METODE PEMAHAMAN HADIS MUHAMMAD AL-GHAZALI
(Al-sunnah Al-Nabawiyah Baina Ahli Al-Fiqh Wa Ahli Al-Hadis)
A. PENDAHULUAN
Sanad dan matn adalah dua komponen pembentuk bangunan hadis yang menduduki posisi penting dalam khazanah penelitian hadis. Sebab, tujuan akhir dari penelitian hadis adalah untuk memperoleh validitas sebuah matn hadis.
Dalam perkembangannya, kajian hadis yang dilakukan oleh para ulama cenderung menitikberatkan pada kajian kritik sanad hadis (al-naqd al-hadis) dari pada studi kritik matn (al-naqd al-matn). Hal ini sangat bertolak belakang dengan kajian hadis pada periode sahabat, di mana para sahabat lebih menekankan pada kajian matn hadis. Meskipun demikian, penekanan para ulama pada kajian sanad lebih dikarenakan pada masa awal Islam banyak kasus pemalsuan hadis. Dengan demikian, sanad yang mencoba menelusuri rangkaian periwayat dijadikan sebagai salah satu solusi untuk mengatasi kasus pemalsuan hadis tersebut.
Muhammad Ghazali seorang da’i kondang di Timur Tengah adalah satu dari sekian pemikir muslim kotemporer yang mencoba mengkaji hadis gagasan barunya dalam memahami hadis yang ia tuangkan dalam karyanya السنة النبوية بين أهل الفقه و أهل الحديث ( studi kritis atas hadis Nabi S.A.W antara pemahaman Tekstual dan Kontekstual). Dalam hal ini, Ghazali tidak terpaku dengan sistematika kaidah-kaidah kesahihan sanad hadis. Dengan kata lain, penelitian suatu hadis tidak selalu harus dimulai dengan kritik sanad, melainkan dapat diawali dengan melakukan penelitian matn hadis. Bahkan, tidak jarang Ghazali menolak hadis yang berkualitas sahih karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip umum ajaran al-Qur'an dan argumen rasional. Sebaliknya, meskipun hadis nabi dari segi sanadnya dha’if, namun Ghazali lebih cenderung menerima hadis tersebut karena memiliki kesesuaian dengan ruh ajaran Islam dan akal sehat manusia. Berangkat dari pemahaman inilah, Ghazali kemudian mencoba merumuskan beberapa kaedah terkait dengan masalah validitas suatu matn hadis.
Akhirnya, upaya Ghazali dalam menyuguhkan pemikirannya tentang kaidah-kaidah kritik matn hadis secara filosofis menarik untuk dicermati. Bagaimana ia melakukannya adalah problem epistemologis yang perlu dikaji lebih mendalam. Oleh karena itu, tujuan dari makalah ini adalah untuk menjawab bagaimana konsep analisisnya, metode dan pendekatan yang ditawarkan Ghazali hubungannya dengan pemahaman hadis nabi.
B. AL-GHAZALI
1. Latar Belakang Kehidupan Muhammad Al-Ghazali
Muhammad Al-Ghazali lahir pada 1917 M di Al-Bahirah, Mesir. Daerah ini dikenal banyak dilahirkan tokoh-tokoh Islam terkemuka pada zamannya, seperti Muhammad ‘Abduh, Mahmud Syaltut, Hasan Al-Bana dan Muhammad Al-Madani .
Muhammad Al-Ghazali suadah menghafal Al-Quran sudah menghafal al-Quran 30 juz pada usia 10 tahun. Pendidikan dasar dan menengah, ia tempuh di Sekolah Agama. Pada tahun 1937, ia melanjutkan pendidikannya pada Jurusan Dakwah., Fakultas Ushuludddin, Universitas Al-Azhar, Mesir dan lulus pada tahun 1941 M. Kemudian melanjutkan ke Fakultas Bahasa Arab di Universitas yang sama dan selesai pada tahun 1943. Semasa kuliah, ia direkrut oleh Imam Hasan Al-Banna hingga menjadi salah seorang anggota bahkan salah seorang tokoh Ikhwanul Muslimin. Ia aktif melakukan jihad di medan dakwah Islamiyah melalui berbagai forum seminar, pendidikan, pembinaan, khutbah, ceramah dan tulisan.
Muhammad Al-Ghazali lebih dikenal sebagai da’i terutama di Timur Tengah. Materi ceramah yang selalu segar, gaya bahasanya, semangat dan keterbukaannya, merupakan daya tarik dakwah.
Selain sebagai da’i, ia juga seorang akademisi yang disegani baik di almamaternya maupun di berbagai perguruan tinggi lainnya, seperti Universitas Ummul Qura di Makkah, Universitas Qatar di Qatar, Universitas Amir Abdul Qadir al-Islamiyah di Aljazair.
Muhammad Al-Ghazali wafat pada hari sabtu tanggal 9 Syawal 1416 H, bertepatan dengan tanggal 6 Maret 1996, ketika ia berada di Saudi Arabia untuk menghadiri seminar tentang Islam dan Barat.
2. Karya-Karyanya
Buku Muhammad Al-Ghazali yang terkenal adalah Al-Sunnah Al-Nabawiyah Bayn Ahl al-Fiqh wa ahl al-Hadis, dalam buku ini ia menyoroti beberapa hadis yang otentitasnya ia ragukan atau yang tidak difahami sebagaimana mestinya. Di antara karya beliau yang lain adalah:
a. Al-Islam wa al-Ausa’ al-Iqtishadiyah
b. Al-Islam wa al-Istibdad al-Siyasi
c. Fiqh al-Sirah
d. Nazarat fi al-Quran
e. Kaifa Nata’aaml ma’a al-Quran
f. Al-Muwahir al-Khamsah li al-Quran al-Karim
g. Nahwu Tafsir al-Maududi li Suwar al-Quran al-Karim
C. PEMAHAMAN HADIS MENURUT MUHAMMAD AL-GHAZALI
1. Sikap Muhammad Al-Ghazali Terhadap Hadis
Pada tahun 1989, syaikh Muhammad Al-Ghazali, menerbitkan sebuah buku dengan judul The Sunna of the Prophet: Between the Legist and the Tradisionist . Buku ini menjadi fokus perhatian dan kontroversi. Dalam bukunya, Al-Ghazali mengetengahkan banyak tema pokok dalam tentang otoritas religius, seperti hubungan antara Al-Qur’an dan Sunnah, bagaimana posisi hadis Nabi saw. sebagai sumber hukum Islam, dan bagaimana metode kritik hadis. Polemik itu terutama disebabkan oleh hadis-hadis sahih yang dipertanyakan kembali oleh Muhammad al-Ghazali karena dianggap kontradiksi dengan ajaran al-Qur’an, kebenaran ilmiah maupun historis.
Menurut Yusuf Qardhawi, munculnya kritik tajam yang ditujukan kepada Muhammad Al-Ghazali tersebut disebabkan 2 hal, pertama ia tidak mau menggunakan hadis ahad dalam menetapkan akidah. Menurut Muhammad Al-Ghazali, masalah akidah harus berdasarkan keyakinan bukan dugaan. Hadis-hadis ahad, meskipun sahih tidak memberikan keyakinan dan hanya hadis mutawatir yang mempunyai nilai kepastian. Kedua, penolakan Muhammad Al-Ghazali terhadap beberapa hadis ahad disebabkan bertentangan dengan al-Qur’an, logika ilmu pengetahuan atau fakta historis.
2. Kesahihan Hadis Muhammad Al-Ghazali
Sikap para pemikir kontemporer terhadap sunnah harus dipahami dan dibandingkan dengan melihat bagaimana pola dasar pemikiran para pemikir klasik. Menurut ilmu kritik hadis klasik, kesahihan hadis ditentukan oleh tiga kriteria, pertama sejauh mana sebuah riwayat dapat dikuatkan oleh riwayat lain yang identik dari periwayatan tersebut, kedua, keadilan dan kedhabitan periwayat, ketiga, kesinambungan dengan rantai periwayatan. Hadis seperti ini disebut mutawatir. Adapun mengenai hadis ahad, para ulama klasik mensyaratkan harus melewati lima tahap pengujian. Di antaranya adalah;
a. Kesinambungan periwayat (ittishal)
b. Periwayat adil (‘adalah), yaitu mereka harus menjunjung tinggi agama, dan tidak melakukan dosa-dosa besar
c. Akurasi proses periwayatan, seperti periwayat tidak boleh ceroboh atau diketahui memiliki daya ingat yang lemah
d. Bebas dari syudzudz, yaitu kontradiksi dengan sumber-sumber yang lebih dapat dipercaya
e. Bebas dari cacat-cacat penyimpangan (‘illat qadhihah), yaitu ketidaktepatan dalam melakukan periwayatan.
Aturan ini merupakan bentuk ringkas dari metode yang digunakan muhaddisun untuk membedakan hadis-hadis autentik. Penerapan sistematis metode ini tampak pada kitab-kitab besar hadis sahih, yang merupakan puncak keilmuan hadis klasik.
Namun semua ini berubah pada masa modern, ketika tekanan untuk mereformasi, mereformulasi, dan mengenalkan kembali hukum Islam muncul dan membuat studi hadis relevan kembali. Setelah pertengahan abad kesembilan belas, pada prakteknya mazhab-mazhab klasik digantikan oleh peraturan hukum sekuler yang diilhami barat. Akibat tumbangnya dominasi mazhab-mazhab hukum klasik, terbukalah ruang bagi pengkajian kembali sumber-sumber hukum Islam dan kedudukan sunnah. Sejak terbebasnya masyarakat Muslim dari dominasi kolonial setelah tahun 1940-an, gerakan untuk memperkenalkan kembali hukum Islam dalam bentuk tertentu telah memunculkan urgensi praktis untuk mempertanyakan sumber-sumber syari’ah, dan metode untuk menghidupkan kembali syari’ah.
Menurut Muhammad al-Ghazali, ada 5 kriteria untuk menguji kesahihan hadis, 3 berkaitan dengan sanad dan 2 berkaitan dengan matan. Tiga kriteria yang berkaitan dengan sanad adalah; (1) Periwayat dhabit, (2) Periwayat adil, dan (3) Poin satu dan dua harus dimiliki seluruh rawi dalam sanad
Berbeda dengan pandangan mayoritas ulama hadis klasik, Muhammad al-Ghazali tidak memasukkan ketersambungan sanad sebagai kriteria kesahihan hadis, bahkan unsur ketiga sebenarnya sudah masuk ke dalam kriteria poin dua. Dalam hal ini Muhammad al-Ghazali tidak memberikan argumentasi sehingga sangat sulit untuk ditelusuri, apakah ini merupakan salah pemikiran atau ada unsur kesengajaan.
Adapun 2 kriteria yang berkaitan dengan matan, adalah:
1. Matan hadis tidak syadz (salah seorang atau beberapa periwayatnya bertentangan periwayatannya dengan periwayat yang lebih akurat dan lebih dapat dipercaya)
2. Matan hadis tidak mengandung illat qadhihah (cacat yang diketahui oleh para ahli hadis sehingga mereka menolak periwayatannya)
Menurut Muhammad al-Ghazali untuk merealisasikan kriteria-kriteria tersebut, maka diperlukan kerjasama antara muhaddis dengan berbagai ahli-ahli lain termasuk fuqaha’, mufassir, ahli ushul fiqh dan ahli ilmu kalam, mengingat materi hadis ada yang berkaitan dengan akidah, ibadah, mu’amalah sehingga memerlukan pengetahuan dengan berbagai ahli tersebut.
3. Metode Pemahaman Hadis Menurut Muhammad Al-Ghazali
Al-Ghazali menawarkan 4 metode pemahaman hadis atau prinsip-prinsip dasar yang harus dipenuhi ketika hendak berinteraksi dengan sunnah, supaya dihasilkan pemahaman yang sesuai dengan ajaran agama. Diantaranya adalah;
a. Pengujian dengan al-Qur’an
Muhammad al-Ghazali mengecam keras orang-orang yang memahami secara tekstual hadis-hadis yang sahih sanadnya, namun matannya bertentangan dengan al-Qur’an. Pemikiran tersebut dilatarbelakangi adanya keyakinan tentang kedudukan hadis sebagai sumber otoritas setelah al-Qur’an. Tidak semua hadis orisinal dan tidak semua dipakai secara benar oleh periwayatnya. Al-Qur’an menurut Muhammad al-Ghazali adalah sumber pertama dan utama dari pemikiran dan dakwah, sementara hadis adalah sumber kedua. Dalam memahami al-Qur’an hadis sangat penting, karena hadis adalah penjelas teoritis dan praktis bagi al-Qur’an. Oleh karena itu, sebelum melakukan kajian tentang matan hadis, perlu upaya intensif memahami al-Qur’an sebagaimana pernyataannya:
“Jelas bahwa untuk menetapkan kebenaran suatu hadis dari segi matannya diperlukan ilmu yang mendalam tentang al-Qur’an serta kesimpulan-kesimpulan yang dapat ditarik dari ayat-ayatnya, baik secara langsung atau tidak”.
Pengujian dengan ayat al-Qur’an ini mendapat porsi yang lebih dari Muhammad al-Ghazali dibanding dengan 3 kriteria lainnya. Bahkan menurut Quraisy Shihab bahwa meskipun Muhammad al-Ghazali menetapkan 4 tolak ukur, kaidah nomor 1 yang dianggap paling utama menurut Muhammad al-Ghazali.
Penerapan kritik hadis dengan pengujian al-Qur’an diarahkan secara konsisten oleh Muhammad al-Ghazali. Oleh karena itu tidak sedikit hadis yang dianggap sahih misalnya terdapat dalam kitab sahih Bukhari dan Muslim, dianggap dhaif oleh Muhammad al-Ghazali, bahkan secara tegas menyatakan bahwa dalam hal-hal yang berkaitan dengan kemaslahatan dan mu’amalah duniawiyah, akan mengantarkan hadis yang sanadnya dhaif, bila kandungan matannya sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran al-Qur’an, dari pada hadis yang sanadnya sahih tapi kandungan matannya tidak sesuai dengan inti dari ajaran-ajaran al-Qur’an.
Berkaitan dengan hal di atas. Al-Ghazali memberi contoh hadis tentang mayat yang disiksa karena tangisan keluarganya.
Hadis yang menjelaskan tentang mayit disiksa karena tangisan keluarganya terdapat dalam delapan kitab hadis dengan 37 jalur sanad, masing-masing dalam Shahih Al-Bukhari lima jalur, Shahih Muslim tujuh jalur, Sunan Al-Tirmizi tiga jalur, Sunan Ibn Majah satu jalur, Musnad Ahmad tiga belas jalur dan dalam Muata’ Malik satu jalur.
1290 - حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ خَلِيلٍ حَدَّثَنَا عَلِىُّ بْنُ مُسْهِرٍ حَدَّثَنَا أَبُو إِسْحَاقَ - وَهْوَ الشَّيْبَانِىُّ - عَنْ أَبِى بُرْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ لَمَّا أُصِيبَ عُمَرُ - رضى الله عنه - جَعَلَ صُهَيْبٌ يَقُولُ وَاأَخَاهُ . فَقَالَ عُمَرُ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « إِنَّ الْمَيِّتَ لَيُعَذَّبُ بِبُكَاءِ الْحَىِّ »
Hadis di atas telah memenuhi kriteria kesahihan sanad, baik dilihat dari segi kapasitas dan kualitas perawi, serta sanad hadis tersebut memiliki musyahid dan mutabi’. Dengan adanya jalur pendukung, baik pada tingkat sahabat (Musyahid) maupun pada tingkat tabi’in (mutabi’) sampai pada tingkat mushannif, maka sanad hadis yang diteliti terlihat bahwa redaksi matan hadis tersebut semakin baik dan kuat.
Sementara menurut Muhammad Al-Ghazali dari 37 jalur sanad hadis di atas hanya dua jalur yang dapat diterima, yaitu jalur kelima dan ketujuh yang terdapat dalam Shahih Muslim. Pemikiran Muhammad Al-Ghazali ini didasarkan pada pendapat ‘Aisyah mengkritik sahabat yang meriwayatkan di atas.
‘Aisyah menolak hadis yang mengatakan bahwa orang mati disiksa karena tangisan keluarganya. Bahkan kemudian dia bersumpah nabi tidak pernah mengucapkan hadis tersebut.
فقالت : رحم الله العمر! و اللهِ ما حَدَّث رسول الله – صلى الله عليه و سلم – أن الميت يعَذَّب ببكاء أهله عليه، و لكن رسول الله قال : ((إن الله ليزيد الكافر عذابا ببكاء أهله عليه))
Alasan penolakannya adalah dianggap bertentangan dengan al-Qur’an. Menurut ‘Aisyah riwayat mereka bertentangan dengan pesan al-Quran yang berbunyi:
(Tidaklah seseorang menanggung dosa orang lain”).
Dalam riwayat ‘Aisyah disebutkan bahwa mayit yang disiksa di dalam kubur adalah orang Yahudi, bukan mukmin. Oleh karena itu menurut Muhammad Al-Ghazali, metode yang ditempuh oleh ‘Aisyah dapat dijadikan dasar untuk menguji kesahihan sebuah hadis, yaitu menghadapkannya dengan nash-nash Al-Quran
Demikianlah ‘Aisyah menolak dengan tegas periwayatan suatu hadis yang bertentangan dengan al-Qur’an. Meskipun begitu, hadis tersebut masih saja tercantum dalam kitab-kitab hadis sahih. Bahkan Ibnu Sa’ad dalam Tabaqat al-Kabir- nya menyebutkan berulang-ulang dengan redaksi yang berbeda-beda.
Oleh karena itulah, para imam fiqih menetapkan hukum-hukum berdasarkan ijtihad yang luwes, dengan mengandalkan Al-Quran sebelum segalanya yang lain. Apabila di antara riwayat-riwayat hadis ada yang mereka dapati sejalan dengan Al-Quran, maka mereka pun menerimanya. Atau jika tidak, maka Al-Quran lah yang lebih patut diikuti.
b. Pengujian dengan Hadis
Pengujian ini memiliki pengertian bahwa matan hadis yang dijadikan dasar argumen tidak bertentangan dengan hadis mutawatir dan hadis lainnya yang lebih sahih. Menurut Muhammad al-Ghazali hukum yang berdasarkan agama tidak boleh diambil hanya dari sebuah hadis yang terpisah dengan hadis yang lainnya, tetapi setiap hadis harus dikaitkan dengan hadis lainnya, kemudian hadis-hadis yang tersambung itu dikomparasikan dengan apa yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an.
- Contohnya adalah hadis tentang larangan bagi wanita shalat jama’ah di masjid.
Shalat jamaah adalah salah satu syi’ar Islam, sehingga sebagian ulama berpendapat bahwa ia adalah fardhu ‘ayn pada kelima waktu shalat, tidak boleh meninggalkannya dengan alasan yang tidak dibenarkan. Akan tetapi mayoritas fuqahâ’ menetapkannya sebagai sunnah muakkadah (yang sangat dianjurkan).
Namun dalam riwayat ada Hadis tentang larangan perempuan shalat jama’ah di masjid :
26735- حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا يَزِيدُ قَالَ أَخْبَرَنَا يَحْيَى عَنْ عَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ لَوْ رَأَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَا أَحْدَثَ النِّسَاءُ لَمَنَعَهُنَّ الْمَسْجِدَ كَمَا مُنِعَتْ نِسَاءُ بَنِى إِسْرَائِيلَ.
Selain itu ada pula hadis yang menganjurkan wanita apabila melaksanakan shalat di rumahnya, agar ia memilih tempat yang paling sepi dan paling terpisah. Dengan demikian sehingga shalatnya di terowongan rumah lebih afdhal daripada shalatnya di kamar. Dan shalatnya di dalam kegelapan lebih afdhal daripada tempat yang terang.
Menurut Muhammad AL-Ghazali, perawi “hadis ini secara terang-terangan melempar jauh-jauh semua sunnah Nabi saw. sang pembawa risalah, yang sampai kepada kita secara mutawatir.
Wanita yang sedang shalat dianggap sebagai pemandangan yang mengganggu dan karenanya harus di kurung dalam ruangan yang paling sempit dan paling jauh. Hadis yang disebutkan oleh Ibn Khuzaimah yang ditolak oleh Al-Ghazali itu adalah:
27849- حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا هَارُونُ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ قَالَ حَدَّثَنِى دَاوُدُ بْنُ قَيْسٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سُوَيْدٍ الأَنْصَارِىِّ عَنْ عَمَّتِهِ أُمِّ حُمَيْدٍ امْرَأَةِ أَبِى حُمَيْدٍ السَّاعِدِىِّ أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى أُحِبُّ الصَّلاَةَ مَعَكَ. قَالَ « قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلاَةَ مَعِى وَصَلاَتُكِ فِى بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى حُجْرَتِكِ وَصَلاَتُكِ فِى حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِى دَارِكِ وَصَلاَتُكِ فِى دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ وَصَلاَتُكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِى ». - قَالَ - فَأَمَرَتْ فَبُنِىَ لَهَا مَسْجِدٌ فِى أَقْصَى شَىْءٍ مِنْ بَيْتِهَا وَأَظْلَمِهِ فَكَانَتْ تُصَلِّى فِيهِ حَتَّى لَقِيَتِ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ.
Hadis ini ditolak oleh Al-Ghazali, karena dianggap bertentangan dengan amalan Rasulullah yang membiarkan perempuan mengikuti shalat jamaah di masjid dengan menyediakan pintu khusus bagi perempuan yang masuk masjid untuk mengikuti shalat jamah. Rasul juga pernah memendekkan shalat Subuh dengan membaca surat-surat pendek ketika mendengar tangis bayi, karena dikhawatirkan sang ibu tidak khusyu’ karena tangisan anaknya.
Al-Ghazali berpendapat, bahwa keikut sertaannya dalam jemaah seperti itu, hanya dianjurkan baginya setelah ia menyelesaikan semua tugas-tugasnya di rumah. Jika ia telah melakukannya, maka suaminya tidak berhak melarangnya pergi ke mesjid. Tentang hal ini, ada sebuah hadis yang berbunyi:
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ».
Artinya: Janganlah kamu menghalangi hamba-hamba Allah dari mengunjungi mesjid-mesjid allah.
Pada masa nabi pun tidak dikeragui lagi bahwa Nabi SAW, telah mengkhususkan salah satu pintu masjid beliau untuk kaum wanita. Beliau telah menempatkan wanita di shaf-shaf terbelakang di masjid, mengingat yang demikian itu aman bagi mereka ( agar tidak tampak auratnya) terutama ketika rukuk dan sujud.
Menurut Al-Ghazali, bahkan nabi tidak memberikan sugesti agar perempuan lebih baik shalat di rumah. Dengan demikian, hadis yang menjelaskan tentang larangan perempuan ikut shalat di masjid adalah bathil. Hadis ini juga tidak dijumpai dalam kitab sahih Bukhari dan Muslim.
Memang, adakalanya pelarangan terhadap wanita menghadiri shalat di mesjid dapat dibenarkan, dalam keadaan wanita tersebut keluar dari rumahnya dengan dandanan yang tidak layak. Pergi ke msjid tidak boleh dijadikan kesempatan memamerkan kecantikan ataupun pakaian, bukan pul auntuk membangkitkan syahwat atau menyebabkan kerusakan moral. Pergi ke mesjid hanyalah demi mencari ridha Allah searaya menanamkan taqwa di dalam hati.
Mengahalangi wanita dari tingkah laku yang buruk adalah sesuai dengan pesan Nabi saw. Yakni agar mereka keluar (ke mesjid) dengan berpakaian sederhana dan tidak dibuat-buat, tanpa wangi-wangian yang menarik perhatian kaum pria.
Adapun mengeluarkan suatu peraturan yang mengandung larangan mendatangi mesjid bagi wanita, secara umum, hal itu tidak bersesuaian dengan ajran Islam yang sebenarnya.
c. Pengujian dengan Fakta Historis
Suatu hal yang tidak bisa dipungkiri, bahwa hadis muncul dan berkembang dalam keadaan tertentu, yaitu pada masa Nabi Muhammad hidup, oleh karena itu hadis dan sejarah memiliki hubungan sinergis yang saling menguatkan satu sama lain. Adanya kecocokan antara hadis dengan fakta sejarah akan menjadikan hadis memiliki sandaran validitas yang kokoh. Demikian pula sebaliknya, bila terjadi penyimpangan antara hadis dan sejarah, maka salah satu diantara keduanya diragukan kebenarannya.
- Contohnya dalah hadis tentang perempuan menjadi pemimpin
4425 - حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ أَبِى بَكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِى اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَيَّامَ الْجَمَلِ ، بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ « لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً »
Jumhur ulama memahami hadis tersebut secara tekstual. Mereka berpendapat bahwa berdasarkan petunjuk hadis tersebut, pengangkatan perempuan menjadi kepala Negara, hakim pengadilan dan berbagai jabatan yang setara denganny dilarang. Mereka menyatakan bahwa perempuan menurut syari’at hanya diberi tanggung jawab untuk menjaga harta suaminya.
Hadis tersebut seharusnya difahami secara kontekstual, yaitu dengan mengetahui latar belakang keluarnya hadis tersebut, antara lain dengan memahami kondisi dan budaya masyarakat Persia dan system politik yang dianut ketika itu, sehingga hadis tersebut dapat diterapkan pada situasi yang diinginkan Nabi Muhammad saw. dan ditinggalkan pad akondisi yang berbeda.
Menurut Muhammad al-Ghazali, hadis ini tergolong hadis sahih baik sanad maupun matan. Menurut sejarah, ketika Nabi Muhammad saw. mengucapkan hadis tersebut negeri Persia sedang berada di ambang kehancuran menghadapi hantaman bertubi-tubi pasukan Islam, pada waktu itu ia diperintah oleh suatu system monarki yang bobrok.
Pasuka Persia dipaksa mundur dan luas wilayahnya semakin menyempit. Sebenarnya masih ada kemungkinan untuk menyerahkan kepemimpinan Negara kepada seorang Jendral yang piawai, yang mungkin dapat menghentikan kekalahan demi kekalahan. Namun paganism politik telah menjadikan rakyat dan Negara sebagai harta warisan yang diberikan kepada perempuan muda yang tidak tahu apa-apa. Hal itulah yang menandakan bahwa negeri Persia sedang menuju kehancuran total.
Pernyataan Muhammad Al-Ghazali di atas memberi isyarat bahwa perempuan yang tidak boleh diserahi tugas sebagai pemimpin oleh Nabi Muhammad saw. adalah perempuan yang tidak memenuhi syarat kepemimpinan. Jadi, hadis di atas tidak dapat dijadikan dasar penolakan dan penerimaan perempuan sebagai pemimpin.
d. Pengujian dengan Kebenaran Ilmiah
Pengujian ini dapat diartikan bahwa setiap kandungan matan hadis tidak boleh bertentangan dengan teori ilmu pengetahuan atau penemuan ilmiah, memenuhi rasa keadilan atau tidak bertentangan dengan hak asasi manusia. Oleh karena itu, adalah tidak masuk akal jika hadis Nabi mengabaikan rasa keadilan. Menurut Al-Ghazali, bagaimanapun sahihnya sanad sebuah hadis, jika matan informasinya bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, maka hadis tersebut tidak layak dipakai.
Contoh hadis tentang tidak adanya qishas bagi seorang muslim yang membunuh orang kafir. أَنْ لاَ يُقْتَلَ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ (Seorang muslim tidak boleh di bunuh karena membunuh orang kafir).
6915 - حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا مُطَرِّفٌ أَنَّ عَامِرًا حَدَّثَهُمْ عَنْ أَبِى جُحَيْفَةَ قَالَ قُلْتُ لِعَلِىٍّ . وَحَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ الْفَضْلِ أَخْبَرَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ حَدَّثَنَا مُطَرِّفٌ سَمِعْتُ الشَّعْبِىَّ يُحَدِّثُ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا جُحَيْفَةَ قَالَ سَأَلْتُ عَلِيًّا - رضى الله عنه - هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ مِمَّا لَيْسَ فِى الْقُرْآنِ - وَقَالَ ابْنُ عُيَيْنَةَ مَرَّةً مَا لَيْسَ عِنْدَ النَّاسِ - فَقَالَ وَالَّذِى فَلَقَ الْحَبَّةَ وَبَرَأَ النَّسَمَةَ مَا عِنْدَنَا إِلاَّ مَا فِى الْقُرْآنِ إِلاَّ فَهْمًا يُعْطَى رَجُلٌ فِى كِتَابِهِ وَمَا فِى الصَّحِيفَةِ . قُلْتُ وَمَا فِى الصَّحِيفَةِ قَالَ الْعَقْلُ ، وَفِكَاكُ الأَسِيرِ ، وَأَنْ لاَ يُقْتَلَ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ .
Al-Ghazali menolak hadis ini dengan dua alasan:
Pertama: Bertentangan dengan al-Quran
Artinya: “Jiwa dibayar dengan jiwa……”
Dalam surat yang sama
Artinya: Maka berhukumlah di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah “
Kedua: Bertentangan dengan prinsip keadilan dan tidak menghargai jiwa kemanusiaan. Karena antara muslim dan kafir sebenarnya mempunyai hak dan kewajiban yang sama.
D. PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari uraian yang telah dijelaskan dapat kita ketahui bahwa Munculnya pemahaman hadis perspektif Muhammad Al-Ghazali mengarah pada upaya pengembangan pemikiran hadis sebagai sesuatu yang positif untuk ditumbuhkembangkan. Muhammad Al-Ghazali telah memberi manfaat dalam menggali nilai-nilai hadis yang relevan konteks historis saat ini.
Metode pemahaman hadis yang dipakai oleh Muhammad Al-Ghazali ada 4, yaitu:
a. Pengujian dengan al-Qur’an
b. Pengujian dengan Hadis
c. Pengujian dengan Fakta Historis
d. Pengujian dengan Kebenaran Ilmiah
2. Saran
Inilah yang dapat pemakalah sajikan tentang “Metode Pemahaman Hadis Muhammad Al-Ghazali (Al-Sunnah Al-Nabawiyah Baina Ahli Al-Fiqh Wa Ahli Al-Hadis)” pada makalah ini, semoga bisa dijadikan sebagai salah satu bahan untuk manamabah khzanah keilmuan kita pada mata kuliah Fiqh Al-Hadis.
Pemakalah menyadari bahwa makalah ini masih banya kekurangannya, oleh karena itu pemakalah mengharap kritik dan saran demi perbaikan dan kesempurnaan di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Audah , Salman, Fi Hiwar Hadi Ma’a Muhammad Al-Ghazali (t.tp: Rasasah Ammah li Idarah al-Buhus al-Ilmiyah (t.th)
Al-Ghazali, Muhammad, Al-Sunnah al-Nabawiyyah Bayna Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadis(Kairo, 1989, buku ini edisi berbahasa Indonesianya diterbitkan Mizan (1999) berjudul Studi Kritis atas Hadis Nabi Saw.: Antara Pemahaman tekstual dan Kontekstual.
Al-Khathib, Muhammad ‘Ajaj. Ushul al-hadis ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th)
Abu ‘Abdullah Ahmad ibn Hanbal ibn Hilal ibn Asad Al-Syaibani (selanjutnya disebut Ahmad Ibn Hanbal) , Musnad Ahmad, tth
Bustamin M. Isa H. A. Salim, Metodologi Kririk Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada)
Sulaiman ibn al-Asy’ats ibn Syida ibn Umar al-Azadi Abu Daut, Al-Sijistani, Sunan Abi Daud,tth
Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari,tth
Suryadi, Metode Pemahaman Hadis Nabi (Telaah Atas Pemikiran Muhammad Al-Ghazali Dan Yusuf Al-Qardhawi). Ringkasan Disertasi, (Yogyakarta: Program Pasca sarjana UIN Sunan Kalijaga, 2004)
0 Comment