A.
Pendahuluan
Kajian terhadap hadis-hadis Nabi SAW,
tidak hanya terbatas pada kajian ilmu riwayah, yaitu yang mempelajari tentang
periwayatan hadis, atau ilmu dirayah yaitu berua kaidah-kaidah yang bertujuan
untuk mengetahui apakah sebuah hadis dapat diterima sebagai riwayat yang
bersumber dari Nabi SAW (maqbul) atau tidak (mardud). Tetapi
lebih luas meliputi berbagai aspek: yaitu Aspek Bahsu al-Asasi ; ilmu hadis
yaitu ilmu dirayah hadis (sanad dan matn) yang hasil shahih atau kehujjahan dan
qabul dan rad, Aspek historis (zaman rasul-sekarang) kodifikasi, Aspek
metodologi (fiqh al-Hadits), Aspek ketokohan dan literatul (al-‘alam
al-Mushannafat) manhaj al-Muhadditsin, Aspek problematika kontemporer.
Dalam makalah ini penulis memfokuskan
pembahasan tentang pengertian fiqh al-Hadits, sejarah dan perkembangan fiqh
al-Hadits, dan pentingnya pembahsannya, serta ruang lingkup pembahsan dalam
fiqh al-Hadits.
B.
Fiqh al-Hadits
1.
Pengertian
Fiqh al-Hadits terdiri dari dua
kata yaitu fiqh dan al-Hadits.
1.a. Fiqh العلم بالشيء و الفهم له [1](
mengetahui sesuatu dan memahaminya). Al-Fairuz Abadiy mendefinisikan kata ini
dengan
Artinya:Mengetahui sesuatu dan memahaminya, kecerdasan, dan pengetahuan
itu menguasai ilmu agama karena kemuliannya.
1.b. al-Hadits
Kata al-Hadits secara literatur
berarti informasi atau komunikasi yang bersifat umum. Ini sesuai dengan
ungkapan Ibn Manzhur kata al-Hadits berasal dari حدث- يحدث-حدثا yang berarti kabar
atau berita yang banyak atau yang sedikit.[3]
Sedangkan
secara terminologi al-Hadits adalah perkataan, perbuatan, ketetapan, bentuk
fisik, sifat, serta sejarah hidup yang disandarkan kepada Rasulullah SAW baik
setelah diutus maupun sebelumnya. [4]
1.c. Fiqh al-Hadits
Kata fiqh al-hadits menurut Abu
Yasir al-Hasan al-Ilmy adalah
فقه الحديث النبوي معناه فهم مراد
النبي صلى الله عليه و سلم من كلامه[5]
Artinya ; Fiqh al-Hadits al-Nabawiy artinya adalah memahami maksud dari
perkataan Nabi SAW.
Jadi makna yang di ungkapkan ini bukanlah makna fiqh yang dikenal oleh
kalangan fuqaha’. Makna yang di kemukakan oleh Abu Yasir adalah makna yang
mencakup semua sunnah Rasulullah SAW dan makna inilah yang dimaksud oleh
ulama-ulama hadis seperti al-Bukhariy, Muslim, Ahmad, Abu daud dll.
Berdasarkan penjelasan definisi terssebut baik secara bahasa ataupun
istilah, dapat dipahami kata fiqh al-Hadits berarti memahami maksud dari
perkataan Nabi SAW. Namun pengertian fiqh al-Hadits secara bahasa
ataupun istilah, maka dapat dipahami
bahwa kata fiqh al-Hadits berarti memahami maksud dari
perkataan Nabi SAW. Namun, pengertian fiqh al-Hadits secara bahasa
menurut penulis lebih mencapai target yang dituju dari pembahasan ini karena
yang dituju oleh pemahaman ini bukan hanya perkataan Nabi SAW saja, tetapi juga
perbuatan dan ketetapannya yang diungkapkan oleh sahabat. Selain itu dari
definisi yang dikemukakan oleh Thasy Kubra Zadah, pemahaman yang dituju hanya
seputar hadis-hadis yang bersifat syar’i, dengan hal ini terlihat pembatasan
pemahaman hadis hanya yang terkait dengan bidang hukum saja, padahal yang perlu
dipahami oleh umat tidak hanya seputar wilayah hukum, karena Rasulullah SAW
adalah teladan bagi umat manusia, sehingga segala sesuatunya yang muncul dari
perilaku Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, maupun sikap
hidupnya dalam kehidupan sehari-hari juga menjadi pedoman bagi manusia. Selain
itu bertujuan agar umat tidak salah dalam menerapkan hadis Nabi SAW, karena
tidak semua hadis tersebut harus dilakukan oleh umat terutama hal yang
dikhususkan untuk Nabi SAW.
Jadi Fiqh
al-Hadits menurut penulis berarti pemahaman terhadap ucapan. Perbuatan,
sifat, ketetapan, dan juga sejarah hidup Nabi SAW yang disampaikan oleh
sahabat.
2.
Sejarah dan perkembangan fiqh al-Hadits
Perkembangan dan Sejarah fiqh
al-Hadits dapat di perhatikan sebagaimana berikut ini, yaitu:
2.a.Pada
masa Nabi SAW
Pada masa Nabi SAW, para sahabat
telah melakukan usaha untuk memahami dari perkataan, perbuatan, ketetapan Nabi
SAW, baik itu ketika menghadiri majelis Nabi SAW, maupun dalam kesehariannya.
Salah satu usaha yang dilakukan oleh para sahabat adalah dengan menanyakan nya
langsung kepada Nabi SAW. Ini dapat dibuktikan dengan pertanyaan sahabat
kepada Nabi SAW terhadap apa yang tidak mereka
pahami dari apa yang telah disampaikan oleh Nabi SAW. Contohnya adalah
perkataan Nabi SAW, yang di riwayatkan
oleh al-Tirmidziy berikut ini;
عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَىَّ وَأَقْرَبِكُمْ
مِنِّى مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلاَقًا وَإِنَّ
أَبْغَضَكُمْ إِلَىَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّى مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُونَ
وَالْمُتَشَدِّقُونَ وَالْمُتَفَيْهِقُونَ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ
عَلِمْنَا الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ قَالَ «
الْمُتَكَبِّرُونَ » [6]
Artinya : ... Dari Jabir Bahwa Rasulullah SAW
bersabda; Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan orang yang paling dekat
dengan majelisku di hari kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya dan
sesungguhnya orang yang paling benci kepadaku dan paling jauh dari majelisku di
hari kiamat adalah orang yang cerewet, orang-orang yang malas bicara, lalu
sahabat bertanya siapakah al-Mutafayyiqun itu? Rasul menjawab yaitu orang-orang
yang sombong.
Dalam hadis ini terlihat
bahwa sahabat meminta atau menanyakan langsung kepada Nabi SAW terhadap
kata-kat yang tidak dimengerti atau tidak dipahami oleh sahabat maknanya. Ini
adalah diantara salah satu bentuk pemahaman terhadap hadis dengan mengetahui
makna dari kata asing yang terdapat dalam hadis Nabi SAW, atau dengan
mengetahui Asbab al-Wurud al-Hadits, Nasikh dan Mansukhnya , penguasaan
para sahab terhadap biograpi kehidupan Nabi, atau dengan kondisi-kondisi lain
yang mendukung pemahaman terhadap hadis Nabi SAW tersebut.
2.b.
Pada masa Sahabat
Setelah Nabi SAW wafat, para sahabat merupakan tempat bertanya bagi
masyarakat, karena para sahabat merupakan orang yang pernah hidup bersama Nabi
SAW, dan mereka sahabat merupakan pewaris dari Nabi SAW. Jika ada persoalan
agama pada umumnya, khususnya hadits masyarakat lansung bertanya kepada
sahabat.
Dimasa sahabat, Fiqh al-Hadits belum dirumuskan secara terperinci.
Namun, usaha untuk mencari pemahaman yang benar dari hadis tetap dilakukan oleh
para sahabat, apalagi kondisi ini didukung oleh tersebarnya Islam ke luar
wilayah Arab.
Masa sahabat menampakkan perbedaan dari masa Nabi karena pada sahabat telah
mengarahkan perhatiannya terhadap pengumpulan dan pembukuaan al-Qur’an serta
juga usaha untuk mentadabbur (meneliti dan memahami ) sunnah. Hal ini
terlihat dalam usaha mereka mengikuti Umar dengan sedikitnya meriwayatkan hadis
Rasulullah SAW. Menurut Umar, jika periwayatan telah banyak maka orang akan
menjadi lalai, sehingga akan terabaikan pemahaman dan dirayahnya, sedangkan
jika periwayatan sedikit maka orang akan berusaha untuk memahami dan menjaganya.
Ibn Abd al-Bar berpendapat bahwa hal ini terjadi karena mereka takut akan
terjaadi kedustaan terhadap Rasulullah dan takut umat akan sibuk untuk
mentadabbur (meneliti dan memahami) sunnah dari pada al-Qur’an.[7]
Setelah itu para sahabat juga telah berupaya mengistinbathkan (mengambil ketetapan)
hakum dan mengetahui makna-makna yang terkandung dalam sunnah, tetapi di
sisi lain mereka tidak menyibukkan diri untuk mengetahui kaidah-kaidah bahasa
dan cara-cara untuk menetapkan dalil karena itu adalah sesuatu yang mudah bagi
mereka.
2.c.
Pada masa Tabi’in dan sesudahnya
Islam semakin berkembang dan
umatnya tersebar di berbagai penjuru negeri. Perkembangan Islam sesuai
dengan perkembangan zaman, ini menuntut pemeliharaan dan pemahaman yang benar
terhadap hadis Rasulullah SAW. Kondisi ini dilatar belakangi oleh terjadinya
pemalsuan hadis Nabi SAW dan berkembangnya ilmu pengetahuan. Untuk menghindari
pemahaman yang tidak benar dan ke tidak otentikkan sebuah hadis, maka para tabi’in setelah sahabat melakukan berbagai
upaya pemeliharaan terhadap hadis dan membuat karya-karya yang mendukung untuk
memahami hadis yang menjadi sumber kedua dari Hukum Islam. Diantara usaha yang
dilakukan oleh para tabi’in adalah dengan menyusun karya yang berkaitan dengan
ilmu hadis, dan pemahaman hadis (fiqh hadits) seperti ditulis oleh Imam
Malik dengan karya al-Muatha’.
Menurut
Abu Yasir bahwa kondisi fiqh al-Hadits pada masa Tabi’in ini cukup
berkembang, ini terlihat dari usaha yang telah melakukan upaya-upaya untuk
dapat memahami hadis dengan baik dan benar, sehingga hadis Nabi SAW dapat
dipahami kandungan dari hadis apakah hadis tersebut bersifat hukum atau tidak.
Secara ringkas dapat di katakan bahwa ini didukung oleh:
a) munculnya
keinginan untuk menggunakan kaidah fiqh al-Hadits
b) meluasnya
permasalahan khilafiyah dalam memahami hadis
c) berkembangnya
pembukuan terhadap sunnah atau hadis
3.
Ulama yang mengemukakan fiqh al-Hadits
Fiqh al-Hadits
adalah bentuk perkembangan atau lanjutan dari ilmu-ilmu hadis atau teori-teori
hadis yang menjadi penguat terhadap sumber kedua Hukum Islam. Tidak ada di
antara fuqaha’ yang tidak mengetahui fiqh al-Hadits karena Fuqaha’
akan mengistinbathkan hukum dari al-Qur’an dan sunnah. Al-Hakim menyatakan bahwa telah ada beberapa
orang ulama yang telah menggunakan metode fiqh al-Hadits ini meskipun
belum dalam bentuk sistematika yang baku dan terstruktur. Diantara mereka
adalah:
a.
Muhammad ibn Muslim al-Zuhriy
Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Muslim ibn ‘Ubaid Allah ibn Abdullah
ibn Syihab al-Qurasyiy al-Zuhriy Abu Bakar. Ia adalah salah seorang fuqaha’
seorang yang hafidz dan
masyhur. Beliau menerima riwayat dari sahabat dan banyak pula yang menerima
riwayat dari nya. Al-Zuhriy wafat
pada tahun 124 H dan di kuburkan di malah.[8]
Al-Zuhri sangat menghargai fiqh
al-Hadits dan menganggapnya sangat penting. Al-Zuhriy pernah mengungkapkan
bahwa:
إن هذا العلم أدب الله
الذي أدب به نبيه صلى الله عليه وسلم و أدب النبي أمته به وهو أمانة الله إلى
رسوله ليؤديه على ما أدري إليه، فمن سمع علما فليجعله أمامه حجة فيما بينه و بين
نبيه[9]
Artinya : Sesungguhnya ilmu
ini adalah ilmu yang diajarkan Allah kepada Nabi-Nya SAW, dan Nabi
mengajarkannya kepada umatnya. Ini merupakan amanah Allah kepada Rasul-Nya agar
ia melaksanakan seperti yang telah disampaikan kepadanya, maka siapa yang
mendengar satu ilmu, hendaklah ia menjadikannya sebagai hujjah di hadapan Allah
dan Nabi-Nya.
Untuk mengetahui bentuk fiqh
al-Hadits dari al-Zuhriy ini dapat dilihat pada contoh hadis yang
diriwayatkan oleh al-Nasa’iy :
عن ابن شهاب قال حدثني
أبو بكر بن عبد الرحمن بن الحارث بن هشام أن أباه قال سمعت عثمان بن عفان رضي الله عنه يقول اجتنبوا لبخمر فإنها
أم الخبائث ، وذكر الحديث بطوله[10]
Atinya: Dari Ibn Syihab, ia
berkata Abu Bakr ibn Abd al-Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam telah menceritakan
kepadaku bahwa ayahnya berkata aku mendengar Utsman ibn Affan berkata Jauhilah
olehmu khamar, karena sesungguhnya khamar adalah induk perbuatan keji, dan
hadis menyebutkan panjang lebar tentangnya.
Ibn Syihab mengatakan bahwa dalam
hadis ini ada penjelasan tentang tidak adanya kebaikan dalam cuka yang terbuat
dari khamar, karena kahamar itu merusak. Karena bendanya merusak, maka Allah
juga memandang nya merusak walaupun
yang dituju adalah baik, yaitu untuk membuat cuka. Tetapi boleh saja bagi seseorang
untuk memperjualbelikan cuka tersebut yang diperolehnya dari ahli kitab,
selama tidak diketahui bahwa ia merupakan khamar yang sengaja dirusak dengan
mencampurkannya dengan air. Jika benda itu merupakan khamar yang sengaja mereka
jadikan cuka, maka tidak ada kebaikan
untuk meminumnya.
Ibnu Syihab mengatakan aku mendengar Malik berkata : aku mendengar ibn
Syihab ditanya tentang sesuatu yang diletakkan dalam sebuah kulah kemudian
diberi garam dan bahan campuran lain, kemudian dijemur dibawah sinar matahari,
hingga ia menjadi sebuah manisan yang telah dicelup untuk diberi warna. Ibn Syihab
berkata aku menyaksikan Qabishah ibn Dzuaib melarang untuk menjadikan khamar
atau anggur menjadi manisan.[11]
b.
Yahya ibn al-Sa’id al-Anshariy
Nama lengkapnya adalah Yahya ibn Sa’id ibn Qais ibn ‘Amr al-Imam Abu Sa’id
al-Anshariy al-Madaniy al-Qadhiy. Ia adalah seorang tabi’I yang populer
keilmuannya, salah seorang dari pembesar Fuqaha’ Madinah. Banyak di
antara Muhadditsin dan Fuqaha’ besar menerima riwayat darinya seperti
al-Awza’iy, Malik, Safyan, dll. Al-Tsauriy menyatakan, bahwa Yahya adalah
seorang ulama Madinah yang lebih tinggi derajatnya dari al-Zuhriy. Ia wafat
tahun 143 H.[12]
Untuk mengetahui metode pemahaman yang digunakan oleh Yahya al-Anshariy,
maka dapat dilihat dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh al-Nasa’iy:
Artinya : Dari ‘Amru ibn Syihab bahwasanya
Rasulullah SAW bersabda demi yang diriku ditangannya aku tidak memiliki sesuatu
yang akan Allah sempurnakan terhadapmu dan tidak pula seperti ini atau ini
kecuali seperlima, dan yang seperlima itu juga dikembalikan kepadamu, ia
berkata kemudian Yahya ditanya tentang nafl (memberi barang rampasan) pada awal
pembagian harta rampasan, lalu Yahya menjawab itu merupakan ijtihad dari imam,
hal itu bukan merupakan urusan yang ditentukan dan tidak pula mempunyai
kekuatan, telah disampaikan kepada kami bahwa Rasulullah SAW memberikan barang
rampasan di tempat sebahagian orang-orang yang ikut perang dan tidak ada sampai
periwayatan kepada kami bahwa nafl itu adalah pada seluruhnya, maka hal itu menurut
kami merupakan ijtihad dari imam pada awal pembagian harta rampasan dan untuk
yang sesudahnya.
Berdasarkan keterangan tersebut di
atas, dapat dipahami bahwa salah satu cara untuk memahami hadis adalah dengan ijtihad.
Adapun ijtihad ini berlaku dalam masa tertentu dan tidak berlaku tetap.
c.
Syafyan ibn ‘Uyainah al-Hilaliy
Nama lengkapnya adalah Sufyan ibn ‘Uyainah ibn abiy Imran Maimun al-Hilaliy
Abu Muhammad al-Kufiy al-A’war al-Makkiy (198 H).[13] Beliau pernah mengatakan dalam majelisnya:
يا أصحاب الحديث تعلموا
فقه الحديث و لا يقهر كم اصحاب الرأي، ما
قال أبو حنيفة شيئا إلا و نحن نروى فيه حديثا أو حديثين قال فتركوه[14]
Artinya ; Wahai ahli hadis
pelajarilah Fiqh al-Hadits agar ahlu al-Ra’yi tidak meremehkan kamu, Abu Hanifah
tidak mengatakan sesuatu kecuali kami menerima riwayat darinya satu atau dua,
ia berkata lalu mereka meninggalkannya.
Pernyataan Syafyan ini menjadi
motivasi bagi umat untuk mempelajari fiqh al-Hadits. Salah satu bentuk fiqh
al-Hadits yang digunakan adalah memahami hadis sesuai dengan kondisi dan
situasi yang dihadapi. Salah satu bentuk penerapannya dapat dilihat pada
pernyataan ketika ada seseorang yang bertanya tentang pembagian binatang ternak
(al-Muwasah) yang dilakukan oleh Nabi SAW. Suatu ketika Nabi SAW
membagikan hanya untuk kaum Muhajirin tanpa melibatkan kaum Anshar. Hal ini
menjadi tanda tanya bagi sebahagian orang seolah-olah Nabi tidak adil ketika
itu. Namun, kekhawatiaran itu terjawab dengan pandangan Sufyan bahwa Nabi
melakukan hal itu karena menganggap bahwa kaum Anshar sudah merasa cukup ketika
itu dan kelebihan dari pembagian itu juga diberikan kepada kaum Anshar. Dan
pada waktu yang lain juga diberikan kepada kaum Anshar.[15]
d.
Muhammad ibn Idris al-Syafi’iy
Secara sistematis, al-Syafi’iy juga belum mengemukakan metode fiqh
al-Hadits, namun dari beberapa persoalan yang dikemukannya dalam kitab al-Risalah
dan al-Umm memperlihatkan bahwa ada beberapa cara yang digunakannya
untuk mengetahui kandungan makna hadis.
Al-Syafi’I mengatakan bahwa ada
jalan keluar dari setiap persoalan yang timbul dari hadis, diantaranya adalah
tentang hadis Mikhtalif. Beliau mengatakan bahwa tidak ditemukan adanya
hadis-hadis Rasulullah itu yang bertentangan antara satu dengan yang lainnya,
melainkan ada jalan keluarnya. Pernyataan ini juga diungkapkan oleh Abu Bakr
ibn Khuzaimah. Menurut kedua tokoh ini, untuk dapat memahami hadis bergantung
pada keluasan dan intensitas ilmu yang dimiliki oleh seseorang dalam
mempelajari dan memahami hadis-hadis Rasulullah SAW.[16]
Adapun bentuk penyelesaian hadis mukhtalif
menurut al-Syafi’iy adalah sebagai berikut:
a) Penyelesaian dalam bentuk kompromi ( al-Jam’u wa
al-Tawfiq) yaitu penyelesaian hadis-hadis mukhtalif dari pertentangan
yang tampak dengan cara menelusuri titik temu dengan kandungan makna
masing-masingnya, sehingga maksud sebenarnya yang dituju oleh yang satu dengan
yang lainnya dapat di kompromikan. Adapun bentuk kerja dari penyelesaian dalam
bentuk kompromi adalah : 1) penyelesaian berdasarkan pemahaman dengan
pendekatan kaidah ushul. 2) berdasarkan pemahaman kontekstual. 3) berdasarkan
pemahaman kolektif, 4) penyelesaian dengan cara takwil.
b)
Penyelesaian dalam bentuk Naskh
c) Penyelesaian dalam bentuk tarjih yaitu
memperbandingkan dalil-dalil yang tampak bertentangan untuk dapat mengetahui
manakah di antaranya yang lebih kuat dibanding yang lainnya
d)
Penyelesaian dalam masalah tanawwu’al-Ibadah.[17]
Demikianlah beberapa ulama yang
mengemukakan metode fiqh al-Hadits, tetapi metode yang mereka gunakan
bukan dalam bentuk sistematika secara berurutan sebagaimana yang dilakukan oleh
ulama pada zaman modern ini.
4.
Pentingnya fiqh al-Hadits
Pemahaman hadis secara tekstual dapat saja dilakukan bila hadis-hadis itu
tidak muncul dalam konteks tertentu. Tetapi dalam kasus-kasus di mana hadis tersebut
muncul dalam konteks tertentu, sementara pembaca hadis terkurung dalam tekstualitas,
maka hadis-hadis tersebut akan kehilangan makna yang memuat pesan dan keinginan
Nabi SAW. Sementara di sisi lain, pembaca hadis akan terjebak dalam kekeliruan,
baik pada tataran persepsi maupun pada tataran aplikasi.[18]
Contoh
حدثنا
أبو الوليد حدثنا سلم بن زرير حدثنا أبو رجاء عن عمران بن حصين : عن النبي صلى الله عليه و سلم قال ( اطلعت في
الجنة فرأيت أكثر أهلها الفقراء واطلعت في النار فرأيت أكثر أهلها النساء ) [19]
Artinya : Abu
al-Walid telah menceritakan kepada kami, Salam bin Zarir telah menceritakan
kepada kami, Abu Raja’ telah menceritakan kepada kami dari ‘Imran bin Hushain
dari Nabi SAW, beliau bersabda Aku tinjau surga lalu aku melihat kebanyakan
penduduknya adalah para fakir, lalu aku tinjau pula neraka aku lihat kebanyakan
penghuni nya adalah para wanita. H.R Bukhari
Zahir hadis ini memberikan sebuah
persepsi bahwa orang fakir miskin lebih beruntung karena mereka banyak masuk
surga. Di pihak lain alangkah sulitnya sebagai wanita, karena kebanyakan wanita
adalah menjadi penghuni neraka.
Persepsi seperti itu tentu dapat
menurunkan etos dan semangat kerja dalam mencari karunia Allah yang pada
akhirnya dapat membuat umat Islam memiliki keterbatasan dalam membangun negeri
dan peradabannya. Padahal di sisi lain Rasul juga mengingatkan bahwa keadaan
atau posisi sebagai fakir sendiri memberi peluang seseorang yang terjebak
sebagai penghuni neraka.
عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله
عليه وسلم كاد الفقر أن يكون كفرا. رواه البيهقي
Artinya : Dari Anas ibn Malik
katanya Rasulullah SAW bersabda kefakiran itu dapat menjadikan seseorang
menjadi kufur. H.R. Baihaqi
Dalam kasus-kasus di mana hadis
muncul dari konteks tertentu pembaca tidak memberikan makna terlalu jauh
sehingga pesan-pesan Nabi berkaitan dengan suatu praktik kehilangan substansi
atau seperti yang ditulis oleh Daniel Djuned, Agama kehilangan kesucian.[20]
Tujuan fiqh al-Hadis
Tujuan Fiqh al-Hadits secara jelas dan
terstruktur dapat dipahami dari apa yang dijelaskan oleh Hamzah Abdullah
al-Maliybariy dalam Kitab ulum al-hadis fi dhau’ thathbiqhath al-Muhaddtsin
al-Nuqad sebagai berikut:
ومعرفة
فقه الحديث[21] ، كل ذلك يشكل
مفردات علوم الحديث ، يحسن بنا أن نحدد أهم فوائد دراستها ، وهي ما يلي : معرفة منهج المحدثين النقاد في نقد
الأحاديث ورواتها .احترام نقاد الحديث فيما صدر عنهم من الأحكام ، وتقليدهم فيها
.فهم مصطلحاتهم ، وما تضمنته من الأبعاد النقدية .
Dari ungkapan di atas dapat dipahami bahwa tujuan
mengenal fiqh al-Hadits adalah 1) unruk mengetahui metode muhadtsin
dalam mengkritik hadis-hadis dan perawinya, 2) penghormatan terhadap hadis yang
menjadi sumber hukum,3) untuk memahami musthalahat para alhi hadis.
Ilmu
yang dibutuhkan dalam fiqh al-Hadits:
1.
Ilmu bahasa
2.
Ilmu ushul fiqh
3.
Ilmu ma’ani al-Hadits ( ilmu yang mengantarkan
kita kepada lafaz-lafaz hadis musytarak) yaitu ilmu gharib al-hadits (ilmu yang
menjelaskan tentang kata-kata yang gharib) ibnu ‘atsir an-nihayah fi
gharib al-hadis, ibn furat al-faiq fi gharib al-hadis
4.
Ilmu sabab wurud al-Hadist ( latar belakang
kemunculan hadis)
5.
Ilmu naskh mansukh
C.
Penutup
Fiqh al-Hadits adalah pemahaman terhadap perkataan, perbuatan,
ketetapan dari Rasulullah SAW. Secara historis Fiqh al-Hadits sudah ada
semenjak masa Rasullullah SAW dengan
metode sahabat menanyakan langsung kepada Rasul tentang hadis yang sukar untuk
dipahami, kemudian perkembangannya setelah masa Rasul adalah masa sahabat, yang
menerapkan metode Ijtihad untuk memahami Hadis Rasulullah SAW.
Fiqh al-Hadits terus berkembang ke era berikutnya yaitu masa
Tabi’in yang sudah memulai memahami hadis dan memeliharanya dari
keotentikannya, dengan menerbitkan karya yang membantu untuk memahami hadis
seperti karya Imam Malik, yaitu al-Muatha’. Fiqh al-Hadits terus
berkembang sehingga Imam Syafi’i telah menawarkan metode untuk memahami hadis
dengan teori tentang hadis Mukhtalif, dengan bentuk penyelesaian diantranya
adalah mengkompromikan, Naskh dan Mansukh, dan dalam bentuk tarjih.
Fiqh al-Hadits pada dasarnya bertujuan untuk bagaimana cara untuk
memahami hadis Rasulullah SAW, sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Rasul itu
sendiri.
Akhirnya penulis berharap ada masukan yang
positif tentang makalah ini, sehingga makalah ini bisa menuju kesempurnaan, dan
dapat menjadi pedoman bagi siapa saja yang bergiat dan ingin memfokuskan
dirinya untuk mempelajari hadis Rasulullah SAW.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abadiy, Majd al-Din Muhammad ibn Ya’qub
al-Fairuz, Al-Qamus al-Muhith, (Bairut: Dar al-Jail, t.th)
al-Khatib,Muhammad Ajjaj, Ushul al-Hadits; Ulumuhu wa
Mushthalahuhu, (Bairut:
Dar al-Fikr, 1989)
al-Ilmy,Abu Yasir al-Hasan, Fiqh al-Sunnah al-Nabawiyah: Dirayah
wa Tanzilan, (Disertasi:
t.tp, t.th)
al-Hafidz al-Naysaburiy,Al-Hakim Abu
Abdullah Muhammad ibn Abdullah, Ma’rifah Ulum al-Hadits, (Bairut: Dar
Ihya’ al-Ulum, 1997)
al-Asqalaniy , Ibn Hajar, Tahzib
al-Tahzib,( Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994),cet I
al-Dzahabiy, Syams al-Din Muhammad ibn Utsman, Mizan al-I’tidal fi Naqd al-Rijal, (Bairut: Dar al-Fikr, t.th)
al-Syafi’iy, Muhammad Idris, al-Risalah,
naskah diteliti dandikaji oleh Muhammad Syakir, (Bairut: al-Maktabah
al-Ilmiyah, t.th)
al-Maliybariy Hamzah Abdullah, Kitab ulum
al-hadis fi dhau’ thathbiqhath (t.th, t.tp)
Djuned, Daniel, Paradigma Studi Ilmu Hadis;
Rekonstruksi Fiqh al-Hadits, (Banda Aceh: Citra Karya, 2002)
ibn Manzhûr, Muhammad ibn al-Mukarram, Lisân al-;Arab, (Bairut: Dar
Lisan al-‘Arab, {t.th})
Safri,Edi, Al-Imam al-Syafi’iy;
Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, (Padang: IAIN Press, 1999)
Maizuddin, Metodologi Pemahaman
Hadits, (Padang: Hayfa Press, 2008)
[1] Muhammad ibn al-Mukarram ibn Manzhûr, Lisân al-;Arab, (Bairut:
Dar Lisan al-‘Arab, {t.th}), juz.III. h. 1120
[2]
Majd al-Din Muhammad ibn Ya’qub al-Fairuz Abadiy, Al-Qamus al-Muhith,
(Bairut: Dar al-Jail, t.th), Juz 4, h. 291
[3] Muhammad ibn al-Mukarram ibn Manzhûr, Op.Cit, Juz I,
h. 581-582
[4] Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits;
Ulumuhu wa Mushthalahuhu, (Bairut: Dar al-Fikr, 1989), h. 27
[5]
Abu Yasir al-Hasan al-Ilmy, Fiqh al-Sunnah al-Nabawiyah: Dirayah wa
Tanzilan, (Disertasi: t.tp, t.th), h.14
[6] Al-Tirmidziy, Sunan al-Tirmidziy , (t.t....)
[7] Ungkapan ini dikutip oleh Abu Yasir dari kitab Jami’ Bayan al-Ilm wa
Fadhlihi, untuk lebih jelas lihat Abu Yasir, Op.Cit, h.21
[8] Al-Hakim Abu Abdullah Muhammad ibn Abdullah al-Hafidz al-Naysaburiy, Ma’rifah
Ulum al-Hadits, (Bairut: Dar Ihya’ al-Ulum, 1997), h. 113. Lihat juga Ibn
Hajar al-Asqalaniy , Tahzib al-Tahzib, ( Bairut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 1994), cet I, Juz 9, h. 385.
[12] Al-Hakim, Op.Cit, h. 114 dan
al-Asqalaniy, Op.Cit, Juz II, h. 193
[13] Al-Hakim, Loc.Cit, al-Asqalaniy, Loc.Cit.
lihat juga Syams al-Din Muhammad ibn Utsman al-Dzahabiy, Mizan
al-I’tidal fi Naqd al-Rijal, (Bairut: Dar al-Fikr, t.th), Jilid, 2, h.170
[14] Al-Hakim,
Op.Cit. h. 117
[15] Ibid
[16] Edi Safri, Al-Imam al-Syafi’iy; Metode
Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, (Padang: IAIN Press, 1999), h.90. lihat
juga Muhammad Idris al-Syafi’iy, al-Risalah, naskah diteliti dandikaji
oleh Muhammad Syakir, (Bairut: al-Maktabah al-Ilmiyah, t.th) h. 216
[17] Edi Safri, Op.Cit, h. 97-135
[18] Maizuddin, Metodologi Pemahaman Hadits,
(Padang: Hayfa Press, 2008),h . 23
[19] Muhammad ibn Ismail Abu ‘Abdillah
al-Bukhari al-Ja’fari, al- Jami’ al-Shahih al-Mukhtashar, (Bairut :Dar
ibn Katsir al-Yamamah, 1987) Juz III, h. 1184
[20] Daniel Djuned, Paradigma Studi Ilmu Hadis;
Rekonstruksi Fiqh al-Hadits, (Banda Aceh: Citra Karya, 2002), h. 31
0 Comment