PANDANGAN FILOSOF ISLAM TERHADAP ILMU PENGETAHUAN (AL-KINDI, AL-FARABI, DAN AL-GHAZALI,)
A. Pendahuluan
Filsafat mempunyai ruang lingkup yang sangat luas—bahkan bisa dikatakan tidak terbatas, mulai dari masalah ketuhanan, manusia, kosmos, kebenaran, keadilan, yang ada dan sebagainya. Sedangkan persoalan pengetahuan dibahas dan dikaji dalam suatu bidang filsafat yang disebut dengan epistemologi. Persoalan-persoalan yang muncul diseputar epistemologi terutama meliputi sumber dan batasan pengetahuan manusia, misalnya; bagaimanakah cara manusia dapat mengetahui adanya sesuatu? apakah sumber pengetahuan itu? pengetahuan manusia dapat dikelompokkan ke dalam apa saja? dan dengan cara apakah yang paling tepat untuk mencapai pengetahuan yang benar?
Jika dihadapkan kepada filsafat Islam, lahan yang menjadi garapan filsafat secara umum dan epistemologi pada khususnya, adalah lahan yang menjadi garapan filsafat Islam juga. Namun, sebagai sebuah rumpun filsafat yang mengakar dan mengidentifikasikan diri dengan sebuah tatanan nilai yang bersifat transenden (Islam), tentu ia berbeda dalam banyak hal dengan filsafat pada umumnya. Jika filsafat Yunani tercabut dari akar dogma, tradisi dan kepercayaan misalnya, filsafat Islam justru perlu mempertimbangkan terutama dogma (Nilai-nilai agama) pada setiap penggal refleksi filsafatnya.
Oleh sebab itu menarik dan perlu disimak, bagaimana konsep epistemology versi para fiolosof Islam yakninya al-Kindi, al-Farabi dan al-Ghazali., mengingat mereka bukan saja sekedar pemikir Islam, tetapi letaknya pada peran dan kemampuannya untuk menjadikan Islam sebagai dasar sebuah epistemologi . namun, karena begitu luasnya kajian ketiga tokoh tersebut, makalah ini barangakali hanya merupakan hantaran kepada persoalan yang lebih luas, dan bukan membahas epistemology atau ilmu pengetahuan versi ketiga tokoh tersebut secara mendalam dan detail.
B. Pandangan Filosof Muslim tentang Ilmu Pengetahuan (Epistemologi)
1. Al-Kindi
a. Riwayat Ringkas
Abu Yusuf Ya’kub ibn Ishak Alkindi, terkenal dengan sebutan filosof Arab. Ia adalah keturunan Arab asli dan silsilah nasabnya sampai kepada Ya’kub ibn Qathan, yaitu moyang pertama suku Arabia selatan. Walaupun pada umumnya para ulama di dunia Islam, tokoh-tokoh pemikir dan para filosof, kebanyakan dari unsure keturunan Parsi, Turki, dan Barbar, tetapi Alkindi adalah salah seorang filosof Islam yang berdarah Arab dari kabilah Kindah Yaman.
Ayahnya di masa khalifah al-Mahdi dan al-Rasyid, adalah seorang gubernur Kufah. Al-Kindi sendiri lahir di kota tersebut pada tahun 796 M. Pada waktu muda ia banyak belajar kebudayaan Parsi dan Yunani dari guru-gurunya orang Parsi dan Suria. Ia penganut aliran Muktazilah dan kemudian belajar filsafat. Zaman itu adalah zaman penerjemahan buku-buku Yunani dan al-Kindi kelihatannya turut aktif dalam gerakan penerjemahan tersebut, tetapi usahanya lebih banyak dalam memberi kesimpulan dari pada penterjemahan.
Karena ia termasuk orang yang berada, ia dapat membayar orang lain untuk menerjemahkan buku-buku yang perlu baginya. Di samping itu ia sendiri mengarang buku-buku dalam berbagai bidang, antara lain filsafat, logika, ilmu hitung, astronomi, kedokteran, fsikologi, politik, optik, musik, matematika dan sebagainya.
b. Pandangan tentang Ilmu Pengetahuan (Epistemologi)
Untuk melihat konsepsi epistemology dalam pemikiran al-Kindi, dapat dilihat dari pendapatnya tentang posisi filsafat di samping agama—atau tepatnya apakah filsafat itu bertentangan dengan agama? Tampaknya, pertanyaan ini patut untuk dibahas oleh kalangan muslim manapun, karena bagiamnapun pada saat sekarang ini pembicaraan tentang filsafat hampir-hampir tidak menyentuh persolaan ketuhanan (agama), kalaupun ada itu hanya sebagai imbas ketidakpuasan tokoh-tokoh filosof tertentu terhadap pemikiran rasionalis mereka.
Dalam menjawab pertanyaan “apakah filsafat bertentangan dengan agama”?, al-Kindi membagi pengetahuan menjadi dua bagian: ‘ilmu al-ilahi (pengetahuan, divine science) dan ‘ilmu al-insani (pengetahuan manusiawi, human science). Dalam risalahnya Ma Yahtaj Ilaih fi Tahshil al-Falsafat, al-Kindi mengatakan bahwa ilmu ilahi adalah penetahuan yang diperoleh tanpa proses berfikir, dan pengetahuan tersebut hanya dikhususkan bagi Rasul yang dipilih Tuhan dengan mensucikan jiwa mereka dan memberi wahyu. Sedangkan ‘ilmu al-insani diperoleh dengan akal pikiran, dan siapapun tidak akan mengetahui sesuatu tanpa usaha seperti itu.
Pengetahuan yang pertama disebut wahyu sedangkan pengetahuan yang kedua disebut filsafat. Keimanan terhadap kebenaran yang disampaikan al-Qur’an merupakan metode agama, sedangkan logika merupakan metode bagi filsafat. Pengetahuan manusia (filsafat) dibagi oleh al-Kindi menjadi dua macam, yaitu pengetahuan akal budi yang dapat mengetahui hakikat segala sesuatu, dan pengetahuan indera yang hanya dapat mengetahui bagian-bagian luar atau sifat-sifat lahir dari objek. Dalam mengomentari persoalan ini M. M. Syarif menjelaskan bahwa sumber-sumber makrifat (pengetahuan) itu adalah panca indera, akal dan khayal. Panca indera dapat mengetahui benda-benda yang kecil (particular) dan gambaran materi. Akal dapat mengetahui segala sesuatu secara umum dan dengannya dapat pula gambaran, dan khayal terletak ditengah-tengah kedua pengetahuan ini; panca indera dan akal. Oleh karena itu, khayal dapat mengetahui yang particular dan universal.
Dengan melihat uraian di atas, dapat diketahui bahwa al-Kindi memberikan perbedaan yang jelas antara pengetahuan ilahi dengan pengetahuan manusiwi. Kedua pengetahuan tersebut mempunyai perbedaan baik dasar maupun cara manusia memperolehnya.. di samping itu al-Kindi juga mengakui adanya pengetahuan rasio dan pengetahuan empiris. Namun, pengetahuan yang berada antara rasio dan empiris—yang dikategorikan Syarif pengetahuan khayal—memang sulit untuk ditebak; apakah itu semacam pengatahuan intuitif ataukah srmacam ilmu al-laduni dalam khazanah sufisme.
Menurut al-Kindi kedua jenis ilmu itu—‘ilm al-Ilahi dan ‘ilm al-insan—memilki tujuan yang sama. Agama menerangkan apa yang benar dan baik dan filsafat demikian juga. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa yang benar pertama (al-haqq al-awwal, the first truth) itu adalah Tuhan. Dengan demikian, filsafat adalah pengetahuan tentang yang benar serta membahas soal Tuhan. Berdasarkan hal itu, maka filsafat yang paling tinggi adalah filsafat tentang Tuhan, atau filsafat pertama al-falsafat al-‘ula, the first philosophy) yaitu ilmu tentang Yang Benar Pertama (al-haqq al-awwal) yang menjadi sebab atau illat segala yang benar.
Dengan demikian, jelaslah bahwa al-Kindi mencoba untuk memberikan suatu gambaran awal (kalau belum bisa dikatakan gambaran menyeluruh) tentang pengetahuan (epistemology) sebagai suatu usaha manusia untuk menelaah objektifitas, metodologi, sumber serta validitas pengetahuan secara lebih mendalam dengan menggunakan Islam sebagai titik tolak berfikir.
2. Al-Farabi
a. Riwayat Ringkas
Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh al-Farabi, lahir di Farab, propinsi Transoxiana, Turkistan tahun 257 H/ 870 M. Ayahnya seorang pejabat tinggi militer pada dinasti Samaniyah yang menguasai wilayah Transoxiana, wilayah otonom kekhalifahan Bani Abbasiyah. Pendidikan dasarnya ditempuh di Farab, yang penduduknya bermazhab Syafi’I, lalu pindah ke Bukhara. Menurut Ibn Abi Usaibi’ah, di Bukhara ini al-Farabi pernah diangkat menjadi hakim setelah menyelesaikan studi ilmu-ilmu relegiusnya. Tetapi, jabatan ini segera ditinggalkan ketika mengetahui ada seorang guru yang mengajarkan ilmu-ilmu filosofis; sebuah ilmu yang dasar-dasarnya telah dikenal baik lewat studi Kalam (Teologi Dialektis) dan Ushul Fiqh (Prinsip Yurisprudensi).
Tahun 922 M, al-Farabi pindah ke Baghdad, untuk lebih mendalami filsafat. Ia belajar Logika dan Filsafat kepada Matta ibn Yunus (w. 939 M) dan-terutama-Ibn Hailan (w. 932 M), tokoh filsafat aliran Aleksanderia yang sekaligus mengajak al-Farabi pergi ke Konstantinopel dan tiggal di sana selama 8 tahunguna mendalami filsafat. Sepulang dari Konstantinopel, al-Farabi mencurahkan diri dalam belajar, mengajar dan menulis filsafat. Ia menjauhkan diri dari pertikaian politik serta konflik-konflik religius dan sectarian yang menimpa Baghdad selam akhir periode ini.
Pada tahun 942 M, ketika situasi politik di Baghdad memburuk, al-Farabi pindah ke Damaskus yang dikuasai dinasti Ikhsidiyah. Namun, tidak lama di sana, ia segera pergi ke Mesir karena terjadi konflik politik antara dinasti Ikhsidiyah dengan Hamdaniyah di mana Aleppo dan Damaskus diduduki pasukan Hamdaniyah. Beberapa tahun di Mesir, al-Farabi kembali ke Damaskus, dan kemudian ke Aleppo memenuhi undangan Saif al-Daulah, putera mahkota dinasti Hamdaniyah untuk ikut dalam lingkaran diskusi orang-orang terpelajar. Dalam diskusi yang melibatkan penyair-penyair terkenal seperti al-Mutanabbi (w. 965 M), Abu Firas (w. 968 M), Abu al-Faraj (w. 968) dan ahli tata bahasa Ibn Khalawaih (w. 980 M), al-Farabi tampil mengesankan berkat kemampuannya menguasai beberapa bahasa, penguasaan ilmu-ilmu filosofis dan bakat musiknya.
Al-Farabi meninggal di Damaskus pada bulan Rajab 339 H/Desember 950 M pada usia 80 tahun dan dimakamkan di luar gerbang kecil kots bagian selatan. Saif al-Daulah sendiri yang memimpin upacara pemakaman al-Farabi.
Al-Farabi meninggalkan banyak karya tulis, yang secara garis besar dikelompokkan dalam beberapa tema; logika, fisika, metafisika, politik, astrologi, musik dan beberapa tulisan yang berisi tentang sanggahan terhadap pandangan filosof tertentu. Dalam bidang logika, di antaranya, Risalah Shudira Biha al-Kitab (Risalah yang dengannya kitab berawal) dan Risalah fi Jawab Masa’il Su’ila ‘Anha (Risalah tentang jawaban atas pertanyaan yang diajukan tentang-Nya); bidang fisika, Syarah Kitab al-Sama’ al-Tabi’i li Aristutalis (Bahasan atas Kitab Aristoteles tentang Langit dan Alam Raya); bidang metafisika, Fushus al-Hikam (Permata Kebijaksanaan) dan Kitab fi al-Wahid wa al-Wahdah (Kitab tentang Yang Satu dan Yang Maha Esa); bidang politik, Kitab Ara’ Ahl al-Madinat al-Fadhilah (Kitab tentang opini Penghuni Kota Ideal), Kitab al-Siyasat al-Madaniyah (Kitab tentang Pemerintahan Negara Kota) dan Kitab al-Millat al-Fadlilah (Kitab tentang Komonitas Utama) dan Kitab Ihsha al-‘Ulum (Kitab tentang Pembagian Ilmu).
b. Pandangan tentang Ilmu Pengetahuan
Gagasan atau ide yang paling mendasar yang berkaitan dengan epistemology tradisional al-Farabi adalah tentang kesatuan dan hierarki ilmu. Hubungan mendalam antara gagasan ini dan epistemlogi tradisional dapat diungkap dalam dua pengertian; pertama gagasan itu adalah hasil penyelidikan tradisional terhadap epistemology. Kedua, gagasan itu merupakan basis atau dasar bagi penyelidikan itu. Gagasan pertama dihasilan dari penetapan doktrin tauhid (Kesatuan Prinsip Ilahi) pada seluruh wilayah kecerdasan (intelegensi) manusia dan aktifitasnya dalam berfikir serta mengetahui.
Dalamm meneliti masalah bagaimana manusia mengetahui—metodelodi ilmu (mengetahui) secara konprehensif—mau tidak mau akan berhadapan dengan kutub objektif dan subjektif ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, manusia akan berhadapan dengan hierarki panca indera dan kekuatan-kekuatan untuk mengethaui dalam diri subjek yang diketahui manusia, dan dalam dunia wujud yang diketahui ataupun yang dapat diketahui.
Menurut al-Farabi hierarki ilmu terdiri dari tiga criteria yang menyusunnya: pertama, kemuliaan materi subjek (syaraf al-maudhu’), yaitu suatu prinsip fundamental ontologis. Kedua, kedalaman bukti-bukti (istiqsha’ al-barahin), yaitu yang didasarkan atas pandangan tentang sistematika pernyataan kebenran-kebenaran dalam berbagai ilmu. Ketiga, tentang besarnya mamfaat (‘izham al-jadwa’) dari ilmu yang bersangkutan, yaitu yang didasarkan atas fakta bahwa kebutuhan praktis dan spritual yang berkaitan dengan aspek kehendak jiwa.
Meskipun al-Farabi menggunakan ketiga basis di atas untuk menyusun hierarki ilmu, ia tetap sangat menruh perhatian pada basis metodologis. Untuk melihat teori al-Farabi tentang metodologi sangat terkait dengan uraiannya tentang logika. Selain itu, berkaitan dengan hierark wujud al-Farabi—dalam istilahnya disebut maujudat—menguraikan martabah al-maujudah dimulai dari entitas-entitas metafisika, dengan Tuhan dipuncaknya, kemudian menurun melalui alam “antara” (baezakh) yang bisa dilihat percampuran antara unsure-unsur metafisika dan fisik dengan bentuk yang ynik menuju alam fisik, tempat kita hidup dan berkembang, yaitu:
1. Tuhan yang merupakan sebab keberadaan wujud yang lain.
2. para malaikat yang merupakan wujud-wujud yang sama sekali immaterial.
3. benda-benda langit atau benda-benda angkasa, dan
4. benda-benda bumi.
3. Al-Ghazali
a. Riwayat Ringkas
Al-Ghazali, nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad aThusi al-Ghazali, lahir di Thus, dekat Masyhad, Khurasan, tahun 450 H/1058 M, dari ayah seorang penenun wol (Ghazzal) sehingga dijuluki al-Ghazali. Pendidikan awalnya di Thus, lalu di Jurjan, dalam bidang hokum (Fiqh) di bawah bimbingan Abu Nashr al-Ismaili. Pada usia 20 tahun, ia pergi ke Nisabur untuk mendalami fiqh dan teologi kepada al-Juwaini (w. 1085) dan kemudian menjadi asisten gurunya sampai sang guru wafat. Yang perlu dicatat, al-Juwaini adalah tokoh yang punya peran penting dalam memfilsafatkan teologi asy’ariyah. Menurut al-Subki, al-Juwaini inilah yang memperkenalkan al-Ghazali pada filsafat termasuk logika dan filsafat alam, lewat disiplin teologi.
Selain mendalami fiqh dan teologi, di Nisabur al-Ghazali juga belajar dan melakukan praktek tasawuf dibimbing al-Farmadzi (w. 1084 M ), tokoh sufisme asal Thus, murid al-Qusyairi (w. 1074 M). Hanya saja, saat pertama ini, al-Ghazali tidak berhasil mencapai tingkat di mana sang mistis menerima inspirasi dari alam ‘atas’ . Ia juga mempelajari doktrin-doktrin Ta’limiyah hingga Muntadzhir menjadi khalifah (1094-1118 M).
Pada tahun 1091 M, al-Ghazali diundang oleh Nidzam al-Mulk (w. 1092 M), wazir dari Malaik Syah, (w. 1092 M) untuk menjadi guru besar di Nidzamiyah, Baghdad. Di sini ia menuntaskan studinya tentang teologi, filsafat, ta’limiyah dan tasawuf, dan merupakan periode penulisan paling produktif. Namun, perkenalannya dengan empat klaim metodologis tersebut, pada sisi lain, ternyata telah menyebabkan al-Ghazali mengalami krisis epistemologis yang kemudian memaksanya mengundundurkan diri dari jabatannya, lalu mengasingkan diri dan melakukan pengembaraan selama 10 tahun, dimulai ke Damaskus, Yerussalem, Makkah, kembali ke Damaskus dan terakhir ke Baghdad.
Setelah lama dalam pengasingan spiritual, setelah meyakinkan dirinya bahwa “kaum sufilah orang yang menempuh jalan kepada Tuhan secara benar dan langsung” , dan setelah merasa mencapai tingkat tertinggi dalam realitas spiritual, al-Ghazali mulai merenungkan dekadensi moral dan religius pada komunitas muslimin saat itu. Kebetulan, bersamaan dengan itu, Fakhr al-Mulk, penguasa Khurasan memintanya mengajar di Nisabur, tahun 1105. namun, di Nisabur ini al-Ghazali tidak lama, hanya sekitar 5 tahun, karena pada tahun 1110 M, ia kembali ke Thus.
Di Thus, al-Ghazali mendirikan madrasah dan sebuah khanaqah (biara Sufi) bagi para Sufis. Di sini ia menghabiskan sisa hidupnya sebagai pengajar agama dan guru sufi di samping mencurahkan diri dalam peningkatan spiritual. Al-Ghazali meninggal pada hari Ahad, 18 Desember 1111 M, di Thus, pada usia 53 Tahun.
Karya-karya al-Ghazali yang dianggap paling monumental adalah Ihya’ Ulumuddin (menghidupkan kembali Ilmu-ilmu relegius ); sebuah kitab yang ditulis untuk memulihkan keseimbangan dan keselarasan antara dimensi eksoterik dan dimensi esoteric Islam. Karyanya yang lain, dalam bidang filsafat dan logika, antara lain, Mi’yarar al’Ilm (Standar Pengetahuan), Tahafut al-Falasifah (Kerancuan para Filosof), dan Mihak al-Nadzar fi al-Manthiq (Batu uji Pemikiran Logis); dalam bidang teilologi adalah Qawa’id al-Aqa’id (Prinsip-Prinsip Keimanan), dan Iqtishad fi al-I’tiqad (Muara Kepercayaan ); dalam bidang Ushul Fiqh adalah Al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul (Inti Sari Ilmu tentang pokok-pokok Yurisprudensi) dan Al-Mankul min ‘ilm Ushul (Ikhtisar Ilmu tentang Prinsip-Prinsip); dalam bidang tasawuf adalah al-Kimia al-Sa’adah (Kimia Kebahagiaan), Misykat al-Anwar (Ceruk Cahaya-Cahaya); dalam kebatinan adalah Qishas al-Mustaqim (Neraca yang Lurus) dan Al-Mustdzhir.
b. Pandangan tentang Ilmu Pengetahuan
Untuk melihat pandangan al-Ghazali tentang ilmu pengetahuan (epistemogi) perlu melihat penelusuran ilmu pengetahuan yang dilakukan al-Ghazali, yang merupakan perjalanan epistemologinya. Dalam hal ini, penelusuran al-Ghazali terhadap ilmu banyak dipengaruhi oleh situasi pertentangan antara berbagai ahli dalam usaha mencapai kebenaran. Al-Ghazali menemukan empat kelompok manusia pencari kebenaran, yang masing-masingnya memiliki cirri khas tersendiri.
Keempat kelompok yang dimaksud adalah berikut ini.
1. Mutakallimin (ahli teologi ), yaitu mereka yang mengakui kelompoknya sebagai eksponen pemikir intelektual.
2. Batiniah (salah satu sekte dari golongan Syi’ah), yang terdiri atas para pengajar yang mempunyai wewenang ta’lim (pengajaran). Kelompok ini mengklaim telah mendapat kebenaran dari seorang guru yang memiliki pribadi sempurna dan tersembunyi.
3. Para Filosof yang menyatakan diri sebagai kaum logikus.
4. Kelompok Sufi, yang mengaku mencapai tingkat kebenaran dengan Allah melalui penglihatan secara batiniah.
Petualangan al-Ghazali dalam dunia ilmu dengan mempelajari dan mendalami aliran-aliran di atas, ternyata telah membawa serangkaian keraguan, yang menyebabkannya merasa menemukan ilmu yang diyakininya “benar” melalui kerangka pemikiran Tasawuf. Jika demikian berarti tasawuf merupakan persinggahan terakhir dari al-Ghazali dalam proses pencarian ilmu pengetahuan. Dunia tasawuf yang digelutinya itu ternyata tidak menyurutkan kebiasaan dalam hal tulis-menulis buku. Karya-karya besar yang ditulis oleh al-Ghazali antara lain adalah Ihya’ Ulumuddin, Minhaj Al-‘Arifin, Raudhat al-Tholibin dan sebagainya.
Ketika berada dalam pengamalan tasawuf, al-Ghazali justru kelihatan lebih produktif dan lebih semangat dalam menuangkan pemikirannya-pemikirannya, baik yang membahas persoalan-persoalan agama, maupun yang khusus membahas ilmu pengetahuan. Salah satu karya monumental tentang ilmu pengetahuan yang dikaji dalam pandangan tasawufnya adalah kitab Risalah Al-Ladunniyah. Dalam kitab Al-Risalah Al-Ladunniyah itu ia menampilkan gagasan tentang ilmu pengetahuan. Dalam kitab ini, ia menjelaskan bahwa ilmu secara epistemology terbagi menjadi dua sumber penggalian. Pertama, Sumber insaniah dan Kedua Sumber Rabbaniyyah.
Sumber insanniyah adalah sumber ilmu pengetahuan yang dapat diusahakan oleh manusia berdasarkan keuatan rekayasa akal yang dimilikinya sehingga dari hasil rekayasa akal itu terbentuk suatu ilmu pengetahuan. Adapun sumber Rabbaniyyah adalah sumber yang tidak dihasilkan melalui kemampuab akal manusia, melainkan dari informasi Allah melalui petunjuk, baik langsung melalui ilhamyang dibisikkan ke dalam hati manusia maupun petunjuk yang datang melalui wahyu yang diturunkan kepada nabi dan rasul-Nya. Pada sumber Rabbaniyyah terlihat jelas bahwa al-Ghazali membagi sumber perolehan ilmu menjadi dua macam. Pertama, dengan jalan Wahyu, dan Kedua, dengan melalui Ilham. Ilmu yang diperoleh melalui wahyu, datang tanpa melalui proses belajar dan proses berfikir, dan hanya diturunkan kepada para nabi dan rasul karena mereka memiliki Akal Kulli (Akal Universal). Oleh sebab itu, ilmu yang diperoleh lewat jalan wahyu disebut Ilmu Nabawi.
Ilmu Nabawi berkisar tentang rahasia ibadah yang diperintahkan maupun larangan Allah, Hari akhir, Surga, Neraka, serta masalahmengetahui diri dan Dzat Tuhan (Metafisika), yang menurut al-Ghazali tidak dapat dicapai akal, tetapi dengan wahyu. begitu pula tentang syari’at agama itu sendiri, manusia tidak mengetahui ide-ide yang terkandung dalam setiap pernyatan ajaran agama.
Adapun ilmu yang datang melalui ilham yang masuk ke dalam hati manusia deisebut ‘ilmu Ladunni. Dalam Risalah al-Ladunniyah-nya al-Ghazali mengartikan ‘Ilmu Ladunni sebagai ilmu yang terbuka dalam rahasia hati “tanpa perantara” karena datang langsung dari tuhan ke dalam jiwa manusia. Dalam Ihya’ Ulumuddin, ia mengartikan ilmu ladunni sebagai ilmu yang datang dari Tuhan secara langsung “tanpa sebab”.
Selanjutnya, dari kedua sumber perolehan ilmu pengetahuan itu (Wahyu dan Ilham), al-Ghazali memasukkan jalan ta’allum dan tafakkur sebagai metode untuk memperoleh ilmu. Persoalan ini menjadi kurang jelas ketika al-Ghazali memasukkan ilmu insani yang diperoleh melalui ta’allum dan tafakkur.
Aktivitas tafakkur pada ilmu insani itu pada akhirnya menyentuh kawasan ilmu-ilmu metafisik. Hal ini karena tafakkur melibatkan aktivitas jiwa manusia, terutama ketika sedang menganalisis dan mempersepsikan segala sesuatu di balik alam yang real (nyata). Sudah tentu bertafakkur seperti ini akan menyentuh kawasan ilmu-ilmu yang metafisik di balik alam yang dipikirkannya. Hal ini tampaknya bertentangan dengan pendapatnya sendiri bahwa ilmu-ilmu yang metafisik ini hanya diperoleh lewat wahyu yang diturunkan kepada para nabi dan rasul.
Ketidakjelasan itu lebih tampak lagi ketika al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua macam, yaitu ‘ilmu Syar’i dan ‘ilmu Aqli. Menurutnya, kebanyakan ilmu syar’I adalah ilmu ‘aqli bagi orang alim, sedangkan kebanyakan ilmu ‘aqli merupakan ilmu syar’I bagi orang arif. Dari pembagian ini, tampaknya al-Ghazali mencampuradukkan ilmu syar’i dengan ilmu ‘aqli, seperti halnya ia mencampuradukkan jalan tafakkur antara ilmu insani dan ilmu rabbani.
Adanya ketidak jelasan pandangan di atas, barangkali disebabkan kecenderungan al-Ghazali untuk menampilkan pemikiran dlam wacana lain. Dimana, kecenderungan ini terjadi karena al-Ghazali mengarahkan pemikirannya pada ilm u ladunni sebagai sebuah epistemologi ilmu.
C. Penutup
Dari uraian terdahulu dapatlah kita ambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: Pertama, Ilmu Pengetahuan adalah salah satu tema kajian yang sangat penting dalam pemikiran para filosof Islam. Kedua,terdapat variasi pandangan dalam pemikiran filosof Islam tentang ilmu pengetahuan, walaupun pada umumnya tidak terdapat perbedaan yang prinsip. Ketiga, secara prinsip dalam hal cara memperoleh pengetahuan atau mengetahui objek-objek ilmu—secara terlihat—terdapat persamaan antara ketiganya—al-Kindi, al-Farabi, al-Ghazali—yang barangkali bisa dikatakan sebagai sebuah prinsip dalam epistemologi Islam, yaitu:
1. Ilmu Pengetahuan dapat diperoleh melalui indra, yang dalam hal ini sangat kompetren dalam mengenal objek-objek fisik dengan cara mengamatinya.
2. Ilmu dapat diketahui melalui akal yang mampu mengenal bukan saja benda inderawi dengan cara mengabtraksi makna universal dari data-data inderawi, melainkan juga objek-objek non fisik (ma’qulat) dengan cara menyimpulkan dari yang telah diketahui menuju yang tidak diketahui.
3. hati (qalb) yang meangkap objek-objek non fisik atau metafisika melalui kontak langsung dengan objek-objek yang hadir dalam jiwa seseorang.
Dengan demikian, seluruh rangkaian wujud yang menjadi objek-objek ilmu pengetahuan—yang fisik dan non fisik—dapat diketahui oleh manusia.
0 Comment