TRADISIONALISME ISLAM DI MINANGKABAU:
MELACAK PENGARUH SURAU SYEIKH BURHANUDDIN ULAKAN DALAM ISLAMISASI
BAB I : PENDAHULUAN
A. Minangkabau
Penamaan Minangkabau dalam sejarah dan cerita yang hidup dalam masyarakat sangat beragam sekali. Sejak dari cerita tambo, kaba dan cerita rakyat sampai tulisan ahli sejarah banyak mengaitkan nama Minangkabau dengan kisah-kisah akan keberanian dan kehebatan nenek moyang orang Minangkabau, seperti keberhasilan mereka meng-alahkan kerbau Majapahit melalui strateginya mengadu kerbau kecil yang sudah di pasang tanduk besi dengan kerbau besar yang dibawa pasukan Majapahit. Namun, ada informasi yang bisa dipercaya bahwa sejarah Minangkabau menurut Joustra dalam bukunya “Minangkabau, overzicht Van Land, geschiedenes en volk” halaman 41-44. “Asal mula nama daerah ini, yaitu Minangkabau” pun berada dalam kegelapan “ Di antara keterangan-keterangan yang paling banyak mengandung kemungkinan kebenaran, ada-lah dari vandertuuk, yang berpendapat, bahwa perkataan itu adalah berasal dari Phinangkhabu “tanah asal”. Sedangkan perkataan lain :”menang kerbau” atau “Mainang” (mengembalakan) kerbau ini adalah keterangan orang banyak saja.
Minangkabau dalam konteks sejarah dan realitas masyarakat adalah suatu konsep yang utuh dan lengkap. Dari segi sosial budaya, Minangkabau melampaui jauh dari Provinsi Sumatera Barat sekarang. Sebab, pemakai budaya Minangkabau jauh melampui teritorial wilayah Sumatera Barat. Ia meliputi daerah antara lain; sebahagian penduduk Provinsi Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Utara, dan malah sampai ke negara tentangga Negeri Sembilan di Malaysia. Sejarah Minangkabau masa lalu dan dibuktikan oleh realitas kawasan budaya dan suku Minangkabau saat ini terdiri dua bahagian yaitu :Pertama, Luhak Nan Tigo, Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh Kota. Kedua, Rantau terdiri: Kampar, Siak, Rokan, Bonai, Bila, Kuala, dan Asahan yang kemudian menjadi bahagian wilayah Sumatera bahagian Timur. Indragiri masuk kere-sidenan Riau, Batanghari dan Jambi masuk keresidenan Jambi, Muko-Muko, Majuto, dan Bangkahulu termasuk keresidenan Bengkulu. Natal, Sibolga, Barus termasuk keresidenan Tapanuli, Sinkel,Trumon Tapak Tuan, dan Meoulabuh di pantai barat Aceh masuk bahagian kere-sidenan Aceh . Begitu juga rantau Naning di Malaka dan juga Negeri Sembilan terakhir jadi daerah taklukan Minangkabau dengan lenyapnya dinasti Pagaruyung pada tahun 1809
Bergantinya nama Minangkabau menjadi Sumatera Barat, seiring dengan masuknya kolonial Belanda, yang kemudian menyebut daerah ini sebagai Residentie van Sumatra Westkust. Penamaan ini kemudian terus di-pergunakan pada masa Indonesia merdeka, meskipun batas-batas wilayahnya mengalami pergeseran. Apa yang sekarang dikenal sebagai Sumatera Barat jauh lebih kecil dari Minangkabau. Batas-batas propinsi yang kini berlaku tidak sepenuhnya mengikuti keluasan penyebaran orang Minangkabau dan pengaruh kulturalnya. Sebagai salah satu dari 30 propinsi di Indonesia luas daratan Sumatera Barat lebih kurang 1/48,2 (sekitar 42.297.30 km2) dari keseluruhan luas daratan Indonesia (sekitar 2.026.528 km2). Tetapi setelah era kemerdekaanpun, Sumatera Barat masih sering disebut dengan “Minangkabau”, dengan letak wilayah: di sebelah Utara berbatasan dengan propinsi Sumatera Utara; di sebelah Timur berbatasan dengan propinsi Riau; di sebelah Selatan berbatasan dengan propinsi Jambi dan Riau; dan di sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia
Tentang seberapa jauh luas wilayah dan batas-batas Minangkabau dalam konteks sejarah diungkap dalam tambo dan bidal adat bahwa wilayah terorital Minangkabau sajak dari riak nan badabua, siluluak punai mati, sirangkak nan badankung, buayo putiah daguak. Taratak aier hitam, sampai ka durian nan ditakuak rajo. Versi lain menyebutnya dari Riak Nan badabur, sehiliran Pasir Panjang, yaitu dari Bayang sampai Sikilang Air Bangis; Gunung Malintang hilir di Pasaman, Rao dan LubukSikaping, Lalu ke Batu Bersurat, Sialang Balantak Basi, Gunung patah sembilan, lalu ke Durian di tekuk raja. Penulis buku Kato Pusako mengambarkan tentang Minangkabau “Sajak durian di takuak raja, Sialang balantak basi, buayo nan putiah daguak, Sirangkak nan badangkang, Sampai taratak air hitam, Sampai riak nan badabua, Sampai bateh Indropuro , Sampai ka siak Indrogiri, Hinggo sipisak pisau hanyuik, sampai sikilang air bagis” .Batas yang dipakai dalam buku Kato Pusako ini mengabungkan pendekatan budaya dengan teritorial. Akan tetapi, secara meyakinkan, batas wilayah Minangkabau dalam kontek sejarah dan sosial budaya belum dapat ditunjukan. Akan tetapi, interpretasi tentang kata-kata ombak nan badabua itu diperkirakan adalah lautan Hindia, ke utaranya disebut Sikilang air Bagis, artinya berbatasan dengan Tapanuli Sumatera Utara, Taratak Air Hitam, yaitu batas ke Timur sampai ke daerah Indragiri di Riau, sedangkan Durian di takuk raja adalah batas arah ke tenggara berbatasan dengan propinsi Jambi. Pada daerah yang berada dalam batas-batas tersebut memang corak sosial budaya masyarakat memiliki kesamaan dengan Minangkabau asli di Darek Luhak Nan Tigo, pusat alam Minangkabau.
Perbedaan pengertian tentang luas dan daerah Minangkabau masa lalu disebabkan oleh perbedaan para ahli dalam menempatkan mana yang dimaksud dengan Minangkabau, apakah Minangkabau dalam artian daerah asli yaitu Luhak Nan Tigo atau juga termasuk daerah rantau. Bila rantau dimasukan sebagai Minangkabau maka daerah ini meliputi Sumatera Tengah bahkan sampai ke Negeri Sembilan di Malaysia. Pembatasan dan pengecilan wilayah Minangkabau telah direncanakan sedemikian rupa oleh penjajah Belanda. Misalnya, seorang peneliti Belanda menuliskan bahwa daerah Minangkabau terletak sekitar dataran tinggi yang terbentang diantara onggokan Bukit Barisan bahagian tengah yang membujur dari utara ke selatan pulau Sumatera yang dilingkari oleh tiga buah gunung yaitu Merapi, Singalang dan Sago. Ini tentu artinya, Minangkabau adalah daerah asli saja yaitu darek, sedangkan rantau adalah daerah yang berdiri sendiri pula. Disamping itu, ada lagi informasi penulis penjajah bahwa daerah Minangkabau adalah kawasan yang berada pada ketinggian sekitar 300 sampai 900 meter di atas permukaan laut, dengan luas wilayahnya lebih kurang 42.000 km persegi , yang berarti 11 %(persen) dari luas pulau Sumatera. Ada pula yang menyebutkan bahwa wilayah Minangkabau seluruhnya lebih kurang 18.000 mil bujur sangkar, kurang 3 % dari seluruh wilayah Indonesia.
Pembahagian wilayah dalam kesatuan politik, ekonomi dan sosio-kultural lazim dikenal dengan Darek, Pesisir dan Rantau. Darek adalah daerah pusat Minang-kabau yang terdiri dari tiga luhak, Pesisir merupakan wilayah yang berada sepanjang pantai sejak Pasaman, Pariaman sampai Painan. Sedangkan rantau wilayah dibawah pengaruh kerajaan Minangkabau dulunya, seperti Batanghari, Kerinci di Propinsi Jambi, Taluk Kuantan di propinsi Riau sekarang. De Jong , menetapkan bahwa daerah Minangkabau itu terdiri dari dua lingkungan wilayah yaitu :(1) Minangkabau asli, yang disebut juga dengan darek yang terdiri dari tiga luhak, yaitu; Luhak Agam, Luhak Tanah Datar dan Luhak Limo Puluh Kota. (2) Daerah Rantau, yaitu perluasan Minangkabau yang berbentuk koloni dari setiap luhak tersebut diatas, yaitu : (a) rantau luhak Agam yang meliputi daerah dari pesisi barat sejak Pariaman sampai Air Bangis, Lubuk Sikaping dan Pasaman. (b) rantau Luhak Tanah Datar meliputi Kubung tigo Baleh, Pesisir Barat dan Selatan dari Padang sampai Indrapura, Kerinci dan Muara Labuh. (c) rantau luhak Limo Puluh Kota yang meliputi Bangkinang, lembah Kampar Kiri dan Kampar kanan serta Rokan.
Dalam pengertian tradisional rantau dipandang sebagai wilayah kedua atau disebut oleh penulis asing dengan istilah “kolonisasi “ bagi orang Minangkabau yang berada di pusat (Darek). Di sini dipahami rantau sebagai wilayah terpisah dari darek dari segi kewenangan atau kekuasaan , tetapi tetap berada dalam satu wilayah kultural. Pepatah menyebutkan “ Darek Berpenghulu, Rantau Barajo”. Di Pusat (Darek) pemerintahan dikuasai oleh penghulu, sementara di rantau pemegang kekuasaan adalah Raja. Implementasi dari kekuasaan penghulu di Darek ada pada Nagari, sebagai sebuah pemerintah yang berdiri sendiri. Masing-masing nagari mengatur urusannya dan kemudian ia berada dalam satu Dewan di bawah penghulu nagari. Hasil keputusan bersama yang dihasil Dewan Nagari ini yang akan menjadi aturan dalam setiap nagari. Sementara, di rantau raja memiliki kewenangan yang lebih luas. Raja merupakan penguasa yang mendapat hak ulayat dari pemerintahan pusat di darek. Dengan kedudukan yang kuat dari setiap nagari dan tidak adanya kekuatan pusat yang dapat mengontrolnya, maka nagari oleh peneliti sering diidentikan dengan republik-republik kecil.
Bentuk pemerintahan nagari di Minangkabau dengan segala pranata yang mendukungnya jauh sebelum adanya Raja di Minangkabau telah ada dan memegang kekuasaan secara riil dalam sistem hidup bermasyarakat. Dalam tambo diceritakan bahwa orang pertama yang memimpin alam Minangkabau adalah dua orang yang sangat bijaksana, yaitu Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Kedua orang ini adalah bersaudara seibu, berlainan ayah. Kedua pemimpin legendaris Minangkabau ini diceritakan mewariskan dua sistem budaya masyarakat yang berjalan menurut kaidah-kaidahnya masing-masing. Kedua sistim budaya atau adat ini disebut dengan laras. Laras adalah wilayah budaya yang dipimpin dalam dua sistim adat yakninya sistim Datuk Katumangungan yang dinamakan Laras Koto Piliang. Dan sistim Datuk Perpatih Nan Sabatang dinamakan Laras Bodi chaniago. Perbedaan pokok pada dua kelarasan ini hanyalah dalam menentukan kedudukan Raja. Bagi laras Koto Piling Raja itu memimpin seluruh alam Minangkabau, sedangkan oleh Laras Bodi Chaniago, Raja hanya ada di rantau, sedangkan Luhak dipimpin penghulu, raja hanya sebatas simbol belaka. Kedua kelarasan ini pada dasarnya menganut sistim demokrasi, hanya saja laras Koto Piliang lebih sempit dan cendrung otokrasi, sedangkan laras Bodi Chaniago lebih luas dan demokratis.
Dalam perkembangan selanjutnya, kedua pemimpin laras tersebut membagi alam Minangkabau, guna menentukan wilayah kekuasaan masin-masing. Bodi Chaniago memiliki wilayah keuasaan di Luhak Agam dan Koto Piliang berkuasa di Luhak Lima Puluh Kota, sementara Luhak Tanah Datar adalah daerah campuran kedua laras, karena ia merupakan pusat kekuasaan alam Minangkabau. Pada akhirya, nama kedua laras tadi berobah menjadi empat suku induk di Minangkabau, yaitu Koto, Piliang, Bodi dan Chaniago. Masing-masing suku itu dipimpin oleh seorang Datuk atau Penghulu suku. Selanjutnya komonitas yang mendiami wilayah baru dapat dikatakan nagari kalau sudah didiami oleh keempat suku itu. Bentuk kolektif dari empat suku itulah yang menjadi modal dasar didirikanya suatu nagari.
Dalam tambo diceritakan pula bahwa nenek moyang orang Minangkabau membangun nagari pertama di lereng gunung Merapi, yaitu Pariangan Padang Panjang. Setelah kemudian mereka berkembang biak, maka berdirilah nagari-nagari selingkaran gunung Merapi dan sealiran Batang Bengkaweh, yang disebut juga dengan Pakan Tuo. Hal ini disebut dalam pepatah adat :
Dari Mana titik pelita, dari semak turun ke padi
Dari mana asal nenek moyang kita, dari Puncak Gunung Merapi.
Mengenai asal-usul nenek moyang orang Minangkabau dari puncak gunung merapi semua tambo menceritakan demikian adanya. Pada suatu ketika bumi bersentak naik dan lagit bersentak turun, datanglah keturunan Raja Iskandar Zulkarnain yaitu Sri Maha Raja Diraja dan mendarat di puncak gunung merapi. Di sana ia kawin dengan Puti Indo Jelita, adik perempuan dari ninik Datuk Suri Dirajo. Dari perkawinan itu lahir Datuk Katu-manggungan. Kemudian setelah Sri Maharaja Diraja meninggal, Indo Jelita dikawini oleh seorang penasehat Sri Maharaja, yaitu Cati Bilang pandai. Dari perkawinan kedua ini lahirlah Datuk Perpatih Nan Sabatang dan beberapa orang putra putri lagi. Putra putri Indo Jelita itulah yang kemudian menjadi cikal bakal nenek moyang orang Minangkabau. Selanjutnya keturunan ini menguasai daerah baru dan menyusun masyarakat dengan mengikuti garis keibuan. Maka selanjutnya garis keturunan di Minangkabau mengacu kepada haris keturunan ibu, atau matriarchaat.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat, maka kemudian dari perkampung sederhana disusunlah masyarakat dalam kelompok yang disebut dengan taratak, koto dan nagari berdasarkan suku dan daerah tempat tinggal. Sedangkan dari segi sosial budaya, maka masyarakat disusun pula pada suatu kepemimpinan yang berjenjang yaitu, tunggai, mamak rumah, kapala suku dan penghulu suku. Untuk mengatur bagaimana masyarakat hidup maka ditetapkan hukum-hukum tak tertulis yang mengatur tentang sistim hidup bermasyarakat yang kemudian dinamakan dengan hukum adat. Model seperti diatas terus berkembang pada Luhak nan tiga. Ketika, masyarakat bertambah ramai juga maka mereka berusaha mencari wilayah baru untuk anak kemenakan mereka, itulah yang kemudian dikenal dengan rantau. Kalau pada tahap awal konsep rantau hanya sebatas daerah sekeliling alam minangkabau, maka dalam perkembangan selanjutnya konsep rantau mengalami perluasan arti, yaitunya keseluruh daerah di mana saja di dunia ini menjadi daerah rantaunya orang Minangkabau. Budaya merantau sebagai pengembangan diri telah menjadi ciri khas etnis Minangkabau sejak lama, seperti yang di tunjukan oleh bidal adatnya :
“ Ka ratau madang di hulu, babuah babungo balun
ka rantau bujang dahulu, di rumah baguno balun”,
Artinya setiap pemuda di dorong untuk merantau karena di tempat kelahirannya ia belum banyak bisa digunakan (bermanfaat banyak). Maka dengan adanya perobahan konsep merantau dengan demikian juga membawa pengaruh kepada makna Minangkabau, hal ini lebih disebabkan dengan pola hidup masyarakat Minang yang dikenal dengan merantau.
Dalam perjalanan sejarah alam Minangkabau selanjutnya, meskipun tidak banyak fakta yang dapat dikemukakan ada beberapa pendapat yang menyebutkan bahwa priode awal dari sejarah Minangkabau berada dalam kekaburan, kecuali yang terdapat dalam beberapa prasasti yang mengungkapkan tentang adanya kerajaan Pagaruyung dengan rajanya Aditiyawarman yang memerintah semenjak tahun 1356 Masehi .Pendapat lain menyebut bahwa Aditiyawarman memerintah dari tahun 1347-1373 masehi, ia adalah mantan Punggawa atau Diplomat Majapahit datang dan diangkat menjadi raja Minangkabau . Dalam kekaburan sejarah tersebut tambo, pepatah-petitih, bidal, pantun dan kaba serta cerita rakyat yang senantiasa terpelihara secara turun temurun, dari generasi ke generasi secara lisan adalah bahan pokok sejarah yang dapat dijadikan dasar untuk menuntun peneliti mengetahui asal-usul Minangkabau. Mengenai pendapat bahwa kebenaran tambo dan kaba hanya sekitar 2 persen saja, namun yang pasti, berkat bantuan dan usaha penyelidikan terhadap peningalan kuno, maka tambo dan kaba tetap merupakan sumber berharga dalam mengkaji sejarah Minangkabau. Mengenai asal-usul Tambo diperkirakan telah berawal sejak masa awal kedatangan Islam, atau bahkan lebih awal lagi, namun versi yang tertulis ditemukan semuanya berasal dari abad ke –19, terutama setelah perang Paderi berakhir. Meskipun terdapat berbagai versi tambo, namun kesemuanya memperlihatkan sikap kesejarahan yang sama, yang secara tegas mempelihatkan dua hal yang menarik. Pertama, “Alam Minangkabau” digambarkan sebagai terdiri atas dua unsur pokok yang satu menetap dan merupakan wilayah asli yang disebut dengan Luhak Nan Tigo atau disebut juga dengan darek dan yang lain wilayah yang berubah, dinamis, terus berubah dan bergerak, itulah yang kemudian dinamakan dengan rantau. Kedua, tambo juga melihatkan perjalanan sejarah sebagai sebuah irama yang bercorak spiral, bukan siklis, yang akhir kembali ke asal, tidak pula eksalogis dan liniar, yang akhirnya menuju tingkat tertinggi, sebagaimana yang diberikan Islam, tetapi perjalanan dan lingkaran yang mangkin membesar tanpa terlepas dari lingkaran awal yang terkecil. Dari dua pesan tambo, maka tidaklah sulit memahami bahwa dinamika dan “kemajuan” Minangkabau adalah suatu proses sejarah panjang, yang mengisyaratkan pemikiran kritis, dinamis dan selalu berusaha mengadakan perubahan dalam menjaga eksistensinya.
Konsepsi yang terdapat pada tambo lalu disampaikan secara oral dari ninik turun ke mamak, dari mamak turun ke kemanakan, dari generasi ke generasi berikutnya, pewarisan yang oral dan subyektif ini tentu akan memberikan peluang masuknya kepentingan dan pesan setiap orang yang menyampaikannya. Kekhawatiran terhadap adanya pendapat dan perasaan pribadi yang dimasukkan ke dalam tambo dan kaba itu tidaklah akan mengurangi arti pentingnya. Dari tambo dan kaba yang bersifat lisan itu, akhirnya dituliskan riawayat Minangkabau, setelah nenek moyang orang Minangkabau mengenal tulisan Arab sesudah masuknya Islam ke Minangkabau. Hal ini, terbukti dari tambo asli ditulis dengan tangan dengan tulisan arab berbahasa Melayu. Pengungkapan tentang Minangkabau menjadi bahagian yang penting dalam tambo, sejak asal-usul keturunannya, negeri yang mula ditempati sampai kepada bagaimana mereka mengatur kehidupannya. Aturan tentang kehidupan itulah yang kemudian dikenal dengan adat alam Minangkabau.
Minangkabau dengan kebudayaannya telah tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakatnya, seperti yang sejalan dengan filosofi adatnya “Alam Takambang jadi guru”. Oleh karena itu pula maka pengertian Minangkabau sekarang, termasuk yang penulis maksud dalam tulisan ini adalah lebih menukik kepada aspek sosial budaya, ketimbang aspek daerah atau wilayah. Kenyataan ini, telah ada sejak Belanda di abad 19 menguasai Minangkabau, maka dengan berbagai kebijakan politik ia berhasil memecah kesatuan wilayah alam Minangkabau, kondisi seperti itu dilanjutkan oleh pemerintah Repoblik Indonesia setelah merdeka sampai saat ini melalui undang-undang Pemerintahan Desa, sehingga secara tidak langsung mencabut akar historis kehidupan bermasyarakatMinangkabau melalui lembaga nagari.
B. Islam dan adat Minangkabau
Dalam sejarah, dalam hal ini tambo, begitu juga dalam pengetahuan masyarakat secara turun temurun bahwa perumusan adat Minangkabau dilakukan oleh dua orang besar mereka, yaitu Datuk Katumanggungan dan Datuk perpatih Nan Sabatang. Untuk bagaimana kedua orang tersebut menyusun adat, tentu diperlukan pengetahuan tentang asal-usul nenek moyang mereka. Sebab, adat adalah merupakan kebudayaan yang tidak timbul begitu saja, tetapi ia memiliki masa dan ruang yang jelas. Dalam konteks sejarah ummat manusia, nenek moyang orang Minangkabau bukanlah turun dari puncak gunung merapi dalam artian di sana asal usul pertama mereka. Karena, sulit sekali diterima akal kalau mitos sejarah itu dipahami apa adanya, tetapi ia merupakan simbol bahwa daerah pertama yang ditemukan nenek moyang orang Minangkabau adalah puncak gunung merapi.
Nenek moyang suku Minangkabau berasal dari percampuran antara bangsa Melayu Tua yang telah datang pada zaman Neoliticum dengan bangsa Melayu Muda yang menyusul kemudian pada zaman perunggu. Ke dua bangsa ini adalah serumpun dengan bangsa Astronesia. Adalah kenyataan bahwa berita tertulis tentang Minangkabau baru ada sejak abad ke-7 dan karena itu priode antara abad pertama masehi hingga abad ke ke-7 dinamakan dengan Zaman Mula Sejarah Minangkabau ,yang didalamnya meliputi dua priode, yaitu Mula Sejarah Minangkabau dan Priode Minangkabau Timur.
Kegelapan sejarah Minangkabau pada priode awal itu bukanlah suatu alasan untuk mengatakan bahwa kebudayaan awal Minangkabau tidak dapat diketahui dan dijadikan pedoman oleh masyarakatnya. Data sejarah yang diungkap tambo bila dilakukan penafsiran silang antara satu tambo dengan tambo yang lain, kemudian dihubungankan dengan kenyataan dan fakta sejarah, seperti pantun, pepatah, petitih ,bidal yang masih menjadi pegangan masyarakat Minangkabau sekarang, maka tidak ada alasan untuk menyebut bahwa tambo sebagai sumber adat tidak rasional dan bersifat fiktif. Rasionalitas tambo sebagai sumber sejarah dan informasi tentang kebudayaan Minangkabau, akan sulit ditunjukan bila dibaca menurut apa adanya, seperti layak membaca cerita atau berita. Akan tetapi, bila dibaca dengan cermat dan mendalam, maka tambo yang tidak pernah dituliskan siapa penulisnya dan mengunakan bahasa semiotika dalam bentuk perlambang, kias dan banding yang sukar ditangkap menurut teksnya, akan memdatangkan arti yang memadai dan sesuai pesan yang dimaksudnya..
Pemaknaan itu bisa di dapat dengan membanding beberapa tambo yang ada, kemudian mencari akarnya pada pepatah-petitih yang masih jadi pedoman budaya masyarakat. Lebih dari itu, dapat juga dipedomani bahwa dalam praktek penulisan sejarah di Barat dan Timur , semua informasi sejarah dapat dijadikan sumber awal yang pada akhirnya akan diuji validitas data tersebut dengan data lain yang sama.
Dengan telah tersusunnya masyarakat dalam suatu aturan yang disepakati bersama yang disebut dengan adat, membuktikan bahwa jauh sebelum agama Islam masuk ke daerah ini masyarakat Minangkabau sudah dikenal sebagai masyarakat yang kuat memegang adatnya. Pertanyaan kemudian yang harus dikaji lebih jauh bagaimana Agama Islam dapat hidup dan berkembang pesat di tengah budaya yang sudah mapan dan kuat. Dari berbagai literatur yang ada menjelaskan bahwa Islam masuk ke Minangkabau melalui jalan dagang dan dapat diterima masyarakat dengan penuh kedamaian dan toleransi yang tinggi dengan kepercayaan yang sedang dianut masyarakat ketika itu. Hampir semua penulis sejarah keislaman tentang Minangkabau menyebut bahwa Islam masuk kedaerah ini adalah ketika sufisme sedang mengalami masa kejayaannnya. Akibatnya, Islam yang kemudian datang juga tidak lepas dari pengaruhnya.
Sulit dipastikan, kapan sebenarnya Islam masuk ke kawasan ini. Ada yang mengatakan pada abad ke -12, ada pula pada abad ke -14 dan bahkan ada yang menyimpulkan bahwa suatu almanak Tiongkok menyebutkan bahwa sudah didapatinya satu kelompok masyarakat Arab di Sumatera bahagian barat pada tahun 674 M, maka dengan demikian Islam telah masuk ke daerah ini sejak tahun 674 Masehi atau abad pertama hijriah. Tapi, M.Jurstra dalam bukunya, Minangkabau,Overzicht van Land,Geshiede en Volks memastikan bahwa Islam tidak berlaku di Minangkabau sebelum tahun 1550M. Karena, perutusan orang-orang Minangkabau yang menghadap Albuerque di Malaka pada tahun 1551 masih belum beragama.begitu juga Rue de Ariro, seorang kapitan dari Malaka tahun 1554 menyebut orang-orang Minangkabau yang belum beragama. Berbagai versi sejarah tentang Islam di Minangkabau, namun yang lebih bisa diterima oleh banyak pihak bahwa Islam baru dikenal oleh masyarakat Minangkabau dalam arti sebuah agama diperkirakan sekitar tahun 1600 Masehi
Pendekatan persuasif, ekonomi dan sosial budaya (adat istiadat) yang telah lebih dahulu menjadi filosofi dan pandangan hidup masyarakat, secara perlahan tapi pasti Islam dapat mengeser posisi kepercayaan dan pandangan hidup animisme dan dinamisme menjadi aqidah Islam yang benar. Bukanlah hal yang mudah untuk menetapkan faktor apa yang paling dominan dan menetukan sehingga Islam begitu cepat dan mudah diterima masyarakat di Nusantara. Ada yang memberikan porsi pada faktor pendekatan yang dipakai oleh penyiar Islam dengan cara damai, toleran dan penuh pengertian. Di sisi lain memberikan penekanan pada ajaran Islam itu sendiri. Ajaran islam yang disodorkan kepada masyarakat lebih banyak aspek mistis atau tasauf ketimbang aspek hukum. Artinya fungsi ganda yang dimiliki penyiar Islam sebagai pedagang dan juga guru tarekat ternyata memberikan ruang yang lebih luas bagi tumbuhnya suasana yang kondusif bagi kejiwaan masyarakat, yang sebelumnya dipengaruhi dengan mendalam oleh agama Hindu dan Budha dan kepercayaan lokal. William Marseden, dalam bukunya, The History of Sumatera, mengakui betapa cepatnya proses pengislaman itu. Ia heran melihat masyarakat Minangkabau telah sepenuhnya memeluk Islam, ketika ia mengunjugi daerah tersebut pada tahun 1778. Padahal dalam sebuah manuskrip tahun 1761 di gambarkan bahwa masyarakat di sana kebanyakan masih menyembah berhala. Hanya, sekalipun telah memeluk Islam, tambah Marsden, takhyul dan praktek-praktek tidak Islami lainnya masih banyak dilakukan masyarakat Minangkabau pada waktu itu. Dan Syariat Islam seperti Shalat, Puasa, masih jarang dilaksanakan dan mesjid (surau) jarang dikunjungi, kecuali oleh para pemuka agama.
Khusus fase awal Islam ke Minangkabau menurut suatu pendapat mengungkapkan bahwa penduduk asli telah diislamkan oleh pedagang-pedagang Islam yang berlayar dari Malaka menyusuri sungai Kampar dan Indragiri, pada abad 15 dan 16 M . Pendapat ini sangat boleh jadi, bila memang Malaka waktu itu dikuasai oleh Portugis pada tahun 1511 M, membawa akibat pindahnya jalan perdagangan melalui pantai barat pulau Sumatera. Pada sisi lain, kerajaan Pasai di Aceh yang telah bercorak Islam menanjak naik dibawah kekuasaan sultan Iskandar Muda tahun 1607-1638 M. membawa akibat dikuasainya kerajaan kecil Minangkabau oleh kekuasaan Aceh. Dalam kondisi seperti ini menurut pendapat lain Islam mulai masuk dari kota-kota di pantai barat Sumatera menuju ke pedalaman Minangkabau.
Pada saat kebesaran kerajaan Pasai saudagar-saudagar Islam Aceh telah sampai ke pesisir barat pulau Sumatera yang lebih dikenal dengan Minangkabau. Disamping berdagang mereka juga memperkenalkan agama baru yang mereka anut, yaitu Islam. Penyebaran islam oleh saudagar-saudagar Aceh telah menganggu ketenangan Raja Adytiwarman yang menjadi Raja di Minangkabau masa itu. Sehingga pihak Raja sering memboikot perdangangan dengan pedagang Aceh. Akibatnya saudagar Aceh lebih mengkonsentrasikan perjuangannya pada masyarakat sepanjang rantau (pesisir lautan Indonesia.). Kejayaan kerajaan Aceh selanjutnya membawa pengaruh yang berarti bagi perluasan Islam di Minangkabau pada masa-masa berikutnya. Demikianlah juga halnya dalam wacana pemikiran yang lekat dengan warna sufisme, yang secara secara signifikan mulai dirintis oleh nama-nama besar semacam Hamzah al-Fansuri, Syam al-Din al-Sumatrani , Nur al-Din al-Raniri, Abd al-Rauf al-Sinkili ikut mewarnai pemikiran keagamaan di Minangkabau pada masa awal. Hamzah al-Fansuri dan Syam al-Din al-Sumatrani adalah dua tokoh yang banyak melahirkan karya besar dalam bentuk esai dan puisi dengan corak pemikiran Wahdat al-Wujud. Sedangkan dua ulama terakhir cenderung kepada pemikiran yang mengharmonisasikan antara syari’ah dan tasawuf. Polemik tasawuf heterodok (wujudiah) dengan paham ortodoks yang berkembang luas di Aceh di abad ke 16 dan 17 Masehi. Kedua paham yang bertentangan dan mendatangkan konflik keagamaan dan membawa korban besar di Aceh diatas, merembes dan dapat ditemukan jejaknya pada Islam di Minangkabau. Namun, yang paling dominan, khususnya dikalangan pengikut tarekat adalah paham yang mendamaikan antara tarekat dan syariat cukup mendapat tempat yang berarti hal ini. Kenyataan ini tetap diakui dan diyakini kaum tradisionil Minangkabau bahwa ulama yang menjadi sumber rujukan bagi mereka adalah seorang ulama besar, yaitu Syekh Abd. al-Ra’uf dari Sinkel (W. 1693) yang lebih terkenal sebagai Tuanku Syiah Kuala. Keberhasilan Syekh Abd. al-Rauf dalam menempatkan diri sebagai ulama yang berwibawa dan berpengaruh di kerajaan Aceh serta mampu menyebarkan ajaran yang diperolehnya ke daerah-daerah yang berada di bawah penguasaan Aceh, satu di antaranya daerah Minangkabau.
Pengaruh Al-Sinkili dalam Pengembangan Islam di Minangkabau di teruskan oleh murid-muridnya. Yang paling terkenal di antara para murid al-Sinkili di Sumatera bahagian barat adalah Burhan al-Din, yang lebih dikenal sebagai Tuanku Ulakan . Burhanuddin Ulakan Pariaman bukan saja murid Al-Sinkili yang bertugas mengembangkan agama Islam, bahkan ia juga mendapat mandat dari Sultan Iskandar Tsani sebagai penguasa di wilayah sepanjang pantai barat, yang saat ini telah berada juga dibawah penguasaan kearajaan Aceh. Bukti bahwa Syekh Burhanuddin mendapat mandat penguasa dan pengembang Islam dari sultan Aceh ialah dengan ditemukan cap stempel kerajaan Aceh pada peninggalan Syekh Burhanuddin berupa stempel berkepala sembilan .
Di dalam mengemban tugas kerajaan dan penyebaran Islam Syekh Burhanuddin menetapkan basis kegiatannya dengan membangun surau di Tanjung Medan Ulakan. Surau Syekh Burhanuddin Ulakan pada akhirnya memainkan peran sebagai lembaga pendidikan dan keagamaan yang pertama di Minangkabau Pilihan Syekh Burhanuddin menjadikan surau sebagai basis pengembangan Islam di Minangkabau menjadi sesuatu yang sangat menentukan dalam kehidupan keagamaan di Minangkabau untuk masa-masa berikutnya. Tak lama kemudian surau Ulakan termasyhur sebagai satu-satunya pusat keilmuan Islam di Minangkabau. Dalam perjalanan sejarah perkembangan dan penyiaran Islam (dakwah Islamiyah) di Ranah Minangkabau selanjutnya surau menjadi ujung tombak dari proses Islamisasi di Minangkabau, karena surau bukanlah sekedar tempat ibadah semata, tetapi juga berfungsi sebagai lembaga kemasyarakatan.
Tradisi yang dikembangkan pada surau di Minangkabau tampaknya mempunyai daya tarik tersendiri, Surau meskipun dicap sebagai “ lembaga tradisional” namun keberadaannya tidak dapat digantikan oleh lembaga-lembaga lain. Peranan surau sebagai pusat pengembangan agama dan pemberdayaan masyarakat, merupakan fakta yang tidak dapat dibantah. Bahkan eksistensinya merupakan cikal bakal dari sistem penyiaran Islam melalui pendidikan model madrasah dan sekolah. Sejarah membuktikan bahwa keberadaan surat erat kaitannya dengan masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara, khususnya Minangkabau. Surau Ulakan disamping menyiarkan Islam dalam bentuk pendidikan dan dakwah juga menjadi pusat kegiatan tarekat Syathariyah . Disamping itu. sekitar setengah abad dari kejayaan Surau Syekh Burhanuddin Ulakan, maka sekitar paruh pertama abad XVII terdapat pula beberapa surau di pedalaman Minangkabau yang menjadi pusat pengembangan Tarekat Naqsabandiyah, yang menonjol di antaranya di daerah Limapuluh Kota dan Tanah Datar. Di daerah pesisir dan Agam terdapat pulau surau tarekat Qadiriyah tapi tidak begitu di kenal seperti Tarekat Naqsabandiyah menunjukkan perkembangan positif Tarekat Syathariyah. Surau-surau Syarhariyah beralih fungsi menjadi pusat pengembangan Tarekat Naqsabansiyah, khususnya zikir dan suluk, misalnya Surau Cangking di Agam, Surau Silungkang, Surau Kasik di Singkarak, Surau Pasir di Agam dan Surau di Bonjol. Verkerk Pistorius memperkirakan bahwa sampai tahun 1869 kira-kira seperdelapan dari penduduk Minangkabau telah bergabung dengan Tarekat Naqsabandiyah
Pengembangan Islam yang lebih terencana baru dapat berlangsung setelah Pusat Minangkabau (Darek) mendapat tempat yang berarti dalam sistem sosial kemasyarakatan di rantau yaitu diterimanya surau (masjid) sebagai salah satu persyarat sahnya satu nagari baru, disamping setelah Islam masuk dan menjadi anutan oleh Raja Pangaruyung. Islamnya, pusat kerajaan Minangkabau berikut dengan segala pemimpin yang memegang tampuk kekuasaan baru mulai muncul kepermukaan setelah lumpuhnya Imperium Sriwijaya di Palembang dan Majapahit di Jawa diakhir abad ke 15 Masehi. Keruntuhan kekuasaan Hindu dan Budha terbesar di Asia Tenggara masa itu tidak dapat dipisahkan dari pengaruh Islam di Nusantara karena semangkin kuatnya Kerajaan Malaka yang berdiri sekitar tahun 1400 Masehi dan satu abad kemudian ( abad ke 15 ) Kerajaan Malaka memainkan peranan penting sebagai pusat penyiaran Islam di Nusantara. Begitu juga halnya dalam lapangan ekonomi dan politik pengaruh kerajaan Malaka begitu luas, sampai ke daerah Kampar, Siak dan Kerajaan Minangkabau. Pada masa Pemerintahan Sultan Mansursyah Malaka mencapai puncak kejayaannya dan pada masa ini seorang putera Siak (Nama negeri di Minangkabau Timur) menuntut ilmu agama Islam ke Malaka, setelah ia menguasai ilmu-ilmu agama ia pulang ke negerinya kemudian diberi gelar Syekh Labai Panjang Janggut, ialah orang pertama yang menyisiri Sungai Kampar untuk mengembangkan Islam ke pedalaman Minangkabau sampai ke Luhak Lima Puluh Kota Payakumbuh dan akhirnya Islam sampai di Pusat kekuasaan Islam Pagaruyung.
Perbedaan pendapat tentang pengembangan Islam ke Minangkabau lewat jalur utara melalui sungai Kampar, melalui Malaka perantaraan orang Siak, yang buktinya sebutan orang Siak bagi penuntut Ilmu di Minangkabau masih kedengaran adanya. Perbedaan ini tidak menafikan keberadaan Syekh Burhanuddin Ulakan yang berada di pesisir pantai Minangkabau. Bahkan dapat ditegaskan, bahwa data sejarah menunjukan bahwa pengembangan Islam di Nusantara berawal dari daerah pesisir pantai, bukanlah hal yang sulit diterima bahwa pertama kali masuk ke Minangkabau. Satu hal, yang hampir semua ditutur dalam sejarah bahwa raja Minangkabau pertama yang memeluk agama Islam adalah Raja Angwarman setelah Islam bertukar namanya dengan Sultan Alif (1581M) masih dari Dinasti Aditiyarman. Sejak masa itu sturuktur sosial kerajaan Pagaruyung mengalami perobahan, sesuai dengan tuntutan masyarakat Islam kelembagaan Rajo Tigo Selo (Raja Adat, Raja Ibadat (Masih dalam agama Hindu Budha) dan Raja Alam tidak lagi memadai, maka akhirnya dibentuklah kelembagaan eksekutif (Pelaksana) dari hukum adat dan hukum agama Islam yang dianut luas oleh masyarakat di Darek dan Rantau. Lembaga baru itu kemudian disebut dengan istilah Basa ampek Balai (Artinya ada empat pemegang kekuasaan dalam masyarakat sesuai bidangnya) yaitu: (1) Titah di Sungai Tarab yang memegang adat dan pusaka, sekaligus berfungsi sebagai perdana menteri kerajaan Pagaruyung. (2) Datuk Indomo di Saruaso yang memiliki kewenangan pertahanan dan keamanaan kerajaan.(3) Tuan Qadhi di Padang Ganting penanggung jawab utama bidang keagamaan dan (4) Makhudum di Sumanik sebagai bendaharawan dan menteri keuangan Nagara. Disamping itu, diangkat pula Tuan Gadang di Batipuh sebagai Panglima tertinggi Pagaruyung. Pembentukan dua kelembagaan pada kerajaan Pagaruyung semangkin memperluas kesempatan untuk penyiaran Islam bagi masyarakat Minangkabau baik di darek begitu juga di rantau. Ada dua lembaga ini masih baru bersifat formalitas dalam kerajaan, belum lagi dapat berfungsi penuh dan dapat menjadi alat penyiaran Islam yang efektif. Barulah sejak kedatangan Syekh Burhanuddin Islam semangkin kuat dan kemudian pengembangannya secara sistimatis dan meluas serta meninggalkan sistim pendidikan dan penyiaran yang mapan.
Pengembangan Islam yang demikian pesat dan masuk jauh ke pedalaman Minangkabu melalui lembaga surau. Surau dapat memainkan perannya sebagai unsur kebudayaan asli suku Melayu dan berkaitan dengan keyakinan yang dianutnya. Setelah Islam masuk ke Nusantara surau menjadi bangunan Islam. Dahulu surau adalah tempat bertemu, berkumpul, berapat dan tempat tidur bagi pemuda-pemuda dan laki-laki yang sudah tua, terutama duda. Selain di Minangkabau bangunan sejenis terdapat juga di Mentawai, disebut Uma, di Toraja Timur, disebut Lobo, di Aceh disebut Muenasah dan di Jawa disebut Langgar. Surau menurut pola adat Minangkabau adalah kepunyaan kaum atau Indu. Indu ialah bagian dari suku, dapat juga disamakan dengan Clan. Surau adalah pelengkap rumah gadang (rumah adat). Namun tidak setiap rumah gadang memilikinya, karena surau yang telah ada masih dapat menampung para pemuda untuk bermalam, para musafir dan pedagang bila melewati suatu desa dan kemalaman dalam perjalannya. Dengan demikian para pemuda yang tinggal dan bermalan di surau dapat mengetahui informasi yang terjadi di luar desa mereka, serta situasi kehidupan di rantau. Jadi surau mempunyai multi fungsi, karena ia juga pusat inaformasi dan tempat terjadinya sosialisasi pemuda.
Sebelum masuknya agama Islam surau telah menjadi institusi dalam struktur adat Minangkabau. Dalam sejarah Minangkabau dipercayai bahwa surau besar pertama didirikan raja Aditiawarman tahun 1356 M dikawasan Bukit Gombak. Surau yang selain berfungsi sebagai pusat peribadatan Hindu-Budha ini juga tempat pertemuan anak-anak muda untuk mempelajari berbagai pengetahuan dan keterampilan sebagai persiapan menempuh kehidupan. Surau bahkan sebelum kedatangan Islam, di Minangkabau telah mempunyai kedudukan penting dalam struktur masyarakat. Fungsinya lebih dari sekedar tempat kegiatan keagamaan. Menurut ketentuan adat surau berfungsi tempat berkumpulnya para remaja, laki-laki dewasa yang belum kawin atau duda. Karena adat menentukan bahwa anak laki-laki tak punya kamar dirumah orang tua mereka, maka mereka bermalam di surau. Kenyataan ini menyebabkan surau menjadi tempat amat penting bagi pendewasaan generasi muda Minangkabau, baik dari segi ilmu pengetahuan maupun dari keterampilan praktis lainnya.
Melalui lembaga surau Islamisasi berjalan secara perlahan-lahan tapi pasti. Tantangan paling nyata muncul dari kalangan adat. Banyak ajaran Islam dan praktek sosial yang dilakukan kalangan adat yang bertentangan, seperti minuman arak, berjudi menyaung ayam dan perbuatan maksiat lainnya. Akibatnya, para penghulu merasa terusik oleh kedatangan Islam khususnya peranan kalangan surau dalam menyebarkan islam ketengah-tengah masyarakat. Penentangan kalangan penghulu terhadap Islam pada tahap Islam tidaklah begitu menghambat lajunya penyiaran Islam. Hal ini, disebabkan kedua belah pihak menempatkan dirinya secara arif dan tidak saling mencampuri. Penghulu atau kalangan adat mengurus masalah adat dan nagari, sedangkan ulama mengurus agama atau surau kalaupun mereka menyiarkan islam tetapi bersifat persuasif dam akomodatif . Perbedaan baru muncul secara nyata ketika di surau muncul gerakan penyiaran Islam yang lebih intensif, ulama surau mengunakan pendekatan revolusi dan represi, yang dikenal dengan gerakan Paderi.
Kedatangan Islam, pada dasarnya tidak melahirkan konflik dalam masyarakat Minangkabau. Sistim adat yang sudah ada dan berkembang tidak pernah diganggu oleh Islam, malah sebaliknya Islam memberikan pengakuan pada tatanan adat, khususnya yang berkaitan dengan Akhlak dan budi pekerti. Maka, adalah keliru pendapat yang menyebut bahwa adat Minangkabau dan agama Islam bertentangan, akan tetapi pertentangan antara pemangku adat dengan kalangan ulama memang pernah ada konflik. Dalam kenyataannya di masyarakat sejak dahulu sampai sekarang keduanya dapat berjalan secara bersamaan tanpa ada satu diantaranya yang ternafikan. Penulis sejarah Taufik Abdullah menyimpulkan bahwa adat dan agama di Minangkabau dapat berjalan secara seimbang dan saling isi mengisi. misalnya ,ia menulis:
Dampak paling awal dari agama islam adalah dalam formulasi adat yang baru, sebagai pola prilaku ideal, dalam arti bahwa unsur-unsur luar dapat seluruhnya diserap ke dalam orde yang berlaku sebagai bahagian dari suatu sistem yang koheren. Sangat sukar untuk mengetahui bagaimana cara reformasi dari seluruh pola strukural masyarakat dicapai. Pertama-tama tidak ada sumber adat yang dikenal sebelum masuknya agama Islam, kecuali dalam informasi yang tersebut di sana sini dalam tambo, serta pepatah-petitih adat. Kedua, “kodifikasi” atau lebih tepat perumusan, adat yang sebenarnya baru mulai setelah masuknya tulisan Arab. Lagi pula, dasar logika dan formulasi adat bersandar pada “hukum logika” Islam atau “mantik” . Sikap Minangkabau terhadap adat di dasarkan pada posisi berdampingan dari keseinambungan yang imperatif dari adat – tak lakang dipaneh dan tak lapuk dek hujan- dengan pengakuan tentang pentingnya perubahan – sakali air adang sakali tapian berubah- .Maka secara implisit dalam adat harus ada perubahan serta penyesuaian terhadap keadaan – usang-usang di pabaharui, lapuk-lapuk dikajangi- sedangkan ketengangan permanen dalam sistem tersebut berkat kebutuhan untuk menyesuaikan nilai dasar dengan keadaan yang berubah. Untuk menghadapi keadaan yang bertentangan ini, sistem diatur sedemikian rupa, sehinga reavaluasi yang tak dapat dicegah dapat berlangsung lancar, adat dibagi dalam berbagai kategori, dengan unsur-unsur tetap dan yang berubah, prinsip umum serta variasi lokal mendapat tempat masing-masing yang sewajarnya.
Penyesuaian adat dengan agama itu bukanlah terjadi dengan sendiri, tetapi ini adalah hasil usaha terus menerus yang diawali oleh kearifan tokoh penyebar Islam pertama yaitu Syekh Burhanuddin Ulakan Pariaman. Kenyataan menunjukan bahwa penyesuaian atau persenyawaan adat dan agama mula pertama terjadi di daerah rantau, khususnya daerah Pesisir, sejak dari Pariaman sampai ke Pesisir Selatan. Di mana, daerah ini lebih dahulu kuat pengaruh Islam, terutama ketika Syekh Burhanuddin bersama muridnya yang pertama yaitu Muhammad Nasir (Syekh Surau Baru) dari Koto Tangah Padang, Buyung Mudo (Syekh Bayang) dari Bayang Painan dapat menacapkan Islam kedalam struktur masyarakatnya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan perpaduan dan persenyawaan adat dan syarak begitu cepat dan lacar dirantau antara lain :
Pertama: Adanya bantuan dan pengaruh dari kekuasaan pemerintahan di rantau yaitu, raja atau disebut juga dengan panggilan Rangkayo, di mana mereka mendapat dukungan secara moral dan ekonomi dari kerajaan Aceh yang mendominasi perdagangan rakyat di daerah pesisir rantau. Akibatnya, Islam dan budaya Aceh menjadi satu pilihan agama dan budaya bagi masyarakat rantau. Sebagaimana di Aceh berlaku pepatah ‘Adat bak Pentu Manaruhum Sultan Iskandar, Syarak bak Syiah di Kuala” (Adat dibawah kekuasaan almarhum Sultan Iskandar Muda, Syarak (Agama) dibawah keputusan Syiah Kuala (gelar untuk Syekh Abdur Rauf al-Sinkili) .Bukan tidak mungkin, filosofi budaya Aceh ini yang melahirkan diktum adat Minangkabau Syarak mandaki adat manurun. Diktum ini ada yang memberikan arti bahwa agama berpusat pada Syekh Burhanuddin di Ulakan Pariaman, sedangkan adat berpusat pada Basa Ampek Balai di Darek (Pusat Alam Minangkabau).
Kedua: Pendekatan dan perjuangan yang dilakukan oleh Syekh Burhanuddin beserta sahabat dan murid-muridnya di rantau telah mengem-bangkan Islam secara terencana, sistimatis dengan mengunakan pendekatan kultural (menyesuaikan dengan pola budaya masyarakat yang telah ada). Sehingga memudahkan para Raja, Penghulu, Rangkayo dan masyarakat rantau memeluk agama Islam.
Ketiga:Syekh Burhanuddin dengan empat orang teman utamanya adalah putra-putra Minangkabau yang paham dan mengerti akan seluk beluk budaya dan kebiasaan masyarakat, sehingga mereka mudah berkomonikasi dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungkannya. Hasil dari penyesuaian yang dilakukan menjadikan semangkin mudah berpadunya adat dan Syarak. Sebagai bukti dapat dilihat sampai sekarang di rantau anak berbangsa kepada bapak dengan gelar Sidi, Sutan, Bagindo yang diambilkan dari ayahnya (Patrialchaat) dan bersuku kepada Ibu Koto,Panyalai,Piliang Bodi,Sikumbang dan lainnya (matrialchaat). Adanya pusaka tinggi yang merupakan warisan kolektif yang tak boleh dimiliki pribadi kecuali atas beberapa kasus tertentu menurut sepanjang adat. (menurut aturan adat Minangkabau jatuhnya kepada pihak kemanakan). Ada pula pusaka rendah, yaitu hasil usaha yang dilakukan oleh satu keluarga boleh dimiliki oleh anak-anaknya sesuai menurut hukum Islam. Komporomi ini lebih nyata sekali dalam pepatah adat :
Kaluk Paku kacang belimbing
ambiak tampurung lengang-lenggangkan
bao manurun ka Saruaso
Anak dipangku kamanakan dibimbing
Urang kampung dipatenggangkan
tenggang kampung jan binaso
Tenggang nagari jo adaiknyo.
Keempat; Filsafat adat alam Minangkabau yang mendorongkan masyarakat untuk bersikap dinamis dan segera membaca perkembangan zaman tanpaharus tercerabut dari jati dirinya sebagai orang yang beradat. Misalnya seperti yang tertuangkan dalam pepatah adat:
Panakiak Pisau Siraut
Selodang ambiak kanyiru
Satitik jadikan lalut
Alam Takambang Jadi guru
Filosofi alam takambang jadi guru sebagai kultur masyarakat Minangkabau sangat menunjang sekali persenyawaan adat dan syarak yang prinsipnya sama-sama berasal dari Sunnatullah (Hukum Allah) yang tersurat dan tersirat).
Dilain pihak, lambat dan mandeknya perpaduan adat dan agama berikut pengembangan Islam di Luhak Nan Tigo (Pusat alam Minangkabau), disebabkan banyak kendala-kendala yang dihadapi oleh pemuka agama, kendala itu berasal dari kalangan adat (Penghulu), hal ini disebabkan oleh :
Pertama: Pengaruh dari agama Budha yang aristokrat masih berbekas pada masyarakat pedalaman sementara ninik mamak (Penghulu) masih tetap terjerat dalam kebiasaan-kebiasaan jahiliyah yang Budihistis dan aristokrat serta permainan judi, menyabung ayam dan perbuatan maksiat lainnya. Disamping itu di kawasan Luhak Lima Puluh Kota antara ummat Islam pernah terjadi pertentangan antara Islam Sunni dengan Islam Syiah. Akibat dari konflik paham keagamaan ini mereka para penghulu memilih mempertahankan kebiasaan lamanya, (adat-istiadatnya) sedangkan masyarakat banyak bingung karena penghulu adalah ikutan dan teladan dalam kehidupan mereka.
Kedua: Basa Ampek Balai sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan di Darek masih bersikap formalitis dan melihat perkembangan lebih dulu, mereka lebih menanti perkembangan sebab mereka merasakan jika agama Islam diberi peluang lebih besar tentu posisi dan kedudukannya akan tergeser dalam masyarakat, karena mereka bukanlah Ulama. Mereka menyadari bahwa mereka sebagai pemegang kekuasaan sangat berkepentingan sekali untuk menguasai masyarakat, namun agama Islam masih perlu diberikan kesempatan untuk memgembangkan dirinya secara sendiri.Walaupun ummat Islam sudah banyak namun mereka masih belum mampu menerobos jauh kedalam sistim pemerintahan alam Minangkabau.
Ketiga, Karena kuatnya kekuasaan dan pengaruh Panghulu di Luhak Nan Tigo. Taufik Abdullah menyebutnya Nagari adalah kerajaan kecil yang dipimpin oleh seorang penghulu bersifat mandiri dan otonom.Sementara kekuatan ulama masih sangat terbatas sekali. Memperhatikan keadaan tersebut membuat kalangan adat dan agama merasa tidak puas dan sering terjadi perselisihan ditengah-tengah masyarakat. Atas usaha pemuka agama dalam hal ini Syekh Burhanuddin dan pengikutnya mereka dapat meyakinkan para penghulu. Maka untuk menjaga ketenteraman masyarakat di buatlah satu kesepakatan antara Darek dan Rantau, yang berisikan bahwa kekuatan Syarak (agama) yang telah dipegang oleh para ulama di rantau yang berpusat di Ulakan harus dipadukan dengan kekuatan adat yang berpusat di Luhak Tanah Datar (Pagaruyung), sebab kedatangan ajaran Islam tidaklah bertentangan dengan adat Minangkabau. Agar para Ulama pemegang Syarak dan para penghulu pemangku adat bersama-sama membangun dan memelihara adat dan agama (Islam) sehingga anak, kemanakan aman sentosa, tenang dan damai. Untuk itu perlu adanya perjanjian dan kesepakatan di alam Minangkabau antara kaum adat dan kaum agama dibawah restu yang dipertuankan di Pagaruyung dengan ketentuan: (a) seluruh rakyat alam Minangkabau resmi menganut dan mengamalkan Islam dalam paham mazhab Syafi’i seperti yang berlaku di Aceh. (b)mensenyawakan adat dan syarak bahwa adat basandi syarak. Kata syarak (Agama ) akan dipakai oleh adat. (c) struktur pemerintahan menurut sepanjang adat dilengkapi dengan fungsionaris-fungsionaris keagamaan. Walaupun kekuasaan Raja sebagai lambang kesatuan alam Minangkabau, karena rantau dan nagari dibawah raja-raja kecil dan penghulu namun kesatuan agama perlu diwujudkan dan dipertahankan.
Kesepakatan Darek dan Rantau yang dilalukan oleh Syekh Burhanuddin dengan beberapa penghulu menjadi titik awal pembicaraan selanjutnya. Maka pada bulan Syafar tahun 1650M Syekh Burhanuddin bersama temannya yang berempat (Tuangku Bayang dari Bayang,Tuangku Kubung Tigo Baleh Solok,Tuangku Buyung Mudo dari Bayang Pasisir dan Tuangku Padang Ganting Batu Sangkar) yang disebut juga dengan Lima Serangkai, dengan di dampingi oleh Rajo Rantau nan sebelas yaitu: (1)Amai Said (2)Rajo Dihulu (3)Rajo Mangkuto(4) Rajo Sulaeman.(5)Panduko Magek. (6)Tan Basa.(7)Majo Basa.(8)Malako (9)Malakewi.(10)Rangkayo Batuah (11)Rajo Sampono menemui Basa Ampek Balai yang memegang kendali pemerintahan alam Minangkabau dan memperkatakan (membincangkan) agama (Syarak) dan adat. Mereka berangkat menemui Basa Ampek Balai atas inistiaf dari Tuanku Padang Ganting dengan nasehat dari Tuan Qadhi Padang Ganting. Kemudian dilangsungkan pertemuan itu di puncak Pato (berasal dari Fatwa atau Petuah) dengan di hadiri Basa Ampek Balai dan Penghulu-Penghulu terkemuka di Luhak Nan Tigo. Pemilihan tempat ketinggian ini karena dari sini dapat dilihat Ranah Pagaruyung kebesaran alam Minangkabau, bukit itu dinamakan dengan Bukit Marapalam teletak antara Desa Sungayang dengan Batu Bulek. Inilah yang kemudian dikenal dengamn Perjanjian Bukit Marapalam . Piagam Bukit Marapalam itu berbunyi:
“ Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang”
Atas Qudrat dan Iradat Allah SWT, telah dipertemukan ditempat ini hamba-hamba Allah untuk memperkatakan adat dan syarak yang akan menjadi pegangan anak kemanakan ,hidup yang akan dipakai mati yang akan ditopang,bahwa adat dan syarak akan dikukuhkan menjadi pegangan di alam Minangkabau ,dengan ini kami sambil menyerahkan kepada Allah SWT sambil mengikuti kata Muhammad SAW. Penghulu ka ganti Nabi, Rajo ka ganti Allah, kami mengikrarkan bahwa: Adaik basandi kapado syarak,syarak basandi kapado kitabullah, syarak mengato adaik mamakai.(Adat bersendikan syarak, syarak bersendi kitabullah, syarak (agama) menyatakan adat melaksanakan).
Sagala undang-undang adat dan kelengkapannya dalam alam Minangkabau Luhak dan Rantau, kampung dan nagari disesuaikan dengan tuntunan adat dan syarak( agama Islam). Ikrar dan kesepakatan ini disampaikan oleh segala ulama dan penghulu kepada rakyat di alam Minangkabau. Perjanjian dituliskan dibawahnya : Atas nama Syarak Syekh Burhanuddin Ulakan dan atas nama kaum adat Basa Ampek Balai Titah di Sungai Tarab dan disetujui oleh Raja Alam Yang dipertuankan di Pagaruyung.
Setelah selesai ikrar Bukit Marapalam lalu Basa Ampek Balai bersama Syekh Burhanuddin dan rombongan minta pengesahan kepada Yang dipertuankan rajo alam Minangkabau di Pagaruyung yang disaksikan oleh Rajo Adat dan Raja Ibadat. Dalam pertemuan Bukit Marapalam itu juga dibicarakan sisa-sisa ajaran Syiah, sehinga dapat pula kesepakatan bahwa agama Islam yang akan dikembangkan di Minangkabau adalah menuruti Mazhab Imam Syafi’i, beritikad Ahlusunah waljmaah. Selanjutnya melalui para Ulama dan Penghulu diaturlah adat dan syarak di Luhak dan nagari sesuai dengan ajaran Islam, sesuai dengan hukum dan hak alam serta dinamika dan daya cipta, rasa dan karsa manusia dalam membangun budaya. Kemudian sesuai perkembangan waktu kelembagaan Rajo Tiga Selo berubah menjadi Tali Tigo Sapilin, Tungku Nan Tigo Sajarangan yaitu Ninik mamak, alim ulama dan cerdik pandai. Kelembagaan Basa ampek Balai dituangkan lagi menjadi Urang Ampek Jinih, jikalau di Mesjid dikenal dengan Imam, Khatib, Labai, dan pegawai. Di suku dikenal Penghulu, Malin, labai, dubalang dan urangtua Jika dinagari dilengkapi dengan empat yaitu: Balabuah,batapian,babalai dan ba musajik.
Sejak dikukuhkannya Perjanjian Bukit Marapalan oleh pemuka adat dan agama di Minangkabau, maka dilakukan penyebaran kesepakatan ini oleh kedua belah pihak. Wujud nyata dari perjanjian itu dituangkan dalam filosofi adat yang lebih populer dengan sebutan pepatah adat :Adat Basandi Syarak,Syarak Basandi Kitabullah, (adat mesti didasarkan pada agama, agama (Islam) berdasarkan Kitabullah(Al-Qur,an). Syarak mengato adaik mamakai, (Agama Islam memberikan fatwa adat yang melaksanakannya) Adaik buruk (jahiliyah dibuag,adaik yang baik (Islamiyah) dipakai(Maksudnya adat yang baik sesuai dengan norma Islam harus dipertahankan sementara adat buruk yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam harus dibuang.) Syarak dan adat itu bak aur jo tabing , sanda menyanda kaduonya (Antara adat dan agama itu layak aur dan tebing yang saling memperkuat atau tidak ada antagonistik di dalam kedua filosofi hidup ini). Disebut lagi dalam salah satu kaedah hukum Islam al’adatul muhkamah (Adat itu menghukumi, artinya mempunyai kekuatan hukum). Syarak Mandaki adaik manurun, (Agama bersumber dari Ulakan menuju pusat kerajaan Minangkabau di Pagaruyung, yang tempatnya Ulakan di dataran rendah sedangkan Pagaruyung berada di dataran tinggi Minangkabau)
Inilah bentuk final (Akhir) dari penyesuaian adat dan agama di Minangkabau yang kelahirannya tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan Syekh Burhanuddin sebagai figur Ulama masa itu, dengan di dukung oleh tokoh-tokoh adat baik di rantau maupun di Darek (Pusat) Minangkabau .Kesepakatan Bukit Marapalam merupakan babak baru dari perjalanan kehidupan sosial budaya dan agama dalam masyarakat Minangkabau, dan sekaligus menjadi starting point bagi Syekh Burhanuddin dalam menyebarkan paham keagamaannya secara lebih luas dan diterima oleh semua lapisan masyarakat di Minangkabau. Lebih penting lagi perjanjian bukit marapalam juga puncak dari kompromi ideologis yang cukup penting dalam sejarah intelektual pemuka adat dan agama, yang patut didalami oleh generasi muda Minang di masa depan.
Di lain pihak, ada pendapat yang menempatkan perjanjian Bukit Marapalam sebagai pucak integrasi dan sintesis akhir dari konflik cultural, baru terjadi pada abad ke 19 Masehi, yakni setelah berakhirnya Perang Paderi. Telaah yang digunakan berangkat dari pendekatan budaya.” Corak Budaya Minangkabau yang sintetik itu pada dasarnya bersifat universal. Jikok dibalun sabalun kuku, jika dikambang saleba alam. Budaya aslinya bercermin kepada alam:Alam takambang jadi guru. Alam terkembang seperti kita tahu, bukanlah sesuatu yang liar dan tak beraturan, tetapi sebaliknya, sangat teratur dan tunduk kepada hukum-hukum alam. Semua pepatah-petitih,pantun,bidal adat dan sebagainya, dengan mana filsafat adat dialegorikan, sebelum Islam masuk ,bercermin kepada hukum alam itu. Dengan masuknya Islam, maka semua ini tinggal menyesuaikan,karena hukum alam itu ternyata adalah sunnatullah. Karenanya tidak ada satupun yang harus berbeda dengan hukum alam takambang jadi guru pra Islam dengan sunnatullah itu. Inilah sintetisme itu. Karena adat Minangkabau pada hakikatnya adalah ajaran budi, dan budi pekerti, dia berada pada pelataran filsafat budi (ethical philosophy), yang tujuannya adalah untuk menata prilaku - sosial maupun individual - agar sesuai dengan hukum alam itu. Dengan masuknya Islam, Islam tinggal menambahkan unsur-unsur kepercayaan yang bersifat theologik-eskatalogik (Ketuhanan dan alam akhirat) yang semuanya berpunca pada Keesaan dan Kemaha-Kuasaan Allah. Karena filsafat budi tidak mengenal dan tidak bercampur dengan paham kosmologi pra Islam yang berorentasi pada paham serba roh (Animisme dan dinamisme), maka tidak ada yang harus dibersihkan dari filsafat budi itu. Bahwa Paderi dan gerakan Reformasi selanjutnya yang terjadi sepanjang abad ke 19 dan penggal pertama abad 20 di Minangkabau bertujuan untuk memerangi khurafat, bid’ah dan takhyul, syirik, bidikannya bukanlah pada ajaran adat yang berguru kepada alam itu, tetapi kepada praktek -praktek heretek (menyimpang) pra Islam yang tercampur kedalamnya, dan prilaku sosial yang menyimpang dari ajaran Islam; misalnya kebiasaan minum arak, berjudi, menyabung ayam, main perempuan, berjampi-jampian, sihir dan sebagainya, yang semua itu sama sekali tidak diajarkan oleh adat, bahkan dilarang. Dan praktek-praktek inilah yang diperangi oleh gerakan Puritanisme Paderi dan gerakan pembaharuan gelombang-gelombang berikutnya. Ini juga sintetisme, sehingga ajaran adat yang bersifat penghalusan budi bersintesis dengan ajaran Islam yang bersifat lebih penghalusan budi, tetapi yang sekarang dihubungkan dengan kepercayaan kepada Allah SWT serta Muhammad Rasulullah SAW panutan utama akan kehalusan budi itu. Apa yang terjadi sepanjang abad ke 19 dan tengah pertama abad ke 20 itu adalah sebuah proses pengintegrasian dan sintesis dari kedua sumber budaya yang datang dan yang menanti.
Dalam proses pengintegrasian dan sintesis dari kedua sumber budaya ini kata sepakat akhirnya dibuhul dengan perjanjian Bukit Marapalam,yang masih di abad ke 19 sesudah Perang Paderi,yaitu dengan adigium :”Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kirabullah” Dari Adigium ini terlihat dengan jelas bagaimana status dan jenjang hirarki antara adat, Syarak dan Kitabullah. Ini pun diperkuat lagi dengan adigium-adigium penjelasan dan pendampingnya, seperti ungkapan : Syarak mengato adaik mamakai”,Syarak bertelanjang adaik basisamping,adat buruk (jahliyah dibuang dan baik (Islamiyah) dipakai dan lainnya”Status dan hirarkinya adalah demikian ,sehingga secara prinsip tidak mungkin ada benturan antara adat dan syarak, yang diatasn ya adalah al-Qur’an kalimatul ‘ulya. Maka Al Qur’an dengan sendirinya adalah kontitusi tertinggi bagi budaya dan masyarakat adat Minangkabau.
Sisi lain yang patut juga dipahami bahwa Perjanjian Bukit Marapalam adalah merupakan suatu mata rantai dari penyesuaian adat dan Islam di Minangkabau. Amir Syarifuddin dalam Disertasinya Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Minangkabau IAIN Jakarta hal.328-51 menyimpulkan bahwa Penyesuaian adat dan Islam telah mengalami tiga priode besar yaitu : (1) Masa di mana adat dan hukum Islam berjalan sendiri-sendiri dalam batas yang tidak saling mempengaruhi, yang dimunculkan dalam pepatah adat “ Adat Basandi Alur dan Patut, dan Syarak Basandi Dalil” ini adalah masa-masa awal Islam di Minangkabau, di mana dominasi adat sangat begitu kuat dan Islam belum lagi masuk ke dalam sistim sosial masyarakat. (2) Priode sama-sama dilakukan keduanya, artinya adat dan Islam telah masuk kedalam sistem sosial masyarakat namun masih belum berpengaruh, karena ia baru saja diterima oleh masyarakat dan nilai-nilai moral yang dibawa Islam sejalan dengan pesan adat Minangkabau. Pepatah adatnya pada masa ini “ Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Adat”. (3) Priode ketiga lahir sebagai buah dari ketidakpuasan diantara ulama terhadap gerakan Paderi yang pada mula bertujuan untuk membersihkan agama dari pengaruh adat, kemudian menjadi perebutan kekuasaan antara kaum agama dan kaum adat, sayang kedua-duanya kalah dan Belanda berhasil memasuki Menangkabau. Puncak ketidakpuasaan dua kelompok ini melahirkan akomodasi dan itu dituangkan dalam Perjanjian Bukit Marapalam, sehingga melahirkan filosofi adat “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”
Perbedaan lahirnya Perjanjian Bukit Marapalam dapat ditarik suatu benang merah yang tidak saling bertentangan. Melihat masa kehadiran Syekh Burhanuddin (Abad 17 Masehi) dan masa sesudah Paderi (abad 19 Masehi) ada jarak waktu dua abad, tentu waktu yang cukup lama. Ini bisa saja dilihat dengan pendekatan yang bersifat lebih luwes. Bukan tidak mungkin, Syekh Burhanuddin memang di abad 17 itu telah melakukan perintisan awal dari upaya sintesis antara adat dan agama ini. Upaya Syekh Burhanuddin bersama pemuka adat di Rantau menemui Basa Ampek Balai untuk merundingkan hubungan adat dan agama ini adalah merupakan modal awal bagi lahirnya piagam Bukit Marapalam yang jadi momentum bersejarah dalam proses integrasi dan sintesis adat dan agama seperti yang dikemukan Pakar Sosiologi dan Hukum Islam diatas diatas. Bisa juga diinterpretasikan bahwa Perjanjian Bukit Marapalam pasca Paderi (abad ke 19 ) adalah tindak lanjut dari Perjanjian Bukit Marapalam pertama yang telah disponsori oleh Syekh Burhanuddin dulunya.
Argumen lain yang patut dipertimbangkan adalah jika Perjanjian Bukit Marapalam itu baru sesudah Paderi, maka bagaimana mungkin Tambo adat alam Minangkabau yang menjelaskan tentang pokok pembicaraan sebelum perjanjian dibuat yang dikenal dengan 10 (sepuluh) landasan pokok dalam penyesuaian adat dan syarak, 4(empat )jatuh pada adat, yaitu adat, istiadat, nan diadatkan dan sabana adat dan 6 (enam) jatuh pada Pusako, yaitu: kalo-kalo, baribu kalo, bajanjang naik, batanggo turun, hukum ijtihad dan undang-undang permainan alam itu telah ditulis. Aturan adat itu ditulis dengan huruf arab melayu. Penulisan huruf arab Melayu baru berkembang luas setelah Islam menyebar melalui lembaga pendidikan Surau yang mula pertama di rintis Syekh Burhanuddin di Tanjung Medan Ulakan. Kenyataan ini dapat menjadi indikasi bahwa Perjajian Bukit Marapalam pertama itu telah terlaksana pada abad 17 berdasarkan dorongan dan desakan Syekh Burhanuddin bersama-sama Pemuka adat dari rantau, Basa Ampek Balai dan Penghulu-Penghulu di Luhak nan Tiga waktu itu.
Patut juga menjadi bahan renungan pemerhati kebudayaan Minangkabau bahwa memilih antara data historis yang didukung oleh bukti ilmiah dengan penuturan lisan oleh para pemuka adat dan cendikiawan adat adalah sesuatu yang memerlukan kajian dan perenungan yang mendalam. Bukan tidak mungkin kebiasaan berpikir “ilusif dan imajinatif” para pemangku adat itu ada benarnya disamping tentu ada pula yang perlu dikritisi secara cermat. Kebangaan pada sejarah masa lalu masih saja menjadi faktor penghambat menemukan kejernihan sejarah sebagaimana adanya. Dalam kaitannya dengan keberadaan Syekh Burhanuddin dan perannya dalam pengembangan Islam atau Islamisasi Minangkabau masih banyak data yang bersifat oral dan kalaupun sudah ditulis itu baru sebatas cerita dari mulut ke mulut yang dapat juga melalui cerita lisan. Kondisi seperti ini patut menjadi tantangan bagi peminat Sejarah Islam Minangkabau untuk menguak hutan belantara keilmuaan yang demikian luasnya. Yang pasti Syekh Burhanuddin sebagai figur Ulama pengembang Islam masa lalu keberadaannya dalam peta pengembangan Islam di Minangkabau tidak perlu diragukan lagi, karena bukti konkritnya dan kepercayaan masyarakat terhadapnya (evidensi) dapat dijadikan pegangan. Lebih dari itu, bagi Ulama , cendikiawan Islam dan pemuka adat Minangkabau perlu menangkap semangat zaman bagaimana Adat dan Agama ini dapat diwariskan dalam pengertian yang lebih rasional dan dan dapat mendorong akselerasi (Percepatan) tumbuhnya generasi yang berbasiskan pada “Adat dan Agama “ sebagai identitas dirinya di era moderen dan global yang berobah dan berkembang begitu cepat dan meluas.
Perjanjian bukit marapalam itu adalah bentuk final dari persenyawaan adat dan agama di alam Minangkabau. Meskipun tidak dapat dipungkuri bahwa pemerintahan di Minangkabau diatur menurut dua sistem, yaitu Sistem Koto Piliang dan Sistem Bodi Caniago. Gagasan yang dituangkan oleh Datuk Katumanggungan disebut laras Koto Piliang, sedangkan yang dituangkan atau dititahkan oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang dikenal dengan laras Bodi Caniago. Kedua kelarasan ini melahirkan aturan-aturan (adat) yang menjadi way of life (pandangan hidup) orang Minangkabau yang didasarkan kepada ketentuan nyata yang terdapat dalam alam kehidupan dan alam pikiran seperti yang ditemukan dalam pepatah “ alam takambang menjadi guru “. Sistim baru yang dilahirkan oleh kesepakatan bersama diatas tidaklah merusak sistem yang telah mapan sebelumnya ini. Akan tetapi, ia memperkokoh jalinan hubungan yang erat antara lembaga keagamaan (surau) sebagai pusat ibadat dengan kerajaan sebagai pusat kekuasaan menjadi begitu kokoh dan satu dalam kehidupan sosial budaya ,seperti yang diisyaratkan oleh pepatah “ syara’ mangato adat mamakai” (agama memberikan fatwa dan adat melaksanakannya), sehingga agama dan adat menjadi identitas orang Minang. Akan sangat ‘aib jika orang Minang dikatakan sebagai orang yang tidak beradat atau tidak beragama.
Buah dari jalinan adat dan agama melahirkan tumbuhnya tradisi surau, di mana masing-masing suku dari masing daerah di ranah Minang mempunyai surau, bahkan a’ib jika bagi suatu suku dalam satu kampung yang tidak punya surau. Di surau-surau ini para murid menimba ilmu dari guru-gurunya, sekaligus sebagai tempat transmisi ajaran Islam ke berbagai daerah lainnya. Ajaran yang dikembangkan di surau pada umumnya berbau mistik, karena inilah yang serasi dengan keadaan masyarakat, nama sufi seperti misalnya Ibn ‘Arabi dan al-Jilli, Hamzah Fansuri dan Abd. Rauf al-Sinkili adalah tokoh yang dikenal luas dalam wacana keagamaan di surau. Demikian juga hanya di surau telah di perkenalkan empat tarikat fase awal abad ke 17 M. yaitu ; tarikat Qadariyah didirikan oleh Abdul Qadir Jailani (w 1166 M), Naqsyabandiyah, oleh Baha’al-Din (w 1388 M), Syattariyah oleh Abdul Syattar (w 1415 M) dan Suhrawardi. Dari keempat tarikat tersebut, tarikat Syatariyah mempunyai penganut banyak yang dalam dan luas, yang pada mula bersumber dari Syekh Abd. Rauf, yang kelak mempunyai murid Syekh Burhanuddin di Minangkabau.
Selain melalui Tarekat, Islam telah dikembangkan juga melalui perkawinan. Pada umumnya para pedagang Islam telah mempunyai perkampungan etnis sendiri, sehingga mereka cenderung untuk tinggal lebih lama, sehingga ada mereka yang menikah dengan penduduk setempat, terutama putri dari kalangan ningrat, sehingga langkah ini menunjang tersebarnya Islam di Indonesia. Islam semakin berkembang ke daerah pedalaman. Secara bertahap Islam mulai memberi pengaruh terutama di kalangan struktur pemerintahan, seperti terlihat pada sistem pemerintahan nagari. Tidaklah dapat dikatakan sebuah nagari bila tidak ada di nagari tersebut 1. Masjid dan Balairung, 2. Bersawah dan berladang, 3. Bertepian tempat mandi, 4. Berpasar dan bergelanggang. Selain itu untuk melengkapi sebuah nagari mesti ada pula empat jinih (jenis) yaitu ; a. Penghulu, b. Alim ulama, c. Manti dan d. Dubalang. Bila diperhatikan tentang penggunaan istilah adat di Minangkabau, biasanya setiap nagari berdiri dengan adatnya sendiri, laksana republik-repuplik kecil yang berhak mengatur nagarinya dalam wilayah masing-masing. Pada umumnya setiap nagari di perintah oleh seorang penghulu. Untuk kebesaran sebuah penghulu ia harus melengkapi struktur pemerintahannya. Kalau penghulunya bergelar misalnya Datuk Malano, maka pembantu di bidang agama bergelar dengan Malin Malano, Fakih Malano, Labai Malano dan lain sebagainya. Semua gelar itu mereka dasari kepada bahasa-bahasa Umat Islam (bahasa Arab).
Selain pengaruh di atas, terlihat lagi dalam penulisan Tambo Adat Alam Minangkabau. Tulisan yang dipakai adalah tulisan Arab Melayu. Tambo-tambo lama itu disalin dari tangan ketangan seperti hikayat Syekh Jalaluddin yang diterbitkan di Belanda dengan judul Verheal Padri-Onlusten op Sumatra tahun 1857 dan naskah tuangku Imam Bonjol oleh Naali Sutan Caniago dengan judul Memorie Van Tuangku Imam Bonjol oleh De Stuerss dan banyak lagi naskah Arab-Melayu lainnya. Di sini tergambar keterpaduan antara adat dan Islam, terutama sekali dalam bidang kebudayaan. Sekaligus juga sebagai bukti bahwa unsur-unsur Islam sangat relevan dengan masyarakat Minangkabau. Hal itu tercermin semenjak orang Minangkabau menerima Islam sebagai panutannya. Perpaduan itu lahir adalah setelah Islam intensif berkembang di Minangkabau yaitu pada masa Syekh Burhanuddin dan murid-muridnya.
Begitu erat dan kentalnya adat di Minangkabau, sehingga antara adat dengan Islam sulit dipisahkan, sehingga lahir pada mulanya istilah Adat Basandi Syara’, Syara’ basandi Adat, namun dalam musyawarah Bukit Marapalam di zaman Paderi, lahirlah perpaduan yang lebih tegas dan sempurna, yaitu : Adat basandi syara’, Syara’ basandi Kitabullah. Sedangkan dalam pengaruh selanjutnya lebih nampak lagi dalam pepatah Minang, Syarak mengato adat memakai (antara adat dan Islam sejalan), atau yang lebih tegas lagi adalah Syara’ bertilanjang, adat bersisamping ( ulama berbicara secara tegas dan tuntas, sedangkan adat berbicara dengan kata kiasan.) Pergolakan dan pergerakan kehidupan keagamaan sejak fase awal di Minangkabau sampai berakhirnya gerakan paderi dan munculnya Kaum Tuo dan Kaum Mudo dengan para pelaku ulama dan pemangku adat pada dasarnya berbasiskan pada surau. Penyusunan konsep, srtategi perjuangan dan basecamp nya mengambil tempat pada surau-surau yang sekaligus tempat kediaman para Tuanku dan ulama tersebut.
Keberadaan seorang ulama lebih ditentukan oleh dukungan dan pengakuan pemuka adat (penghulu). Dt. Tan Kabasaran, salah seorang tokoh adat dan sekaligus seorang ulama menceritakan anekdotnya dengan gurunya Buya Abusamah, ketika membentuk Komite Nasional RI untuk wilayah Bukittinggi. Untuk menentukan ulama yang akan duduk pada komite tersebut timbul perdebatan apa yang menjadi ukuran keulamaan seseorang, tanya saya kepada Buya Abusamah, sebab ada ulama yang benar alim, tetapi tidak mendapat pengakuan dari ninik mamak, dilain pihak ada ulama yang ilmunya sekedar saja, tetapi sangat diagungkan oleh ninik mamak. Ketika itu Buya Abusamah mengatakan bahwa didaerah Minangkabau ini ada dua tipe ulama,
Pertama ; ulama kepala kabau (kerbau), artinya seseorang yang diangkat dengan prosedur adat menjadi tuanku (ulama) meskipun ilmunya belum mencapai kualitas yang sebenarnya. Ulama seperti ini cenderung memihak kepada kaum adat dan pemerintahan, sehingga fatwanyalah yang menjadi patokan oleh kalangan adat dan pemerintah. Akibatnya sering terjadi perbenturan pendapat dengan ulama yang sebenarnya. Ulama kepala kerbau ini yang menjadi alat kekuasaan untuk mendukung program-program kaum adat dan pemerintahan yang kadangkala tidak dapat diterima oleh masyarakat. Bahkan justru mengundang disintegrasi ulama dengan masyarakat, surau dengan masyarakat dan imlikasi lainnya yang tidak menguntungkan bagi agama dan masyarakat itu sendiri.
Kedua ulama kepala maco (ikan asin), yaitu ulama yang benar-benar belajar agama di surau dalam waktu yang cukup lama dan penuh kesulitan, sehingga makanannya kepala maco saja (ikan asin saja). Ulama seperti ini secara keilmuan memiliki kemampuan yang kuat, namun tidak mendapat dukungan atau pengakuan (gelar) dari ninik mamak. Karena tidak memiliki hubungan geniologis dengan kalangan adat. Ulama di luar sistem adat ini meskipun fatwanya benar dan punya dasar yang kuat dari agama cenderung diabaikan oleh masyarakat, apalagi oleh kalangan adat dan pemerintah. Ketidak berdayaan ulama, dalam artian yang sebenarnya ini, ikut mempengaruhi rusaknya dan berubahnya pandangan masyarakat terhadap surau dan ulama surau. Kenyataan ini dapat dimaklumi sebagai akibat dari pertentangan kaum adat dan golongan agama sejak perang paderi dulunya. Ditambah lagi pemerintahan Belanda dan Jepang yang berkuasa pada saat sebelum kemerdekaan memang tidak berpihak kepada kaum agama. Golongan agama kalaupun digunakan oleh pemerintahan itu hanya untuk kegiatan yang menguntungkan mereka saja. Sedangkan kalangan ulama yang benar-benar ingin membimbing dan mencerdaskan masyarakat, jelas menjadi batu penarung bagi kelansungan penjajahannya.
Surau dalam terminologi di atas pada dasarnya berada dalam suatu struktur kepemimpinan yang jelas dengan pembahagian kerja mereka masing-masing sebagai berikut :
Imam, yaitu orang yang dituakan di surau yang biasanya memimpin shalat jam’ah, sekaligus sebagai guru utama dalam surau tersebut. Dalam tradisi masyarakat Minangkabau panggilan kepadanya Angku Imam. Sedangkan cara mendudukan iman di surau dilaksanakan melalui pemilihan dengan kriteria yang paling alim dalam masyarakat atau dalam suku (marga)nya sendiri.
Khatib, yaitu orang yang bertugas menyampaikan khutbah pada shalat Jum’at dan bertanggungjawab dalam melaksanakan dakwah Islamiyah di surau tersebut. Khatib dalam hal ini berfungsi sebagai kaki tangan oleh Angku Imam, atau boleh dikatakan sebagai asisten angku imam, atau sebagai sekretaris Angku Imam.
Bilal, yaitu seorang yang dipercaya oleh masyarakat sebagai mu’azin sebelum shalat, sekaligus bertanggungjawab tentang pemeliharaan surau dan harta bendanya. Kadangkala bilal sangat boleh jadi diidentikkan dengan gharim surau. Bilal, dibandingkan dengan imam dan khatib, jauh lebih berjasa terutama dalam menghidupkan dan memelihara keutuhan fisik surau secara keseluruhan.
Amil, yaitu mereka yang bertugas melakukan kegiatan urusan zakat mulai dari mencri para muzakki sampai kepada mengelola, mengumpulkan, mencatat, menghitung, menyimpan pada tempat yang disepakati dan mencari serta meneliti para mustahik zakat dan membagikan kepadanya secara patut sesuai ketentruan ajaran agama.
Jama’ah. Dalam hal ini jama’ah dibagi kepada dua bagian yaitu : pertama; jama’ah tetap yaitu orang yang rajin ke surau untuk “shalat lima waktu sehari semalam”. Kedudukan jama’ah adakalanya murid dekat angku imam, yaitu masyarakat sekitar surau dan adakalanya orang yang sengaja datang dari jauh khusus untuk menuntut ilmu agama kepada Angku Imam. Kedua jama’ah tidak tetap, ialah orang-orang yang datang ke surau pada waktu tertentu menurut keperluan masing-masing, seperti minta obat, nasehat perkawinan (konsultasi keluarga), bimbingan kerohanian atau orang yahg tertentu singgah seperti orang rantau pulang kampung atau musafir yang kemalaman.
Struktur seperti di atas sejalan dengan struktur adat dalam masyarakat Minangkabau yang dikenal dengan penghulu, manti, malin dan dubalang.
Penghulu adalah pimpinan adat dalam kaumnya/sukunya yang selalu berusaha untuk ke[pentigan anak kemenakannya dan masyarakat. Penghulu diangkat atas kesepakatan kaum, yaitu orang yang dipilh oleh anak kemenakannya laki-laki atau perempuan. Sesuai dengan pepatah adat “ Maangkek panghulu sakato kaum, maangkek rajo sakato alam” ( mengangkat penghulu disepakati oleh kaum dan mengankat raja disepakati oleh masyarakat umum). Penghulu memiliki kata putus (mementukan keputusan terhadap anak kemenakan. Prinsip kepemimpinannya “ganting putuih biang cabik “ ( kata putus ditangannya) dan ia berfungsi sebagai pemegang kebenaran.
Manti asal katanya dari mantri, yaitu orang -orang yang dipercaya membantu penghulu dalam kaumnya. Dalam adat Minangkabau disebut manti “ parmato nagari” (cerminan nagari) sebagai mediasi antara penghulu dengan kemenakannya, atau ulusan jari sambungan lidah oleh penghulu, tapi adakalanya manti dalam s uku tertentu tidak diadakan. Manti adalah orang cerdik pandai yang dipercayai oleh seorang penghulu dan diterima oleh masyarakatnya. Prinsip kepemimpinan dalam adat ( kato manti kato salasai) ( keputusan manti menyelesaikan masalah), karuh janih kusuik salasai ( yang tidak baik menjadi jernih, yang kusut menjadi selesai). Dengan demikian manti berfung sebagai memberi penyuluhan hukum, seperti hukum adat, hukum agama dan hukum yang ada dalam masyarakat. Di sini manti disebut memegang kata pusaka.
Malin adalah sebutan untuk alim ulama, sebelum Islam masuk ke Minangkabau disebut dengan Pandito, munkin dari kata Pendeta. Malin adalah jabatan fungsional dalam suku yang dipercayai oleh kaum, penghulu dan masyarakatnya. Malin inilah yang mengatur kegiatan keagamaan pada sukunya masing-masing melalui surau yang dibangun oleh suku tersebut. Malin sekaligus berfungsi sebagai pelaksana pendidikan keagamaan, dakwah dan kegiatan keagamaan lainnya dilingkungan suku tersebut. Prinsip kepemimpinan malin adalah “ kata malin kato hakikat “ ( kata malin adalah kata yang sebenarnya). Malin berfungsi sebagai suluah bendang dalam nagari, tahu halal dengan haram, tahu sah dengan batalnya. Malin biasanya lebih banyak mengurus masalah-masalah agama Islam, seperti mengurus nikah, talak, rujuk, kelahiran, dan kematian. Infak, zakat dan kegiatan masjid/surau yang di bawah sukunya.
Dubalang atau disebut juga hulubalang adalah jabatan fungsional adat dalam kaum yang dipilih oleh kaum dan penghulu, bertanggungjawab kepada penghulu. Dubalang berfungsi menjaga keamanan, pengawal pemimpin, membantu tugas-tugas penghulu untuk menjaga keamanan nagari, bahkan di bidang keaamanan ini ia boleh bertindak sebagai seorang polisi. Prinsip kepemimpinan dubalang adalah kata dubalang kata tegas ( mandareh, lunak disudu, kareh ditakik) Kata dubalang kata keras, lunak dapat diikuti, keras juga dilawannya).
Dari empat jenis orang-orang di atas dapat ditarik pengertian bahwa Malin sebagai pemegang kunci keagamaan melalaui suraunya memiliki fungsi yang strategis sekali didalam struktur adat Minagkabau. Tidak lengkap suatu suku tanpa adanya malin sebagai penjaga moral masyarakat. Keempat kelompok ini dalam sistem adat Minangkabau dikenal dengan sebutan “urang ampek jinih” ( orang yang memiliki keputusan didalam nagari/suku.) Pepatah “ Adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah” adalah merupakan puncak dari keseluruhan proses persintuhan, perbenturan, penyesuaian dan perpaduan antara adat yang telah lebih dahulu tertanan dalam kehidupan masyarakat Minangkabau dengan agama Islam yang datang kemudian. Kedatangan Islam dengan ajaran menyangkut akidah dan syaria’h tentang kehidupan sosial masyarakat Minangkabau tidaklah merusak sistem sosial yang telah ada sebelumnya. Hal ini dapat diamati dalam berbagai praktek kehidupan bermasyarakat , antara lain :Penyesuaian adat dengan agama tidak dengan menghancurkan tatanan lama, tetapi menciptakan tataran baru yang bersifat islami. Cara penyesuaian bentuk ini berarti Islam menyempurnakan bentuk bangunan adat lama. Misalnya; lembaga raja adat yang mengurus maslah pemerintahan disempurnakan dengan mengadakan lembaga raja ibadat yang khusus mengurus masalah keagamaan, sehingga dikenal dengan sebutan “ Rajo dan Tigo Selo”, ( Raja tiga kedudukan) yaitu raja adat di Buo, Raja Ibadat di Sumpur Kudus dan Raja Alam di Pagaruyung.
Demikian juga halnya dalam kekuasaan pemerintahan disamping dilakukan oleh Rajo Tiga Selo, juga dibantu oleh dewan menteri yang disebut dengan “ basa ampek balai” (empat orang besar pemerintahan), yaitu : Andomo di Saruaso, Tuan Kadi di Padang Ganting, Mangkhudum di Sumanik dan Tuan Gadang di Batipuh. Tuan Kadi di Padang Ganting adalah orang yang secara khusus memiliki kewenangan untuk menyelesaikan urusan agama Islam. Begitu juga halnya dengan tingkatan yang lebih bawah, yaitu dalam suatu perangkat satu nagari atau suku, yang sbelumnya terdiri dari penghulu, manti dan dubalang, kemudian ditambah dengan jabatan baru, yaitu Malin sebagai pejabat agama. Keempat orang ini disebut dengan “ orang empat jinih ( orang empat jenis). Mereka yang berempat ini merupakan wakil dari empat usur pimpinan masyarakat. Penghulu mewakili ninik mamak (pimpinan suku), malin mewakili alim ulama (pemuka agama), manti mewakili cendikiawan/cerdik pandai, sedangkan d ubalang mewakili generasi muda. Masing-masing mereka memiliki kewenangan dan pendapat, seperti yang tertuang dalam pepatah adat : “ Kato penghulu kato manyalasai, kato manti kato barubung, kato malin kato hakikat dan kato dubalang kato mandareh. Artinya ( pendapat penghulu selalu menyelesaikan masalah, pendapat manti menjadi perantara dengan masyarakat, pendapat ulama, pendapat yanhg sebenarnya, sedangkan pendapat dubalang (militer) bersifat mengikat.
Orang empat jenis di atas merupakan penanggung jawab kehidupan sosial, agama, dan kemasyarakatan sesuai dengan kedudukan dan fungsinya masing-masing, seperti yang digambarkan dalam pepatah adat “ Penghulu tagak dipintu adat, malin tagak dipintu syara’, manti tagak dipintu susah, dubalang tagak dipintu mati ( Penghulu pemegang kekuasaan adat, malin pemegang kekuasaan syara’ (agama), manti pemegang kehiudpan sosial kemasyarakatan, sedangkan dubalang bertanggungjawab dalam pertahanan dan keamanan). Keterpaduan adat dan syara’ seperti di atas dapat juga diamati pada level yang paling bawah dalam ,masyarakat Minangkabau masa lalu. Misalnya dalam persyaratan adanya sebuah nagari di samping memenuhi persyatan adat, yaitu ssuku nan ampek (suku yang empat), galanggang sebuah, labuh (jalan), tapian, sawah ladang, pandam pakuburan dan balai adat. Kemudian mesti dilengkapi dengan musaji’ (masjid) dan surau sebagai lembaga keagamaan dan tempat ibadat kaum muslimin. Di sini dapat dikatakan bahwa surau dan mesjid memiliki hubungan yang tak dapat dipisahkan dari keberadaan suatu nagari. Tidaklah bernama suatu nagari, jika tidak ada masjid dan surau. Untuk mendukung terlaksananya kegiatan di mesjid dan surau, maka dalam suatu nagari dibentuk perangkat tuanku, malin, labai, khatib dan bilal nagari. Tuanku Nagari bertugas menjadi pemimpin agama dan sekaligus pemegang kekuasan pada surau dan masjid. Malin, Labai, Khatib dan Bilal nagari, merpakan orang-orang yang membantu tuanku dalam bidangnya masing-masing. Tuanku nagari bukanlah personil satu orang, tetapi dia merupakan jabatan yang meliputi empat bidang. 1. Tuanku kadi mengurus masalah nikah kawin, 2. Tuangku imam menjadi imam tetap pada masjid/surau, 3. Tuanku khatib bertanggungjawab dalam bidang dakwah dan khutbah, 4. Tuanku bilal menjadi juru penerang agama Islam dan mu’azin.
Surau sebagai lembaga tarekat merupakan pusat Tarekat Syathariyah di Ulakan, di pantai Barat Sumatera (di sebelah utara kota Padang). Pengaruh Ulakan bagi perkembangan Islam di Minangkabau cukup besar sehingga dalam tradisi sejarah dikalangan para ulama sering dianggap bahwa kota kecil ini adalah sumber penyebaran Islam. Bahkan, bukan tak mungkin peranan ini menimbulkan diktum yang terkenal dalam tambo Minangkabau, “ Syara’ mendaki, adat menurun “. Namun yang pasti ialah bahwa dengan Ulakan tradisi surau atau pesantren, sebagai pusat pengajaran dan pusat pemupukan ilmu pengetahuan keagamaan, bermula di Minangkabau. Dari sinilah “silsilah” atau mata rantai surau-surau dimulai.
Melalui pendekatan ajaran Tarekat Syathariyah, Syekh Burhanuddin menanamkan ajaran Islam kepada masyarakat Ulakan. Dengan ajaran yang menekankan kesederhanaan, lebih mengutamakan masalah “batini”, maka Tarekat Syathariyah berkembang dengan pesat. Bahkan sampai saat ini di Ulakan Pariaman Tarekat Syathariyah masih tetap eksis. Surau Ulakan sebagai lembaga pendidikan dan keagamaan yang pertama di Minangkabau sangat besar pengaruhnya bagi pengembangan Islam ke seluruh pelosok alam Minangkabau. Tumbuhnya surau sebagai lembaga pendidikan agama dan tarekat terus berkembang pesat. Setiap Ulama Minangkabau memiliki surau sendiri, baik sebagai tempat pelaksanaan pengajaran agama maupun Tarekat. Pada era ini, perkembangan tarekat menemukan momentumnya, sehingga dapat dikatakan eksistensi surau bukan saja menunjukkan suatu jenis lembaga pendidikan masyarakat, akan tetapi lebih dari itu menunjukkan bentuk Tarekat yang dianut oleh suatu komunitas masyarakat Islam Minangkabau. Bahkan pada masa ini, fungsi surau terkadang lebih dominan sebagai tempat praktek tarekat, ketimbang sebagai lembaga pendidikan. Setiap surau di Minangkabau, memiliki otoritas tersendiri, baik dalam praktek tarekat maupun penekanan cabang ilmu-ilmu keIslaman.
Pilihan Syekh Burhanuddin menjadikan surau sebagai basis pengembangan Islam di Minangkabau menjadi sesuatu yang sangat menentukan dalam kehidupan keagamaan di Minangkabau untuk masa-masa berikutnya. Segera setelah ia kembali dari Aceh, Burhanuddin mendirikan surau Syathariyah, sebuah lembaga pendidikan sejenis ribat, di Ulakan. Tak lama kemudian surau Ulakan termasyhur sebagai satu-satunya pusat keilmuan Islam di Minangkabau. Surau yang dibangun tahun 1860 atas bantuan seorang sahabatnya Idris Majo Lelo berlokasi di Tanjung Medan Ulakan, yang selanjutnya menjadi pusat pengembangan Islam dan pusat pengembangan Tarekat Syathariyah yang diajarkan oleh Syekh Burhanuddin kepada murid-muridnya dari berbagai daerah di Minangkabau. Setelah Syekh Burhanuddin wafat tahun 1111H/1698M, maka tugas pengembangan Tarekat Syathariyah dipercayakannya kepada Syekh Abdurrahman atau disebut dengan panggilan khalifah, ini khalifah pertama Syekh Burhanuddin, khususnya dalam bidang Tarekat Syathariyah. Kemudian secara berkesinambungan diteruskan oleh khalifah-khalifah yang lain; seperti Khairuddin, Jalaluddin, Idris, Muhsin, Habibullah, Sultan Kisa’i, Abdul Madjid Ibnu Latif, Abdurahim di Tapakis, dan Zainuddin serta beberapa nama lain sampai saat ini. Di tangan mereka inilah Tarekat Syathariyah tumbuh berkembang serta mengalami pergumulan dengan Tarekat lainnya, khususnya Tarekat Naqsabandiyah sejak akhir abad ke-19. Begitu kuatnya pengaruh tarekat di kalangan masyarakat, sehingga pada abad XIX M hampir semua ulama di Minangkabau adalah penganut, pengamal dan penyebar satu atau beberapa tarekat. Dengan demikian, maka ulama yang memimpin suatu surau sebagi pusat pengajian Al-Qur’an atau pengajian “kitab” juga merangkap sebagai guru Tarekat… Surau Syekh Burhanuddin Ulakan di Tanjung Medan Ulakan Pariaman di sampingsebagai pusat pengajarn dan penyiaran agama, juga berfungsi sebagai pusat pengajaran dan penyebaran Tarekat Syathariyah.
Peranan surau dan ulama Tarekat dalam gerakan keagamaan ini, konflik antara ulama tarekat dengan gerakan modernisasi (pembaharuan), konflik sesama ulama tarekat sendiri terjadi berikut ekses yang ditimbulkan oleh konflik elit masyarakat ini pada kehidupan dan keagamaan selanjutnya. Adalah suatu fakta bahwa gerakan ulama dan surau tarekat dalam proses Islamisasi di Minangkabau tidak dapat dinafikan begitru saja,disamping itu perlu ditemukan mata rantai yang jelas antara gerakan Islam periode awal yang dimulai oleh Syekh Burhanuddin Ulakan sampai munculnya ulama-ulama yang memiliki pemikiran pembaharuan. Peranan surau sebagai lembaga keagamaan bukan saja memberikan corak dan warna pemahaman dan aktivitas keagamaan masyarakat, akan tetapi ia juga membawa makna yang dalam dalam sturuktur sosial masyarakat Minangkabau. Ketika Belanda berhasil menaklukan Paderi dengan mengunakan tangan kaum adat ,mereka dengan sadar mengakui bahwa pengaruh orang surau atau yang lebih dikenal dengan Orang Siak telah mencekam jauh kedalam susunan masyarakat Minangkabau . Bahkan mereka adalah tokoh yang dengan gigih menjadi tiang utama pengikat solidaritas sosial yang sebeumnya telah dibangun kuat oleh adat alam Minangkabau. Maka tidaklah mengherankan tak lama setalah Minangkabau dikeuasai oleh Belanda, seorang pengulas Belanda menyebut bahwa “Kita duduk diatas volcano pengikut Muhammad”, maksudnya tentu saja sewaktu-waktu kekuatan Islam itu akan muncul dan akan mengancam apapun kesetabilan politik yang telah diletakan.
Memperhatikan betapa kuat dan eratnya hubungan adat dan agama dalam sistim sosial kultur masyarakat Minangkabau, maka sangatlah beralasan sekali Buya Hamka menyebut bahwa hubungan timbal balik adat dan Syarak dalam kebudayaan Minangkabau adalah sangat solid dan tak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Memperkatakan adat Minangkabau tidak mungkin dipisahkan dari syara’, dari hukum, dari bayyinah dan qarinah, dari ijtihad dan ilmu, dari Iman dan Islam, dari Allah dan dari Rasul. Selanjutnya beliau mengulas, bahwa gerakan ulama-ulama Islam Minangkabau selalu mengisi adat-istiadat itu dengan keagamaan, dengan Iman dan Islam. Kalaupun pernah terjadi sikap keras kaum Ulama, terutama dengan timbulnyaPerang Paderi, bukanlah karena Islam memerangi orang kafir. Namun, kaum Ulama menantang adat ketika adat itu telah membeku atau atas fitnah atau kepentingan kalangan adat yang mencri keuntungan dari prestise yang meeka miliki, sehinga merugikan perjuangan islam.
Dengan adanya hubungan timbal balik adat dan syarak dalam kebudayaan Minangkabau yang kemudian dilengkapi dengan dibangunnya intitusi keagamaan yang diterima luas dalam sturktur adat maka kemudian ia dapat mendorong dinamika keagamaan masyarakat Minangkabau berjalan begitu cepat dan mendasar. Pendekatan persuasif dan penyesuaian serta akomodasi yang dipakai yang dipakai oleh ulama priode awal kemudian tidak memadai lagi untuk membersihkan ummat dari pengaruh budaya non Islam. Ujung dari ini semua melahirkan suatu dinamika panjang dalam sejarah Islam di Minangkabau . Para peneliti umumnya mengelompokan ummat Islam itu pada dua kutub yang saling berhadap-hadapan. Mereka menyebut kepada kelompok Tradisionil dan Modernis.
C. Tradisional Islam di Minangkabau.
Mendifinisikan apa yang disebut dengan tradisionalisme islam memerlukan sudut pandangan yang luas dan konperhensif, hal ini disebabkan oleh tidak adanya istilah bahasa Indonesia yang dapat meliputi seluruh rangkain semantik dari konsep tradisionalisme ini. Dari segi bahasa tradisionalisme berasal dari akar kata tradisi. Tradisi adalah kebiasaan yang diwariskan dari satu generasi kepada generasi berikutnya secara turun temurun. Kebiasaan yang diwariskan mencukup berbagai nilai budaya, yang meliputi adat istiadat, sistem kemasyarakatan, sistem pengetahuan bahasa, kesenian, sistem kepercayaan dan sebagainya. Seorang individu dalam proses masyarakat mengalami proses belajar dan berindak sesuai dengan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam masyarakatnya. Nilai budaya yang menjadi pedoman bertingkah laku bagi masyarakat adalah warisan yang telah mengalmi proses penyerahan dari satu generasi kegenerasi berikutnya. Proses ini menyebabkan nilai-nilai budaya tertentu menjadi tradisi yang biasanya terus dipertahankan oleh masyarakat tersebut .
Dalam konteks pemikiran keagamaan terma tradisi memiliki cakupan yang luas sekali. Fazlur Rahman menuliskan bahwa tradisi adalah metodologi berfikir dalam agama yang sangat diperlukan untuk menenpatkan Islam dalam meresponi perkembangan zaman. Mohammed Arkoun, seperti yangditulis oleh Suadi Putro dalam bukunya Islam dan Modernitas…..Bagi Arkoun, tradisi memiliki dua arti : tradisi dengan t kecil dan Tradisi dengan t besar. Yang pertama memiliki arti umum dan kuno, archi^que, yang terdapat pada masyarakat semua manusia sebelum datangnya agama-agama wahyu. Sedangkan tradisi dalam arti yang ideal adalah Tradisi Ilahi yang tidak dapat diubah oleh manusia. Tradisi ini merupakan pengungkapan kenyataan abadi yang mutlak. Tradisi yang terakhir ini selama dua puluh tahun di Mekah dan Medinah telah bergumul dalam kancah sosial dan budaya yang menentangnya, setelah itu menjelma menjadi tradisi Islam yang berkembang dengan sejarahnya sendiri. Pengertian tradisi di sini ditujukan pada warisan masa lalu yang terpelihara sebagai hasil dari persintuhannya dengan budaya dan perkembangan masyarakat. Oleh karenanya, maka dapat juga disebut bahwa terma tradisionalisme yang berarti kelompok atau paham yang memiliki sikap dan pandangan hidup “tradisional” atau “mengikuti tradisi” bila dikaitkan dengan Islam, maka terma tradisi menyiratkan suatu yang sakral, seperti disampaikan kepada manusia melalui wahyu maupun pengungkapan dan pengembangan peran sakral itu didalam sejarah kemanusiaan tertentu untuk mana ia dimaksudkan, dalam satu cara yang mengimplikasikan baik keseinambungan horizontal dengan Sumber maupun mata rantai vertikal yang menghubungkan setiap denyut kehidupan tradisi yang sedang diperbincangkan dengan realitas transenden metahistorikal. Tradisi bisa berarti ad-din dalam pengertian yang seluas-luasnya, yang mencakup semua aspek agama dan percabangannya; bisa pula disebut as-sunnah, yaitu, apa-apa yang – didasarkan pada model-model sakral- sudah menjadi tradisi sebagaimana kata ini umumnya dipahami; bisa juga diartikan silsilah, yaitu rantai yang mengaitkan setiap priode, episiode atau tahap kehidupan dan pemikiran di dunia tradisional kepada Sunber, seperti tanpak demikian gamblang di dalam Sufisme.
Dalam wacana pemikiran islam kata “tradisi” atau “tradisional” sering digunakan sebagai lawan dari kata “moderen” atau “modernitas”. Dalam keilmuan yang lebih luas kata “tradisi” memiliki beberapa pengertian. Diantara konsep yang paling sering disebut sebagai tradisi adalah “hadis ,sunnah, dan adat” Ketiga konsep ini secara langsung memiliki akar yang kuat dengan pengertian tradisionalis, khususnya tradisionalis di Indonesia. Hadis atau Sunnah adalah elemen pokok dari kalangan tradisonalis, sehingga secara eksplisit mereka menyebut dirinya sebagai Ahlusunnah wal jama’ah (aswaja), pengertian ini secara lugas memberikan penjelasan bahwa kaum tradisionalis adalah pihak yang dengan sungguh-sungguh membela hadis sebagai sebuah tradisi yang diterima secara shahih, melalui sanad yang kuat. Konsep ini sekaligus menjadi pembeda tradisionalis dengan kalangan modernis yang lebih mengedapan rasio, sehingga sering disebut sebagai kelompok rasionalis, yang lebih mendahulukan rasio (hasil pikiran) dari sunnah. Para tradisionalis memiliki pandangan yang tegas tentang sunnah. Sunnah meskipun secara literal ia hanya merupakan laporan (reports) atas segala perkatan, perbuatan dan tindakan nabi Muhammad SAW, namun bagi tradisonalis diyakini bahwa kata-katanya berasal dari Muhammad sendiri. Maka dengan demikian semua hadis mestilah menjadi doktrin dan norma-norma prilaku yang otorotatif. Bahkan Hadis jauh lebih luas pengaruhnya dalam kehidupan muslim, dibanding al-qur’an, karena tidak ada kepercayaan atau praktek keagamaan yang ujungnya tidak diabsahkan oleh hadis. Pembelaan mereka terhadap hadis seringkali menjadikan ulama tradisionalis, tidak begitu memperhatikan tentang orisinilitas hadis itu sendiri. Akibatnya, perdebatan tentang hadis, apakah sahih atau tidak juga menjadi salah tema menarik dalam wacana keagamaan antara tradisionalis dengan modernis.
Dalam pergulatan pemikiran Islam di Indonesia sejak akhir abad ke XIX yang lalu konsep tradisionalis mengalami reduksi pengertian. Kalangan tradisional atau kalangan yang mempertahankan tradisi adalah mereka dengan segala upaya mengidenfikasikan diri atau kelompoknya sebagai pihak berpendirian dan berusaha mempertahakan pendiriannya terhadap serangan kalangan modernis yang anti pada tradisi dengan segala konsekwensinya. Di antara tradisi yang telah menjadi kepercayaan dan praktek keagamaan kalangan tradisionalis, sehingga mereka berbeda dengan modernis adalah; masalah otoritas hadis dan pemeriksaan terhadap perawi dan riwayatnya, masalah apakah harus berpegang pada mazhab atau setiap orang harus merujuk langsung kepada Al-qur’an dan Hadis (Masalah Mazhab, Tajdid dan Taqlid), penghormatan kepada guru atau orang saleh ( haul dan upacara kematiam, sebagai tradisi yang sudah lama hidup dalam masyarakat), dan masalah-masalah yang muncul akibat perkembangan modernisasi dalam masyarakat. Masalah-masalah diatas lebih menekankan pada aspek membicarakan kedudukan Islam dalam masyarakat.
Pembicaraan mengenai kedudukan Islam dalam masyarakat, khususnya di daerah Minangkabau, adalah suatu yang menarik dan telah menjadi kajian luas dilingkungan peneliti baik dalam negeri maupun oleh peneliti asing. Masalah pokok yang sampai saat terakhir belum lagi bisa dijawab secara tuntas adalah tentang kategorisasi yang diberikan terhadap penganut Islam, bila dilihat dari praktek dan paham keagamaan yang dianutnya. Kategori tradisionalis dan modernis yang telah lama dipopulerkan seolah-olah tidak mampu mewakili dari prilaku dan praktek keagamaan dari kedua belah pihak. Kaum tradisionalis umumnya dianggap terkebelakang dan cendrung mapan (mempertahankan status quo) dalam pemahaman mengenai masyarakat dan pemikiran islam. Hal ini karena keteguhan mereka dalam memegang hukum Islam ortodoks (yaitu, Mazhab sunni atau aliran hukum-hukum Islam), yang mengantarkan mereka pada penolakan terhadap moderitas dan pendekatan rasional dalam kehidupan. Demikian juga dalam bidang teologi, mereka sangat ketat mengikuti teologi skolastisisme Al-As’yari dan Al-Maturidi, yang telah membuat mereka berpandangan fatalistik dengan menyerahkan sepenuhnya hal pada kehendak Tuhan dan tidak menerima paham kebebasan berkehendak, serta pemikiran bebas manusia. Selajutnya para tradisionalis itu juga dituduh mengabaikan masalah-masalah duniawi dalam praktek ritual mistisisme Islam(tasauf). Aktivitas mereka dalam organisasi sufi (tarekat) memperlihatkan pengabaian mereka terhadap keduniawi, dan sebaliknya, hanya berorentasi pada kebahagiaan di akhirat kelak. Dengan pandangan dunia tersebut, para tradisonalis ini sering dicap sebagai kelompok masyarakat pasif dan acuh tak acuh terhadap tantangan dinamik moderniasi, sebuah komonitas di mana para Kiyai (ulamanya) memegangi secara ketat tradisi yang mati.
Gambaran tradisionalisme diatas telah menempatkan kaum tradisionalis sebagai kelompok yang secara diametral bertentangan dengan kaum modernis. Kenyataan ini sering diperlihatkan oleh kalangan tradisionalis dalam bidang pemikiran keagamaan dan sikap keagamaan yang kaku dan statis sementara kalangan modernis progresif dan dinamis. Pengkategorian antara tradisionalis dengan modernis dengan mengacu pada sikap dan pemikiran keagamaan antara dua kelompok ini telah menjadi pemicu yang kuat menimbulkan pertentangan antara dua belah pihak. Dalam kasus di Minangkabau misalnya reaksi terhadap penyebaran pembaharuan pertama kali muncul dari kalangan adat serta dari kalangan agama yang bersifat tradisi Kalangan adat dan kalangan agama yang bersifat tradisi ini pada dasarnya kedua kelompok ini memiliki akar pemikiran yang sama, yaitu sama-sama cendrung pada kemapanan, statis dan ingin tetap mempertahankan tradisi serta kebiasaan masa lalu, sulit menerima pembaharuan yang datang, sebab dikhawatirkan akan merobah tradisi yang mereka telah warisi sejak lama.
Sisi lain yang juga menjadi karakteristik kalangan tradisionalis adalah mengenai aktualisasi dan tingkah laku politik kalangan mereka. Memperhatikan pada pandangan ideologi dan tingkah laku politik NU di Jawa sebagai representasi kalangan tradisionalis, PERTI atau Tarbiyah di Minangkabau, yang oleh sementara pihak dituduh sebagai pihak yang lebih mendahulukan kepentingan materi dan sosial ketimbang kepentingan keagamaan. Tuduhan ini tidak sepenuhnya benar, karena bagaimanapun juga perbedaan pendapat dan penafsiran kalangan ulama dan pemimpin organisasi tradisional ini terhadap masalah-masalah politik yang ada, tidak lain, kecuali karena luasnya akses kelompok ini kepada khazanah politik Islam masa lalu. Maka, beralasan sekali pendapat yang menyebutkan bahwa sikap politik akomodatif dan pragmatis yang dipakai oleh kalangan tradisionalis merupakan pilihan politik yang didasarkan pada pertimbangan yang matang dan memiliki argumen yang kokoh. Dalam kasus tradisionalis di Minangkabau yang di representasi oleh PERTI misalnya, sikap kooperatif terhadap pemerintah yang hampir selalu di tampilkan oleh PERTI dalam antisipasi kehidupan politiknya, Alaidin menyebut, sering pihak luar mencap organisasi ini sebagai organisasi yang tidak berpendirian, tidak “bernafas” dan hidup menupang “biduk” orang . Padahal menurut Rusli Abdul Wahid seorang tokoh sentral Perti yang ikut “membidani” lahirnya organisasi ini, sikap tersebut lahir dari suatu pandangan mendasar kalangan sunni (Ahl al-Sunnah wa al-jamaah) tentang bagaimana seharusnya prilaku politik seorang muslim terhadap pemerintah yang sah.
Berkaitan dengan masalah kepemimpinan dan distribusi kekuasaan dikalangan tradisionalis juga satu bentuk kekhususan yang mereka miliki. Peran Ulama, Kiyai di Jawa, Syekh atau Tuanku di Minangkabau, memiliki otoritas yang absolut dilingkungannya, bahkan mereka relatif bisa dikatakan menguasai pengambilan keputusan di dalam organisasinya. Meskipun Musyawarah tertinggi dalam organisasi mereka telah memutuskan atau menetapkan suatu keputusan, akan tetapi apabila keputusan itu tidak mendapat pengesahan dari Kiyai atau Tuanku sesepuh mereka, maka keputusan itu tidak akan berlaku efektif. Pemberian kekuasaan pada Ulama itu adalah refleksi dari sikap kepatuhannya kepada tradisi keagamaan yang mereka anut, yaitu menghormati sang guru. Mengenai seberapa jauh hegemoni ulama terhadap pengikutnya ini terdapat perbedaan yang signifikan antara tradisionalis di Jawa dengan Minangkabau. Di Jawa peran Kiyai begitu kuat, khususnya Kiyai di Psanteren, karena Pasanteren itu pada umumnya milik keluarga Kiyai, maka segala keputusan dan kepemimpinan sepenuh di tangan sang Kiyai. Lain halnya di Minangkabau, peran Tuanku atau Syekh, meskipun ia punya Psanteren di Minangkabau dulu disebut dengan Surau, akan tetapi masyarakat tetapi dapat mengontrol organisasi surau, sebab surau biasanya tidak sepenuhya milik sang Tuanku atau Syekh. Di tambah lagi perbedaan kultur antara masyarakat Jawa yang cendrung feodalistik dan paternalitik dengan masyarakat Minangkabau yang egaliter dan mandiri.
Dalam kasus Tradisonalisme Minangkabau meskipun sudah sedikit terbuka, karena memang kondisi sosio-kultural masyarakat Minangkabau yang demikian terbuka dan egeliter, namun dalam kepimpinan kaum tradisionalis masih tidak jauh beranjak dari kerangka paternalistik. Contoh yang paling menarik dapat ditemukan pada sistem kepemimpinan dalam organisasi Jamaah Syathariyah, sebuah organisasi yang menghimpun penganut tarekat Syathariyah di Sumatera Barat dan sekitarnya. Salah satu prinsip dan mekanisme dasar dalam proses pergantian kepemimpinan organisasi yaitu adanya wewenang (hak istimewa) yang dimiliki oleh seorang guru (Syekh atau Tuanku) untuk menunjukan pengantinya. Hak itu disebutnya dengan washiyah. Penunjukan melalui wasiat ini dapat dilakukn seorang ketika ia masih hidup atau sudah mati melalui rukyah shadiq (mimpi yang benar). Proses pergantian ini sangat rahasia, hanya sang guru yang tahu sendiri.
Disamping itu sisi lain yang juga merupakan ciri khas kalangan tradisionalis adalah mengenai respons mereka terhadap perubahan sosial dan modernitas. Kalangan Islam tradisionalis yang umumnya dianggap bersikap konservatif dan curiga terhadap perubahan telah menjadikan kelompok ini sebagai sasaran ejekan bagi kelompok modernis. Selektifitas kalangan tardionalis dalam menerima pembaharaun telah menjadikan kelompok ini terlambat dalam menyesuaikan diri dengan perkembangan yang ada, akibatnya kalangan tradisionalis dituduh sebagai ummat yang kolot, kuno., jumud, fanatik dan pemelihara kesesatan. Tuduhan dan jargon-jargon negatif ini telah menjadikan mereka semangin sulit dim asuki kelompk modernis. Bukan tidak mungkin pula kuatnya kelompok tradisionalis ini disebabkan oleh arus balik yang ditimbulkan oleh kalangan modernis yang dengan gencar menyerang dan menyudutkan mereka dalam berbagai event.
Stereotipe ketidakberubahan kalangan tradisonalisme Islam seperti disebutkan diatas, saat ini tidak sepenuhnya dapat diterima. Perubahan intelektual dan keagamaan yang lebih luas tengah terjadi di kalangan tradisionalisme Islam Indonesia. Dinamika kalangan tardisionalis NU di Jawa dan Perti atau Tarbiyah di Minangkabau adalah dua organisasi yang dapat dijadikan model dari perubahan intelektual dan keagamaan itu. Kaum Nahdiyin di Jawa betapa dengan artikulatif sekali dapat memanfaatkan warisan keilmuaan klasik dan bentuk-bentuk masa lalu serta tradisi untuk melakukan reformasi dan perubahan dalam berbagai pandangan kehidupannya. Begitu juga halnya orang-orang Tarbiyah di Minangkabau secara perlahan tapi pasti mereka tengah mengalami masa perubahan berarti tanpa harus meninggalkan basis masa lalunya. Mobilasasi pendidikan dari kader-kader kalangan tradisionalis telah secara tegas mampu mengeser corak dan warna pemikiran keagamaan pendahulunya. Bahkan. Dalam kasus NU di Jawa, mereka telah melampau jauh garis demarkasi tradisionalisme kalsik. Misalnya tindakan Pengurus Besar NU membuka bank konvesional (bank riba) yaitu dengan mendirikan Bank Nusuma,dan sikap radikal NU pada pemerintahan. Demikian juga halnya kalangan tradisionalis di Minangkabau, mereka terpilah pada dua kelompok, mereka yang akomodatif dan dan koperatif dengan pemerintah bergabung dalam organisasi Tarbiyah Islamiyah dibawah lindungan Golongan Karya, dengan segala konsekwensi mereka mendukung program pemerintahan. Sedangkan kelompok kedua mereka yang mengkritisi kebijakan pemerintahan terutama yang berkaitan dengan agama. Mereka bergabung dalam organisasi Perti dan menyalurkan aspirasi politiknya ada Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kelompok kedua inilah yang secara tegas masih tetap konsisten pada tradisi dan sedikit sekali mengalami perubahan dalam praktek keagamaannya. Di komonitas kelompok kedua ini khutbah Jum’at berbahasa arab, melihat bulan dengan rukyah, dan praktek keagamaan lainnya masih begitu kuat. Secara umum kelompok Perti yang masih kuno dan kaku ini berada di daerah Pariaman, Sijunjung, Pasaman dan Pasisir Selatan. Sedangkan Golongan Tarbiyah yang sudah mengalami tranformasi keilmuan dan budaya yang agak sedikit maju berada di wilayah Padang, Agam,Payakumbuh, Tanah Datar, Solok.
Identifikasi muslim tradisionalis dan modernis bagi orang Minangkabau tidak bisa sama dengan muslim Jawa atau daerah lainnya. Maka generalisasi terhadap kandungan konsep ini tentu bukanlah hal dapat menyelesaikan masalah. Memperhatikan dinamika keagamaan sepanjang sejarah dan pergulatannya dengan adat dan alam pikiran, maka ada benar pendapat yang menyebutkan bahwa orentasi keagamaan masyarakat Minangkabau itu pada dasarnya ada tiga corak, (1) Mereka yang ingin mempertahankan dan melanjutkan tradisi agama yang telah mendapat akomodasi oleh adat, mereka ini lebih populer dengan sebutan kelompok tradisionalis, (2) Aliran baru yang lebih bersifat ortodoks, yang pada mulanya diperkenalkan oleh Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, seorang Ulama Minangkabau yang pernah menjadi Imam dan Qadhi di Mesjid Haram Mekah pada awal abad 20, (3) Kelompok kebangkitan baru , yaitu suatu aliran yang lebih dikenal dengan “Modernisme” atau di Minangkabau di sebut “Kaum Mudo”.
Ketiga-tiga kelompok diatas memiliki kekuatan tersendiri dalam masyarakat. Mereka yang cendrung mempertahankan dan melanjutkan tradisi yang sudah diakomadasi oleh adat atau disebut “Kaum Kuno” biasanya banyak di pedesaan, merekalah yang menjadi tulang punggung pembina agama di Desa. Ulama dan pemuka agama yang mereka kuasai biasanya dikukuhkan oleh kalangan adat (penghulu). Maka dengan demikian fatwa dan katanya banyak dipanut masyarakat. Untuk mempercepat lajunya gerakan mereka pun mengabungkan diri dalam wadah organisasi , diantara organisasinya adalah Persatuan Tarbiyah Islamiyah, PERTI, Persatuan Pembela Tarekat Indonesia (PPTI) dan beberapa organisasi lainnya. Sedangkan kelompok yang disebut sebagai “aliran baru ”mereka hidup dipusat-pusat ekonomi atau pemerintah ,mereka cendrung radikal dan puritan dalam bertindak dan bersikap. Mereka umumnya orang-orang yang sudah terpelajar dan banyak membaca tentang dunia Islam , sehingga mereka sering menentang cara-cara pengamalan dan pemahaman kaum tradisionil. Mereka adalah orang kritis dan lebih rasional, kepercayaan kepada magis dan unsur-unsur syirik, seperti tahyul dan khurafat adalah musuhnya yang sangat berat sekali. Rujukan mereka dalam menetukan pilihan pendapat adalah Ibnu Taimiyah dan modernis Islam lainnya.Kelompok ini direpresentasikan oleh mereka yang berasal dari lingkungan Pendidikan Thawalib dan orang yang sepaham dengannya, misalnya mereka yang bergabung dalam organisasi Persatuan Islam (Persis.) Sedangkan kelompok yang dikatakan “Modernisme” Islam adalah generasi kedua setelah aliran baru diatas. Mereka adalah orang yang telah disintuh modernisasi, terutama dalam bentuk pemikiran dan budaya hidupnya. Mereka dengan tegas menempatkan dirinya secara utuh, tidak perlu terpengaruh atau dipengaruhi oleh pemikiran ulama masa lalu. Kebebesan berpikir dan mengeluarkan pendapat adalah jargon yang di dengung-dengungkan. Sedangkan dalam bidang agama mereka menyebut “ kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis” .Impelementasi kembali pada al-qur’an dan hadis dalam artian adalah bahwa bebasnya setiap orang menentukan pendapatnya, tidak perlu lagi terikat dengan pendapat ulama sebelum kita. Mereka menyebut juga bebasnya berijtihad bagi yang mampu. Kelompok ketiga inilah yang disebut “Kaum Mudo”. Kelompok terakhir ini mereka biasanya bergabung dalam organisasi kaum modernis, misalnya Perserikatan Muhammadiyah.
Mengemukanya wacana tradisionalis dan modernis sejak abad 19 lalu itu jika diamati secara mendalam bukan tidak mungkin ia lebih disebabkan kepentingan kelompok, individu dan buah dari politik adu dombanya Belanda, karena bagaimanapun juga perbedaan itu terjadi tidak lebih dari masalah-masalah furu’iyah atau lebih populer dengan sebutan masalah khilfiyah . Khilafiyah itu adalah perbedaan interpretasi para ulama dalam memahami masalah keagamaan yang punya hubungan dengan tradisi yang telah lama berlangsung di dalam kehidupan masyarakat. Akibat dari perbedaan interpretasi itu melahirkan dua kubu pemikiran satu diantaranya mereka yang mendukung cara-cara penyiaran Islam melalui penyesuaian dengan sistim dan tradisi yang sudah mapan, mereka akhirnya dikenal dengan sebutan Kaum Tuo atau disebut juga golongan tradisionalis. Mereka yang dijuluki sebagai golongan tradisioalis ini memiliki pengaruh dan kekuatan masa pada desa-desa dan sedikit sekali di perkotaan, mereka memiliki basis pengembangan pemikirannya pada Surau atau halakah- halakah ditempat ulamanya . Dan yang lain Ulama yang dengan tegas menolak cara penyesuaian atau bersifat akomodatif dengan tradisi dan budaya yang ada dalam masyarakat, mereka dengan tegas dan lugas mengkritik praktek keagamaan yang dilakukan oleh ulama tradsionil atau kaum kuno, kemudian menawarkan cara tegas dan keras dalam menegakan Islam, mereka itu kemudian diidentifikasi sebagai Kaum Mudo atau golongan Modernis. Kalangan Modernis dalam menyebarkan paham dan pemikirannya melakukan inovasi dan kreasi yang luar biasa pengaruhnya dalam mendorong lahir corak baru dalam pemikiran Islam di Minangkabau. Diantara inovasi itu adalah merobah Surau mereka menjadi Madrasah, seperti Madrash Thawalib,melaklukan pengajian umum dalam bentuk Tabligh akbar dan sebagainya.
Pengelompokan masyarakat Minangkabau pada Islam tradisionalis dan modernis tidaklah bisa disamakan corak dengan masyarakat Jawa. Perbedaan kulturaldan budaya antara dua masyarakat ini turut memberikan warna baru pemahaman dan dinamika keagamaan antra komonitas ini. Islam tradisionil di Jawa dengan kultur feodal yang begitu kental berpusat pada Pesantern dan Kiyai . Pesantern dan Kiyai adalah dua intitusi yang sangat berperan aktif dalam menentukan corak pemahamam masyarakat, dapat juga dikatakan kedua institusi ini adalah porosnya kalangan tradisionalis. Fatwa yang dikeluarkan seorang Kiyai yang memiliki Pesateren ternama akan menjadi referensi utama bagai masyarakat sekitarnya. Sedangkan di Minangkabau yang memiliki budaya egaliter dan demokratis posisi Surau dan Ulama yang menjadi pemimpin di Surau tidak seluas Psanteren dan Kiyai di Jawa. Ulama dan Institusi surau yang dipimpinnya bukan sepenuhnya berada dibawah gengamam sang Ulama, akan tetapi ia disurau memiliki fungsi terbatas sebagai pemberi nasehat. Dalam petitih Minang disebut. Ulama itu ka suluah bendang dalam Nagari, ka pai tampek ba tanyo,ka pulang tampek babarito (Ulama hanya untuk pemberi nasehat di Nagari serta menjadi tempat bertannya atau melaporkan sesuatu yang ditemukan di tempat lain).
Dalam kaitanya dengan Konsep Tradisonalias dan Modernis serta pengaruhnya dalam masyarakat Minangkabau sejak masa awalnya wacana ini telah mengalami perubahan yang signifakan sekali. Jika dahulu golongan tradisionilis itu diidentikan dengan kuno, tidak mempunyai akses ke pusat modernisasi, informasi dan stagnan dalam berpikir. Justru sekarang golongan tradisionalis telah mengalami mobilisasi vertikal yang luas dan dapat menyesuaikan dirinya dengan perobahan yang terjadi. Ketika mereka membicarakan soal-soal kehidupan mereka sudah tidak lagi terjerat oleh konsep teologis pasrah pada nasib dan takdir, tetapi mereka sudah melintasi wilayah itu dengan konsep ikhitiyar dan kreatifitas yang tinggi. Sedangkan ketika pembicaarn soal keagamaan yang bersifat teologi (aqidah) mereka masih setia pada khazanah lama, seperti pemikiran ketauhidan Ahlusunnah waljmaah dan tarekat masih dominan dalam prilaku beragamanya. Sementara, kalangan yang mengaku sebagai modernis malah terjebak pada pemikiran stagnan, seperti ketidaksiapan kalangan modenis Minangkabau yang direpresentasikan oleh Muhamadiyah menerima pikiran moderen yang ditawarkan oleh ulama klasik dalam bentuk mazhab. Mereka terpaku pada pemikiran satu arah yaitu warisan intelektual yang bersumber dari jalur Ibnu Taimyah dan segenap jajarannya. Menafikan khazanah lama itu pertanda ketidaksiapan mereka menyaring pikiran baik dari beragam sumber yang ada.
Menempatkan Islam tradisionalis sebagai kaku dan mengalami stagnasi perlu dikaji ulang, sebab semangkin banyaknya pengikut ulama tradisionalis dan semangkin maraknya praktek tarekat atau ziarah yang berada dibawah koordinasi guru tarekat, ini menunjukan bawa Islam tradisionalis masih memiliki vitalitas, memiliki kekuatan sosial, kultural dan keagamaan yang tidak beku tetapi mengalami perubahan. Pandangan “konservatif” Ulama tradisionalis (Tuanku,Imam,Labai,Khatib di Ulakan dan yang berhubungan dengan nya) ternyata bukan menghasilkan sistem yang statis, tetapi suatu sistem di mana perubahan-perubahan yang dilakukan terjadi secara perlahan-lahan dan melalui tahap-tahap yang tidak mudah diamati. Dalam sebuah wawancara dengan Ulama yang memiliki Surau dan suraunya mempunyai pengaruh luas di masyarakat ia menyebutkan: ”Pembaharuan dan perobahan adalah alami, akan tetapi dalam masalah keagamaan pembaharuan bukanlah pada segi ajarannya tapi pada cara menyampaikannya“ ketika diamati dilapanganpun demikian adanya Tradisionalis Islam di Minangkabau saat ini telah berobah cara pandang mereka dalam menempatkan soal yang perlu dilakukan perubahan dan masalah lain yang bersifat permanen. Misalnya, Surau Tuanku Kuning Zubir di Pakandangan Pariaman disamping masih mempertahankan diri melakukan pengajian kitab kuning sistem halakah, mereka memberikan kesempatan kepada muridnya untuk mengembangkan diri pada bidang lain yang diminatinya. Santri diberikan kebebasan untuk memasuki Sekolah Umum (SLTP dan SMU) pada siang hari dan malamnya mengaji kitab dengan beliau. Corak moderen yang ditawarkan oleh ulama tradisionalis ini memberika ruang kepadanya untuk mendapatkn santri yang lebih banyak serta mendatangkan citra baru bagi lembaga ini. Banyak contoh Ulama dan lembaga Islam tradisionalis mencari model baru untuk membuat mereka tetap eksis dalam perubahan zaman. Ini memberikan indikasi bahwa kalangan tradisionalis mengalami perubahan guna men jaga kelangsungan hidup mereka.
Dalam kenyataannya di masyarakat sampai saat ini ummat Islam yang dikatakan sebagai golongan tradisionalis belum banyak bisa dipengaruhi oleh kalangan modernis. Lemahnya pengaruh Modernis pada masyarakat Minangkabau masih sebuah tanda tanya dan perlu kajian mendalam. Bukti konkritnya menunjukan bahwa golongan modernis belum mampu menerobos pelosok dan pedesaan di Minangkabau. Muhammadiyah sebagai rerpresentasi dari golongan modernis hanya bisa diakui dan memiliki massa pada pusat-pusat kota atau setingginya pusat kecamatan. Sementara, kalangan tradisionalis disamping ia mememiliki basis utama pada surau di desa, mereka juga sudah mampu memasuki pusat-pusat perkotaan, Misalnya, di pusat kota Padang ada beberapa pusat pengajian tarekat dan beberapa ritual keagamaan yang bercorak tradisionil itu. Lebih konkrit lagi. Kalangan modernis belum mampu mengadakan pertemuan dalam bentuk pertemuan keagamaan seluas dan disebesar yang dilakukan golongan tradisionalis. Misalnya acara Bersyafar di Maqam Syekh Burhanuddin yang dilakukan setiap tahun tidak kurang 500 ribu kaum tradisionalis Islam datang dan beribadah disana dari berbagai daerah Sumatera barat,Riau,Jambi dan daerah lainnya .
Bukti lain, bahwa kalangan tradisonalis masih tetap hidup di tengah arus modernisasi adalah kuatnya organisasi mereka dalam mengayomi anggotanya. Dikalangan pengikut Tarekat Syathariyah ada Jamaah Syathariyah, bagi pengikut Nasabandiyah ada organisasi Persatuan Pembela Tarekat Indonesia (PPTI), dalam bentuk luas ada Persatuan Tarbiyah Islam disingkat dengan Tarbiyah , disamping itu juga ada Persatuan Tarbiyah Islamiyah disingkat PERTI . Organisasi tersebut memiliki anggota dan pengurus sampai pada tingkat paling rendah di kota dan desa. Lebih konkrit lagi dapat dibaca pada data yang dikeluarkan oleh Kantor wilayah Departemen Agama Propinsi Sumatera Barat, tentang keadaan Mesjid dan bentuk pengamalan masyarakat disekitarnya.
0 Comment