BAB I
PENDAHULUAN
Jika
pemikiran Islam pada golongan Mu’tazilah bercorak rasionalisme murni, maka pada
masa sesudahnya berubah coraknya sedemikian rupa, nash sebagai jalan untuk
menundukkan agama kepada akal pikiran semata-mata tali penghubung tersebut
diadakan oleh seseorang yang mula-mula terdidik atas paham mu’tazilah dan
memeluk ajaran-ajarannya dan pada akhirnya ia meninggalkan ajaran tersebut dan
membentuk ajaran sendiri yang terkenal dengan nama al-Asy’ariyah. Ahli pikir
tersebut ialah Abu Hasan al-Asy’ari. Ketidak pastian al-Asy’ari terhadap
pendapat Mu’tazilah membuat al-Asy’ari memunculkan pendapatnya sendiri.
Perbincangan tersebut berkisar seputar masalah kedudukan wahyu dan akal,
permasalahan iman dan kufur, perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Al-Asy’ari
dianggap sebagai pendiri aliran al-Asy’ariyah telah memberikan warna dalam
perjalanan pemikiran teologi yang hingga kini aliran ini masih berdiri kokoh
dan tetap lestari.
Pembahasan dalam makalah ini berkisar
topik yang telah disebutkan di atas, baik dari pendapat al-Asy’ari itu sendiri
maupun dari pendapat pengikut-pengikutnya (Asy’ariyah). Mudah-mudahan
pembahasan ini bisa menambah perbendaharaan kita semua khususnya dibidang
aliran (paham) Asy’ariyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Awal mula
adanya istilah
al-Asy’ariyah
Al-Asy’ariyah adalah salah satu aliran terpenting dalam teologi Islam, disebut
juga aliran “Ahlusunah waljamaah” yang berarti golongan mayoritas yang sangat
setia pada al-Qur’an dan sunah Nabi SAW. Nama aliran ini dinisbahkan kepada pendirinya,
Abu Hasan al-Asy’ari. Nama lengkap al-Asy’ari adalah Abu al-Hasan Ali bin
Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin
Burdah Abi Musa al-Asy’ari. Menurut beberapa riwayat al-Asy’ari lahir di Basrah
pada tahun 260 H/875 M. Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota
Baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 H/935 M.[1]
Di lihat dari segi silsilah keturunannya maka ternyata Abu Hasan
Asy’ari itu adalah salah seorang keturunan Abu Musa al-Asy’ari inilah, seorang sahabat
Rasul SAW. Dalam kajian teologi Islam, sebutan al-Asy’ari yang kemudian dikenal
sebagai yang dimaksud dengan Abu Hasan, dan berkembang menjadi term
al-Asy’ari.Term ini selanjutnya popular sebagai term yang mempunyai pengertian
khusus sebagai suatu aliran teologi Islam dipelopori oleh Abu Hasan al-Asy’ari
tersebut. Kemudian membangun idiologi baru dengan nama
ahlussunnah wal jama’ah dan memperjuangkan penyelamatan islam dari
tangan-tangan kotor, yang dikenal dengan nama Abu Hasan Al- Asy’ari kemudia
beliau terkenal dengan aliran Asy’ariah.[2]
B.
Sejarah munculnya aliran al-Asy’ariyah
Aliran
al-Asy’ariyah timbul sebagai reaksi terhadap faham-faham Mu’tazilah yang
rasional, liberal, natural, falsafi, dan sikap kekerasan mereka dalam
mengembangkan ajaran-ajaran tentang kemakhlukan al-Qur’an.[3] Menurut al-Asy’ari pemikiran Mu’tazilah
banyak yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadits. Di samping itu dalam
penyebaran faham Mu’tazilah terjadi suatu peristiwa yang membuat lembaran hitam
dalam sejarah perkembangan mu’tazilah itu sendiri. Khalifah al-Ma’mun dalam
menerapkan prinsip amar ma’ruf nahi
munkar (perintah untuk mengerjakan
perbuatan baik dan larangan untuk mengerjakan perbuatan keji) melakukan
pemaksaan faham Mu’tazilah kepada seluruh masyarakat Islam. Dalam pemaksaan
faham-faham Mu’tazilah, banyak ulama sebagai panutan masyarakat menjadi korban
penganiayaan, diantaranya Ahmad bin Hambal dan Muhammad bin Nuh. Mereka tetap
berpegang teguh pada hadits Nabi Muhammad SAW dan tidak mau menerima logika
dalam pembuktian masalah-masalah akidah. Mereka mendapat siksaan karena sikap
kuat dan konsistennya dalam mempertahankan prinsip bahwa al-Qur’an itu bukanlah
makhluk sebagaimana yang dianut oleh faham Mu’tazilah. Peristiwa ini dikenal
dalam sejarah teologi Islam dengan mihnah (ujian akidah).[4]
Ayah al-Asy’ari
adalah seorang yang berfaham Ahlussunnah dan ahli Hadits. Ia wafat ketika
al-Asy’ari masih kecil. Sebelum wafat, ia berwasiat kepada seorang sahabatnya
yang bernama Zakaria bin Yahya as-Saji agar mendidik al-Asy’ari. Ibu
al-Asy’ari, sepeninggalan. Ayahnya, menikah lagi dengan seorang tokoh
Mu’tazilah yang bernama Abu Ali al-Jubba’i (w.303 H/ 915 M). Berkat didikan
ayah tirinya itu, al-Asy’ari kemudian menjadi tokoh Mu’tazilah. Ia
sering menggantikan al-Juba’I dalam perdebatan menentang lawan-lawan
mu’tazilah.[5]
Bahkan al-Asy’ari sering mendapatkan kehormatan dari gurunya untuk mewakilinya
dalam beberapa kesempatan, khususnya dalam perdebatan dengan pihak yang
menentang fahamnya. Kadang-kadang
perdebatan itu juga dilakukan dengan gurunya sendiri (al-Juba’i) walaupun harus
berakhir dengan ketidak puasan dan tidak mendapat penyelesaian.[6]
Al-Asy’ari
menganut faham mu’tazilah hanya sampai ia berusia 40 tahun. Setelah itu, secara
tiba-tiba ia mengumuman di hadapan jamaah mesjid Basrah bahwa dirinya telah
meninggalkan faham mu’tazilah dan menunjukkkan keburukan-keburukannya.[7] Menurut
Ibnu Asakir yang dikutip oleh Rosihon Anwar dan Abdul Rozak mengatakan bahwa
yang melatar belakangi al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah adalah
pengakuan al-Asy’ari telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. Sebanyak
tiga kali, yaitu pada malam ke-10, ke-20 dan ke-30 bulan Ramadhan. Dalam tiga
mimpinya itu, Rasulullah memperringatkannya agar meninggalkan faham Mu’tazilah
dan membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau.[8]
C.
Adapun pokok-pokok pikiran Asy’ari adalah sebagai berikut:
a.
Akal dan Wahyu
Kaum Asy’ariyah
berpendapat bahwa akal manusia tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban
sebelum turunnya wahyu. Semua kewajiban adalah berdasarkan wahyu, tidak
semuanya akal dapat menetapkan kebaikan dan keburukan. Demikian pula pemberian
pahala bagi yang taat dan pemberian siksa bagi yang berbuat maksiat adalah
berdasarkan wahyu, bukan akal.[9]
Islam dilandasi
oleh prinsip-prinsip dan konsep-konsep yang pada hakikatnya diluar jangkauan
indera manusia dan tidak bisa dibuktikan secara rasional. Prinsip-prinsip ini
pertama-tama mesti dipercayai berdasarkan wahyu. Jadi wahyulah yang menjadi
landasan bagi reaita dan kebenaran-kebenaran doktrinal pokok Islam.[10]
b.
Sifat Tuhan
Bagi
Asy’ari Tuhan memang memiliki sifat-sifat yang kelihatannya mirip dengan
manusia, tetapi hal itu jangan diartikan secara literal belaka, Tuhan bukanlah
ilmu (pengetahuan) melainkan ‘Alim (yang mengetahui). Dengan kata lain, Tuhan
mengetahui melalui sifat ilmu-Nya, berkehendak dengan sifat kehendak-Nya, dan
seterusnya. Sifat-sifat tersebut tidaklah identik dengan dza-Nya, tetapi tidak
pula berbeda daripada-Nya. Sifat-sifat itu adalah ril walaupun kita tidak tahu
bagaimananya.[11]
c.
Iman dan Kufur
Iman
adalah bagian terpenting dari kajian tauhid, konsep iman juga menjadi polemik
dan bahan perdebatan dalam pembahasan teologi Islam. Polemik dan perdebatan itu
berkisar pada suatu pertanyaan, apakah iman hanya sebatas pembenaran dalam hati
(tashdiq), atau harus termenifestasi ke dalam ma’rifat (mengetahui apa yang diyakini)
dan amal perbuatan. Iman adalah tasdiq
yang artinya pengakuan dalam hati yang mengandung ma’rifah terhadap Allah SWT.
Jadi tasdiq tersebut merupakan
hakikat dari iman dan siapa yang mengetahui sesuatu itu benar maka ia
membenarkannya di dalam hatinya. Adapun tentang penuturan lidah merupakan
syarat iman tetapi tidak termasuk hakikat iman. Argument ini disandarkan dengan
firman Allah SWT dalam surah an Nahl ayat 106 :
Artinya : “Barangsiapa
yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (Dia mendapat kemurkaan Allah),
kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman
(Dia tidak berdosa).
Seseorang
yang mengucapkan kekafiran dengan lidah dalam keadaan terpaksa sedangkan
hatinya tetap beriman kepada Tuhan dan Rasul- Nya maka ia tetap dipandang mukmin. Karena pernyataan lidah
tersebut bukan iman tetapi amal yang berada di luar juzu’ (bagian) iman. Iman
dapat bertambah dan berkurang yang terletak pada keadaan pengakuan hati seseorang terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya.
Sebab jika iman tidak berkurang dan bertambah maka ia tidak ada perbedaan iman
orang yang melakukan maksiat dengan
orang yang melakukan kebaikan.[12]
D. Tokoh-tokoh aliran Asy’ariyah
1.
Al-Baqilani[13]
Pokok-pokok pikiran al-Baqilani :
a.
Dalam masalah akal dan wahyu, meskipun al-Asy’ari dan al-Baqilani
sepakat bahwa akal tidak dapat menentukan masalah yang berkaitan dengan pahala
dan siksa, karena hal ini berhubungan dengan perintah dan larangan tuhan. Bagi
al-Baqilani manusia mempunyai ikhtiar dalam menentukan kehendak dan
perbuatannya, fungsi akal dalam pandangannya sangat besar karena ikhtiar
menunjukkan kebebasan manusia dalam menentukan perbuatannya, sehingga dengan
menggunakan akal secara maksimal manusia dapat berusaha menentukan pilihan yang
terbaik bagi dirinya.[14]
Mengenai ketentuan baik dan buruk al-Baqilani menolak faham Mu’tazilah,
perbuatan baik dan buruk menurutnya ditentukan wahyu. Perbuatan dipandang baik
jika diperintahkan oleh Allah dan sebaliknya dipandang buruk jika Allah melarang
melakukanya.[15]
b.
Sifat Tuhan dalam pandangan al-Baqilani tidak sama seperti
al-Asy’ari karena al-Baqilani memahami bahwa sifat-sifat Tuhan bukan sebagai
sesuatu yang berada di luar zat-Nya. Sifat Tuhan dalam pandangannya sama dengan
sebutan nama, sehingga tidak membawa pengertian yang merusak kepada keesaan
Tuhan. Jadi al-Baqilani memandang bahwa sifat Tuhan itu adalah zatnya bukan sesuatu yang berdiri di luar zatnya.[16]
c.
Iman menurut al-Baqilani adalah tasdiq bi Allah (mengakui
dan membenarkan dalam hati bahwa Allah itu ada) sebagaimana pendapat al-Asy’ari
dan amal bagi al-Baqilani tetap penting karena sebab perbuatan dapat membawa
kekafiran dan orang kafir amalnya sia-sia. Menurutnya sebelum mereka mengucapkn
dua kalimat syahadat tetap berdosa, meskipun ia minta ampun kepada Allah. Ia
hanya akan diampuni Allah setelah mengucapkan syahadat dan kebaikannya akan
dihitung kembali sejak ia mengucapkan kalimat syahadat. Yang akan masuk neraka
pada hari kiamat adalah orang-orang kufur terhadap Allah dan Rasul.[17]
d.
Al-Baqilani adalah orang-orang yang turut pengembangkan faham
Asy’ariyah. Namun mereka tidak begitu saja menerima faham al-Asy’ari.
Al-Baqilani dalam membahas ifat-sifat Tuhan dan perbuatan manusia berbeda
dengan pemikiran al-Asy’ari. Bagi al-Baqilani apa yang disebut dengan sifat
Tuhan bukanlah sifat melainkan hal tentang perbuatan manusi, jika al-Asy’ari berpendapat bahwa perbuatan
manusia diciptakan Tuhan sepenuhnya (kekuasaan mutlak karena Allahsebagai
pencipta), maka menurut al-Baqilani manusia mempunyai andil yang efektif dalam
perwujudan perbuatan. Bagi al-Baqilani yang diwujudkan Tuhan itu adalah gerak
(usaha) yang terdapat dalam diri manusia dan adapun bentuk dan sifat dari gerak
itu dihasilkan oleh manusia itu sendiri.[18]
2.
Al-Juwaini[19]
Pokok pikiran al-Juwaini :
a.
Mengenai sifat Tuhan, al-Juwaini mengakui adanya sifat-sifat Tuhan.
Hal ini tidak berbeda dengan pendapat al-Asy’ari.
b.
Mengenai Kalam Tuhan al-Juwaini mengatakan bahwa kalam Tuhan itu
Qadim.
c.
Mengenai ayat-ayat yang mutasyabihat al-Juwaini mengatakan bahwa
ayat tersebut harus dita’wilkan dan hal ini berbeda dengan pendapat al-Asy’ari.
d.
Melihat Tuhan menurut al-Juwaini sama seperti pendapat al-Asy’ari.
Bahwa Tuhak kelak dapat dilihat di akhirat dengan mata kepala sewaktu sudah
berada di surga. Karena yang tidak dapat dilihat hanya sesuatu yang tidak
berwujud dan yang mempunyai wujud mesti bias dilihat.
e.
Mengenai perbuatan Tuhan dan perbuatan manusiaal-Juwaini lebih
menekankan keefektifan daya manusia.
f.
Kekuasaan dan kehendak Tuhan tidak mutlak seperti al-Asy’ari.
g.
Mengenai akal dan wahyu mempunyai keseimbangan, karna syari’at
mengharuskan manusia mengetahui Tuhan dan adapun cara untuk melaksanakan
kewajiban itu harus dengan menggunakan penalaran akal. Hal-hal yang berkaitan
dengan kewajiban syari’at ditetapkan dengan kewajiban syari’at sedangkan akal
hanya digunakan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut. Akal mempunyai
kemampuan terbatas dan tidak mampu mengetahui adanya hal-hal gaib yang ada
dibalik kewajiban itu. Dengan akal manusia bias mengetahui Tuhan dansifat Tuhan
tetapi tidak sampai ke hakikatnya dan akal bisa mengetahui baik buruk secara
universal saja.[20]
3.
Al-Ghazali[21]
Al-Ghazali
banyak melontarkan sanggahan kepada pemikiran filosof. Adapun yang disebut filosof disini adalah
Aristoteles, Plato dan dua orang filosof
muslim yakni al-Farabi dan Ibnu Sina karena kedua filosof ini dipandang sebagai
orang yang sangat bertanggung jawab
dalam menerima dan menyebar luaskan pemikiran filosof (Sokrates,
Aristoteles dan Plato). Kritis pedas tesebut ia tuangkan dalam bukunya Tahafut
al-Falasafat (kerancuan berfikir para filosof).[22] Diantara
kesalahan berfikir yang dianggapnya fatal dan ia mengkafirkan orng yang
berpendapat:
1)
Alam dan substansinya qadim.
2)
Allah tidak mengetahui yang juz’iyyah (perincian) yang
terjadi di alam.
3)
Pembangkitan jasmani tidak ada.[23]
Pokok pikiran al-Ghazali
a.
Mengenai sifat-sifat Allah, sebagai tokoh al-Asy’ariyah al-Ghazali
juga mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat qadim yang tidak identik
dengan zat Tuhan mempunyai wujud diluar zat. Ia mengemukakan bahwa Allah SWT
mempunyai sifat-sifat itu tidak sama dengan esensi (zat) Nya, tetapi berada
diluar zat tersebut. Hal ini menurut al-Ghazali tidaklah merusak kemahaesaan
Allah dan tidak akan mebawa kepada berbilangnya yang qadim (ta’adud
al-Qudama), karena kemahaesaan itu dipandang dari segi esensi, bukan dari
segi-segi sifat-sifat yang merupakan tambahan bagi esensi tersebut.[24]
b.
Mengenai al-Qur’an menurut pendapat al-Ghazali bersifat qadim dan
tidak diciptakan. Jadi dalam masalah ini ia sependapat dengan al-Baqilani,
al-Juwaini dan al-Asy’ari. Dan sangat bertentangan dengan faham Mu’tazilah yang
berpendapat bahwa al-Qur’an tidak bersifat qadim, baharu dan diciptakan.[25]
c.
Mengenai perbuatan manusia al-Ghazali berpendapat bahwa Tuhanlah
yang menciptakan perbuatan manusia dan daya untuk berbuat dalam diri manusia.
Perbuatan manusia terjadi dengan daya Tuhan dan bukan dengan daya manusia,
sungguhpun yang tersebut terakhir ini dekat hubungannya dengan perbuatan itu
sendiri, namun tak dapat dikatakan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatannya.
Manusia menurut al-Ghazali mempunyai kasb (usaha) dan ikhtiar
dalam mewujudkan perbuatannya, namun daya untuk melakukan perbuatan tersebut
diciptakan oleh Allah SWT. Jadi sebenarnya daya untuk berbuat bukanlah daya
manusia, tetapi daya Tuhan.[26]
d.
Mengenai Kemampuan manusia al-Ghazali tidak membantah bahwa orang
yang berakal dapat sampai kepada pengenalan adanya Allah. Akan tetapi dengan akal
saja ia tidak akan bisa sampai kepada pengetahuan mengenai kewajiban terhadap
Allah dan bersyukur terhadapNya, yang apabila diperbuatnya ia akan mendapat
pahala, dan jika tidak dikerjakan ia akan menanggung siksaan. Menurut
al-Ghazali akal hanya dapat mengetahui adanya Tuhan saja, maka wahyu mempunyai
kedudukan penting bagi manusia dalam mengetahui baik dan buruk serta mengetahui
kewajiban-kewajibannya hanya karena turunya wahyu. Dengan demikian pendapatnya
sangat bertentangan dengan pendapat Mu’tazilah yang mengatakan bahwa wahyu
mempunyai fungsi konfirmasi dan informasi. Jadi tidaklah selamanya wahyu
menentukan apa yang baik dan apa yang buruk, karena akal bagi Mu’tazilah dapat
mengetahui sebagian dari yang baik dan sebahagian dari yang buruk.[27]
BAB III
PENUTUP
Corak pemikiran al-Asy’ari sebenarnya untuk menengahi pemikiran
antara Mu’tazilah yang terlalu menggunakan rasional dengan paham Jabariyah. Namun
pada akhirnya pemikiran al-Asy;ari sendiri lebih cendrung kepada pemikiran
Jabariyah. Al-Asy’ari lebih banyak menyandarkan alasanya kepada kehendak dan
kekuasaan mutlak Allah yang pada akhirnya pemikirannya ini membawa kesamaan
dengan pemikiran Jabariyah.
Paham al-Asy’ari kemudian disebarluaskan oleh para pengikutnya
(Asy’ariyah). Diantara pengikut al-Asy’ari seperti al-Baqilani, al-Juwaini dan
al-Ghazali yang bercorak pemikirannya lebih dekat dengan paham Qadariyah. Namun
mereka masih tetap memegang otoritas wahyu dalam hal-hal yang bersifat
kewajiban syari’at karna hal itu hanya bisa diketahui dengan wahyu. Disamping
itu mereka juga tidak banyak berpegang kepada kehendak dan kebebasan mutlak
Tuhan seperti halnya al-Asy’ari.
DAFTAR PUSTAKA
Rosihon
Anwar dan Abdul Razak, Ilmu Kalam, (Bandung : CV.Pustaka Setia,2003), h.
120
Duskiman
Sa’ad, Aliran Dalam Islam: Perbedaan Pemahaman dalam Kajian Theologi Islam, (Padang,
IAIN-IB Press, 2001), h. 74
Yahya
Jaya, Teologi Agama Islam Klasik,( Padang : Angkasa Raya, 2000),
h.76
Hamdani,
dkk, Ilmu Kalam, (Bandung : Griya Asri, 2010), h. 97
A. Hanafi, Pengantar Theologi Islam, (Jakarta:
PT.al-Husna Zikra, 1995), h. 104
Ilhamuddin, Pemikiran Kalam al-Baqilani Studi tentangPerbedaannya dan
Persamaannya dengan Asy’ari, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 115
M.Abduh Hye, Terjemahan
Theological Philosophical Movement, diterjemahkan oleh Karsidi Diningrat,
“Aliran Asy’ariyah”, (Bandung : Nuansa Cendikia, 2004), h. 71
Bakri Dusar, Pemikiran
Teologi H.Agus Salim tentang Tauhid, Takdir, dan Tawakal, (Padang : Hayfa
Press, 2007), h. 63
Nama aslinya adalah al-Qadi Abu Bakar Muhammad ibn al-Tayyib ibn Muhammad
ibn Ja’far ibn Qasim Abu Bakar al-Baqilani. Dilahirkan di
Basrah tetapi tidak ada keterangan yang menjelaskan tanggal dan tahun
kelahirannya. Ia hidup di masa pemerintahan Adud al-Daulat al-Bawaihi (w. 372
H), maka ia diperkirakan lahir setelah separoh kedua abad ke empat Hijriyah. Ia
berdomisili di kota Baghdad. Ia pernah belajar hadits dari Abu Bakar ibn Malik
al-Qati’I dan Abu Muhammmad ibn Masi dan Abu Ahmad al-Husein ibn Ali
al-Naisabury. Ia juga diriwayatkan pernah belajar kepada Abu Bakar ibn Mujahid
dibidang Ushul dan berguru fikih kepada AAbi Bkar al-Abhari. Al-Bagilani
merupakan pemuka al-Asy’ariyah yang
mampu membungkam lawan-lawannya. Selama hidupnya al-Baqilani dikenal sebagai
orang yang bermazhab Maliki. Al-Baqilani wafat pada hari sabtu, tanggal 21
Zulkaidah 403 H (6 Juni 1913 M) dan dikebumikan di Majusi dan kemudian makamnya
dipindahkan ke pemakaman korban perang. Menurut Abu al-Ma’ali seperti yang
dikutip oleh Ilhamuddin dikebumikan di dekat makam Imam Ahmad ibn Muhammad ibn
Hambal………..Ilhamuddin, Op.Cit, h.13-15
Nama lengkapnya adalah Abdul Ma’ali bin Abdillah dilahirkan di
Naisapur (Iran)kemudian setelah dewasa ia pergi ke kota Mu’askar dan akhirnya
tinggal di kota Baghdad (Irak). Namun ia pergi meninggalkan Baghdad menuju
Hijaz dan tinggal di Mekkah dan kemudia
ke Madinah untuk memberikan pelajaran di sana. Karena itu ia mendapat
gelar Imamul Haramain (Imam kedua tanah suci yaitu Mekkah dan Madinah).
Pada masa Nizamul Mulk memegang pemerintahan ia mendirikan senkolah Nizamiah di
Naisapur maka al-Juwaini dimintanya kembali ke negeri asalnya untuk member
pelajaran disana. Diantara karyanya adalah al-Irsyad (tentang kewajiban
manusia untuk menyelidiki menggunakan akal)……………A.Hanafi,0p.Cit, h.
138-139
Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Ahmad al-Ghazali, lahir pada tahun
450 H/1058 M di kota Thus kota kecil di
Khurasan (Iran) dan meninggal pada tahun 505 H/1111 M. Al-Ghazali semasa
kecinya belajar fikih di Thus kepada imam ar-Razakani dan ketika menginjak
dewasa ia menuntut ilmu ke Jurjan dan akhirnya ke Naisapur kepada al-Juwaini. Ia
menguasai fiqih Syafi’I dan kalam Asy’ari. Kemudian ia pindah ke Mu’askar dan
menjadi guru di Universitas Nizamiyah di Baghdadpada masa pemerintahan Bani
Saljuk. Di sana namanya menjadi terkenal dan akhirnya banyak menulis seperti
Ihya Ulumuddin, al-Iqtishad, fi al-I’tiqad dan lain-lain. Al-Ghazali digelari
Hujjah al-Islamkarena pembelaannya yang mengagumkan kepada agama terutama dalam
menyanggah aliran kebatinan dan filosof. Pada awalnya ia menjadi ahli fiqih,
lalu menjadi teolog dan akhirnya beralih menjadi sufi…..Gusnar Zain, Ketuhanan
Versi Teolog dan Filosof, (Jakarta: Hayfa Press, 2006), h. 58-59
Sirajuddin Zar,
Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada, 2004), h. 159
[1].Rosihon
Anwar dan Abdul Razak, Ilmu Kalam, (Bandung : CV.Pustaka Setia,2003), h.
120
[2]Duskiman
Sa’ad, Aliran Dalam Islam: Perbedaan Pemahaman dalam Kajian Theologi Islam, (Padang,
IAIN-IB Press, 2001), h. 74
[3]
.Yahya Jaya, Teologi Agama Islam Klasik,( Padang : Angkasa Raya,
2000), h.76
[4]
.Hamdani, dkk, Ilmu Kalam, (Bandung : Griya Asri, 2010), h. 97
[6]
Duskiman Sa’ad, Op.Cit, h.75
[7]A.
Hanafi, Pengantar Theologi Islam, (Jakarta: PT.al-Husna Zikra, 1995), h.
104
[8]Rosihon
Anwar , Op.Cit, h. 121
[9] Ilhamuddin, Pemikiran Kalam al-Baqilani Studi
tentangPerbedaannya dan Persamaannya dengan Asy’ari, (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 1997), h. 115
[10]M.Abduh
Hye, Terjemahan Theological Philosophical Movement, diterjemahkan oleh
Karsidi Diningrat, “Aliran Asy’ariyah”, (Bandung : Nuansa Cendikia, 2004), h.
71
[12]Bakri
Dusar, Pemikiran Teologi H.Agus Salim tentang Tauhid, Takdir, dan Tawakal, (Padang
: Hayfa Press, 2007), h. 63
[13]Nama
aslinya adalah al-Qadi Abu Bakar Muhammad ibn al-Tayyib ibn Muhammad ibn Ja’far
ibn Qasim Abu Bakar al-Baqilani. Dilahirkan di Basrah tetapi tidak ada
keterangan yang menjelaskan tanggal dan tahun kelahirannya. Ia hidup di masa
pemerintahan Adud al-Daulat al-Bawaihi (w. 372 H), maka ia diperkirakan lahir
setelah separoh kedua abad ke empat Hijriyah. Ia berdomisili di kota Baghdad.
Ia pernah belajar hadits dari Abu Bakar ibn Malik al-Qati’I dan Abu Muhammmad
ibn Masi dan Abu Ahmad al-Husein ibn Ali al-Naisabury. Ia juga diriwayatkan
pernah belajar kepada Abu Bakar ibn Mujahid dibidang Ushul dan berguru fikih
kepada AAbi Bkar al-Abhari. Al-Bagilani merupakan pemuka al-Asy’ariyah yang mampu membungkam lawan-lawannya.
Selama hidupnya al-Baqilani dikenal sebagai orang yang bermazhab Maliki.
Al-Baqilani wafat pada hari sabtu, tanggal 21 Zulkaidah 403 H (6 Juni 1913 M)
dan dikebumikan di Majusi dan kemudian makamnya dipindahkan ke pemakaman korban
perang. Menurut Abu al-Ma’ali seperti yang dikutip oleh Ilhamuddin dikebumikan
di dekat makam Imam Ahmad ibn Muhammad ibn Hambal………..Ilhamuddin, Op.Cit,
h.13-15
[17].Ibd,
h. 121 a
[19]Nama
lengkapnya adalah Abdul Ma’ali bin Abdillah dilahirkan di Naisapur
(Iran)kemudian setelah dewasa ia pergi ke kota Mu’askar dan akhirnya tinggal di
kota Baghdad (Irak). Namun ia pergi meninggalkan Baghdad menuju Hijaz dan
tinggal di Mekkah dan kemudia ke Madinah
untuk memberikan pelajaran di sana. Karena itu ia mendapat gelar Imamul
Haramain (Imam kedua tanah suci yaitu Mekkah dan Madinah). Pada masa
Nizamul Mulk memegang pemerintahan ia mendirikan senkolah Nizamiah di Naisapur
maka al-Juwaini dimintanya kembali ke negeri asalnya untuk member pelajaran
disana. Diantara karyanya adalah al-Irsyad (tentang kewajiban manusia
untuk menyelidiki menggunakan akal)……………A.Hanafi,0p.Cit, h. 138-139
[21]Nama
lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Ahmad al-Ghazali, lahir pada tahun 450 H/1058
M di kota Thus kota kecil di Khurasan
(Iran) dan meninggal pada tahun 505 H/1111 M. Al-Ghazali semasa kecinya belajar
fikih di Thus kepada imam ar-Razakani dan ketika menginjak dewasa ia menuntut
ilmu ke Jurjan dan akhirnya ke Naisapur kepada al-Juwaini. Ia menguasai fiqih
Syafi’I dan kalam Asy’ari. Kemudian ia pindah ke Mu’askar dan menjadi guru di
Universitas Nizamiyah di Baghdadpada masa pemerintahan Bani Saljuk. Di sana
namanya menjadi terkenal dan akhirnya banyak menulis seperti Ihya Ulumuddin,
al-Iqtishad, fi al-I’tiqad dan lain-lain. Al-Ghazali digelari Hujjah
al-Islamkarena pembelaannya yang mengagumkan kepada agama terutama dalam
menyanggah aliran kebatinan dan filosof. Pada awalnya ia menjadi ahli fiqih,
lalu menjadi teolog dan akhirnya beralih menjadi sufi…..Gusnar Zain, Ketuhanan
Versi Teolog dan Filosof, (Jakarta: Hayfa Press, 2006), h. 58-59
[22]Sirajuddin
Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada, 2004), h. 159
[24]Duskiman Sa’ad, Op.Cit, h. 112
0 Comment