Bagian Pertama
Dakwah
Islamiyah
Dakwah Dalam
al-Qur’an
Kata dakwah telah
menjadi salah satu kosa kata bahasa Indonesia, yang berarti mengajak (menyeru)
untuk mempelajari dan mengamalkan ajaran Islam.[1] Dalam bahasa Arab berakar kata dengan huruf د, ع, و (dal, ‘ain dan waw) yang berarti dasar kecenderungan
sesuatu disebabkan suara dan kata-kata.[2] Dari akar kata ini terangkai menjadi asal kata da’a-yad’u-da’watan,
(fiil naqish) berarti “menyeru, memanggil, mengajak, dan menjamu”,[3] atau kata da’a-yad’u-du’aan, dakwahu, berarti “menyeru akan dia.
Kemudian dari kata al-da’i, jamak da’atun,
mu’anasnya da’iyatun, jamak da’iyatun, berarti orang yang mengajak manusia ke agama dan kepada mazhabnya.[4] Oleh karena asal kata itu dalam berbagai bentuknya (fi’il dan isim), terulang dalam al-Qur’an sebanyak 211 kali,[5] dengan rincian dalam bentuk mashdar 10 kali, fi’il madhi 30 kali, fi’il mudhari’ 112 kali, isim fa’il 7 kali dan yang seakar dengan kata du’a 20 kali. Uraian di atas dapat dilihat sebagai berikut: Kata dakwah dan da’wa dalam bentuk mashdar diulang 10 kali dalam al-Qur’an. Hal ini ditemukan dalam surat al-Baqarah: 186, al-A’raf: 5, Yunus: 10 dan 89, al-Ra’d: 14, Ibrahim: 44, al-Anbiya’: 15, dan surat al-Rum: 25, Ghafir (al-Mukmin), 43.[6] Sedangkan dalam bentuk sighat fi’il madhi diulang 30 kali. Antara lain dalam surat al-Baqarah: 186, Ali Imran: 38, al-Anfal: 24, Yunus: 12, al-Rum: 25, al-Zumar: 8 dan 49, Fushshilat: 33, al-Dukhan: 22, al-Qamar: 10 dan lain-lain.
mu’anasnya da’iyatun, jamak da’iyatun, berarti orang yang mengajak manusia ke agama dan kepada mazhabnya.[4] Oleh karena asal kata itu dalam berbagai bentuknya (fi’il dan isim), terulang dalam al-Qur’an sebanyak 211 kali,[5] dengan rincian dalam bentuk mashdar 10 kali, fi’il madhi 30 kali, fi’il mudhari’ 112 kali, isim fa’il 7 kali dan yang seakar dengan kata du’a 20 kali. Uraian di atas dapat dilihat sebagai berikut: Kata dakwah dan da’wa dalam bentuk mashdar diulang 10 kali dalam al-Qur’an. Hal ini ditemukan dalam surat al-Baqarah: 186, al-A’raf: 5, Yunus: 10 dan 89, al-Ra’d: 14, Ibrahim: 44, al-Anbiya’: 15, dan surat al-Rum: 25, Ghafir (al-Mukmin), 43.[6] Sedangkan dalam bentuk sighat fi’il madhi diulang 30 kali. Antara lain dalam surat al-Baqarah: 186, Ali Imran: 38, al-Anfal: 24, Yunus: 12, al-Rum: 25, al-Zumar: 8 dan 49, Fushshilat: 33, al-Dukhan: 22, al-Qamar: 10 dan lain-lain.
Dalam bentuk fi’il
mudhari’ diulang sebanyak 112 kali. Antara lain dalam surat al-Baqarah:
221, Ali Imran: 104, al-Nisa’: 117 (dua kali), al-An’am: 52 dan 108, Yunus: 66,
Hud: 101, al-Ra’d: 14, al-Nahl: 20, al-Isra’: 67, al-Kahfi: 28, al-Hajj: 62,
al-Furqan: 68, al-Qashash: 41, al-Ankabut: 42 dan lain-lain. Dalam bentuk fi’il
amar diulang sebanyak 32 kali. Antara lain dalam surat al-Baqarah: 61, 68
dan 70, al-A’raf: 134, al-Nahl: 125, al-Hajj: 67, al-Qashash: 87, al-Syura: 15,
al-Zukhruf: 49 dan lain-lain. Dalam bentuk itsim fa’il diulang 7 kali,
yaitu dalam surat al-Baqarah: 186, Thaha: 108, al-Ahzab: 46, al-Ahqaf: 31 dan
32 serta al-Qamar: 6 dan 7.
Kata du’a yang
juga dalam bentuk mashdar dan seakar dengan kata dakwah diulang 20 kali.
Antara lain dalam surat al-Baqarah: 171, Ali Imran: 38, al-Ra’d: 14, Ibrahim:
39, Maryam: 48, al-Anbiya’: 45, al-Nur: 63 (dua kali), al-Naml: 80, al-Rum: 52,
Ghafir (al-Mu’min): 50, Fushshilat: 49, 51 dan lain-lain.
Berdasarkan
penelitian terhadap ayat-ayat di atas ternyata tidak semua bentuk kata dakwah
berarti mengajak atau menyeru orang kepada kebaikan dan melarang dari
kemungkaran. Bahkan ayat yang jelas-jelas mencantumkan kata dakwah seperti
dalam surat al-Baqarah: 186, Yunus: 10, al-Ra’d: 14, Ibrahim: 44, al-Anbiya’:
15, al-Rum: 25 ternyata tidak berkonotasi dakwah seperti yang dipahami mengajak orang lain kepada agama
Islam, akan tetapi ayat-ayat tersebut mengandung arti do’a dan permohonan.
Di antara ayat yang berkonotasi dakwah
sesuai dengan yang dijelaskan pada awal tulisan ini ialah dalam surat Ali
Imran: 103, yaitu :
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ
وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ
الْمُفْلِحُونَ ( ال عمران : 103 )
Artinya : Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan
mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.
Ayat ini
menganjurkan agar ada di kalangan umat ini orang yang mengajak kepada kebaikan,
melakukan amar ma’ruf, nahi munkar. Dalam surat al-Nahl 125 Allah memerintahkan
Nabi (termasuk umatnya) untuk melakukan dakwah dengan hikmah, pengajaran yang baik dan berdiskusi dengan
cara yang baik. Menurut Husain al-Thaba’thaba’i dalam Tafsir al-Mizan, yang
ketiga ini merupakan aspek dan metode dakwah yang perlu dilakukan, meskipun
diskusi tidak dipandang sebagai dakwah dalam pengertian khusus. Al-Raghib
al-Asfahani mengartikan hikmah dengan menyampaikan kebenaran berdasarkan ilmu
pengetahuan dan pemikiran rasional (ishabatu al-haqq bi al-’ilmi wa al-’aqli).
Al-Maw’izhah menurut al-Khalil sebagaimana dikutip Thaba’thaba’i berarti
memberi peringatan dengan baik dalam hal-hal yang bisa membuat hati menjadi
lunak. Sedang jidal (diskusi) ialah argumen yang digunakan untuk mematahkan
lawan dalam upaya menemukan kebenaran.
Dari segi bahasa,
kata dakwah memiliki banyak arti, di antaranya (1) al-da’wat ila al-tha’am (memanggil
makan); (2) da’a lahu (berdo’a); dan (3) da’ahu fi ishlah al-din (mengajak
kepada kebaikan agama).[7]
Di dalam
al-Qur’an, kata dakwah dalam bentuk fi’il khususnya dalam bentuk da’a-yad’u-ud’u,
berarti mengajak atau mendorong ke suatu tujuan. Seperti tampak, kata da’a
pertama kali dipakai dalam al-Qur’an dengan arti mengadu (meminta pertolongan
kepada Allah) yang pelakunya adalah Nabi (Nuh).[8] Lalu kata itu berarti memohon pertolongan (kepada Allah) yang pelakunya
adalah manusia (dalam arti umum).[9] Setelah itu, kata da’a berarti menyeru kepada Allah yang
pelakunya adalah kaum Muslimin.[10] Khusus dalam bentuk da’a terulang dalam al-Qur’an sebanyak 5
kali.[11]
Kemudian kata yad’u,
pertama kali dipakai dalam al-Qur’an dengan arti mengajak ke neraka yang
pelakunya adalah setan, seperti disebutkan dalam QS. Fathir: 6;
إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ
أَصْحَابِ السَّعِيرِ ( فاطر : 6)
Artinya:..., Sesungguhnya setan-setan itu hanya
mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.
Lalu kata itu berarti mengajak ke surga
yang pelakunya adalah Allah, seperti disebutkan dalam QS. Yunus: 25;
وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى دَارِ السَّلَامِ
وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
( يونس : 25 )
Artinya : Allah menyeru (manusia) ke Darussalam
(surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus
(Islam).
Bahkan dalam QS. al-Baqarah: 221, kata
yad’u dipakai bersamaan untuk mengajak ke neraka yang pelakunya orang-orang
musyrik dan mengajak ke surga yang pelakunya Allah:
أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو
إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ
لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ ( البقرة : 221 )
Artinya : Mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.
Khusus dalam
bentuk yad’u ini terulang dalam al-Qur’an sebanyak 8 kali.[12] Kata yad’u adalah merupakan bentuk kata dakwah yang pertama kali
dipakai dari semua bentuknya yang ada dalam al-Qur’an dengan arti memanggil
(golongannya) yang pelakunya adalah orang-orang yang melampaui batas karena
merasa dirinya serba kecukupan. Dalam pada itu dipergunakan pula kata nad’u
dengan arti memanggil (sama dengan arti kalimat yad’u) yang pelakunya adalah
Allah.[13] Setelah itu, kata yad’u berarti “penyeru” kepada sesuatu selain
Allah yang pelakunya orang yang mendustakan Nabi dan mengikuti hawa nafsunya.[14] Lalu kata itu berarti berdo’a untuk kejahatan dan untuk kebaikan yang
pelakunya adalah orang yang tergesa-gesa.[15] Sedangkan dalam bentuk tad’u ini (sighat fi’il mudhari’)
terulang dalam al-Qur’an sebanyak 5 kali.[16] Dalam kaitan ini, bentuk kata tad’u (w) pada umumnya berarti
mengajak (menyeru) kepada selain Allah yang pelakunya adalah orang-orang
musyrik dan larangan perbuatan yang demikian itu yang pelakunya adalah Allah. [17]
Adapun kata ) أ د عud’u) pertama kali dipakai dalam al-Qur’an dengan arti memohon atau meminta,
seperti permintaan kaum Nabi Musa untuk memohonkan baginya kepada Allah agar
mereka terlepas dari azab yang menimpanya.[18] Lalu kata itu berarti serulah kepada agama yang pelakunya adalah para
rasul. [19] Kemudian kata itu berarti serulah orang musyrik itu kepada Allah yang
pelakunya adalah nabi Muhammad SAW.[20] Khusus dalam bentuk kata ud’u ini terulang dalam al-Qur’an
sebanyak 10 kali.[21]
Pada sisi lain,
kata dakwah dalam bentuk seperti di atas juga dipergunakan Rasul Allah Saw.
dalam menyebarkan dakwah secara tertulis, yakni dalam bentuk surat yang dikirim
kepada Heraclius, raja Romawi, antara lain berbunyi:[22] saya mengajak tuan memperkenankan panggilan Allah peluklah (Islam)
supaya tuan selamat. Ini menunjukkan pula bahwa, dakwah Rasul Saw. selain
dilaksanakan dengan metode lisan juga dengan tulisan (surat).
Sementara kata
dakwah bentuk ism (da’watan), berarti seruan atau panggilan dan
permohonan atau do’a. Kata ini pertama kali digunakan dalam al-Qur’an dengan
arti seruan yang disertai dengan kata (asal kata da’a) itu juga dalam
bentuk fi’il (tad’unani). Walaupun dalam bentuk pertama ini seruan yang
dilakukan oleh para rasul Allah (orang-orang beriman) itu tidak berkenan kepada
obyeknya.[23] Namun kemudian kata itu berarti panggilan yang juga disertai bentuk
fi’il (da’akum), dan kali ini panggilan akan terwujud karena Allah yang
memanggilnya.[24] Lalu kata itu berarti permohonan digunakan dalam bentuk do’a kepada
Allah dan Dia menjanjikan akan mengabulkannya [25] Juga pada ayat lain, kata itu berarti do’a yang benar-benar akan
dikabulkan-Nya.[26] Khusus dalam bentuk da’watan ini terulang dalam al-Qur’an
sebanyak 4 kali.[27]
Dari uraian di
atas dipahami bahwa dalam bentuk fi’il, kata dakwah menurut al-Qur’an selain
digunakan dalam arti mengajak kepada kebaikan yang subyeknya adalah Allah dan
Rasul-Nya serta orang-orang beriman dan beramal shaleh, juga terkadang dipakai
dalam arti mengajak kepada kejelekan yang subyeknya adalah setan, orang kafir
dan munafik. Sementara dalam bentuk itsm, kata itu berarti seruan dan
permohonan.
Kaitannya dengan
dakwah ini kata-kata tersebut, terutama bila dilihat dari segi penggunaannya dalam
konteks ayat-ayat al-Qur’an, tampak lebih tertuju kepada ajakan (mengajak)
kebaikan, apalagi kalau dilihat pemakaian ayat-ayat dakwah dalam al-Qur’an,
seperti ayat 104 surat Ali Imran
Kalimat يدعو ن dalam ayat ini menurut al-Alusi, mengandung
pengertian ajakan kepada kebaikan; yakni ajakan kepada kepentingan perbaikan
keagamaan (Islam) dan keduniaan. Dalam rangka itu, sehingga kalimat itu
di-’athaf-kan kepadanya kalimat berikutnya.[28]
Kemudian dari segi
istilah, Bahi al-Khuli mengatakan, dakwah adalah memindahkan suatu situasi
manusia kepada situasi yang lebih baik.[29]
Muhammad ‘Abduh (w. 1905 M/1323 H) dalam hal ini mengistilahkan dakwah dengan
ishlah, yaitu memperbaiki keadaan kaum muslimin dan memberi petunjuk kepada
orang-orang kafir untuk memeluk Islam.[30] Dalam pada itu, ‘Ali Mahfuzd mengintrodusir pengertian dakwah yaitu :
Yaitu Mendorong
manusia berbuat kebajikan dan petunjuk, menyuruh mereka berbuat yang ma’ruf dan
melarang yang mungkar agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Sementara Thoha Jahya Omar mendefinisikan dakwah dengan mengajak manusia dengan
cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Allah untuk
kemashlahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat.[32] Sedangkan, Abu Bakar Zakaria mengatakan, dakwah ialah usaha para ulama
dan orang yang memiliki pengetahuan tentang agama (Islam) dengan memberi
pengajaran kepada masyarakat akan hal-hal yang dapat menyadarkan mereka
terhadap urusan keagamaan dan keduniaannya sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki.[33] Lebih jauh Amin Rais mengemukakan
bahwa dakwah adalah setiap usaha
rekontruksi masyarakat yang masih
mengandung unsur-unsur jahili agar menjadi masyarkat yang Islami.[34]
Dari pengertian
dakwah yang telah disebutkan di atas, dapat dipahami bahwa dakwah mengandung
arti:
1.
Memberi tuntunan dan pedoman serta jalan hidup yang harus dilalui dan
dihindari oleh manusia agar mereka mendapat petunjuk dan terhidar dari kesesatan.
2.
Mengubah dan memperbaiki keadaan seseorang atau masyarakat dari yang
tidak baik kepada yang baik, dari
masyarakat jahili menjadi masyarakat
Islami.
3.
Memberikan penghargaan akan sesuatu nilai agama yang didakwahkan itu
sehingga dirasakan oleh seseorang atau masyarakat suatu kebuAllah yang vital
dalam kehidupannya.
Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa dakwah ialah segala aktifitas yang dilakukan oleh mukmin
sesuai kemampuan yang dimilikinya, yang bertujuan menjadikan seluruh umat
manusia beragama Islam dengan baik disertai akhlak yang mulia agar mereka
memperoleh sa’adah masa kini dan masa datang. Dengan begitu, dipahami
pula bahwa dakwah merupakan suatu sistem, maka dalam mengupayakan aktifitas
untuk mencapai sasarannya dengan tepat terkait dengan berbagai komponen dakwah
itu sendiri. Salah satu komponen dakwah yang dinilai sangat vital adalah metode
dakwah dan metode ini yang akan dikaji dalam pembahasan ini secara mendalam.
Dalam kaitannya
dengan pengertian dakwah ini ada beberapa istilah yang hampir sama maknanya
dengan pengertian dakwah, sehingga bisa menimbulkan kesimpang-siuran makna.
Antara lain istilah ta’lim (taklim) mempelajari agama melalui sekolah
atau kursus; irsyad, memberi petunjuk ke jalan yang benar dengan sistem
yang menarik dan menimbulkan perbuatan; wa’dh, peringatan dan nasehat
yang baik dengan sistem yang simpatik; tabligh (tabligh), penyampaian
penerangan agama Islam,[35] dan pidato, melahirkan isi hati atau mengutarakan buah pikiran kepada
orang dengan menggunakan kata-kata.
Tampaknya, istilah tabligh dan pidato keduanya sama-sama berarti
menyampaikan penerangan. Hanya saja pidato bersifat umum, sedang tabligh
biasanya khusus digunakan untuk penerangan agama Islam. Dengan begitu, istilah tabligh
dan pidato, keduanya mempunyai persamaan dengan penerangan atau propaganda
(dalam arti yang baik) yang mengandung unsur, antara lain ide, subyek, media
dan massa (obyek).
Dengan demikian, tampak bahwa dakwah besifat lebih umum dibanding dengan
istilah-istilah tersebut, bahkan istilah-istilah itu merupakan bagian dari
metode dakwah. Namun perlu digaris bawahi bahwa dakwah adalah berintikan
mengajak manusia untuk berbuat kebajikan dan menghindari keburukan dengan
menerapkan seluruh istilah atau media yang ada, dengan tujuan tegaknya agama (Islam)
seluas-luasnya di berbagai tempat dan dianut oleh masyarakat serta dipraktekkan
dalam kehidupan pribadi, golongan dan bangsa. Untuk itu, istilah dakwah yang
bersumber dari al-Qur’an hanyalah dikenal dalam dunia Islam, sedang lembaga
agama lain memakai istilah dengan
propaganda atau penyiaran agama yang dikenal dalam istilah arab dengan di’ayat
(penerangan), bukan dakwah.
Dakwah: Sebuah Diskursus
Dakwah adalah sesuatu yang integral dengan
Islam. Apabila seseorang menyebut kata “dakwah,” kata itu tidak perlu ditambah
lagi dengan kata “Islam,” sebab yang dimaksudkannya adalah “dakwah Islam.”
Dalam kamus, antara lain, Lisan al-’Arab karya Ibn Manzur Jamal al-Din
Muhammad Ibn Mukarram al-Ansari, ketika memberikan penjelasan tentang arti dari
kata da’a (دعا) hanya dikemukakan dengan dua pengertian
saja, yaitu dengan arti إسـتـغاثـة
(permohonan-do’a)
dan عـبادة
(pengabdian)
kepada Allah Swt.[36]
Dengan demikian tidak ada penjelasan yang khusus dan panjang bahwa makna da’a
atau dakwah itu adalah aktivitas dalam mengajak orang kepada Islam. Terlepas
dari hal itu pemakaian kata “dakwah” dalam masyarakat Islam, terutama di
Indonesia, adalah sesuatu yang tidak asing. Arti dari kata “dakwah” yang
dimaksudkan adalah “seruan” dan “ajakan”. Kalau kata dakwah diberi arti “seruan,”[37]
maka yang dimaksudkan adalah seruan kepada Islam atau seruan Islam. Demikian
juga halnya kalau diberi arti “ajakan,” maka yang dimaksud adalah ajakan kepada
Islam atau ajakan Islam.
Kecuali itu, “Islam” sebagai agama disebut
“agama dakwah,” maksudnya adalah agama yang disebarluaskan dengan cara damai,
tidak lewat kekerasan. Walaupun ada terjadi peperangan dalam sejarah Islam,
baik itu di zaman Nabi Muhammad Saw. masih hidup atau di zaman sahabat dan
sesudahnya, peperangan itu bukanlah dalam rangka menyebarkan atau mendakwahkan
Islam, tetapi dalam rangka mempertahankan diri bagi umat Islam atau melepaskan
masyarakat dari tindasan penguasa yang tirani. Dalam Islam setiap peperangan
memiliki kasus “beli” yang mendahuluinya. Dengan demikian tidak ada peperangan
yang dilakukan umat Islam untuk menyebarkan ajaran Islam. Dalam beberapa kasus
peperangan yang dimenangkan oleh umat Islam di masa Nabi saw. hidup, Nabi
sendiri tidak pernah memaksa penduduk daerah yang ditundukkan atau orang yang
dikalahkan untuk masuk Islam. Hal ini bisa dilihat dalam perjanjian Nabi dengan
orang Yahudi Madinah. Dalam perjanjian itu dijelaskan bahwa Nabi menjamin
kebebasan beragama dan berpendapat.[38]
Dari apa yang dijelaskan di atas dapat
dipahami, sulit memisahkan dakwah dengan Islam karena Islam itu berkembang
lewat dakwah. Sesuatu yang tidak dapat dipungkiri bahwa “dakwah” sebagai
kegiatan menyampaikan ajaran Islam sama tuanya dengan Islam itu sendiri. Hal
ini dapat dibuktikan dengan turunnya perintah kepada Nabi Muhammad Saw. untuk
menyampaikan apa yang datang dari Allah Swt. kepada keluarga terdekat, sesuai
dengan bunyi firman Allah dalam surat al-Syu’ara (26: 214);
وانذرعشيرتك الأقربين
Artinya: Dan
berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.
Dalam perjalanan dakwah Islam lebih lanjut,
di zaman Rasulullah Saw. itu, muncul perintah dari Allah Swt. untuk menyebarkan
dakwah lebih luas, bukan hanya di kalangan terdekat saja, tapi mencakup
masyarakat Quraisy yang berada di kota Makah. Hal ini dipahami dari firman
Allah dalam surat al-Hijr (15:94);
فاصدع بماتؤمر واعرض عن
المشركين
Artinya: Maka
sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan
kepadamu dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.
Dakwah Rasulullah kepada keluarganya saja
disebut dengan dakwah secara sembunyi, tetapi setelah ada perintah untuk
menyebarkan Islam secara lebih luas kepada kaum Quraisy, dakwahnya disebut
dengan dakwah secara terang-terangan. Kalau dibandingkan dengan sebuah program
perencanaan, maka dapat dikatakan bahwa dakwah Rasulullah mengajak keluarga
terdekat adalah dakwah jangka pendek, sedangkan jangka panjangnya adalah
meng-Islam-kan orang musyrik Makah, atau lebih dari itu menyebarkan Islam ke
seluruh Jazirah Arab. Dengan demikian, tahapan-tahapan yang dilaksanakan
Rasulullah dalam melaksanakan dakwah dapat dianalisis dengan ilmu modern
sekarang ini, terutama “ilmu manajemen.” Hal ini untuk dikaji bukanlah sesuatu
yang terlarang karena al-Qur’an sendiri menjelaskan bahwa Rasulullah itu adalah
contoh tauladan yang baik, maka setiap perbuatan beliau dapat dianalisis secara
kritis untuk mengambil pelajaran dari apa yang beliau lakukan, begitu juga
halnya dengan masalah dakwah ini. Sebagai utusan Allah Swt., sesuatu yang perlu
dicatat bahwa Rasulullah tetap di bawah lindungan-Nya. Justru itu analisis yang
bisa dilakukan sebatas perbuatan Rasulullah Saw. yang bisa ditangkap oleh akal
pikiran manusia biasa.
Dakwah, selain dapat dikaji lewat pribadi
Rasulullah Saw., sebagai pembawa risalah, dapat juga dilihat dari al-Qur’an
sebagai sumber dari ajaran Islam. Analisis itu dapat dilakukan dari segi urutan
ayat-ayat al-Qur’an atau pun dari ayat-ayat yang berkaitan dengan perintah
dakwah. Al-Qur’an bukan hanya dapat dijadikan sebagai pedoman dan pesan dakwah
dari aspek isinya, tapi malahan dari asbab al-nuzul dan rangkaian ayat
yang turun, bisa dikaji strategi dakwah secara lebih mendalam. Contoh klasik
yang paling sering disebut dalam masalah ini adalah rangkaian ayat yang
berkaitan turun tentang pengharaman khamr. Dalam surat al-Baqarah (ayat 219) dijelaskan bahwa khamr itu
ada manfaatnya, tapi mudharat dari khamr itu lebih besar dari
manfaatnya. Surat Al-Nisa (ayat 43) menjelaskan bahwa orang yang mabuk tidak
boleh melaksanakan salat sebelum ia sadar terhadap apa yang ia katakan
(lakukan). Sedangkan dalam surat Al-Maidah (ayat 90-1) baru ditegaskan larangan
itu dengan menjelaskan bahwa khamr itu sesuatu yang tidak baik dan
bagian dari perbuatan syetan. Dan khamr itu harus dijauhi karena ia akan
membawa pada permusuhan dan kebrutalan.[39]
Rangkaian ayat di atas sangat rasional
sekali. Pelajaran yang dapat diambil dari segi dakwah ialah bahwa pesan dakwah
yang akan disampaikan tidak bisa sekaligus jadi, tapi harus punya tahap dan
strategi tertentu. Untuk menganalisis masalah ini lebih jauh sering dikaitkan
dengan pesan Rasul kepada Mu’az Ibn Jabal waktu ia akan diutus ke negeri Yaman.
عن ابن عـبـاس رضي الله عـنـهـمـا
ان النـبـي صـلـى الله
عـليـه و سـلـم لـمـا
بعـث مـعاذ بن جـبـل
إلى الـيـمـن قـال: انـك تـأتى قـوما أهـل كـتاب ،
فادعـهم إلى شـهـادة أن لا إلـه
إلا الله وأنـي رسـول الله ، فإن هـم أطاعـوا لذلك، فـأعلمـهم أن الله عـز وجل
افـترض عـليهـم خـمس صـلوات في كل يوم و ليـلة ، فإن هـم أطاعـوا لذلك فـأعلمـهم أن الله تعـالى افـترض عـليهـم صدقـة
في أمـوالـهم ، تؤخذ من أغـنيـائهـم وترد إلى فقرائهـم ، فإن هـم أطاعـوا
لذلك فإياك وكرائـم أموالـهم ، واتق دعـوة
المـظلوم ، فإنـه ليـس بيـنها وبين الله حجـاب
(رواه الجماعة (
Artinya: Kamu akan mendatangi segolongan
Ahli Kitab, bila kamu menjumpai mereka, ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa
tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Bila mereka
menaati itu, beri tahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan mereka lima kali
shalat, sehari semalam. Bila mereka menaati hal itu beri tahukan bahwa Allah
mewajibkan mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka
untuk diserahkan pada orang-orang fakir di antara mereka. Bila mereka telah
menaati hal itu, hendaknya kamu tidak mengganggu harta benda mereka dan takutlah akan do’a orang -orang yang
teraniaya karena antara do’anya dengan Allah tidak ada hijab.[40]
Dari kasus Mu’az di atas itu, dapat dipahami
lagi bahwa suatu pesan dakwah disampaikan tidak bisa sekaligus, tapi ia
mengalami tahap/proses tertentu dan setiap tahap/proses yang dilalui oleh
seorang pelaku dakwah harus dipahami betul kondisi masyarakat yang dihadapinya,
sudah sejauh mana pesan yang disampaikan bisa diserap oleh al-mad’u (penerima
pesan dakwah). Kecuali itu, dari segi menajemen, kegiatan dakwah dapat diukur
sampai di mana keberhasilannya. Atau dapat dikatakan, hadis di atas
mengisyaratkan bahwa dakwah harus dilakukan dengan program dan setiap program
bisa diukur keberhasilannya.
Selain dari itu, yang sering kita pahami
selama ini, ayat al-Qur’an yang diturunkan selama periode Makah adalah
berkaitan dengan masalah tauhid.
Kesimpulan yang sering diambil bahwa dakwah Nabi Muhammad saw. selama periode
Makah memantapkan tauhid umat. Hal itu adalah sesuatu yang tidak perlu
dibantah, tapi sisi lain yang ingin dikemukakan, dengan mengutip pendapat
Djohan Effendi;[41]12
surah yang paling awal turun pada periode Makah dari 48 surah sama sekali tidak
menyinggung penyembahan berhala. Adapun 12 surah yang paling awal itu adalah:
(1) Surah al-’Alaq, (2) Surah al-Muddatstsir, (3) Surah al-Lahab,
(4) Surah al-Quraysy, (5) Surah al-Kautsar, (6) Surah
al-Humazah, (7) Surah al-Ma’un, (8) Surah al-Takatsur,
(9) Surah al-Fil, (10) Surah al-Layli, (11) Surah al-Balad,
dan 12 Surah al-Insyirah. Surah yang ke-13 (Surah al-Dhuha)
turun menurut para ahli ulum
al-Qur’an setelah Nabi Muhammad saw. mengalami masa jeda, di mana wahyu
terhenti beberapa lama. Karena itu ke-12 surah di atas turun atau diwahyukan
kepada Nabi Muhammad saw. pada masa-masa sangat awal dari kenabian, atau dari
sejarah Islam.
Dari 12 surah itu 6 surah di antaranya,
menurut Djohan Effendi lebih lanjut, menyinggung masalah keserakahan terhadap
kekayaan dan ketidakpedulian terhadap orang-orang yang menderita.[42]
Dalam Surah al-Lahab yang turun nomor urutan ke-3 disinggung bahwa,
harta kekayaan dan usaha seseorang sama sekali tidak akan menyelamatkannya dari
hukuman di “Hari Akhirat.” Surah al-Humazah yang turun dalam urutan ke-6
dengan keras mengingatkan akan nasib celaka bagi mereka yang dengan serakah
menumpuk-numpuk kekayaan dan menganggap kekayaannya bisa mengabadikannya. Dalam
Surah al-Ma’un, orang-orang yang tidak memperdulikan penderitaan
anak-anak yatim dan orang-orang miskin dikualifikasikan sebagai orang-orang
yang membohongkan agama. Selanjutnya surat nomor urutan ke-8, Surah
al-Takatsur, memberikan peringatan keras terhadap orang-orang yang asyik
berlomba-lomba dalam kemewahan dan kekayaan. Dalam Surah al-Layli nomor
urutan ke-10, diberikan kabar baik terhadap mereka yang suka memberi dan
sebaliknya kabar buruk bagi mereka yang kikir dan bakhil. Yang terakhir dari 6
Surah yang disebutkan, nomor urutan ke-11, yaitu Surah al-Balad,
menyinggung keengganan manusia memberikan bantuan kepada sesamanya yang hidup
dalam penderitaan dan kesengsaraan. Pesan-pesan al-Qur’an yang diwahyukan
sangat awal dari kenabian sangat jelas dan sama sekali tidak memerlukan
penafsiran. Ia memperlihatkan betapa dalam al-Qur’an masalah-masalah kekayaan,
keserakahan dan ketidakpedulian sosial mempunyai perspektif teologis. Ia tidak
sekadar masalah etik dan moral. Ia menyangkut kebertauhidan kita.
Pesan al-Qur’an pada surah-surah awal yang
diturunkan itu menimbulkan kesan bahwa pesan yang disampaikan sangat erat
kaitannya dengan kepedulian sosial, kemakmuran/kesejahteraan (ekonomi)
masyarakat. Pesan di atas memperlihatkan betapa dalam al-Qur’an masalah
kekayaan, keserakahan dan ketidakpedulian sosial mempunyai perspektif teologis.
Ia tidak sekedar masalah etika dan moral, tetapi langsung menyangkut masalah
kebertauhidan seseorang. Demikian eratnya kaitan antara masalah kekayaan,
keserakan dan kepedulian sosial dengan masalah tauhidan seseorang, maka periode
selanjutnya dalam perjuangan Nabi dalam melaksanakan dakwah, Allah Swt.
menurunkan syari’ah yang berkaitan dengan masalah di atas, seperti masalah
zakat, mu’amalah dan lain sebagainya.
Apabila dikaitkan dengan masalah dakwah bahwa
kepedulian sosial adalah bagian dari pendekatan dalam menyampaikan ajaran Islam
kepada seseorang, misalnya ada kewajibanya bagi seorang Muslim untuk memberikan
zakatnya kepada orang yang baru masuk Islam. Hal ini sesuai dengan firman Allah
Swt. dalam surat al-Taubah ayat 60. Seseorang yang dipedulikan ekonominya, maka
pesan yang disampaikan akan mudah diterima.
Masih berkaitan dengan al-Qur’an, juga
pelajaran dapat diambil dari tafsir
ayat-ayat dakwah yang biasanya diajarkan di Fakultas Dakwah. Di antara
pelajaran yang dapat diambil ialah, dakwah itu adalah tugas kelompok atau tugas
bersama, walaupun secara individu kita wajib berdakwah dalam hal-hal yang
kebaikannya bersifat universal. Masalah ini disimpulkan antara lain dari kata kum
(al-Qur’an 4:104) dan tum (al-Qur’an 4:110).[43]
Dengan demikian al-Qur’an mengharapkan kerjasama (berorganisasi) dalam melaksanakan dakwah dan
karena itu dakwah harus punya manajemen tersendiri. Hal ini bisa dikaji bahwa
Nabi Muhammad saw. berdakwah bukan menghandalkan kekuatan beliau sendiri, tapi
juga kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Dalam sejarah dakwah dapat dikaji lebih
dalam peranan Abu Bakar, misalnya, sebagai orang tua dan cerdik-pandai; peranan
Khadijah sebagai istri dan orang kaya; peranan Umar sebagai seorang pemberani;
peranan Usman sebagai orang kaya, dan peranan Ali sebagai orang muda. Nabi
Muhammad Saw. waktu itu boleh dikatakan sebagai pelaku sekali gus sebagai
manajer dakwah.
Dari gambaran di atas, suatu hal yang tak
dapat terbantahkan ialah: bahwa dakwah adalah suatu kegiatan dalam penyebaran
Islam. Tetapi problem muncul ketika ada kajian kritis apakah dakwah itu sudah
merupakan bagian dari ilmu atau tidak. Paling tidak problem itu dapat dilihat
dari dua sisi; pertama dari segi sejarah munculnya dan perkembangan ilmu-ilmu
yang ada dalam Islam, bahwa ilmu dakwah tidak ada dalam khazanah ilmu-ilmu
Islam klasik, seperti halnya ilmu kalam, filsafat, tasawuf, fikih, hadis.
Sementara itu, kesulitan juga muncul ketika ada pembicaraan siapa “mujtahid”
pertama yang menggagas munculnya “ilmu dakwah”. Kedua, ketika dakwah ditinjau
dari teori keilmuan yang ada atau “filsafat ilmu.” Problem itu muncul waktu
menjelaskan “epistemilogi dakwah.” Kerangka keilmuan “dakwah” tidak jelas,
sehingga Jalaluddin Rakhmat[44]
berkaitan dengan masalah kedua ini memberi komentar; “ilmu dakwah” adalah “Arabisasi
istilah-istilah yang ada dalam ilmu komunikasi.” Dengan tidak jelasnya kerangka
keilmuan “dakwah” maka pendapat tentang “dakwah” sebagai ilmu terpecah menjadi
dua kelompok. Kelompok pertama mengatakan bahwa “Dakwah bukanlah ilmu
pengetahuan dalam pengertian “sains,”[45]
sehingga ia lebih tepat dikatakan sebagai pengetahuan saja atau seni dalam
menyampaikan ajaran Islam. Dengan demikian ia tidak lebih dari alat.[46]
Sementara itu ada kelompok kedua berpendapat bahwa dakwah sudah layak atau
sudah memenuhi syarat-syarat disebut sebagai ilmu pengetahuan, atau paling
tidak sedang berproses untuk mencari metodologi keilmuan seperti layaknya ilmu
pengetahuan lainnya.[47]
Amrullah Achmad mengemukakan beberapa kendala
utama “dakwah” untuk dapat dikatakan sebagi ilmu. Pertama,
“dakwah” belum mempunyai kriteria khusus untuk memisahkannya dari ilmu-ilmu
lain, terutama berkaitan dengan masalah obyek kajian. Kedua,
belum ada sistem untuk mengklasifikasikan masalah-masalah dakwah. Ketiga,
belum ada perangkat teori dakwah. Keempat, belum ada metodologi
penelitian dakwah yang baku. Kelima, belum ada sub-sub ilmu
dakwah karena obyek formal dan materialnya belum jelas. Keenam,
dakwah belum dapat berfungsi secara rasional untuk menjelaskan
kenyataan-kenyataan yang dihadapi.[48]
Departemen Agama di bawah Direkrorat
Pembinaan Perguruan Tinggi sebagai suatu lembaga yang membina IAIN, nota
bene sebagian besar mempunyai fakultas dakwah atau jurusan dakwah, telah
berusaha untuk mendudukkan dakwah sebagai “ilmu”[49]dan
begitu juga untuk merumuskan obyek
formal dan material dari dakwah. Usaha itu terlihat dari penyusunan buku Pengantar
Ilmu Dakwah oleh Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama yang dilaksanakan
bersama IAIN Ar-Raniri Aceh tahun 1984-1985. Dalam buku itu diposisikan dakwah
termasuk ilmu agama menurut ahli agama dan termasuk humaniora menurut para ahli
ilmu humaniora. “Ilmu dakwah” dikatakan sebagai ilmu agama disebabkan ia
membicarakan kepercayaan, norma-norma,
kebajikan, dan nilai-nilai; sedangkan dikatakan sebagai sebagai ilmu humaniora
karena ia dianggap berkaitan dengan sikap dan prilaku yang menghasilkan
kebudayaan. Sebenarnya alasan menempatkan “ilmu dakwah” sebagai ilmu humaniora
dibantah oleh ahli agama, sebab agama bukanlah hasil kebudayaan, tetapi
kebudayaan adalah hasil aktualisasi agama oleh pemeluknya. Malahan dalam buku
itu juga dikatakan dakwah termasuk dalam kelompok ilmu sosial karena ia
membicarakan hubungan antar manusia dalam komunikasi dakwah. Dengan demikian
“Ilmu Dakwah” adalah merupakan gabungan ilmu agama, ilmu sosial dan humaniora.
Hal ini sebenarnya membingungkan karena masing-masing ilmu itu mempunyai obyek
yang jelas. Maka dari itu menurut penulis,
dakwah lebih dekat dikelompokkan kepada ilmu sosial. Sebagai alasan yang
penulis kemukakan dalam hal ini ialah, ketika dalam buku itu (buku Pengantar
Ilmu Dakwah di atas) dijelaskan obyek material dari “ilmu dakwah” bahwa ia
terjebak dalam pendekatan “ilmu komunikasi” atau dengan bahasa lain dapat
dikatakan obyek material dari ilmu dakwah sama dengan komunikasi, yaitu prilaku
manusia yang berhubungan dengan pesan. Komunikasi, dalam perkembangannya yang
cukup pesat, adalah termasuk “ilmu sosial,” walaupun dalam pembahasan obyek
formal dari “ilmu dakwah” adalah pesan keagamaan yang berhubungan dengan akidah,
syariah, mu’amalah dan lain-lain.[50]
Walaupun penulis mengatakan ilmu dakwah lebih
dekat kepada ilmu sosial dengan analogi kepada kepada “ilmu komunikasi,” bukan
berarti perbincangan, silang-pendapat dakwah sebagai ilmu sudah selesai, sebab
banyak agenda yang harus diselesaikan oleh ilmuan-pemikir dakwah untuk
memberikan jawaban terhadap beberapa agenda yang dikemukakan di atas, terutama
berkaitan dengan aspek keilmuan. Dan dalam analisis tulisan ini, penulis sangat
menyadari bahwa “ilmu dakwah” yang ada tidak cukup memadai untuk dijadikan
kerangka. Maka dari itu, dalam analisis tulisan ini penulis memakai ilmu-ilmu
lain sebagai alat analisis, seperti “ilmu antrpologi-sosial, sosiologi agama,
psikologi” dan ilmu ke-Islam-an lainnya. Dengan demikian untuk analisis dakwah
bersifat interdisciplinary. Artinya, dakwah tidak bisa hanya dianalisis
dari satu sudut ilmu saja, tetapi harus ditinjau dari sudut beberapa ilmu.
Sebenarnya, dakwah ditetapkan oleh Departemen
Agama RI dengan nomor Keputusan 110 tahun 1982, sebagai salah satu bidang “Ilmu
Agama Islam’ dari 8 bidang ilmu yang ditetapkan, adalah “kemenangan” secara
politis. Tetapi secara akademis pemikir Islam-Indonesia, pada umumnya, dan
orang yang berkiprah (pemikir-praktisi) dakwah, pada khusus, punya tanggung
jawab secara ilmiah dan moral untuk menjelaskan
bahwa dakwah itu adalah “ilmu.” Dengan bahasa lain dapat dikatakan
orang-orang dakwah (ilmuan-praktisi) dimenangkan secara politik untuk
mengatakan dakwah itu sebagai ilmu, tetapi dari teori keilmuan (epistemologi)
secara utuh “orang-orang dakwah” perlu bekerja keras.
Dari diskursus yang dikemukakan di atas,
terlihat ketika dakwah dikatakan sebagai ilmu masih banyak hal yang memerlukan
penjelasan lebih lanjut, terutama yang berkaitan dengan epistemologi, obyek
material dan formal, pendekatan yang dipakai, sejarah. Tetapi walaupun demikian
dapat dikatakan bahwa dakwah sudah memulai proses untuk menjadi sebuah ilmu
yang diakui dan mandiri.
Definisi Dakwah; Sebuah Analisis
Terlepas dari diskursus, apakah dakwah “ilmu”
atau tidak, dari literatur yang berkaitan dengan dakwah sudah banyak definisi
yang dikemukakan tentang dakwah. Menurut catatan Amrullah Achmad, dalam bahasa Indonesia tidak
kurang dari 50 buku yang telah ditulis tentang dakwah dan lebih dari sepuluh
buku dalam bahasa asing (Inggris atau Arab).[51]
Sebagian besar dari buku tersebut dijadikan literatur wajib oleh Fakultas
Dakwah terhadap mahasiswanya. Sepanjang pengetahuan penulis sebagai rujukan
utama bagi dosen dan mahasiswa Fakultas Dakwah mengutip definisi dakwah dari
buku “Hidayat al-Mursyidin ila Thuruq al-Wa’zi wa al-Khitabat(h)” yang
ditulis oleh Syekh Ali Mahfuz. Adapun definisi dakwah dalam buku tersebut
adalah:
[52]حـث النـاس على
الـخـيـر والهـدى والأمـر بالـمـعـروف والـنهىعن المـنـكرلـيفـوزوا بـسـعادة
الـعاجل والأجـل
Artinya: Penganjuran
manusia kepada kebaikan dan petunjuk, menyuruh (kepada) yang baik dan melarang (dari) yang buruk agar
memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Definisi dakwah yang dikemukakan Syekh Ali
Mahfuz ini menampilkan dakwah sebagai “sebuah kegiatan untuk membawa orang
kepada kebaikan, petunjuk, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang
mungkar,” belum terlihat dari definisi itu apa yang dimaksudkan dengan ilmu
dakwah. Belum terlihatnya apa yang dimaksudkan dengan ilmu dakwah, akibat lebih
lanjut ialah tidak jelas apa yang menjadi obyek dari ilmu ini.
Hal yang sama juga akan terlihat dari
definisi yang dikemukakan oleh Abu Bakar Zakaria;
هى قيام
العلماء والمستنيرين فىالدين بتعليم الجمهور من العامةمـا يـبصـرهـم بــأمــورعـلى
قـدرالـطـاقـة [53]
Artinya: Dakwah adalah bekerjanya para
ulama dan orang-orang yang mempunyai
pengetahuan tentang agama, mengajar orang-orang banyak dari orang umum,
sesuatu yang membukakan mata mereka kepada urusan-urusan agama menurut
kemampuan (yang ada pada ulama dan orang-orang mempunyai pengetahuan tentang
agama).
Definisi ini masih tetap saja memberikan
batasan tentang dakwah sebagai sebuah kegiatan untuk membawa manusia kepada
agama (Islam). Perbedaan dari definisi terdahulu ialah bahwa pada definisi yang
kedua ini lebih dijelaskan pelaku dari dakwah itu; ulama dan orang-orang yang
mempunyai pengetahuan tentang agama. Dalam definisi ini juga belum terlihat apa
yang menjadi definisi “ilmu dakwah” dan obyek dari ilmu dakwah. Berkaitan
dengan hal yang disebutkan terakhir ini tampaknya ada usaha dari Thoha Yahya
Omar, untuk memberikan definisi tentang “ilmu dakwah”. Ia mengemukakan definisi
“Ilmu Dakwah” secara umum ialah; “Suatu ilmu pengetahuan yang berisi cara-cara
dan tuntunan, bagaimana menarik perhatian manusia untuk menganut, menyetujui,
melaksanakan suatu ideologi, pendapat, pekerjaan yang tertentu. Adapun “Ilmu
Dakwah” Islam ia berikan definisi sebagai berikut; “Mengajak manusia dengan
cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan, untuk
kemaslahatan dan kebahagiaan mereka mereka di dunia dan akhirat.[54]
Pada awalnya Toha Yahya Omar, waktu
memberikan definisi “ilmu dakwah” secara umum memberikan harapan untuk
menjelaskan lebih jauh tentang obyek dari “ilmu dakwah.” Tetapi hal itu
nampaknya tidak dia lanjutkan. Masalah ini terlihat ketika ia mendefinisikan
dakwah secara khusus yang tetap saja terjebak pada pengertian dakwah seperti yang
dikemukakan dari dua defisini terdahulu. Dengan definisi khusus ini membuat
kaburnya apa yang menjadi obyek kajian dari “ilmu dakwah”.
Sekali
lagi, Departemen Agama di bawah Direkrorat Pembinaan Perguruan Tinggi sebagai
suatu lembaga yang membina IAIN, nota bene sebagian besar mempunyai
Fakultas Dakwah atau Jurusan Dakwah, ada usaha untuk merumuskan tentang
defisini “Ilmu Dawah”. Usaha itu terlihat juga dari penyusunan buku Pengantar
Ilmu Dakwah oleh Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama yang dilaksanakan
bersama IAIN Ar-Raniri Aceh tahun 1984-1985. Dalam buku itu dijelaskan definisi
“Ilmu Dakwah”: suatu pengetahuan mengenai alternatif-alternatif dan
sarana-sarana yang terbuka bagi terlaksananya komunikasi, mengajak dan
memanggil umat manusia kepada agama Islam, memberi informasi mengenainya, amar
ma’ruf nahi mungkar agar dapat tercapai kebahagiaan di dunia dan di
akhirat, dan supaya terlaksana ketentuan Allah “menyiksa orang yang menolak dan
menganugerahkan pahala bagi orang yang beriman dengan pesan komunikasi
tersebut.”[55]
Definisi ini juga membingungkan karena tidak memperlihatkan dengan jelas apakah
yang menjadi obyek pembahasannya. Seharusnya definisi itu mengakomodasi apa
yang telah ditetapkan sebagai obyek material dan formal dari “ilmu dakwah”,
seperti yang telah dijelaskan terdahulu. Definisi di atas, pada umumnya, masih
tetap dipahami dakwah sebagai suatu kegiatan menyampaikan pesan Islam secara
oral dengan pendekatan komunikasi.[56]
Dari definisi yang ada seperti yang
dikutipkan di atas ada beberapa kesan yang dapat dikemukakan; pertama,
bahwa dakwah lebih dipahami sebagai suatu kegiatan menyampaikan ajaran Islam,
belum memperlihatkan kepada suatu ilmu yang sistematis. Pada hal kalau dilihat
dari ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan dakwah Islam, seperti surat Ali
Imran (3) ayat 110 ada kesan bahwa dakwah itu adalah dapat melibatkan banyak
orang karena kewajiban dakwah itu kepada semua umat Islam. Dengan demikian
dakwah harus dilakukan sebagai usaha kerja bersama bukan kerja individu. Tetapi
yang banyak terjadi selama ini adalah dakwah itu dilakukan lebih banyak sebagai
kegiatan individu. Kalau dipahami bahwa dakwah adalah kegiatan bersama, maka
dakwah itu membutuhkan organisasi dan menajemen, atau kalau dikaitkan dengan
manajemen modern, kegiatan dakwah seharusnya melaksanakan fungsi-fungsi
menajemen, seperti perencanaan, organisasi, pelaksanaan, dan pengawasan. Dapat
ditambah dengan fungsi-fungsi lain, seperti fungsi kontrol, evaluasi dan lain
sebagainya. Kedua, dakwah adalah bagian dari komunikasi karena
dakwah dilaksanakan melalui pendekatan komunikasi, hanya saja dakwah lebih
khusus karena pesan yang disampaikan lebih ditekankan kepada masalah keagamaan
Islam. Ketiga, belum jelas
obyek formal dan material dari ilmu dakwah. Hal ini terlihat juga dari
perkembangan ilmu dakwah yang sekarang ini, belum ada analisis khusus tentang
psikologi pesan dan obyek dakwah. Menurut penulis sebenarnya kajian tentang
pesan dan obyek dakwah adalah sangat penting.
Berkaitan
dengan problem yang dikemukakan di atas, definisi dakwah belum menurunkan usaha
sistematis dan buku-buku yang dipakai di Fakultas Dakwah, memang lebih banyak
mengemukakan dakwah dalam arti tablig atau pidato (khitabah) dari
pada cara-cara lain seperti kitabah (tulisan). Lebih lanjut lagi bahwa
buku-buku tersebut adalah kumpulan tafsir dari ayat-ayat al-Qur’an yang
berkaitan dengan dakwah Islamiyah. Ini terjadi, seperti yang dimaksudkan pada
fasal terdahulu, karena dakwah itu belum mempunyai epistemologi yang jelas dari
sudut keilmuan, sehingga buku-buku dakwah itu lebih banyak “tafsir”[57]
dari ayat-ayat yang berkaitan dengan dakwah. Dengan demikian kadang-kadang
dakwah tidak bersentuhan dengan masalah masyarakat yang terjadi karena beranjak
dari metode berpikir deduktif. Masalah ini dapat dilihat dari dua buku utama
yang jadi pegangan dosen dan mahasiswa fakultas. Pertama, buku Hidayat
al-Mursyidin yang ditulis oleh Syekh Ali Mahfuz; kedua, buku
Ushul al-Dakwah yang ditulis oleh Abdul Karim Zaidan. Kedua buku itu selain
punya problem dalam hal definisi, seperti yang dikemukakan terdahulu, isinya lebih banyak mengemukakan cara praktis
dakwah dalam arti berpidato, tidak dakwah dalam arti sistematis. Untuk tidak
mengecilkan arti dari kedua buku itu bahwa sebenarnya dasar-dasar pokok dari
kegiatan dakwah Islamiyah adalah dari al-Qur’an dan Hadis Rasulullah, tetapi
suatu hal yang perlu diingat bahwa al-Qur’an dan Hadis bukanlah semacam buku
petunjuk pelaksanan dari suatu kegiatan.
Berkaitan
dengan buku Hidayat al-Mursyidin Abd. Rahman dalam penelitiannya tentang
buku ini terutama berkaitan dengan “bimbingan benyuluhan agama” ia memberikan
komentar bahwa buku tersebut lebih banyak difokuskan pada karaktersitik dan
kualifikasi da’i serta konselor agama. Secara umum buku itu, khusus yang
berkaitan dengan “bimbingan dan konseling agama”, kerangkanya sesuai dengan
pendapat-pendapat para ahli yang muncul kemudian. Tetapi suatu hal yang perlu
dicatat agak sulit menetapkan kapan kemunculan “bimbingan dan konseling agama”
dalam Islam sebagai suatu disiplin ilmu. Dalam hal ini sama sulitnya, penulis
kira, untuk menetapkan kapan munculnya dakwah sebagai ilmu. Mengenai masalah
ini, Abd. Rahman tidak mencoba untuk mengemukakannya atau mendalami lebih jauh.
Sementara itu, mengakaji munculnya ilmu dakwah atau “bimbingan konseling
Islam,” sebenarnya perlu, untuk melihat apakah yang ditetapkan oleh Ali Mahfuz,
sebagai kriteria konselor, lebih dahulu atau kemudian dari kriteria yang
ditetapkan oleh ahli lain (dalam Bimbingan dan Konseling) sebagai konselor
umum. Seandainya apa yang ditetapkan ilmuan “Bimbingan dan Konseling Umum”
lebih dahulu, ada kecurigaan bahwa Ali Mahfuz hanya mencari justifikasi dari
apa yang sudah ada, agar berlabel Islam.
Problem
lain dari definisi dakwah dari sekian banyak yang telah dikemukakan ialah
ketika dihubungkan dengan pembagian jurusan yang ada pada Fakultas Dakwah.
Dalam kurikulum yang dikeluarkan Departemen Agama 1997 Fakultas Dakwah punya 4
jurusan; (1) Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI); (2) Bimbingan dan Penyuluhan
Islam (BPI); (3) Manajemen Dakwah Islam (MD); dan (4) Pengembangan Masyarakat
Islam (PMI). Dari empat jurusan yang ada itu terlihat bahwa definisi yang
dikemukakan di atas tidak mengkover pengembangan keempat jurusan di atas. Maka
dari itu sudah perlu kiranya redefinisi tentang dakwah dan perlu penjelasan
antara “dakwah” dan ilmu dakwah dan perbedaannya dengan ilmu-ilmu lainnya.
Dalam
sejarah perjalanan dakwah Islam di Indonesia, terutama, pada abad ke-20 ada
organisasi-organisasi Islam yang bergerak dalam bidang dakwah yang mencoba
untuk melaksanakan dakwah Islamiyah secara sistematis dengan berpedoman kepada
prinsip menajemen yang baik, tetapi masih tetap ada kendala, paling tidak,
dalam hal evaluasi. Gerakan dakwah sulit menetapkan ukuran sejauh mana
keberhasilan sebuah kegiatan dakwah. Sebenarnya dengan adanya Sekolah Tinggi
Dakwah yang muncul pada pertengahan awal tahun 60-an dan adanya Fakultas Dakwah
yang berada di bawah naungan Departemen Agama masalah-masalah yang dikemukakan
di atas dapat diatasi, tetapi yang terjadi adalah dakwah masih tetap belum
merupakan gerakan sistemik dalam arti yang sebenarnya.
Terlepas
dari perbincangan dan analisis dari definisi dakwah yang sudah ada itu, dalam
fokus pembahasan ilmu dakwah, selama ini, ada lima faktor atau komponen dakwah.
Faktor pertama, subyek da’wah (al-da’i); kedua, obyek atau sasaran
dakwah (al-mad’u); ketiga, materi dakwah (maudu’u al-da’wah);
keempat, media dakwah (asalib al-da’wah) dan; kelima, metode dakwah (wasail al-da’wah).[58]
Bahasannya akan ditemukan pada bahagian ke dua dalam buku ini
1. Subyek
Dakwah
Yang
dimaksudkan dengan subyek dakwah adalah pelaku dakwah. Apabila kita kembali
kepada al-Qur’an dapat disimpulkan pelaku dakwah pertama itu adalah Nabi
Muhammad Saw., antara lain dapat dilihat dalam surat 3:108; 12:108; 28:87;
33:48; 61:7. Pertanyaan yang muncul adalah; bagaimana dengan umat Muhammad,
apakah mereka mempunyai kewajiban untuk melaksanakan dakwah. Pertanyaan itu
bisa dijawab melalui surat 3:104 dengan adanya kata minkum. Kata itu
menunjukkan bahwa ummat Muhammad punya kewajiban untuk melaksanakan dakwah.
Pertanyaan yang muncul lagi ialah, apakah semua ummat Muhammad mempunyai
kewajiban untuk melaksanakan dakwah. Dalam masalah ini, paling kurang, terdapat
dua pendapat. Pertama, seandainya katan min yang terdapat dalam ayat itu
menunjukkan li al-tab’idh (sebagian), maka berarti tidak semua ummat
Muhammad wajib melaksanakan dakwah. Tetapi kalau kata min itu sebagai li
al-bayan (penjelas) berarti semua ummat Muhammad wajib melaksanakan dakwah.
Perbedaan itu sebenarnya bisa dikompromikan; untuk masalah-masalah yang lebih
khusus dan memerlukan pemikiran, keterampilan dan kajian yang lebih mendalam
serta tidak semua orang bisa memahami masalah itu, maka kewajiban untuk
berdakwah dalam hal seperti ini memang hanya untuk orang-orang tertentu saja.
Sedangkan terhadap masalah yang mudah diketahui benar atau salahnya (hal-hal
yang bersifat universal, seperti membantu orang lemah itu baik, dan mencuri itu
jelek), maka menyampaikan dakwah dalam hal seperti itu, adalah kewajiban semua
Muslim. Masalah terakhir ini bisa dikuatkan dengan Hadis Rasulullah Saw.
“Sampaikanlah olehmu, walaupun sepotong ayat”.
Berkaitan dengan hal-hal yang memerlukan ilmu
dan keterampilan khusus, memang kewajiban berdakwah terpikul di pundak orang-orang
tertentu. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw. “Ulama itu adalah pewaris
Nabi”. Firman Allah dalam Surat al-Nahl/16:43 dan al-Anbiya’/21:7 dengan bunyi
ayat yang persis sama:
فسئلوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون
Artinya: “... maka bertanyalah kepada
orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.
2. Obyek Dakwah
Dalam
al-Qur’an obyek dakwah lebih banyak di-mahzuf-kan (tidak diungkapkan dengan
jelas) dari pada disebutkan secara jelas, kecuali dalam surat 46:31 disebutkan
dengan istilah qaumana. Qaum (kaum) adalah sekelompok manusia
yang berhimpun (bersatu) lantaran ada dasar atau alasan yang sama untuk
berhimpun dalam suatu kelompok.[59]
Mungkin dapat dipahami bahwa qaum itu adalah sekelompok manusia yang
berhimpun, dan yang menyebabkan mereka berhimpun itu adalah adanya dasar
kebersamaan, atau dengan adanya dasar kebersamaan itulah mereka menjadi
berhimpun. Pertanyaan yang muncul adalah, siapa yang dimaksudkan dengan kaum di
atas, apakah kelompok manusia atau tidak. Untuk menjawab pertanyaan itu dapat
kita kembalikan kepada ayat sebelumnya, yaitu ayat 29 dan 30 (dalam surat yang
sama). Kedua ayat itu menjelaskan bagaimana sekelompok jin menerima pesan
al-Qur’an, setelah dihadapkan Tuhan kepada Nabi Muhammad Saw. Jin itu menerima
pesan-pesan al-Qur’an dari Muhammad, kemudian mereka berkewajiban menyampaikan
pesan al-Qur’an tersebut kepada kelompok jin lainnya. Maka yang dimaksudkan
dengan kaum dalam ayat itu ialah kelompok jin yang mendengarkan ajaran
al-Qur’an dari kelompok jin lain yang secara langsung menerima ajaran al-Qur’an
dari Nabi Muhammad Saw. Dengan demikian kata qaum yang terdapat dalam
surat 46:31 itu bukan berarti sekelompok manusia, seperti yang dijelaskan di
atas, tetapi dimaksudkan di situ adalah kelompok jin.
Dari
uraian di atas kesan yang dapat diambil adalah, dengan tidak disebutkannya
obyek dakwah secara jelas, kecuali dalam surat 46:31, bahwa obyek dakwah itu
adalah seluruh ummat manusia. Hal ini tampaknya sesuatu yang sudah dimaklumi.
Sedangkan dalam surat 46:31 disebutkan dengan istilah qaumana, hal ini
menunjukkan bahwa selain manusia ada obyek dakwah yang lain, yaitu jin. Dengan
demikian dapat dimaklumi yang yang menjadi obyek dakwah itu selain manusia,
adalah jin.
Untuk masalah obyek dakwah di atas dapat
dikuatkan dengan ayat lain, QS, 51:56. “Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” Dengan demikian berarti jin
adalah bagian dari obyek dakwah. Suatu hal muncul kemudian ialah tidak
dijelaskan lebih jauh bagaimana tugas dakwah berikutnya dalam “dunia” jin,
tidak ada ayat yang menjelaskan tentang hal itu.[60]
Berarti manusia tidak punya kewajiban untuk berdakwah terhadap jin dan manusia
tidak perlu tahu bagaimana pelaksanaan dakwah dalam dunia jin.
3. Materi
dakwah
Al-Qur’an
sewaktu menggambarkan materi apa atau pesan apa yang akan disampaikan dalam
berdakwah, digambarkan dengan banyak term. Dalam QS, 3:104 disebut
dengan khayr dan ma’ruf; QS, 12:108 dan QS, 16:125 disebut dengan
sabili dan sabili rabbika; QS, 22:67 dan QS, 28:87 disebut dengan
rabbika dan dalam QS, 61:7 dengan dengan al-Islam.
Dari term-term yang ada di atas ada
yang berasal dari akar kata yang sama, س ب ل, cuma ada
di antaranya yang pakai kata tambahan, yaitu sabili, sabili rabbika
dan rabbika karena mempunyai satu maksud, yaitu agama Tuhan. Dengan
demikian paling kurang ada 4 term yang menunjukkan pesan dakwah; pertama,
sabili rabbika; kedua, khayr; ketiga, ma’ruf;
dan keempat al-Islam.
Arti dari kata sabili adalah
“jalanku,” yang mana pada jalan itu terdapat kemudahan.[61]
Kata sabili dipergunakan untuk tiap-tiap sesuatu yang membawa kepada
kebaikan atau kejahatan.[62]
Maka kata sabili atau sabili rabbika mempunyai pengertian yang
sama. Dalam ayat qul hazihi sabili, maksud kata sabili di situ
ialah jalan ke syurga.[63]
Dengan demikian dapat dipahami sabili rabbika adalah ketentuan Tuhan
yang dapat membawa ummat manusia dan jin ke syurga, ketentuan itu disebut
dengan ajaran agama. Jadi, yang menjadi materi atau pesan dakwah adalah sesuatu
yang berkaitan dengan agama atau ajaran agama Tuhan.
Selanjutnya, khayr; adalah sesuatu
yang sangat diingini (diharapkan) oleh manusia. Sesuatu yang diharapkan itu
adalah seperti akal, keadilan, keutamaan dan sesuatu yang bermanfaat.[64]
Dengan demikian khayr ialah suatu kebajikan yang sangat diharapkan
sekali oleh ummat manusia, seperti akal (kecerdasan), keadilan, keutamaan dan
sesuatu yang bermanfaat. Khayr itu terbagi dua: pertama, mutlaq,
sesuatu yang sangat diharapkan setiap waktu dan oleh setiap manusia, seperti
dalam Islam surga itu disifati dengan khayr karena ia diharapkan oleh
semua orang. Kedua, muqayyad, seperti harta, mungkin bisa menjadi
kebaikan bagi seseorang, sedangkan bagi orang lain dapat menjadi sesuatu yang
mencelakakan. Lawan dari khayr adalah syarr; sesuatu yang tidak
diinginkan manusia dan dapat mencelakam dirinya.
Kemudian, ma’ruf, adalah setiap
perbuatan yang bisa ditentukan baiknya perbuatan itu oleh akal sehat atau
syari’at.[65]
Dilihat dari segi bentuk katanya, dalam bahasa Arab ma’ruf itu ism
al-maf’ul. Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia artinya “sesuatu
yang sudah dikenal.” Dengan demikian ma’ruf itu sangat berkaitan dengan
kebiasan masyarakat. Sesuatu yang dianggap baik oleh sekelompok masyarakat
belum tentu diterima oleh kelompok masyarakat lain, sifatnya sangat kondisional
sekali. Suatu kebiasaan yang diterima atau tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip agama (Islam), itulah yang dimaksudkan dengan “makruf” dalam
ayat di atas. Menurut Quraish Shihab,[66]
pakar-pakar hukum menetapkan adat kebiasaan dalam suatu masyarakat, selama
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, dapat dijadikan sebagai
salah satu pertimbangan hukum (al-adat al-muhakkamah), dengan ketentuan,
yang mereka tetapkan setelah menghimpun sekian banyak rincian argumentasi
keagamaan.
Dari penjelasan tentang khayr dan
ma’ruf di atas dapat dikemukakan perbedaan antara keduanya. Khayr adalah
kebajikan yang sangat universal, di mana dan kapan saja ia tetap merupakan
kebajikan, walapun pada diri seseorang khayr itu tidak merupakan
kebajikan, hal demikian tidak menghilangkan sifatnya sebagai suatu kebajikan,
tapi kondisi seseorang itulah yang, mungkin, tidak normal. Sedangkan ma’ruf,
dipandang sebagai kebajikan sangat tergantung pada penilaian agama dan akal
sehat serta kebiasaan suatu masyarakat, atau dengan kata kain ma’ruf itu
bersifat kondisional.
Terakhir, sebagai pesan dakwah diungkapkan
dengan kata al-Islam. Islam berasal aslama, dalam bahasa
Indonesia artinya “tunduk, patuh, menyerah.”[67]
Islam artinya “ketundukan, kepatuhan”.[68]
Ibrahim mengemukakan “al-Islam” artinya “menyatakan kepatuhan dan menerima
apa-apa yang dibawa Nabi Muhammad Saw.” Yang dimaksudkan “apa-apa yang dibawa
Nabi Muhammad Saw.” adalah agama yang dibawanya. Agama yang dibawa Nabi Saw.
itu terhimpun dalam al-Qur’an dan sunnahnya. Maka al-Qur’an dan sunnah Nabi
Saw. menjadi materi dakwah. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi sendiri.[69]
Dari penjelasan tentang Islam itu dapat dimaklumi
bahwa sabili rabbika adalah sinonim dengan “Islam” karena Islam itu
datangnya dari Allah Swt. Dengan amat sangat sederhana, kalau sabili rabbika
itu padanannya dalam bahasa Indonesia “jalan Tuhan-mu,” maka jalan Tuhan-mu itu
terdapat dalam Islam, maksudnya Islam dalam arti “agama.”
Berdasarkan analisis
materi dakwah dari al-Qur’an di atas, yang agak sedikit tematis, dapat dipahami
bahwa yang dapat dijadikan materi dakwah bukan sesuatu yang datang dari Allah
Swt. saja, lewat wahyunya atau yang disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw., tetapi
juga adat istiadat, kebudayaan atau hasil pemikiran manusia yang baik dan tidak bertentangan dengan akal
sehat dan ajaran Islam -dapat dijadikan sebagai materi dakwah. Justru itu tidak
salah kalau al-Qur’an sangat mendukung pemakaian akal/pemikiran secara maksimal
karena dengan mempergunakan akal secara baik dan maksimal akan akan membawa
manusia kepada kemudahan dalam hidupnya. Seperti yang terlihat sekarang, ilmu
pengetahuan dan tekhnologi telah membawa manusia kepada kemudahan-kemudahan.
Maka secara universal apa yang telah dihasilkan oleh akal manusia dan itu
adalah kebajikan bagi umat manusia dapat dijadikan sebagai materi dakwah,
selama tidak bertentangan dengan akal sehat dan ketentuan syariat. Bukankah
Nabi sendiri mengatakan, “kamu lebih tahu tentang urusan duniamu.” Secara lebih
ekstrim, ilmu-ilmu ke-Islam-an yang ada sekarang ini adalah hasil rekayasa
pemikiran umat Islam. Maka dari itu ia adalah kebudayaan karena hasil dari
pemikiran atau analisis (para pemikir Islam) terhadap al-Qur’an dan sunnah
Nabi.
4. Media Dakwah
Media yang
dimaksudkan ialah alat dakwah yang digunakan dalam rangka menyampaikan isi
dakwah (pesan). Dalam banyak buku yang berkaitan dengan dakwah ketika berbicara
tentang media lebih banyak melakukan analog dengan media komunikasi. Seperti
terlihat ketika media itu dilihat dari jenisnya, maka ia akan dibagi kepada
tradisional dan modern. Melihat kepada prosesnya, media itu dibagi pada
“komunikasi langsung” dan “komunikasi massa.” Adapun media dari segi alat yang
dipakai dapat dibagi kepada; lisan. tulisan, visual dan audio visual. Mungkin
banyak lagi pembagian yang dapat dilakukan untuk media ini.[70]
Dalam
sejarah perjuangan Nabi Muhammad saw. dalam berdakwah, dari apa yang
dikemukakan di atas, dapat dikatakan media yang dipakai hanya yang tradisonal
saja, yaitu lisan dan tulisan. Media lisan dipakai oleh Rasulullah ketika
menyampaikan ajaran Islam kepada keluarga terdekat dan sahabat-sahabatnya.
Sedangkan media tulisan beliau pakai ketika mengirim surat kepada raja-raja.
Dari kedua media itu Rasulullah lebih banyak memakai media lisan dari pada
tulisan.
Suatu hal
yang perlu dicatat, dalam perkembangan terakhir, tentang media dakwah ini,
terutama semenjak tahun 1980-an apa yang disebut dengan dakwah bil hal.
Dalam bahasa yang sangat sederhana dapat diterjemahkan adalah “berdakwah lewat
perbuatan”. Dakwah lewat media perbuatan disemangati, walaupun tidak sampai
pada didasarkan, oleh pesan Ali bin Abu Talib[71]
لسان
الحال افصح من
لسان المقا
Dalam
penjelasan dakwah bil hal itu yang dimasukkan ke dalam
kelompoknya ia dakwah dalam gerakan sosial dan pembangunan, seperti membangun
rumah sakit, masjid, sekolah, madrasah; membantu fakir, miskin, orang terlantar
dan lain sebagainya. Dapat juga dimasukkan dalam kelompok dakwah bil hal
ialah berdakwah lewat tingkah laku yang baik atau berdakwah lewat akhlak.
Pengelompokan
media dakwah seperti di atas, dengan analog terhadap ilmu komunikasi,
sebenarnya sesuatu yang sah saja karena kegiatan dakwah adalah bagian dari
komunikasi, paling tidak dalam proses penyampaian pesan. Kemungkinan perbedaan
antara keduanya (komunikasi dan dakwah) adalah pada komunikator dan pesan yang
disampaikan. Secara lebih khusus dalam dakwah penyampai pesan adalah orang yang
mengetahui dan memahami ajaran Islam dengan lebih baik, dan pesan yang
disampaikan adalah ajaran Islam atau sesuatu yang dianggap baik secara
universal dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Kemudian, kalau diterima
secara ilmiah bahwa dakwah bil hal adalah sebagai media dakwah, maka
media ini tidak ada dalam “ilmu komunikasi” karena komunikasi secara sederhana
adalah pengoperan lambang-lambang yang berarti. Apa yang dimaksudkan dakwah bil
hal agak terlalu jauh kiranya dari pengertian komunikasi. Maka untuk menjadikan
bil hal sebagai media dakwah perlu analisis lebih mendalam lagi karena
apabila dianalisis dari sudut “ilmu komunikasi”, selain dari sudut definisi
seperti yang dikemukakan di atas, juga “ilmuan” dakwah mengalami kesulitan
untuk menjelaskan ketika muncul pertanyaan, pesan apa yang disampaikan oleh
dakwah bil hal , sebagai media? Jawabannya tidak bisa kongkrit, tapi
adalah abstrak atau pesan yang sangat konseptual. Contoh, dakwah lewat
pembangunan rumah sakit. Sulit menjelaskan pesan yang disampaikannya,
paling-paling bisa dijawab dengan menyebutkan “pesan solidaritas sosial.”
Solidaritas sosial itu adalah sangat abstrak sekali.
Untuk analisis penelitian ini, berkaitan dengan media dakwah yang dipakai, akan dipergunakan hanya dua saja yaitu lisan dan tulisan. Lisan, dalam bentuk ceramah, dialog dan diskusi, sedangkan tulisan dalam bentuk makalah atau paper. Sama halnya ketika membicarakan metode dakwah, maka media dakwah ini masih pesan normatif yang perlu, meminjam istilah Kuntowijoyo, ditransformasikan pada level empirik. Dengan bahasa lain, mungkin, dapat dikatakan bahwa apa yang ada dalam pesan Islam itu adalah grand theory (teori induk) yang perlu ada teori-teori di bawahnya yang “dilahirkan” oleh grand theory tersebut.
[1]Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990) h. 181
[2]Abi
al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lughah,
(Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1389 H/1969) M, Juz II, h. 279.
[3]Mahmud
Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, 1973), h. 127
[4]Ibrâhîm
Mushthafâ, Ahmad Hasan al-Zayât, Hamid Abd al-Qadir dan Muhammad ‘Alî al-Najîr,
al-Mu’jam al-Wasîth, (Istambul-Turki: Dâr al-Dakwah, 1989), h. 286
[5]Muhammad
Fu’âd
‘Abd. al-Bâqî,
al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fâzh al-Qur’ân,
(Beirut, Dâr
al-Ma’rifah, 1992), h. 326.
[6]Ibid
[7]Muhammad
Fuad Abd. al-Baqi, Op.cit. 257-60.
[9]QS. al-Zumar: 8, yaitu; وَإِذَا
مَسَّ الْإِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَا رَبَّهُ مُنِيبًا إِلَيْهِ ثُمَّ إِذَا خَوَّلَهُ
[10]QS. al-Fushshilat: 3 yaitu : وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ
وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
[11]Muhammad
‘Abd. al-Baqi, Op.cit., h. 257
[13]QS.
al-’Alaq: 17-18
[14]QS.
al-Qamar: 6
[15]QS.
al-Isra’: 11
[16]Muhammad
Fuad ‘Abd. al-Baqi, Op.cit. h. 258
[17]QS.
al-A’raf: 37, 194 dan 197.
[18]QS.
al-A’raf: 134
[19]QS.
al-Syura’: 15, yaitu; فَلِذَلِكَ
فَادْعُ وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَقُلْ
ءَامَنْتُ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنْ كِتَابٍ وَأُمِرْتُ لِأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ
اللَّهُ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ لَا
حُجَّةَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ اللَّهُ يَجْمَعُ بَيْنَنَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ :
[20]QS.
al-Qashash: 87 yaitu; وَلَا
يَصُدُّنَّكَ عَنْ ءَايَاتِ اللَّهِ بَعْدَ إِذْ أُنْزِلَتْ إِلَيْكَ وَادْعُ
إِلَى رَبِّكَ وَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
[21]Muhammad
Fuad ‘Abd. al-Baqi, Op.cit., h. 259
[22]Muhammad
Abu Zahrah, al-Da’wah ila al-Islam, (Ttp.Dar al-Fikr al-’Arabi, tt). h.
21
[23]QS.
al-Mu’min: 43
[24]QS.
al-Rum: 25
[25]QS.
al-Baqarah: 186
[26]QS.
al-Ra’d: 14
[27]Muahmmad
Fuad ‘Abd. al-Baqi, Op.cit., h. 260
[28]Al-Fadhl
Syihab al-Dîn al-Sayyid Mahmud al-Alusî, Rûh al-Ma’îni fî Tafsîr al-Qur’an al-Azhîm
wa al-Sab’ al-Hasani, (Beirut: Dâr
al-Fikr, 1398 H/1978 M), juz IV, h. 21
[29]Muhammad
al-Bahi al-Khuli, Tazkirah al-Du’ah, (Mesir: Dar al-Kitab al-‘Arabi,
1952), h. 27
[32]Thoha
Jahya Omar, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Widjaya, 1967), h. 1
[34]Amin
Rais, Cakrawala Islam, (Bandung: Mizan,
1996), cet. VII, h. 25-6
[35]Mochtar
Husein, Op.cit., h. 2
[36]Lihat Ibnu Manzur Jamal
al-Din Muhammad Ibn Mukarram al-Ansari, Lisan al-’Arab (Kairo: Dar
al-Mishriyah li al-Taklif wa al-Tarjamat, t.t.) -- selanjutnya disebut Lisan
al-’Arab --, Jilid 18, hal. 281.
[37]Apabila dilihat arti kata
“dakwah” atau “da’a” pada terjemahan al-Qur’an, paling tidak ada sepuluh
padanannya. Pertama, dalam arti “menyeru” dapat dilihat dalam QS 3:104; kedua,
“memanggil” dalam QS, 30:25; ketiga, “do’a” dalam QS, 2:186; keempat,
“dakwa” dalam QS 19:91; kelima, “harap” dalam QS, 25:13; keenam,
“meminta” dalam QS, 47:37; ketujuh, “keluhan” dalam QS, 7:5; kedelapan,
“mengadu” dalam QS, 54:10; kesembilan, “menyembah” dalam QS, 72:18;
kesepuluh, “berteriak” dalam QS, 84:11.
Perbedaan
arti itu dapat dimaklumi karena perbedaan konteks arti dan kata yang
mendampingi yang membuatnya menjadi satu idiom (arti tersendiri), juga hal itu
berkaitan dengan maksud ayat. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa seseorang
yang akan melakukan penterjemahan terhadap al-Qur’an, apabila bertemu dengan
kata da’a, dengan segala bentuk perubahannya, tidak bisa memahaminya
dengan arti kata dalam “kamus” saja.
[38]Lihat Muhammad Husain
Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, diterjemahkan dari Hayat Muhammad
oleh Ali Audah (Jakarta: Tintamas, 1984), hal. 217.
[39]Rangkaian ayat di atas dari
segi hukum, pelajaran yang dapat diambil ialah, “apabila suatu peraturan atau
ketentuan hukum, sebelum dilaksanakan atau diterapkan terlebih dahulu harus
disosialisasikan". Dengan adanya sosialisasi itu masyarakat tidak terkejut
berlakunya suatu hukum. Sedangkan dari segi dakwah bahwa dalam menyampaikan
suatu pesan memerlukan metoda dan tahapan.
[40]Uraian tentang masalah
strategi dakwah ini dapat dilihat lebih lanjut dalam Berdialog dengan
al-Qur’an oleh Syekh Muhammad al-Ghazali. Dan mengenai teks hadis di atas
dapat dilihat dalam Imam Abu Abd Allah Muhammad Ibn Isma’il Ibn Ibrahim Ibn
Mugirah Ibn Bazdawiyah al-Buchari, Shahih al-Buchari (Beirut: Dar
al-Fikri, 1981), Jilid 2, 108. Lihat juga al-Said Sabiq, Fiqh al-Sunnah
(Beirut: Dar al-Kitab al-’Arabi, t.t.), Jilid I, hal. 327.
[41]Lihat! Djohan Effendi,
“Konsep-Konsep Teologis” dalam Budhy Munawar-Rachman (editor) Kontektualisasi Doktrin Islam dalam
Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1994) Cet. ke-1, hal. 56.
[43]Dalam mata kuliah “Tafsir”
di Fakultas Dakwah bahwa kedua ayat di atas adalah termasuk di antara ayat yang
menjadi menjadi pokok bahasan, terutama yang berkaitan dengan kewajiban dakwah.
Dari ayat itu terlihat bahwa “dakwah” adalah kegiatan bersama. Karena ia
merupakan kegiatan bersama, maka untuk mengaturnya perlu manajemen dan
organisasi dan hal-hal lain yang terkait dengan itu.
[44]Jalaluddin Rakhmat adalah
Ahli Komunikasi, dosen Ilmi Komunikasi pada Fakultas Komunikasi (Fikom) Universitas
Pajajaran. Sekarang, ia juga mempunyai kesibukan mengurus “Yayasan
Muthahari”dan da’i serta aktif menyampaikan makalah dalam seminar baik
itu dalam maupun luar negeri. Komentar Kang Jalal, begitu ia sering dipanggil,
tentang dakwah, seperti dikemukakan di atas, adalah kritik lepasnya pada salah
satu pertemuan.
[45]Selo Soemardjan, ketika
menjelaskan dakwah “ilmu” atau tidak? Ia mencoba membagi “ilmu” kepada kepada
dua bagian, yaitu ilmu spritual dan ilmu sekuler (intelektual). Ilmu spritual
adalah ilmu yang didasarkan pada kepercayaan atau agama tertentu. Di dalamnya
kepercayaan lebih kuat dibanding kepada pemikiran. Ilmu ini sebanding dengan
kata ngilmu dalam bahasa Jawa. Sementara itu ilmu sekuler, sebagai lazim
diketahui, adalah ilmu yang didasarkan pada pemikiran semata, tanpa terikat
pada kepercayaan atau agama apa pun. Teori-teori atau pemikiran-pemikiran di
dalamnya dapat diperdebatkan secara bebas dan harus dapat dibuktikan
kebenarannya secara empirik. Menurut Selo Soemardjan, apakah dakwah dapat
dipandang sebagai ilmu atau bukan, bergantung pada pengertian ilmu yang mana
dipakai. Kalau yang dipakai adalah arti yang pertama, maka tidak lagi diragukan
bahwa dakwah adalah ilmu. Akan tetapi, apakah dakwah juga dapat dimasukkan
dalam kategori ilmu menurut arti kedua, masih perlu pembahasan yang lebih
cermat dan teliti. Lihat! A. Ilyas Ismail, “Beberapa Kendala Dakwah Sebagai
Ilmu” dalam Republika (opini), 28 Agustus 1992. Kesimpulan itu berasal
dari makalah Selo Soemardjan dalam “Seminar Dakwah Sebagai Ilmu” yang
diselenggarakan Fakultas Dakwah IAIN Jakarta,10-11 Agustus 1992.
Dari
sudut lain, dakwah ilmu atau bukan, yaitu pembagian Ilmu kedalam beberapa
kelompok; Ilmu Alam, Ilmu Sosial dan Humaniora. Secara pasti dapat dikatakan
bahwa dakwah bukanlah Ilmu Alam karena yang masuk ilmu alam itu ialah, kimia,
fisika, biologi. Dan kecil kemungkinan dapat dimasukkan dalam Ilmu Humaniora,
seperti sejarah, kebudayaan, sastra dan bahasa. Ada kemungkinan dapat
dimasukkan ke dalam ilmu sosial. Tapi masih muncul pertanyaan, ke mana dakwah
dapat dicantolkan sebagai ilmu sosial. Ini suatu pertanyaan yang masih perlu
dijelaskan karena masih ada problem.
[46]Seorang dosen muda dari
Fakultas Dakwah IAIN Imam Bonjol Padang yang sekarang ini mendalami “Ilmu
Sosiologi” di Pascasarjana Universitas Gajah Mada menceritakan pengalamannya
kepada penulis bahwa ia sering mendapat pertanyaan dari teman-temannya tentang
“dakwah”. Ia mengalami kebuntuan atau tidak bisa memberikan penjelasan ketika
pertanyaan yang muncul berkaitan dengan epistemoligi dakwah, juga obyek formal
dan material dari ilmu dakwah. Lebih lanjut ia mengatakan; setelah ia mencoba
menganalisisnya dari segi teori keilmuan, kesimpulannya ia bahwa dakwah itu
lebih tepat dikatakan sebagai “alat”, seperti halnya “bahasa” dan “matematika”.
Sebenarnya apa yang disampaikan teman tersebut sudah pernah penulis kemukakan
pada dosen-dosen Fakultas Dakwah IAIN Imam Bonjol yang lainnya, dan lebih dari
itu penulis sudah pernah membuat proposal untuk menseminarkan hal tersebut, tetapi
dapat tantangan atau mandeg pada tingkat Fakultas dan dosen-dosen senior.
Dengan dengan demikian yang jelas adalah untuk menetapkan dakwah sebagai
“ilmu" adalah menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi orang-orang yang bergerak
dalam bidang dakwah itu sendiri, baik akademisi atau praktisi.
[47]Lihat Abdul Munir Mulkhan,
“Ilmu Dakwah Diam dalam Gugatan,” dalam Mingguan Misi, Yogyakarta: IAIN
Wali Songo Press, 1995, hal.43. Sementara itu, Naquib al-Attas memformulasikan
rumpun ilmu-ilmu ke-Islam-an dipilahnya ke dalam dua aspek keilmuan; pertama,
Kelompok Body if Islamic knowledge. Kelompok ini meliputi al-Qur’an,
al-Sunnah, Syari’ah, Tauhid, Tasawuf dan Adab. Kedua, kelompok ilmu-ilmu
rasional/filsafat. Dari kedua kelompok ilmu itu dalam pandangan Naquib al-Attas
Fakultas Tarbiyah dan Dakwah tidak termasuk ke dalam kedua struktur ilmu di
atas. Melainkan dapat ditempatkan sebagai applied science. Dengan
demikian Fakultas Tarbiyah dan Dakwah, meskipun diminati banyak orang, namun
belum memiliki obyek kajian yang jelas. Aktivitasnya hanya sebatas menerapkan
teori-teori yang ada untuk diberi label Islam. Lihat Syakirman M. Noor,
“Urgensi Filsafat Ilmu dalam Meningkatkan Mutu Kesarjanaan IAIN” dalam al-Ta’lim
(Jurnal-Padang Fakultas Tarbiyah IAIN IB) vol. I No. 2 1998, hal. 99.
[48]Lihat! Amrullah Achmad, “Dakwah
dan Perubahan Sosial” (editor), (Yogyakarta, PLP2M, 1985), cet. kedua, hal
10-11
[49]Ilmu adalah istilah yang
biasa diartikan sebagai kesatuan pengetahuan terhadap beberapa aturan bidang
kajian yang diteliti secara ilmiah, dan terhadap beberapa penerapan praktis
dari fakta yang diperoleh melalui penelitian tadi. Dari pembatasan itu, paling
tidak ilmu mempunyai dua unsur penting, pertama penelitian secara ilmiah, dan
penerapan praktis dari fakta yang diperoleh melalui penelitian. Ada juga yang
mendefinisikan ilmu dengan lebih sederhana, yaitu: Suatu cabang kajian yang
dipermasalahkan baik dengan suatu gabungan pembuktian maupun dengan pengamatan
fakta secara sistematis guna menemukan keyakinan baru dalam bidang yang dikuasai.
Dari batasan terakhir ini ada dua unsur utama ilmu; yang pertama, mencari fakta secara sistematis
lewat penelitian untuk suatu pembuktian; kedua, dengan pembuktian itu
menghasilkan suatu keyakinan (kebenaran). Analisis lebih jauh tentang ilmu
dapat dilihat dalam Yuyun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif,
(Jakarta, Gramedia, 1994), cet. ke-11, hal. 1-40. Ilmu dapat dibagi (sekarang)
dalam tiga kelompok; pertama, Ilmu Pengetahuan Alam (Natural Science);
kedua, Social Science (Ilmu Pengetahuan Sosial); ketiga, Humaniora
(pengetahuan kebudayaan). Yuyun S. Suriasumantri dalam bukunya Filsafat Ilmu
Sebuah Pengantar Populer (Jakarta, Sinar Harapan, 1990), cet. ke-6 hal.
93-4, membagi ilmu hanya dalam dua kelompok besar, Ilmu Pengetahuan Alam (Natural
Science), dan Ilmu Sosial (Social Science), sedangkan “humaniora”
(pengetahuan budaya) dimasukkan dalam “Ilmu Sosial”.
[50]Lihat Proyek Pembinaan
Perguruan Tinggi Agama, Pengantar Ilmu Dakwah (selanjutnya disebut Pengantar)
(Aceh, IAIN Ar--Raniri,1984-85), hal. 29-33.
[51]Penjelasan Amrullah Achmad
itu tahun 1983 waktu ia mengedit buku “Dakwah dan Perubahan Sosial".
Untuk lebih jelasnya buku-buku yang telah ditulis itu dapat dilihat dalam
Amrullah Achmad, ibid., hal 10.
[52]Syekh Ali Mahfuz,
Hidayat al-Mursyidin ila Thuruq al-Wa’zi wa al-Khitabat(h) (Beirut, Dar
al-Ma’arif, t.t.), hal. 17.
[53]Lihat Pengantar, Ibid., hal.
1-2.
[54]Toha Yahya Omar, Ilmu
Dakwah, (Jakarta, Wijaya, 1992), Cet. ke-5, hal. 1. Buku ini pertama kali
terbit tahun 1967, berarti sudah cukup lama. Dapat dikatakan, bahwa buku ini
termasuk buku tertua terbit di Indonesia yang membahas tentang dakwah. Dari
pengantar dalam buku ini terlihat bahwa ditujukan, terutama untuk para da’i
dan muballigh sebagai pedoman dalam melaksanakan dakwah Islam. Tidak
salah kira kalau buku ini banyak bersikan hal-hal yang bersifat normatif yang
perlu dilaksanakan oleh seorang muballigh atau juru dakwah. Tetapi karena
termasuk buku tertua, maka dijadikan salah satu buku utama pada fakultas
dakwah, sampai saat ini. Hal ini sebenarnya dapat dimaklumi karena menurut
catatan yang dikemukakan oleh M. Dawam Rahardjo, dakwah baru menjadi perhatian
khusus di Indonesia semenjak awal tahun 60-an dengan berdirinya PTDI (Perguruan
Tinggi Dakwah Islam) di Jakarta. Dengan demikian buku tersebut bisa dijadikan
kajian utama untuk melacak tentang “pemikiran” dakwah di Indonesia.
[55]Lihat Pengantar, hal
22.
[56]Seperti yang akan terlihat
dalam uraian berikutnya bahwa setelah Fakultas Dakwah berkembang menjadi 4
jurusan, sebenarnya pemahaman akan dakwah seperti yang berlangsung selama ini
sudah perlu ditinggalkan. Kecuali itu, terjadinya pemahaman dakwah seperti
demikian karena kurangnya penelitian tentang dakwah yang dapat memunculkan
teori yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
[57]Ketika seminar proposal
penulis untuk mencapai gelar S2 di IAIN Syarif Hidayatullah yang dibimbing oleh
Kamaruddin Hidayat, mengenai “Pemikiran Dakwah Muhammad Natsir dalam bukunya
Fiqhud Dakwah”, komentar yang diberikan Kamaruddin adalah “tidak ada pemikiran
M. Natsir tentang dakwah dalam buku itu. Yang adalah tafsiran M. Natsir tentang
beberapa ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan Dakwah. Sebenarnya buku itu
adalah buku tafsir Muhammad Natsir tentang ayat-ayat dakwah atau lebih tepatnya
buku tersebut adalah buku tafsir, tidak buku tentang pemikiran dakwah”. Walaupun penulis tidak jadi menyelesaikan
penelitian tentang buku itu karena untuk menyelesaikan S2 penulis dibebaskan
dari membuat tesis, tetapi penulis mencoba membaca dan menganalisis kembali
buku itu, rasanya memang benar apa yang dikatakan Kamaruddin. Buku itu lebih
banyak berisikan norma-norma dakwah yang diturunkan dari al-Qur’an yang
merupakan tafsir dari M. Natsir.
[58]Semua buku-buku dakwah yang
dipakai di Fakultas Dakwah tidak memperlihatkan perbedaan pendapat tentang
kelima faktor ini, tetapi perbedaan baru terlihat waktu merumuskan maksud/arti
dari masing-masing faktor itu. Buku utama yang sering dijadikan sebagai rujukan
faktor dakwah ini adalah karya Abdul Karim Zaidan, Ushul al-Da’wah, Dar
Umar Ibn al-Khattab, Isklandariyah, 1976 (diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia oleh H.M. Asywadie Syukur, Lc. dengan judul Dasar-dasar Ilmu
Dakwah, diterbitkan oleh Media Dakwah pertama tahun 1980, dan dijadikan dua
jilid). Dari lima faktor yang dikemukakan itu pada prinsipnya memang tidak ada
bedanya dengan faktor-faktor Ilmu Komunikasi. Justru itu ada benarnya kritikan
dari Jalaluddin Rakhmat bahwa “dakwah” adalah “pengaraban” istilah
“komunikasi”. Dalam “Ilmu Komunikasi” kelima faktor yang ada dalam “Ilmu Dakwah”
itu disebut, (1) komunikator, (2) komunikan, (3) pesan, (4) metode, dan (5)
media.
[59]Lihat! Ibrahim Anis dkk, Al-Mu’jam
al-Wasit (jilid 1-2), Cet. II, Kairo, 1972, hal. 768.
[60]Dalam salah satu diskusi
dalam mata kuliah tafsir berkaitan dengan masalah yang disebutkan di atas H.M.
Quraish Shihab memberikan komentar; “Karena dunia jin tidak sama dengan dunia
manusia, maka tidak ada tanggung jawab umat Muhammad untuk berdakwah terhadap
jin, dan ada kemungkinan mereka punya cara sendiri.
[61]Al-Raghib Isfahani, Mu’jam
Mufradat li Alfaz al-Qur’an, Dar al-Fikri, Beirut, t.t, 163.
[63]Ibid.
[64]Lihat! Isfahani, ibid.,
163.
[66]M. Quraish Shihab, Wawasan
Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Perbagai Persoalan Umat, Cet. I, Mizan,
Bandung, 1996, hal. 343.
[67]Lihat (1) Lisan
al-’Arab, Jilid 15, hal. 187-188; (2) Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir:
Kamus Arab Indonesia, Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta,
1984, hal. 699.
[68]Lihat Lisan al-’Arab,
Ibid.
[69]Lihat Imam Malik Ibn Anas, al-Muwatta’
(Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hal. 602. Lengkapnya bunyi hadis tersebut:
عـن أبي هـريرة رضى الله
عـنه قال : قد تركت فيكم
امـريـن لن تضـلـوا مـا
مـسـكـتــم بـهمـا كـتاب
الله و سـنــة نـبـيـه ,
رواه مـالك
Artinya:
Dari Abu Hurairah ra., bersabda Rasulullah saw. Aku tinggalkan untukmu dua
perkara, tidaklah kamu tersesat selama-lamanya selama kamu masih berpegang pada keduanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnah
Nabi-Nya. (HR. Malik)
[70]Lihat Pengantar,
op. cit., hal. 58-65.
[71]Ada sebagian pendapat yang
mengatakan bahwa ungkapan Ali bin Abi Talib di atas adalah Sabda Rasulullah
Saw., tetapi setelah dilakukan penelitian oleh ahli hadis, dapat disimpulkan
bahwa ia bukan sabda Rasulullah, tetapi berasal dari Ali bin Abi Talib. Arti
ungkapan Ali di atas adalah: “perbuatan lebih utama dari ucapan.”
0 Comment