Oleh: Zilfaroni
A. Pendahuluan
Musibah merupakan kejadian yang datang atas dasar kehendak Allah Swt yang mana manusia tidak mampu untuk menolaknya. Namun meskipun demikian, manusia diwjibkan untuk terlepas atau menghindar dari musibah yang telah melandanya, yaitu dengan cara mencari jalan keluar dari musibah tersebut seperti, apabila seorang sakit maka hendaklah ia segera berobat, atau apabila ia ditimpa banjir maka diwajibkan atasnya untuk menghindari banjir tersebut. Upaya menghindari musibah tersebut bukan pada tingkat pencegahan, seperti mencegah datangnya sakit atau banjir, akan tetapi upaya tersebut hanya pada tingkat penanggulangannya.
Musibah tidak membedakan sasaran yang dikenainya, ia bisa menimpa siapa saja termasuk para nabi, rasul, serta orang-orang sholeh. Apabila musibah tersebut menimpa orang-orang sholeh, maka musibah tersebut sebagai ujian serta cobaan bagi mereka untuk menguji keimanan mereka kapada Allah Swt. Apabila musibah tersebut menimpa ahlu ma’siah, maka musibah tersebut sebagai peringatan bagi mereka supaya mereka bisa kembali kepada jalan Allah Swt.
Makalah ini akan membahas tentang wawasan al-Qur’an tentang musibah, yang mana penulis mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan musibah. Disamping itu, makalah ini juga membahas tentang pengertian musibah, bentuk-bentuk musibah yang diberikan oleh Allah Swt kepada hambanya, serta bagaimana sikap kita ketika mendapatkan musibah.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi teman-teman terutama bagi penulis dalam rangka menambah wawasan kita terhadap al-Qur’an. Penulis pun juga berharap masukan dan saran dari kawan-kawan, serta bimbingan dari dosen pembimbing guna kesempurnaan makalah ini.
B. Pengertian Musibah
Musibah berasal dari kata bahasa arab yaitu أصاب- يصيب- مصيبة yang mana mempunyai banyak makna diantaranya: mengenai seperti perkataanالغرض أصاب yang mana artinya mengenai sasaran, ia juga mempunyai makna memperoleh atau mendapat seperti perkataan أصابته النعمة yang mana artinya ia memperoleh atau mendapatkan nikmat, ia juga berarti mengambil seperti perkataan أصاب من المال artinya ia mengambil sebagian dari harta, dismping itu ia juga berarti menimpa seperti perkataan أصابته المصيبة yang mana artinya musibah telah menimpanya.
Raghib al-Asfahaniy berkata: kata أصاب bisa digunakan untuk hal yang baik dan hal yang buruk seperti firman Allah Swt إن تصبك حسنة تسؤهم و إن تصبك مصيبة.... kedua kata “أصاب ” dalam ayat ini meskipun dipergunakan untuk maksud yang berbeda, akan tetapi berasal dari kata yang sama yaitu أصاب. Dari sini dapatlah kita ketahui bahwasanya pengunaan kata أصاب tidak hanya terbatas kepada yang jelek saja akan tetapi kepada yang baik pun juga dipergunakan.
Sementara kata “ المصيبة “ menurut Raghib al-Fasfahani pada mulanya digunakan untuk hal-hal yang berkenaan dengan melempar “ رمية “ yang mana makna dari kata “ المصيبة “ yaitu mengenai sasaran seperti perkataan “ رميت رجلا رمية مصيبة “ yang mana artinya saya melempar seorang laki-laki dengan sekali lemparan yang mengenai sasaran “ مصيبة “. Akan tetapi makana musibah yang sering kita dengarkan sekarang ini hanya terbatas pada sesuatu bencana yang menimpa manusia atau suatu hal yang tidak disenangi oleh manusia. Dalam kamus Mu’jam al-Wasith musibah adalah segala sesuatu yang tidak disenagi oleh manusia. Menurut Muhammad Sayyid Thanthawiy musibah merupakan ismu fa’il dari kata ishabah “إصابة “ yang artinya kepedihan yang datang pada diri seseorang disebabkan karena suatu bencana yang menimpanya. Sementara menurut Abu Hayyan musibah adalah segala kepedihan atau kesedihan yang menimpa manusia, baik itu pada diri, harta, atau keluarganya, meskipun kesedihan tersebut besar atau kecil seperti padamnya lampu ketika seseorang sangat membutuhkan lampu.
Dengan demikian dapatlah kita ketahui bahwasanya penggunaan kata “مصيبة “ telah terjadi penyempitan makna, yang mana kata tersebut pada zaman sekarang ini hanya dipahami sebagai sesuatu hal yang menimpa manusia sementara ia tidak menginginkannya.
C. Macam-Macam Musibah
Pada dasarnya segala sesuatu yang menimpa manusia disebut musibah, mekipun itu baik atau buruk hal ini sesuai denagn firman Allah Swt dalam al-Qur’an yang berbunyi:
Artinya:
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (QS: Al-Hadid: 22)
Al-Sa’diy berkata: “ Ayat diatas adalah umum untuk semua musibah yang menimpa manusia baik itu baik atau buruk. Semua musibah tersebut telah ditetapkan oleh Allah Swt, jadi tidak ada bagi manusia untuk menolak dan menentangnya akan tetapi baginya bersukur jika musibah itu baik, serta pasrah dan sabar apabila musibah itu jelek”. Adapun firman Allah Swt “لكيلا تأسوا ...... بما ءا تكم “ merupakan bukti bahwasanya musibah tersebut tidak hanya ditujukan kepada hal-hal yang jelek, akan tetapi juga ditujukan kepada hal-hal yang baik, makna daripada ayat ini adalah supaya kamu tidak berduka terhadap musibah jelek yang menimpamu yang mana musibah tersebut menghilangkan harta, diri serta keluargamu, dan supaya kamu tidak terlalu gembira terhadap musibah baik yang menimpamu yang mana musibah tersebut bisa membuatmu menjadi sombong dan angkuh kepada Allah Swt.
Dari sini dapatlah kita ketahui bahwasanya segala sesuatu yang menimpa manusia disebut dengan musibah. Apabila musibah itu baik, maka sesungguhnya datangnya dari Allah Swt sebagai nikmat, kebaikan, dan ujian dari Allah Swt. Sementara apabila musibah itu jelek maka itu berasal dari kita sendiri sebagai ganjaran, balasan, serta peringatan dari Allah Swt terhadap dosa yang kita lakukan. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt yang berbunyi:
Artinya:
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi”. (QS: An-Nisa’: 79).
Dari pemaparan diatas dapatlah kita ketahui bahwasanya banyak sekali macam musibah, baik itu jelek atau bagus, akan tetapi penulis hanya menyebutkan beberapa musibah yang terdapat dalam al-Qur’an bseserta penyebab datangnya musibah tersebut.
1. Gempa, air bah, badai, dan halilintar merupakan salah satu musibah yang diberikan oleh Allah Swt kepada umat yang ingkar kepada Allah Swt serta menentang nabi dan rasul yang telah diutus kepadanya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam al-Qur’an yang berbunyi:
Artinya:
“ Hai kaumku, janganlah hendaknya pertentangan antara aku (dengan kamu) menyebabkan kamu menjadi jahat hingga kamu ditimpa azab seperti yang menimpa kaum Nuh atau kaum Hud atau kaum shaleh, sedang kaum Luth tidak (pula) jauh (tempatnya) dari kamu”. (QS: Huud: 79)
Ayat diatas merupakan peringatan Allah swt kepada kaum Syu’ab yang menentangnya ketika diperintahkan oleh Allah Swt untuk menyembahnya dan melaksanakan sholat. Dalam ayat ini Allah Swt mengancam mereka dengan musibah yang akan mengancurkan mereka apabila tidak melaksanakan apa yang diperintahkan oleh nabi Syu’ab as kepada mereka. Muhammad Sayyid Thanthawiy berkata: “Adapun maksud firman Allah Swt “ لا يجرمنكم شقاقي ... “ wahai kaumku janganlah pertentangan serta permusuhanmu terhadapku menyebabkan kepada musibah berupa azab yang ditimpakan kepadamu sebagaimana telah ditimpakan kepada kaum sebelum kamu, seperti kaum Luth As, Nuh As, Hud As, Shalih As. Sementara firman Allah Swt “ وما قوم لوط منكم ببعيد “ maksudnya: jika kamu mengambil pelajaran terhadap apa yang menimpa kaum Nuh As berupa air bah yang menenggelamkan mereka, kaum Hud As berupa angin topan yang menghancurkan rumah-rumah mereka, serta suara gemuruh halilintar yang menimpa kaum Shalih As sehingga memecahkan gendang telinga mereka, serta gempa dan hujan batu yang melanda kaum Luth As sementara kaum tersebut tidak jauh jarak serta zamannya dari kamu, kami telah benamkan mereka kedalam bumi”.
2. Kematian juga merupakan salah satu musibah yang pasti akan dihadapi oleh setiap makhluk Allah swt, baik ia beriman ataupun tidak beriman kapadaNya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt yang berbunyi:
Artinya:
“jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian”. (QS: Al-Maidah: 106)
Ayat diatas menyebutkan bahwa kematian juga termasuk kedalam kategori musibah. Menurut al-Baghawiy maksud daripada “ مصيبة الموت “ adalah permulaan atau tanda-tanda kematian. Menurut Muhammad Sayyid Thanthawiy maksud firman Allah Swt “ فأصابتكم مصيبة الموت “ adalah perasaan bahwa ajal kita telah dekat, bukan maksudnya mati yang sesungguhnya. Mati disebut dengan musibah, karena tabi’at kematian tersebut yang senantiasa diawali dengan kesakitan atau penderitaan bagi siapa yang akan menghadapinya.
3. Kelaparan, ketakutan, kekurangan harta dan bahan pangan merupakan suatu musibah dari Allah Swt. Musibah ini bisa menjadi azab bagi orang-orang kafir dan bisa juga sebagai ujian bagi orang-orang mukmin, hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam al-Qur’an yang berbunyi:
Artinya:
“ Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”. (QS: al-Baqarah: 155).
Ayat diatas menyebutkan bermacam-macam musibah yang akan dihadapi oleh manusia. Adapun makna dari firman Allah Swt “ ولنبلونكم “ adalah “ ولنصيبنكم “, sedangkan makana “ الخوف “ adalah kegoncangan jiwa yang datang kepada manusia ketika akan menghadapi sesuatu yang tidak disenanginya, sementara maksud firman Allah Swt “الجوع “ adalah “ القحط “ kesusahan untuk mendapatkan makanan. Adapun tanwin pada firman Allah Swt “بشيء “ adalah litaqlil, dengan artian bahwasanya musibah yang menimpa kamu tersebut berupa kelaparan, ketakutan, kukurangan harta dan bahan pangan hanyalah sedikit, dibandingkan dengan rahmad dan nikmat Allah akan datang kepadamu setelah musibah tersebut.
D. Penyebab Datangnya Segala Musibah
Sebagian orang beranggapan bahwasanya al-Qu’an bervariasi dalam menyatakan sebab datangnya segala musibah. Dalam suatu ayat, al-Qur’an menekankan bahwasanya segala macam musibah telah ditentukan oleh Allah Swt sebelum terjadinya musibah tersebut tidak bergantung kepada sebab apapun, hal ini sesuai dengan firman Allah Swt yang berbunyi:
Artinya:
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (QS: al-Hadiid: 22)
Dalam ayat ini Allah Swt menegaskan bahwa segala musibah tersebut telah ditetapkan oleh Allah sebelum terjadi musibah tersebut tanpa harus bergantung kepada sebab yang mendatangkannya. Sementara dalam ayat lain Allah Swt menggantungkan penyebab datangnya suatu musibah dengan dosa yang diperbuat oleh manusia, hal ini sesuai dengan firman Allah Swt yang berbunyi:
Artinya:
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)”. (QS: As-Syura: 30)
Dalam ayat ini Allah Swt menegaskan kepada kita bahwa segala macam musibah yang menimpa manusia itu disebabkan oleh perbuatan tangannya sendiri bukan karena keinginan Allah Swt. Kalau seandainya kita bandingkan antara ayat pertama dan kedua maka kita mendapatkan pertentangan antara kedua ayat ini, akan tetapi apabila kita menggunakan kaidah ‘am dan khas “ عام و خاص “, maka kita akan mendapatkan solusinya, bahwasanya ayat kedua dikususkan kepada pelaku maksiat atau orang-orang yang lalai. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Zamaksyari ketika menafsirkan ayat ini, yang mana ia berkata:
“ Ayat ini dikhususkan untuk pelaku maksiat, tidak ada yang bisa melarang Allah Swt untuk memberikan balasan kepada sebagian pelaku maksiat berupa musibah, serta memaafkan kepada sebagian yang lainnya. Sementara para nabi dan orang yang tidak punya dosa seperti anak kecil dan orang gila, apabila mereka ditimpa musibah, maka sesungguhnya itu untuk kemaslahatan mereka sendiri serta sebagai ganti yang akan dipenuhi oleh Allah Swt kelak di akhirat.
Dari pernytaan Zamaksyari diatas dapat kita ketahui bahwasanya tidak ada kontradiksi antara ayat pertama dengan ayat kedua. Ayat yang pertama untuk semua makhluk Allah swt, sementara ayat yang kedua khusus untuk para pelaku maksiat. Allah Swt memberikan musibah kepada pelaku maksiat agar siksaan mereka tidak dilipat gandakan oleh Allah Swt di akhirat kelak, hal ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan oleh Tirmizi yang berbunyi:
عن علي رضي الله عنه قال النبي صلي الله عليه وسلم: من أصاب حدا فعجلت عقوبته في الدنيا فالله أعدل من أن يثني علي عبده العقوبة في الأخرة ومن أصاب حدا فستره الله عليه وعفا عنه فاالله أكرم من أن يعود في شيء قد عفا عنه
Artinya:
Diriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: “ Siapa yang timpa had , maka hukumannya timajukan didunia ini, dan Allah Maha Adil daripada melipat gandakan hukuman diakhirat terhadap hambanya. Dan siapa yang ditimpa had maka Allah telah menutupi serta mengampuni dosanya, dan Allah lebih mulia dari menarik kembali sesuatu yang telah dimaafkannya”. (HR. Tirmizi).
Hadist diatas menjelaskan bahwa musibah yang menimpa pelaku maksiat merupakan hukuman dari Allah Swt di dunia ini, supaya ia tidak mendapatkan balasan yang berlipat ganda di akhirat kelak. Akan tetapi tidak semua pelaku maksiat diberi musibah oleh Allah Swt, karena kalau setiap pelaku musibah mendapatkan hukuman dari Allah Swt di dunia ini, maka tidak akan ada satu pun manusia yang tersisa di bumi ini, karena tidak ada seseorang pun yang bisa terlepas dari dosa dan kesalahan. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam al-Qur’an yang berbunyi:
Artinya:
“Dan kalau Sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu mahluk yang melatapun akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu; Maka apabila datang ajal mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya”. (QS: Faathir: 45)
E. Pembelajaran al-Qur’an dalam mengobati musibah
Musibah merupakan sesuatu yang menyakiti serta tidak disenangi oleh manusia, oleh sebab itu banyak orang yang bersedih serta putus asa ketika mendapatkan suatu musibah. Akan tetapi al-Qur’an mengajarkan umat Islam untuk keluar dari kesedihan serta kepedihan mereka ketika mendapatkan musibah yaitu dengan malakukan hal-hal dibawah ini:
1. Sabar ketika mendapatkan musibah sebagaimana Allah Swt berfirman dalam al-Qur’an yang berbunyi:
Artinya:
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun". Mereka Itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS: Al-Baqarah: 155-157)
Dalam ayat diatas Allah Swt menjelaskan bahwa sabar dapat menghilanglan kesedihan serta penderitaan ketika mendapatkan musibah. Sikap sabar kita tersebut dapat diungkapkan dengan kalimat “Inna lilillahi wa inna ilaihi roji’un”. Disamping itu, kita juga berharap ganjaran dari musibah tersebut hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud, Tirmizi, dan Nasa’I yang berbunyi:
عن أم سلمة عن النبي ص.م قال: مامن أحد تصيبه مصيبة فيقول: إنا لله وإنا إليه راجعون, اللهم أجرني في مصيبة وخلف لي خيرا منها, إلا اجره الله في مصيبته, وأخلف له خيرا منها.
Artinya:
“Diriwayatkan dari Umu Salamah bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: “ Tidaklah seseorang ditimpa musibah kemudian berkata: Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Ya Allah berilah ganjaran terhadaap musibahku, serta gantilah dengan yang lebih baik dari musibah tersebut” melainkan Allah akan membalasnya serta menggantinya dengan yang lebih baik.
Ibnu Qayyum al-Jauziy berkata: apbila seorang mukmin dapat meresapi makna kalimat ini “innalillah wa innalilah ilaihi roji’un” maka ia akan bisa terlepas dari kesedihan serta penderitaan ketika mendapatkan musibah, karena kalimat ini mempunyai dua makna yang sangat besar sekali, adapun makna tersebut adalah sebagai berikut:
1. Bahwasanya segala sesuatu yang dimiliki seorang hamba berupa harta dan keluarga merupakan kepunyaan Allah Swt. Allah Swt hanya menitipkan hal tersebut kepadanya, maka ketika Allah Swt mengambilnya, maka ibaratnya seperti orang yang meminjamjan sesuatu kepada orang lain kemudian ia mengambilnya kembali, maka tidak ada pilihan bagi orang tersebut selain memberikannya dengan ikhlas.
2. Bahwasanya seorang hamba akan kembali kepada Allah Swt, ia pasti akan meninggalkan dunia ini dan ia sendirian akan menghadap kepada Allah Swt sebagaimana Allah Swt menciptakannya pertama sekali tanpa membawa harta benda dan keluarga. Apabila seorang mukmin bisa menghayati makna ini, maka hal ini akan menjadi obat dalam setiap musibah yang menimpanya.
2. Cara lain untuk keluar dari kepedihan serta kesedihan ketika mendapatkan musibah yaitu hendaklah seorang hamba meyakini bahwasanya Allah Swt memberikan musibah bukun untuk menyalahkannya, akan tetapi musibah tersebut telah ditetapkan oleh Allah Swt sebelum penciptaannya, hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam al-Qur’an yang berbunyi:
Artinya:
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (QS: Al-Hadiid: 22-23)
3. Diantara jalan untuk bisa keluar dari kesedihan serta penderitaan ketika mendapat musibah yaitu, hendaklah seorang hamba meyakini bahwasanya Allah swt telah menyediakan ganjaran yang serupa atau lebih dari musibah yang dihadapinya, jika ia bersabar serta ikhlas terhadap musibah tersebut. Disamping itu, hendaklah ia memadamkan api kesedihan dan kepedihan musibah tersebut dengan kabar gembir yang akan diberikan Allah Swt kepada penderita musibah (ahlu al-Masha’ib). Allah Swt telah menjanjikan balasan yang lebih baik daripada dunia dan isinya kepada penderita musibah berupa shalawat, rahmat serta hidayah dari Allah Swt, hal ini sebagaimana firman Allah Swt:
Artinya:
Mereka Itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS: Al-Baqarah: 157)
Ayat diatas menjelaskan bahwasanya Allah Swt akan memberikan shalawat, rahmat serta hidayah kepada mereka yang menerima musibah dengan kesabaran serta keikhlasan. Al-Shawiy berkata:
“Adapun firman Allah swt “ صلوات “ merupakan jamak dari kata “الصلاة “ yang artinya adalah “ المغفرة “ yang artinya ampunan, sementara dijama’kan kata “الصلاة “ untuk memberikan isyarat bahwasanya baginya ampunan terus menerus. Adapun maksud firman Allah Swt “الرحمة “ adalah “النعمة “ sementar hidayah disini maksudnya adalah kesempurnaan hidayat baginya, maksudnya Allah Swt memberikan hidayah yang sempurna kepadanya”.
F. Penutup
Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Musibah merupakan sesuatu hal yang tidak bisa dielakkan oleh siapa pun, bisa jadi musibah tersebut sebagai peringatan bagi pelaku maksiat, serta bisa jadi musibah tersebut ujian atau cobaan untuk hamba-hamba Allah Swt yang senantiasa beribadah dan beramal sholeh.
2. Apabila kita ditimpa musibah, maka obatilah kepedihan dan kepedihan tersebut dengan sabar, serta meyakini bahwasanya Allah Swt memberikan musibah tersebut bukan untuk menyalahkannya. Hendaklah ia meyakini bahwasanya Allah Swt akan menggantinya dengan yang serupa atau lebih dari musibah yang dihadapinya. Disamping itu, hendaklah ia memadamkan api kesedihan dan penderitaan dari musibah tersebut, dengan kabar gembira yang akan diberikan Allah Swt kepada orang yang sabar dan ikhlas terhadap musibah, berupa shalawat, rahmat dan petunjuk dari Allah Swt.
Demikianlah makalah ini, meskipun masih banyak kekurangan dan kekeliruan yang disebabkan karena keterbatasan ilmu, maka penulis mengharapkan saran dan masukan dari teman-teman semuanya. Disamping itu, penulis juga mengharapkan bimbingan dari dosen pembimbing untuk kesempurnaan makalah ini.
Semoga kita dijauhi oleh Allah Swt dari segala macam musibah, serta diberikan kesabaran serta ganjaran dari musibah-musibah yang datang kepada kita. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dalam menambah pengetahuan kita terhadap al-Qur’an.
Daftar Pustaka
Al-‘Arabiyah, Majma’ al-Lughah, Mu’jam al-Wasith, (Kairo: Maktabah al-Syuruq al-Dauliyah, 2005)
Al-Andalusiy, Muhammad Yusuf Abu Hayyan, al-Bahrul al-Muhith, (Beirut: Daru al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003)
Al-Asfahaniy, Raghib, Mufradat fi Gharibi al-Qur’an, (Beirut: Darul Ma’rifah, t.th)
Al-Jauziy, Ibnu al-Qoyyim, Al-Dhaw’u al-Munir ‘ala al-Tafsir, (Riyadh: Maktabatu al-Nur,t.th)
Al-Maraghiy, Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghiy, (Cairo: Mathba’ah Mushthafa al-Halabi, 1946)
Al-Shawiy, Ahmad bin Muhammad, Hasyiyatu al-Shawiy ‘ala Tafsiri al-Jalalain, (Beirut: Daru al-Fikr, 2004)
Al-Shobuniy, Muhammad ‘Ali, Shafwatu al-Tafasir, (Kairo: Daru al-Shobuniy, t.th)
Al-Tirmizi, Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa, al-Jami’al-Kabir, (Bairut: Daru al-Gharbi al-‘Islami, 1996)
Munawwir , Ahmad Warson, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997)
Thanthawiy , Muhammad Sayyid, Tafsir al-Wasith li al-Qur’ani al-Karim, (Cairo: Daru al-Saádah, 2007)
0 Comment