Bagian Ketiga
Daras Filsafat Dakwah
Pendahuluan
Filsafat dakwah adalah dua istilah yang
berbeda, baik perbedaan dalam terminologis, sejarah lahir, maupun paradigma
yang dipergunakan. Kalau filsafat muncul dan berkembang diawali di Yunani,
selanjutnya masuk ke dunia Islam, sehingga melahirkan paradigma yang bernuansa
Islam. Sedangkan dakwah lahir dan berkembang semenjak manusia ada di alam ini,
bila paradigma dakwah yang dipakai adalah ajakan, atau himbauan. Kalau wacana
filsafat adalah mengutamakan logika dalam memahami dan menangkap makna dari
fenomena yang maujud, s
eperti Tuhan, manusia dan alam, maka dakwah Islam tugas kesehariannya adalah sebagai transmisi dan agency dalam menyuarakan ketiga aspek tersebut kepada manusia.
eperti Tuhan, manusia dan alam, maka dakwah Islam tugas kesehariannya adalah sebagai transmisi dan agency dalam menyuarakan ketiga aspek tersebut kepada manusia.
Nampaknya antara filsafat dan dakwah keduanya
sama-sama mempunyai objek yang sama. Kalau bisa dikatakan adalah bahwa filsafat
itu bagaikan dapur yang menyediakan berbagai masakan untuk dihidangkan.
Sedangkan dakwah adalah bagaikan tukang menghidang makanan. Oleh karena itu temuan filsafat adalah mencari, menemukan
tentang hakikat kebenaran sesuatu, sedangkan dakwah adalah menyuarakan,
menginformasikan kebenaran, sehingga terdapat dua hubungan yang tidak mungkin
ada pemisahan, seperti dua sisi mata uang yang saling terkait dan berhubugan
satu sama lainnya. Artinya : filsafat belum punya makna apa-apa, bila belum di
informasikan, sebaliknya dakwah belum berwujud, bila tidak membawa kebenaran.
Meskipun para failosuf Muslim aliran iluminis
(isyraqy) pada saat ini mulai meragukan kebenaran tesa yang
mengungkapkan bahwa perkembangan kajian filsafat dalam dunia Islam mengalami stagnasi
semenjak meninggalnya Ibn Rusyd[1]
(1126-1198), namun bagi kalangan muslim Indonesia khususnya dan dunia Islam
pada umumnya, tetap menjadikan kajian falsafat sebagai kerangka acuan dalam
menemukan kebenaran, karena Islam membawa kebenaran, sedangkan akal juga
mencari kebenaran, maka terdapat dua kebenaran, pertama kebenaran yang
datang dari ajaran Islam, kedua kebenaran akibat memahami ajaran Islam
itu sendiri. Dengan demikian ada dua kebenaran yaitu kebenaran hakiki dan
kebenaran nisbi (relatif). Antara kedua kebenaran tersebut tidaklah mesti
dipertentangkan satu sama lain. Logika dalam menerima kedua kebenaran tersebut
adalah bilamana kebenaran hakiki ditujukan untuk manusia, maka tidak logis
bilamana manusia itu tidak berada dalam kebenaran. Oleh karena itu bagi
penganut Islam yang benar, secara otomatis berfikir, bertindak atau bersikap
semestinya adalah benar. Bila sikap dan tindak tanduknya tidak benar, bukan berarti
ajaran hakikatnya yang salah, akan tetapi sangat boleh jadi orang yang
memahaminya yang belum benar, sehingga ia membawa kesalahan dan kekeliruan.
Kesalahan dan kekeliruan ini yang menjadi objek kajian filsafat Islam pada
umumnya dan falsafat dakwah pada khususnya.
Salah satu kekeliruan banyak orang dalam
memahami Islam sebagai agama adalah bahwa Islam dari awal telah berjalan dengan
baik dan berkembang dengan pesat keberbagai penjuru dunia, namun pada sisi
lain, masih ditemukan ketidak samaan visi, misi dan persepsi umat Islam itu
dalam memperjuangkan masa depanya. Ketidak samaan visi tersebut sekaligus membawa kepada sikap skeptisme, yaitu merasa
ragu dan curiga kepada kebenaran hakiki yang terkandung dalam ajarannya.
Antisipasi terhadap kemungkinan adanya sikap
skeptisme terhadap ajaran Islam, diperlukan adanya penggunaan pikiran secara
rasional dalam menjawab berbagai permasalahan yang muncul dalam kehidupan umat
Islam. Upaya antisipasi tersebut adalah dengan memperhatikan sejauhmana makna
dakwah Islam tersebut mampu mengayomi dan menaungi pola-pola kehidupan manusia.
Lebih jauh lagi adalah bagaimana kebutuhan manusia terhadap dakwah, sehingga
ajaran Islam tetap menjadi eksis sepanjang masa. Untuk menjawab
persoalan-persoalan agama yang berkembang, agaknya yang memicu pemikiran kearah
tersebut adalah, barangkali selayaknya kembali kepada prinsip-prinsip dakwah
yang tertinggalkan selama ini. Kembali kepada prinsip dasar tersebut, artinya
adalah mengetahui perkembangan pemikiran filsafat dalam dakwah Islam yang
sebagai acuan utamanya adalah al-Qur’an al-Karim, baik melihat itu kepada
subjek dakwah, objek, metode, materi dan kerelevanan media yang dipergunakan.
Nampaknya penglihatan pertama adalah kepada subjek dan objek dakwah. Sangat
boleh jadi subjek dengan objek dakwah tidak seimbang, terutama dalam memberikan
dan kedua dalam bidang penangkapan objek yang belum menyambung terhadap ajaran
yang disampaikan. Apalagi kemajuan masyarakat dipengaruhi oleh kemajuan ilmu
dan teknologi, sementara kemajuan pada pihak subjek terikat dengan kemajuan
tradisionalis tanpa memperhitungkan kemajuan sains. Untuk itu subjek dakwah
benar-benar memahami dan mendalami ajaran Islam. Dampak lebih jauh dari
pemahaman yang mendasar dari kalangan subjek dakwah adalah mampu membawa
manusia kepada tujuan Islam yaitu terbentuknya umat manusia muslim yang
mengislamkan seluruh aspek kehidupan, hingga tidak satupun dari prilaku
hidupnya yang tidak bernilai ibadah. Untuk menuju kearah tersebut diperlukan
penelusuran yang mendalam dan mendasar terhadap al-Qur’an, sebagai satu-satunya
kitab sumber inspirasi dalam filsafat dakwah.
Pengertian
Filsafat
Untuk mengetahui sesuatu secara mendalam dan
mendasar, mestilah sesuatu tersebut dilihat dari berbagai dimensi. Misalnya
sebuah gedung universitas, apa itu gedung universitas, tentu akan memancing
pikiran seseorang, universitas apa, di mana letaknya, bagaimana tampilan
gedungnya dari belakang, depan, samping, apa saja fakultas yang ada di
dalamnya, siapa dosen dan dari mana saja asal mahasiswanya, sehingga akhirnya
akan berkesimpulan bahwa universitas adalah begini dan lain sebagainya. Dalam
hal ini filsafat dapat dilihat dari empat posisi, sebagai berikut :
1.
Dari Posisi Bahasa (Etimologis)
Akar kata filsafat berasal dari bahasa Yunani,
yaitu philosophia. Philo, artinya cinta, sophia berarti bijaksana atau
kebenaran. Sehingga philosophia mengandung arti cinta kepada kebenaran. Orang
yang mencintai kebenaran ia akan berupaya memperoleh dan memilikinya.[2] Kata Filsafat juga telah di Arabkan yang
wazannya (فلسفة) berarti pengkajian asal usul segala
sesuatu. Selain distranformasikan kedalam bahasa Arab juga dipergunakan dalam
berbagai bahasa seperti dalam bahasa Inggeris philoshophy, latin, philosophia, dan dalam bahasa Belanda
dan Jerman disebut philosophie.
2.
Dari Posisi Filsafat Sebagai Ilmu
Filsafat sebagai ilmu memiliki memiliki
objek, metode dan sistem tersendiri secara terminologis. Dalam hal ini dapat
dilihat dalam sudut pandang yang berbeda dikalangan para ahli :
1. Plato,
seorang bapak filsafat Yunani, menngatakan bahwa filssafat adalah “Ilmu
pengetahuan yang berusaha mencapai kebanaran yang asli, karena kebenaran adalah
mutlak ditangan Tuhan, atau pengetahuan tentang segala yang ada”.
2. Aristoteles,
seorang murid Plato, filsafat ialah “Ilmu pengetahuan yang meliputi
kebenaran yang didalamnya ilmu
metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, sosial, budaya dan
estetika”.
3. Al-Farabi,
failosuf muslim, mengatakan bahwa filsafat ialah “ Pengetahuan tentang yang ada
menurut hakikatnya yang sebenarnya”.
4. Immanuel
Kant, seorang pemikir Barat, mengatakan bahwa filsafat ialah “Ilmu pokok dan
pangkal segala pengetahuan yang mencakup didalamnya empat kajian : - apa yang
dapat di ketahui, dijawab oleh metafisika. - apa yang boleh dikerjakan, dijawab
oleh etika, - apa yang dianamakan manusia, dijawab oleh antropologi, - apa
harapan manusia, dijawab oleh agama”.
5. Muhammad
Yusuf Musa Filsafat ialah renungan akal dalam berfikirnya, yang ditujukan untuk
mengenal hakikat wujud di dalam makro-kosmos yang mengungkungi manusia, di
dalam mikro-kosmos (manusia sendiri) dan pangkal pertama dari semua yang
demikian itu.[3]
6. Harun
Nasution memberikan arti filsafat sebagai: Pengetahuan tentang hikmah,
pengetahuan tentang prinsip atau dasar-dasar, mencari kebenaran, membahas
dasar-dasar apa yang dibahas. Sedangkan pengertian filsafat secara terminologi
adalah: “Berfikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada
tradisi, dogma serta agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke
dasar-dasar persoalannya”. [4]
7. Musthafa
Abdul Razaq mengatakan bahwa di kalangan muslim dipakai perkataan hikmah dan
hakim, maknanya sama dengan makna perkataan filsafat dan filosof. Di kalangan
kaum muslimin terdapat pula istilah hikmah nazhariyah (filsafat teoritis)
dan hikmah amaliyah (filsafat untuk diamalkan). Pertama membahas
masalah-masalah untuk diketahui saja, bukan untuk diamalkan. Sedangkan yang
kedua membahas masalah-masalah untuk diketahui dan juga diamalkan. Orientalist
Perancis Perancis Baron Carra de Vaux mengatakan: Muhammad Saw. walaupun ia
bukan filosof dengan suatu arti yang sempurna, ia mudah menghadapi kebanyakan
masalah-masalah filsafat dengan uraian-uraian yang membentuk aqidah Islam.[5]
Dengan demikian hakikat dari Filsafat itu
ialah berfikir dengan tertib, bebas mendalam ke akar-akarnya. Dalam menyelidiki
philosophi, berdasarkan akal, sejauh mana akal dapat mencapai sesuatu yang
difikirkan. Filsafat mengandung gambaran-gambaran dari, dengan dan ke mana
sebenarnya yang akan terjadi, dan dengan demikian berfilsafat artinya
menyelidiki hakekat kenyataan berdasarkan pikiran.
Apa yang dikatakan orientalist Perancis itu
adalah benar, akan tetapi ia hanya
melihat dari segi filsafat teoritis saja. Karena dalam al-Qur’an dan
Hadis Nabi Saw. mengandung formulasi-formulasi filsafat di dalam bidang yang
teoritis dan juga di dalam bidang yang praktis. Kitab suci al-Qur’an dan Hadis
membawa dasar-dasar filsafat dalam kepercayaan (aqidah) dan dasar-dasar
filsafat dalam kekaryaan (amal perbuatan). Kedua sumber dakwah itu menyajikan
masalah-masalah kosmos, ketuhanan, manusia, penciptaan, akhlak, sosial dan
sebagainya maka tugas kaum muslimin terutama para juru dakwah ialah mempelopori
hakikat ini, membelanya dan meletakkannya dalam gaya bahasa dan prosa di dalam
acuan keilmuan.
Filasuf adalah subjek dari Filsafat, berarti
orang yang ahli mengkaji dan memecahkan asal usul sesuatu, atau disebut juga
ahli hikmah. Al-Qur’an mengungkap hal ini bahwa orang-orang memperoleh
hikmah, akan diberi oleh Allah kebaikan yang banyak, sebagaimana Firman-Nya:
Maksudnya: Allah
memberi hikmah sesuatu kelebihan bagi orang-orang yang dikehendaki, dan barang
siapa yang diberi hikmah akan diberikan baginya kebaikan yang banyak, dan
tetapi tidak banyak mengambil pelajaran dari padanya kecuali cendekiawan.
(QS. al-Baqarah ayat 269)
Kata al-hikmah dalam pengertian ayat
di atas menurut Abduh, adalah “Ilmu yang mencakup rahasia-rahasia, hukum-hukum,
serta manfaat-manfaat sesuatu yang diwujudkan dalam bentuk sikap dan tingkah
laku.[6]
Menurut al-Farabi, hikmah merupakan padanan dari kata sophia (Yunani).
Ia menganalisis bahwa filsafat berasal dari kata philo (cinta) dan sophia
(hikmah). Philosophia berarti cinta akan hikmah atau cinta kebenaran. [7]
Kesimpulannya, bahwa aktivitas berfikir manusia dengan bentuk filosofi (al-hikmah)
adalah merupakan sumber pengetahuan, sekaligus merupakan sarana untuk menemukan
kebenaran. Kalau tadinya hikmah dipahami sebagai ilmu dan kebijaksanaan, maka
untuk sampai kepada hal tersebut adalah melalui al-’aql (akal). Akal
secara etimologis setidaknya mempunyai dua arti, pertama mengikat, kedua
memahami dan memikirkan ( al-fahm wa al-tadabur ), misalnya ‘aqala
al-syai’( memikirkan hakikat sesuatu).[8]
Pada makna kedua inilah kata al’aql dipergunakan sebagai akar munculnya
berfikir secara filosofis dan mendalam. Karena akallah yang dapat menerima ilmu[9]
dan alat untuk mengetahui serta membuat keputusan-keputusan.[10]
Nampaknya pengertian di atas lebih lengkap
yaitu bahwa al’aql bukan hanya kesanggupan mengenal sesuatu, akan tetapi
lebih jauh dari itu, yaitu dapat membuat keputusan-keputusan tertentu
berdasarkan perolehan dari sesuatu yang
telah dikenal atau diketahui. Pengertian ini sekaligus telah menjawab bahwa
akal sebagai alat dalam proses mengetahui, berfikir dan bernalar. Secara ilmiah
penalaran mempunyai empat kategori sebagai berikut :
Pertama :
penalaran kausalitas atau hubungan sebab akibat. Penalaran ini dapat
dilihat misalnya firman Allah surat Ali
Imran ayat 118, bahwa Allah melarang orang-orang mukmin untuk menjadikan
orang-orang non mukmin sebagai orang-orang yang dipercayai (bithanat).
Menurut al-Razy, adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang munafik dan secara
umum semua orang kafir.[11]
Sebab pelarangan tersebut adalah adanya rasa kebencian yang pernah terucap oleh
mereka terhadap orang-orang Islam. Sebagai akibatnya ialah mereka akan
terus-menerus berusaha menyusahkan atau merusak tatanan Islam itu sendiri.
Penalaran di atas membutuhkan adanya perbandingan (komparatif). Ayat di
atas memberi indikasi yang jelas dan menyebutkan sebab sekaligus akibat dari
sebab dari suatu perbuatan.
|
Ketiga, penalaran analitis,
misalnya kenapa Tuhan bersumpah dengan
alam ciptaanya, baik dengan memakai
kalimat lansung ataupun melalui huruf qasam. Bila dianalisa secara mendalam semua mengandung
hikmah yang sangat dalam dan berguna bagi kepentingan penanaman pemahaman suatu
ide kepada manusia. Sehingga ayat ayat yang terdapat dalam bentuk
sumpah adalah bertujuan membawa manusia berfikir dengan meneliti
informasi ayat secara ilmiah, misalnya kata wa
al-Dhuha, wa al-Thin wa al-‘ashr
dan lain sebagainya dijabarkan
menurut kaidah dan prinsip ilmu pengetahuan.
Keempat, penalaran figuratif,
yaitu penalaran melalui perumpamaan (Amsal) dan perjalanan (rihlah).
Hal ini di ungkapkan oleh Allah surat al-Baqarah ayat 171. Di mana ayat
tersebut membangun suatu perumpamaan, bahwa orang-orang kafir yang disebut
sebagai orang orang tuli, bisu dan buta karena tidak mau memperhatikan dan
memikirkan kebenaran yang disampaikan kepada mereka, diumpamakan dengan
binatang ternak yang dipanggil oleh pengembalanya. Binatang itu mendengar
panggilan tersebut, namun tidak memahami maknanya yang pasti. Ditinjau dari
kaca mata pemabaca perumpamaan itu, maka penalaran yang diungkap oleh ayat itu
adalah analogis-figuratif.
Pendayagunaan al-aql (akal)
berdasarkan uraian tentang penalaran di atas, ada implikasi yang hendak dicapai
sebagai target seruan al-Qur’an, yaitu :
1. Al-Qur’an
mentargetkan dalam seruannya untuk mempergunakan akal (al-aql) secara optimal
dalam upaya mengajak orang lain, karena akal (al-aql) merupakan bagian penting
dari manusia, yang dengannya mereka dapat mengetahui dan mengambil keputusan.
Bahkan al-Qur’an juga mengecam dengan keras (ancaman kehinaan dan kemurkaan
Tuhan) terhadap orang-orang yang tidak menfungsikan akal mereka, seperti yang
diungkapkan oleh Allah dalam surat Yunus 100.
Menurut ayat di atas, berdasarkan
penafsiran Rasyid Ridha, bahwa seseorang yang akan beriman kecuali bila sesuai
dangan kehendak Allah yang telah digariskan oleh sunahnya yaitu dengan
berpikir, memikirkan ayat-ayat-Nya, baik ayat-ayat yang terdapat pada kitab-Nya
atau ayat-ayat yang terdapat pada makhluk-Nya. Jika tidak, maka amat fatal
resikonya bagi keimanan seseorang terutama bagi orang-orang yang tidak
mempergunakan akal mereka.
2. Pemakaian
kata al-aql secara keseluruhan ditargetkan oleh al-Qur’an adalah mengacu pada
perannya untuk mencegah manusia dari
perbuatan destruktif terhadap dirinya, karena itu al-Qur’an menyerukan untuk
menfungsikan akal kepada hal-hal yang bermanfaat, terpuji dan benar. Disamping
itu al-Qur’an juga
menunjukkan tentang penggunaan akal secara tidak terpuji seperti yang dilakukan
oleh kaum Yahudi.
3. Dari
posisi filsafat sebagai kata benda. Posisi ketiga ini memandang filsafat
sebagai kata benda/alam fikiran. Dalam hal ini filsafat ialah sekumpulan
masalah-masalah yang langsung dan mendapat perhatian dari manusia yang
dicarikan jawabannya oleh ahli filsafat. Kemudian filsafat itu suatu kumpulan
sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang bisanya diterima secara
tidak kritis.
Pengertian di atas menggambarkan bahwa
filsafat adalah sebagai alam fikiran manusia. Lalu bagaimana manusia
meresponinya, misalnya apa itu agama, apakah sebenarnya hidup ini, benarkah
hidup ini sementara, apakah ada hidup setelah hidup ini kembali nantinya dan
lain sebagainya.
4. Dari
posisi filsafat sebagai suatu kegiatan manusia. Dalam hal ini berfilsafat
adalah suatu kegiatan berfikir yang dilakukan oleh manusia untuk menjawab dari berbagai masalah, dengan demikian Titus[13]
mengajukan tiga pengertian filsafat, yaitu:
· Suatu
poroses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan sebagai sesuatu yang
dijunjung tinggi oleh manusia.
· Sebagai
analisa logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep.
· Suatu
usaha untuk memperoleh gambaran keseluruhan.
Ketiga pengertian di atas penekanannya
adalah kepada proses bukan kepada hasil yang dicapai. Oleh sebab itu proses
melalui beberapa tahapan antara lain : 1) Logis, yaitu berfikir dengan
mempergunakan logika dengan menempuh langkah-langkah pemahaman, keputusan dan
argumentasi. 2) Alam berubah-rubah (premis minor. 3) Setiap yang berubah adalah
baharu ( kullu mutakhair hadis ). 4) Alam adalah baharu ( al-’alam al-hadis ).
Statemen di atas memberi gambaran bahwa bahwa alam baharu bukan kebetulan akan
tetapi melalui proses logis.
Sejarah Filsafat Dalam Islam
Sejarah filsafat bermula di pesisir Samudera
Mediteranian[14]
bagian Timur pada abad ke-6 SM. Menurut Majid Fakhry, sejak semula filsafat
ditandai dengan rencana umat manusia untuk menjawab persoalan seputar alam,
manusia, dan Tuhan. Itulah sebabnya filsafat pada gilirannya mampu melahirkan
sains-sains besar, seperti fisika, etika, matematika, dan metafisika yang
menjadi batu bata kebudayaan dunia.[15]
Dari Asia Minor, kepulauan yang terletak
antara Samudera Mediterania dan laut Hitam, filsafat menyeberangi Aegean,[16]
menuju tanah Yunani. Untuk ribuan tahun lamanya, Athena menjadi tanah air
filsafat. Ketika Iskandariyah[17]
didirikan oleh Iskandar Agung pada 332 SM, filsafat mulai merambah dunia Timur,
dan berpuncak pada tahun 529 M.
Pada tahun itu, kata Majid Fakhry, demikian
juga al-Ahwani, Kaisar Bizantium, Justianus[18]
menutup sekolah-sekolah tinggi filsafat di Athena[19]
dan mengusir semua filosof dari daerah tersebut, karena ajaran filosof
menurutnya bertentangan dengan ajaran Kristen. Sebagai pembela Kristen
Ortodoks, Justianus menganggap paganisme sebagai ancaman bagi eksistensi agama
Kristen. Tujuh guru filsafat paling
terkemuka, dipimpin oleh Damascius (w. 553) dan Simplicus (w. 533), lari
menyeberang perbatasan Bizantium, menuju Persia. Di sana, para guru filsafat
ini disambut hangat oleh Chosroes I (Anushirwan) yang begitu mengagumi filsafat
dan sains Yunani. Sekitar 555 M, Choroes I mendirikan Sekolah Jundishapur
sebagai pusat studi Hellenik[20]
dan riset kedokteran.
Namun demikian, transformasi filsafat Yunani
yang paling radikal, kata Majid Fakhry, terjadi di Iskandariah, bukan di
Jundishapur. Di Iskandariah ini, filsafat menjadi benar-benar mendunia.
Kecenderungan religius dan mistisnya malah hampir-hampir tak dikenal oleh
orang-orang Yunani terdahulu. Oleh karenanya, nama-nama yang dikaitkan dengan
filsafat Iskandariah atau Hellenistik umumnya adalah Plotinus (w. 270 M),
Porphyry dari Tyre (w. 303 M), dan Jamblichus (w. 330 M) yang seluruhnya hidup
dan besar pada zaman Iskandar Agung. Para filosof inilah yang disinyalir
mengisi wajah baru filsafat Yunani. Sebagai contohnya, Neoplatonisme berhasil
memadukan semua arus filsafat Yunani klasik, seperti Platonisme,
Aristotelianisme, Phytagoreanisme, dan Stoisme dalam suatu sintesis yang
mengagumkan.[21]
Ketika Mesir takluk di bawah orang-orang Arab pada tahun 641
M, Iskandariah tetap berkembang sebagai pusat filsafat, kedokteran, dan sains
Yunani. Juga, teologi Kristen-Hellenistik yang berdampak luas pada perkembangan
filafat dan teologi Muslim di kemudian hari. Sebagai akibat dari penaklukan
wilayah Mesir oleh orang-orang Arab ini, maka tren kebudayaan dan pemikiran
bergerak ke arah Timur. Berawal dari Damaskus pada masa Dinasti Umayyah
(661-750), dan berlanjut sampai ke Baghdad pada masa Dinasti Abbassiah
(750-1258 M).
Jadi penaklukan Iskandariah pada tahun 641
oleh orang-orang Arab merupakan momentum berharga bagi bangsa Arab untuk
bersentuhan langsung dengan peradaban Yunani. Sebagaimana diketahui, kawasan
Timur Tengah, seperti Mesir, Suriah, dan Irak ketika diperintah oleh Iskandar
Agung tak ubahnya seperti zaman peradaban Yunani. Pada masa Ptolemy I, Mesir
-terutama Iskandariah— merupakan kota ilmu dan sains yang menggantikan posisi
Athena. Iskandariah menjelma sebagai pusat bergelutnya pemikiran spekulatif
Yunani dengan berbagai tradisi keagamaan dan mistis Mesir, Pheonisia, dan
Pesia, serta Yahudi dan Kristen.
Hasil utama dari pergulatan tersebut adalah berkibarnya
Neoplatonisme yang dipelopori oleh Plotinus (w. 270) dan murid tersohornya,
Porphyry (w. 303). Neoplatonisme memompa semangat baru filsafat Yunani yang
secara cerdas memadukan aliran-aliran besar dalam pemikiran Yunani klasik,
seperti Platonisme, Aristotelianisme, Pythagoreanisme, dan Stoisisme dalam
wacana keagamaan dan mistis Timur.
Tidak mengherankan apabila filosof Muslim
berhasil menyedot imajinasi para Neoplatonisme. Buktinya, naskah penting
filsafat yang pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Arab adalah parafrase
dari tiga bab terakhir (IV, V dan VI) karya Plotinus, Enneads (Sembilan).
Karya ini dikumpulkan dan disusun oleh Phophyry menjadi enam jilid. Tiap-tiap
jilid terdiri atas sembilan bab, sesuai dengan judul bukunya, yang dalam bahasa
Yunani berarti Sembilan.
Dalam terjemahan bahasa Arab, parafrase itu
diberi judul Athulugia (berarti teologi) atau Kitab al-Rubûbiyyah
(Kitab Ketuhanan). Penerjemahnya, Abd Al-Masîh Ibn Nâ’imah asal Edessa (w.
835), secara keliru menisbahkannya kepada Aristoteles. Meskipun pengarang
aslinya yang diperkirakan berkebangsaan Yunani tak dikenal, opini para
terpelajar masa kini cenderung menganggapnya sebagai karya murid dan editor
Plotinus, Porphyry.
Pembahagian
Filsafat
Dalam upaya memudahkan seseorang mendalami
filsafat, maka langkah pertama yang mesti ia ketahui ialah mengetahui pembahagian filsafat. Langkah ini dilakukan
adalah dalam rangka menentukan posisi seseorang peneliti kajian filsafat.
Adapun pembagian tersebut didasari kepada kepada beberapa pendapat tokoh
sebagai berikut :
Aristoteles
Membagi filsafat kepada empat cabang yaitu :
1. Logika,
yaitu ilmu tentang bagaimana cara berfikir yang benar sehingga sampai pada
kesimpulan yang benar. Hal ini adalah sebagai pengantar seseorang kepada dunia
filsafat.
2. Filsafat
teoriris, yaitu meliputi : fisika membicarakan tentang dunia material,
matematika, membicarakan benda alam ditinjau dari segi jumlah dan metafisika,
mempersoalkan tentang hakikat segala yang ada sebagai awal sejarah lahirnya
filsafat.
3. Filsafat
praktis, meliputi etika, membicarakan bagaimana semestinya tingkah laku
dalam kaitananya dalam memperoleh kebahagiaan, ekonomi, membicarakan
bagaimana semestinya untuk mencapai tingkat kemakmuran, politik, membicarakan
bagaimana semestinya masyarakat dan negara untuk mendapatkan ketentaraman
hidup.
4. Filsafat
Peotika (kesenian), yaitu membicarakan bagaimana semestinya manusia memperoleh
kepuasan dalam hidupnya.
ENSIE (Eerste
Nenerlanse Systematich Ingerichte Encyclopedie)
Sebuah lembaga yang mendalami filsafat di
Belanda, membagi filsafat kepada sembilan bagian yaitu ; 1) metafisika, 2)
logika, 3) filsafat mengenal, 4) filsafat pengetahuan, 5) filsafat alam, 6)
filsafat kebudayaan, 7) etika, 8) estetika dan 9) antropologi.
Al-Farabi
Membagi
filsafat kepada ; filsafat teoritis
dan filsafat praktis.
Memperhatikan pembahagian di atas, para
filosof kontemporer, nampaknya mengikuti langkah yang di anut oleh al-Farabi
yaitu filsafat teoritis meliputi ; logika, metafisika, (ontologi) alam
(cosmologi) dan manusia ( antropologi). Filsafat praktis, meliputi etika,
filsafat agama dan filsafat kebudayaan.
Dengan demikian dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa kajian filsafat, nampaknya secara garis besarnya meliputi
kepada tiga aspek saja yaitu Tuhan, manusia dan alam.
Ruang
Lingkup Filsafat dakwah
Dalam kenyataan yang ditemui bahwa filsafat
dakwah itu memiliki corak tersendiri serta merangkumi berbagai macam problem
yang khas sehingga ia akan memberikan sumbangan yang tidak sedikit bagi
pemikiran kemanusiaan. Adapun ruang lingkup filsafat dakwah tidak jauh bedanya
dengan filsafat Islam, yaitu objek formal dan objek material.
Bahwa objek material dari filsafat adalah ada
dan mungkin ada. Samakah objek filsafat dengan objek segala dan keseluruhan
ilmu atau dapatkah dikatakan bahwa filsafat itu keseluruhan dari segala ilmu
yang menyelidiki segala sesuatunya juga ?
Dapat dikatakan memang, bahwa objek filsafat
yang dimaksud objek materialnya sama dengan objek material dari ilmu
seluruhnya. Akan tetapi filsafat tetap filsafat dan bukanlah merupakan kumpulan
atau keseluruhan ilmu. Atas dasar apakah sekarang ada perbedaan ilmu dan
filsafat ? Yang menentukan perbedaan ilmu satu dengan yang lainnya ialah objek
formal. Adakah sekarang pendapat lain yang terutama menjadi sudut pandangan
filsafat ? Ilmu mengatakan sendiri bahwa ia membatasi diri, ia berhenti pada
dan berdasarkan atas pengalaman sedangkan filsafat tidak membatasi diri, ia
hendak mencari keterangan sedalam-dalamnya. Di situlah terletaknya sudut
pandangan yang khusus dari filsafat. Maka dengan istilah di atas harus kami
katakan, objek formal filsafat adalah
mencari keterangan yang sedalam-dalamnya.
Keterangan di atas menjelaskan bahwa letak
perbedaan ilmu dan filsafat adalah pada objek formal. Objek formal adalah
kelanjutan dari objek material, keterangan yang ingin dicari adalah keterangan
yang sedalam-dalamnya dan secara terperinci terhadap sesuatu hal meskipun sudah
tidak dapat diraba dengan panca indera.
Dengan demikian dapatlah diketahui bahwa
filsafat bertemu dengan ilmu dalam objek material tetapi memisahkan diri dengan
ilmu dalam objek formal. Atau dengan kata lain bahwa ilmu dan filsafat itu
ditugaskan untuk mencari keterangan akan tetapi keterangan yang diperoleh oleh
ilmu adalah terbatas, lain halnya dengan filsafat yang akan menyambung kembali
tugas ilmu yang terhenti.
Begitu juga dengan filsafat dakwah di mana
ruang lingkup atau pembahasan yang terdapat di dalamnya meliputi segala hakikat
sesuatu. Al-Farabi membagi lapangan filsafat itu kepada dua bagian :
Bagian yang pertama ialah al-falsafah
al-nazhariyyah (falsafah teori) yaitu mengetahui sesuatu yang ada, di mana
seseorang tidak dapat (tidak perlu) mewujudkannya dalam perbuatan. Bagian ini
meliputi ‘ilm al-ta’lîm (matematik), al-‘ilm-al-tabî’i (ilmu
fisika) dan ‘ilm ma ba’da al-tabî’iyyât (metafisika). Masing-masing dari
ilmu tersebut mempunyai bagian-bagian lagi hanya perlu diketahui saja.
Bagian kedua ialah al-falsafah
al-‘amaliyah (falsafah amalan) yaitu mengetahui sesuatu yang seharusnya diwujudkan
dalam perbuatan dan yang menimbulkan kekuatan untuk mengerjakan bagian-bagian
yang baik. Bagian amalan ini adakalanya berhubungan dengan perbuatan-perbuatan
baik yang seharusnya dikerjakan oleh tiap-tiap orang yaitu yang dinamakan ilmu
akhlak (etika), adakalanya berhubungan
dengan perbuatan-perbuatan baik yang seharusnya dikerjakan oleh penduduk
negeri yaitu yang disebut al-falsafah al-madaniyyah (filsafat politik). [22] Dalam hal ini
falsafat dakwah tidak hanya bergerak pada aspek nazhariyah saja, akan tetapi
meliputi al-amaliyah.
Pembagian lapangan filsafat sebagaimana yang
dikemukakan oleh al-Farabi di atas sebenarnya baru meliputi problem-problem
besar dari filsafat, jika dilihat secara garis besar pemikiran manusia ditinjau
dari permasalahan yang dibahas dapat disimpulkan dalam tiga bagian :
1. Pembagian
tentang hakikat wujud (universal) termasuk di dalamnya diri manusia sendiri
dari mana asalnya, bagaimana proses kejadiannya dan bagaimana akhirnya serta
apa tujuannya. Pembahasan dalam bidang ini dikenal dengan nama onthology.
2. Pembahasan
yang menyangkut tentang pengetahuan manusia dari mana sumbernya, sejauh mana
kemampuannya serta alat apa yang digunakannya untuk mengetahui sesuatu.
Pembagian di bidang ini dikenal dengan nama Epistimology.
3. Pembahasan
tentang norma-norma yang dipakai untuk mengukur benar atau salahnya fikiran
manusia, baik atau buruknya tingkah laku seseorang serta baik atau buruknya.
Pembahasan di bidang ini dikenal dengan nama Axiology. [23]
Pembahasan di bidang ontology sebenarnya
telah dimulai oleh pemikir Yunani Kuno seperti Thales, Aximander, Aximenes,
Democritos dan pemikir-pemikir yang hidup dalam abad ke-6, ke-5 dan ke-4
sebelum Masehi. Puncak dari pembahasan di bidang ontology ini terjadi
pada abad ke-4 dan ke-3 sebelum Masehi di tangan dua orang pemikir Yunani yaitu
Plato dan Aristoteles.
Berlainan dengan Thales serta filosof fisika
lainnya maka Plato dan Aristoteles telah sampai kepada filsafat metafiska yang
merupakan puncak dari filsafat ontology. Aristoteles dengan hasil analisanya
sampai kepada kesimpulan bahwa alam qadim dan kemudian pendapatnya ini dibantah
oleh filosof Islam al-Kindi. [24]
Begitu pula dengan kajian ontology Plato
bermuara kepada filsafat idea yang sukar dan susah untuk difahami. Walaupun
teori Plato telah diperjelaskan oleh Plotinus (204-270 M) dan Noe
Platonisme-nya akan tetapi penjelasan secara jelas baru dilakukan oleh filosof
Islam al-Farabi dan Ibn Sina dengan teori emanasinya masing-masing.
Pengkajian di bidang ontology memang masih
belum berakhir bahkan sampai kepada zaman modern. Konsepsi asal usul alam dari
materi sebagaimana yang dirumuskan oleh para filosof Islam pertama, timbul
kembali pada abad kesembilan belas yang dipelopori oleh Charles Darwin
(1809-1896 M.) dengan menggunakan pendekatan ‘biology anthropology’
yang didasarkan dengan ‘natural selection’ dan ‘struggle for Life’
ia mengemukakan teori evolusi dalam bukunya yang berjudul “On The Origin of
Species by Means of Natural Selection”.[25]
Teori evolusi Darwin ini mengguncangkan dunia
ilmu pengetahuan dan kalangan Gereja. Pada saat itu pulalah filosof Islam
Jamaluddin al-Afghany mengumandangkan tantangannya terhadap teori evolusi
Darwin dengan bukunya yang berjudul al-Radd ‘alâ al-Dahriyîn (Tantangan
terhadap Kaum Materialis).
Menurut Jamaluddin, alam ini berjalan dan beredar sesuai dengan hukum
alam yang telah diciptakan Tuhan, namun demikian ia pun yakin bahwa wujud
semuanya tergantung kepada Sebab Pertama (Tuhan). Jika sesuatu yang terputus
hubungannya dengan Sebab Pertama itu, maka wujudnya akan lenyap.[26]
Selanjutnya pengajian di bidang epistemologi
dimulai oleh Permenides lebih kurang 540 tahun sebelum Masehi, ia mengakui
eksistensi dan urgensi akan dan alat inderawi sebagai sumber pengetahuan,
tetapi teorinya ini dipatahkan oleh Protagoras lebih kurang 480 tahun sebelum
Masehi yaitu tokoh retorika dan dialektika, menurutnya; “Manusia adalah ukuran
untuk segala-galanya. Tidak ada sesuatupun yang benar, yang baik, yang bagus
dalam dirinya”. [27]
Protagoras tidak mau mengakui adanya kebenaran
yang absolut, kebenaran itu katanya tergantung kepada orang yang mengatakannya
bila ia mampu mempertahankannya maka benarlah ia walaupun orang lain
menganggapnya salah, berarti bagi Protagoras kebenaran menjadi suatu yang
relatif.
Akhirnya Socrates-lah yang berhasil
mengembalikan kepercayaan orang kepada akal dan inderawi sebagai sumber
pengetahuan dan sebagai alat untuk mengetahui sesuatu, dan dia pulalah yang
mengajak orang untuk mengkaji dan memikirkan alam raya dan benda-benda angkasa,
sehingga ia dikatakan filosof pertama yang menuntun filsafat dari langit ke
bumi.
Kalau diteliti perkembangan kajian teori
epistimologi semenjak Permenides,
Protagoras, Socrates sampai Plato dan filosof-filosof yang lain sesudahnya,
kesemuanya mereka itu hanya sampai kepada akal dan alat indera sebagai sumber
pengetahuan manusia. Ternyata kemudian hanya filosof Islam al-Kindi-lah yang
menemukan sumber ketiga dari ilmu pengetahuan yang dinamakan dengan isyraqi
(akan dijelaskan dalam bab IV tentang argumen epistemologis), yaitu sumber
pengetahuan yang datangnya dari luar bukan dari dalam diri manusia yang disebut
wahyu.
Kajian tentang filsafat norma atau axiology
yang bersangkutan dengan logika untuk mengukur benar atau salahnya fikiran
seseorang, etika untuk mengukur baik atau tidaknya tingkah laku atau perbuatan
seseorang dan estetika untuk mengukur baik atau tidaknya sesuatu yang dinilai
melalui pengalaman penilai karena pengalaman estetika tergolong dalam tingkat
persepsi pengalaman manusia.
Aristoteles adalah orang pertama yang
merumuskan logika mantik sebagai alat pengukur benar atau salahnya cara
berfikir dan fikiran seseorang dalam bukunya yang berjudul Organum.
Logika atau mantik Aristoteles ini disempurnakan kemudian oleh Epecurus (340
SM), pada masa Khalifah al-Makmun, Ibn al-Muqaffa` (w. 757 M) menerjemahkan
mantik Aristoteles ini ke dalam bahasa Arab akan tetapi masih susah untuk
mamahami, akhirnya tampil al-Farabi memberikan penafsirannya.
Dari tiga permasalahan besar yang ada dalam
pembahasan filsafat dakwah kelihatanlah di sana bahwa filosof-filosof tidak
ketinggalan untuk ikut serta membicarakannya akan tetapi sebenarnya lapangan
filsafat dakwah tidaklah hanya terbatas pada ketiga permasalahan itu. Bahkan di
kalangan filosof-filosof Islam lain, filsafat meliputi kedokteran, biologi,
kimia, musik dan falak, yang kesemuanya tidak lain adalah cabang-cabang
filsafat. Justru itu tidaklah heran kalau filsafat memasuki ilmu keislaman yang
lain seperti ilmu kalam, tasawuf, usul fiqh serta tarikh tasyri’ dan dakwah.
Dengan demikian ruang lingkup pembahasan
filsafat dakwah itu sebenarnya dapat dirangkum dalam tiga kategori, yaitu
ontologi, yaitu pembahasan tentang hakikat wujud (universal), termasuk di
dalamnya kajian terhadap asal manusia, proses kejadian, dan tujuan akhir dari
kehidupannya; epistemologi, yaitu kajian terhadap sumber pengetahuan serta alat
yang dipergunakan untuk memperoleh pengetahuan itu; dan aksiologi, yaitu pembahasan tentang
norma-norma yang dipakai untuk mengukur benar dan salahnya pikiran dan tingkah
laku seseorang. Tiga kategori ini pada
akhirnya memasuki hampir keseluruhan keilmuan Islam seperti yang telah
disebutkan di atas.
Manfaat
mempelajari filsafat
Secara garis besar mempelajari filsafat akan
membawa manfaat kepada tempat aspek besar yaitu :
a. Filsafat
dapat memberikan manfaat dalam pemahaman keseluruhan (universal) tentang suatu
wujud yang maujud dan dapat menetapkan suatu konsep kebenaran terhadap wujud tersebut. Artinya
suatu pemikiran akan dikatakan benar manakala didasari kepada pemikiran yang
mendalam dan mendasar, sehingga membawa manusia bertindak secara bijak.
b. Memberi
manfaat dalam menentukan suatu kebijaksanaan, sehingga dalam mengfambil
tindakan tidak hanya asal-asalan dengan terlebih dahulu meragukan suatu konsep
sebelum menemukan jawaban yang cukup untuyk kebenaran konsep tersebut.
c. Filsafat
dapat memberikan kepuasan fikiran bagi seseorang dalam menghadapi berbagai
problematika kehidupan yang penuh persoalan, baik yang sedang, ataupun yang
akan datang.
d. Khusus
bagi bagi kalangan ilmuan agama, filsafat dapat mendukung terhadap keyakinan
yang diperpegangi, baik yang bersifat kongkrit, maupun yang bersifat abstrak,
jika selama ini hanya diterima secara mutlak dari nash, maka pada gilirannya
filsafat akan dapat menggiring merumuskan fikiran kepada argumen rasional,
sehingga bila berfikir dengan rasional, maka siapapun akan menerimanya pula
secara rasional. Dengan demikian muncul berbagai kajian filsafat dalam ilmu
keislaman seperti filsafat agama, yaitu mengkaji agama secara mendalam dan
mendasar, filsafat hukum, mengkaji persoalan hukum secara mendasar, filsafat
pendidikan, filsafat dakwah, yaitu mengkaji dan mendalami aspek-aspek dakwah
yang selalu mengintari kehidupan manusia setiap hari, dan lain sebagainya,
sehingga dengan mempelajarinya filsafat, manusia akan sadar tentang otoritas
dirinya sebagai suatu yang dinamis. Sebaliknya bila sseseorang tidak
mempelajarinya, maka kehidupan ini akan terasa sekali sebagai suatu yang statis
dan kaku pula.
Filsafat
Dakwah
Kalau digabung kata filsafat dengan kata
dakwah, maka menjadi kata majemuk “Filsafat Dakwah”, bisa disebut hikmah
dakwah, kebenaran dakwah. Bila memperhatikan kedua akar kata di atas, yaitu
filsafat dan dakwah, maka sesuatu dapat dikatakan sebagai filsafat, manakala
terlebih dahulu mengetahui karakteristik dari filsafat tersebut. Dalam hal ini
dapat dirumuskan kepada empat bidang yaitu :
1. Skeptis,
yaitu sifat keragu-raguan terhadap suatu kebenaran sebelum memperoleh
argumentasi yang kuat dan lengkap yang akhirnya akan membawa kepada suatu
keyakinan. Misalnya kita akan bertanya, kenapa dakwah Islam dari Nabi Muhammad
Saw sampai sekarang masih belum dirasakan oleh semua orang manfaatnya. Di mana
letak masalahnya, materi, metode, media atau da’ikah yang belum belum memahami
ajaran Islam secara baik dan benar ?. Sikap skeptis ini dapat dikelompokkan
kepada tiga bagian, pertama bersifat gradusi (naik) dari ragu-ragu kepada
yakin, kedua bersifat degradasi (menurun) dari yakin kepada ragu dan ketiga
bersifat bertahan, yaitu selalu dalam keadaan keraguan. Sifat keraguan yang
dimaksudkan dalam hal ini bukan meragukan ajaran agama (Islam), melainkan
meragukan kemampuan manusia dalam memahami ajaran agama dalam menetapkan porsi
kebenaran tersebut kepada manusia. Dengan kata lain bahwa kebenaran yang datang
melalui wahyu tidak diragukan, akan tetapi yang diragukan adalah kemampuan
seseorang memperoleh kebenaran dari wahyu tersebut.
2. Komunalisme,
yaitu bahwa hasil pemikiran filsafat adalah milik semua masyarakat umum, tanpa
memandang kelas ekonomi, kaya, miskin ilmuan atau bukan, berkeyakinan atau
tidak, akan dapat diterima oleh semua unsur. Misalnya ajaran al-Qur’an bukan hanya dapat
dipraktekan oleh orang Islam saja, barangkali sangat boleh jadi akan dapat
direalisasikan oleh semua orang tanpa membedakan dari mana asalnya. Contoh yang
lebih kongkrit adalah filsafat Yunani. Filsafat ini bukan hanya dapat dipahami
oleh ilmuanYunani saja, akan tetapi juga oleh berbagai kalangan agama-agama di
dunia ini.
3. Disintrestednes,
yaitu suatu aktifitas tanpa diikat oleh suatu kepentingan khusus, akan tetapi
berfikir bebas sesuai apa adanya, bukan bagaimana semestinya. Sehingga para
failosuf di uji dalam upaya menjelaskan isi dunia, jika mungkin mampu merubah
dunia. Bila dikaitkan dengan dakwah Islam mampu merubah pandangan dunia untuk
menjadikan Islam sebagai way of life. Ini artinya bukan berada pada
status quo, melainkan mampu menjelaskan dan merubahnya kepada kondisi yang
ideal.
4. Universalisme,
yaitu befilsafat adalah hak seluruh umat manusia. Perbedaan dengan komunalisme
adalah terletak pada materinya, jika komunalisme mengandung makna bahwa materi
temua filsafat menjadi milik seluruh umat manusia, maka universalisme lebih
menekankan kepada hak, yaitu semua umat manusia berhak berfilsafat.
Memperhatikan karakteristik di atas, maka
filsafat dakwah mampu berargumentasi bahwa ajaran Islam yang disampaikan bukan
hanya dirasakan oleh umat Islam semata, akan tetapi dirasakan oleh semua orang
di mana dan kapan saja. Karena ajaran Islam adalah Rahmatan li al-’alamin.
Dalam keterangan lain, dapat dikatakan, bahwa
filsafat dakwah, ialah membahas faktor-faktor dan dasar-dasar dakwah Islam
secara analitis, kritis, dengan tujuan untuk menyatakan kebenaran Islam, atau
setidak-tidaknya untuk menjelaskan bahwa ajaran Islam itu tidak bertentangan
dengan logika, sehingga orang mudah tertarik
serta bersedia mengamalkannya.
Dengan demikian filsafat dakwah ialah suatu
pengetahuan yang mengkaji dakwah dan penyampaian mengenai Islam di dalam acuan
filsafat kosmos, ketuhanan, manusia, penciptaan, sosial, akhlak, dan
sebagainya, yang telah terdapat dasar-dasarnya di dalam sumber dakwah itu
sendiri.
Tujuan
Dakwah, Ilmu Dakwah dan Filsafat Dakwah
Tujuan dakwah sebagai komunikasi adalah
memberi informasi tentang agama Islam. Tujuan ini bukanlah tujuan final.
Perkembangan antara tabligh dan dakwah tidaklah berakhir dengan wafatnya Nabi
Saw. Tabligh dan dakwah itu berlangsung terus selama masih berdiri langit dan
bumi, bertujuan agar semua orang memperoleh pengetahuan tentang agama Islam dan
mengerti tentang Islam. Sebagai bukti
mengerti tidaknya umat ini dengan Islam adalah akan terlihat mereka melakukan
kebaikan dan meninggalkan perbuatan tercela. Tidak hanya sebatas itu akan tetapi kebaikan itu segaligus juga akan
mengimbas kepada keluarga dan masyarakat. Untuk hal ini diperlukan dakwah yang
tidak ada henti-hentinya. Hal ini dilakukan oleh para ulama dan ilmuan sesuai
dengan kemampuannya. Inilah tujuan pada tahap kewajiban memberi informasi dan
kewajiban menyampaikan. [28]
Adapun tujuan final dari dakwah itu untuk
mencapai keselamatan dan kesentosaan manusia di dunia ini dan di akhirat nanti.
Maksudnya ialah memperoleh kebahagiaan di dalam kehidupan ini dan kehidupan
lain dalam dunia yang kekal dan abadi, sesudah kehidupan di dunia ini.
Tujuan dakwah tidak identik dengan tujuan
ilmu dakwah. Bilamana tujuan dakwah untuk menyampaikan informasi tentang agama
Islam dan memperkenalkannya kepada semua umat manusia, maka ilmu dakwah
bertujuan melihat alternatif-alternatif yang lebih berdaya guna dalam
menyebarkan informasi tersebut. Ilmu berguna untuk mengetahui dan menyediakan
jalan, cara-cara untuk pelaksanaan alternatif itu. Dengan kata lain ilmu dakwah
mempersoalkan metode dan sistem yang terlibat dalam penelitian tentang proses
dakwah serta dalam hal penerapannya dalam kehidupan manusia.
Sedangkan tujuan filsafat
dakwah adalah dapat memberikan pemahaman yang bersifat universal tentang suatu
unit ajaran Islam secara mendalam, mendasar dan radikal sampai keakar-akarnya,
sehingga akhirnya dapat membawa kepada kebenaran yang hakiki. Kebenaran hakiki
tersebut terimplementasikan dalam sikap kesehariannya sebagai seorang Islam.
Lebih jauh bertujuan memberikan kepuasan bagi seseorang yang sekaligus dapat
membawa seseorang kepada kebahagiaan jiwa yang amat berharga. Juga mengantarkan
seseorang sampai kepada kepercayaan keagamaan yang benar, yang kalau sebelumnya
hanya diterima secara dokmatis dan absolut, maka pada akhirnya bukan hanya
mitologis semata, tetapi juga diterima melalui kerangka fikiran yang rasional
dan juga akan memberi arti penting dalam menyadari otoritas dirinya sebagai
makhluk yang berdimensi dalam memahami diri dan miliunya.
[1]C.A.
Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, terj. Hasan Basri,
Yayasan Obar Indonesia, Jakarta, 1989, h. 77, lihat, Sayyed Hossein Nasr, On
The Teaching of Philosopy in The Muslim Word, dalam Ham Dârd Islamicus,
Vol. IV No. 2, h. 61 Poedjawijatna, Pembimbing Ke Arah Filsafat, PT
Pembangunan, Jakarta, 1980, h. 1
[4]Harun
Nasution, Filsafat Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1973 h.2
[6]Muhammad
Rasyid Ridha, Tafsîr Al-Qur’an Al-Hakim (Tafsîr Al-Manar II), Dâr al-Ma’arif, tt ,Beirut, h. 74
[7]Oemar Amir
Hoesin, Filsafat Islam, Bulan Bintang,Jakarta, 1975, h. 14. Juga Aboe
Bakar Atjeh, Sejarah Filsafat Islam, Ramadhani, Semarang, 1970, h. 6
[8]Bathrus
al-Bustani, Qathar al-Muhith I, Maktabat Lebanon, Beirut, tt. H. 1411
[9]Abu Qasim
al-Husein bin Muhammad al-Ashfahani, al-Mu’jam fi Gharib al-Qur’ân,
Musthafa al-Babi al-Halabi, Mesir, 1961, h. 341
[10]Husein
Yusuf Musa dan Abdul al-Fatah al-Sha’dy,
al-Ifshah fi al-Lughat, Dâr al-Fikr, Kairo, tt.
H. 140
[12]Muhammad
Husein al-Thaba’thabai, Al-Mizan fîTafsîr al-Qur’ân, jilid
XVII, Dâr al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1397, h. 112
[13]Titus,
Smith, Nolan, Persoalan-persoalan filsafat, Bulan bintang, Jakarta,
1984.h.11
[14]Mediterrania Sea
adalah rute perdagangan terbesar di dunia sejak zaman dahulu. Hampir semua
peradaban dunia, termasuk Mesir, Yunani, Pheonicia (Suriah, Lebanon, dan
Palestina sekarang), dan Roma berkembang di tepiannya. Samudera Mediterania
dikelilingi oleh Eropa bagian utara, Asia di bagian Timur, dan Afrika di bagian
Selatan.
[15]Majid Fakhry, A Short Introduction to Islamic Philoshopy,
Theology and Mysticism, terj. Zaimul Am, (Bandung: Mizan, 2001), h. 1
[16]Aegean adalah
sebuah teluk yang berada di Samudera Mediterania. Di bagian barat dan utaranya
terdapat tanah Yunani, bagian timurnya terdapat Turki, dan bagian selatannya terdapat pulau Kreta.
[17]Iskandariyah adalah
sebuah kota di pantai utara Mesir dan berhubungan langsung dengan Laut
Mediterania. Kota ini berjarak sekitar 200 Km dari jantung negeri Mesir.
[18]Justianus I
(482-565 M) adalah Kaisar Bizantium
sejak 527 M hingga wafatnya. Ia terkenal dengan membuat undang-undang yang
disebut Corpus Juris Civilis (Badan Hukum Sipil) atau Kode Justinian (Justinian
Code). Di antara butir Kode Justinian adalah pelarangan hidupnya aliran
paganisme.
[19]Madjid Fakhry, op.cit., h. 2; juga al-Ahwâni, op.cit.,
h. 30. Sedangkan K. Bertens menyebut bahwa pengusiran para filosof itu
terjadi di Edessa. Lihat K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (terj.), (Yogyakarta:
Kanisius, 1976), h. 17
[20]Hellenik, kata
sifat dari Hellene yang berarti semua pemikiran, kesenian, kesusastraan,
kebudayaan yang menyangkut Yunani.
[21]Majid Fakhry, loc.cit., h. 2
[22]Ahmad Hanafi, op. cit., h. 7
[23]Fauzan MA., Majalah
Ilmiah Turats, (Padang: IAIN Imam Bonjol Press, 1990), h. 19
[26]H.A.R. Gibb, Modern Trend in Islam, (New York: Octagon
Books, 1978), h. 58
[27]K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1986), h.11
[28]Lihat, A.
Hasyimi, Dustur Dakwah Menurut Al-Qur’an, Bulan Bintang, 1974, Jakarta,
Lihat, M. Arifin, Psikologi Dakwah Suatu Pengantar Studi, Bulan Bintang,
Jakarta 1977
0 Comment