PUASA
A. Pengertian, Sejarah Singkat dan Hikmah Puasa
Puasa dalam bahasa berarti menahan diri dari sesuatu. Allah ta’ala berfirman:
إِنِّى نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا
“Sesungguhnya aku talah berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih”. (Qs. Maryam: 26).
Yaitu menahan diri untuk berbicara.
Mnurut istilah syara’ puasa adalah menahan diri daru syahwat kemaluan dan perut sejak tebit fajar hingga matahari terbenam disertai niat diwaktu malam.
Puasa adalah salah stu kewajiban dalam Islam yang ditetapkan berdasrkan Al-Qur’an dan sunnah serta Ijma’ umat. Allah SWT berfirman:
يَآاَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّـيَامُ كَمَ كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَـتَّقُوْنَ.
“Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”. (Qs. Al-Baqarah : 183).
Dari ayat di atas kita dapat mengetahui bahwa kewajiban berpuasa itu tidak saja pada zaman nabi Muhammad saw. melaikan telah diwajibkan kepada umat-umat terdahulu.
Dalam ajaran Islam tidak ada satu ibadahpun yang tidak mengandung hikmah. Puasa, sebagai ibadah menahan makan dan minum serta hubungan seksual dan bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Menurut Zakiyah Daradjat, puasa mengandung hikmah terhadap jasmani dan rohani manusia. Hikmahnya terhadap rohani antara lain ialah melatih rohani agar disiplin mengendalikan dan mengontrol hawa nafsu agar tidak semena-mena memunculkan keinginannya. Dalam puasa disamping melatih menahan hawa nafsu juga menanamkan nilai-nilai moral yangf luhur kepada sesamanya yaitu manusia disiapkan untuk menjadi manusia yang berjiwa sosial dan gemar beramal saleh, tidak suka berbuat hal-hal yang merugikan rohani dan ahlak. Hal ini merupakan manifestasi dari penderitaan lapar dan danhaga selama melaksanakan puasa.
Adapun hikmahnya terhadap jasmani ialah membangun kekuatan pada tubuh, karena umumnya segala sumber panyakit itu bersumber dari perut yang menampung makanan dan minuman.
Dapat dibayangkan betapa sibuknya organ-organ yang berada pada perut jika secara terus-menerus bekerja dan menampung makanan. Artinya dengan berpuasa kita sedikit meringankan keinerja organ-oragan tersebut dan mengistirahtkannya sebagai perawatan. Istirahatnya organ-organ dalam perut dapat membantu proses penyembuhan pada berbagai penyakit. Itulah mengapa para dokter mengajurkan pasiennya melakukan ritual puasa.
B. Macam-macam Puasa
1. Puasa Wajib
Puasa wajib ialah puasa yang dikhususkan pada bulan ramadhan. Sebagaimana firaman Allah pada surat Al-Baqarah ayat 185.
شَهُْر رَمَضَانَ الَّذِيْ أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًا لِّلنَّاسِ وبَيِّنَا مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ.
“Bulan Rhamadhan adalah bukan yang di dalamya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan batil) karena itu barangsiapa diantara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah berpuasa di bulan itu …..(Qs. Al-baqarah : 185).
2. Puasa Sunnah
Dianjurkan puasa pada hari senin dan kamis berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw palin banyak berpuasa pada hari senin dan kamis. H.R. Ahmad. Dianjurkan juga untuk berpuasa pada hari-hari putih, yaitu ketiga belas, empat belas, dan kelima belas setiap bulan.
Berkata Abu Dzar r.a. : “Rasulullah saw. Menyuruh kami berpuasa tiga hari putih setaiap bulan, yaitu hari ketiga belas, keempat belas, kelaima belas dan belaiau berkata : puasa itu seperti puasa Dahr (puasa setahun). H.R. Nasa’iy dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban.
Dianjurkan puasa enam hari dari bulan Syawal sesuai dengan sabda Nabi saw:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ بِشِتٍّ مِنَ الشَّوَالِ فَكَأَنَّمَا صَاَم الدَّهْرَ.
“ Barangsiapa berpuasa di bulan Rhamadhan, kemudian ia susul denagn puasa 6 hari di bulan Syawal, maka seakan-akan ia berpuasa setahun. H.R. Jama’ah, kecuali Bukhari dan Nasa’iy.
Dan yang lebih utama ialah puasa berturut-turut dan bersambung denagn Idul Fitri, karena sebaik-baik kebaikan adalah yang segera dilakukan.
Dianjurkan berpuasa pada hari ke sembilan (Tsu’a) dan kesepuluh (Asyura) di bulan Muharram. Dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata: “Nabi saw. datang ke madianah dan melihat orang-orang Yahudi berpuasa Asyura”.
Kemudian beliau berkata: Apakah Ini ?
Mereka menjawab: hari yang baik dimana Allah menyelamatkan Musa dan Bani Israel dari Musuh-musuh mereka, lalu Musa berpuasa pada hari itu. Maka Nabi saw berkata : Aku lebih berhak atas musa daripada kalian. Kemudian beliau berpuasa dihari itu dan menyuruh orang-orang berpuasa pada hari itu. (Muttafaq alaihi).
Dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata: “Ketika Rasulullah SAW. berpuasa pada hari Asyura dan menyuruh orang-orang berpuasa pada hari itu, mereka berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya ia adalah hari yang digunakan Yahudi dan Nasrani. Maka Nabi SAW. menjaawab: Insya’ Allah pada tahun yang akan datang kita berpuasa pada hari kesembilan dari bulan Muharram.
Ibnu Abbas berkata : “Sebelum datang tahun berikutnya rasulallah saw telah meninggal dunia”. (H.R. Muslim dan Abu Daud).
Dianjurkan puasa di hari Arafah bagi selain orang haji berdasrkan sabda Nabi saw:
صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ سَنَتَيْنِ، مَاضِيَةً وَمُسْتَقْبَلَةً، وَصَوْمُ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ يُكَفِّرُ سَنَةً ماَضِيَةً.
“Puasa haari Arafah mengahpus dosa dua tahun; yaitu tahun yang lalu dan yang kan datang, sedang puasa hari Asyura menghapus dosa tahun lalu.” (H.R. Muslim dalam Shahihnya).
Dianjurkan pula berpuasa pada tanggal 9 Dzulhijjah, hal ini berdasarkan hadis nabi yang diriwayatkan oleh Abu Daud, bahwa: “Nabi saw. berpuasa pada 9 Dzulhijjah dab hari Asyura, 3 hari dalam setiap bulan dan senin pertama dari setiap bulan serta hari kamis”.
3. Puasa Makruh
Dikenakan hukum makruh puasa “dahr” karena berdasarkan sabda Nabi saw: “Tidaklah berpuasa siapa yang berpuasa tanpa berhenti”. H.R. Syaikhain dan lainnya. Dan berdasrkan larangan Nabi saw kepada Ibnu Amru ketika ingin berpuasa “dahr” dan berkata padanya: “Jangan Lakukan”. H.R. Syaikhain dan lainnya.
Ada orang yang memaksa dirinya dalam beribadah. Mereka bertanya tentang ibadah Nabi saw. dan menganggapnya sedikit. Salah seorang dari mereka berkata: Aku berpuasa dan tidak berbuka. Yang kedua berkata: “Aku bangun malam dan tidak tidur”. Yang ketiga berkata: “Aku tidak mengawini perempuan”. Nabi saw berkata kepada mereka: “Adapun aku, maka aku berpuasa dan berbuka, sembahyang malam dan tidur dan menggauli istri-istriku, maka siapa yang menolak sunah-sunahku, ia pun bukan golonganku”. H.R. Syaikhain dan lainnya.
Dihukumi makruh puasa sunnah pada hari Jum’at saja berdasarkan riwayat nabi dalam sahihain dari hadist Abi Hurairah: “Janganlah kamu berpuasa pada hari Jum’at, kecuali ditambah sehari sebelumya atau sesudahnya”.
Dihukumi makruh puasa pada hari sabtu saja berdasarkan sabda Nabi saw: “Janganlah kamu berpuasa pada hari sabtu, kecuali puas yang diwajibkan atas kamu”. H.R. Abu Daud, Tirmzdzi, Ibnu Majjah dan Baihaqi dan di sahihkannya. Dan karena kaum Yahudi mengagungkan hari sabtu. Begitu pula dihukumi makruh berpuasa pada hari Ahad, karena kaum Nasrani mengagungkannya, sedang Nabi saw. ingin menentang ahli kitab.
Diharamkan wanita berpuasa sunnah disaat suaminya hadir, kecuali dengan izinnya berdasarkan hadits Nabi saw.:
لاَ تَصُوْمُ الْمَرْأَةُ يَوْمًا وَاحِدًا وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ إِلاَّ رَمَضَانَ
“Janganlan orang perempuan berpuasa sunnah sehari di saat suaminya hadir, kecauali dengan izinnya, kecuali Rhamadhan”. (H.R. Ahmad dan Syaikhain).
Apabila suaminya tidak berada di tempat, maka istrinya boleh berpuasa tathawwu’ (sunnah) tanpa izinnya.
4. Puasa Haram
Diharamkam berpuasa pada Idul Fitri dan Idul Adha. Dalah hadist shahihain disebutkan: “Rasulallah saw. melarang puasa dalam dua hari, Idul Fitri dan idul Adha”. Tidak ada bedanya antara yang berpuasa pada hari-hari Tasriq, yatu 3 hari setelah hari penyembeihan kurban (11, 12 dan 13 Dzjulhijjah).
Diharamkan berpuasa pada pertengahan yang kedua dari bulan Sya’ban. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Hurairah r.a. sesungguhnya rasulullah saw bersabda:
إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانَ فَلاَ تَصُوْمُوْا
“Ketika (pada) separuh dari bulan Sya’ban maka janaganlah kamumlakukan puasa”.
Diahramkan pula puasa tathawwu’ pada hari syak tanpa sebab. Begitu pula diharamkan berpuasa pada hari itu sampai datangnya bulan Rhamadhan.
Diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah r.a. dari Rasulallah saw. beliau bersabda:
لاَ تَقَدَّمُوْا رَمَضَانَ بِصَوْمٍ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلاٌ كَانَ يَصُوْمُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah kamu mendahulukan Rhamadhan dengan puasa sehari atau dua hari, kecuali orang yang melakukan puasa pada puasa sebelumya, maka hendaklah berpusa (pada hari itu).
C. Tatacara Puasa
1. Syarat Wajib Puasa
a. Islam.
Persyaratan ini dapat dipahami dari ayat Al-Qur’an yang memerintahkan berpuasa kepada orang-orang yang beriman kepada Allah SWT sebagai mana yang tertera dalam surat Al-Baqararh ayat 183. artinya Tidak wajib melaksanakannya bagi orang di luar Islam.
b. Baligh.
Bagi anak yang belum mencapai akil baligh maka tidak wajib hukumnya untuk berpuasa. Namun jika bertujuan untuk mendidiknya maka diperbolehkan, ini merupakan pendapat madzhab Syafi’I, Hanafi dan Hambali.
c. Berakal dan mampu mengerjakan puasa. Adapun bagi orang tak sanggup berpuasa samasekali atau dengan berpuasa dapat mebahayakan keadadaan dirinya sendiri, seperti tua, sakit yang tidah diharapkan kesembuhannya, maka ia tidak wajib puasa, tetapi setiap hari wajib memberi makan orang sebanyak satu mud bila ia mampu. Jika ia tidak mampu, kemudian menjadi mampu maka lazimlah mebayar Kaffarat.
2. Syarat Sah Puasa
a. Islam. Secara otomatis orang yang tidak beragama Islam tidak sah puasanya.
b. Mumayiz, yaitu dapat membedakan mana yang baik dan buruk.
c. Suci dari darah haid (kotoran) dan nifas (darah beranak). Orang yang haid dan dan nifas tidak wajib melaksanakan puasa akan tetapi wajib mengqadha (membayar) puasa yang tertinggal.
d. Berpuasa pada waktu yang diperbolehkan.
3. Rukun Puasa
a. Niat pada malam harinya.
b. Tidak boleh makan dan minum dan semacamnya walaupun sedikit sejak terbit fajar hingga matahari terbenam berupa apapun yang masuk dari luar ke dalam tubuh melalui ubang terbukasecara sengaja dan ingat puasa.
c. Tidak boleh melakukan jimak dan masturbasi dengan tangan dan lainnya.
Dasar larangannya adalah Firman Allah SWT pada Surat Al-Baqarah : 187;
فَالآنَ بَاشِرُْوهُنَّ وَبْتَغُوْا مَاكَتَبَ اللهُ لَكُمْ وَكُلُوْا وَشْرَبُوْا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمْ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
”Maka sekarng gaulilah mereka dan ikutilah apa yang talah ditetapkan Allah untukmu, dan makan serta minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar”. (Al-Baqarah: 187)
4. Hal yang Membatalkan Puasa
Para ahli fiqih membagi hal-hal yang membatalkan puasa kedalam dua bentuk, pertama sesuatu yang membatalkan puasa dan wajib meg-qadha-nya. Kedua sesutu yang membatalkan dan wajib meng-qadha dan kaffarat.
a. Memasuka sesuatu dari luar kedalam tubuh dengan sengaja, baik berupa makanan atau bukan makanan, misalnya asap rokok. Orang yang secara sengaja membatalkan puasanya tanpa uzur maka ia berdosa, disamping itu dia wajib meg-qadha-nya atau menggantinya pada hari-hari lain. Akan tetapi, apabila sesorang dengan sengaja membatalkan puasanya karean ada uzur maka tidak ada dosa baginya, hanya saja dia harus menggantinya di hari-hari yang lain.
b. Muntah dengan sengaja
Seseorang yang dalam keadan berpuasa kemudian dengan sengaja memuntahkan sesuatu dari dalam perutya maka puasanya batal sekalipun tidak ada yang kembali ke dalam. Hal ini berdasarkan hadist Rasulullah saw dari Abu Hurairah r.a. :
مَنْ ذَرَعَهُ القَيْئُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءَ وَمَنِ اسْتَقَاءَ عَمْدًا فَلْيَقْضِ
“ Barang siapa yang muntah denag tidak sengaja tiadak wajib meng-qadha puasnya. Dan siapa yang sengaja muntah maka hendaklah ia meng-qadha puasanya”.
c. Bersetubuh
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثَ إِلَى نِسَائِكُمْ (البقرة : 187)
“ Dihalalkan kepada kamu pada malam bulan Rhamadhan bertempur dengan istrimu”. (Qs. Al-Baqarah : 187).
Laki laki yang membatalkan puasnya dengan bersetubuh pada waktu siang hari di bulan Rhamadhan, sedang dia wajib puasa maka wajiblah atasnya membayar kiffarat.
Ada tiga tingakatan dalam kaffarat:
1. Memerdekakan hamba,
2. Jika tidak sanggup memerdekakan hamba maka berpuasa 2 bulan berturut-turut pada bulan yang lain,
3. Jika tidak kuat untuk berpuasa maka bersedekahlah denagn makanan yang dapat mengenyangkan kepada 60 fakir miskin.
d. Istima’
Yang dimaksud dengan istima’ ialah senagaja bersenag-senang mengeluarkan seperma, baik dilakukan denagn onani, mencium istri, memandang aurat lawan jenis ataupun menghayal melakukan hubungan seksual. Para fuqaha sepakat bahwa istima’ denagn segala bentuknya dapat membatalkan puasa dan wajib membayarnya di hari-hari yang lain.
e. Haid dan nifas
Para ulam telah sepakat bahwa keluarnya darah haid dan nifas dapat membatalkan puasa, karena salah satu syarat sahnya puasa ialah suci dari haid dan nifas.
f. Gila.
Salah satu syarat puasa adalah berakal, jadi apabila secara tiba-tiba ada orang yang gila ketika menjalankan ibadah puasa maka puasanya batal karena persyaratan berakal tidak terpenuhi.
g. Murtad
Orang yang keluar dari Islam dengan perkataan atau perbuatan atau keyakinan. Maka secara otomatis puasanya tidak sah karena tidak memenuhi syarat sah puasa.
h. Pingsan pada seluruh siangnya dan tidak sadar sasatun maka batallah puasanya. Jika sadar pada siang harinya maka puasanya tetap sah. Lain halnya denag tidur walaupun tidur seharian puasanya tidak batal dan tetap sah puasanya.
5. Sunnah Puasa
Dianjurkan bagi orang berpuasa ke dalam 3 hal;
1. Menyegerakan berbuka puasa.
hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi saw.: “Orang-orang tetap dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa”. Dan dianjurkan ketika berbuka puasa memakan makanan yang manis dan air karena makanan manis menguatkan atau memulihkan tanaga setelah seharian kita berpuasa dan air membersihkan kotoran-kotoran yang ada dalam tubuh kita.
2. Mengakhirkan sahur. Hal ini merupakan sunnah para rasul dan hikmahnya apabila mengakhirkan sahur maka akan memperkuat ibadah. Sahur cukup denagan sedikit makanan dan air karena jika berlebihan pun tidak baik untuk kesehatan dan Allah membenci orang-orang yang berlebihan.
3. Tidak mengucapkan perkataan-perkataan buruk.. Jika perkataan itu menimbulkan dosa, maka hukumnya haram dan wajib ditinggalkan, seperti; gibah, namimah, dusta dan perkatan-perkataan lain yang diharammkan. Disamping perkataan-perkataan itu tidak bermanfaat dan merugikan orang lain serta menghapus pahala.
D. Puasa Bulan Rhamadhan
1. Dalam menentukan berpuasa, ada beberapa hal yang harus diperhatikan:
a. Hisab
Secara harfiah, hisab bermakna perhitungan. Dalam dunia Islam istilah hisab sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi. Posisi matahari menjadi penting karena menjadi patokan umat Islam dalam menentukan masuknya waktu salat. Sementara posisi bulan diperkirakan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam kalender Hijriyah. Hal ini penting terutama untuk menentukan awal Ramadhan saat muslim mulai berpuasa, awal Syawal (Idul Fithri), serta awal Dzulhijjah saat jamaah haji wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah) dan Idul Adha (10 Dzulhijjah).
Dalam Al-Qur'an surat Yunus (10) ayat 5 dikatakan bahwa Tuhan memang sengaja menjadikan matahari dan bulan sebagai alat menghitung tahun dan perhitungan lainnya. Juga dalam Surat Ar-Rahman (55) ayat 5 disebutkan bahwa matahari dan bulan beredar menurut perhitungan.
Karena ibadah-ibadah dalam Islam terkait langsung dengan posisi benda-benda langit (khususnya matahari dan bulan) maka sejak awal peradaban Islam menaruh perhatian besar terhadap astronomi. Astronom muslim ternama yang telah mengembangkan metode hisab modern adalah Al Biruni (973-1048 M), Ibnu Tariq, Al Khawarizmi, Al Batani, dan Habash.
Dewasa ini, metode hisab telah menggunakan komputer dengan tingkat presisi dan akurasi yang tinggi. Berbagai perangkat lunak (software) yang praktis juga telah ada. Hisab seringkali digunakan sebelum rukyat dilakukan. Salah satu hasil hisab adalah penentuan kapan ijtimak terjadi, yaitu saat matahari, bulan, dan bumi berada dalam posisi sebidang atau disebut pula konjungsi geosentris. Konjungsi geosentris terjadi pada saat matahari dan bulan berada di posisi bujur langit yang sama jika diamati dari bumi. Ijtimak terjadi 29,531 hari sekali, atau disebut pula satu periode sinodik.
b. Rukyat
Salah satu contoh hasil pengamatan kedudukan hilal
Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang pertama kali tampak setelah terjadinya ijtimak. Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang, atau dengan alat bantu optik seperti teleskop.
Aktivitas rukyat dilakukan pada saat menjelang terbenamnya matahari pertama kali setelah ijtimak (pada waktu ini, posisi Bulan berada di ufuk barat, dan Bulan terbenam sesaat setelah terbenamnya Matahari). Apabila hilal terlihat, maka pada petang (Maghrib) waktu setempat telah memasuki tanggal 1.
Namun demikian, tidak selamanya hilal dapat terlihat. Jika selang waktu antara ijtimak dengan terbenamnya matahari terlalu pendek, maka secara ilmiah/teori hilal mustahil terlihat, karena iluminasi cahaya Bulan masih terlalu suram dibandingkan dengan "cahaya langit" sekitarnya. Kriteria Danjon (1932, 1936) menyebutkan bahwa hilal dapat terlihat tanpa alat bantu jika minimal jarak sudut (arc of light) antara Bulan-Matahari sebesar 8 derajat.
Dewasa ini rukyat juga dilakukan dengan menggunakan peralatan canggih seperti teleskop yang dilengkapi CCD Imaging. namun tentunya perlu dilihat lagi bagaimana penerapan kedua ikllmu tersebut
c. Kriteria Penentuan Awal Bulan Kalender Hijriyah
Penentuan awal bulan menjadi sangat signifikan untuk bulan-bulan yang berkaitan dengan ibadah dalam agama Islam, seperti bulan Ramadhan (yakni umat Islam menjalankan puasa ramadan sebulan penuh), Syawal (yakni umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri), serta Dzulhijjah (dimana terdapat tanggal yang berkaitan dengan ibadah Haji dan Hari Raya Idul Adha).
Sebagian umat Islam berpendapat bahwa untuk menentukan awal bulan, adalah harus dengan benar-benar melakukan pengamatan hilal secara langsung. Sebagian yang lain berpendapat bahwa penentuan awal bulan cukup dengan melakukan hisab (perhitungan matematis/astronomis), tanpa harus benar-benar mengamati hilal. Keduanya mengklaim memiliki dasar yang kuat.
Berikut adalah beberapa kriteria yang digunakan sebagai penentuan awal bulan pada Kalender Hijriyah, khususnya di Indonesia:
d. Rukyatul Hilal
Rukyatul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan merukyat (mengamati) hilal secara langsung. Apabila hilal (bulan sabit) tidak terlihat (atau gagal terlihat), maka bulan (kalender) berjalan digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari.
Kriteria ini berpegangan pada Hadits Nabi Muhammad:
Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka genapkanlah (istikmal)".
Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Nahdlatul Ulama (NU), dengan dalih mencontoh sunnah Rasulullah dan para sahabatnya dan mengikut ijtihad para ulama empat mazhab. Bagaimanapun, hisab tetap digunakan, meskipun hanya sebagai alat bantu dan bukan sebagai penentu masuknya awal bulan Hijriyah.
2. Orang-orang yang boleh tidak mengerjakan puasa
Ada beberapa golongan yang diberi keringanan atau diharuskan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan dan mesti mengqodho’ puasanya setelah lepas dari udzur, yaitu:
Pertama, orang yang sakit dan sakitnya memberatkan untuk puasa. Dimisalkan ini pula adalah wanita hamil dan menyusui apabila berat untuk puasa.
Kedua, seorang musafir dan ketika bersafar sulit untuk berpuasa atau sulit melakukan amalan kebajikan.
Ketiga, wanita yang mendapati haidh dan nifas.
Dalil golongan pertama dan kedua adalah firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
Dalil wanita haidh dan nifas adalah hadits dari ‘Aisyah, beliau mengatakan,
كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
“Kami dulu mengalami haidh. Kami diperintarkan untuk mengqodho puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqodho’ shalat.”
3. Qodha puasa
Berbagai permasalahan qodho’ puasa (membayar utang atau nyaur puasa) masih belum dipahami oleh sebagian kaum muslimin. Oleh karena itu, pembahasan ini sangat menarik jika kami ketengahkan. Semoga bermanfaat.
Yang dimaksud dengan qodho’ adalah mengerjakan suatu ibadah yang memiliki batasan waktu di luar waktunya. Untuk kasus orang sakit misalnya, di bulan Ramadhan seseorang mengalami sakit berat sehingga tidak kuat berpuasa. Sesudah bulan Ramadhan dia mengganti puasanya tadi. Inilah yang disebut qodho’.
Apabila kita memiliki kewajiban qodho’ puasa selama beberapa hari, maka untuk menunaikan qodho’ tersebut tidak mesti berturut-turut. Misal kita punya qodho’ puasa karena sakit selama lima hari, maka boleh kita lakukan qodho’ dua hari pada bulan Syawal, dua hari pada bulan Dzulhijah dan sehari lagi pada bulan Muharram. Dasar dibolehkannya hal ini adalah,
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185). Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tidak mengapa jika (dalam mengqodho’ puasa) tidak berurutan”.
0 Comment