalam Islam: Perbedaan Pemahaman terhadap Kajian
Teologi Islam, (Padang: IAIN-IB Press, 2001), h. 38
[6]
Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Kalam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1997), h.
20
[7]
Duskiman Sa’ad, Op. Cit, h. 38-39
[8]
Ahmad Daudy, Op. Cit, h. 21
[9]
Alkhendra, Op. Cit, h. 46
[10] Muslim
Munaf, Tauhid Ilmu Kalam, (Padang: IAIN-IB Press, 1999), h. 150
[11]
Alkhendra, Op. Cit, h. 47
[12]
Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: (CV Pustaka Setia,
2007), h. 160
[13] http://jowo.jw.lt/pustaka/buku/Islam/Perpecahan.com
[14] Ahmad Daudy, Op. Cit, h. 23-24
[15] Duskiman Sa’ad, Op. Cit, h. 42
[17] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, (Jakarta: CV. Karya Insan Indonesia, 2004)
[18]
A.W. Munawwir, Op. Cit, h. 1095
[19] Alkhendra, Op. Cit, h. 41
[20]
Bakri Dusar, Op. Cit, h. 61
[22]
Duskiman Sa’ad, Op. Cit, h. 45-46
[23]
Ahmad Daudy, Op. Cit, h. 27
[24]
Rosihon Anwar dan Abdul Razak, Op. Cit, h. 161
[25]
Duskiman Sa’ad, Op. Cit, h. 44
[27]
Alkhendra, Op. Cit, h. 44
[28]
Ahmad Daudy, Op. Cit, h. 25-26
[31]
Departemen Agama RI, Op. Cit
0 Comment