30 Oktober 2012

Sosiologi Pendidikan dan Dakwah

Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang masyarakat manusia. Masyarakat sebagai sekumpulan orang yang mempunyai latar belakang social, pendidikan, cita-sita, harapan dan tujuan hidup yang sama. Pemaknaan masyaralat yang dikemukakan penulis si atas menurut hemat saya kurang tepat untuk menggambarkan masyrakat modern sekarang ini. karena pada kenyataannya maryarakat bersifat majemuk yakni secara individu bersasal dari berbagai latar belakang sosial dan  pendidikan yang berbeda-beda namun disatukan oleh cita-cita dan harapan hidup yang sama.

Sesuai dengan criteria dan klasifikasi ilmu pengetahuan , kajian sosiologi termasuk model kajian tertua dalam bidang ilmu sosial, seperti juga antropologi dan psikologi. Ilmu Sosial adalah ilmu pengetahuan yang bertugas ntuk meneliti, melakuikan generalisasi dan verifikasi terhaap gejala-gejala tingkah laku manusia dalam kelompok bangsa dan Negara. Kerja ilmu sosial dilakukjan dengan cara menarik konsep, teori dan kaidah tentang pola perilaku manusia secara ilmiah untuk menemukan kesamaan pola pikir daSosiologi durkheimn perilaku masyarakat. Karena itu laboratorium ilmu sosial tidak lain kehidupan masyarakat itu sendiri, yang dikaji secara ilmiah berdasarkan metode utama menurut Donald W. Colhoun “to observ and measure phenomena” dengan cara pengamatan dan pengukuran terhadap gejala-gejala sosial, melalui field work and field observation.

Sosiologi-Antropologi  adalah ilmu yang mempelajari tentang mesyarakat dan kebudayaan manusia. Keduanya merupakan sumber rujukan utama dari ilmu-ilmu sosial. Sosiologi berusaha memahami hakikat masyarakat dalam kehidupan kelompok, baik struktur, dinamika, institusi maupun interaksi sosialnya. Antropologi berusaha memahami perilaku manusia (antthropos) sesuai latar belakang kepercayaan dan kebudayaannya secara manusiawi (humaniora). Sosiologi- Antropologi saling menunjang dari segi teori, konsep maupun metodologi. Konsentrasi soisologi pada masyarakatnya, sedangkan konsentrasi antropologi pada kebudayaannya.

Terdapat beberapa teori dalam kajian sosiologi-antropologi, antara lain sebagai berikut :

1. Teori Evolusi
Teori evolusi dikemukakan oleh August comte ketika membicarakan konsep masyarakat yang bercorak holistik. Dia menggambarkan bahwa proses berpikir manusia dalam manafsirkan dunia dengan segala isinya berkembang secara evolusi, malalui tahapan religious, metafisika dan positivisme. Dari konsep ini trwujudlah perubahan sosial masyarakat baru, berdasarkan kenyataan empiris hasil pemikiran rasional dan pada akhirnya akan mencapai tingkat integrasi yang lwbih besar.

2.  Teori Konsensus
Tokoh sosisologi yang dikenal dengan teori konsensus adalah Emile Durkheim, karenaia banyak berbicara tentang solidaritas sosial dalam masyarakat berdasarkan nilai-nilai moralitas dan agama.
Berdasarkan konsep solidaritas sosial sebagai wujud konsensus masyarakat, maka hubungan individu dibangun sesuai dasar-dasar moral, agama, kepercayaan, trasisi atauadat istiadat yang sudah diakui serta dianut oleh masyarakat. Secara antropologis, Durkheim melihat perlunya alat perekat solidaritas atas dasar konsensus masyarakat yana bisa mewujudkan integrasi, dalam hal ini adalah paham-paham kolektif, yang bersumber dari paham-paham individual. Melalui proses internalisasi, sosialisasi, institusionalisasi dan sangsi-sangsi sosial, paham individual berkembang serta diakui menjadi paham kolektif yang pada akhirnya bisa menjadi kekuatan memaksa.

3.  Teori Fungsionalisme
Masyarakat  modern dilihat oleh Durkheim sebagai keseluruhan oeganisme yang memiliki relitas sendiri. Keseluruhan tersebut memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh baagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng.

4.  Teori Konflik
Dalam teori konfliknya, Ralf Dahrendorf menjelaskan beberapa pengertian konsepsional, bahwa :

1)  Setiap masyarakat di segala bidangnya mengalami proses perubahan sosial.
2)  Setiap masyarakat memperlihatkan pertentangan dan konflik.
3)  Setiap unsur dalam masyarakat memberikan kontribusi bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan.
4)  Setiap berdiri atas dasar paksaan oleh segelintir anggota yang berkuasa terhadap anggota lain yang tidak berkuasa.

Salah satu sebab yang membuat terjadinya konflik itu menurut Ibnu Khaldun adalah karena ambisi pribadi, berdasarkan hawa nafsu, fanatisme golongan dan fanatisme ideologi.

5. Teori Tindakan
Teori tindakan sosial banyak diungkapkan oleh Talcott Parson, dalam analisisnya menggunakan kerangka atas tujuan (means and framework). Inti pemikirannya  ialah bahwa tindakan sosial itu: (1) diarahkan pada tujua, (2) terjadi dalam suatu situasi; (3) secara normatif diatur sehubungan dengan penentuan alat dan tujuan. Jadi komponen dari tindakan sosial adalah tujuan, sifat, kondisi dan norma.
Secara aksiologi, pengembangan ilmu dakwah dan pendidikan sebagai komponen ilmu agam yang tidak terpisahkan dari ilmu-ilmu sosial, haruslah mendukung aspek kemanusiaan, karena pada dasarnya manusia tau masyarakat  yang menerima dakwah dan pendidikan adalah obyek  sekaligus subyek dari ilmu itu sendiri. Dalam konteks inilah para juru dakwah dan guru atau pendidik khususnya serta para ilmuwan sosial pada umunya turut bertanggung jawab secara moral untuk memahami dan menegakkan model dakwah dan pendidikan menurut cara pandang sosiologi-antropologi bagi kepentingan masyarakat banyak.

Masyarakat dalam perspektif Islam dibangun atas dasar konsep Ukhuwah Islamiyah. Hal tersebut akan terwujud apabila dibina dengan mengedepankan lima prinsip yaitu menghargai perbedaan, menghornmati hak asasi, menghindari prasangka buruk, meninggalkan perilaku sombongdan memelihara kebersamaan.

Bab II Sosiologi Durkheim, menjadi penting dibahas secara khusus oleh penulis karena dengan teori konsensusnya ia banyak berbicara tentang solidaritas sosial dalam masyarakat berdasarkan nilai-nilai moralitas dan agama.

Durkheim melalui pendekatan ilmiah dengan tori kemasyarakatannya membahas dasar-dasar sosiologi agama pada kelompok masyarakat. Agama dipandang sebagai aspek budaya yang penting dalam obyek kajiannya, karena di dalam agama itu dijumpai ungkapan materi budaya seperti tabiat dan tingkah laku manusia berkenaan dengan system nilai, moral dan etika. Agama menurut Durkheim adalah kumpulan nilai-nilai sosial yang diakui masyarakat, berkenaan dengan benda-benda persembahan dalam upacara keagamaan.

Hakikat agama adalah sesuatu yang terkait dengan kehidupan sosial. Gambaran-gambaran agama adalah gambaran kolektif  yang menyatakan kenyataan kolektif, tidak ada agama yang dianut secara individu, seorang diri. Oleh karena itu, maka anggota masyarakat penganut agama tiu seharusnya berpartisipasi dalam tradisi peribadatan secara keseluruhan dari fakta agama; mereka juga harus bersikap sosial dan menghasilkan fikiran kolektif. Sekurang-kurangnya bagi kondisi pengetahuan secara actual dari masalah agama yang sangat sensitive. Penganut agama seharusnya berhati-hati untuk menghindari segla kenyataan yang radikal dan eksklusif, sehingga tidak mengganggu elemen-elemen sosial yang hidup dalam masyarakat beragama.

Bab III Studi Agama sebagai Sistem Budaya. Dalam bab ini penulis menjelaskan makna agama, metode dan pendekatan, agama sebagai sistem ideologi, agama sebagai seistem budaya, agama sebagai way of life dan konflik dalam agama.

Agama adalah system keyakinan atau kepercayaan manusia terhadapp sesuatu yang dianggap Tuhan. Menurut Louis Ma’luf dalam A-Munawar (231) pengertian agama dala Islam secara spesifik berasal dari kata “Ad-Dien” yang mempuyai banyak arti, antara lain : cara atau adar kebiasaan, peraturan, undang-undang, taat dan patuh, mengesakan Tuhan, pembalasan, perhitungan, hari kiamat, nasihat, agama”. Agama adalah kepercayaan yang mengatur hubungan manusia dengan Zat Maha Pencipta, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya beserta penghuninya.

Agama sebagai system budaya dapat dipelajari dengan metode fenomenologis, yakni dengan cara melihat, mengamati dn memperhtikan gejala-gejala keagamaan yang bias diobservasi secara cermat. Sistem budaya yang mengandung gagasan-gagasan kepercayaan, pengathuan, norma dan nilai yang bersifat abstrak, hanya bias dibuktikan dengan melihat gejala-gejala pada tingkat system sosial.

Gejala-gejala agama sebagai system budaya yang dipelajari secara fenomenologis, dapat didekati melalui berbagi model pendekatan, antara lain pendekatan sosiologi-antropologi yang pernah dilakukan pertama kali oleh Tyler dn Frazer yang cenderung melihat magic dan agama sebagi focus penyelidikan dan teori serta pendekatan fungsional, structural dan simnbolik yang ditemukan dan dikembangkan oleh Durkheim, Redcliff Brown, dn Levy Bruhl untuk mempelajari phenomena agama.

Agama sebagai system ideologi yang bersumber dari kepercayaan dan pengetahuan, melahirkan norma dan nilai-nilai ajaran agama. Ideologixal syatem sebagai system gagasan, hakikatnya bersifat kognitif, menuntut adanya realisasi dalam kehidupan manusia yang lebih nyata, baik secara individu, keluarga maupun masyarakat bangsa dan Negara.

Memahami agama sebagai system ideologi mengandung makna bahwa agama harus merupakan pedoman di seluruh lapangan kehidupan, material dan spiritual. Dengan demikan, jika kita memandang Islam sebagi system ideologi, maka menuntut konsekuensi logis masyarkat harus memiliki aqidah islamiyah. Begitu juga semboyan hidupnya, faham dan fikirannya harus Islami, perasaan, akhlak, pendidikn, tradisi, tata susila, undang-undang dan peraturan-peraturannya, seluruhnya harus Islami, berdasarkan system ideologi Islam.

Agama sebagai system budaya, merupakan konsep antropologi yang dikemukakan oleh Cliford Geertz. Dalam pandangan antropologi. Pengamalan agama dianggap sebagai suatu kreasi manusia untuk menuju jalan hidup yang bervariasi, sesuai dengan latar belakang pengetahuan, kepercayaan, norma dan nilai-nilai yang dianutnya. Secara sibernatika, orang baru bisa melihat agama dengan memperhatikan fenomena system sosial. Berupa organisasi, institusi, pranata atau lembaga keagamaan. Kemudian berdasarkan institusi, kelompok, golongan, partai, madzhab, umat beragama memperlihatkan kepribadian sesuai agamana yang dianutnya.

Agama adlah way of life yang bias menghubungakan antara manusia sebagai makhluk dengan Tuhan sebagai Khaliq, dalam rangka interaksi dirinya terhadap Zat Yang Mah Ghaib, dipercaya memberikan perlindungan dan keselamatan bagi hidupnya. Jalan hidup, itulah barangakali yang menberikan makna agama sebagai syariat bagi manusia yang ingin menjalin hubungan dengan Tuhan.

Sempitnya wawasan pengetahuan tentang hakikat makna agama, kuranganya kesadaran akan makna perbedaan sebagai hukum alam (Sunnatullah), dapat menimbulkan konflik antar pemeluk agama. Konflik adalah suatu pertentangan yang timbul dalam masyarakat, karena adanya perbedaan latar belakang sosial budaya, pengetahuan, keyakinan, norma dan nilai-nilai yang dianutnya. Secara teoritik, konflik selalu berangkat dari adanya perbedaan yang menimbulkan ketegangan dan pertentangan, tetapi pada akhirnya akan membawa perubahan. Seperti yang dijelaskan oleh Horton bahwa perspektif konflik memusatkan perhatian pada perbedaan, kettegangan dan perubahan yang dipaksakan dan dipertahankan oleh masing-masing pihak untuk memperoleh keuntungan.

Sejarah Sosiologi Pendidikan yang diuraikan pada bab IV, berawal dari kuliah Sosisologi Pendidikan pertama kali disajikan pada tahun 1915, dipepopori oleh tiga dosen Sosiologi Universitas Chicago yakni: Emory S. Begardus, Ellsworth Faris dan Robert Park. Dipublikasikan melalui Jurnal of Esucational Sociology pada tahun 1926. Penyuntingnya antara lain: Harvey Zorbaugh dengan tulisannya berjudul The Gold and The Slum dan Frederick Trasher yang menulis The Gang. Proses perkembangannya dinmulai dengan diskusi yang mempermasalahkan apakah sosiologi pendidikan dapat dikatagorikan sebagai suatu ilmu? Jawabannya agar ilmu ini diterima secara ilmiah harus menggunakan metode experimental yang bersifat kuantitatif, sesuai d4engan perkembangan masa kejayaan aliran empirisme pada saat itu. Setelah Ellsworth Faris mengungkapkan dalam suatu pertemua akan pentingnya Bidang Sosiologi Pendidikan untuk mempelajari berbagai masalah dan realitas sosial kemudian ditindak lanjuti oleh Willard Waller (1932) melalui obsevasi partisipasi dalam penelitian kualitatif berjudul “Sociology of Teaching”

Dalam bab Realitas Pendidikan Berdasarkan Fakta Sosial, penulis mengungkapkan masalah-masalah yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia yang bersumber kepada masalah ekonomi sebagai faktor utama dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa masyarakat Insonesia dalam segi ekonomi sebagian besar masih berada dalam garis kemiskinanan, Sebagai jalan keluarnya pemerintah meningkatkan anggaran pendidikan menjadi 20 % yang digunakan untuk memperbaiki sarana dan prasarana pendidikan, Program BOS dan beasiswa bafi siswa yang tidak mampu dan peningkatan SDM pendidikan dan tenaga kependidikan yang diharapkan mampu mengatasi masalah ketidak berdayaan masyarakat dan rendahnya kualitas pendidikan.

Di sisi lain adanya kekeliruan dalam mengelola dana umat (BAZIS) yang kurang memperhatikan penyantunan terhadap anak yatim karena salah dalam memaknai posisi anak yatim dalam syariat Islam. Kita pada umumnya tidak memasukan anak yatim ke dalam 8 asnaf yang berhak menerima zakat, hal ini berdasarkan pemahaman hadits hanya secara tekstual saja, padahal anak yatim seharusnya lebih diprioritaskan karena anak yatim itu fakir dan miskin, fisabilillah karena berjuang dalam memperoleh pendidikan, muallaf karena lemah mentalnya, Ibnu sabil karena menjadi anak terlantar ketika ditinggal ayahnya atau tidak memiliki bekal untuk baiya pendidikan, berhutang ketika ibunya tidak mampu mencari nafkah untuk m keperluan hidup anak-anaknya.

Dekadensi moral anak-anak usia sekolah karena pengaruh globalisasi, berupa penyalahgunaaan narkoba, free sex dan perilaku kekerasan dan tawuran merupaka masalah sosial pendidikan yang memerlukan penaganan yang serius baik oleh pemerintah maupun masyarakat.

Paradigma Dakwah terdpat dalam bab VI, menejelaskan makna dan masalah dakwah.

Ilmu Dakwah sebagai komponen ilmu agama adalah bagian dari ilmu-ilmu sosial. Kata “Dakwah” berasal dari bahasa Arab yang berarti: ajakan, seruan, panggilan dan undangan. Hakikat dakwah Islam adalah ajakan untuk menuju jalan Allah demi kebaikan dan kebenaran sesuai ajaran Al-Qur’an. Kegiatan dakwah akan diterima oleh masyarakat jika dilakukan dengan mengikuti tuntunan Al-Qur’an yaitu bil hikmah dan mauidhotil hasanah, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw.

Secara sosiologi antropologis, seorang juru dakwah harus dapat membaca dan memahami situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapi. Juru dakwah harus dapat menghargai pluralisme budaya yang merupakan realitas kehidupan masyarakat. Bahwa hakikatnya masyarakat itu mempunyai tradisi yang bervariasi, berbeda latar belakang kepercayaan dan keyakinan, berbeda pendidikan dan pengetahuannya, berbeda pula norma dan nilai-nilai yang dianutnya.

Problematika dan tantangan dakwah semakin komplek sejalan dengan perkembangan masyarakat menuju era global yang langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pola pikir, adat istiadat dan budaya masyarakat Islam sehingga jauh dari nilai-nilai ajaran Islam yang dianutnya. Hal tersebut memerlukan pengkajian dan penelitian ulang untuk menemukan model-model pendekatan yang lebih manusiawi, yakni pendekatan sosial budaya dalam rangka pengembangan dakwah.

Profil Masyarakat Islam dikelompokkan oleh penulis ke dalam tiga golongan yaitu; Pemeluk Islam Tradisional, Pemeluk Islam Modern dan Pemeluk Islam Pragmatis. Hal ini lebih mengena dibanding trikotomi geertz yaitu abagan, santri dan priyayi.

Dzikir merupakan solusi yang tepat dalam menghadapi tantangan modernisasi yang menawarkan kemewahan dan kesenangan duniawi. Tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidup semakin tinggi  dan semakin sulit mengakibatkan dampak negative terhadap kejiwaan sesorang seperti kekecewaan, kekacauan pikiran, kegelisahan, ketidak tenangan, kecemasan dan lain-lain. Sebab itulah Allah selalu mengingatkan agar manusia tidak melakukan tindakan berlebihan dan melampaui batas kemampuan diri ketika menuruti keinginan, yang berakibat timbyulny kekecewaan, kecemasan dan kekihawatiran yang bias menimbulkan prustasi. Berdasarkan tuntunan Al-Quran sebagai berikut :

وكلوا واشربوا ولا تسرفوا ان الله لا يحب المسرفين
الا بذكر الله تطمئن القلوب

Makna Din perspektif sosio antropologis digambarkan oleh Emile Durkheim bahwa agama merupakan sumber aspirasi manusia yang paling dalam, sumber semua kebudayaan yang sangat tinggi, jelasnya agama menunjukkan seperangkat aktivitas manusia dan sejumlah bentik sosial yang mempunyai arti penting.

Islam dan kemajemukan di Indonesia perspektif sosio-antropologis dapat di pahami bahwa masyarakat Indonesia telah lama hidup berdampingan saling menghormati  dan menghagai perbedaan agama dengan diterimanya Islam. Kristen, Katholik, Hindu Budha atau Kong hu Cu sebagai agama Negara. Begitu pula ragam budaya masing-masing daerah sesuai adar istiadat yang berlaku.

Agama Islam sangat menghargai kemajemukan, keragaman dan perbedaan, termasuk  beda faham dan penafsiran, karena Islam merupakan agama yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan. Salah satu fitrah itu adalah kemajemukan yang hakikatnya berseumber dari ajaran Islam. Hal tersebut dapat dilihat pada globalitas ayat-ayat Al-Qur’an, universalitas ajaran Islam, demokratisasi ajaran Islam dan system budaya Islam.

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dengan mempelajari sosiologi  kita dapat  memahami hakikat masyarakat dalam kehidupan kelompok, baik struktur, dinamika, institusi maupun interaksi sosialnya.

Sedangakan dengan Antropologi kita mampu memahami perilaku manusia (antthropos) sesuai latar belakang kepercayaan dan kebudayaannya secara manusiawi (humaniora).

Hakikat agama adalah sesuatu yang terkait dengan kehidupan sosial. Gambaran-gambaran agama adalah gambaran kolektif  yang menyatakan kenyataan kolektif, tidak ada agama yang dianut secara individu, seorang diri. Oleh karena itu, maka anggota masyarakat penganut agama itu seharusnya berpartisipasi dalam tradisi peribadatan secara keseluruhan dari fakta agama.

Memahami Islam sebagi agama dengan perspektif sosiolo-antropologi dapat membantu kita untuk mengembangkan konsep dakwah dalam rangka memenuhi seruan Allah dalam Al-Qur’an agar menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.

Namun suatu yang ironis terjadi di institusi Islam yang kita cintai yang mencetak sarjana-sarjana muslim, seolah menjadi sia-sia, semakin tinggi dan dalam wawasan keislaman tidak menumbuhkan rasa kebersamaan yang menjadi hakikat peibadatan suatu agama, gambaran agama adalah gambaran kolektif  yang menyatakan kenyataan kolektif, tidak ada agama yang dianut secara individu, seorang diri. Agama atau keyakinan sudah menjadi ranah pribadi sehingga tidak merasa perlu berjamaah dalam peribadatan , seperti Shalat misalnya, saya selama kuliah di pasca sarjana belum melihat petinggi institusi mendirikan shalat berjamaah di masjid kampus. Sungguh sangat memilukan ketika Para Sarjana Tertinggi sudah tidak peduli dengan Syi’ar Islam dan sudah tidak mampu menjadikan dirinya uswatun hasanah bagi murid-muridnya.

0 Comment