Bagian Kedua
Metoda Dakwah
Pendahuluan
Al-Qur’an adalah
kitab dakwah[1] yang mencakup didalamnya unsur-unsur yang mengitari dakwah, seperti
juru dakwah, penerima dakwah, metode dakwah,
dan media dakwah. Dakwah dengan segala unsurnya adalah suatu kesatuan
yang tak terpisahkan satu sama lain, masing-masing unsur dalam dakwah mendapat
perhatian dan sorotan dalam al-Qur’an secara sistematis dan sesuai dengan
kondisi sosial masyarakat yang mengitarinya.
Dakwah adalah
ujung tombak dalam mewujudkan ajaran Islam ke berbagai segi kehidupan manusia.
Melaksanakannya kewajiban bagi setiap pribadi muslim,[2] sesuai dengan keahlian dan
kemampuannya.[3] Namun bukan berarti menafikan
pendapat lain yang mengatakan bahwa
melaksanakan dakwah adalah fardhu
kifayah.[4] Untuk merealisasikannya kepada
masyarakat diselenggarakan dengan
mempergunakan metode tertentu.[5]
Pada priode Makkah
(610-622 H) Nabi Muhammad Saw. melaksanakan dakwah melalui metode pendekatan
kepada keluarga secara diam-diam dalam upaya memberi pelajaran dan petunjuk,[6] kemudian secara bertahap pelaksanaannya dikembangkan secara terbuka[7] kepada kaum kafir Quraish.
Setelah Nabi Saw.
di Madinah (1-11 H/622-632 M) dakwah telah mampu menumbuh kembangkan ikatan
persaudaraan, ukhuwah Islamiyah,[8] dengan membentuk suatu umat
laksana suatu bangunan yang satu dengan yang lainnya saling menguatkan.[9] Sehingga menimbulkan kekuatan bagi kaum muslimin dalam pengembangan
dakwah. Setelah Nabi Muhammad wafat, urusan dakwah dilanjutkan oleh para
Khulafa' al-Rasyidin bersama sahabat lainnya. Seperti Abu Bakr al-Shiddiq
(11-13 H/632-634 M) dan 'Umar bin Khattab (12-23 H/634-644 M) ternyata berjalan
dengan baik dan sukses. Namun setelah itu ketika pemerintahan Usman bin Affan (
23-35 H/644-656) 'Ali bin Abi Thalib (36-40 H/656-661 M) dilanda oleh berbagai
kekacauan politik dalam negeri,[10] sehingga kesatuan umat sudah tidak terjamin lagi sebagai yang telah
dibina oleh Nabi Muhammad Saw. sebelumnya.
Pada abad ke-18 M
sebagai akibat terjadinya kontak peradaban dan ilmu pengetahuan dengan dunia
Barat, munculnya kaum pembaharu di dunia Islam yang berusaha melakukan
pembaharuan dengan mengkaji ulang ajaran-ajaran dasar Islam. Gerakan
pembaharuan tersebut berdampak positif dalam kehidupan pengembangan metode dakwah. Seperti terlihat, Muhammad
Abduh (1849-1905 M), seorang tokoh pembaharu, di samping ia melakukan dakwah
secara lisan juga mengembangkannya dengan tulisan lewat majalah al-'Urwat
al-Wusqa diterbitkan di Paris bersama Jamal al-Din al-Afgani (1839-1897 M),[11] dan Rasyid Ridha (1865-1935 M) di Mesir dengan al-Manarnya.[12] Sejalan dengan kegiatan penyampaian risalah Nabi Muhammad kepada umat
manusia lewat berbagai cara, baik lisan, kontak perbuatan, isyarat dan iqrar
maupun dengan diplomasi lewat surat atau utusan.[13]
Aktifitas dakwah
seperti itu merupakan satu bagian yang pasti ada dalam kehidupan beragama
sepanjang waktu. Di dalam al-Qur’an dakwah merupakan kewajiban yang dibebankan
oleh agama kepada pemeluknya, baik dilakukan secara pribadi ataupun
dilaksanakan secara kolektif. Dengan demikian eksistensi dakwah bukan hanya sekedar usaha agar orang lain
dapat memahami agama dalam kehidupannya, akan tetapi jauh lebih penting dari
itu, yaitu; melaksanakan ajaran Islam secara menyeluruh dan konfrehenshif dalam
berbagai aspek kehidupan. Untuk mencapai kearah tersebut sudah pasti semua
unsur dakwah harus mendapat perhatian serius para juru dakwah. Namun betapapun
baiknya sebuah materi, media, audience dan da’inya sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari dakwah itu sendiri, jika tidak mempergunakan metode, maka
ajaran Islam yang dikembangkan akan berada pada tataran pengetahuan bukan pada
aspek aplikasi dan pengamalannya.
Perspektif dakwah
dalam al-Qur’an, tidak hanya sekedar mengatur kegiatan dakwah, tetapi lebih
jauh dari itu, di mana al-Qur’an memberikan cara-cara tertentu dalam menghadapi
masyarakat tertentu pula. Secara umum al-Qur’an telah menuntun Nabi kearah
tercapainya sosialisasi ajaran Islam dalam kurun waktu ± 23 tahun. Semua itu
didukung oleh metode yang akurat, efektif dan effesien serta berpegang kepada
prinsip atau azas metode yang dituturkan oleh Allah Swt. Sekalipun secara
literlek didalam al-Qur’an tidak ditemukan kata yang persis sepadan dengan
istilah metode, namun jika dimaksudkan metode, yaitu cara-cara yang diterapkan
Allah kepada Nabi Muhammad dalam menyampaikan ajaran Islam kepada
keanekaragaman masyarakat dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang
mengintarinya. Karena hampir semua kegiatan dakwah yang tidak
mempergunakan metode dalam melaksanakan
dakwah kepada masyarakat.
Metode
Dakwah Hikmah
Kata metode berasal dari
bahasa Yunani methodos yang berarti cara
atau jalan[14]. Di dalam bahasa Inggeris ditulis
dengan method [15] yaitu : 1. a way of doing anything;
mode; procedure, process; epecially, a reguler, orderly devinite
procedure or way of teathing, investigating, etc.; 2. Regularity and orderlines in action, thought, or expresion; system in
doing thing or hendling
ideas; (and) 3. Reguler, orderly arrangement. Dalam bahasa Arab
diterjemahkan dengan thariqat dan manhaj. Sedangkan dalam bahasa
Indonesia kata tersebut mengandung arti
“cara yang teratur dan berfikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu
pengetahuan dsb); cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu
kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.[16] Dalam hal ini Hendry Van Lear,
secara etimologis mengemukakan
bahwa metode adalah jalan atau cara melakukan atau membuat
sesuatu dengan sistem dan melalui prosedur untuk memperoleh atau mencapai
tujuan yang dimaksud.[17]
Memperhatikan pengertian metode di atas,
nampaknya dapat digunakan kepada
berbagai objek, baik berhubungan dengan pemikiran dan penalaran akal, atau
menyangkut pekerjaan fisik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa metode adalah
salah satu sarana atau media yang sangat penting untuk menyembatani antara pemikiran yang
dimiliki oleh subjek untuk ditransmisikan kepada objek dalam upaya mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam bidang
keilmuan, metode selalu berarti cara prosedur dari yang diketahui menuju yang
tidak diketahui, dari titik pijak tertentu menuju proposisi-proposisi akhir
dalam ilmu yang ditentukan. Sehingga
dalam ilmu-ilmu normatif metode mengindikasikan jalan menuju norma-norma yang
mengatur perbuatan sesuatu. Sehingga dengan demikian metode adalah cara bertindak menurut
sistem aturan tertentu, supaya
kegiatan praktis terlaksana
secara rasional dan terarah, agar mencapai hasil optimal.
Atau sebagaimana yang diungkap Ahmad Tafsir, bahwa metode adalah cara yang
paling tepat dan cepat dalam melakukan sesuatu.[18] Tepat dan cepat dalam hal ini ukurannya sangat varian sekali, karena
sesuai dengan kondisi orang, tempat, materi, media dan sosial-budaya yang
mengintarinya.
Dalam kaitan ini metode dakwah dalam perspektif al-Qur’an, telah dilakukan oleh
Nabi Muhammad secara teratur dan telah tersusun secara baik untuk mencapai pemahaman yang benar
tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat-Nya. Kenyataan ini
memberikan gambaran bahwa metode
dakwah yang dilakukan oleh Nabi dalam membawa manusia kepada Islam
berisikan langkah atau cara-cara yang harus ditempuh ketika melakukan dakwah
Islam kepada manusia, tanpa melakukan hal tersebut, maka hasilnya tidak seoptimal
yang diharapkan. Namun metode dakwah yang pernah diterapkan Nabi itu
belum tersusun dalam bentuk karya tulis secara metodologis, sehingga menjadi
kendala bagi setiap juru dakwah dalam
menyampaikan materi dakwah kepada orang lain.
Bila dikaitkan antara metode dengan dakwah dalam
satu pengertian dapat dikatakan sebagai jalan atau cara yang dipakai
juru dakwah dalam menyampaikan ajaran Islam (materi) kepada objeknya. Pemakaian
metode yang benar merupakan unsur penting untuk memastikan bahwa kesimpulan yang dihubungkan dengan titik
pijak dan fondasinya secara runtut dan
benar, karena hanya
dalam sikap semacam inilah maka
hasil-hasil yang dicapai akan dapat
dimiliki bersama di
dalam nilai dan kebenaran titik
pijak. Secara umum metode dalam perpespektif ilmu pengetahuan
adalah jalan dari titik pijak yang
diketahui menuju poin
penyelesaian atau hasil yang dalam satu atau lain cara dihubungkan dengan
titik pijak. Sehingga jalan yang ditempuh
dalam upaya mencapai tujuan tersebut
bisa dibangun dengan banyak cara.
Dalam menyampaikan
suatu pesan dakwah, metode sangat penting peranannya. Suatu pesan betapa
baiknya, tetapi disampaikan lewat metode yang tidak benar, pesan tersebut bisa
jadi ditolak oleh penerima pesan, bahkan bisa mengaburkan maksud materi yang
ingin disampaikan. Ilmuan komunikasi menyebutnya dengan the methode is
massage. Sehingga kejelian dan
kebijakan juru dakwah dalam memilih dan memakai metode dakwah sangat
mempengaruhi kelancaran dan keberhasilan menerapkan ajaran Islam dalam
masyarakat.
Dalam berbagai
buku ilmu dakwah yang ada, ketika membahas metode dakwah, pada umumnya
merujuk kepada surat al-Nahl ayat 125; yaitu :
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ
وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ
هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ ( النحل :
125 )
Artinya : Serulah
(manusia) kepada jalan Allahmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Allahmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Pada ayat ini
bukan hanya berbicara seputar metode dakwah, akan tetapi meliputi faktor-faktor
lainnya, yaitu tentang subjek, materi
yang disampaikan. Bahkan secara tersirat juga terkandung objek dakwah,
karena perintah dakwah dalam ayat tersebut ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw.,
maka yang disuruh panggil oleh Allah kepada Nabi adalah umat manusia, namun
tidak terlihat pada ayat dimaksud
pembicaraan seputar media dakwah, tetapi hal itu bukan mengurangi fungsi al-Qur’an sebagai
petunjuk bagi umat manusia. Sebab dikalangan ilmuan al-Qur’an mengungkap bahwa
al-Qur’an bukanlah buku ilmiah atau buku petunjuk pelaksanaan suatu
perintah atau tugas, akan tetapi
al-Qur’an berisikan sesuatu ajaran/petunjuk yang bersifat umum, general atau
global. Hanya saja yang ada dalam al-Qur’an adalah semangat, moral, ruhnya
agama Islam. Oleh karenanya tugas para mujtahid Islamlah untuk mengeluarkan
isi, hukum, pelajaran yang ada di dalamnya, seperti munculnya teologi, fiqh,
tasauf, politik, ekonomi dan lain sebagainya. Semua hal di atas tidak satupun
yang terlepas dari intervensi akal mujtahid. Sekaitan dengan metode dakwah pada
ayat 125 di atas, Fakhr al-Din al-Razi ( 544-606 H) dalam tafsirnya menyebutkan
bahwa ayat ini berisikan perintah dari Allah Swt. kepada Rasul Saw. untuk
menyeru manusia (kepada Islam) dengan salah satu dari tiga cara; yaitu dengan hikmah,
maw’izhah al-hasanah dan mujadalah bil al-thariq al-ihsan.[19] Pendapat yang senada dipertegas oleh Sayyid Quthb,
bahwa upaya membawa orang lain kepada Islam hanyalah melalui metode yang telah
ditetapkan oleh Allah dalam al-Qur’an.[20] Ketiga metode itu disesuaikan dengan kemampuan intelektual masyarakat
yang dihadapi. Namun bukan berarti masing-masing metode tertuju untuk
masyarakat tertentu pula, akan tetapi secara prinsip semua metode dapat
dipergunakan kepada semua masyarakat. [21]
Metode Hikmah
Kata hikmah
berasal dari bahasa Arab, ح, ك, م (h, k, m), jama’nya hikam
yaitu ungkapan yang mengandung kebenaran dan mendalam.[22] Dalam bahasa Indonesia diartikan dengan kata bijaksana. Kata
bijaksana dalam bahasa Indonesia punya arti (1) selalu mempunyai akal budi,
(pengalaman dan pengetahuannya): ‘arif, tajam fikiran; (2) pandai dan
ingat-ingat.[23] Sedangkan secara linguistik (lughawiyah)
terma hikmah berarti kebijaksanaan, sehat pikiran, ilmu pengetahuan, filsafat,
ke-Nabian, keadilan, peribahasa, pepatah dan al-Qur’an.[24] Atau (معرفة أفضل
اللاشيأ بـأفضل العلو) yaitu mengetahui keutamaan
sesuatu melalui ilmu.[25] Secara terminologi, para ulama memahami istilah hikmah dalam beberapa
pengertian, diantaranya :
a. Hikmah
merupakan keNabian (al-Nubuwat)
b.
Hikmah merupakan pengetahuan tentang al-Qur’an itu sendiri, meliputi ;
pemahamannya, nasikh mansukh, muhkamat, mutasyabihat, ayat-ayat yang
didahulukan dan yang diakhirkan, halal, haram, amtsal dan sebagainya.
c.
Hikmah merupakan kebijaksanaan pembicaraan dan perbuatan
d.
Hikmah adalah pengetahuan tentang hakikat kebenaran dan perwujudannya
dalam kehidupan
e.
Hikmah adalah ilmu yang bermanfaat, ilmu amaliyah dan aktifitas yang
membawa kepada kemashlahatan umat.
f.
Meletakan suatu urusan pada tempatnya yang benar, mengetahui al-da’i
terhadap objek dakwah dan memilih metode serta media yang relevan dengan
mereka.
g.
Mengetahui kebenaran dan beramal dengan kebenaran tersebut,
perpengetahun yang luas dalam
pembicaraan dan amal. Hal ini
tidak akan diperoleh kecuali melalaui pemahaman al-Qur’an, fiqh syari’at dan hakikat iman.
h.
Hikmah merupakan kondisi psikologis, seperti ketundukan, kepasrahan dan
ketakutan kepada Allah
i.
Hikmah merupakan sunah Nabi
j.
Hikmah adalah maqam wara’ pada agama Allah
|
Sedangkan
hikmah pada sejarah Islam klasik, tertuju kepada orang-orang yang mengkaji
sesuatu secara mendalam, sehingga ahli hikmah yang dimaksudkan pada masa itu
sama dengan para failosuf, sedangkan hasil dari temuannya disebut dengan
filsafat. Sedangkan tempat orang-orang yang mendalaminya (
mungkin sekarang disebut dengan pustaka/labor) disebut dengan bait al-hikmah
(rumah hikmah). Dengan demikian pengertian yang dikemukan di atas kurang tepat,
jika padanan hikmah tersebut dalam bahasa Indonesia dengan kata bijaksana.
Sebab kata bijaksana dalam basaha Indonesia mempunyai arti (1) selalu
mempergunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuan); ‘arif, tajam fikiran;
(2) pandai dan ingat-ingat…[28] Akan tetapi dalam pemakaian
sehari-hari cukup populer dan terpakai arti hikmah tersebut dengan bijaksana.
Arti bijaksana yang dipadankan dengan hikmah dalam bahasa arab, paling tidak,
nampaknya tidak tercakupi oleh bahasa Indonesia, karena cakupannya meliputi
sesuatu pelajaran yang datang dari Allah Swt. Perbedaan makna tersebut akan
terlihat dengan jelas, bila dikaitkan dengan makna yang diberikan oleh mufassir
ketika mengemukakan pengertian kata hikmah tersebut.
Kata hikmah dengan
segala bentuknya dalam al-Qur’an berjumlah 208 kali yang tersebar dalam
beberapa surat. Dalam bentuk shighat masdar, kata al-hikmah 20 kali [29] tersebar dalam beberapa surat dan ayat. Pemakaian kata terbanyak
dari kata hikmah digandengkan dengan
kata al-kitab, Injil, Taurat, sehingga dapat dipahami bahwa kata hikmah itu
sebanding dengan kitab, Injil, Taurat, atau suatu pelajaran yang datang dari
Allah Swt. Seperti terlihat dalam al-Qur’an surat al-Baqarah (2) ayat 129, 131,
151, 296; Ali Imran (3) ayat 48, 81, 184; al-Nisa’ (4) 54, 113; al-Maidah (5)
ayat 110 dan; al-Jumu’ah (62) ayat 2. Pengertian seperti di atas, nampaknya
dikuatkan oleh Allah dalam al-Qur’an, yaitu bahwa mendapatkan hikmah itu adalah
orang-orang tertentu saja sesuai dengan kemauan Allah, bagi yang mendapatkan
hikmah diberikan kepadanya kebajikan yang banyak.[30]
|
Pada sisi lain A.
Hasjmi mempertegas bahwa hikmah adalah ilmu pengetahuan.[35] Sedangkan Muhammad Natsir memahami bahwa hikmah itu
dipergunakan untuk semua golongan, yaitu golongan cerdik pandai,
golongan awam dan golongan antara
keduanya. Berbeda dengan Sayyid Qutb (966H/1558M) mengemukakan bahwa dakwah bi
al-hikmah adalah memperhatikan keadaan serta tingkat kecerdasan penerima
dakwah, memperhatikan kadar materi dakwah yang disampaikan kepada audiens,
sehingga mereka tidak dibebani dengan materi dakwah tersebut, karena belum siap
mental untuk menerimanya. Memperhatikan cara penyampaian dakwah dengan
perasaan, tidak memancing kemarahan, penolakan, kecemburuan dan terkesan berlebih-lebihan, sehingga tidak mengandung hikmah didalamnya.[36]
Bila digabung
beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa metode hikmah adalah
suatu cara yang dipergunakan dalam upaya
membawa orang lain kepada ajaran Islam
dengan memakai argumentasi yang pasti, bahasa yang menyintuh hati dengan
pendekatan ilmu dan akal. Sehingga objek dakwah yang dituju melalui metode ini adalah para cendikiawan, intelektual atau ilmuan. Hal ini sejalan
dengan pendapat yang dikemukan oleh ‘Abdu
al-Wahab Kahili, bahwa metode dakwah dengan hikmah merupakan pengetahuan yang
paling tinggi dan pengungkapan bersifat filosofis yang dapat menundukan akal
dan tidak ada yang melebihi ketundukan terhadapnya.[37]
Memperhatikan hikmah dalam perspektif mufassir
terhadap ayat 125 surat al-Nahl, nampaknya sangat signifikan dengan makna
hikmah yang terdapat pada ayat-ayat yang turun di Makkah dan Madinah. Hal ini
dapat dipahami dari surat yang turun
pada priode Makkah terdapat kata hikmah pada 5 surat, yaitu :
a. Hikmah pada
surat al-Qamar; 5 (54/37) menunjukkan sebagai informasi yang terdapat dalam
al-Qur’an dan semua isi yang terkandung didalamnya meliputi aspek ungkapan,
pelajaran dan petunjuk hukum dengan bahasa yang sempurna sebagai puncak
penjelasan dan tidak satupun yang
tersembunyi di dalamnya.[38] Al-Maraghi mengungkap bahwa hikmah di sini adalah informasi tentang
ilmu pengetahuan, hidayah, dan kecerdasan yang membawa kepada kebenaran bagi orang yang mau
mempergunakan akal dan mengendalikan nafsunya.[39] Ilmu pengetahuan yang dimaksud
di sini adalah kisah-kisah yang terjadi sebelumnya, mempunyai nilai yang sangat tinggi sekali. Kisah tersebut dapat mengantarkan
seseorang kepada jalan yang benar, namun tidak akan banyak pengaruhnya,
terutama bagi yang tidak mempergunakan akalnya dengan baik. Memperhatikan
penjelasan di atas dapat ditangkap bahwa hikmah pada surat ini mencerminkan
sebagai informasi kejadian masa silam tentang
cerita-cerita aktual di masanya. Melalui kisah itu Allah mengajak
manusia kejalannya. Nampaknya kisah masa lalu itu adalah suatu peristiwa yang
pernah terjadi diungkap oleh Allah kepada manusia sebagai suatu metode
pemberitahuan dalam upaya membawa orang kepada
kesadaran.
b. Hikmah pada
surat Shad ayat 20 (38/38), menunjukkan sebagai pemahaman, akal, kecerdasan,
ilmu, adil, ketelitian amal ibadat dan kebenaran hukum yang dikandungnya.[40] Hikmah pada ayat di atas menggambarkan sebagai kebijakan dalam
menyelesaikan perselisihan antara dua orang yang punya kambing yang mereka
bersengketa sesamanya dengan terlebih dahulu memeriksa pihak-pihak yang terlibat berdasarkan bukti-bukti yang
meyakinkan. Untuk itu memerlukan ilmu pengetahuan yang luas, sikap yang
lemah lembut, menguasai
persoalan serta kesabaran yang kuat dalam menghadapi kedua
mereka yang sedang berperkara.
c. Hikmah pada
surat al-Isra’ ayat 39 (17/50), menunjukkan pengetahuan tentang Zat Allah, kebaikan dan pelajaran
untuk bertindak.[41] Artinya Allah telah memberikan bimbingan berupa perintah-perintah
yang harus diikuti dan semua larangan
yang harus dijauhi, yaitu mentauhidkan Allah, karena tujuan akhir dari segala
urusan manusia adalah mengembalikan kepada Allah Swt.
d. Hikmah pada surat Luqman ayat 12 (31/57), adalah
perasaan yang halus, akal fikiran,
pengetahuan yang dengannya membawa kepada pengetahuan yang hakiki dan
jalan-jalan yang benar serta dapat menyampaikan kepada kebahagiaan
abadi untuk kehidupan dunia dan akhirat. Artinya hikmah di sini
menunjukkan petunjuk yang datang dari Allah. Dengan petunjuk tersebut dapat
membawa manusia untuk beramal dengan ilmu dan pemahaman yang dimilikinya.[42]
e. Hikmah pada
al-Zukhruf ayat 63 (43/63), menunjukkan
kepada mu’jizat Nabi Isa As. dan ayat-ayat yang menunjukkan kepada kebenaran melalui syari’at yang terdapat pada
kitab Injil dan penjelasan kepada Bani Israil yang bertikai dari hukum yang
terdapat pada kitab Taurat.[43] Sehingga dengan demikian
hikmah pada ayat ini menjelaskan
bahwa Nabi Isa datang kepada kaumnya
adalah untuk membawa keterangan dan bukti-bukti ke-Rasulannya. Dengan tugas
yang ia emban menyampaikan ajaran ketauhidan, membenarkan kitab-kitab yang
telah diturunkan sebelumnya beserta Rasul-Rasul-Nya. Semua itu bertujuan agar
mendapat kebahagiaan bagi manusia yang mengikutinya. Pengertian hikmah pada al-Nahl
125 (16/70) menjelaskan bahwa hikmah di sini adalah komunikasi yang benar dan
menyentuh jiwa secara sempurna.[44] Ayat ini telah memberikan
pedoman kepada Rasul-Nya tentang cara
mengajak manusia kejalan Allah (Islam).
Ayat ini sekaligus sebagai kerangka dasar yang ditetapkan oleh Allah
bagi juru dakwah mengajak orang lain
kepada agamanya. Maka hikmah pada ayat ini mengandung pengetahuan tentang rahasia dan faedah segala sesuatu,
komunikasi yang tepat dan benar,
sehingga menjadi argumentasi
untuk menjelaskan mana yang hak dan mana yang batil ataupun yang
syubhat dalam masyarakat.
Dengan demikian
dakwah dengan hikmah adalah berdakwah
melalui ilmu pengetahuan yang
berkenaan dengan rahasia berbagai faedah dan tujuan dari wahyu Ilahi, kecakapan
memilih materi dakwah yang sesuai dengan
kemampuan audiens, sehingga mereka tidak
merasa berat dalam menerima Islam. Selain itu pandai pula memilih gaya bahasa
dalam menyajikan, sehingga ajaran yang
disampaikan kepada mereka dapat diterima dengan baik, bahkan mereka
laksanakan dalam kehidupannya. Khusus
ayat 125 surat al-Nahl ini bahwa Allah Swt. menyuruh Nabi Muhammad Saw. untuk
mengikuti metode (cara) Nabi Ibrahim As. dalam melaksanakan dakwah kepada Agama
Islam dengan memakai tiga metode, yaitu Hikmah, Mauizhah al-hasanah dan
mujadalah bi al-lati hiya ahsan. Dalam hal ini Allah menyuruh memimpin
dengan adil dan benar serta menjadikan
kisah-kisah masa lalu sebagai ‘itibar, sabar dalam berbagai situasi dan kondisi
negatif maupun positif. Karena melakukan
(الاعلام )
penerangan kepada agama Allah adalah merupakan kebutuhan primer bagi
kelestarian alam semesta.[45]
Selanjutnya kata
hikmah pada surat Madaniyah dalam al-Qur’an terdapat terdapat 5 (lima) surat
adalah sebagai berikut:
a. Surat
al-Baqarah ayat 129, 151, 231, dan 269 (2/87) terdapat dua kali. Maksud kata
hikmah pada surat Madaniyah pada surat al-Baqarah ayat 129 adalah sebagai
pengetahuan dengan agama dan pemahaman dalam menta’wil.[46] Al-Maraghi memahaminya sebagai
rahasia syari’at dan maqasyidnya untuk memudahkan antara kaum
muslimin, maka dengan hikmah dapat
dijadikan teladan dalam
pembicaraan dan perbuatan.[47]
Pemahaman di atas
menunjukkan bahwa hikmah adalah cara yang
dipergunakan untuk memberikan pengetahuan kepada orang lain melalui
pembicaraan dan perbuatan. Boleh jadi pembicaraan itu
yang tertuang dalam al-Qur’an dan
sangat boleh jadi dalam bentuk sunah-Nya. Ayat 151, hikmah di
sini adalah sebagai ilmu tentang rahasia hukum dan konsekwensinya, membuka
jalan untuk beramal dan taat, melalui cara-cara yang dilakukan oleh para Nabi
dan sejarah orang terpuji pada masa kehidupan sebelumnya baik dalam posisi
damai maupun perang, sedikit ataupun banyak, dalam musafir atau mukim. Namun
al-Zamakhsyari seorang mufassir yang mengutamakan rasio, dengan tafsirnya
bercorak ilmi melalui pendekatan bi al-ra’yi, memberi penjelasan tentang
makna hikmah pada ayat ini sebagai risalah Nubuwah.[48] Akan tetapi secara kategoris Ibnu Katsir memahami lafaz hikmah sebagai
rahasia-rahasia hukum syari’at dan tafsir,[49] ilmu kebijaksanaan, dan
ke-Nabian. Sedangkan dalam pengertian sunah dinisbahkan kepada Nabi Muhammad
Saw. Hal ini dapat dicermati pada surat al-Baqarah; 129, 151 dan , (2/87) serta
surat Ali Imran 81 dan 164, (3/89) surat al-Nisa’ 113, (4/92) dan al-Ahzab 34.
(33/90).
Ayat 269 hikmah
sebagai ilmu yang bermanfaat yang membawa untuk beramal serta membawa pengaruh
kepada jiwa. Lebih jauh pada ayat yang sama hikmah dipahami sebagai pemahaman
yang benar, ilmu yang bermanfaat serta mengikuti perkembangan pengetahuan yang
membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.[50] Artinya Allah memberikan ilmu
kepada siapa yang dikehendakinya,
sehingga dengan ilmu tersebut
dapat membedakan antara yang benar
dengan salah. Hikmah itu tidak akan diperoleh terkecuali dengan akal yang sehat
dan cerdas yang dapat mengenal berdasarkan dalil-dalil dan
bukti-bukti serta dapat mengetahui hakikat yang sebenarnya. Apabila seseorang
telah sampai kepada hikmah, berarti seseorang telah dapat membedakan antara
janji Allah dengan janji setan. Pada
akhir ayat tersebut Allah membuktikan bahwa Allah memuji orang yang
mau mempergunakan akalnya. Karena
melalui akallah manusia dapat mengetahui mana yang bermanfaat dan mana
yang membawa kepada mudharat.
b. Surat Ali Imran
ayat 48, dan 164. Pemahaman hikmah pada
ayat 48 adalah sebagai ilmu yang
bermanfaat, yaitu ilmu yang menerangi manusia dengan hukum. Hikmah pada ayat ini
sebagai pengetahuan cara menulis yang
diberikan kepada Nabi Isa dan ilmu yang benar untuk membawa seseorang
mengerjakan amal-amal yang
bermanfaat dan Allah memberikan
kemampuan kepadanya untuk
mengetahui kitab Taurat sekaligus
menyampaikan kepada kaumnya.[51]
Sedangkan pada
ayat 164 adalah sebagai membersihkan diri dari cara-cara jahiliyah dalam
akidah, akhlak, dan sistem hidup.[52] Bahkan hikmah di sini adalah Rasul dari kalangan mereka sendiri.
Hal ini bertujuan agar mudah memahami tutur katanya dan tingkah
lakunya untuk dirobah dan diperbaiki. Ayat ini memberikan gambaran bahwa
menempatkan diri dengan situasi dan
kondisi audience adalah suatu metode dakwah. Sangat riskan sekali juru
dakwah dalam menyampaikan Islam kepada orang lain, jika
tidak mengetahui terlebih dahulu kondisi sosial masyarakat yang mengintarinya.
c. Surat al-Nisa’
54 dan 113, makna hikmah pada ayat tersebut adalah; pada ayat 54 sebagai ilmu
dengan rahasia hukum syari’at dan ayat 164 sebagai dipahami sebagai syari’ah.[53] Syari’at di sini adalah hukum-hukum Islam yang berhubungan segala
erbuatan lahiriyah manusia yang didalamnya terdapat segala rahasianya. Justru
dengan hukum (aturan) itu dapat mententramkan jiwa dan memudahkan semua urusan
bagi manusia. Maka hikmah yang muncul dalam hal ini adalah terciptanya khaira
ummah dan panutan bagi orang yang
sesudahnya.[54]
d. Surat
al-Jumu’ah ayat 2. Hikmah pada ayat ini adalah sebagai pengetahuan agama dan
hukum al-Qur’an. Melalui hukum tersebut
dapat memberikan
petunjuk-petunjuk kepada bangsa Arab yang masih buta huruf. Justru demikian Rasul itu adalah dari kalangan mereka sendiri.[55] Hal ini menunjukkan bahwa untuk memberikan perubahan yang ideal kepada
masyarakat adalah dari kalangan mereka sendiri, bukan diluar bangsa mereka.
Oleh karenanya pada hukum-hukum itu terdapat hikmah, yaitu pelajaran bagi
manusia dalam kehidupannya.
e. Surat al-Maidah
ayat 110, Hikmah yang dimaksudkan di
sini adalah meliputi semua al-ulum
al-nazhariyah ( pengetahuan bersifat
teoritis) dan al-ulum al-amaliyah (pengetahuan yang bersifat praktis).[56] llmu teoritis misalnya di mana
Nabi Isa telah membuat dari tanah dalam bentuk burung, maka ia meniup burung itu, maka jadilah tanah yang
berbentuk burung itu menjadi burung yang sungguh-sunguh, sehingga akhirnya
burung itu hidup sebagaimana burung yang
lain. Sedangkan ilmu praktis, sebagai contoh Nabi Isa telah dapat menyembuhkan orang buta sejak dari kandungan
ibunya dan orang yang kena penyakit sopak, padahal pada
saat itu belum ada seorang thabibpun yang mampu menyembuhkan. Dengan
demikian hikmah itu juga berkaitan
dengan ilmu kimia dan fisika.
Memperhatikan kata
hikmah pada surat Madaniyah di atas pada umumnya banyak berhubungan dengan
al-kitab Injil, Taurat serta pengertian ilmu pengetahuan yang dibawa para
Nabi-Nabi sebelumnya. Hal ini dapat dicermati pada surat al-Baqarah: 129,151,
231, 269 terdapat dua kali (2/87) surat Ali Imran : 48, 81, dan 164. (3/89).
Hikmah pada ayat Madaniyah di atas dirangkaikan dengan penjelasan Allah tentang
hukum-hukumnya sebagai prinsip normatif yang mengatur kehidupan manusia, dapat
dicermati dari surat al-Baqarah : 269, (2/87), surat Lukman 12 (31/57) dan Bani
Israil 39. (17/50). Selanjutnya hikmah yang dirangkaikan dengan kekuasaan
dipahami sebagai kualifikasi pemimpin seperti terdapat pada surat al-Baqarah:
251 ( 2/87) dan surat Shad: 20.[57] (38/38). Berikutnya hikmah dirangkaikan dengan ayat-ayat Allah dan
sebagai sunnah Nabi terdapat pada surat al-Ahzab 34 (33/90). Kemudian hikmah
dirangkaikan dengan kedatangan Nabi Isa, adalah sebagai bayan (penjelas) kepada
kaum Bani Israil tentang ke-Nabian, Injil dan hukum. Lebih jauh hikmah
dirangkaikan sebagai peringatan-peringatan melalui kisah-kisah terhadap orang
kafir terdapat pada surat al-Ahzab ayat 5 (54/37) dan akhirnya hikmah
berkonotasi sebagai sunnah Nabi, terlihat pada
surat al-Jumu’ah ayat 2 (62/110).
Memperhatikan
pemahaman kata hikmah pada surat Makkiyah dan Madaniyah di atas dapat dipahami
bahwa tuturan kata tersebut berkonotasi informasi (الانباء ) dalam al-Qur’an, faham, akal, ketelitian dalam pengamalan dan hukum,
pengetahuan tentang Allah, petunjuk yang membawa kepada amal dan ilmu, mu’jizat
dan komunikasi yang lancar serta menyentuh jiwa. Sedangkan pada pemahaman yang
muncul dari kata hikmah pada surat Madaniyah adalah; sebagai ilmu nafi’
(bermanfaat) yang menerangi manusia kepada jalan Allah Swt. yaitu menjalankan
ajaran al-Qur’an hadis Nabi Muhammad Saw. sebagai suatu sistem hidup yang mesti
ditempuh dan dilalui.
Berangkat dari
pemahaman di atas dalam memahami hikmah
pada surat al-Nahl;125, maka para ilmuan dakwah terinspirasi mengiring
pengertian tersebut kepada pengertian metode operasional dakwah Islam, antara
lain: Membawa kebenaran dengan ilmu dan
akal atau meletakan sesuatu pada tempatnya.[58] Yaitu menyesuaikan kemampuan akal para mad’u (penerima dakwah)
dengan kondisi dan situasi yang mengintarinya. Bila dicermati pengertian ini
berarti metode hikmah adalah cara-cara membawa orang lain kepada ajaran Islam
melalui ilmu dan akal. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Muhammad Abduh
bahwa hikmah sebagai ilmu shahih dan ilmu nafi’,[59] Sementara Hamka, memahami hikmah dengan ilmu, misalnya ilmu yang
diberikan oleh Allah kepada Thalut dan kepada Nabi Daud, sehingga dengan
ilmunya mereka bisa menjadi pemimpin untuk umatnya dengan gaya kepemimpinan
yang ‘arif dan bijaksana.[60] Memperhatikan pendapat di atas setidaknya terdapat dua pemahaman yang
menonjol, yaitu pertama hikmah dengan pengertian mufradad berarti
kebijakan, ilmu yang bermanfaat, kedua hikmah dengan pengertian sunah Nabi.
Hikmah dalam pengertian pertama inilah yang terpakai sebagai metode
dakwah dalam menyampaikan materi dakwah kepada audiennya.
Setelah
memperhatikan surat Makiyah dan Madaniyah yang berhubungan dengan hikmah, maka
dapat ditangkap pengertiannya, yaitu: Kalau hikmah dipahami sebagai ilmu dan
kebijaksanaan, maka untuk sampai kepada hal tersebut adalah melalui al-’aql
(akal). Akal secara etimologis setidaknya mempunyai dua arti, pertama mengikat,
kedua memahami dan memikirkan ( al-fahm wa al-tadabur ), misalnya ‘aqala
al-syai’( memikirkan hakikat sesuatu).[61] Pada makna kedua inilah kata al’aql dipergunakan sebagai akar
munculnya berfikir secara filosofis dan mendalam. Karena akallah yang
dapat menerima ilmu[62] dan alat untuk mengetahui serta membuat keputusan-keputusan.[63]
Nampaknya
pengertian di atas lebih lengkap yaitu bahwa al’aql bukan hanya
kesanggupan mengenal sesuatu, akan tetapi lebih jauh dari itu, yaitu dapat
membuat keputusan-keputusan tertentu berdasarkan perolehan dari sesuatu yang telah dikenal atau diketahui. Pengertian
ini sekaligus telah menjawab bahwa akal sebagai alat dalam proses mengetahui,
berfikir dan bernalar. Dengan demikian secara ilmiah sasaran dakwah adalah
memberikan pencerahan kepada akal mad’u dalam menerima dan memahami ajaran
Islam yang terdapat pada nash melalui empat kategori penalaran sebagai berikut
:
Pertama : penalaran kausalitas atau hubungan sebab
akibat. Penalaran ini dapat dilihat misalnya firman Allah surat Ali Imran ayat 118, yaitu :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا
تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا
عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ
أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ (ال عمران :
118)
Artinya : Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu
orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya
(menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu.
Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati
mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat
(Kami), jika kamu memahaminya.
Pada ayat ini
Allah melarang orang-orang mukmin untuk menjadikan orang-orang non mukmin
sebagai orang-orang yang dipercayai (bithanat). Menurut al-Razy
(w.606H/1209M), adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang munafik secara umum
semua orang kafir.[64] Sebab pelarangan tersebut adalah adanya rasa kebencian yang pernah
terucap oleh mereka terhadap orang-orang Islam. Sebagai akibatnya ialah mereka
akan terus-menerus berusaha menyusahkan atau merusak tatanan Islam itu sendiri.
Penalaran di atas membutuhkan adanya perbandingan (komparatif). Ayat di
atas memberi indikasi yang jelas dan menyebutkan sebab sekaligus akibat dari
sebab dari suatu perbuatan. Dengan demikian metode dakwah dengan hikmah
memerlukan adanya pemberian perbandingan, karena akallah yang dapat membedakan
diantara yang benar dengan tidak benar, sesuatu yang bermanfaat dan yang
mudharat dan seterusnya.
Kedua, penalaran sistesis. Kata al-aql digunakan al-Qur’an tentang
degradasi manusia baik fisik ataupun jiwa. Hal ini terdapat misalnya pada surat
Yasin ayat 68, yaitu :
وَمَنْ نُعَمِّرْهُ نُنَكِّسْهُ فِي الْخَلْقِ أَفَلَا يَعْقِلُونَ (يس : 68)
Artinya : Dan
barang siapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada
kejadian (nya). Maka apakah mereka tidak memikirkan?
Ayat ini
mengemukakan bahwa manusia akan mengalami perubahan. Kalau pada mulanya tubuh
manusia itu kuat, pada masa tua ia akan menjadi lemah, jika sebelumnya tahu, ia
akan menjadi bodoh dan kalau selama ini mempunyai ingatan yang kuat, ia akan
menjadi pelupa.[65] Sintesis tersebut terlihat pada peristiwa-peristiwa masa lampau (qashshah)
dan akan berindikasi terus-menerus untuk masa yang tidak terbatas. Dalam hal
ini al-Qur’an mengajak agar dapat mempergunakan nalar tentang proses dan
keadaan manusia dalam menempuh hidup ini melalui berbagai kisah yang telah
dicontohkan Allah masa lalu. Kisah-kisah itu akan tetap aktual bagi orang yang
mempergunakan akalnya, baik untuk kehidupan sekarang maupun yang akan datang.
Kisah yang dikemukakan oleh Allah dalam al-Qur’an merupakan suatu cara dalam
mengajak orang lain kepada kebenaran Ilahi. Sehingga metode dakwah dengan
hikmah membutuhkan kepada kisah (qashshah) masa lalu. Oleh karenanya
kisah salah salah satu bentuk metode dalam upaya meyakinkan orang kepada Allah
sebagai Khaliqnya.
Ketiga, penalaran analitis, misalnya kenapa Allah bersumpah (aqsâm)
dengan alam ciptaanya, baik dengan memakai kalimat lansung ataupun melalui huruf qasam.
Bila dianalisa secara mendalam nampaknya mengandung hikmah yang sangat dalam
dan berguna bagi kepentingan penanaman pemahaman suatu ide kepada manusia.
Sehingga ayat ayat yang terdapat dalam bentuk
sumpah adalah bertujuan membawa manusia berfikir dengan meneliti
informasi ayat al-Qur’an secara ilmiah, misalnya kata wa al-Dhdhuha, wa al-Thin
wa al-‘Ashr dan lain sebagainya dijabarkan menurut kaidah dan prinsip ilmu
pengetahuan. Sumpah dalam hal ini bukan sebagai materi dakwah, akan tetapi
sebagai metode dakwah dalam upaya memperteguh keyakinan seseorang kepada Allah
Swt..
Keempat, penalaran figuratif, yaitu penalaran melalui perumpamaan (Amsãl)
dan melalui pengembaraan (rihlah/ tasyâran). Hal ini misalnya di
ungkapkan oleh Allah surat al-Baqarah ayat 171, yaitu:
وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلَّا دُعَاءً وَنِدَاءً صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ (البقرة : 171)
Artinya : Dan
perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala
yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja.
Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.
Ayat tersebut
membangun suatu perumpamaan, bahwa orang-orang kafir disebut sebagai orang
orang tuli, bisu dan buta karena tidak mau memperhatikan dan memikirkan
kebenaran yang disampaikan kepada mereka. Diumpamakan dengan binatang ternak
yang dipanggil oleh pengembalanya. Binatang itu mendengar panggilan tersebut,
namun tidak memahami maknanya yang pasti. Ditinjau dari kaca mata pembaca
perumpamaan itu, maka penalaran yang diungkap oleh ayat itu adalah
analogis-figuratif. Sedangkan dalam bentuk wisata diharapkan dapat memberikan
inspirasi dan aspirasi kepada jiwa dengan memperhatikan keanekaragaman alam
dengan flora dan faunanya.
Pendayagunaan
al-aql-berdasarkan uraian tentang penalaran di atas, ada implikasi yang hendak
dicapai sebagai target seruan al-Qur’an, yaitu:
1. Al-Qur’an
mentargetkan dalam seruannya untuk mempergunakan akal (al-aql) secara
optimal dalam upaya mengajak orang lain, karena akal merupakan bagian penting
dari manusia, yang dengannya mereka dapat mengetahui dan mengambil keputusan.
Bahkan al-Qur’an memuliakan akal dan mengulang kata ini 49 kali dalam berbagai
surat dan ayat,[66] misalnya Allah mengecam dengan keras (ancaman kehinaan dan kemurkaan
Allah) terhadap orang-orang yang tidak mengfungsikan akal mereka, seperti yang
diungkapkan oleh Allah dalam surat Yunus 100, yaitu:
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تُؤْمِنَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ (يونس :100)
Artinya : Dan
tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah
menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.
Ayat di atas,
berdasarkan penafsiran Rasyid Ridha (w. 1354H/1935M), bahwa seseorang yang akan
beriman kecuali bila sesuai dangan kehendak Allah yang telah digariskan oleh
Sunahnya yaitu dengan berpikir, memikirkan ayat-ayat-Nya, baik ayat-ayat yang
terdapat pada kitab-Nya atau ayat-ayat yang terdapat pada makhluk-Nya. Jika
tidak, maka amat fatal resikonya bagi keimanan seseorang terutama bagi
orang-orang yang tidak mempergunakan akal mereka.
2. Pemakaian kata al-aql secara keseluruhan
ditargetkan oleh al-Qur’an adalah mengacu pada perannya untuk mencegah manusia dari perbuatan destruktif terhadap
dirinya, karena itu al-Qur’an menyerukan untuk menfungsikan akal kepada hal-hal
yang bermanfaat, terpuji dan benar. Disamping itu al-Qur’an juga menunjukkan
tentang penggunaan akal secara tidak terpuji seperti yang dilakukan oleh kaum
Yahudi dan orang munafik, misalnya terdapat pada surat al-Maidah 58.[67]
Persoalan yang
muncul dalam memahami kata hikmah dalam al-Qur’an secara keseluruhan, jelas
akan membawa kontroversi dikalangan ulama dalam Islam, karena akan melahirkan
pertanyaan, apakah hikmah itu materi, atau metode? Jika kata hikmah itu diambil
sebagai materi (pelajaran) yang datang dari Allah, karena disandingkan dengan
dalam banyak ayat dengan kata Injil, Taurat dan al-Kitab, agaknya hikmah dalam
pengertian ini tidak metode, tetapi adalah pesan yang harus disampaikan atau
materi dakwah kepada masyarakat. Nampaknya analisa di atas terpatahkan,
walaupun ada yang perpendapat demikian, karena pada rangkaian ayat kata sebelumnya adalah sabili rabbika.
Mufassir dalam memberi argumentasi kata itu adalah agama Islam. Dengan demikian
adanya kata با (bi) ( harf al-Jar), menunjukan kepada jalan yang
ditempuh atau alat yang terpakai dalam melaksanakan sesuatu. Sehingga kata
hikmah pada surat al-Nahl ayat 125 itu adalah salah satu cara (metode) yang
ditempuh oleh juru dakwah dalam menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat.
Pemahaman hikmah sebagai metode pada ayat ini adalah merupakan jumhur pendapat
mufassir. Oleh karena itu hikmah dari etimologi dan pemakaiannya dalam
al-Qur’an dengan pengertian yang diberikan oleh ahli tafsîr adalah tidak sama
dengan hikmah yang dipahami dalam bahasa Indonesia, dengan arti bijaksana.
Dengan
demikian metode dakwah hikmah adalah suatu metode dakwah praktis yang ditujukan
kepada juru dakwah dalam membawa manusia kepada jalan benar dan harus mereka
ikuti, sekaligus ayat tersebut juga mengajak manusia kepada hakikat murni
dengan terlebih dahulu memperhatikan situasi dan kondisi, iklim serta medan
dakwah. Atas dasar itu maka hikmah berjalan pada metode yang realitas (praktis)
dalam melakukan suatu perbuatan. Artinya memperhatikan realitas yang terjadi
diluar, baik pada tingkat intelektualitas, pemikir, psikologis, sosial, budaya,
politik dalam masyarakat. Semua itu diselaraskan sesuai dengan persoalan yang
mengintarinya. Hal ini relevan dengan ungkapan Ali bin Abi Thalib dalam
menyampaikan ajaran Islam agar berkomunikasilah dengan manusia sesuai dengan
kadar akalnya.
Kata hikmah jika
dikaitkan dengan kata dakwah, akan ditemukan bahwa keduanya merupakan
peringatan penting kepada juru dakwah untuk tidak menggunakan satu bentuk
metode saja dalam berdakwah. Sebaliknya juru dakwah menggunakan berbagai macam
metode sesuai dengan realitas yang dihadapi dan
sikap masyarakat terhadap agama Islam. Sebab jika tidak demikian dakwah
Islam tidak akan berhasil menjadi suatu wujud yang riil jika metode dakwah yang
dipakai untuk menghadapi orang bodoh sama dengan yang dipakai untuk menghadapi
orang terpelajar dan sebaliknya. Sebahagian orang hanya memerlukan iklim dakwah yang penuh
gairah dan berapi-api, sementara yang lain memerlukan iklim dakwah yang sejuk
dan seimbang yang memberikan kesempatan bagi intelek untuk berfikir dan
bagi batin untuk mendapatkan ketenangan. Pada sisi lain diperlukan
mempresentasikan materi dakwah lewat pembahasan yang rinci, sedangkan pada
kesempatan lain diperlukan menyampaikan secara garis besarnya saja, semetara
rinciannya diberikan pada kesempatan mendatang. Keberhasilan Nabi Muhammad Saw.
dalam menyampaikan ajaran Islam, nampaknya karena menjadikan hikmah pada
ayat al-Nahl 125 sebagai metode dalam
penyampaian ajaran Islam untuk membawa orang kepada kebenaran yang sesuai
dengan ketantuan moral Islam yang dipaparkan al-Qur’an al-Karim.
Kesimpulan
Memperhatikan pengartian hikmah yang terdapat
dalam al-Qur’an dari beberapa pendapat ilmuan tafsir di atas, dapat ditarik
suatu kesimpulan antara lain :
1.
Metode dakwah hikmah adalah suatu cara dalam mengajak orang lain kepada
Islam dengan memberdayakan akal, ilmu secara benar dan mendalam melalui
pendekatan filosofis dan rasional ( hikmiyah dan aqliyah) diarahkan
kepada kumunitas pemikir dan intelektual, karena golongan ini cenderung
mempunyai daya tangkap yang cepat, kritis dan wawasan yang luas.
2.
Memberikan materi dakwah dengan argumentasi yang dapat menghilangkan
keraguan dan membawa kepada keyakinan, bersifat induktif, analisis, objektif,
logis, kumunikatif dan komparatif.
3.
Menempatkan dan meletakan audiens
sesuai dengan posisi dan proporsinya.
4.
Ketiga
natijah di atas, bila dilihat dari pengertian hikmah dalam perspektif mufassir
didalam memberikan interprtasi terhadap kata himah dalam al-Qur’an, nampaknya
sangat signifikan dengan makna hikmah sebagai suatu metode dakwah, yaitu
mengajak orang lain kepada Islam melalui ilmu pengetahuan, kecakapan membaca
situasi dan kondisi umat serta kemampuan memilih bahasa yang terpakai dalam
masyarakat, sehingga audiens dapat menerima Islam sebagai suatu kebutuhan dan
rela melaksanakan ajarannya dalam kehidupan.
Metode Dakwah Maw’izhah al-Hasanah
Kata maw’izhah
adalah perubahan kata dari akar kata dasar (w, ‘a, zh); artinya memberi
nasehat, memberi peringatan kepada seseorang yang bisa membawanya taubat kepada Allah Swt. dan
baik perjalanannya.[68] Ibrahim Musthafa, mengemukakan dengan nasehat, peringatan dengan adanya
‘ikab, menyuruh dengan ketaatan dan berwasiat dengannya, baik melalui perkataan
maupun dalam bentuk perbuatan.[69]
‘Abdu al-Rahim
mengemukakan bahwa maw’izhah ialah ; Peringatan yang baik yang dengannya dapat
melembutkan hati, yaitu melunakan hati yang kesat, meneteskan air mata
yang beku dan memperbaiki amal
yang rusak.[70] Pendapat ini sejalan dengan Sayyid Quthb, bahwa metode maw’izhah
al-hasanah adalah dakwah yang mampu meresap kedalam hati dengan halus dan
merasuk kedalam perasaan dengan lemah lembut. Tidak beresikap menghardik, memarahi dan mengancam dalam
hal-hal yang tidak perlu, tidak membuka
aib atas kesalahan-kesalahan audiens, karena mereka melakukan hal
itu disebabkan tidak tahu. Oleh sebab
itu sifat lemah lembut dalam penyampaikan ajaran Islam kepada mereka, pada
umumnya mendatangkan petunjuk bagi hati yang sesat dan menjinakan hati yang benci serta
mendatangkan kebaikan.[71] Sedangkan A. Hasymi, menjelaskan
bahwa maw’izhah al-hasanah adalah pelajaran yang indah yang senang
orang lain mendengarkannya, memasuki sel-sel otak dan
relung-relung hati.[72]
Pendapat di atas
sangat realitas sekali bahwa konsep dakwah maw’izhah al-hasanah tidak tertuju
kepada satu kelompok orang akan tetapi juga berlaku untuk semua golongan
masyarakat. Kenyataan ini menunjukan bahwa pengajaran yang baik bukan
hanya ditandai dengan pemilihan materi dakwah yang menarik
sesuai dengan tingkat kecerdasan audiens, tetapi juga ditandai dengan
tindakan-tindakan atau langkah-langkah yang dapat dijadikan panutan sebagai
tempat berpijak bagi masyarakat.
Kata maw’izhah
dengan segala bentuknya terulang dalam al-Qur’an sebanyak 25 kali[73] dalam berbagai ayat dan surat. Rincian ayat yang berakar dari و,ع,ظ (wau, ‘ain dan zh) dalam al-Qur’an
dalam bentuk maw’izhah terdapat 9 kali, yaitu : surat al-Baqarah : 66,
275(02/87), Ali Imran :138 (03/89), al-Maidah : 46, (5/112), al-’A’raf : 145
(07/30), Yunus 57 (10/51), Hud : 120 (11/52), al-Nahl : 125(16/70) , al-Nur :
34 (24/102).[74] Penejelasan ayat-ayat adalah sebagai berikut:
a. Pemaknaan
maw’izhah pada surat al-Baqarah; 66 adalah mengacu kepada peringatan Allah
terhadap Bani Israil yang telah melanggar perjanjian dengan Allah untuk tidak
keluar pada hari sabtu mencari ikan kelaut, ternyata kaum Bani Israil
melanggarnya. Akibat pelanggaran tersebut, Allah memberi azab kepada orang -orang Israil dengan mengkleim
sebagai kera yang hina. Wahbah al-Zuhaili,
yang dimaksud dengan kera yang hina itu adalah kalimat isti’arah, yaitu sindiran Allah kepada orang yang melanggar aturan
diibaratkan seperti kera, yaitu hati dan pahamnya sama dengan kera,[75] karena tidak mau menerima nasehat dan
peringatan. Bagi Mushthafa al-Maraghi pada ayat ini adalah bukan sebagai
isti’arah, tetapi adalah benar-benar berubah menjadi kera.[76] Pada ayat lain Allah mengumpamakan dengan keledai (al-Jumu’ah; 5).
Karena kepadanya diturunkan al-kitab,
akan tetapi mereka tidak dapat menjadikannya sebagai petunjuk kepada jalan kebenaran.
Berikutnya
maw’izhah pada ayat 275 adalah memberi pelajaran bagi pelaku riba
yang diibaratkan seperti orang yang kemasukan setan, sehingga pada ujung ayat
tersebut Allah mengancam sebagai penghuni neraka. Ungkapan maw’izhah pada
ayat ini menunjukkan bahwa pelaku riba
sama dengan setan gila, yaitu terlalu mencintai harta dan menjadikan harta tersebut sebagai hiasan
hidupnya.
Maw’izhah di sini
sangat erat kaitannya dengan gejala-gejala yang terjadi dalam masyarakat
sebelumnya, maka untuk menjauhi dan upaya meninggalkan praktek riba, al-Qur’an
telah menunjukkan metodenya kepada Nabi Muhammad Saw.. melalui
empat tahapan yaitu:
1. Pada tahap pertama Allah membedakan antara riba dengan zakat. Budaya
orang Yahudi adalah menganggap penambahan harta itu dengan riba. Dalam hal ini
Allah mengisyatakan bahwa yang bertambah itu bukan riba, akan tetapi adalah
zakat.[77]
2. Pada tahap kedua Allah mengindentikan pelaku riba itu dengan orang
Yahudi dan Allah belum melarangnya. [78]
3. Pada
tahap ketiga telah ada isyarat yang bersifat tersirat untuk melarang memakan
harta yang berlipat ganda, kalaupun larangan tersebut belum jelas.[79]
4. Al-Qur’an mengatakan dengan tegas bahwa riba
itu haram hukumnya, haram prosesnya dan Allah menyuruh untuk meninggalkannya,
karena bertentangan dengan cara-cara kehidupan manusia bahkan Allah dan
Rasul-Nya mengancam para pelaku riba untuk diperangi.[80]
Memperhatikan ayat-ayat di atas,
menunjukkan bahwa maw’izhah al-hasanah dapat dilaksanakan bila telah didapati
beberapa indikasi yang justru membawa kepada kerusakan. Jadi metode maw’izhah
memerlukan tahapan-tahapan dan tingkatan-tingkatan sesuai dengan persoalan yang
dihadapi dengan berpedoman kepada
kondisi masyarakat yang mengintarinya.
b. Maw’izhah pada
surat Ali Imran; 138 (3/89), Ayat ini menjelaskan bahwa al-Qur’an adalah
sebagai pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa, yaitu orang yang tidak ada
keraguan (al-Baqarah; 2), meyakininya sebagai hakim, sebagai hudan dan rahmat
dalam segala urusan (Luqman; 2-3). Allah pada ayat memberi peringatan kepada
kaum muslimin untuk berhati-hati kepada kaum munafik, yang mereka ragu tentang
kebenaran yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Hal ini terebukti Abdul bin Jabir
dipercaya oleh Nabi untuk menjaga bukit Uhud, sebagai tempat strategi dan basis
perjuangan umat Islam. Namun ada diantara pasukan yang sengaja memungkiri
janjinya dengan meninggalkan bukit dan turun kebawah, karena ia melihat orang
telah membagi-bagikan harta rampasan perang, maka ia khuatir tidak mendapat
bagian dari harta rampasan tersebut. Maka ia perintahkan kepada anggota
pasukannya untuk meninggalkan bukit, sehingga amanah (kepercayaan) yang
dipercayakan kepadanya ia abaikan, sebagai konsekwensinya membawa kekalahan
dikalangan kaum muslimin. Bahkan dalam peperangan tersebut Nabi sendiri
mengalami luka dan pecah salah satu
giginya. Pada ayat ini Nabi Muhammad Saw. telah terilhami untuk membuat
suatu sistem[81] atau strategi dalam perang, yaitu Ialah suatu perangkat elemen-elemen
yang saling berhubungan di antara satu dengan yang lain, sehingga melahirkan
sesuatu hasil yang ingin dicapai. Dari pemaknaan ini terdapat hubungan yang
erat di antara struktur dengan sistem. Dalam struktur terdapat unsur-unsur yang
saling terkait, maka sistemlah yang mengkoordinasikan sehingga unsur-unsur
tersebut terkoordinir menjadi suatu kesatuan (sistem) tertentu. Dengan kata
lain, sistem terkait dengan aktivitas, sedang struktur terkait dengan unsur.
Keberhasilan sesuatu aktivitas, bagaimanapun baik dan sucinya, sangat
ditentukan oleh sistem yang diterapkan dalam pelaksanaannya.
Dalam hal ini kata
maw’izhah mengandung pemaknaan sistem dan strategi-strategi yang harus
dijadikan pedoman dalam melaksanakan suatu kegiatan. Jika sistem dan strategi
itu tidak diindahkan, maka kehancuranpun akan bermunculan. Dengan demikian
maw’izhah di sini adalah sebagai sistem atau strategi yang terlupakan atau
terabaikan. Ayat ini ada hubungannya dengan ayat 137, bahwa telah terjadi
ketentuan-ketentuan Allah terhadap orang-orang yang mendustakan Rasul
sebelumnya. Sehingga Allah meyuruh untuk memperhatikan alam sebagai pelajaran
dalam kehidupan. Peristiwa ini rupanya juga telah terjadi kepada para Rasul sebelumnya. Misalnya, kaum Bani
Israil mengengkari kejujurannya ketika Musa pergi ke Bukit Tursina selama empat puluh hari, di mana kaumnya menyembah ‘Ijil
sebagai Allahnya. Pada ayat sesudahnya (139) bahwa Allah menunjukkan sebelum
kamu telah berlaku sunnah-sunnah Allah (ketentuan Allah); karena itu
berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang
yang mendustakan (Rasul). Untuk itu pada ayat 139 Allah memberi peringatan agar
jangan bersikap lemah, dan jangan pula bersedih hati, karena kamu adalah
orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang
beriman.
c. Maw’izhah pada
surat al-Maidah; 46, (5/112) Kata maw’izhah pada ayat ini mengambarkan bahwa
kitab Injil dan Taurat adalah pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa.
Ayat 46 di atas berhubungan dengan ayat sebelumnya (45) yaitu Allah telah
menetapkan terhadap kaum Bani Israil di dalam al-Taurat bahwa jiwa (dibalas)
dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga,
gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang
melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa
baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. Sedangkan pada ayat
sesudahnya (47) Allah mengharapkan agar pengikut Injil, memutuskan perkara
sesuai dengan kitab Injil pula. Bagi yang
tidak memutuskan perkara menurut kitab Injil, maka pelakunya itu adalah
orang-orang yang fasik.
d. Maw’izhah pada
surat al-A’raf; 145 (7/39). Ayat ini pelajaran bagi kaum Nabi Musa untuk
berpegang teguh dengan Taurat, yaitu mendahulukan hal-hal yang wajib ketimbang
yang sunat dan mubah. Sekaligus Allah akan memperlihatkan beberapa negeri yang
dihancurkanNya akibat kefasikan para penduduknya. Maw’izhah yang dimaksudkan di
sini adalah meliputi semua yang diwajibkan mentaatinya dan meninggalkan semua
maksiat.[82] Pemahaman ini menunjukkan bahwa maw’izhah tidak satupun yang bersifat negatif atau yang
membawa manusia kepada kemaksiatan.
Jadi jelas bahwa pelajaran yang membawa kepada
kerusakan tidak dapat disebut dengan
maw’izhah, karena setiap perlakuan maksiat Allah telah membuktikan betapa
banyaknya negeri-negeri dan penduduk suatu negeri yang telah dihancurkannya.
e. Maw’izhah pada
surat Yunus;57 (10/51).[83] Ayat ini menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah sebagai pelajaran bagi
orang yang beriman. Maw’izhah yang dimaksudkan pada ayat ini adalah هي الوصية بالحق والخير واجتناب الشر والباطل [84]. Indikasi ini menunjukkan bahwa wasiat adalah salah satu bentuk metode
maw’izhah al-hasanah dalam al-Qur’an, karena prinsip wasiat adalah terhimpun
didalamnya targhib wa al-tarhib,
menetapkan perbuatan baik dan
meninggalkan perbuatan yang keji. Sehingga hubungan ayat ini terkait dengan surat Ali Imran ayat 138 (3/89) هذا بيان للناس وهدى وموعظة للمتقين bahwa al-Qur’an adalah bayan (keterangan), petunjuk dan maw’izhah bagi
orang yang waspada, baik terhadap aturan Allah, manusia dan waspada terhadap
kemungkinan rusaknya alam dan
lingkungan.
f. Maw’izhah pada
surat Hud : 120 (11/52). Ayat ini mengambarkan tentang kisah-kisah dalam
al-Qur’an sebagai pelajaran dalam upaya memperteguh hati orang yang beriman.
Maw’izhah pada ayat ini meninggalkan semua yang menyangkut ketergantungan hidup
hanya untuk dunia dan mengisyaratkan adanya kebahagiaan hidup di akhirat kelak.[85]
g. Maw’izhah pada
surat Al-Nahl; 125 (16/70). Ayat ini mengemukakan bahwa melakukan dakwah adalah
melalui pelajaran yang baik. Maw’izhah pada ayat ini ungkapan yang
bermanfaat dan pembicaraan yang mengesankan yang membawa dampak kepada hati audiens[86]
h. Surat al-Nur :
34 (24/102).[87] Ayat ini mengemukakan bahwa ayat-ayat al-Qur’an adalah sebagai
penerangan dan contoh-contoh dari orang yang terdahulu dan pelajaran bagi orang
yang bertaqwa. Penerangan di sini ialah sesuatu yang dibutuhkan kepada ajaran
agama meliputi hukum, hudud dan etika.
Sedangkan melalui contoh-contoh ialah kisah yang menakjubkan seperti kisah ‘Aisyah, Yusuf dan Maryam. Sehingga
maw’izhah pada ayat ini adalah penjelasan bagi orang yang bertaqwa dan orang yang takut kepada azab Allah.[88] Dengan demikian mau’izah pada ayat ini diartikan
dengan penjelasan yang semakna dengan bayan.
|
Nampaknya
pemakaian kata maw’izhah berkaitan dengan kegiatan memberi pelajaran atau
peringatan kepada orang lain. Pelajaran dan
peringatan yang diberikan tersebut didasari kepada beberapa cara, sesuai
dengan situasi dan kondisi sosial yang dihadapi.
Sedangkan kata
maw’izhah dalam perspektif mufassir adalah terdapat perbedaan pandangan antara
lain: Fakhruddin al-Razi, maw’izhah adalah argumentasi yang dapat menetapkan
keyakinan,[94] dengan petunjuk al-Qur’an. Al-Thabari (w. 310) memberikan definisi
maw’izhah sebagai ungkapan yang indah yang telah dijadikan Allah sebagai hujjah
(argumentasi) dalam kitabnya.[95] Sayyid Qutb mengemukan bahwa maw’izhah adalah nasehat dan pengajaran
yang diberikan kepada masyarakat umum yang bersifat menggembirakan dengan
mengemukan kebaikan-kebaikan ajaran
Islam.[96] al-Qasimi (w. 1332 H/1913 M) menambahkan bahwa kalimat ini berarti
ibarat yang lembut (halus) dan peristiwa yang menakutkan untuk memberi
peringatan akan adanya siksaan Allah nantinya di akhirat yang mesti mereka
terima sesuai dengan perbuatannya.[97] Dengan demikian maw’izhah adalah ibarat yang bisa memberi kepuasan hati
bagi umat yang dihadapi, sehingga nasehat itu bermanfaat bagi yang
bersangkutan.[98] Selain pendapat di atas al-Thaba’thabai mengatakan bahwa maw’izhah
adalah suatu penjelasan (bayan) yang dapat melunakan jiwa dan
melembutkan hati manusia.[99] Sedangkan al-Maraghi dalam tafsirnya mengemukakan pendapatnya bahwa
maw’izhah adalah argementasi yang mudah dicerna oleh orang umum.[100]
Pengertian yang
dikemukakan oleh ilmuan di atas dapat disimpulkan bahwa metode maw’izhah
al-hasanah merupakan cerminan dengan pendekatan intruksional, yang pada
umumnya ditujukan kepada masyarakat awam. Kumunitas ini pada umumnya, baik
tangkapan maupun daya fikirannya masih sangat sederhana, sehingga dakwah yang
diberikan kepadanya dititik beratkan dalam bentuk bahasa yang relevan dengan
kondisinya, bersifat intruksional dan dalam bentuk mengembirakan serta memberi
informasi yang mereka jera melakukannya.
Beberapa
pengertian di atas dapat ditarik dua kesimpulan yaitu: pertama, maw’izhah
al-hasanah dikategorikan sebagai penerangan dan penyiaran ajaran Islam kepada
masyarakat dengan mempergunakan argumentasi yang mudah dan dapat memuaskan
orang umum, dan kedua; mau’izahah al-hasanah dikategorikan sebagai pemberian
bimbingan dan penyuluhan yang berkaitan dengan kepuasan hati dan jiwa, sangat
boleh jadi dengan memberikan pujian dan sanjungan kepadanya, seperti pujian
Nabi Hud As. kepada kaum ‘Ad.[101] Hal ini bertujuan sebagai pencerahan dan pengembangan masyarakat. Bila
kedua kategori ini dikembangkan, maka pemberian penerangan dan penyiaran
tersebut tertuju kepada masyarakat luas tentang ajaran Islam. Dalam hal ini
diperlukan terlebih dahulu mempelajari masyarakat yang dihadapi, tidak
terkecuali misalnya sosiologi dakwah, antropologi dakwah, peta dakwah dan
kultur (peradaban) yang dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan
bermasyarakat. Untuk itu dibutuhkan adanya manajemen sebagai alat mempermudah
menghadapi masyarakat, selain itu dibutuhkan ilmu komunikasi massa, baik
melalui media cetak, maupun media elektronik sebagai media mempercepat jalannya dakwah kepada audiens, sistem dan strategi
dakwah. Sedangkan pemberian bimbingan dan penyuluhan masyarakat, nampaknya
lebih tertuju kepada pribadi-pribadi yang bersifat langsung. Dalam hal ini
dimungkinkan adanya pengembangan dan pencerahan masyarakat melalui pribadi
tersebut. Bila dikompromikan, dapat dipahami bahwa maw’izhah pada satu sisi
sebagai materi dakwah yang disampaikan dengan dalil-dalil atas argumentasi yang
tepat dan dapat memuaskan jiwanya menjadi tenang. Sedangkan pada sisi lain
maw’izhah sebagai metode dakwah yaitu mengajak orang lain untuk memahami ajaran
Islam dengan mempergunakan bahasa yang dapat menyentuh jiwanya melalui nasehat
dan wasiat, tabsyir wa al-tanzir (mengembirakan dan memberikan informasi yang
menakutkan), serta diiringi dengan panutan yang baik (Uswatun hasanah).
Pelaksanaannya dikembangkan dengan penerangan dan penyiaran secara umum atau
kolektif. Sedangkan dengan memberikan bimbingan dan penyuluhan, dilakukan
secara khusus atau individual terhadap
para audiens (penerima dakwah) dengan fase to fase.
Memperhatikan pemaknaan maw’izhah pada
ayat-ayat di atas, maka tekanannya tertuju kepada peringatan yang baik (al-tazkir) dan dapat menyentuh hati
sanubari seseorang, sehingga pada akhirnya audiens terdorong untuk berbuat
baik. Dengan demikian maw’izhah tidak hanya terbatas pada konsep nasehat,
karena nasehat merupakan perintah yang
disampaikan secara tiba-tiba tanpa adanya tanggungjawab secara kontiniu,
sedangkan maw’izah adalah perintah yang disampaikan secara bertahab, berencana
dan bertanggungjawab sampai perintah tersebut
terlaksana dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Karena implementasi
maw’izhah dalam dakwah Islam adalah pemberian dan penyampaian informasi yang
dapat memberikan pengetahuan, sikap
dan keterampilan untuk mengerjakan suatu
kebaikan agar tercapainya kemashlahatan umat untuk mengabdi kepada Allah Swt.
Metode maw’izhah
al-hasanah, sebagaimana ayat-ayat yang terkait dengannya, menunjukkan suatu
cara yang di ajarkan Allah kepada Nabi-Nya untuk mengajak orang lain kepada
Islam dengan tahapan dan perencanaan yang jelas. Karena bukanlah suatu metode,
jika sesuatu itu dikerjakan bukan melalui tahapan dan perencanaan yang jelas.
Hal ini terlihat pada ayat-ayat al-Qur’an, misalnya bahwa bila ditemukan kata-kata yang bersumber dari
akar kata w, ain dan zha,
(و, ع, ظ) dalam
al-Qur’an, maka pelaksanaannya mempunyai tahapan-tahapan. Misalnya;
1.
Dilihat dari ancaman-ancaman yang diinformasikan terhadap pelakunya
seperti kera (QS. al-Baqarah; 66)
2.
Dilihat dari gejala-gejala negatif yang ditimbulkan, seperti pelaku riba
( QS al-Baqarah; 275)
3.
Dilihat dari cara melaksanakannya, misalnya pelaku kisas (QS. al-Maidah;
46)
4.
Dilihat dari segi prioritas melaksanakannya, yaitu mendahulukan yang
terpenting dari yang penting (QS. al-A’raf; 145)
5.
Dilihat dari segi kehati-hatian dalam memberikan materi, seperti
melalui targhib wa al-tarhib (QS. Yunus;
57)
6.
Dilihat dari keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat (QS. Hud;
120)
7.
Dilihat dari segi bahasa yang dipakai (QS. al-Nahl; 125)
8.
Dilihat dari segi penjelas (bayan) (QS.
al-Nur; 34)
9.
Dilihat dari segi kondisi sosial yang mengintari seperti cara menghadapi orang kafir dan munafik (QS.
al-Nisa’;63)
Memperhatikan
pengertian di atas setidaknya dapat ditemukan dua bentuk, Pertama mauizhah
sebagai materi dakwah, kedua sebagai metode dakwah. Alasan pertama bahwa
maw’izhah lebih dekat sebagai dalil, pelajaran yang berkaitan dengan kepuasan hati dan jiwa. Kalau dikomromikan,
dapat disimpulkan sebagai pelajaran yang
disampaikan dengan dalil-dalil yang tepat, sehingga dapat memuaskan orang yang dihadapi sampai menjadi tenang. Alasan kedua
jika mau’izahah sebagai metode dakwah, adalah suatu metode dengan menggunakan
ungkapan yang indah dengan penjelasan yang dapat menembus jiwa dan melembutkan
hati disertai argumentasi yang tepat, sehingga objek dakwah menjadi puas
menerima pelajaran yang diberikan. Bahkan yang paling menarik adalah pendapat
al-Razi dan al-Maraghi mempergunakan argumentasi yang mudah sehingga dapat
mengantarkan kepada keyakinan.
Memperhatikan pendapat di atas cakupan makna yang terkandung dari
kalimat maw’izhah meliputi: memberikan argumentasi dengan gaya bahasa yang
relevan dengan latar belakang keadaan umat, yaitu audiens dihadapi dengan
argumentasi yang dapat menghantarnya kepada ajaran Islam dengan memakai bahasa
lemah lembut, lugas, sejuk dan mudah merasuk kedalam jiwanya. Lebih jauh ketika
kata maw’izhah diungkap, maka makna yang terkandung didalam adalah memberi
nasehat dan wasiat dengan kebaikan, sehingga dapat melembutkan hati dan
mendorong untuk beramal. Pemberian nasehat adalah merupakan penjelasan mengenai
kebenaran dan kepentingan sesuatu dengan tujuan agar orang yang dinasehati menjauhi kemaksiatan sehingga terarah kepada
sesuatu yang dapat mewujudkan kebahagiaan dan kemenangan. Nasehat dapat
menggugah berbagai perasaan, afeksi, dan emosi yang mendorong seseorang
melakukan amal shaleh dan segera menuju
ketaatan kepada Allah Swt.
Nasehat dapat terjadi melalui berbagai sarana antara lain; melalui kematian,
musibah, bencana alam, melalui sakit, melalui peringatan-peringatan lain dan
sebagainya.
Terma maw’izhah dalam bentuk nasehat adalah membangkitkan perasaan
ke-Tuhanan yang dikembangkan dalam jiwa objek dakwah, sehingga menimbulkan rasa
takut dan ketundukan kepada Allahnya. Selain itu membangkitkan keteguhan hati
agar senantiasa berpegang kepada pemikiran yang sehat, membangkitkan rasa persatuan untuk berpegang kepada kesatuan
jama’ah. Bahkan tidak kalah penting adalah nasehat itu penyucian
dan pembersihan diri yang
merupakan salah satu tujuan utama dalam dakwah Islam.
Namun bagaimana
juapun baiknya nasehat tanpa diiringi dengan uswatun hasanah (keteladanan), maka materi dakwah yang
diberikan kepada audiens akan tetap sia-sia. Keteladanan merupakan bentuk
penerapan metode dakwah maw’izhah al-hasanah dengan nasehat yang paling potensial, bahkan paling besar pengaruhnya
bagi manusia untuk menarik manusia kepada kebaikan dan kebenaran. Karena bentuk
ini lansung menyentuh hati dan perasaan objek dakwah ketika seseorang menyaksikan
praktek nyata yang dilakukan juru dakwah. Bahkan keteladanan dapat
mengubah pandangan dakwah dari teori
kepada realita yang dapat disaksikan dan dirasakan dari perkataan kepada
pelaksanaan. Sekaligus dalam waktu yang sama, keteladanan merupakan dakwah yang
efektif dalam masyarakat. Karena apa yang disampaikan dapat dipraktekan secara nyata.
|
Bentuk metode maw’izhah al-hasanah yang diaplikasikan dalam bentuk
nasehat dikembangkan melalui wasiat. Ada dua bentuk wasiat, pertama
sebagai salah satu terma
hukum Islam yang mendapat perhatian
serius para ulama yang ditemui dalam buku-buku fiqh. Secara terminologi
wasiat adalah satu praktek pemberian cuma-cuma yang realisasinya baru berlaku
setelah wafat yang berwasiat. Sejalan
dengan itu dapat
ditemui dalam sunnah Rasulullah Saw. dalam sebuah
hadis qudsy menceritakan firman Allah,
bahwa ada dua hal yang diberikan kepada umat Muhammad yang tidak diberikan umat
sebelumnya.
a.
Allah menentukan sebahagian dari harta
seseorang khusus untuk seseorang itu
ketika ia akan wafat (dengan jalan wasiat) untuk membersihkan dirinya (dari dosa)
dan
b.
b. Sebagai do’a seorang
hamba buat seseorang
yang telah wafat (H.R. Abdullah
bin Juneid dalam musnadnya).
Kedua cara yang dilakukan dalam
proses memberikan perubahan secara terus menerus dalam bentuk pelajaran memakai media lisan
yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.[103] Pengertian ini menunjukan bahwa
wasiat termasuk bagian dari maw’izhah, sehingga hal ini membuktikan secara tegas bahwa wasiat suatu
kegiatan dakwah yang dapat membersihkan diri dari dosa, sekaligus dapat
memotivasi orang lain dalam upaya membersihkan hartanya, dengan tujuan
memberikan kelapangan ekonomi kepada saudara-saudaranya yang sedang membutuhkan
atau untuk kepentingan umum yang
diredhai oleh Allah Swt.
Begitu juga maw’izhah ditempuh dalam bentuk memberikan informasi
kebaikan dan informasi keburukan (tabsyir wa al-tanzir), yaitu dengan
memberikan khabar gembira disertakan dengan memberikan bujukan dan rayuan yang
indah bahwa jika seseorang yang shaleh dan taat kepada azas kebaikan, maka ia
akan mendapat tempat yang baik di akhir kehidupannya. Sebaliknya merupakan ancaman atau intimidasi
melalui hukuman yang disebabkan oleh terlaksananya sebuah kesalahan, sehingga
akan mendapatkan ancaman dari akibat perbuatannya nanti di ujung kehidupannya. Kedua bentuk ini bertujuan
memberikan dorongan kepada objek dakwah
agar selalu melakukan kebaikan dan
selalau meninggalkan kejelekan. Atau memberikan peringatan kepada seseorang untuk tidak melakukan
kesalahan dan kemaksiatan dalam
kesehariannya.
Setelah
memperhatikan ayat-ayat dan penafsiran dikalangan ilmuan, dengan pertimbangan asbab al-nuzul ayat dan
makna yang dicakupinya, dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa metode dakwah maw’izhah
al-hasanah, meliputi :
a.
Berargumentasi dengan bahasa umat yang dihadapi,
b.
Memberi nasehat dan wasiat secara bertahab dan berencana, dan
c.
|
Terma di atas
merupakan bentuk-bentuk metode dakwah maw’izhah al-hasanah yang
diungkapkan oleh al-Qur’an kepada Nabi Muhammad Saw.. Kajian ini akan
dijelaskan pada fasal berikutnya.
Metode Mujadalah al-Lati Hiya Ahsan
Secara etimologi
kata mujadalah berasal dari akar kata ج, د, ل (j, d,
l) artinya membantah. Jâdala (جادل) artinya berbantah-bantah,
berdebat, bermusuh-musuhan, bertengkar. Kalau
dibaca jadala (جدل) artinya memintal, memilin.[104] Atau dapat juga dikatakan berhadapan dalil dengan dalil, sedangkan mujadalah diartikan dengan
berbantah-bantahan dan memperundingkan, atau perundingan yang ditempuh melalui
perdebatan dan pertandingan.[105] Atau Penyimpangan dalam berdiskusi dan
kemampuan mempertahankannya.[106]
Sedangkan menurut
istilah terdapat beberapa pendapat dikalangan ulama antara lain; menurut Ibnu
Sina (980-1037M) sebagai dikutip oleh Zâhiri ibn ‘Iwâd al-Alama’î, jidal ialah bertukar fikiran dengan cara bersaing dan berlomba untuk
mengalahkan lawan bicara. Sedangkan menurut al-Jurjani jidal ialah
mengokokohkan pendapatnya masing-masing dan berusaha menjatuhkan lawan bicara
dari pendirian yang dipeganginya.[107] Sementara Abû al-Biqâi mengemukakan bahwa jidal adalah :
عبارة عن مراء يتعلق باظهار المذاهب وتقريرها.[108] Walaupun Dzâhiri sendiri mengutip beberapa pendapat ulama, maka iapun memunculkan
definisinya sendiri yaitu: Diskusi yang dilandasi kepada argumentasi yang
berbeda dengan mempergunakan dalil yang
utuh. Sedangkan Abi al-Biqai dalam Muhammad Abu al-Fatah al-Bayanuni, adalah
ungkapan dalam penolakan kepada seseorang
dengan cara membantahnya karena rusaknya perkataan dengan suatu hujjah.[109]
Memperhatikan pengertian
di atas, maka ditemukan dua bentuk jidal, yaitu jidal yang terpuji dan yang tercela. Adapun jidal yang
bertujuan untuk menegakan dan membela
kebenaran, dilakukan dengan ushlub yang
benar dan relevan dengan masalah yang
dijadikan pokok bahasan. Sedangkan sebaliknya adalah suatu yang membawa kepada kebatilan, maka jidal
seperti itu adalah tercela. Berhubungan adanya jidal yang tercela,
maka al-Qur’an mengatur jidal tersebut
dengan cara yang lebih baik sejalan
dengan pendekatan dakwah yang ditetapkan oleh nash. Karena cara ini
merupakan pendekatan metode akal yang paling konkrit dan diekspresikan dalam
bentuk diskusi, perbandingan, percakapan dan istilah lain yang menunjukan
kepada makna tersebut berdasarkan
tempatnya.[110]
Sedangkan dalam
memahami kata mujadalah dalam surat al-Nahl 125 adalah dengan arti
berbantah-bantahan, sebab jika diambil arti bermusuh-musuhan, bertengkar,
memintal dan memilin, tampaknya tidak memenuhi apa yang dimaksud oleh ayat
tersebut secara keseluruhan. Agaknya bila diambil dari kata mujadalah tesebut,
secara lugas, untuk memahami dakwah, maka pengertiannya akan menjadi negatif,
akan tetapi setelah dirangkaikan dengan kata hasanah (baik), maka
artinya menjadi positif. Dalam hal ini Muhammad Khair Ramadhan Yusuf
mengemukakan bahwa mujadalah al-lati
hiya ahsan ialah : Ungkapan dari suatu perdebatan antara dua sudut pandangan
yang bertentangan untuk menyampaikan kepada kebenaran yang kebenaran tersebut
bertujuan membawa kepada jalan Allah Swt.[111]
Akar kata ج, د, ل (j,
d, l) dalam al-Qur’an ditemukan sebanyak 29 kali[112] dalam berbagai bentuk dan
tersebar dalam 15 surat, yaitu surat Makkah sebanyak 10 surat dan Madaniyah 5 surat.[113] Jidal yang berkaitan dengan bahasan ini ternyata didapati 10 kali
berada pada surat Makkiyah dan 5 kali pada surat Madaniyah. Indikasi ini
menunjukan bahwa metode dakwah mujadalah lebih banyak dipergunakan bagi
masyarakat Makkah. Karena sesuai dengan situasi dan kondisi yang mengintarinya,
di mana masyarakatnya sangat radikal dengan persoalan akidah, (kemahaesaan
Allah) meliputi tentang ke-Esaan Allah Swt. penetapan kerasulan, hari
kebangkitan dan pembalasan hari akhirat dengan segala keadaannya, neraka dengan
segala siksaan azabnya, surga dengan segala nikmatnya dan bantahan orang-orang
kafir dengan dalil akal dan melalui tanda-tanda kekuasaan Allah yang terdapat
pada alam. Selain persoalan akidah
sekaligus meletakan dasar-dasar syari’at
secara umum, budi pekerti yang mulia sebagai dasar pembinaan masyarakat,
kebiasaan-kebiasaan yang jelek dari
orang orang musyrik, seperti pertumpahan darah, memakan harta anak yatim secara
zalim, membunuh anak dan lain sebagainya.[114] Sedangkan pada surat Madaniyah ayat-ayatnya lebih banyak mempersoalkan
aspek ibadah, mu’amalah, hukum, aturan keluarga, warisan, keutamaan jihad,
shalat jama’ah, masalah politik dan perang, damai serta persoalan
kemasyarakatan.[115]
Memperhatikan
kondisi sosial masyarakat di atas sejalan dengan tingkat perkembangan dan
kemajuan manusia bahwa ada dua bentuk mujadalah, yaitu mujadalah al-su’i
dan mujadalah ahsan. Mujadalah ahsan agaknya dapat diterjemahkan dengan berdiskusi dengan
baik untuk menemukan kebenaran, melalui tukar fikiran, atau dalam bahasa
komunikasi disebut dengan komunikasi dua arah (two way comunication)
yaitu terjadi dua komunikasi antara komunikator dengan komunikan.
Pada kajian ini
tidak semua akar jadala yang menjadi sorotan, akan tetapi terdapat delapan ayat
yang erat hubungannya dengan masalah yang dibahas, yaitu:
a. Surat al-Nisa’
107. Ayat ini menunjukkan etika mujadalah dengan orang-orang yang berkhianat kepada
Islam, karena tujuan mereka bermujadalah adalah untuk kepentingan hidup dunia
semata, bukan untuk mencari kebenaran, sebab jiwanya akan tetap mengingkari kebenaran Islam dan membecinya.[116] Maka dalam hal ini Allah melarang melayaninya.
Untuk itu debat mewujudkan tiga hal pokok, yaitu : (1) Memperbaiki sasaran dan tujuan dakwah, yaitu memberikan bayan kepadanya, (2) Memperbaiki pendekatan dan
bentuk dakwah, (3) Memperbaiki hasil
dakwah yang belum berhasil.
|
Para mufassir
dalam memahami surat al-Nahl 125 mempunyai pendapat yang sama, walaupun dalam
redaksi yang berbeda, yaitu bantahan yang
membawa kepada petunjuk dan kebenaran. Artinya melakukan dakwah dengan
debat terbuka (transparan), sehingga sanggahan atas tanggapan para audiens
dapat diterimanya dengan senang hati, tanpa menimbulkan kesan yang tidak baik
bagi mereka kepada juru da’i. Bila terdapat tanggapan balik dari mereka, maka
jawabannya harus dengan argumentasi yang logis dan jelas, sehingga antara kedua
yang sedang bermujadalah sampai pada suatu kebenaran, tanpa menimbulkan
kebencian dan permusuhan. Dengan kalimat jadilhum bi al-lati hiya ahsan
dapat diartikan dengan bertukar fikiran dengan baik, ilmiah, rasional, objektif
dan menghindari sikap emosional sehingga pada mulanya mereka menentang ajaran
Islam, kembali kepada jalan yang benar[117] dan menerima dakwah yang disampaikan kepadanya.
c. al-Mujadalah; 1
(58/105), adalah antara suami isteri yaitu Khuwailah binti Tsa’labah bin
Malik al-Khuzurijiah dengan suaminya
Aus bin Shamit Akhi ‘Ubadah yang telah menzihar dirinya, lalu wanita
tersebut mengadukan persoalannya kepada Rasulullah Saw. agar dapat memberikan
putusan yang adil dalam persoalan tersebut. Pemahaman jadal di sini adalah
meminta adanya penyelesaian secara tuntas, sehingga antara kedua suami isteri
terdapat kedamaian dalam kehidupannya. Indikasi ini menunjukkan bahwa jidal adalah
proses untuk menemukan kebenaran bukan melahirkan pertengkaran.
|
ما يود الذين
كفروا من اهل الكتاب و لا المشركين ان ينزل عليكم
من خيرمن ربكم
Maka untuk itu
kepada mereka hendaklah berlaku dengan berlaku baik, lemah lembut dan merasa
dekat kepadanya serta tinggalkan penindasan, kebencian dan jangan sampai
berlarut-larut, kecuali bila mana mereka menghendakinya.[122]
e. al-Hajj; 8
(22/103) Mujadalah pada ayat ini mencerminkan di antara manusia ada orang-orang
yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, yaitu sebahagian
mereka menjadikan mujadalah itu sebagai suatu yang dianjurkan Allah sesuai
dengan sifat dan perbuatan, sebahagian lain bermujadalah tanpa
mengikuti argumentasi dan keterangan
bahkan tidak mengetahui apa yang ia katakan, seperti Allah tidak berkuasa untuk
menghidupkan, Allah mempunyai anak dan al-Qur’an adalah sebagai senandungan
orang purbakala dan lain sebagainya.[123]Mujadalah yang mereka
lakukan tanpa petunjuk dan tanpa
kitab (wahyu) yang bercahaya, akan tetapi ia mengikuti keinginan setan dan
hawanya.
f. Luqman; 20 (31/57) Mujadalah di sini adalah bantahan
tentang kemahakuasaan Allah terutama
yang menyangkut dengan kajadian manusia dan hewan, sehingga ia bermujadalah
tentang keesaan Allah, sifat
dan eksistensi para Rasul tanpa dilandasi kepada pemikiran yang
rasional.[124] Bahkan dialog mereka tentang masalah keAllahan adalah taqlid buta
dengan mengikuti nenek moyangnya yang tidak mengetahui sesuatu apapun dan tidak
pula mendapat petunjuk,[125]lebih jauh sikap mereka dalam berdiskusi mengikuti langkah-langkah
setan.[126] Salah satu dari sikap setan adalah membawa kepada neraka jahannam,
sementara Allah kepada kesuksesan pahala
dan kebahagiaan.
g. al-Ghaffir; 35
dan 56 (40/60), yaitu; Mujadalah di sini tertuju kepada orang yang
memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka, yaitu
mereka melampaui batas, tanpa argumen yang valid dan keterangan yang jelas serta menghancurkan kebenaran dengan
kebatilan,[127] sehingga Allah mengancam mereka dengan kemurkaan yang amat besar dan
mengunci hati mereka, karena
kesombongannya. Sedangkan pada ayat 56, menjelaskan bahwa mujadalah dikalangan
orang yang tidak sampai kepadanya
ayat-ayat Allah, maka mereka akan
berdiskusi tanpa mendasari kepada argumentasi yang jelas dan wahyu, mereka
menonjolkan kesombongannya tentang kebenaran. Hal itu dilakukan dengan tujuan
membatalkan ayat-ayat Allah, menebarkan syubhat pada masyarakat
seputarnya. Untuk itu Allah memberi isyarat agar berlindung kepada Allah dari
kejahatan orang kafir dan meminta pertolongan kepada Allah melalui kekuatannya.[128]
Setelah memperhatikan
ayat-ayat di atas, maka mujadalah yang dimaksudkan al-Qur’an adalah jadal
didasari kepada burhan (argumentasi yang valid), dalil yang kompleksitas
dan dapat memberikan petunjuk terhadap orang kafir serta dapat membawa ia
kembali kepada semua maqasyid al-syar’iyah dan furu’nya.[129] Dengan demikian aspek mujadalah
yang tercakup dalam al-Qur’an tersebut meliputi tiga bentuk, yaitu :[130]
1.
Mujadalah yang dapat membawa tukar fikiran dengan mempergunakan
argumentasi yang valid untuk dapat menetapkan keyakinan, hukum agama
sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh para
Rasul dan Nabi didasari kepada
wahyu dengan komunikasi yang benar dan menghindari terjadinya miskomunikasi.
2.
Mujadalah dengan pendekatan hiwar (muhawarah), yaitu mendiskusikan
persoalan tersebut dengan cara yang baik melalui diskusi dan pembahasan yang yang tuntas, sehingga way outnya tegas
dan jelas. Sebagaimana isyarat surat
al-Mujadalah.[131]
3.
Mujadalah yang muncul dari tipologi orang kafir yang mereka berdiskusi
dengan cara tidak benar untuk mengalahkan kebenaran. Seperti isyarat Allah pada surat Ghafir (al-Mukmin).[132]
Dengan demikian
mengenai mujadalah yang terdapat pada surat al-Nahl 125, nampaknya para
mufassir mengeluarkan pendapat yang sama, yaitu berbantah-bantahan yang tidak
membawa kepada pertikaian, kebencian, akan tetapi membawa kepada kebenaran.
Artinya, dalam bahasa dakwah, dapat dikatakan dakwah dengan cara debat terbuka. Seorang juru
dakwah apabila dibantah tentang suatu pesan yang disampaikannya, ia harus
memberikan sanggahan (jawaban) terhadap bantahan tersebut, bila masih dapat
sanggahan lagi dari jawaban yang ia berikan, ia harus kembali memberikan
jawaban dengan argumentasi yang lebih jelas, sehingga sampai pada suatu
kebenaran. Bahkan jawaban yang diberikan
dapat memuaskan orang umum.[133] Perdebatan tersebut harus berlansung dengan baik bahkan terbaik, tidak
menimbulkan kebencian dan permusuhan. Untuk itu metode mujadalah ahsan
melahirkan kesan yang hormanis dan fikiran seseorang rasa dihormati, penuh
keakraban dan kenyamanan. Ketika terjadi perdebatan gensi pribadi tidak menjadi
kendala pelik dalam menempuh jalan menuju kebenaran. Dalam iklim demikian,
tidak seorangpun merasa tertekan. Bahkan ia merasa dihargai dan dimuliakan,
namun lawan debatnya dapat menerima apa yang
disampaikan, tanpa merasa kalah
atau hina.[134] Sehingga akhirnya jadilhum bi al-lati hia ahsan dapat diartikan
dengan bertukar fikiran dengan baik, pada mulanya mereka menentang, tapi
bisa membuat mereka menjadi puas hati dan menerima dakwah (Islam) yang
disampaikan kepadanya.
Metode mujadalah
ini pada prinsip diutamakan kepada objek
dakwah yang mempunyai tipologi antara menerima dan menolak materi dakwah
(Islam) yang disampaikan kepada mereka. Pada mereka yang semacam ini mujadalah memainkan peranannya, sehingga ia (
objek dakwah ) dapat menerima dengan perasaan mantap dan puas. Maka metode ini
memberi isyarat kepada juru dakwah untuk menambah wawasan dalam segala aspek,
sehingga pada akhirnya dapat memberikan jawaban/ bantahan kepada objek dakwah
secara benar dan baik serta menyenangkan perasaan mereka.
Berdasarkan
analisa di atas debat salah satu metode
dakwah, yaitu debat yang baik, adu argumentasi dan tidak tegang serta
memojokkan sampai terjadi pertengkaran. Memang berdebat pada umumnya adalah
mencari kemenangan dan bukan mencari kebenaran, sehingga tidak jarang terjadi
munculnya permusuhan. Maka debat sebagai metode dakwah pada dasarnya mencari
kebenaran dan kehebatan Islam. Kecuali itu, berdebat efektif dilakukan hanya
kepada orang-orang yang membantah akan
kebenaran Islam. Sedangkan objek dakwah yang masih kurang percaya atau kurang mantap terhadap
kebenaran Islam (tidak membantah) belum diperlukan metode debat sebagai metode
dakwah. Berbeda dengan sesama ulama (intelaktual) berdebat adalah rahmat. Sedangkan
dilakalangan masyarakat awan hanyalah akan menimbulkan pertengkaran dan
permusuhan.
Bentuk metode mujadalah
al-lati hiya ahsan ini meliputi kepada dua bagian, yaitu; Pertama al-Asilah
wa al-Ajwibah (tanya jawab). Kedua al-hiwar. Bentuk al-asilah ajwibah dimaksudkan di
sini adalah suatu bentuk metode dakwah Mujadalah
bi al-lati Hiya Ahsan yang dipergunakan dalam bentuk memberi jawaban
terhadap berbagai pertanyaan yang di ajukan oleh umat Islam yang belum atau
mereka dapati atau belum mereka ketahui secara pasti hakikat atau
penjelasannya. Dengan kata lain metode
ini berbentuk tanya
jawab, yaitu saling tukar pikiran antara sasaran dakwah dan pelaksana
dakwah.[135] Metode ini adalah berhadapan seseorang atau kelompok yang pandai dengan orang pandai lainnya.
Bentuk metode ini menyatakan hal-hal yang belum diketahui sebelumnya oleh lawan
pembicaraannya kepada orang yang dianggap mengetahui dan sekaligus bisa
memberikan jawaban-jawaban memuaskan hatinya, sedangkan diskusi berbentuk tukar
pikiran antara objek dakwah dengan subjek dakwah yang keduanya sudah sama-sama
mengetahui materi yang didiskusikan.
Bentuk metode ini
muncul pada masa Rasulullah, di mana para shahabat banyak yang bertanya kepada
Nabi tentang berbagai masalah yang mereka hadapi, dengan harapan para shabahat
dapat menerima jawaban dari Nabi. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari
kalangan shahabat itu adalah pertanyaan yang benar-benar mereka tidak
mengetahui sama sekali, baik dalam hukum, maupun pelaksanaannya. Masalah yang
muncul itu dijawab dan diselesaikan oleh al-Qur’an secara transparan kepada
Nabi Saw. Jawaban itu adakalanya dijawab dengan wahyu dan adakalanya dengan
hadis, ataupun jawaban itu dijawab melalui
sikap dan tindak tanduk nabi sendiri.
Selanjutnya metode
dakwah mujadalah al-lati hiya ahsan dalam bentuk al-hiwar
(dialog). Kata Hiwâr (الحوار) berasal dari bahasa Arab dari akar kata ح, و, ر (h,
w, r, yuhawiru, muhawaratan) yang berarti perdebatan yang memerlukan
jawabannya[136] atau tanya jawab pada satu objek tertentu yang mendekati kepada
munaqasah dan mubahastah terhadap suatu persoalan dan pristiwa yang terjadi.[137] Selanjutnya Muhammad Khair mengemukakan bahwa hiwar ialah : Seni atau
metode dari beberapa metode moderen dengan mempergunakan fikiran atau beberapa
objek dalam upaya menyampaikan kepada suatu kesimpulan.[138]
Di dalam al-Qur’an persoalan-persoalan yang muncul pada Nabi adalah tanya jawab yang
terjadi dikalangan umat, dimana pada ketika itu segaligus ada solusinya dari
Allah Swt. sehingga para penanya lansung
menerima keputusan atau jawaban pada saat terjadinya suatu persoalan
waktu itu.
Memperhatikan
ketiga metode yang dikemukakan di atas, (hikmah, maw’izhah al-hasanah dan
mujadalah al-lati hiya ahsan) nampaknya hampir semua buku-buku dakwah
menyorotinya pada dataran konsep atau sebagai doktrin normatif yang berasal
dari al-Qur’an. Hal ini paling tidak terlihat pada metode hikmah dan mauizhah
al-hasanah. Misalnya hikmah adalah suatu metode dalam menyampaikan dakwah lewat
ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya. Pada umumnya penulis
ilmu dakwah lainnya hanya melihat sisi doktrin normatif saja pada ayat-ayat
al-Qur’an, sehingga terlihat dengan jelas pembicaraan seputar dataran konsep.
Padahal sebuah metode selain berbicara teori sekaligus sebenarnya metode itu
sesuatu yang bersifat aplikatif. Artinya sesuatu yang dapat diterapkan dalam
pelaksanaan dakwah. Begitu juga tentang metode mauizhah seolah-olah hanya juga
pada tataran konsep dan normatif. Sebenarnya kedua metode di atas pada sisi lain adalah sebagai
dogmatis, sedangkan pada sisi lain keduanya adalah sebagai aplikatif yang
pernah diterapkan (direalisasikan) oleh Nabi Muhammad Saw melalui petunjuk
al-Qur’an kepadanya. Sebab tidak sesuatupun yang dilakukan oleh Nabi itu,
terkecuali adalah berdasarkan pertunjuk Allah. Jika memang ada pendapat yang
mengatakan bahwa kedua metode di atas hanya pada tataran konsep, agaknya ada
benarnya, karena mereka hanya melihatnya sebagai materi dakwah, bukan sebagai
metode dakwah.
Demikian juga
halnya dengan metode mujadalah al-lati hiya ahsan, tidak hanya berbicara
sebatas konsep, namun al-Qur’an telah mengaplikasikannya melalui petunjuk
al-Qur’an dalam melaksanakan dakwah Islam. Sebab mujadalah hasanah itu dipahami
dengan bertukar fikiran atau berdiskusi
dengan baik, maka mujadalah telah bersifat aplikatif (diterapkan) sebagai juga dua metode
sebelumnya ( hikmah dan mauizhah al- hasnah ) dan telah
dipraktekkan oleh nabi Muhammad Saw dalam mengembangkan ajaran Islam kepada
umat manusia. Namun dapat dibedakan
bahwa (hikmah dan maw’izhah
al-hasanah), kalau metode hikmah lebih menekankan kepada
kemampuan fikiran dan ketajaman
rasionalitas (intelektualitas) penerima dakwah, sedangkan metode mau’izah menekankan
kepada ketepatan pesan yang disampaikan. Akan tetapi berbeda halnya dengan
metode ketiga, mujadalat hasanah, seandainya mujadalah hasanah
itu dipahami dengan bertukar pikiran atau berdiskusi dengan baik, maka ia
memang sudah bersifat aplikatif dan bisa diterapkan. Nurcholish Madjid, dalam
salah satu tulisannya dalam Tabloid Tekad dengan mengutip pendapat Ibn
Rusyd --, mengemukakan dakwah dengan hikmah artinya dakwah dengan pendekatan
substansi yang mengarah kepada falsafah, dengan nasehat yang baik, yang
berarti retorika efektif dan populer, dan dengan mujadalah yang lebih
baik maksudnya metode dialektis yang
unggul.[139]
Indikasi ini menunjukan bahwa metode dakwah
pada surat al-Nahl 125, telah diaplikasikan oleh Rasulullah dalam mengajak
manusia kepada Islam dalam berbagai bentuk. Bentuk dari masing-masing metode
itu merupakan bagian yang tak terpisahkan satu sama lainnya.
[2]Muhammad
Abû Zahrah, al-Da'wah ila al-Islâm, ttp. Dâr al-Fikr al-'Arabî, tt. h. 33-4 dan 129.
[3]Pendapat
ini didasari kepada pemikiran para mufassir dalam memahami kalimat امة
ولتكن منكم pada surat Ali Imran:
104 yang menyatakan bahwa kalimat min
pada minkum menunjukan makna li
al-bayân
(penjelasan), bukan bermakna li
al-tab’îdh,
sedangkan kata ummat diartikan dengan al-jama’ah (seluruh
manusia). Sehingga konsekwensi melaksanakan
dakwah adalah bagi semua muslim. Muhammad Abû al-Fatah
al-Bayânûnî,
al-Madkhal Ilâ
‘Ilm al-Dakwah, Muassasah al-Risâlah,
Beirut, 1991, h. 31, Muhammad Rasyîd
Ridhâ,
Tafsîr
al-Qur’ân
al-Hakîm
(disebut Tafsîr al-Manar) Dâr
al-Ma’rifat, Beirut, tt. Juz. IV, h.26-7
[4]Pendapat
ini juga didasari kepada pemahaman ayat 104 surat
Ali Imran bahwa kalimat minkum menunjukan makna li
al-tab’id (sebahagian), sedangkan kata ummat berarti thaifah
(golongan), sehingga yang berhak
melaksanakan dakwah adalah
kelompok tertentu.
[5]Amrullah
Ahmad, (Ed.), Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, Prima Duta, Yogyakarta,
1983, h. 2; M. Syafa'at Habib, Buku Pedoman Dakwah, Widjaya, Jakarta
1982, h. 54; dan lihat Abu Zahrah, op.cit., h. 125. Lihat Muhammad Abû al-Fatah al-Bayânûnî,
op.cit. h. 194-240
[6]QS. al-Syu'ara' 214-2216 (26/47). Amin Sa'd, Nasy'ah
al-Daulah al-Islamiyyah, 'Isa al-Babi al-Halabi, Kairo, tt. h. 5-7; Hasan
Ibrahim Hasan, Tarîkh al-Islâm al-Siyasî, Maktabah al-Nahdhah
al-Mishriyyah, Kairo, 1948, h. 70; lihat, Sir Thomas W. Arnold, The
Preaching of Islam, Terj. Hasan Ibrahim Hasan, dkk., dengan judul al-Da'wah
ila al-Islâm, Maktabah al-Nahdhah
al-Mishriyyah, Kairo, 1970, h. 35-36; Abu 'Abd. Allah Muhammad bin Ishaq bin
Yasar al-Muththalibi dan Abu Muhammad 'Abd. al-Malik bin Hisyam bin Ayyub
al-Humairi, Sirat al-Nabi Saw., telah ditahqiq Dari aslinya oleh
Muhammad Muhy al-Din 'Abd. Hamid,
Maktabat Muhammad 'Ali Shubaih, Mesir, tt. jilid I, h. 158-164.
[7]QS. al-Hijr (15-54): 94; dan juga Arnold, op.cit.,
h. 37-38.
[8]QS. al-Hujarat (49/106): 10. Sebagai langkah
pertama, Nabi mempersaudarakan kaum Anshar dan Muhajirin yang
berbeda suku dan adat istiadat, yang menurut ukuran masa itu sangat sulit untuk
dipersatukan.
[9]Abi 'Abd. Allâh Muhammad bin Isma'îl bin Ibrahîm
Ibn. al-Mughîrah bin Bardizbah al-Bukharî, Shahih al-Bukharî,
diterbitkan kembali oleh 'Abd. al-Rahman Afandi Muhammad, al-Mathba'ah al-Bahiyyah, Mesir, 1349 H. juz II, h. 42.
[10]Ibrahim Hasan, Islamic..., op.cit., 57-8 dan
62-3; dan 'Alî Musthâfâ al-Ghurabî, Tarikh al-Firaq al-Islamiyyah, Maktabah
wa-Mathba'ah Muhammad 'Ali Shubaih wa Auladuh, Mesir, tt., h. 17-19.
[11]Muhammad Jalal Syaraf dan 'Ali 'Abd. al-Mu'thi
Muhammad, al-Fikr al-Siyasî fi al-Islâm, Syakhshiyyâh wa Mazâhib, Dâr
al-Jami'ah al-Mishriyyah, Mesir 1978, h. 127-8.
[12]Al-Manar, dikenal sebagai majalah, juga Tafsîr al-Manâr,
karya Rasyid Ridha, memuat pemikiran dan ide-ide Muhammad 'Abduh dalam
menafsirkan al-Qur’ân. Walaupun pemikiran 'Abduh dalam Tafsîr al-Manâr
itu hanya sampai pada ayat 125 QS. al-Nisa’.
[13]Habib, op.cit., h. 17-9.
[14]Fuad
Hasan dan Koentjaraningrat, Beberapa Asas Metodologi Ilmiah, di dalam
Koentjaraningrat (Ed), Metodologi Penelitian
Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1977), h. 16
[15]William
Collins, Webster’s New Twentieth Century
Dictionary, (Amerika Serikat: Noah Webster, 1980), ed. Ke-2, h. 1134
[16]Poerwadarminta,
Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986) Cet. Ke-9, h.
649.
[17]Henry van Lear,
Filsafat Sain, Terjemahan
Yudian Wahyudi Asmin, 1995, h.59
[18]Ahmad
Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1995), h. 9
[19]Imam
Muhammad Fakhr al-Dîn al-Râzî Ibn al-Alamah Dhiya’i al-Dîn Umar, Tafsîr
al-Fakhr al-Razi al-Musytahar bi al-Tafsîr wa Mafatihi al-Ghaib, (Lebanon: Dâr al-Fikr, 1994), juz 20 h. 141
[20]Sayyid
Quthb, Fî Zilâ al-Qur’ân, (Kairo: Dâr al-Syuruq, tt).Jilid IV, Cet.
ke-21, hh. 2201-02
[21]Al-’Alamah
al-Said Muhammad Husein al-Thaba’thabai, al-Mizân fî Tafsîr al-Qur’ân,
(Beirut: Dâr
al-Fikr, 1991), Jilid 12, Cet. I, hh. 372-3.
[22]Ibn
Manzur al-Afriqi al-Mishri, Lisân al-Arab, (Beirut: Dâr Shadir Lithaba’ah wa al-Nasyar, 1995), jilid., h. 36
[23]Depertamen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1990), h. 115
[24]Ahmad
Warson Munawir, Kamus al-Munawwir Arab Indonesia, (Yogyakarta: Pondok
Pasentren al-Munawwir, 1997), Cet. IV, h. 287
[25]Ibrâhîm
Musthafâ, Dkk., al-Mu’jam al-Wasîth, (Turki-Istambul: Dâr al-Da’wah,
1989, h. 190
[26]Sa’id
Ibn Ali Ibn Wahaf al-Qahatahani, al-Hikmah Fi al-Da’wa ila Allâh Ta’âlâ,
(Lebanon-Beirut: Muassasah, tt), h. 27
[27]Abdu
al-Rahîm
bin Muhammad al-Maghzawî,
Wasâil
al-Dakwah, (Riyadh: Dâr Asÿbîliyâ,
1420 H/2000 M), h. 31-32
[28]Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, op.cit. h. 11
[29]Muhammad
Fuad al-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras Li al-Fazh al-Qur’ân al-Karim,
(Lebanon-Beirut: Dâr
al-Ma’rifat, 1992) , h. 271
[30]QS.
al-Baqarah; 269 yaitu; يُؤْتِي
الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا
كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
[32]Ahmad Mushthafâ al-Marâghî, Tafsîr
al-Marâghî, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1365 H/1945 M),
jilid 5, h. 157-156
[33]Muhammad
Abduh, Tafsîr
al-Qur’ân al-Hakîm, (Kairo: Ta’lif Muhammad Rasyid Ridha, al-Manar, 1333 H/1893 M), jilid
III, h. 75
[34]Muhammad
Abu Al-Fatah al-Bayãnûnî,
Al-Madkhal Ilâ
‘Ilmi al-Dakwah, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1991), h. 245
[35]A.
Hasjmi, Benarkah Dakwah Islam Bertugas Menbangun Manusia dan Masyarakat ?, (Bandung:
al-Ma’arif, 1991), cet. I, h. 94
dan 165
[36]Sayyid Quthub, op.cit. h.
220
[37]‘Abdu
al-Wahâb
Kahîli,
al-Ususi al-‘ilmiati wa al-Tathbîqiyati
lil’ilâmi
al-Islamî,
(Ttp‘Âlam
al-Kutub Maktabah al-Qudusi, 1406/ 1985), cet. I, h. 235
[38]Wahbah al-Zuhailî,
Tafsîr
al-Munîr
Fî al-‘Aqîdah,
wa al-Syarî’at
wa al-Manhaj, (Beirut-Lebanon: Dâr al-Fikr, 1991/1411), juz. 27, jilid 27, h. 149
[39]Ahmad Mushthafa al-Maraghi, op. cit, jilid 9, h. 79
[48]Abi al-Qâsim Jâr Allâh Muhammad bin Umar al-Zamakhsyarî al-Khawârizmî, Al-Kasysyâf
al-Haqâ’ al-Tanzîl wa ‘uyûnu al-Aqâwîl Fî Wujûh al-Ta’wîl (selanjutnya disebut
Tafsîr al-Kasysyaf), (Kairo: Intisyarat
Aftah, Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1966), h. 382
[49]Imâm al-Jalîl al-Hafîdz ‘Imâd al-Dîn Abu Fida’ Ismâîl al-Qurâsyî
al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân
al-’Azhîm, (Beirut: Li ibni’alim
al-Kitâb, tt), h. 322 dan 364.
[51]Ahmad Mushthafa al-Maraghi, op.cit.
jilid I h. 157
[54]Wahbah al-Zuhaili, op.cit. Jilid 5, h. 262
[57]Al-Hikmah, Jurnal Pencerahan Pemikiran Islam, No. 1, (Bandung:
Yayasan Muthahhari, 1990), h. 3-4.
[59]Muhammad
Abduh - Ridha, Op.cit, Juz. III.
h. 75 dan 310
[61]Bathrus
al-Bustani, Qathar al-Muhith , (Beirut: Maktabah Lebanon, tt). h. 1411
[62]Abû
Qâsîm al-Husein bin Muhammad al-Ishfahânî, al-Mu’jam fî Gharib al-Qur’ân,
(Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1961), h. 341
[63]Husein
Yusuf Mûsâ dan Abdul al-Fatah al-Sha’dî, al-Ifshah fi al-Lughat, (Kairo:
Dâr
al-Fikr, tt). h. 140
[65]Muhammad
Husein al-Thaba’thabai, op.cit, jilid XVII, h. 112
[66]
Muhammad Fuad Abd al-Baqi, op.cit. h. 594-5
[67]Q.S.
al-Maidah 58, yaitu; وَإِذَا
نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ
قَوْمٌ لا يَعْقِلُونَ
[68]Ibn
Manzhur, op.cit, jilid 19, h. 346-347
[69]Ibrahim
Musthafa Dkk, op.cit. Jilid 2
h.1043
[70]Abdu al-Rahim Muhammad al-Maghzawi, op.cit,
h. 64
[71]Sayyid Qutb, op.cit. h. 2201
[72]A.
Hasjmi, op.cit, h. 94
[73]Muhammad Fuad Abdu al-Baqî, op.cit,. h. 923
[74]Ibid
[75]Ibid
[77]QS. al-Rum; 39,
yaitu : وَمَا ءَاتَيْتُمْ مِنْ
رِبًا لِيَرْبُوَا فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُوا عِنْدَ اللَّهِ وَمَا
ءَاتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْمُضْعِفُونَ
[78]Q.S. al-Nisa’; 160-161, yaitu : وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ
النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
[79]Q.S. Ali Imran ayat 130. Yaitu : يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا
تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ.
[80]QS.al-Baqarah ayat 275, 276-277-279 : الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا
يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ
الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ
رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ
فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ(275)يَمْحَقُ اللَّهُ
الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ
أَثِيمٍ(276) إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا
الصَّلَاةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا
خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ(277)يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ(278)فَإِنْ
لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ
فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ(279)
[81]Soerjono Soekanto, Kasus Sosiologi, (Jakarta: Rajawali, 1985), h. 495-7
[83]QS. Yunus; 57, yaitu; يَاأَيُّهَا
النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي
الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
[87]QS.al-Nur; 34, yaitu; وَلَقَدْ أَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ
ءَايَاتٍ مُبَيِّنَاتٍ وَمَثَلًا مِنَ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ
وَمَوْعِظَةً لِلْمُتَّقِينَ
[88]Wahbah al-Zuhaili, op.cit. jilid XVII, h. 237
[90]QS. al-Maidah; 46, yaitu; وَقَفَّيْنَا عَلَى ءَاثَارِهِمْ بِعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ مُصَدِّقًا لِمَا
بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ التَّوْرَاةِ وَءَاتَيْنَاهُ الْإِنْجِيلَ فِيهِ هُدًى
وَنُورٌ وَمُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ التَّوْرَاةِ وَهُدًى
وَمَوْعِظَةً لِلْمُتَّقِينَ
[91]QS. Yunus; 57, yaitu : يَاأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ
وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
[92]QS. Hud; 120, yaitu; وَكُلًّا
نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ
وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ
[93]Wahbah
al-Zuhaili, op.cit, juz 12, h. 185
[94]Fakhruddin al-Razi, op,cit, juz. 20, h. 142
[96]Sayyid Quthb, op.cit. juz XIV, h. 110
[97]Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Tafsîr al-Qâsyimî, (Mesir: Isa
al-Babi al-Halabi wa Syurakah, 1957), Juz. X, h. 3877
[98]Al-Alusi, Abi al-Fadhl Shihab al-Dîn al-Sayyid Mahmud, Rûh al-Ma’ânî Fî Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm al-Sab’al Mastâni,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1398/1978), Juz
XIV, h. 254
[99]Muhammad Husein al-Thaba’thabai, op.cit, h. 112
[100]Ahmad Musthafa al-Maraghi, op.cit. h. 82
[101]QS.
Al-A’raf; 69, yaitu : أَوَعَجِبْتُمْ
أَنْ جَاءَكُمْ ذِكْرٌ مِنْ رَبِّكُمْ عَلَى رَجُلٍ مِنْكُمْ لِيُنْذِرَكُمْ
وَاذْكُرُوا إِذْ جَعَلَكُمْ خُلَفَاءَ مِنْ بَعْدِ قَوْمِ نُوحٍ وَزَادَكُمْ فِي
الْخَلْقِ بَسْطَةً فَاذْكُرُوا ءَالَاءَ اللَّهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
[102]Thohir
Luth, M. Natsir, Dakwah dan Pemikirannya, (Jakarta; Gema Insani, 1999),
h. 73
[103]al-Râghib
al-Isfahânî, Op.cit. h. 562
[104]Ibn
Manzhur, Op.cit. Jilid 13, h. 108-109
[106] Zâhiri
Ibn ‘Iwâd al-Alama’î, Manâhij
al-Jadâl Fi al-Qur’ân al-Karîm,
(Tnp, 1400), Cet. 2, h.20
[111]Muhammad
Khair Ramadhân
Yûsuf,
al-Dakwah al-Islâmiyah
al-Wasâil
wa al-Asâlîb,
(Riyadh: Dâr
Tharîq
Linnasyri wa al-Tauzî’
, 1414 H/1993 M) , h. 117
[112]Muhammad
Abd al-Baqi, op.cit, h. 210
[113]Ibid
[114]Manna
al-Qaththân,
Muhâhits
Fî
‘ûlum
al-Qur’ân,
(Riyadh: Dâr
Syurât
al-Ashri al-Hâdits,
1393/1973), h. 63
[115]Ibid
[117]Rasyid Salim, Muqaranah Baina al-Ghazali Ibn
Taimiyah, (Terj) Ilyas Ismail, (Jakarta: Panjimas, 1989), h. 25
[118]QS. Thaha; 44 (maka berbicaralah kamu berdua
kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau
takut".
[119]Ahmad Musthafa al-Maraghi, op.cit, Jilid
VII, h. 5
[120]QS. al-Mu’minun;
96, yaitu; ادْفَعْ
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ السَّيِّئَةَ نَحْنُ أَعْلَمُ بِمَا يَصِفُونَ
[121]Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran,
(Bandung: Mizan, 1996), Cet. ke 4, h. 368
[123]Ahmad
Mushthafa al-Maraghi, op.cit.
Jilid VI, h. 86
[124]Wahbah al-Zuhaili, op.cit, jilid 21, h.
159-0
[125]QS. al-Baqarah; 170, yaitu;وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ
اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَاءَنَا أَوَلَوْ
كَانَ ءَابَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
[126]QS. al-An’am; 121, yaitu; تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ
عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى
أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
[127]Wahbah al-Zuhaili, op.cit. jilid 24, h. 119-0
[131]QS. Mujadalah; 1 yaitu; قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي
زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ
اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ
[132]QS.al-Mukmin; 5, yaitu; كَذَّبَتْ
قَبْلَهُمْ قَوْمُ نُوحٍ وَالْأَحْزَابُ مِنْ بَعْدِهِمْ وَهَمَّتْ كُلُّ أُمَّةٍ
بِرَسُولِهِمْ لِيَأْخُذُوهُ وَجَادَلُوا بِالْبَاطِلِ لِيُدْحِضُوا بِهِ الْحَقَّ
فَأَخَذْتُهُمْ فَكَيْفَ كَانَ عِقَابِ
[133]Al-Maraghi,
op.cit, Juz. V h. 161
[134]Muhammad
Husain Fadhlullah, Metodologi Dakwah dalam Al-Qur’ân, Pegangan Bagi Aktivis,
(Jakarta: Penerbit Lentera, 1997), h. 52
[135]Abd.
Al-Rahman Bin Nashir al-Sa’di, al-Qawa’id al-Hisan li Tafsîr al-Qur’ân,
(Riyadh: Maktabah al-Ma’rif, 1400 / 1980), h. 73-76
[136]AW.
Munawwir, op.cit. h. 306
[139]Nurcholish
Madjid, Cendekiawan & Religiusitas Masyarakat, (Jakarta Paramadina,
1999), h. 100
0 Comment