HADIS-HADIS TENTANG HADIAH DAN SOGOK
Risywah (sogok) dan hadiah merupakan fenomena yang tidak asing dalam masyarakat kita. Banyak istilah yang digunakan untuk kedua masalah ini, seperti dari ucapan terima kasih, parsel, money politik, uang pelicin, pungli dan lain sebagainya. Hanya saja istilah hadiah di samping mengandung makna yang positif juga mengandung makna yang negatif. Dalam Bahasa Indonesia hadiah bisa diartikan sebagai suatu penghargaan atas prestasi seseorang dalam suatu kompetisi atau pemberian atas kebaikan hati seseorang. Selain itu hadiah juga bisa bermakna sebuah pemberian yang beruhubungan dengan kepentingan-kepentingan pribadi.
Dari sudut pandang Hukum Islam, wawasan masyarakat sangat terbatas mengenai masalah risywah dan hadiah. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa risywah bukan sebuah kejahatan, tetapi hanya kesalahan kecil. Sebagian lain, walaupun mengetahui bahwa risywah adalah terlarang, namun mereka tidak peduli dengan larangan tersebut. Apalagi karena terpengaruh dengan keuntungan yang didapatkan.
Di pihak lain masayarakat menganggap risywah itu sebagai hadiah atau tanda terima kasih. Malah ada yang beranggapan sebagai uang jasa atas bantuan yang telah diberikan seseorang, sehingga mereka tidak merasakan hal itu sebagai sebuah kesalahan atau pelangaran apalagi kejahatan.
Walaupun belum ada penelitian, namun sudah menjadi rahasia umum betapa banyak risywah yang diberikan untuk mendapatkan pekerjaan, terutama menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), anggota polisi dan tentara, dan malah di dunia pendidikan pun hal ini terjadi. Perbuatan tersebut tanpa ada perasaan risih dilakukan oleh orang yang mengerti hukum dan aturan.
Sejauhmana sebenarnya batas-batas pemisah antara risywah dan hadiah dalam pandangan Hukum Islam ? Agaknya hal ini memerlukan kajian yang mendalam dari sudut pandang hukum Islam, agar umat memahami dan mengerti dengan baik sehingga mereka berbuat sesuai dengan ajaran Islam. Makalah ini akan berusaha mengkaji kedua persoalan ini sebatas litaratur yang ditemukan.
B. Pengertian
Risywah (رشوةِ) berasal dari kata rasya (رشا) yang berarti al-ja’lu (menyuap). Ibn al-Atsir mengatakan rasywah adalah sesuatu yang menyampaikan pada keperluan dengan jalan menyogok (الوُصْلَةُ إِلـى الـحاجة بالـمُصانعة). Ar-rasyi adalah orang yang memberikan risywah secara batil, al-murtasyi adalah orang yang mengambil risywah dan ar-ra`isy adalah orang yang bekerja sebagai perantara risywah yang minta tambah atau minta kurang.
Dalam Hasyiyah Ibn Abidin yang dikutip dari kitab al-Misbah risywah didefinisikan sebagai berikut:
ما يعطيه الشخص الحاكم وغيره ليحكم له أو يحمله على ما يريد
Artinya:
Sesuatu yang diberikan seseorang kepada hakim atau kepada yang lainnya agar orang tersebut memutuskan perkara berpihak kepadanya atau membawa kepada yang diinginkannya.
Selanjutnya kata hadiah (هدِيَّة) berarti إهداء (pemberian), اللُّهْنَة (oleh-oleh), التَّقدِمَة (hadiah). Sebelum menjelasan definisi hadiah, perlu dijelaskan beberapa istilah yang terkadang masih belum dipahami oleh sebagian orang, sehingga sulit dibedakan. Istilah tersebut adalah: hibah, hadiah dan sadaqah.
Dalam kitab Raudhatuth Thalibin dijelaskan bahwa Imam asy-Syafi’i membagi kebajikan (tabarru’) seseorang dengan hartanya kepada dua bentuk. Pertama kebajikan yang berkaitan dengan kematian, yaitu wasiat. Kedua, kebajikan ketika masih hidup yang dibedakannya antara kebajikan murni (mahdh) dengan waqaf. Kebajikan murni ada tiga macam, yaitu hibah, hadiah dan shadaqah tathawu’.
Selanjutnya dijelaskan, jika kebajikan harta bertujuan untuk menghormati dan memuliakan seseorang dan harta itu harta bergerak disebut dengan hadiah. Dan kalau yang diberikan itu harta tidak bergerak (tetap) disebut hibah. Akan tetapi kalau kebajikan harta itu bertujuan untuk pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah dan mengharapkan pahala akhirat disebut dengan shadaqah. Secara umum hadiah dan shadaqah dapat kategorikan sebagai hibah, namun hibah berbeda dengan hadiah dan shadaqah.
Dari penjelasan di atas dan beberapa litaratur lain dapat didefinisikan bahwa hadiah adalah pemberian harta bergerak kepada orang lain dengan tujuan untuk menghormati (ikram), memuliakan (ta’zhim), mengasihi (tawaddud) dan mencintainya (tahabbub). Dalam hal ini bisa saja pemberian itu ditujukan untuk hal-hal yang dilarang syara’ (haram), inilah yang kemudian disebut risywah.
C. Hadis-Hadis Tentang Sogok dan Hadiah
1. Hadis pelarangan sogok
a. Hadis riwayat Bukhari dan Muslim
حَدِيْثُ أَبِيْ حُمَيْدِ السَّاعِدِيِّ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِسْتَعْمَلَ عَامِلاً فَجَاءَهُ الْعَامِلُ حِيْنَ فَرَغَ مِنْ عَمَلِهِ فَقَالَ: يَارَسُوْلَ اللهِ هـذَا لَكُمْ وهـذَا أُهْدِيَ لِيْ. فَقَالَ لَهُ: أَفَلاَ قَعَدْتَ فِى بَيْتِ أَبِيْكَ وَأُمِّكَ فَنَظَرْتَ أَيُهْدَى لَكَ أَمْ لاَ ؟ ثُمَّ قَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشِيَّةً بَعْدَ الصَّلاَةِ فَتَشَهَّدَ وَأَثْنَى عَلَى اللهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ، ثُمَّ قَالَ: أَمَّا بَعْدُ، فَمَا بَالُ الْعَامِلِ نَسْتَعْمِلُهُ فَيَأْتِـيْنَا فَيَقُوْلُ: هـذَا مِنْ عَمَلِكُمْ وَهـذَا أُهْدِيَ لِيْ أَفَلاَ قَعَدَ فِيْ بَيْتِ أَبِيْهِ وَأُمِّهِ فَنَظَرَ هَلْ يُهْدَى لَهُ أَمْ لاَ؟ فَوَ الَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَيَغُلُّ أَحَدُكُمْ مِنْهَا شَيْـأً إِلاَّ جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى عُنُقِهِ إِنْ كَانَ بَعِيْرًا جَاءَ بِهِ لَهُ رُغَاءٌ وَإِنْ كَانَتْ بَقَرَةً جَاءَ بِهَا خُوْارٌ وَإِنْ كَانَتْ شَاةً جَاءَ بِهَا تَيْعَرُ فَقَدْ بَلَّغْتُ فَقَالَ أَبُوْ حُمَيْدٍ: ثُمَّ رَفَعَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ حَتَّى إِنَّا لَنَنْظُرُ إِلَى عُفْرَةِ إِبْطَيْهِ
Artinya:
Abu Humaidi Assa’idy Rhadiyallahu ‘anhu . berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam . mengangkat seorang pegawai untuk menerima sedekah/zakat kemudian sesudah selesai, ia datang kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam . dan berkata, “Ini untukmu dan yang ini untuk hadiah yang diberikan orang padaku.” Maka Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam . bersabda kepadanya, “Mengapakah engaku tidak duduk saja di rumah ayah atau ibumu apakah di beri hadiah atau tidak (oleh orang)?” Kemudian sesudah shalat, NabiShalallahu ‘alaihi wassallam . berdiri, setelah tasyahud dan memuji Allah selayaknya, lalu bersabda. “Amma ba’du, mengapakah seorang pegawai yang diserahi amal, kemudian ia datang lalu berkata, “Ini hasil untuk kamu dan ini aku berikan hadiah, mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya untuk menunggu apakah ia diberi hadiah atau tidak?. Demi Allah yang jiwa Muhamad di tangan-Nya tiada seorang yang menyembunyikan sesuatu (korupsi), melainkan ia akan menghadap di hari kiamat memikul di atas lehernya. Jika berupa onta bersuara, atau lembu yang menguak atau kambing yang mengembik, maka sungguh aku telah menyampaikan.” Abu Humaidi berkata, “kemudian Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam ., mengangkat kedua tangannya sehingga aku dapat melihat putih kedua ketiaknya.”
b. Hadis riwayat Tirmidzi
عن أبي هريرة قال ثم لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم الراشي والمرتشي في الحكم.
Artinya:
Hadis diterima dari Abu Hurairah, berkata: Rasulullah SAW melaknat orang yang menyogok dan yang menerima sogok dalam hukum (HR. At-Turmuzi)
c. Hadis riwayat Ahmad
عن ثوبان قال لعن رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم الراشي والمرتشي والرائش يعني الذي يمشي بينهما
Artinya:
Hadis diterima dari Tsauban, beliau berkata: Rasulullah melaknat orang yang menyogok dan yang menerima sogol serta orang yang menjadi perantara, yaitu orang yang berjalan di antara keduanya (HR. Ahmad)
d. Hadis riwayat Abu Daud
عن أبي أمامة عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم قال من شفع لأخيه شفاعة فأهدى له هدية عليها فقبلها فقد أتى بابا عظيما من أبواب الربا.
Artinya:
Hadis diterima dari Abi Umamah, dari Nabi SAW, beliau bersabda: Siapa yang menolong saudaranya dengan suatu pertolongan lalu dia memberi suatu hadiah dan hadiah itu diterimanya, maka berarti dia memasuki pintu besar dari pintu-pintu riba (HR Abu Daud).
Al-Qasim bin Abdur Rahman al-Umawi mengatakan: “ungkapan di atas menunjukkan haramnya menerima hadiah oleh hakim dan para pemimpin lainnya,” karena termasuk risywah.
2. Hadis pembolehan hadiah
a. Hadis riwayat Bukhori
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال ثم كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أتي بطعام سأل عنه أهدية أم صدقة فإن قيل صدقة قال لأصحابه كلوا ولم يأكل وإن قيل هدية ضرب بيده صلى الله عليه وسلم فأكل معهم.
Artinya:
Hadis diterima dari Abu Hurairah r.a. beliau berkata: Rasulullah SAW apabila diberi makanan beliau bertanya: apakah makanan ini hadiah atau sadaqah. Jika dijawab: sadaqah, beliau mengatakan pada para sahabatnya: makanlah oleh kalian, sedangkan beliau tidak memakannya. Akan tetapi bila dijawab: hadiah, maka beliau mengambil dengan tangannya lalu makan bersama mereka (HR al-Bukhari)
b. Hadis riwayat Tirmidzi
عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم لو أهدي إلي كراع لقبلت ولو دعيت عليه لأجبت.
Artinya:
Hadis diterima dari Anas bin Malik dia berkata, Rasulullah SAW bersabda: Kalau aku diberi hadiah betis aku terima, dan kalau aku diundang atasnya aku akan mengabulkan. (HR. Turmuzi)
c. Hadis riwayat Baihaqi
قال الشافعي رحمه الله قد كان رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يأكل الصدقة وأكل من صدقة تصدق بها على بريرة وقال هي لنا هدية وعليها صدقة.
Artinya:
Imam asy-Syafi’i r.h. berkata: sesungguhnya Rasulullah SAW tidak memakan sedekah. Dan ketika beliau ikut memakan sadaqah yang diberikan kepada Barirah, beliau mengatakan bahwa sadaqah itu bagi kami adalah hadiah dan bagi Barirah adalah sadaqah (HR. al-Baihaqi).
d. Hadis riwayat Ahmad
عن علي رضي الله عنه أن كسرى أهدى النبي صلى الله عليه وسلم هدية فقبل منه وأن الملوك أهدوا إليه فقبل منهم
Artinya:
Hadis diterima dari Ali r.a. mengatakan bahwa Kisra memberi hadiah kepada Nabi SAW, lalu beliau menerimanya.Raja-raja lain juga memberi hadiah kepada Nabi SAW dan beliau menerimanya hadiah tersebut dari mereka. (HR Ahmad dan al-Bazar)
e. Hadis riwayat Nasa’i
عن عبد الرحمن بن علقمة الثقفي قال لما قدم وفد ثقيف قدموا معهم بهدية فقال النبي صلى الله عليه وسلم أهدية أم صدقة… الحديث وفيه قالوا لا بل هدية فقبلها
Artinya:
Hadis diterima dari Abdur Rahman bin ‘Alqamah ats-Tsaqafi, beliau berkata: Tatkala datang delegasi Tsaqif mereka membawa hadiah. Lalu Nabi SAW bertanya: apakah ini hadiah atau sadaqah…(al-hadis), …lalu mereka menjawab: hadiah, lalu Nabi menerimanya. (HR. an-Nasa`i)
D. Pemahaman Hadis
Berdasarkan riwayat yang dikemukkan di atas, Ibnu Utsaiminmenjelaskan tentang hadits yang pertama :
“Dan dari hadits ini kita mengetahui besarnya kejelekkan riswah, dan sesungguhnya hal tersebut termasuk dari perkara-perkara besar yang sampai menyebabkan nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam berdiri berkhutbah kepada manusia dan memperingatkan dari perbuatan ini. Karena sesungguhnya apabilariswah merajalela di sebuah kaum maka mereka akan binasa dan akan menjadikan setiap dari mereka tidak mengatakan kebenaran, tidak menghukumi dengan kebenaran dan tidak menegakkan keadilan kecuali jika diberi riswah, kita berlindung kepada Allah. Dan riswah , terlaknat yang mengambilnya dan terlaknat pula yang memberi kecuali apabila dalam keadaan yang mengambilriswah menghalangi hak-hak manusia dan tidak akan memberikannya kecuali dengan riswah maka dalam keadaan seperti ini laknat jatuh terhadap yang mengambil dan tidak atas yang memberi karena sesungguhnya pemberi hanya menginginkan mengambil haknya, dan tidak ada jalan bagi dia untuk itu kecuali dengan membayar riswah maka yang seperti ini mendapatkan udzur. Sebagaimana ditemukan sekarang (kita berlindung kepada Allah) di sebagian pejabat di Negara-negara Islam yang tidak menunaikan hak-hak manusia kecuali dengan riswah ini (kita belindung kepada Allah) maka dia telah memakan harta dengan batil, dia telah menimpakan kepada dirinya sendiri dengan laknat. Kita memohon kepada Allah ampunan, dan wajib bagi orang-orang Allah telah mempercayakan kepadanya pekerjaan untuk melaksanakannya dengan keadilan dan menegakkannya dengan perkara-perkara yang wajib ditegakkan di dalamnya sesuai kemampuannya .
Kemudian penjelasan hadis yang kedua, berdasarkan riwayat yang dikemukkan di atas ada tiga komponen yang mendapat kecaman dari Rasulullah sehubungan dengan perlakuan risywah. Pertama, orang yang menyogok disebut dengan rasyi; kedua, orang yang menerima sogok disebut dengan murtasyi; dan ketiga, orang menjadi mediator dalam sogok menyogok yang disebut dengan ra`isy. Ketiga komponen ini dikecam oleh rasul dengan kata laknat, baik laknat itu datang dari Rasul SAW maupun laknat itu datang dari Allah SWT. Kedua bentuk laknat ini ditemukan dalam lafaz hadis.
Berdasarkan dalil-dalil yang ada ulama sepakat melarang risywah. Malah Ibn Ruslan mengatakan sogok itu haram dengan ijma’ ulama. Demikian juga pendapat Imam al-Mahdi dalam kitabnya al-Bahr. Dengan arti kata tidak ada ulama yang membolehkannya. Larangan ini berlaku secara umum, baik sogok dalam dunia peradilan maupun dalam bidang yang lain.
Dalam Alqur’an tidak ditemukan kata risywah. Dalam pelarangan risywah ini ulama mengambil dalil pelarangan memakan harta secara batil, karena risywah salah satu bentuk penggunaan harta secara batil. Di samping itu ulama juga menafsirkan kata السحت dalam QS 5:62—63 dengan risywah.
وَتَرَى كَثِيرًا مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ(المائدة:62) لَوْلا يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الْإِثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَصْنَعُونَ(المائدة:63)
Artinya:
Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu. Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram?. Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu. (QS 5:62—63).
Ketika al-Qurthubi menafsirkan ayat diatas, beliau mengutip beberapa pendapat yang mengatakan bahwa dimaksud السحت adalah risywah (sogok). Risywah tersebut bisa dalam bentuk pemberian (hadiah) pada hakim dalam memutuskan perkara atau pemberian yang diperoleh melalui pemanfaatan kekuasaan. Dalam hal ini lebih lanjut al-Qurthubi mengatakan tidak ada perbedaan pendapat ulama salaf tentang keharaman sogok. Begitu juga dengan ayat ini yang menerangkan akan pelarangan memakan harta secara bathil :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا(النساء:29)
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadam. (QS 4:29)
Walaupun ayat di atas berbicara dalam konteks riba, namun para ulama memberlakukannya secara umum terhadap semua cara yang terlarang dalam mendapatkan rezeki, termasuk risywah. Dalam hal ini berlaku kaidah ”yang dipandang keumuman lafaz, bukan kekhususan sebab” (العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب). Ibn Katsir menafsirkan bahwa ayat di atas merupakan larangan bagi orang mukmin memakan harta secara batil satu sama lain dalam bentuk usaha apapun yang tidak sesuai dengan syari’at seperti riba, judi dan yang sejenisnya.
Dalam riwayat dari Rasulllah ditemukan sogok itu dilarang dalam dunia peradilan sebagaimana riyawat Turmuzi yang diterima dari Abu Hurairah. Akan tetapi dalam dalam riwayat Turmuzi juga yang diterima dari Abdullah bin Amr dan Tsauban pelarangan sogok beralaku secara umum tanpa mengkhususkan dalam bidang peradilan. Kedua hadis ini harus dipakai sehingga pelarangan sogok berlaku di bidang apapun. Hanya saja sogok di dunia peradilan memiliki peluang yang sangat besar, karena dalam dunia peradilan perebutan hak bagi bagi orang-orang yang berperkara. Bila mana sogok dibolehkan maka hak jatuh ke tangan orang yang bukan pemiliknya.
Ada pendapat yang membolehkan sogok apabila berakaitan dengan penetapan hak. Pendapat ini dikemukkan oleh al-Mansur Billah, Abu Ja’far dan sebagian pengikut asy-Syafi’i. Namun asy-Syaukani membantahnya karena menurut keumuman hadis yang ada sogok dilarang. Kalaupun ada perbedaan pendapat dalam hal ini dianggap tidak sah, karena tidak mempengaruhi hukum yang telah ditetapkan. Mengkhususkan kebolehan sogok terhadap penetapan hak tidak ada dalil. Oleh karena itu harus berlaku keumuman hadis yang melarang sogok dalam bentuk apapun.
Selanjutnya asy-Syaukani mengemukakan argumen bahwa pada dasarnya harta seorang muslim itu haram sebagaimana terdapat dalam al-Quran:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ(188)
Artinya:
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (QS 2:188)
Tidak halal menggunakan harta seorang muslim kecuali apabila diperoleh dengan cara yang baik dan benar. Harta dapat diperoleh secara tidak halal melalui dua kemungkinan. Pertama, diperoleh dengan cara yang benar, tetapi tidak halal. Kedua, dengan cara yang tidak benar dan tidak halal. Sedangkan menyogok untuk mendapatkan hak walapun benar tetap tidak halal, karena sogok di samping memakan harta orang lain, dia juga menyulitkan dan memberatkan seseorang.
Selain pendapat di atas ditemukan juga riwayat dari Wahab bin Munabbih, ketika dia ditanya tentang risywah: apakah semuanya haram ? Beliau menjawab: tidak, risywah yang diberikan bukan untuk memperoleh milik atau untuk memelihara agama, darah dan harta hukumnya makruh, tidak haram dan boleh dilakukan.
E. Kesimpulan
Dari segala keterangan diatas dapat disimpulkan akan macam pembagian risywah menurut Ibn Abidin, dengan mengutip kitab al-Fath, mengemukakan empat macam bentuk risywah, yaitu:
1. Risywah yang haram atas orang yang mengambil dan yang memberikannya, yaitu risywah untuk mendapatkan keuntungan dalam peradilan dan pemerintahan.
2. Risywah terhadap hakim agar dia memutuskan perkara, sekalipun keputusannya benar, karena dia mesti melakukan hal itu.
3. Risywah untuk meluruskan suatu perkara dengan meminta penguasa menolak kemudaratan dan mengambil mamfaat. Risywah ini haram bagi yang mengambilnya saja. Sebagai helah risywah ini dapat dianggap upah bagi orang yang berurusan dengan pemerintah. Pemberian tersebut digunakan untuk urusan seseorang, lalu dibagi-bagikan. Hal ini halal dari dua sisi seperti hadiah untuk menyenangkan orang. Akan tetapi dari satu sisi haram, karena substansinya adalah kazaliman. Oleh karena itu haram bagi yang mengambil saja, yaitu sebagai hadiah untuk menahan kezaliman dan sebagai upah dalam menyelesaikan perkara apabila disyaratkan. Namun bila tidak disyaratkan, sedangkan seseorang yakin bahwa pemberian itu adalah hadiah yang diberikan kepada penguasa, maka menurut ulama Hanafiyah tidak apa-apa (la ba`sa). Kalau seseorang melaksanakan tugasnya tanpa disyaratkan, dan tidak pula karena ketama’annya, maka memberikan hadiah kepadanya adalah halal, namun makruh sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibn Mas’ud.
4. Risywah untuk menolak ancaman atas diri atau harta, boleh bagi yang memberikan dan haram bagi orang yang mengambil. Hal ini boleh dilakukan karena menolak kemudaratan dari orang muslim adalah wajib, namun tidak boleh mengambil harta untuk melakukan yang wajib.
Terakhir penulis menyadari bahwa pada makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka untuk itu penulis mengharapkan saran dari bapak sebagai pembimbing dan kontribusi dari teman semua demi ksempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ibn Manzhur, Lisanul Arab, 14:322
Muhammad Amin, Hasyiyah Ibn Abidin, Beirut: Darul Fikri, 1386 H, 5:362
Raudhatuth Thalibin, Beirut: Maktabah al-Islamiyah, 1405 H, 5:364
Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katisir, Beirut: Darul Fikri, 1401 H, dalam menafsirkan QS 4:29
Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Kairo, Dar asy-Sya’b, 1372 H, 6:183
At-Turmuzi, Sunan at-Turmuzi, Beirut: Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi, 3:622
Asy-Syaukani, Nailul Authar, Beirut: Dar al-Jail, 1973 M, 9:170
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar Ibn Ktsir al-Yamamah, 1987/1407, 2:910
Al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi al-Kubra, Makkah al-Mukarramah: Maktabah Dar al-Baz, 1994/1414, 10:328
An-Nasa’i, Sunan Kubra, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1991/1411, 2:59.
Abu al-‘Ala, Tuhfatul Ahwazi, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 4:472
0 Comment