HADIS TENTANG TETANGGA
Agama Islam agama fithroh yang memperhatikan hak-hak yang berhubungan dengan asasi seseorang atau masyarakat. Agama yang mengatur hubungan hamba dengan Rabbnya dan hubungan antar hamba dengan keserasian dan keselarasan yang sempurna. Di antara hubungan antar hamba yang diatur dan diperhatikan Islam adalah hubungan bertetangga, karena hubungan bertetangga termasuk hubungan kemasyarakatan yang penting yang dapat menghasilkan rasa saling cinta, kasih sayang dan persaudaraan antar mereka.
Islam telah berwasiat untuk memuliakan tetangga dan menjaga hak-haknya, bahkan Allah menyambung hak tetangga dengan ibadah dan tauhid-Nya serta berbuat bakti kepada kedua orang tua, anak yatim dan kerabat, sebagaimana firman-Nya:
Artinya:“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. Annisaa’: 36)
Demikian pula hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kewajiban menjaga hak tetangga dan menjaga kehormatan dan kemuliannya dan perintah menutupi aib mereka, menundukkan pandangan dari harta kehormatannya dan menjauhi hal yang menyakiti dan mengganggunya.
Maka, dalam makalah ini pemakalah akan menjelaskan bagaimana kedudukan tetangga dalam Islam, bagaimana akhlak terhadap tetangga, sehingga kita mampu meralisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
B. Pengertian Tetangga
Kata Al Jaar (tetangga) dalam bahasa Arab berarti orang yang bersebelahan denganmu. Ibnu Mandzur berkata: “الجِوَار , الْمُجَاوَرَة dan الْجَارُ bermakna orang yang bersebelahan denganmu. Bentuk pluralnya أَجْوَارٌ , جِيْرَةٌ dan جِيْرَانٌ” .
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, tetangga adalah orang (rumah) yang rumahnya berdekatan atau sebelah-menyebelah; jiran adalah orang yg tempat tinggalnya (rumahnya) berdekatan
Sedang secara istilah syar’I bermakna orang yang bersebelahan secara syar’I baik dia seorang muslim atau kafir, baik atau jahat, teman atau musuh, berbuat baik atau jelek, bermanfaat atau merugikan dan kerabat atau bukan.
Tetangga memiliki tingkatan, sebagiannya lebih tinggi dari sebagian yang lainnya, bertambah dan berkurang sesuai dengan kedekatan dan kejauhannya, kekerabatan, agama dan ketakwaannya serta yang sejenisnya. Sehingga diberikan hak tetangga tersebut sesuai dengan keadaan dan hak mereka.
Adapun batasannya masih diperselisihkan para ulama, di antara pendapat mereka adalah.
Pertama : batasan tetangga yang mu’tabar adalah 40 rumah dari semua arah. Hal ini disampaikan oleh Aisyah radhiallahu ‘anha, Azzuhri dan Al Auzaa’i.
Kedua, : sepuluh rumah dari semua arah.
Ketiga, : orang yang mendengar azan adalah tetangga. Hal ini disampaikan oleh imam Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu.
Keempat : tetangga adalah yang menempel dan bersebelahan saja.
Kelima :batasannya adalah mereka yang disatukan oleh satu masjid. Yang lebih kuat, insyaAllah, batasannya kembali kepada adat yang berlaku. Apa yang menurut adat adaalah tetangga maka itulah tetangga. Wallahu A’lam.
Dengan demikian jelaslah tetangga rumah adalah bentuk yang paling jelas dari hakikat tetangga, akan tetapi pengertian tetangga tidak hanya terbatas pada hal itu saja bahkan lebih luas lagi. Karena dianggap tetangga juga tetangga di pertokoan, pasar, lahan pertanian, tempat belajar dan tempat-tempat yang memungkinkan terjadinya ketetanggaan. Demikian juga teman perjalanan karena mereka saling bertetanggaan baik tempat atau badan dan setiap mereka memiliki kewajiban menunaikan hak tetangganya.
C. Hadis-Hadis Tentang Tetangga
Hadis-hadis yang berkaitan dengan tetangga sangat banyak. Diantara hadis-hadis yang akan penulis bahas dalam makalah ini diantaranya adalah:
Wasiat Rasulullah saw. Tentang tetangga
1. حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِى أُوَيْسٍ قَالَ حَدَّثَنِى مَالِكٌ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ قَالَ أَخْبَرَنِى أَبُو بَكْرِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَا زَالَ يُوصِينِى جِبْرِيلُ بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ »
Artinya: Ismail bin Abi Uwais telah menceritakan kepada kami, Malik menceritakan kepada saya dari Sa’id, ia berkata Abu Bakar bin Muhammad telah bercerita kepada saya dari ‘Amrah, Dari Aisyah r.a., dari Nabi Muhammad saw. Bersada, “Tidak henti-hentinya Jibril memberikan wasiat kepadaku tentang tetangga sehingga aku menduga bahwa ia akan memberikan warisan kepadanya.”
2. وَعَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : { وَاَلَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُحِبَّ لِجَارِهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ .
Artinya: Diriwayatkan dari Anas, dari Nabi Muhammad SAW, beliau bersabda: “ Demi zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak sempurna iman seorang hamba hingga ia mencintai tetangganya atau saudaranya, sebagaimana ia mencintai untuk dirinya sendiri”
3. حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ عَلِىٍّ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِى ذِئْبٍ عَنْ سَعِيدٍ عَنْ أَبِى شُرَيْحٍ أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ » . قِيلَ: وَمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: « الَّذِى لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ »
Artinya: Dari Abu Syuraih r.a. bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabda, “Demi Allah, seseorang tidak beriman; demi Allah, seseorang tidak beriman; demi Allah, seseorang tidak beriman.” Ada yang bertanya, “Siapa itu, Ya Rasulallah?” Jawab Nabi, “Yaitu orang yang tetangganya tidak aman dari gangguannya.”
4. حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا أَبُو الأَحْوَصِ عَنْ أَبِى حَصِينٍ عَنْ أَبِى صَالِحٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم - « مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ »
Dalam jalur lain diriwayatkan denga lafaz:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah saw. Bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan menyakiti tetangganya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah menghormati tamunya. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata baik atau diam
5. حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ عَلِىٍّ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِى ذِئْبٍ عَنِ الْمَقْبُرِىِّ { عَنْ أَبِيهِ } عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « يَا نِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ لاَ تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا ، وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ »
Artinya: Dari Abu Haurairah r.a. berkata, Nabi Muhammad saw. Pernah bersabda, “Wahai para wanita muslimah, janganlah ada seorang tetangga yag meremehkan hadiah tetangganya meskipun kikil (kaki) kambing
6. وَعَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :{لَا تَحْقِرَنَّ مِنْ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا ، وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاك بِوَجْهٍ طَلْقٍ }
Artinya: Dari Abu Dzar Radhiallhu ‘anhu berkata: Rasulullah SAW bersabda, ”janganlah kamu menganggap remeh apa saja dari kebaikan. Meski hanya engkau bertemu saudaramu dengan wajah yang berseri-seri
7. حدثنا أبو كامل الجحدري وإسحاق بن إبراهيم – واللفظ لإسحاق – (قال أبو كامل حدثنا وقال إسحاق أخبرنا ) عبدالعزيز بن عبدالصمد العمي حدثنا أبو عمران الجوني عن عبدالله بن الصامت عن أبي ذر قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم يا أبا ذر إذا طبخت مَرَقَةً فأكثر ماءها وتَعَاهَدَ جِيْرَانِكَ
Artinya: “Dari Abu Dzar beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “jika kamu memasak kuah daging maka perbanyaklah kuahnya kemudian hadiahkanlah kepada tetanggamu”
D. Pemahaman Hadis-Hadis Tentang Tetangga
Dari beberapa hadis yang pemakalah kemukakan –sebatas yang penulis temukan- kandungan isi matannya berbicara tentang hubungan ketetanggaan sebagai wasiat dari Rasul SAW untuk umatnya bagaimana seharusnya mereka berhubungan yang baik dan harmonis dengan tetanganya dalam kehidupan sehari-hari, agar terciptanya masyarakat madani.
Agar lebih terarahnya maka pemakalah akan membaginya menjadi beberapa bagian:
Pertama: Kedudukan tetangga dalam Islam
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِى أُوَيْسٍ قَالَ حَدَّثَنِى مَالِكٌ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ قَالَ أَخْبَرَنِى أَبُو بَكْرِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَا زَالَ يُوصِينِى جِبْرِيلُ بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ »
Malaikat jibril selalu mewasiatkan kepada Nabi tentang tetangga, sehingga nabi mengira bahwa bahwa ia akan memberikan warisan kepadanya, artinya Allah memerintahkan tetangga memberikan warisan kepada tetangganya. Terdapat perbedaan pendapat tentang makna mewarisi di sini. Ada yang berpendapat maknanya adalah bersama-sam dalam memiliki harta sama seperti karib kerabat. Ada juga yang berpendapat maknanya adalah posisinya dalam kebaikan dan hubungan silaturrahmi. Ibn Abi Jamrah berpendapat al-Mirâts terbagi kepada dua macam yaitu hissiy dan ma’nawi. Yang dimaksud dengan hissiy adalah yang di maksudkan di sini, sedangkan yang ma’nawi adalah mewarisi ilmu, dan mungkin dapat diambil kesimpulan di sini sesungguhnya hak tetangga atas tetangganya adalah mengajarkan sesuatu yang ia butuhkan, wallhu a’lam
Tetangga yang dimaksudkan di sini mencakup muslim, kafir, ‘Abid, fasiq, jujur, yang member manfaat atau mudharat, yang dekat atau jauh.
Hadits yang agung ini menunjukkan urgensi dan kedudukan tetangga dalam Islam. Tetangga memiliki kedudukan yang penting dan hak-hak yang harus diperhatikan setiap muslim. Sehingga dengan demikian konsep Islam sebagai rahmat untuk alam semesta dapat direalisasikan dan dirasakan oleh setiap manusia.
Kedua: Besarnya hak tetangga
1371 – وَعَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : { وَاَلَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُحِبَّ لِجَارِهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ } مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Hadis ini menunjukkan betapa besarnya hak tetangga dan saudara. Hadis tersebut menafikan keimanan yakni tidak menganggap iman seseorang sempurna bagi yang tidak mencintai saudara dan tetangganya sendiri. Para ulama menjelaskan makna nafi yang tertera dalam hadis ini adalah dengan makna nafyu kamal. Alasannya sebagaiman yang telah masyhur dalam kaidah syar’I bahwasanya siapa yang tidak memiliki sifat yang tercantum dlaam hadis tersebut tidak dikatakan keluar dari ruang lingkup iman atau ia telah menjadi kafir.
Para ulama menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hadis di atas adalah ketaatan dan perkara-perkara yang mubah. Ibnu Shalah berkata: “Perkara ini (yakni mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri-pent) termasuk perkara yang sulit dan tidak mungkin dilakukan hanya saja bukan daemikian yang dimaksud oleh hadis. Maksud hadis tidak sempurna keimanan salah seseorang kalian hingga ia menyukai kebaikan untuk saudaranya sebagaiman in menyukai kebaikan tersebut untuk dirinya sendiri, prakteknya adalah ia suka kalau saudaranya mendapatkan hasil seperti yang ia dapatkan. Artinya nikmat yang ia berikan kepada saudaranya tidak mengurangi nikmat yang ada pada dirinya.
Adapun mengenai mencintai tetangga, hukumnya mencakup tetangga yang muslim dan kafir, kawan dan lawan, kerabat dan bukan kerabat, tetangga yang dekat dan jauh. Bagi yang terhimpun pada dirinya semua criteria di atas maka ia adalah orangyang paling berhak untuk mendapatkan kebaikan tersebut, kemudian setelahnya dan setelahnya hingga pada tetangga yang memiliki satu criteria saja. Dengan demikian tetangga mendapatkan haknya sesuai denga kriteria yang ada pada dirinya .
At-Thabrani meriwayatkan dari Jabir r.a., dari Nabi Muhammad saw. Bersabda:
” الجيران ثلاثة : جار له حق ، وهو المشرك : له حق الجوار ، وجار له حقان ، وهو المسلم : له حق الجوار وحق الإسلام ، وجار له ثلاثة حقوق : جار مسلم له رحم ، له حق الجوار ، والإسلام ، والرحم
“Tetangga itu ada tiga tingkatan:
1. Tetangga yang hanya memiliki satu hak, yaitu orang musyrik, ia hanya memiliki hak tetangga.
2. Tetangga yang memiliki dua hak, yaitu seorang muslim: ia memiliki hak tetangga dan hak Islam.
3. Tetangga yang memiliki tiga hak, yaitu tetangga, muslim memiliki hubungan kerabat; ia memiliki hak tetangga, hak Islam dan hak silaturrahim.”
Apabila tetangganya adalah saudara seagama, maka ia suka memberikan kepadanya sesuatu yang ia sukai untuk dirinya sendiri. Jika tetangganya seorang kafir, maka perkara perkara yang pertam aklai ia sukai adalah agar tetangganya masuk ke dalam agama Islam disertai perasaan suka supaya ia mendapatkan manfaat seperti manfaat yang telah ia dapatkan dengan syarat keimanan. Syeikh Muhammad bin Abi Jamrah berkat, “Menjaga hak tetangga merupakan tanda kesempurnaan keimanan, dan menyakitinya merupakan salah satu dari perbuatan dosa besar.
Ketiga: Hak Hak Tetangga
Hak tetangga terbagi menjadi tiga. Hak yang paling rendah adalah mencegah diri agar tidak menyakitinya, lalu bersabar jika disakiti, sedangkan hak yang paling tinggi adalah menghormati dan berbuat baik kepadanya:
Tingkatan Pertama: Mencegah Diri Agar Tidak Menyakiti Tetangga
6016 – حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ عَلِىٍّ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِى ذِئْبٍ عَنْ سَعِيدٍ عَنْ أَبِى شُرَيْحٍ أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ » . قِيلَ: وَمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: « الَّذِى لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ »
6018 – حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا أَبُو الأَحْوَصِ عَنْ أَبِى حَصِينٍ عَنْ أَبِى صَالِحٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم - «مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ »
Dalam jalur lain diriwayatkan denga lafaz:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ
Ibnu Baththal berpendapat, dalam hadis ini terdapat penguatan atas hak tetangga berdasarkan sumpah Nabi SAW tentang hal itu, pengulangan lafaz sumpah sebanyak tiga kali, dan terdapatnya penafian iman seseorang yang menyakiti tetangganya baik dengan perkataan maupun perbuatan. Yang dimaksudkan di sini adalah kesempurnaan iman, dan tidak dapat dipungkiri lagi bahwa seorang yang berbuat maksiat tidak sempurna imannya.
Dalam hadis ini dijelaskan bahwa tidak menyakiti tetangga atau memuliakan tetangga menjadi salah satu tanda kesempurnaan iman seorang muslim. Tetangga di sini meliputi tetangga muslim dan non muslim, dan hendaklah hak-haknya senantiasa dihormati dan dimuliakan. Dengan alas an dan dalil apapun, Islam melarang umatnya untuk merusak hak milik tetangga baik muslim maupun non muslim
Tingkatan Kedua : Menghormati dan berbuat baik kepada tetangga
2566 – حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ عَلِىٍّ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِى ذِئْبٍ عَنِ الْمَقْبُرِىِّ { عَنْ أَبِيهِ } عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « يَا نِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ لاَ تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا ، وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ »
وَعَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :{لَا تَحْقِرَنَّ مِنْ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا ، وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاك بِوَجْهٍ طَلْقٍ }
حدثنا أبو كامل الجحدري وإسحاق بن إبراهيم – واللفظ لإسحاق – (قال أبو كامل حدثنا وقال إسحاق أخبرنا ) عبدالعزيز بن عبدالصمد العمي حدثنا أبو عمران الجوني عن عبدالله بن الصامت عن أبي ذر قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم يا أبا ذر إذا طبخت مَرَقَةً فأكثر ماءها وتَعَاهَدَ جِيْرَانِكَ
Hadis-hadis ini memberikan dorongan serta motivasi untuk menghormati tetangga, motivasi untuk berbuat baik, meskipun hanya sekadar menunjukkan wajah yang berseri dan tersenyum ketika bertemu saudaranya. Hadis ini juga mengingatkan akan hak jiran tetangga serta memperhatikan mereka walaupun hanya sekedar menghadiahkan kuah gulai.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ini terdapat larangan bagi tetangga meremehkan hadiah tetangganya, meskipun hadiah itu pada umumnya kurang berguna, atau tidak berkenan dan tidak bernilai di hati. Karena itulah tetangga dapat memberikan dan menerima hadiah yang ada meskipun kecil nilainya. Hal ini lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Dengan ini pula kebiasaan memberikan hadiah dapat terus berlangsung antara tetangga karena dengan sesuatu yang murah dan mudah, dapat dilakukan dalam keadaan miskin maupun kaya, dapat membuahkan rasa cinta dan kasih sayang. Dengan ini pula tidak diperbolehkan bagi laki-laki meremehkan hadiah antara mereka. Penyebutan larangan secara khusus pada wanita karena merekalah yang lebih cepat bereaksi dalam cinta dan benci, sehingga mereka lebih berhak mendapatkan perhatian, agar dapat menghindarkan diri dari larangan itu, menghilangkan kebenciaan antara mereka dan mempertahankan rasa cinta antar mereka.
Dari hadits ini dapat diambil pelajaran bahwa tidak diperbolehkan meremehkan hadiah untuk mempertahankan rasa cinta antara mereka
E. Penutup
1. Kesimpulan
Demikianlah besarnya hak tetangga yang terkadang kurang kita perhatikan, padahal demikian besar dan pentingnya bagi kehidupan seorang muslim dalam bermasyarakat. Oleh karena itu marilah kita perbaiki kehidupan kita dengan takwa dan iman sehingga kita dapat mencapai kemuliaan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Mudah-mudahan ini berguna
2. Saran
Sebelum mengakhiri penulisan makalah ini, pemakalah bermohon agar Allah selalu mnyertai penulis dan pembaca dan kiranya Allah mengampuni segala kesalahan, baik tindakan, ucapan maupun tulisan. Kita juga bermohon kiranya Allah mengampuni ucapan yang tidak sesuai dengan pengalaman, atau tulisan yang tidak sesuai dengan kebenaran, demikian juga niat yang tidak dipenuhi dengan keikhlasan.
Pemakalah menyadari bahwa makalah ini masih banya kekurangannya, oleh karena itu pemakalah mengharap kritik dan saran demi perbaikan dan kesempurnaan di masa yang akan datang sehingga bermanfaat bagi semua.
DAFTAR PUSTAKA
Al Bukhari, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail, Shohih Al-Bukhari, ( Beirut: Dar al-Ma’rifah, tth)
Ash-Shan’ani, Muhammad bin Ismail al-Amir, Subulussalam, (Jakarta: Darussunnah,2009), diterjemahkan oleh Ali Nur Medan, Darwis, Lc, dan Ghana’im,
al-Naisaburi, Muslim ibn al-Hajjaj Abu al-Hasan al-Qusyairi, Shahih Muslim ( ttp,tth.)
Al-Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, (Beirut: Darul Ma’rifah, 1379)
Ibn Manzhur, Lisanul Arab, ttp. tth
Jalil, Maman Abdul, Syarah Arbain Nawawi, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999)
Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008
0 Comment