MELACAK PENGARUH SURAU SYEIKH BURHANUDDIN ULAKAN DALAM ISLAMISASI
A.Minangkabau
Minangkabau dalam konteks sejarah dan realitas masyarakat adalah suatu konsep yang utuh dan lengkap. Dari segi sosial budaya, Minangkabau sudah jauh melampaui Provinsi Sumatera Barat sekarang. Sebab, pemakai budaya Minangkabau jauh melampui teritorial wilayah Sumatera Barat. Ia meliputi daerah antara lain; sebahagian penduduk Provinsi Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Utara, dan malah sampai ke negara sekitarga Negeri Sembilan di Malaysia. Sejarah Minangkabau masa lalu dan dibuktikan
oleh realitas daerah budaya dan suku Minangkabau saat ini terdiri dua bahagian yaitu
: Pertama , Luhak Nan Tigo, Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh Kota. Kedua,Rantau terdiri: Kampar, Siak, Rokan, Bonai, Bila, Kuala, dan Asahan yang kemudian menjadi bahagian wilayah Sumatera bahagian Timur. Indragiri masuk
kere-sidenan Riau, Batanghari dan
Jambi masuk keresidenan Jambi, Muko-Muko, Majuto, dan Bangkahulu termasuk keresidenan Bengkulu. Natal, Sibolga, Barus termasuk keresidenan Tapanuli, Sinkel, Trumon Tapak Tuan, dan Meoulabuh di pantai barat Aceh masuk bahagian kere-sidenan Aceh . Begitu juga rantau Naning di Malaka dan juga Negeri Sembilan terakhir jadi daerah taklukan Minangkabau dengan lenyapnya dinasti Pagaruyung pada tahun 1809 [2]
Bergantinya nama Minangkabau menjadi Sumatera Barat, seiring dengan masuknya kolonial Belanda, yang kemudian menyebut daerah ini sebagai Residentie van Sumatra Westkust . Penamaan ini kemudian terus digunakan pada masa Indonesia merdeka, meskipun batas- wilayah batasnya mengalami pergeseran. Apa yang sekarang dikenal sebagai Sumatera Barat jauh lebih kecil dari Minangkabau. [3]
Batas-batas wilayah yang kini berlaku tidak sepenuhnya mengikuti keluasan penyebaran orang Minangkabau dan pengaruh kulturalnya. Sebagai salah satu dari 30 provinsi di Indonesia luas daratan Sumatera Barat lebih kurang 1/48,2 (sekitar 42.297.30 km2) dari keseluruhan luas daratan Indonesia (sekitar 2.026.528 km2). [4]Tetapi setelah era kemerdekaanpun, Sumatera Barat masih sering disebut dengan “Minangkabau”, dengan letak wilayah: di sebelah Utara berbatasan dengan propinsi Sumatera Utara; di sebelah Timur berbatasan dengan provinsi Riau; di sebelah Selatan dilindungi dengan provinsi Jambi dan Riau; dan di sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia [5]
Tentang seberapa jauh luas wilayah dan batas-batas Minangkabau dalam konteks sejarah diungkap dalam tambo
dan bidal adat bahwa wilayah terorital
Minangkabau sajak dari riak nan badabua, siluluak punai mati, sirangkak nan badankung, buayo putiah daguak. Taratak aier hitam, sampai ka durian nan ditakuak rajo . Versi lain menyebutnya dari Riak Nan badabur, sehiliran Pasir Panjang, yaitu dari Bayang sampai Sikilang Air Bangis; Gunung Malintang hilir di Pasaman, Rao dan LubukSikaping, Lalu ke Batu Bersurat, Sialang Balantak Basi, Gunung patah sembilan, lalu ke Durian di tekuk raja . [6]
Penulis buku Kato Pusako menggambarkan tentang Minangkabau “ Sajak durian di takuak raja, Sialang balantak basi, buayo nan putiah daguak, Sirangkak nan badangkang, Sampai taratak air hitam, Sampai riak nan badabua, Sampai bateh Indropuro , Sampai ka siak Indrogiri, Hinggo sipisak pisau hanyuik, sampai sikilang air bagis” [ 7 ]
.Batas yang dipakai dalam buku Kato Pusako ini mengabungkan pendekatan budaya dengan teritorial. Akan tetapi, secara meyakinkan, batas wilayah Minangkabau dalam konteks sejarah dan budaya sosial belum dapat ditunjukan. Akan tetapi, interpretasi tentang kata-kata ombak nan badabua itu diperkirakan adalah lautan Hindia, ke utaranya disebut Sikilang air Bagis,
artinya terikat dengan Tapanuli Sumatera Utara, Taratak Air Hitam, yaitu batas ke Timur sampai ke daerah Indragiri di Riau, sedangkan Durian di takuk raja
adalah batas arah ke tenggara dengan provinsi Jambi. Pada daerah yang berada
dalam batas-batas tersebut memang corak sosial budaya masyarakat memiliki kesamaan dengan Minangkabau asli di
Darek Luhak Nan Tigo, pusat alam Minangkabau.
Perbedaan pengertian tentang luas dan daerah Minangkabau
masa lalu disebabkan oleh perbedaan para ahli dalam menempatkan mana yang dimaksud dengan Minangkabau, apakah Minangkabau dalam artian daerah asli yaitu Luhak Nan Tigo atau juga termasuk daerah rantau. Bila rantau dimasukan sebagai Minangkabau maka daerah ini meliputi
Sumatera Tengah bahkan sampai ke Negeri Sembilan di Malaysia. Pembatasan dan pengecilan wilayah Minangkabau telah direncanakan sedemikian rupa oleh penjajah Belanda. Misalnya, seorang peneliti Belanda menuliskan bahwa daerah Minangkabau terletak di sekitar dataran tinggi yang terbentang di antara onggokan Bukit Barisan bagian tengah yang membujur dari utara ke selatan pulau Sumatera
yang dilingkari oleh tiga buah gunung yaitu Merapi, Singalang dan Sago. Ini tentu artinya, Minangkabau adalah daerah asli saja yaitu darek, sedangkan rantau adalah daerah yang berdiri sendiri pula. Selain itu, ada lagi informasi penulis penjajah bahwa daerah Minangkabau adalah kawasan yang berada pada ketinggian sekitar 300 sampai 900 meter di atas permukaan laut, dengan luas wilayahnya lebih kurang 42.000 km persegi , yang berarti 11 %(persen) dari luas pulau Sumatera. [8] Ada pula yang menyebutkan bahwa wilayah Minangkabau seluruhnya lebih kurang 18.000 juta bujur sangkar, kurang 3 % dari seluruh wilayah Indonesia. [9]
Pembahagian wilayah dalam kesatuan politik, ekonomi dan sosio-kultural lazim dikenal dengan Darek, Pesisir dan Rantau. Darek adalah daerah pusat Minang-kabau yang terdiri dari tiga luhak, Pesisir merupakan wilayah yang berada sepanjang pantai sejak Pasaman, Pariaman sampai Painan. Sedangkan rantau wilayah dibawah pengaruh kerajaan Minangkabau dulunya, seperti Batanghari, Kerinci di Propinsi Jambi, Taluk Kuantan di provinsi Riau sekarang. De Jong , menetapkan bahwa daerah Minangkabau itu terdiri dari dua lingkungan wilayah yaitu :(1) Minangkabau asli, yang disebut juga dengan darek yang terdiri dari tiga
luhak ,
yaitu; Luhak Agam, Luhak Tanah Datar dan Luhak Limo Puluh Kota. (2) Daerah Rantau, yaitu perluasan Minangkabau yang berbentuk koloni dari setiap luhak tersebut diatas, yaitu : (a)
rantau luhak Agam yang meliputi
daerah dari pesisi barat sejak Pariaman sampai Air Bangis, Lubuk Sikaping dan Pasaman. (b) rantau Luhak Tanah Datar meliputi Kubung tigo Baleh, Pesisir Barat dan Selatan dari Padang sampai Indrapura, Kerinci dan Muara Labuh. (c) rantau luhak Limo Puluh Kota yang meliputi Bangkinang, lembah Kampar Kiri dan Kampar kanan serta Rokan. [10]
Dalam pengertian rantau tradisional dipandang sebagai wilayah kedua atau disebut oleh penulis asing dengan istilah “kolonisasi” bagi orang Minangkabau yang berada di pusat ( darek). Di sini dipahami rantau sebagai wilayah terpisah dari darek dari segi kewenangan
atau kekuasaan , tetapi tetap berada dalam satu wilayah kultural. Pepatah menyebutkan “Darek Berpenghulu, Rantau Barajo”. Di Pusat (Darek) pemerintahan yang dikuasai oleh penghulu, sementara di rantau pemegang kekuasaan adalah Raja. Implementasi dari kekuatan penghulu di Darek ada pada Nagari,
sebagai sebuah pemerintahan yang berdiri sendiri. Masing-masing nagari mengatur urusannya dan kemudian ia berada dalam satu Dewan di bawah penghulu nagari. Hasil keputusan bersama yang dihasilkan Dewan Nagari ini yang akan menjadi aturan dalam setiap nagari.
Sementara, di rantau raja memiliki kewenangan yang lebih luas. Raja merupakan penguasa yang mendapat hak
ulayat dari pemerintahan pusat di darek. Dengan kedudukan yang kuat dari setiap nagari dan tidak adanya kekuatan pusat yang dapat mengontrolnya, maka nagari oleh peneliti sering diidentikan dengan republik-republik kecil.
Bentuk pemerintahan nagari di Minangkabau dengan segala pranata yang mendukungnya jauh sebelum adanya Raja di Minangkabau telah ada dan memegang kekuasaan secara riil dalam sistem hidup bermasyarakat. Dalam tambo diceritakan bahwa orang pertama yang memimpin alam Minangkabau adalah dua orang yang sangat bijaksana, yaitu Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Kedua orang ini adalah bersaudara seibu, berlainan ayah. Kedua pemimpin legendaris Minangkabau ini menceritakan mewariskan dua sistem budaya masyarakat yang berjalan sesuai kaidah-kaidahnya masing-masing. Kedua sistem budaya atau adat ini disebut dengan laras . Laras adalah
wilayah budaya yang dipimpin dalam dua
sistem adat yakninya sistem Datuk Katumangungan yang bernama Laras Koto Piliang. Dan sistem Datuk Perpatih Nan Sabatang bernama Laras Bodi chaniago . Perbedaan pokok pada dua kelarasan ini hanyalah dalam menentukan kedudukan Raja. Bagi laras Koto Piling Raja itu memimpin seluruh alam Minangkabau, sedangkan oleh Laras Bodi Chaniago, Raja hanya ada di rantau, sedangkan Luhak memimpin penghulu, raja hanya sebatas simbol belaka. Kedua kelarasan ini pada dasarnya menganut sistem demokrasi, hanya saja laras Koto Piliang lebih sempit dan cendrung otokrasi, sedangkan laras Bodi Chaniago lebih luas dan demokratis.
Dalam perkembangan
selanjutnya, kedua pemimpin laras tersebut membagi alam Minangkabau, guna
menentukan wilayah kekuasaan
masin-masing. Bodi Chaniago memiliki wilayah keuasaan di Luhak Agam dan Koto
Piliang berkuasa di Luhak Lima Puluh
Kota, sementara Luhak Tanah Datar adalah daerah campuran kedua laras, karena ia merupakan pusat kekuasaan alam
Minangkabau. Pada akhirya, nama kedua laras tadi berobah menjadi empat suku induk di Minangkabau, yaitu Koto, Piliang, Bodi dan Chaniago. Masing-masing suku itu dipimpin oleh seorang Datuk atau
Penghulu suku. Selanjutnya komonitas
yang mendiami wilayah baru dapat dikatakan nagari kalau sudah didiami oleh
keempat suku itu. Bentuk kolektif dari empat suku itulah yang menjadi modal dasar didirikanya suatu nagari.[11]
Dalam tambo diceritakan pula bahwa nenek moyang orang
Minangkabau membangun nagari pertama di
lereng gunung Merapi, yaitu Pariangan Padang Panjang. Setelah kemudian mereka
berkembang biak, maka berdirilah nagari-nagari selingkaran gunung Merapi dan
sealiran Batang Bengkaweh, yang disebut juga dengan Pakan Tuo. Hal ini disebut dalam pepatah adat :
Dari Mana titik pelita, dari semak
turun ke padi
Dari mana asal nenek moyang kita, dari Puncak Gunung Merapi.
Mengenai asal-usul nenek moyang orang Minangkabau dari puncak gunung merapi semua tambo menceritakan demikian adanya. Pada suatu ketika bumi
bersentak naik dan lagi
bersentak turun, datanglah keturunan
Raja Iskandar Zulkarnain yaitu Sri Maha Raja Diraja dan mendarat di puncak gunung merapi. Di sana ia kawin dengan Puti Indo Jelita, adik perempuan dari ninik Datuk Suri Dirajo. Dari perkawinan itu lahir Datuk Katu-manggungan. Kemudian setelah Sri Maharaja Diraja meninggal, Indo Jelita dikawini oleh seorang penasehat Sri Maharaja, yaitu Cati Bilang Pandai. Dari perkawinan kedua ini lahirlah Datuk Perpatih Nan Sabatang dan beberapa orang putra putri lagi. Putra putri Indo Jelita itulah yang kemudian menjadi cikal bakal nenek moyang orang Minangkabau. Selanjutnya keturunan ini menguasai daerah baru dan menyusun masyarakat dengan mengikuti garis keibuan. Maka selanjutnya garis keturunan di Minangkabau mengacu pada hari keturunan ibu, atau matriarchaat .
Sejalan dengan perkembangan masyarakat, maka kemudian dari perkampung sederhana disusunlah masyarakat dalam kelompok yang disebut dengan taratak, koto dan nagari berdasarkan suku dan daerah tempat tinggal. Sedangkan dari segi sosial budaya, maka masyarakat disusun pula pada suatu kepemimpinan yang berjenjang yaitu, tunggai, mamak rumah, kapala suku dan penghulu suku. Untuk mengatur bagaimana masyarakat hidup maka ditetapkan hukum-hukum tak tertulis yang mengatur tentang sistem hidup bermasyarakat yang kemudian dinamakan dengan
hukum adat. Model seperti diatas terus berkembang pada Luhak nan tiga. Ketika masyarakat bertambah ramai juga maka mereka berusaha mencari wilayah baru untuk anak kemenakan mereka, itulah yang kemudian dikenal dengan rantau. Kalau pada tahap awal konsep rantau hanya sebatas daerah sekeliling alam minangkabau, maka dalam perkembangan selanjutnya konsep rantau mengalami perluasan arti, yaitu keseluruh daerah di mana saja di dunia ini menjadi daerah rantaunya orang Minangkabau. Budaya merantau sebagai pengembangan diri telah menjadi ciri khas etnis Minangkabau sejak lama, seperti yang di tunjukan oleh bidal adatnya :
“Ka ratau madang di hulu,
babuah babungo balun
ka rantau bujang dahulu,
di rumah baguno balun”,
Artinya setiap pemuda di dorong untuk merantau karena di tempat kelahirannya ia belum banyak bisa digunakan (bermanfaat banyak). Maka dengan adanya perobahan konsep merantau demikian juga membawa pengaruh kepada makna Minangkabau, hal ini lebih disebabkan oleh pola hidup masyarakat Minang yang dikenal dengan merantau.
Dalam perjalanan sejarah alam Minangkabau selanjutnya, meskipun tidak banyak fakta yang dapat dikemukakan ada beberapa pendapat yang menyebutkan bahwa awal mula dari sejarah Minangkabau berada dalam kekaburan, kecuali yang terdapat dalam beberapa prasasti yang mengungkapkan tentang adanya kerajaan Pagaruyung
dengan rajanya Aditiyawarman yang memerintah sejak tahun 1356 Masehi [12]
.Pendapat lain menyebutkan bahwa Aditiyawarman
memerintah dari tahun 1347-1373 masehi, ia adalah mantan Punggawa atau Diplomat Majapahit datang dan diangkat menjadi raja Minangkabau. Dalam kekaburan sejarah tersebut tambo, pepatah-petitih, bidal, pantun dan
kaba serta cerita rakyat yang selalu terpelihara secara turun temurun, dari generasi ke generasi secara lisan
adalah bahan pokok sejarah yang dapat dijadikan dasar untuk membimbing peneliti mengetahui asal-usul Minangkabau.
Mengenai pendapat bahwa kebenaran tambo dan kaba hanya sekitar 2 persen saja, namun yang pasti, berkat bantuan dan upaya penyelidikan terhadap peningalan kuno, maka tambo dan kaba tetap merupakan sumber berharga dalam mengkaji sejarah Minangkabau. Mengenai asal-usul Tambo diperkirakan telah berawal sejak masa awal kedatangan Islam, atau bahkan lebih awal lagi,
namun versi yang tertulis semuanya ditemukan berasal dari abad ke –19, terutama setelah perang Paderi berakhir. Meskipun terdapat berbagai versi , namun kesemuanya memperlihatkan sikap kesejarahan yang sama, yang secara tegas mempelihatkan dua hal yang menarik.
Pertama, “ Alam Minangkabau” digambarkan
sebagai terdiri atas dua unsur pokok yang menetap dan merupakan wilayah asli yang disebut dengan Luhak Nan Tigo atau disebut juga dengan
darek dan wilayah lain yang berubah, dinamis, terus berubah dan bergerak, itulah yang kemudian dinamakan dengan rantau. Kedua, tambo juga melihat perjalanan sejarah sebagai sebuah irama yang bercorak spiral, bukan siklis, yang akhir kembali ke asal, tidak pula eksalogis dan linier, yang akhirnya menuju tingkat tertinggi, sebagaimana yang diberikan Islam, tetapi perjalanan dan lingkaran yang mangkin membesar
tanpa terlepas dari lingkaran awal yang terkecil. Dari dua pesan
tambo, maka tidaklah sulit memahami bahwa dinamika dan “kemajuan” Minangkabau adalah suatu proses sejarah panjang, yang selaput pikiran kritis, dinamis dan selalu berusaha mengadakan perubahan dalam menjaga eksistensinya.
Konsepsi yang terdapat pada tambo
lalu disampaikan secara oral dari ninik
turun ke mamak, dari mamak turun ke kemanakan, dari generasi ke generasi
berikutnya, pewarisan yang oral dan
subyektif ini tentu akan memberikan peluang masuknya kepentingan dan pesan setiap orang yang
menyampaikannya. Kekhawatiran terhadap
adanya pendapat dan perasaan pribadi
yang dimasukkan ke dalam tambo dan kaba itu tidaklah akan mengurangi arti pentingnya.
Dari tambo dan kaba yang bersifat lisan
itu, akhirnya dituliskan riawayat Minangkabau, setelah nenek moyang
orang Minangkabau mengenal tulisan Arab
sesudah masuknya Islam ke Minangkabau.
Hal ini, terbukti dari tambo asli ditulis dengan tangan dengan tulisan
arab berbahasa Melayu. Pengungkapan
tentang Minangkabau menjadi bahagian yang penting dalam tambo, sejak asal-usul
keturunannya, negeri yang mula ditempati sampai kepada bagaimana mereka mengatur
kehidupannya. Aturan tentang kehidupan itulah yang kemudian dikenal dengan adat
alam Minangkabau.
Minangkabau dengan
kebudayaannya telah tumbuh dan
berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakatnya, seperti yang sejalan
dengan filosofi adatnya “Alam
Takambang jadi guru”. Oleh karena itu pula
maka pengertian Minangkabau sekarang, termasuk yang penulis maksud dalam
tulisan ini adalah lebih menukik kepada aspek sosial budaya, ketimbang aspek daerah atau wilayah.
Kenyataan ini, telah ada sejak Belanda di
abad 19 menguasai Minangkabau, maka dengan
berbagai kebijakan politik ia berhasil memecah kesatuan wilayah alam
Minangkabau, kondisi seperti itu dilanjutkan
oleh pemerintah Repoblik Indonesia
setelah merdeka sampai saat ini melalui undang-undang Pemerintahan Desa,
sehingga secara tidak langsung mencabut akar historis kehidupan
bermasyarakatMinangkabau melalui
lembaga nagari.
B. Islam dan adat Minangkabau
Dalam
sejarah, dalam hal ini tambo, begitu juga dalam pengetahuan masyarakat secara turun temurun bahwa
perumusan adat Minangkabau dilakukan oleh dua orang besar mereka, yaitu
Datuk Katumanggungan dan Datuk perpatih Nan Sabatang. Untuk bagaimana kedua orang tersebut menyusun adat, tentu
diperlukan pengetahuan tentang asal-usul
nenek moyang mereka. Sebab, adat adalah merupakan
kebudayaan yang tidak timbul begitu
saja, tetapi ia memiliki masa dan ruang yang jelas. Dalam konteks sejarah ummat
manusia, nenek moyang orang Minangkabau bukanlah turun dari puncak gunung
merapi dalam artian di sana asal usul pertama mereka. Karena, sulit sekali diterima
akal kalau mitos sejarah itu
dipahami apa adanya, tetapi ia merupakan
simbol bahwa daerah pertama yang ditemukan nenek moyang orang Minangkabau adalah puncak
gunung merapi.
Nenek moyang suku Minangkabau
berasal dari percampuran antara bangsa Melayu Tua yang telah datang pada zaman
Neoliticum dengan bangsa Melayu Muda yang menyusul kemudian pada zaman
perunggu. Ke dua bangsa ini adalah serumpun dengan bangsa Astronesia.[13]
Adalah kenyataan bahwa berita tertulis tentang Minangkabau baru ada sejak
abad ke-7 dan karena itu priode antara abad pertama masehi hingga abad ke ke-7 dinamakan dengan
Zaman Mula Sejarah Minangkabau ,yang didalamnya meliputi dua priode, yaitu Mula
Sejarah Minangkabau dan Priode
Minangkabau Timur. [14]
Kegelapan sejarah Minangkabau pada
priode awal itu bukanlah suatu alasan untuk mengatakan bahwa kebudayaan awal
Minangkabau tidak dapat diketahui dan dijadikan pedoman oleh
masyarakatnya. Data sejarah yang
diungkap tambo bila dilakukan penafsiran silang antara satu tambo dengan tambo
yang lain, kemudian dihubungankan dengan kenyataan dan fakta sejarah, seperti
pantun, pepatah, petitih ,bidal yang masih menjadi pegangan masyarakat
Minangkabau sekarang, maka tidak ada alasan untuk menyebut bahwa tambo sebagai
sumber adat tidak rasional dan bersifat
fiktif. Rasionalitas tambo sebagai sumber sejarah dan informasi tentang
kebudayaan Minangkabau, akan sulit ditunjukan bila dibaca menurut apa adanya, seperti layak membaca
cerita atau berita. Akan tetapi, bila dibaca dengan cermat dan mendalam, maka tambo yang tidak
pernah dituliskan siapa penulisnya
dan mengunakan bahasa semiotika dalam
bentuk perlambang, kias dan banding yang sukar ditangkap menurut teksnya, akan memdatangkan arti yang
memadai dan sesuai pesan yang dimaksudnya.. Pemaknaan itu bisa di dapat dengan
membanding beberapa tambo yang ada,
kemudian mencari akarnya pada
pepatah-petitih yang masih jadi
pedoman budaya masyarakat. Lebih dari
itu, dapat juga dipedomani bahwa dalam
praktek penulisan sejarah di Barat dan Timur , semua informasi sejarah dapat dijadikan sumber awal yang
pada akhirnya akan diuji validitas data tersebut dengan data lain yang
sama.
Dengan telah tersusunnya masyarakat dalam suatu aturan yang
disepakati bersama yang disebut dengan
adat, membuktikan bahwa jauh sebelum
agama Islam masuk ke daerah ini masyarakat Minangkabau sudah dikenal sebagai masyarakat yang kuat
memegang adatnya. Pertanyaan kemudian yang harus dikaji lebih jauh bagaimana Agama Islam dapat hidup dan
berkembang pesat di tengah budaya yang sudah mapan dan kuat. Dari berbagai
literatur yang ada menjelaskan bahwa Islam masuk ke Minangkabau melalui jalan
dagang dan dapat diterima masyarakat dengan penuh kedamaian dan toleransi yang
tinggi dengan kepercayaan yang sedang dianut
masyarakat ketika itu. Hampir semua penulis sejarah keislaman tentang
Minangkabau menyebut bahwa Islam masuk kedaerah ini adalah ketika sufisme[15] sedang mengalami masa kejayaannnya. Akibatnya, Islam yang kemudian datang juga tidak lepas dari pengaruhnya.
Sulit dipastikan, kapan sebenarnya Islam masuk ke kawasan ini. Ada yang mengatakan pada abad ke -12, ada pula pada abad ke -14 dan bahkan ada yang menyimpulkan bahwa suatu almanak Tiongkok menyebutkan bahwa sudah didapatinya satu kelompok masyarakat Arab di Sumatera bahagian barat pada tahun 674 M, maka dengan demikian Islam telah masuk ke daerah ini sejak tahun 674 Masehi atau abad pertama hijriah. [16] Tapi, M.Jurstra dalam bukunya,
Minangkabau, Overzicht van Land, Geshiede en Volksmemastikan bahwa Islam tidak berlaku di Minangkabau sebelum tahun 1550M. Karena, perutusan orang-orang Minangkabau yang menghadap Albuerque di Malaka pada tahun 1551 masih belum beragama. Begitu juga Rue de Ariro, seorang kapitan dari Malaka tahun 1554 menyebut orang-orang Minangkabau yang belum beragama. [17] Berbagai versi sejarah tentang Islam di Minangkabau, namun yang lebih bisa diterima oleh banyak pihak bahwa Islam baru dikenal oleh masyarakat Minangkabau dalam arti sebuah agama diperkirakan sekitar tahun 1600 Masehi
Pendekatan persuasif, ekonomi dan sosial budaya (adat istiadat) yang telah terlebih dahulu menjadi filosofi dan pandangan hidup masyarakat, secara perlahan tapi pasti Islam dapat mengeser posisi kepercayaan dan pandangan hidup animisme dan dinamisme menjadi aqidah Islam yang benar. Bukanlah hal yang mudah untuk menetapkan faktor apa yang paling dominan dan menetukan sehingga Islam begitu cepat dan mudah diterima masyarakat di Nusantara. Ada yang memberikan porsi pada faktor pendekatan yang dipakai oleh penyiar Islam dengan cara damai, toleran dan penuh pengertian. Di sisi lain memberikan penekanan pada ajaran Islam itu sendiri. Ajaran islam yang disodorkan kepada masyarakat lebih banyak aspek mistis atau tasauf daripada aspek hukum. Artinya fungsi ganda yang dimiliki penyiar Islam sebagai pedagang dan juga guru tarekat ternyata memberikan ruang yang lebih luas bagi tumbuhnya suasana yang kondusif bagi kejiwaan masyarakat, yang sebelumnya dipengaruhi secara mendalam oleh agama Hindu dan Budha dan kepercayaan lokal. William Marseden, dalam bukunya , The History of Sumatera ,mengakui seberapa cepatnya proses pengislaman itu. Ia heran melihat masyarakat Minangkabau telah sepenuhnya memeluk Islam, ketika ia mengunjugi daerah tersebut pada tahun 1778. Padahal dalam sebuah manuskrip tahun 1761 di gambarkan bahwa masyarakat di sana kebanyakan masih menyembah berhala. Hanya saja, sekalipun telah menganut Islam, tambah Marsden, takhyul dan praktik-praktik tidak Islami lainnya masih banyak dilakukan masyarakat Minangkabau pada saat itu. Dan Syariat Islam seperti Shalat, Puasa, masih jarang dilaksanakan dan mesjid (surau) jarang dikunjungi, kecuali oleh para pemuka agama. [18]
Khusus fase awal Islam ke Minangkabau menurut suatu pendapat
mengungkapkan bahwa penduduk asli telah diislamkan oleh pedagang-pedagang Islam
yang berlayar dari Malaka menyusuri sungai Kampar dan Indragiri, pada abad 15
dan 16 M[19]. Pendapat ini sangat boleh jadi, bila memang
Malaka waktu itu dikuasai oleh Portugis pada tahun 1511 M, membawa akibat pindahnya
jalan perdagangan melalui pantai barat pulau Sumatera. Pada sisi lain, kerajaan
Pasai di Aceh yang telah bercorak Islam menanjak naik dibawah kekuasaan sultan
Iskandar Muda tahun 1607-1638 M. membawa akibat dikuasainya kerajaan kecil
Minangkabau[20]
oleh kekuasaan Aceh. Dalam kondisi seperti ini menurut pendapat lain Islam mulai masuk dari
kota-kota di pantai barat Sumatera menuju ke pedalaman Minangkabau.
Pada saat kebesaran kerajaan Pasai saudagar-saudagar Islam Aceh telah sampai ke pesisir barat pulau Sumatera yang lebih dikenal dengan Minangkabau. Disamping berdagang mereka juga memperkenalkan agama baru yang mereka anut, yaitu Islam. Penyebaran islam oleh saudagar-saudagar Aceh telah menganggu ketenangan Raja Adytiwarman yang menjadi Raja di Minangkabau masa itu. Sehingga pihak Raja sering memboikot perdangangan dengan pedagang Aceh. Akibatnya saudagar Aceh lebih mengkonsentrasikan perjuangannya pada masyarakat sepanjang rantau (pesisir lautan Indonesia). Kejayaan kerajaan Aceh selanjutnya membawa pengaruh yang berarti bagi perluasan Islam di Minangkabau pada masa-masa berikutnya. Demikianlah juga halnya dalam wacana pemikiran yang lekat dengan warna sufisme, yang secara signifikan mulai dirintis oleh nama-nama besar semacam Hamzah al-Fansuri, [21]
Syam al-Din al-Sumatrani [22] , Nur al-Din al-Raniri, [23]
Abd al -Rauf al-Sinkili [24]
ikut mewarnai pemikiran keagamaan di Minangkabau pada masa awal. Hamzah al-Fansuri dan Syam al-Din al-Sumatrani adalah dua tokoh yang banyak melahirkan karya besar dalam bentuk esai dan puisi dengan corak pemikiran Wahdat al-Wujud. Sedangkan dua ulama terakhir cenderung kepada pemikiran yang mengharmonisasikan antara syari'ah dan tasawuf. Polemik tasawuf heterodok (wujudiah) dengan paham ortodoks
yang berkembang luas di Aceh pada abad ke 16 dan 17 Masehi. Kedua paham yang bertentangan dan mendatangkan konflik keagamaan dan membawa korban besar di
Aceh diatas, merembes dan dapat ditemukan jejaknya pada Islam di Minangkabau. Namun, yang paling dominan, khususnya dikalangan pengikut tarekat adalah paham yang mendamaikan antara tarekat dan syariat cukup mendapat tempat yang berarti hal ini. Kenyataan ini tetap diakui dan diyakini kaum tradisionil Minangkabau bahwa ulama yang menjadi sumber rujukan bagi mereka adalah seorang ulama besar, yaitu Syekh Abd. al-Ra'uf dari Sinkel (W. 1693) yang lebih terkenal sebagai Tuanku Syiah Kuala. Keberhasilan Syekh Abd. al-Rauf dalam menempatkan diri sebagai ulama yang berwibawa dan berpengaruh di kerajaan Aceh serta mampu menyebarkan ajaran yang diperolehnya ke daerah-daerah yang berada di bawah penguasaan Aceh, satu di antara daerah Minangkabau.
Pengaruh Al-Sinkili dalam Pengembangan Islam di Minangkabau di teruskan oleh murid-muridnya. Yang paling terkenal di antara para murid al-Sinkili di Sumatera bagian barat adalah Burhan al-Din, yang lebih dikenal sebagai Tuanku Ulakan [25] . Burhanuddin Ulakan Pariaman bukan saja murid Al-Sinkili yang bertugas mengembangkan agama Islam, bahkan ia juga mendapat mandat dari Sultan Iskandar Tsani sebagai penguasa di wilayah
sepanjang pantai barat, yang saat ini telah berada juga dibawah penguasaan kearajaan Aceh. Bukti bahwa Syekh Burhanuddin mendapat mandat penguasa dan pengembang Islam dari sultan Aceh adalah dengan ditemukannya cap stempel kerajaan Aceh
pada peninggalan Syekh Burhanuddin berupa stempel berkepala sembilan . [26]
Di dalam mengemban tugas kerajaan dan penyebaran Islam Syekh Burhanuddin menetapkan basis kegiatannya dengan membangun surau di Tanjung Medan Ulakan. Surau Syekh Burhanuddin Ulakan pada akhirnya memainkan peran sebagai lembaga pendidikan dan keagamaan yang pertama di Minangkabau Pilihan Syekh Burhanuddin menjadikan surau sebagai basis pengembangan Islam di Minangkabau menjadi sesuatu yang sangat menentukan dalam kehidupan keagamaan di Minangkabau untuk masa-masa berikutnya. Tak lama kemudian surau Ulakan termasyhur sebagai satu-satunya pusat keilmuan Islam di Minangkabau. Dalam perjalanan sejarah perkembangan dan penyiaran
Islam (dakwah Islamiyah) di Ranah Minangkabau selanjutnya surau menjadi ujung tombak dari proses Islamisasi di Minangkabau, karena surau bukanlah
sekedar tempat ibadah semata, tetapi juga berfungsi sebagai lembaga
kemasyarakatan.
Tradisi[27]
yang dikembangkan pada surau[28]
di Minangkabau[29] tampaknya mempunyai daya tarik tersendiri,
Surau meskipun dicap sebagai “ lembaga tradisional” namun
keberadaannya tidak dapat digantikan oleh lembaga-lembaga lain. Peranan surau sebagai pusat pengembangan agama dan
pemberdayaan masyarakat, merupakan
fakta yang tidak dapat dibantah. Bahkan eksistensinya merupakan cikal bakal
dari sistem penyiaran Islam
melalui pendidikan model madrasah dan
sekolah. Sejarah membuktikan
bahwa keberadaan surat erat kaitannya
dengan masuk dan berkembangnya Islam
di Nusantara, khususnya Minangkabau. Surau Ulakan disamping menyiarkan
Islam dalam bentuk pendidikan dan dakwah juga menjadi pusat kegiatan tarekat
Syathariyah . Disamping itu. sekitar setengah abad dari kejayaan Surau Syekh Burhanuddin Ulakan, maka
sekitar paruh pertama abad XVII terdapat
pula beberapa surau di pedalaman Minangkabau yang menjadi pusat pengembangan
Tarekat Naqsabandiyah, yang menonjol di antaranya di daerah Limapuluh Kota dan
Tanah Datar. Di daerah pesisir dan Agam terdapat pulau surau tarekat Qadiriyah
tapi tidak begitu di kenal seperti Tarekat Naqsabandiyah menunjukkan
perkembangan positif Tarekat Syathariyah. Surau-surau Syarhariyah beralih
fungsi menjadi pusat pengembangan Tarekat Naqsabansiyah, khususnya zikir dan
suluk, misalnya Surau Cangking di Agam, Surau Silungkang, Surau Kasik di
Singkarak, Surau Pasir di Agam dan Surau di Bonjol. Verkerk Pistorius
memperkirakan bahwa sampai tahun 1869 kira-kira seperdelapan dari penduduk
Minangkabau telah bergabung dengan Tarekat Naqsabandiyah
Pengembangan Islam yang lebih
terencana baru dapat berlangsung
setelah Pusat Minangkabau (Darek) mendapat tempat yang berarti dalam sistem sosial kemasyarakatan di rantau yaitu diterimanya surau (masjid) sebagai salah satu persyarat sahnya satu
nagari baru, disamping setelah
Islam masuk dan menjadi anutan oleh Raja Pangaruyung. Islamnya, pusat kerajaan
Minangkabau berikut dengan segala pemimpin yang
memegang tampuk kekuasaan baru mulai muncul kepermukaan setelah lumpuhnya Imperium Sriwijaya di Palembang dan
Majapahit di Jawa diakhir abad ke 15 Masehi. Keruntuhan kekuasaan Hindu dan Budha terbesar di Asia
Tenggara masa itu tidak dapat dipisahkan
dari pengaruh Islam di Nusantara karena semangkin kuatnya Kerajaan
Malaka yang berdiri sekitar tahun 1400 Masehi dan satu abad kemudian ( abad ke
15 ) Kerajaan Malaka memainkan peranan penting sebagai pusat penyiaran Islam di
Nusantara. Begitu juga halnya dalam lapangan ekonomi dan politik pengaruh
kerajaan Malaka begitu luas, sampai ke daerah Kampar, Siak dan Kerajaan Minangkabau. Pada masa Pemerintahan
Sultan Mansursyah Malaka mencapai puncak
kejayaannya dan pada masa ini seorang putera Siak (Nama negeri di Minangkabau
Timur) menuntut ilmu agama Islam ke Malaka, setelah ia menguasai ilmu-ilmu
agama ia pulang ke negerinya kemudian diberi gelar Syekh Labai Panjang Janggut,
ialah orang pertama yang menyisiri Sungai Kampar untuk mengembangkan Islam ke
pedalaman Minangkabau sampai ke Luhak Lima Puluh Kota Payakumbuh dan
akhirnya Islam sampai di Pusat kekuasaan
Islam Pagaruyung.
Perbedaan pendapat tentang pengembangan Islam ke Minangkabau lewat
jalur utara melalui sungai Kampar,
melalui Malaka perantaraan orang Siak, yang buktinya sebutan orang Siak bagi
penuntut Ilmu di Minangkabau masih
kedengaran adanya. Perbedaan ini tidak menafikan keberadaan Syekh Burhanuddin Ulakan yang berada di
pesisir pantai Minangkabau. Bahkan dapat ditegaskan, bahwa data sejarah menunjukan bahwa pengembangan Islam di
Nusantara berawal dari daerah pesisir
pantai, bukanlah hal yang sulit diterima bahwa
pertama kali masuk ke Minangkabau. Satu hal, yang hampir semua ditutur
dalam sejarah bahwa raja Minangkabau pertama yang memeluk agama Islam adalah
Raja Angwarman setelah Islam bertukar namanya dengan Sultan Alif (1581M) masih dari Dinasti Aditiyarman. Sejak masa
itu sturuktur sosial kerajaan Pagaruyung mengalami perobahan, sesuai dengan
tuntutan masyarakat Islam kelembagaan Rajo Tigo Selo (Raja Adat, Raja
Ibadat (Masih dalam agama Hindu Budha) dan Raja Alam tidak lagi memadai, maka akhirnya dibentuklah
kelembagaan eksekutif (Pelaksana) dari
hukum adat dan hukum agama Islam yang dianut luas oleh masyarakat di Darek dan
Rantau. Lembaga baru itu kemudian disebut dengan istilah Basa ampek Balai
(Artinya ada empat pemegang kekuasaan dalam masyarakat sesuai bidangnya) yaitu:
(1) Titah di Sungai Tarab yang memegang adat dan pusaka, sekaligus berfungsi
sebagai perdana menteri kerajaan
Pagaruyung. (2) Datuk Indomo di Saruaso yang memiliki kewenangan pertahanan dan
keamanaan kerajaan.(3) Tuan Qadhi di Padang Ganting penanggung jawab utama
bidang keagamaan dan (4) Makhudum di Sumanik sebagai bendaharawan dan menteri
keuangan Nagara. Disamping itu, diangkat pula Tuan Gadang di Batipuh sebagai
Panglima tertinggi Pagaruyung. Pembentukan dua kelembagaan pada kerajaan
Pagaruyung semangkin memperluas kesempatan untuk penyiaran Islam bagi
masyarakat Minangkabau baik di darek begitu juga di rantau. Ada dua lembaga ini
masih baru bersifat formalitas dalam kerajaan, belum lagi dapat berfungsi penuh
dan dapat menjadi alat penyiaran Islam yang efektif. Barulah sejak kedatangan
Syekh Burhanuddin Islam semangkin kuat
dan kemudian pengembangannya secara sistimatis dan meluas serta meninggalkan
sistim pendidikan dan penyiaran yang mapan.[30]
Pengembangan Islam yang demikian
pesat dan masuk jauh ke pedalaman
Minangkabu melalui lembaga surau. Surau dapat memainkan perannya sebagai unsur
kebudayaan asli suku Melayu dan
berkaitan dengan keyakinan yang
dianutnya. Setelah Islam masuk
ke Nusantara surau menjadi bangunan
Islam. Dahulu surau adalah
tempat bertemu, berkumpul, berapat
dan tempat tidur bagi pemuda-pemuda dan laki-laki
yang sudah tua, terutama duda.
Selain di Minangkabau bangunan
sejenis terdapat juga di Mentawai, disebut Uma,
di Toraja Timur, disebut Lobo,
di Aceh
disebut Muenasah
dan di Jawa
disebut Langgar.[31] Surau menurut pola adat Minangkabau adalah kepunyaan kaum atau Indu.
Indu ialah bagian dari suku, dapat juga
disamakan dengan Clan. Surau
adalah pelengkap rumah gadang (rumah adat). Namun
tidak setiap rumah gadang memilikinya,
karena surau yang telah ada masih
dapat menampung para pemuda untuk bermalam, para musafir dan
pedagang bila melewati suatu desa dan kemalaman dalam perjalannya. Dengan demikian para pemuda yang
tinggal dan bermalan di surau dapat
mengetahui informasi yang terjadi di luar desa mereka, serta situasi
kehidupan di rantau. Jadi surau mempunyai multi fungsi, karena ia juga pusat
inaformasi dan tempat terjadinya sosialisasi
pemuda.[32]
Sebelum
masuknya agama Islam surau
telah menjadi institusi
dalam struktur adat Minangkabau. Dalam
sejarah Minangkabau dipercayai bahwa
surau besar pertama didirikan raja Aditiawarman tahun
1356 M dikawasan Bukit
Gombak.[33] Surau yang selain berfungsi sebagai
pusat peribadatan Hindu-Budha ini juga
tempat pertemuan anak-anak muda untuk mempelajari berbagai
pengetahuan dan keterampilan sebagai persiapan menempuh
kehidupan. Surau bahkan sebelum
kedatangan Islam, di
Minangkabau telah mempunyai kedudukan
penting dalam struktur masyarakat.
Fungsinya lebih dari sekedar
tempat kegiatan keagamaan.
Menurut ketentuan adat surau
berfungsi tempat
berkumpulnya para remaja, laki-laki dewasa
yang belum kawin atau duda. Karena adat menentukan bahwa anak laki-laki tak punya kamar dirumah orang tua mereka, maka mereka
bermalam di surau. Kenyataan ini menyebabkan surau
menjadi tempat amat penting bagi
pendewasaan generasi muda
Minangkabau, baik dari segi ilmu pengetahuan maupun dari keterampilan praktis lainnya.[34]
Melalui lembaga surau Islamisasi berjalan secara perlahan-lahan tapi pasti. Tantangan paling nyata muncul dari kalangan adat. Banyak ajaran Islam dan praktek sosial yang dilakukan kalangan adat yang bertentangan, seperti minuman arak, berjudi menyaung ayam dan perbuatan maksiat lainnya. Akibatnya, para penghulu merasa terusik oleh kedatangan Islam khususnya peranan kalangan surau dalam menyebarkan islam ke tengah-tengah masyarakat. Penentangan
kalangan penghulu terhadap Islam pada tahap Islam tidaklah begitu menghambat lajunya penyiaran Islam. Hal ini disebabkan kedua belah pihak menempatkan dirinya secara arif dan tidak saling mencampuri. Penghulu atau kalangan adat mengurus masalah adat dan nagari, sedangkan ulama mengurus agama atau surau kalaupun mereka menyiarkan islam tetapi bersifat persuasif dam akomodatif . Perbedaan baru muncul secara nyata ketika di surau muncul gerakan penyiaran Islam yang lebih intensif, ulama surau mengunakan pendekatan revolusi dan represi, yang dikenal dengan gerakan Paderi.
Kedatangan Islam, pada dasarnya tidak melahirkan konflik dalam masyarakat Minangkabau. Sistim adat yang sudah ada dan berkembang tidak pernah diganggu oleh Islam, malah sebaliknya Islam memberikan pengakuan pada tatanan adat, khususnya yang berkaitan dengan Akhlak dan budi pekerti. Maka, adalah keliru pendapat yang menyebutkan bahwa adat Minangkabau dan agama Islam bertentangan, akan tetapi pertentangan antara pemangku adat dengan kalangan ulama memang pernah ada konflik. Pada kenyataannya di masyarakat sejak dulu sampai sekarang keduanya dapat berjalan secara bersamaan tanpa ada satu diantaranya yang ternafikan. Penulis sejarah Taufik Abdullah menyimpulkan bahwa adat dan agama di Minangkabau dapat berjalan secara seimbang dan saling mengisi. misalnya ,ia menulis:
Dampak paling awal dari agama islam adalah dalam formulasi adat yang baru, sebagai pola prilaku ideal, dalam artian bahwa unsur-unsur luar seluruhnya dapat diserap ke dalam orde yang berlaku sebagai bagian dari suatu sistem yang koheren. Sangat suka mengetahui bagaimana cara reformasi dari seluruh pola masyarakat struktural yang dicapai. Pertama-tama tidak ada sumber adat yang dikenal sebelum masuknya agama Islam, kecuali dalam informasi yang tersebut di sana sini dalam tambo , serta pepatah-petitih adat. Kedua, “kodifikasi” atau lebih tepatnya perumusan, adat yang sebenarnya baru dimulai setelah masuknya tulisan Arab. Lagi pula, dasar logika dan formulasi adat bersandar pada “hukum logika” Islam atau “mantik”. Sikap Minangkabau terhadap adat di dasarkan pada posisi berdampingan dari keseinambungan yang imperatif dari adat – tak lakang dipaneh dan tak lapuk dek hujan- dengan pengakuan tentang betapa pentingnya perubahan – sakali air adang sakali tapian berubah- .Maka secara implisit dalam adat harus ada perubahan serta penyesuaian terhadap keadaan – hasta-usang di pabaharui, lapuk-lapuk dikajangi -
sedangkan ketengangan permanen dalam sistem tersebut berkat kebutuhan untuk menyesuaikan nilai dasar dengan keadaan yang berubah. Untuk menghadapi keadaan yang bertentangan ini, sistem diatur sedemikian rupa, sehinga reavaluasi yang tak dapat dicegah dapat berlangsung lancar, adat dibagi dalam berbagai kategori, dengan unsur-unsur tetap dan yang berubah, prinsip umum serta variasi lokal mendapat tempat masing-masing yang sewajarnya . [35]
Penyesuaian adat dengan agama itu tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi ini adalah hasil usaha terus menerus yang diprakarsai oleh kearifan tokoh penyebar Islam pertama
yaitu Syekh Burhanuddin Ulakan Pariaman. Kenyataan menunjukan bahwa penyesuaian atau persenyawaan adat dan agama
mula pertama terjadi di daerah rantau, khususnya daerah Pesisir, sejak dari Pariaman sampai ke Pesisir Selatan. Di mana, daerah ini lebih dahulu pengaruh Islam yang kuat, terutama ketika Syekh Burhanuddin bersama muridnya yang pertama yaitu Muhammad Nasir (Syekh Surau Baru) dari Koto Tangah Padang, Buyung Mudo (Syekh Bayang) dari Bayang Painan dapat menacapkan Islam ke dalam struktur masyarakatnya . Ada beberapa faktor yang menyebabkan perpaduan
dan persenyawaan adat dan syarak begitu cepat dan lacar dirantau antara lain :
Pertama: Adanya bantuan dan pengaruh dari kekuasaan pemerintahan di rantau yaitu, raja atau disebut juga dengan panggilan Rangkayo , di mana mereka mendapat dukungan secara moral dan ekonomi dari kerajaan Aceh yang menguasai perdagangan rakyat di daerah pesisir rantau. Akibatnya, Islam dan budaya Aceh menjadi satu pilihan agama dan budaya bagi masyarakat rantau. Sebagaimana di Aceh berlaku pepatah 'Adat bak Pentu Manaruhum Sultan Iskandar, Syarak bak Syiah di Kuala” (Adat dibawah kekuasaan almarhum Sultan Iskandar Muda, Syarak (Agama) dibawah keputusan Syiah Kuala (gelar untuk Syekh Abdur Rauf al-Sinkili).Bukan tidak mungkin , filosofi budaya Aceh ini yang melahirkan diktum adat Minangkabau Syarak mandaki adat manurun. Diktum ini ada yang memberikan arti bahwa agama ditetapkan pada Syekh Burhanuddin di Ulakan Pariaman, sedangkan adat ditetapkan pada Basa Ampek Balai di Darek (Pusat Alam Minangkabau).
Kedua: Pendekatan dan perjuangan yang dilakukan oleh Syekh Burhanuddin beserta sahabat dan murid-muridnya di rantau telah mengem-bangkan Islam secara terencana, sistematis dengan mengunakan pendekatan kultural (menyesuaikan dengan pola budaya masyarakat yang telah ada). Sehingga memudahkan para Raja, Penghulu, Rangkayo dan masyarakat rantau memeluk agama Islam.
Ketiga:Syekh
Burhanuddin dengan empat orang teman utamanya adalah putra-putra Minangkabau
yang paham dan mengerti akan seluk beluk budaya dan kebiasaan masyarakat,
sehingga mereka mudah berkomonikasi dan dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungkannya. Hasil dari penyesuaian yang dilakukan menjadikan semangkin
mudah berpadunya adat dan Syarak. Sebagai bukti dapat dilihat sampai sekarang
di rantau anak berbangsa kepada bapak dengan gelar Sidi, Sutan, Bagindo
yang diambilkan dari ayahnya (Patrialchaat) dan bersuku kepada Ibu Koto,Panyalai,Piliang
Bodi,Sikumbang dan lainnya (matrialchaat). Adanya pusaka tinggi yang
merupakan warisan kolektif yang tak boleh dimiliki pribadi kecuali atas
beberapa kasus tertentu menurut sepanjang adat. (menurut aturan adat
Minangkabau jatuhnya kepada pihak kemanakan). Ada pula pusaka rendah, yaitu
hasil usaha yang dilakukan oleh satu keluarga boleh dimiliki oleh anak-anaknya
sesuai menurut hukum Islam. Komporomi ini lebih nyata sekali dalam pepatah adat
:
Kaluk Paku kacang belimbing
ambiak
tampurung lengang-lenggangkan
bao
manurun ka Saruaso
Anak
dipangku kamanakan dibimbing
Urang
kampung dipatenggangkan
tenggang kampung jan binaso
Tenggang
nagari jo adaiknyo.
Keempat; Filsafat adat alam Minangkabau yang
mendorongkan masyarakat untuk bersikap dinamis dan segera membaca perkembangan
zaman tanpaharus tercerabut dari jati dirinya sebagai orang yang beradat.
Misalnya seperti yang tertuangkan dalam pepatah adat:
Panakiak Pisau
Siraut
Selodang ambiak
kanyiru
Satitik
jadikan lalut
Alam Takambang Jadi guru
Filosofi alam takambang jadi guru
sebagai kultur masyarakat Minangkabau sangat menunjang sekali persenyawaan
adat dan syarak yang prinsipnya sama-sama berasal dari Sunnatullah (Hukum
Allah) yang tersurat dan tersirat).
Dilain pihak, lambat dan mandeknya perpaduan adat dan agama
berikut pengembangan Islam di Luhak Nan
Tigo (Pusat alam Minangkabau), disebabkan banyak kendala-kendala yang dihadapi
oleh pemuka agama, kendala itu berasal dari kalangan adat (Penghulu), hal ini
disebabkan oleh :
Pertama: Pengaruh
dari agama Budha yang aristokrat
masih berbekas pada masyarakat
pedalaman sementara ninik mamak (Penghulu)
masih tetap terjerat dalam
kebiasaan-kebiasaan jahiliyah yang Budihistis dan aristokrat serta
permainan judi, menyabung ayam dan perbuatan maksiat lainnya. Disamping itu di
kawasan Luhak Lima Puluh Kota antara ummat
Islam pernah terjadi pertentangan antara Islam Sunni dengan Islam Syiah.
Akibat dari konflik paham keagamaan ini mereka para penghulu memilih
mempertahankan kebiasaan lamanya, (adat-istiadatnya) sedangkan masyarakat
banyak bingung karena penghulu adalah ikutan dan teladan dalam kehidupan mereka.
Kedua: Basa
Ampek Balai sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan di Darek masih bersikap
formalitis dan melihat perkembangan lebih dulu, mereka lebih menanti
perkembangan sebab mereka merasakan jika agama Islam diberi peluang lebih besar
tentu posisi dan kedudukannya akan tergeser dalam masyarakat, karena mereka
bukanlah Ulama. Mereka menyadari bahwa mereka sebagai pemegang kekuasaan sangat
berkepentingan sekali untuk menguasai
masyarakat, namun agama Islam masih perlu diberikan kesempatan untuk
memgembangkan dirinya secara sendiri.Walaupun ummat Islam sudah banyak namun
mereka masih belum mampu menerobos jauh kedalam sistim pemerintahan alam
Minangkabau.
Ketiga, Karena
kuatnya kekuasaan dan pengaruh Panghulu di Luhak Nan Tigo. Taufik Abdullah
menyebutnya Nagari adalah kerajaan kecil yang dipimpin oleh seorang
penghulu bersifat mandiri dan
otonom.Sementara kekuatan ulama masih sangat terbatas sekali. Memperhatikan
keadaan tersebut membuat kalangan adat
dan agama merasa tidak puas dan sering terjadi perselisihan ditengah-tengah
masyarakat. Atas usaha pemuka agama
dalam hal ini Syekh Burhanuddin dan pengikutnya
mereka dapat meyakinkan para penghulu. Maka untuk menjaga ketenteraman
masyarakat di buatlah satu kesepakatan antara
Darek dan Rantau, yang berisikan
bahwa kekuatan Syarak (agama) yang telah dipegang oleh para ulama di rantau
yang berpusat di Ulakan harus dipadukan dengan kekuatan adat yang berpusat di
Luhak Tanah Datar (Pagaruyung), sebab kedatangan ajaran Islam tidaklah
bertentangan dengan adat Minangkabau. Agar para Ulama pemegang Syarak dan para
penghulu pemangku adat bersama-sama membangun dan memelihara adat dan agama
(Islam) sehingga anak, kemanakan aman sentosa, tenang dan damai. Untuk itu
perlu adanya perjanjian dan kesepakatan di alam Minangkabau antara kaum adat
dan kaum agama dibawah restu yang dipertuankan
di Pagaruyung dengan ketentuan: (a) seluruh rakyat alam Minangkabau
resmi menganut dan mengamalkan Islam dalam paham mazhab Syafi’i seperti yang
berlaku di Aceh. (b)mensenyawakan adat dan syarak bahwa adat basandi syarak.
Kata syarak (Agama ) akan dipakai oleh adat. (c) struktur pemerintahan menurut
sepanjang adat dilengkapi dengan fungsionaris-fungsionaris keagamaan. Walaupun
kekuasaan Raja sebagai lambang kesatuan alam Minangkabau, karena rantau dan
nagari dibawah raja-raja kecil dan
penghulu namun kesatuan agama perlu diwujudkan dan dipertahankan.
Kesepakatan Darek dan Rantau yang dilalukan oleh Syekh Burhanuddin dengan beberapa penghulu
menjadi titik awal pembicaraan selanjutnya. Maka pada bulan Syafar tahun 1650M
Syekh Burhanuddin bersama temannya yang berempat (Tuangku Bayang dari
Bayang,Tuangku Kubung Tigo Baleh Solok,Tuangku Buyung Mudo dari Bayang Pasisir
dan Tuangku Padang Ganting Batu Sangkar) yang disebut juga dengan Lima
Serangkai, dengan di dampingi oleh Rajo Rantau nan sebelas yaitu: (1)Amai Said
(2)Rajo Dihulu (3)Rajo Mangkuto(4) Rajo Sulaeman.(5)Panduko Magek. (6)Tan
Basa.(7)Majo Basa.(8)Malako (9)Malakewi.(10)Rangkayo Batuah (11)Rajo Sampono menemui Basa Ampek Balai yang memegang
kendali pemerintahan alam Minangkabau dan
memperkatakan (membincangkan) agama (Syarak) dan adat. Mereka berangkat
menemui Basa Ampek Balai atas inistiaf dari Tuanku Padang Ganting dengan nasehat
dari Tuan Qadhi Padang Ganting. Kemudian dilangsungkan pertemuan itu di puncak
Pato (berasal dari Fatwa atau Petuah) dengan di hadiri Basa Ampek Balai dan
Penghulu-Penghulu terkemuka di Luhak Nan Tigo. Pemilihan tempat ketinggian ini
karena dari sini dapat dilihat Ranah Pagaruyung kebesaran alam Minangkabau,
bukit itu dinamakan dengan Bukit Marapalam teletak antara Desa Sungayang dengan
Batu Bulek. Inilah yang kemudian dikenal dengamn Perjanjian Bukit Marapalam . Piagam Bukit Marapalam itu
berbunyi:
“ Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang”
Atas
Qudrat dan Iradat Allah SWT, telah dipertemukan ditempat ini hamba-hamba Allah untuk memperkatakan adat
dan syarak yang akan menjadi pegangan anak kemanakan ,hidup yang akan dipakai
mati yang akan ditopang,bahwa adat dan syarak akan dikukuhkan menjadi pegangan
di alam Minangkabau ,dengan ini kami sambil menyerahkan kepada Allah SWT sambil
mengikuti kata Muhammad SAW. Penghulu ka ganti Nabi, Rajo ka ganti Allah, kami
mengikrarkan bahwa:
Adaik basandi kapado syarak,syarak basandi kapado
kitabullah, syarak mengato adaik
mamakai.(Adat bersendikan syarak, syarak bersendi kitabullah, syarak
(agama) menyatakan adat melaksanakan).[36]
Sagala undang-undang
adat dan kelengkapannya dalam alam Minangkabau Luhak dan Rantau, kampung
dan nagari disesuaikan dengan tuntunan adat dan syarak( agama Islam). Ikrar dan
kesepakatan ini disampaikan oleh segala ulama dan penghulu kepada rakyat di
alam Minangkabau. Perjanjian dituliskan dibawahnya : Atas nama Syarak Syekh
Burhanuddin Ulakan dan atas nama kaum adat
Basa Ampek Balai Titah di Sungai Tarab dan disetujui oleh Raja Alam Yang
dipertuankan di Pagaruyung.
Setelah selesai ikrar Bukit Marapalam lalu Basa Ampek Balai
bersama Syekh Burhanuddin dan rombongan minta pengesahan kepada Yang
dipertuankan rajo alam Minangkabau di Pagaruyung yang disaksikan oleh Rajo Adat
dan Raja Ibadat. Dalam pertemuan Bukit Marapalam itu juga dibicarakan sisa-sisa
ajaran Syiah, sehinga dapat pula kesepakatan bahwa agama Islam yang akan
dikembangkan di Minangkabau adalah menuruti Mazhab Imam Syafi’i, beritikad
Ahlusunah waljmaah. Selanjutnya melalui para Ulama dan Penghulu diaturlah adat
dan syarak di Luhak dan nagari sesuai dengan ajaran Islam, sesuai dengan hukum
dan hak alam serta dinamika dan daya cipta, rasa dan karsa manusia dalam
membangun budaya. Kemudian sesuai perkembangan waktu kelembagaan Rajo Tiga Selo
berubah menjadi Tali Tigo Sapilin, Tungku
Nan Tigo Sajarangan yaitu Ninik mamak, alim ulama dan cerdik pandai.
Kelembagaan Basa ampek Balai dituangkan lagi menjadi Urang Ampek Jinih,
jikalau di Mesjid dikenal dengan Imam,
Khatib, Labai, dan pegawai. Di suku dikenal Penghulu, Malin, labai, dubalang dan urangtua Jika dinagari
dilengkapi dengan empat yaitu: Balabuah,batapian,babalai
dan ba musajik.[37]
Sejak dikukuhkannya Perjanjian Bukit Marapalan oleh pemuka adat dan agama di Minangkabau, maka dilakukan kesepakatan kesepakatan ini oleh kedua belah pihak. Wujud nyata dari perjanjian itu cantumkan dalam
filosofi adat yang lebih populer dengan sebutan pepatah adat : Adat Basandi Syarak,Syarak Basandi Kitabullah, (adat mesti berdasarkan pada agama, agama ( Islam) berdasarkan Kitabullah(Al-Qur,an). , (Agama Islam memberikan fatwa adat yang melaksanakannya) Adaik buruk (jahiliyah dibuag, adaik yang baik (Islamiyah) dipakai (Maksudnya adat yang baik sesuai dengan norma Islam harus dipertahankan sementara adat buruk yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam harus dibuang.)Syarak dan adat itu bak aur jo tabing , sanda menyanda kaduonya (Antara adat dan agama itu layak aur dan tebing yang saling memperkuat atau tidak ada antagonistik di dalam kedua filosofi hidup ini). Disebut lagi dalam salah satu kaedah hukum Islam al'adatul muhkamah ( Adat itu menghukumi, artinya mempunyai kekuatan hukum). Syarak Mandaki adaik manurun, (Agama bersumber dari Ulakan menuju pusat kerajaan Minangkabau di Pagaruyung, yang tempatnya Ulakan di dataran rendah sedangkan Pagaruyung berada di dataran tinggi Minangkabau)
Inilah bentuk final (Akhir) dari penyesuaian adat dan agama di Minangkabau yang kelahirannya tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan Syekh Burhanuddin sebagai tokoh Ulama masa itu, dengan di dukung oleh tokoh-tokoh adat baik di rantau maupun di Darek (Pusat) Minangkabau .Kesepakatan Bukit Marapalam merupakan babak baru dari perjalanan kehidupan sosial budaya dan agama dalam masyarakat Minangkabau, sekaligus menjadi titik tolak bagi Syekh Burhanuddin dalam menyebarkan paham keagamaannya secara lebih luas dan diterima oleh semua lapisan masyarakat di Minangkabau. Lebih penting lagi perjanjian bukit marapalam juga puncak dari kompromi ideologis yang cukup penting dalam sejarah intelektual pemuka adat dan agama, yang patut didalami oleh generasi muda Minang di masa depan.
Di lain pihak, ada
pendapat yang menempatkan
perjanjian Bukit Marapalam sebagai pucak integrasi dan sintesis akhir dari konflik cultural, baru terjadi pada abad ke 19 Masehi, yakni
setelah berakhirnya Perang Paderi. Telaah
yang digunakan berangkat dari pendekatan budaya.” Corak Budaya Minangkabau
yang sintetik itu pada dasarnya bersifat
universal. Jikok dibalun sabalun kuku,
jika dikambang saleba alam. Budaya aslinya bercermin kepada alam:Alam takambang jadi guru. Alam
terkembang seperti kita tahu, bukanlah sesuatu yang liar dan tak beraturan, tetapi
sebaliknya, sangat teratur dan tunduk kepada hukum-hukum alam. Semua
pepatah-petitih,pantun,bidal adat dan sebagainya, dengan mana filsafat adat
dialegorikan, sebelum Islam masuk ,bercermin kepada hukum alam itu. Dengan
masuknya Islam, maka semua ini tinggal menyesuaikan,karena hukum alam itu
ternyata adalah sunnatullah.
Karenanya tidak ada satupun yang harus berbeda dengan hukum alam takambang jadi guru pra Islam dengan sunnatullah
itu. Inilah sintetisme itu. Karena adat Minangkabau pada hakikatnya adalah
ajaran budi, dan budi pekerti, dia berada pada pelataran filsafat budi (ethical philosophy), yang tujuannya
adalah untuk menata prilaku - sosial maupun individual - agar sesuai dengan
hukum alam itu. Dengan masuknya Islam, Islam tinggal menambahkan unsur-unsur
kepercayaan yang bersifat theologik-eskatalogik
(Ketuhanan dan alam akhirat) yang semuanya berpunca pada Keesaan dan
Kemaha-Kuasaan Allah. Karena filsafat budi tidak mengenal dan tidak bercampur
dengan paham kosmologi pra Islam yang
berorentasi pada paham serba roh (Animisme dan dinamisme), maka tidak ada yang
harus dibersihkan dari filsafat budi itu. Bahwa Paderi dan gerakan Reformasi
selanjutnya yang terjadi sepanjang abad ke 19 dan penggal pertama abad 20 di
Minangkabau bertujuan untuk memerangi khurafat, bid’ah dan takhyul, syirik,
bidikannya bukanlah pada ajaran adat yang berguru kepada alam itu, tetapi kepada praktek -praktek heretek
(menyimpang) pra Islam yang tercampur kedalamnya, dan prilaku sosial yang
menyimpang dari ajaran Islam; misalnya kebiasaan minum arak, berjudi, menyabung
ayam, main perempuan, berjampi-jampian, sihir dan sebagainya, yang semua itu
sama sekali tidak diajarkan oleh adat, bahkan dilarang. Dan praktek-praktek
inilah yang diperangi oleh gerakan Puritanisme
Paderi dan gerakan pembaharuan gelombang-gelombang berikutnya. Ini juga
sintetisme, sehingga ajaran adat yang bersifat penghalusan budi bersintesis
dengan ajaran Islam yang bersifat lebih penghalusan budi, tetapi yang sekarang
dihubungkan dengan kepercayaan kepada Allah SWT serta Muhammad Rasulullah SAW
panutan utama akan kehalusan budi itu. Apa yang terjadi sepanjang abad ke 19
dan tengah pertama abad ke 20 itu adalah sebuah proses pengintegrasian dan
sintesis dari kedua sumber budaya yang datang dan yang menanti.
Dalam proses pengintegrasian
dan sintesis dari kedua sumber budaya ini kata sepakat akhirnya dibuhul
dengan perjanjian Bukit Marapalam,yang masih di abad ke 19 sesudah Perang
Paderi,yaitu dengan adigium :”Adat
Basandi Syarak, Syarak Basandi Kirabullah” Dari Adigium ini terlihat dengan
jelas bagaimana status dan jenjang hirarki antara adat, Syarak dan Kitabullah.
Ini pun diperkuat lagi dengan adigium-adigium penjelasan dan pendampingnya,
seperti ungkapan : Syarak mengato adaik
mamakai”,Syarak bertelanjang adaik basisamping,adat buruk (jahliyah dibuang dan
baik (Islamiyah) dipakai dan lainnya”Status dan hirarkinya adalah demikian
,sehingga secara prinsip tidak mungkin ada benturan antara adat dan syarak,
yang diatasn ya adalah al-Qur’an kalimatul ‘ulya. Maka Al Qur’an dengan sendirinya adalah kontitusi tertinggi
bagi budaya dan masyarakat adat Minangkabau.[38]
Sisi lain yang patut juga dipahami bahwa Perjanjian Bukit Marapalam adalah merupakan
suatu mata rantai dari penyesuaian adat dan Islam di Minangkabau. Amir
Syarifuddin dalam Disertasinya Pelaksanaan
Hukum Kewarisan Islam di Minangkabau IAIN Jakarta hal.328-51
menyimpulkan bahwa Penyesuaian adat dan Islam telah mengalami tiga priode besar
yaitu : (1) Masa di mana adat dan hukum Islam berjalan sendiri-sendiri dalam
batas yang tidak saling mempengaruhi, yang dimunculkan dalam pepatah adat “ Adat Basandi Alur dan Patut, dan Syarak
Basandi Dalil” ini adalah masa-masa awal Islam di Minangkabau, di mana
dominasi adat sangat begitu kuat dan Islam belum lagi masuk ke dalam sistim
sosial masyarakat. (2) Priode sama-sama dilakukan keduanya, artinya adat dan
Islam telah masuk kedalam sistem sosial masyarakat namun masih belum berpengaruh, karena ia baru saja diterima
oleh masyarakat dan nilai-nilai moral
yang dibawa Islam sejalan dengan pesan adat Minangkabau. Pepatah adatnya pada masa ini “ Adat Basandi Syarak,
Syarak Basandi Adat”. (3) Priode
ketiga lahir sebagai buah dari
ketidakpuasan diantara ulama terhadap gerakan Paderi yang pada mula bertujuan
untuk membersihkan agama dari pengaruh adat, kemudian menjadi perebutan kekuasaan antara kaum agama dan kaum adat, sayang
kedua-duanya kalah dan Belanda berhasil
memasuki Menangkabau. Puncak ketidakpuasaan dua kelompok ini melahirkan
akomodasi dan itu dituangkan dalam Perjanjian Bukit Marapalam, sehingga
melahirkan filosofi adat “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah”
Perbedaan lahirnya Perjanjian Bukit Marapalam dapat ditarik suatu benang merah yang tidak
saling bertentangan. Melihat masa kehadiran Syekh Burhanuddin (Abad 17
Masehi) dan masa sesudah Paderi (abad 19 Masehi) ada jarak
waktu dua abad, tentu waktu yang cukup lama. Ini bisa saja dilihat dengan
pendekatan yang bersifat lebih luwes. Bukan tidak mungkin, Syekh Burhanuddin
memang di abad 17 itu telah melakukan perintisan awal dari upaya sintesis
antara adat dan agama ini. Upaya Syekh Burhanuddin bersama pemuka adat di
Rantau menemui Basa Ampek Balai untuk
merundingkan hubungan adat dan agama ini adalah merupakan modal awal bagi
lahirnya piagam Bukit Marapalam yang jadi momentum bersejarah dalam proses
integrasi dan sintesis adat dan agama
seperti yang dikemukan Pakar Sosiologi dan Hukum Islam diatas diatas.
Bisa juga diinterpretasikan bahwa
Perjanjian Bukit Marapalam pasca
Paderi (abad ke 19 ) adalah tindak
lanjut dari Perjanjian Bukit Marapalam pertama yang telah disponsori oleh Syekh
Burhanuddin dulunya.
Argumen lain yang patut
dipertimbangkan adalah jika Perjanjian Bukit Marapalam itu baru sesudah Paderi,
maka bagaimana mungkin Tambo adat alam Minangkabau yang menjelaskan
tentang pokok pembicaraan sebelum
perjanjian dibuat yang dikenal dengan 10
(sepuluh) landasan pokok dalam penyesuaian adat dan syarak, 4(empat )jatuh pada
adat, yaitu adat, istiadat, nan diadatkan dan sabana adat dan 6 (enam) jatuh
pada Pusako, yaitu: kalo-kalo, baribu kalo, bajanjang naik, batanggo turun,
hukum ijtihad dan undang-undang permainan alam itu telah ditulis. Aturan adat itu ditulis dengan huruf arab melayu.
Penulisan huruf arab Melayu baru berkembang luas setelah Islam menyebar melalui
lembaga pendidikan Surau yang mula pertama di rintis Syekh Burhanuddin di
Tanjung Medan Ulakan. Kenyataan ini dapat menjadi indikasi bahwa Perjajian
Bukit Marapalam pertama itu telah
terlaksana pada abad 17
berdasarkan dorongan dan desakan Syekh Burhanuddin bersama-sama Pemuka
adat dari rantau, Basa Ampek Balai dan Penghulu-Penghulu di Luhak nan Tiga
waktu itu.
Patut juga menjadi bahan renungan
pemerhati kebudayaan Minangkabau bahwa memilih antara data historis yang didukung
oleh bukti ilmiah dengan
penuturan lisan oleh para pemuka adat dan cendikiawan adat adalah sesuatu yang memerlukan kajian
dan perenungan yang mendalam. Bukan tidak mungkin kebiasaan berpikir “ilusif
dan imajinatif” para pemangku adat itu ada benarnya disamping tentu ada pula
yang perlu dikritisi secara cermat. Kebangaan pada sejarah masa lalu masih saja menjadi faktor penghambat
menemukan kejernihan sejarah sebagaimana adanya. Dalam kaitannya dengan
keberadaan Syekh Burhanuddin dan perannya dalam pengembangan Islam atau
Islamisasi Minangkabau masih banyak data yang bersifat oral dan kalaupun sudah
ditulis itu baru sebatas cerita dari mulut ke mulut yang dapat juga melalui
cerita lisan. Kondisi seperti ini patut
menjadi tantangan bagi peminat Sejarah Islam
Minangkabau untuk menguak hutan belantara keilmuaan yang demikian
luasnya. Yang pasti Syekh Burhanuddin sebagai figur Ulama pengembang Islam masa
lalu keberadaannya dalam peta pengembangan Islam di Minangkabau tidak perlu
diragukan lagi, karena bukti konkritnya dan kepercayaan masyarakat
terhadapnya (evidensi) dapat dijadikan pegangan. Lebih dari itu, bagi Ulama , cendikiawan
Islam dan pemuka adat Minangkabau perlu
menangkap semangat zaman bagaimana Adat
dan Agama ini dapat diwariskan dalam
pengertian yang lebih rasional dan dan dapat mendorong akselerasi (Percepatan) tumbuhnya
generasi yang berbasiskan pada “Adat dan Agama “ sebagai identitas
dirinya di era moderen dan global yang berobah dan berkembang begitu cepat dan
meluas.
Perjanjian bukit marapalam itu adalah
bentuk final dari persenyawaan adat dan agama di alam Minangkabau.
Meskipun tidak dapat dipungkuri bahwa
pemerintahan di Minangkabau
diatur menurut dua sistem,
yaitu Sistem Koto Piliang dan Sistem
Bodi Caniago. Gagasan yang dituangkan oleh Datuk
Katumanggungan disebut laras Koto Piliang, sedangkan yang dituangkan atau dititahkan
oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang dikenal
dengan laras Bodi Caniago.[39]
Kedua kelarasan ini melahirkan aturan-aturan (adat) yang menjadi
way of life (pandangan hidup) orang
Minangkabau yang didasarkan kepada ketentuan
nyata yang terdapat dalam alam
kehidupan dan alam pikiran
seperti yang ditemukan dalam pepatah
“ alam takambang menjadi
guru “. Sistim baru yang dilahirkan oleh kesepakatan bersama diatas
tidaklah merusak sistem yang telah mapan sebelumnya ini. Akan tetapi, ia
memperkokoh jalinan hubungan
yang erat antara
lembaga keagamaan (surau) sebagai
pusat ibadat dengan kerajaan
sebagai pusat kekuasaan menjadi begitu kokoh dan satu dalam
kehidupan sosial budaya ,seperti yang
diisyaratkan oleh pepatah “ syara’ mangato adat mamakai” (agama memberikan fatwa dan adat
melaksanakannya), sehingga agama dan adat menjadi identitas orang Minang. Akan
sangat ‘aib jika orang Minang dikatakan sebagai orang yang
tidak beradat atau tidak beragama.
Buah dari jalinan adat dan agama melahirkan tumbuhnya tradisi surau, di mana masing-masing suku dari
masing daerah di ranah Minang mempunyai surau, bahkan a’ib jika bagi suatu suku
dalam satu kampung yang tidak punya surau. Di surau-surau ini para murid
menimba ilmu dari guru-gurunya, sekaligus sebagai tempat transmisi ajaran Islam
ke berbagai daerah lainnya. Ajaran yang dikembangkan di surau pada umumnya berbau mistik, karena inilah
yang serasi dengan keadaan masyarakat, nama sufi seperti misalnya Ibn ‘Arabi dan al-Jilli, Hamzah Fansuri dan Abd. Rauf al-Sinkili adalah tokoh yang dikenal luas dalam wacana
keagamaan di surau. Demikian juga hanya di surau telah di perkenalkan empat tarikat fase awal abad ke 17 M. yaitu ;
tarikat Qadariyah didirikan oleh Abdul Qadir Jailani (w 1166 M),
Naqsyabandiyah, oleh Baha’al-Din (w 1388
M), Syattariyah oleh Abdul Syattar (w 1415 M) dan Suhrawardi. Dari keempat tarikat tersebut, tarikat
Syatariyah mempunyai penganut banyak
yang dalam dan luas, yang pada mula bersumber dari Syekh Abd. Rauf, yang kelak mempunyai murid
Syekh Burhanuddin di Minangkabau.[40]
Selain melalui Tarekat, Islam telah dipelajari juga melalui perkawinan. Pada umumnya para pedagang Islam telah memiliki perkampungan etnis sendiri, sehingga mereka cenderung tinggal lebih lama, sehingga ada mereka yang menikah dengan penduduk setempat, terutama putri dari kalangan ningrat, sehingga langkah ini mendukung penyebaran Islam di Indonesia. Islam semakin berkembang ke daerah pedalaman. Secara bertahap Islam mulai memberi pengaruh terutama pada kalangan struktur pemerintahan, seperti terlihat pada sistem pemerintahan nagari. Tidaklah dapat dikatakan sebuah nagari bila tidak ada di nagari tersebut 1. Masjid dan Balairung, 2. Bersawah dan berladang, 3. Bertepian tempat mandi, 4. Berpasar dan bergelanggang . [41] Selain itu untuk melengkapi sebuah nagari harus ada pula empat jinih (jenis) yaitu ; A. Penghulu, b. Alim ulama, c. Manti dan d. Dubalang. Bila diperhatikan tentang penggunaan istilah adat di Minangkabau, biasanya setiap nagari berdiri dengan adatnya sendiri, menyelenggarakan republik-repuplik kecil yang berhak mengatur nagarinya dalam wilayah masing-masing. Pada umumnya setiap nagari di perintah oleh seorang penghulu. Untuk kebesaran sebuah penghulu ia harus melengkapi struktur pemerintahannya. Kalau penghulunya bergelar misalnya Datuk Malano, maka pembantu di bidang agama bergelar dengan Malin Malano, Fakih Malano, Labai Malano
dan lain sebagainya. Semua gelar itu dasari kepada bahasa-bahasa Umat Islam (bahasa Arab).
Selain pengaruh di atas, terlihat lagi dalam penulisan Tambo Adat Alam Minangkabau . Tulisan yang dipakai adalah tulisan Arab Melayu. Tambo-tambo lama itu disalin dari tangan ketangan seperti hikayat Syekh Jalaluddin yang diterbitkan di Belanda dengan judul Verheal Padri-Onlusten op Sumatra tahun 1857 dan naskah tuangku Imam Bonjol oleh Naali Sutan Caniago dengan judul Memorie Van Tuangku Imam Bonjol oleh De Stuerss dan banyak lagi naskah Arab-Melayu lainnya. Di sini tergambar keterpaduan antara adat dan Islam, terutama sekali dalam bidang kebudayaan. Sekaligus juga sebagai bukti bahwa unsur-unsur Islam sangat relevan dengan masyarakat Minangkabau. Hal itu tercermin sejak orang Minangkabau menerima Islam sebagai panutannya. Perpaduan itu lahir adalah setelah Islam intensif berkembang di Minangkabau yaitu pada masa Syekh Burhanuddin dan murid-muridnya. [42]
Begitu erat dan kentalnya adat di Minangkabau, sehingga antara adat dengan Islam sulit dipisahkan, sehingga lahir pada mulanya istilah Adat Basandi Syara', Syara' basandi Adat, namun dalam musyawarah Bukit Marapalam di zaman Paderi, lahirlah perpaduan yang lebih tegas dan sempurna, yaitu : Adat basandi syara', Syara' basandi Kitabullah. Sedangkan dalam pengaruh selanjutnya lebih nampak lagi dalam pepatah Minang, Syarak mengato adat memakai (antara adat dan Islam menegur), atau yang lebih tegas lagi adalah Syara' bertilanjang, adat bersisamping (ulama berbicara secara tegas dan tuntas, sedangkan adat berbicara dengan kata kiasan. ) Pergolakan dan pergerakan kehidupan
keagamaan sejak awal di
Minangkabau sampai berakhirnya
gerakan paderi dan munculnya Kaum Tuo dan Kaum Mudo dengan para pelaku ulama dan pemangku adat pada dasarnya berbasiskan di surau. Penyusunan konsep, srtategi perjuangan
dan basecamp nya mengambil tempat pada
surau-surau yang sekaligus tempat
kediaman para Tuanku dan ulama tersebut. [43]
Keberadaan seorang ulama lebih ditentukan oleh dukungan
dan pengakuan pemuka adat (penghulu). Dt. Tan Kabasaran, salah seorang
tokoh adat dan sekaligus seorang ulama
menceritakan anekdotnya dengan
gurunya Buya Abusamah, ketika membentuk Komite Nasional RI untuk
wilayah Bukittinggi. Untuk menentukan
ulama yang akan duduk
pada komite tersebut timbul
perdebatan apa yang menjadi ukuran keulamaan
seseorang, tanya saya kepada Buya
Abusamah, sebab ada ulama yang
benar alim, tetapi tidak mendapat pengakuan
dari ninik mamak,
dilain pihak ada ulama yang ilmunya
sekedar saja, tetapi
sangat diagungkan oleh ninik mamak. Ketika itu Buya Abusamah
mengatakan bahwa didaerah
Minangkabau ini ada dua tipe ulama,
Pertama ; ulama kepala kabau (kerbau),
artinya seseorang yang diangkat dengan
prosedur adat menjadi tuanku (ulama) meskipun ilmunya belum mencapai kualitas yang
sebenarnya. Ulama seperti ini cenderung
memihak kepada kaum adat
dan pemerintahan, sehingga fatwanyalah
yang menjadi patokan oleh kalangan adat
dan pemerintah. Akibatnya sering terjadi perbenturan pendapat dengan
ulama yang sebenarnya. Ulama kepala
kerbau ini yang menjadi alat kekuasaan untuk mendukung program-program kaum
adat dan pemerintahan yang
kadangkala tidak dapat diterima
oleh masyarakat. Bahkan
justru mengundang disintegrasi ulama dengan
masyarakat, surau dengan
masyarakat dan imlikasi lainnya yang tidak menguntungkan bagi
agama dan masyarakat itu sendiri.
Kedua ulama kepala maco (ikan asin), yaitu ulama yang benar-benar belajar agama
di surau dalam waktu yang cukup lama
dan penuh kesulitan, sehingga
makanannya kepala maco saja
(ikan asin saja). Ulama seperti ini secara keilmuan memiliki kemampuan yang
kuat, namun tidak mendapat dukungan atau
pengakuan (gelar) dari ninik mamak. Karena tidak memiliki hubungan
geniologis dengan kalangan adat. [44] Ulama di luar sistem adat ini meskipun fatwanya benar dan
punya dasar yang kuat dari agama
cenderung diabaikan oleh masyarakat, apalagi oleh kalangan adat dan pemerintah.
Ketidak berdayaan ulama, dalam artian yang sebenarnya ini, ikut
mempengaruhi rusaknya dan berubahnya pandangan masyarakat terhadap surau dan ulama
surau. Kenyataan ini dapat
dimaklumi sebagai akibat dari
pertentangan kaum adat dan golongan
agama sejak perang paderi dulunya. Ditambah lagi pemerintahan Belanda dan Jepang yang berkuasa pada saat sebelum kemerdekaan memang tidak
berpihak kepada kaum agama. Golongan agama kalaupun digunakan
oleh pemerintahan itu hanya untuk
kegiatan yang menguntungkan mereka saja.
Sedangkan kalangan ulama yang benar-benar
ingin membimbing dan mencerdaskan masyarakat, jelas menjadi batu penarung bagi
kelansungan penjajahannya.
Surau dalam terminologi
di atas pada dasarnya berada
dalam suatu struktur
kepemimpinan yang jelas
dengan pembahagian kerja
mereka masing-masing sebagai berikut :
Imam, yaitu orang yang
dituakan di surau yang
biasanya memimpin shalat jam’ah, sekaligus sebagai guru utama dalam
surau tersebut. Dalam tradisi masyarakat Minangkabau panggilan kepadanya
Angku Imam. Sedangkan cara
mendudukan iman di surau dilaksanakan melalui pemilihan dengan
kriteria yang paling alim dalam
masyarakat atau dalam suku
(marga)nya sendiri.
Khatib, yaitu orang yang bertugas menyampaikan khutbah pada
shalat Jum’at dan bertanggungjawab dalam melaksanakan dakwah
Islamiyah di surau tersebut. Khatib
dalam hal ini berfungsi sebagai kaki tangan oleh Angku Imam, atau boleh dikatakan
sebagai asisten angku imam,
atau sebagai sekretaris Angku Imam.
Bilal, yaitu
seorang yang dipercaya oleh masyarakat
sebagai mu’azin sebelum
shalat, sekaligus bertanggungjawab
tentang pemeliharaan surau dan
harta bendanya. Kadangkala bilal sangat boleh
jadi diidentikkan dengan
gharim surau. Bilal, dibandingkan dengan imam dan
khatib, jauh lebih berjasa
terutama dalam menghidupkan dan
memelihara keutuhan fisik surau
secara keseluruhan.
Amil,
yaitu mereka yang
bertugas melakukan kegiatan
urusan zakat mulai dari mencri para
muzakki sampai kepada mengelola, mengumpulkan, mencatat, menghitung, menyimpan
pada tempat yang disepakati dan mencari serta meneliti
para mustahik zakat dan membagikan
kepadanya secara patut sesuai
ketentruan ajaran agama.
Jama’ah.
Dalam hal ini jama’ah dibagi
kepada dua bagian yaitu :
pertama; jama’ah tetap yaitu orang yang rajin
ke surau untuk “shalat lima
waktu sehari semalam”.
Kedudukan jama’ah adakalanya murid dekat angku
imam, yaitu masyarakat sekitar surau dan
adakalanya orang yang sengaja
datang dari jauh
khusus untuk menuntut ilmu
agama kepada Angku Imam. Kedua jama’ah tidak tetap,
ialah orang-orang yang datang ke surau pada
waktu tertentu menurut keperluan
masing-masing, seperti minta obat, nasehat perkawinan (konsultasi keluarga),
bimbingan kerohanian atau
orang yahg tertentu singgah seperti orang
rantau pulang kampung atau
musafir yang kemalaman.
Struktur seperti di atas
sejalan dengan struktur adat
dalam masyarakat Minangkabau yang
dikenal dengan penghulu, manti, malin dan dubalang.
Penghulu adalah pimpinan
adat dalam kaumnya/sukunya yang
selalu berusaha untuk
ke[pentigan anak kemenakannya
dan masyarakat. Penghulu diangkat
atas kesepakatan kaum, yaitu orang yang dipilh oleh anak kemenakannya laki-laki atau
perempuan. Sesuai dengan pepatah adat “ Maangkek panghulu sakato kaum, maangkek rajo
sakato alam” ( mengangkat
penghulu disepakati oleh kaum
dan mengankat raja disepakati
oleh masyarakat umum). Penghulu memiliki kata
putus (mementukan keputusan terhadap anak kemenakan. Prinsip kepemimpinannya “ganting
putuih biang cabik “
( kata putus ditangannya) dan ia berfungsi sebagai pemegang kebenaran.
Manti asal katanya dari mantri, yaitu
orang -orang yang dipercaya membantu penghulu dalam
kaumnya. Dalam adat Minangkabau
disebut manti “ parmato
nagari” (cerminan
nagari) sebagai mediasi antara penghulu dengan kemenakannya, atau ulusan jari
sambungan lidah oleh penghulu, tapi
adakalanya manti dalam s uku tertentu tidak diadakan. Manti adalah orang
cerdik pandai yang dipercayai oleh seorang penghulu dan
diterima oleh masyarakatnya.
Prinsip kepemimpinan dalam
adat ( kato manti kato salasai) ( keputusan manti menyelesaikan masalah), karuh janih
kusuik salasai ( yang tidak baik menjadi
jernih, yang kusut menjadi selesai). Dengan
demikian manti berfung sebagai memberi penyuluhan hukum,
seperti hukum adat, hukum agama
dan hukum yang ada dalam
masyarakat. Di sini manti disebut
memegang kata pusaka.
Malin adalah sebutan untuk alim
ulama, sebelum Islam masuk ke
Minangkabau disebut dengan
Pandito, munkin dari kata Pendeta.
Malin adalah jabatan
fungsional dalam suku yang dipercayai oleh kaum, penghulu dan masyarakatnya. Malin inilah yang mengatur
kegiatan keagamaan pada sukunya masing-masing
melalui surau yang dibangun oleh suku tersebut. Malin sekaligus
berfungsi sebagai pelaksana
pendidikan keagamaan, dakwah dan kegiatan
keagamaan lainnya dilingkungan suku tersebut.
Prinsip
kepemimpinan malin adalah “
kata malin kato hakikat “ (
kata malin adalah kata yang sebenarnya). Malin
berfungsi sebagai suluah bendang
dalam nagari, tahu halal dengan haram, tahu sah
dengan batalnya. Malin
biasanya lebih banyak mengurus masalah-masalah agama Islam,
seperti mengurus nikah,
talak, rujuk, kelahiran, dan
kematian. Infak, zakat
dan kegiatan masjid/surau
yang di bawah sukunya.
Dubalang atau disebut
juga hulubalang adalah jabatan
fungsional adat dalam kaum yang dipilih oleh
kaum dan penghulu, bertanggungjawab kepada penghulu. Dubalang
berfungsi menjaga keamanan, pengawal
pemimpin, membantu tugas-tugas penghulu
untuk menjaga keamanan
nagari, bahkan di bidang keaamanan ini ia boleh bertindak sebagai seorang polisi. Prinsip kepemimpinan
dubalang adalah kata dubalang kata tegas ( mandareh, lunak disudu, kareh
ditakik) Kata dubalang kata
keras, lunak dapat diikuti,
keras juga dilawannya).
Dari empat jenis orang-orang
di atas dapat
ditarik pengertian bahwa Malin sebagai pemegang kunci keagamaan melalaui suraunya memiliki fungsi
yang strategis sekali didalam struktur adat Minagkabau. Tidak lengkap suatu suku tanpa adanya malin sebagai penjaga moral masyarakat. Keempat kelompok ini dalam sistem
adat Minangkabau dikenal dengan
sebutan “urang ampek jinih” ( orang
yang memiliki keputusan didalam nagari/suku.) Pepatah “Adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah” adalah merupakan puncak dari keseluruhan proses
persintuhan, perbenturan, penyesuaian dan perpaduan antara adat yang telah terlebih dahulu tertanan dalam kehidupan masyarakat Minangkabau dengan agama Islam yang datang kemudian. Kedatangan Islam
dengan ajaran menyangkut akidah
dan syariat tentang kehidupan sosial masyarakat Minangkabau tidaklah merusak sistem sosial yang telah ada sebelumnya. Hal ini
dapat diamati dalam
berbagai praktek kehidupan bermasyarakat , antara lain :Penyesuaian adat dengan agama tidak dengan menghancurkan tatanan lama, tetapi menciptakan tataran baru yang bersifat islami. Cara bentuk penyesuaian ini berarti
Islam menyempurnakan bentuk bangunan adat lama. Misalnya;
lembaga raja adat
yang mengurus maslah pemerintahan dibentuk dengan mengadakan lembaga raja ibadat yang khusus mengurus masalah keagamaan, sehingga dikenal dengan sebutan “ Rajo
dan Tigo Selo ” , ( Raja tiga kedudukan) yaitu raja
adat di Buo, Raja Ibadat di Sumpur
Kudus dan Raja Alam
di Pagaruyung.
Demikian juga halnya
dalam kekuasaan pemerintahan
disamping dilakukan oleh Rajo Tiga Selo, juga dibantu oleh
dewan menteri yang disebut dengan “ basa ampek balai” (empat
orang besar pemerintahan), yaitu : Andomo di Saruaso, Tuan Kadi
di Padang Ganting, Mangkhudum di Sumanik dan Tuan Gadang
di Batipuh. Tuan Kadi di Padang
Ganting adalah orang yang
secara khusus memiliki kewenangan untuk menyelesaikan
urusan beragama islam. Begitu juga halnya dengan tingkatan yang lebih bawah, yaitu dalam suatu perangkat satu nagari
atau suku, yang sbelumnya terdiri dari penghulu, manti dan
dubalang, kemudian ditambah dengan jabatan baru, yaitu Malin sebagai
pejabat agama. Keempat orang
ini disebut dengan
“orang empat jinih (orang
empat jenis). Mereka yang
berempat ini merupakan wakil
dari empat usur pimpinan
masyarakat. Penghulu mewakili ninik mamak (pimpinan suku), malin
mewakili alim ulama (pemuka agama), manti
mewakili cendikiawan/cerdik pandai,
sedangkan d ubalang mewakili generasi
muda. Masing-masing mereka memiliki kewenangan dan
pendapat, seperti yang tertuang dalam pepatah adat : “ Kato penghulu kato manyalasai, kato manti kato barubung, kato malin kato hakikat dan kato dubalang kato mandareh. Artinya (pendapat penghulu selalu menyelesaikan masalah, pendapat manti menjadi perantara dengan
masyarakat, pendapat ulama, pendapat yanhg sebenarnya,
sedangkan pendapat dubalang
(militer) bersifat mengikat.
Orang empat jenis
di atas merupakan penanggung jawab kehidupan sosial, agama, dan
kemasyarakatan sesuai dengan kedudukan dan fungsinya
masing-masing, seperti yang digambarkan
dalam pepatah adat “Penghulu
tagak dipintu adat, malin tagak dipintu syara', manti tagak
dipintu susah, dubalang tagak dipintu mati ( Penghulu pemegang kekuasaan
adat, malin pemegang kekuasaan syara'
(agama), manti pemegang kehiudpan sosial kemasyarakatan, sedangkan dubalang
bertanggungjawab dalam pertahanan dan keamanan). Keterpaduan adat
dan syara' seperti di atas juga dapat diamati pada tingkat
yang paling bawah dalam masyarakat Minangkabau masa lalu.
Misalnya dalam persyaratan adanya sebuah nagari
di samping memenuhi persyatan adat,
yaitu ssuku nan
ampek (suku yang
empat), galanggang sebuah,
labuh (jalan), tapian, sawah
ladang, pandam pakuburan dan balai adat. Kemudian harus dilengkapi
dengan musaji' (masjid) dan surau sebagai lembaga
keagamaan dan tempat ibadah kaum muslimin. Di sini
dapat dikatakan bahwa surau dan
mesjid memiliki hubungan yang
tak dapat dipisahkan
dari keberadaan suatu nagari. Tidaklah
bernama suatu nagari, jika tidak ada masjid
dan surau. Untuk mendukung terlaksananya kegiatan di
mesjid dan surau, maka dalam suatu nagari dibentuk perangkat tuanku, malin, labai, khatib dan bilal nagari. Tuanku Nagari
bertugas menjadi pemimpin agama dan sekaligus
pemegang kekuasan di surau dan
masjid. Malin, Labai, Khatib
dan Bilal nagari, merpakan orang-orang yang membantu tuanku di bidangnya masing-masing. Tuanku nagari bukanlah personil satu orang,
tetapi dia merupakan jabatan yang
meliputi empat bidang. 1. Tuanku kadi mengurus masalah
nikah kawin, 2. Menuangkanku
imam menjadi imam tetap di masjid/surau, 3. Tuanku khatib bertanggungjawab dalam bidang dakwah dan khutbah, 4. Tuanku bilal menjadi juru penerang agama Islam dan mu'azin. [45]
Surau sebagai lembaga tarekat merupakan pusat Tarekat
Syathariyah di Ulakan, di pantai Barat Sumatera (di sebelah utara kota Padang).
Pengaruh Ulakan bagi perkembangan Islam di Minangkabau cukup besar sehingga
dalam tradisi sejarah dikalangan para ulama sering dianggap bahwa kota kecil
ini adalah sumber penyebaran Islam. Bahkan, bukan tak mungkin peranan ini
menimbulkan diktum yang terkenal dalam tambo Minangkabau, “ Syara’ mendaki, adat menurun “.
Namun yang pasti ialah bahwa dengan Ulakan tradisi surau atau pesantren,
sebagai pusat pengajaran dan pusat pemupukan ilmu pengetahuan keagamaan,
bermula di Minangkabau. Dari sinilah “silsilah” atau mata rantai surau-surau
dimulai. [46]
Melalui pendekatan ajaran Tarekat
Syathariyah, Syekh Burhanuddin menanamkan ajaran Islam kepada masyarakat
Ulakan. Dengan ajaran yang menekankan
kesederhanaan, lebih
mengutamakan masalah “batini”,
maka Tarekat Syathariyah berkembang
dengan pesat. Bahkan sampai saat ini di Ulakan
Pariaman Tarekat Syathariyah masih tetap eksis.[47] Surau Ulakan
sebagai lembaga pendidikan dan keagamaan yang pertama di Minangkabau sangat
besar pengaruhnya bagi pengembangan Islam ke seluruh pelosok alam Minangkabau.
Tumbuhnya surau sebagai lembaga pendidikan agama dan tarekat terus berkembang
pesat. Setiap Ulama Minangkabau memiliki surau sendiri, baik sebagai tempat pelaksanaan
pengajaran agama maupun Tarekat. Pada era ini, perkembangan tarekat menemukan
momentumnya, sehingga dapat dikatakan eksistensi surau bukan saja menunjukkan
suatu jenis lembaga pendidikan masyarakat, akan tetapi lebih dari itu
menunjukkan bentuk Tarekat yang dianut oleh suatu komunitas masyarakat Islam
Minangkabau.[48] Bahkan pada masa ini, fungsi surau terkadang
lebih dominan sebagai tempat praktek tarekat, ketimbang sebagai lembaga
pendidikan. Setiap surau di Minangkabau, memiliki otoritas tersendiri, baik
dalam praktek tarekat maupun penekanan cabang ilmu-ilmu keIslaman.
Pilihan Syekh Burhanuddin menjadikan surau sebagai basis
pengembangan Islam di Minangkabau menjadi sesuatu yang sangat menentukan dalam
kehidupan keagamaan di Minangkabau untuk masa-masa berikutnya. Segera setelah
ia kembali dari Aceh, Burhanuddin mendirikan surau Syathariyah, sebuah lembaga
pendidikan sejenis ribat, di
Ulakan. Tak lama kemudian surau Ulakan termasyhur sebagai satu-satunya pusat
keilmuan Islam di Minangkabau. Surau yang dibangun tahun 1860 atas bantuan
seorang sahabatnya Idris Majo Lelo berlokasi di Tanjung Medan Ulakan, yang
selanjutnya menjadi pusat pengembangan Islam dan pusat pengembangan Tarekat
Syathariyah yang diajarkan oleh Syekh Burhanuddin kepada murid-muridnya dari
berbagai daerah di Minangkabau. Setelah Syekh Burhanuddin wafat tahun
1111H/1698M, maka tugas pengembangan Tarekat Syathariyah dipercayakannya kepada
Syekh Abdurrahman atau disebut dengan panggilan khalifah, ini khalifah pertama
Syekh Burhanuddin, khususnya dalam bidang Tarekat Syathariyah. Kemudian secara
berkesinambungan diteruskan oleh khalifah-khalifah yang lain; seperti
Khairuddin, Jalaluddin, Idris, Muhsin, Habibullah, Sultan Kisa’i, Abdul Madjid
Ibnu Latif, Abdurahim di Tapakis, dan Zainuddin serta beberapa nama lain sampai
saat ini. Di tangan mereka inilah Tarekat Syathariyah tumbuh berkembang serta
mengalami pergumulan dengan Tarekat lainnya, khususnya Tarekat Naqsabandiyah
sejak akhir abad ke-19. Begitu kuatnya pengaruh tarekat di kalangan
masyarakat, sehingga pada abad XIX M hampir semua ulama di Minangkabau
adalah penganut, pengamal dan penyebar satu atau beberapa tarekat. Dengan demikian, maka ulama yang memimpin
suatu surau sebagi pusat pengajian Al-Qur’an atau pengajian “kitab” juga
merangkap sebagai guru Tarekat… Surau Syekh Burhanuddin Ulakan di Tanjung Medan Ulakan Pariaman di
sampingsebagai pusat pengajarn dan penyiaran agama, juga berfungsi sebagai
pusat pengajaran dan penyebaran Tarekat Syathariyah.[49]
Peranan surau dan ulama Tarekat dalam gerakan keagamaan
ini, konflik antara ulama tarekat dengan
gerakan modernisasi (pembaharuan), konflik sesama ulama tarekat sendiri terjadi
berikut ekses yang ditimbulkan oleh konflik elit masyarakat ini pada kehidupan
dan keagamaan selanjutnya. Adalah suatu fakta bahwa gerakan ulama dan surau tarekat dalam proses
Islamisasi di Minangkabau tidak dapat
dinafikan begitru saja,disamping itu perlu ditemukan mata rantai yang
jelas antara gerakan Islam periode awal yang dimulai oleh Syekh Burhanuddin
Ulakan sampai munculnya ulama-ulama yang memiliki pemikiran pembaharuan.
Peranan surau sebagai lembaga
keagamaan bukan saja memberikan corak
dan warna pemahaman dan aktivitas keagamaan masyarakat, akan tetapi ia juga
membawa makna yang dalam dalam sturuktur sosial masyarakat Minangkabau. Ketika
Belanda berhasil menaklukan Paderi dengan mengunakan tangan kaum adat ,mereka
dengan sadar mengakui bahwa pengaruh orang
surau atau yang lebih dikenal dengan Orang Siak telah mencekam jauh kedalam susunan masyarakat
Minangkabau . Bahkan mereka adalah tokoh yang dengan gigih menjadi tiang
utama pengikat solidaritas sosial yang
sebeumnya telah dibangun kuat oleh adat
alam Minangkabau. Maka tidaklah mengherankan tak lama setalah Minangkabau dikeuasai oleh Belanda, seorang
pengulas Belanda menyebut bahwa “Kita duduk diatas volcano pengikut Muhammad”,
maksudnya tentu saja sewaktu-waktu kekuatan Islam itu akan muncul dan akan mengancam apapun
kesetabilan politik yang telah diletakan.
Memperhatikan betapa kuat dan eratnya hubungan adat dan
agama dalam sistim sosial kultur masyarakat Minangkabau, maka sangatlah
beralasan sekali Buya Hamka menyebut
bahwa hubungan timbal balik adat dan Syarak dalam kebudayaan Minangkabau adalah sangat solid dan tak dapat dipisahkan satu
dengan lainnya. Memperkatakan adat Minangkabau
tidak mungkin dipisahkan dari syara’, dari hukum, dari bayyinah dan
qarinah, dari ijtihad dan ilmu, dari Iman dan Islam, dari Allah dan dari Rasul.[50] Selanjutnya
beliau mengulas, bahwa gerakan ulama-ulama Islam Minangkabau selalu mengisi
adat-istiadat itu dengan keagamaan, dengan Iman dan Islam. Kalaupun pernah
terjadi sikap keras kaum Ulama, terutama dengan timbulnyaPerang Paderi,
bukanlah karena Islam memerangi orang kafir. Namun, kaum Ulama menantang adat
ketika adat itu telah membeku atau atas fitnah atau kepentingan kalangan adat
yang mencri keuntungan dari prestise yang meeka miliki, sehinga merugikan
perjuangan islam.
Dengan
adanya hubungan timbal balik adat dan syarak dalam kebudayaan Minangkabau yang
kemudian dilengkapi dengan dibangunnya intitusi keagamaan yang diterima luas
dalam sturktur adat maka kemudian ia dapat mendorong dinamika keagamaan masyarakat
Minangkabau berjalan begitu cepat
dan mendasar. Pendekatan persuasif dan
penyesuaian serta akomodasi yang
dipakai yang dipakai oleh ulama priode
awal kemudian tidak memadai lagi untuk
membersihkan ummat dari pengaruh budaya non Islam. Ujung dari ini semua
melahirkan suatu dinamika panjang dalam sejarah Islam di Minangkabau . Para
peneliti umumnya mengelompokan ummat
Islam itu pada dua kutub yang saling berhadap-hadapan. Mereka menyebut kepada
kelompok Tradisionil dan Modernis.
C. Islam Tradisional di Minangkabau.
Mendifinisikan apa yang disebut dengan tradisionalisme
islam memerlukan sudut pandang yang luas dan konperhensif, hal ini disebabkan
oleh tidak adanya istilah bahasa Indonesia yang dapat mencakup seluruh rangkain semantik dari konsep tradisionalisme ini. Dari segi bahasa tradisionalisme berasal dari akar kata tradisi. Tradisi adalah kebiasaan yang diwariskan dari satu generasi
ke generasi berikutnya secara turun temurun. Kebiasaan yang diwariskan mencukup berbagai nilai budaya, yang meliputi adat istiadat, sistem kemasyarakatan, sistem pengetahuan bahasa, kesenian, sistem
kepercayaan dan sebagainya. Seorang individu dalam proses masyarakat mengalami proses belajar dan berindak sesuai dengan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam masyarakatnya. Nilai budaya yang menjadi pedoman bertingkah laku bagi masyarakat adalah warisan yang telah mengalmi proses penyerahan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Proses ini menyebabkan nilai-nilai budaya tertentu menjadi tradisi yang biasanya terus dipertahankan oleh masyarakat tersebut [51] .
Dalam konteks pemikiran keagamaan terma tradisi memiliki cakupan yang luas sekali. Fazlur Rahman menulis bahwa tradisi adalah metodologi berpikir dalam agama yang sangat diperlukan untuk menenpatkan Islam dalam merespon perkembangan zaman. Mohammed Arkoun, seperti yangditulis oleh Suadi Putro dalam bukunya Islam dan Modernitas …..Bagi Arkoun, tradisi memiliki dua arti : tradisi dengan t kecil dan Tradisi dengan t
besar. Yang pertama memiliki arti umum dan kuno, kuno, yang terdapat pada masyarakat semua manusia sebelum datangnya wahyu agama-agama. Sedangkan tradisi dalam arti yang ideal adalah Tradisi Ilahi yang tidak dapat diubah oleh manusia. Tradisi ini merupakan pengungkapan kenyataan abadi yang mutlak. Tradisi yang terakhir ini selama dua puluh tahun di Mekah dan Medinah telah bergumul dalam kancah sosial dan budaya yang terbunuhnya, setelah itu menjelma menjadi tradisi Islam yang berkembang dengan sejarahnya sendiri. [52]
Pengertian tradisi di sini ditujukan pada warisan masa lalu yang terpelihara sebagai hasil dari persintuhannya dengan budaya dan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, maka dapat juga disebut bahwa terma tradisionalisme yang berarti kelompok atau paham yang memiliki sikap dan pandangan hidup
“tradisional” atau “mengikuti tradisi” bila dikaitkan dengan Islam, maka
terma tradisi menyiratkan suatu yang sakral, seperti disampaikan kepada manusia melalui wahyu maupun pengungkapan dan pengembangan peran sakral itu didalam sejarah kemanusiaan tertentu untuk mana ia dimaksudkan, dalam satu cara yang mengimplikasikan baik keseinambungan horizontal dengan Sumber maupun mata rantai vertikal yang menghubungkan setiap denyut kehidupan tradisi yang sedang diperbincangkan dengan realitas transenden metahistorikal. Tradisi bisa berarti ad-din dalam pengertian yang seluas-luasnya, yang mencakup semua aspek agama dan percabangannya; bisa pula disebut as-sunnah, yaitu, apa-apa yang – berdasarkan model-model sakral- sudah menjadi tradisi sebagaimana kata ini umumnya dipahami; bisa juga diartikan silsilah , yaitu rantai yang mengaitkan setiap priode, episiode atau tahap kehidupan dan pemikiran di dunia tradisional kepada Sunber, seperti tanpa demikian gamblang di dalam Sufisme. [53]
Dalam
wacana pemikiran islam kata “tradisi”
atau “tradisional” sering digunakan sebagai
lawan dari kata “moderen” atau “modernitas”. Dalam keilmuan yang lebih luas
kata “tradisi” memiliki beberapa
pengertian. Diantara konsep yang paling sering disebut sebagai tradisi adalah “hadis ,sunnah, dan adat” Ketiga konsep ini secara
langsung memiliki akar yang kuat dengan pengertian tradisionalis, khususnya
tradisionalis di Indonesia. Hadis atau Sunnah adalah elemen pokok dari kalangan
tradisonalis, sehingga secara eksplisit mereka menyebut dirinya sebagai
Ahlusunnah wal jama’ah (aswaja),
pengertian ini secara lugas memberikan penjelasan bahwa kaum
tradisionalis adalah pihak yang dengan sungguh-sungguh membela hadis sebagai
sebuah tradisi yang diterima secara
shahih, melalui sanad yang kuat. Konsep ini sekaligus menjadi pembeda
tradisionalis dengan kalangan modernis
yang lebih mengedapan rasio, sehingga sering disebut sebagai kelompok
rasionalis, yang lebih mendahulukan rasio (hasil pikiran) dari sunnah. Para
tradisionalis memiliki pandangan yang tegas tentang sunnah. Sunnah meskipun
secara literal ia hanya merupakan laporan (reports) atas segala perkatan, perbuatan dan
tindakan nabi Muhammad SAW, namun bagi
tradisonalis diyakini bahwa kata-katanya berasal dari Muhammad sendiri. Maka
dengan demikian semua hadis mestilah menjadi
doktrin dan norma-norma prilaku
yang otorotatif. Bahkan Hadis
jauh lebih luas pengaruhnya dalam kehidupan muslim, dibanding al-qur’an, karena
tidak ada kepercayaan atau praktek keagamaan
yang ujungnya tidak diabsahkan
oleh hadis. Pembelaan mereka terhadap hadis seringkali menjadikan ulama
tradisionalis, tidak begitu memperhatikan tentang orisinilitas hadis itu
sendiri. Akibatnya, perdebatan tentang hadis, apakah sahih atau tidak juga menjadi salah tema menarik dalam wacana
keagamaan antara tradisionalis dengan modernis.
Dalam
pergulatan pemikiran Islam di Indonesia sejak
akhir abad ke XIX yang lalu konsep tradisionalis mengalami reduksi pengertian. Kalangan tradisional atau kalangan yang
mempertahankan tradisi adalah mereka dengan segala upaya mengidenfikasikan diri
atau kelompoknya sebagai pihak
berpendirian dan berusaha
mempertahakan pendiriannya
terhadap serangan kalangan
modernis yang anti pada tradisi dengan segala konsekwensinya. Di antara tradisi
yang telah menjadi kepercayaan dan praktek keagamaan kalangan tradisionalis,
sehingga mereka berbeda dengan modernis adalah;
masalah otoritas hadis dan pemeriksaan terhadap perawi dan riwayatnya,
masalah apakah harus berpegang pada mazhab atau setiap orang harus merujuk
langsung kepada Al-qur’an dan Hadis (Masalah Mazhab, Tajdid dan Taqlid),
penghormatan kepada guru atau orang saleh ( haul dan upacara kematiam,
sebagai tradisi yang sudah lama hidup
dalam masyarakat), dan masalah-masalah yang muncul akibat perkembangan
modernisasi dalam masyarakat. Masalah-masalah diatas lebih menekankan pada aspek membicarakan kedudukan
Islam dalam masyarakat.
Pembicaraan
mengenai kedudukan Islam dalam masyarakat,
khususnya di daerah Minangkabau, adalah suatu yang menarik dan telah
menjadi kajian luas dilingkungan peneliti
baik dalam negeri maupun oleh peneliti
asing. Masalah pokok yang sampai saat terakhir belum lagi bisa dijawab secara
tuntas adalah tentang kategorisasi yang diberikan terhadap penganut Islam, bila
dilihat dari praktek dan paham keagamaan yang dianutnya. Kategori tradisionalis dan modernis yang
telah lama dipopulerkan seolah-olah
tidak mampu mewakili dari prilaku dan praktek keagamaan dari kedua belah pihak. Kaum
tradisionalis umumnya dianggap
terkebelakang dan cendrung mapan (mempertahankan status quo) dalam
pemahaman mengenai masyarakat dan
pemikiran islam. Hal ini karena keteguhan mereka dalam memegang hukum Islam ortodoks
(yaitu, Mazhab sunni atau aliran hukum-hukum Islam), yang mengantarkan mereka pada penolakan terhadap moderitas dan
pendekatan rasional dalam kehidupan. Demikian juga dalam bidang teologi, mereka
sangat ketat mengikuti teologi skolastisisme Al-As’yari dan Al-Maturidi, yang
telah membuat mereka berpandangan fatalistik
dengan menyerahkan sepenuhnya hal pada kehendak Tuhan dan tidak menerima
paham kebebasan berkehendak, serta pemikiran bebas manusia. Selajutnya para
tradisionalis itu juga dituduh mengabaikan masalah-masalah duniawi dalam
praktek ritual mistisisme Islam(tasauf). Aktivitas mereka dalam organisasi sufi
(tarekat) memperlihatkan pengabaian mereka
terhadap keduniawi, dan sebaliknya, hanya berorentasi pada kebahagiaan
di akhirat kelak. Dengan pandangan dunia tersebut, para tradisonalis ini sering dicap sebagai
kelompok masyarakat pasif dan acuh tak
acuh terhadap tantangan dinamik moderniasi, sebuah komonitas di mana para Kiyai
(ulamanya) memegangi secara ketat tradisi yang mati. [54]
Gambaran
tradisionalisme diatas telah menempatkan
kaum tradisionalis sebagai kelompok yang secara diametral bertentangan dengan kaum modernis. Kenyataan ini sering
diperlihatkan oleh kalangan tradisionalis dalam bidang pemikiran keagamaan dan
sikap keagamaan yang kaku dan statis
sementara kalangan modernis progresif dan dinamis. Pengkategorian antara tradisionalis dengan modernis dengan
mengacu pada sikap dan pemikiran keagamaan antara dua kelompok ini telah
menjadi pemicu yang kuat menimbulkan
pertentangan antara dua belah pihak. Dalam kasus di Minangkabau misalnya reaksi terhadap
penyebaran pembaharuan pertama kali muncul dari kalangan adat serta dari kalangan agama yang bersifat
tradisi[55]
Kalangan adat dan kalangan agama yang
bersifat tradisi ini pada dasarnya kedua kelompok ini memiliki akar
pemikiran yang sama, yaitu sama-sama
cendrung pada kemapanan, statis dan ingin tetap mempertahankan tradisi
serta kebiasaan masa lalu, sulit menerima pembaharuan yang datang, sebab
dikhawatirkan akan merobah tradisi yang mereka telah warisi sejak lama.
Sisi
lain yang juga menjadi karakteristik kalangan tradisionalis adalah mengenai aktualisasi dan tingkah laku
politik kalangan mereka. Memperhatikan
pada pandangan ideologi dan tingkah laku politik NU di Jawa
sebagai representasi kalangan tradisionalis, PERTI atau Tarbiyah di
Minangkabau, yang oleh sementara pihak dituduh
sebagai pihak yang lebih
mendahulukan kepentingan materi dan sosial ketimbang kepentingan keagamaan.
Tuduhan ini tidak sepenuhnya benar,
karena bagaimanapun juga perbedaan
pendapat dan penafsiran kalangan ulama dan pemimpin organisasi tradisional ini
terhadap masalah-masalah politik yang
ada, tidak lain, kecuali karena luasnya akses kelompok ini
kepada khazanah politik Islam masa lalu. Maka, beralasan sekali pendapat yang
menyebutkan bahwa sikap politik akomodatif dan pragmatis yang dipakai oleh
kalangan tradisionalis merupakan pilihan politik yang didasarkan pada
pertimbangan yang matang dan memiliki argumen yang kokoh. Dalam kasus
tradisionalis di Minangkabau yang di representasi oleh PERTI misalnya, sikap kooperatif terhadap
pemerintah yang hampir selalu di tampilkan oleh PERTI dalam antisipasi
kehidupan politiknya, Alaidin menyebut, sering pihak luar mencap organisasi
ini sebagai organisasi yang tidak
berpendirian, tidak “bernafas” dan hidup menupang “biduk” orang . Padahal
menurut Rusli Abdul Wahid seorang tokoh
sentral Perti yang ikut “membidani” lahirnya organisasi ini, sikap tersebut
lahir dari suatu pandangan mendasar kalangan sunni (Ahl al-Sunnah wa
al-jamaah) tentang
bagaimana seharusnya prilaku politik seorang
muslim terhadap pemerintah yang sah.[56]
Berkaitan
dengan masalah kepemimpinan dan distribusi kekuasaan dikalangan tradisionalis
juga satu bentuk kekhususan yang mereka miliki.
Peran Ulama, Kiyai di Jawa, Syekh atau Tuanku di Minangkabau, memiliki
otoritas yang absolut dilingkungannya,
bahkan mereka relatif bisa dikatakan menguasai pengambilan keputusan di dalam organisasinya. Meskipun Musyawarah tertinggi dalam organisasi mereka
telah memutuskan atau menetapkan suatu keputusan, akan tetapi apabila keputusan
itu tidak mendapat pengesahan dari Kiyai
atau Tuanku sesepuh mereka, maka keputusan itu tidak akan berlaku efektif.
Pemberian kekuasaan pada Ulama itu
adalah refleksi dari sikap kepatuhannya kepada tradisi keagamaan yang mereka
anut, yaitu menghormati sang guru. Mengenai seberapa jauh hegemoni ulama
terhadap pengikutnya ini terdapat perbedaan yang signifikan antara tradisionalis di Jawa
dengan Minangkabau. Di Jawa peran Kiyai begitu kuat, khususnya Kiyai di
Psanteren, karena Pasanteren itu pada
umumnya milik keluarga Kiyai, maka segala keputusan dan kepemimpinan sepenuh di
tangan sang Kiyai. Lain halnya di Minangkabau, peran Tuanku atau Syekh,
meskipun ia punya Psanteren di Minangkabau
dulu disebut dengan Surau, akan tetapi
masyarakat tetapi dapat mengontrol
organisasi surau, sebab surau biasanya tidak sepenuhya milik sang Tuanku
atau Syekh. Di tambah lagi perbedaan kultur
antara masyarakat Jawa yang cendrung feodalistik dan paternalitik dengan masyarakat Minangkabau yang egaliter
dan mandiri.
Dalam
kasus Tradisonalisme Minangkabau meskipun sudah sedikit terbuka, karena memang
kondisi sosio-kultural masyarakat Minangkabau yang demikian terbuka dan egeliter, namun dalam
kepimpinan kaum tradisionalis masih tidak jauh beranjak dari kerangka
paternalistik. Contoh yang paling menarik dapat ditemukan pada sistem
kepemimpinan dalam organisasi Jamaah
Syathariyah, sebuah organisasi yang menghimpun penganut tarekat Syathariyah di Sumatera Barat dan
sekitarnya. Salah satu prinsip dan mekanisme
dasar dalam proses pergantian kepemimpinan organisasi yaitu adanya wewenang (hak istimewa) yang dimiliki oleh seorang guru (Syekh atau
Tuanku) untuk menunjukan pengantinya. Hak
itu disebutnya dengan washiyah. Penunjukan melalui wasiat ini dapat
dilakukn seorang ketika ia masih hidup atau sudah mati melalui rukyah shadiq
(mimpi yang benar). Proses pergantian ini sangat rahasia, hanya sang guru
yang tahu sendiri.[57]
Disamping itu sisi lain yang juga merupakan ciri khas
kalangan tradisionalis adalah mengenai respons mereka terhadap perubahan sosial
dan modernitas. Kalangan Islam tradisionalis yang umumnya dianggap bersikap
konservatif dan curiga terhadap perubahan telah menjadikan kelompok ini sebagai
sasaran ejekan bagi kelompok modernis. Selektifitas kalangan tardionalis dalam
menerima pembaharaun telah menjadikan kelompok ini terlambat dalam menyesuaikan
diri dengan perkembangan yang ada, akibatnya kalangan tradisionalis dituduh
sebagai ummat yang kolot, kuno., jumud, fanatik dan pemelihara kesesatan.
Tuduhan dan jargon-jargon negatif ini telah menjadikan mereka semangin sulit
dim asuki kelompk modernis. Bukan tidak
mungkin pula kuatnya kelompok tradisionalis ini disebabkan oleh arus balik yang ditimbulkan oleh kalangan modernis yang dengan gencar menyerang dan
menyudutkan mereka dalam berbagai event.
Stereotipe
ketidakberubahan kalangan tradisonalisme Islam
seperti disebutkan diatas, saat ini tidak sepenuhnya dapat diterima.
Perubahan intelektual dan keagamaan yang
lebih luas tengah terjadi di kalangan tradisionalisme Islam Indonesia. Dinamika
kalangan tardisionalis NU di Jawa dan Perti atau Tarbiyah di Minangkabau adalah
dua organisasi yang dapat dijadikan model dari perubahan
intelektual dan keagamaan itu. Kaum Nahdiyin di Jawa betapa dengan artikulatif
sekali dapat memanfaatkan warisan keilmuaan klasik dan bentuk-bentuk masa lalu
serta tradisi untuk melakukan reformasi
dan perubahan dalam berbagai pandangan kehidupannya. Begitu juga halnya
orang-orang Tarbiyah di Minangkabau secara perlahan tapi pasti mereka
tengah mengalami masa perubahan berarti tanpa harus meninggalkan basis masa
lalunya. Mobilasasi pendidikan dari kader-kader kalangan tradisionalis telah
secara tegas mampu mengeser corak dan warna pemikiran keagamaan pendahulunya. Bahkan. Dalam kasus NU di Jawa, mereka
telah melampau jauh garis demarkasi tradisionalisme kalsik. Misalnya tindakan
Pengurus Besar NU membuka bank konvesional (bank riba) yaitu dengan mendirikan
Bank Nusuma,dan sikap radikal NU pada
pemerintahan. [58]
Demikian juga halnya kalangan tradisionalis di Minangkabau, mereka terpilah
pada dua kelompok, mereka yang
akomodatif dan dan koperatif dengan pemerintah bergabung dalam organisasi Tarbiyah
Islamiyah dibawah lindungan Golongan Karya, dengan segala konsekwensi mereka
mendukung program pemerintahan. Sedangkan
kelompok kedua mereka yang mengkritisi
kebijakan pemerintahan terutama yang
berkaitan dengan agama. Mereka bergabung dalam organisasi Perti dan menyalurkan
aspirasi politiknya ada Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kelompok kedua
inilah yang secara tegas masih tetap
konsisten pada tradisi dan sedikit
sekali mengalami perubahan dalam praktek
keagamaannya. Di komonitas kelompok kedua
ini khutbah Jum’at berbahasa arab, melihat bulan dengan rukyah, dan praktek keagamaan lainnya masih begitu kuat. Secara
umum kelompok Perti yang masih kuno dan kaku ini berada di daerah Pariaman,
Sijunjung, Pasaman dan Pasisir Selatan. Sedangkan Golongan Tarbiyah yang sudah
mengalami tranformasi keilmuan dan budaya yang agak sedikit maju berada di
wilayah Padang, Agam,Payakumbuh, Tanah Datar, Solok.
Identifikasi muslim tradisionalis
dan modernis bagi orang Minangkabau tidak bisa sama dengan muslim Jawa atau
daerah lainnya. Maka generalisasi terhadap kandungan konsep ini tentu bukanlah hal dapat
menyelesaikan masalah. Memperhatikan dinamika keagamaan sepanjang sejarah dan
pergulatannya dengan adat dan alam pikiran, maka ada benar
pendapat yang menyebutkan bahwa
orentasi keagamaan masyarakat Minangkabau itu pada dasarnya ada tiga corak, (1) Mereka
yang ingin mempertahankan dan melanjutkan tradisi agama yang telah mendapat
akomodasi oleh adat, mereka ini lebih
populer dengan sebutan kelompok
tradisionalis, (2) Aliran baru yang lebih bersifat ortodoks, yang pada mulanya
diperkenalkan oleh Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, seorang Ulama
Minangkabau yang pernah menjadi Imam dan Qadhi di Mesjid Haram Mekah pada awal
abad 20, (3) Kelompok kebangkitan baru , yaitu suatu aliran yang lebih dikenal
dengan “Modernisme” atau di Minangkabau di sebut “Kaum Mudo”.[59]
Ketiga-tiga kelompok diatas
memiliki kekuatan tersendiri dalam
masyarakat. Mereka yang cendrung mempertahankan dan melanjutkan tradisi yang
sudah diakomadasi oleh adat atau disebut
“Kaum Kuno” biasanya
banyak di pedesaan, merekalah
yang menjadi tulang punggung pembina agama di Desa. Ulama dan pemuka agama yang
mereka kuasai biasanya dikukuhkan oleh kalangan adat (penghulu). Maka dengan
demikian fatwa dan katanya banyak dipanut masyarakat. Untuk mempercepat lajunya
gerakan mereka pun mengabungkan diri dalam wadah organisasi , diantara
organisasinya adalah Persatuan Tarbiyah Islamiyah, PERTI, Persatuan Pembela Tarekat Indonesia
(PPTI) dan beberapa organisasi lainnya.
Sedangkan kelompok yang disebut sebagai “aliran baru ”mereka hidup dipusat-pusat ekonomi atau pemerintah
,mereka cendrung radikal dan puritan dalam bertindak dan bersikap. Mereka
umumnya orang-orang yang sudah terpelajar dan banyak membaca tentang dunia
Islam , sehingga mereka sering menentang
cara-cara pengamalan dan pemahaman kaum
tradisionil. Mereka adalah orang kritis
dan lebih rasional, kepercayaan kepada magis dan unsur-unsur syirik, seperti
tahyul dan khurafat adalah musuhnya yang sangat berat sekali. Rujukan mereka
dalam menetukan pilihan pendapat adalah Ibnu Taimiyah dan modernis Islam lainnya.Kelompok ini
direpresentasikan oleh mereka yang berasal dari lingkungan Pendidikan Thawalib
dan orang yang sepaham dengannya, misalnya mereka yang bergabung dalam
organisasi Persatuan Islam (Persis.) Sedangkan kelompok yang dikatakan “Modernisme” Islam adalah generasi
kedua setelah aliran baru diatas. Mereka adalah orang yang telah disintuh modernisasi, terutama
dalam bentuk pemikiran dan budaya hidupnya. Mereka dengan tegas menempatkan dirinya secara utuh,
tidak perlu terpengaruh atau dipengaruhi oleh pemikiran ulama masa lalu.
Kebebesan berpikir dan mengeluarkan pendapat adalah jargon yang di
dengung-dengungkan. Sedangkan dalam bidang agama mereka menyebut “ kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis”
.Impelementasi kembali pada al-qur’an
dan hadis dalam artian adalah bahwa
bebasnya setiap orang menentukan pendapatnya, tidak perlu lagi terikat
dengan pendapat ulama sebelum kita. Mereka menyebut juga bebasnya
berijtihad bagi yang mampu. Kelompok
ketiga inilah yang disebut “Kaum Mudo”. Kelompok terakhir ini mereka biasanya bergabung dalam organisasi
kaum modernis, misalnya Perserikatan Muhammadiyah.
Mengemukanya wacana tradisionalis dan modernis sejak abad
19 lalu itu jika diamati secara mendalam bukan tidak mungkin ia lebih
disebabkan kepentingan kelompok, individu dan
buah dari politik adu dombanya Belanda, karena bagaimanapun juga
perbedaan itu terjadi tidak lebih dari masalah-masalah furu’iyah atau lebih
populer dengan sebutan masalah khilfiyah
. Khilafiyah itu adalah perbedaan interpretasi para ulama dalam memahami masalah keagamaan
yang punya hubungan dengan tradisi yang telah lama berlangsung di dalam
kehidupan masyarakat. Akibat dari perbedaan interpretasi itu melahirkan dua
kubu pemikiran satu diantaranya mereka
yang mendukung cara-cara
penyiaran Islam melalui penyesuaian dengan sistim dan tradisi yang sudah mapan, mereka akhirnya
dikenal dengan sebutan Kaum Tuo atau
disebut juga golongan tradisionalis. Mereka yang dijuluki sebagai golongan tradisioalis ini
memiliki pengaruh dan kekuatan masa pada desa-desa dan sedikit sekali di
perkotaan, mereka memiliki basis pengembangan pemikirannya pada Surau atau halakah- halakah ditempat ulamanya .
Dan yang lain Ulama yang dengan tegas menolak cara penyesuaian atau bersifat
akomodatif dengan tradisi dan budaya
yang ada dalam masyarakat, mereka dengan tegas dan lugas mengkritik praktek keagamaan yang dilakukan oleh ulama
tradsionil atau kaum kuno, kemudian menawarkan cara tegas dan keras dalam
menegakan Islam, mereka itu kemudian
diidentifikasi sebagai Kaum Mudo atau golongan Modernis.
Kalangan Modernis dalam menyebarkan paham dan pemikirannya melakukan inovasi
dan kreasi yang luar biasa pengaruhnya dalam mendorong lahir corak baru dalam
pemikiran Islam di Minangkabau. Diantara inovasi itu adalah merobah Surau
mereka menjadi Madrasah, seperti Madrash Thawalib,melaklukan pengajian umum dalam bentuk Tabligh akbar dan
sebagainya.
Pengelompokan masyarakat Minangkabau
pada Islam tradisionalis dan modernis tidaklah bisa disamakan corak dengan masyarakat Jawa. Perbedaan kulturaldan budaya
antara dua masyarakat ini turut memberikan
warna baru pemahaman dan dinamika keagamaan antra komonitas ini. Islam
tradisionil di Jawa dengan kultur feodal yang begitu kental berpusat pada Pesantern dan Kiyai .
Pesantern dan Kiyai adalah dua intitusi yang sangat berperan aktif dalam menentukan corak pemahamam
masyarakat, dapat juga dikatakan kedua
institusi ini adalah porosnya kalangan tradisionalis. Fatwa yang dikeluarkan seorang Kiyai yang memiliki
Pesateren ternama akan menjadi referensi utama bagai
masyarakat sekitarnya. Sedangkan di Minangkabau yang memiliki budaya egaliter
dan demokratis posisi Surau dan Ulama yang menjadi pemimpin di Surau tidak
seluas Psanteren dan Kiyai di Jawa. Ulama
dan Institusi surau yang dipimpinnya bukan sepenuhnya berada dibawah gengamam sang
Ulama, akan tetapi ia disurau memiliki fungsi terbatas sebagai pemberi nasehat. Dalam petitih Minang disebut. Ulama
itu ka suluah bendang dalam
Nagari, ka pai tampek ba tanyo,ka pulang
tampek babarito (Ulama hanya untuk pemberi nasehat di Nagari serta menjadi
tempat bertannya atau melaporkan sesuatu yang ditemukan di tempat lain).
Dalam kaitanya dengan Konsep
Tradisonalias dan Modernis serta pengaruhnya dalam masyarakat Minangkabau sejak masa awalnya wacana ini telah mengalami
perubahan yang signifakan sekali. Jika
dahulu golongan tradisionilis itu
diidentikan dengan kuno, tidak mempunyai
akses ke pusat modernisasi, informasi dan stagnan dalam berpikir. Justru
sekarang golongan tradisionalis telah mengalami mobilisasi vertikal yang
luas dan dapat menyesuaikan dirinya
dengan perobahan yang terjadi. Ketika
mereka membicarakan soal-soal kehidupan mereka sudah tidak lagi terjerat oleh
konsep teologis pasrah pada nasib dan takdir, tetapi mereka sudah melintasi
wilayah itu dengan konsep ikhitiyar
dan kreatifitas yang tinggi. Sedangkan ketika pembicaarn soal keagamaan yang
bersifat teologi (aqidah) mereka masih setia pada khazanah lama, seperti
pemikiran ketauhidan Ahlusunnah waljmaah
dan tarekat masih dominan dalam prilaku beragamanya. Sementara, kalangan yang mengaku sebagai modernis malah
terjebak pada pemikiran stagnan, seperti ketidaksiapan kalangan modenis Minangkabau yang direpresentasikan oleh
Muhamadiyah menerima pikiran moderen
yang ditawarkan oleh ulama klasik dalam
bentuk mazhab. Mereka terpaku pada pemikiran satu arah yaitu warisan
intelektual yang bersumber dari jalur Ibnu Taimyah dan segenap jajarannya.
Menafikan khazanah lama itu pertanda ketidaksiapan mereka menyaring pikiran
baik dari beragam sumber yang ada.
Menempatkan Islam tradisionalis sebagai kaku dan mengalami
stagnasi perlu dikaji ulang, sebab semangkin banyaknya pengikut ulama
tradisionalis dan semangkin maraknya praktek
tarekat atau ziarah yang berada dibawah koordinasi guru tarekat, ini
menunjukan bawa Islam tradisionalis
masih memiliki vitalitas, memiliki kekuatan sosial, kultural dan
keagamaan yang tidak beku tetapi mengalami perubahan. Pandangan “konservatif”
Ulama tradisionalis
(Tuanku,Imam,Labai,Khatib di Ulakan dan yang berhubungan dengan nya)
ternyata bukan menghasilkan sistem yang
statis, tetapi suatu sistem di mana perubahan-perubahan yang dilakukan terjadi
secara perlahan-lahan dan melalui tahap-tahap yang tidak mudah diamati. Dalam
sebuah wawancara dengan Ulama yang memiliki Surau dan suraunya mempunyai pengaruh luas di masyarakat ia
menyebutkan: ”Pembaharuan dan perobahan adalah alami, akan tetapi dalam masalah
keagamaan pembaharuan bukanlah pada segi ajarannya tapi pada cara menyampaikannya“[60] . ketika
diamati dilapanganpun demikian adanya Tradisionalis Islam di Minangkabau saat
ini telah berobah cara pandang mereka dalam menempatkan soal yang perlu
dilakukan perubahan dan masalah lain yang bersifat permanen. Misalnya, Surau Tuanku Kuning Zubir di Pakandangan Pariaman disamping masih mempertahankan diri
melakukan pengajian kitab kuning sistem halakah, mereka memberikan kesempatan
kepada muridnya untuk mengembangkan diri pada bidang lain yang diminatinya.
Santri diberikan kebebasan untuk memasuki Sekolah Umum (SLTP dan SMU) pada siang hari dan malamnya mengaji kitab
dengan beliau. Corak moderen yang ditawarkan oleh ulama tradisionalis ini
memberika ruang kepadanya untuk mendapatkn santri yang lebih banyak serta
mendatangkan citra baru bagi lembaga ini. Banyak contoh Ulama dan lembaga Islam
tradisionalis mencari model baru untuk membuat mereka tetap eksis dalam
perubahan zaman. Ini memberikan indikasi bahwa kalangan tradisionalis mengalami
perubahan guna men jaga kelangsungan
hidup mereka.
Dalam kenyataannya di masyarakat sampai saat ini ummat Islam
yang dikatakan sebagai golongan tradisionalis belum banyak bisa dipengaruhi
oleh kalangan modernis. Lemahnya pengaruh Modernis pada masyarakat Minangkabau masih sebuah tanda tanya dan perlu kajian
mendalam. Bukti konkritnya menunjukan bahwa
golongan modernis belum mampu menerobos pelosok dan pedesaan di
Minangkabau. Muhammadiyah sebagai rerpresentasi dari golongan modernis hanya bisa diakui dan
memiliki massa pada pusat-pusat kota
atau setingginya pusat kecamatan. Sementara, kalangan tradisionalis disamping
ia mememiliki basis utama pada surau di desa, mereka juga sudah mampu memasuki
pusat-pusat perkotaan, Misalnya, di pusat kota Padang ada beberapa pusat
pengajian tarekat dan beberapa ritual keagamaan yang bercorak tradisionil itu.
Lebih konkrit lagi. Kalangan modernis belum mampu mengadakan pertemuan dalam
bentuk pertemuan keagamaan seluas dan
disebesar yang dilakukan golongan tradisionalis. Misalnya acara Bersyafar di Maqam Syekh Burhanuddin
yang dilakukan setiap tahun tidak kurang 500 ribu kaum tradisionalis Islam datang dan beribadah
disana dari berbagai daerah Sumatera barat,Riau,Jambi dan daerah lainnya .
Bukti lain, bahwa kalangan tradisonalis
masih tetap hidup di tengah arus modernisasi
adalah kuatnya organisasi mereka dalam mengayomi anggotanya. Dikalangan
pengikut Tarekat Syathariyah ada Jamaah
Syathariyah, bagi pengikut Nasabandiyah ada organisasi Persatuan Pembela
Tarekat Indonesia (PPTI), dalam bentuk luas ada Persatuan Tarbiyah Islam
disingkat dengan Tarbiyah , disamping itu juga ada Persatuan Tarbiyah Islamiyah
disingkat PERTI . Organisasi tersebut memiliki anggota dan pengurus sampai pada tingkat paling rendah di kota dan desa. Lebih konkrit lagi dapat dibaca pada data
yang dikeluarkan oleh Kantor wilayah Departemen Agama Propinsi Sumatera Barat,
tentang keadaan Mesjid dan bentuk pengamalan masyarakat disekitarnya.
Tabel . 1
Jumlah Tempat Peribadatan menurut Bahasa Khutbah dan Kegiatannya
Prop. Sumatera Barat Tahun 1999/2000
TIDAK
|
Satuan
Organisasi
|
Jum
lah
Mas
jid
|
MASJID
|
Jum
Lah
Lang
Gar
|
Langgar
|
Jum
lah
bubur
alla
|
Mushalla
|
Keterangan
|
|||||||
Khutbah dg. Bahasa
|
Kegiatan
|
Kegiatan
|
Kegiatan
|
||||||||||||
Ar
ab
|
Indo
Nesia
|
Daerah
|
Ind
Drh
|
Ada Pe
Nga
Jian
|
Ada Gila
ra
sah
|
Ada
Pe
nga
jian
|
Ada Gila
ra
sah
|
Ada
Pe
nga
jian
|
Ada Gila
ra
sah
|
||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
9
|
10
|
11
|
12
|
13
|
14
|
15
|
16
|
1
|
Kab. Pd. Pariaman
|
390
|
217
|
173
|
-
|
-
|
259
|
12
|
1874
|
884
|
80
|
115
|
|
|
|
2
|
Kab. Agam
|
493
|
17
|
416
|
-
|
60
|
493
|
71
|
974
|
646
|
9
|
216
|
109
|
6
|
|
3
|
Kab. Tnh. Datar
|
287
|
22
|
208
|
-
|
57
|
287
|
14
|
874
|
623
|
-
|
368
|
89
|
-
|
|
4
|
Kab. Solok
|
396
|
4
|
392
|
-
|
-
|
328
|
37
|
1148
|
747
|
142
|
111
|
27
|
2
|
|
5
|
Kab. 50. Kota
|
378
|
1
|
375
|
2
|
-
|
342
|
71
|
700
|
528
|
26
|
183
|
30
|
1
|
|
6
|
Kab. Ps. Selatan
|
438
|
-
|
435
|
3
|
-
|
435
|
-
|
610
|
599
|
-
|
67
|
-
|
4
|
|
7
|
Kab. Pasaman
|
678
|
12
|
656
|
10
|
-
|
628
|
93
|
798
|
724
|
18
|
242
|
69
|
-
|
|
8
|
Kab. Swhl/Sijunjung
|
271
|
27
|
218
|
-
|
26
|
213
|
10
|
975
|
462
|
10
|
64
|
54
|
2
|
|
9
|
Kodya. Padang
|
418
|
15
|
394
|
8
|
1
|
414
|
116
|
540
|
481
|
74
|
180
|
83
|
3
|
|
10
|
Kodya. Bukittinggi
|
35
|
-
|
35
|
-
|
-
|
35
|
33
|
83
|
75
|
23
|
41
|
-
|
25
|
|
11
|
Kodya. Pd. Panjang
|
28
|
-
|
28
|
-
|
-
|
28
|
6
|
39
|
39
|
3
|
38
|
13
|
1
|
|
12
|
Kodya. Sawahlunto
|
43
|
3
|
40
|
-
|
-
|
42
|
17
|
150
|
115
|
34
|
60
|
1
|
-
|
|
13
|
Kodya. Solok
|
34
|
-
|
34
|
-
|
-
|
32
|
28
|
66
|
46
|
13
|
21
|
7
|
-
|
|
14
|
Kodya. Payakumbuh
|
74
|
-
|
74
|
-
|
-
|
74
|
28
|
232
|
201
|
-
|
27
|
25
|
-
|
|
|
Jumlah
|
3963
|
318
|
3478
|
23
|
144
|
3610
|
536
|
9063
|
6170
|
432
|
1733
|
577
|
44
|
|
[1] Prof.Dr.M.Nasroen. Dasar Falsafah Adat Minangkabau, 1971.Penerbit Bulan Bintang.Jakarta. halaman.19
[2]
Muchtar Naim, Dr.Merantau Pola Migrasi
Suku Minangkabau. Pers Universitas Gajahmada. 1984. Halamn 74
[3]
M. Rasjid Manggis Dt. Radjo Penghoeloe,Minangkabau Sejarah Ringkas, hal. 100.
[4]
Burhanudin Daya,Gerakan Pembaharuan Islam: Kasus Sumatera Thawalib
(Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1995),
hal. 27. Data luas Indonesia ini setelah Timor Timur keluar dari Indonesia. (2.41.137 km persegi – 14.069 km persegi).
[6] Muhammad Rajab. Sistem Kekerabatan di Minangkabau . Pusat
Studi Minangkabau. Padang . 1969. Halaman 201.
[7] ABDT.Madjo Indo. Kato Pusako: Pepatah, Petitih Mamang, Pantun, Ajaran dan Filsafat Minangkabau. Penerbit MPAM kerjasama PT.Rora Karya. Jakarta. 1999.halaman 1.
[8] H. Blink,De Economische geographie Bovenlanden en het belastingraaggtuk voor Sumatra's. Weskust, Vragen Vanden dag, 23. (1908), hal. 195-614.
[9] Elizabeth E. Graves. Tanggapan Minangkabau terhadap Pemerintahan Kolonial Belanda
Abad ke-19. (New York : Cornel Modern Indnesia Project Southeast Asia Program , 10981) hal.1
[10] PE de Joselline de Jong,struktur politik Minangkabau dan Negeri sembilan Sosio. Eduard Ijdo,Leiden, 1980.1951,halaman 3
[11] Christine Dobine,Rivivalisme Islam di Minangkabau pada Abad ke-19. (London camridge university Press, 1974) halaman 321. Lihat Juga Taufik Abdulah. Sejarah dan Masyarakat: Lintasan sejarah islam di indonesia. Yayasam Obor Indonesia. Jakarta. 1987. Halaman 104-127.
[12] Chritine Dobbin,Revivalisme Islam dalam Perubahan Ekonomi Petani Sumatera Tengah ,1784-1847 (London: Curzon Press Ltd,1993) halaman 119.
[13] Rasyid Manggis.
Minangkabau, Sejarah Ringkas dan Adatnya. Sri Darma Padang. 1971.halaman 11. Juga dapat dibaca dalam Hamka,Sejarah Ummat Islam. Bulan Bintang.Jakarta. 1976, halaman 15-6.
[14] Drs.MDMansoer dkk. Sejarah Minangkabau. 1970.Bharata.Jakarta. halaman 37.
[15] Martin Van Brunessen, 1994,The Origins and Development of Sufi Orders (Tarekat) in Southes Asia),Studi Islamika 1 April-Juni 1994, h. 1. Bandingkan juga dengan Azyumardi Azra dalamJaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara Abad XVII dan XVIII,Mizan Bandung, h. 2. Bahwa para sufi pengembara yang terutama melakukan penyiaran Islam di kawasan Nusantara ini. Azra dalamPerspektif Islam di Asia Tenggaramenuliskan secara umum Islam tasawuf tetap unggul dalam tahap pertama Islamisasi ini, setidaknya sampai akhir abad k-17. Hal ini karena tasawuf Islam yang datang ke Nusantara, dengan segala pemahaman dan menemukan mistisnya terhadap Islam dalam beberapa segi tertentu “cocok” dengan latar belakang masyarakat setempat yang dipengaruhi asketisme Hindu-Budha dan senkritisme lokal, Yayasan Obor Indonesia, 1989, Jakarta, h. XV.
[16] Taufik, Abdullah. . Sejarah dan Masyarakat,Lintasan Historis Islam di Indonesia (Jakarta,Pustaka Firdaus,1987)h.111-2)
[18] Alaidin, Koto, DR. Pemikiran Politik PERTI.(Persatuan Tarbiyah Islamiyah)45-70. Jakarta.Penerbit Nimas Multima,1997.h.16-7.
[19] Slamet Mulyana,Runtuhnya kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara Islam di Nusantara, Bharata, Jakarta, 1963, h. 261, JG Van Leur,Masyarakat Dagang Indonesia,Sumur, Bandung, 1955, h. 102, DG Hall,Sejarah Asia Tenggara,Kuala Lumpur, 1979, h. 252-253.
[20] Uka Tjandrasasmita,Masuknya Islam ke Indonesia,dalam BuletinYaperma, no. I, tahun III, Pebruari, 1976, h. 80
[21] Hamzah al-Fansuri adalah seorang tokoh cendekiawan, ulama tasawuf, sastrawan dan budayawan terkemuka yang hidupnya diperkirakan antara pertengahan abad 16 sampai awal abad 17 Masehi. Ia berasal dari Fansuri, sebuah kota kecil di Pantai Barat Sumatera yang terletak di antara kota Sibolga dan Singkel. Ia menulis beberapa buku di antaranya Syarab al-'Asikin (Minuman Orang-orang yang Bercinta), Asrar al-'Arifin (Rahasia Orang-orang Arif) (Lihat Abul Hadi WM 1995). Hamzah Fansuri, Risalah Tasawuf dan Puisinya. Penerbit Mizan Bandung, h. 9
[22] Syam al-Din al-Sumatrani adalah murid dan sahabat Hamzah al-Fansuri. Ia hidup diperkirakan sekitar tahun 1575 M. dan wafat 1630 M. Ia dikenal sebagai salah satu dari dua ulama atau Syekh terkemuka yang menyebarkan paham wujudiyah atau paham wahdat al-wujud (Kesatuan Wujud Tuhan dengan Alam) pada masa hidup mereka di daerah Aceh. (Abdul Aziz Dahlan,Pembelaan terhadap Wahdat al-Wujud: Tasawuf Syamsuddin Sumatrani), Jurnal Ulumul Qur'an, Jilid III, No.3. th. 1992, h. 98.
[23] Al-Raniri, Abd. al-Rauf al-Sinkili dan Muhammad Yusuf adalah para pembaharu yang paling pertama dalam sejarah Islam di bagian dunia Asia Tenggara. Mereka berperan sebagai penyampai (pemancar) yang penting dalam
mengakrabkan Islam di Nusantara dengan perkembangan pemikiran dan praktik Islam di Haramain khususnya. Dalam konteks ini, misalnya, sejak paruh baya kedua abad ke-17, mereka memperkenalkan pemikiran dan tradisi tasawuf "Arab" yang lebih setia kepada ortodoksi atau syari'ah untuk menggeser dan mengganti tasawuf pada masa sebelumnya yang diwarnai oleh tradisi sufisme "India" yang cenderung eksensif dan karenanya sering menuduh "Heterodoks" atau "Tidak Ortodoks" alias menyimpang (Azyumardi Azra, 1992,Jurnal Ulumul Qur'an, Jilid III, No.3, tth., h. 80
[24] Abd al-Rauf al-Sinkili lahir di Sinkili daerah Fansur (Barus) Pantai Barat Sumatera lahir sekitar tahun 1024/1615. Kitab yang memuat tentang riwayat hidup tokoh ini ditulis dalam kitabal-Umdat al-Muttajin(Naskah kode W. 301 Perpustakaan Nasional Jakarta). Tulisan ulama ini sangat akomodatif terhadap pendekatan Wahdat al-Wujud yang berkembang sebelumnya. Lebih luas mengenai tokoh ini dapat dilihat penelitian (disertasi) Salman Harun dan Penoh Dauli, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
[25]
Ulakan adalah sebuah desa di pantai wilayah Minangkabau (sekarang Sumatera Barat). Riwayat lokal mengenai perkembangan Islam di Minangkabau menyatakan Burhan al-Din (1056-1104/1646-92) belajar dengan al-Sinkili selama beberapa tahun sebelum kembali ke tempat kelahirannya. Burhan al-Din tentu saja, bukan ulama pertama yang memperkenalkan Islam ke wilayah Minangkabau, tetapi tak diragukan lagi ia memainkan peran penentu dalam menguatkan Islamisasi di kalangan penduduk setempat. Peran Syekh Burhan al-Din dalam pengembangan Islam di Minangkabau berawal dari usaha mendirikan surau (pesantren) sebagai pusat penyiaran Islam. Pengajian al-Qur'an dan pusat pengembangan tarekat. Surau pertama yang dijadikan Syekh Burhanuddin sebagai basis pengembangan Islam akhirnya masuk dalam sistem budaya Minangkabau. Hal ini tergambar dalam kehidupan masyarakatnya dimana setiap nagari ada masjid dan setiap kampung serta kaum (suku) mempunyai surau. Surau sepintas
dapat dilihat seperti halnya mushalla tempat melakukan ibadah dan kegiatan keagamaan. Peranan
Surau Syekh Burhanuddin Ulakan di Minangkabau cukup besar sehingga dalam tradisi sejarah di kalangan ulama sering dianggap bahwa kota kecil inilah sumber penyebaran Islam. Apalagi, bukan tidak mungkin peran ini menimbulkan diktum yang terkenal dalam tambo adat Minangkabau, “ Agama mendaki, adat menurun” . Namun yang pasti ialah bahwa dengan tradisi surau atau pesantren, sebagai pusat pengajaran dan pemupukan ilmu pengetahuan keagamaan, bermula di Minangkabau.Dari sinilah “ silsilah”
atau mata rantai surau-surau dimulai.
[26]
Stempel kepala sembilan yang didalamnya
tertera simbol dari Kerajaan Aceh dulu masih tersimpan di tangan khalifah Syekh Burhanuddin seperti benda peninggalan lainnya, sejak peristiwa PRRI, setempel ini hilang, namun banyak
pihak pernah melihatnya.
Penjelasan dari BAAM DT. Maninjun. Wawancara. 25 April 2001.Di Ulakan Pariaman.
[27] Tradisi adalah kebiasaan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya secara turun temurun. Kebiasaan yang diawariskan mencukup berbagai nilai budaya, yang mencakup adat istiadat, sistem kemasyarakatan, sistem pengetahuan bahasa, kesenian, sistem
kepercayaan dan sebagainya. Seorang individu dalam masyarakat mengalami proses belajar dan berindak sessuai dengan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam masyarakatnya. Nilai budaya yang menjadi pedoman bertingkah laku bagi masyarakat adalah warisan yang telah mengalmi proses penyerahan dari satu generasi kegenerasi berikutnya. Proses ini menyebabkan nilai-nilai budaya tertentu menjadi tradisi yang biasanya terus dipertahankan oleh msyarakat tersebut. ( Lihat Depdikbud. Ensiklopedi Nasional Indonesia , PT. Cipta Adi Pusstaka, Jakarta, 1991, h.
414
[28] Kata surau berasal
dari kata Melayu. Secara harfiyah kata ini, berarti suatu bangunan kecil, tempat
sembayang (shalat) orang-orang Islam, tempat belajar (mengajial-Qur'an) bagi anak-anak orang Islam serta
tempat wirid pengajian bagi orang-orang dewasa. Kata ini pada
umumnya dipakai orang Minangkabau (Sumatera Barat), untuk
menamai suatu bangunan yang menyerupai bentuk masjid dan digunakan untuk shalat. Kata surau di Sumatera Barat dalam perkembangan melalui kemajuan, kalau ditinjau secara semantik. Awalnya surau hanya berfungsi sebagai tempat ibadah dan mengaji
al-Qur'an, kemudian
fungsinya meningkat menjadi tempat (lembaga pendidikan dan pengajaran), serta kegiatan sosial
dan budaya ( Lihat Dep.
Agama RI. Ensikplopedi Islam di Indonesia, III , Depag. RI, Jakarta , 1993, h.1139
[29] Minangkabau
dalam konteks sejarah meliputi
etnis (suku Minangkabau), teritorial (wilayah Minangkabau) dengan batas-batas tertentu, linguistik (bahasa Minangkabau) dan kultural (budaya Minangkabau). Maka yang dimaksud dalam penelitanini
adalah Minangkabau dalam arti budaya atau kultur.
[30] BAAM DT,Maninjun (Seorang pemuka adat dan juga mantan wali Nagari Ulakan yang terpelajar,salah seorang Dosen di Universitas Pancasila Jakarta dalam Mata kuliah Antropologi Budaya).Wawancara. 25 Maret 2002 di Ulakan Pariaman Sumatera Barat
[31] Sidi Gazalba,Mesjid Pusat Ibadat
dan Kebudayaan Islam,Pustaka al-Husna, Jakarta, 1989, h.
314-15
[32] Mulyani,Surau dan
Pembaharuan Pendidikan Islam di Minagkabau, IAIN IB Press, 1999, h. 7
[35] Taufik Abdullah. Sejarah dan Masyarakat : Lintasan Historis islam di indonesia,Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. 1987. Halaman 114.
[36]
HBM.Surat. Persenyawaan Adat Dan Syarak. (belum diterbitkan) 2000. Padang Sumatera Barat.
[37] Drs.H.Bagindo M.Letter. Proses Persenyawaan Adat dan Syarak di Minangkabau(Naskah belum diterbit). Penulis seorang Pemuka Agama yang berasal dari daerah Pariaman dan juga ketua Yayasan Syekh Burhanuddin Ulakan , Pensiunan Kepala Bidang Penerangan Agama Islam Kanwil Depag Sumatera Barat. Juga menjadi Anggota DPRD I Sumatera Barat 1995-2000. Mubaligh yang dikenal luas di Sumatera Barat
[38] Dr.Mochtar Naim.Filosofi Budaya Minangkabau :Mengembalikan Identitas Keislaman-Keminangan sebagai jati diri orang Minangkabau.Makalah dipersentasikan pada Dialog Kebuidayaan ,Pesta Budaya Minang 2000 TIM Jakarta 21 Oktober 2000.
[39] Taufik Abdullah,Adat dan IslamSuatuTinjuan Tentang KonflikdiMinangkabau.
Dalam Taufik Abdullah
(Ed),Sejarahdan MasyarakatPergeseran HistorisIslamdiIndonesia,PustakaFirdaus, Jakarta, 1987. H. 310
[40] Syekh Burhanuddin adalah orang yang pertama membawa ajaran tarikat Syatariyah ke Minang , lihat GWJ Drewes,Indonesia, Mysticm and Activism Unity and Variety in Muslim Civilization,The University of Chicago Press, Amerika, 1963, h. 289-291
[41] M. Nasroen,Dasar Filsafat Adat Minangkabau,
Bulan Bintang, Jakarta, 1971. h. 36
[42] Taufik Abdullah,Adat dan Islam ; Suatu Tinjaun Tentang Konflik di Minangkabau,Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987, h. 116
[43]
Runtuhnya surau dan berobah hubungan adat dan agama dalam tataran sosial kemasyarakatan disebabkan faktor-faktor siginifikan adalah : (1) Pengaruh perang paderi yang jadwal pengajaran tarekat,
dianggap sebagai bid'ah. (2) Berdirinya lembaga-lembaga pendidikan modern sepeti Sumatera Thawalib, Perguruan Muhammadiyah Kauman. (3) Pengaruh dari pendidikan Belanda yang diterima oleh masyarakat Sumatera
Barat, terutama semenjak dibukanya Sekolah Raja di Bukittinggi pada akhir tahun 1850-an hingga berkembangnya pendidikan modern saat ini. (4) Kebijakan pemerintah terhadap pendidikan
yang cenderung menganak tirikan
pendidikan agama. (5) Perkembangan Ekonomi dunia
dan modernisasi arus membawa pengaruh pada perubahan masyarakat dari
masyarakat agamis menjadi masyarakat sekuler yang lebih
peduli pada kehidupan duniawi semata. Disamping faktor-faktor di atas kota-kota di Minangkabau terus berkembang dan semakin banyak didatangi para perantau dari kampung-kampung sekitarnya. Para perantau ini bermukim
di perkotaan bersama anank isterinya dalam satu kelurga berbahaya . Perlahan tapi pasti, sistem keluarga
batih yang selama ini di anut mulai tersaingi oleh sistem keluarga nuklir. Proses ini meurut
Taufik Abdulah cenderung memperlemah hubungan mamak-kemenakan , yang dalam sistem kekerabatan matrilinial Minangkabau merupakan salah satu
aspek penting.
Surau di Minangkabau
setelah kedatangan Islam secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua bentuk. Pertama : Surau Gadang (surau besar), yaitu surau yang menjadi induk dari beberapa
surau kecil disekitarnya. Surau ini biasanya sekaligus tempat tinggal guru (Syekh) yang masyhur dengan kealimannya. Disurau gadang ini dilakukan pengajian rutin oleh Syekh dengan murid-muridnya yang menjadi guru pada surau surau-surau di daerah
sekitar surau gadang tersebut. Penamaan surau gadang ini biasanya dikaitkan dengan nama Syekh yang mendiami
surau itu atau nama daerah tempat surau itu berdiri. Misalnya surau Gadang
Tanjung Medan di Ulakan, Surau Koto Tuo di Koto Tuo
Ampek Angkek , surau Inyiak Candung
di Bukittinggi, surau
Inyiak Jaho di Padang Panjang, surau Inyiak Parabek dan lain sebagainya. Surau-surau gadang ini pada akhirnya ada yang memfungsikan diri sebagai masjid, madrasah/ pesantren dan tempat
pengajian. Kedua surau ketek
(surau kecil). Surau ini dilihat dari jenisnya ada dua bentuk, yaitu: Surau yang didirikan
oleh suku, hindu, korong kampung, dan pedagang. Contoh surau-surau yang banyak ditemukan di kapung atau nagari di Sumatera Barat. Pada umumnya pada
jenis ini memiliki akar dan
posisi yang kuat dalam masyarakat, karena di surau ini dilakukan bermacam-macam kegiatan keagamaan dan kemasyarkatan seperti
mengaji al-Qur'an, wirid
agama, pengajian tarekat, bela diri silat, belajar panitahan (pidato adat) dan
kesenian masyarakat lainnya
Model surau ketek kedua adalah surau yang
didirikan disekitar surau gadang (besar) yang didiami oleh murid-murid yang belajar pada
seorang Syekh. Model surau
ketek ini, dapat ditemukan pada komplek surau Syekh
Burhanuddin Tanjung Medan Ulakan Pariaman dan surau Syekh Abdurrahman Batuhampar Payakumbuh, Komplek surau Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung
Bukittinggi, komplek surau Tuanku Koto Tuo di Koto Tuo Agam, komlek
surau Jaho di Padang Panjang
dan lain sebagainya .
Sedangkan institusi surau sebagai lembaga pengembangan
dakwah Islamiyah secara umum tetap berjalan sesuai dengan perkembangan masyarakat, meskipun mengalami pasang naik dan pasang surut. Surau-surau yang diurus oleh kalangan ulama
modernis cenderung lebih menonjolkan dalam bidang syiar dakwah dan masalah sosial seperti
wiri-wirid umum, peringatan hari
besar Islam dan panti asuhan. Pada
sisi lain surau yang dikelola oleh ulama tradisionalis lebih bersifat pembinaan keagaamaan ke dalam
seperti pengajian tarekat, ziarah bersama kemakam Syekh-Syekh, khatam al-Qur'an dan semacamnya. Seperti yang dapat ditemukan di surau Tuanku Kuning Zubir di Pakandangan Pariaman, Surau Tuangku Ismet Ismael di Koto Tuo Bukittinggi.
Surau sebagai lembaga
kemasyarakatan, pada umumnya mengalami perubahan yang sangat signifikan sekali. Hampir saja lembaga surau tidak
dgunakan lagi sebagai sarana
pembinaan adat dan kesnian di
Sumatera Barat, begiru juga tidak
ditemukan lagi ssurau yang menjadi
basis pembinaan kemasyarakatan, sosial dan pemerintahan
nagari. Misalnya sangat jarang
ditemukan surau yang dipakai
sebagai tempat rapat desa
dan pertemuan lainnya, karena adanya lembaga kemasyarakatan lain yang telah
dipermanenkan oleh pemerintahan, sebutlah misalnya balai pertemuan LKMD,
balai pertemuan pemuda, karang taruna, PKK dan semacamnya.
[44] Tanggal. Tan Kabasaran, Ketua Majelis Pertimbangan MUI Tingkat I Sumatera Barat, dan Pemuka adat di Kabupaten Agam,Wawancara,di Bukittinggi tanggal 17 Oktober 2000.
[45] Ibid
[47] Sampai sekarang di Ulakan setiap bulan Syafar melaksanakan upacarabasapa gadangdanbasapa ketek yang dilaksanakan oleh penganut Tarekat Syathariyah dengan bermacam-macam ritual. Para penziarah datang dari berbagai wilayah di bawah pimpinan seorang guru, biasanya guru Tarekat.
[48] Christine Dobbin. Kebangkitan Islam dalam ekonomi petani yang sedang berubah:Sumatera Tengah 1984 – 1847. Terj. Lilian D. Tedjasukandhana. (Jakarta, INIS, 1992). H. 142.
[52] Suadi Puro. Mohammed Arkoun Tentang Islam dan Modernitas,Penerbit Paramadina.Jakara. 1998.hal.46.
[53] Sayyed Hosen Nasr. Tradisi Islam: Di Tengah Kancah Modern. Penerbit Pustaka. 1987. Jakarta.hal.3
[54] Abdurrahman Wahid, Tradisionalisme Radikal : Persinggungan Nahdtul Ulama dengan negara,Penerbit LKiS, Jakarta, 1999. Hal.vii
[55] Deliar Noer,Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942,Penerbit LP3ES, Jakarta, Cet.3, 1985, halaman 235.
[56] Alaidin, Koto,DR. Pemikiran Politik Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah)1945-1970. Penebit Nimas Multima, Jakarta, 1997. Halaman.4
[57] Penelitian yang mengungkapkan tentang Jamaah Syathariyah di Sumatera Barat telah dilakukan oleh Drs.Yurisman,M.Ag dalam sebuah Tesis yang berjudul :Gerakan Dakwah Jamaah Syathariyah di Sumatera Barat 1970-1995 . IAIN Imam Bonjol Padang. Tahun 1999. Penelitian mengungkap bahwa bagaimanapun kalangan Syathariyah masih saja tidak mampu keluar dari koridor ketradisionalanya. Baca hal58-62.
[58] Radikalisme Politik dalam pengertian kritik yang luas ,terbuka dan mendasar atasstatus quoSoeharto dipelihatkan NU melalui Ketua Umum KH.Abdurrahman Wahid . Lebih jauh lihat: Missuo Nakamura dalamTradisionalisme Radikal. 1999. LKiS.Jakarta.h.55-85
[59] Abdullah, Taufik.1996. Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia. LP3ES Jakarta h.216.
[60] Tuanku Kuning Zubir,Wawancara, Di Surau Pakandangan Pariaman Sumatera Barat 25 April 2001. Beliau ulama yang dikenal luas
memiliki surau tempat pengajian halakah dan muridnya tersebar luas di Sumatera Barat. Riau dan Jambi. Bahkan sampai di Jakarta dan Bandung.
0 Comment