APLIKASI DAKWAH MEMPERCEPAT BERLAKUNYA SYARI’AT ISLAM DI MINANGKABAU
Al-Qur’an
adalah kitab dakwah yang mencakup didalamnya unsur-unsur yang mengintari dakwah,
seperti juru dakwah, penerima dakwah, metode dakwah, dan media dakwah. Dakwah dengan segala
unsurnya adalah suatu kesatuan yang tak terpisahkan satu sama lain,
masing-masing unsur dalam dakwah mendapat perhatian dan sorotan dalam al-Qur’an
secara sistematis dan sesuai dengan kondisi sosial masyarakat yang
mengintarinya.
Dakwah
sebagai ujung tombak bagi pengembangan Islam diwujudkan keberbagai segi
kehidupan manusia. Melaksanakannya dalam artian umum adalah kewajiban bagi
setiap pribadi muslim. Hal itu disebut dengan mubaligh atau juru penerang
sesuai dengan keahlian dan kemampuannya.
Dakwah dalam artian khusus adalah fardhu kifayah.
Hal inilah yang disebut dengan juru dakwah
(al-Da’i). Untuk merealisasikannya kepada masyarakat diselenggarakan oleh al-da’i
yang telah memenuhi kriteria-kriteria untuk itu dengan mempergunakan cara-cara
tertentu, sesuai dengan kondisi sosial-budaya masyarakat. Dakwah seperangkat
aktifitas yang dilakukan oleh setiap muslim sesuai dengan kemampuannya,
bertujuan menjadikan seluruh umat manusia meyakini dan mengamalkan ajaran Islam
dengan baik dan bertanggungjawab serta diiringi dengan akhlak mulia demi
memperoleh kebahagiaan sekarang dan yang akan datang.
B.
PENGERTIAN DAKWAH
Kata dakwah telah menjadi salah
satu kosa kata bahasa Indonesia, yang berarti mengajak (menyeru) untuk
mempelajari dan mengamalkan ajaran Islam.[3] Dalam bahasa Arab berakar kata
dengan huruf د, ع, و (dal, ‘ain dan
waw) yang berarti dasar kecenderungan sesuatu disebabkan suara
dan kata-kata.[4]
Dari akar kata ini terangkai menjadi asal kata da’a-yad’u-da’watan, (fiil
naqish) berarti “menyeru, memanggil, mengajak, dan menjamu”,[5]
atau kata da’a-yad’u-du’aan, dakwahu, berarti “menyeru akan dia.
Kemudian dari kata al-da’i, jamak da’atun, mu’anasnya da’iyatun,
jamak da’iyatun, berarti orang yang mengajak manusia ke agama dan kepada
mazhabnya.[6]
Oleh karena asal kata itu dalam berbagai bentuknya (fi’il dan isim),
terulang dalam al-Qur’an sebanyak 211 kali,[7] dengan rincian dalam bentuk mashdar 10
kali, fi’il madhi 30 kali, fi’il mudhari’ 112 kali, isim fa’il
7 kali dan yang seakar dengan kata du’a 20 kali.
Dari segi bahasa, kata dakwah
memiliki banyak arti, di antaranya (1) al-da’wat ila al-tha’am (memanggil
makan); (2) da’a lahu (berdo’a); dan (3) da’ahu fi ishlah al-din (mengajak
kepada kebaikan agama).[8]
Di dalam al-Qur’an, kata dakwah
dalam bentuk fi’il khususnya dalam bentuk da’a-yad’u-ud’u, berarti
mengajak atau mendorong ke suatu tujuan. Seperti tampak, kata da’a pertama kali
dipakai dalam al-Qur’an dengan arti mengadu (meminta pertolongan kepada Allah)
yang pelakunya adalah Nabi (Nuh).[9]
Lalu kata itu berarti memohon pertolongan (kepada Allah) yang pelakunya adalah
manusia (dalam arti umum).[10]
Setelah itu, kata da’a berarti menyeru kepada Allah yang pelakunya
adalah kaum Muslimin.[11]
Khusus dalam bentuk da’a terulang dalam al-Qur’an sebanyak 5 kali.[12]
Pada sisi lain, kata dakwah dalam
bentuk seperti di atas juga dipergunakan Rasul Allah Saw. dalam menyebarkan
dakwah secara tertulis, yakni dalam bentuk surat yang dikirim kepada Heraclius,
raja Romawi, antara lain berbunyi:[13]
saya mengajak tuan memperkenankan panggilan Allah peluklah (Islam) supaya tuan
selamat. Ini menunjukkan pula bahwa, dakwah Rasul Saw. selain dilaksanakan
dengan metode lisan juga dengan tulisan (surat).
Kemudian dari segi istilah, Bahi
al-Khuli mengatakan, dakwah adalah memindahkan suatu situasi manusia kepada
situasi yang lebih baik.[14]
Muhammad ‘Abduh (w. 1905 M/1323 H) dalam hal ini mengistilahkan dakwah dengan
ishlah, yaitu memperbaiki keadaan kaum muslimin dan memberi petunjuk kepada
orang-orang kafir untuk memeluk Islam.[15]
Dalam pada itu, ‘Ali Mahfuzd mengintrodusir pengertian dakwah yaitu :
حث الناس على
الخير والهدى والامر با لمعروف والنهي عن المنكر ليفوزوا بسعادة العاجل وا لآجل
[16]
Pengertian
hast dalam definisi di atas sangat identik dengan motivasi, diartikan
sebagai daya upaya yang mendorong seseorang melakukan sesuatu. Motif dapat
dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam dan di dalam subyek untuk melakukan
aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan.
Sedangkan, Abu Bakar Zakaria
mengatakan, dakwah ialah usaha para ulama dan orang yang memiliki pengetahuan
tentang agama (Islam) dengan memberi pengajaran kepada masyarakat akan hal-hal
yang dapat menyadarkan mereka terhadap urusan keagamaan dan keduniaannya sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki.[17] Lebih jauh Amin Rais mengemukakan
bahwa dakwah adalah setiap usaha
rekontruksi masyarakat yang masih
mengandung unsur-unsur jahili agar menjadi masyarakat yang Islami.[18]
Dari pengertian dakwah yang telah
disebutkan di atas, dapat dipahami bahwa dakwah mengandung arti:
1. Memberi
tuntunan dan pedoman serta jalan hidup yang harus dilalui dan dihindari oleh
manusia agar mereka mendapat petunjuk dan terhidar dari kesesatan.
2. Mengubah dan
memperbaiki keadaan seseorang atau masyarakat dari yang tidak baik kepada yang
baik, dari masyarakat jahili menjadi
masyarakat Islami.
3. Memberikan
penghargaan akan sesuatu nilai agama yang didakwahkan itu sehingga dirasakan
oleh seseorang atau masyarakat suatu kebutuhan yang vital dalam kehidupannya.
Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa dakwah ialah segala aktifitas yang dilakukan oleh mukmin sesuai kemampuan
yang dimilikinya, yang bertujuan menjadikan seluruh umat manusia beragama Islam
dengan baik disertai akhlak yang mulia agar mereka memperoleh sa’adah
masa kini dan masa datang. Dengan begitu, dipahami pula bahwa dakwah merupakan
suatu sistem, dalam mengupayakan aktifitas mencapai sasarannya dengan tepat
terkait dengan berbagai komponen dakwah itu sendiri.
Berdasarkan pemahaman di atas
dapat dibantah anggapan yang dikemukan oleh A. Halim bahwa asumsi dakwah hanya
sebagai penyampaian dari luar, sebagai kegiatan ceramah, sasaran dakwah adalah
untuk masyarakat statis, hanya sekedar penyampai dan pada gilirannya akan
mengalahkan yang batil[19],
kenyataan di atas mungkin ada benarnya, bila dakwah itu dipahami dalam artian
sempit. Akan tetapi jika dakwah dipahami secara hakiki dan dalam pengertian
yang lebih luas, maka kata dakwah mampu memberdayakan semua potensi yang dimiliki
manusia dalam menghadapi dunia yang luas ini, karena dakwah adalah seluas
kehidupan manusia itu juga.
Dalam perjalanan dakwah dari masa ke masa, realitas menunjukkan, bahwa
fungsi dakwah dalam
masyarakat sesungguhnya telah terlaksana antara lain :
a.
Sebagai penggerak dan energi, mendorong manusia untuk berbuat.
b. Untuk mengarahkan perbuatan seseorang ke arah
tujuan yang hendak dicapai.
c. Sebagai seleksi terhadap perbuatan manusia,
yaitu menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dijalankan yang serasi guna
mencapai tujuan itu sendiri, dengan mengenyampingkan perbuatan-perbuatan yang
tidak bermanfaat bagi tercapainya tujuan.
C. KERJA DAKWAH
Dakwah sebagai kegiatan mengajak umat manusia supaya masuk ke jalan
Allah (sistem Islam) dalam semua segi kehidupan, terdiri dari : mengajak dengan
lisan dan tulisan (dakwah bil lisan dan bil qalam), mengajak dengan perbuatan
(dakwah bil hal, aksi sosial Islam) dan mengorganisir
serta mengelola kegiatan mengajak (bil
lisan, bil qalam dan bil hal) dan mengelola hasil-hasil dakwah dalam bentuk
lembaga-lembaga Islam sebagai lembaga dakwah secara efesien dan efektif dengan
melakukan sistematisasi tindakan, koordinasi, singkronisasi dan integrasi
program dan kegiatan dengan sumber daya dan waktu yang tersedia untuk mencapai
sasaran dan tujuan dakwah Islam.
Mengajak dengan lisan dan
tulisan dikenal sebagai Tabligh Islam yang di dalamnya mengandung dua dimensi
kekuatan yaitu komunikasi dan penyiaran Islam serta bimbingan dan penyuluhan
Islam. Dimensi kegiatan komunikasi dan penyiaran Islam bersasaran massal atas
dasar pola kecenderungan masalah yang berkembang dalam masyarakat secara umum
dalam semua segi kehidupan yang berdampak pada arah perkembangan system dan
sejarah kehidupan jama’ah dan ummat Islam. Dimensi kegiatan bimbingan dan
penyuluhan Islam bersasaran individual dan kelompok kecil atas dasar masalah
khusus (kasuistik) dalam semua kehidupan yang berdampak pada kehidupan individu
dan keluarga.
Mengajak dengan tindakan
nyata (haal) disebut sebagai kegiatan dakwah dalam pengembangan masyarakat
Islam. Pengembangan masyarakat Islam atau aksi sosial ekonomi dan lingkungan
Islam adalah system tindakan nyata yang menawarkan alternative model pemecahan
masalah ummat dalam bidang sosial, ekonomi dan lingkungan dalam perspektif
Islam. Dalam tradisi dakwah Nabi Saw. dikenal dakwah dengan model uswatun
hasanah yang mengindikasikan model-model (contoh) Nabi Saw. dalam memecahkan
masalah yang dihadapi ummat. Hal-hal yang dipandang bersifat doctrinal dan
konseptual dinyatakan secara empiric yang hasilnya dapat dirasakan oleh ummat
manusia sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Sedangkan mengorganisir
dan mengelola kegiatan mengajak dan hasil dari ajakan itu disebut sebagai
manajemen dakwah Islam. Dimensi ini merupakan aspek organisasional kegiatan
mengajak itu sendiri (bil lisan, bil qalam dan bil haal) dan mengelola dalam
rangka memelihara dan membina kembangkan hasil ajakan dalam bentuk
lembaga-lembaga Islam yang mengemban missi dakwah Islam.
D. MAKNA
SYARA’ DAN ADAT
Syara’ lebih
khusus dari agama, kekhususan itu lebih banyak kepada hukum amaliyah, bukan
kepada akidah atau akhlak, sekalipun
dalam agama ketiganya itu harus
menyatu, hanya saja penekanan syara’ lebih tetuju kepada masalah amaliyah yang
meliputi perbuatan, perkataan, sikap dan
tingkah laku secara lahiriyah dari berbagai aspek.
Dalam sejarah hukum Islam syara’, yang berarti jalan yang
mesti ditempuh oleh setiap manusia, jika dilihat dari prakteknya lebih tertuju
pemahamannya kepada aspek fiqhiyah, hanya
saja istilah fiqh lebih
ditekankan kepada pemahaman yang
mendalam terhadap wahyu, sedangkan
syara’ lebih ditekankan kepada sumber pokok. (akidah, ibadah dan akhlak). Maka
syara’ yang dimaksudkan sebagai bagian tak terpisahkan dalam prilaku orang
minangkabau adalah mencakup hukum-hukum Islam, baik ditunjuk oleh nash
al-Qur’an dan hadis secara pasti, maupun
hukum-hukum yang muncul dari akibat pemahaman dari kedua sumber
hukum Islam tersebut.
AL-QUR’AN
SEBAGAI SUMBER
1. Pengertian
Al-Qur’an adalah lafaz Arabi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
Saw. melalui Malaikat Jibril secara
bertahab dan beransur-ansur dan
dinukilkan kepada kita secara mutawatir
serta beribadat membacanya.
Sedangkan yang dimaksud sebagai sumber adalah suatu wadah yang dari
wadah itu didapati atau ditemukan norma hukum. Artinya kehendak untuk mukalaf yang dugali dari wahyu, sehingga al-Qur’an
sebagai sumber utama hukum Islam,
sekaligus sebagai dalil utama fiqh. Bila seseorang mengalami kesulitan
dalam penyelesaian masalah agama, maka
tindakan pertama yang harus dilakukan adalah mencarikan jawabannya dalam
al-Qur’an. Selama jawaban dapat ditemukan dari al-Qur’an
tidak boleh mencari jawaban lain
di luar al-Qur’an. Jika ingin
menggunakan sumber hukum lain, maka
harus sesuai dengan petunjuk al-Qur’an dan tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an. Dengan demikian mengikuti dan
mematuhi Allah itu berarti mengikuti apa-apa yang difirmankan-Nya dalam
al-Qur’an. Sedangkan dalil adalah sesuatu yang memberi petunjuk dan
menuntun kita dalam
menemukan hukum Allah.
2.
Fungsi al-Qur’an bagi manusia
Al-Qur’an diturunkan kepada
nabi Muhammad Saw. adalah untuk disampaikan kepada umat manusia bagi
kemashalahatan dan kepentingan manusia serta
melepaskan manusia dari
kemudharatan atau kecelakaan yang akan meminpanya. Maka fungsinya adalah
sebagai berikut : 1) Sebagai hudan
(al-Baqarah ayat 2). ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى
لِلْمُتَّقِينَ Artinya : Kitab (Al Qur'an) ini tidak
ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, 2) Sebagai rahmat (Luqman
2-3) هُدًى وَرَحْمَةً
لِلْمُحْسِنِينَ Artinya
: menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang berbuat
kebaikan. 3) Sebagai furqan
(al-Baqarah ayat 185) شَهْرُ
رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ
الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ Artinya : Bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). 4)
sebagai mau’izhah (al-A’raf ayat
145), Artinya : Dan telah Kami tuliskan untuk Musa وَكَتَبْنَا
لَهُ فِي الْأَلْوَاحِ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَوْعِظَةً وَتَفْصِيلًا لِكُلِّ شَيْءٍ
فَخُذْهَا بِقُوَّةٍ وَأْمُرْ قَوْمَكَ يَأْخُذُوا بِأَحْسَنِهَا سَأُرِيكُمْ
دَارَ الْفَاسِقِينَ pada luh-luh (Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran dan
penjelasan bagi segala sesuatu; maka (Kami berfirman): "Berpeganglah
kepadanya dengan teguh dan suruhlah kaummu berpegang kepada
(perintah-perintahnya) dengan sebaik-baiknya, nanti Aku akan memperlihatkan
kepadamu negeri orang-orang yang fasik. 5) sebagai busyra (al-Namal
ayat 1-2) طس تِلْكَ ءَايَاتُ الْقُرْءَانِ وَكِتَابٍ
مُبِينٍ(1)هُدًى وَبُشْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ Artinya ; Thaa Siin (Surat) ini adalah
ayat-ayat Al Qur'an, dan (ayat-ayat) Kitab yang menjelaskan, untuk menjadi petunjuk dan berita gembira untuk orang-orang
yang beriman. 6) sebagai Tibyan (al-Nahl ayat 89), وَنَزَّلْنَا
عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
Artinya : Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk
menjelaskan segala sesuatu. 7)
sebagai mushadiq (pembenar) terhadap kitab sebelumnya (Ali Imran ayat 3) نَزَّلَ
عَلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ Artinya : Dia menurunkan Al Kitab (Al
Qur'an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan
sebelumnya 8) sebagai Nur
(cahaya) al-Maidah ayat 46), فِيهِ هُدًى وَنُورٌ
وَمُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ Artinya : Di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi),
dan membenarkan kitab yang sebelumnya. 9) sebagai tafshil (pemberi penjelasan secara rinci) Yusuf ayat
111) وَلَكِنْ
تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً
لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ Artinya : Akan tetapi membenarkan
(kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. 10)
sebagai Syifa’ (obat)
al-Issra’ 82) وَنُنَزِّلُ
مِنَ الْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ
الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا Artinya ; Dan Kami turunkan dari Al Qur'an
suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al
Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. 11) sebagai hakim , Luqman ayat 2). تِلْكَ
ءَايَاتُ الْكِتَابِ الْحَكِيمِ Artinya : Inilah ayat-ayat Al Qur'an yang
mengandung hikmat.
3. Isi kandungan
al-Qur’an dan macam-macam
hukumnya
Secara garis besar, isi ajaran al-Qur’an meliputi lima prinsip, yaitu : Tauhid,
janji-janji dan ancaman Tuhan, ibadah, jalan mendapat kebahagiaan dan sejarah. Sedangkan macam-macam hukum
yanhg terdapat didalamnya meliputi tiga
aspek, yaitu hukum i’tiqadiy, hukum
akhlak dan hukum amaliyah.
Hukum amaliyah inilah kajian fiqh. Hukum amaliyah itu dibagi kepada dua bagian, yaitu : Pertama hukum-hukum
yang mengatur tingkah laku lahiriyah manusia dalam hubungannya dengan
Allah Swt., seperti shalat, zakat, puasa, zakat dan haji. Hukum ini disebut dengan
hukum ibadat dalam arti khusus. Kedua,
hukum yang mengatur tingkah laku lahiriyah manusia dalam hubungannya dengan
sesama manusia dan alam sekitarnya, seperti jual beli, kawin, pembunuhan dan
lain sebagainya. Hukum ini disebut
dengan hukum mu’amalat dalam arti umum.
4. Sunnah sebagai bayan terhadap al-Qur’an.
Kata Sunah berasal dari dari kata sunna. Secara bahasa berarti :
cara yang biasa dilakukan.
Sedangkan pengertian istilah agama adalah cara-cara beramal
dalam agama berdasarkan yang dinukilkan dari Nabi Muhammad Saw. ; atau suatu amaliyah yang telah
dikenal oleh semua orang, atau sunah itu adalah apa-apa yang
diriwayatkan dari Nabi Muhammad
Saw., baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun pengakuan
Nabi dari sifat Nabi. Kata sunah sering diidentikan dengan
kata hadis, yaitu dengan
maksud sama. Bila diteliti lebih
jauh, nampaknya kedua
pemahaman itu terdapat perbedaan
pemahaman, yaitu : jika kata
sunah lebih banyak penekanannya
kepada perbuatan Nabi dan tindakan
Nabi yang sudah menjadi tradisi yang
hidup dalam pengalaman agama, sedangkan
kata hadis, lebih banyak penekanannya kepada perkataannya.
Macam-macam
sunah
Sunnah atau
hadis dalam pengertian di
atas terbagi kepada
tiga bagian, yaitu :
Pertama; Sunnah qauliyah, yaitu ucapan Nabi yang didengar oleh shahabat dan
disampikan kepada orang lain. Misalnya menyampaikan bahwa ia mendengar
Nabi bersabda : “Siapa yang tidak
shalat karena tertidur atau
karena lupa, hendaklah ia
mengerjakan shalat itu
ketika ia telah ingat”.
Sunnah qauliyah benar-benar muncul dari lisan Nabi., namun shahabat
dapat memisahkannya dengan wahyu, yaitu :
1. Bila ucapan itu wahyu, nabi menyuruh menulis dan menghafalnya.
2. Wahyu penukilannya selalu
dalam bentuk mutawatir (dari orang banyak kepada
orang banyak) baik dalam bentu
tulisan ataupun hafalan. Sedangkan pada sunah terdapat penukilannya secara
mutawatir, akan tetapi lebih
banyak bersihat ahad (seorang).
3. Penukilan wahyu
dalam bentuk lafazh, artinya sesuai dengan teks, sedangkan sunah sering
dinukilkan dalam bentuk ma’nawi.
4. Wahyu
mempunyai daya pesona (mu’jizat), sedangkan sunnah qauliyah tidak mu’jizat.
Kedua
sunnah fi’liyah, yaitu perbuatan yang dilakukan
oleh Nabi Muhammad saw. yang dilihat atau yang diketahui
oleh shabahat kemudian
disampaikan kepada orang lain dengan ucapannya. Misalnya “ Saya
melihat nabi Muhammad Saw.
melakukan shalat sunat dua rakaat sesudah shalat zuhur”.
Penjelasan
mengenai sunnah fi’liyah ini, apakah
semua perbuatan nabi itu dapat dijadikan
sumber hukum dalam Islam, maka dalam hal ini dapat
dipilah-pilah sebagai berikut
:
1. Perbuatan Nabi sebagai manusia biasa atau berupa adat kebiasaan yang berlaku ditempatnya, seperti cara makan, minum, berdiri, duduk, cara
berpakain, memelihara jenggot dan
mencukur kumis dan lain sebagainya. Dalam hal ini sunnah fi’liyah itu terbagi kepada dua bagian yaitu :Pertama
sunnah tasri’iyah (sunah yang
disyari’atkan) Misalnya
ucapan atau perbuatan yang muncul dari
Nabi dalam bentuk penyampaian
risalah dan penjelasan terhadap al-Qur’an, ucapannya sebagai imam
dan pemimpin, seperti mengirim pasukan untuk jihad,
ucapan dan ungkapannya sebagai
hakim dll. Kedua sunnah
ghairu tasyri’iyah (sunah yang tidak
disyari’atkan). Misalnya ucapannya
yang muncul dari hajat
insani dalam kehidupan kesehariannya, ucapan pribadi dan prilaku yang ditetapkan
oleh dalil-dalil, misalnya isteri lebih dari
4 orang.
2. Perbuatan Nabi yang memiliki petunjuk khusus.
Misalnya bagi Nabi wajib
shalat dhuha, shalat witir,
shalat malam, berkurnan, masuk mekkah tanpa ihram dan kawin lebih dari empat wanita.
3. Perbuatan Nabi
yang bersifat menjelaskan
hukum-hukum dalam Islam. Misalnya
: “Shalatlah kamu
sebagai aku shalat” dan lain sebagainya.
Ketiga
sunnah taqririyah, yaitu ; perbuatan seorang shahabat atau ucapannya yang dilakukan dihadapan
atau sepengetahuan Nabi, tetapi tidak
ditanggapi atau dicegah
oleh Nabi. Diamnya Nabi itu disampaikan oleh shahabat yang menyaksikan kepada
orang lain dengan ucapannya.
Misalnya seorang shahabat memakan daging
dhab (biawak) dihadapan Nabi. Nabi mengetahui apa yang dimakan
oleh shahabat itu, tetapi tidak
melarang atau tidak menyatakan
keberatan atas perbuatan itu.
Diam Nabi itu terdapat dua pemahaman, yaitu :
1. Nabi tahu perbuatan dibenci dan
dilarang sebelumnya, ternyata
tetap dilakukan, diam Nabi dalam hal ini
adalah bukan berarti membolehkan, tetapi agar perbuatan itu
dihentikan.
2. Nabi
belum pernah, melarang sebelumnya
dan tidak pula diketahui haramnya,
maka diam Nabi dalam hal ini menunjukkan
kebolehan.
Contoh
sunah taqririyah adalah pada satu
kali Nabi melarang mengerjakan shalat ‘ashar sebelum sampai
di Bani Quraizhah, sebahagian shahabat
memahami makna lahirnya, yang
lain memahaminya segera
pergi ke sana. Kedua berita itu sampai kepada Nabi, maka tetapi Nabi
tidak menanggapinya. Itu artinya kedua
pekerjaan itu boleh melakukan keduanya.
Fungsi sunnah
Secara garis besar fungsi hadis
terhadap al-Qur’an adalah :
1. Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum
yang ada dalam al-Qur’an (sebagai ta’kid).
2. Memberikan penjelasan terhadap
kandungan al-Qur’an dalam hal : 1. Menjelaskan arti yang masih samar, 2.
Merinci apa yang ada dalam a l-Qur’an yang bersifat umum. 3. Membatasi apa yang ada dalam al-Qur’an yang bersifat
umum. 4. Memperluas maksud al-Qur’an yang bersifat
umum.
3. Menetapkan sesuatu hukum secara jelas yang tidak terdapat dalam al-Qur’an.
E. Konsepsi Dasar Adat Minangkabau.
Ada
10 pokok perkara yang menjadi landasan untuk membangun masyarakat yang
berdasarkan Adat Bansandi Syara’. Kesepuluh masalah itu dirumuskan empat
jatuh pada Adat dan Enam jatuh pada Syarak. 4 (empat) jatuh pada adat, yaitu
Adat nan Sabana Adat, Adat nan Diadatkan, Adat nan Teradat dan Adat Istiadat, dan
6 (enam) jatuh pada Syara’, yaitu, Kalo-Kalo, Baribu Kalo, Bajanjang
Naik, Batanggo Turun, Hukum Ijtihad dan Undang-Undang Permainan Alam.
Empat nan jatuh pada adat ialah:
Pertama; Adat Nan Sabana Adat, yaitu Syara’ (agama) yang terdapat dalam
kitabullah yang bisa ditunjukkan bab, pasalnya, matan dan maknanya, hadits dan
dalilnya, qiyas dan ijmaknya. Agama yang dimaksudkan adalah
Islam. Karena agama yang diakui kebenarannya dalam masyarakat ialah Islam. Kemudian diperkokoh oleh
al-Qur’an surat ali-Imran ayat: 19.
إِنَّ
الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ
يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Artinya : “Sesungguhnya agama
(yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang
telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena
kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap
ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (Q.S Ali-Imran ayat: 19)
Berdasarkan ayat ini Islam diterima sebagai unsur
pokok yang tak boleh diabaikan dalam sistem adat dan sosial masyarakat
Minangkabau.
Adat nan sabana adat (Agama Islam)
adalah aturan pokok dan falsafah yang mendasari kehidupan suku Minang
yang berlaku turun temurun tanpa terpengaruh oleh tempat, waktu dan keadaan
sebagaimana diqiaskan dalam kata-kata adat :
Nan ndak lakang dek paneh
Nan ndak lapuak dek hujan
Paling-paling balumuik dek cindawan
Pengertian adat nan
sabana adat itu oleh sebahagian pemerhati budaya Minang disederhanakan begitu
saja, misalnya ada pendapat yang menuliskan; bahwa Adat Nan Sabana Adat
ini adalah undang-undang dasar tak tertulis dari adat Minangkabau yang tidak
boleh berubah. Ia bersifat terbuka dan berlaku umum diseantero alam
Minangkabau, baik di Luhak Nan Tigo maupun di rantau dan pesisir, yang disepakati oleh masyarakat Minang sejak
lama adalah meliputi :
1. Menganut silsilah keturunan
menurut garis ibu, yang disebut dengan garis keturunan matrilinial.
2. Memiliki sistim perkawinan dengan pihak luar pesukuan, yang lazim
dikenal dengan perkawinan eksogami
dan suami yang bertempat tinggal dlingkungan keluarga isteri, yang disebut Matri-local.
3. Adanya harta pusaka tinggi yang
turun temurun menurut garis ibu dan menjadi milik bersama yang tak boleh
diperjual-belikan, kecuali punah.
4. Falsafah alam takambang jadi guru
yang dijadikan landasan utama pendidikan alamiyah dan rasional serta menolak
pendidikan mistik dan irrasional (takhyul).
Keempat unsur pokok yang
disebut adat nan sabana adat yang dikutip dari pemerhati budaya Minang di atas
pada dasarnya bukanlah sesuatu yang ndak lapuak dek hujan dan ndak lakang
dek paneh, ia tidak mesti dipahami secara kaku. Bukan tidak mungkin pada
satu waktu nanti ia menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan keadaan,
terutama dalam impelementasinya oleh masyarakat.
Berdasarkan pemikiran di
atas maka tafsiran yang paling pas untuk
adat nan sabana adat itu adalah Islam, sebab keempat aturan pokok adat di atas pada dasarnya dapat menyesuaikan
diri dengan semangat ajaran Islam. Meskipun dalam kasus tertentu ada yang
berbenturan, seperti sistem materilinial, perkawinan diluar suku dan harta
pusaka tinggi. Namun ketiga masalah ini dapat diselesaikan oleh pemuka adat dan
ulama minang dengan arif dan bijaksana.
Misalnya masalah garis
keturunan pada ibu ini bukan berarti menghilangkan garis keturunan bapak, sebab
hubungan dengan bapak dilembagakan dalam hubungan bako. Soal perkawinan
diluar suku tidak mutlak akan tetapi ada orang sesuku yang boleh
kawin-mengawini, selama mereka tidak berada dalam satu jurai. Sedangkan
masalah harta pusaka tinggi ia memang bukan harta warisan, akan tetapi lebih
ditempatkan sebagai harta waqaf keluarga. Sedangkan harta warisan dari orang
tua dapat dibagi menurut hukum faraidh.
Maka tidaklah salah jika
dikatakan bahwa nan sabana adat itu adalah hukum adat yang dilegitimasi oleh
hukum Islam atau hukum Islam yang dalam pelaksanaannya mengikuti keadaan dan
perkembangan kehidupan masyarakat.
Kedua; Adat Nan Teradat, adapun yang dinamakan
adat nan teradat adalah, sasek suruik,
talangkah kambali, gawa manyambah, salah maisi, adaik dipakai limbago dituang.
(Jika sesat kembali ketempat semula, jika keliru minta maaf, jika salah mau
menanggung resikonya, kebiasaan setempat harus dituruti). Filosofi seperti ini
dalam tulisan tambo terakhir yang ditulis dengan huruf arab Melayu didukung
dengan ayat al-Qur’an tentang perlunya
selalu memiliki prinsip bersedia untuk mengakui kesalahan (Taubat). Misalnya
surat at-Tahrim ayat 8.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا تُوبُوا
إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ
وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا يُخْزِي
اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ
أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ
رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ
لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ(8)
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman,
bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan
Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam
surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak
menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengan dia; sedang cahaya
mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka
mengatakan: “Ya Tuhan kami,
sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau
Maha Kuasa atas segala sesuatu”.” (Q.S at-Tahrim ayat: 8)
Adat Nan Teradat
dapat juga dikatakan sebagai wujud nyata dari pengamalan adat nan sabana adat atau ajaran agama Islam.
Pengamalan ajaran agama secara nyata dalam masyarakat dilakukan oleh kaum adat
(penghulu). Dalam pepatah adat disebutkan Syara’ Mangato adat Mamakai
(artinya agama yang menfatwakan adat yang melakukan). Di sini peran pemangku
adat (penghulu) menjadi juru bicara ulama dalam melaksanakan perintah agama.
Ketiga; Adat Nan Diadatkan, ialah
memakai baso jo basi, mamandang ereng jo gendeang, manimbang mudarat jo manfaik,
mangaji barek jo ringan, (menggunakan basa basi, memakai kata kiasan,
memperhatikan mudarat dan manfaat suatu pekerjaan). Ini artinya sudah menjadi
sesuatu yang dibiasakan (diadatkan) dalam kehidupan masyarakat agar saling
mengerti serta lebih hati-hati. Prinsip
ini sejalan dengan ajaran agama, misalnya firman Allah Swt
dalam Al-Qur’an Surat al-Hajji
ayat: 77.
Artinya : “Hai
orang-orang yang beriman, ruku`lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan
perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (Q.S al-Hajji ayat:
77)
Ajaran ini lebih ditekankan pada perbaikan sikap dan
tingkah laku yang harus memperlihatkan Akhlakul karimah, sesuai dengan alur dan
budaya yang telah hidup dalam masyarakat
Minangkabau sejak masa lalu, Sasuai alua jo patuik (Sesuai sesuatu pada tempatnya).
Adat Nan
Diadatkan pada dasarnya adalah tradisi yang tumbuh dan berkembang dalam
masing-masing nagari di Minangkabau. Tradisi itu berkembang dan bergerak maju
sesuai dengan tingkat perkembang masyarakat, maka adat nan diadatkan bukanlah
hal yang baku. Ini sering juga disebut dengan istilah adat salingkar nagari
.
Keempat; Adat Istiadat, yaitu orang yang berhak maminta
kapado haknyo, seperti alam di perintah Rajo, Agamo di parintah Malin, nagari
di perintah panghulu. Kampung di parintah tuo kampung, rumah diperintah mamak,
bini saparintah laki, kabau banting di parintah urang gubalo, (Maksudnya
segala sesuatu harus berjalan menurut semestinya, alam biasanya diperintah oleh
Raja, agama di urus oleh Ulama dan nagari bisanya diurus oleh Penghulu, kampung
biasanya diurus oleh kepala kampung, rumah tangga di urus oleh mamak rumah,
isteri dibawah pengawasan suami, kerbau dan binatang lain diurus oleh
pengembalanya). Ini memberikan legitimasi kepada orang sesuai dengan fungsi dan
keberadaannya masing-masing.
Semua harus sesuai prosedur dan pembahagian
kerjanya, namun tetap dalam suatu kerangka kerjasama yang utuh. Inilah suatu
prinsip yang sangat membantu orang minang bisa menerima keadaan sosial politik
yang berkembang, karena istiadat yang sudah menjadi kultur baginya telah
menempatkan orang sesuai fungsi dan posisinya masing- masing.
Adat Istiadat merupakan satu sistem sosial
kemasyarakatan yang dikembangkan sesuai dengan masa, tempat dan aturan sosial
yang berlaku di zamannya. Dapat juga dikatakan adat istiadat itu adalah kreasi
budaya masyarakat Minang yang dapat berubah
sesuai keadaan dan tempat, namun semuanya dalam batasan adat nan sabana
adat.
Enam Jatuh pada Pusaka:
Adapun
yang 6 (enam) jatuh pada pusaka itu adalah undang-undang dan tata cara
kehidupan sosial yang digariskan oleh adat untuk menjaga ketentraman dan
keamanan hidup masyarakat. Dalam bahasa Minang dirumuskan dengan bahasa
bakunya, kalo-kalo, baribukalo, bajanjang naik batanggo turun, hukum ijtihad
dan undang-undang permainan alam (Musyawarah, kesepakatan, tertib hukum dan
proseduralnya, pertimbangan hukum dan undang-undang tentang kehidupan
masyarakat). Hal ini tidak kita bicarakan pada kesempatan ini.
F. Adat Basandi Syara’
Adat
Basandi Syarak dialegorikan oleh bidal adat;
Si Amat mandi ke luhak
Luak perigi paga bilah
Bilah bapilah kasadonyo
Adat basandi syara’
Syara’ basandi kitabulallah
Sanda manyanda kaduonyo.
Kata adat berasal dari bahasa Sangsekerta,
dibentuk dari kata “a” dan “dato”. “A” artinya tidak. “Dato” artinya sesuatu yang bersifat
kebendaan. Jadi “adat” pada hakikatnya adalah segala sesuatu yang
bersifat tidak kebendaan. Dalam
hubungannya dengan Adat Basandi Syara’
sampai masa terakhir masih menjadi pertanyaan banyak orang, apa sesungguhnya “adat
basandi syara”, “syara’ basandi kitabullah” itu?
Jawaban terhadap pertanyaan ini dapat
dimulai dengan menjelaskan lintasan sejarah terbentuknya masyarakat Minangkabau
sebagai suatu komunitas, yang telah melalui dinamika internal dan eksternal
yang demikian intens. Jauh sebelum agama Islam datang, orang Minang sudah
dikenal orang yang beradat. Artinya, sebelum datangnya agama Islam hukum,
undang dan moralitas adat telah menjadi bahagian yang tak terpisahkan dalam
kehidupan orang Minang.
Adat bagi masyarakat telah terbentuk sejak
orang Minang mengenal dirinya dalam bentuk masyarakat, yang dimulai dari Taratak,
Koto dan Nagari. Adat pada tahap awal ini disandarkan atau didasarkan pada
apa yang disebut “adat berdasarkan alua dan patuik”, alur bersandarkan
patut dan mungkin”. “Alua” artinya jalan yang benar, “Patuik dan
mungkin” artinya yang layak,
senonoh, baik, pantas, selaras. “Patuik” merupakan perkiraan keadaan (etimasi)
pertimbangan rasa dan daya pikir atau nalar.
Persoalannya,
bagaimana identitas Islam itu bergumul dengan identitas Adat. Ada waktunya
Islam menjadi penentu arah bagi semua gerak hidup masyarakat Minangkabau dan
lain waktu Islam hanya sekedar alat legitimasi bagi budaya Minangkabau yang
secara substansial berlawanan kalau tidak dikatakan anti terhadap Islam.
Sebagai contoh, adat menyabung ayam, dulu adalah budaya orang Minang lalu Islam
melarang itu sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Kebiasaan
itu sampai waktu tertentu belum bisa hapus, masih dilakukan oleh anak nagari.
Bersatunya adat dengan agama
Islam telah berlangsung sejak Islam itu menjadi pegangan hidup bagi orang
minang disamping adatnya sendiri. Sejalannya dua pandangan hidup ini sangat
mungkin sekali terjadi, karena Islam sebagi ajaran yang sempurna membawa
tatanan tentang apa yang harus diyakini oleh pemeluknya yang disebut aqidah dan
tatanan yang harus dilakukan (diamalkan) yang disebut dengan syari’ah atau
syara’. Yang berhubungan dengan aqidah, khususnya masalah ketuhanan tidak jelas
ujudnya dalam adat Minangkabau, hanya sekadar falsafah alam nyata saja. Tidak
ditemukan bagaimana ajaran adat minang tentang kehidupan setelah kematian atau
kehidupan alam akhirat.
Ajaran adat lebih memberikan
panduan pada tatanan bagaimana orang harus menjalani kehidupan dialam nyata
ini. Dengan kata lain ajaran adat Minangkabau lebih memberikan bimbingan
tentang moralitas bagi masyarakatnya. Seperti
yang dapat dipahami dari pepatah adat:
Gajah
mati meninggakan gading
Harimau mati maninggakan balang
Manusia mati maninggakan jaso.
Disamping itu ajaran Islam yang
bersifat kemasyarakatan banyak sekali sesuai dengan semangat adat Minang, maka
tidak perlu adanya perseteruan antara adat dan agama sebagai contoh dapat
ditemukan pada pepatah adat : Ado kato mandaki, koto
manurun, kato malereang, kato mandata.
Artinya ada kata yang mesti ditempatkan pada kondisi siapa lawan bicara, jika
dengan anak kecil disebut kata menurun, mestilah dengan cara lemah lembut,
sedangkan dengan orang lebih besar kato mandaki haruslah dengan penuh hormat
dan sopan santun, dengan orang yang sama besar maka disebut kata mendatar
artinya saling menghargai, kata melereng adalah bahasa sindirin bagi orang yang
hubungan kekerabatan dalam bentuk ipar-bisan. Ini sesuai sekali dengan ajaran
Islam, hadits: Arinya : “Orang-orang yang tidak mengasihani orang-orang
kecil dibawahnya dan tidak pula memberi hak (menghormati) orang tua darinya,
maka dia bukanlah umatku.” (Hadits)
Perpaduan
adat dan agama bagi orang Minangkabau telah menjadi identitas diri dan komunitasnya.
Hal ini dibuktikan, dengan ditambahkannya lembaga agama
kedalam struktur adat. Lembaga Raja adat yang menurut asalnya mengurus hal-hal
yang menyangkut pemerintahan, disempurnakan dengan mengadakan lembaga raja
ibadat yang khusus mengurus masalah-masalah keagamaan, tahap selanjutnya timbul
lagi pengembangan raja adat hanya mengurus masalah adat sedangkan masalah
pemerintahan diurus oleh raja alam. Maka dengan demikian lengkaplah lembaga
Rajo nan Tigo Selo, yaitu rajo adat di Buo, rajo Ibadat di Sumpur Kudus dan
rajo alam Pagaruyung. Dalam pelaksanaan pemerintahan (eksekutif) dibentuk pula
empat dewan yang disebut “basa ampek balai”, yakni ada 4 (empat) orang
besar yang punya kewenangan khusus yaitu semacam dewan mentri.
Struktur adat seperti di atas juga
turun pada lembaga lebih dibawahnya, yaitu pada tingkatan nagari dan suku. Dulu hanya baru dikenal Panghulu, manti dan dubalang.
Setelah Islam menjadi pegangan maka ditambah satu lembaga lagi yaitu malin.
Maka lengkaplah penghulu sebagai kepala pemerintahan, manti sebagai pelaksana
kerja dan penghubung rakyat dengan penghulu, dubalang sebagai pihak keamanan
nagari sedangkan malin bertugas mengurus masalah keagamaan.
Keempat
badan ini memiliki wewenang sendiri,
seperti yang disebut dalam pepatah :
Panghulu
tagak dipintu adat
Malin tagak
dipintu syara’
Manti tagak
dipintu susah
Dubalang
tagak dipintu mati.
Maka dengan demikian
masing-masing mereka memiliki hak untuk menyelesaikan bermacam hal yang terkait
dengan bidangnya, seperti yang dijelaskan
dalam pepatah dibawah ini :
Kato panguhulu kato manyalasai
Kato manti kato barubung
Kato malin kato hakikat
Kato dubalang kato mandareh.
Begitu juga integrasi adat dan agama dalam masyarakat
Minang diuraikan dalam pembentukan nagari. Persayaratan nagari baru bisa
mendapatkan hak yang penuh sebagai suatu unit pemerintahan nagari. Dulunya
dalam adat disebutkan yaitu: adanya suku nan ampek, galanggang, labuah, tapian,
sawah ladang, pandam pakuburan, dan balai. Setelah Islam ditambah satu lagi yaitu Mesjid, sebagai
tempat ibadahnya kaum muslimin
G. Hubungan syara’ dengan penguasa
الَّذِينَ
إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ
وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ
الْأُمُورِ
Artinya : "Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukannya
di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, membayarkan zakat, menyuruh
berbuat ma'ruf dan mencegah perbuatan munkar, dan kepada Allah kembali semua
urusan (Q.S. al-Hajj : 41)".
Hubungan syara’ dengan (kekuasaan), bukan hubungan seputar ibadah,
akan tetapi jauh lebih besar dari itu, yaitu; masalah wilayah, kekuasaan hukum,
peperangan, peradilan, undang-undang kriminilitas, persoalan perkawinan,
keluarga, jual beli, gadai, utang piutang, persaksian, qishash, hubungan
internasional, penjara, keamanan dan stabilitas, waris dan lain sebagainya yang
merupakan seperempat dari seluruh isi kandungan al-Qur'an itu adalah
pembicaraan tentang penguasa.[i]
Sasaran akhir dari perjalanan kekuasaan ini adalah memperjuangkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat dan mengupayakan terciptanya kemakmuran.
Usaha kearah itu tiada jalan yang mesti ditempuh, kecuali melalui kekuasaan
Konsep inipun tidak akan bisa tegak melainkan dengan adanya
pemimpin. Dengan demikian tugas ini adalah wajib, bila tidak ada yang
melaksanakannya, maka kehidupan sebuah kumunitas umat tidak akan tertata dengan
baik, akan banyak perampokan, pencurian, penganiayaan faudha/chaos' dalam
masyarakat, bangsa dan negara.
Sekurang-kurangnya ada dua badan
resmi yang dapat dijadikan benteng untuk bisa berdirinya “pemerintahan Islam”
dalam masyarakat, bukan negara Islam,
yaitu ;
a. Pihak-pihak resmi
bertanggungjawab terhadap pelaksanaannya, (yaitu penguasa).
b. Bila
tidak mendapatkan pada yang pertama, hendaknya manusia berjalan di belakang
para ulama yang memikul tugas ini.
Apabila manusia tidak mendapatkan salah satu dari kedua itu, maka
harus bersandar kepada ijtihad. Abdul Karim Zaidan sebagaimana dikutip oleh
Salman al-Audah mengemukakan bahwa kemampuan yang paling besar terdapat pada
amir (penguasa) yang memiliki kekuatan untuk memerintah dan melarang, karena
penguasa lebih bertanggungjawab dibandingkan dengan orang lain untuk
menjalankan ajaran Islam yang ada di dalam rumahnya.
Dengan demikian masalah penguasa merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari penegakan hukum, termasuk syari’at Islam, karena ia merupakan rekonstruksi
dan gambaran dari umat yang dipimpinnya. Semua sasaran kehidupan umat Islam
mesti melalui media penguasa, antara lainnya misalnya adalah; politik, ekonomi,
sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Oleh karena penguasa sebagai
salah satu instrumen penting, maka suatu masyarakat hanya bisa hidup teratur,
aman dan nyaman, jika mereka hidup dan berada dalam suatu kumunitas dengan
segala perangkat dan struktur kekuasaannya, sehingga banyak orang yang
berpendapat bahwa penguasa adalah "panglima". Artinya penguasa
sangat menentukan corak keberagamaan, sosial, ekonomi, budaya, hukum dan
berbagai aspek kehidupan lainnya.
Agaknya disinilah Allah mengisyaratkan dalam surat al-Hadid ayat 25,
bahwa telah mengutus RasulNya dengan bukti-bukti nyata. Ia menurunkan kitab dan
keadilan agar manusia dapat melaksanakan keadilan. Allah menurunkan pula "besi"
yang mengandung kekuatan yang hebat dan dapat memberikan manfaat bagi manusia.
Justru untuk terciptanya suatu keadilan diperlukan adanya kekuasaan yang
dilambangkan "besi". Jadi untuk mencapai suatu keadilan jika perlu
dengan kekuasaan namun perlu juga diketahui, bahwa apakah pelaksanaan syari’at
itu para penguasa, ulama, atau kedua kekuatan tersebut. Nampaknya dalam hal ini
adalah tertuju hanya kepada penguasa saja, karena penguasa itu dalam kapasitasnya
sebagai pemimpin, sekaligus juga ahli agama Islam, sehingga tidak ada dikhotomi
antara penguasa dengan ulama. Artinya penguasa itu adalah ulama dan ulama itu
adalah penguasa. Barangkali syara’ itu tidak akan tegak tanpa adanya penguasa
yang bertanggungjawab memperjuangkan.
Kenyataan di atas sangat logis sekali bahwa syar’at
itu tidak akan dapat mengkristal tanpa adanya penguasa yang
mengapungkannya. Begitu juga sebaliknya bahwa kemungkaran akan merajalela bila
tidak ada badan yang bertugas membasminya. Wallahu a’alam bi al-shawab.
SUMBER BACAAN
Bagian Pertama :
[1]
Amir,MS.Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, PT.Mutiara
Sumber Widya, Jakarta, 1977
Bagian
Kedua :
2 Prof.Dr.M.Nasroen. Dasar Falsafah Adat
Minangkabau, 1971. Jakarta :
Bulan Bintang.
3 Muchtar Naim, Dr. Merantau
Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta :
Gajahmada University Press.
1984.
4 M.
Rasjid Manggis Dt. Radjo Penghoeloe, Minangkabau Sejarah Ringkas
5
Burhanudin Daya, Gerakan Pembaharuan Islam: Kasus Sumatera Thawalib
(Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1995)
6 Mulyanto Sumardi, et. al., Profil Sumatera
Barat (Jakarta: PT. Inter
Nusa, 1992)
7 Muhammad Rajab. Sistem Kekerabatan di Minangkabau . Center
for Minangkabau studies. Padang 1969.
8 A.B.DT. Madjo
Indo. Kato Pusako: Pepatah, Petitih, Mamang, Pantun, Ajaran dan Filsafat
Minangkabau. Penerbit MPAM kerjasama PT.Rora Karya. Jakarta. 1999.
9 H. Blink, De Economische geographie
Bovenlanden en het belastingraaggtuk voor Sumatra’s . Weskust, Vragen
Vanden dag, 23. (1908)
10 Elizabeth E. Graves. Minangkabau
Response to Dutch Colonial Rule
Nineteenth Century. (New York : Cornel Modern Indnesia Project
Southeast Asia Program , 1981)
11 P.E. de Joselline de Jong, Minangkabau
And Negeri sembilan Sosio Political strukcture. Eduard Ijdo,Leiden,
1980.1951
12 Snouck Hugronye (1857-1936). Islam di
Hindia Belanda. Bharata. Jakarta
Bagian
Ketiga :
13 Agustiar Syah Nur, Pro,Dr, MA “Kredibilitas Penghulu” Lubuk Agung
14 Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, Dar
al-Mishr, al-Qahirah, Juz 14, t.t.
15 Muhammad Diya' al-Din al-Rayes, Al-Nazhariyat
al-Siyasiyat al-Islamiyat, Maktabat al-Anjala al-Mishriyat
16 Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyat,
Matba' al-Mustafa al-Bab al-Halb, Mesir, 1960
17 Abdul Hamid al-Mutawalli, Mabadi'
Mizhami al-Hukmi fi al-Islam, Masyaat al-Ma'arif, Iskandariyat, Cet. IV,
1978
18 Zakariya al-Mun'in Ibrahim al-Kitab, Mizhamu
al-Syura fi al-Islam wa Nazhan al-Dimuqratiniyyat al-Mu'assirah, Matba'
al-Sa'adah, Kairo, 1985
22 H. Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu, Rangkaian
Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau, Bandung: CV. Remaja Karya, 1984
Bagian Keempat :
23 ‘Abd al-Rahman bin Hasan Ali al-Syaikh, Fathu al-Majid, al-Madinah al-Munawwarah,
al-Maktabah al-salafiyah, 1397 H/1977 M
24 al-Bukhari, Abi Abb
Allah Muhammad bin Isma’il
bin Ibrahim Ibn al-Mughirah bin Bardazbah, Shahih al-Bukhari, Abd al-Rahman
Afandi Muhammad, Juz III,
1349 H/1930 M
25 Jalal al-Din al-Suyuthi, Jami’ al-Shaghir, ‘Abd al-Hamid Ahmad Hanafi,
ttp, tt
26Bathrus al-Bustani, Qathar al-Muhith ,
(Beirut: Maktabah Lebanon, tt)
27 Abû Qâsîm al-Husein bin Muhammad
al-Ishfahânî, al-Mu’jam fî Gharib al-Qur’ân, (Mesir: Mustafa al-Babi
al-Halabi, 1961)
28 Husein Yusuf Mûsâ dan Abdul al-Fatah
al-Sha’dî, al-Ifshah fi al-Lughat, (Kairo: Dâr al-Fikr, tt)
29 Al-Razi, Tafsîr-Kabir III, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1978)
30 Muhammad Husein al-Thaba’thabai,
32 H. Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu, Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau, Bandung:
CV. Remaja Karya 1984
33 Amir M.S “Tanya Jawab Adat Minangkabau:
Hubungan dan dan Agama Islam di Minangkabau” Yayasan Sosial Pendidikan AINI
tahun. 2002
34 H. Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu, Pegangan
Penghulu, Bundo Kanduang dan Pidato Alua Pasambahan Adat di Minangkabau, Bandung: CV. Remaja Karya, 1984
Bagian
Kelima :
35 Nurcholis Madjid. Islam Doktrin dan
Peradaban (Jakarta: Y.W.Paramadina 1992)
36 Muhammad Abû Zahrah, al-Da'wah ila
al-Islâm, (Ttp:. Dâr al-Fikr al-'Arabî, tt).
37 Muhammad Abû al-Fatah al-Bayânûnî, al-Madkhal Ilâ ‘Ilm al-Dakwah, (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1991)
38 Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (disebut Tafsîr al-Manar), (Beirut: Dâr al-Ma’rifat, tt)
39 H. Mas’oed Abidin. Harian Singgalang, 20
Desember 2002
40 Sidi
Gazalba, Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam, Pustaka al-Husna ,
Jakarta, 1989
41 Mulyani, Surau dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Minagkabau, IAIN IB Press, 1999
42 M.H. T. Dt. Penghulu Basa, Ketua LKAAM kabupaten Agam
Sumatera Barat, wawancara, tanggal 17-10-2000
43 Dt. Tan
Kabasaran, Ketua Majlis
Pertimbangan MUI Tingkat I Sumatera
Barat, dan Pemuka adat di Kabupaten Agam,
Wawancara, di
Bukitinggi tanggal17—10-2000.
44 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Mellenium Baru, Logos, Jakarta, 1999
Bagian keenam :
Abu Bakar Zakaria, al-Da’wah ila
al-Islam, (Mesir: Dâr al-’Urulah,
tt)
Amin Rais,
Cakrawala Islam, (Bandung: Mizan, 1996)
Abi al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya,
Mu’jam Maqayis al-Lughah, (Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1389
H/1969)
Alexis Carrel, Misteri Manusia,
Terj. Kania Roesli, Remaja Karya, Bandung, 1987)
Abu Muhammad Ibn Hazm, Kitab al-Fisal fi
al-Milal wa al-Ahwa’ wa al-nihal, Dâr al-Fikr, Beirut, 1320)
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1990)
Fachru al-Razi, al-Tafsîr al-Kabir,
Dâr al-Kutub al-’ilmiah, Teheran,tt)
Ibrâhîm Mushthafâ, Ahmad Hasan
al-Zayât, Hamid Abd al-Qadir dan Muhammad ‘Alî al-Najîr, al-Mu’jam al-Wasîth,
(Istambul-Turki: Dâr al-Dakwah, 1989)
Ibn Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’
al-Bayan ‘an Ta’wil aiy al-Qur’an, Dâr al-Fikr, Beirut, 1988)
Mufid Syafi'i Ahmad(2001) Dialog
Agama dan Kebangsaan. Jakarta : Zikrullah Hakim.
Manulang.(1981). Dasar Dasar
Manajemen. Jakarta : Galia Indonesia.
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia,
(Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, 1973)
Muhammad Fu’âd ‘Abd. al-Bâqî, al-Mu’jam
al-Mufahras li al-Fâzh al-Qur’ân, (Beirut, Dâr al-Ma’rifah, 1992)
Muhammad Abu Zahrah, al-Da’wah ila
al-Islam, (Ttp.Dar al-Fikr al-’Arabi, tt)
Muhammad al-Bahi al-Khuli, Tazkirah
al-Du’ah, (Mesir: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1952)
Mochtar Husein, Dakwah Masa Kini,
(Ujung Pandang: Nuhiyah, 1986)
alî Mahfuzh, Hidayah al-Mursyidîn,: (Mesir: Dâr al-Kitab al-’Arabî, 1952)
Moh Ali Aziz, Cs, Dakwah Pemberdayaa
Masyarakat Paradigma Aksi Metodologi, Pustaka Pesanteren, Yogyakarta, 2005)
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an,
Mizan, Bandung, 1997)
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1994, h. 69
Muhammad bin Ali al-Syaukani,, Fath
al-Qadir, Mustafa al-babiy al-halabiy, Kairo, 1964)
Al-Raghib al-Ishfahaniy,
al-Mufradat Fi Gharib al-Qur’an, Dâr al-Ma’arif, Beirut, tt,)
Robins.
P. Stephen (2003). Prilaku Organisasi
Jilid 1 .Terjemahan. Jakarta : Gramedia
Robin.
P. Stephen. (2003) Prilaku Organisasi Jilid 2.Terjemahan. Jakarta : Gramedia.
Salmadanis, Bentuk-bentuk Metode Dakwah
Dalam al-Qur’an, Dalam Majalah Ilmiah Turats, Nomor; 10, Volume VII, 1996
---------------, Surau di Era Otonomi, The Minangkabau
Foudation, Jakarta, 2001
--------------, Al-Da’i dan Identitasnya, The
Minangkabau Foundation, Jakarta, 2002
--------------,
Dakwah Dalam Perspektif al-Qur’an, The Minangkabau Foundation, Jakarta,
2001
--------------,
Filsafat Dakwah, IAIN “IB” Press,
Cet. I. Padang, 1999
--------------,
Intervensi Politik Menanggulangi Kemungkaran, Nuansa Madani, Jakarta, 1999
--------------,
Mengantar Usahawan Ke Pintu Surga Melalui Pemahaman Nilai-nilai Tauhid Dalam
Berusaha, Nuansa Madani, Jakarta, September 2001
--------------,
Prinsip Dasar Metode Dakwah, The
Minangkabau Foundation, Jakarta, 2000
--------------,
Dakwah Dalam Perspektif al-Qur’an, The Minangkabau Foundation, Cet. II.
Jakarta, 2002
--------------.
Amar Ma’ru Nahi Mungkar dan Politik Perspektif Ad. Jabbar, Nuasa Madani,
Jakarta, 2002
--------------,
Metode Dakwah Perspektif al-Qur’an, The Minangkabau Foundation, Jakarta.
2002
--------------,
Adat Basandi Syarak; Norma dan Aplikasinya Menuju Kembali ke Nagari dan
Surau, PT. Kartika Insan Lestari, Jakarta, 2003
Syafri Harahap Syofyan. (1996). Manajemen
Masjid. Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Yasa.
Siagian, Sondang P. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Bumi
Aksara.
Sardiman A.M., Interaksi
dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: PT. Raja Grafingo Persada, 2003)
Qadi
al-Quda’ Abdul Jabbar, al-Majmu’ Fi al-Muhit bi al-Taklif, al-Matba’ah
al-Kasuliyah, Beirut, 1965)
Qadi al-Quda’ Abdul Jabbar, Al-Mughni Fi
Abwab al-Tauhid wa al-’Adl, al-Dâr
al-Misriyah li al-Ta’lif wa al-Tarjamah, Kairo, 1965))
[1]Disampaikan pada acara seminar pemberlakuan
syari’at Islam di ranah Minang merupakan manifestasi adat basyandi syara’
syara’ basandi kitabullah, syara’ mangato adat mamakai, tanggal 18-19 Januari
2006 di gedung Bagindo Aziz Chan, Padang
[2]Dosen / dekan fakultas dakwah IAIN Imam
Bonjol Padang
[5]Mahmud Yunus, Kamus
Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir
Al-Qur’an, 1973), h. 127
[6]Ibrâhîm
Mushthafâ, Ahmad Hasan al-Zayât, Hamid Abd al-Qadir dan Muhammad ‘Alî al-Najîr,
al-Mu’jam al-Wasîth, (Istambul-Turki: Dâr al-Dakwah, 1989), h. 286
[7]Muhammad Fu’âd ‘Abd. al-Bâqî, al-Mu’jam
al-Mufahras li al-Fâzh al-Qur’ân, (Beirut, Dâr al-Ma’rifah, 1992), h. 326.
[19] Moh Ali Aziz, Cs, Dakwah Pemberdayaa Masyarakat Paradigma Aksi
Metodologi, Pustaka Pesanteren, Yogyakarta, 2005, h. 11-13
0 Comment