Bagian Keempat
Epistemologi Ilmu Dakwah
Gugusan Keilmuan yang Dikonstruksi dari Teks dan Tradisi Islam
Latar Belakang Masalah
Menyerukan kebenaran dan
mencegah kemungkaran adalah tugas hidup setiap muslim. Dengan bahasa lain,
setiap muslim berkewajiaban untuk berdakwah. Perintah ini ditulis dalam
al-qur’an sural Ali-Imran ayat 110.
Kamu adalah umat terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang
mungkar dan beriman kepada Allah.
Dalam kenyataanya; pertama,
tidak setiap muslim dengan sengaja melakukan kegiatan dakwah, kedua tidak
setiap muslim yang sengaja berdakwah telah melakukan perannya dengan efektif, ketiga, diskursus yang berkembang pada akedemisi, baik Dosen maupun Mahasiswa
adalah persoalan kebimbangan akademik apakah dakwah merupakan ilmu atau tidak
atau setidaknya meragukan bahwa dakwah bukan ilmu, akan tetapi dakwah hanya
sekedar keterampilan praktis, tion semenjak zaman Rasululah Saw sampai
hari ini, sehinga muncul anggapan tidak perlu lagi membahas dan memperbicangkan dakwah sebagai
ilmu dalam zona akademik, dan ketika dibicarakan dalam zona akademik
menimbulkan kebimbangan. Kembimbangan tersebut cukup beralasan, karena ketidak jelasan objek kajian dakwah baik formal maupun material.
Anggapan sebagian insan akdemisi dakwah
tidak mempunyai perbedaaan yang signifikan dengan keilmuan lainya dalam
objek kajianya, baik moral maupun material
Perlu diakui bahwa dakwah sampai saat ini sedang berusaha
keras untuk hadir sejajar dengan
ilmu-ilmu Islam lainnya,[1] terutama dalam aspek epistemologi (Sumber Ilmu atau teori pengetahuan).
Perjuangan berat tersebut disebabkan di
antaranya: Pertama Dakwah
diasumsikan tidak mempunyai basis ilmu-ilmu klasik sebagaimana ilmu-ilmu
keislaman lainnnya, sebagaimana ilmu Hadis, ulumu al-Qur’an, fiqh dan
lainnya. Embrio Ilmu al-Qur’an telah muncul semenjak zaman
sahabat (sebut Khulafa al-Rasyidin), embrio
Imu fiqh telah muncul semenjak
zaman Nabi, sebagai bukti adalah kopetensi Ai’syah tentang hukum-hukum syariat, dan kwalifikasi Umar bin
Kahatab yang merupakan reformer hukum Islam di zamannya. Sedangkan
pembahasan tentang Ilmu dakwah ditulis kebanyakan setelah zaman kontemporer. Kedua,
para pakar berbeda tentang pengertian tentang
“ilmu”[2], bukan tentang “dakwah”. Perbedaan
pendapat tentang pengertian ilmu membawa kepada kebimbangan tentang apakah
dakwah tersebut dapat dikatagorikan sebagai ilmu atau tidak. Ketiga,
Pakar keilmuan dakwah yang masih relatif langka (khusus di Indonesia). Sebagian
besar alumni dakwah lebih asyik berdakwah dengan alasan
adanya desakan dari masyarakat tanpa memikirkan tentang sistem, teori dan
metodologinya. Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa kesadaran teoritik dan
metodologi di kalangan sarjana dakwah masih sangat kurang. Fenomena yang muncul
adalah penolakan dan keraguan tentang
dakwah apakah ilmu atau bukan tanpa
mencari terobosan baru, dan wacana terus bergulir dan diwariskan dari tahun ketahun sehingga setiap mahasiswa
yang telah masuk ke fakultas dakwah mengalami kebimbangan.
Perlu dicacat perbincangan
tentang dakwah sebagai ilmu (aspek epistemologi) telah selesai dibicarakan di UIN Jakarta
artinya dakwah telah diakui sebagai ilmu. Begitu juga International Isalamic Studies di Pakistan
telah mengakui bahwa dakwah sebagai ilmu dengan alat ukur epistemologi Islam.
Bagaimana posisi beberapa wacana yang meragukan dakwah bukan ilmu? Mungkin bagi
mereka yang memandang dakwah bukan ilmu karena sekedar berbeda dalam memberikan
definisi ilmu atau hanya sekedar penolakan selintas sambil jalan, dan memahami
dakwah secara reduktif dan siplitis, dengan bukti bahwa hingga saat ini
belum ada penolakan atas status dakwah
sebagai ilmu dengan disertai hujjah akademik yang memadai. Jelasnya,
secara akademik dan ilmiah belum ada alasan yang kuat untuk menyatakan bahwa
dakwah bukan ilmu.
Keempat, keraguan bahwa dakwah bukan ilmu disebabkan karena kerangka berfikir yang
terlalu dipenaruhi oleh paradigma positifsme. Secara historis, positifsme
berkembang pada abad 18 bersamaan dengan munculnya revolusi industri. Tradisi
positivisme dikembangkan lewat ilmu-ilmu alam natural sciences. Timbulnya positifsme dianggggap puncak kemenangan ilmu,
sehinggga positifsme disebut sebagai agama baru. Inilah agaknya komentar
mengangngap bahwa prosesesi pemikirang
manusia dimulai dari, teologis,
metefisika dan positifisme.
Hal inilah yang pada akhirnya
ketika ilmu-ilmu sosial belum
menemukan body of knowledge, kaum
positifisme dengan lantang menyakinkan bahwa hukum dan teori kelaman bisa
ditetapkan dalam ilmu-ilmu sosial. Proseses ilmu, menurut kaum positifisme,
sebagai mana diwakili Karl Popper, dimulai dari tahab konseptualisasi,
operasionalisasi dan obsevasi. Prosese ini disebut sebgai metode
kuntitatif dengan cara berfikir dimulai
dari tahap deduksi, verifikasi, enumerasi dan obyektifikasi.
Langkah-langkah penelitian yang dimulai
dari tahab perumusan masalah, penggunaan teori, merumuskan hipotesis dan
variabel serta desian penelitian, adalah derivasi dari kuatnya pengaruh mazhab
positifisme dalam ilmu sosial.
Derivasi teori ilmu alam terhadap
ilmu sosial pada akhirnya memunculkan kritikan terhadapa teori positifisme, hal
itu disebakan karena perbedaan cara memahami sesuatau. Ilmu alam lebih banyak
mengamati prilaku luar. Sedang imu sosial mengamati perilaku internal manusia.
Realitas menurut positifisme, bersifat nyata dan tunggal. Mazhab naturalistik sebaliknya, bahwa
realitas tidak tunggal.
Untuk membuktikan apakah
dakwah dapat dikatakan ilmu atau bukan, tidak cukup dengan memberikan alasan
siplitis, bahwa eksistensi ilmu tersebut
telah diakui dengan SK Menteri Agama, akan tetap perlu diuji dengan alat takar
atau ukur dengan filsafat ilmu. Dalam pembahasan filsafat ilmu, sesuatu dapat
dikatakan ilmu bila mempunyai dan teruji pada aspek ontologi, epistemologi, aksiologi, mempunyai objek studi, baik objek
material maupun objek formal dan mempunyai metodologi. Maksud dari ontologi
adalah: ma hiyah, atau apa hakekat
tentang sesuatu. Epistemologi adalah: dari mana sumber ilmu didapatkan
atau dari mana teori pegetahuan itu
berasal dan aksiologi adalah apakah kegunaan ilmu tersebut atau aspek nilai
sebuah ilmu. Persolannyan terujikah keilmuan dakwah dari beberapa aspek
tersebut?.
Epistemologi (Teori Pengetahuan)
Epistemologi berasal dari
bahasa Inggeris yaitu: Epistemology. Dalam perbincangan filsafat ilmu
epistemologi diartikan: cara mendapatkan sesuatu, dalam hal ini
epistemologi adalah dari mana sumber atau teori pengetahuan didapatkan. Dalam
perspektif epistemologi secara umum
bahwa sumber atau teori pengetahuan didapatkan dari hasil rasioanalitas
manusia berdasarkan data. Sedangkan
dalam perspektif epistemologi Islam[3] bahwa teori pengetahuan didapatkan
dari teks atau wahyu dan pemikiran manusia dalam aspek tradisi yang mensejarah.
Jelasnya bahwa fa’il atau subjek atau
sumber Ilmu dalam Islam adalah Allah sebagaimana yang terdapat dalam Surat
al-Baqarah: 33. Allah sebagai sumber pengetahuan menampilkan diri lewat
al-Qur’an yang tertulis sebagai fitrah munazalah dan lewat ayat yang tercipta
yaitu alam dan realitas sebagai fitrah
majbulah. Jelasnya bentuk teori ilmu
apapun baik secara normatif atau empiris bersumber dari Allah Swt.
Berdasarkan hal itu dalam
perspektif epistemologi Islam, epistemologi dakwah adalah sekumpulan
pengetahuan yang bersumber dari wahyu (teks) dan pemikiran rasional muslim
sepanjang sejarah (tradisi Islam), dengan ini dakwah memiliki kelayakan
epistemik. Dalam kerangka epistemik ini ilmu dakwah harus difahami sebagai ilmu
teoritik dan terapan Islam untuk menumbuhkan, menata dan merekayasa masa depan
kehidupan umat dan peradaban Islam yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Aksiologi Dakwah
Islam berbeda dengan
pandangan bangunana ilmu barat, yang memandang ilmu dipisahkan dengan
kepentingan masyarakat. Dengan kata lain
teori ilmu tidak terkait dengan
praxis. Dalam pandangan Islam ilmu baru berguna dan bermakna bila telah menjadi realita. Jika kebenaran telah
ditemukan melalui aktivitas keilmuan,
selanjutnya kebenaran menjadi kenyataan dalam kehidupan manusia. Berkaitan
dengan hal itu, aksiologi atau nilai guna dakwah adalah : bertujuan mewujudkan ummatan
wasathan, khairul umah dan khairul baraiyah.
Objek dan Sifat Studi Ilmu Dakwah
Setiap ilmu mempunyai objek
tertentu baik objek material dan objek formal. Dalam dunia ilmu
pengetahuan sering ditemukan adanya kesamam objek material dalam dua
disiplin ilmu akan tetapi mempunyai
objek formal yang berbeda. Sebagai contoh ilmu ekonomi dengan ilmu komunikasi.
Ilmu ekonomi dan komunikasi mempunyai objek material yang sama yaitu prilaku
manusia dalam masyarakat. Namun objek formalnya berbeda, ilmu ekonomi
mempelajari dan mengkaji manusia dalam konteks
pertukaran uang dan barang. Sedang ilmu komunikasi mempelajari
pernyataan manusia dalam situasi berkomunikasi lewat pernyataan. Objek
formal inilah yang menunjukkan jati diri dari suatau ilmu, sekaligus membedakan
dengan ilmu yang lain.
Objek ilmu dakwah terbagai menjadi dua objek
material dan formal. Objek material adalah: Semua aspek ajaran Islam, yaitu
al-Qur’an, sunnah, sejarah dan peradaban Islam. Objek Formalnya: mengkaji dan
mempelajari bagaimana mengajak umat manusia agar masuk dalam sistem Islam dalam
semua segi kehidupan. Bentuk kegiatan mengajak tersebut, terdiri secara lisan
(komunikasi), tulisan (jurnalisme) dan aksi sosial. Inilah karakteristik yang
spesifik dari ilmu-ilmu Islam lainya ( Ulumul Qur’an, UlumlHadis, Fiqh , dan lain-lain) yaitu
mempelajari dan mengkaji bagaimana mengajak umat manusia. Kajian dalam objek
formal ini sangat terkait dengan sifat objek
studi ilmu dakwah yaitu proses
“tranformasi” .
Metode Keilmuan Dakwah
Pengetahauan ilmiah
berkembang dengan pesat disebabkan kareana metodologinya, yakni metode ilmiah.
Metode ini dikembangkan menjadi metode penelitian yang merupakan modus operandi
bagi pengembangan pengetahuan ilmiah. Ringkasnya, dunia keilmuan hidup dan
berkembanag disebabkan oleh penelitiannya. Penelitian tersebut selalu berkaitan
dengan metodologinya.
Pusat-pusat kajian keagamaan,
khususnya fakultas dakwah di IAIN tidak
hanya bertugas mengajarkan ilmu agama
yang terkesan membaca dan mengulang, sehingga nuansa keilmuan menjadi statis,
padahal yang dibutuhkan adalah ilmu yang dinamis, lebih khusus adalah kajian
ilmu dakwah. Dalam rangka mendinamisasikan ilmu dakwah, aktivitas penelitian
menjadi sangat penting dan yang berkaitan dengan penelitian tersebut adalah
metode keilmuan Dakwah.
Istilah metodologi dengan
metode tidak jarang tumpang tindih penggunaanya. Metodologi merupakan studi logis dan sitematis tentang
prinsip-prinsip yang mengarahkan penelitian ilmiah, yang intinya terdiri dari;
masalah, tinjauan pustaka, hipotesis, dan cara penelitian. Sedangkan metode (methods) merupakan cara untuk
melakukan penelitian, menyangkut dengan bahan, alat, variabel penelitian dan analisis hasil
penelitian. Perlu diingat bahwa cara yang dilakukan dalam penelitian befariasi
dan terkait dengan objek formal ilmu pengetahuan tersebut. Di bawah ini akan diuraikan
beberapa tawaran metode keilmuan dakwah
dalam rangka melahirkan teori
dakwah (grand theory of Dakwah)
1. Metode Reflektif.( Normatif – Deduktif)
Arti dari reflektif adalah: merenungkan
masa lalu, dalam memahami masa sekarang
dan berguna untuk merancang masa depan. Sebuah relfeksi tidak hanya
meratapi kelemahan, kekurangan dan kegagalan, tetapi juga melihat tentang
sesuatu keberhasilan. Dari refleksi ini
akan lahirlah apa yang disebut kritik yang sehat dan jujur. Dalam
kaitannya dengan metode reflektif dalam keilmuan dakwah, teori ini dapat
dijadikan sebagai teori Makro Dakwah
Islam, baik dari sisi interaksi dakwah dengan sisitem setempat dan proses
penyampaian.
Lebih jelas lagi akan
dicontohkan penerapan metode reflektif dengan merenungkan tentang proses
keberhasilan dakwah Nabi Saw pada masa lalu yang didasarkan pada nilai-nilai
normatif.
Perjalanan dakwah nabi saw pada periode awal berhadapan
dengan masyarakat arab Jahiliyah. Sistem
teologis arab jahiliyah menggunakan sistem berfikir bertingkat[4], yaitu Allah dan perantara. Implikasi dari sistem berfikir yang demikian
melahirkan sebuah epistemologis cara berfikir dikotomik, yaitu memandang
sesuatu dalam dua pijakan visi: Allah dan berhala. Dalam Islam berfikir dikotomik yang berkaitan dengan
Tuhan dikenal dengan istilah syirik.
Nabi saw menyadari kondisi masyarakat yang sedang rapuh dan
terhinggapi anatomi akidah, maka nabi meyusun strategi dakwah dengan teori
dakwah yaitu : bai’ah. Fungsi bai’ah tersebut untuk membebaskan umat dari kerapuhan akidah
dan membawa mereka kepada akidah yang murni. Inilah teori baiah yang digagas
oleh Nabi yang pada khirnya membawa
masyarakat Arab pada kondisi yang dikenal dengan Islamic Society.
Metode penelitian reflektif ini dapat dilakukan oleh para peneliti dengan beberapa contoh diantara
‘Transpormasi Iman dalam kehidupan sosial”. Ketika membahas ini perlu dikaitkan
dengan historis dakwah ( tarikh al-da’wah).
2. Metode Riset Dakwah
Partisipatif ( Empiris-Induktif)
Metode ini juga dikenal
dengan metode participant observation atau Etno graphy. Objek
kajian dakwah pada
metode ini adalah masa sekarang dan berangkat dari realita
dakwah. Ada dua gaya ( styles) dalam penelitain ini;[5] 1) Holistik yaitu;
melukiskan secara menyeluruh dan terintegrasi semua jaringan kehidupan yang terdapat dalam masyarakat. 2) Semiotik
yaitu; menjelaskan makna dan interpretasi
pandangan masyarakat yang diteliti ( Native’s Point of View) yang berwujud bentuk-bentuk simbolik dalam
kehidupan masyakakat. Jelasnya, penelitian ini berangkat dari realitas lapangan yang menghasilkan
teori dakwah baru. Sebuah kajian yang
baik setelah meneliti dan menggunakan metode tertentu mampu melahirkan teori
baru yang lebih aktual.
Teknik operasional dalam
penelitian ini[6], 1) Peneliti (dai) mempunyai fokus penelitian. 2) Menghilangkan sifat
interpretatif dalam catatan lapangan. Interpretasi dilakukan pada tahab penulisan. 3) Kehadiran peneliti
selama di lokasi tidak mengganggu aktivitas masyarakat.
3. Analisis
Objek Formal Ilmu
Dakwah dan relevansinya dengan pengembangan jurusan di fakultas
Dakwah
Sekali lagi bahwa sumber ilmu
atau teori pengetahuan ilmu dakwah bersumber dari Doktrin (teks) dan pemikiran rasional para pemikir umat
Islam (tradisi Islam). Maka untuk lebih
menjelaskan kemana arah dan tujuan
jurusan-jurusan di fakultas dakwah, maka perlu ditelusuri akar pemikiran yang
dikaitkan dengan aspek episteimologi Dakwah dan dikaitkan dengan unsur-unsur
dakwah..
Kegitan dakwah mempunyai beberapa unsur dan antara unsur yang satu dengan yang lainnya
mempunyai interaksi dan interelasi. Unsur pertama adalah Doktrin Islam
(dilambangkan dengan A), unsur kedua Da'i/Komunikator/ baik Individu / Lembaga
(dilambangkan dengan B) unsur ketiga adalah Mad’u atau komunitas (dilambangkan
dengan C) dan unsur terakhir adalah Tujuan
(dilambangkan dengan D).
1.
Interaksi
unsur A ( Doktrin ) dengan B (Da'i), melahirkan
hakekat dakwah, maka perlu pengetahuan tentang filsafat dakwah. Apakah
hekekat dakwah itu esensi atau sambilan.
2.
Interasi unsur B (da'i) dengan C ( Mad’u), melahirkan pemikiran cara penyampaian dakwah secara lisan dan
tulisan, dikenal dengan tablig (menyampaikan) yang di dalamnya mengandung dua dimensi kekuatan yakni komunikasi dan
penyiaran Islam, inilah zona jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI). Kegiatan yang berdimensi massa dan kegiatan terlembaga. Maka pengelola
jurusan sebagai pabrik intelektual bukan hanya sekedar melayani mahasiswa
melihat nilai, daftar komprehensip dan munaqasyah akan tetapi bagaimana
membangun konpentensi jurusan, harus ada labor dan praktek. Dimensi selanjutnya
adalah bimbingan dan penyuluhan bersasaran individual dan kelompok kecil atau
dari masalah khusus dalam semua kehidupan yang berdampak pada kehidupan
keluarga dan individu. Ini mempunyai power perubah tingkah laku dan ini adalah
ladang atau zona Bimbingan penyuluhan
Islam (BPI).
3.
Interaksi
unsur C ( mad’u) dengan D (tujuan), melahirkan analisis tentang data
empirik prilaku Islam atau program tindakan nyata (haal) di dalam
masyrakat. Ini adalah zona pengembangan
masyarakat Islam (PMI), maka jurusan PMI harus mengembangkan, pemahaman tentang
kondisi sistem akidah umat, dan lingkungan masyarakat. Setelah memahami maka
jurusan PMI harus mampu mempunyai wawasan “lingstra” (lingkungan strategis)
umat, pengembangan ekonomi rakyat kecil dan juga kemampuan menciptakan
lingkungan wisata riligius. Di negara Jerman
dengan penduduk 20 % muslim mampu membuat lingkungan wisata muslim,
kenapa umat Islam Indonesia dan
khususnya ranah minang mayoritas muslim tidak mampu menciptakan, jawaban
perpulang kepada sampai dimana jurusan PMI dipersiapkan? Maka sebenarnya untuk peluang berkarya dan kerja
PMI mempunyai ladang yang luas, ini tanggung jawab jurusan yang harus membangun
paprik intelektual para insan pengembang masyarakat, Pengelola jurusan PMI
harus mampu menciptakan the Man sosial recontruction, orang lain bisa kenapa kita tidak?
4.
Interaksi
unsur B (da'i) dengan D (tujuan), melahirkan pemikiran tentang, efesiensi dan
efektivitas organisasional dan manajerial. ini dalah zona Manajemen Dakwah
Islam (MDI). Maka MDI harus mampu
melahirkan dan mengembagkan pemikiran tentang sistem dan pengelolaan kegiatan dakwah secara
efektif dan efesien, kemampuan menetapan kebijaksanaan dan strategi
dakwah dalam merencanakan dakwah
masa depan dalam kontek era global. MDI juga harus berorientasi pada kemampuan
pengelolaan Ibadah Haji dan umroh serta Ziarah Dakwah, dan mampu
merencanakan dan mengelola informasi
Islam melaui media masa Islam. Jika
jurusan KPI sebagai insan jurnalis yang mengasilkan pemikirannya lewat
tulisan atau sebagai wartawan yang menghasilkan berita, maka MDI harus mampu
mengelola lembaga atau intitusi media.
4. Esensi Ilmu Dakwah
(Sebagai Cacatan Penutup)
Berdasarkan ontologi
(hakekat) dakwah, epistemologi dakwah, objek formal, metode keilmuan dakwah,
dan analisis antar unsur dakwah, dapat diambil penegertian bahwa esensi ilmu
dakwah adalah gugusan keilmuan yang
bersumber dari teks dan tradisi Islam, yang dikembangkan oleh umat Islam (para
pengembang dakwah), secara sistematis
dan terorganisir yang berguna dalam memahami fakta dakwah dalam rangka
pelaksanaan tugas-tugas Dakwah.
Daftar Pustaka
Ahmad, Amrullah, Dakwah
Sebagai Ilmu, Gelar Seperempat Abad Fak. Dakwah IAIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 1995
Amin. M. Mansyur, Dinamika
Islam, LKPSM,Yogyakarta, 1985
Alfian, Transformasi Sosial Budaya, UI Press,
Jakarta, 1986
Arifin, Syamsul, Merambah
Jalan Baru dalam Beragama, Ittawa Press, Yogyakarta, 2000
Alwani, Thoha, Al-Azumah
al-Fikriyah al-Ma’asyirah, Hirubdun, Kairo, 1992
Dzikir, Abu Bakar, Al-Da’wah
Ila Islamiyah, Al-Nahdahat, Gramedia. Jakarta, 1995
Firman, Metode Penelitian
Kualitatif dan Kuantitatif, Makalah Pelatihan Penelitian Dosen Yunior IAIN
Padang, 2002
Hafiduddin, Didin, Dakwah
Aktual, Gema Insani Press, Jakarta, 2000
Swidler, Leonard, Theoria
Praxis, UIT Geveris Peetas, Leuxen,
1998
Shahatah, Abdu al-Allah, Da’wah
Islamiyah, Kairo, 1987.
Yakan, Fath, Al-Musaqithun,’Ala
Thariq al-Da’wah, Al-Nahhlat, Kairo, 1989
-------, Nahwulharakah
Islamiyah, al-Nahdat, Kairo, 1989
-------, Al-Islam, Fikratun
Wa Haralatun, al-Nahdat, 1990.
[1]Jalaluddin Rahmat, dalam mata kuliah Media masa dan Dakwah, UIN Jakarta September 2001
[2]Salah satu definisi ilmu : Kumpulan pengetahuan yang tersusun
secara sistematis, antara satu unsur
dengan yang lain mempunyai hubungan, mempunyai metode tertentu dan untuk
mencapai kebenaran.,lihat, Amrullah Ahmad, Dakwah sebagai Ilmu,Panitia
Gelar seperempat Abad, Fakultas Dakwah, IAIN Kalijaga,Yogyakarta, Desember
1995.Ilmu adalah: Kumpulan pengetahun
yang disusun secara sistematis dan kebenarannya teruji
secara ilmiah. Asnawir, Berfikir
Ilmiah, Makalah pada Pelatihan
Penelitain Dosen Yunior, IAIN Imam Bonjol Padang, Agustus 2002.
[3]Hayati Nizar, Epistemologi Islam, makalah pelatihan
Penelitian Dosen Yunior, September 2002, IAIN IB Padang., h. 1..
[4]M.MasyurAmin, Dinamika Islam, (Yogyakarta: LKPSM,
1995), h.182.
[5]Syafi Sairin, Pendekatan Antropologi dalam Penelitian Agama,
Makalah pada Pendidikan calon Dosen Se-Indonesia, Yogyakarta, September 2000,
h.3.
[6]Firman, Metode
Penelitian Kualitatifdan
Kuantitatif, makalah pada Pelatihan
Penelitian Dosen Yunior, IAIN Imam Bonjol Padang, Agustus, 2002.
0 Comment