Dai Kriteria 4
PRINSIP-PRINSIP DASAR AL-DA’I
1. Tidak memaksakan agama kepada non muslim
Islam
sebagai agama damai memberikan kebebasan kepada manusia untuk mencari suatu
keyakinan yang sesuai dengan hati nuraninya. Keyakinan yang dimiliki itu akan
mampu mengantarkannya kepada suatu kebenaran, kedamaian dan kebahagian.
Keyakinan pada seseorang tersebut tidak dapat dipaksakan kepada orang lain,
karena bila sesuatu yang dipaksakan akan membawa kepada ketidak bertahanan
seseorang dalam agamanya. Oleh karena itu suatu keyakinan merupakan kesadaran
dari seseorang terhadap apa yang diyakininya. Untuk itu Allah Swt.. melarang
memaksakan agama kepada orang lain, seperti firman-Nya surat al- Baqarah 256,
(2) yaitu;
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ
قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ
بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا
وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya : Tidak
ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada
Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada
buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.
· Munasabah ayat
Pada ayat yang lalu diterangkan
bahwa pokok-pokok agama adalah keesaan Allah Swt., serta kesucian-Nya yang ada
dilangit dan dibumi. Demikian pula diterangkan tentang ilmu-Nya yang meliputi
segala sesuatu dan Dia luhur dan Agung. Sedang pada ayat ini diterangkan
keyakinan seperti tersebut pada ayat yang lalu, secara fitri petunjuknya adalah
terdapat pada diri manusia dan ditunjang oleh berbagai realitas yang ada di
alam semesta ini yang serba teratur dan tidak lagi membutuhkan pembuktian-pembuktian
lain akan kebenarannya. Oleh karena itu pula orang tidak perlu dipaksa untuk
meyakini hal-hal tersebut, sebab akidah itu tidak perlu diragukan lagi.[1]
- Sebab Nuzulnya
Terdapat beberapa
riwayat mengenai sebab nuzulnya ayat ini, antara lain:
1. Sewaktu
agama Islam belum datang kepermukaan bumi, ada seorang wanita yang apabila
melahirkan, anaknya selalu meninggal. Oleh sebab itu ia berjanji pada dirinya sendiri, apabila mempunyai anak yang hidup akan dijadikan Yahudi. Ketika Islam
hadir ditengah-tengah masyarakat orang-orang Yahudi Bani Nadhir di usir dari
kota Madinah sebab pengkhianatannya. Ternyata anak dari perempuan itu dan
beberapa anak orang-orang Anshar terdapat bersama-sama orang Yahudi. Sehubungan
dengan itu orang-orang Anshar berkata,”Jangan kita biarkan anak-anak itu
bersama orang-orang “Yahudi,”. Peristiwa inilah yang melatarbelakangi turunnya
ayat ini yang menegaskan bahwa dalam memeluk agama Islam tidak ada paksaan.
Kesemuanya didasarkan kepada kesadaran pribadi masing-masing. (H.R. Abu Dawud,
al-Nasai dan Ibnu Hibban dari Abu Abbas).
2. Ayat
tersebut diturunkan sehubungan dengan Husain, salah seorang sahabat Anshar dari
suku Bani Salim bin Auf. Dia mempunyai dua orang anak yang memeluk agama
Nasrani, padahal ia sangat patuh pada ajaran Islam. Pada suatu ketika Husain
bertanya kepada Rasulullah Saw: “Wahai Rasulullah bolehkah dua orang
anakku itu aku paksa memeluk agama
Islam. Sebab kedua anakku itu tidak taat kepadaku dan tetap berkeinginan untuk
melanjutkan memeluk agama Nasrani!”. Sehubungan dengan pertanyaan Husain
tersebut, Allah Swt. menurunkan ayat ini sebagai jawabannya. Allah Swt.. secara
tegas menerangkan, bahwa memeluk agama Islam itu harus didasari kesadaran
pribadi, tidak boleh dipaksakan. Islam tidak membenarkan adanya intimidasi dan
paksaan dalam beragama.( H.R. Ibnu Jarir dari Sa’id atau Ikrimah dari Ibnu
Abbas).
3. Ada
seorang sahabat Anshar dari Bani Salim bin Auf bernama Husain mempunyai dua dua
orang anak yang beragama Nasrani sedang dia sendiri taat menjalankan syariat
Islam. Pada suatu ketika Husain bertanya kepada Rasulullah Saw.: Wahai
Rasulullh, bolehkah aku memaksa anakku untuk memeluk agama Islam. Sebab kedua
anakku itu tidak taat kepadaku dan masih berkeinginan untuk memeluk agama
Nasrani”.
Kedua anak Husain itu memeluk agama Nasrani mereka berdagang anggur. Kedua
anak itu ikut ke Syam dan hidup disana. Ketika kedua anak tersebut berangkat
menuju Syam, Husain memaksanya untuk memeluk agama Islam, tetapi anaknya
terlanjur berangkat ke Syam. Oleh sebab itu Rasulullah Saw. memerintahkan
kepadanya untuk melacak sampai ke Syam. Di tengah-tengah pelacakan turunlah
ayat tersebut yang menegaskan tidak boleh mengadakan paksaan dalam beragama,
sebab sudah jelas mana yang benar dan mana yang salah.Turunnya ayat tersebut
sekaligus sebagai jawaban atas pertanyaan Husain kepada Rasulullah Saw.di atas.
( H.R. Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim dari Suddi dari Ibnu Abbas).
Tafsirnya :
Huruf “لا“ pada ayat ini adalah “ لاالنافية “
(meniadakan), tetapi yang dimaksud adalah
Nahyi (larangan). Jadi maknanya adalah: Janganlah memaksa seseorang
memeluk agama Islam.[2] Selain
itu ada pula yang berpendapat, bahwa “لاالنافية “
tidak bermaksud Nahyi, melainkan berfungsi sebagai khabar. Oleh karena itu ayat
ini, berarti : Bahwasanya Allah Swt.. tidaklah membina agama-Nya dengan dasar
paksaan melainkan dibina atas dasar ikhtiar dan kebebasan. Justru itu tidak
boleh memaksa seseorang untuk memasuki agama Islam.
Ibnu Kastir menjelaskan makna “لَا
إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ “
dengan : karena agama Islam itu jelas dan
nyata sekali dalil-dalil dan keterangannnya, tidak perlu seseorang
dipaksa memasukinya. Bahkan siapa yang diberi petunjuk oleh Allah Swt.. untuk
masuk Islam dan dilapangkan dadanya untuk menerima Islam dan diberi nur
(cahaya) mata hatinya masuklah ia kedalam Islam berdasarkan bukti-bukti dan
petunjuk yang nyata. Barang siapa yang ditutup hatinya oleh Allah begitu pula
pendengaran dan penglihatannya, maka paksaan dan tindakan kekerasan tidak akan
bermamfaat bagi mereka untuk memasukkannya ke dalam agama Islam.
Mengapa tidak ada paksaan untuk
memasuki agama Islam? Karena telah jelas jalan yang benar dan jalan yang salah,
agaknya sangat rasional jika seseorang memilih jalan yang benar. Menurut M.
Quraish Shihab (2000), tidak ada paksaan untuk menganut suatu keyakinan agama,
karena Allah menghendaki agar setiap orang merasakan kedamaian. Paksaan
menyebabkan jiwa seseorang tidak damai, kedamaian sendiri tidak dapat diraih
bila jiwa tidak damai. Tidak adanya paksaan ini juga merupakan refleksi
kebebasan manusia untuk memilih.
Keyakinan kalau dipaksakan pada seseoarang akan melahirkan ketaatan semu,
sementara agama menekankan perlunya kesempurnaan dalam pengabdian kepada Tuhan.
Menurut al-Maraghi, ayat ini cukup
dijadikan dasar untuk menolak tuduhan musuh-musuh Islam dan sebagian kecil
orang-orang Islam sendiri, yang menyatakan bahwa Islam itu sendiri dikembangkan
dengan pedang.[3]
Sebenarnya Islam itu ditawarkan kepada manusia dengan kekerasan, demikan kata
mereka. Siapa yang mau menerima akan selamat, tetapi siapa yang menolak maka
pedanglah yang menjadi hakimnya. Sejarah yang menjadi saksi jujur, bahwa betapa
dustanya tuduhan yang dibuat-buat ini,. Pernahkan Nabi Muhammad Saw.
menggunakan pedang untuk memaksa seseorang masuk Islam? Bahkan Nabi Saw. pada
masa permulaan dakwahnya melaksanakan shalat secara sembunyi-sembunyi,
sedangkan kaum musyrikin selalu menganiaya beliau dan pengikutnya dengan
berbagai cara.
Kaum musyrikin tidak mendapat
kesulitan untuk menganiaya orang-orang Islam yang lemah, sehingga dengan
terpaksa Nabi Saw. dan para sahabatnya berhijrah. Adakah pernah pada priode
Madinah, sebagai masa kejayaan Islam terjadi tindakan pemaksaan beragama Islam?
Padahal ayat ini turun pada saat kaum Muslimin mulai memperoleh kejayaannya.
Tentang peperangan umat Islam dengan orang Yahudi dari Bani Nadhir pada tahun
IV Hijriah sama sekali bukan usaha pemaksaan beragama. Peperangn ini terjadi
disebabkan pelanggaran, penyelewengan dan provokasi Bani Nadhir.
Peperangan dan penaklukan yang
dilakukan Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya lebih kelihatan dimensi
politis, ideologis dan ekonominya ketimbang penyebaran Islam. Buktinya kalau
suatu wilayah sudah ditaklukan maka penduduknya tidak dipaksa untuk memeluk
Islam, mereka tetap dibolehkan menjalankan kenyakinan agamanya bahkan
mendapatkan perlindungan dari tentara Islam, dengan membayar uang jaminan
keamanan (Jizyah). Dakwah Islam kepada mereka jelas ada namun kalau mereka
lebih memilih untuk tetap pada agamanya maka mereka tidak diganggu apalagi
dipaksa.
Terkait dengan dakwah non-kursif
ini, agaknya menarik untuk mencermati hadis Nabi Muhammad Saw.”Sampaikanlah
kebenaran itu sekalipun pahit” (Qul al-haq walau kana murran). Banyak
orang mengartikan hadis ini dengan keharusan berdakwah secara kekerasan, tegas
dan kasar. Hadis ini sesungguhnya bukan menunjukkan tuntunan metode akan tetapi
ia lebih menekankan nilai materi dakwah itu sendiri. Logikanya, setiap
kebenaran yang disampaikan itu akan terasa “pahit”terutama oleh orang-orang
yang tidak memiliki komitmen terhadapnya, atau setiap yang haq itu mengandung
kepahitan bagi orang-orang yang menyalahinya. Dai dikehendaki agar dalam
menyampaikan yang haq menggunakan cara yang bijak sehingga obyek dakwah dapat
menerimanya tanpa merasa pahitnya. Jadi hadis tersebut hendaknya dipahami dalam
konteks kemampuan untuk menyampaikan kebenaran dengan sebaik-baiknya, bukan
keberanian berkonfrontasi. Kalau hadis tersebut dipahami dengan makna kedua
maka akan menimbulkan berbagai keresahan dan ketegangan dalam masyarakat.
Kata “ تبيـن “
dari kata ” بان “ yang berarti “ وضح “
dan “ظهر “ artinya nyata dan nampak. Kata “الرشد “
seperti dengan “ الرشاد “ .Kata ini biasanya diartikan dengan petunjuk dan digunakan untuk
semua kebaikan. Kabalikannnya adalah “الغى “ yang searti dengan “الجهل “ (kebodohan ). Al-rusyd
dapat juga berarti “jalan lurus sedangkan al-ghayyu mengandung makna
“jalan sesat.” Hanya saja kata al-jahlu berkenan dengan fi’liyah
(perbuatan) sedangkan al-ghayyu berhubungan dengan I’tiqadiyah
(keyakinan). Jadi untuk menghilangkan kebodohan adalah dengan ilmu pengetahuan
dan untuk menghilangkan al-ghayyu adalah dengan al-rusyd (petunjuk
atau hidayah).
Maksud ayat ini yaitu sudah jelas
jalan yang benar (Islam) dari jalan yang salah (kekafiran), karenanya orang
tidak perlu dipaksa memeluk agama Islam. Apalagi Islam itu menyangkut masalah
iman, dan iman adalah urusan hati, sedangkan hati seseorang tidak dapat dipaksa
untuk meyakini atau menyukai sesuatu.
Ayat yang senada dengan ayat
tersebut, yaitu firman Allah Swt..dalam QS. al-Kahfi (18) : 29:
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ
فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا
لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا
يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ
مُرْتَفَقًا
Artinya : Dan
katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir)
biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim
itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum,
niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang
menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang
paling jelek.
Hal ini
juga terdapat pada surat Yunus 99 (10/), yaitu :
وَلَوْ
شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ
النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
Artinya : Dan
jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi
seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi
orang-orang yang beriman semuanya?
Sebagai seorang da’i memang tugasnya
hanya untuk menyampaikan peringatan, bukan memaksakan kehendaknya. Firman Allah
dalam QS. al-Ghasiyah (88) :21-22
فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ(21)لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُسَيْطِرٍ(22)إِلَّا مَنْ تَوَلَّى وَكَفَرَ(23)فَيُعَذِّبُهُ اللَّهُ الْعَذَابَ الْأَكْبَرَ
Artinya : Maka
berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi
peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka, tetapi orang yang
berpaling dan kafir.
Selanjutnya pada ayat berikutnya
kata “الطاغوت “ bersal dari kata “ طغيان
“ yang berarti melampai batas dalam
suatu hal. Kata ini termasuk dalam shighat mubalaghah, seperti kata “ ملكوت
“ dari kata “ ملك “.
Kata thaghut boleh berarti mufrad atau jamak dan boleh
berarti muanast atau muzakar. Adapun yang dimaksud dengan “الطاغوت “
dalam ayat ini adalah syaitan dan segala macam sembahan selain Allah Swt..
seperti berhala dan tempat-tempat yang dianggap keramat.
Lebih jauh terdapat
dalam Allah QS.al- Baqarah (2) : 257, yaitu :
اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ
ءَامَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا
أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ
أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Artinya : Allah
Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan
(kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir,
pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya
kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal
di dalamnya.
Kata thaghut disebut dalam
beberapa kali antara lain : QS.al-Nisa’ (4) : 60 ;
أَلَمْ
تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ
وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ
وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ
ضَلَالًا بَعِيدًا
Artinya : Apakah
kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada
apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu?
Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah
mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan
yang sejauh-jauhnya.
Thaghut pada ayat
ini adalah orang yang selalu memusuhi nabi dan kaum muslimin dan ada yang
mengatakan Abu Barzah, seorang tukang tenung dimasa Nabi. Juga termasuk thaghut
yaitu : orang yang menetapkan hukum secara curang menurut hawa nafsu dan
berhala-berhala. Adapun kata “ استمسك “ berasal dari kata “ مسك “ yang berarti memegang atau berpegang.
Menurut
al-Maraghi, barang siapa yang mengingkari hal-hal yang sesat, misalnya
menyembah sesama manusia, syaitan, berhala atau mengikuti kehendak pemimpin
yang salah yang mengikuti hawa nafsu, tetapi tetapi ia justru beriman kepada
Allah Swt.., menyembah kepada-Nya, percaya kepada Rasul-Rasul yang diutus untuk
menyampaikan perintah dan larangan-Nya, berita gembira dan peringatan demi
akidah dan mengamalkannya, maka ia laksana orang telah berpegang kepada tali
keselamatan dan bernaung dibawah panji-panji kebenaran yang amat kokoh.[4] Posisi
yang demikian ini hanya bisa dicapai jika seseorang memegang tali yang kuat
yang tidak dikhawatirkan putus kendatipun dengan beban yang sangat besar dan
berat.
Kata” الوثق“ adalah bentuk mu’annats dari kata “ الاوثق “yang berarti tali yang berbuhul dengan
keras dan kuat. Para mufasir berbeda pendapat tentang maksud “ العروة الوثق
“dalam ayat ini menurut Mujahid yang dimaksud dengan “al-urwat al-wutsqa
“adalah iman, sedangkan al-Suddy mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Islam
dan Dhahhak mengatakan bahwa maksudnya adalah “لااله الا “.
Menurut al-Qurthubi pada prinsipnya ketiga pendapat ini sama, karena semuanya
kembali kepada satu pengertian atau satu maksud, yaitu agama Allah dengan
segala ajarannya.
Dari keterangan tersebut dapat
disimpulkan bahwa “ العروة الوثق “adalah keimanan dan ke-Islaman yang
merupakan pegangan yang sangat kuat.Karena itu siapa yang beriman kepada Allah
Swt.. sesuai yang disembah selain Allah ; seperti berhala, maka sesungguhnya ia
telah mempunyai pegangan yang kokoh, tidak akan terputus atau berantakan lagi.
Sebaliknya orang yang tidak percaya kepada Allah Swt.. atau menyembah sesuatu
selain-Nya, maka sesungguhnya pegangannya sangat rapuh dan mudah terputus.
Seperti Firman Allah Swt.. dalam QS.al-
Ankabut (29) : 41, yaitu :
مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا
مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا
وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
Artinya : Perumpamaan
orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti
laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah
rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.
Kata “سميع“ apabila dinisbahkan kepada Allah berarti
sesuatu sifat yang berdiri sendiri pada zat Allah yang dengannya tersingkap apa
yang didengar atau kedengaran tanpa indra pendengaran. Kata “عليم “ jika
yang dimaksud adalah sifat-sifat Tuhan,maka maknanya adalah ilmu yang berdiri pada zat Allah
Swt..yang menjadi sumber terbukanya
tabir sesuatu.
Menurut al-Maraghi, ayat ini
mengandung pengertian bahwa Allah Maha Mendengar pembicaraan orang-orang yang
mengingkari thaghut dan beriman
kepada Allah. Allah Maha mengetahui apa yang tersimpan didalam hatinya, apakah
pengakuan benar atau salah. Orang yang percaya bahwa segala sesuatu berjalan
menurut kekuasaan Allah, tidak ada kekuasaan seseorang yang mempengaruhinya,
maka ia adalah orang yang benar-benar beriman dan berhak mendapatkan pahala
yang sempurna. Sebaliknya orang yang terpengaruh kepercayaanya kepada kehebatan
berhala (watstani) dan kekuatan ghaibnya yang dapat menolong seseorang
mendekatkan diri kepada Allah Swt.. maka ia berhak mendapat siksaan. Siksaan
yang diterimanya adalah sama dengan siksaan orang yang mengaku beriman kepada
Allah Swt.. dan hari akhir secara lisan tetapi hatinya tetap tidak beriman.
Umat Islam menjadikan ayat ini
sebagai prinsip agama dan politik yang sangat tinggi, karenanya mereka tidak
membenarkan paksaan beragama kepada siapapun, sebagaimana hal tidak membenarkan
seseorang memaksa orang Islam keluar dari agamanya. Prinsip ini dapat
diperpegangi dengan baik, bila kita mempunyai kekuatan untuk membela agama
Islam dan penganutnya dari serangan musuh. Allah Swt.. memerintahkan kepada
umat Islam untuk berjihad dan menjaga keutuhan dakwah dari kelompok
penentangnya, disamping tetap menjamin kemerdekaan berdakwah dan menutup pintu
fitnah.
Umat Islam berkewajiban mengangkat
senjata hanyalah semat-mata untuk membela diri dan melindungi para mubaligh,
serta mengamankan jalannya dakwah keseluruh dunia, juga mencegah orang-orang
kafir berlaku jahat kepada kita. Disamping itu untuk melindungi kelemahan iman umat, sehingga dapat tumbuh
menjadi kuat dan mencegah fitnah orang kafir terhadap Islam, seperti yang pernah
dialami umat Islam di Mekah yang terang-terangan kemerdekaan agamanya
dihalangi, sehingga turunlah firman Allah Swt.. dalam QS. al-Baqarah (2) : 193,
yaitu :
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ
Artinya : Dan
perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan
itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu),
maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.
2. TIDAK MENCELA
SESEMBAHAN NON MUSLIM
Secara
tegas al-Qur’an sangat mengedepankan agar tidak mencela sesembahan agama oran
lain, seperti firman Allah surat al-An’am ayat 108 (6), yaitu :
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ
يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ
مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Artinya : Dan janganlah kamu
memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti
akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami
jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan
merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu
mereka kerjakan.
·
Sebab Nuzulnya
Ibnu Abbas berkata dalam riwayat
al-Wahibi, mereka berkata: Hai Muhammad sebaiknya engkau berhenti mencela
Tuhan-Tuhan kami atau kami juga akan mencela Tuhan kamu, maka Allah melarang
mencela sesembahan mereka karena kalau ini terjadi mereka juga akan mencela
Allah tanpa pengetahuan. Dalam riwayat lain, Qatadah berkata; Orang Islam menghina sesembahan orang kafir, lalu
mereka mengembalikan hinaan tersebut, lalu Allah Swt.. melarang menghina Tuhan
mereka juga menghina Allah tanpa pengetahuan.
Menurut Muhammad Assad (1980),
pelarangan terhadap sesuatu yang dipandang orang suci sungguhpun bertentangan
dengan prinsip ke-Esaan Tuhan diekspresikan dalam bentuk jama’(plural) karena
itu dipahami tertuju pada semua orang mukmin. Kendatipun orang Islam diharapkan
berhadapan dengan keyakinan yang menyimpang, mereka tidak diperkenankan untuk
mencela obyek kepercayaan mereka atau melukai perasaan para penganutnya. Rasyid
Ridha menafsirkan ayat ini dengan : Janganlah orang-orang mukmin itu mencela
sesembahan mereka dimana mereka berdoa kepadanya selain Allah untuk mendapatkan
manfaat dan menolak mudarat.
Pelarangan tersebut mencakup segala
bentuk pelecehan dan penghinaan terhadap sistem kehidupan, tradisi dan
simbol-simbol keagamaan penganut agama lain. Hikmah dibalik pelarangan ini
antara lain ialah agar tidak terjadi konflik dengan latar belakang agama.
Mencegah berbagai manifestasi keberagamaan pemeluk suatu agama lain bisa
menjadi pemicu timbulnya konflik mengingat masalah keyakinan ini sangat
sensitif. Seseorang yang telah dilecehkan keyakinan yang dianutnya pasti akan
membalas, dan kalau ini terjadi maka konflik akan sulit terhindarkan.
Pelecehan dan celaan terhadap
seseorang, baik perkataan, sikap maupun perbuatannya termasuk segala sesuatu
atribut yang terkait dengannya bertentangan dengan naluri manusia. Secara
psikologis setiap manusia itu memiliki harga diri dan sifat tidak mau dicela
dan disalahkan. Dengan demikian, dai dalam mengembangkan tugas dakwanya harus
menghidarkan diri dari sikap yang secara langsung menunjukkan kesalahan apalagi
pencelaan atas perbuatan seseorang serta ejekan yang akan menimbulkan perasaan
kebencian, sebab mereka merasa kehormatan pribadinya dijatuhkan dan dipandang
enteng, sehingga dengan dalikh apapun mereka tetap mempertahankannya, kalaupun
besar resikonya bagi mereka.
Ajaran Islam memang tidak
membenarkan untuk mencela perbuatan seseorang lebih-lebih apabila mereka
melakukannya karena ketidaktahuan (bighair’ilm) semata-mata. Dalam hal
ini diperlakukan adalah memberikan arahan, nasihat, peringatan dengan cara yang
baik, gunakan cara yang halus dan bijak sehingga mereka merasa tidak dijatuhkan
kehormatannya. Dalam konteks ini, agar dai dapat menjalankan tugas dengan baik
perlu dibekali dengan ilmu jiwa dan komunikasi antar pribadi sosiologi dakwah.
Pada ayat di atas terdapat seperti keindahan
dihiaskan pada orang-orang musyrik atas perbuatan menyembah selain Allah, Allah
menjadikan mereka indah dengan perbuatan mereka apakah dengan kekafiran atau
iman, kebaikan atau kejelekan, telah berlalu sunnah kami dalam hal akhlak
manusia dan keadaanya yang senantiasa
cendrung menganggap baik apa yang dilakukan dan menyadarinya kepada leluhur
mereka. Ayat ini tidak menunjukkan bahwa Allah menciptakan keindahan di hati
sebagian umat pada kekafiran atau kejelekan di hati sebagaian mereka keindahan
dengan keimanan dan kebaikan sebagai penciptaan awai (bawaan) tetapi merupakn
aktivitas ikhtiar yang muncul darinya. Sebab apabila demikian halnya maka iman,
kekufuran, kebaikan dan kejahatan merupakan potensi bawaan (garizah
khalqiyah) dimana dakwah dan targhib mengacu padanya.
Selanjutnya kalimat “ tsuma ila
rabbihim ….pada potongan ayat ini adalah semua individu akan kembali kepada
Tuhan mereka yang menguasai urusan segala sesudah dimatikan dan dibangkitkan,
tidak kepada selain-Nya karena memang tidak ada Tuhan selain Dia, kemudian
Allah menyampaikan akibat kembali mereka kepada-Nya dengan hisab dan ganjaran
terhadap apa yang mereka telah lakukan, apakah menyenangkan atau tidak dan
membalas perbuatan mereka, kebaikan dengan kebaikan, kejelekan dengan
kejelekan.
Dai dan umat Islam pada umumnya
memang tidak layak untuk mencela sesembahan pemeluk agama lain, demikian pula sebaliknya
karena pada akhirnya penilaian hakiki akan kembali dan memang merupakan hak
Allah Swt.. Agama-agama lain, khususnya agama samawi (terutama bagi mereka yang
tidak menerima teori nazikh-manzukh) memang diakui eksitensinya dalam
Al-Qur’an, sebagaiman firman Allah dalam Qs.al-Baqarah (2):62;
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا
وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ
وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Artinya : Sesungguhnya
orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang
Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah,
hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka,
tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Ada tiga ayat yang semakna dengan
ayat tersebut, misalnya surat al-Hajj (22), yaitu :17. Artinya : Sesungguhnya
orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin, orang-orang
Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi
keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan
segala sesuatu.
Kedua ayat terakhir ini dapat
memberikan kontribusi dalam perdebatan seputar masalah pluralisme agama yang
dinilai Isa J.Boullata, Guru besar sastra Arab dan Tafsir, McGill University
Canada, sebagai sebuah doktrin prinsip yang dikedepankan al-Qur’an. Namun
demikian tampaknya ayat-ayat ini tidak mendapatkan perhatian serius dari banyak
mufasir.[5] Fazlur Rahman misalnya beragumentasi bahwa
mayoritas mufasir hanyut dalam sebuah perdebatan wacana yang tidak bermanfaat
untuk menghindari pengakuan secara jelas bahwa siapa saja yang beriman kepada
Tuhan dan hari kemudian serta beramal saleh akan selamat. Dalam visi Sayyid Quthb
faktor krusial dari ajaran Tuhan tergantung pada kenyakinan yang benar dan
bukan pada label komunitas atau kelompok tertentu.
Menurut Rahman, para mufasir
mengklaim bahwa keempat komunitas agama yang disebutkan dalam ayat tersebut
mengacu pada orang yang sungguh-sungguh telah menjadi muslim atau mereka yang
hidup sebelum masa Nabi Muhammad Saw. Amir ‘Abd ‘Aziz sendiri menyakini bahwa
hanya ada tiga komunitas agama, yakni: ummah Qur’aniyah, Nasrani dan Yahudi,
tidak ada komunitas non-muslim ketiga diluar kedua kelompok terakhir ini.
Thanthawi Jawhari adalah salah satu diantara mufasir yang mempertahankan bahwa
agama-agama tersebut telah dinasakh oleh agama Islam. Rahman
menolak pendapat yang mengatakan bahwa agama-agama tersebut telah dinasakh. Dia
mengatakan bahwa interpretasi ini secara nyata bertentangan dengan fakta bahwa
komunitas muslim hanya mewakili kelompok pertama dari empat komunitas agama,
yaitu; “mereka yang beriman”. Karena itu komunitas muslim seharusnya
diidentifikasi sebagai sebuah komunitas diantara komunitas-komunitas lainnya.
Rahman mendukung pendapatnya dengan al-Qur’an surat al-Maidah (5):48, yaitu :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ
الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ
وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا
تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ
شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً
وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا ءَاتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى
اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ
تَخْتَلِفُونَ
Artinya: Dan Kami
telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa
yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian
terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa
yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di
antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya
kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.
Sekiranya
Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah
hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah
berbuat kebajikan.Hanya kepada Allah-lah kembali semuanya, lalu
diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselishkan itu.” Ayat ini
memberikan jawaban final terhadap masalah dunia multi-komunitas.
Misalnya, berkenaan dengan masalah pluralisme
– suatu unsur amat asasi dalam masyarakat sebagaimana diletakkan
dasar-dasarnya oleh Nabi – kita dapatkan bahwa masyarakat kita masih menunjukkan
pemahaman yang dangkal dan kurang sejati. Namun dalam masyarakat ada
tanda-tanda bahwa orang memahami pluralisme hanya sepintas lalu, tanpa makna
yang lebih mendalam, tidak berakar dalam ajaran kebenaran. Paham kemajemukan
masyarakat atau pluralisme tidak cukup hanya dengan sikap mengakui dan menerima
kenyataan masyarakat yang majemuk, tapi harus disertai dengan sikap yang tulus
untuk menerima kenyataan kemajemukan itu sebagai bernilai positif, merupakan
rahmat Tuhan kepada manusia, karena akan memperkaya pertumbuhan budaya melalui
interaksi dinamis dan pertukaran silang budaya yang beraneka ragam. Pluralisme
adalah suatu perangkat untuk mendorong pengkayaan budaya bangsa. Maka budaya Indonesia, atau
“Keindonesiaan”, tidak lain adalah hasil interaksi yang kaya (resourceful)
dan dinamis antara para pelaku budaya yang beraneka ragam itu dalam suatu “melting
pot” yang efektif seperti diperankan oleh kota-kota besar Indonesia,
khususnya Ibukota Jakarta Raya sendiri.
Jadi
pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita
majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru
hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak
boleh dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif” (negative good), hanya
ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisisme (to keep fanaticism
at bay). Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebinekaan
dalam ikatan-ikatan keadaban” (genuine engagement of diversities within tho
bonds of civility). Bahkan, pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi
keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan
pengimbangan yang dihasilkannya. Dalam Kitab Suci justru disebutkan bahwa Allah
menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan antara sesama manusia guna
memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan yang
melimpah kepada umat manusia. “Seandainya Allah tidak mengimbangi segolongan
manusia dengan segolongan yang lain, maka pastilah bumi hancur; namun Allah mempunyai
kemurahan yang melimpah kepada seluruh alam.”[6]
Demikian juga persoalannya dengan prinsip
pluralisme, lebih-lebih lagi persoalannya terhadap prinsip toleransi. Banyak
indikasi menunjukkan bahwa masyarakat memahaminya hanya secara sepintas lalu,
sehingga toleransi menjadi seperti tidak lebih daripada persoalan prosedural,
persoalan tata cara pergaulan yang “enak” antara berbagai kelompok yang
berbeda-beda. Padahal persoalan toleransi adalah persoalan prinsip, tidak
sekedar prosedur. Toleransi adalah persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan
ajaran. Jika toleransi menghasilkan adanya tata cara pergaulan yang “enak”
antara berbagai kelompok yang berbeda-beda, maka hasil itu harus dipahami
sebagai “hikmah” atau “manfaat” dari pelaksanaan suatu ajaran yang benar.
Hikmah atau manfaat itu adalah sekunder nilainya, sedangkan yang primer ialah
ajaran yang benar itu sendiri. Maka sebagai yang primer, toleransi harus kita
laksanakan dan wujudkan dalam masyarakat, sekalipun untuk kelompok tertentu –
bisa jadi untuk diri kita sendiri – pelaksanaan toleransi secara konsekwen itu
mungkin tidak menghasilkan sesuatu yang “enak”. Hal ini menyangkut pihak yang
kita benci dan membela kita.[7] Logika
pandangan ini ialah bahwa akibat “tidak enak” pelaksanaan suatu kebenaran hanya
terjadi dalam dimensi terbatas, berjangka pendek. Sedangkan kebaikan yang
dihasilkan oleh pelaksanaan suatu kebenaran selalu berdimensi sangat luas,
berjangka panjang, bahkan abadi, sama halnya dengan akibat buruk pelanggaran
terhadap kebenaran itu yang juga berjangka panjang, mungkin abadi.
Toleransi
sebagai suatu asas masyarakat madani adalah lebih prinsipil daripada toleransi
seperti yang pernah tumbuh di masyarakat Eropa. Dalam catatan sejarah, paham
toleransi di Eropa antara lain dimulai oleh “Undang-Undang Toleransi 1689” (The
Toleration Act of 1689) di Inggris. Tetapi toleransi Inggris itu hanya
berlaku dan diterapkan terhadap berbagai pecahan intern gereja Anglikan saja,
sementara paham Katolik dan Unitarianisme tetap dipandang tidak legal.[8]11 Dan di
abad 18, toleransi dikembangkan sebagai akibat ketidakpedulian orang kepada
agama, bukan karena keyakinan kepada nilai toleransi itu sendiri.[9]12 Apalagi
saat Revolusi Perancis kebencian kepada agama (semangan laicismeI dan
Ianti-clericalisme) sedemikian berkobar-kobar. Maka yang muncul tidak saja
sikap tidak peduli kepada agama, tapi kebencian kepadanya yang meluap-luap. Hal
itu tercermin dalam ungkapan Diderot, bahwa agama dengan segala lembaga dan
pranatanya adalah sumber segala kebobrokan masyarakat, dengan ciri utama tidak
adanya sama sekali toleransi.[10]13
Akibatnya, toleransi dikembangkan hanya sebagai suatu cara (suatu prosedur!)
agar manusia dapat menyingkir dari agama, atau agama menyingkir dari manusia.
Itulah sebabnya di Barat ada keengganan besar sekali untuk menjadikan agama
sebagai tempat mencari rujukan otentifikasi dan validasi pandangan hidup
sosial-politik yang diperlukan masyarakat.
Betapapun, dunia Barat akhirnya harus
menerima dan memperjuangkan dengan sungguh-sungguh pluralisme dan toleransi,
sebagai bagian integral demokrasi. Bahkan, para agamawan yang semula di sana
menjadi target gerakan paham toleransi dan pluralisme juga memperjuangkannya.
Sekalipun begitu, tetap cukup jelas nampak bahwa pengertian mereka tentang
toleransi masih lebih banyak bersifat ke dalam kalangan agama mereka sendiri,
sebagai bagian dari usaha mereka mengatasi efek negatif perpecahan, bahkan
peperangan karena perbedaan penafsiran ajaran agama, seperti yang sampai detik
ini masih berlangsung di Irlandia Utara. Dalam keadaan seperti itu, kaum Yahudi
di sana masih mengalami perlakuan kejam tak terperikan dalam holokos dan
genosida Nazi, dan sampai saat ini tetap berada di bawah bayangan ancaman
“anti-Semitisme” yang sewaktu-waktu dapat meledak. Dan dunia Barat sekarang
dihadapkan kepada ujian untuk belajar menerima kehadiran berbagai agama yang
mulai berkembang di sana, khususnya Islam, Hinduisme dan Budhisme. Secercah
harapan memang telah muncul dari Konsili Vatikan II (1960-an). Mungkin adanya
konsili itu merupakan permulaan ditinggalkannya prinsip “ektra eccleciam
nulla sallus” (di luar gereja tidak
ada keselamatan), diganti dengan pandangan lebih positif kepada agama-agama lain, dengan mengakui adanya
keselamatan di luar gereja sendiri. Konsili itu juga menyerukan agar semua kaum
agama, khususnya Nasrani dan Islam, melupakan sejarah permusuhan panjang di
masa lalu, dan memulai zaman baru dengan penuh saling pengertian dan
penghargaan.[11]
Konsili itu merupakan fenomena luar biasa di
Barat dalam perkembangan yang sangat menggembirakan tentang sejarah hubungan
antar agama dan pertumbuhan paham toleransi dan pluralisme. Sudah barang tentu
masih harus ditunggu seberapa jauh prinsip itu akan terbukti membawa dampak
yang nyata. Sebab agama Islam pun, menurut bunyi lafal berbagai firman dalam
Kitab Suci al-Qur’an, juga mengakui dengan tegas adanya keselamatan pada
agama-agama lain, selama para penganutnya beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan Hari Kemudian, serta berbuat kebajikan.15 Tetapi karena berbagai pengalaman
historis kaum Muslim, khususnya pengalaman permusuhan dan pertentangan dengan
kaum-kaum yang lain, muncul kecenderungan untuk menghindar dari makna lafal
firman-firman serupa itu, dengan diterapkannya cara “interpretation away”
atau “explanation away” (suatu cara penafsiran atau penjelasan dengan
maksud menghindar dari maksud semula pengertian asal lafalnya).
Jika toleransi diharapkan akan membawa
berkah, yaitu berkah pengalaman suatu prinsip dan ajaran kebenaran, maka kita
tidak boleh memahaminya seperti di Eropa pada abad-abad yang lalu. Toleransi
bukanlah sejenis netralisme kosong, yang bersifat prosedural semata-mata,
tetapi suatu pandangan hidup yang berakar dalam kebenaran ajaran agama. Maka
menghadapi milenium ketiga ini adalah saatnya para pemeluk semua agama
ditantang untuk dapat dengan konkret menggali ajaran-ajaran agamanya dan
mengembangkan paham toleransi yang otentik dan absah, sehingga toleransi bukan
semata-mata persoalan prosedur pergaulan, tapi persoalan prinsip ajaran
kebenaran.
Karena berbagai pengalaman kesejarahan di
sana, masyarakat Barat sendiri akhirnya mengakui bahwa toleransi adalah
“prinsip yang akan memberi kesempatan terbaik kepada keimanan yang benar untuk
menang” (Toleration is the principle which gives to true faith [12]the best chance
of prevailing).16 Dan prinsip tidak dibenarkannya paksaan
dalam agama yang ditegaskan dalam Kitab Suci al-Qur’an pun berdasarkan
pandangan bahwa yang benar jelas berbeda dari yang palsu, sehingga manusia
dapat memilih dengan bebas dan penuh tanggung jawab.17 Maka, ketika
Rasulullah SAW dalam Piagam Madinah meletakkan asas-asas pluralisme dan
toleransi, dengan sendirinya beliau sama sekali tidak bertindak atas dasar
kepentingan sesaat dan kegunaan jangka pendek, tapi karena ajaran prinsipil
dalam agama yang diwahyukan kepada beliau.
Untuk memahami pluralisme dan toleransi
sebagai masalah prinsip ajaran agama, dan bukan sebagai masalah prosedur atau
tata cara pergaulan semata, berikut ini beberapa kutipan dari Kitab Suci dan
Sunnah Nabi SAW:
1) Dan
bagi tiap-tiap umat ada arah yang ia menghadap kepadanya. Maka berpaculah kamu
dalam berbagai kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan
kamu sekalian. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.[13]
2) Untuk
setiap umat di antara kamu, Kami telah berikan aturan dan jalan. Seandainya
Allah menghendaki, niscaya kami Ia jadikan umat yang tunggal. Tetapi ia hendak
menguji kamu berkenaan dengan apa yang telah Ia anugerahkan kepada kamu. Maka
berpaculah kamu sekalian untuk berbagai kebajikan. Kepada Allah kembalimu
semua, kemudian Ia akan jelaskan kepadamu tentang segala hal yang kamu pernah
berselisih di dalamnya itu.[14]
3) Seandainya
Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi, seluruhnya! Maka
apakah engkau (hai Muhammad) akan memaksa manusia sehingga mereka beriman
semua?[15]
4) Tidak
ada paksaan dalam agama; sesungguhnya jalan hidup yang benar telah jelas
berbeda dari jalan hidup yang sesat. Maka barangsiapa ingkar kepada tirani dan
beriman kepada Allah, sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat
kuat, yang tidak akan putus. Dan Alah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.[16]
5) Janganlah
kamu berbantahan dengan para penganut kitab suci (Ahl al-Kitab) melainkan
dengan sesuatu yang lebih baik, kecuali terhadap yang zalim dari kalangan mereka.
Dan nyatakanlah olehmu semua, “Kami beriman kepada ajaran yang diturunkan
kepada kami dan yang diturunkan kepada kamu, dan Tuhan kami dan Tuhan kamu
adalah satu, dan kita semua adalah orang-orang yang berserah diri (muslimun)
kepada-Nya.”[17]
6) Mereka
itu tidaklah semuanya sama; di antara para penganut kitab suci (Ahl al-Kitab)
itu ada golongan yang tegak lurus. Mereka membaca ayat-ayat Allah di tengah
malam, sembari bersujud. Mereka beriman kepada Allah dan Hari Kemudian,
melakukan amar ma’ruf nahi munkar, dan bergegas kepada berbagai kebajikan.
Mereka itu termasuk orang-orang yang saleh. Apapun kebajikan yang mereka
kerjakan, maka sekali-kali mereka tidak akan diingkari. Allah Maha Tahu tentang
orang-orang yang bertakwa.[18]
7) Sesungguhnya
orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang
Shabiin, siapa saja yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian serta berbuat
kebajikan, bagi mereka pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati.[19]
8) Aisyah
menuturkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Hari ini pastilah kaum Yahudi tahu
bahwa dalam agama kita ada kelapangan. Sesungguhnya aku ini diutus dengan
semangat kebenaran yang toleran (al-hanifiyah al-samhah).[20]
Kelihatannya agak sulit
menerima aplikasi teori abrogasi (nazikh mansukh) terhadap ayat tersebut dengan alasan; jika
Tuhan sungguh telah menasakh agama-agama tersebut berarti Tuhan telah
mengingkari janji-Nya, sesuatu yang mustahil bagi-Nya karena bertentangan
dengan prinsip keadilan Tuhan.
Hikmah di balik variasi komunitas
agama adalah agar mereka berlomba-lomba antara satu dengan yang lain dalam
mewujudkan kebaikan. Dalam hubungan ini Isa J.Boullata mengatakan bahwa setiap
komunitas diperintahkan untuk tampil mengupayakan kebaikan dan menciptakan
kehidupan harmonis antara agama secara intensif harus dilakukan diantara
berbagai komunitas agama untuk mencapai kehidupan yang harmonis dan penuh
kedamaian. Olehnya itu justru yang patut dikedepankan adalah saling menghargai,
melakukan dialog bahkan kerjasama untuk mewujudkan tugas-tugas kekhalifahan,
yakni memakmurkan bumi sehingga kehidupan ini dinamis, di mana setiap pemeluk
agama kompetitif dalam hal perwujudan sesuatu yang baik.
Dai sebaiknya lebih terbuka, lebih
apresiatif terhadap pemeluk agama-agama lain dan memperluas wawasannya tentang
agama-agama tersebut. Terkait dengan ini agaknya menarik untuk mempertimbangkan
penerapan teori passing over (melintas) dan coming back (kembali)
seperti yang disarankan oleh John S. Dunne. Pasing over berarti
melakukan pengembaraan spritual kedalam agama lain sedangkan coming back berarti kembali ke agama semula dengan
membawa pandangan baru yang memperkaya agama semula tersebut. Kenyataan
historis menunjukkan bahwa mereka yang telah mempraktekkan konsep ini sangat
terbuka dan toleran terhadap pemeluk agama lain. Sayyed Husein Nasr, misalnya
yang sangat moderat itu dalam proses pengembaraannya berangkat dari Islam lalu
melintas ke Yahudi, Kristen, Budhisme, Cofusionisme dan Toisme tetapi akhirnya dengan
membawa wawasan baru kembali kepada Islam.
Wilfred Cantwel Smith, pendiri
Institut agama Islam McGill University Canada, yang saat ini menjadi guru besar
sejarah perbandingan agama di Universitas Harvard Amerika, bertolak dari
kristen kemudian berkelana ke Islam dan akhirnya kembali kepada Kristen.
Mahatma Gandhi memulai dan mengakhiri pengembaraan spiritualnya dengan
Hinduisme; ia melintas terutama kedalam agama Kristen dan Islam, tetapi selalu
kembali kepada Hinduisme. Gandhi, misalnya, mengatakan; dengan mendekati agama
Hindu seorang muslim diharapkan banyak belajar dan merasakan sikap toleransi
orang-orang Hindu. Sebaliknya dengan mendekati agama Islam, seorang Hinduime
akan banyak belajar prinsip-prinsip monoteisme agama Islam.
Konsep “melintas” dan “kembali” ini,
sangat signifikan dalam pluralisme agama, mengingat nilai spritual (mistik)
dari masing-masing agama senantiasa mencerminkan unsur-unsur persamaan dan
pengenyampingkan perbedaan-perbedaan. Disamping itu ia dapat mempermulus
jalannya dialog antar umat beragama. Melalui dialog dengan pemeluk agama lain,
masalah sosial, politik, ekonomi secara satu persatu membuatnya menjadi fokus
bersama. Dengan dialog, semua persoalan bisa diupayakan pemecahannya bersama
secara memuaskan. Saling percaya dan menyemangati untuk mencari interaksi yang
lebih bermakna.
3. TIDAK MENYULITKAN
OBYEK DAKWAH
Kehadiran
da’i dalam Islam adalah memberikan kemudahan kepada penganut agama, bukan
memberikan kesulitan, karena pada hakikatnya kedatangan agama selain memberikan
kemudahan, juga sebagai jalan-jalan menuju kepada kesenangan dan kebahagiaan.
Hal ini sesuai dengan firman Allah surat al-Hajj 78, (22), yaitu;
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ
جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ
أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا
لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى
النَّاسِ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ
هُوَ مَوْلَاكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ
Artinya : Dan
berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah
memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai
kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al
Qur'an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua
menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat
dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah
sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.
Menurut al-Zamakhsyari, perintah
jihad di sini bersifat umum yakni terhadap orang kafir, kezaliman dan hawa
nafsu. Ayat ini juga dipahami sebagai perwujudan apa yang diperintahkan Allah
dan menghentikan segala yang dilarang. Penjabarannya berjihadlah terhadap
dirimu sendiri dalam mentaati Allah dan menolak hawa nafsu dan iilah jihad yang
besar.[21] Ibn
‘Athiyah mengatakan menurut Muqati ayat ini telah dimansukhkan oleh firman
Allah QS.Al-Taghabun (64) : 16, yaitu :
فَاتَّقُوا
اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا
لِأَنْفُسِكُمْ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya : Maka
bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta
ta`atlah; dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang
dipelihara dari kekikiran dirinya maka mereka itulah orang-orang yang
beruntung.
“فَاتَّقُوا
اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ“ adalah dengan makna Allah memberikan
kemudahan dan tidak memberikan kesulitan kepadamu. Keringanan yang didasarkan
pada kesanggupan dalam perintah-perintah ini. [22] Said Ibn
Musayyab menginformasikan bahwa Rasulullah Saw. Bersabda : “ Yang terbaik dalam
agamamu adalah kemudahhnya.”, sementara Haywah ibn Syuraih, mengungkap bahwa
Nabi Saw. bersabda : Orang yang berjihad itu adalah orang yang berjuang
mengendalikan hawa nafsunya karena Allah Azza wa Jalla. Kalaupun Wahbah
al-Zuhaili membagi jihad itu kepada tiga bagian yaitu : Jihad dengan nafsu dan hawa, kedua jidah dengan setan dan
ketiga jihad dengan orang kafir dan munafik.[23]
Berdasarkan otoritas Abu Ghalib dari Abi Umamah, bahwa Nabi Saw. ditanya
tentang jihad yang paling Afdhal, ia menjawab : “ menyatakan keadilan dihadapan
raja yang kejam.” هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ
عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ maknanya memilihkan untuk kamu agama-Nya
dan pertolongan-Nya. Sesungguhnya seseorang itu dipilih karena loyalitasnya. Ia
dapat juga bermakna Tuhan memilih kamu untuk menegakkan agama-Nya dan
menjalankan perintah-Nya Dalam hal ini sebagai ta’kid terhadap perintah
bermujahadah. Dalam versi lain ditafsirkan dengan wajib atasmu berjihad karena
sesungghnya Allah telah memilih kamu. “وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي
الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ “ yakni
dalam semua urusan agama berlaku keringanan dari kesulitan, yang merupakan
beban dalam pelaksanaannya. Implikasinya dalam dakwah adalah seseorang da’i
harus senantiasa menunjukkan kemudahan ajaran Islam kepada masyarakat. Demikian
pula menerangkannya dengan cara yang mudah, dengan bahasa yang komunikatif dan
persuasif. Hal ini akan menjadi motivasi bagi audience untuk
meningkatkan kualitas pemahaman dan pengamalan agama mereka. Dalam salah satu
hadis Nabi disebutkan yang artinya “diberitakan oleh Abdullah bin Maslamah
dari Malik dari Marwah dari ‘Aisyah r.a…. Rasululah bersabda : mudahkanlah
jangan mempersulit, gembirakanlah dan jangan menjadikan mereka lari”.[24]
Ada tiga hal yang terkait dengan
ayat di atas. Pertama, kata haraj di sini berarti kesulitan/kesempitan, seperti
disebutkan dalam surah al-An’am. Ayat ini masuk pada banyak masalah hukum,
yaitu kekhususan Allah terhadap umat ini. Kedua, para ulama berbeda pendapat
mengenai kesulitan yang diangkat oleh Allah Taala. Ada yang mengatakan qasar
dalam sholat, tidak puasa bagi musafir, kebebasan jihad bagi orang buta dan
lain-lain. Ketiga, ulama berkata : kesulitan diangkat bagi orang konsisten
dengan syariat, sedangkan bagi para pencuri dan pelanggar aturan merupakan
kesulitan.
Muhammad Asad menafsirkan ayat ini
dengan beberapa faktor : 1. Ia terbatas dari proposisi dogma atau doktrin yang
dapat menyebabkan ajaran-ajaran Al-Qur’an sulit di pahami atau mungkin
bertentangan dengan alasan dasar manusia, 2. Ia menghindari semua ritual atau
sistem tabu yang membingungkan yang dapat menciptakan restriksi pada kehidupan
manusia sehari-hari, 3.Ia menolak semua kehidupan asketis yang berlebihan, yang
pada dasarnya kontras dengan natur manusia dan 4. Ia mempertimbangkan kondisi
ril manusia sebagai mahluk yang diciptakan
dalam keadaan lemah.
Sedangkan makna Millata abikum…
adalah mengikuti agama bapak kamu, juga berarti dan melakukan kebaikan
sebagaimana yang diperbuat bapak kamu tegakkanlah amal di atas millah tersebut.
Al-Qadhi berkata : dan bahwasannya dijadikannya Ibrahim bapak kamu karena ia
bapak Rasulullah Saw., ia merupakan ayah bagi umatnya, dialah yang menjadi
penyebab kehidupan mereka yang abadi, atau karena kebanyakan orang arab itu
dari keturunannya, maka mereka menang terhadap yang lainnya. ”Dhamir”هو “
dalam ayat ini, kembali kepada Ibrahim, maknanya adalah dialah (Ibrahim)
menamai kamu dengan muslim, sebelum kedatangan Nabi Saw. Kalimat millata
abikum Ibrahim “yakni Al-Qur’an
dengan segala hukum-hukumnya yang ditegaskan bahwa siapapun yang mengikuti
Muhammad Saw. dia adalah Muslim. Seperti firman Allah pada surat
al-Baqarah(2):128, yaitu :
رَبَّنَا
وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ
وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
Artinya :”Jadikanlah
kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara
anak cucu kamiu umat yang tunduk patuh kepada Engkau…….”Dalam riwayat Ali
ibn Abi Thalhah dari Ibn Abbas dinyatakan bahwa ayat tersebut berarti Allah
Azza wa Jalla menamakan kamu Muslim sebelumnya, yakni pada kitab-kitab
terdahulu dan dalam Al-Qur’an ini.
Rasul menjadi saksi bagi manusia
dengan tablighnya kepada mereka, atau karena sesungguhnya ia telah menyampaikan
kepada kamu Risalah-risalah Tuhanmu.”
“sebagai saksi terhadap manusia melalui dakwah Rasul kepada mereka. Hal
ini sejalan dengan Qs.Al-Baqarah (2):143,:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ
أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ
عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا
لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ
كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ
لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
Artinya : Dan
demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan
kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya
nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh
(pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah
diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya
Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.
Kiblat
sebagai tempat menghadap shalat pada ayat di atas adalah sebagai cerminan
keistemewaan manusia seperti perintah shalatفاقيموالصلوة …. Maksudnya, jika kamu diberi keistimewaan berupa
kehormatan sembahlah Dia, nafkahkanlah apa yang telah dianugrahkan kepadamu,
kepada fakir miskin dan janganlah meminta pertolongan kecuali kepada-Nya,
karena Dialah sebaik-baik pemberi pertolongan. Ayat yang semakna dengan ayat
tersebut antara lain adalah Qs.al-Baqarah (2):286, yaitu :
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا
إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا
تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا
إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا
مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ
مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
Artinya : Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat
pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): "Ya Tuhan kami, janganlah
Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah
Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada
orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada
kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma`aflah kami; ampunilah kami;
dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum
yang kafir".
Setelah memperhatikan ayat-ayat di atas, maka
Islam secara prinsip tidak akan memberi beban kepada pemeluknya, karena
kedatangan Islam secara hakiki adalah memberikan kemudahan bagi pemeluknya
sekaligus juga menumbuhkan kesadaran kepada dirinya bahwa agama bukanlah
taklif, akan tetapi suatu kebutuhan bagi kehidupan manusia.
4. TIDAK
DISKRIMINATIF KEPADA OBJEK DAKWAH
Didalam
al-Qur’an sangat tegas sekali larangan merendahkan atau melecehkan ketaatan
seseorang beribadah kepada Allah Swt.. seperti terdapat dalam firman-Nya surat
al-An’am 52, (6) : yaitu :
وَلَا
تَطْرُدِ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ
وَجْهَهُ مَا عَلَيْكَ مِنْ حِسَابِهِمْ مِنْ شَيْءٍ وَمَا مِنْ حِسَابِكَ
عَلَيْهِمْ مِنْ شَيْءٍ فَتَطْرُدَهُمْ فَتَكُونَ مِنَ الظَّالِمِينَ
Artinya : Dan
janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di
petang hari, sedang mereka menghendaki keredhaan-Nya. Kamu tidak memikul
tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka dan merekapun tidak memikul
tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak)
mengusir mereka, sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim.
·
Sebab Nuzulnya
Ayat
ini diturunkan sehubungan dengan enam orang sahabat yang berada di
samping Rasulullah Saw. Mereka itu diantaranya Sa’ad bin Abi Waqqas dan
Abdillah bin Mas’ud. Ketika itu orang-orang kafir Quraish berkata kepada
Rasulullah Saw. : “ usirlah mereka! Sebab kami merasa malu menjadi pengikutmu
seperti mereka yang hina itu.” Kata-kata orang kafir ini sangat menusuk hati
Rasulullah Saw. Sehubungan dengan ini Allah Swt.. menurunkan ayat ini sebagai larangan terhadap
kaum muslimin mengadakan penilaian terhadap seorang serta membedakan pangkat
dan kedudukkan dalam pergaulan. ( H.R. Ibnu Hibban dan Hakim dari Sa’ad bin Abi
Waqqas).[25]
Dalam riwayat lain disebutkan waktu
pembesar-pembesar kaum kafir Quraish lewat dihadapan Rasulullah Saw. yang duduk
bersama Khabab bin Arat, Shuhaib, Bilal bin Rabah dan Ammar bin Yasir seorang budak yang telah
dimerdekakan. Mereka berkata : “ Wahai Muhammad, apakah kamu rela duduk
setingkat mereka. Apakah mereka itu gelah diberi nikmat oleh Allah melebihi
kami. Seandainya kamu tidak keberatan mengusir mereka tentu kami akan mengikuti
ajaranmu.” Sehubungan dengan itu Allah Swt.. menurunkan ayat ini sebagai
ketegasan dan larangan terhadap kaum muslimin mengadakan penilain terhadap
martabat orang lain. (H.R. Ahmad,Thabrani dan Ibnu Hatim dari Ibnu Mas’ud).[26]
Versi lainnya menyebutkan bahwa pada
suatu waktu Uthbah bin Rabi’ah, Muth’im bin Adiy dan Harist bin Naufal dari
kalangan pembesar kafir Quraish Bani Abdil Manaf datang menghadap kepada Abi
Thalib, paman Rasulullah Saw. Yang juga ayah Ali, seraya berkata: “Wahai Abi
Thalib, kalau sekiranya anak saudaramu (Muhammad) bersedia mengusir para budak
yang berada disisinya, tentu kami akan lebih berbahagia dan akan menjadi
pengikutnya yang taat dan setia kepadanya.” Abi Thalib menyampaikan tawaran ini
kepada Rasulullah Saw. Mendengar tawaran ini Umar bin Khatab langsung berkarta:
“ Sekiranya engkau, wahai Rasulullah, memenuhi permintaan mereka, kita lihat
apa saja yang akan terjadi dan apa yang mereka minta lagi.” Sehubungan dengan
peristiwa ini Allah Swt.. menurunkan ayat ini sebagai ketegasan tentang perintah
kepada Rasulullah Saw. untuk menyampaikan wahyu tentang larangan mengusir
orang-orang yang telah beribadah kepada Allah Swt.. sekalipun mereka
bermartabat rendah. Disamping ayat ini juga menyatakan pelarangan mengadakan
penilaian terhadap martabat seseorang, sebab Allah Swt.. lebih mengetahui
keadaan mereka yang selalu bersyukur kepada-Nya. (H.R. Ibnu Jarir dari
Ikrimah). [27]
Penggalan
ayat وَلَا تَطْرُدِ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ
وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ bermakna
hai Rasul janganlah kamu mengusir orang-orang mukmin yang mentauhidkan Allah,
yang berdoa kepada Tuhannya diwaktu pagi dan petang. Doa di sini bisa berarti
shalat, shalat memang merupakan salah satu bentuk doa. Shalat pada masa
permulaan Islam dilaksanakan pada dua waktu yaitu pagi dan sore. Yuriduna
Wajhah, ditafsirkan dengan mereka berdoa kepada Tuhannya baik diwaktu pagi
maupun diwaktu malam karena menginginkan ridha-Nya. Penafsiran seperti ini
antara lain dapat dilihat dalam QS.al- Insan (76) : 9, yaitu :
إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا
Artinya : Sesungguhnya
Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami
tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.
Terdapat persamaan antara respon
masyarakat terhadap dakwah Rasulullah Saw. dengan respon yang diberikan
umat-umat terdahulu kepada Rasul-Rasul yang diutus kepada mereka. Persamaan
pertama yaitu bahwa orang-orang yang pertama mengikuti ajarannya adalah dari
kalangan orang-orang lemah dan miskin. Persamaan kedua adalah dari segi musuh
yang dihadapi, mereka itu cenderung menghina orang-orang yang lebih dahulu
mengikuti ajaran nabi dan mereka tidak rela diperlakukan sama dengan
orang-orang tersebut.
Argumen tersebut dapat dilihat dari
sikap umat-uamt terdahulu kepada Rasul-Rasul Allah, Allah Swt.. misalnya,
merekam perkataan pemimipin orang kafir terhadap Nabi Nuh as. Seperti termaktub
dalam QS. Hud (11) : 27;
Artinya : Sesungguhnya
jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan
hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat
ma`siat lagi sangat kafir.
Sekalipun
Nabi Nuh As. Mengungkap isyarat keinginan para pemimpin kafir quraish tersebut
untuk memintanya agar mengusir orang lemah yang sudah beriman, dia tetap tidak
akan melakukannya, karena tugasnya hanyalah memberi peringatan. Sikap Nabi Nuh
ini antara lain dapat dilihat dalam QS. al-Syu’ara (26) : 114-115, yaitu :
وَمَا أَنَا بِطَارِدِ الْمُؤْمِنِينَ(114)إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ مُبِينٌ
Artinya: Dan aku sekali-kali tidak akan mengusir
orang-orang yang beriman. Aku (ini) tidak lain melainkan pemberi peringatan
yang menjelaskan".
Pernyataan yang
senada disebutkan dalam QS.Hud (11) : 29, yaitu :
وَيَا
قَوْمِ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالًا إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللَّهِ
وَمَا أَنَا بِطَارِدِ الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ
وَلَكِنِّي أَرَاكُمْ قَوْمًا
Artinya : Dan (dia
berkata): "Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai
upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan
mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu
dengan Tuhannya, akan tetapi aku memandangmu suatu kaum yang tidak
mengetahui".
Menurut al-Maraghi, dari ayat ini
dipahami bahwa Rasul tidak memiliki wewenang untuk melakukan hisab terhadap
perbuatan orang-orang yang menyeru Tuhan di waktu pagi dan petang.
Konsekuensinya adalah Rasul tidak mempunyai alasan untuk mengusir mereka dengan
mengklaim perbuatan mereka buruk sebaiknya merekapun tidak mempunyai alasan
untuk menghisab perbuatan Rasul. Hak penghisapan adalah pada Allah Swt..bukan
pada Rasul.
Ayat ini mengindikasikan bahwa pengusiran dapat membawa pelakunya pada kezaliman. Pengusiran didasarkan pada perbuatan buruk yang dilakukan, setelah penghisabandan pembalasan atas suatu amal perbuatan, yang sepenuhnya menjadi hak Allah Swt.. Allah berfirman dalam QS. al-Syu’ara (26) : 113, yaitu : Artinya : Perhitungan (amal perbuatan) mereka tidak lain hanyalah kepada Tuhanku, kalau kamu menyadari.
Pernyataan
yang semakna dengan ayat tersebut yaitu QS.’Abasa (80) : 1-2, yaitu : عَبَسَ
وَتَوَلَّى(1)أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى . Sebab nuzul ayat ini : versi menyebut,
menurut suatu riwayat, pada sauatu ketika Rasulullah Saw. menerima dan
berebicara dengan pemuka-pemuka Quraish seperti Uthbah bin Rabi’ah, Abu Jahl,
Abbas bin ‘Abd al-Muthalib, Ubay bin Khalaf dan Umayyah bib Khalaf, ia
mengharapkan masuk Islam. Dalam pada itu datanglah Abdullah bin Ummi Maktum,
seorang sahabat nabi yang buta yang mengharapkan agar Rasulullah Saw.
membacakan kepadanya ayat-ayat al-Qur’an yang telah diturunkan Allah.Tetapi
Rasulullah Saw. bermuka masam dan memalingkan muka dari Ibn Ummi Maktum yang
buta itu, lalu Allah menurunkan surah ini sebagai teguran atas sikap Rasulullah
terhadapnya.
Penafsiran An Enlightening
Comment in The Light Of the Holy Qur’an mengemukakan versi lain sebab nuzul
ayat ini, yaitu seorang laki-laki dari kalangan Umaiyah sedang duduk di samping
Nabi Muhammad Saw. di saat itu Abdullah ibn Ummi Maktum datang ketika orang
tersebut melihat Abdullah ia membelakanginya, seakan-akan ia terpegaruh dengan
kedatangannya. Diinformasikan bahwa Imam Shadiq menyetujui pendapat ini ketika
ia ditanya tentang sebab nuzul ayat ini.
Sayyed Murtaz, ulama besar Islam menerima sebab nuzul ini.
Agaknya memang tidak ada indikator
dalam ayat ini yang menunjukkan secara jelas bahwa ia ditunjuk kepada Muhammad
Saw. Satu-satunya sinyal dapat ditemukan pada ayat 8 sampai 10 ketika mereka
mengatakan :”Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk
mendapatkan pengajaran), sedang ia takut kepada (Allah), maka kamu
mengabaikannya. Inilah indikasi yang mungkin benar tentang Nabi Muhammad saw
ketimbang orang lain. Akan tetapi menurut apa yang telah dikatakan Sayyed
Murtaz, terdapat beberapa sinyal dalam ayat yang menunjukkan bahwa orang
dimaksudkan bukanlah Nabi Muhammad Saw. Beberapa alasan dapat dikemukakan
sebagai berikut:
Memalingkan wajah bukanlah karakter
dan perlakuan nabi-nabi, utamanya nabi Islam. Beliau berbicara dengan ramah
dengan muka yang manis sungguhpun keadaan musuh-musuhnya dan tentunya lebih
sopan lagi terhadap orang mukmin yang selalu mencari kebenaran. Lebih dari itu
mencurahkan perhatian kepada orang kaya dan mengabaikan orang fakir tidak dapat
diterima sama sekali dengan apa yang telah dikatakan tentang dirinya dalam Qs
al-Qalam (68):4,” yaitu :
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Artinya :
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung,” (dengan catatan
bahwa surah al-Qalam telah diturunkan sebelum surah ‘Abasa)
Namun anggaplah sebab nuzul versi
pertama yang benar, tindakan ini tak lebih sebagai meninggalkan sesuatu untuk
mendapatkan yang lebih baik dan tidak terdapat didalamnya yang bertentangan
dengan status kemaksuman. Karena pertama, tujuan Nabi secara pasti untuk
mempengaruhi pemimpin kaum Quraish agar menyebarkan Islam dan berhenti
melakukan sabotase. Kedua, tidak begitu menjadi masalah untuk memalingkan muka
dari orang buta karena ia tidak dapat melihat. Lebih dari itu Abdullah Ibn Ummi
Maktum tidak menuruti aturan etika, karena ia sesungguhnya tidak mengintrupsi
Nabi di saat beliau sedang sibuk berbicara dengan orang-orang yang berkumpul di
sana.
Sebaliknya, karena penekanan Allah
adalah pada cinta dan afeksi kepada orang miskin dan papa, diantara orang
mukmin, tidak terbuktikan sedikitpun kurang perhatian Rasul kepada hamba yang
beriman, karena itu ia menghargainya. Di sisi lain, jika kita menganggap Nabi
Saw. sebagai suatu kebenaran, Nabi besar, dari ayat-ayat ini dapat dilihat
bahwa hal itu merupakan sebuah mukjizat, karena pemimpin besar Islam
menyebutkan beberapa tanggung jawab penting dalam kitab suci, tentang dirinya
sendiri, bahwa ia menemukan meninggalkan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih
baik sebagai suatu pilihan : Yakni sejumlah kecil kurang perhatian kepada
seorang mukmin buta yang mencari kebenaran, yang Allah menjadikannya
peringatan. Inilah suatu pembuktian fakta bahwa kitab ini dari Allah dan ia
adalah seorang Nabi yang benar, karena jika buku ini bukan dari Allah, tentunya
ia tidak memuat materi seperti itu.
Suatu hal yang lebih menakjubkan
adalah bahwa menurut riwayat tersebut, dimanapun Nabi melihat Abdullah Ibn
Maktum, ia mengingat peristiwa itu dan memberikannya penghormatan yang layak.
Aspek lain yang dikandung ayat tersebut adalah bahwa kultur Islam dalam
hubungannya dengan perilaku yang ditunjukkan pada orang tertindas dan orang
arogan : Seperti bagaimana ia
mempertimbangkan orang mukmin yang buta lagi miskin dibandingkan dengan para
pemimpin musyrik Arab yang kaya lagi berkuasa. Hal ini dengan jelas menunjukkan
bahwa Islam merupakan suatu dukungan terhadap kelompok tertindas dan melawan
orang arogan.
Kesimpulannya, bahwa kendatipun
riwayat versi pertama mengenai sebab nuzul ayat terkenal dikalangan mufasir,
bahwa tidak ditemukan isyarat yang pasti dalam ayat ini untuk membuktikan
pandangan bahwa Nabi Saw. menjadi tujuan yang jelas dari peringatan. Implikasi
tafsir kedua ayat tersebut yaitu bahwa seorang dai sebaiknya memperlakukan sama
setiap obyek dakwah. Pelayanan dakwah tidak hanya diberikan pada
kelompok-kelompok tertentu yang mungkin secara kasat mata lebih menguntungkan,
baik ekonomis, politis, maupun stastus sosial.
5. MEMBERIKAN KETELADANAN
KEPADA AUDIENS
Kata telada dalam bahasa Arab
dikenal dengan istilah Uswatun. Didalam al-Qur’an kata أسوة (uswatun) hanya ditemukan
tiga kali dalam dua surat yaitu : surat al-Ahzab; 21 (33/90)
dan surat al-Mumtahanah; 4, 6 (60/91).[28] Memperhatikan dari segi turun kedua surat ini
adalah sama-sama surat madaniyah, surat al-Mumtahanah diturunkan sesudah surat
al-Ahzab. Hal dapat dilihat pada surat dan ayat sebagai berikut :
a. Surat al-Ahzab; 21
(33/90) yaitu : Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Uswatun hasanah yang
dimaksudkan di sini adalah tertuju kepada Nabi Muhammad Saw. yaitu suri teladan
tentang keimanannya yang kuat, berani, sabar, tabah menghadapi segala
ketentuan-ketantuan Allah dengan menampilkan akhlak yang mulia. Mengorbankan
dirinya untuk menegakkan agama Allah melalui perang, mengharapkan pahala dari
Allah pada hari akhirat, mengharapkan menemui Allah dengan imannya, meyakini
adanya hari berbangkit sebagai hari pembalasan perbuatan, takut akan ‘ikabnya dan harap akan pahalanya.[29]
Keteladanan Nabi Muhammad Saw. yang sangat menonjol adalah budi pekertinya yang
luhur ditengah kehidupan masyarakat yang penuh dengan dosa dan maksiat.
b. Surat al-Mumtahanah; 4 (60/90), yaitu :
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan
orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka:
"Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah
selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu
permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah
saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: "Sesungguhnya aku akan
memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan)
Allah". (Ibrahim berkata): "Ya Allah kami, hanya kepada Engkaulah
kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada
Engkaulah kami kembali.
c. Surat
al-Mumtahanah; 6 (60/91), yaitu : Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan
umatnya) ada teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang yang mengharap
(pahala) Allah dan (keselamatan pada) hari kemudian. Dan barangsiapa yang
berpaling, maka sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Maha Kaya lagi terpuji.
Uswatun
hasanah pada ayat di atas tertuju kepada Nabi Ibrahim dan orang-orang yang
bersamanya. Uswatun di sini adalah bagi orang yang haus kepada kebaikan dan
pahala dari Allah baik pada kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat serta
mengharapkan kesuksesan hidup akhirat. Keteladanan tersebut menggerakkan kepada
keimanan bagi semua orang yang beriman dengan Allah dan meyakini tentang
janji-janjinya.[30]
Keteladanan Nabi Ibrahim yang sangat menonjol adalah mempertahankan
ke-Maha-Esaan Allah dengan segala konsekwensinya, sekalipun bapaknya sendiri
seorang yang bertugas membuat berhala, namun hal itu bukanlah menjadi halangan
baginya dalam mendakwahkan ke-Esaan Allah kepada masyarakat.
Memperhatikan
ketiga kata uswatun dalam al-Qur’an, para mufassir
menganalisanya, antara lain: Imam Ahmad Mushtafa al-Maraghi mengemukakan bahwa
ungkapan uswatun pada ketiga ayat di
atas adalah, pertama yang terdapat pada al-Ahzab 21 menunjukkan sebagai contoh
yang paling tinggi, panutan yang baik, baik dari segi amaliyah maupun
kesuksesan dalam melaksanakan ketentuan Allah Swt. [31] Sedangkan
pada surat al-Mumtahanah; 4-6 uswatun semakna dengan al-qudwah[32] yaitu
sesungguhnya pada diri Nabi Ibrahim terdapat suri teladan yang baik bagi orang -orang mukmin dan orang-orang yang
bersamanya dalam mentaati Allah. Kata al-Qudwah merupakan seperangkat
keteladanan yang baik bukan hanya
melalui bahasa kumunikasi transaksi dengan audiens, akan tetapi
diinternalisasikan dalam kehidupan nyata,[33] baik
dalam perkataan, perbuatan maupun dalam sikap dan tingkah laku kesehariannya,
menjadi panutan oleh lingkungannya.
Sedangkan
menurut Wahbah al-Zuhaili, uswatun
pada surat al-Ahzab; 21 Allah menyuruh kepada pengikutnya untuk mengikuti
cara-cara Nabi Muhammad Saw. pada peristiwa al-Ahzab, yaitu yaitu peperangan yang dilancarkan oleh orang-orang Yahudi,
kaum munafik dan orang-orang musyrik
terhadap orang-orang mukmin di Madinah,
mereka telah mengepung rapat orang mukmin sehingga sebagian mereka telah putus
asa dan menyangka bahwa mereka akan
dihancurkan oleh musuhnya. Peristiwa ini adalah ujian berat dari Allah kepada
kaum muslimin, sampai sejauhmana keteguhan iman mereka. Akhirnya Allah
menurunkan bala tenteranya yang tidak kelihatan
dan angin topan, sehingga musuh-musuh menjadi kacau dan melarikan diri.[34]
Mengikuti
Nabi Muhammad adalah dengan segala aspeknya, baik dari segi perkataan,
perbuatan, maupun sikap dan tingkah lakunya, kesabaran dan puncak kesabarannya,
perjuangan di medan perang dan
keseriusannya dalam menunggu
petunjuk Allah Swt.[35] Sementara pada surat al-Mumtahanah; 4 dan
6 uswatun dipahaminya sebagai al-qudwah baik dalam perkataan maupun
dalam perbuatannya, tidak menyembah selain Allah Allah seperti orang-orang
kafir. Oleh karena itu patut dijadikan sebagai suri teladan yang baik sebagai
seorang bapak para Nabi dan berserta orang-orang yang beriman yang
mengikutinya. Maka uswatun di sini adalah tertuju kepada orang yang mau
dalam posisi kebaikan dan pahala dari
Allah baik di dunia ataupun kesuksesan di akhirat kelak.[36]
Lebih jauh M. Quraish Shihab
menjelaskan bahwa al-Qur’an pada
hakikatnya telah mengajak Nabi Muhammad
mengikuti sifat-sifat para Nabi terdahulu. Sebagaimana Allah menyebutkan
dalam surat al-An’am; 83 dan 90 (6/55) yang menyebutkan terdapat 18 orang
Nabi pilihan yang patut dijadikan
sebagai panutan, [37] dalam membawa orang lain kepada kebenaran dan
petunjuk.
Allah Swt. di dalam al-Qur’an selain
mempergunakan kata uswatun hasanah, juga memakai akar kata أثر ( atsara), yaitu dampak atau
efek dari suatu perkataan, perbuatan dan sikap, baik dari
para Nabi, maupun dari peristiwa yang
terjadi pada masa lalu. Efek dari sebuah aktifitas atau peristiwa masa lampau
itu dapat dijadikan sebagai contoh bagi kehidupan. Begitu juga menjadi contoh
dalam melaksanakan sesuatu, atau dalam hal meninggalkannya. Kata astara
dalam al-Qur’an yang berimplementasi sebagai suatu yang dapat dijadikan contoh tergelar sebanyak lima
belas kali dalam sebelas surat.[38] Hal ini
dapat dilihat pada surat dan ayat berikut :
a. Surat al-Maidah;
46 (5/112), yaitu : Pada ayat ini Allahn telah memberi contoh secara jelas kepada umat Nabi Muhammad Saw. tentang
asal-usul keturunan Nabi-Nabi sampai
kepada Isa As. sekaligus dengan kitabnya membenarkan kitab yang sebelumnya,
yaitu: Taurat. Allah telah memberikan kepada
kaum Bani Israil Kitab Injil sedang di dalamnya (ada) petunjuk dan
cahaya (yang menerangi) dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Kitab
Taurat. Kitab Taurat tersebut menjadi petunjuk serta pengajaran untuk
orang-orang yang bertakwa. Maka kalimat atsarihim pada ayat ini adalah
bahwa kaum Isa mengikuti atau mengiringi kaum sebelumnya sebagai Rasul mereka
sebagaimana juga Nabi Musa sebagai Rasul bagi kalangan Bani Israil.[39] Allah
mengutus Nabi Isa ibn Maryam setelah Musa yang mendasari hukum mereka kepada
kitab Taurat sebagai jalan yang mereka
tempuh baik dalam perkataan, maupun
dalam perbuatannya.[40]
b. Surat al-Kahfi; 6,
64 (18/69) yaitu : (6) Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu
karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman
kepada keterangan ini (Al Qur'an). Kata atsarihim pada ayat ini adalah dengan pengertian setelah
mereka berpaling[41] dari
keimanan, karena mereka tidak beriman dengan al-Qur’an, sehingga ia
mencelakakan dirinya sendiri. Maka Allah mengingatkan bahwa siapa yang mendapat
petunjuk adalah untuk dirinya dan siapa
yang mendapat kesesatan, maka kesesatan itu
adalah dari dirinya sendiri. (64)
Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". Lalu keduanya
kembali, mengikuti jejak mereka semula. Sedangkan pada ayat 64 kata astarihima
berkonotasi menelusuri kembali jejak semula.[42] Ayat di
atas sekaitan dengan hadis Nabi Muhammad Saw.. tentang Musa dan Khaidir dalam
peristiwa mencari ilmu. Nabi Musa ketika berpisah dengan Khaidir, lalu ia ingin
mencari kembali ketempat ia bersama Khaidir, ternyata Musa tidak
mendapatkannya.
c. Surat Thaha;
84 (20/45) yaitu : Berkata Musa:
"Itulah mereka sedang menyusuli aku dan aku bersegera kepada-Mu. Ya
Allahku, agar supaya Engkau ridha (kepadaku)". (96) Samiri menjawab:
"Aku mengetahui sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya, maka aku ambil
segenggam dari jejak Rasul lalu aku melemparkannya, dan demikianlah nafsuku
membujukku".
d. Surat al-Rum; 50
(30/84), yaitu : Maka perhatikanlah bekas-bekas rahmat Allah, bagaimana Allah
menghidupkan bumi yang sudah mati. Sesungguhnya (Allah yang berkuasa seperti)
demikian benar-benar (berkuasa) menghidupkan orang-orang yang telah mati. Dan
Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.
e. Surat Yasin; 12
(36/41) yaitu; Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami
menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka
tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh
Mahfuzh).
f. Surat al-Shaffat; 70 (37/56), yaitu : Lalu mereka sangat
tergesa-gesa mengikuti jejak orang-orang tua mereka itu.
g. Surat
Ghafir; 21, 82 (40/60), yaitu : (21) Dan
apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi, lalu memperhatikan
betapa kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Mereka itu adalah lebih hebat
kekuatannya dari pada mereka dan (lebih banyak) bekas-bekas mereka di muka
bumi, maka Allah mengazab mereka disebabkan dosa-dosa mereka. Dan mereka tidak
mempunyai seorang pelindung dari azab Allah. (82) Maka apakah mereka tiada
mengadakan perjalanan di muka bumi lalu memperhatikan betapa kesudahan
orang-orang yang sebelum mereka. Adalah orang-orang yang sebelum mereka itu
lebih hebat kekuatannya dan (lebih banyak) bekas-bekas mereka di muka bumi,
maka apa yang mereka usahakan itu tidak dapat menolong mereka.
h. Surat al-Zukhruf;
22, 23 (43/63), yaitu : (22) Bahkan mereka berkata: "Sesungguhnya kami
mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang
yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka." (23) Dan
demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun
dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu
berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu
agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka."
i. Surat
al-Ahqaf; 4 (46/66) yaitu ; Katakanlah:
"Terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu sembah selain Allah;
perlihatkan kepada-Ku apakah yang telah mereka ciptakan dari bumi ini atau
adakah mereka berserikat (dengan Allah) dalam (penciptaan) langit? Bawalah
kepada-Ku Kitab yang sebelum (Al Qur'an) ini atau peninggalan dari pengetahuan
(orang-orang dahulu), jika kamu adalah orang-orang yang benar".
j. Surat al-Fath; 29
(48/111), yaitu : Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama
dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang
sesama mereka, kamu lihat mereka ruku` dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya,
tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah
sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu
seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman
itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman
itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati
orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu'min). Allah menjanjikan
kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara
mereka ampunan dan pahala yang besar.
k. Surat al-Hadid; 27
(57/94), yaitu : Kemudian Kami iringkan di belakang mereka Rasul-Rasul Kami dan
Kami iringkan (pula) Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan
Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih
sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal Kami tidak mewajibkannya
kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari
keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang
semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka
pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik.
Memperhatikan ayat-ayat di atas
dapat dipahami bahwa di dalam al-Qur’an terdapat dua bentuk suri teladan yang
baik dijadikan panutan, yaitu pertama Nabi/Rasul-Nya itu sendiri, kedua dampak
dan akibat dari perbuatan umat sebelumnya. Dengan demikian suri teladan bukan
hanya tertuju kepada Nabi, akan tetapi juga kepada kejadian-kejadian masa
lalupun dapat dijadikan sebagai pelajaran bagi kehidupan.
Secara
psikologi pada dasarnya manusia cenderung memerlukan sosok teladan dan panutan
yang mampu mengarahkan kepada jalan kebenaran dan dapat memberikan
motivasi jiwa dalam membentuk kepribadian
yang sempurna. Rasulullah Saw. sebagai pembawa syari’at Allah adalah cerminan
ajaran Islam itu sendiri. Sehingga dalam memberikan materi dakwah, juru dakwah
diperintahkan untuk melihat langsung
cara Rasulullah melaksanakan ajaran agama Islam. Hal ini terlihat misalnya pada hadis riwayat Imam
Bukhari.
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ
سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ عَبْدِالرَّحْمَنِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ
عَبْدِاللَّهِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيُّ الْقُرَشِيُّ الْإِسْكَنْدَرَانِيُّ قَالَ
حَدَّثَنَا أَبُو حَازِمِ بْنُ دِينَارٍ أَنَّ رِجَالًا أَتَوْا سَهْلَ بْنَ
سَعْدٍ السَّاعِدِيَّ وَقَدِ امْتَرَوْا فِي الْمِنْبَرِ مِمَّ عُودُهُ
فَسَأَلُوهُ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ وَاللَّهِ إِنِّي لَأَعْرِفُ مِمَّا هُوَ
وَلَقَدْ رَأَيْتُهُ أَوَّلَ يَوْمٍ وُضِعَ وَأَوَّلَ يَوْمٍ جَلَسَ عَلَيْهِ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى فُلَانَةَ امْرَأَةٍ مِنَ الْأَنْصَارِ
قَدْ سَمَّاهَا سَهْلٌ مُرِي غُلَامَكِ النَّجَّارَ أَنْ يَعْمَلَ لِي أَعْوَادًا
أَجْلِسُ عَلَيْهِنَّ إِذَا كَلَّمْتُ النَّاسَ فَأَمَرَتْهُ فَعَمِلَهَا مِنْ
طَرْفَاءِ الْغَابَةِ ثُمَّ جَاءَ بِهَا فَأَرْسَلَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَ بِهَا فَوُضِعَتْ هَا هُنَا ثُمَّ
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى عَلَيْهَا
وَكَبَّرَ وَهُوَ عَلَيْهَا ثُمَّ رَكَعَ وَهُوَ عَلَيْهَا ثُمَّ نَزَلَ
الْقَهْقَرَى فَسَجَدَ فِي أَصْلِ الْمِنْبَرِ ثُمَّ عَادَ فَلَمَّا فَرَغَ
أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا صَنَعْتُ هَذَا لِتَأْتَمُّوا
وَلِتَعَلَّمُوا صَلَاتِي *
Artinya : … Qutaibah ibn Sa’id bercerita kepada saya (Bukhari), katanya, Ya’cub
Abdurrahman ibnMuhammad ibn Abdullah ibn Abd al-Quraish al-AskanDarani bercerita kepada saya,
katanya, Abu Hazim ibn Dinar bercerita, ada beberapa orang datang kepada Sahl
ibn Sa’ad al-Sai’di mereka memegang kayu mimbar, kemudian bertanya tentang kayu
itu. Ia menjawab, saya mengtehui dan melihat kayu itu sepanjang hari terletak
di sini dan Rasul duduk di atasnya. Waktu Rasul menyuruh seorang wanita Sahl
menyebut nama wanita itu--, perintahkan
anak-laki-lakimu kepada tukang kayu agar membuat kayu (tempat duduk) untuk
tempat duduk ketika aku berbicara di
hadapan orang banyak. Wanita itu memerintahkannya dan tepat duduk kayu itu dibuat dari kayu hutan. Setelah selesai
wanita itu mengirimkannya kepada Rasul.Rasulullah memerintahkan agar kayu
diletakan di sini. Kemudian sasya
melihat Rasul shalat, takbir dan ruku’. Dia turun mundur dan sujud ditepi lalu kembali lagi.Setelah
selesai memperagakan sshalat ia berkata dihadapan shahabat, wahai manusia,
sesungguhnya aku melakukan hal ini agar
kalian mengikutiku dan kemudian mengajarkan cara shalatku.
Secara
ilmiah menunjukkan bahwa keteladanan dalam bentuk peragaan (demonstrasi)
mengandung azas dakwah yang sangat esensial dalam mencapai tujuan Islam kepada
umat.
Pertama; Dakwah
Islam merupakan langkah konkrit yang senantiasa menyeru manusia kejalan Allah.
Dengan demikian seorang juru dakwah dituntut untuk menjadi teladan di hadapan
objek dakwah (mad’u), dengan harapan audiensnya dapat pula menindak
lanjuti perbuatan tersebut (al-Tathbiq). Setiap objek dakwah akan
meneladani subjek dakwah dan merasa puas dengan ajaran diterimanya, sehingga
prilaku ideal yang diharapkan dari objek merupakan tuntutan
realistik dan dapat diaplikasikan. Hal
itu tak obahnya seperti orang tua bagi anak-anaknya dalam keluarga. Sejak kecil
anak-anak diarahkan oleh Islam dari orang tuanya. Maka juru dakwah harus
menyempurnakan dirinya dengan akhlak mulia yang berasal dari al-Qur’an dan
sunnah Rasulullah.
Kedua; Hadis di
atas, mengisyaratkan bahwa Islam telah menjadikan Rasulullah sebagai teladan
abadi dan aktual sepanjang masa bagi setiap juru dakwah. Setiap juru dakwah
yang membaca pernyataan-pernyataannya akan menambah rasa cinta dan berhasrat untuk meneladaninya. Namun
perlu disadari bahwa keteladanan itu
bukan menunjukkan sebagai kekaguman kepadanya. Islam menjadikan keteladanan itu
agar manusia melakukan kepada dirinya sendiri, sesuai dengan kesanggupannya.
Keteladanan dalam Islam senantiasa terlihat dan tergambar jelas, sehingga tidak
beralih menjadi imajinasi kecintaan spritual tanpa dampak yang nyata. Agaknya
yang mempermudah pemindahan keteladanan itu adalah kesiapan meniru (imitasi) yang menjadi karakteristik manusia.
Secara psikologi, manusia memiliki
karakter untuk meniru pada figur yang
dicintainya. Peniruan itu bersumber dari kondisi mental seseorang yang
senantiasa merasa bahwa dirinya berada dalam perasaan yang sama dengan kelompok
lain (empati). Sehingga dalam peniruan itu, masyarakat sering cenderung meniru
orang yang lebih baik darinya, kaum lemah cenderung meniru orang kuat, bawahan
cenderung meniru atasan. Naluri ketundukkanpun bisa dikategorikan sebagai
pendorong untuk meniru, terutama anggota kelompok pada pemimpin kelompok
tersebut. Dalam perkembangannya, naluri untuk meniru, mulai terarahkan dan
mencapai puncaknya ketika metode dakwah mulai
dibuktikan, sehingga naluri meniru disempurnakan oleh adanya kesadaran,
ketinggian dan tujuan yang mulia. Pada dasarnya peniruan itu berpusat kepada
tiga aspek, yaitu :
1) Kesenangan
untuk meniru dan mengikuti. Seperti peniruan gaya bahasa, cara gerak, cara bergaul atau
berprilaku dari orang yang mereka kagumi.
2) Kesiapan
untuk meniru. Tahapan usia manusia memiliki kesiapan dan potensi yang terbatas
sesuai dengan tahapan tersebut. Justru itu Islam menekankan kewajiban shalat
pada anak yang usianya belum mencapai tujuh tahun dengan tetap menganjurkan
kepada orang tua untuk mengajak anaknya meniru gerakan-gerakan shalat. Namun
orang tua tetap harus memperhitungkan kesiapan dan potensi ketika anak meniru
seseorang. Biasanya, kesiapan untuk meniru muncul setelah seseorang mengalami
berbagai krisis. Dalam kondisi seperti manusia mencari panutan atau pimpinan
yang seluruh prilaku dan sosialnya akan
ditiru. Untuk itu seorang juru dakwah mampu menangkap fenomena psikologis
masyarakat.
3) Peniruan
terkadang memiliki tujuan yang sudah diketahui
oleh si peniru atau bisa jadi tujuan itu
sendiri tidak jelas. Pada umumnya bagi masyarakat, peniruan
lebih cenderung didorong oleh tujuan
kehidupan yang defensif, yaitu kecenderungan mempertahankan suatu idealogi.
Dari peniruan tersebut ia akan memperoleh kekuatan dan keperkasaan. Kegiatan
meniru ini akan meningkat menjadi kegiatan berfikir yang memadukan kesadaran,
keterkaitan, dan perasaan kebanggan jika pada
perkembangan meningkat. Dalam dakwah Islam peniruan yang dilandasi
kepada kesadaran ini meningkat menjadi ittiba’ yang jenis tersebut
meningkat bila disertai dengan petunjuk
atau pengetahuan tentang tujuan dan cara
menirunya.[43]
Dengan demikian, keteladanan
merupakan prinsip dakwah yang paling
potensial, bahkan paling besar pengaruhnya bagi manusia untuk menarik
manusia kepada kebaikan dan kebenaran. Karena
langsung menyentuh hati dan perasaan objek dakwah ketika menyaksikan praktek
nyata yang dilakukan juru dakwah. Keteladanan dapat mengubah pandangan dakwah dari teori kepada realita
yang dapat disaksikan dan dirasakan dari perkataan kepada pelaksanaan. Sekaligus dalam waktu
yang sama, keteladanan merupakan dakwah yang efektif dalam masyarakat. Karena
apa yang disampaikan dapat dipraktekan
secara nyata.
Prinsip uswatun hasanah dalam berdakwah akan mengandung pemaknaan bahwa
seorang juru dakwah sekaligus sebagai materi dakwah. Masyarakat yang melihat
sosok juru dakwah sudah merasakan bahwa sikap dan perbuatan adalah kebenaran
yang dibawa oleh juru dakwah. Nabi Muhammad Saw., dilihat ia sebagai manusia biasa yang perlu makan, minum dan
lain-lain. Semua itu menunjukkan bahwa Allah telah menetapkan Muhammad sebagai
teladan bagi manusia dalam melaksanakan ajaran-Nya.[44] Sekaligus
membuktikan bahwa tuntunan Allah dapat dilaksanakan oleh manusia.
Ayat di atas membawa pesan bahwa
orang-orang muslim harus meneladani Nabi Saw. dalam semua perbuatan dan keadaannya. Juru dakwah, tiada jalan lain terkecuali meneladaninya, baik
perkataan, perbauatan maupun sikap dan tingkah lakunya. Lebih lebih jauh lagi
antara perkataan dengan perbuatan adalah konsisten . Bila juru dakwah konsisten, maka objek dakwah
melihatnya sebagai sosok yang kontroversial.
Pengaruh, baik langsung ataupun
tidak dari sebuah keteladanan, akan menentukan sejauhmana seseorang memiliki
sifat yang mampu mendorong orang lain untuk meniru dirinya, baik dalam keunggulan
ilmu pengetahuan, kepemimpinan maupun ketulusannya. Dalam kondisi yang
demikian, pengaruh keteladanan itu akan terjadi secara spontan. Ini berarti
bahwa setiap orang yang ingin dijadikan panutan oleh orang lain harus senantiasa mengontrol prilakunya
dan menyadari bahwa ia akan diminta pertanggungjawaban dari Allah Swt. atas
segala tinduk tanduk yang diikuti oleh masyarakat banyak. Semakin tulus,
semakin bertambahlah kekaguman orang kepadanya, sehingga bertambah pula
kebaikan dan dampak positifnya. Pemberian pengaruh kepada audiens bisa jadi
secara sengaja dan sangat boleh jadi dalam bentuk demontratif, yaitu melihatkan
kepada orang lain bagaimana mengembangkan sesuatu yang mereka kerjakan. Lalu
diberi petunjuk sehingga audiens dapat melakukan sendirinya.
Dalam melaksanakan dakwah,
Rasulullah Saw. selalu menyesuaikan diri dengan apa yang ia sampaikan kepada
umat. Artinya apa yang ia perintahkan ia kerjakan, dan apa ia larang ia juga
meninggalkannya. Misalnya perintah shalat seperti dalam hadis ia bersabda :
حدثنا محمد بن المثنى قال حدثنا
عبد الوهاب قال حدثنا أيوب عن ابى قلابة قال حدثنا مالك قال أتينا الى النبى صلى
الله عليه وسلم ونحن شببة متقاربون فأقمنا عنده عشرين يوما وليلة وكان رسول الله
عليه وسلم رحيما رفيقا فلما ظن انا قد اشتهينا اهلنا او قداشتقنا سألنا عمن تركنا
بعدنا فأخبرناه قال ارجعوا الى اهلكم فأقيموا فيهم وعلموهم ومروهم وذكر اشياء
احفظها وصلوا كما رايتموني اصلى. (رواه البخـارى [45]
Artinya : … Muhammad
ibn al-Mutsanni bercerita kepada saya (Bukhari), katanya, Abdul Wahab bercerita kepada saya, dari Abu
Qilabah, katanya, Ayyub bercerita kepada saya, katanya, saya datang kepada
Nabi. Saya meninggalkan anak-anak remaja perempuan bersama keluarga. Tinggal
bersama Nabi selama dua puluh hari dan malam . Nabi sangat suka dan lembut kepadaku. Ketika Nabi menduka
ketika saya sedang rindu kepada keluargaku, maka ia menanyakan kepadaku tentang
orang-orang yang saya tinggal (dirumah).
Saya menceritakan semua kepada Nabi. Lalu Nabi
mengatakan: Kembalilah kepada keluargamu, tinggallah bersama mereka, ajarkan
(agama) kepada mereka dan perintahkan
mereka sesuai yang saya ajarkan
kepadamu, kerjakanlah shalat seperti kamu melihat diriku shalat.
Dari hadis
di atas dapat dipahami bahwa dakwah yang disampaikannya tidak hanya melalui
teori, atau hanya sekedar memberi arahan, atau menggambarkan sesuatu yang wujud
pelaksanaan tidak dipraktekkan, maka dakwah yang seperti itu adalah sangat
sia-sia. Termasuk dalam memberi nasehat, jika belum pernah melakukannya,
agaknya untuk tidak memberi nasehat kepada orang lain. Atau sama halnya dengan seorang juru
dakwah sering menjelaskan masalah iman dan taqwa, padahal sang juru dakwah
sendiri tidak mengerti apa yang dimaksudkannya dengan nasehatnya itu. Dengan
demikian dapat ditanggkap bahwa metode ini adalah masalah yang memamg
benar-benar diketahui dan mampu dilaksanakan oleh juru dakwah itu sendiri. Hal
ini sesuai dengan Firman Allah surat al-Shaffat; 2-3 yaitu :
فَالزَّاجِرَاتِ زَجْرًا(2)فَالتَّالِيَاتِ ذِكْرًا
Artinya : Demi
(rombongan) yang melarang dengan sebenar-benarnya (dari perbuatan-perbuatan
ma`siat), dan demi (rombongan) yang membacakan pelajaran.
Para shahabat sebagai objek dakwah ketika itu tidak merasa
kesulitan dalam melaksanakan perintah-perintah Nabi, karena mereka telah
melihat peragaan praktis dari perintah tersebut. Dalam hal-hal yang sangat pribadi, misalnya masalah perempuan, ia tidak
memberikan petunjuk langsung, tetapi ia sampaikan melalui isterinya. Contoh
Nabi menjawab wanita Anshar tentang bagaimana cara membersihkan bekas-bekas
darah haid. Nabi mengatakan ambil kain yang halus dan beri wangi-wangian.
Tekan-tekanlah kain itu. Nampaknya wanita itu kurang paham dengan penjelasan
Nabi tersebut, maka dia berulang-ulang menanyakan kepada Nabi, sehingga Nabi menerangkan dengan rinci kepada
A’isyah, melalui dia wanita tersebut diajaknya masuk kamar dan menjelaskan cara
membersihkan bekas-bekas darah haid tersebut, sehingga wanita tersebut dapat
memahaminya dengan sempurna.
Lebih jauh
sebagai teladan yang baik dalam masyarakat, Nabi membangun masjid untuk
mewujudkan suatu tempat pertemuan bagi
seluruh muslimin, kemudian ia mempersaudarakan mereka guna menyatukan
hati, agar terbentuk suatu kelurga Islam yang kompak dan dinamis.[46] Bukti ini menunjukkan bahwa jika Nabi ingin
membentuk jam’ah, pekerjaan yang pertama ia kerjakan bukan mengumpulkan dan mencari orang-orang yang ingin ia
satukan, akan tetapi yang ia kerjakan terlebih dahulu adalah membuat fasilitas
dan wadah tempat berkumpul bagi masyarakat, sehingga untuk mewujudkan keinginannya dapat terealisasi dengan baik.
Pada masa Orde Baru disebut dengan dakwah pembangunan atau dalam bahasa agama
dikenal dengan dakwah bi al-hal. Sebagaimana pepatah Arab mengatakan (لسان
الحال افصح من لسان المقال ) “ Tindakan itu lebih baik dari ucapan”.[47]
Selain
uswatun hasanah dari para Nabi dan Rasul, tidak kalah penting adalah astara,
(dampak) ketimbang uswatun. Kalau ungkapan astara lebih berkonotasi kepada pristiwa masa lalu yang terjadi
dikalangan masyarakat. Kejadian tersebut sekaligus memberikan pelajaran kepada
manusia, sedangkan uswatun tertuju kepada pribadi Nabi dan Rasul dalam upayanya
memperjuangkan agama tauhid kepada masyarakat. Keteladan tersebut dijadikan
sebagai suri teladan dalam kehidupan, terutama bagi juru dakwah yang telah
merelakan dirinya untuk memperjuangkan agama Islam kepada manusia.
Setelah
memperhatikan uraian di atas dapat dipahami bahwa prinsip juru dakwah dalam
bentuk uswatun hasanah, bukan hanya pada aspek yang ada pada pribadi Nabi, tetapi juga terhadap aspek kongkrit
dari apa yang dilakukannya dalam kehidupan masyarakat. Dengan kata lain disebut
dakwah bi al-hal, yaitu dakwah melalui gerakan nyata dan melalui
perbuatan. Kenyataan dakwah seperti ini dikalangan orang Arab mendapat respon
yang sangat positif sekali, sehingga banyak dari kalangan mereka yang masuk
agama Islam.-
5. TIDAK
MENGHARAPKAN IMBALAN DUNIAWI
Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin menuntut penganutnya agar selalu dalam ikhlas dan menuntut keredaan Allah, sehingga apa yang mereka lakukan dalam menempuh kehidupan di dunia ini, tertutama sekali dalam menyampaikan ajaran agama kepada orang lain supaya tidak meminta upah kepada orang yang akan diajak kepada Islam. Larangan meminta itu ditegaskan oleh Allah dalam al-Qur’an surat al-Furqan 56-57, (25) : yaitu;
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا مُبَشِّرًا وَنَذِيرًا(56)قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِلَّا مَنْ شَاءَ أَنْ يَتَّخِذَ إِلَى رَبِّهِ سَبِيلًا
Artinya : Dan
tidaklah Kami mengutus kamu melainkan hanya sebagai pembawa kabar gembira dan
pemberi peringatan. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada
kamu dalam menyampaikan risalah itu, melainkan (mengharapkan kepatuhan)
orang-orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhannya.
Said Hawwa (1989) menafsirkan ayat
ini dengan aku tidaklah menuntut upah dari kamu atas dakwah yang kulakukan. Aku
melakukan demikian hanyalah untuk mengharapkan keredhaan Allah Swt.. Prinsip
tersebut sangat signifikan mengingat disebutkan sekitar 13 kali dalam al-Quran.
Hal ini tidak tertuju kepada seorang Rasul, akan tetapi kepada hampir semua
Rasul, seperti juga disampaikan kepada Nabi Nuh as, Nabi Hud as, Saleh as, Nabi
Luth as dan Nabi Syuaib as masing-masing dalam al-Qur’an ditemukan misalnya
surat al-Syu’ara’ 109, 127, 145, 164, dan 180, (26). Dengan demikian perlu
ditegaskan bahwa kegiatan berdakwah itu bukan dimaksudkan untuk mendapatkan
imbalan duniawi dalam bentuk apapun.
Kata “sabila” pada ayat di
atas semakna dengan “thariqa, maslaka dan manhaj.”Tafsirnya adalah :
upahku yaitu agar kamu mengikuti jalan Allah dengan iman, ketaatan, sedekah dan
infaq. Itulah upahku kerena sesungguhnya Allah yang memberikan upah kepadaku
atas pelaksanaan dakwah tersebut.
Menurut M.Quraish Shihab (2000),
kerena ciri khas dakwah keagamaan bersumber dari “langit”sehingga para
penyampainya harus mampu melepaskan kaitan antara dakwanya dengan tujuan-tujuan
pribadinya yang bersumber dari “bumi” (keduniaan). Apabila hal ini terjadi
terbukalah pintu selebar-lebarnya untuk mencemohkan dan mengabaikan ajarannya.
Dakwah harus dibebaskan dari kepentingan duniawi pengajaknya karena kalau tidak
demikian, ia harus diputarbalikan atau dalam istilah Al-Qur’an ia iakan
ditakwilkan (QS.Al-Imran (3) :7) demi kepentingan pribadi guna menciptakan
kesempatan berkuasa, mempertahankan kedudukan, memperoleh popularitas dan atau
menimbun materi. Ayat yang senada dengan ayat tersebut, antara lain yaitu Surat
Saba’(34):47, yaitu :
قُلْ مَا سَأَلْتُكُمْ مِنْ أَجْرٍ فَهُوَ لَكُمْ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللَّهِ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Artinya : Itulah
(karunia) yang (dengan itu) Allah menggembirakan hamba-hamba-Nya yang beriman
dan mengerjakan amal saleh. Katakanlah: "Aku tidak meminta kepadamu
sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan".
Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada
kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.
Ungkapan
yang senanda ditemukan juga pada surat al-Syura 23, yaitu :
ذَلِكَ الَّذِي يُبَشِّرُ اللَّهُ عِبَادَهُ
الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ
أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى وَمَنْ يَقْتَرِفْ حَسَنَةً نَزِدْ
لَهُ فِيهَا حُسْنًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ شَكُورٌ
Artinya : Itulah
(karunia) yang (dengan itu) Allah menggembirakan hamba-hamba-Nya yang beriman
dan mengerjakan amal saleh. Katakanlah: "Aku tidak meminta kepadamu
sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan".
Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada
kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.
Maksud ayat ini yaitu bahwa Rasulullah Saw. sekali-kali
tidak meminta upah atas dakwanya kepada mereka. Harapan yang diminta Rasulullah
Saw. hanyalah pengertiannya untuk menerima ajakan demi untuk kebahagiaan mereka
sendiri, baik di dunia maupun di akhirat.
Mengenai pertanyaan apakah secara mutlak seorang dai
tidak boleh menerima imbalan sama sekali dari obyek dakwanya. Dalam hal ini terdapat
tiga kelompok pandangan ulama.Kelompok pertama, terdiri atas ulama Mazhab
Hanafi dan lain-lain berpendapat bahwa imbalan tersebut haram, baik ada
perjanjian sebelumnya ataupun tidak.Kelompok kedua, terdiri atas imam maliki
bin Anas, Imam Syafi’i dan lain-lain memandang boleh baik di dahului perjanjian
atau tidak.Kelompok ketiga, terdiri atas al-Hasan al-Basahri, al-Sya’bi, Ibnu
Sirin dan lain-lain menekankan bahwa kalau ada perjanjian sebelumnya untuk
memungut imbalan maka hukumnya haram. Akan tetapi apabila tidak ada perjanjian
sebelumnya kemudian penceramahnya diberi imbalan, maka hal itu hukumnya boleh.
Moh.Natsir sendiri menyatakan bahwa pemberian dari penerima dakwah dapat
diterima karena hal itu merupakan wujud partisipasi masyarakat dalam kewajiban
dakwahnya, agar dakwah tetap berkesinabungan.
[1] Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir Fi al-Aqidah wa al-Syari’ah
wa al-Manhaj, Dar al-Fikr, Beirut, 1991, h. Jilid I, h. 21
[2] Ibid
[3] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Dar al-Fikr, Beirut
1365, Jilid I, h. 16
[4]Ibid
[5]Pemikiran Isa J. Boullata ini disarikan dari hasil berapa kali
kuliah umum yang ia berikan ketika penulis mengikuti program S2 IAIN al-Raniry
Banda Aceh tahu 1993.
[6]Al-Baqarah 251, yaitu : فَهَزَمُوهُمْ بِإِذْنِ اللَّهِ
وَقَتَلَ دَاوُدُ جَالُوتَ وَءَاتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ
وَعَلَّمَهُ مِمَّا يَشَاءُ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ
بِبَعْضٍ لَفَسَدَتِ الْأَرْضُ وَلَكِنَّ اللَّهَ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْعَالَمِينَ
[7]Salah satu contoh ialah “Piagam Aelia” (Mitsaq
Ayliya) yang dibuat oleh Khalifah Umar dengan patriak Yerussalem,
Sophronius, setelah kota suci tiga agama itu dibebaskan oleh kaum Muslim.
[8] John Herman Randall, Jr., The Making of
the Modern Mind, New York, Columbia University ress, 1976, h. 283
[9] Ibid. h. 376.
[10]Suatu kebencian kepada agama yang
meluap-luap, khususnya kepada agama Kristen saat itu, seperti dikemukakan oleh
Diderot, menjadi sebagian latar belakang hakikat paham mula-mula tentang
toleransi. Kita akan mengerti sedikit lebih baik sejarah perkembangan konsep
toleransi dan pluralisme jika kita mengetahui adanya kebencian kepada agama
seperti diwakili oleh Diderot. Sebab, pandangan itu kemudian diterapkan kepada
agama-agama lain tanpa dasar yang wajar. Kata Diderot, "The Cristian
religion is to my mind the most absurd and atrocious in its dogmas; the most
unintelligible, the most metaphysial, the most interwisted and obscure, and
consequently the most subject to divisions, sects,, schisms, and heresies; the
most mischievous for the public tranquility, the most dangerous to sovereign by
its hierarchic order, its persecutions, its discipline; the most flat, the most
dreary, the most Gothic, and the most gloomy in its ceremonies; the most
puerile and unsociable in its morality, considered not in what is common to it
with universal morality, but in what is peculiarly its own, and constitutes it
evangelical, apostolic, and Cristian morality, which is the most intolerant of
all. Lutheranism, freed from some absurdities, is preferable to Catholicism,
Protenstanism (Calvinism) to Lutheranism, Socianism to Protestanism, Deism,
with temples and ceremonies, to Socianism". (Diderot, Letter to
Damilaville, 1766, in “Euvre”, ed., Assezat et Tourneux, XIX, 477,
sebagaimana dikutip dalam John Herman Randall, Jr., The Making of the Modern
Mind, New York, Columbia University Press, 1976, h. 292.
[11]Kajian ini disari dari hasil pidato
Nurchalis Madjid pada acara Halal Bihalal KAHMI dengan penyuntingan dan
penyempurnaannya, Jakarta, 11 Syawal 1419 /28 Januari 1999
[13]Q.s., al-Baqarah/2:148
[14]Q.S., al-Maidah/5:48
[15]Q.S., Yunus/10:99
[16]Q.S.,
al-Baqarah/2:256
[17]Q.S., al-‘Ankabut/29:46
[18]Q.S., Alu Imran/3:113-115
[19]Q.S.,al-Baqarah/2:62
[20] Hadits, riwayat Imam Ahmad, yang lafalnya adalah kira-kira
demikian.
[21]Abi Qasim Jar-Allah Muhammad bin Umar al-Zamakhsyari al-Khawarijmi, al-Khasysyaf,
Maktabah Mishri, Tt, h. 239
[22]Lihat QS. Al-Baqarah; 185 dan
286
[23] Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, op.cit, jilid, XVII, h.
285
[24]Lihat Hadis Riwayat imam Bukhari dan Muslim
[25] Wahbah al-Zuhaili, Tafsir fil al-‘Aqidah wa al Syar’iyah wa la-Manhaj,
Dar al-Fikr, Lebanon, 1411H/1991 jilid VII, h. 208
[26] Ibid
[27] Ibid
[33]Q.S.al-Shaf; 3
(61/109) : يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا
لَا تَفْعَلُونَ(2)كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا ا
تَفْعَلُونَ(3)
[34]Dep. Agama RI, al-Qur’an
dan terjemahnya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir
al-Qur’an, 1971), h. 665
[37]QS. al-An’am; 90,
yaitu : أُولَئِكَ
الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهِ قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ
أَجْرًا إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرَى لِلْعَالَمِينَ
[39]Wahbah al-Zuhaili, op.cit.
jilid VI, h. 204
[40]Ahmad Musthafa
al-Maraghî, op.cit. jilid 2, h.
[41]Wahbah al-Zuhaili,
jilid XVI, op.cit, h. 204
[43]QS. Yusuf; 108
(12/53), yaitu : قل هذه
سبيلي أدعوا إلى الله على بصيرة أنا ومن اتبعني وسبحان الله وما أنا من المشركين
[44]QS. al-Ahzab; 21
(33/90), yaitu; لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ
حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ
كَثِيرًا
[45]Abî Abd Allâh
Muhammad bin Ismâîl bin Ibrahîm Ibn al-Mughîrah bin Bardizbah al-Bukhari, Shahih
al-Bukharî, al-Maktabah al-Bahiyyah, Mesir, 1349 H, juz. I, h. 155
[46]Ahmad Syalabi, al-Mujtama’ al-Islamiyah, (Ter.) Muchtar Yahya dengan judul : Masyarakat Islam, (Yogyakarta:
CV. Ahmad Nubhan, tt), h. 45
[47]Muhaimin CS, Pemikiran
Pendidikan Islam, Kajian Filosofik dan
Kerangka Dasar Operasionalnya, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), h.236
0 Comment