Dai Kriteria 3
TUGAS DAN PERANAN JURU DAKWAH DALAM MASYARAKAT
Sebagaimana
diketahui bahwa melaksanakan dakwah Islam adalah tugas suci atas tiap-tiap
muslim di mana berada di dunia ini. Tugas da’i itu bukan hanya sekedar
menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat, akan tetapi sekaligus mempunyai
keistimewaan yang lengkap baik ilmu maupun kemampuan menghadapi berbagai corak
dan ragam pola serta tingkah laku manusia.
Oleh karena itu tugas yang dilakukan oleh da’i banyak
sekali, terutama sekali adalah mengikis semua penyakit kronis pada jiwa
seseorang, karena bila seseorang telah sehat, maka sehatlah yang lainnya,
sebaliknya bila jiwa seseorang masih diserang oleh penyakit kronis, maka akan
berpengaruh kepada sikap keberagamaannya dalam masyarakat. Maka tugas suci yang
harus diemban dan dibasmi itu adalah sebagai berikut :
A. Tugas dan Peranan Juru Dakwah
Tugas dan peranan juru dakwah sangat
banyak, akan tetapi yang sangat penting sekali adalah antara lain :
1. Mentauhidkan Allah
قُلْ هُوَ اللَّهُ
أَحَدٌ(1)اللَّهُ الصَّمَدُ(2)لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ(3)وَلَمْ يَكُنْ لَهُ
كُفُوًا أَحَدٌ(4)
Artinya :
Katakanlah (ya Muhammad) Allah itu Esa, Allah tempat meminta, Tidak beranak dan
tidak pula diperanakan, dan tidak satupun yang menyerupainya. (S. Al-Ikhlas :
1-4)
Membicarakanمحمد
رسول الله لااله
الاالله merupakan masalah besar dan paling penting dalam ajaran Islam.
Kalimat ini adalah tujuan dari semua kehidupan, pokok, fundamen, dasar, azaz
atau disebut dengan ushuluddin (teologi), tidak dapat diganti dan
dirobah dan merupakan semua ajaran yang dibawa oleh semua Rasul dari semua
agama samawi.[1]
Seperti firman Allah Swt . dalam surat al-Ambiya’ 25, yaitu :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ
قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا
فَاعْبُدُونِ
Artinya : Dan Kami
tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan
kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka
sembahlah olehmu sekalian akan Aku".
Sedangkan
pembicaraan lainnya (seperti) masalah ibadah, fiqh adalah sebagai cabang,
ranting, alat, atau disebut dengan furu’iyah. Ushuluddin dan furu’iyah
akan melahirkan secara otomatis khuluqiyah (nilai), moral, akhlak, atau
etika yang berujung kepada masyarakat yang beriman dan taqwa lahir dan batin.
1). Pengertian
Tauhid
Tauhid secara bahasa ialah :
Mengetahui tentang yang Esa. Secara syari’at ialah : Satu yang disembah, satu
tempat mengabdi, satu tempat meminta dan satu tempat menyerahkan diri, yaitu
kepada Zat yang Maha Agung, Maha Tunggal berdasarkan dalil-dalil syar’i dan
akli. Sedangkan menurut ahli ilmu tauhid ialah : Pengetahuan (ilmu) dan
pengakuan/ikrar pembuktian) bahwa Allah Swt Maha Esa dan tidak satupun yang
dapat menyerupai dan menyamai sifat-sifat dan perbuatannya. Pengetahuan dalam
batasan ini adalah merupakan dua syarat yang tidak dapat dipisahkan dari
seseorang yang disebut muwahid (beriman). Mengetahui saja tetapi tidak
mengakui/ikrar (membuktikan) atau sebaliknya, mengakui/ikrar tetapi tidak
mengetahuinya, maka berarti seseorang belum dikatakan sebagai orang yang
mengEsakan Allah dalam pengertian yang sebenarnya. Dalam kajian iman dikenal dengan “ Tashdiq bi
al-qalbi, iqrar bi al-lisan af’alil jawarikh”.
Pengetahun yang dimaksud di sini
adalah pengetahuan dengan akal budi (ma’rifatul qalbi) atau disebut
dengan ilmu yakin, bukan hanya sekedar tahu, akan tetapi pengetahuan
yang dipelajari secara sungguh-sungguh dan mengetahuinya adalah fardhu ‘ain
setiap pribadi muslim. Sedangkan yang dimaksudkan dengan pengakuan adalah bukan
hanya sekedar didalam hati dan dibaca dengan lisan, akan tetapi jauh lebih dari
itu, yaitu : tindakan nyata dari perbuatan dan tergambar dalam kehidupan
sehari-hari.
2). Hakikat Tauhid
(1). Memuji Allah
yang Maha Agung, Maha Luhur, Maha Mulia, lagi Maha Penyayang. Aktifitas memuji
Allah itu mendapat prioritas tertinggi dalam ajaran Islam, seperti terlihat
dalam setiap melakukan shalat lima kali sehari semalam, dengan membaca surat
al-Fatihah. Selain itu terdapat dalam surat al-’An’am surat 1-3, Kahfi : 1-5,
Saba’ : 1-2 dan surat al-Jatsiyah : 36-37.
(2) Syahadat
(persaksian), yaitu pembuktian Uluhiyah Allah dan Rububiyahnya dalam kehidupan
sehari-hari, seperti dalam firmanNya :
إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَاي وَمَمَاتِي
لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
(3) Syahadat
(persaksian) bahwa Nabi Muhammad Saw adalah hambaNya, sebagai seorang yang
mulia di sisi Allah, membawa kita kepada Tauhid dan sebagai panutan, ikutan
dalam kehidupan manusia di alam ini.
3). Pembahagian
Tauhid
(1) Tauhid Asma’ wa
al-shifat, yaitu meng-Esakan Allah dengan penuh keyakinan bahwa asma’Nya
adalah Esa. Ke-Esaan Asma’Nya bukan berdiri sendiri-sendiri. Artinya bukan
mempunyai keistimewaan, kekuatan dan kelebihan diluar dari ZatNya. Misalnya
Allah itu Maha Pemberi rezeki, maka Ia sebagai pemberi rezeki sangat erat
hubungannya dengan Asma’nya yang lain. Begitu juga kalau Asma’ tersebut
mempunyai kegiatan tersendiri dengan ZatNya, maka akan membawa kepada faham
syirik atau kafir, karena terpisah antara Zat dengan asma’nya. Padahal antara
keduanya tidak berpisah dan terpecah. Demikian juga halnya dengan Sifat Allah
yang banyak itu, bukan berdiri dengan sendirinya, akan tetapi melekat pada
Zatnya.
(2) Tauhid
Rububiyah, yaitu : Perkataan, perbuatan, dan tingkah laku sehari-hari yang
dilakukan oleh seseorang tidak ada yang terlepas dari aturan, ketentuan Allah
Swt. Aturan dan ketentuan Allah itu semua tidak ada yang merugikan, bahkan baik
dan terbaik untuk manusia secara akli dan syar’i. Maka aturan Allah itu adalah semua yang tertulis
dalam al-Qur’an dan hadis. Bagi siapa yang mengikuti aturan tersebut, maka ia
akan selamat, sebaliknya bila ia menentang atau tidak melaksanakannya, maka ia
akan sengsara dan celaka bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat.
(3) Tauhid
Uluhiyah, yaitu : Perkataan, perbuatan dan sikap serta tingkah laku
sehari-hari adalah dilaksanakan, dilakukan untuk, atas nama Allah Swt.
semata-mata. Artinya semua aspek aktifitas manusia di dunia ini tidak ada untuk
yang lain selain kepada Allah. Ajaran ini yang diterapkan oleh Nabi Muhammad
Saw. di Mekkah dan Madinah kepada umatnya. Oleh karena itu semua aktifitas
manusia yang beriman tidak ada pemisahannya dengan Allah. Itu sebabnya manusia
di alam ini sebagai khalifah, yaitu bertugas merealiasikan nilai-nilai
rububiyah dan ilahiyyah dalam kehidupan. Dengan demikian Islam tidak mengenal
apa yang disebut dengan sekuler seperti di barat. Islam adalah agama dunia dan
akhirat, sehingga segala perbuatannya adalah untuk kebaikan nantinya di akhirat
kelak.
Menurut Abdul Jabbar Keesaan Allah adalah
pengetahuan ( al-’ilm) dan pengakuan (al-iqrar), bahwa Allah tidak satupun yang
dapat menyerupai sifat-sifatNya. Al-’Ilm dan al-iqrar, keduanya merupakan
syarat yang mesti ada pada diri seseorang yang bertauhid. Jika seseorang
mengetahui (al-’ilm) keesaan Allah, tapi tidak al-iqrar, meyakini (al-iqrar)
atau sebaliknya al-iqrar saja tanpa al-’ilm, berarti belum mengEsakan Allah
dalam arti yang sesungguhnya. Pengetahuan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah
pengetahuan akal budi (al-ma’rifat bi al-qalb), sedangkan pengakuan bukan hanya
pengakuan lisan, akan tetapi lebih dari itu, yaitu : perbuatan nyata dari
perwujudan dan penjelmaan pengetahuan ( al-ma’rifah al-qalb).
Bagi Abdul Jabbar, untuk mengetahui adanya
Allah adalah dengan al-nazar (penalaran), dan ini merupakan kewajiban
yang pertama dipundakan kepada manusia, karena itu Allah berkhitab kepada yang
berakal. Ia mengatakan bahwa pengetahuan adanya Allah merupakan awal untuk
mengetahui keabsahan terhadap dalil-dalil lainnya. Sebagai akibat pengetahuan
tentang Allah, maka kewajiban berterima kasih terhadap Allah, mengetahui
kebaikan dan kejahatan dan kewajiban mengerjakan yang baik dan meninggalkan
perbuatan jahat adalah tuntutan yang harus dilaksanakan setiap orang secara akli
(akal). Pengetahuan dan kwajiban itu, hanya dapat diketahui melalui penalaran
akal
Semua mutakallimin sependapat tentang
kewajiban akal mengetahui ke-Esaan Allah, tetapi perbedaan mereka adalah apakah
Allah mempunyai sifat atau tidak. Namun Allah tetap mengetahui, berkuasa,
pemurah dan sebagainya, tetapi semua itu bukan sifat Allah, akan tetapi esensi
(Zat) Allah. Walaupun Abu Huzel al-‘Alaf, membagi sifat Allah kepada dua bagian
yaitu : sifat Zat dan sifat fi’il, tetapi yang dimaksudnya adalah Zatnya, sebagai
ungkapannya :
ان الله قادر بقدره وقدرته ذاته
“Sesungguhnya Allah
berkuasa dengan kudrat-Nya, kudratnya itu adalah Zatnya”
Abdul
Jabbar menambahkan bahwa yang dimaksudkan sifat Zat adalah tidak terpisah dari
Zat, sedangkan sifat perbuatan berkaitan dengan perbuatan. Maka ciri khas sifat
Zat adalah kesatuan dengan Zat, sehingga tidak diartikan dengan makna makdumat
(absen dari sifat) dan tidak juga diartikan dengan muhdasah (baharu). Kemudian
kalau sifat perbuatan adalah sesuatu yang ada pada Zat, oleh karena itu sifat adalah
baharu, seperti maha adil, berkehndak dan sebagainya. Oleh karena itu ajaran
ini jelas-jelas menolak prinsip trinitas dan inkarnasi.
Didalam
al-Qur’an Allah Swt. Adalah adil yang tergelar 28 kali dalam bergai surat dan
ayat. Adil tersebut ada tertuju kepada manusia dan ada tertuju kepada Allah.
Maka kajian adil yang dimaksudkan di sini adalah yang berhubungan dengan
ke-Maha-Esaan Allah Swt. Kata al-adl dapat digunakan sebagai sifat dari
suatu perbuatan (al-fi’il) dan juga dapat digunakan untuk menunjuk sifat bagi
pelaku perbuatan atau (al-fa’il). Adil dalam pengertian sifat sebagai perbuatan
Allah adalah pemberian hak-hak seseorang sesuai dengan tindakan yang
dilakukannya. Apa bila digunakan untuk sifat bagi pelaku perbuatan, seperti
kalimat Allah Maha Adil dan Bijaksana, maka pengertiannya adalah bahwa
Allah tidak melakukan keburukan atau kejahatan dan semua perbuatan Allah adalah
baik dan terbaik.
Menyangkut
keadilan, tampaknya dalam hal ini bahwa Allah Maha Suci dari segala bentuk
kejahatan. Segala kejahatan dan keburukan bukan perbuatanNya. Allah menurut akal pasti melakukan yang baik
dan terbaik untuk manusia. Hal ini terbukti bahwa Allah menyediakan semua
fasilitas untuk keperluam manusia, seperti pengutusan Rasul untuk
memperkenalkan Allah, Kitab sebagai
pedoman hidup, dan Malaikat sebagai pemelihara dan penjaga. Tidak hanya itu,
akan tetapi juga fasilitas alam raya ini dengan segala isinya, adalah untuk
manusia.
Allah
tidak mungkin memberi beban sesuatu yang tidak mungkin terpikul oleh manusia.
Sebagai konsekwensi logisnya bahwa perbuatan itu baik, maka Ia tidak aniaya
dalam hukumnya, tidak memberi mu’jizat kepada pendusta. Justru itu perbuatan
manusia diserahkan kepada manusia itu sendiri, hingga pada akhirnya manusia
bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya. Untuk itu Allah berikan kepada
manusia potensi yaitu akal, hati dan nafsu untuk memilih perbuatannya. Dengan
sendirinya keadilan tidak lain adalah wujud perbuatan yang dinisbahkan kepada
diriNya sendiri, dan tidak sekutu dengan siapa saja dalam perbuatanNya dan
mustahil mempunyai sifat zalim. Allah bahkan wajib menurut akal menurunkan
rahmat kepada manusia untuk mentaati Allah dan menjauhi perbuatan maksiat
seperti mengutus Nabi-Nabi, guna memberi kecerdasan bagi manusia kepada yang baik
dan kebahagiaan serta menjauhi perbuatan jahat yang membawa kepada kedurhakaan.
Memperhatikan
ayat di atas, menunjukkan bahwa :
1. Allah tidak menzhalimi seseorang, berarti Ia Maha
Suci dari berbuat zalim.
2. Ia tidak akan menahan hak-hak seseorang walaupun dalam
ukuran yang paling sedikitpun. Oleh
karena itu tentunya kezaliman tidak mungkin berasal dari diriNya.
3. Ia menggunakan neraca dengan adil dan perhitungan yang
cermat. Andaikan Ia berbuat zalim, maka pernyataan tersebut tidak mungkin di
arahkan kepada Allah.
Ayat di
atas juga sekaligus menunjukkan bahwa Allah tidak menciptakan kesesatan dan
keimanan, karena bila Ia yang menciptakannya, berarti Ia menyuruh seseorang
beriman atau kafir, dan tentu perhitungan itu berlaku pada diriNya dan bukan
kepada manusia. Pada ayat berikutnya Allah menunjukkan bahwa pada hari akhirat,
seseorang tidak akan diminta pertanggungjawaban atas kesalahan atau dosa yang
dilakukan oleh orang lain, seseorang akan bertanggungjawab atas tindakan yang
dilakukanNya. Seperti firman Allah dalam
surat al-An’am; 164, al-Isra’ 15, Fathir; 18 al-Zumar; 29, al-Najm;38,
misalnya, antara lain :
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
Artinya : Dan
seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain
Demikianlah
hukum Allah dan Ia tidak akan menyalahi akan janjiNya. Ayat di atas memberi
isyarat bahwa Allah tidak akan menyiksa manusia. Karena kalau memang demikian
tentu berarti Allah menyiksa seseorang atas kehendak Nya untuk berbuat
kesalahan. Hal ini mustahil bagi Allah.
Pembahasan
keadilan Allah adalah berkaitan hak dan kewajiban, yaitu mempunyai kaitan
dengan waad dan waid Allah, sebagai salah satu rukun iman yang keenam yaitu
percaya kepada hari akhirat. Oleh karena itu kalangan ilmu tauhid sepakat bahwa
:
1.Ancaman
siksa dan janji pahala yang ditetapkan Allah dalam al-Qur’an adalah benar,
tidak boleh dibohongi dan diengkari serta dikeragui.
2. Orang
yang melakukan dosa besar adalah penghuni neraka dan kekal di dalamnya.
3. Mereka
di dalam neraka kekal untuk selamanya, begitu juga jika mereka masuk surga.
Dengan demikian tanggungjawab untuk
memikul beban (taklif) sepenuhnya berada pada manusia, karena manusia diberi
hak paten untuk memilih dan berusaha dalam menentukannya.
- Manusia dan Tauhid
Menurut al-Ghazali manusia terdiri
dari empat unsur. Yakni, Ruh, Qalb, Aql dan Nafs. Apa yang
dipikirkan, dikerjakan dan dirasakan adalah resultan dari aktivitas ke empat
unsur itu. Apabila aktivitas Ruh dominan terhadap yang lainnya, maka
konfigurasi antara berbagai akvitas unsur-unsur lainnya akan berubah. Begitu
juga sebaliknya apabila ada terdapat aktivitas nafs yang dominan, unsur lain
akan terpengaruh karenanya. Referensi menunjukkan bahwa pancaindera dan
perlengkapan fisik lainnya merupakan alat dari Ruh. Karena Ruh-lah yang akan mempertanggungjawabkan
aktivitasnya di dunia dalam kerangka kekhalifanan manusia yang terbimbing oleh
nilai Tauhid. Coba kita cermati penggal ayat Al Quran Surat Al Araaf: 172, أَلَسْتُ
بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا? Ketika Ruh menjawab bala
syahidna berarti Ruh telah berikrar tentang Keesaan Allah, sebelum Ruh
ditiupkan ke jabang bayi yang kemudian lahir manusia yang telah berikrar itu.
Ini berarti bahwa Ruh adalah panglima bagi setiap diri manusia, sedangkan unsur
lainnya segugus operator yang melaksanakan kerja Ruh. Oleh karena itu,
pendekatan Tasawwuf memberikan jalan kepada para pelakunya untuk menjadikan Ruh
tetap sebagai panglima atas kelengkapan hidup fisik setiap diri manusia.
Dzikir, dengan demikian, adalah memasukkan input ketauhidan ke dalam setiap
diri manusia melalui kerja Ruh itu. Instrumen dzikir, bisa 99 asma Allah, ialah
energi yang tersalur melalui laku dzikir itu, apabila dzikir dita’rifkan
(diartikan) sebagai getar menggetar antara Ruh dalam diri manusia dan Dzat
Allah. Output, outcome dan impact dari kerja dzikir dapat berupa energi dzikir
yang mampu meredam amarah, mengobati sakit ruhani (disebut sakit jiwa) dan banyak kegunaan lainnya.
Teknik pengobatan sebagai kaifiat dan penyembuhannya dari Allah, karena
DIA lah Yang Maha Penyembuh.
Ruh
Sufi al-Junayd (lihat Hamdani Anwar,
Sufi Al-Junayd, 1995) mengatakan bahwa ruh adalah sesuatu yang hanya diketahui
Allah. Tak satupun dari berbagai makhluk-Nya dapat mengetahuinya. Bahkan tak
seorangpun dapat menggambarkan ruh lebih
jauh, kecuali bahwa ruh itu ada. Sebagaimana firman Allah : Katakanlah bahwa
ruh itu masalah Allah وَيَسْأَلُونَكَ
عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ
الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا (Q.S. al-Israa (17):85).
Sifat-sifat ruh menurut al Junayd.
Pertama, ruh itu
ada. Atau diciptakan sejak azali, yang didasarkan pada kenyataan bahwa
perjanjian (mitshaq) antara Allah dengan ruh terjadi pada masa azali.
Kedua, ruh itu
tidak termasuk benda yang berhubungan dengan ruang dan waktu. Lantaran
penciptaannya terjadi pada masa azali, yakni suatu masa di mana tidak dikenal
istilah kapan, di mana dan bagaimana, jika dihubungkan
dengan akal manusia. Oleh sebab itu, ruh memiliki wujud spiritual yang murni.
Dan tidak mungkin memiliki sifat seperti benda duniawi, yang mengenal ruang dan
waktu.
Ketiga, wujud
ruh bersifat rabbani. Artinya, keberadaan ruh erat hubungannya dengan
Allah. Sebagaimana telah dikatakan, bahwa keberadaan ruh yang pertama adalah di
sisi Allah, dan selalu bersama-Nya. Allah yang menciptakan ruh, selalu
mendampingi dan atau ruh selalu berada di sisi-Nya. Selanjutnya, Allah melimpahkan
ruh dengan rahmat-Nya--pada masa awal penciptaan--ketika ruh belum terpisah
dari kekekalan-Nya. Keadaan seperti ini dinamakan keberadaan rabbani, yang
hanya berkaitan dengan Allah.
Keempat, sifat
ruh dan atau keberadaan ruh pada masa pertama, jauh lebih baik ketimbang
kondisinya pada masa kedua--setelah masuk ke dalam tubuh manusia--di dunia
fana. Lantaran pada saat itu, antara lain ruh tidak lagi memiliki sifat
rabbani.
Berangkat
dari keyakinan bahwa, sebelum ruh masuk ke dalam tubuh manusia, ruh berada
bersama Allah, bersatu dengan Allah, dalam artian tinggal bersama-Nya, dan
bukan bersatu dengan Allah secara total, maka dalam kondisi seperti itu,
seluruh Rahmat dan Nikmat yang dilimpahkan Allah SWT, dapat dirasakan secara
maksimal oleh ruh. Oleh sebab itu--para Sufi yakin dan percaya bahwa--apabila
ruh manusia dapat dikembalikan pada posisi tauhid, seperti sebelum masuk ke
dalam tubuh manusia, maka segala jenis dan bentuk kenikmatan dapat dicapai oleh
manusia tersebut. Sehingga para sufi, menjadikan tauhid sebagai tujuan utama
dalam tasauf.
Ruh merindukan
Allahnya.
Naluri dalam kehidupan dunia: Ruh
akan merindukan Allahnya. Ruh dengan demikian akan berusaha keras, dalam
keseharian amalannya, dengan menggunakan perangkat fisik yang ada, ia akan selalu
berusaha mendekatkan diri kepada-Nya. Ruh ingin agar ia dapat merasakan
kehadiran-Nya dalam keseharian kerjanya. Kita bisa menghayatinya melalui Al
Quran,
وَهُوَ
مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ
بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ Surat al-Hadiid:4.
Artinya : Dan Dia
bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan.
Dengan
demikian tugas juru dakwah adalah membawa orang lain kepada agama tauhid yaitu
suatu pernyataan bahwa tidak ada illah selain Allah. Sehingga pernyataan ini,
jika digabungkan dengan pernyataan tentang kenabian Muhammad SAW, akan
merupakan suatu kesaksian (shahadah) yang menjadi dasar keyakinan ummat
Islam. Inilah tauhid yang dibawa Al Quran, yakni ajaran tentang pengakuan
terhadap Keesaan Allah secara murni dan konsekuen. Oleh sebab itu Islam tidak
dapat menerima konsep trinitas yang terdapat pada teologi Kristen. Ketegasan
ini kita saksikan dalam Al Quran, S. An Nisaa (4): 171, فَآمِنُوا
بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَلَا تَقُولُوا ثَلَاثَةٌ انْتَهُوا خَيْرًا لَكُمْ
إِنَّمَا اللَّهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ “ Maka percayalah
kamu sekalian pada Allah dan rasul-rasul-Nya. Janganlah kamu katakan bahwa
Allah itu tiga. Berhentilah kamu (dari hal yang demikian), itu lebih baik
bagimu. Sesungguhnya Allah itu Allah Yang Esa. Maha Suci Dia”.
Umar
Al-Arbawi mendefinisikan tauhid sebagai mengesakan Pencipta (Allah), dengan
berbagai ibadah, baik dalam dzat, sifat maupun perbuatan. Sedangkan Abu Al
Hasan Ahmad ibn Muhammad Al-Nuri, sahabat dan pengikut Al Junayd mendefinisikan
tauhid sebagai Tauhid atau persatuan dengan Allah adalah pemisahannya dari
segala sesuatu yang lain, kecuali persatuan dengan Allah. Dari definisi ini
dapat dipahami bahwa seseorang yang ruhnya bersatu dalam Allah, akan terlebih
dahulu terpisah atau terputus hubungannya dengan segala sesuatu yang lain,
demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu, persatuan dari ruh dengan Allah
merupakan pemisahan dan penghapusan pemikiran tentang segala sesuatu yang
bersifat kemakhlukan.
Menurut Al
Junayd, tauhid pada manusia itu ada empat golongan. Golongan pertama adalah
tauhid orang-orang biasa, satu golongan darinya adalah tauhid dari para ahli
hakikat dengan (yang memiliki) ilmu lahir, dan dua golongan darinya adalah
tauhid orang-orang pilihan dari para ahli Marifah.
Ciri-ciri tauhid orang awam: (a)
pengakuan keesaan Allah, dengan meniadakan sekutu, semua yang berlawanan, semua
yang menyamai dan semua yang menyerupai-Nya, (b) mengakui adanya perasaan
senang atau takut pada segala sesuatu selain Dia. Sementara tauhid semacam ini,
hanya memiliki hakikat kenyataan dalam pelaksanaannya, selama pengakuan pada
keesaan Allah tersebut masih dipegang teguh.
Tauhid
tingkat kedua, yakni tauhid yang diyakini oleh mereka yang memiliki ilmu lahir
atau para Mutakallimun. Al Junayd menjelaskannya Tauhid hakikat ilmu lahir,
adalah pengakuan pada keesaan Allah, dengan meniadakan sekutu, yang berlawanan,
yang menyamai dan yang menyerupai Allah, yang disertai dengan mengerjakan semua
perintah dan menjauhi semua larangan-Nya secara lahir. Di mana semuanya itu
merupakan hasil dari perasaan senang, takut, pengharapan dan ketamakan
(keinginan). Sehingga ketetapan hakikat kebenaran dari semua perbuatannya,
merupakan hasil dari pengakuan imannya.
Tauhid golongan ketiga adalah
pengakuan terhadap keesaan Allah, dengan peniadaan semua sekutu yang telah
disebutkan terdahulu, dibarengi dengan pelaksanaan semua perintah-Nya, baik
secara lahir maupun batin, dengan menghilangkan semua pengharapan dan rasa
takut selain kepada Allah. Dimana semua itu dapat terwujud, lantaran keberadaan
Allah dengannya, panggilan terhadapnya, dan jawabannya pada Allah. Tauhid jenis
ini lebih tinggi ketimbang jenis pertama dan kedua. Pada tingkatan ini
kayakinan Muwahhid sudah tidak lagi didasari oleh rasa takut pada api neraka
dan harapan akan masuk sorga.
Tauhid golongan keempat adalah
apabila Muwahhid sudah berada di sisi Allah, dengan tidak lagi ada sesuatu atau
pihak ketiga antara Allah dan dirinya. Dimana pada waktu itu berlaku atasnya
segala titah Allah, sebagaimana ada pada aturan-aturan kekuasaan-Nya. Pada
waktu itu ia berada di samudera tauhid-Nya, dengan cara fana (hilang kesadaran)
akan dirinya, terhadap panggilan Allah, dan jawabannya kepada-Nya. Ini
merupakan tingkat dimana Muwahhid telah mencapai hakikat yang benar tentang
keesaan Allah dalam kedekatannya kepada-Nya. Dimana semua perasaan dan
perbuatannya hilang, lantaran Allah melakukan pada dirinya apa yang Dia
kehendaki darinyaِ.
Inilah tingkat tauhid tertinggi.
Dimana pada tingkat ini, seorang Muwahhid sudah benar-benar pasrah dan tawakal
pada Allah. Dia tidak lagi memiliki kehendaknya sendiri, karena dia sudah
benar-benar berada dalam kehendak Allah. Atau kehendak pribadinya sudah bersatu
dalam kehendak Allah. Segala yang diperbuat dan diucapkannya merupakan
manifestasi dari kehendak Allah.
Kalimat Thaiyibah
Ilmu yang
pertama kali diturunkan Allah kepada para anbiya’ seluruhnya ialah TAUHID
(mengimankan Allah satu). Tiada sumber bagi kehidupan, kecintaan, dan kebaikan
melainkan Allah. Maka ketahuilah olehmu, bahwa tiada Allah selain Allah,
mohonlah ampun bagi dosamuِ (Surat Muhammad (47):19), yaitu :
فَاعْلَمْ
أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ Kemahadirajaan
kekuasaan ada pada Allah sesuai dengan firman-Nya “Tiada illah
melainkan Allahِ (Surat Thaha (20): 14). Ayat yang turun
berangsur-angsur dimaksudkan untuk meyakinkan para nabi untuk tidak ragu dan
bimbang dalam menyampaikan tugas kerasulannya. Dan ini dijamin oleh hadits-Nya
yang qudsi:ِ(kalimat) Tiada illah melainkan Allah,
adalah benteng-Ku. Siapa yang mengucapkannya berarti telah memasuki benteng-Ku,
dan siapa yang memasuki benteng-Ku niscaya aman dari adzab siksa-Kuِ.
Kini pertanyaannya adalah siapa yang merasakan tauhid itu ? Tentu ruh itu
sendiri. Ruh dengan jasmaninya dalam
pandangan sufi diibaratkan sebagai Allah dengan ciptaan-Nya, Allah yang
menguasai, yang menentukan ciptaan-Nya sesuai dengan hukum-hukum-Nya. Atau
hubungan Allah dengan makhluknya ibarat bunyi ketokan dengan dengan ketokan.
Jadi, maksud dari ungkapan bahwa manusia itu wakil Allah di bumi, berarti bahwa
manusialah yang melaksanakan hukum-hukum Allah di bumi yang manfaatnya bagi
kebaikan manusia itu sendiri. Kalau demikian maka Ruh-lah yang memerintah
jasmani dan bukan sebaliknya. Apabila dikaitkan dengan penjelasan sebelumnya,
maka konfigurasi sebagai akibat gerak aktif dari ke empat unsur dalam diri
manusia, akan berubah sesuai dengan aktivitas jasmani yang dikendalikan oleh
Ruh. Jadi konfigurasi itu bersifat dinamik. Yang membedakan kualitas tenaga
dalam ialah sejauh mana Ruh melaksanakan hukum-hukum Allah dalam memerintah
jasmani. Melalui gerak dinamik, nafas dan
zikir yang teratur menurut ritme tipikal setiap manusia, dan beragam
dari manusia yang satu dengan yang lainnya. Konsekuensinya Ruh yang jahat
menghasilkan kerja jahat. Ruh yang baik secara sami’na wa’atha’naِ
melaksanakan hukum-hukum Allah, sedangkan Ruh yang jahat menjauhi/menentang
hukum-hukum-Nya. Oleh karena itu
dikatakan bahwa yang menang adalah orang yang masuk ke dalam benteng-Nya. Dalam
mengenali ini tentu saja panca indera sudah tidak berguna lagi, demikian pula
cara berpikir berdasarkan akal semata (mantik). Mau tidak mau kita harus
meninggalkan kendaraan yang lemah itu (yang bernama akal, mantik dan indera
yang lima itu) baik mengenai cara-cara maupun pengalaman-pengalamannya, kepada
pengembaraan yang baru yang disebut pengenalan ma’rifat.
Ma’rifat
memisahkan diri dari ilmu, karena pembahasan ilmu berkisar pada alam semesta,
sedangkan ma’rifat membahas PENCIPTA alam semesta. Ilmu membahas tentang segala
sesuatu yang berbilang, sedangkan ma’rifat membahas tentang yang SATU, yang
TUNGGAL. Ilmu membahas tentang benda, sedangkan ma’rifat membahas tentang yang
ghaib. Oleh karena itulah ilmu yang bersifat sementara, yang digariskan, yang
menggunakan alat, yang memakai teropong, yang dilayani panca indera, dan yang
membuahkan berbagai pendapat yang bersifat akliah harus dihentikan. Dan kita
hendaklah beralih ke ma’rifat, ke hati, ke mata hati, kependapat sufiyah. Akal,
mantik dan ilmu itu kedudukannya sebagai pelayan-pelayan nafsu dan kendaraannya
untuk dapat merajalela terhadap alam kebendaan, menguasai serta memiliki,
khususnya untuk pemuas hawa nafsu mengarungi kelezatan-kelezatan. Tiada jalan
keluar dari tawanan panca indera dan dari merajalelanya alam kebendaan,
melainkan dengan cara menelanjangi diri dari hawa nafsu, yaitu dengan
mengalahkan, menekan, menundukkan, membelenggu dan mendiamkan serta tidak melayani
keinginan-keinginannya.
2. Menghilangkan
Dhalalah
Kata dhalalah
berasal dari kata dhalla, yadhillu,
yang menurut bahasa berarti kehilangan jalan, binggung, tidak mengetahui arah.
Makna tersebut berkembang menjadi binasa, terkubur dan diartikan
dengan sesat dari jalan kebaikan, atau
lawan dari petunjuk.
Didalam al-Qur’an kata ini berjumlah sebanyak 190 kali dalam berbagai surat dan ayat. Bila disimpulkan
mempunyai arti “ Setiap tindakan
atau ucapan yang tidak menyintuh
kebenaran.
Paling
sedikit ada tiga ayat yang memuat
kata-kata tersebut yang secara jelas
mengambarkan ciri-ciri mereka yang tergolong
sesat dalam agama, yaitu
1. Surat Ali Imran
ayat 90, yaitu :
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بَعْدَ إِيمَانِهِمْ ثُمَّ ازْدَادُوا كُفْرًا لَنْ تُقْبَلَ تَوْبَتُهُمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الضَّالُّونَ
Artinya : Sesungguhnya
orang-orang kafir sesudah beriman, kemudian bertambah kekafirannya, sekali-kali
tidak akan diterima taubatnya; dan mereka itulah orang-orang yang sesat.
2. Surat
al-An’am ayat; 77, yaitu :
فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لَأَكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ
Artinya : Kemudian tatkala dia melihat bulan
terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu
terbenam dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk
kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat".
3. Surat
al-Hijir ayat; 56, yaitu :
قَالَ وَمَنْ يَقْنَطُ مِنْ رَحْمَةِ رَبِّهِ إِلَّا الضَّالُّونَ
Artinya : Ibrahim berkata: "Tidak ada orang
yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang-orang yang sesat".
Kriteria
manusia sesat itu secara garis besar
adalah:
Pertama : Orang yang
tidak menemukan atau mengenal petunjuk
Tuhan dan atau agama yang benar, dengan kata lain mereka tidak mengenal agama dengan baik. Atau
pengetahuannnya terbatas, sehingga tidak mampu mengantarkannya kepada kebaikan.
Biasanya orang yang seperti ini jauh
dari agama, pasti sesat..
Kedua; Orang yang
pernah memiliki sedikit ilmu pengetahuan agama, ada pula keimanan dalam hatinya, namun pengetahuan tersebut
tidak dikembangkan, tidak pula diasah
dan diasuh, sehingga pudar
seluruhnya. Ia mengukur segala sesuatu dengan hawa nafsunya, dengan harta dan dengan pangkat. Mereka
berada dipuncak kesestan dan termasuk
dalam hal ini orang yang hanya mengandalkan akalnya semata. Hal ini diungkap oleh Allah dalam firman-Nya surat
al-Qashash; 50, yaitu :
فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ
فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنَ اتَّبَعَ
هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ
الظَّالِمِينَ
Artinya : Maka
jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka
hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat
daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari
Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang zalim.
Ketiga; Orang yang berputus asa dari Rahmat Allah
Swt. Misalnya putus asa dari kesembuhan penyakit, pengampunan dosa, putus asa mencapai kesuksesan, sehingga
akhirnya ia berprasangka buruk kepada Allah Swt.
Penyebab
sesat antara lain al-Qur’an menjelaskan,
yaitu;
Karena tidak berilmu terdapat pada surat
al-An’am ayat 119, 144, yaitu;
1 فَمَنْ أَظْلَمُ
مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا لِيُضِلَّ النَّاسَ بِغَيْرِ عِلْمٍ إِنَّ
اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Artinya : Maka
siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap
Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan?" Sesungguhnya Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (144)
2 وَإِنَّ كَثِيرًا لَيُضِلُّونَ بِأَهْوَائِهِمْ
بِغَيْرِ عِلْمٍ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِالْمُعْتَدِينَ
Artinya : Dan
sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan (orang
lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah
yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.(119)
Peliharalah
diri dari orang yang sesat. Al-Qur’an
mengingatkan surat Al-Maidah ayat 105, yaitu
:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Artinya : Hai
orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan
memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada
Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah
kamu kerjakan.
Sikap
orang sesat terhadap orang yang beriman surat Muhammad ayat; 4, yaitu :
الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ أَضَلَّ أَعْمَالَهُمْ
Artinya : Orang-orang yang kafir dan
menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah, Allah menghapus
perbuatan-perbuatan mereka.
Balasan
yang diterima oleh orang yang sesat, terdapat pada surat al-Isra’ ayat 97, yaitu :
وَمَنْ
يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ
أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِهِ وَنَحْشُرُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى وُجُوهِهِمْ
عُمْيًا وَبُكْمًا وَصُمًّا مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ كُلَّمَا خَبَتْ زِدْنَاهُمْ
سَعِيرًا
Artinya : Dan barangsiapa yang ditunjuki Allah,
dialah yang mendapat petunjuk dan barangsiapa yang Dia sesatkan maka
sekali-kali kamu tidak akan mendapat penolong-penolong bagi mereka selain dari
Dia. Dan Kami akan mengumpulkan mereka pada hari kiamat (diseret) atas muka
mereka dalam keadaan buta, bisu dan pekak. Tempat kediaman mereka adalah neraka
Jahannam. Tiap-tiap kali nyala api Jahannam itu akan padam Kami tambah lagi
bagi mereka nyalanya.
Surat al-Waqi’ah ayat 92, yaitu :
وَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ الْمُكَذِّبِينَ الضَّالِّينَ(92)فَنُزُلٌ مِنْ حَمِيمٍ(93)وَتَصْلِيَةُ جَحِيمٍ
Artinya : Dan
adapun jika dia termasuk golongan orang yang mendustakan lagi sesat, maka dia
mendapat hidangan air yang mendidih, dan dibakar di dalam neraka.
Didalam shalat sekurang-kurangnya tujuh belas kali sehari
semalam kita meminta kepada Allah Swt. agar terhidar dari penyakit dhalal
ini dengan ungkapan yang berbunyi :
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ(6)صِرَاطَ
الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا
الضَّالِّينَ(7)
Artinya : Tunjukilah kami
jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan
ni`mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan)
mereka yang sesat.
3. Menebarkan amar
ma’ruf dan membasmi kemungkaran
Hakikat dakwah yang dianjurkan oleh Allah
kepada Nabi dan kaumnya adalah agar
terus menerus untuk menyeru kepada perbuatan yang ma’ruf dan
mencegah perbuatan yang mungkar. Kedua istilah ini bersifat umum dan
konprehensif. Islam bukan saja berdasarkan wahyu, tetapi terlibat
tradisi dan kebiasaan yang hidup dalam masyarakat, selama
nilai-nilai kebiasaan itu sesuai dengan al-Qur’an. Oleh karena itu
ajaran-ajaran Islam tidak hanya dari Tuhan, tetapi juga muncul atas
interprestasi dan innovasi akal manusia.
Ajaran
Islam yang berdasarkan interprestasi dan innovasi akal
manusia, berjalan atas situasi dan kondisi dalam masyarakat. Demikian juga
persoalan mengenai al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy an al-munkar, baik melalui
pendekatan teologi maupun al-siyasi dalam perkembangan pemikiran
keislaman.
Dalam
Syarh al-Ushul al-Khamsah, Qadhi Abdul Jabbar mengemukakan bahwa
ma’ruf ialah; semua perbuatan yang pelakunya mengetahui akan
kebaikannya atau sesuatu yang menunjukan kebaikan,
sedangkan mungkar ialah semua perbuatan yang pelakunya mengetahui akan
keburukkannya atau sesuatu yang menunjukkan kepada keburukan.Perbuatan
baik (al-hasan) adalah perbuatan yang pelakunya
berhak mendapat pujian (yastahiqq al-madh).
Sebaliknya perbuatan jahat (al-qabih) pelakunya berhak mendapat celaan (yastahiqq
al-zamm).[2]
Melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar
adalah suatu kewajiban bukan oleh golongan tertentu saja, tetapi
juga oleh semua golongan umat Islam lainnya. Maka siapapun manusia yang tidak
melakukannya hendaklah diluruskan jalan hidupnya dengan melakukan jihad
terhadap dirinya yang sifatnya sama dengan melakukan jihad terhadap orang
kafir atau fasik.[3]
Kewajiban al-amr bi al-ma’ruf wa al-hany an al-munkar adalah
bagi setiap mukmin sesuai dengan kemampuan mereka, apakah dengan
mengangkat senjata atau cara lainnya, ajaran ini berlaku baik
terhadap orang-orang kafir maupun golongan Islam yang tidak
mengikutinya.[4]
Di dalam
Syarh al-Ushul al-khamsah, Qadhi Abdul Jabbar mengemukakan argumen al-sam’i
(al-Qur’an dan al-Hadits) yang menuturkan kewajiban al-amr bi
al-ma’ruf wa al-nahy an al-munkar, [5]
dan diantaranya firmanNya surat Ali Imran 110, artinya :
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ
ءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ
وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ (ال عمران : 110 )
Artinya : Kamu adalah umat yang
terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (Al-Imran
: 110).
Pada ayat
ini sebenarnya tidak ditemui bentuk perintah (al-amr) yang
mewajibkan pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar. Akan tetapi
melihat dari sudut pujian Tuhan terhadap umat beriman sebagai umat
terbaik. Kalaulah amar ma’ruf nahi mungkar bukan suatu
kebaikan yang wajib dilaksanakan (al-hasanat al-wajibat), tentulah
Tuhan tidak akan memberikan pujian tersebut.[6]
Al-Zamakhsyariy seorang ulama pengarang Tafsir dari kalangan
Islam rasional lebih jauh lagi dalam memahami ayat di atas, dan
menambahkan hadis untuk menguatkan dasar dan prinsip kewajiban di sini adalah
fardhu kifayah, karena tidak pantaslah seseorang melaksanakan
amar ma’ruf nahi mungkar tanpa mengetahui prinsip
ma’ruf dan mungkar tersebut.[7]
Kewajiban di sini bukanlah berlandaskan dan berdasarkan perintah,
akan tetapi berdasarkan informasi. Demikian juga firman Allah yang
mengungkapkan tentang perintah Luqman kepada anaknya :
يَابُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ
الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ (
لقمان : 17 )
Artinya : Hai anakku, dirikanlah
shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari
perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.
Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (Luqman:
17).
Perintah
melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar pada ayat di atas
secara langsung ditujukan kepada pribadi putera Luqman. Ayat
ini bermaksud bahwa amar ma’ruf nahi mungkar dapat ditangani secara
pribadi, akan tetapi pelaksanaan ini bukan berarti bahwa seluruh
kegiatan amar ma’ruf nahi mungkar dapat diselesaikan oleh
setiap orang tanpa kecuali, namun bukan berarti pula bahwa semua
masalah-masalah dapat diselesaikan oleh orang-orang tertentu secara
khusus. Argumen ini menunjukkan bahwa dalam hal-hal tertentu, maka untuk
menyelesaikannya adalah orang-orang tertentu pula. Ini berarti
bahwa kemungkaran ditengah-tengah umat tetap diberantas untuk keselamatan
manusia semua. Hal ini sesuai dengan sabda Muhammad SAW, :
Artinya:Perumpamaan
orang yang menetapi ketentuan Allah dengan orang yang melanggarnya adalah
seperti suatu kaum yang berada di atas perahu, sebahagian mereka ada dibagian
atas dan sebahagian lagi ada dibahagian bawah, orang-orang yang
berada di bagian bawah, apabila mengambil air melewati orang-orang yang
berada di atas, lalu mereka berkata; bagaimana seandainya kita
membuat suatu lubang ditempat kita ini dan kita tidak perlu
izin kepada orang yang berada di atas kita, maka seandainya orang yang
berada dibagian atas membiarkannnya, semuanya akan binasa,
dan apabila mencegahnya mereka akan selamat semuanya. (H.R. Bukhari).8
Kenyataan
hadits ini relevan sekali, bahwa umat ini tak obahnya seperti
penumpang perahu, jika orang yang bagian atas membiarkan orang yang bagian
bawah membuat suatu lubang ditempatnya, dengan dalil adalah kebebasan pribadi
bagi mereka, maka hasilnya akan mengakibatkan tenggelamnya kapal dan
binasanya mereka semua. Dan seandainya orang yang dibagian atas
mencegahnya dengan mengatakan kebebasan pribadi jangan sampai
membahayakan semua orang, maka hasilnya adalah semuanya akan
selamat. Demikianlah kondisi suatu umat, mana kala perahu
kemungkaran itu berada dalam suatu umat, maka secara keseluruhan umat
tersebut akan menerima sengsaranya.
Abdul
Jabbar dalam menjelaskan maksud surat Ali Imran ayat 104, adalah bahwa
Allah SWT mewajibkan kepada sekelompok orang yang mendapat petunjuk
serta mengajak manusia kepada kebaikan dan menjauhkan
kemunkaran. Tampaknya para ahli kalam sepakat tentang kewajiban
amar ma’ruf nahi mungkar, hanya saja terdapat perbedaan pandangan
mengenai tatacara pelaksanaannya. Di antara mutakallimin ada yang memandang
kewajiban itu hanya dilaksanakan dengan hati atau dengan lisan, dan ada
yang berpandangan bahwa menggunakan tindakan kekerasanpun adalah wajib jika
diperlukan. Pandangan yang pertama
dianut oleh sebagian ahl al-sunnah seperti al-Ghazali[8]
misalnya, bahwa bagi masyarakat muslim yang berada dalam wilayah
penguasa yang zalim untuk tetap bersikap patuh kepadanya, manakala tidak
mempunyai kemampuan untuk merobahnya.[9]
Menurut
pandangan Islam rasional, pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar
dapat diaplikasikan dengan berbagai cara.[10]
Jika berhasil dengan cara yang lebih mudah, maka tidak boleh
menggunakan cara yang lebih sulit. Hal ini sesuai
dengan pertimbangan akal dan diisyaratkan oleh Allah SWT dalam firmanNya
;
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا
بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي
تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا
بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (
الحجرات : 9 )
Artinya :Jika terdapat dua pihak yang
berperang di kalangan umat beriman, maka damaikanlah antara keduanya, kemudian,
jika salah satu pihak berbuat aniaya terhadap pihak
lain, maka perangilah pihak yang berbuat aniaya tersebut,
sehingga ia kembali kepada aturan Allah”. (al-Hujurat : 9).
Dalam
menafsirkan ayat ini Abdul Jabbar mengkaitkannya dengan kewajiban amar
ma’ruf nahi mungkar. Menurutnya, dalam ayat ini dijelaskan dua cara
penyelesaian sengketa; pertama dengan cara damai (al-islah), kemudian
jika tidak efektif barulah digunakan cara kedua, yaitu dengan menggunakan
tindakan kekerasan.[11]
Keadaan ini berarti pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar harus
dijalankan secara bertahap sesuai kebutuhan dan target yang akan dicapai.
Sehubungan
dengan uraian di atas, tentang kewajiban amar
ma’ruf nahi mungkar bersifat individu atau kolektif, dalam hal ini Abdul Jabbar
melaksanakannya sebagai kewajiban kolektif,[12]
tetapi ini bukan berarti tanggung jawab individu dikesampingkan, karena sesuai
dengan keyakinan mereka, bahwa setiap individu bertanggung jawab
untuk terlaksananya kewajiban kolektif. Artinya setiap individu
bertanggung jawab melalukan dan melaksanakannya, hanya saja
pelaksanaannya melalui wadah kolektif, tidak bertindak dengan sendiri-sendiri.
Dalam hal penerapan amar ma’ruf nahi mungkar, Qadhi Abdul Jabbar
membagi kepada dua kategori dengan ungkapannya;
واعلم ان الامر بالمعروف والنهيى عن المنكر على ضربين : احدهما مالا
يقوم به الاالائمة والثانى مايقوم به كاقة الناس
Menyangkut
hal yang hanya ditangani oleh para imam adalah seperti pelaksanaan sanksi
hukum, kebijaksanaan untuk menjaga kesucian Islam, pengaturan dan
pengerahan kekuatan meliter dan sebagainya, sedangkan hal-hal yang
di pertanggungjawabkan oleh semua orang secara perorangan atau
secara kolektif, adalah seperti pencegahan minuman keras, pencurian, perkosaan
dan sebagainya.[13]
Setelah
memperhatikan uraian di atas, tampaknya amar ma’ruf
nahi mungkar berperan sebagai sosial kontrol dalam masyarakat. Bila
sosial kontrol ini tidak dijadikan sebagai suatu ajaran, maka akan membawa
hancurnya masyarakat, hilangnya ikatan moral dan merajalelanya kemaksiatan.
Dalam hubungan ini Mu’tazilah menjadikannya sebagai suatu doktrin,
walaupun pada prinsipnya amar ma’ruf dan nahi mungkar
adalah wajib, namun kewajiban itu muncul apabila seseorang telah memenuhi
persyaratan sebagai berikut: [14]
1. Mengetahui secara pasti bahwa apa
yang akan disuruhnya baik dan yang akan dilarangnya itu mungkar,
karena bila tidak diketahui, sangat boleh jadi seseorang akan
menyuruh yang mungkar dan melarang yang ma’ruf.
2. Mengetahui atau berat dugaan akan terjadinya
kemungkaran, seperti telah tersedianya minum-minuman yang
akan memabukkan alat-alat musik dengan nyanyian yang diyakini akan
membawa kemungkaran menurut ilmu pengetahuan.
3. Mengetahui atau berat dugaan
bahwa tindakan tersebut tidak akan mengakibatkan bahaya yang
lebih besar, seperti resiko terbunuh, perampasan harta,
pencemaran nama baik atau terbakar suatu tempat pemukiman dan yang
berhubungan.
4. Mengetahui atau berat dugaan bahwa upaya yang
dila-kukan itu akan ada pengaruhnya.
5. Mengetahui atau berat dugaan bahwa
tindakan itu tidak akan membahayakan diri dan hartanya.
Kelima
persyaratan di atas harus dipenuhi secara lengkap oleh
pelaksana atau penegak kebenaran, jika tidak, maka gugurlah
kewajiban amar ma’ruf dan nahi mungkar bagi seseorang. Jadi setelah
diperhatikan, nampaknya perlu sekali perhitungan dan pertimbangan yang
cermat. Dengan kata lain, diperlukan manajemen yang
matang, sehingga tidak terjadi kekeliruan, usaha-usaha yang sia-sia
ataupun dampak negatif yang lebih berbahaya. Di sinilah arti penting dari sifat
kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar sebagai kewajiban kolektif. Bisa saja
persyaratan ini hanya berada pada sebagian orang tertentu, tapi belum
tentu ada pada sebahagian yang lainnya, atau sangat boleh jadi
persyaratan tersebut hanya sebahagian saja dimiliki oleh seseorang,
dan sebahagiannya dimiliki oleh kelompok lain, maka manakala dipersatukan
masing-masing individu tersebut secara otomatis tampaknya dapat
terlaksananya amar ma’ruf nahi mungkar.
Menurut A.
Hanafi, prinsip amar ma’ruf nahi mungkar ini sangat erat hubungan
dengan taklif.[15]
Pendapat ini ada benarnya. Menurut Abdul Jabbar taklif ialah
: “informasi yang disampaikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu
atau tidak melakukan sesuatu yang bermanfaat atau yang
berbahaya serta adanya kesu-karan yang menyertainya dengan ketentuan
keadaannya tidak sampai dalam bentuk paksaan”. 16
Definisi
di atas terdapat unsur penting antara lain: Pertama, al-I’llm
atau informasi, ini diperoleh melalui anugerah Tuhan yang disebut
dengan al-I’llm al-daruri, yang datang dengan sendirinya tanpa
diusahakan, seperti dasar-dasar kebaikan, keburukan dan
kewajiban-kewajiban. Berdasarkan hal ini semua manusia yang sudah baligh,
disebut mukallaf. Kedua; tindakan yang
bertanggung jawab. Menurut Qadhi Abdul Jabbar perintah untuk
melakukan sesuatu terbagi kepada dua kategori, yaitu:
a).Diberi
pahala bagi yang mengerjakannya dan disiksa bagi yang mengabaikannya.
b). Diberi pahala bagi yang mengerjakannya, tetapi tidak disiksa bagi
yang meninggalkannya. Kategori pertama disebut wajib dan kedua disebut sunat.
Larangan juga terbagi kepada dua ; a). Diberi pahala bagi yang tidak
mengerjakannya dan disiksa bagi yang melakukannya. Larangan dalam kategori
pertama disebut haram dan yang kedua makruh.[16]
Ketiga; adanya unsur kesukaran. Hikmah adanya kesukaran adalah mengantar
manusia pada tempat nikmat yang paling tinggi, tanpa taklif manusia
tidak akan dapat mencapai strata manfaat yang paling tinggi.
Bagi Abdul
Jabbar musyaqqah atau kesukaran sudah merupakan ciri
khas taklif yang membedakannya dengan perintah (al-amr).
Suatu perintah ada yang mengandung kesukaran dan ada juga yang
tidak, sedangkan taklif selamanya mengandung kesukaran. Dengan demikian,
taklif lebih khusus dari perintah.[17]
Di sini jelas bahwa bagi Abdul Jabbar, mubah tidak dimasukan dalam ruang
lingkup taklif. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa bila dikatakan amar
ma’ruf dan nahi mungkar itu suatu perintah, maka perintah itu bisa dalam
bentuk mubah yang dipahami oleh kelompok al-Asya’riy.[18]
Artinya bisa saja dilaksanakan dan bisa juga untuk tidak dilaksanakan.
Bagi Qadhi Abdul Jabbar nampaknya tidak mesti dengan perintah atau
larangan, tetapi juga bisa melalui informasi atau
pemberitaan. Demikian juga halnya pelaksanaan amar
ma’ruf dan nahi mungkar, bahwa kewajiban yang dilakukan bukanlah
berdasarkan perintah, akan tetapi berdasarkan taklif.
Sebagai
tindak lanjut dari pelaksanaan amar ma’ruf dan nahi mungkar, menurut Qadhi
Abdul Jabbar dibagi kepada dua bagian yaitu; wajib dan tidak wajib (sunat).
Berhubungan dengan perintah yang wajib, maka secara
logika pelaksanaannya adalah wajib, sedangkan perbuatan sunat, maka
pelaksanaannya adalah sunat pula, dan ini adalah pelaksanaan yang
ideal.[19]
Lain halnya dengan kemungkaran besar ataupun kecil, karena nilai
kejelekan sekecil apapun tetap berlaku sebagaimana berlakunya terhadap
kasus yang besar. Hanya saja dalam pelaksanaan amar ma’ruf, tidak
dibenarkan menggunakan tindak kekerasan. Berbeda dengan nahi mungkar,
jika cara-cara lunak tidak efektif, maka tindak kekerasan dapat
dilakukan.[20]
Itupun jika telah memenuhi persyaratan yang cukup ketat
sebagaimana telah disebut sebelumnya.
Memperhatikan
penjelasan di atas ada beberapa persyaratan dalam memperjuangkan amar ma’ruf
nahi munkar, yaitu ; ulama dan umara, tanpa ada kedua badan resmi ini, maka
kemungkaran akan tetap merajalela di bumi ini. Hal ini terungkap dalam firman
Allah Swt artinya sebagai berikut :
الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ
وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ
وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ ( الحج : 41 )
Artinya : Orang-orang yang jika Kami
teguhkan kedudukannya di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat,
membayarkan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah perbuatan munkar, dan
kepada Allah kembali semua urusan (Q.S. al-Hajj : 41)”.
Hubungan
amar ma’ruf nahy munkar dengan umara’ (kekuasaan), bukan hubungan seputar ibadah,
akan tetapi jauh lebih besar dari itu, yaitu; masalah wilayah, kekuasaan hukum,
peperangan, peradilan, undang-undang kriminilitas, persoalan perkawinan,
keluarga, jual beli, gadai, utang piutang, persaksian, qishash, hubungan
internasional, penjara (tawanan), keamanan dan stabilitas, waris dan lain
sebagainya yang merupakan seperempat dari seluruh isi kandungan al-Qur’an itu
adalah pembicaraan tentang politik.[21]
Sasaran akhir dari perjalanan umara’ ini
adalah memperjuangkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat dan mengusahakan
terciptanya kemakmuran. Usaha kearah itu tiada jalan yang mesti ditempuh,
kecuali melalui al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy an al-munkar.
Konsep
inipun tidak akan bisa tegak melainkan dengan adanya al-imam[22]
(pemimpin). Dengan demikian tugas ini adalah wajib, bila tidak ada yang
melaksanakannya, maka kehidupan umat tidak akan tertata dengan baik, akan
banyak perampokan, pencurian, penganiayaan faudha/chaos’ dalam masyarakat,
bangsa dan negara.
Sekurang-kurangnya
ada dua badan resmi yang dapat dijadikan benteng untuk bisa berdirinya amar
ma’ruf nahy munkar dalam masyarakat, yaitu ;
a. Pihak-pihak resmi mereka harus yang
bertanggungjawab terhadap pelaksanaannya, (yaitu penguasa).
b. Bila tidak mendapatkan pada yang pertama,
hendaknya manusia berjalan di belakang para ulama yang memikul tugas ini.
Apabila
manusia tidak mendapatkan salah satu dari kedua itu, maka harus bersandar
kepada ijtihad.[23]
Abdul Karim Zaidan sebagaimana dikutip oleh Salman al-Audah mengemukakan
bahwa kemampuan yang paling besar terdapat pada amir (penguasa) yang memiliki
kekuatan untuk memerintah dan melarang, karena penguasa lebih bertanggungjawab
dibandingkan dengan orang lain untuk menghilangkan kemungkaran yang ada di
dalam rumahnya.[24]
Dengan
demikian masalah al-imamah merupakan bagian dari amar ma’ruf nahy munkar,
karena ajaran ini merupakan rekonstruksi umat Islam. Semua sasaran
kehidupan umat Islam mesti melalui media amar ma’ruf nahy munkar, antara
lainnya misalnya adalah; politik, ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan
teknologi. Oleh karena politik sebagai salah satu instrumen penting, maka suatu
masyarakat hanya bisa hidup teratur, aman dan nyaman, jika mereka hidup dan
berada dalam suatu negara dengan segala perangkat dan susunan kekuasaannya,
sehingga banyak orang yang berpendapat bahwa politik adalah “panglima”.
Artinya politik sangat menentukan corak sosial, ekonomi, budaya, hukum dan
berbagai aspek kehidupan lainnya.[25]
Agaknya
disinilah Allah mengisyaratkan dalam surat al-Hadid ayat 25, mengajarkan bahwa
Tuhan telah mengutus RasulNya dengan bukti-bukti nyata. Ia menurunkan kitab dan
keadilan agar manusia dapat melaksanakan keadilan. Allah menurunkan pula “besi”
yang mengandung kekuatan yang hebat dan dapat memberikan manfaat bagi manusia.
Justru untuk terciptanya suatu keadilan diperlukan adanya kekuasaan yang
dilambangkan “besi”. Jadi untuk mencapai suatu keadilan jika perlu dengan
kekuasaan politik namun perlu juga diketahui, bahwa apakah pelaksanaan al-amr
bi al-ma’ruf wa al-nahy an al-munkar itu para penguasa, ulama, atau kedua
kekuatan tersebut. Nampaknya pemikiran Qadhi Abdul Jabbar dalam hal ini adalah
tertuju hanya kepada penguasa saja, karena penguasa itu dalam kapasitasnya
sebagai pemimpin, sekaligus juga ahli agama Islam, sehingga tidak ada dikhotomi
antara penguasa dengan ulama. Artinya penguasa itu adalah ulama dan ulama itu
mestinya adalah penguasa.
4. Memerangi Hasad
(hasut)
Kata dengki (hasad) diambil dari
akar kata h, s, d. Didalam al-Qur’an
berjumlah 5 kali, yaitu surat al-Falaq
2 kali, yaitu : ِوَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا
حَسَدَ Artinya : dan berlindung dengan Allah dari kejahatan orang
yang dengki apabila ia dengki". al-Fath; 15, yaitu : فَسَيَقُولُونَ
بَلْ تَحْسُدُونَنَا بَلْ كَانُوا لَا يَفْقَهُونَ إِلَّا قَلِيلًا .
Artinya : mereka akan mengatakan: "Sebenarnya kamu dengki kepada
kami". Bahkan mereka tidak mengerti melainkan sedikit sekali. Surat
al-Nisa’ 54, al-Baqarah; 109.[26]
Dengki adalah
mengharapkan lenyapnya nikmat dari orang yang lain. Penyakit dengki muncul dan
berawal dari iri hati, iri hati muncul dari marah. Ada sifat marah itu terlihat
secara nyata, hal itu disebut
dengan emosi, dan ada marah itu terpendam, maka itu disebut dengan pendendam. Nabi mencela sikap
dengki, karena dengki adalah penyakit yang paling berbahaya dalam suatu
kebaikan, seperti hadis yang berbunyi :
الحسد يأكل الحسنات
كما تأكل النار الحطب
Artinya : Kedengkian memakan kebaikan
sebagaimana api memakan kayu bakar. Dalam hadis lain diungkapkan oleh Nabi,
yaitu : لا بظهر الشماتة باخيك
فيعافيه الله ويبتليك
Artinya : Janganlah kamu menampakan kegembiraan atas musibah yang menimpa
temanmu, lalu Allah memulihkannya kembali dan akan menimpakan musibah
itu kepadamu.
Penyakit
dengki sebenarnya dapat membawa kepada kekafiran, misalnya kenapa Iblis dihukum
kafir oleh Allah ? adalah karena ia dengki
kepada Adam AS., sehingga ia
tidak mau patuh kepada Khaliqnya. Begitu juga kenapa Adam diusir kedunia ?
adalah karena ia thama’ dan rakus.
Pada hal telah disediakan semua kesenangan didalam surga, akan tetapi ingin
juga meraih yang dilarang Allah. Begitu juga kenapa Habil membunuh Qabil
? Adalah karena kedingkian memperebutkan adiknya untuk dijadikan isterinya.
Sebab-sebab kedengkian :
1. Adanya
rasa permusuhan dan kebencian kepada orang lain. Hal ini diungkap
seperti firman Allah surat Ali Imran;
119, yaitu :
وَإِذَا
لَقُوكُمْ قَالُوا ءَامَنَّا وَإِذَا خَلَوْا عَضُّوا عَلَيْكُمُ الْأَنَامِلَ
مِنَ الْغَيْظِ قُلْ مُوتُوا بِغَيْظِكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِذَات الصدورِ
Artinya : Apabila
mereka menjumpai kamu, mereka berkata: "Kami beriman"; dan apabila
mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci
terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): "Matilah kamu karena
kemarahanmu itu". Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati.
2. Ta’azzuz,
berkeberatan jika orang lain
mengunggulinya.
3. Kesombongan,
yaitu meremehkan orang lain dan mengharapkan orang lain itu tunduk kepadanya. Misal surat
al-Baqarah antara Adam dengan
Iblis yang tidak mau tunduk kepada Adam.
4. Ta’jub, yaitu
tercenggang kepada diri sendiri, karena
dirinya merasa telah memiliki yang belum
dimiliki orang lain. Seperti terdapat dalam surat al-Munafiqun; 4,
al-Baqarah;204, al-Taubah;55.
5. Takut
tidak mendapatkan apa yang diinginkannya, sedangkan yang diinginkannya
itu telah diraih oleh orang lain.
6. Haus dan
rakus dengan pangkat dan jabatan serta ingin populeritas. Untuk
itu lahir sikap sikut
kiri dan sikut kanan, tanpa lagi mengindahkan perasaan.
7. Kikir untuk berbuat baik kepada
hamba Allah yang membutuhkannya.
Kedengkian itu terdapat dua keadaan yaitu (1) ada dalam bentuk benci dan menginginkan nikmat yang ada pada orang
lain lenyap. (2) dalam bentuk
ghibah atau munafasah, yaitu persaingan
yang sehat. Keadaan yang pertama
hukumnya haram secara mutlak, kecuali nikmat yang diperoleh
dengan batil. Seperti firman
Allah surat Ali Imran ayat 120, yaitu :
إِنْ
تَمْسَسْكُمْ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ وَإِنْ تُصِبْكُمْ سَيِّئَةٌ يَفْرَحُوا بِهَا
وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لَا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ
بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ .
Artinya : Jika
kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu
mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertakwa,
niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu.
Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.
Dalam hal ini
Allah telah mencontoh tentang cerita nabi Yusuf As, yang saudara kandungnya sendiri dengki kepadanya,
karena sang ayahnya cenderung merasa
sayang kepada nabi Yusuf, sehingga akhirnya mereka bersama-sama berusaha untuk
membunuhnya. Ternyata akhirnya Yusuf menjadi raja, sang saudaranya terpaksa
membeli makanan kepada adiknya sendiri
untuk mendapatkan pasokan makanan.
Sedangkan dalam bentuk bersaingan
(munafasah) atau musabaqah, Allah Swt
menyuruhnya, seperti firmannya surat al-Hadid, 21, yaitu :
سَابِقُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ
مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أُعِدَّتْ
لِلَّذِينَ ءَامَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ
يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ .
Artinya : Berlomba-lombalah
kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas
langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan
Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. Sedangkan dalam
hadis dibolehkan adanya persaiangan itu
seperti hadis nabi, yaitu :
لا حسد الا
فى اثنتين : رجل
أتاه الله مالا فسلطه على هلكته فى الحق, ورجل أتاه الله علم فهو يعمل به ويعلمه الناس
Artinya : Tidak
ada kebencian atau kedungkian
kecuali dalam dua hal : Seorang yang dikurnia harta, lalu
harta itu dipergunakannya untuk
jalan kebanaran, dan seorang yang punya ilmu,
ia amalkan dan diajarkannya
kepada orang lain (Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu Allah
Swt. telah memberi petunjuk bahwa berlindung itu hanya kepada Allah saja. Bila
seseorang mencari perlindungan selain Allah, atau meminta bantuan dan
pertolongan selain kepada-Nya, maka imannya telah rusak. Kerusakan iman itulah
yang sebenarnya menjelma dalam bentuk iri hati yang justru membawa kepada tukang hasud dan tukang fitnah. Dalam
al-Qur’an tukang fitnah itu lebih
berbahaya dari pembunuhan. Seperti
firman-Nya pada ssurat al-Baqarah; 191
yang berbunyi : وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ. Artinya : dan fitnah itu lebih besar
bahayanya dari pembunuhan. Tukang hasud adalah suatu penyakit kronis jiwa yang
biasa dilakukan oleh orang kafir. Karena orang kafir itu tidak senang melihat orang mendapat nikmat. Dengan demikian
bila penyakit ini melanda seorang, maka secara otomatis keimanan yang
ada dalam dirinya berubah menjadi kafir.
Itu dasarnya Allah menyuruh berlindung hanya kepada-Nya agar
keimanan seseorang tetap berada dalam dirinya.
5.
Memusuhi Tughyan
Thughyan ialah
diambil dari istilah “ thagha” yaitu sikap rohani yang selalu ingin
memaksakan kehendak kepada orang
lain tanpa memberikan peluang
kepada orang itu untuk melakukan
pertimbangan bebas. Dalam sikap
ini terselip pandangan bahwa diri sendiri pasti benar dan orang lain pasti salah, yaitu
pandangan pemutlakan diri sendiri. Bagi
orang yang beriman yang Maha Mutlak itu hanyalah Allah saja, sedangkan yang lain lain
adalah relatif atau nisbi.
Didalam al-Qur’an akar kata thughyan
ini berjumlah sebanyak 39 kali dalam
berbagai surat dan ayat.[27]
Bentuk dari kegiatannya disebut dengan thughyan, sedangkan orang yang
melakukannya disebut dengan thaghut. Antara lain al-Qur’an
sebagai berikut :
1. Surat
al-Maidah; 64, yaitu : وَلَيَزِيدَنَّ كَثِيرًا
مِنْهُمْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ طُغْيَانًا وَكُفْرًا وَأَلْقَيْنَا
بَيْنَهُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Artinya : Dan Al Qur'an yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu sungguh-sungguh akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan
di antara mereka. Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara
mereka sampai hari kiamat.
Penjelasannya bahwa makna thughyan
di sini adalah : Kelancanagan mereka melakukan
perbuatan dosa dan mencari permusuhan dengan mencari-cari kesalahan
orang lain. Pada sisi lain yang haram tetap juga dimakan sedangkan yang halal
mereka perdebatkan. Untuk itu
mereka menempuh segala cara,
asal keinginannya tercapai. Bahkan salah seorang mereka bernama Nabbasyi bin Qais menuduh Tuhan Allah kikir, tangan
Allah terbelenggu dan lain sebagainya.
2.
Surat
al-Fajr; 11 yaitu : الَّذِينَ
طَغَوْا فِي الْبِلَادِ(11)فَأَكْثَرُوا فِيهَا الْفَسَادَ(12)فَصَبَّ عَلَيْهِمْ
رَبُّكَ سَوْطَ عَذَابٍ
Artinya : yang
berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka berbuat banyak kerusakan
dalam negeri itu, karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab.
Penjelasan ayat di atas adalah :
bahwa thaghaw di
sini dimaksudkan kaum ‘Aad telah
dibinasakan dengan angin yang sangat
dingin dan kencang, begitu juga Fir’un yang dijungkir balikan akibat dari
kesalahan mereka. Hal ini karena tidak mau
menerima petunjuk Allah dan rasul-Nya.
3. Surat
al-‘Alaq; 7, yaitu : كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى(6)أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى
Artinya :
Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia
melihat dirinya serba cukup.
Penjelasan ayat ini adalah bahwa thagha
di sini adalah bila ia telah berkuasa
dan mempunyai harta, maka ia
berlaku semena-mena terhadap
orang yang berada dibawahnya, dirinya yang paling baik dan paling berhasil.
Buktinya adalah bahwa Allah selalu saja menolongnya bila ia mendapat kesusahan.
Ketika ia tidak pernah patuh kepada Allah, menurutnya ia tetap saja mendapatkan
rezeki, harta dan anak. Sementara orang yang taat dan patuh kepada Allah, ia melihat kehidupan mereka tetap saja tidak
berubah. Ini artinya bahwa ketaatan tidak menjadi jaminan bertambahnya harta
dan sebagainya. Pandangan itu mereka tularkan kepada orang lain, sehingga dalam
kesahariannya mereka menilai seseorang adalah dengan hartanya.
4. Surast
al-Nazi’at; 37, yaitu : فَأَمَّا مَنْ
طَغَى(37)وَءَاثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا(38)فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى
Artinya : Adapun
orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka
sesungguhnya nerakalah tempat tinggal (nya).
Penjelasan ayat ini adalah bahwa thagha di sini
adalah sama dengan
surat al-‘Alaq di atas, hanya
Allah menambahkan bahwa tempat yang
layak bagi mereka adalah neraka jahim.
5.
Al-Baqarah;
256, yaitu : فَمَنْ
يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّه فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ
الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya : Karena
itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak
akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Penjelasan bahwa yang dimaksud
dengan engkar kepada thaghut itu adalah tidak mengikuti cara-cara
kehidupannya, karena mengikuti thaghut
ini jelas akan memabawa kepada kekafiran.
6. al-Nisa’’
51, yaitu :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ الْكِتَابِ
يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا
هَؤُلَاءِ أَهْدَى مِنَ الَّذِينَ ءَامَنُوا سَبِيلًا(51)أُولَئِكَ الَّذِينَ
لَعَنَهُمُ اللَّهُ وَمَنْ يَلْعَنِ اللَّهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ نَصِيرًا(52)
Artinya : Apakah
kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al Kitab? Mereka
percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir
(musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang
beriman. Mereka itulah orang yang dikutuki Allah. Barangsiapa yang dikutuki
Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya.
Penjelasan ; Yang dimaksud dengan Jibt
itu adalah salah satu nama setan
yang mempunyai sikap selalu merasa
dirinya lebih benar dari orang lain, bahkan dari Allah.
Seperti misalnya Fir’un, ia mengatakan dirinya tuhan yang agung. Mereka ini
selalu mendapat kutukan dalam kehidupannya setiap waktu, sehingga akhirnya
hancur.
7.
al-Maidah; 60, yaitu : قُلْ
هَلْ أُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ ذَلِكَ مَثُوبَةً عِنْدَ اللَّهِ مَنْ لَعَنَهُ
اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ
وَعَبَدَ الطَّاغُوتَ أُولَئِكَ شَرٌّ مَكَانًا وَأَضَلُّ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ
Artinya : Katakanlah: "Apakah akan aku
beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari
(orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan
dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang)
menyembah thaghut?" Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat
dari jalan yang lurus.
Penjelasan ; Yang dimaksud dengan
kera di sini adalah sikapnya, yaitu
selalu mencibir dan berpandangan buruk kepada orang, sekalipun yang dibuat
orang lain itu baik. Sedangkan babi adalah cerminan sikap menghalalkan
segala cara, demi mencapai tujuannya.
Demikianlah semoga kita terjauh dari
sifat thaghut dan mari kita ikuti Allah
dan rasul-Nya, semoga kita menjadi manusia yang banar disi Allah Swt.
dan kita berlindung dan berdo’a kepada Allah terjuah dari penyakit
ini.
6. Meleburkan Ghadab
(Emosional)
Kata Ghadab, yang berujung
kepada kalimat al-maghdub diambil dari akar kata ghadhaba ( gh, dh, b).
Dalam surat al-fatihah, sebagai tujuan utama yang diminta kepada Allah Swt.
5 kali sehari dan semalam, memiliki
keberagaman makna, namun kesemuanya memberikan arti; keras, kokoh, dan tegas,
singga, banteng, batu gunung, sesuatu yang merah padam. Bila kata ini tertuju
kepada manusia, maka pemaknaannya adalah marah, bila kata ini tertuju kepada
Tuhan, maka pemaknaannya tindakan untuk melakukan tindakan keras dan tegas atau siksaan.
Dari 24 kali kata-kata ini dalam
al-Qur’an, 12 kali dalam kontek pembicaraan pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan oleh orang Yahudi, sedangkan sisanya berkisar pada pembicaraan marah merupakan naluri
manusia, atau murka Tuhan yang ditujukan
kepada orang musyrik dan munafik yang mengaku pengikut Muhammad Saw., tetapi
biasa melakukan pelanggaran. Namun secara umum kata ghadab ini tertuju kepada
orang Yahudi, karena terlihat pada
sikapnya, antara lain :
1). Mengingkari
tanda-tanda kebesaran Ilahi, 2).
Membunuh orang lain tanpa salah, 3). Iri hati
dan membangkang, 4). Membantah
keterangan Rasul. 5). Melakukan pelanggaran terhadap rezki yang telah diberikan
kepadanya. 6). Berprasangka buruk kepada Tuhan. 7). Lari dari medan pengajian.
8). Murtad dan mementang agama yang hak,
dan 9). Melakukan zina.
Didalam al-Qur’an
kata tersebut diungkap
antara lain :
1.
Surat
Thaha; 81, yaitu : كُلُوا
مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَلَا تَطْغَوْا فِيهِ فَيَحِلَّ عَلَيْكُمْ
غَضَبِي وَمَنْ يَحْلِلْ عَلَيْهِ غَضَبِي فَقَدْ هَوَى .
Artinya : Makanlah
di antara rezki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu, dan janganlah
melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu. Dan
barangsiapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku, maka sesungguhnya binasalah ia.
Maksud ghadabi di sini adalah siksaan Allah yang
diberikan kepada orang ayang melampaui batas, yaitu memakan hak orang lain
dengan cara yang tidak benar.
2. al-Baqarah; 90,
yaitu :
بِئْسَمَا اشْتَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ أَنْ يَكْفُرُوا بِمَا
أَنْزَلَ اللَّهُ بَغْيًا أَنْ يُنَزِّلَ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ عَلَى مَنْ
يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ فَبَاءُوا بِغَضَبٍ عَلَى غَضَبٍ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ
مُهِينٌ.
Artinya : Alangkah buruknya (perbuatan) mereka
yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada apa yang telah diturunkan
Allah, karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Karena itu mereka mendapat murka
sesudah (mendapat) kemurkaan. Dan untuk orang-orang kafir siksaan yang
menghinakan.
Maksud kata ghadabin di
sini mereka yang memperjual belikan ayat-ayat Allah dengan cara yang
tidak benar untuk kepentingan mereka dengan cara memalingkan tujuan ayat kepada
kemaunnya.
3. Ali Imran 112,
yaitu : ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلَّا
بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ
وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الْمَسْكَنَةُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ
بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ ذَلِكَ بِمَا
عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ .
Artinya : Mereka diliputi kehinaan di mana saja
mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali
(perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah
dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada
ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian
itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.
Maksud kata bighadabin di
sini adalah mereka kembali kepada menjauhi Allah dan perpecahan sesama
manusia setelah mereka bersatu pada
jalan Allah Swt.
4. al-A’raf; 71,
yaitu : قَدْ وَقَعَ عَلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ رِجْسٌ وَغَضَبٌ
أَتُجَادِلُونَنِي فِي أَسْمَاءٍ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَءَابَاؤُكُمْ مَا
نَزَّلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ فَانْتَظِرُوا إِنِّي مَعَكُمْ مِنَ
الْمُنْتَظِرِينَ
Artinya : Ia berkata: "Sungguh sudah pasti
kamu akan ditimpa azab dan kemarahan dari Tuhanmu". Apakah kamu sekalian
hendak berbantah dengan aku tentang nama-nama (berhala) yang kamu dan nenek
moyangmu menamakannya, padahal Allah sekali-kali tidak menurunkan hujjah untuk
itu? Maka tunggulah (azab itu), sesungguhnya aku juga termasuk orang yang
menunggu bersama kamu".
Maksud ghadabun di sini
adalah mereka yang masih percaya kepada tradisi nenek moyang mereka dulu, padahal
al-Qur’an telah datang memberi
petunjuk untuk mereka, maka kepada
mereka ditimpakan penderitaan
dalam kehidupannya.
5. al-Nahlu; 106,
yaitu : مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ
وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا
فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Artinya ;
Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan
Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam
beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk
kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.
Maksud ghadab di sini adalah
orang yang terbuka hatinya untuk berbuat
maksiat dan tertutup kepada berbuat
kebaikan.
7. al-Syura;
16, yaitu ;
وَالَّذِينَ يُحَاجُّونَ فِي اللَّهِ مِنْ
بَعْدِ مَا اسْتُجِيبَ لَهُ حُجَّتُهُمْ دَاحِضَةٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَعَلَيْهِمْ
غَضَبٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ
Artinya: Dan
orang-orang yang membantah (agama) Allah sesudah agama itu diterima maka
bantahan mereka itu sia-sia saja di sisi Tuhan mereka. Mereka mendapat
kemurkaan (Allah) dan bagi mereka azab yang sangat keras.
7. Melumpuhkan
Sombong
Sombong
adalah salah satu bentuk penyakit rohani yang
dialami oleh manusia di
dunia ini. Secara umum ialah menolak
kebenaran dan memandang enteng orang lain.
Sombong secara umum bila dilihat
dari pelakunya terbagi kepada dua macam; Pertama sombong batin,
yaitu perangai batin yang selalu
mempengaruhi kesucian batin, dan kedua sombong lahir, yaitu penampakan sikap
lahiriyah dalam berbicara, berpakaian,
berjalan, dalam duduk, berdiri,
makan dan minum, berkenderaan dan lain sebagainya. Artinya
sombong batin sesuatu yang tidak nampak
dalam prilaku lahiriyah, sedangkan
sombong lahir sesuatu yang nampak dalam prilaku sehar-hari.
Sombong bila dilihat dari objeknya
(sasarannya) terbagi kepada tiga bagian,
yaitu ;
pertama sombong kepada Allah Swt,
kedua sombong kepada Rasul Saw.
dan ketiga sombong kepada sesama manusia. Sombong kepada Allah dan Rasul
adalah tidak mau atau tidak mengindahkan permintaan Allah dan Rasul itu baik
dalam dalam prilaku lahiriyah, maupun prilaku batiniyah.
Penampakan
dalam prilaku lahiriyah misalnya ditemukan dalam al-Qur’an surat al-Isra’;28, yaitu : وَلَا
تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ
الْجِبَالَ طُولًا . Artinya
: Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena
sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu
tidak akan sampai setinggi gunung.
Selanjutnya ssurat Lukman ayat; 18, dan 19 yaitu : وَلَا
تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ
لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ(18)وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ
صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ . Artinya : Dan janganlah kamu memalingkan mukamu
dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan
angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi
membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah
suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.
Memperhatikan ayat di
atas jelas bahwa sombong lahiriyah itu secara kejiwaan dirasakan oleh manusia pengaruhnya. Dalam
hadis Nabi misalnya beliau mengatakan : كَفَى بِالُمَرْءِ شَرًا اَنْ
يَحْقِرَ اَخَاهُ الُمُسْلِمَ . .
Artinya : Cukup seseorang
dinilai jahat, bila ia merendahkan saudaranya sesama muslim (HR. Muslim)
Atau dalam hadis lain Nabi Muhammad bersabda :
اِذَا سَمِعْتُمُ
الرَّجُلَ يَقُوْلُ هَلَكَ النَّاسَ
هُوَ اَهْلَكُهُمْ . Artinya
: Apabila kamu mendengar orang mengatakan “ Orang-orang telah binasa” maka dialah orang yang paling binasa diantara mereka
( HR. Muslim).
Sedangkan penampakan dalam prilaku batin, tercermin
dalam firman Allah surat Lukman ayat 7,
yaitu : وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ ءَايَاتُنَا وَلَّى مُسْتَكْبِرًا كَأَنْ
لَمْ يَسْمَعْهَا كَأَنَّ فِي أُذُنَيْهِ وَقْرًا فَبَشِّرْهُ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ .
Artinya : Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami dia berpaling
dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada
sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah dia dengan azab yang
pedih.(Lukman 7). Selanjutnya surat al-Nahl; 22, yaitu : إِلَهُكُمْ
إِلَهٌ وَاحِدٌ فَالَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ قُلُوبُهُمْ مُنْكِرَةٌ
وَهُمْ مُسْتَكْبِرُونَ . Artinya : Tuhan kamu
adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat,
hati mereka mengingkari (keesaan Allah), sedangkan mereka sendiri adalah
orang-orang yang sombong.
Penyebab kesombongan, secara garis
besar penyebab kesombongan terbagi kepada tujuh macam.
a. Ilmu pengetahuan
b. Amal
ibadah
c. Nasab atau
keturunan
d. Kecantikan
dan kegantengan
e. Harta
kekayaan
f. kekuatan
g. Adanya pendukung.
Akibat kesombongan
dalam al-Qur’an antara lain sebagai berikut :
1. Surat
al-Nisa;173, yaitu :
وَأَمَّا الَّذِينَ اسْتَنْكَفُوا
وَاسْتَكْبَرُوا فَيُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا وَلَا يَجِدُونَ لَهُمْ مِنْ
دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
Artinya : Adapun
orang-orang yang enggan dan menyombongkan diri, maka Allah akan menyiksa mereka
dengan siksaan yang pedih, dan mereka tidak akan memperoleh bagi diri mereka,
pelindung dan penolong selain daripada Allah.
2. Surat
Ghafir 60, yaitu :
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي
أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ
جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
Artinya : Dan
Tuhanmu berfirman: “Berdo`alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.
Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk
neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”.
3. Surat al-A’raf;
36, yaitru :
وَالَّذِينَ كَذَّبُوا
بِآيَاتِنَا وَاسْتَكْبَرُوا عَنْهَا أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا
خَالِدُونَ
Artinya : Dan
orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya,
mereka itu penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
4. Surat al-A’raf;
40, yaitu :
إِنَّ الَّذِينَ كَذَّبُوا
بِآيَاتِنَا وَاسْتَكْبَرُوا عَنْهَا لَا تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ
وَلَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى يَلِجَ الْجَمَلُ فِي سَمِّ الْخِيَاطِ
وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُجْرِمِينَ(40)لَهُمْ مِنْ جَهَنَّمَ مِهَادٌ وَمِنْ
فَوْقِهِمْ غَوَاشٍ وَكَذَلِكَ نَجْزِي الظَّالِمِينَ
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali
tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka
masuk surga, hingga unta masuk ke lobang jarum. Demikianlah Kami memberi
pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan. Mereka mempunyai tikar
tidur dari api neraka dan di atas mereka ada selimut (api neraka). Demikianlah
Kami memberi balasan kepada orang-orang yang zalim.
8. Menanamkan Amanah
Al-Qur’an banyak
berbicara tentang amanah, seperti :
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ
أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ
أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ
اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا ( النـساء 4: 58 )
Artinya :"Sesungguhnya
Allah memerintahkan kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,
dan (memerintahkan kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.” (Q.s., al-Nisa`/4:58)
Latar
belakang turun ayat tersebut; Diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas bahwa setelah
Rasulullah Saw memasuki kota Mekkah pada hari ditaklukkannya, ‘Utsman bin
Thalhah pengurus Ka’bah pada waktu itu mengasai pintu Ka’bah lalu naik ke atas
bubungannya. Ia enggan memberikan kunci Ka’bah kepada Rasulullah SAW. Kemudian
‘Ali bin Abi Thalib merebut kunci Ka’bah itu dari ‘Usman bin Thalhah secara
paksa dan membuka Ka’bah, lalu masuklah Rasulullah Saw dan melakukan shalat dua
raka’at. Setelah beliau keluar dari Ka’bah muncullah pamannya ‘Abbas menemuinya
dan minta agar kunci itu diserahkan dan diberi jabatan pemeliharaan Ka’bah dan
jabatan penyediaan air untuk jamaah haji. Maka turunlah ayat tersebut, kemudian
Rasulullah Saw menyuruh ‘Ali bin Abi Thalib untuk mengembalikan kunci Ka’bah
kepada ‘Utsman bin Thalhah dan minta maaf.
Sekilas
dari gambaran sebab turun ayat di atas terlihat keinginan mempertahankan status
quo dari ‘Utsman bin Thalhah, dan unsur pemaksaan kehendak dari ‘Ali bin Abi
Thalib serta sikap nepotisme dari ‘Abbas (paman Nabi). Kesemua persoalan di
atas terselesaikan dengan perdamaian dari Rasulullah Saw. dan
mengembalikan amanat kepada yang berhak menerimanya, sesuai dengan perintah Allah
Swt. untuk tidak mengkhianati amanat, seperti firman-Nya surat al-Anfal ayat
27, yaitu :
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا
أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ .
Artinya : Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul
(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.
وَالَّذِينَ هُمْ
لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ
Artinya : Dan
orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya,
Pengartian
“amanat” dalam ayat tersebut ialah sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang
untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Dalam kehidupan ini kita sebagai manusia telah diberi oleh Allah
Amanah (kepercayaa). Antara lain amanah yang
diberikan kepada kita adalah :
bumi dengan segala isinya, meliputi Islam, harta, isteri, anak, jabatan,
pangkat, ilmu pengetahuan, kesehatan, umur, rezki,pergaulan dan lain
sebagainya, amanah yang diemban itu bersumber dari Allah. Ini adalah
konsekuensi dari kasih sayang Allah kepada manusia. Untuk mewujudkan semua amanah Tuhan itu di diperlukan beriman,
karena kata amanat itu berakar
dari kata amana, yaitu iman. Kalau begitu amanat itu adalah iman.
Persoalan sekarang bagaimana kita memelihara iman itu. Bila iman telah
terpelihara, maka amanat dengan sendirinya terpelihara dan sebaliknya. Kalau
terjadi misalnya perbedaan pandangan dan pendapat dalam sesuatu, maka jangan
jadikan hal itu sebagai pemicu perpecahan, karena perbedaan pandangan itu juga rahmat. Namun perbedaan itu bukan
melahirkan saling salah menyalahkan, tuding menuding antara sesama kita. Untuk itu amanah sebenarnya adalah melakukan pekerjaan sesuai
dengan profesinya masing-masing dengan
saling konfirmasi. Bila melakukan
pekerjaan telah sesuai dengan job dan keahlian yang dimilki berarti telah melaksanakan amanah. Orang yang tidak
amanah misalnya adalah orang yang suka mencikaraui urusan orang lain yang
mereka bukan ahli dibidang itu. Hal ini namanya pengkhianat. Yaitu penghancur
amanah. Al-Qur’an lebih tegas menjelaskan misalnya isteri Nuh memprotes
pekerjaan suaminya. (QS. Tahrim 10,
yaitu :
ضَرَبَ
اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ كَفَرُوا اِمْرَأَةَ نُوحٍ وَامْرَأَةَ لُوطٍ كَانَتَا
تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا
عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ
Artinya : Allah
membuat isteri Nuh dan isteri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya
berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba
Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua
suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan
dikatakan (kepada keduanya); "Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang
masuk (neraka)".
Rasulullah Saw menegaskan, dalam Sabdanya ,
yaitu :
“Apabila
amanat telah disia-siakan maka tunggulah saatnya. Sahabat bertanya: Apakah
maksudnya wahai Rasulullah? Beliau menjawab: Apabila suatu urusan telah
diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat (kehancurannya).” (H.R.
Bukhari dari Abi Hurairah r.a.)
Untuk
menjaga diri, keluarga, masyarakat dan negara berjalanlah sesuai dengan amanah
yang diberikan Allah, Al-Ghazali memandang amanah sebagai moral dan salah satu
kunci pokok dalam menjaga kedamaian diri, keluarga dan masyarakat. Karena
kehancuran sebuah rumah tangga, masyarakat disebabkan tidak amanah. Penyakit ketidak amanahan telah melanda
sendi-sendi kemanusiaan, sehingga mereka
berbuat diluar jalur kemanusiaan, jalur
sosial, jalur politik dan jalur hukum.
Pada suatu
waktu, Abu Dzar meminta suatu jabatan kepada Nabi, lalu Nabi berkata kepada Abu
Dzar: “Hai Abu Dzar! Engkau ini sangat lemah, sedangkan pekerjaan itu adalah
amanah yang pada hari kiamat nanti akan dipertanggungjawabkan dengan penuh
resiko kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang memenuhi syarat dan
dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.” (H.R. Muslim)
9. Menghilangkan
‘Ujub
‘Ujub
ialah suatu penyakit rohani yang melanda manusia secara umum dan umat Islam
secara khusus. Penyakit ‘ujub adalah penyakit yang paling berbahaya dalam pencerahan ibadat, karena penyakit ini
merasa dirinya lebih dari orang lain, dengan kelebihan yang ada padanya itu
membuat ia ta’jub (tercengang) atau heran dan salut kepada dirinya sendiri atas
segala prestasi yang ia peroleh,
sehingga kesalutan kepada dirinya itu, membuat ia tidak mau
menerima masukan, sumbang saran dari orang lain, akan tetapi ia
mengagumi pendapat sendiri. Karena hasil nyata
dari usaha yang ia perbuat itu jauh lebih terbukti ketimbang orang yang
memberi saran-saran kepadanya. Hal ini terjadi disebabkan cara pandang seoerang
‘ujub mengukur segala sesuatu itu dengan yang kongkrit (nyata). Pengidap dari
penyakit ini sulit berintegrasi dengan orang lain secara normal. Apalagi dengan
Allah Swt. Sebab dia tidak bersedia mengikuti orang lain itu atau sebagai salah
satu faktor bukti kegengsiaannya dan
bahkan merasa rendah berteman atau
bergaul dengan orang yang standar
ekonominya dibawah standar kehidupannya. Maka yang terloncat dari mulutnya
hanyalah ngomong tentang orang-orang besar dan orang yang berpengaruh dan bahkan bangga bila pembicaraan itu menyinggung masa silamnya
yang negatif dan perbuatan dosa.
Didalam al-Qur’an Allah Swt.
telah mengingatkan perangai orang ‘ujub
ini antara lain :
1. Qs. al-Taubah ayat
55, yaitu :
فَلَا تُعْجِبْكَ أَمْوَالُهُمْ
وَلَا أَوْلَادُهُمْ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِي
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَتَزْهَقَ أَنْفُسُهُمْ وَهُمْ كَافِرُونَ
Artinya : Maka janganlah harta benda dan anak-anak
mereka mencengangkan hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi)
harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia
dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir.
2. Qs. al-Taubah ayat
85, yaitu :
وَلَا تُعْجِبْكَ أَمْوَالُهُمْ
وَأَوْلَادُهُمْ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِي
الدُّنْيَا وَتَزْهَقَ أَنْفُسُهُمْ وَهُمْ كَافِرُونَ
Artinya : Dan
janganlah harta benda dan anak-anak mereka mencengangkan hatimu. Sesungguhnya
Allah menghendaki akan mengazab mereka di dunia dengan harta dan anak-anak itu
dan agar melayang nyawa mereka dalam keadaan kafir.
3. Qs. al-Munafiqun
ayat 4, yaitu :
وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ
تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ وَإِنْ يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ كَأَنَّهُمْ
خُشُبٌ مُسَنَّدَةٌ يَحْسَبُونَ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِمْ هُمُ الْعَدُوُّ
فَاحْذَرْهُمْ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
Artinya : Dan apabila kamu melihat mereka,
tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu
mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar.
Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka.
Mereka itulah musuh (yang sebenarnya), maka waspadalah terhadap mereka; semoga
Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari
kebenaran)?
4. Qs.
Al-Baqarah ayat 204, yaitu :
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ
يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللَّهَ عَلَى مَا فِي
قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ
Artinya : Dan di
antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu,
dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia
adalah penantang yang paling keras.
Memperhatikan ayat-ayat di atas
ada beberapa pelajaran yang dapat dijadikan oleh orang-orang mau
beriman kepada Allah dan
rasul-Nya, antara lain :
Pertama
untuk tidak tercengang kepada orang yang banyak harta, bila harta yang
dimilikinya itu tidak dipergunakannya kepada kebenaran dan kemashlahatan. Harta yang dimaksudkan di
sini adalah harta dari terjemahan mal dan jamaknya amwal, di
dalam al-Qur’an berjumlah 86 kali tersebar dalam berbagai surat dan ayat. Harta
ialah segala sesuatu yang dimiliki, sesuatu yang dihimpun, disimpan, baik
berupa materi, maupun berupa manfaat. Imam Hanafi mengartikan harta adalah
sesuatu yang diminati oleh tabi’at manusia dan mungkin disimpan sampai waktu
yang dibutuhkan mempergunakannya. Sehingga bila dirinci harta itu meliputi :
1. Dalam
bentuk materi, misalnya rumah, tanah, ladang, sawah, pertokoan.
2. Dalam
bentuk bergerak, misalnya mobil, honda,
kapal, pesawat, mesin-mesinan.
3. Dalam
bentuk yang bernyawa, misalnya : hayawan, yang memberi faedah.
4. Dalam
bentuk memberi manfaat, misalnya : isteri, anak, orang tua,
famili/keluarga, termasuk pergaulan.
5. Dalam
bentuk bukan materi, misalnya : pangkat, jabatan, nama, titel atau popularitas.
Kedua untuk tidak selalu memuji-muji
mereka, seperti pengalaman Nabi ketika turun surat al-Baqarah 204 di atas
sebagai asbab al-nuzul ayat ini. Di mana
seorang yang bernama al-Akhnas bin Syariiq Al-Staqafi, setiap bertemu dengan
Nabi ia selalu memuji dan menyanjung Nabi dengan tujuan seakan-akan ia dianggap
oleh Nabi orang yang beriman. Sekaligus memberi imeng-imeng kepada Nabi dan
shabatanya bahwa ia akan berjuang bersama Nabi, sekilas yang diucapkannya itu menarik sekali, sehingga banyak orang
terpedaya kepadanya. Pada ayat di atas Allah mengingatkan kepada Nabi, bahwa
orang yang seperti al-Akhnas di atas
adalah pendusta, tidak dapat dipercaya. Karena pada orang yang ‘ujub itu
terdapat ciri-ciri khusus, yaitu :
1) Mempergunakan
kata-kata yang menarik, misalnya suka
memuji orang lain, dengan
konsekwensi, agar ia dipuji pula oleh
orang lain.
2) Senang dan
suka bersumpah menyebut nama Allah, misalnya
menyebut “sungguh, demi Allah” .
3) gigih dalam berdebat dan berhujjah menghadapi lawan penentangnya.
Ketiga harta dan anak-anak itu
akan menyusahkan, sebagai musuh, sebagai fitnah, sehingga akan
menganggu disaat-saat nyawa akan pergi menghadap Allah. Untuk itu
dibolehkan seseorang ujub (tercenggang) hanyalah kepada Allah saja yaitu dengan
mempergunakan harta dan anak-anak sesuai dengan aturan Allah, seperti firman Allah dalam surat al-Taubah
ayat 111, yaitu :
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ.
Artinya :
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu'min, diri dan harta mereka
dengan memberikan surga untuk mereka.
Nabi Muhammad Saw. dalam sebuah
hadisnya menjelaskan, yaitu :
ثلاث مهلكات : شح مطاع, و هوى
متبع, واعجاب المرء بنفسه.
Artinya : Ada tiga
yang membinasakan manusia, yaitu : Kikir yang diperturutkan, Hawa nafsu yang
diumbar dan tercengang kepada diri sendiri.
10. Memberantas
Bakhil
Bakhil secara bahasa berarti kikir,
ceke, dan pelit. Lawan dari bakhil adalah thama’, boros, angkuh, menang
sendiri, ilmu kui. Sedangkan secara istilah agama ialah enggan memberikan harta
benda kepada orang lain secara wajar, ilmu yang bermanfaat, pikiran dalam mencapai kemajuan, pendapat dalam menyelesaikan masalah, dan tenaga
kepada kepentingan agama Islam. Didalam al-Qur’an kata yang berakar kepada
bakhil ini berjumlah 12 kali dalam berbagai surat dan ayat, antara lain :
1. Al-Lail ayat 8,
yaitu :
وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى
Artinya : Dan
adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup.
Dalam ayat
ini Allah menerangkan bahwa orng-orang yang
bakhil, yang kikir yang merasa dirinya cukup tidak lagi memerlukan
pertolongan-Nya dan tidak bertakwa kepada-Nya serta mendustakan pahala yang
terbaik ialah surga. Akan disediakan-Nya
kelak jalan yang sukar, yang merendahkan
dirinya, yang membenamkannya kedalam dosa dan kesalahan.
2. Surat al-Taubah
ayat 76, yaitu :
فَلَمَّا
ءَاتَاهُمْ مِنْ فَضْلِهِ بَخِلُوا بِهِ وَتَوَلَّوْا وَهُمْ مُعْرِضُونَ
Artinya : Maka
setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka
kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang
selalu membelakangi (kebenaran).
Pada ayat
ini Allah menerangkan bahwa kalau maksud
mereka telah berhasil dan apa yang mereka minta sudah terkabul, mereka tidak
malu-malu berpaling, memungkiri janjinya dan mendurhakai Allah. Bila mereka
telah kaya, mereka bukan jadi pemurah, tetapi mereka bertambah bakhil, tidak mau
bersedekah, mengeluarkankan zakat, membantu orang- orang yang berkekurangan, menunjang pembangunan
umat dan lain-lain yang masuk amal
kebajikan. Mereka lupa akan janji-janji mereka yang diucapkan sebelum Allah
memberikan karunia kepada mereka,
walaupun sudah diberi peringatan berkali-kali.
Padahal menepati janji itu dikuatkan
dengan bersumpah dengan nama Allah.
3. Surat Muhammad
ayat 38, yaitu :
هَاأَنْتُمْ هَؤُلَاءِ
تُدْعَوْنَ لِتُنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَمِنْكُمْ مَنْ يَبْخَلُ وَمَنْ
يَبْخَلْ فَإِنَّمَا يَبْخَلُ عَنْ نَفْسِهِ وَاللَّهُ الْغَنِيُّ وَأَنْتُمُ
الْفُقَرَاءُ وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لَا
يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ
Artinya : Ingatlah, kamu ini orang-orang yang
diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada
orang yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap
dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang
yang membutuhkan (Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti
(kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu (ini).
4. Al-Nisa’ 37, yaitu
:
الَّذِينَ يَبْخَلُونَ
وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُونَ مَا ءَاتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ
فَضْلِهِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا
Artinya : (yaitu)
orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir dan
menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Dan kami
telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan.
Pada ayat
ini dijelaskan siapakah orang-orang yang paling, sombong dan takabur. Mereka adalah orang-orang yang bahkil tidak mau berbuat kebaikan sebagaimana yang diperintahkan Allah. Mereka
tidak mau memberikan pertolongan ,
dengan harta, tenaga dan fikiran untuk kemaslahatan sesama manusia. Disamping bakhil mereka mempengaruhi pula
orang lain untuk berlaku bakhil, supaya orang
itu jangan suka mengeluarkan hartanya
untuk menolong orang-orang yang perlu ditolong. Di dalam hati mereka tersimpan sifat loba dan tamak kepada
harta benda. Biar orang lain hidup melarat dan sengsarara asal mereka dapat
hidup senang dan bermegah-megah. Mereka menyembunyikan karunia yang telah
diberikan Allah kepadanya. Mereka selalu berpura-pura seperti orang yang selalu dalam kesulitan ,kesempitan
dan kekurangan. Mereka yang seperti itu termasuk manusia yang tidak bersyukur
kepada Allah,mereka adalah orang yang
kafir atas nikmat Allah. Bagi orang-orang yang kafir itu Allah
menyediakan siksa yang menghinakan
baik di dunia ini maupun
di akhirat nantinya. Hal ini dipertegas Allah dalam surat Ali Imran ayat 180, yaitu :
وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ
يَبْخَلُونَ بِمَا ءَاتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ بَلْ
هُوَ شَرٌّ لَهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Artinya : Sekali-kali
janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka
dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya
kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan
dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala
warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.
5. Surat al-Hadid
ayat 24, yaitu :
الَّذِينَ يَبْخَلُونَ
وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَمَنْ يَتَوَلَّ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ
الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
Artinya : (yaitu) orang-orang yang kikir dan
menyuruh manusia berbuat kikir. Dan barangsiapa yang berpaling (dari
perintah-perintah Allah) maka sesungguhnya Allah Dia-lah Yang Maha Kaya lagi
Maha Terpuji.
Orang-orang
yang bakhil itu adalah orang yang bila memperoleh nikmat kesenangan, harta,
mereka berpendapat bahwa semua itu
diperolehnya semata hanya karena
kesanggupannya dan kepandaiannya
sendiri, bukan karena pertolongan dan anugerah Allah kepadanya. Karena mereka
merasa merasa lebih kuat dan mampu sehinga mereka tidak membutuhkan
orang lain , dan tidak mau peduli dengan
orang lain serta megira memberikan sesuatu
pada orang lain akan menjadikan
mereka miskin.
Memperhatikan
ayat-ayat yang berhubungan dengan bakhil
ini, nampaknya Allah tidak senang kepada orang yang bakhil, karena kebakhilan membuat orang lain sombong, merasa
dirinya cukup serta tidak memerlukan bantuan orang lain. Lebih jauh tipe orang
bakhil adalah tama’ atau rakus dengan
harta, sehingga ia merasa, bahwa hartalah satu-satunya yang dapat menyelamatkan
mereka, bahkan prioritas kehidupan ini adalah dengan harta, sehingga kehidupan yang lebih abadi mereka abaikan dan mereka sia-siakan.
Bila dilihat dalam fenomena masyarakat,
biasanya orang yang bakhil disisihkan, dipencilkan dan diasingkan oleh orang
lain dari pergaulannya. Dan yang paling bernahaya lagi adalah bakhil kepada
diri sendiri, kepada anak-anak dan kepada keluarga, sementara ia
berhemat-hemat dalam hartanya, namun kehematan itu habis juga oleh orang lain.
11. Membunuh Ghibah
Ghibah ialah menyebut orang lain
dengan sesuatu yang tidak disukainya, baik menyebutnya dengan kekurangan yang
ada pada badan, keturunan, akhlak,
perbuatan, perkataan, agama, tentang dunianya, bahkan pada pakaian,
rumah dan kenderaannya. Lebih jauh Rasulullah pernah ditanya oleh shahabatnya tentang apa itu
ghibah, maka Nabi menjawab yang maksudnya:
“Tahukah kamu apa itu
ghibah, mereka menjawab “ Allah dan Rasul yang lebih tahu”. Nabi bersabda: Kamu menyebut saudaranyamu
dengan hal yang tidak disukainya. Ditanyakan oleh sahabat, “Bagaimana jika yang aku katakan itu ada pada
diri saudaraku ? Nabi menjawab “ Jika yang kamu katakan itu ada pada dirinya,
maka sesunguhnya kamu telah mengunjingkannya dan jika tidak terdapat pada
dirinya, maka sesungguhnya kamu telah menyebutkan hal yang dusta tentang
dirinya” ( H.R. Muslim).
Penyebutan tentang badanya,
misalnya; tinggi (dengan tiang listrik), pendek (bondek), pesek dan yang sejenisnya. Penyebutan tentang nasab,
misalnya keturunan fasik, keturunan zina, keturunan kafir, termasuk menyebutkan
suatu keturunan yang aib dalam ‘uruf masyarakat. Penyebutan tentang akhlak,
misalnya; sombong, bakhil, suka berdebat, lekas marah, pengecut, dan yang
sejenisnya. Penyebutan tentang perbuatan yang berhubungan agama, misalnya;
pezina, pendusta, peminum, zalim,
melecehkan shalat, tidak baik dengan orang tua, tidak membagikan zakat dengan benar,
berkata jorok dan lain sebagainya.
Penyebutan perbuatan yang berhubungan dengan dunia, misalnya; kurang
beradab, melecehkan orang,banyak makan,
banyak tidur dan sejenisnya.
Selain bentuk ghibah di atas ada
beberapa bentuk lain, yaitu : seperti menirukan
cara orang berjalan dan berbicara. Hal ini lebih berat dari ghibah dalam bentuk
lisan. Begitu juga misalnya seseorang “
mengatakan bahwa kita sangat sedih sekali atas penderitaan yang dialami oleh
sifulan-sifulan itu. Ia mengatakan itu dengan tujuan memberi informasi bahwa
sifulan itu sedang mendapat cobaan, sedangkan dirinya bebas dari cobaan tersebut. Bahkan ia menunjukan
ketaatannya dengan mengatakan subhanallah,
semoga kita berlindung dari itu.
Atau ghibah dengan cara mengorek-ngorek aib orang lain, sehingga akhirnya
terbongkar juga keburukan orang lain. Termasuk juga ghibah adalah ketika orang
lain menyebutkan suatu kesalahan orang lain dan ia ikut diam mendengarkannya,
maka hal itu juga termasuk ghibah,
terkecuali ia potong pembicaraan orang tersebut dengan mengalihkannya kepada
yang lain. Hal ini sesuai dengan hadis
Nabi Muhammad Saw. yang berbunyi :
من ذب عن عرض اخيه با لغيب كان
حقا على الله ان يعتقـه من النـار.
Artinya : Siapa
yang membela kehormatan saudaranya yang
sedang dipergunjingkan orang lain, maka Allah akan membebaskannya dari api
neraka (al-Hadis R.W. Ahmad dan al-Thabrani).
v Penyebab
terjadinya ghibah
1. Marah.
Orang bila sudah marah, maka semua kesalahan orang itu akan diumbarkan kepada orang lain.
2. Menyesuikan
diri dengan kawan-kawannya, dengan cara
mencari-cari kesalahan lawan dari kawannya
yang sedang ditemaninya tersebut.
3. Menjelekan
orang lain demi untuk menutup kekurangannya.
4. Lempar
batu sembunyi tangan (cuci tangan)/angkat bahu.
5. Kedengkian
6. Bermain-main
atau senda gurau.
7. Melecehkan
orang lain atau merendahkan orang lain
8. Berpura-pura
baik dari segi agama, sosial dalam masyarakat.
v Dalil-dalil
pelarangannya
Allah Swt. dan rasul-Nya sangat mencela pelaku
ghibah dalam kitab-Nya. Allah menyerupakan
pelaku ghibah itu dengan orang yang memakan daging mayit temannya,
seperti firman-Nya dalam surat al-Hujurat ayat 12, yaitu :
1. يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ
إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ
أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ
اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
Artinya : Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya
sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan
orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah
salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka
tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
2. وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ
Artinya : Kecelakaanlah
bagi setiap pengumpat lagi pencela
3. كل المسلم على المسلم حرام دمه وماله وعرضه.
Artinya : Setiap Muslim bagi muslim yang lain
haram darah, harta dan kehormatannya.
4. لا تحاسدوا ولا تباغضوا ولا تناجسوا ولا تدابروا ولا يغتب بعضكم بعضا وكونوا عباد الله اخوانا.
Artinya : Jangan
kalian saling mendengki, jangan kalian saling membenci, jangan kalian saling
bersaing, jangan sebahagian kamu mengunjing
sebahagian yang lain dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang
bersaudara. (H.R. Bukhari Muslim).
v Boleh
Melakukan Ghibah dalam beberapa hal
1. Menyangkut
dengan masalah kezaliman. Misalnya seorang hakin yang tidak adil, maka boleh
dikadukan kepada pihak penguasa.
2. Sebagai
i’tibar atau peringatan bagi orang
lain, sehingga tidak mengulangi
perbuatan tersebut.
3. Dalam
rangkan meminta fatwa kepada ahli agama, bukan meminta kepada orang yang tidak
tahu agama.
4. Terhadap
orang fasik, melakukan kerusakan secara terang-terangan.
v Cara
menyelesaikannya
1. Taubat,
yaitu menyesali bahwa pekerjaan itu dilarang agama dan sebagai perbuatan haram.
2. Meminta
maaf kepada orang yang bersangkutan
3. Mendo’akan
dengan do’a yang baik agar orang yang
pernah kita ghibah kepadanya diselamatkan oleh Allah Swt. kehidupannya.
12. Menebarkan
Tazkiyah
Kata ini
berakar dari kata zakiya, di dalam al-Qur’an berjumlah sebanyak 25 kali. Secara
bahasa berarti tumbuh karena berkah dari Tuhan, seperti terkandung dalam arti
zakat, terpuji. Sedangkan dalam pengertian lebih umum ialah membersihkan jiwa
dari sifat-sifat tercela dan mengisinya
dengan sifat-sifat yang terpuji.
Berangkat
dari pengertian di atas, maka sebahagian akar kata tazkiyah akan dijelaskan
pada ayat-ayat berikut ini, antara lain :
1. Surat
al-Nur ayat 21, yaitu :
وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ
عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ
اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya : Sekiranya
tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak
seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu)
selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Penjelasan ayat di atas bahwa Allah
melarang menyebarkan luaskan aib orang
lain, karena perbuatan adalah perbuatan setan. Bila pekerjaan yang seperti
mereka lakukan , maka Allah akan memberikan kehinaan bagi kehidupannya.
Misalnya Hisan Misthah, yang suka berbuat nifaq dalam masyarakat, namun Allah
tetep memberi kurnia dan rahmat kepadanya.
2.
Surat
al-Najm; 32, yaitu :
فَلَا تُزَكُّوا
أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
Artinya : maka
janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang
orang yang bertakwa.
Ayat ini menjelaskan bahwa seseorang
dilarang mengatakan dirinya suci, karena yang tahu suci tidaknya seseorang
adalah Allah. Kalaupun manusia tahu
bahwa ia suci, tentu terlihat terhadap nilai ketaqwaannya. Nilai ketaqwaan itu
terlihat : 1. Kepada Allah dan rasulnya, 2. Kepada sesama manusia, dan 3.
Bersahabat dengan lingkungannya
3.
Surat al-Taubah;
103, yaitu :
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ
صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ
Artinya : Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka, dan mendo`alah untuk mereka.
Pada ayat
di atas, salah cara untuk membersihkan
diri itu adalah dengan mengeluarkan zakat, karena zakat mempunyai dua fungsi;
1. Untuk membersihkan diri dan 2. Untuk membersihkan harta itu sendiri. Sebab
bila harta tidak bersih, dia akan membuat kita sengsara dan menderita, bahkan
kita akan diaturnya, sehingga pandangan dan tujuan hidup kita hanya untuk harta
saja.
4.Surat al-Nisa’ 49,
yaitu :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يُزَكُّونَ
أَنْفُسَهُمْ بَلِ اللَّهُ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَلَا
يُظْلَمُونَ فَتِيلًا
Artinya : Apakah kamu tidak memperhatikan orang
yang menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang
dikehendaki-Nya dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.
Ayat ini ditujukan kepada orang yang
berjiwa Yahudi dan Nasrani, bahwa pekerjaan adalah meuji-muji diri sendiri
dengan mengatakan bahwa dirinyalah yang bersih,
sementara orang lain adalah kotor, jorok dan lain sebagainya. Kalau
bertemu dengan, maka Allah mengingatkan bahwa yang berhak mensucikan diri itu
adalah Allah sendiri. Kalau ada orang yang mengatakan dirinya suci, maka
sebenarnya ia adalah kotor dan jorok, jahat dan timbalang talua. Kalau pecah
baunya busuk sekali, kebusukan itu bukan hanya melanda dirinya, akan tetapi
orang lainpun kena ketulahannya.
5.
al-Baqarah;
151, yaitu :
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ
رَسُولًا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ ءَايَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ
وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا
تَعْلَمُونَ
Artinya : Sebagaimana
(Kami telah menyempurnakan ni`mat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu
Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan
kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah (As Sunnah), serta
mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.
Ayat di atas menjelaskan salah cara
untuk membersihkan diri itu adalah dengan
al-Qur’an, yaitu dengan membaca, mendengar dan mempelajarinya
serta mengamalkannya.
6. Fathir;
18, yaitu :
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ
أُخْرَى وَإِنْ تَدْعُ مُثْقَلَةٌ إِلَى حِمْلِهَا لَا يُحْمَلْ مِنْهُ شَيْءٌ
وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى إِنَّمَا تُنْذِرُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ
بِالْغَيْبِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَمَنْ تَزَكَّى فَإِنَّمَا يَتَزَكَّى
لِنَفْسِهِ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
Artinya : Dan orang yang berdosa tidak akan
memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang
lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun
meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat kamu
beri peringatan hanya orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya (sekalipun)
mereka tidak melihatNya dan mereka mendirikan sembahyang. Dan barangsiapa yang
mensucikan dirinya, sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya
sendiri. Dan kepada Allah-lah kembali (mu).
Kesucian itu bukan untuk orang lain,
akan tetapi adalah untuk diri kita
sendiri. Karena Allah senang kepada orang yang suci,dan akan menerima orang suci
7. Surat
al-lail; 18, yaitu :
وَسَيُجَنَّبُهَا
الْأَتْقَى(17)الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّى
Artinya : Dan
kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, yang menafkahkan
hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya,
Bentuk-bentuk
kesucian itu terjadi
1)
Suci secara fitrah, yaitu anak-anak
sejak semula kejadiannya sampai mukallaf.
2)
Jiwa yang suci, tapi bisa berubah jika tidak dipelihara
kesuciannya (al-Syams; 10)
3)
Ada usaha untuk penyuciannya
(al-Fathir; 18)/ al-A’la;14). Atau usaha ini dilakukan dengan mengeluarkan
zakat seperti (al-Taubah;103). Atau usaha dengan memelihara dan menahan
pandangan kepada wanita, memelihara kemaluan (al-Nur;30).
4)
Penyucian melalui dakwah/pendidikan
(al-Jumu’ah; 2).
5)
Melalui rahmat Allah Swt. (al-Nur;
21).
6)
Melakukan zikir yang banyak
13. Jihad
الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا
وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً
عِنْدَ اللَّهِ وَأُوْلَئِكَ هُمْ الْفَائِزُونَ ( التوبة : 19)
Artinya:
Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalanAllah dengan
harta benda dan diri mereka , adalah lebih tinggi derajadnya di sisi Allah dan
itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.
1. Makna jihad
Di dalam
al-Qur’an ayat yang memuat kata jihad terdapat sebanyak 263 kali. Kata jihad
tersebut mempunyai arti yang bervariasi sekali. Untuk itu dapat dilihat dari
beberapa aspek sebabagi berikut :
1.
Dari segi bahasa, jihad berasal dari
bahasa arab, j-h-d, jahada, yujahidu, jihadan yang berarti : jahd (kesukaran)
atau Juhda (kemampuan). Quraish Shihab mengemukakan ialah kesulitan dan
kesusahan. Sedangkan istilahan ialah : mencurahkan kemampuan dan kekuatan.
2.
Dari segi pendekatan al-Qur’an, terdapat
41 kali dengan berbagai artinya yaitu dikelompokkan kedalam 4 bagian, yaitu :
(1). Perang dan
membunuh. Hal ini tergambar dalam surat Taubat ayat 41 yang didampingi oleh
kalimat infiruw, sedangkan membunuh dapat dipahami dari ayat qatala
atau qatilu. Hal ini dapat ditemukan dalam surat Taubat 34 dan Baqarah
264, Taubat 19, 24 dan 86. Sarana yang dipergunakan perang adalah dengan jiwa
dan harta. Hal ini dtemukan dalam surat Hajji 78, Taubat 73.
(2) Berjihad dengan
dialog, diplomsi). Hal ini terlihat dalam ungkapan imam At-Thabary yaitu jihad
melalui lisan terhadap orang kafir .
(3) Jihad dengan
makna kemampuan, hal ini ditemukan dalam surat Taubat ayat 79 yaitu illa
juhdahum.
(4) Jihad dengan
makna memaksa. Hal ini dapat dilihat pada ssurat Ankabut 8 dan Lukman 15 dengan
kalimat wa injahadaka ( jiga kedua memaksa engkau ), maksudnya orang
kafir untuk mempersekutukan Tuhan, maka jangan diikuti.
Sedangkan Yusuf
Qardhawi dalam bukunya Berjuang di Jalan Allah membagi jenis jihad itu kepada 5
bagian, yaitu : 1. Lisan, yaitu melalui dakwah dan tabligh, 2. Ta’lim, yaitu
melalui pendidikan dan pengajaran 3. Siyasah, yaitu melalui kegiatan politik,
4. Yad, yaitu melalui kekuasaan, 5. Mal,
yaitu berjihad tersebut dengan harta benda.
2. Tujuan Jihad.
Tujuan jihad adalah untuk menjalan
perintah Allah di dalam kehidupan, menegakan kalimat Allah di muka bumi, hal
ini dilakukan sesuai dengan bahwa manusia adalah sebagai posisinya khalifah
Allah di dunia ini dalam rangka mendapatkan redaNya.
3. Pembahagian jihad
Secara garis besar dibagi jihad
tersebut kepada tiga bagian yaitu : 1. Jihad terhadap diri sendiri, 2. Jihad
terhadap setan dan 3. Jihad terhadap musuh Islam. Sedangkan alat yang
dipergunakan untuk berjihad itu adalah, harta, jiwa, dengan melalui lisan,
politik, ta’lim dan kekuasaan serta budaya.
4. Keutamaan jihad
1).
Di Dunia, yaitu memperoleh pahala dan bebas dari gangguan setan . Hal ini
sesuai dengan sabda Nabi Muhammad Saw yang berbunyi :
ربط يوم وليلة خير من صيام شهر
وقيامه وان مات فيه جرى عليه عمله الذى كان يعمل واجرى عليه رزقه وأمن الفتان (
رواه مسلم )
Artinya : Berjihad
sehari semalam lebih baik dari puasa penuh sembari shalat dimalamnya. Apabila
ia meninggal dunia ia akan memperoleh pahala amalannya secara berkesenabungan
dan ia beroleh keamanan dari segala marabahaya/fitnah ( H. R. Muslim).
2).
Di dalam kubur, yaitu akan membebaskan seseorang dari azab kubur. Hal ini dapat
dilihat dalam hadis yang berbunyi :
كل ميت يختم على عمله الا
المرابط ف سبيل الله فأنه ينمى له عمله الى يوم القيامة و يومن من عذاب القبر (
رواه ابودود وترمذى ).
Artinya
: Setiap orang yang telahmati putus semua amalannya selain orang yang penah
berjihad yang terus beroleh ganjarannya dan akan bebas dari siksa kubur.
3).
Di akhirat, yaitu : akan memperoleh dua keutamaan, yaitu : 1) memperoleh
naungan di yaum al-mahsyar, 2) masuk surga dengan aroma yang menyegarkan. Hal
ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad Saw, sebagai berikut :
تضمن الله لمن خرج فى سبيله
لايخرج الا جهادا فى سبيلى وايمانا وتصديقا برسلى على ان ادخله الجنة .. وريح ريح
المسك ... ( رواه البخارى )
Artinya : Orang yang
berjihad dan beriman kepada Allah serta membenarkan rasulNya, dijamin masuk
syurga... dan aramanya bau kesturi.
5. Problem Jihad bagi
Masyarakat Moderen.
Setalah
memperhatikan penjelasan di atas, nampak bagi kita bahwa Islam memberi
kedudukan strategis terhadap jihad, karena berkembang tidaknya Islam sangat
ditentukan dengan ada tidaknya umat Islam melakukan jihad dalam membela
agamanya. Memang perlu disadari bahwa mayoritas umat Islam di nusantara ini,
nampaknya belum mencermin nilai-nilai Islam dalam kehidupan mereka, kenapa ?
Jawabnya adalah bahwa usaha dan upaya pembelaan terhadap negara sebagaimana
dipraktekan Nabi Saw di negara Madinah, masih belum didasari kepada kesadaran
berbangsa dan bernegara yang benar, karena masyarakat dalam kehidupan bernegara
memahami jihad sama dengan pemahaman jihad yang diisukan orang kafir yaitu
perang dan permusuhan, dampaknya keutuhan umat Islam terganggu dan labil.
Akar
permasalahannya adalah ketidaksamaan visi umat Islam dalam memahami jihad
sebagai suatu media ampuh dalam mempertahankan negara dari berbagai sabotase
baik dari luar ataupun dari dalam. Ketidak samaan pandangan tersebut adalah
bersumber dari berbagai isu yang dihembuskan barat kedalam dunia Islam,
termasuk Indonesia. Isu itu adalah apakah jihad itu bersifat ofensif atau
depensif ?. Persoalan ini membawa problem lain, yaitu apakah Islam dikembangkan
dengan kekerasan (perang) atau secara damai. Problem ini menimbulkan dua
pandangan yaitu :
Jihad bersifat
opensif ( dengan melalui kekerasan ). Pandangan ini dijadikan sebagai preseden
oleh barat, ketika Nabi dan pasukannya menyerang terhadap kaum Yahudi Madinah.
Pandangan ini dibesar-besarkan oleh oreantalis barat yang justru mereka
mengomentari hadis nabi yang berbunyi :
جاهدوا المشركين باموالكم وانفسكم والسنتكم (
رواه ابو دود )
Artinya :Perangilah
kaum musyrikin dengan harta, jiwa dan lidah kamu
2. Jihad
bersifat depensif. Pandangan ini juga didasarkan pada ajaran-ajaran dasar
Islam, terutama yang tertuang dalam hadis, bahwa jihad tidak selamanya
dimaknakan sebagai perang. Dari bentuk-bentuk jihad di atas, tampak secara
transparan bahwa jihad tidak selamanya perang, karena jihad itu ditujukan
kepada diri dan setan. Hal itu dilakukan dalam bentuk non fisik.
Para
oreantalis, mereka tidak mengerti asba al-wurud hadis.(latar belakang
turunnya hadis) Nabi melakukan penyerangan terhadap Yahudi Madinah, yaitu bani
Nadhir dan Qainuqa’ adalah tindakan pertahanan yang sangat perlu, karena kedua
suku ini telah melakukan penyerangan dan propokasi untuk mengancurkan
kekuaasaan Islam di Madinah. Kedekatan dan keharmonisan Nabi dengan kedua suku
ini mereka pergunakan untuk menghancurkan umat Islam. Menindak lanjuti
perlakuan mereka ini, tiada jalan lain yang mesti ditempuh adalah
menghancurkannya. Islam akan melakukan apa saja ketika damai, akan tetapi bila
kedamaiannya terusik, maka umnat Islam akan bangkit melakukan penyerangan. Bukan
Nabi yang terlebih dahulu mengeruh suasana. Nabi hanya melakukan serangan
balasan (conter attak) dan pembelaan diri, bukan opensif sebagaimana yang
dituduhkan barat. Islam tidak mengedepankan perang, karena bertentangan dengan
prinsip Islam. Islam hanya mengadakan pembelaan diri dan umat Islam dari
kezaliman non Islam.
Pembelaan
Islam dalam masyarakat madani, adalah didasarkan kepada persaudaraan universal
(ukhwah Islamiyah) yang sama kewajiban dengan pembelaan diri. Namun karena
adanya ikatan yang sangat erat di antara muslim, kendatipun dalam era yang
berjauhan, mendorong muslim lainnya membantu saudara-saudaranya yang terzalimi.
Hal fundamental inilah yang kadang kala disalah tafsirkan sebagai opensif.
Karena itu dalam Islam perang sebagai jalan terakhir yang harus dilakukan
secara proporsional, yaitu adil dalam motifnya, depensif dalam permulaannya,
tinggi dalam pelaksanaannya, damai dan luhur dalam tujuan akhirnya serta
berkemanusiaan dalam memperlakukan mereka yang dikalahkan.
6.
Bentuk-bentuk jihad dalam masyarakat
Sebagaimana
disebutkan di atas bahwa terma jihad tidak hanya peperangan fisik, akan tetapi
lebih jauh dari itu yaitu jihad dalam arti melawan nafsu dan hawa, jihad
terhadap musuh dan jihad terhadap setan[28].
Bahkan ketiga bentuk jihad ini sekarang sangat dibutuhkan terutama dalam
masyarakat.
1. Jihad
melawan nafsu.
Jihad dalam pengertian ini menempati
posisi utama sebelum jihad secara fisisk. Hal ini diungkap oleh Rasulullah Saw,
berbunyi :ر جعنا من جهادالاصغر الى جهاد ا لاكبر
Artinya : kami telah
kembali dari jihad kecil, akan kembali kepada jihad yang lebih besar.” Oleh
sebahagian ulama menganggap bahwa hadis di atas bukanlah hadis, akan tetapi
ungkapan salah salah sahabat dari Nabi Muhammad Saw. Namun oleh imam
al-Zamakhsyari dianggap sebagai hadis.[29]
Jihad
melawan nafsu menjadi dasar bagi jihad melawan musuh yang nyata, karena tidak
mungkin seseorang dapat melakukan jihad melawan musuh yang nyata tanpa
sebelumnya melakukan jihad internal melawan hawa nafsu. Jihad dalam makna ini
setidaknya dapat berjuang melawan yang merusak kesucian jiwa seperti : nafsu
amarah dan nafsu lawwamah. Lebih jauh lagi jihad melewan nafsu itu pada
hakikatnya adalah mampu mengendalikna diri sendiri dalam menghadapi berbagai
tentangan dan rintangan, seperti ingin dupuji, ingin dianggap sebagfai
pahlawan, ingin mendapt binrang jasa, penghargaan. Motif-motif tersebut harus
dilawan terlebih dahulu sebelum turun melakukan jihad melawan musuh secara
nyata. Sebab bila seseorang belum mampu mengendalikan dirinya, secara
psikologi, ia juga akan sangat sulit mengenmdalikan dirinya ketika secara
fisik, sehingga motif perjuangannya tidak lagi dilandasi oleh keimanan yang
mantap.
2. Jihad
melawan setan
Setan adalah sumber dari segala
kejahatan, karena setan bertugas menjadikan sesorang kafir, munafik dan
menderita sakit hati, sehingga sangat boleh jadi akan mengundang berbagai
kejahatan, jika manusia tidak berjihad melwan setan, maka mereka akan menjadi
setan pula dari golongan manusia. Allah telah banyak memberikan peringatan
kepada manusia, bahwa setan musuh. Setan tidak pernah kenal lelah dalam
menggoda manusia. Sebagai penggoda setan selalu menghalangi semua perbuatan
manusia kejalan yang baik. Hal dapat dipahami dari Q.S. Al-A’raf ayat 16-17
maksudnya :
Iblis menjawab;
Karena Engkau telah menghukum saya sesat, maka saya akan benar-benar
menghalangi mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi
mereka dari muka dan belakang, dari kana dan kiri. Dan Engkau tidak akan
mendapati mereka bersyukur.
Begitu gencarnya setan, sehingga
empat penjuru dikuasainya, semua itu mereka lakukan adalah menyumbat jalan
manusia kepada kebaikan dan agar selalu tersesat dari jalan Allah Swt.
Keberadaan setan sebagai musuh manusia adalah semenjak azal, yaitu semenjak
alam maujud ini belum ada. Memperhatikan aktivitas setan itu tidak akan
berhenti ssampai hari kiamat, maka jihad melawan setan justru jauh lebih berat
dibandingkan dengan jihad melawan orang kafir, karena setan itu tidak tampak
oleh panca idera kita, sementara setan dapat melihat kita, bahkan setan
mengalir aktifitasnya keseluruh aliran darah manusia. Hal ini sesuai dengan
firman Allah dalam Q.S. al-’Araf ayat 27, berbunyi :
إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ
وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ (الاعراف : 27 )
Artinya
: Sesungguhnya setan dan pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang
kamu tidak bisa melihat mereka.
Memang sulit membedakan antara
bisikan setan dengan nafsu, kedua seolah identik, namun setan mempergunakan
nafsu sebagai media tempat pintu masuk setan untuk menggoda manusia, kartena
memang setan pandai menyesuaikan bisikannya dengan orang yang digodanya. Jika
seseorang yang taat,setan mendorong agar meninggalkan ketaatan, dan membisikan
kepada manusia bahwa perbuatan jelek itu adalah baik (al-Ankabut 38).
Memperhatikan sulit dan beratnya
melawan setan, maka Allah Swt memerintahkan kepada manusia untuk memeranginya.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana teknik mengalahkan setan ? Strategi
mengalahkan setan adalah dengan menutup pintu-pintu masuknya atau mematahkan
semua kekuatan kejahatannya. Misalnya pintu masuk setan kedalam diri manusia
itu adalah, membudayakan sikap zuhud, tawakkal, redha¸sabar dan qana’ah, hilangkan
sifat riya’, suka dipuji, mengharapkan sanjungan dan penghargaan orang lain
secara duniawi, serta landasi semua aktivitas kita dengan ikhlas mengharap
mardhatillah.
3. Jihad melawan
musuh
Jihad melawan musuh dilakukan dengan
perjuangan fisik. Jihad dalam pengertian ini dilakukan dengan perang melalui
pertempuran dan militer. Jihad seperti
ini yang sering disalah pahami oleh barat, yaitu Islam diperjuangan
dengan kekerasan. Pada hal jihad yang dimaksudkan adalah
menetang kejahatan, kezaliman dan kemungkaran, bila dengan lemah lembut
dapat dicegah, maka jalan kekerasan tidak mesti ditempuh. Karena agama Islam
juga sebenarnya menentang perang, terkecuali bila musuh menghendakinya.
Jika ada ayat al-Qur’an
memerintahkan untuk memerangi orang kafir, tidak berarti mereka diperangi
karena keyakinan yang berbeda dengan keyakinan Islam, akan tetapi ditujukan
kepada orang kafir yang benar-benar memerangi umat Islam. Artinya bila orang
kafir telah mengancam umat Islam. Dengan demikian perang dalam Islam itu tidak
bertujuan memaksakan keyakinan terhadap seseorang yang mempunyai keyakinan yang
berbeda. Bagi Islam, keyakinan terhadap ssuatu agama merupakan hak azazi bagi
setiap. Oleh karena itu kredo dalam Islam mengatakan, tidak ada paksaan
dalam agama , (2;257). Meskipun Islam mengizinkan perang, tetapi ia tidak
membenarkan bentuk perang yang melampaui batas, seperti pembunuhan terhadap
anak-anak, wanita, orang tua dan merusak
tanaman produktif serta mendahului penyerangan.
Berangkat dari praktek yang diajarkan
Nabi Muhammad dalam melaksanakan jihad, nampak bagi kita bahwa Islam adalah
agama perdamaian, agama yang dilandasi kepada toleransi yang yang mendalam.
Bila ada kejadian-kejadian besar di negara ini yang menyangkut dengan masalah
agama, terbukti umat Islam Indonesia tidak mudah termakan isu yang negatif dan
tidak cepat pula timbul gejolak unjuk rasa yang mengerikan dan yang
membahayakan kepada orang lain. Seperti ; Sambas, Nusa tenggara Barat, bom
diledakan pada masjid Istiqlal dan masih banyak lagi yang tidak disebut secara
terperinci di sini. Betapa dahsyatnya cacian, hinaan umat lain terhadap
masyarakat Islam, namun Islam belum melakukan balasan, bukan berarti umat Islam
tidak siap membalasnya. Semua itu dilakukan
umat Islam, bukan karena mereka takut, akan tetapi adalah karena tingginya
pemahaman mereka terhadap agamanya dan sekaligus mereka mengamalkan ajaran
agama, dengan tujuan tercipta toleransi hidup beragama di negara ini. Inilah
sebenarnya ciri-ciri masyarakat madani yang dicita-cita oleh Islam.
Persoalannya sekarang adalah
bagaimana mempertahankannya. Jawabnya adalah siapkan ilmuan, ulama, da’i,
mubaligh, tekhnograt, birokrat, dan konglamerat untuk bertugas sebagai
mujahid-mujahid yang mampu menyembatani antara berbagai kesejangan yang terjadi
di negara ini, baik kesenjangan politik, hukum, sosial, budaya, pendidikan dan
ekonomi, maupun kesejangan dibidang pemenuhan nilai-nilai spritual dan agama
secara proporsional. Inilah jihad masyarakat madani model Indonesia. Semua ini
dikembangkan melalui jihad bi al-lisan (dakwah atau tabligh), jihad bi
al-ta’lim (pendidikan dan pengajaran), jihad bi al-siyasah (politik), jihad bi
al-yad (kekuasaan) dan jihad bi al-maal (harta).
14. Membina persatuan
Allah Swt. dalam surat Ali Imran; 102-103 berfirman
yang berbunyi:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ
مُسْلِمُونَ(102)وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ
بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ
(ال عمران : 102-103)
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah sebenar-benarnya takwa,
dan jangan sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan berserah diri kepada
Allah. Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali Allah, dan janganlah
kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian ketika kamu
dulu bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hati kamu, lalu menjadilah kamu
karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara...”. ( Ali Imran /3
:102-103)
Di antara
ajaran-ajaran penting yang dapat dipetik dari ayat di atas adalah: (1) agar
kita selalu bertakwa, dan (2) berlandaskan ketakwaan itu menyatukan saf untuk
membangun masa depan kita. Ajaran pertama, agar masing-masing kita selalu
bertakwa kepada Allah serta meningkatkannya. Ayat tersebut mengingatkan agar
jangan sampai meniggalkan dunia fana ini menghadap Allah melainkan dalam
keadaan berserah diri kepada Allah. Peristiwa mati sangat rahasia sifatnya baik
dari segi waktu atau tempatnya. Oleh karena itu, manusia diingatkan agar
harus selalu waspada dan siap
menerimanya. Kesiapan itu hendaklah diwujudkan dalam bentuk keta’atan kepada
Allah yang berkesinambungan setiap waktu sampai nyawa berpisah dari badan.
Untuk
menjaga kesinambungan itu, harus selalu
waspada terhadap berbagai godaan duniawi yang mungkin membuat manusia lupa
kepada Allah. Allah tidak merestui jika hamba-Nya melupakan-Nya, sebab akan
mengakibatkan lupanya seseorang terhadap dirinya sendiri. Dalam ayat 19 surat
al-Hasyr Allah mengingatkan :
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ
نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُوْلَئِكَ هُمْ الْفَاسِقُونَ (الحشر
: 19)
Artinya: “Dan
janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, sebab
(jika kallian bersikap seperti demikian) niscaya Allah akan membuat mereka lupa
kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang yang fasik”.
Di antara
bentuk peningkatan ketakwaan kepada Allah, adalah meningkatkan ibadat-ibadat
ritual seperti shala dan puasa baik yang fardlu maupun yang sunat, zakat dan
haji dan seperti membaca tasbih, takbir, tahmid, tahlil, dan membaca al-Qur’an.
Ibadat merupakan sarana hubungan spiritual antara seorang hamba dengan Allah
SWT, dan merupakan kebutuhan bagi kehidupan spiritual.
Manusia
menpunyai dua bentuk kehidupan; kehidupan jasmani, dan kehidupan rohani.
Sebagaimana halnya kehidupan jasmani selalu membutuhkan makanan dan minuman,
demikian pula halnya dengan kehidupan rohani manusia, memerlukan makanan dan
minuman, serta ada keharusan untuk menjaga kesahatannya. Kehidupan spiritual
manusia, hanya bisa hidup dan sehat, bila ia mendapat gizi makanan dan minuman
yang cukup. Ibadat merupakan gizi makanan dan minuman yang dibutuhkan oleh
kehidupan spiritual.
Dalam
kehidupan manusia, sering mengalami berbagai perubahan dan cobaan. Dalam
menjalani kehidupan ini, unsur kehidupan rohani seseorang bisa jadi telah
dipenuhi oleh kelalaian dan ketidakpastian yang membuatnya jauh Allah. Orang
yang sudah jauh dari Allah, akan jauh dari kebenaran, dan orang yang jauh dari
kebenaran, jiwanya akan menjadi kasar dan buta, yang membuat dirinya tidak
sadar bahwa dirinya sedang berada dalam kesesatan. Ibadat, berfungsi memberi
gizi kepada kehidupan rohani seseorang. Imam Ghazali, seorang ulama besar yang
hidup pada awal abad keenam hijriyah dalam bukunya al-Munqiz Min al-Dlalal,
menjelaskan bahwa ibadah dalam kaitannya dengan kesehatan kehidupan rohani,
sama dengan fungsi gizi dan obat-obatan untuk kesehatan jasmani.
Fungsi
ibadat bagi kehidupan spiritual, tidak ubahnya seperti fungsi air untuk menumbuh-suburkan
tanaman. Tumbuh-tunbuhan yang selalu disirami dan hidup pada tempat yang
berkecukupan airnya, akan lebih sehat, lebat daunnya, cepat pertumbuhannya, dan
akan berbuah dengan lebih manis dan baik, dibandingkan dengan tumbuh-tumbuhan
yang tidak cukup disirami dan berada di tempat yang miskin air. Demikian pula
halnya dengan kehidupan spiritual manusia. Sehat tidaknya kehidupan spiritual
seseorang, ditentukan oleh cukup tidaknya gizi yang diberikan dengan
memperbanyak ibadah sesuai dengan yang telah digariskan Allah dan Rasulnya.
Seorang mukmin, akan menemukan ketenangan jiwa dengan melakukan ibadah meskipun
ia berada dalam keadaan sulit, dan dilingkungi hal-hal yang bisa membuat resah,
dan akan meringankan seluruh deritanya apapun penderitaan yang sedang
menimpanya. Ibadah bisa membuat suasana kejiwaan menjadi sejuk dan tentram, dan
menyingkirkan berbagai keresahan.
Pada akhir surat
al-Hijr ayat 97-99 Allah berfirman :
وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ
يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُنْ مِنْ
السَّاجِدِين وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ (الحجر : 97-99)
Artimya: “Dan kami
sungguh-sungguh mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang
mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji tuhanmu, dan jadilah kamu
diantara orang-orang yang bersujud (sholat), dan beribadatlah kepada tuhanmu
sampai datang kepada kamu yang diyakini (ajal)”.
Dari ayat
tersebut kata mendapat gambaran bahwa Rasulullah juga, dalam menghadapi
berbagai kenyataan sosial, sebagai seorang manusia pernah gelisah. Lalu Allah
mengajarkan, agar kegelisahan seperti itu bisa disingkirkan dengan banyak
mengucapkan tasbih, serta banyak melakukan shalat. Pada akhir ayat ini Allah
mengingatkan agar jangan sampai terputus dalam melakukan ibadat. Sampai waktu
nyawa dipisahkan dari badan. Disamping kewajiban meningkatkan ketakwaan, ajaran
lain yang dapat dipetik adalah kewajiban untuk menggalang persatuan dikalangan
umat Islam. Atas dasar takwa kepada Allah dapat mempersatukan saf dalam
membangun masa depan di dunia maupun di akherat kelak. Allah Swt. mengingatkan
agar tidak berpecah belah. Setelah Allah memerintahkan agar umat Islam
berpegang teguh kepada agama Allah, selanjutnya dalam ayat tersebut secara
tegas Allah melarang umat Islam berpecah belah.
Pada masa
jahiliah, antara berbagai suku arab disekitar mekah dan madinah saling
bermusuhan dan sifatnya sangat mudah tersulut peperangan. Namun kemudian
setelah Islam datang, dengan mengajarkan ajaran Islam hati mereka menjadi lunak
dan saling mengasihi, sahingga meraka menjadi suatu persaudaraan yang diikat
oleh tali aqidah Islam tanpa melihat kepada adanya perbedaan suku dan warna
kulit. Dengan persatuan umat Islam itulah negara Islam yang dipimpin oleh
Rasulullah dimadinah menjadi kokoh. Namun, melihat persatuan kokoh yang dibina
Rasulullah itu, ada saja pihak-pihak yang dengki dan iri hati. Sebab, jika
persatuan umat Islam tetap terpelihara seperti yang diajarkan agama Islam, maka
pihak musuh merasa khawatir tidak mendapat bagian dalam kekuasaan. Dalam rangka
menggerogoti persatuam umat Islam itulah seorang Yahudi bernama Syasy bin Qies
membuat sebuah taktik bagaimana memecah belah umat Islam.
Di
riwayatkan, bahwa pada suatu ketika Syasi bin Qies lewat pada suatu kelompok
yang terdiri dari suku ‘Aws dan Khazraj yang sedang bercengkrama dengan
akrapnya. Orang Yahudi itu merasa iri dan dengki terhadap keakraban dua suku
yang beragama Islam itu. Lalu orang Yahudi itu mengirim seorang profokator
ketengah kelompok itu untuk memecah belahnya. Dengan kelihaian profokator
Yahudi itu, dua kelompok Muslim itu sempat lupa diri, sehingga terpengaruh oleh
hasutan sampai siap untuk berkelahi. Hal itu segara di ketahui Rasulullah, lalu
didamaikan. Di saat itulah turunya ayat di atas. Dengan ayat tersebut umat Islam
diingankan agar jangan sampai berbalik kebelakang menjadi kembali berpecah
belah seperti dimasa jahiliah.
Bangsa dan
negara yang terdiri dari tidak kurang dua ratus suku bangsa dan dan bahasa
dengan ribuan pulau tersebar dari timur ke barat, di bawah kesatuan Republik
Indonesia, dituntut untuk memelihara persatuan yang telah pernah diraih dan
yang telah terjalin dengan susah payah, dengan sehelai demi sehelai benang.
Umat Islam tidak boleh lupa bahwa perpecahan dikalangan umat Islam akan
melumpuhkan kekuatan umat Islam. Dalam ayat 46 suarat al-Anfal kita diingatkan
:
وَأَطِيعُوا اللَّهَ
وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ ( الانفال : 46)
Artinya: “Dan taatlah
kalian kepada Allah dan Rasulnya, dan janganlah kalian berbantah-bantah yang
menyebabkan kalian menjadi gentar dan hilang kekuatanmu, dan bersabarlah.
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”.
Persatuan
umat Islam adalah lambang kekuatan umat Islam. Tanpa persatuan itu, umat Islam
akan lumpuh berhadapan dengan berbagai kekuatan yang menunggu-nunggu kesempatan
untuk menguasai umat Islam. Oleh sebab itu, umat Islam tidaklah sepantasnya
untuk berbangga diri hanya dengan alasan bahwa secara kuantitatif umat Islam
berjumlah besar bahkan dalam suatu negara seperti di Indonesia umat Islam
berjumlah lebih besar dibandinkan dengan umat-umat lain. Jumlah yang besar bila
tidak dibarengi dengan persatuan dan mutu, jangan bermimpi akan bisa menyaingi
suatu kelompok biarpun sedikit secara kuantitatif tetapi bermutu dan bersatu.
Berhubungan dengan hal ini, ada baiknya kita kemukakan di sini peringatan
Rasulullah yang selalu relevan untuk disimak : Dalam sebuah hadist bahwa
Rasulullah bersabda: Artinya: “Umat-umat lain akan segera berkerumun
menjadikan kalian sebagai mangsa yang dikalahkan, seperti memakan hidangan
didalam piring”. Lalu ada sahabat yang bertanya: “Apakah kami diwaktu berjumlah
sedikit? Rasulullah menjawab: “Bahkan kalian waktu itu banyak dari segi jumlah,
akan tetapi kalian tidak lebih dari sebagai buih/sampah, tak ubahnya seperti
buih (yang diombang-ambingkan oleh) air bah. Maka diwaktu itu, Allah
menyingkirkan rasa takut dari hati musuh kalian, dan sebaliknya Allah
menanamkan rasa al-wahnu di hati kalian. Lalu adalagi sahabat yang
bertanya: “Apa yang engkau maksud dengan al-wahnu Rasulullah”.
Rasulullah menjawab: “Al-wahnu ialah cinta kepada dunia dan takut
mati.”(H.R. Abu Daud).
Dalam
berbagai literatur ke-Islaman diperoleh informasi bahwa yang dimaksud oleh
hadist ini adalah, umat yang banyak jumlahnya, tetapi tidak bermutu dan tidak
besatu atau bersatu tetapi tidak bermutu, dicontohkan oleh Rasulullah sebagai
buih atau sampah yang tak ada gunanya yang mengambang di permukaan air yang
mungkin terdampar kemana saja air mengalir dan kemana saja dihempaskan
gelombang. Begitulah pula nasibnya suatu umat yang hanya mengandalkan jumlah
bilangan, tetapi tidak bersatu dan tidak mengindahkan mutu, atau bersatu tetapi
tidak dibarengi dengan peningkatan mutu, akan mengambang, terombang-ambing
dibawa arus, pergi kemana saja dibawa angin, dan akan terdampar kemana saja
dihempaskan gelombang.
Peringatan
ini patut untuk selalu kita simak. Kelalaian umat Islam dengan hal yang seperti
ini, akan berakibat fatal. Secara historis dalam suatu peperangan umat Islam
pernah terkecoh dengan jumlah mereka yang melebihi jumlah pihak musuh. Setelah
kota Makkah dapat di kuasai umat Islam dan masyarakat disekelilingnya
berbondong-bondong masuk Islam, maka ada beberapa suku yang tetap mengadakan
perlawanan terhadap Rasulullah dan ajarannya seperti kabilah Hawazin dan
kabilah Tsaqif. Kedua belah pihak siap untuk bertempur. Kebetulan secara
kuantitatif, jumlah kaum Muslim jauh lebih banyak dibanding dengan jumlah
tentara musuh, dan bala tentara Islam menjadi terkecoh dengan jumlah mereka
yang banyak itu. Namun, rupanya yang banyak saja tidak bisa menjadi ukuran,
karena ternyata waktu mereka digempur musuh disuatu lembah bernama Hunain,
mereka, umat Islam, tidak mampu bertahan, dan terpaksa lari terbirit-birit.
Inilah yang di firmankan Allah dalam ayat 25 surat al-Taubah;
لَقَدْ نَصَرَكُمْ اللَّهُ فِي
مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ
تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمْ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ
وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ ( التوبة : 25)
Artinya:
“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mukminin) dimedan peperangan
yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi
congkak karena banyak jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi
manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu,
kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai berai”.
Selain
tugas di atas, maka tugas berikut adalah sebagai yang diungkap oleh Hamzah
Ya’cub, ia menjelaskan bahwa tugas da’i adalah:
i.
Meluruskan i’tikad
ii. Mendorong
dan merangsang orang untuk beramal
iii. Mencegah
kemungkaran dan membersihkan kemungkaran
iv. Membersihkan
jiwa
v. Mengokohkan
pribadi
vi. Membina
persatuan, persaudaraan dan menolak cultur
yang merusak[30]
Selain itu
Hamka
dalam Panji Masyarakat Nomor 269 tahun ke 20, menjelaskan bahwa tugas
da’i adalah:
Mengansur-ansur
menghilangkan waham dan keraguan yang ada dalam hati manusia, dan membawa orang
banyak kepada sifat-sifat yang cerdas serta menunjukkan jalan yang baik.[31]
Lebih jauh M. Natsir dalam majalah Suara Mesjid Nomor 2 tahun 1978,
mengemukakan bahwa tugas da’i adalah menyampaikan kalimah yang hak dengan cara
yang hasanah yang mengandung hikmah atau dengan cara bijaksana.[32]
Dengan
memperhatikan pendapat di atas tentang tugas-tugas yang dilaksanakan oleh da’i,
dapat diambil pengertian bahwa da’i tidak hanya membawa orang kepada Islam,
tetapi sekaligus membina dan membimbing masyarakat agar mempunyai iman yang
lurus dan membersihkan kemungkaran yang berkembang di tengah masyarakat serta
membawa orang lain kepada kecerdasan dengan penuh bijaksana.
Tugas yang
dilakukan oleh da’i tersebut merupakan amanah dan kontinyiutas risalah, baik
dari umat Islam kepada umat Islam, maupun kepada umat selain Islam. Hal ini
sesuai dengan firman Allah Swt. dalam surat Ali Imran ayat 110 yang
berbunyi sebagai berikut:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ
أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ
مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinya
:Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya
Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada
yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.[33]
Dari ayat
di atas dapat dipahami bahwa sebaik-baik umat adalah mengajak orang lain untuk berbuat kebaikan
dan mencegah dari kemungkaran. Kemungkaran tidak akan musnah dan habis di
permukaan bumi ini, bila umat tidak melaksanakan tugasnya masing-masing dengan
baik, dan kebaikan itu tidak akan datang bila manusia menyia-nyiakan amanah
Allah Swt.
[1]Manal Samir al-Rafi’i, Ilm al-Tauhid,
Jami’ah al-Azhar, Mesir, 1983, h. 10. Kajian tentang ilmu tauhid, banyak disarikan
dari buku Muhadharat ‘Ilm al-Tauhid, oleh Said Abd. Al-Tawwab Abd.
Al-Hadi, Jami’ah al-Azhar Mesir, 1983.
[2]Qadhi Abdul Jabbar, Syarh
al-Ushul al-Khamsah,Maktabah Wahbah, Kairo, 1965 hlm. 142. Lihat,
Qadhi Abdul Jabbar, Al-Mughni fi Abwab al-Tawhid wa al-'Adl, Dar
al-Misriyah li al-Ta'lif wa al-Tarjamah, Kairo, hlm. 13.
[3]Fuad Mohm. Fachruddin, Sejarah
Perkembangan Pemikiran dalam Islam, Jasa Guna, Jakarta, 1988, hlm. 88.
[4]Ali al-Syami al-Nasyar, Nasya'ah
al-fikr al-Falsafati al-Islam, Dar al-Ma'arif, Kairo, 1977,
hlm. 440.
[5]Qadhi Abdul Jabbar, Syarh..., op. cit.,
hlm. 741.
[7]Al-Zamakhsyari, Al-Kasyaf,
Juz. I, Istiqamah, Al-Qahirah, 1953, hlm. 304.
[8]Ia lahir tahun 450-505
H/1058-1111 M) disebuah kota Thus, Khurasan. Di kota
ini pula ia belajar ilmu kalam pada gurunya al-Juwaini (419-478
H/1028-1087 M), Lihat; Jalal Muhammad Musa, Nasya-ah al-Asy’ariyah wa
al-Thatawwuruha, Dar al-Kitab al-Lubnani, Beirut, t.t. hlm.
422. Lihat, M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 1995, hlm. 133.
[9]Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din II,
Maktabah Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah, t.t. hlm. 140-141,
Lihat, Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, UI Press, Jakarta, 1988, hlm. 104.
[10]Abu Muhammad ibn Hazam, Kitab al-Fisal
fi al-Milal wa al-ahwa wa al-Nihal, Dar al-fikr, Beirut, 1320, hlm.
171.
[11]Qadhi Abdul Jabbar, Mutasyabih
al-Qur’an, Dar al-Turats, Kairo, 1969, hlm. 623.
[12]Qadhi Abdul Jabbar, Syarh..., op. cit.,
hlm. 148.
[13]I b i d.
[15]A. Hanafi, Teologi Islam, Bulan
Bintang, Jakarta, 1991, hlm. 45.
[16]Qadhi Abdul Jabbar, Al-Majmu'
fi al-Muhit bi al-Taklif, al-Matba'ah al-Kasulikiyah,
Beirut, 1965, hlm. 3.
[17]Qadhi Abdul Jabbar, Al-Mughniy..., op.
cit., Vol. 11, hlm. 300.
[19]Qadhi Abdul Jabbar, Syarh..., op.cit.,
hlm. 744
[20]Ibid.
[21]Hamidullah Cs, Politik
Islam Konsep dan Dokumentasi, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hlm. xi.
[23]Salman al-Audah, Amar
Ma'ruf, Nahi Mungkar, (terj. Rahmad), Pustaka al-Kautsar, Jakarta, 1993,
hlm. 71.
[25]Amin Rais, Cakrawala
Islam Antara Citra dan Fakta, Mizan, Bandung, cet. III, 1991, hlm. 27.
[26]Muhammad Fuad Abd. Baqi, Mu’jam
al-Mufahris li-al-Fazh al-Qur’an al-Karim, Dar al-Ma’rifat, Beirut, 1407,
h. 256
[27] Muhammad Fuad Abd. Baqi, Mu’jam… ibid,
h. 541-2
[28] Wahbah al-Zuhaili, al-Munir, Jilid,
17… op.cit, h. 285
[29] Al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, Juz.
III… op.cit, h. 239
[30]Hamzah Ya’cub, op.cit.,
h. 18
[31]Hamka, Panji
Masyarakat, Nomor 269, tahun ke-20, h. 15
[32]M. Natsir, Majalah
Suara Mesjid, Nomor 2 tahun 1978, h. 5
[33]Departemen Agama
RI., op.cit., h. 94
0 Comment