Sosiologi Pendidikan dan Dakwah
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang masyarakat
manusia. Masyarakat sebagai sekumpulan orang yang mempunyai latar
belakang social, pendidikan, cita-sita, harapan dan tujuan hidup yang
sama. Pemaknaan masyaralat yang dikemukakan penulis si atas menurut
hemat saya kurang tepat untuk menggambarkan masyrakat modern sekarang
ini. karena pada kenyataannya maryarakat bersifat majemuk yakni secara
individu bersasal dari berbagai latar belakang sosial dan pendidikan
yang berbeda-beda namun disatukan oleh cita-cita dan harapan hidup yang
sama.
Sesuai dengan criteria dan klasifikasi ilmu pengetahuan , kajian
sosiologi termasuk model kajian tertua dalam bidang ilmu sosial, seperti
juga antropologi dan psikologi. Ilmu Sosial adalah ilmu pengetahuan
yang bertugas ntuk meneliti, melakuikan generalisasi dan verifikasi
terhaap gejala-gejala tingkah laku manusia dalam kelompok bangsa dan
Negara. Kerja ilmu sosial dilakukjan dengan cara menarik konsep, teori
dan kaidah tentang pola perilaku manusia secara ilmiah untuk menemukan
kesamaan pola pikir daSosiologi durkheimn perilaku masyarakat. Karena
itu laboratorium ilmu sosial tidak lain kehidupan masyarakat itu
sendiri, yang dikaji secara ilmiah berdasarkan metode utama menurut
Donald W. Colhoun “to observ and measure phenomena” dengan cara
pengamatan dan pengukuran terhadap gejala-gejala sosial, melalui field
work and field observation.
Sosiologi-Antropologi adalah ilmu yang mempelajari tentang
mesyarakat dan kebudayaan manusia. Keduanya merupakan sumber rujukan
utama dari ilmu-ilmu sosial. Sosiologi berusaha memahami hakikat
masyarakat dalam kehidupan kelompok, baik struktur, dinamika, institusi
maupun interaksi sosialnya. Antropologi berusaha memahami perilaku
manusia (antthropos) sesuai latar belakang kepercayaan dan kebudayaannya
secara manusiawi (humaniora). Sosiologi- Antropologi saling menunjang
dari segi teori, konsep maupun metodologi. Konsentrasi soisologi pada
masyarakatnya, sedangkan konsentrasi antropologi pada kebudayaannya.
Terdapat beberapa teori dalam kajian sosiologi-antropologi, antara lain sebagai berikut :
1. Teori Evolusi
Teori evolusi dikemukakan oleh August comte ketika membicarakan
konsep masyarakat yang bercorak holistik. Dia menggambarkan bahwa proses
berpikir manusia dalam manafsirkan dunia dengan segala isinya
berkembang secara evolusi, malalui tahapan religious, metafisika dan
positivisme. Dari konsep ini trwujudlah perubahan sosial masyarakat
baru, berdasarkan kenyataan empiris hasil pemikiran rasional dan pada
akhirnya akan mencapai tingkat integrasi yang lwbih besar.
2. Teori Konsensus
Tokoh sosisologi yang dikenal dengan teori konsensus adalah Emile
Durkheim, karenaia banyak berbicara tentang solidaritas sosial dalam
masyarakat berdasarkan nilai-nilai moralitas dan agama.
Berdasarkan konsep solidaritas sosial sebagai wujud konsensus
masyarakat, maka hubungan individu dibangun sesuai dasar-dasar moral,
agama, kepercayaan, trasisi atauadat istiadat yang sudah diakui serta
dianut oleh masyarakat. Secara antropologis, Durkheim melihat perlunya
alat perekat solidaritas atas dasar konsensus masyarakat yana bisa
mewujudkan integrasi, dalam hal ini adalah paham-paham kolektif, yang
bersumber dari paham-paham individual. Melalui proses internalisasi,
sosialisasi, institusionalisasi dan sangsi-sangsi sosial, paham
individual berkembang serta diakui menjadi paham kolektif yang pada
akhirnya bisa menjadi kekuatan memaksa.
3. Teori Fungsionalisme
Masyarakat modern dilihat oleh Durkheim sebagai keseluruhan
oeganisme yang memiliki relitas sendiri. Keseluruhan tersebut memiliki
seperangkat kebutuhan atau fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh
baagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap
langgeng.
4. Teori Konflik
Dalam teori konfliknya, Ralf Dahrendorf menjelaskan beberapa pengertian konsepsional, bahwa :
1) Setiap masyarakat di segala bidangnya mengalami proses perubahan sosial.
2) Setiap masyarakat memperlihatkan pertentangan dan konflik.
3) Setiap unsur dalam masyarakat memberikan kontribusi bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan.
4) Setiap berdiri atas dasar paksaan oleh segelintir anggota yang berkuasa terhadap anggota lain yang tidak berkuasa.
Salah satu sebab yang membuat terjadinya konflik itu menurut Ibnu
Khaldun adalah karena ambisi pribadi, berdasarkan hawa nafsu, fanatisme
golongan dan fanatisme ideologi.
5. Teori Tindakan
Teori tindakan sosial banyak diungkapkan oleh Talcott Parson, dalam
analisisnya menggunakan kerangka atas tujuan (means and framework). Inti
pemikirannya ialah bahwa tindakan sosial itu: (1) diarahkan pada
tujua, (2) terjadi dalam suatu situasi; (3) secara normatif diatur
sehubungan dengan penentuan alat dan tujuan. Jadi komponen dari tindakan
sosial adalah tujuan, sifat, kondisi dan norma.
Secara aksiologi, pengembangan ilmu dakwah dan pendidikan sebagai
komponen ilmu agam yang tidak terpisahkan dari ilmu-ilmu sosial,
haruslah mendukung aspek kemanusiaan, karena pada dasarnya manusia tau
masyarakat yang menerima dakwah dan pendidikan adalah obyek sekaligus
subyek dari ilmu itu sendiri. Dalam konteks inilah para juru dakwah dan
guru atau pendidik khususnya serta para ilmuwan sosial pada umunya turut
bertanggung jawab secara moral untuk memahami dan menegakkan model
dakwah dan pendidikan menurut cara pandang sosiologi-antropologi bagi
kepentingan masyarakat banyak.
Masyarakat dalam perspektif Islam dibangun atas dasar konsep Ukhuwah
Islamiyah. Hal tersebut akan terwujud apabila dibina dengan
mengedepankan lima prinsip yaitu menghargai perbedaan, menghornmati hak
asasi, menghindari prasangka buruk, meninggalkan perilaku sombongdan
memelihara kebersamaan.
Bab II Sosiologi Durkheim, menjadi penting dibahas secara khusus oleh
penulis karena dengan teori konsensusnya ia banyak berbicara tentang
solidaritas sosial dalam masyarakat berdasarkan nilai-nilai moralitas
dan agama.
Durkheim melalui pendekatan ilmiah dengan tori kemasyarakatannya
membahas dasar-dasar sosiologi agama pada kelompok masyarakat. Agama
dipandang sebagai aspek budaya yang penting dalam obyek kajiannya,
karena di dalam agama itu dijumpai ungkapan materi budaya seperti tabiat
dan tingkah laku manusia berkenaan dengan system nilai, moral dan
etika. Agama menurut Durkheim adalah kumpulan nilai-nilai sosial yang
diakui masyarakat, berkenaan dengan benda-benda persembahan dalam
upacara keagamaan.
Hakikat agama adalah sesuatu yang terkait dengan kehidupan sosial.
Gambaran-gambaran agama adalah gambaran kolektif yang menyatakan
kenyataan kolektif, tidak ada agama yang dianut secara individu, seorang
diri. Oleh karena itu, maka anggota masyarakat penganut agama tiu
seharusnya berpartisipasi dalam tradisi peribadatan secara keseluruhan
dari fakta agama; mereka juga harus bersikap sosial dan menghasilkan
fikiran kolektif. Sekurang-kurangnya bagi kondisi pengetahuan secara
actual dari masalah agama yang sangat sensitive. Penganut agama
seharusnya berhati-hati untuk menghindari segla kenyataan yang radikal
dan eksklusif, sehingga tidak mengganggu elemen-elemen sosial yang hidup
dalam masyarakat beragama.
Bab III Studi Agama sebagai Sistem Budaya. Dalam bab ini penulis
menjelaskan makna agama, metode dan pendekatan, agama sebagai sistem
ideologi, agama sebagai seistem budaya, agama sebagai way of life dan
konflik dalam agama.
Agama adalah system keyakinan atau kepercayaan manusia terhadapp
sesuatu yang dianggap Tuhan. Menurut Louis Ma’luf dalam A-Munawar (231)
pengertian agama dala Islam secara spesifik berasal dari kata “Ad-Dien”
yang mempuyai banyak arti, antara lain : cara atau adar kebiasaan,
peraturan, undang-undang, taat dan patuh, mengesakan Tuhan, pembalasan,
perhitungan, hari kiamat, nasihat, agama”. Agama adalah kepercayaan yang
mengatur hubungan manusia dengan Zat Maha Pencipta, manusia dengan
manusia dan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya beserta
penghuninya.
Agama sebagai system budaya dapat dipelajari dengan metode
fenomenologis, yakni dengan cara melihat, mengamati dn memperhtikan
gejala-gejala keagamaan yang bias diobservasi secara cermat. Sistem
budaya yang mengandung gagasan-gagasan kepercayaan, pengathuan, norma
dan nilai yang bersifat abstrak, hanya bias dibuktikan dengan melihat
gejala-gejala pada tingkat system sosial.
Gejala-gejala agama sebagai system budaya yang dipelajari secara
fenomenologis, dapat didekati melalui berbagi model pendekatan, antara
lain pendekatan sosiologi-antropologi yang pernah dilakukan pertama kali
oleh Tyler dn Frazer yang cenderung melihat magic dan agama sebagi
focus penyelidikan dan teori serta pendekatan fungsional, structural dan
simnbolik yang ditemukan dan dikembangkan oleh Durkheim, Redcliff
Brown, dn Levy Bruhl untuk mempelajari phenomena agama.
Agama sebagai system ideologi yang bersumber dari kepercayaan dan
pengetahuan, melahirkan norma dan nilai-nilai ajaran agama. Ideologixal
syatem sebagai system gagasan, hakikatnya bersifat kognitif, menuntut
adanya realisasi dalam kehidupan manusia yang lebih nyata, baik secara
individu, keluarga maupun masyarakat bangsa dan Negara.
Memahami agama sebagai system ideologi mengandung makna bahwa agama
harus merupakan pedoman di seluruh lapangan kehidupan, material dan
spiritual. Dengan demikan, jika kita memandang Islam sebagi system
ideologi, maka menuntut konsekuensi logis masyarkat harus memiliki
aqidah islamiyah. Begitu juga semboyan hidupnya, faham dan fikirannya
harus Islami, perasaan, akhlak, pendidikn, tradisi, tata susila,
undang-undang dan peraturan-peraturannya, seluruhnya harus Islami,
berdasarkan system ideologi Islam.
Agama sebagai system budaya, merupakan konsep antropologi yang
dikemukakan oleh Cliford Geertz. Dalam pandangan antropologi. Pengamalan
agama dianggap sebagai suatu kreasi manusia untuk menuju jalan hidup
yang bervariasi, sesuai dengan latar belakang pengetahuan, kepercayaan,
norma dan nilai-nilai yang dianutnya. Secara sibernatika, orang baru
bisa melihat agama dengan memperhatikan fenomena system sosial. Berupa
organisasi, institusi, pranata atau lembaga keagamaan. Kemudian
berdasarkan institusi, kelompok, golongan, partai, madzhab, umat
beragama memperlihatkan kepribadian sesuai agamana yang dianutnya.
Agama adlah way of life yang bias menghubungakan antara manusia
sebagai makhluk dengan Tuhan sebagai Khaliq, dalam rangka interaksi
dirinya terhadap Zat Yang Mah Ghaib, dipercaya memberikan perlindungan
dan keselamatan bagi hidupnya. Jalan hidup, itulah barangakali yang
menberikan makna agama sebagai syariat bagi manusia yang ingin menjalin
hubungan dengan Tuhan.
Sempitnya wawasan pengetahuan tentang hakikat makna agama, kuranganya
kesadaran akan makna perbedaan sebagai hukum alam (Sunnatullah), dapat
menimbulkan konflik antar pemeluk agama. Konflik adalah suatu
pertentangan yang timbul dalam masyarakat, karena adanya perbedaan latar
belakang sosial budaya, pengetahuan, keyakinan, norma dan nilai-nilai
yang dianutnya. Secara teoritik, konflik selalu berangkat dari adanya
perbedaan yang menimbulkan ketegangan dan pertentangan, tetapi pada
akhirnya akan membawa perubahan. Seperti yang dijelaskan oleh Horton
bahwa perspektif konflik memusatkan perhatian pada perbedaan,
kettegangan dan perubahan yang dipaksakan dan dipertahankan oleh
masing-masing pihak untuk memperoleh keuntungan.
Sejarah Sosiologi Pendidikan yang diuraikan pada bab IV, berawal dari
kuliah Sosisologi Pendidikan pertama kali disajikan pada tahun 1915,
dipepopori oleh tiga dosen Sosiologi Universitas Chicago yakni: Emory S. Begardus, Ellsworth Faris dan Robert Park. Dipublikasikan melalui Jurnal of Esucational Sociology pada tahun 1926. Penyuntingnya antara lain: Harvey Zorbaugh dengan tulisannya berjudul The Gold and The Slum dan Frederick Trasher yang menulis The Gang.
Proses perkembangannya dinmulai dengan diskusi yang mempermasalahkan
apakah sosiologi pendidikan dapat dikatagorikan sebagai suatu ilmu?
Jawabannya agar ilmu ini diterima secara ilmiah harus menggunakan metode
experimental yang bersifat kuantitatif, sesuai d4engan perkembangan
masa kejayaan aliran empirisme pada saat itu. Setelah Ellsworth Faris
mengungkapkan dalam suatu pertemua akan pentingnya Bidang Sosiologi
Pendidikan untuk mempelajari berbagai masalah dan realitas sosial
kemudian ditindak lanjuti oleh Willard Waller (1932) melalui obsevasi
partisipasi dalam penelitian kualitatif berjudul “Sociology of Teaching”
Dalam bab Realitas Pendidikan Berdasarkan Fakta Sosial, penulis
mengungkapkan masalah-masalah yang dihadapi dunia pendidikan di
Indonesia yang bersumber kepada masalah ekonomi sebagai faktor utama
dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa
masyarakat Insonesia dalam segi ekonomi sebagian besar masih berada
dalam garis kemiskinanan, Sebagai jalan keluarnya pemerintah
meningkatkan anggaran pendidikan menjadi 20 % yang digunakan untuk
memperbaiki sarana dan prasarana pendidikan, Program BOS dan beasiswa
bafi siswa yang tidak mampu dan peningkatan SDM pendidikan dan tenaga
kependidikan yang diharapkan mampu mengatasi masalah ketidak berdayaan
masyarakat dan rendahnya kualitas pendidikan.
Di sisi lain adanya kekeliruan dalam mengelola dana umat (BAZIS) yang
kurang memperhatikan penyantunan terhadap anak yatim karena salah dalam
memaknai posisi anak yatim dalam syariat Islam. Kita pada umumnya tidak
memasukan anak yatim ke dalam 8 asnaf yang berhak menerima zakat, hal
ini berdasarkan pemahaman hadits hanya secara tekstual saja, padahal
anak yatim seharusnya lebih diprioritaskan karena anak yatim itu fakir
dan miskin, fisabilillah karena berjuang dalam memperoleh pendidikan,
muallaf karena lemah mentalnya, Ibnu sabil karena menjadi anak terlantar
ketika ditinggal ayahnya atau tidak memiliki bekal untuk baiya
pendidikan, berhutang ketika ibunya tidak mampu mencari nafkah untuk m
keperluan hidup anak-anaknya.
Dekadensi moral anak-anak usia sekolah karena pengaruh globalisasi,
berupa penyalahgunaaan narkoba, free sex dan perilaku kekerasan dan
tawuran merupaka masalah sosial pendidikan yang memerlukan penaganan
yang serius baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
Paradigma Dakwah terdpat dalam bab VI, menejelaskan makna dan masalah dakwah.
Ilmu Dakwah sebagai komponen ilmu agama adalah bagian dari ilmu-ilmu
sosial. Kata “Dakwah” berasal dari bahasa Arab yang berarti: ajakan,
seruan, panggilan dan undangan. Hakikat dakwah Islam adalah ajakan untuk
menuju jalan Allah demi kebaikan dan kebenaran sesuai ajaran Al-Qur’an.
Kegiatan dakwah akan diterima oleh masyarakat jika dilakukan dengan
mengikuti tuntunan Al-Qur’an yaitu bil hikmah dan mauidhotil hasanah, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw.
Secara sosiologi antropologis, seorang juru dakwah harus dapat
membaca dan memahami situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapi. Juru
dakwah harus dapat menghargai pluralisme budaya yang merupakan realitas
kehidupan masyarakat. Bahwa hakikatnya masyarakat itu mempunyai tradisi
yang bervariasi, berbeda latar belakang kepercayaan dan keyakinan,
berbeda pendidikan dan pengetahuannya, berbeda pula norma dan
nilai-nilai yang dianutnya.
Problematika dan tantangan dakwah semakin komplek sejalan dengan
perkembangan masyarakat menuju era global yang langsung maupun tidak
langsung mempengaruhi pola pikir, adat istiadat dan budaya masyarakat
Islam sehingga jauh dari nilai-nilai ajaran Islam yang dianutnya. Hal
tersebut memerlukan pengkajian dan penelitian ulang untuk menemukan
model-model pendekatan yang lebih manusiawi, yakni pendekatan sosial
budaya dalam rangka pengembangan dakwah.
Profil Masyarakat Islam dikelompokkan oleh penulis ke dalam tiga
golongan yaitu; Pemeluk Islam Tradisional, Pemeluk Islam Modern dan
Pemeluk Islam Pragmatis. Hal ini lebih mengena dibanding trikotomi
geertz yaitu abagan, santri dan priyayi.
Dzikir merupakan solusi yang tepat dalam menghadapi tantangan
modernisasi yang menawarkan kemewahan dan kesenangan duniawi. Tuntutan
untuk memenuhi kebutuhan hidup semakin tinggi dan semakin sulit
mengakibatkan dampak negative terhadap kejiwaan sesorang seperti
kekecewaan, kekacauan pikiran, kegelisahan, ketidak tenangan, kecemasan
dan lain-lain. Sebab itulah Allah selalu mengingatkan agar manusia tidak
melakukan tindakan berlebihan dan melampaui batas kemampuan diri ketika
menuruti keinginan, yang berakibat timbyulny kekecewaan, kecemasan dan
kekihawatiran yang bias menimbulkan prustasi. Berdasarkan tuntunan
Al-Quran sebagai berikut :
وكلوا واشربوا ولا تسرفوا ان الله لا يحب المسرفين
الا بذكر الله تطمئن القلوب
Makna Din perspektif sosio antropologis digambarkan oleh Emile
Durkheim bahwa agama merupakan sumber aspirasi manusia yang paling
dalam, sumber semua kebudayaan yang sangat tinggi, jelasnya agama
menunjukkan seperangkat aktivitas manusia dan sejumlah bentik sosial
yang mempunyai arti penting.
Islam dan kemajemukan di Indonesia perspektif sosio-antropologis
dapat di pahami bahwa masyarakat Indonesia telah lama hidup berdampingan
saling menghormati dan menghagai perbedaan agama dengan diterimanya
Islam. Kristen, Katholik, Hindu Budha atau Kong hu Cu sebagai agama
Negara. Begitu pula ragam budaya masing-masing daerah sesuai adar
istiadat yang berlaku.
Agama Islam sangat menghargai kemajemukan, keragaman dan perbedaan,
termasuk beda faham dan penafsiran, karena Islam merupakan agama yang
sesuai dengan fitrah kemanusiaan. Salah satu fitrah itu adalah
kemajemukan yang hakikatnya berseumber dari ajaran Islam. Hal tersebut
dapat dilihat pada globalitas ayat-ayat Al-Qur’an, universalitas ajaran
Islam, demokratisasi ajaran Islam dan system budaya Islam.
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dengan mempelajari
sosiologi kita dapat memahami hakikat masyarakat dalam kehidupan
kelompok, baik struktur, dinamika, institusi maupun interaksi sosialnya.
Sedangakan dengan Antropologi kita mampu memahami perilaku manusia
(antthropos) sesuai latar belakang kepercayaan dan kebudayaannya secara
manusiawi (humaniora).
Hakikat agama adalah sesuatu yang terkait dengan kehidupan sosial.
Gambaran-gambaran agama adalah gambaran kolektif yang menyatakan
kenyataan kolektif, tidak ada agama yang dianut secara individu, seorang
diri. Oleh karena itu, maka anggota masyarakat penganut agama itu
seharusnya berpartisipasi dalam tradisi peribadatan secara keseluruhan
dari fakta agama.
Memahami Islam sebagi agama dengan perspektif sosiolo-antropologi
dapat membantu kita untuk mengembangkan konsep dakwah dalam rangka
memenuhi seruan Allah dalam Al-Qur’an agar menegakkan amar ma’ruf nahi
munkar.
Namun suatu yang ironis terjadi di institusi Islam yang kita cintai
yang mencetak sarjana-sarjana muslim, seolah menjadi sia-sia, semakin
tinggi dan dalam wawasan keislaman tidak menumbuhkan rasa kebersamaan
yang menjadi hakikat peibadatan suatu agama, gambaran agama
adalah gambaran kolektif yang menyatakan kenyataan kolektif, tidak ada
agama yang dianut secara individu, seorang diri. Agama atau
keyakinan sudah menjadi ranah pribadi sehingga tidak merasa perlu
berjamaah dalam peribadatan , seperti Shalat misalnya, saya selama
kuliah di pasca sarjana belum melihat petinggi institusi mendirikan
shalat berjamaah di masjid kampus. Sungguh sangat memilukan ketika Para
Sarjana Tertinggi sudah tidak peduli dengan Syi’ar Islam dan sudah tidak
mampu menjadikan dirinya uswatun hasanah bagi murid-muridnya.
0 Comment