Refleksi Kebenaran dan Objektivitas dalam Ilmu
PENDAHULUAN
Jika kita
sekarang mempelajari berbagai hal berkaitan tentang ilmu pengetahuan, maka kita
tentu harus ingat pula keberadaan filsafat sebagai induk dari ilmu pengetahuan
itu. Hal itu dapat diyakini kebenarannya karena filsafat melahirkan berbagai
ilmu pengetahuan yang ada sampai dengan sekarang ini.
Sebagai induk dari ilmu
maka filsafat berusaha untuk menjawab serta memahami atau mengerti tentang
makna kehidupan dan nilai-nilainya. Pemaknaan nilai-nilai yang ada di dunia ini
menggunakan bahasa sebagai alat untuk menyampaikan kebenaran dan nilai-nilai.
Hal ini dapat dimaknai bahwa tanpa kemampuan berbahasa, manusia tidak akan
mungkin mengembangkan kebudayaannya, sebab tanpa bahasa maka hilanglah
kemampuan untuk meneruskan nilai-nilai dari generasi satu ke generasi
berikutnya. Dinyatakan pula bahwa “tanpa bahasa” simpul Aldous Huxiey
maka manusia tidak jauh berbeda dengan anjing atau monyet.”
Sehubungan
dengan pembahasan tentang kebenaran dan objektivitas dalam ilmu (Pembahasan
yang sangat rumit bagi penulis) penulis berupaya untuk menguraikan sedikit
tentang apa itu Objektivitas dan kebenaran, Hubungan antara metode dengan
kebenaran ilmu termasuk didalam tentang beberapa Pandangannya,
standarisasi ilmu dan sifat kebenaran ilmu.
PEMBAHASAN
A. OBJEKTIVITAS
Secara
bahasa objektivitas dapat dipahami sebagai sebuah sikap yang menggambarkan
adanya kejujuran, bebas dari pengaruh pendapat dan pertimbangan pribadi atau
golongan dan lain-lain khususnya dalam upaya untuk mengambil sebuah keputusan
atau tindakan.[1] Dalam
konteks keilmuan objektivitas hanya dapat diakui jika dan hanya jika melalui
prosedur yang absah berdasarkan konsep metode ilmiah. Jika sesuai dengan syarat
dan prosedur metode ilmiah maka penemuan tersebut bisa disebut objektif dan
jika tidak maka disebut sebagai sesuatu yang tidak objektif dan karenanya
dianggap nisbi. Selanjutnya dengan metode ilmiah itu sebuah ilmu benar-benar
bisa diakui objektif atau bebas nilai. Meskipun dalam tataran historis sesuatu
yang kemudian terbantahkan adalah objektivitas mengapa selalu berubah-ubah
seiring dengan bergulirnya waktu, khususnya perkembangan sains dan teknologi.
Bukankah semestinya, sesuatu yang objektif di masa lalu juga objektif di masa
sekarang dan yang akan datang. Oleh karena itu wajar jika kemudian muncul
pertanyaan, benarkah yang dianggap nisbi itu betul-betul nihil atau justru
eksis dan sebaliknya? Sebelum membahas hal ini ada baiknya kita kaji sedikit lebih dulu apa itu
ada atau apa itu ontologi[2].
Karena
objektif itu seringkali dipahami identik dengan ada, maka bahasan ontologi
menjadi perlu untuk dijadikan bahasan awal dalam pemaparan mengenai
objektifitas itu sendiri. Masalah ontologi adalah bagian dari filsafat ilmu
yang membahas pandangan terhadap hakikat ilmu atau pengetahuan ilmiah. Termasuk
dalam pandangan terhadap hakikat ilmu ini adalah pandangan terhadap sifat ilmu
itu sendiri.[3]
Selain itu, secara historis kajian ontologi merupakan bahasan filsafat yang
paling tua. Hal ini dikarenakan rasa ingin tahu manusia terhadap hakikat segala
sesuatu yang ada termasuk eksistensinya sebagai manusia. Secara faktual,
keberadaan manusia bukanlah sesuatu yang lahir dari kesadaran dirinya, namun
disebabkan oleh suatu kehendak di luar dirinya yang mengharuskan manusia itu
sendiri secara pribadi menerima dirinya apa adanya. Manusia sama sekali tidak
mengerti mengapa dia berjenis kelamin pria atau wanita dan lahir dari wanita
bangsawan ataupun wanita biasa. Maka dengan kondisi demikian, kajian ontologi
dengan sendirinya akan memberikan dampak positif dalam pemaknaan diri dan
kehidupan manusia itu sendiri.[4]
Pengamatan
yang mendalam terhadap kehidupan ini secara otomatis akan mengantarkan manusia
pada satu kesadaran dimana dia akan mencari sang pencipta yang tidak lain
adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Secara alamiah konsep kebetulan tidaklah dapat
diterima logika sehat. Sebab secara faktual, pengalaman kehidupan, tidak ada
yang ada secara sendiri, demikian juga halnya, tidak ada yang ada secara
kebetulan, karena yang disebut kebetulan itu pada dasarnya ada oleh adanya
proses yang ada di luar dirinya yang tidak ia ketahui, sehingga ia mengatakan
ada itu, ada secara kebetulan, kesimpulan semacam ini tentu keliru, karena
telah menegasikan hakikat fakta yang merealita[5].
B.
KEBENARAN
Kebenaran tertuang dalam uangkapan-ungkapan
yang diangap benar, misalnya hukum-hukum, teori-teori, ataupun rumus-rumus
filsafat, juga kenyataan yang dikenal dan diungkapkan. Mereka muncul dan
berkembang maju sampai pada taraf kesadaran dalam diri pengenal dan masyarakat
pengenal. Kebenaran dapat dikelompokkan dalam tiga makna: kebenaran moral,
kebenaran logis, dan kebenaran metafisik. Kebenaran moral menjadi bahasan
etika, ia menunjukkan hubungan antara yang kita nyatakan dengan apa yang kita
rasakan. Kebenaran logis menjadi bahasan epistemologi, logika, dan psikologi,
ia merupakan hubungan antara pernyataan dengan realitas objektif. Kebenaran
metafisik berkaitan dengan yang-ada sejauh berhadapan dengan akalbudi, karena yang-ada
mengungkapkan diri kepada akalbudi. Yang ada merupakan dasar dari kebenaran,
dan akalbudi yang menyatakannya. Menurut teori kebenaran metafisis/ontologis,
kebenaran adalah kualitas individual atas objek, ia merupakan kualitas primer
yang mendasari realitas dan bersifat objektif, ia didapat dari sesuatu itu
sendiri. Kita memperolehnya melalui intensionalitas, tidak diperoleh dari
relasi antara sesuatu dengan sesuatu (misal: kesesuaian antara pernyataan
dengan fakta)[6]. Dengan demikian kebenaran
metafisis menjadi dasar kebenaran epistemologis, pernyataan disebut benar kalau
memang yang mau dinyatakan itu sungguh ada. Sesuatu mesti diketahui dahulu baru
dinyatakan
a.
Hubungan antara metode dengan kebenaran ilmu
Kebenaran
ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah, artinya suatu kebenaran tidak
mungkin muncul tanpa adanya tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk memperoleh
pengetahuan ilmiah. Secara metafisis kebenaran ilmu bertumpu pada objek ilmu,
melalui penelitian dengan dukungan metode serta sarana penelitian maka
diperoleh suatu pengetahuan. Semua objek ilmu benar dalam dirinya sendiri,
karena tidak ada kontradiksi di dalamnya. Kebenaran dan kesalahan timbul
tergantung pada kemampuan menteorikan fakta. Bangunan suatu pengetahuan secara
epistemologis bertumpu pada suatu asumsi metafisis tertentu, dari asumsi
metafisis ini kemudian menuntut suatu cara atau metode yang sesuai untuk
mengetahui objek. Dengan kata lain metode yang dikembangkan merupakan
konsekuensi logis dari watak objek. Oleh karena itu pemaksaan standar tunggal
pengetahuan dengan paradigma tertentu merupakan kesalahan, apapun alasannya,
apakah itu demi kepastian maupun objektivitas suatu pengetahuan. Secara
epistemologis kebenaran adalah kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai
diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya yang menjadi objek pengetahuan.
Kebenaran terletak pada kesesuaian antara subjek dan objek, yaitu apa yang
diketahui subjek dan realitas sebagaimana adanya[7].
Setiap
tradisi epistemologi beranggapan bahwa kebenaran suatu pengetahuan dapat
diperoleh berkat metode yang dipergunakannya, adapun pandangannya adalah
sebagai berikut.
1.
Empirisme
Empirisme
sangat menghargai pengamatan empiris dan cara kerja a posteriori Empirisme bertitik tolak dari adanya
dualitas antara pengenal dan apa yang
dikenal. Mereka menginginkan agar apa yang terdapat dalam pengetahuan pengenal bersesuaian dengan kenyataan yang
ada di luarnya. Mereka memberi peran
yang besar pada objek yang mau dikenal, sedang pengenal bersifat pasif.
Teori
Kebenaran Korespondensi adalah sarana bagi mereka untuk menguji hasil
pengetahuan, menurut teori ini suatu pernyataan dikatakan benar bila sesuai
dengan fakta empiri yang menjadi objeknya. Menurut Abbas, teori kebenaran korespondensi
adalah teori kebenaran yang paling awal, sehingga dapat digolongkan ke dalam
teori kebenaran tradisional karena Aristoteles sejak awal (sebelum abad Modern)
mensyaratkan kebenaran pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan yang
diketahuinya[8]. Kelemahan teori kebenaran
korespondensi ialah munculnya kekhilafan karena kurang cermatnya penginderaan,
atau indera tidak normal lagi. Di samping itu teori kebenaran korespondensi
tidak berlaku pada objek/bidang nonempiris atau objek yang tidak dapat
diinderai. Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya objektif, ia
harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam pembentukan
objektivanya. Kebenaran yang benar-benar lepas dari kenyataan subjek.
2.
Rasionalisme
Spinoza
dan Hegel amat menekankan pada pengenal dibanding dengan apa yang dikenal
sebagai suatu kenyataan, mereka adalah tokoh yang menekankan dibangunnya
pengetahuan yang bersifat a priori sebagaimana ilmu falak dan mekanika. Ilmu falak dan mekanika
tidak bisa memakai kenyataan objektif untuk mendukung pernyataan-pernyataan
teoritisnya, karena menurutnya ilmu cukup bertumpu pada kerangka teoritis yang
bersifat a priori. Mereka menggunakan Teori Kebenaran Koherensi dalam menguji
produk pengetahuannya. Teori Kebenaran Koherensi berpandangan bahwa suatu
pernyataan dikatakan benar bila terdapat kesesuaian antara pernyatan satu
dengan pernyataan terdahulu atau lainnya dalam suatu sistem pengetahuan yang
dianggap benar. Sebab sesuatu adalah anggota dari suatu sistem yang
unsur-unsurnya berhubungan secara logis. Teori kebenaran koherensi tergolong
dalam teori kebenaran yang tradisional. Selain melalui hubungan
gagasaan-gagasan secara logis-sistemik, ada beberapa cara pembuktian dalam
berpikir rasional, yaitu melalui hukum-hukum logika dan perhitungan matematis. Kebenaran
koherensi mempunyai kelemahan mendasar, yaitu terjebak pada penekanan
validitas, teorinya dijaga agar selalu ada koherensi internal. Suatu pernyataan
dapat benar dalam dirinya sendiri, namun ada kemungkinan salah jika dihubungkan
dengan pernyataan lain di luar sistemnya. Hal ini bisa mengarah pada
relativisme pengetahuan. Misal pada jaman Pertengahan ilmu bertumpu pada mitos
dan cerita rakyat, kebenaran argumen tidak pernah bertumpu pada pengalaman
dunia luar.
C.
STANDARISASI ILMU
Beberapa
pandangan tentang kebenaran tak terelakkan mengarah kepada relativisme,
Filsafat adalah merupakan contoh dari suatu sistem yang mempertahankan kebenaran
hingga mengarah ke bentuk solid. Lingkungan dari berbagai budaya sepertinya
mengadopsi kebenaran yang berbeda satu dengan lainnya karena di sana tidak ada
jalan untuk membandingkan secara transkultural. Popper mengatakan: kita
terkurung dalam kerangka teori kita, ekspektasi kita, pengalaman lampau kita,
dan bahasa kita. Dalam perjalanan sejarah Ilmu, ilmu modern (Positivisme)
berusaha melakukan standarisasi metode dan kebenaran pengetahuan. Faham Positivisme
menginginkan satu standar bagi pengetahuan dan keyakinan manusia yaitu ilmu.
Menurutnya ilmu lebih unggul baik dalam metode maupun kebenaran disbanding pengetahuan dan keyakinan lainnya. Gadamer
menginginkan standar metode yang berbeda untuk ilmu humaniora, karena
menurutnya historia adalah sumber kebenaran yang sepenuhnya berbeda dengan
alasan teoritis[9]. Demikian juga Dilthey dan
Weber menginginkan pendekatan yang berbeda untuk dunia sosial, mereka
menetapkan teori kritis tentang masyarakat. Kata “benar” yang dipergunakan
dalam ilmu, agama, spiritualitas, estetika adalah sama, namun semuanya tidak
dapat diukur dengan standard yang sama (inkommensurabel), tidak ada satupun
yang benar-benar menunjuk pada klaim bahwa suatu pernyataan adalah benar dalam
suatu makna kata namun bermakna salah pada lainnya. Misal: kata “ilmu
penciptaan” sebagai pemilik kebenaran menjadi bermakna keteraturan (kosmos)
diterima sebagai ilmiah namun tujuannya tidak ilmiah dan dua jenis kebenaran
tersebut tidak sama[10]
. Adalah sulit untuk menyatakan ”benar” tentang keyakinan ataupun visi dari suatu
masyarakat atau budaya. Karena itu sulit untuk menilai tingkat kebenaran misalnya
antara filsafat Barat dan filsafat Cina, sebab masing-masing punya cakupan,
kompleksitas dan variasi yang berbeda[11].
Sekarang apakah pemakaian bahasa
merupakan suatu keharusan dalam ilmu? Roger mengatakan bahwa semua kebenaran
ilmiah adalah provisional. Pemakaian suatu bahasa dalam rumusan yang lugas dan
abstrak bahkan jauh dari nuansa keseharian adalah tidak dapat dihindarkan.
Usaha tersebut untuk menghindari pola intuisi yang kadang salah dan tidak
bermakna. Apapun bentuk rasionalisasi internal dari ilmuwan tetap membutuhkan
pengkomunikasian kebenaran kepada ilmuwan lain, apakah dalam rumusan matematika
ataupun rumusan lainnya. Kebenaran ilmiah tidak dapat dipisahkan dari bahasa
dalam arti umum, termasuk matematika. Menurut para sosiolog, ilmu adalah suatu
aktivitas sosial . Merumuskan suatu pernyataaan adalah usaha mengkomunikasikan,
oleh karena itu membutuhkan konsep dan bahasa untuk dapat menyatakannya; jadi
kebenaran tidak dapat dipisahkan dari konsep manusia dan alat linguistic[12].
Secara epistemologis kebenaran memegang peranan penting bagi komunikasi antara
penghasil pengetahuan kepada yang mewarisinya atupun kepada tradisi epistemologi
lainnya.
Wittgenstein
dalam pemikiran awalnya berpendapat bahwa dasar penilaian kebenaran dari
proposisi adalah kemungkinan ada dan tidaknya fakta atomis yang akan
memverifikasi proposisi itu sendiri. Fakta atomis mempunyai peran membuat
proposisi benar daripada memapankan proposisi sebagai benar[13].
Pendekatan pada kebenaran dalam ilmu
alam adalah pendekatan terhadap sesuatu di luar pengenal, oleh karena itu
memungkinkan dicapainya “keadaan yang sebenarnya” dari objek pengetahuan
walaupun tetap memungkinkan adanya pengaruh dari pengenal. Objektivitas dalam
ilmu-ilmu sosial sulit dicapai karena adanya hubungan timbal balik yang
terus-menerus antara subjek pengenal dan objek yang dikenal
D.
SIFAT KEBENARAN ILMU
Kebenaran mempunyai banyak aspek, dan
bahkan bersama ilmu dapat didekati secara terpilah dan hasil yang bervariasi
atas objek yang sama[14].
Popper memandang teori adalah sebagai hasil imajinasi manusia, validitasnya
tergantung pada persetujuan antara konsekuensi dan fakta observasi.
a.
Evolusionisme
Suatu teori adalah tidak pernah benar dalam
pengertian sempurna, paling bagus hanya berusaha menuju ke kebenaran. Thomas
Kuhn berpandangan bahwa kemajuan ilmu tidaklah bergerak menuju ke kebenaran,
jadi hanya berkembang. Sejalan dengan itu Pranarka melihat ilmu selalu dalam
proses evolusi apakah berkembang ke arah kemajuan ataukah kemunduran, karena
ilmu merupakan hasil aktivitas manusia yang selalu berkembang dari jaman ke
jaman[15].
Kebenaran ilmu walau diperoleh secara konsensus namun memiliki sifat universal
sejauh kebenaran ilmu itu dapat dipertahankan. Sifat keuniversalan ilmu masih
dapat dibatasi oleh penemuan-penemuan baru atau penemuan lain yang hasilnya
menggugurkan penemuan terdahulu atau bertentangan sama sekali, sehingga
memerlukan penelitian lebih mendalam . Jika hasilnya berbeda dari kebenaran
lama maka maka harus diganti oleh penemuan baru atau kedua-duanya berjalan
bersama dengan kekuatannya atas kebenaran masing-masing. Ilmu sekarang lebih
mendekati kebenaran daripada ilmu pada jaman Pertengahan, dan ilmu pada abad
duapuluh akan lebih mendekati kebenaran daripada abad sebelumnya. Hal tersebut
tidak seperti ilmu pada jaman Babilonia yang dulunya benar namun sekarang
salah, ilmu kita (kealaman) benar untuk sekarang dan akan salah untuk seribu
tahun kemudian, tapi kita mendekati kebenaran lebih dekat[16].
b.
Konstruktivisme
Konstruktivisme menjadikan konsensus
sebagai landasan bagi teori kebenaran. Menurut teori ini, konsensus di antara
anggota komunitas merupakan jalan bagus untuk mencapai kebenaran, dengan kata
lain konsensus hanya merupakan kriteria validitas. Konstruktivisme terjebak
dalam pandangan bahwa Alam tidaklah ada, yang ada hanya merupakan kontruksi
dari anggota-anggota yang melakukan konsensus.Latous dan Wolgar menyatakan
bahwa aktivitas ilmiah tidak hanya “tentang alam”, tetapi adalah usaha keras
untuk mengkonstruksi realitas.
c.
Relativisme
Relativisme berpandangan bahwa bobot suatu
teori harus dinilai relative dilihat dari penilaian individual atau grup yang
memandangnya. Feyerabend memandang ilmu sebagai sarana suatu masyarakat
mempertahankan diri, oleh karena itu kriteria kebenaran ilmu antar masyarakat
juga bervariasi karena setiap masyarakat punya kebebasan untuk menentukan
kriteria kebenarannya[17].
Rortry mengatakan bahwa pencarian kebenaran adalah nothing tapi hanya perubahan ke kebaikan.
Pragmatisme tergolong dalam pandangan relativis karena menganggap kebenaran
merupakan proses penyesuaian manusia terhadap lingkungan. Karena setiap kebenaran
bersifat praktis maka tiada kebenaran yang bersifat mutlak, berlaku umum,
bersifat tetap, berdiri sendiri, sebab pengalaman berjalan terus dan segala
sesuatu yang dianggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.
d.
Objektivisme
Apa yang diartikan sebagai “benar” ketika
kita mengklain suatu pernyataan adalah sebagaimana yang Aristoteles artikan
yaitu ”sesuai dengan keadaan“:pernyataan
benar adalah “representasi atas objek” cermin atas itu ). Tarski menekankan
teori kebenaran korespondensi sebagai landasan objektivitas ilmu, karena suatu
teori dituntut untuk memenuhi kesesuaian antara pernyataan dengan fakta. Teori
kebenaran yang diselamatkan Tarski merupakan suatu teori yang memandang
kebenaran bersifat “objektif”, karena pernyataan yang benar melebihi dari
sekedar pengalaman yang bersifat subjektif. Ia juga “absolut” karena tidak
relatif terhadap suatu anggapan atau kepercayaan[18].
Namun Tarski melihat suatu pernyataan menjadi tidak memadai tatkala pernyataan
itu adalah teori ilmiah yang merupakan abstraksi dan penyederhanaan atas alam.
Misal : hukum tentang gerak dari Newton[19].
Objektivisme menyingkirkan individu-individu dan penilaian para individu yang
memegang peranan penting di dalam analisa-analisa tentang pengetahuan, objektivisme
lebih bertumpu pada objek daripada subjek dalam mengembangkan ilmu. Bila teori ilmiah
benar dalam arti sesungguhnya, yaitu bersesuaian secara pasti dengan keadaan,
maka tidak ada tempat bagi interpretasi ketidaksetujuan, beberapa ilmuwan
percaya bahwa teori-teori mewakili gunung kebenaran. Roger berpendapat bahwa
teori-teori selalu merupakan imajinasi dari konstruksi mental, dikuatkan oleh
persetujuan antara fakta observasi dan peramalan atas implikasi. Kelemahan
kebenaran merupakan kesesuaian dengan keadaan adalah mereka merupakan
penyederhanaan dan pengabstraksian dari hubungan antara fakta-faktadan
kejadian-kejadian yang digabungkan dengan unsur persetujuan[20].
KESIMPULAN
·
Objektivitas adalah sebuah sikap yang menggambarkan adanya kejujuran,
bebas dari pengaruh pendapat dan pertimbangan pribadi atau golongan dan
lain-lain khususnya dalam upaya untuk mengambil sebuah keputusan atau tindakan.
·
Kebenaran ilmiah pada akhirnya tidak bisa
dibuat dalam suatu standard yang berlaku bagi semua jenis ilmu secara paksa,
hal ini terjadi karena adanya banyak jenis dalam pengetahuan. Walaupun ilmu
bervariasi disebabkan karena beragamnya objek dan metode, namun ia secara umum
bertujuan mencapai kebenaran yang objektif, dihasilkan melalui konsensus.
Kebenaran ilmu yang demikian tetap mempunyai sifat probabel, tentatif,
evolutif, bahkan relatif, dan tidak pernah mencapai , hal ini terjadi karena ilmu diusahakan oleh
manusia dan komunitas sosialnya yang selalu berkembang kemampuan akal budinya.
Wa Alla>h Al-A’lam
DAFTAR PUSTAKA
Abbas,
H.M., “Kebenaran
Ilmiah” dalam: Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Intan Pariwara, 1997.
Asy’arie, H. Musa, Filsafat
Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, Yogyakarta: LESFI, 2010.
Agus, Bustanuddin, Pengembangan
Ilmu-Ilmu Sosial; Studi Banding antara Pandangan Ilmiah dan Ajaran Islam,
Jakarta: GIP, 1999.
Deutsch,
Eliot, On
Truth: An Ontological Theory, Honolulu: The University Press of Hawai, 1979.
Feyerabend,
Paul, “How to Defend Society Againts Science” dalam Scientific Revolutions ed: Ian Hacking, New York: Oxford University Press, 1983.
Gadamer,
Hans Georg, Truth
and Method,
alih bahasa: Ahmad
Sahidah: Kebenaran dan Metode, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1975.
Hall,
David, Truth in Comparative Context. In Social Epistemology : A
Journal of Knowledge, Culture and Policy Vol:15 nomor 4, London: Tailor & Francis Ltd, 2001.
Newton,
Roger G,: The
Truth of Science: Physical Theories and Reality, London: Harvard University Press, 1997.
Padinjarekutt,
Joanne,: The
Principle of Verification,
Roma: Gregorianae University, 1974.
Pranarka,
A.M.W., Epistemologi
Dasar: Suatu Pengantar.
Jakarta: CSIS, 1987.
Sonny
Keraf dan Mikhael Dua, 2001, Ilmu Pengetahuan : Sebuah Tinjauan Epistemologis, Kanisius, Yogyakarta.
Taryadi,
Alfons, Epistemologi
Pemecahan Masalah, menurut Karl R. Popper, Yogyakarta: Kanisius, 1989.
[2] Dikarenakan perlunya pembahasan Ontologi maka Pemakalah menyingung
sedikit tentang bahasan tersebut, sebelumnya pemakalah mohon maaf karena masuk
kamar orang (meminjam istilah teman-teman)
[3] Bustanuddin
Agus, Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial;
Studi Banding antara Pandangan Ilmiah dan Ajaran Islam, (Jakarta: GIP,
1999), hal. 23
[4] H. Musa Asy’arie, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir,
(Yogyakarta: LESFI, 2010), hal. 39–40
[5] Ibid, hal. 41
[6] Eliot Deutsch, On Truth: An Ontological Theory, (Honolulu: The University Press of Hawai, 1979), hal 96-102
[7] A. Sonny Keraf dan Mikhael Dua, , Ilmu Pengetahuan : Sebuah
Tinjauan Epistemologis
(Yogyakarta: Kanisius, 2001), Hal 66
[8] H.M. Abbas “Kebenaran Ilmiah” dalam: Filsafat
Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Intan Pariwara, 1997), Hal
87
[9] Hans Georg Gadamer, Truth and Method, alih bahasa: Ahmad Sahidah: Kebenaran dan
Metode, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1975) Hal 27.
[10] Roger G Newton, The Truth of Science: Physical
Theories and Reality,
(London: Harvard University Press, 1997) hal 202
[11] David Hall, “Just How Provincial is Western Philosophy: Truth
in Comparative Context. In Social Epistemology : A
Journal of Knowledge, Culture and Policy Vol:15 nomor 4 (London: Tailor &
Francis Ltd, 2001) Hal 268
[12] Roger G Newton, The Truth of science…..Hal 214
[13] Joanne Padinjarekutt, “The Principle of Verification”,
(Disertasi, Gregorianae University, Roma, 1974) Hal 61
[14] Roger G Newton, The Truth
of science…..Hal 206
[16] Roger G Newton, The Truth
of science…..Hal 210
[17] Paul
Feyerabend, “How to
Defend Society Againts Science” dalam Scientific Revolutions ed: Ian Hacking, (New
York: Oxford University Press 1983) Hal 156.
[18] Alfons
Taryadi, Epistemologi
Pemecahan Masalah, menurut Karl R. Popper,( Yogyakarta: Kanisius,
1989), 71.
[19] Roger G Newton, The Truth
of science…Hal 204
[20] Ibid, Roger G Newton, The
Truth of science…..Hal 213
0 Comment