13 Mei 2012

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jika kita perhatikan akhir-akhir ini, kajian terhadap Al-Qur’an dan metodologi tafsir menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan. Barangkali ini adalah konsekuensi logis dari Al-Qur’an yang mempunyai posisi sentral bagi kehidupan umat Islam, yaitu sebagai hudan li al-nas. Terlebih ketika Al-Qur’an diklaim sebagai salih li kulli zaman wa makan, pengapungan makna teks Al-Qur’an menjadi sebuah keniscayaan.
Namun demikian, meng-up date ajaran-ajaran atau makna yang terkandung dalam Al-Qur’an supaya selalu relevan dalam segala dimensi ruang dan waktu, dan operasional dalam kehidupan tersebut bukanlah persoalan mudah. Untuk dapat mencapai makna yang tepat dan untuk memperoleh pemahaman secara utuh terhadap spirit dan ide-ide yang terkandung di dalamnya, dibutuhkan suatu metode yang sesuai. Metode, selain juga pendekatan, inilah nantinya yang akan menentukan produk tafsir. Bahkan, dapat dikatakan bahwa aspek metodologis merupakan aspek yang determinan dalam aktivitas penafsiran.
Dalam penafsiran Al-Qu’ran sendiri, sebenarnya sudah banyak metode yang telah diterapkan, yaitu dalam setiap metodenya mengambil salah satu bentuk dari dua bentuk tafsir yang ada, yaitu bentuk tafsir bi al-ma’sur atau tafsir bi al-ra’yi. Tafsir dalam kategori bi al-ma’sur lebih banyak ditemukan dalam karya-karya tafsir pada generasi awal, yaitu setelah tafsir disusun secara sistematis ke dalam sebuah kitab. Tafsir bi al ma’sur ini baru dikenal sesudah periode sahabat dan tabi’in, walaupun kegiatan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an sudah dimulai jauh sebelumnya, yaitu semenjak zaman para sahabat Nabi saw.
Setelah ilmu pengetahuan berkembang pesat pada masa Daulah Abbasiyah, metode tafsir bi al-ma’sur dianggap tidak memadai. Perkembangan dan perubahan zaman menuntut ulama tafsir untuk mengembangkan metode baru dalam tafsir. Mereka pun kemudian mengintrodusir sebuah metode baru yang melampau metode sebelumnya (tafsir bi al-ma’sur), yaitu mulai dipakainya bantuan bermacam-macam ilmu pengetahuan seperti ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu hadis, ushul fiqh, ilmu, sejarah, ‘ulum al-Qur’an dan lain-lain, yang kemudian di kenal sebagai metode tafsir bi al ra’yi atau tafsir bi al-ma’qul, yaitu metode tafsir yang memberi peran besar terhadap ra’yu atau penalaran.
Sejak munculnya tafsir bi al-ra’yi, ilmu-ilmu yang tercakup dalam ‘ulum al-Qur’an menjadi populer dalam penafsiran. Bahkan, pengetahuan terhadap ilmu-ilmu tersebut dijadikan sebagai pra syarat untuk dapat menafsirkan Al-Qur’an. Salah satu yang tercakup dalam ‘ulum al-Qur’an tersebut adalah ilmu asbab al-nuzul. Ilmu ini muncul untuk mengakomodir pentingnya realitas tertentu yang dianggap punya korelasi dengan turunnya ayat-ayat tertentu dalam Al-Quran. Latar belakang atau sebab tertentu yang dikenal dengan asbab al-nuzul tersebut, dianggap punya keterkaitan erat dengan diturunkannya ayat-ayat Al-Qur’an. Itulah kenapa kemudian sebagian ulama, khususnya ulama klasik memandang bahwa ilmu asbab al-nuzul sangatlah penting dan sebagai pra syarat yang tidak boleh dinafikan pada saat hendak menafsirkan ayat-ayat tertentu tersebut—yang diklaim mempunyai latar belakang atau asbab al-nuzul.
Berkaitan dengan metode penafsiran di atas, menafsirkan ayat dengan didasarkan pada laporan tentang peristiwa yang menyebabkan diturunkannya ayat (asbab al-nuzul), oleh Daud Rahbar, dipandang sebagai salah satu bentuk metode dari—paling sedikitnya—empatbelas macam metode yang telah dipakai selama ini untuk menafsirkan ayat Al-Qur’an. Barangkali pandangan Rahbar itu sendiri juga bukan tanpa alasan. Karena dalam kenyataanya, khususnya yang dilakukan ulama klasik, menafsirkan ayat dengan menggunakan pengetahuan asbab al-nuzul atau peristiwa tertentu yang dianggap punya keterkaitan dengan suatu ayat telah menjadi sebuah tradisi yang berlangsung dalam kurun waktu yang sangat panjang dalam sejarah penafsiran Al-Qur’an. Melakukan penafsiran dengan memakai ilmu asbab al-nuzul sudah menjadi tradisi di kalangan ulama, khususnya ulama klasik. Bahkan, pengetahuan akan asbab al-nuzul, oleh kebanyakan ulama klasik, dijadikan sebagai salah satu syarat yang sangat mendasar bagi pemahaman dan penafsiran Al-Qur’an.
Pandangan dari ulama dalam kategori klasik—yang begitu mementingkan ilmu asbab al nuzul—ini dapat dilihat seperti pandangan dari Manna Khalil al- Qattan, bahwa untuk menafsirkan Al-Qur’an, ilmu asbab al-nuzul diperlukan sekali. Baginya, asbab al-nuzul merupakan sebab diturunkannya Al-Qur’an. Termasuk juga Hasbi Ashshiddieqy, ia secara terminologis mengartikan asbab al-nuzul sebagai kejadian yang karenanya diturunkan Al-Qur’an untuk menerangkan hukum-hukumnya di hari munculnya kejadian-kejadian itu dan suasana yang di dalamnya Al-Qur’an diturunkan serta membicarakan hal tersebut, baik diturunkan langsung sesudah terjadi sebab itu atau pun kemudian, lantaran sesuatu hikmah. Bahkan, Al-Wahidi memandang bahwa memahami ayat tanpa asbab al-nuzul adalah tidak mungkin.
Selain ulama klasik, dalam menafsirkan ayat, ulama kontemporer pun kebanyakan tidak berbeda dalam memperlakukan asbab al-nuzul. Kebanyakan dari mereka tetap memakainya sebagai bantuan dalam memahami kandungan ayat—kendati dalam memahami ayat, bantuan tersebut tidak terbatas pada asbab al-nuzul saja, melainkan juga meliputi faktor-faktor lain semisal ilmu kebahasaan (linguistik), nasikh-mansukh, ilmu balaghah, konteks sosiologis dan antropologismasyarakat Arab dan lain sebagainya. Asbab al-nuzul tidak menjadi raib dalam model penafsiran mereka, tetapi asbab al-nuzul masih dijadikan sebagai faktor pertimbangan meskipun penggunaannya tidak seradikal pada penafsiran ulama klasik. Asbab al-nuzul tetap digunakan oleh ulama kontemporer sebagai bantuan dalam mempertimbangkan makna ayat.. Walaupun disertai pra syarat-pra syarat lain atau meskipun sekadar sebagai ilmu bantu, asbab al-nuzul tetap harus ditilik. Karena, walaupun sekadar sebagai bantuan, asbab al-nuzul dianggap sebagai faktor yang dapat mempermudah memahami ayat. Dengan demikian, ulama kontemporer tetap memberi tempat bagi asbab al-nuzul ketika menafsirkan ayat-ayat tertentu—yang diklaim berasbab al-nuzul.
Melihat tradisi penafsiran dengan metode seperti di atas yang memberikan tempat bagi asbab al-nuzul yang sedemikian rupa, maka penyusun tertarik untuk menghadapkannya pada metode hermeneutika yang dibangun oleh Ricoeur dalam menganalisis teks. Karena dalam memahami teks atau dalam mengungkap makna teks, Ricoeur ini mempunyai metode yang sama sekali lain dengan metode penafsiran yang memakai asbab al-nuzul di atas. Bahkan, antara keduanya saling bertolak belakang, terutama ketika memperlakukan konteks yang melingkupi ayat.
Ricoeur punya cara lain dalam menyikapi konteks. Bagi Ricoeur, pengetahuan tentang konteks tidak menjadi syarat khusus karena menurut Ricoeur konteks tidak diperlukan dan bahkan harus diacuhkan. Di sinilah letak perbedaannya dengan metode penafsiran di atas. Teori otonomi semantik teks membawa Ricoeur untuk tidak mengikutsertakan konteks atau sesuatu yang melingkupi teks ke dalan penafsiran teksnya. Sementara dalam tradisi penafsiran Al-Quran, sebagaimana yang digambarkan di atas, justeru sebaliknya. Konteks yang berbentuk asbab al-nuzul (konteks khusus yang melatarbelakangi ayat) justeru sangat signifikan dalam mengungkap makna yang memiliki asbab al-nuzul.
Memang, metode hermeneutika sudah sering dicoba diterapkan sebelumnya sebagai metode dalam penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an. Terutama akhir-akhir ini, metode ini tampak populer di kalangan ulama. Namun, hermeneutika yang diterapkan sejauh ini adalah hermeneutika yang memperlakukan konteks sebagai hal yang signifikan dan tetap harus dipertimbangkan dalam penafsiran ayat, walaupun konteks yang dimaksud di sini mempunyai arti lebih luas atau cakupannya melebihi asbab al-nuzul. Misalnya apa yang dilakukan oleh Fazlur Rahman ketika menafsirkan ayat. Teori double movement atau gerak ganda (yaitu menafsirkan ayat dengan melihat konteksnya dari masa kini ke masa Al-Qur’an diturunkan dan kemudian kembali lagi ke masa kini) yang digagasnya adalah teori hermeneutika yang justeru sangat memberi tempat bagi konteks dalam pencarian makna ayat. Teorinya mengharuskan menilik konteks baik pada masa lalu ketika ayat diturunkan maupun konteks sekarang ketika ayat kembali ditafsirkan. Dengan kata lain, Rahman dalam melakukan kontekstualisasi Al-Qur’an—dengan menggali spirit yang ada pada masa lalu untuk disesuaikan dengan masa kini tersebut—malahan begitu memberi peran terhadap konteks, yang itu berarti peran konteks justru sangat signifikan. Atau dalam kata lain, dengan teorinya itu, konteks justru sangat signifikan bagi hermeneutika Rahman, karena ia menjadi basis dari teori double movementnya.
Selain Rahman, Amina Wadud juga menawarkan metode hermeneutika yang dikutipnya dari Rahman. Metode Hermeneutika, menurutnya, adalah salah satu bentuk metode penafsiran kitab suci yang di dalam pengoperasiannya, untuk memperoleh kesimpulan makna suatu teks (ayat), selalu berhubungan dengan tiga aspek dari teks itu, yaitu: dalam konteks apa suatu teks ditulis (jika dikaitkan dengan Al-Qur’an, dalam konteks apa ayat itu diwahyukan); Bagaimana komposisi tata bahasa teks (ayat) tersebut (bagaimana pengungkapannya, apa yang dikatakannya); dan bagaimana keseluruhan teks (ayat), weltanschauung-nya. Tawarannya itu merupakan jawaban dari metode-metode sebelumnya yang ia kritik.
Dalam kaitannya dengan pemakaian konteks tersebut, metode yang ditawarkan oleh Amina Wadud di atas pada dasarnya tidak berbeda dengan metode yang ditawarkan Rahman karena Amina Wadud juga tidak meniadakan konteks. Keduanya sama-sama mementingkan konteks ketika menafsirkan Al-Quran. Sehingga baik Rahman atau pun Wadud (atau juga yang lainnya barangkali), sekalipun mereka telah menggunakan hermeneutika, namun hermeneutika yang dipakainya, sekali lagi, tidak melepas konteks.
Artinya, sungguh pun hermeneutika telah dipakai dan diterapkan sedemikian rupa dalam penafsiran Al-Qur’an, namun hermeneutika yang diterapkan sejauh ini adalah hermeneutika yang pro konteks. Oleh karena itu, menjadi jelas di sini mengapa penyusun tertarik untuk mengkaji (eksperimentasi intelektual) penafsiran Al-Qur’an—lebih khusus terhadap penafsiran yang memakai asbab al-nuzul—dengan menilik hermeneutika Ricoeur, yaitu karena hermeneutika (model interpretasi teksnya) Ricoeur adalah melepas konteks (otonomi teks), sementara hermeneutika yang dikembangkan dalam penafsiran sejauh ini adalah hermeneutika yang pro konteks. Bagaimanapun juga, untuk menangkap spirit dan ide-ide yang terkandung dalam Al-Qur’an secara tepat, utuh, holistik dan integralistik serta supaya Al-Qur’an benar-benar salih li kulli zaman wa makan, tidak dapat tidak, diperlukan sikap kritis dan anti pemberhalaan terhadap segala yang telah dicapai sebelumnya, termasuk di dalamnya dengan sikap membuka diri terhadap perkembangan metode. Dalam hal ini adalah membuka diri dari model hermeneutika Ricoeur—sungguhpun nantinya hanya mampu berjalan sebatas “coba-coba” (baca: tidak dapat landing dalam penafsiran Al-Qur’an).
K. B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada paparan latar belakang di atas, maka masalah yang nantinya akan dicoba dijawab dalam skripsi ini adalah bagaimanakah posisi asbab al-nuzul dalam penafsiran Al-Qur’an jika ditinjau dengan hermeneutika Ricoeur, khususnya berdasarkan teorinya tentang otonomi teks dan bagaimanakah kemungkinannya dalam memasuki wilayah penafsiran Al-Qur’an?
L. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka skripsi ini bertujuan: untuk mengetahui posisi asbab al-nuzul dalam penafsiran Al-Qur’an jika ditinjau dengan hermeneutika Ricoeur, khususnya tentang otonomi teks dan untuk mengetahui kemungkinannya dalam memasuki wilayah penafsiran Al-Qur’an
Sedangkan kegunaan skripsi ini adalah untuk menambah daftar pustaka dalam penafsiran Al-Qur’an, khususnya yang berkaitan dengan metode hermeneutik dan persoalan asbab al-nuzul.
M. D. Telaah Pustaka
Sebagaimana yang telah disinggung di atas bahwa hermeneutika telah menjadi tema yang cukup menarik dalam Islamic studies, khususnya dalam dunia penafsiran Islam. Sehingga tidak mengherankan jika kemudian muncul buku-buku yang membahas tentangnya. Sungguhpun demikian, sejauh ini, sepengetahuan penyusun, belum ada buku ataupun kajian mengenai metode penafsiran Al-Qur’an dengan memakai hermeneutika Ricoeur khususnya tentang otonomi teksnya. Buku-buku atau kajian tentang metode penafsiran Al-Qur’an sejauh ini khususnya dalam rangka kontekstualisasi Al-Qur’an hanyalah menggunakan hermeneutika demikian saja (secara umum), bukan secara khusus berdasarkan tokoh-tokoh tertentu. Artinya, memang pembahasan berkaitan dengan hermeneutika sudah cukup banyak, namun kajian tentang hermeneutika pada Penafsiran Al-Qur’an sejauh ini masih merupakan kajian hermeneutika secara umum sebagai metode penafsiran. Diantaranya adalah Hermeneutika Qur’ani: antara teks, konteks dan kontekstualisasi. Buku ini adalah review metode penafsiran Al-Qur’an dalam tafsir al-Manar karya Syekh Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha; dan tafsir al-Azhar karya Buya Hamka yang dikaitkan dengan metode hermeneutik, yaitu membahas sejauh mana metode interpretasi tafsir kedua kitab tersebut memuat unsur-unsur hermeneutik. Kemudian buku Memahami Bahasa Agama: Sebuah kajian Hermeneutik yang ditulis oleh Komaruddin Hidayat. Buku ini lebih banyak mengupas masalah hermeneutika secara umum (membahas peran hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an secara umum). Selain itu, terdapat buku karya Amina Wadud, terjemahan Yaziar Radianti yang berjudul Wanita di dalam Al-Qur’an, di mana dalam buku ini, Amina Wadud mencoba menerapkan teori hermeneutika dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang khusus membicarakan tentang perempuan. Dengan metode hermeneutiknya itu, ia mencoba menafsirkan ayat-ayat tentang perempuan secara lebih proporsional. A.H. Ridwan, lewat karyanya yang berjudul Reformasi Intelektual Islam: Pemikiran Hassan Hanafi tentang Reaktualisasi Tradisi Keilmuan Islam membahas tentang pemikiran Islam Hassan Hanafi yang menggunakan metode Hermeneutik. Kemudian buku yang berjudul Hermeneutika Pembebasan; Metodologi Tafsir Al-Qur’an menurut Hassan Hanafi, yaitu tentang model hermeneutika Hassan Hanafi—di mana hermeneutika Hanafi ini adalah hermeneutika yang berorientasi praksis dengan banyak mengadopsi dan mengkolaborasikan pemikiran filsafat barat (dalam hal ini hermeneutikanya lebih cenderung kepada hermeneutika Gadamer). Selain itu, terdapat buku berjudul Nasr hamid Abu Zaid: kritik Teks Keagamaan, yaitu tentang model hermeneutika Abu Zaid yang lebih cenderung pada model hermeneutika Schleiermacher; Membangun Peradaban Tuhan di Pentas Global, karya Imam Chanafie al-Jauhari yang lebih banyak berbicara tentang hermeneutika dalam studi Agama secara umum; Menafsirkan Kehendak Tuhan, karya Komaruddin Hidayat yang lebih banyak membahas mengenai hermeneutika secara umum dalam pemahaman teks Agama dan tulisan-tulisan lain mengenai hermeneutika secara umum, seperti Studi Al-Qur’an Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Hermeneutika Transendental: Dari Konfigurasi Filosofis Menuju Praksis Islamic Studies. Juga terdapat kajian tentang hermeneutik dalam jurnal-jurnal seperti Al-Qur’an sebagai teks, teori teks dalam hermeneutik Al-Qur’an Nasr Abu Zayd, Tinjauan kritis terhadap konsep Hermeneutik, Heremeneutika Eksistensia: Kajian atas pemikiran Heidegger dan Gadamer dan Implikasinya Bagi Pengembangan Stusi Islam. Sementara buku dan tulisan yang membahas tentang asbab al nuzul dalam perspektif non konvensional di antaranya adalah Tafsir Al-Qur’an Modern: Studi atas Metode Bintusy Syathi’, Membumikan Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, juga Konsep Asbab al-nuzul: Relevansinya bagi Pandangan historisis Segi-segi Tertentu Ajaran Keagamaan. Skripsi-skripsi yang membahas tentang asbab al-nuzul sejauh ini belum ada yang mengaitkan dengan hermeneutik model Paul Ricoeur. Skripsi mengenai asbab al-nuzul diantaranya: Asbab Al-Nuzul dalam Surat Al-Duha: Studi Analisis atas Tafsir Muhammad Abduh, Bintusy Syati dan Quraisy Shiha; Asbab Al-Nuzul dalam Kitab Rawa’i al-Bayan; Asbab Al-Nuzul dalam Tafsir Al-Azhar.
E. Metodologi Penelitian
Supaya penelitian ini bisa dikatakan ilmiah maka harus digunakan metodologi yang memenuhi kriteria keilmiahan pula. Di bawah ini akan diuraikan metodologi yang akan digunakan, yaitu:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yang menggunakan buku atau karya tulis lainnya (makalah, artikel, laporan penelitian dan lain-lain) sebagai sumber data.
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis. Deskriptif adalah metode penyajian fakta secara sistematis sehingga dapat dengan mudah dipahami dan disimpulkan. Sedangkan analitis adalah mengurai sesuatu dengan tepat dan terarah. Dengan metode deskriptif akan diuraikan tentang seluk beluk asbab al-nuzul serta hermeneutika Ricouer, dan dengan metode analitis akan dilihat posisi asbab al-nuzul dalam penafsiran Al-Qur’an dan kemungkinan metode hermeneutika Ricouer dalam menafsirkan al Qur’an.
3. Pengumpulan Data
Karena penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, maka pengumpulan datanya akan dilakukan dengan mengkaji tulisan, baik dalam bentuk buku, artikel, laporan penelitian atau karya ilmiah sebelumnya (skripsi, tesis, desertasi). Sumber data yang digunakan dalam skripsi ini meliputi:
a. Sumber data primer yang terdiri dari buku Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences, Filsafat Wacana, dan buku-buku yang membahas tentang hermeneutika Ricouer, serta buku-buku yang membahas tentang asbab al-nuzul.
b. Sumber data sekunder yang terdiri dari buku dan tulisan lainnya yang tidak membahas tentang hermeneutika Ricoeur dan asbab al nuzul tetapi diperlukan untuk mendukung dalam melakukan pembahasan.
4. Analisis Data
Dalam analisis data, akan digunakan metode berpikir induktif. Induktif yaitu penarikan kesimpulan dari pernyataan-pernyataan yang bersifat khusus kepada pernyataan yang bersifat umum. Metode berpikir ini akan digunakan dalam melihat data-data yang telah dikumpulkan untuk kemudian dilakukan generalisasi.
N. F. Sistematika Pembahasan
Skripsi ini ditulis dalam lima bab pembahasan sebagai berikut. Bab satu merupakan bab pendahuluan, yang diperlukan untuk memaparkan dan memberikan kejelasan tentang latar belakang masalah penelitian dan rumusan masalahnya, tujuan dan kegunaan penelitian, telah pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab dua akan membicarakan tentang asbab al-nuzul secara teoretik. Pemaparan tentang gambaran umum asbab al-nuzul ini tidak dapat ditinggalkan, yaitu sebagai landasan bagi pembahasan pada bab empat. Dari gambaran umum ini akan dapat diketahui bagaimana posisi asbab al-nuzul selama ini dalam penafsiran Al-Qur’an.
Bab tiga masih akan berbincang secara teoritis dan konseptual, yaitu memberikan kejelasan mengenai apakah hermeneutika itu dan teori interpretasi teksnya (hermeneutikanya) Ricoeur yang digunakan untuk membedah persoalan asbab al-nuzul dan untuk melihat kemungkinannya dalam penafsiran Al-Qur’an, atau diperlukan untuk memberi landasan bagi pembahasan selanjutnya.
Bab empat merupakan titik kulminasi dari eksperimentasi intelektual ini. Dalam bagian inilah akan dilakukan analisis mengenai asbab al-nuzul yang telah digambarkan dalam bab dua dengan menggunakan teori interpretasi Ricoeur yang diulas pada bab tiga sebelumnya atau menjawab inti persoalan yang disodorkan dalam rumusan masalah pada bab satu
Sementara bab lima merupakan bab penutup yang akan memberikan kesimpulan terhadap semua diskusi sebelumnya dan memberikan saran-saran seperlunya.
BAB II
ASBAB AL-NUZUL: SEBUAH EKSPLANASI TEORETIS
Sebelum lebih jauh mengupas tentang posisi asbab al-nuzul dalam penafsiran Al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan hermeneutika Paul Ricoeur, khususnya tentang otonomi teks, maka terlebih dahulu diperlukan gambaran tentang asbab al-nuzul dan seberapa jauh signifikansinya atau posisinya selama ini dalam penafsiran Al-Qur’an. Namun, dalam menjelaskan asbab al-nuzul ini, penyusun sengaja tidak mengupas secara panjang lebar seluruh pembahasan yang termuat dalam kajian asbab al-nuzul sebagaimana yang lazim dilakukan oleh kebanyakan ulama. Karena yang lebih ditekankan di sini adalah pembahasan-pembahasan yang dirasa dapat memberi keterangan tentang signifikansi atau posisi dari asbab al-nuzul sejauh ini dalam penafsiran al-Qur’an. Sementara penjelasan yang dirasa kurang berkaitan maka akan ditinggalkan atau hanya akan disinggung sekilas atau seperlunya.
Supaya pembahasan asbab al-nuzul di sini dapat dipahami secara jelas maka dirumuskan beberapa pertanyaan yang akan dicoba dijawab dalam pembahasan ini, yaitu Apakah pengertian dari asbab al-nuzul? Bagaimanakah posisinya atau sejauh manakah signifikansinya dalam penafsiran al-Qur’an sejauh ini?—Posisi ini dapat dilacak dari pembahasan tentang signifikansi asbab al-nuzul dan pengoperasionalan dalalah antara ungkapan umum dan khusus—dan bagaimanakah redaks-redaksi dan cara menentukan asbab al-nuzul?
A. Menyorot Posisi Asbab Al-Nuzul dalam Penafsiran Al-Qur’an
Untuk yang terbiasa ‘bergaul’ dengan ulum Al-Qur’an, barangkali asbab al-nuzul bukanlah barang baru. Hampir dapat dipastikan, dalam setiap kajian terhadap ulum Al-Qur’an, pembahasan tentang asbab al-nuzul tidak pernah terlupakan. Dari sinilah dapat diketahui bahwa realitas yang melingkupi ayat, yang kemudian disebut sebagai sebab-sebab yang melatarbelakangi ayat atau asbab al-nuzul, merupakan sesuatu yang signifikan. Sehingga muncullah sebuah disiplin ilmu yang khusus berbicara tentangnya, yang kemudian terkenal dengan ilmu asbab al-nuzul. Namun, kajian yang tak kunjung selesai mengenai asbab al-nuzul juga memperlihatkan masih begitu banyaknya persoalan yang bertengger mengenai asbab al-nuzul ini, sungguhpun kajian terhadapnya terus diupayakan.
Berbicara tentang asbab al-nuzul, sebelumnya perlu dijelaskan bahwa memang dikatakan tidak seluruh ayat Al-Qur’an mempunyai asbab al-nuzul. Mengenai hal ini Al-Ja’bari menyebutkan bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam dua bagian. Bagian pertama berupa prinsip-prinsip yang tidak terikat dengan sebab-sebab khusus, yakni semata sebagai petunjuk bagi manusia. Sementara bagian kedua diturunkan berdasarkan suatu sebab tertentu yang kemudian disebut dengan asbab al-nuzul.
Bagian yang pertama adalah yang secara dominan mewarnai ayat-ayat Al-Qur’an, yaitu jumlahnya lebih banyak dari pada ayat-ayat hukum yang mempunyai asbab al-nuzul, misalnya ayat-ayat yang mengisahkan tentang umat-umat terdahulu beserta para nabinya, ayat-ayat yang menerangkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau atau menceritakan hal-hal ghaib, yang akan terjadi, atau menggambarkan keadaan hari kiamat beserta nikmat surga dan siksaan neraka. Sementara ayat-ayat yang mempunyai asbab al-nuzul jumlahnya lebih sedikit, dalam hal ini ayat-ayat tasri’iyah atau ayat-ayat hukum merupakan ayat-ayat yang mempunyai sebab turun. Dikatakan jarang sekali ayat-ayat hukum yang turun tanpa suatu sebab.
Setelah mencermati konsepsi yang dihasilkan oleh ulama mengenai asbab al-nuzul, sebagaimana yang termuat dalam buku-buku ulum Al-Qur’an atau buku-buku yang berbicara tentang asbab al-nuzul, penyusun mendapatkan bahwa terjadi keragaman pandangan mengenai asbab al-nuzul di antara mereka. Hal ini, tentu saja, merupakan sesuatu yang penting untuk digaris bawahi di sini, karena dari pandangan mereka masing-masing inilah nantinya akan dapat diketahui seberapa jauh signifikansi dari asbab al-nuzul dalam penafsiran Al-Qur’an selama ini. Atau sejauh manakah asbab al-nuzul dipakai dalam penafsiran.
Keragaman pandangan mengenai asbab al-nuzul ini pertama kali dapat dilihat dalam pembahasan tentang pengertian asbab al-nuzul. Dalam pengertian asbab al-nuzul yang ditampilkan oleh ulama ini sebenarnya sudah terlihat atau, paling tidak, sudah tergambar (meskipun tidak jelas betul) bagaimana pandangan mereka terhadap signifikansi asbab al-nuzul.
1. Pengertian Asbab al-nuzul
Tentang pengertian asbab al-nuzul secara bahasa, barangkali tidak ada persoalan. Tetapi dari pengertian secara terminologislah kita akan melihat bahwa asbab al-nuzul mendapat sambutan yang beragam dari kalangan ulama. Dari pengertian inilah mulai terlihat adanya perbedaan pandangan mengenai asbab al-nuzul, yang kemudian meniscayakan terjadinya perbedaan dalam pengambilan makna. Mereka yang memandang asbab al-nuzul sebagai sesuatu yang tak dapat dieliminir (signifikan), jelas akan menghadirkan makna yang berlainan dengan mereka yang sama sekali tidak peduli dengan ada-tidaknya asbab al-nuzul.
Al-Zarqani mendefinisikan sebagai
سباب النزول هو مانزلت الاية او الايات متحادثة عنه او مبينة لحكمه ايام وقوعه
“Sebab al-nuzul adalah suatu kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat, atau suatu peristiwa yang dapat dijadikan petunjuk hukum berkenaan dengan turunnya suatu ayat”.
Menurutnya, bahwa asbab al-nuzul itu dapat berupa peristiwa yang terjadi pada zaman Nabi atau berupa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada nabi, kemudian turun ayat Al-Qur’an dari Allah SWT berisi penjelasan tentang suatu yang berkaitan dengan peristiwa tersebut atas pertanyaan-pertanyaan yang dajukan kepadanya. Dalam hal ini al-Zarkasyi juga menerangkan:
انه قد يحدث سبب من سؤال او حادثة تقتضى نزول اية
“Kadang-kadang terjadi suatu sebab yang berupa pertanyaan atau peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat Al-Qur’an”.
Sementara itu, Subhi al-Shalih mendefinisikan asbab al-nuzul seperti ini,
مانزلت الاية او الايات بسببه متضمنة له او مجيبة عنه او مبينة لحكمه زمان
وقوعه
“Asbab al-nuzul adalah sesuatu yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat yang memberi jawaban terhadap sebab itu, atau menerangkan hukumnya pada masa terjadinya sebab itu.”
Dari paparan beberapa pengertian tersebut di atas, sesungguhnya pendefinisian asbab al-nuzul yang menggunakan redaksi “sesuatu yang menyebabkan…”, sangatlah riskan karena sangat berpotensi untuk dipahami terdapat hubungan kausalitas atau korelasi logis antara sebab yang berupa peristiwa atau pertanyaan dengan diturunkannya ayat Al-Qur’an. Pengertian asbab al-nuzul seperti di atas memang akan menimbulkan pemahaman seolah-olah ayat Al-Qur’an tidak akan turun jika tidak terdapat sebab—yang berupa peristiwa atau pertanyaan yang diajukan kepada Nabi SAW. Dengan definisi semacam di atas sangatlah berpotensi bahwa seolah-olah ayat Al-Qur’an diturunkan hanya karena untuk menjawab pertanyaan yang ada. Tidak jarang ini memicu lahirnya perdebatan teologis, seperti muncul pertanyaan semacam seandainya sebab-sebab tidak ada, apakah lantas Al-Qur’an tidak jadi turun? Apakah Al-Qur’an itu qadim ataukah tidak? Layakkah Tuhan terdekte oleh realitas? Dan lain sebagainya yang biasanya berujung pada kafir-mengkafirkan, murtad-memurtadkan, dan saling mengklaim sebagai yang paling benar (truth claim).
Sungguhpun pengertian mengenai asbab al-nuzul sebagaimana yang dipaparkan di atas sangat riskan untuk dipahami terdapatnya hubungan kausalitas, namun tidak sedikit ulama yang mendefinisikan asbab al-nuzul demikian. Definisi seperti di atas sudah lazim di kalangan ulama meskipun sebenarnya tidak mengandung pengertian ada hubungan kausalitas. Tidak sedikit ulama berikutnya yang mengukuhkan pandangan ulama sebelumnya seperti tersebut di atas. Sungguhpun redaksi yang dipakai berbeda, namun sesungguhnya maksud dari pengertian yang diberikan tidak bergeser dari pengertian yang telah dirumuskan sebelumnya. Seperti konsepsi yang diberikan oleh Manna Khalil al-Qattan, Hasbi ash Shiddiqie dan yang lainnya. Kendati redaksi yang dipakai berbeda, akan tetapi sesungguhnya mengandung maksud yang sama. Bahkan, dalam buku-buku ‘ulum al-Quran dalam edisi bahasa Indonesia, kita akan mendapati definisi yang berupa kutipan dari ulama sebelumnya tanpa ada perubahan. Kalaupun ada perbedaan (kalaupun mereka menambahi), maksud yang dikandung sebenarnya tetap sama (tidak berbeda secara substansial).
Namun demikian, terdapat juga beberapa ulama yang secara tegas mengatakan untuk tidak memandang asbab al-nuzul dalam kerangka kausalitas. Hal ini dapat dilihat dari pendapat ulama seperti Quraisy Shihab. Ia secara eksplisit menegaskan untuk tidak memandang asbab al-nuzul dalam kerangka sebab akibat. Menurutnya, arti “sebab” dalam asbab al-nuzul tidak dipahami dalam arti kausalitas sebagaimana yang diinginkan oleh mereka yang berpaham bahwa “Al-Qur’an qadim”
Al-Qur’an tidak turun dalam satu masyarakat yang hampa budaya. Sekian banyak ayatnya oleh ulama dinyatakan sebagai harus dipahami dalam konteks sebab nuzul-nya. Hal ini berarti bahwa arti “sebab” dalam rumusan di atas—walaupun tidak dipahami dalam arti kausalitas, sebagaimamna yang diinginkan olek mereka yang berpaham bahwa “Al-qur’an qadim”—tetapi paling tidak ia menggambarkan bahwa ayat yang turun itu berinteraksi dengan kenyataan yang ada dan dengan demikian dapat dikatakan bahwa ‘kenyatan’ tersebut mendahului atau paling tidak bersamaan dengan keberadaan ayat yang turun di pentas bumi itu.
Demikian pula bagi Muhammad Chirzin, dia pun secara tegas menolak untuk menganggap adanya hubungan kausalitas antara asbab al-nuzul dengan ayat yang turun. Menurutnya,
Asbab al-nuzul menggambarkan bahwa ayat-ayat Al-qur’an memiliki hubungan dialektis dengan fenomena sosio kultural masyarakat. Namun demikian, perlu ditegaskan bahwa asbab al-nuzul tidak berhubungan secara kausal dengan materi yang bersangkutan. Artinya tidak bisa diterima pernyataan bahwa jika suatu sebab tidak ada, maka ayat itu tidak akan turun.
Senada dengan Shihab dan Chirzin, bagi Aisyah Abdurrahman (Bintusy Syathi’), asbab al-nuzul hanyalah sebagai qarinah-qarinah di sekitar ayat yang tidak merupakan sebab sine qua non (syarat mutlak) kenapa pewahyuan terjadi. Dia memandang bahwa pentingnya pewahyuan terletak pada generalitas kata-kata yang digunakan, bukan pada kekhususan peristiwa pewahyuannya.
Paparan definisi yang diberikan oleh ulama kelompok terakhir tersebut memperlihatkan bahwa antara asbab al-nuzul dengan diturunkannya ayat tidak ada hubungan kausalitas. Mereka secara tegas menolak bahwa antara keduanya terjadi hubungan kausalitas, yang satu menyebabkan yang lain. Namun demikian, bukan berarti mereka semua lantas, secara otomatis, dapat disebut sebagai ulama yang menolak dipakainya asbab al-nuzul dalam penafsiran. Karena ada juga ulama yang menolak memahami asbab al-nuzul dalam kerangka kausalitas tetapi memandang asbab al-nuzul sebagai hal yang tetap signifikan dalam memahami ayat.
Adanya perbedaan pandangan di kalangan ulama mengenai asbab al-nuzul dalam penafsiran akan kentara dalam pembahasan tentang signifikansi berikut ini.
2. Signifikansi Asbab al-nuzul
Mengenai signifikan-tidaknya asbab al-nuzul dalam penafsiran, penyusun melihat ada tiga macam pandangan. Pandangan yang pertama menganggap bahwa asbab al-nuzul sangat signifikan sehingga tanpa mengetahui asbab al-nuzul memahami ayat dianggap tidak mungkin. Ulama yang masuk dalam pandangan pertama adalah al-Wahidi. Menurut al-Wahidi, “tidak mungkin dapat menafsirkan ayat tanpa pengetahuan tentang asbab-nuzulnya”. Artinya, dengan tidak memungkinkannya menafsirkan ayat tanpa pengetahuan tentang asbab al-nuzulnya, maka melepas asbab al-nuzul juga menjadi tidak mungkin. Sehingga di sini, dalam pandangan al-Wahidi, Asbab al-nuzul menjadi mutlak penting dan tidak boleh dieliminir ketika menafsirkan ayat. Dalam hal ini, sebetulnya pendapat al-Wahidi tersebut menyisakan pertanyakan karena tidak semua ayat Al-Qur’an mempunyai sebab turun. Ayat-ayat yang dikatakan bersabab al-nuzul hanyalah sebagian saja.
Pandangan yang kedua menempatkan asbab al-nuzul sebagai pengetahuan yang dapat membantu (alat bantu) dalam memahami ayat. Ulama yang tergolong dalam kelompok ini adalah seperti Ibnu Taimiyah dan ibnu Daqiq al-’Id. Menurut Ibnu Taimiyah, “Pengetahuan mengenai asbab al-nuzul dapat membantu memahami ayat karena pengetahuan tentang sebab akan membawa kepada pengetahuan tentang yang disebabkan (akibat)”. Sementara menurut al-’Id, “menjelaskan sebab turun ayat adalah jalan yang kuat dalam memahami makna Al-Qur’an”.
Pendapat yang senada dengan di atas juga dianut oleh Abu al-Fath al-Qusyairi, Ali Al-Shabuni dan al-Zarqani. Al-Qusyairi tidak berbeda dengan al-‘Id. Menurutnya, mengetahui asbab al-nuzul adalah jalan yang kuat dalam memahami makna-makna Al-Qur’an. Sementara itu, al-Shabuni memerinci manfaat asbab al-nuzul menjadi empat manfaat, yaitu mengetahui segi hikmah yang mendorong dilaksanakannya suatu hukum, menetapkan hukum (takhsis) dengan sebab menurut orang yang berpendapat bahwa ibarat itu dinyatakan berdasarkan sebab khusus, menghindarkan prasangka yang menyatakan arti hasr dalam suatu ayat yang zahirnya hasr, dan mengetahui siapa orangnya yang menjadi sebab atau kasus turunnya ayat serta memberikan ketegasan bila terdapat keraguan. Pendapat Al-Shabuni ini juga senada dengan pandangan al-Qattan.
Lebih jauh, Al-Zarqani menyebutkan tujuh signifikansi dari asbab al-nuzul. yaitu pengetahuan tentang asbab al-nuzul membawa kepada pengetahuan tentang rahasia dan tujuan Allah secara khusus mensyari’atkan agama-Nya melalui al-Qur’an; dapat membantu dalam memahami ayat dan menghindarkan kesulitannya; dapat menolak dugaan adanya hasr (pembatasan) dalam ayat yang menurut lahirnya mengandung hasr; dapat mengkhususkan (takhsis) hukum pada sebab menurut ulama yang memandang bahwa yang mesti diperhatikan adalah kekhususan sebab dan bukan keumuman kata; dapat diketahui bahwa sebab turun ayat tidak penah keluar dari hukum yang terkandung dalam ayat tersebut sekalipun datang mukhasisnya (yang mengkhususkannya); dapat diketahui orang yang dengan ayat tertentu turun padanya secara tepat sehingga tidak terjadi kesamaran; dan pengetahuan asbab al-nuzul akan mempermudah orang menghafal ayat-ayat Al-Qur’an serta memperkuat keberadaan wahyu dalam ingatan orang yang mendengarkannya jika ia mengetahui sebab turunnnya
Ulama yang juga termasuk dalam kelompok kedua adalah Quraisy Shihab. Sungguhpun antara ayat dengan realitas (asbab al-nuzul) dipandang olehnya tidak ada hubungan kausalitas, namun menurutnya asbab al-nuzul tetap signifikan. Asbab al-nuzul tetap harus ditilik ketika menafsirkan ayat mempunyai sabab al-nuzul. Ini berdasarkan bahwa ia menerapkan al-‘ibrah bi khusus al-sabab, yang itu berarti bahwa ia mementingkan adanya sebab-sebab khusus dalam menafsirkan ayat.
Termasuk dalam kelompok kedua adalah Nasr Hamid Abu Zaid. Menurutnya dalam pembacaan teks perlu diperhatikan konteks-konteksnya. Baginya antara teks dengan realitas terdapat hubungan dialektis. Maksudnya, bahwa teks terbentuk di dalam realitas kebudayaannya, namun pada saat yang sama ia sendiri membentuk realitas. Abu Zaid menyebutkan ada lima konteks yang mesti diperhatikan, yaitu konteks sosio-kultural (al-siyaq al saqafi al-ijtima’i); konteks pewacanaan (al-siyaq al-takhatabi) atau konteks ekstern (al-siyaq al-khariji); konteks intern (al-siyaq al-dakhili); konteks narasi (al-siyaq al-lughawi) dan konteks pembacaan (al-siyaq al-qiraat) atau konteks interpretasi (al-siyag al-ta’wil). Dari sekian konteks itu asbab al-nuzul tercakup dalam konteks ekstern atau pewacanaan—konteks pewacanaan ini tidak hanya berisi latar belakang turunnya ayat atau asbab al-nuzul, tetapi juga meliputi periode dan karakter wacana (makiyyah dan madaniyyah), dan konteks pewacana pertama, yaitu Muhammad SAW. Artinya, dengan tidak dapat ditinggalkannya konteks-konteks tersebut berarti asbab al-nuzul juga tak dapat ditinggalkan atau termasuk sesuatu yang harus diperhatikan, karena ia masuk dalam salah satu konteks dari lima konteks dimaksud. Dalam hal ini dia mengatakan,
..bahwa usaha menemukan makna teks tidak harus memisahkan teks dari realitas yang diungkapkannya (teks), tetapi juga tidak benar apabila dikatakan usaha penemuan tersebut berhenti dan terpaku pada peristiwa-peristiwa itu saja, tanpa memahami karakteristik ujaran bahasa dalam teks serta kemampuannya melampaui realitas-realitas partikular. Kajian atas asbab al-nuzul akan memberi ahli fiqh pengetahuan tentang illah (sebab) di balik hukum-hukum teks. Melalui illat itu, ia dapat menggeneralisasikan hukum terhadap realitas-realitas lain yang serupa.
Dengan demikian, Abu Zaid dapat dikatakan termasuk ulama yang mementingkan asbab al-nuzul sekalipun menurutnya perlu juga diperhatikan syarat-syarat lain.
Tentang asbab al-nuzul ini, sesungguhnya dalam persoalan signifikansi, dapat dikatakan pandangan yang kedua tidak berbeda dengan pandangan yang pertama karena keduanya sama-sama menganggap asbab al-nuzul signifikan. Hanya saja tingkat signifikansinya berbeda antara keduanya, di mana dalam pandangan yang kedua, signifikansi dari asbab al-nuzul dapat dibilang lebih rendah dibanding pada kelompok pertama. Dalam pandangan yang pertama, dalam memahami ayat, tidak dapat tidak, harus diketahui asbab al-nuzulnya karena tanpa asbab al-nuzulnya ayat dianggap tidak akan mungkin dapat dipahami. Sementara bagi kelompik kedua, asbab al-nuzul sifatnya hanyalah membantu dalam memahami ayat. Jadi, sungguhpun kedua kelompok ini sama-sama menganggap penting asbab al-nuzul, tetapi tingkat signifikansi dari keduanya berbeda.
Kalau pandangan pertama dan kedua sama-sama memandang asbab al-nuzul signifikan dalam memahami ayat, maka pandangan yang ketiga tidak mementingkan asbab al-nuzul dan memperbolehkan untuk menafikannya ketika menafsirkan ayat, atau hanya memakainya ketika asbab al-nuzul dapat membantu atau mendukung makna yang telah dihasilkan sebelumnya.Ulama yang tergolong di sini adalah Bintusy Syathi’. Data untuk ini adalah,
….metode yang diusulkannya menolak menganggap setiap peristiwa dalam asbab al-nuzul tersebut sebagai sebab atau bahkan tujuan turunnya wahyu, tapi sekadar merupakan kondisi-kondisi eksternal dari pewahyuan itu, sehingga penekanannya diletakkan pada universalitas makna dan bukan pada kekhususan kondisi tersebut. Selain itu metode yang diusulkannya memperlakukan laporan-laporan tradisional mengenai “sebab-sebab pewahyuan” dengan cara bebas, hanya untuk melihat dukungan yang mungkin diberikan oleh laporan-laporan tersebut bagi makna-makna yang telah ditemukan tanp bantuannya.
Dalam kutipan tersebut dikatakan bahwa asbab al-nuzul hanyalah dipakai sebagai dukungan terhadap makna yang telah dicapai sebelumnya. Artinya, seandainya laporan-laporan tentang asbab al-nuzul yang ada tidak mendukung terhadap makna yang telah dihasilkannya sebelumnya maka ia tidak akan dipakai (ditinggalkan). Asbab al-nuzul hanya akan diambil jika ternyata sesuai dengan makna yang sudah dihasilkan. Dengan demikian, bagi Bintusy Syathi’, ada atau tidaknya asbab al-nuzul, pada dasarnya adalah sama saja, tidak menjadi persoalan karena hanya dianggap signifikan kalau bermanfaat untuk mendukung makna yang telah diperoleh sebelumnya.
Dalam hal ini, Thabathaba’i pun dapat dikategorikan dalam pandangan kelompok ketiga. Dia memberi penjelasan tentang lemahnya hadis-hadis asbab al-nuzul. Menurutnya, hadis hadis tentang asbab al-nuzul tidak bisa dipertanggungjawabkan dengan argumen bahwa gaya kebanyakan hadis tentang asbab al-nuzul menunjukkan perawi tidak meriwayatkan asbab al-nuzul secara lisan dan tulisan melainkan dengan meriwayatkan suatu kisah, kemudian menghubungkan ayat-ayat dengan kisah itu. Dan ini berarti asbab al-nuzul tersebut didasarkan pada pendapat, bukan atas pengamatan dan pencatatan, sehingga setiap perawi berusaha menghubungkan suatu cerita yang sebenarnya tidak ada dalam kenyataan.yaitu terbukti dengan banyaknya pertentangan di dalam hadis tentang asbab al-nuzul. Argumen lain yang menyebabkan tidak dapat dipertanggungjawabkannya hadis tentang asbab al-nuzul, menurutnya, adalah bahwa pada masa awal Islam, khalifah melarang penulisan hadis yang larangan ini berlaku sampai akhir abad pertama hijriyah atau selama kurang lebih sembilan puluh tahun. Sehingga, kebiasaan meriwayatkan hadis adalah menurut maknanya (periwayatan bil ma’na)
Sampai di sini menjadi jelas sejauh mana signifikansi dari asbab al-nuzul dapat mempengaruhi pemaknaan ayat. Bagi ulama yang masuk dalam kategori pandangan pertama dan kedua, seperti Al-Wahidi, Ibnu Taimiyah, al-‘Id, al-Qusyairi, Shihab, Abu Zaid, asbab al-nuzul jelas tidak dapat dieliminir (signifikan). Sementara bagi ulama seperti Bintusy Syathi’, asbab al-nuzul hanyalah sebagai bantuan yang tidak penting, atau bukan menjadi hal yang signifikan dalam pemaknaan ayat (karena asbab al-nuzul boleh dilepas).
Selanjutnya, keterangan yang dapat dijadikan data untuk melihat signifikansi atau posisi dari asbab al-nuzul dalam penafasiran selama ini adalah penjelasan tentang pengoperasionalan kaidah antara al-‘ibrah bi khusus al-sabab la bi umum al-lafaz dengan al-‘ibrah bi umum al-lafaz la bi khusus al- sabab.
3. Keumuman Kata dan Kekhususan Sebab
Al-Qattan menyebutkan bahwa apabila ayat yang diturunkan sesuai dengan sebab secara umum, atau sesuai sebab secara khusus, maka yang umum (amm) diterapkan pada keumumannya dan yang khusus (khass) pada kekhususannya. Dalam hal ini al-Qattan mencontohkan yang pertama dengan Surat Al-Baqarah ayat 222:
ويسألونك عن المحيض قل هو اذى فاعتزلوا النساء بالمحيض ولا تقربوهن حتى يطهرن فاذا تطهرن فأتواهن من حيث امركم الله ان الله يحب التوبين ويحب المتطهرين
Ayat tersebut dikatakan berkaitan dengan orang-orang Yahudi yang tidak mau mendekati dan memberi makan atau minum kepada istri-istri mereka ketika sedang haid. Seperti yang dijelaskan oleh al-Qattan dalam bukunya:
Anas berkata: “Bila istri orang-orang Yahudi haid, mereka dikeluarkan dari rumah, tidak diberi makan dan minum, dan di dalam rumah tidak boleh bersama-sama. Lalu Rasulullah ditanya tentang hal itu, maka Allah menurunkan: Mereka bertanya kepadamu tentang haid…Kemudian kata Rasulullah: جامعوهن فى البيوت, واصنعوا كل شيء الا النكاح (اخرجه مسلم) “Bersama-samalah dengan mereka di rumah, dan perbuatlah segala sesuatu kecuali menggaulinya.”
Sementara yang kedua dicontohkan dengan Surat al-Lail (92) ayat17-21:
وسيجنبها الاتقى الذي يؤتى ماله يتزكى ومالاحد عنده من نعمة تجزى الا ابتغاء وجه ربه الاعلى ولسوف يرضى
Menurut penjelasan Al-Qattan bahwa ayat di atas diturunkan mengenai Abu Bakar. Penjelasannya:
Menurut ‘Urwah, Abu Bakar telah memerdekakan tujuh orang budak yang disiksa karena membela agama Allah: Bilal, ‘Amir bin Fuhairah, Nahdiyah dan anak perempuannya, Umm ‘Isa dan budak perempuan Bani Mau’il. Untuk itu turunkah ayat “Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling taqwa itu dari neraka..” sampai dengan akhir surat.
Hal yang serupa diriwayatkan dari ‘Amir bin Abdullah bin Zubair, yang menambahkan: “Maka berkenaan dengan Abu Bakar tersebut turunlah ayat ini (Adapun orang yang memberikan hartanya dan bertaqwa sampai dengan … Dan kelak ia benar benar mendapatkan kepuasan)”.
Tetapi jika sebab itu khusus sementara ayat yang turun berbentuk umum, ulama usul berselisih pendapat apakah harus berpegang pada kata yang umum ataukah sebab yang khusus.
Terhadap pertanyaan tersebut, menurut al-Qattan, ada dua pandangan. Pandangan pertama adalah yang dianut oleh mayoritas ulama, sementara pandangan kedua adalah apa yang diikuti oleh minoritas ulama. Menurut mayoritas ulama (jumhur ulama) bahwa yang menjadi pegangan adalah kata yang umum, bukan sebab yang khusus. Hukum yang diambil dari kata yang umum itu melampaui bentuk sebab yang khusus sampai pada hal-hal yang serupa dengan itu. Dia mencontohkan ayat li’an pada Surat an-Nur (24) ayat 6-9 mengenai li’an yang turun mengenai tudukan Hilal bin Umaiyyah kepada isterinya.
عن ابن عباس: ان هلال بن امية قذف امرئته عند النبي بشريك ابن سحماء, فقال النبى صلى الله عليه وسلم: البينة, والا حد فى ظهرك فقال: يارسول الله, اذا رأى احدنا على امرأته رجلا ينطلق يلتمس البينة؟ فجعل رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: البينة, والا حد فى ظهرك, فقال هلال: و الذى بعثك بالحق ان لصادق, ولينزلن الله ما يبرئ ظهري من الحد, ونزل جبريل فانزل عليه [والذين يرمون ازواجهم ولم نكن لهم شهداء الا انفسهم فشهادة احدهم اربع شهدة بالله انه لمن الصالحين – النور: 6-9]
“Dari Ibnu Abbas, Hilal bin Umaiyyah menuduh istrinya telah berbuat zina dengan Syuraik bin Sahma’ di hadapan Nabi. Maka Nabi berkata:’ Harus ada bukti, bila tidak maka punggungmu yang didera.’Hilal berkata: ‘wahai Rasulullah, apabila seorang di antara kami melihat seorang laki-laki mendatangi istrinya; apakah ia harus mencari bukti?’ Rasulullah menjawab: ‘Harus ada bukti, bila tidak maka punggungmu yang didera.’ Hilal berkata: ‘Demi yang mengutus engku dengan kebenaran, sesungguhnyalah perkataanku itu benar dan Allah benar-benar akan menurunkan apa yang membebaskan punggungku dari dera’ Maka turunlah Jibril dan menurunkan kepada Nabi: (Dan orang-orang yang menuduh istrinya, sampai dengan…..termasuk orang-orang yang benar).
Menurut penjelasan al-Qattan selanjutnya bahwa hukum yang diambil dari kata umum tersebut (Dan orang-orang yang menuduh istrinya..) tidak hanya mengenai peristiwa Hilal, tetapi diterapkan pula pada kasus serupa lainnya tanpa memerlukan dalil lain. Pendapat ini dianggapnya sebagai pendapat yang paling kuat dan sahih. Sementara menurut minoritas ulama, yang menjadi pegangan adalah sebab yang khusus, bukan kata yang umum, karena kata yang umum itu menunjukkan bentuk sebab yang khusus. Sehingga, untuk dapat memberlakukan kepada kasus selain sebab diperlukan dalil seperti qias dan sebagainya.
Bagi mayoritas ulama, karena mereka memegang keumuman kata atau mengikuti paham al-‘ibrah bi ‘umum al-lafaz la bi khusus al-sabab, maka asbab al-nuzul menjadi tidak berarti. Contoh ulama yang memegang keumuman kata adalah Bintusy Syathi. Bagi dia, yang lebih ditekankan adalah universalitas makna, bukan kekhususan sebab. Tetapi sebaliknya, ulama yang memegang kekhususan sebab atau yang memegang kaedah al-‘ibrah bi khusus al-sabab la bi ‘umum al-lafaz lebih mementingkan “sabab” ketimbang nash ketika memaknai ayat. Maka dari itu asbab al-nuzul menjadi signifikan.
Ulama yang memegang kekhususan sebab antara lain adalah Quraisy Shihab. Menurutnya, akan lebih mendukung pengembangan tafsir jika pandangan minoritas yang ditekankan, yaitu dengan memberikan catatan harus mempertimbangkan tiga hal, yaitu peristiwa, pelaku dan waktu.
Di sini Quraisy Shihab menekankan untuk memperhatikan faktor waktu, karena kalau tidak, ia menjadi tidak relevan untuk dianalogkan. Dan analogi yang dilakukan, menurutnya lagi, hendaknya tidak terbatas oleh analogi yang dipengaruhi oleh logika formal (al-mantiq, al-shuri) yang selama ini banyak mempengaruhi para fuqaha kita. Tetapi, analogi yang lebih luas dari itu, yang meletakkan di pelupuk mata al-mashalih al-mursalah dan yang mengantar kepada kemudahan pemahaman agama, sebagaimana pada masa Rasul dan para sahabat
Nasr Abu Zaid juga masuk dalam aliran khusus al-sabab ini. Dalam hal ini ia menggugat pemegang keumuman kata. Menurutnya,
Memegang keumuman kata (ungkapan) dan mengabaikan kekhususan sebab dalam menghadapi semua teks Al-Qur’an akan membawa konsekuensi-konsekuensi yang sulit diterima oleh pemikiran agama. Akibat yang paling serius yang disebabkan oleh sikap “berpegang pada keumuman kata” dengan mengabaikan “kekhususan sebab” adalah bahwa sikap ini menyebabkan hikmah tasyri’ diturunkan secara bertahap, seperti masalah-masalah halal dan haram, terutama dalam masalah makanan dan minuman akan terabaikan. Selain itu bahwa memegang keumuman kata dalam menghadapi semua teks yang khusus berkaitan dengan hukum akan menghancurkan hukum itu sendiri.
Bagi dia, usaha menemukan makna teks tidak harus memisahkan teks dari realitas yang diungkapkannya (teks), tetapi juga tidak benar, menurutnya, apabila dikatakan usaha penemuan tersebut berhenti dan terpaku pada peristiwa-peristiwa itu saja, tanpa memahami karakteristik ujaran bahasa dalam teks serta kemampuannya melampaui realitas-realitas partikular. Artinya menurut Abu Zaid bahwa kata-kata mendapatkan makna melalui hubungan struktural dan kontekstualnya. Dalam hal ini dia mengambil contoh surat Ali Imran (3) ayat 173. Menurutnya, bahwa makna teks atau ayat tersebut akan dapat terungkap melalui analisis struktur bahasanya dan dengan kembali ke konteks yang memproduksinya. Dia menjelaskan,
Firman Allah: الذين قال لهم الناس ان الناس قد جمعوا لكم فاحشوهم وزادهم ايمانا وقالوا حسبنا الله ونعم الوكيل ”Orang-orang yang kepada mereka ada orang yang mengatakan:’mereka telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu sekalian, karena itu takutlah kepada mereka.’ Perkataan ini justru membuat mereka bertambah iman” tidaklah mungkin kalau kata-kata an-nas dalam teks tersebut berarti “semua manusia”. Kalau bermakna demikian maka semua manusia berkata kepada semua manusia bahwa sesungguhnya “semua manusia’ telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian. Struktur teks itu sendiri menegaskan kekhususan acuan dari masing-masing kata an-nas, bahwa (al-nas) yang yang mengatakan bukan (al-nas) yang menjadi sasaran bicara. Ini merupakan taraf-taraf kata ganti dalam ungkapan teks. Huruf alif dan lam pada kedua kata an-nas bukan alif lam yang menunjukkan jenis (li al-jinsi), tetapi alif-lam yang menunjukkan benda yang diketahui (li al-‘ahd), tetapi dalam hal ini untuk mengetahuinya hanya kembali ke asbab al-nuzul. Ini berarti bahwa makna teks dapat terungkap, pertama, melalui analisis struktural bahasanya, dan kedua, dengan kembali ke konteks yang memproduksinya. Mengabaikan salah satu sisi tersebut menyulitkan mufassir untuk menyingkap makna. Memberi fokus hanya pada struktur bahasa tanpa mempertimbangkan konteks budaya akan menjerumuskan kita ke dalam kesesatan analisis yang tertutup. Sementara memberikan fokus hanya pada konteks tanpa mempertimbangkan struktur teks akan mengembalikan kita ke konsep “mimetik” (peniruan).
Dengan demikian, berdasarkan penjelasan di atas, bagi Abu Zaid, selain Asbab al-nuzul, struktur teks sendiri juga perlu diperhatikan. Menurutnya, “Mereka tidak menyadari bahwa di dalam teks senantiasa ada tanda-tanda yang apabila dianalisis apa yang berada di luar teks dapat diungkapkan. Oleh karenanya, asbab al-nuzul dapat diungkapkan dari dalam teks”.
Dari sini dapat disimpulkan, bagi ulama penganut kaidah al-‘ibrah bi khusus al-sabab la bi ‘umum al-lafaz, asbab al-nuzul sangat signifikan meskipun asbab al-nuzul tidak harus dipahami secara kausalitas atau meskipun perlu juga mempertimbangkan struktur teksnya
Sebelum mengakhiri perbincangan tentang kaidah ini, barangkali tidak ada salahnya jika di sini juga dipaparkan argumen yang dibangun oleh masing-masing pemegang kaidah, baik oleh ulama mayoritas ataupun minoritas. Mayoritas (jumhur ulama) mengemukakan tiga macam dalil:
1. Lafaz syari’ (pembuat syari’at) saja yang menjadi hujjah dan dalil (argumen), bukan sesuatu yang mengelilinginya berupa pertanyaan atau sebab. Karena itu tidak ada jalan un tuk mengkhususkan lafaz pada sebab. Alasan mayoritas mengatakan bahwa hanya lafaz syari’ (pembuat syari’at) sebagai hujjah adalah keadaan syari’ kadang-kadang memalingkan pandangan dari pertanyaan yang dihadapkan kepada nabi kepada jawaban tentang sesuatu yang lebih penting dari pertanyaan tersebut. Sebagai contoh, dalam surat al-Baqarah ayat 215 diterangkan bahwa nabi ditanya tentang sesuatu yang akan mereka nafkahkan. Akan tetapi, Allah menjawab tentang orang-orang yang seharusnya menerima nafkah itu
2. Menurut kaidah asal, lafaz-lafaz itu ditanggungkan kepada maknanya yang segera tertangkap selama tidak ditemukan sesuatu yang memalingkannya dari makna tersebut. Dalam hubungan ini, tidak ada sesuatu yang memalingkannnya dari maksud keumumannya. Dengan demikian, secara otomatis lafaz itu tetap pada keumumannya. Kekhususan sebab semata tidak harus mengeluarkan selain sebab dari cakupan lafaz yang umum
3. Para sahabat dan mujtahid di segala masa dan tempat berhujjah (menjadikan argumen) dengan keumuman lafaz-lafaz yang datang lantaran sebab-sebab yang khusus pada peristiwa dan kejadian yang banyak tanpa memerlukan qias atau mencari alasan dengan dalil lain. Bahkan, kebanyakan pokok-pokok syari’at lahir dari sebab-sebab yang khusus. Bagaimanapun khususnya sebab itu, mereka memahami dari lafaz-lafaz itu hakikat keumumannya. Kemudian, dari keumuman lafaz-lafaz tersebut mereka bentuk banyak kaidah-kaidah umum pula.
Adapun kelompok minoritas yang berpegang pada kaidah al-‘ibrah bi khusus al-sabab la bi umum al lafaz, mereka mengemukakan lima alasan sebagai berikut:
1. Ijma’ telah berlaku atas ketidakbolehan mengeluarkan sebab dari hukum lafaz yang umum yang datang lantaran sebab yang khusus sekalipun terdapat mukhassis (yang mengkhususkan). hal demikian mengharuskan bahwa lafaz yang umum terbatas pada person-person sebab dan tidak menjangkau yang lainnya. Sebab, sekiranya lafaz-lafaz yang umum itu tidak terbatas pada person-person sebab, tentunya person-person ini sama statusnya dengan person-person lainnya dalam hal boleh mengeluarkannya ketika ada mukhassisnya. Padahal, yang demikian itu terlarang menurut ijma’
2. para periwayat telah meriwayatkan asbab al-nuzul. Mereka telah memberikan perhatian yang besar terhadapnya dan membukukannya. Semua usaha itu tidak bermakna kecuali dengan mengikuti jalan pikiran minoritas yang mewajibkan terbatasnya lafaz yang umum pada person-person sebabnya yang khusus.
3. penangguhan keterangan dari terjadinya suatu peristiwa dan munculnya pertanyaan pada lafaz umum yang datang lantaran suatu sebab, meunjukkan bahwa yang mesti diperhatikan adalah kekhususan sebab. Sebab, penangguhan lafaz Syari’ sampai sesudah terjadinya sebabnya memberikan pengerian bahwa sebablah satu-satunya yang diperhatikan syari’ dalam menetapkan hukumnya dengan lafaz yang turun mengenainya. Kjika demikian, maka Allah tidak mempertalikannya dengan sebab itu, dan bahkan akan menurunkannya sebelum peristiwa berlangsung atau memperlambatnya.
4. Para ahli fiqh sepakat atas bahwa seseorang yang diundang dengan kata-kata “makan sianglah di tempatku”, maka ia menolaknya dengan bersumpah: “ Demi Allah, saya tidak akan makan siang”—tidak kena kaffarat sumpah jika ia makan di tempat orang lain. Pendapat ini tidak lahir kecuali dengan memandang bahwa lafaz yang umum ini telah tertentu bagi sebabnya, yaitu kalimat “makan sianglah di tempatku” yang dengannya pengundang menghususkan dirinya. Dalam hal ini, orang yang bersumpah seolah-olah berkata: “ saya tidak makan siang di tempatmu saja”. Karena itu, dia tidak berdosa untuk makan di tempat orang lain.
5. Persesuaian antara pertanyaan dam jawaban wajib dalam pandangan hikmat dan ketentuan balaghah (sastra). Persesuaian ini tidak akan jadi melainkan dengan persamaan antara lafaz yang umum dengan sebabnya yang khusus. Sedangkan persamaan, tidak mungkin terjadi kecuali jika lafaz yang umum di takhshish (dijadikan khusus) dengan sebabnya yang khusus.
Dalam penjelasan di atas, argumen nomor dua yang diajukan oleh ulama minoritas menarik untuk dipertanyakan. Argumen dipakainya kaidah bi khusus al-sabab demi penghargaan kepada ulama yang telah mencurahkan perhatian yang begitu besar terhadap asbab al-nuzul, bagi penyusun, adalah argumen naif dan tidak seharusnya dijadikan alasan untuk menguatkan pemakaian kaidah tersebut. Argumen dalam pemilihan pemakaian kaedah, seharusnya lebih atas pertimbangan makna yang akan dihasilkan nantinya, atau seharusnya lebih karena pertimbangan implikasi yang akan timbul darinya, bukan karena sikap etis kepada tokoh atau golongan tertentu yang telah terlanjur menghasilkan sebuah rumusan tertentu. Sikap seperti itu malahan akan menyebabkan stagnasi dalam pemikiran. Lagi pula, alasan seperti itu juga akan memperlihatkan bahwa argumen yang diajukan menjadi terkesan dipaksakan, hanya demi mendukung kaidah yang dipakainya.
Tapi paling tidak, signifikansi asbab al-nuzul telah dapat terlihat melalui pemaparan pemakaian kaedah. Kalau yang dianut adalah paham al-‘ibrah bi ‘umum al- lafaz la bi khusus al-sabab, maka asbab al-nuzul kurang diperankan atau tidak diperankan sama sekali. Sementara kalau paham yang dipakai adalah al-‘ibrah bi khusus al-sabab la bi ’umum al-lafaz, maka asbab al-nuzul menjadi signifikan.
Selanjutnya, pembahasan yang perlu juga disampaikan dalam pemaparan asbab al-nuzul di sini adalah tentang cara mengetahui asbab al-nuzul dan sigat-sigat tentang asbab al-nuzul.
4. Bentuk- bentuk Redaksi dan Cara Menentukan Asbab al-nuzul
Sungguhpun bagi segolongan ulama asbab al-nuzul begitu signifikan, namun tidak semua riwayat dapat dikatakan sebagai asbab al-nuzul. Untuk mengetahui apakah riwayat itu menunjukkan asbab al-nuzul atau sekadar menunjukkan hukumnya atau menunjukkan sesuatu yang lain, ulama melihatnya dari redaksi yang digunakan. Menurut ulama ada dua bentuk redaksi yang dapat dijadikan ukuran apakah itu menerangkan sebab nuzul atau menerangkan hukum atau makna ayatnya atau lainnya.
Bentuk pertama, berupa pernyataan tegas bahwa itu adalah asbab al-nuzul ayat. Dalam hal ini asbab al-nuzul disebutkan dengan ungkapan yang jelas, seperti sababu nuzuli hazihil ayati kaza (sebab turun ayat ini adalah begini), atau sabab nuzul tidak ditunjukkan dengan lafaz sebab, tetapi dengan mendatangkan lafaz “fa” yang masuk kepada ayat yang dimaksud secara langsung setelah pemaparan suatu peristiwa atau kejadian. Ungkapan seperti ini juga menunjukkan bahwa peristiwa itu adalah sebab bagi turunnya ayat tersebut. Jika redaksinya berbentuk demikian maka secara definitif dianggap menunjukkan sabab al-nuzul dan tidak mengandung kemungkinan makna lain.
Bentuk kedua yaitu sabab al-nuzul tidak disebutkan dengan ungkapan sebab secara jelas juga tidak dengan mendatangkan “fa” yang menunjukkan sebab, tetapi dengan redaksi: “nazalat hazihil ayatu fi kaza” ( ayat ini turun mengenai ini), atau ahsibu hazihil ayata fi kaza (aku mengira ayat ini turun mengenai soal begini), atau ma ahsibu hazihil ayata nazalat illa fi kaza (aku tidak mengira ayat ini turun kecuali mengenai hal yang begini). Dengan bentuk redaksi seperti ini perawi tidak memastikan sabab al-nuzul. tetapi dianggapnya mengandung suatu kemungkinan, mungkin menunjukkan sebab, mungkin menunjukkan hukum atau lainnya. Al-Zarkasyi menyebutkan bahwa telah dimaklumi dari kebiasaan para sahabat dan tabi’in bahwa jika salah seorang mereka berkata: “ayat ini turun tentang demikian”, maka yang dimaksud adalah hukum suatu ayat, bukan sebab bagi turunnya ayat tersebut. Sementara menurut al-Zarqani, satu-satunya jalan untuk menentukan salah satu dari dua makna yang terkandung dalam ungkapan itu adalah konteks pembicaraannya.
Mengenai asbab al-nuzul ini, Al-Qattan menjelaskan bahwa terkadang suatu ayat mempunyai banyak asbab al-nuzul. Terkadang semuanya tidak tegas, terkadang pula semuanya tegas dan terkadang sebagiannya tidak tegas sedang sebagian lainnya tegas dalam menunjukkan sebab. Maka dalam hal ini yang ditempuh mufassir terhadapnya adalah:
• Jika semuanya tidak tegas dalam menunjukkan sebab maka dipandang sebagai tafsir atau kandungan ayat.
• Jika sebagian tidak tegas sementara sebagian lain tegas maka yang menjadi pegangan adalah yang tegas
• Jika semuanya tegas maka tidak terlepas kemungkinan bahwa salah satunya sahih atau semuanya sahih. Apabila salah satunya sahih sedang yang lain tidak, maka yang sahih itulah yang menjadi pegangan.
• Jika semuanya sahih maka dilakukan pentarjihan bila mungkin. Bila tidak mungkin maka dipadukan. Bila tidak mungkin juga maka dipandanglah ayatnya turun beberapa kali dan berulang.
Paparan di atas menunjukkan bahwa pedoman dasar dalam mengetahui asbab nuzul adalah melalui riwayat, yaitu riwayat sahih yang berasal dari rasulullah atau dari sahabat. Menurut Al-Wahidi “tidak diperbolehkan berpendapat mengenai sebab-sebab turunnya Al-Qur’an kecuali melalui periwayatan”. Dan menurut al-Suyuti, bila ucapan seorang tabiin secara jelas menunjukkan sabab al-nuzul maka ucapannya dapat diterima dan mempunyai kedudukan mursal bila penyandaran kepada tabi’in itu benar dan ia termasuk salah seorang imam tafsir yang mengambil ilmunya dari sahabat seperti Mujahid, Ikrimah dan Sa’id bin Jubair serta didukung oleh hadis mursal yang lain.Jika riwayat itu berasal dari tabi’in maka syaratnya bahwa ucapan tabi’in itu secara jelas menunjukkan asbab al-nuzul. Sementara menurut Abu Zaid, pengetahuan tentang asbab al-nuzul merupakan masalah ijtihad. Oleh karenanya, ia menyarankan mufasir-mufasir muda untuk menikmati kesempatan berijtihad ini
Demikianlah paparan tentang asbab al-nuzul yang dapat dijadikan sebagai overview (gambaran umum) bagaimana posisi atau signifikansi asbab al-nuzul selama ini dalam penafsiran Al-Qur’an. Sungguhpun mereka yang memakai asbab al-nuzul atau yang cenderung kepada kaidah al-‘ibrah bi khusus al-sabab merupakan kelompok minoritas, namun gaung asbab al-nuzul terasa sekali dalam penafsiran Al-Qur’an. Minimal, ia telah menarik perhatian begitu banyak pakar tafsir.
BAB III
HERMENEUTIKA RICOEUR:
ARAH BARU PENAFSIRAN TEKS
Sepanjang nalar manusia belum mengalami stagnasi, problem di seputar bagaimana menafsirkan teks agaknya akan terus berlangsung. Tidak mengherankan kalau kerap kali muncul perbincangan mengenai metode penafsiran atau persoalan yang bersifat metodologis. Persoalan tentang metode penafsiran ini tentu saja bukan hal baru. Sudah sejak lama metode dijadikan sebagai bahan perdebatan, terutama ketika kebenaran makna menjadi taruhannya. Oleh karenanya, tidak mengherankan kalau kemudian tidak sedikit pemikir yang mencurahkan perhatian untuk memperbarui dan terus meng up date metode terutama ketika disadari bahwa metode yang ada masih mengidap banyak kekurangan, apalagi tatkala teks mempunyai implikasi praksis yang sangat serius (baca: signifikan).
Salah satu metode yang cukup populer dalam penafsiran teks adalah hermeneutika. Hermeneutika ini pun dalam sejarahnya terus mengalami perkembangan. Sehingga tidak mengherankan kalau saat ini banyak dijumpai produk pemikiran tentang hermeneutika, lengkap dengan kekurangan dan kelebihannya. Keragaman ini dapat dilihat bahwa sejauh ini tidak kurang ada tiga aliran pemikiran yang mewarnai studi hermeneutika, antara lain: teori hermeneutika atau biasa juga disebut hermeneutika teoretis atau hermeneutika metodologis; filsafat hermeneutika atau hermeneutika filosofis dan hermeneutika kritis.
Dalam sejarahnya, filsafat hermeneutika muncul untuk merespon pemikiran hermeneutika sebelumnya (teori hermeneutika). Pemikiran dalam teori hermeneutika dianggap oleh hermeneutika filosofis masih mengidap banyak kekurangan. Hermeneutika Kritis pun demikian. Ia pun hadir untuk merespon pemikiran sebelumnya. Oleh hermeneutika kritis, baik teori hermeneutika maupun filsafat hermeneutika dianggap sama-sama tidak sepi dari kelemahan. Sehingga dapat dikatakan, pemikiran tentang hermeneutika oleh pemikir-pemikir sebelumnya selalu saja dianggap tidak memadai oleh generasi sesudahnya. Hal ini sangat wajar karena yang paling akhir selalu mendapat kesempatan lebih banyak untuk melihat kekurangan, mengkritisi, mempertanyakan, juga mensintesiskan pemikiran sebelumnya.
Adalah Ricoeur, seorang hermeneut Perancis yang muncul lebih belakangan dalam kancah hermeneutika. Ia dianggap sebagai hermeneut yang gagasan-gagasannya, terutama dalam interpretasi teks, dianggap berhasil menjembatani ketidakakuran dalam peta hermeneutika sebelumnya (hermeneutical despute), khususnya antara tradisi metodologis dengan tradisi filosofis. Untuk sementara ini konsep hermeneutika Ricoeur terutama tentang interpretasi teks dianggap berhasil mendamaikan antara teori hermeneutika yang notabene bersifat epistemologis dengan filsafat hermeneutika yang lebih ontologis. Di satu sisi Ricoeur berpijak pada titik berangkat bahwa hermeneutika adalah kajian untuk menyingkapkan makna obyektif dari teks-teks yang memiliki jarak ruang dan waktu dengan pembaca (Seperti Emilio Betti dan lainnya). Namun di sisi lain, ia juga menganggap bahwa seiring dengan berjalannya waktu, niat awal penulis sudah tidak lagi digunakan sebagai acuan utama dalam memahami teks (Seperti Gadamer). Ricoeur juga dianggap menjadi mediator dari posisi tradisi hermeneutika romantis dari Schleiermacher dan Dilthey dengan hermeneutika filosofis Heidegger. Ia mengikuti Dilthey yang menempatkan hermeneutika sebagai kajian terhadap ekspresi-ekspresi kehidupan yang terbakukan dalam bahasa, namun ia tidak berhenti pada langkah psikologisme, berupa merekonstruksi pengalaman penulis (seperti Schleiermacher) ataupun usaha penemuan diri pada orang lain (seperti Dlithey), melainkan untuk menyingkap potensi Ada atau Eksistensi (seperti Heidegger). Dengan demikian Ricoeur, sebagai hermeneut belakangan telah melakukan aksi sekaligus reaksi terhadap pemikiran sebelumnya.
Untuk memahami reaksi Ricoeur terhadap pemikiran hermeneutika sebelumnya sekaligus aksinya menggagas sebuah hermeneutika baru, maka pertanyaannya adalah bagaimanakah gagasan hermeneutika Ricoeur, terutama yang berkaitan dengan pemahaman teks, sehingga ia dikatakan sebagai pendamai terhadap perdebatan hermeneutika sebelumnya? Atau seperti apakah hermeneutika yang ditawarkan Ricoeur yang merupakan aksi sekaligus reaksi terhadap pemikiran sebelumnya?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dalam bab ini akan dijelaskan tentang hermeneutika Ricoeur terutama tentang pemahaman teks. Namun, sebelum melaju pada pembahasan hermeneutika Ricoeur, terlebih dahulu akan dipaparkan sejarah dan pengertian mengenai hermeneutika, perkembangan dan problem hermeneutika atau sebuah overview (gambaran umum) mengenai hermeneutika supaya ia dapat dipahami secara lebih jelas. Baru kemudian dilanjutkan dengan pembahasan yang paling pokok mengenai kelainan hermeneutika Ricoeur dalam peta hermeneutika, yang meliputi: bagaimana konsep teks dan memahami teks atau pembacaan teksnya.
Sejarah dan Pengertian Hermeneutika
Jika ditelusuri, asal kata hermeneutik atau hermeneutika bisa dirujuk ke dalam bahasa Yunani, yaitu berasal dari kata hermeneuine yang berarti “menafsirkan” dan hermenia yang mempunyai arti “penafsiran”. Istilah tersebut dalam berbagai bentuknya sebenarnya dapat ditemukan dalam sejumlah literatur peninggalan masa Yunani Kuno, seperti dalam risalah yang terkenal dengan Peri Hermeneias (de Interpretatione) yang termuat di dalam Organon karya Aristoteles. Ia juga digunakan dalam bentuk nominal dalam epos Oedipus at Colonus, beberapa kali muncul dalam tulisan-tulisan Plato, dan karya-karya para penulis kuno, seperti Xenophon, Plutarch, Euripides, Epicurus, Lucretius, dan Longinus. Kedua istilah tersebut diasosiasikan kepada Hermes (hermeios).
Hermes ini adalah seorang tokoh mitologis Yunani yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Hermes digambarkan sebagai seseorang yang mempunyai kaki bersayap, dan lebih banyak dikenal dengan sebutan Merkurius dalam bahasa latin. Tugas Hermes ini adalah menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. Oleh karenanya Hermes berperan penting, sebab bila terjadi kesalahpahaman tentang pesan dewa-dewa tersebut akibatnya akan fatal bagi seluruh umat manusia. Hermes harus mampu menginterpretasikan sebuah pesan ke dalam bahasa yang dapat dipergunakan oleh pendengarnya. Sejak saat itu Hermes menjadi simbol seorang utusan yang dibebani dengan suatu misi tertentu. Berhasil-tidaknya misi itu sepenuhnya tergantung pada cara bagaimana pesan itu disampaikan oleh si Hermes.
Dalam agama Islam, Hermes sering diidentikkan dengan Nabi Idris (ia dikatakan sebagai orang yang pertama kali mengenal tulisan, teknik dan kedokteran), di kalangan Mesir Kuno, Hermes dikenal sebagai Thot, di kalangan Yahudi dikenal sebagai Unukh, sementara di kalangan masyarakat Persi Kuno sebagai Hushang.
Proses komunikasi sang pembawa pesan, sebagaimana perilaku yang dilakukan Hermes di atas, menggambarkan satu bentuk struktur yang satu sama lain saling terkait dan tak terpisahkan dari seni interpretasi. Dalam hermeneutika, struktur tersebut biasa disebut dengan struktur triadik (triadic structure), di mana ia terdiri dari tiga unsur. Ketiga unsur tersebut adalah:
• Tanda (sign), pesan (message) atau teks (text) dari sumber yang diinginkan, yaitu pesan yang dibawa oleh hermes
• Perantara (a mediator) atau penafsir (intepreter, hermes)
• Audien atau penerima yang merasa asing dengan pesan teks
Sementara itu, Gerhard Ebeling membuat interpretasi yang banyak dikutip mengenai proses penerjemahan yang dilakukan Hermes. Menurutnya, proses tersebut mengandung tiga makna hermeneutis yang mendasar. Pertama, mengungkapkan sesuatu yang tadinya masih berada dalam pikiran melalui kata-kata (utterance, speaking) sebagai medium penyampaian. Kedua, menjelaskan secara rasional (interpretation, explanation) sesuatu yang sebelumnya masih samar-samar sehingga maksud atau maknanya dapat dimengerti. Terakhir, menerjemahkan (translating) suatu bahasa yang asing ke dalam bahasa lain yang lebih dikuasai pemirsa.
Secara sederhana, hermeneutika diartikan sebagai sebuah disiplin filsafat yang memusatkan kajian pada persoalan understanding of understanding (pemahaman atas pemahaman). Sementara secara luas, hermeneutika didefinisikan oleh Zygmunt Bauman sebagai upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang dan kontradiktif yang menimbulkan kebingungan bagi pendengar atau pembaca, atau dipakai untuk mendeskripsikan—upaya menjembatani jurang antara masa lalu dan masa kini. Sehingga dalam kasus komunikasi terdistorsi, hermeneutika berusaha menjernihkannya dan membuatnya bisa dimengerti.
Budi Hardiman mendefinisikan hermeneutika sebagai tiga hal: Pertama, mengungkapkan pikiran seseorang dalam kata-kata, menerjemahkan dan bertindak sebagai penafsir; Kedua, usaha mengalihkan dari suatu bahasa asing yang maknanya gelap tidak diketahui ke dalam bahasa lain yang bisa dimengerti oleh pembaca dan Ketiga, pemindahan ungkapan pikiran yang kurang jelas, diubah menjadi bentuk ungkapan yang lebih jelas.
Sementara secara umum hermeneutika diartikan sebagai ‘proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti’. Inilah batasan umum yang agaknya disepakati, baik hermeneutika dalam pandangan klasik maupun dalam pandangan moderen.
Kalau diperhatikan, pada dasarnya definisi-definisi yang diberikan di atas mengandung maksud yang sama. Hermeneutika menjadikan apa yang dahulunya tidak jelas, samar atau kabur, menjadi jelas; apa yang dahulunya tidak dapat dipahami menjadi dapat dipahami atau sesuatu yang terjadi di masa lalu, yang mempunyai jarak, dapat dimengerti di masa kini.
Sebenarnya, dalam konsep awalnya Hermeneutika lebih banyak diartikan sebagai disiplin mengenai teori interpretasi. Sebagai teori interpretasi, hermeneutika tidak hanya membicarakan aturan-aturan atau prosedur di dalam menafsirkan atau hal yang bersifat teknis dan normatif saja. Lebih dari itu, istilah teori di sini juga meliputi perbincangan tentang hakikat dari menafsirkan itu sendiri (filosofis atau ontologis). Dengan demikian, secara tentatif, hermeneutika diartikan sebagai disiplin yang relatif luas tentang teori penafsiran yang mencakup metode penafsiran dan filsafat penafsiran sekaligus.
Sebagai metode penafsiran, hermeneutika pun pada dasarnya telah diterapkan sejak lama sebelum abad ke-17—walaupun baru berkembang luas sejak abad ke-17. Dipakainya hermeneutika sebagai metode penafsiran ini kemunculannya dapat dilacak paling tidak sejak periode Patristik, jika bukan pada filsafat Stoik yang mengembangkan penafsiran alegoris terhadap mitos, atau bahkan pada tradisi sastra Yunani kuno. Istilah hermeneutika pada masa ini belum dikenal secara definitif, pun belum direfleksikan secara filosofis.
Secara definitif Istilah hermeneutika baru muncul pertama kali dalam karya J.C. Danhauer yang terbit pada tahun 1654, berjudul Hermeneutica Sacra Sive Methodus Axponendarum Sacrarum Litterarum. Tetapi karya ini berbicara sebatas tentang metode menafsirkan teks-teks Bibel. Di sini juga dibedakan antara eksegese dengan hermeneutika. Eksegese adalah kegiatan memberi pemahaman tentang sesuatu atau komentar aktual terhadap teks. Sementara hermeneutika adalah metode yang dipakai dalam bereksegese.
Dalam kaitannya dengan interpretasi, hermeneutika terutama berurusan dengan teks-teks, lebih khusus lagi teks-teks kuno. Problematika teks ini baru muncul ketika terjadi pembacaan teks masa lampau di masa kini. Terdapatnya jarak atau rentang waktu yang sangat panjang antara pembaca dengan pengarang teks menyebabkan teks menjadi sulit dipahami. Kontak antara keduanya tidak terjadi sementara pembaca dihadapkan pada problem otentisitas makna teks. Di sinilah mengapa kemudian hermeneutika menjadi demikian penting.
B. Perkembangan dan Problema hermeneutika
Dalam perkembangannya, hermeneutika mendapatkan pengertian lebih luas lagi. J.C. Bleicher menyebut bahwa terdapat tiga aliran dalam hermeneutika, yaitu teori hermeneutika (hermeneutika teoritis atau metodologis), filsafat hermeneutika (hermeneutika filosofis) dan hermeneutika kritis.
Teori hermeneutika mempunyai fokus pada persoalan metode atau aturan-aturan dalam penafsiran. Sehingga yang dipersoalkan oleh hermeneutika ini adalah metode apa yang sesuai untuk menafsirkan teks sehingga penafsir sejauh mungkin dapat terhindar dari kesalahpahaman dan dapat menemukan makna obyektif teks. Pandangan ini mengandaikan adanya kebenaran di balik teks. Menurut pandangan ini, makna obyektif suatu teks itu dapat dicapai. Sementara untuk mencapainya atau menyingkap kebenaran tersebut, diperlukan suatu metode yang valid atau yang relatif memadai.
Lain dari teori hermeneutika, filsafat hermeneutika lebih menfokuskan diri pada status ontologis dari memahami itu sendiri. Berbeda dengan hermeneutika teoritis yang berkonsentrasi pada metode-metode yang valid dalam penafsiran, hermeneutika filosofis lebih fundamental lagi, yang dipersoalkan adalah hakikat dari menafsirkan itu sendiri; apa makna memahami? atau bagaimana kebenaran dapat muncul sebagai kebenaran.? Hermeneutika, menurut pandangan ini, tidak semata-mata berkaitan dengan metode yang selalu dianggap menentukan benar-salahnya suatu penafsiran Sehingga, kalau teori hermeneutika bersifat epistemologis, maka filsafat hermeneutika lebih bersifat ontologis atau filosofis.
Sementara hermeneutika kritis lebih berkonsentrasi pada bagaimana membuka selubung-selubung penyebab adanya distorsi yang tersembunyi dalam pemahaman. Pada dasarnya gagasan dari hermeneutika kritis tidak berkaitan dengan wilayah dan kegiatan penafsiran. Tetapi karena kritik-kritiknya terhadap hermeneutika teoretis dan hermeneutika filosofis—yang dianggapnya telah mengabaikan poersoalan di luar bahasa (yang baginya sangat menentukan hasil penafsiranlah)—yang menjadikan hermeneutika ini telah memberi kontribusi besar bagi diskursus hermeneutika kontemporer.
Jika problem dalam hermeneutika teoretis dan hermeneutika filosofis adalah bahasa dan permainan bahasa, maka hermeneutika kritis mumpunyai fokus terhadap hal di luar bahasa. Yang dipersoalkan oleh hermeneutika kritis ini adalah faktor-faktor ekstralinguistik . Menurutnya, dalam memahami teks, persoalannya tidak sekadar bagaimana dapat memahami maknanya. Hermeneutika kritis justeru lebih banyak mencurigai teks, karena teks dianggapnya telah menyembunyikan kesadaran palsu. Oleh karenanya, hermeneutika ini tidak hendak mengklarifikasi kebenaran bahasa yang terdapat dalam teks—sebagaimana hermeneutika teoretis, akan tetapi lebih berupaya melakukan pembongkaran dan mencoba membuka selubung selubung, ketimpangan, distorsi muatan ideologis dan kepentingan yang bersembunyi di dalam teks yang telah dianggap mapan.
Dalam penggolongan ini, Scheleiermacher dan Dilthey masuk dalam kategori hermeneutika metodologis, sementara Heidegger dan Gadamer ditempatkan dalam Hermeneutika Filosofis. Sedangkan Jurgen Habermas bisa disebut sebagai perwakilan dari hermeneutika kritis.
Dengan penjelasan singkat di atas, dapat dilihat bahwa ketiga aliran tersebut di atas, masing-masing mempunyai bidang kajian dan metode analisis yang berbeda. Dengan demikian, problem hermeneutisnya pun menjadi berlainan antara satu sama lain.
Selanjutnya akan dijelaskan tentang pemikiran dari tokoh-tokoh hermeneutika sebagai perwakilan dari dua aliran, yaitu teori hermeneutika dan filsafat hermeneutika. Dalam hal ini sengaja tidak dikupas tentang pandangan dari tokoh hermeneutika kritis dengan pertimbangan bahwa hermeneutika Ricoeur yang hendak dibahas dalam bab ini lebih banyak berkaitan dengan dua aliran hermeneutika, yaitu teori hermeneutika dan filsafat hermeneutika. Sehingga, meskipun dalam kesempatan tertentu hermeneutika Ricoeur juga bersinggungan dengan hermeneutika kritis, namun karena kurang berkaitan dengan yang hendak di bahas di sini, juga untuk tidak terlalu berlarut-larut dalam memberikan gambaran umum (overview) hermeneutika, maka dicukupkan pada dua hermeneutika tersebut.
1. Teori Hermeneutika atau Hermeneutika Teoretis
Menurut Schleiermacher, salah seorang dari aliran hermeneutika teoretis yang mendapat julukan sebagai ”bapak hermeneutika moderen”, ada dua tugas hermeneutika yang harus diperhatikan, khususnya dalam melakukan penafsirkan teks. Dua hal tersebut adalah interpretasi gramatikal dan interpretasi psikologis. Yang paling penting dalam interpretasi gramatikal, menurutnya, Pertama, “ segala sesuatu yang membutuhkan ketetapan (makna) dalam suatu teks tertentu hanya dapat diputuskan dengan merujuk pada lapangan kebahasaan—istilah lain untuk kebudayaan—yang berlaku di antara pengarang dan publik pendengarnya”. Kedua, “ makna dari sebuah batang tubuh teks ditetapkan dengan merujuk pada koeksistensinya dengan kata-kata lain di sekelilingnya”.
Menurut Schleiermacher, supaya valid, interpretasi tidak boleh berhenti pada tahap interpretasi gramatikal saja, tetapi perlu dilanjutkan dengan interpretasi psikologis. Yaitu dari pengetahuan linguistik dan sejarah kebahasaan yang diperoleh sebelumnya, seorang penafsir diharuskan melanjutkan merekonstruksi secara imajinatif suasana batin pengarang, inilah yang disebut sebagai interpretasi psikologis. Artinya interpretasi psikologis ini didasarkan pada subyektifitas pengarang. Pembaca atau penafsir berupaya merekonstruksi subyektifitas tersebut sehingga ia dapat memahami maksud sejati si pengarang. Dalam kata lain interpretasi psikologis ini dipakai supaya tidak menyimpang dari maksud yang dipahami pengarangnya.
Pendek kata, menurut Schleiermacher, dalam memahami teks, penafsir harus memahami keduanya sama baiknya, yaitu memahami bahasa dan jiwa penulis sama baiknya. Di sini Schleiermacher mengajukan dua rekonsruksi, yaitu rekonstruksi obyektif-historis dan rekonstruksi subjektif-historis. Dengan rekonstruksi pertama ia bermaksud membahas sebuah pernyataan dalam hubungan dengan bahasa secara keseluruhan, dan dengan rekonstruksi kedua ia bermaksud membahas asal mulanya sebuah pernyataan masuk dalam pikiran seseorang. Schleiermacher sendiri menyatakan bahwa tugas hermeneutika adalah memahami teks “sebaik atau lebih baik daripada pengarangnya sendiri” dan “memahami pengarang teks lebih baik daripada memahami diri sendiri”. Sederhananya, menurut Schleiermacher, menafsirkan teks berarti memungut makna sebagaimana yang dimaksud penulisnya. Inilah yang dimaksud dengan Psikologisme.
Setelah Schleiermacher, muncul Dilthey, seorang filosof Jerman yang mengembangkan disiplin hermeneutika dengan fokus yang berbeda meskipun tetap dalam kerangka hermeneutika metodologis. Karena dipengaruhi oleh zaman filsafat positivistik, Dilthey berusaha mencari sebuah metode valid yang dapat menghasilkan suatu interpretasi objektif. Ia menjadikan hermeneutika sebagai dasar bagi ilmu-ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften) yang dibedakannya dengan Naturwissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang alam. Artinya, Dilthey telah mengajukan sebuah dikotomi antara Erklaren dari ilmu alam dan Verstehen dari ilmu-ilmu sejarah. Dikotomi tersebut bagi Dilthey sangat penting karena, menurutnya, metode yang dipakai antara keduanya berbeda.. Terhadap Naturwissenschaften yang dipakai adalah penjelasan, sementara terhadap Geisteswissenschaften, menurut Dilthey, diperlukan pemahaman.
Dalam hermeneutika Dilthey, terdapat praandaian yang mendasari hermeneutikanya berupa kemampuan orang untuk “transposisi historis”, yaitu dapat terlepas dari konteks historisnya dan masuk dalam situasi historis pengarang. Sehingga dalam menafsirkan teks ini, pandangan Dilthey hampir mirip dengan pandangan Schleiermacher, yang mensyaratkan tampilan hermeneutika yang steril dari intervensi historisitas penafsir.
Tetapi berbeda dengan Psikologisme Schleiermacher, dalam kegiatan menafsirkan yang harus direproduksi, menurut Dilthey, bukanlah kondisi batin pengarangnya tetapi makna-makna dari peristiwa sejarah yang melatarbelakangi munculnya teks. Karena menurutnya, hermeneutika pada dasarnya bersifat menyejarah. Oleh karena itu penafsiran digambarkan sebagai peristiwa sejarah dan bukan peristiwa mental sebagaimana pandangan Schleiermacher. Dengan demikian, bagi Dilthey, pengarang tidak mempunyai otoritas atas makna teks tetapi sejarahlah yang menentukan maknanya.
Namun demikian, sungguhpun Dilthey berhasil melawan kecenderungan positivisme yang menempatkan objek di atas subyek dengan mengajukan verstehen sebagai metode yang valid untuk ilmu-ilmu tentang manusia dan bukan erklaren, sesungguhnya Dilthey semakin mengukuhkan posisi subyek di dalam skema subyek-obyek dan oleh karenanya ia kembali jatuh ke Psikologisme. Maka tidak mengherankan jika Palmer mengatakan bahwa sampai dengan Dilthey, hermeneutika masih terperangkap dalam skema subjek-objek, di mana sesuatu yang diinterpretasi itu cenderung ditempatkan dalam suatu jarak dengan si penginterpretasi yang melihatnya sebagai objek analisis. Dengan demikian, Hermeneutika Dilthey dianggap belum terbebaskan dari cacat saintisme dan obyektivisme masa pencerahan.
2. Filsafat Hermeneutika atau Hermeneutika Filosofis
Menurut hermeneutika filosofis, pandangan yang terdapat dalam hermeneutika teoretis, baik psikologisme Schleiermacher maupun hermeneutika sejarah Dilthey, dianggap mengandung kelemahan. Sehingga gagasan yang diajukan oleh Schleiermacher maupun Dilthey ditolaknya karena dianggapnya bertendensi obyektivistik, yaitu atas pengandaian terdapatnya makna awal yang akan dapat direproduksi lagi.
Wakil dari hermeneutika ini adalah Heidegger. Dengan karyanya berjudul Sein und Zeit (Being and Time), Heidegger memunculkan hermeneutika dasein, yaitu hermeneutika yang tidak dikaitkan dengan aturan-aturan tentang penafsiran teks, pun tidak dikaitkan pada metodologi bagi geisteswissenschaften, melainkan pada deskripsi fenomenologis dari cara berada manusia itu sendiri. Pada hakekatnya hermeneutika merupakan ciri hakiki manusia sedangkan proses pemaparannya haruslah dibimbing oleh verstehen (pemahaman).
Hermeneutika Heidegger sebenarnya bertitik tolak dari metode fenomenologi. Metode fenomenologinya disebut oleh Heidegger sebagai hermeneutika. Fenomenologi hermeneutika berkaitan dengan pengungkapan sein (being atau “ada’) yang secara sedemikian rupa sehinggga sein dapat muncul dengan jelas. Dan karena sein berada dalam bahasa maka proses fenomenologi tersebut membuka ketertutupan sein dalam bahasa. Dalam fenomenologinya tersebut, Heidegger mengajukan tiga pertanyaan. Siapa manusia itu? Apakah wujud (being) yang konkret itu? Dan Apakah wujud atau realitas tertingggi itu? yang kemudian menjadi kerangka hermeneutikanya.
Menurut Heidegger, pemahaman dan penafsiran merupakan bentuk eksistensi manusia. Pemahaman merupakan dasar bagi semua interpretasi. Menurutnya, pemahaman adalah modus berada di dunia, yang merupakan struktur eksistensi dasein yang memungkinkan terjadinya pengalaman di tingkat empiris, serta memungkinkan terbentuknya pengetahuan yang lainnya. Pemahaman dipandang bukan sekedar peristiwa kejiwaan tetapi suatu proses ontologis. Pemahaman merupakan power untuk menangkap kemungkinan-kemungkinan diri sendiri bagi keberadaan, dalam konteks kehidupan dunia tempat seseorang berada.
Bagi Heidegger, pemahaman tidaklah dimulai dengan kepala kosong tapi diawali dengan tiga fore Structure, yaitu vorhabe (fore having), dari apa yang sudah kita miliki; vor sicht (fore sight), dari apa yang sudah kita lihat dan vor griff (fore grasping), dari apa yang akan kita peroleh kemudian. Baginya, fore structure ini selalu ada dan adanya fore structure ini menunjukkan bahwa pemahaman itu sangat dipengaruhi oleh ruang lingkup masing-masing orang, sehingga makna yang muncul dapat beragam. Inilah yang kurang lebih dinamakan prasangka atau praandaian dalam istilah Gadamer, atau modal awal yang telah ada dalam diri penafsir. Dengan demikian, dapat dikatakan, dalam hal ini Heidegger menunjukkan posisi yang berlawanan dengan Schleiermacher ataupun Dilthey.
Menurutnya lagi, proses pemahaman (understanding) adalah proses menemukan makna. Makna memang berada dalam teks (keseluruhan dunia dipandang sebagai teks) tapi makna dapat ditemukan dalam pemahaman. Makna sebuah teks tersebut tidak tetap, meskipun dia bersifat arbitrer. Pengalaman pemahaman makna dapat divalidasi, tetapi makna tidak pernah dapat dihabiskan karena setiap interpreter baru merupakan fusi baru horison yang berbeda. Karenanya menginterpretasikan sebuah karya berarti mengalami peristiwa pemahaman melalui fusi horison pengarang dengan interpreter dan mengekspresikan pemahaman tersebut.
Usaha Heidegger diteruskan oleh Gadamer dengan mengembangkan hermeneutika filosofis atau hermeneutika yang memakai pendekatan linguistik-ontologis. Kerangka hermeneutikanya berkaitan dengan a.) Kebenaran sebagai ada yang tak tersembunyi atau “ada telanjang”, b.) Bahasa dan Pemahaman, dan c.) Hubungan antara kebenaran dan metode. Karena itu, untuk mengkaji hermeneutika Gadamer, tiga hal yang tergabung dalam kerangka hermeneutika tersebut perlu dipahami dengan baik.
Baginya, hermeneutika adalah perjumpaan dengan being melalui bahasa. Oleh karenanya kebenaran yang tak tersembunyi itu pun harus dipahami lewat dan dalam bahasa, di mana bahasa merupakan endapan tradisi sekaligus medium untuk memahami. Bahasa, menurutnya, selalu merasuki cara berada dasein sebagai being in the word yang historis. Aplikasi bahasa sebagai pengalaman dan tradisi dalam konsep hermeneutika filosofis Gadamer memberikan implikasi besar bagi proses pemahaman hermeneutis. Karena itulah Gadamer menjadikan bahasa sebagai isu sentral hermeneutika filosofisnya. Bahkan menurutnya, karena begitu pentingnya aspek kebahasaan ini, hanya melalui bahasa-lah wujud bisa disingkapkan.
Untuk melakukan suatu interpretasi, menurut Gadamer, harus ada prasangka atau praandaian bagi penafsir. Prasangka ini sangat penting, oleh karenannya ia menentang hermeneutika Schleiermacher ataupun Dilthey yang mencoba untuk mengeliminir prasangka. Menurutnya, pengetahuan bukan saja tidak bebas dari prasangka, melainkan bahkan memerlukannya. Logos atau rasio bukan saja mengandung prasangka tetapi bahkan dimungkinkan oleh adanya prasangka itu sendiri. Dengan prasangka atau praandaian inilah nantinya dapat terbangun dialog atau dialektika tanya-jawab antara penafsir dengan teks yang ditafsirkan atau memungkinkan terjadinya fusion of horizons (peleburan cakrawala teks dengan cakrawala penafsir).
Karena bagi Gadamer prasangka sangat penting, maka Gadamer memunculkan konsep “rehabilitasi prasangka”. Menurutnya, prasangka tidak perlu dihilangkan tetapi harus dibiarkan timbul dalam diri seorang penafsir—karena menurut Gadamer itu sama saja dengan mematikan pemikiran Menurutnya, setiap usaha untuk memahami dan menafsirkan tidak dapat melepaskan diri dari prasangka. Atas dasar rehabilitasi terhadap prasangka, pemahaman menjadi tidak bisa dilepaskan dari sejarah efektif (Wirkungsgeschichte), yaitu kenyataan bahwa tindakan peneliti maupun pelaku sama-sama merupakan tindakan historis yang berada dalam kontinuitas sejarah. Dan pada gilirannya dibutuhkan kesadaran sejarah efektif, yaitu kesadaran akan ‘situasi hermeneutis’ atau kesadaran bahwa kita selalu dibatasi oleh situasi tertentu dan tidak pernah mencerahi seluruh situasi yang ada. Oleh karenanya pengetahuan tidak pernah lengkap. Sehingga objektif dan final pun tidak pernah ada., menurutnya. Pengetahuan selalu merupakan cakrawala, dan cakrawala tidak bersifat statis tapi bergerak dinamis bersama peneliti. Dengan demikian, Bagi Gadamer yang dilakukan bukanlah reproduksi makna (seperti Schleiermacher maupun Dilthey), melainkan yang harus dilakukan adalah produksi makna baru dengan cara peleburan cakrawala (fusion of horizons).
Dalam produksi makna tersebut diperlukan adanya dialektika antara cakrawala penafsir dan cakrawala teks atau apa yang disebut dengan the fusion of horizons di atas. Peleburan yang terjadi antara cakrawala teks dengan cakrawala penafsir adalah pertemuan ontologis, dan peleburan itu terjadi melalui bahasa. Bahasa sebagai mediasi peleburan cakrawala tersebut merupakan dasar pijak yang sama antara teks dan penafsir. Teks hanya bermakna manakala cakrawala pembaca bergabung dengan cakrawala teks.
Sebagaimana Heidegger, Gadamer pun menolak konsep hermeneutika sebagai metode. Meskipun menurutnya hermeneutika adalah pemahaman, namun ia tidak menyatakan bahwa pemahaman itu bersifat metodis. Menurut Gadamer metode bukanlah jalan untuk menuju kebenaran. Tetapi sebaliknya, kebenaran justru mengelakkan diri dari usaha metodis manusia.
Gadamer merumuskan pemahaman bukan sebagai metode melainkan sebagai sesuatu yang berpijak pada tradisi. Menurutnya, manusia mampu memahami karena ia mempunyai tradisi. Di sinilah letak perbedaannya dengan hermeneutika sebelumnya. Tradisi dan prasangka yang ditolak dalam hermeneutika masa sebelumnya—karena dianggapnya menghalangi untuk dapat bersikap obyektif—bagi Gadamer justru sebagai dasar dalam memahami.
Dengan demikian menjadi jelas sistem relasi antara ketiga elemen yang mengkerangkai pemikiran hermeneutika Gadamer. Gerakan untuk memahami ada yang tak tersembunyi berpijak pada tradisi. Bahasa dapat dipahami sebagai endapan tradisi sekaligus sebagai medium untuk memahami. Sehingga ada yang tak tersembunyi itu dipahami lewat dan dalam bahasa pula. Akhirnya, kebenaran itu tercapai melalui “ada”nya sendiri sesuai dengan proses dialektika dan linguistik yang melampaui batas-batas metodologis yang diaplikasikan oleh penafsir teks.
C. Kelainan Hermeneutika Ricoeur
Di atas telah dijelaskan bahwa terdapat tiga aliran pemikiran, yaitu hermeneutika teoretis, hermeneutika filosofis dan hermeneutika kritis. Namun Ricoeur, yang juga menggagas tentang hermeneutika, dianggap tidak termasuk dalam tiga tradisi hermeneutika di atas, melainkan lebih dianggap sebagai pendamai antara teori hermeneutika atau hermeneutika metodologis dengan filsafat hermeneutika atau hermeneutika filosofis. Di satu sisi Ricoer tetap berpijak pada titik berangkat yang sama dengan hermeneutika metodologis untuk menyingkap makna obyektif dari teks yang mempunyai jarak ruang dan waktu dari pembacanya. Tapi di sisi lain, ia mengikuti hermeneutika filosofis untuk menolak memahami teks sesuai dengan maksud awal penulisnya.
Bleicher sendiri yang memunculkan tiga kategori hermeneutika di atas menempatkan hermeneutika Ricoeur di luar tiga tradisi hermeneutika tersebut. Ricoeur dianggapnya sebagai penghubung sekaligus pembeda dari aliran-aliran pemikiran hermeneutika yang ada. Bahkan, ia juga dianggap sebagai penghubung antara dua tradisi filsafat besar, yaitu Fenomenologi Jerman dan Strukturalisme Perancis. Namun seperti apakah bentuk pemikiran hermeneutika Ricoeur itu?
Di bawah ini akan dicoba dijelaskan kelainan hermeneutika Ricoeur dibanding hermeneutika lain. Namun, karena ruang lingkup pembahasan hermeneutika Ricoeur sangat luas, juga karena terdapat batasan permasalahan dalam skripisi ini, maka yang akan dipaparkan dalam kesempatan ini sebagai upaya untuk dapat memahami Hermeneutika Fenomenologis Ricoeur, terutama berkaitan dengan pemahaman teks, yaitu, Pertama, konsep teks. Pembahasan mengenai tema ini sangat penting karena dalam tema inilah akan dikemukakan teori otonomi teks, sebuah teori yang akan dipakai untuk menelaah signifikansi atau posisi asbab al-nuzul dalam penafsiran Al-Qur’an. Kedua, memahami teks, yang terdiri dari pembahasan tentang eksplanasi dan pemahaman dan pembahasan mengenai proses dalam memahami atau intertpretasi teks, yaitu pembahasan tentang bagaimana cara menginterpretasikan sebuah teks yang berarti sekaligus juga menjadi gambaran tentang “jalan panjang” yang ditawarkan oleh Ricoeur atas “jalan pendek” (yang ditawarkan oleh Heidegger maupun Gadamer) yang dikritiknya. Tema yang kedua ini dianggap penting untuk melihat kemungkinan hermeneutika Ricoeur dalam penafsiran Al-Qur’an. Dua tema tersebut dirasa cukup memadai untuk dijadikan pijakan dalam menganalisis posisi asbab al-nuzul dalam penafsiran Al-Qur’an dan untuk melihat kemungkinan hermeneutika Ricoeur dalam penafsiran Al-Qur’an. Tetapi sebelum melaju pada dua tema tersebut, terlebih dahulu akan dipaparkan tentang biografi Ricoeur dan latar belakang pemikiran hermeneutikanya.
1. Sekilas tentang Biografi Ricoeur dan Latar Belakang Pemikiran Hermeneutikanya
Paul Ricoeur dilahirkan pada tahun 1913 di Valence, Perancis Selatan dan dua tahun kemudia ia menjadi yatim piatu. Ia berasal dari keluarga Kristen Protestan yang taat dan dianggap sebagai salah seorang cendekiawan Protestan yang terkemuka di Prancis. Ia dibesarkan di Rennes dan melalui R. Delbiez di Lycee, seorang filosof berhaluan thomistis yang terkenal—karena dialah salah seorang Kristen pertama yang mengadakan suatu studi besar tentang psikoanalisa Freud—untuk pertama kali ia berkenalan dengan filsafat (1936).
Pada tahun 1933, ia memperoleh licence de philosophie, lalu mendaftar pada Universitas Sorbonne di Paris untuk mempersiapkan diri untuk agregation de philosophie yang diperolehnya tahun 1935. Di Paris inilah ia berkenalan antara lain dengan Gabriel Marcel. Setelah mengajar setahun di Colmar, ia dipanggil untuk memenuhi wajib militer (1937-1939). Pada waktu mobilisasi, ia masuk lagi ketentaraan Prancis dan dijadikan tahanan perang sampai akhir perang (1945). Dalam tahanan di Jerman itulah ia mempelajari karya-karya Husserl (disamping juga karya-karya Heidegger, dan Jasper)
Ricoeur, sebagaimana milieu yang berkembang saat itu, termasuk seorang yang juga gandrung dengan fenomenologi yang dikembangkan oleh mbahnya fenomenologi, Edmund Husserl. Kegandrungan tersebut dapat dilihat dengan usahanya untuk menerjemahkan dan membuat uraian kritis terhadap beberapa karya Husserl. Ketertarikan terhadap fenomenologi Husserl ini muncul setelah terlebih dahulu ia berkenalan dengan beberapa pemikir raksasa Eropa ketika itu, seperti Gabriel Marcel dan Karl Jasper. Terutama Marcel yang kemudian menanamkan pengaruh mendalam pada diri Ricoeur yang sampai akhir masanya tetap membekas jelas. Dari Marcel ini Ricoeur mewarisi ketertarikan terhadap tema-tema seperti kebebasan, keterbatasan, dan harapan (philosophy of the will). Sehingga, dari tema-tema di atas serta dari siapa yang sangat mempengaruhinya—Gabriel Marcel, salah seorang dedengkot eksistensialisme Perancis—dapat dikatakan tahap awal pemikiran Ricoeur berada pada tahap eksistensialis atau lebih tepatnya fenomenologi eksistensial. Namun kemudian dalam perkembangan pemikirannya, seiring dengan semakin cenderungnya ia kepada filsafat reflektif—filsafat yang berusaha mengungkap otentisitas subyektif melalui refleksi terhadap sesuatu yang bisa memahami eksistensi—ia merasa bahwa tema-tema seperti di atas tidak begitu memadai lagi kalau digarap hanya dengan pendekatan yang diwarisinya dari Marcel, sehingga dia mencari pisau analisis yang lebih tajam dari itu. Pisau tajam tersebut kemudian ditemukannya dari fenomenologi Husserl.
Sungguhpun “terpana” dengan fenomenologi Husserl, bukan berarti Ricoeur menelan mentah-mentah seluruh gagasannya. Dia meminjam fenomenologi Husserl dengan sekian banyak revisi untuk mencapai tujuan yang dimaksudkannya. Dalam salah satu tulisannya, Phenomenology and Hermeneutics, dia mengkritik sendi-sendi fenomenologi Husserl. Kritik itu dialamatkan seputar konsep-konsep kunci Husserl seperti idealisme saintifik, ajakannya untuk kembali pada intuisi, menetapkan landasan utama dalam memahami objek pada subjektifitas, distansiasi dan lain sebagainya. Proyek yang digarapnya dengan fenomenologi seperti ini adalah persoalan kehendak, tapi dalam bentuk “kemungkinan esensialnya” (essential possibility), yaitu struktur kehendak yang berada pada level lebih abstrak ketimbang bentuknya dalam kehidupan sehari-hari, yang dicirikan oleh hubungan resiprositas antara kehendak voluntir dan involuntir, subjektifitas dan objektifitas serta kebebasan dan kehendak alam (freedom and nature). Pendek kata, pengadopsian fenomenologi dari Husserl dengan revisi di sana-sini pada awalnya berkaitan dengan filsafat kehendak. Berkaitan dengan filsafat kehendak ini, perlu dijelaskan sedikit di sini bahwa Ricoeur mempunyai proyek tentang filsafat kehendak (Philosophie de la volonte) yang direncanakannya terdiri dari tiga jilid. Jilid pertama berjudul Yang dikehendaki dan yang tidak dikehendaki (Le volontaire et l’involontaire). Dalam jilid ini Ricoeur ingin menyajikan suatu “deskripsi murni” tentang kehendak dan aktus aktusnya. Untuk melaksanakan proyeknya itulah Ricoeur menggunakan bagian metode Husserl yang mencari eidos atau hakikat sesuatu (Ia ingin memberikan suatu “eidetika” tentang kehendak, suatu pelukisan tentang eidos kehendak. Tetapi tidak disamakan begitu saja dengan berfungsinya reduksi dalam filsafat Hussserl karena ia ingin memberikan deskripsi murni tentang kehendak). Jilid kedua dari filsafat kehendaknya berjudul keberhinggaan dan kebersalahan. Pada tahap ini Ricoeur banyak berbicara tentang simbol-simbol, baik simbol-simbol primer (noda, dosa, kebersalahan) ataupun simbol-simbol sekunder (mitos-mitos yang menceritakan tentang asal-usul serta cara mengatasi kejahatan). Terhadap simbol ini yang dipakai tidak lagi metode fenomenologi tetapi menggunakan hermeneutika—dengan demikian hermeneutika Ricoeur untuk pertama kali dalam rangka suatu refleksi filosofis tentang kehendak. Sementara untuk jilid ketiga dari filsafat kehendaknya belum muncul. Perhatian Ricoeur malahan beralih ke masalah-masalah lain, khususnya yang menyangkut bahasa (di mana Ricoeur beralih kepada psikoanalisis dan strukturalisme yang akan dijelaskan kemudian).
Sesudah perang, ia menjadi dosen filsafat pada College Cevenol, pusat Protestan internasional untuk pendidikan dan kebudayaan di Chambon-sur-Lignon (Haute Loire). Tahun 1948 ia mengganti Jean Hyppolite sebagai profesor filsafat di Universitas Strasbourg. Tahun 1950 ia meraih gelar docteur es lettres. Sebagai tesis utama diajukannya jilid pertama dari Philosophie de la volonte (Filsafat Kehendak) yang diberi anak judul Le volontaire et l’involontaire (Yang Dikehendaki dan yang Tidak Dikehendaki) (1950)—yang telah disinggung di atas, dan sebagai tesis tambahan terjemahan karya Husserl Ideen I dengan pendahuluan dan komentar, yang sudah mulai dikerjakan dalam tahanan di Jerman. Dua karya inilah yang mengakibatkan Ricoeur dianggap sebagai seorang ahli terkemuka di bidang fenomenologi.
Sekitar waktu itu, Ricoeur mempunyai kebiasaan pada setiap tahun membaca karya-karya lengkap salah seorang filsuf besar: dari Plato serta Aristoteles sampai Kant, Hegel, dan Nietzsche. Hasil pembacaan inilah yang menjadikannya berpindah dari eksistensialisme atau ”fenomenologi eksistensial”—karena ia tertarik dengan filsafat reflektif—menuju Psikoanalisa dan Strukturalisme. Karyanya yang berjudul The Conflict of Interpretation merupakan karyanya tentang Psikoanalisa dan Strukturalisme. Juga, dengan pembacaaannya itu pula, ia memperoleh pengetahuan mendalam dan luas tentang seluruh tradisi filsafat Barat—di kemudian hari ia juga mendalami serta menggunakan filsafat analitis (Wittgenstein, Austin, Searle, dan lain-lain). Sehingga termasuk sedikit sekali filosof Perancis yang mengenal tradisi filosofis khas Inggris itu.
Sebenarnya tidak ada yang aneh dengan persentuhan Ricoeur dengan warisan Freud ini (Psikoanalisa), karena milieu intelektual Perancis ketika itu memang sedang mengalami perubahan cepat. Yaitu ketika fenomenologi Husserl dan Heidegger tergencet oleh pemikiran baru yang diintrodusir oleh Freud dan Saussure, yaitu psikoanalisis dan strukturalisme. Persentuhan Ricoeur dengan psikoanalisis bermula ketika filsafat kehendaknya menuntut lebih banyak perhatian pada masalah penafsiran, karena baginya aktus refleksi tidak bisa dilakukan tanpa didahului aktus penafsiran, dan penafsiran tidak mungkin ada tanpa pertentangan (kontestasi), sehingga muncullah apa yang dia sebut konflik interpretasi (conflict of interpretation). Hal ini bisa terjadi karena memang tidak ada sebuah heremeneutika umum, yaitu sebuah kanon atau teori penafsiran umum yang bisa diterapkan ke dalam setiap jenis penafsiran. Sebaliknya, yang ada hanyalah beragam teori penafsiran yang terpisah dan berserak-serak.
Karena keragamannya, maka menurut satu pandangan, hermeneutika adalah usaha yang dilakukan untuk memulihkan (restoration) makna yang dialamatkan kepada penafsir dalam bentuk pesan—heremenutika seperti ini bisa berjalan karena adanya keyakinan dan kesediaan untuk mendengar serta dicirikan oleh anggapan terhadap simbol sebagai sebuah wahyu sakral. Sementara menurut yang lain hermeneutika adalah pergulatan untuk menjernihkan (demystification) makna yang ditampilkan ke hadapan pembaca dalam bentuk yang tidak jelas. Hermeneutika seperti ini bisa berjalan karena adanya kecurigaan, skeptisisme terhadap tampilan yang ada dan dicirikan oleh ketidakpercayaan yaitu bahwa simbol adalah realitas “bohongan” (dissimulation) Jadi psikoanalisis digunakan oleh Ricoeur untuk memeriksa muatan kesadaran yang dianggap “palsu atau bohong” tersebut dengan mentransendenkan kebohongan melalui kritik dan penafsiran reduktif.
Selain mengadopsi Psikoanalisis, dengan semakin pentingnya posisi bahasa dalam pergulatan intelektualnya, Ricoeur pun bersentuhan dengan strukturalisme, yang kemudian menjadi warna pemikirannya selanjutnya. Karena bagaimanapun, sebagaimana tadi dinyatakan, bahwa milieu intelektual Prancis ketika itu (tahun 60-an) memang sedang didominasi oleh corak pendekatan baru yang dikembangkan oleh Claude Levi Strauss dan linguis, Ferdinad de Saussure. Namun, kedekatannya dengan strukturalisme ini diperolehnya melalui persentuhannya dengan Louis Hjemslev. Dari tokoh strukturalis ini dia kemudian menurunkan beberapa proposisi model linguistik, yaitu: satu, strukturalisme mengasumsikan bahwa bahasa adalah objek yang bisa diselidiki secara ilmiah. Dua, strukturalisme membedakan antara sains tentang keadaan sebuah sistem (yang mapan) dan sains tentang perubahan, dan mensubordinasikan yang sains tentang perubahan itu pada sains tentang keadaan dalam sistem. Tiga, model strukturalisme mengasumsikan bahwa sistem dalam keadaan seperti apa pun tidak memiliki term absolut, tetapi hanya berupa hubungan-hubungan yang saling terkait dan saling membutuhkan, sehingga bahasa menjadi sebuah sistem tanda yang hanya ditentukan oleh perbedaannya dengan yang lain. Empat, strukturalisme memposisikan gabungan tanda-tanda tersebut sebagai sebuah sistem yang otonom dan tertutup yang memiliki ketergantungan internal sesamanya. Sehingga, bagi strukturalisme, mestinya sebuah tanda tidak didefinisikan dalam hubungannya dengan objek yang diwakilinya, tetapi dalam hubungannya dengan semua tanda lainnya pada level yang sama dalam sebuah sistem induknya. Dari proposisi di atas, model linguistik struktural seperti itu kemudian melebar dan memanjang ke dalam wilayah-wilayah yang homolog dengan bahasa. Berbagai ahli diwilayah antropologi, psikologi, sosiologi dan lain sebagainya mencobah pendekatan tersebut untuk melakukan pengkajian terhadap fenomena-fenomena sosial dan budaya. Begitu pula halnya dengan Ricoeur yang juga meminjam model strukturalis untuk melepaskan sumbatan-sumbatan dalam usaha intelektualnya, khususnya dalam hal dunia penafsiran.
Selain dalam bidang filsafat, ia juga terbuka dan berpandangan luas dalam menyoroti persoalan pokok yang bersifat politis, sosial, kultural, edukatif, dan teologis. Seperti, ia menulis karya yang berjudul Histoire et Verite (Sejarah dan Kebenaran) yang ditulisnya pada tahun1955 dan diperluas lagi tahun 1964, tentang masalah sosial-politik. Dan karana jasanya terhadap teologi, universitas Katolik Nijmegen, Nederland, menganugerahinya gelar “doktor teologi honoris causa” (1968). Dan selain ia gemar menulis di majalah (seperti esprit dan Christianisme), ia juga sering diundang sebagai pembicara pada konggres, seminar, atau lokakarya—di dalam dan luar negeri—tentang beraneka ragam tema, di mana ia selalu tampil sebagai filosof yang berusaha menyoroti tema bersangkutan dari sudut pandangan filosofisnya.
Pada tahun 1956, Ricoeur diangkat menjadi profesor filsafat di universitas Sorbonne. Tahun 1960, jilid kedua dari Philosophie de la volonte dipublikasikan dengan anak judul Finitude et culpabilite (Keterbatasan dan kesalahan), yang terdiri dari dua bagian. Masing-masing berjudul L’homme fallible (Manusia yang Dapat Salah) dan La symbolique du mal (simbol-simbol tentang Kejahatan). Ceramah-ceramahnya yang diberikan di Yale University, Amerika Serikat (1961), dan di Universitas Leuven, Belgia (1962), dikembangkan lebih lanjut menjadi karya besar De l’interpretation, Essai sur Freud (perihal Interpretasi, Esai tentang Freud) pada tahun 1965. Namun pada tahun 1966, ia memilih mengajar di Nanterre, perluasan dari Universitas Sorbonne, di pinggiran kota Paris. Ia diangkat menjadi Dekan di sana pada bulan Maret 1969. Pada tahun 1970 terjadi perubahan situasi di universitas di mana Ricoeur bekerja. Mahasiswa berdemonstrasi menduduki dan menguasai Universitas sehingga hal ini mengundang intervensi pihak kepolisian. Karena situasi yang tidak menguntungkan itu, Ricoeur meletakkan jabatannya sebagai Dekan, kemudian ia pindah ke Universitas Louvain atau Leuven di Belgia. Namun pada tahun 1973, ia kembali ke Nanterre dan sekaligus menjadi Profesor luar biasa pada Universitasi Chicago. Pada waktu yang bersamaan pula, ia menjadi direktur pada Centre d’etudes phenomenologiques et hermenetutiques (Pusat Studi Fenomenologi dan Hermeneutika) di Paris. Dalam periode ini Ricoeur banyak mengggeluti masalah-masalah filsafat bahasa dan masuk lebih dalam pada dialog tentang hermeneutik. Tahun 1975 ia menerbitkan bukunya yang bejudul La Metaphore Vive yang banyak mengupas/ menganalisis tentang tata aturan metafora, sehingga “pengoperasian” metafora itu menjadi hidup.
Sungguh pun, di sini dipaparkan fase-fase perkembangan atau perjalanan pemikiran Ricoeur, tetapi tidak berarti ingin mengesankan bahwa ketika ia beranjak pada fase selanjutnya maka fase sebelumnya ia tinggalkan begitu saja. Malahan, seluruhnya berakumulasi menjadi sebuah corak yang akan terlihat dalam hermeneutikanya, yaitu hermeneutika fenomenologis yang tetap memperlihatkan jejak-jejak eksistensialis, corak fenomenologis dan warna psikoanalisis
2. Konsep Teks
Dalam paparan tentang biografi Ricoeur di atas, dijelaskan bahwa pemikiran hermeneutika Ricoeur pertama kali bermula pada refleksi filosofisnya tentang filsafat kehendak, yang mana hermeneutika dipakai oleh Ricoeur dalam menganalisis simbol-simbol. Namun dalam perkembangannya, oleh Ricoeur, hermeneutika juga dipakai untuk menganalisis teks, terutama ketika pemikirannya beralih cenderung kepada bahasa.
Menurut Ricoeur, tugas utama hermeneutika adalah untuk memahami teks. Dengan demikian, pengertian tentang teks menjadi demikian sentral dalam pemikiran hermeneutikanya, khususnya dalam memahami teks. Tetapi sesungguhnya, kajian dalam hermeneutikanya tidak terbatas pada bahasa yang mengendap dalam tulisan atau teks tertulis saja. Hermeneutikanya juga digunakan untuk wilayah di luar teks tertulis, seperti pada tindakan bermakna (setiap tindakan manusia yang memiliki makna) atau sesuatu yang memenuhi syarat untuk bisa diperlakukan sebagai teks.
Dalam pembahasan mengenai teks, Ricoeur membedakan wacana dalam bentuk bahasa lisan (pembicaraan, ujaran) dengan wacana dalam bahasa tulis atau teks atau karya literer. Dan ini berarti terdapat dua artikulasi discourse, yaitu bahasa lisan dan bahasa tulis. Teks sendiri, menurut Ricoeur adalah “any discourse fixed by writing”. Teks adalah sebuah wacana tertulis, dan oleh karenanya ia adalah sebuah karya.
Menurut Ricoeur terdapat tiga prinsip dasar yang menjadi ciri khas suatu karya. Pertama, suatu karya adalah totalitas terstruktur yang tidak dapat direduksi menjadi kalimat. Sehingga, ia memunculkan problem baru yang berkaitan dengan totalitas sebuah karya tersebut, yaitu tidak dapat dipecah melalui pemahaman bertahap terhadap unsur pokok kalimat. Ciri kedua, suatu karya mempunyai komposisi tertentu, yaitu dihasilkan sesuai dengam aturan-aturan atau kode-kode yang menegaskan arah aliran sastranya dan merubah wacana menjadi novel, puisi, permainan, dan sebagainya. Ini kemudian melahirkan apa yang biasa disebut dengan aliran sastra. Suatu karya dihasilkan sesuai dengan genrenya. Terakhir, karya tersebut hadir sebagai satu konfigurasi yang unik yang membentuk gaya(tipe)nya sendiri. Gaya yang mengekspresikan karakternya yang istimewa, penting dan unik. Sehingga, mengkarakterisasikan sebuah karya sebagai satu totalitas struktur genre dan gaya tertentu berarti secara maksimal menggali ambiguitas ‘karya’.
Dalam menjadikan karya sebagai bagian dari wacana maka teks kemudian dianggap sebagai karya tertulis. Inskripsi wacana yang terdapat dalam tulisan memerlukan sekian perubahan yang dituangkan oleh Ricoeur dalam satu konsep utama tentang distansiasi—tetapi distansiasi ini bukanlah produk dari metodologi, melainkan bentukan dari fenomena teks sebagai sebuah tulisan. Perubahan pertama dan paling nyata terpusat pada fiksasi wacana, di mana fiksasi ini untuk melindungi wacana dari destruksi. Karena menulis berarti menghasilkan teks yang membutuhkan kemandirian tertentu, maka bentuk-bentuk distansiasi berhubungan dengan ‘otonomi semantik teks’.
Melampaui peristiwa dengan cara mengungkapkan apa yang dikatakan merupakan bentuk pertama distansiasi. Sementara bentuk distansiasi kedua terfokus pada relasi antara makna suatu teks dengan maksud si pengarang (aspek psikologis). Bentuk distansiasi ketiga berkaitan dengan ketidaksesuaian yang sama antara teks dengan kondisi sosial yang melingkupi teks tersebut (aspek sosiologis) dan bentuk distansiasi terakhir menjelaskan tentang terbebasnya teks dari batas-batas ‘acuan yang bersifat lahir’.
Pendek kata, ketika wacana telah terfiksasi dalam sebuah teks atau tulisan, maka ia menjadi otonom. Wacana ketika sudah terbakukan menjadi sebuah teks atau ketika wacana telah mengendap dalam sebuah tulisan maka, menurutnya, ia tidak lagi punya keterkaitan dengan tiga hal berikut, yaitu intensi atau maksud pengarang, konteks sosio-kultur pengadaan teks dan kepada siapa teks itu dialamatkan atau audiens asli teks. Dengan demikian, karena ia dianggap tidak lagi berkaitan dengan ketiga hal tersebut, maka dalam menafsirkan teks, ketiga hal tersebut menjadi tidak perlu dirujuk atau dijadikan acuan dalam menilik makna teks. Otonomi semantik teks inilah salah satunya yang membedakan hermeneutika Ricoeur dengan hermeneutika-hermeneutika sebelumnya (hermeneutika Romantis)—karena faktor psikologis pengarang dan sosiologis sebuah teks yang dianggap sangat signifikan untuk memahami makna teks dalam hermeneutika Romantis (Shleiermacher dan Dilthey), menurut Ricoeur, justru harus dilepas akibat diberlakukannya teks sebagai sesuatu yang otonom.
Sebenarnya sampai batas tertentu, aspek-aspek yang terdapat dalam wacana berupa bahasa lisan atau ujaran (komunikasi dalam bentuk relasi pembicara-pendengar) dapat diketemukan dalam teks. Aksi pembicaraan yang berupa locutionary (bertindak mengatakan sesuatu) dan illocutionary (tindakan yang tampak ketika mengatakan sesuatu, kekuatan sebuah ucapan) masih mungkin ditemukan dalam suatu teks. Locutionary dapat dilihat seperti dari susunan gramatikal sebuah tulisan atau struktur sintetiknya. Begitu pula illocutionari yang mencerminkan kekuatan suatu ucapan. Namun, perlocutionary (dampak dari mengatakan sesuatu) lebih dominan sebagai ucapan daripada tulisan atau paling tidak mungkin ditemukan dalam tulisan. Namun, karena wacana dalam bentuk bahasa lisan dan tulisan atau teks berbeda, maka melakukan interpretasi terhadap keduanya tidaklah sama. Wacana dalam bentuk bahasa lisan atau ujaran membentuk komunikasi langsung, sehingga karena ujaran yang disampaikan masih terlekat langsung kepada pembicara maka metode hermeneutika tidak terlalu diperlukan (atau bahkan tidak diperlukan). Sebaliknya, karena teks menurut Ricoeur merupakan korpus yang otonom (sebuah teks memiliki kemandirian, totalitas), maka hermeneutika menjadi signifikan .
Dijelaskan oleh Ricoeur, hal yang membedakan wacana dalam bahasa lisan (sebuah dialog) dan bahasa tulis (sebuah teks) adalah Pertama, dalam sebuah teks, makna yang terdapat pada “apa yang dikatakan” (what is said) terlepas dari proses pengungkapannya (the act of saying), sementara dalam bahasa lisan, kedua proses itu tidak dapat dipisahkan. Dalam dialog, ujaran yang disampaikan masih terlekat langsung kepada pembicara atau komunikasi berlangsung dalam bentuk interlokusi. Pembicara berkomunikasi langsung dengan interlokutor sehingga maksud dari seorang pembicara masih dapat dilacak, diklarifikasi dan direspon secara langsung dari segala yang tampak ketika terjadi pembicaraan. Misalnya, melalui ucapannya, intonasinya, mimik ataupun gerstures-nya. Sementara membaca teks (terhadap sebuah teks), situasi dialogis telah diperluas. Hubungan antara tulisan, pengarang dan pembaca bukan seperti hubungan dalam dialog—yang memposisikan lawan bicara sebagai interlokutor—karena dalam membaca hubungan tidak berlangsung dalam bentuk interlokusi.
Kedua, dengan demikian makna sebuah teks juga tidak lagi terikat kepada pengarang sebagaimana dalam bahasa lisan atau dialog. Pengarang dengan pembaca bukannya melakukan tanya jawab melalui perantaraan teks yang dikarang oleh pengarang, keduanya berada dalam alam dan situasi yang sudah berbeda. Keduanya tidak dapat saling merespon walaupun teks telah menghubungkan keduanya. Sehingga apa yang dimaksud teks tidak lagi terkait dengan apa yang awalnya dimaksudkan oleh pengarang. Apa yang dimaksudkan teks-lah yang lebih merupakan persoalan yang signifikan ketimbang apa yang dikehendaki oleh pengarangnya. Dengan demikian, Ricoeur telah menolak psikologisme yang terdapat dalam hermeneutika Romantis (baik Schleiermacher, yang begitu mementingkan intensi pengarang, ataupun Dilthey dengan transposisi historisnya).
Namun demikian, tidak kemudian berarti bahwa Ricoeur sepakat dengan pandangan tentang absolutisme teks. Karena, menurutnya, suatu teks masih merupakan wacana yang dikatakan seseorang kepada orang lain tentang sesuatu hal (terdapat referent dalam sebuah teks). Makna pengarang menjadi suatu dimensi teks sampai tahapan bahwa pengarang tidak patut dipertanyakan. Apabila teks tidak lagi mendapatkan jawaban, maka inilah makna pengarang dan tidak lagi milik audiens. Artinya, tidak berarti bahwa penulis tidak lagi diperlukan, meskipun Ricoeur sempat mengatakan tentang “kematian penulis”, tetapi maksud penulis terhalang oleh teks yang sudah membaku. Inilah yang membedakannya dengan bahasa lisan, karena dalam ujaran atau dialog keterkaitan antara pendengar dan seorang pembicara sangat erat. Dalam ujaran atau bahasa lisan tidak mungkin “mematikan” pembicara. Karena keduanya terikat dalam sebuah sistem dialog.
Dengan tidak mementingkan maksud subjektif pengarang, menunjukkan bahwa makna objektif sebuah teks merupakan sesuatu yang lain dibandingkan dengan maksud yang dinyatakan pengarang, Oleh karenanya sebuah teks harus dikonstruk dan ditafsirkan sebagai satu keseluruhan, yang mengakui karakternya sebagai satu totalitas struktur yang tidak dapat direduksi ke dalam kalimat-kalimat penyusunnya.
Ketiga, karena tidak lagi terikat pada sebuah sistem dialog, maka teks tidak lagi terikat pada konteks semula (ostensive reference). Teks tidak lagi terikat pada konteks asli dari pembicaraan. Dengan demikian, apa yang ditunjuk oleh teks adalah dunia imajiner yang dibangun oleh teks sendiri—dalam dirinya sendiri maupun dalam hubungannya dengan teks-teks lain. Dengan demikian juga tidak lagi terikat dengan audiens awal atau kepada siapa teks itu dialamatkan. Sebuah teks ditulis bukan untuk pembaca tertentu, melainkan kepada siapa pun yang dapat membaca, dan tidak terbatas pada ruang dan waktu. Dengan demikian, teks melakukan dekontekstualisasi diri dari lingkup sosial sejarahnya dan pada saat yang sama ia membuka diri pada model pembacaan yang tidak terbatas (teks membangun hidupnya sendiri, karena sebuah teks adalah monolog). Sehingga ini berbeda dengan wacana dalam bentuk bahasa lisan atau ujaran, karena dalam dialog sangat terikat pada konteks pembicaraan dan pendengarnya.
Perbedaan antara kedua bentuk wacana tersebut (bahasa lisan/ dialog dan bahasa tulis/ teks) meniscayakan model interpretasi yang berbeda antara keduanya. Karena ia otonom, maka sebuah teks, baik ditilik dari sudut psikologis maupun sosiologis, harus dapat mengkontekstualisasikan dan merekontekstualisasikan dirinya sendiri sesuai dengan kondisi dan pembaca yang baru.
3. Interpretasi Teks
Konsep tentang teks yang menunjukkan beberapa distansiasi sebagaimana dijelaskan di atas merupakan fokus utama Ricoeur dalam teori interpretasinya. Jika teks dapat dilihat sebagai karya tulis yang memiliki otonomi tertentu, maka interpretasi dapat dilihat sebagai satu jenis pembacaan yang merespon otonomi tersebut, dengan menggambarkan secara bersama elemen-elemen ‘pemahaman’ dan ‘penjelasan (eksplanasi)’ dan menggabungkannya dalam satu proses interpretasi yang kompleks. Artinya dalam aktifitas memahami teks, Ricoeur mendialektikakan antara verstehen dan erklaren dalam satu proses pemahaman.
Interpretasi, menurut Ricoeur, bukanlah sebuah terma ketiga di luar ‘penjelasan’ dan ‘pemahaman’, ia juga bukan nama suatu dialektika antara ‘penjelasan’ dan pemahaman, melainkan kasus partikular pemahaman. Interpretasi merupakan pemahaman yang diaplikasikan ke dalam ekspresi kehidupan yang tertulis. Menurut Ricoeur, sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya, interpretasi adalah “usaha akal budi untuk menguak makna tersembunyi di balik makna yang langsung tampak, atau untuk menyingkapkan tingkat makna yang diandaikan di dalam makna harafiah”.
a. Eksplanasi dan Pemahaman
Eksplanasi adalah pembacaan apa itu teks yang merupakan makna objektif wacana, sementara pemahaman merupakan pembacaan terhadap apa itu peristiwa wacana yang ia merupakan ungkapan wacana. Eksplanasi lebih diarahkan kepada struktur analitik teks, sementara pemahaman lebih diarahkan kepada keutuhan intensional wacana. Namun menurut Ricoeur, dalam interpretasi, polaritas antara eksplanasi dan pemahaman tidak perlu diberlakukan dalam terma dualistik, namun diberlakukan sebagai dialektika langsung yang komplek dan utama. Menurutnya lagi, hanya penulisan dan karangan sastra yang dapat memberikan perkembangan penuh pada dialektika eksplanasi dan pemahaman, sehingga interpretasi tidak harus diacuhkan sebagai sebuah wilayah pemahaman. Interpretasi tidak diartikan sebagai satu bentuk objek, namun sebagai sejenis proses: dinamika pembacaan interpretatif.
Kalau penyusun tidak salah memahami, barangkali yang dimaksud oleh Ricoeur adalah bahwa meskipun interpretasi adalah terma yang muncul dari pemahaman (bukan dari eksplanasi), namun terhadap teks atau karya tulis, interpretasi difungsikan sebagai proses pembacaan suatu teks atau karya tulis dengan mendialektikakan keduanya (eksplanasi dan pemahaman) dalam satu proses pembacaan, yaitu satu proses interpretasi yang komplek, utuh.
Konsep Ricoeur tentang eksplanasi dan pemahaman ini kemudian menjadi revisi bagi konsep Dilthey tentang explanation dan understanding. Ricoeur menolak dikotomi Dilthey tentang explanation (penjelasan) dan understanding (pemahaman) yang mana Dilthey menghadapkan penjelasan dengan pemahaman, atau menempatkan masing-masing dalam dua wilayah yang berbeda. Dilthey mendefinisikan penjelasan sebagai karakteristik kerja ilmu alam (Naturwissenschaften) atau untuk mengungkapkan cara kerja fenomena alami yang pasti dan tanpa intensi, yang dibedakannya dengan pemahaman yang didefinisikannya sebagai cara kerja ilmu humaniora (Geisteswissenschaften) atau untuk mengungkapkan perilaku manusia yang sangat kompleks, tidak kausalistik, dan memiliki dimensi intensionalitas, dan kedua metode tersebut bekerja secara mutual eksklusif. Dilthey mempertentangkan dua model pembacaan tersebut (penjelasan dan pemahaman) sebagai dua hal yang terpisah, dibedakan, atau mempunyai wilayah sendiri-sendiri. Penjelasan yang bersifat epistemologis dihadapkan dengan pemahaman yang bersifat ontologis. Sementara menurut Ricoeur, kedua metode tersebut tidak perlu dipisahkan secara dikotomis.
Menolak Dilthey, Ricoeur kemudian menempatkan penjelasan dan pemahaman pada satu domain saja yaitu Geisteswissenschaften. Ia kemudian mengajukan prosedur kerja “dept semantic”, yaitu menempatkan kedua prosedur metodologis di atas dalam sebuah garis linier, dengan argumen bahwa analisis explanation bisa digunakan sebagai proses awal untuk mengkaji dimensi statis dari teks, sementara understanding digunakan selanjutnya, untuk menangkap makna kontekstual dari teks tersebut. Istilah kontekstual di sini maksudnya seorang pembaca membuka diri dihadapan teks—yang memiliki makna internal dan obyektif dalam dirinya—yang juga membuka diri. Artinya tidak lagi tergantung pada cakrawala pengarang, pun tidak pula menarik teks ke dalam pre understanding-nya sendiri. Dengan demikian, dalam proses interpretasi teks, penjelasan dan pemahaman sama-sama dipakai, didialektikakan dalam sebuah pembacaan atau satu proses interpretasi yang kompleks.
Melihat paparan di atas, menjadi kentara bagi kita bahwa dengan menetapkan sifat otonom pada teks (tertulis) dan dengan memandang ekspanasi dan pemahaman secara lain—yaitu merangkaikan penjelasan dan pemahaman dalam satu garis linnier (dengan menolak dikotomi yang ditetapkan Dilthey sebelumnya) dalam sebuah proses interpretasi—maka Ricoeur telah memperlihatkan kelainannya atas hermeneutika sebelumnya.
b.Proses interpretasi Teks
Selain perlawanannya terhadap Dilthey yang menghadapkan eksplanasi pada pemahaman, sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, Ricoeur juga mempertanyakan konsep hermeneutika Heidegger dan Gadamer yang keduanya menganggap bahwa pemahaman itu tidak ada kaitannya dengan cara mengetahui tetapi lebih menunjuk kepada cara berada. Hermeneutika Heidegger dan Gadamer dipertanyakan oleh Ricoeur karena keduanya menghentikan semua diskusi tentang metode. Dalam anggapan keduanya, bahwa metode bukanlah jalan untuk menuju kebenaran, namun kebenaran justru mengelakkan diri dari usaha metodis manusia. Atas kritiknya terhadap hermeneutika Heidegger dan Gadamer yang disebutnya sebagai “jalan pendek”, Ricoeur kemudian mengajukan sebuah tawaran hermeneutika yang disebutnya sebagai “jalan panjang”, yaitu hermeneutika yang tidak memisahkan antara konsep kebenaran dengan metode juga (hermeneutika) yang sekaligus tetap mengakui bahwa pemahaman (pada akhirnya) berkaitan dengan eksistensi (berdimensi ontologis) sebagaimana Heidegger maupun Gadamer.
Ricoeur memunculkan “jalan panjang”, karena menurutnya, analisa Heidegger tentang dasein tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti dapatkah kita memberi perangkat pada eksegese, pada pengertian yang jelas pada sebuah teks? Bagaimanakah konflik interpretasi yang saling bertentangan dapat diselesaikan?
“Jalan panjang” sebagai model hermeneutika baru yang ditawarkan oleh Ricoeur mempunyai tiga tahap. Pertama, level semantik; kedua level refleksi dan ketiga, level eksistensial. Bagi Ricoeur untuk sampai pada tingkat ontologi, pemahaman dilakukan secara bertahap, bukan langsung sebagaimana yang dilakukan Heidegger maupun Gadamer, yaitu melalui gerak dari pemahaman naif (level semantik), melewati validasi dari model struktural (level refleksi) sampai kepada pemahaman yang mendalam (tahap eksistensial).
Level semantik merupakan langkah pemahaman yang paling awal atau pemahaman pada tingkat bahasa yang murni. Level semantik ini bertujuan untuk mengungkap makna tekstual teks (makna luar teks) yang dilakukan dengan menggunakan analisis linguistik atau explanation. Karena bahasa merupakan wahana utama bagi ekspresi ontologi, juga karena teks memiliki struktur imanen yang membutuhkan cara pendekatan struktural, maka poros yang tidak dapat ditinggalkan adalah kajian terhadap struktur bahasa dan kebahasaan atau ia membutuhkan cara pendekatan struktural. Level semantik ini memiliki peran fundamental dalam menjaga hubungan antara hermeneutika dengan metode di satu sisi dan ontologi di sisi lain. Level semantik ini dimaksudkan sebagai upaya untuk menjaga hermeneutika tetap berhubungan dengan metode, dan dengan demikian akan terhindar dari sikap memisahkan konsep metode dan kebenaran sebagaimana dalam hermeneutika Heidegger dan Gadamer. Selain itu, ia juga sebagai momen bagi pemahaman-diri.
Namun, karena struktur yang imanen dari teks menjadikan teks sebagai sesuatu yang otonom, maka analisis semantik ini dilakukan dengan melakukan distansiasi, yaitu penjarakan dari maksud pengarangnya, konteks yang melingkupinya dan dengan audiens aslinya atau menganalisis teks dengan memperlakukan teks sebagai sebuah entitas yang bersifat otonom.
Untuk menjadikan pemahaman menjadi sesuatu yang sophisticated (untuk mencapai tahap eksistensial), pemahaman tidak dapat meloncat dari level semantik langsung kepada level eksistensial. Analisis semantik—terhadap ekspresi kehidupan yang terobyektifikasi dalam sebuah teks dan terdapatnya makna yang ekuivok dalam sebuah teks—tidak cukup mampu untuk mengkualifikasikan hermeneutika sebagai sebuah filsafat. Oleh karenanya, tahap kedua dari pemahaman teks adalah level refleksi, yaitu sebagai jembatan kepada level eksistensi atau sebagai jembatan yang menghubungkan pemahaman atas tanda dengan pemahaman-diri. Dengan demikian, tahap refleksi ini mempunyai tingkat lebih tinggi dari tahap semantik, yaitu untuk memperoleh posisi sebagai sebuah filsafat, di mana posisi itu akan teraih dengan melalui proses ulang-balik antara pemahaman teks dengan pemahaman-diri.
Level refleksi diperlukan karena level semantik tidak cukup memadai untuk menjustifikasi dua jenis kesamaran makna, yaitu kesamaran makna karena terjadi surplus makna dan kesamaran makna karena kerancuan makna dimana logika mengusirnya. Selain itu, refleksi bermanfaat untuk menjustifikasi kesadaran pertama yang disebut (oleh Marx, Nietzsche, dan Freud) sebagai kesadaran Palsu. Pada tahap refleksi ini hasil-hasil dari tahap pertama (tahap semantik) dipadukan. Dengan kata lain, refleksi adalah sebuah konsep mengenai tindakan kita untuk eksis melalui kritik yang diaplikasikan pada kerja dan tindakan yang menjadi tanda bagi kita untuk eksis. Artinya refleksi yang dilakukan ini bukanlah refleksi yang langsung, namun refleksi yang tidak langsung, yaitu melalui ekspresi-ekspresi yang di dalamnya hidup mengobjektivikasikan dirinya sendiri. Juga dilakukan secara tidak langsung karena eksistensi ditunjukkan dengan jelas hanya dalam dokumen-dokumen hidup, dan karena kesadaran awal merupakan kesadaran yang palsu, oleh karenanya selalu perlu memunculkan kritik yang korektif atas kesalahpahaman menuju pemahaman yang benar. Tahap ini juga biasa disebut dengan tahap validasi atau tahap mengira-ngira makna.
Mengenai validasi tersebut, Ricoeur mengikuti E.D. Hirsch bahwa perkiraan tersebut lebih dekat pada logika probabilitas ketimbang logika verifikasi empirik. Oleh karenanya validasi tersebut, dalam artian yang relevan, bukanlah verifikasi. Artinya, apa yang diperoleh dari interpretasi tersebut adalah sesuatu yang probabel yang diketahui dari proses interpretasinya, bukan suatu yang bisa diklaim sebagai sesuatu yang benar. Dan dikarenakan sebuah teks adalah quasi–individual, maka validasi interpretasi yang diterapkan ke dalamnya dapat disebut telah memberikan pengetahuan saintis pada teks. Penebakan dan validasi ini dalam arti secara sirkular berhubungan sebagai pendekatan subjektif dan objektif atas teks.
Di samping terdapat prosedur validasi juga terdapat prosedur invalidasi yang serupa dengan falsifikasi sebagaimana yang dikemukakan Karl Popper. Falsifikasi tersebut dimainkan oleh konflik interpretasi yang bersaing. Namun, karena tidak ada aturan dalam menebak, maka melakukan tebakan tersebut adalah dengan berdasarkan dari objek tebakan, yaitu bahwa mengartikan makna verbal adalah harus mengartikannya sebagai keutuhan (mengartikannya secara utuh) dan keutuhan tunggal (memaknainya sebagai sebuah individu; sesuatu dengan tipe atau gaya dari individu). Dengan mengartikannya secara utuh dan mengetahui gaya teks (serta dengan pertimbangan bahwa teks literer tersebut melibatkan horizon potensial makna yang dapat diaktualisasikan secara berbeda), maka makna verbal teks akan dapat diketahui (diperkirakan). Dalam hal ini, teks dapat dibandingkan sebagaimana objek yang dapat dipandang dari berbagai sisi namun tidak dari semua sisi secara serentak. Itulah kenapa menurut Ricoeur bahwa sebuah interpretasi tidak hanya bersifat probabel tapi lebih probabel dari pada interpretasi lain. Selalu ada lebih dari satu cara untuk mengartikan sebuah teks, sehingga semua interpretasi tidak pernah bersifat setara. Adalah selalu mungkin untuk mengajukan atau melawan interpretasi. Artinya interpretasi dapat dilakukan dengan bermacam-macam.
Tahap ketiga adalah level eksistensial. Selain teks mempunyai struktur imanen, menurut Ricoeur, teks sekaligus juga memiliki referensi luar yang sering disebutnya sebagai dunia dari teks atau being yang dibawa ke dalam bahasa oleh teks. Pengungkapan referensi teks sangat penting, karena menurut Ricoeur, kalau tidak (pemahaman yang mengacuhkan referensi teks), analisis struktural akan tereduksi menjadi sebuah permainan yang mandul. Itulah kenapa ada bagian dari strukturalisme yang tidak disepakati oleh Ricoeur (walaupun ia tetap memakai pendekatan struktural sebagai kutub objektif dalam proses interpretasi, dimana ia untuk mempersiapkan kutup subjektif yang dinamakannya dengan “apropiasi”) karena paham ini menempatkan teks sebagai realitas yang tertutup, dimana makna hanya dihasilkan lewat relasi-relasi antar struktur pembentuknya, yaitu tanpa menunjuk dunia di luar teks (referensi).
Menurut Ricoeur, dalam tahap eksistensial ini hermeneutika memasuki tahapan paling kompleks, yaitu tahap ontologi—membeberkan hakikat dari pemahaman, ontologi of understanding melalui methodology of interpretation. Tetapi ontologi ini bukan ontology of understanding secara langsung dalam dirinya sendiri, melainkan sejauh yang dapat dijangkau melalui interpretasi—ontology of interpretation—terhadap ekspresi-ekspresi yang di dalamnya hidup mengobjektifikasikan dirinya (teks-teks, dokumen-dokumen, manuskrip-manuskrip dan semacamnya). Pada tahap ini akan tersingkap bahwa pemahaman dan makna, bagi manusia, pada dasarnya berakar pada dorongan-dorongan yang lebih mendasar yang bersifat istingtif, yaitu hasrat. Dari hasrat inilah lahir kehidupan, dan selanjutnya, bahasa—di mana untuk menyingkap realitas hasrat ini sebagai realitas yang tidak disadari (istingtif), Ricoeur memakai bantuan Psikoanalisis.. Melalui lorong Psikoanalisislah, Ricoeur mengajak untuk menemukan sumber data diri paling primitif dan mentah (the archeology of subject).
Dengan kata lain, eksistensi yang ditemukan oleh psikoanalisis (melalui refleksi) sesungguhnya adalah hasrat. Sementara selalu di dalam dan melalui interpretasi-lah akan dapat menyingkap tipuan-tipuan hasrat, sehingga hasrat yang berakar di dalam makna dan refleksi dapat ditemukan. Maksudnya, hasrat tidak dapat dimunculkan selain dalam interpretasi karena ia selalu berwujud ada yang diinterpretasikan. Hanya di dalam interpretasilah kita dapat memahami ada yang kita interpretasikan. Dengan memahami diri kita sendiri maka kita memberikan kepada diri kita sendiri makna atas hasrat sebagai bagian dari usaha kita untuk eksis.
Dengan demikian, interpretasi membawa Ricoeur kepada pengetahuan tidak langsung mengenai eksistensi. Ia tidak hanya bertujuan mencapai makna sebuah teks—yang lebih tepatnya diinterpretasikan melalui intensi yang ada—dengan memahami eksistensi yang terungkap di dalam sebuah teks. Sehingga, interpretasi bersifat intensional sekaligus eksistensial. Namun, perlu diketahui bahwa subjek yang menginterpretasikan dirinya ketika menginterpretasikan tanda-tanda bukan lagi cogito, namun ia adalah ada yang menemukan melalui interpretasi atas hidupnya sendiri, tempatnya di dalam dunia pengada sebelum ia menempatkan dan memiliki dirinya sendiri.
Dari uraian di atas, dapat diringkas bahwa distansiasi (yang memperlakukan teks secara otonom) telah membantu melestarikan makna dan menghindarkannya dari menghilangnya dalam waktu. Konsekuensi dari distansiasi, teks menjadi terbuka untuk interpretasi-interpretasi selanjutnya dan ini menjadi lahan bagi proses apropiasi (sisi lawan dari distansiasi). Apropiasi ini merupakan patner dari otonomi semantik teks, yang membebaskan teks dari pengarangnya. “Apropiasi adalah menjadikan ‘apa yang asing’ menjadi milik sendiri”, dan itu terjadi lewat pembacaan kembali teks yang membuka cakrawala baru. Cakrawala baru inilah dunia dari teks yang harus dimengerti dalam arti eksistensial yakni sebagai suatu cara baru untuk memahami realitas.
Proses apropiasi sebagai upaya untuk “mendisinikan dan mengkinikan” atau “meng-aku-kan” makna, harus tetap berdasarkan kaidah-kaidah linguistik pada analisis struktural. Akan tetapi, yang diapropiasi, sekali lagi, bukanlan maksud pengarang, bukan situasi historis umum pengarang dan pembaca orisinalnya, juga bukan harapan atau perasaan pembaca asli, melainkan makna teks itu sendiri atau kekuatan referensial asli dari teks. Sehingga, pemahaman tidak lagi sekedar mengaitkan teks dengan pengarang dan situasinya, tetapi ia mencari sesuatu untuk merenggut proposisi dunia yang diungkap oleh referensi teks. Memahami teks adalah mengikuti pergerakan teks tersebut dari makna ke referensi: dari apa yang dikatakan teks kepada tentang apa yang dikatakannya.
Sungguhpun interpretasi berpuncak pada pemahaman diri, tindakan apropriasi ini tidaklah sama dengan subyektivisme naif. Apropriasi di sini lebih sebagai pelucutan diri ketimbang penguasaan. Di dalamnya kesadaran ego serta-merta digantikan oleh suatu pemahaman yang dimediasikan melalui teks. Apropiasi inilah yang menjadi tujuan utama keseluruhan hermeneutika.
Dengan ketiga tahapan tersebut, Ricoeur mencoba untuk menengahi pemikiran hermeneutika sebelumnya, yaitu antara hermeneutika yang hendak menyingkap makna obyektif teks, dengan hermeneutika yang berusaha menyingkap potensi “ada” atau eksistensi; antara hermeneutika yang mengedepankan prosedur metodologis dengan hermeneutika yang melompat melangkahi metode. Hermeneutika Ricoeur tidak berhenti pada tataran teks, pun tidak melompat langsung kepada wilayah eksistensial (menghindari prosedur metodologis), tapi mendialektikakan keduanya sebagai saling melengkapi. Itulah kenapa hermeneutikanya dikatakan sebagai “jalan panjang”, karena ia melengkapi hermeneutika dasein Heidegger maupun hermeneutika filosofis Gadamer, dimana keduanya melakukan pemahaman sebagai eksistensi secara langsung (tidak melalui tahapan sedikit demi sedikit)
Dengan demikian, juga menjadi jelas tentang apakah teks—yang mempunyai struktur imanen dan bersifat equivok (surplus makna)—itu harus didekati dengan penjelaskan struktural ataukah pemahaman hermeneutika. Pendekatan struktural dan pemahaman hermeneutik dilihat Ricoeur secara dialektik, sebagai dua hal yang saling melengkapi. Penjelasan struktural tetap dilihat oleh Ricoeur sebagai kutub objektif di dalam proses memahami teks (pemahaman tahap pertama atau lewat level semantik) yang akan mempersiapkan kutup subjektif yang dinamakan “apropriasi”(pemilikan kembali). Dengan demikian, teks tetap “hangat” dan akan tetap dapat menghadapi pembaca barunya yang berbeda-beda, karena selain dilakukan dekontekstualisasi (yaitu melepaskan diri dari cakrawala dan intensi yang terbatas pada pengarangnya atau otonomi semantik teks) dilakukan pula rekontekstualisasi (membuka diri terhadap kemungkinan dibaca secara luas oleh pembaca yang baru dan berbeda-beda).
BAB IV
MENIMBANG HERMENEUTIKA RICOEUR, MENYIMPULKAN POSISI ASBAB AL-NUZUL DALAM PENAFSIRAN Al-QUR’AN
Pada pembahasan sebelumnya telah panjang lebar dipaparkan bagaimana konsep teks dan teori interpretsai teks yang dibangun oleh Ricoeur dalam hermeneutikanya. Sungguhpun hermeneutikanya bukan yang paling belia usianya, namun hermeneutika yang digagasnya dapat dimasukkan ke dalam jajaran hermeneutika yang muncul belakangan. Dan sebagaimana laiknya pemikiran yang hadir belakangan, hermeneutika yang digagas oleh Ricoeur pun banyak mempunyai kesempatan untuk mengkritisi dan menyempurnakan apa yang ada sebelumnya. Dalam hal ini, sebagaimana yang telah ditegaskan pada pembahasan sebelumnya, kritik Ricoeur ditujukan pada kecenderungan positivistik dalam hermeneutika Romantis, yang menempatkan penafsir sebagai subjek dan teks sebagai objek dalam pemahaman teks, dengan tawaran barunya yaitu transendensi hubungan subjek-objek. Selain itu, kritiknya terhadap hermeneutika Romantis juga ditujukan pada kecenderungan reproduksi makna—di mana hermeneutika Romantis memandang terdapatnya makna awal yang dapat ditemukan kembali (melalui rekonstruksi psikologis maupun sosiologis)—dengan arah baru, yaitu produksi makna teks. Sementara itu, penyempurnaan Ricoeur terhadap apa yang ada sebelumnya juga diarahkan pada tradisi hermeneutika filosofis—yang memahami teks sebagai cara mengada yang dilakukan secara langsung (potong kompas) tanpa melalui prosedur pemahaman atau melompat melangkahi metode—dengan tawaran baru, yaitu mengada melalui interpretasi teks (ontology of interpretation) dengan mendialektikakan antara eksplanasi dan pemahaman (erklaren dialektika verstehen) yang meliuk dari level semantik melalui refleksi menuju kepada level eksistensial.
Dalam teori pemahaman teksnya tersebut, Ricoeur memperlakukan teks secara otonom, yaitu memahami teks lepas dari maksud pengarang, konteks sosio-historis yang melingkupinya, maupun audiens aslinya. Teks dianggap mempunyai eksistensi dan “aku”-nya sendiri yang tidak bergantung dengan apa-apa di luarnya. Itulah kenapa arah teori interpretasinya bukan reproduksi makna sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh sang pengarang atau sesuai dengan kondisi sosial historis yang melingkupi penciptaan teks sebagaimana dalam tradisi hermeneutika Romantis (Schleiermacher dan Dilthey), melainkan produksi makna (lebih cenderung kepada hermeneutikanya Gadamer).
Dalam produksi makna tersebut, interpretasi bukan diarahkan sebagai proses untuk “bertahan” atau upaya untuk tidak bergeser dari apa yang dimaksudkan sang pengarang teks atau dari apa yang dimaksud pada awalnya, melainkan proses kreatif untuk dapat menangkap apa yang dikatakan oleh teks itu sendiri (“dunia” yang dibentangkan oleh teks). Teks tersebut diandaikan selalu dapat memberikan makna (terbuka) bagi setiap pembaca barunya.
Teori interpretasi teks yang memuat otonomi teks dan mempunyai kecenderungan produksi makna tersebutlah yang akan dikaji pada bab ini, yaitu untuk dipakai mengkaji posisi asbab al-nuzul dalam penafsiran Al-Qur’an dan melihat kemungkinan hermeneutika Ricoeur dalam memasuki Penafsiran Al-Qur’an. Oleh karena itu, pertanyaan yang akan dicoba dijawab dalam bagian ini adalah: Apakah hermeneutika Ricoeur yang memuat konsep otonomi teks dapat “menggusur” asbab al-nuzul dalam penafsiran Al-Qur’an, dan bagaimanakah kemungkinannya untuk Penafsiran Al-Qur’an?
Namun demikian, untuk memasuki pembahasan tersebut, terlebih dahulu akan dibahas mengenai tekstualitas Al-Qur’an dan wilayah hermeneutika untuk Al-Qur’an, yaitu untuk mengetahui apakah Al-Qur’an yang mengandung dimensi ketuhanan dan yang acapkali disematkan atribut kesucian padanya juga dapat dianggap sebagai teks dan untuk mengetahui apakah ada akses bagi hermeneutika Ricoeur.
A. Tekstualitas Al-Qur’an dan Wilayah Hermeneutika Al-Qur’an
Untuk menyorot signifikansi atau posisi asbab al-nuzul dengan menggunakan teori otonomi teks, maka pertama kali akan dibahas mengenai apakah Al-Qur’an adalah teks? Dapatkah ia diberlakukan dan dikaji sebagai teks? Kemudian di manakah wilayah hermeneutika untuk Al-Qur’an?
Mengenai penyebutan Al-Qur’an sebagai teks, sebenarnya bukan tidak pernah ada dalam pemikiran Islam sebelumnya. Seperti, Amin al-Khuli yang memperlakukan teks sakral (Al-Qur’an) sebagai kitab sastra Arab terbesar (kitab al-arabiyyah al-akbar), sebagai upaya menggeser wilayah hermeneutika teks yang unthinkable menjadi thinkable. Dengan memperlakukan Al-Qur’an sebagai kitab sastra Arab terbesar, al-Khuli berupaya untuk melakukan kajian terhadap Al-Qur’an sebagai mengkaji sebuah teks—dimana ini dilakukannya dengan dua tahap, yaitu kajian di sekitar Al-Qur’an (dirasah ma hawl Al-Qur’an) dan kajian terhadap Al-Qur’an itu sendiri (dirasah fi Al-Qur’an nafsih).
Selain al-Khuli , terdapat Muhammad Khalafullah (murid dari al-Khuli ) yang juga memosisikan Al-Qur’an sebagai karya sastra yang profan. Selain itu, terdapat Nasr Abu Zaid yang mengafirmasikan tekstualitas Al-Qur’an. Menurut Abu Zaid, tekstualitas Al-Qur’an berkaitan dengan tiga hal, salah satunya bahwa kata wahy dalam Al-Qur’an secara semantik setara dengan perkataan Allah (kalam Allah, verbum dei) dan Al-Qur’an adalah sebuah pesan (risalah). Sebagai perkataan dan pesan, Al-Qur’an meniscayakan dirinya untuk dikaji sebagai sebuah “teks”.
Menurut Abu Zaid, kata-kata literal teks Al-Qur’an bersifat ilahiah, namun ia menjadi sebuah “konsep” yang relatif dan bisa diubah ketika ia dilihat dari perspektif manusia. Teks tertransformasi dari sebuah “teks ilahi” menjadi sebuah konsep atau “teks manusiawi”. Al-Qur’an adalah teks, dalam pandangan Abu Zaid, karena ia terkait dengan ruang dan waktu dalam pengertian historis dan sosiologis, di mana ia tidak berada di luar kategori bahasa. Dan ketika Al-Qur’an berada dalam kerangka bahasa dan memiliki kaitan dengan manusia (historis), maka akan selalu ada perangkat epistemologis dan prosedural untuk mengkajinya.
Menurut Hanafi, secara metodologis, Al-Qur’an mempunyai kedudukan yang sama dengan teks-teks lain. Sebagaimana yang dijelaskan kembali oleh Saenong,
. . . Al-Qur’an diterima sebagaimana layaknya teks-teks lain, seperti materi penafsiran, kode hukum, karya sastra, teks filosofis, dokumen sejarah, dan sebagainya. Artinya, ia tidak memiliki kedudukan istimewa secara metodologis. Semua teks, sakral atau profan, termasuk Al-Qur’an ditafsirkan berdasarkan aturan-aturan yang sama. Pemisahan antara teks suci dan profan hanya ada dalam praktik keagamaan dan bukan bagian dari hermeneutika umum (general hermeneutics). Apalagi Al-Qur’an, seperti halnya hadis Nabi, merupakan transfigurasi bahasa manusia: ia mencakup bahasa Arab dan non Arab; berisikan ucapan orang beriman maupun orang kafir.
Dari penjelasan di atas, tampak bahwa bagi Hanafi, sungguhpun Al-Qur’an merupakan teks sakral bukan berarti lantas ia menjadi spesial secara metodologis. Secara metodologis, ia berkedudukan seperti teks-teks lainnya.
Hal yang senada dengan mereka di atas—yang memposisikan Al-Qur’an sebagai teks atau sebuah karya—juga dianut oleh Muhammad Arkoun. Sebagaimana yang dielaborasi oleh Hilman latief, bahwa
Arkoun menggunakan pendekatan-pendekatan linguistik dilatarbelakangi asumsinya yang menyatakan bahwa secara linguistik, al-Qur’an adalah sebuah korpus yang selesai dan terbuka dari ujaran-ujaran dalam bahasa Arab, yang kita tidak lagi mempunyai jalan masuk kepadanya kecuali melalui teks yang bentuk tertulisnya dibakukan setelah abad IV/IX. Keseluruhan teks yang dibakukan demikian itu telah diperlakukan sebagai sebuah karya . . . di mana ia menempatkan kitab suci tak lebih dari sebuah karya yang dapat diukur dengan berbagai pendekatan kontemporer yang ada, khususnya linguistik, dan ‘setara’ pula dengan karya-karya lain.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa atas penyapaan Tuhan kepada manusia lewat Al-Qur’an dalam bahasa yang manusiawi (historis) tersebutlah yang kemudian menjadi lahan untuk didekati secara lingustik, apalagi tampilan dari Al-Qur’an itu sendiri (dalam wujud teks dan dalam kemasan bahasa manusiawi) berpotensi dan meniscayakan ia diberlakukan sebagai teks—sebagaimana teks-teks profan pada umumnya. Sehingga menjadi wajar kalau kemudian para pemikir Islam mulai mendekati Al-Qur’an dari sudut linguistik (kebahasaan) atau mengkajinya sebagai sebuah teks.
Dengan demikian, anggapan bahwa Al-Qur’an sebagai teks bukanlah suatu hal yang baru. Ia telah lama digulirkan oleh pemikir-pemikir Islam masa silam, terutama ketika studi Al-Qur’an di Barat mengalami trend menggunakan pendekatan susastra. Nama yang bisa dicatat sebagai pemikir yang memakai pendekatan susastra ini antara lain Amin Al-Khuli , Khalafullah, Bintusy Syati’, juga termasuk Abu Zaid—dan barangkali masih banyak yang lainnya yang sependapat dengan mereka.
Anggapan terhadap Al-Qur’an sebagai teks memang bukan tanpa masalah. Konsekuensinya dengan menganggap Al-Qur’an sebagai teks adalah dianggap menyimpang dari Ortodoksi Islam, bahkan bisa dianggap murtad, sebagaimana yang dialami al-Khuli , Khalafullah maupun Abu Zaid. Namun demikian, sungguhpun mengundang resiko yang tidak ringan, bagi ulama-ulama tertentu seperti mereka yang disebut di atas, Al-Qur’an merupakan sebuah teks, yang menuntut diperlakukan (dikaji) sebagai teks—seperti teks-teks profan, yang berada di dalam kategori bahasa manusia. Adanya sisi Al-Qur’an yang bersifat profan dan historis itulah yang meniscayakan pemahaman atau perlakuan terhadapnya dalam tingkat pemahaman manusia yang profan dan historis pula. Sisi historis ini misalnya dapat terlihat dari bentuk Al-Qur’an atau dimensi materialnya yang berwujud rangkaian huruf, kalimat, ayat dalam tatanan atau kemasan bahasa Arab, atau memakai bahasa manusia dengan aturan-aturan yang bersifat historis.
Jika terdapat dua dimensi pada Al-Qur’an, yaitu dimensi ilahiah (transhistoris, metafisis) dan dimensi insaniah (historis), lantas di mana wilayah hermeneutika?
Menurut Hassan Hanafi, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ilham B. Saenong, bahwa wilayah hermeneutika Al-Qur’an bukanlah pada dimensi vertikal yang metafisis, akan tetapi pada dimensi horisontal wahyu yang bersifat historis, sebagaimana yang dijelaskannya berikut,
. . .wahyu pada hakikatnya merupakan firman Tuhan yang diberikan kepada nabi Muhammad in verbatim dan harus disampaikan kepada manusia secara in verbatim pula. Meskipun demikian, hermeneutika sebagai kritik sejarah tidak berurusan dengan wahyu in verbatim ketika masih dalam pikiran Tuhan atau sebelum diturunkan kepada Nabi-Nya, hermeneutika baru fungsional setelah Nabi menyampaikan wahyu tersebut dalam sejarah . . . karena Al-Qur’an ditujukan bagi manusia, maka konsekuensinya, hermeneutika tidak berurusan dengan wahyu pada tingkat logos (kalam Tuhan) atau masalah cara-cara pewahyuan, tetapi berurusan dengan wahyu pada tahap teks dan produktifitas (penafsiran) teks. Kontroversi klasik mengenai kebaruan dan keazalian sifat Al-Qur’an kemudian dianggap tidak relevan diperbincangkan . . . hermeneutika tidak berurusan dengan sifat hubungan antara Tuhan dan Rasul-Nya dan bagaimana Nabi menerima wahyu tersebut , melainkan dengan kata-kata yang diturunkan dalam sejarah.
Pandangan Hanafi tersebut dalam penangkapan penyusun barangkali sebagai upaya Hanafi untuk menghindarkan diri atau menghindarkan kajian mengenai Al-Qur’an dari perdebatan teologis yang tak berujung sebagaimana sejauh ini ketika yang dianalisis adalah dimensi vertikalnya. Apalagi, hermeneutika sendiri lebih berurusan dengan teks-teks yang historis, maka pemakaian hermeneutika (untuk menganalisis Al-Qur’an) akan lebih memungkinkan (menemukan relevansinya) pada dimensi horisontal dan sisi historis Al-Qur’an. Dengan demikian, letak pengkajian hermeneutika Al-Qur’an sebagai sebuah teks adalah dalam wilayah historisnya atau pada dimensi horisontalnya.
Dengan demikian, dengan terdapatnya pandangan yang memperlakukan Al-Qur’an sebagai teks serta terdapatnya wilayah bagi hermeneutika sebagaimana dijelaskan di atas, maka upaya untuk melihat penafsiran Al-Qur’an, khususnya mengenai persoalan asbab al-nuzul, dengan memakai perspektif hermeneutika Ricoeur telah mendapat lampu hijau. Artinya, terdapat akses bagi hermeneutika Ricoeur.
O.
B. Unsur-unsur Otonomi Teks pada Al-Qur’an
P. Dalam hermeneutika Ricoeur, otonomi teks berkaitan dengan tiga hal, yaitu maksud pengarang; konteks sosial pengadaan teks dan audiens asli yang ditunjuk oleh Teks. Namun, sebelum melakukan analisis lebih jauh terhadap hermeneutika Ricoeur, tiga unsur yang dimaksud tersebut harus dijelaskan terlebih dahulu ketika teks yang dimaksud dalam hal ini adalah Al-Qur’an. Berikut ini akan dibahas satu per satu:
1. Pengarang Teks
Siapa yang disebut pengarang Al-Qur’an? Sejauh ini umat Islam meyakini bahwa Al-Qur’an merupakan teks yang diwahyukan Allah kepada Muhammad melalui malaikat Jibril dengan menggunakan bahasa Arab. Sehingga, sungguhpun Al-Qur’an mewujud dalam bahasa manusia, sungguhpun secara material ia berbahasa arab (mengikuti tatanan bahasa manusia, bahasa Arab), ia tetap diyakini sebagai verbum dei (Kalamu Allah). Sungguhpun Muhammad dikatakan sebagai orang pertama yang mendapatkan hak prerogatif untuk menafsirkan Al-Qur’an atau memberikan pemahaman atau menjelaskan maksud-maksud yang terkandung dalam Al-Qur’an, namun umat Islam tetap meyakini sepenuhnya bahwa Al-Qur’an adalah wahyu yang datang dari Allah. Jadi, Allahlah sang pengarang Al-Qur’an.
2. Konteks Sosial-Historis Pengadaan Teks.
Mengenai konteks ini, terdapat dua macam konteks dalam Al-Qur’an, yaitu konteks umum dan konteks khusus. Yang dimaksud konteks umum Al-Qur’an adalah kondisi sosio-historis atau realitas yang berupa budaya Arab, masyarakat Arab atau segala hal: geografis, sosiologis, antropologis dan lain sebagainya yang berada di sekitar ketika ayat Al-Qur’an diturunkan. Secara material sangat jelas bahwa Al-Qur’an tampil dengan kemasan bahasa Arab dan mengikuti tatanan bahasa Arab, karena ia turun di tengah-tengah masyarakat yang notabene berbahasa dan berkebudayaan Arab. Konteks-konteks seperti itulah yang masuk dalam kategori konteks umum Al-Qur’an.
Selain konteks-konteks tersebut, dalam penafsiran Al-Qur’an, dikenal juga konteks khusus atau asbab al-nuzul. Seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, bahwa asbab al-nuzul dikatakan sebagai peristiwa yang melatarbelakangi atau sebab khusus yang menyebabkan ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan, meskipun dikatakan tidak semua ayat Al-Qur’an mempunyai sebab khusus ( asbab al-nuzul) atau meskipun mengenainya tidak terdapat kesepakatan.
3. Audiens Asli Teks
Kalau teks itu adalah Al-Qur’an, maka yang dimaksud audiens asli adalah siapa-siapa yang ditunjuk oleh Al-Qur’an pada awalnya. Dalam hal ini, ulama klasik tidak jarang menganggap bahwa ayat-ayat tertentu diturunkan dengan merujuk pada si A atau si B. Siapa-siapa yang ditunjuk oleh ayat itulah yang disebut sebagai audiens asli, yaitu sasaran awal yang ditunjuk Al-Qur’an
C. Menginterpretasikan Al-Qur’an ala Hermeneutika Ricoeur
Terlepas dari sesat atau tidaknya menganggap Al-Qur’an sebagai sebuah teks, kalau didasarkan pada konsep teks-nya Ricoeur, maka Al-Qur’an—karena ia disebut sebagai teks—berarti bersifat otonom. Dalam pembahasan mengenai teks, Ricoeur tidak mengecualikan teks agama dalam menyifati teks sebagai sesuatu yang otonom. Ricoeur hanya menjelaskan bahwa setiap wacana ketika telah berwujud teks; ketika ia telah dilepaskan dari situasi dialogal; ketika ia telah terbakukan menjadi sebuah tulisan; ketika ia bukan ujaran (bahasa lisan), maka ia bersifat otonom. Artinya, terlepas dari keistimewaan-keistimewaan yang dipunyai atau disematkan pada Al-Qur’an, ketika ia adalah teks, maka Al-Qur’an—berdasarkan konsep teks-nya Ricoeur, entah kalau dilihat dari perspektif lain—dianggap memiliki eksistensinya sendiri; tidak bergantung pada faktor eksternal di luarnya. Oleh karena itu, makna harus diperoleh darinya dengan jalan distansiasi; melakukan penjarakan terhadap apa yang berada di luarnya, yaitu dari maksud pengarangnya, konteks sosio-kulturnya dan referensi ostensifnya ( referensi aslinya atau audiens yang ditunjuk oleh teks).
Ketika Al-Qur’an bersifat otonom maka dipandang dari perspektif Ricoeur, ia berarti otonom dari intensi atau maksud pengarangnya (yaitu Tuhan), otonom dari konteks sosial-historis pengadaan teksnya dan otonom dari audiens asli atau kepada siapa Al-Qur’an itu dialamatkan. Di bawah ini akan dijelaskan lebih rinci satu per satu:
1. Otonom dari Intensi atau Maksud Pengarang
Sungguh pun pengarang Al-Qur’an adalah Allah (Tuhan), menurut konsep otonomi teks Ricoeur, ketika Al-Qur’an dikatakan sebagai teks, maka maksud Allah menjadi tidak penting. Dengan demikian, untuk memahami Al-Qur’an, berdasarkan otonomi teksnya Ricoeur, penafsir berarti tidak perlu menilik apa yang dimaksud oleh pengarang Al-Qur’an (maksud Allah), melainkan berdasar kepada apa yang dikatakan oleh Al-Qur’an itu sendiri.
2. Otonom dari Konteks Sosial-Historis Pengadaan Teks.
Dilihat dari teori otonomi teks Ricoeur, ketika Al-Qur’an merupakan teks, maka ia juga otonom dari kondisi sosial historisnya. Dalam hal ini, berarti otonom baik dari konteks umumnya maupun konteks khususnya ( asbab al-nuzulnya). Dengan demikian, karena ia tidak mempunyai keterkaitan dengan konteks-konteks tersebut, maka kalau didasarkan pada otonomi teks, ketika menafsirkan Al-Qur’an, konteks-konteks tersebut tidak perlu diperhatikan atau dijadikan acuan. Konteks-konteks tersebut menjadi tidak signifikan ketika Al-Qur’an telah terbakukan menjadi teks.
Dengan demikian, berdasarkan otonomi teks Ricoeur, sesahih apapun riwayat yang dipakai untuk menunjukkan asbab al-nuzul suatu ayat, juga redaksi apa pun yang dipakai (yang jelas menunjukkan asbab al-nuzul atau tidak), ia menjadi tidak signifikan untuk ditilik karena teks telah otonom dari segala yang melingkupinya, termasuk dari konteks keArabannya.. Artinya, berdasarkan otonomi teksnya Ricoeur, asbab al-nuzul, maupun konteks umum Al-Qur’an menjadi tidak signifikan.
3. Otonom dari Audiens Asli atau Kepada Siapa Teks Dialamatkan
Apapun dan siapapun yang menjadi tujuan ayat pada awalnya (audiens asli yang ditunjuk Al-Qur’an), berdasarkan otonomi teks Ricoeur, semuanya tidak signifikan. Dalam pandangan Ricoeur, teks berlaku untuk siapa pun yang bisa membaca teks. Jadi berdasarkan otonomi teks, audiens yang ditunjuk dalam ayat Al-Qur’an tidak lagi relevan dan tidak perlu dijadikan acuan dalam memaknai ayat, yaitu kalau dilihat dari perspektif otonomi teks Ricoeur.
Dengan demikian, menginterpretasikan Al-Qur’an ala hermeneutika Ricoeur berarti memahami Al-Qur’an dengan menganggapnya sebagai teks yang mempunyai kemandirian tertentu (otonom), yaitu tidak bergantung pada apa maksud Allah; konteks sosio-historis ketika Al-Qur’an turun, yaitu konteks umumnya (kondisi sosial-historis, sosiologis, antropologis di Mekkah dan Madinah atau disekitar turunnya Al-Qur’an) maupun konteks khususnya (asbab al-nuzulnya) dan tidak juga terfokus pada siapa atau audiens yang ditunjuk atau dibicarakan oleh ayat Al-Qur’an, melainkan berdasar pada ayat-ayat al-Qur’an itu sendiri. Dalam hal ini berarti hanya dengan merujuk pada ayat-ayat yang berbahasa arab yang menyusun Al-Qur’an itu sendiri. Dengan demikian, kalau interpretasi Al-Qur’an memakai teori interpretasi ala hermeneutika Ricoeur, maka asbab al-nuzul menjadi tidak mempunyai arti apa-apa dalam pemahaman teks (dalam interpretasi Al-Qur’an).
Kemudian mengenai proses interpretasi teks. Kalau didasarkan pada hermeneutika Ricoeur, interpretasi Al-Qur’an dengan demikian harus dilakukan dengan mendialektikakan antara eksplanasi dan pemahaman dalam satu proses penafsiran yang komplek, yaitu melalui tahap semantik, tahap refleksi, dan tahap eksistensial.
Kalau eksplanasi yang dimaksud oleh Ricoeur digunakan untuk memahami makna tekstual (pemahaman saintis teks) atau mencari makna berdasarkan strukrur kebahasaan teks, maka tujuan eksplanasi tersebut dapat dikatakan serupa dengan tafsir dalam penafsiran Al-Qur’an. Hanya saja, tafsir dalam tradisi penafsiran Al-Qur’an tidak berhenti pada bahasa dalam Al-Qur’an itu sendiri, akan tetapi dalam tafsir juga dipakai mediator lain, seperti pengetahuan tentang realitas (asbab al-nuzul) atau pengetahuan instrumental yang lainnya (ilmu-ilmu Al-Qur’an). Begitu pula, ta’wil serupa dengan pemahaman dalam hal fukusnya terhadap dimensi intensionalitas teks (Al-Qur’an). Bedanya, pemahaman sebagai proses interpretasi yang dimaksud Ricoeur tidak berdiri sendiri sebagaimana dalam tradisi penafsiran Al-Qur’an yang meletakkan antara tafsir dan ta’wil dalam wilayah yang berbeda, melainkan berdialektika dengan eksplanasi. Pemahaman adalah pemahaman terhadap dunia (weltanschauung) teks dengan melalui momen bahasa.
Dengan demikian, kalau berdasar pada teori interpretasi teksnya Ricoeur, dalam interpretasi Al-Qur’an, penafsir harus mendialektikakan antara tafsir dengan ta’wil, tetapi dengan pengertian yang perlu dikonstruksi terlebih dahulu, yaitu tafsir yang hanya menggunakan mediator bahasa teks an sich (struktural linguistik) dan ta’wil yang bukan mengacuhkan atau melompati struktur kebahasaan teks sebagaimana dalam pandangan ulama klasik (yang ditolak oleh Abu Zaid karena dianggapnya sebagai pemahaman yang ideologis atau talwin). Dalam hal ini berarti mirip dengan model interpretasinya Abu Zaid —di mana dia mensintesiskan tafsir dengan ta’wil sebagai satu proses interpretasi untuk mengungkap ma’na (makna) dan magza (signifikansi): tafsir untuk pencarian ma’na, sementara ta’wil untuk menangkap magza. Namun, juga tidak persis sama seperti model ta’wilnya Abu Zaid karena ia masih menggunakan mediator lain selain kebahasaan atau linguistik teks (seperti menggunakan asbab al-nuzul). Jadi, dialektika eksplanasi dan pemahaman kalau dalam interpretasi Al-Qur’an berarti melakukan ta’wil ala Abu Zaid, namun dengan membatasi mediator tafsir, yaitu dengan hanya berdasarkan struktur kebahasaan teks itu sendiri.
Kalau didasarkan pada teori interpretasi teks-nya Ricoeur, interpretasi Al-Qur’an artinyai harus dilakukan melalui tiga tahap sebagaimana disebutkan di atas, yaitu melalui tahap semantik, tahap refleksi dan tahap eksistensial. Dan tetap harus diingat bahwa pemahaman dilakukan dengan memperlakukan teks sebagai sesuatu yang otonom.
Tahap semantik adalah menerapan pemahaman naif terhadap teks. Berarti melakukan analisis kebahasaan terhadap Al-Qur’an untuk mengetahui makna verbal atau tekstual (literer) Al-Qur’an. Pada tahap inilah tafsir (dalam pengertian baru: tanpa mediator di luar bahasa) berperan. Namun, untuk mendapatkan makna verbal Al-Qur’an, penafsir harus melakukan distansiasi (penjarakan) atau memperlakukan Al-Qur’an sebagai teks atau entitas yang otonom, yaitu hanya boleh merujuk pada apa yang ada dalam Al-Qur’an itu sendiri, yaitu berdasarkan bahasa Arab yang merangkai ayat-ayat Al-Qur’an; tidak tergantung pada apa yang dimaksud oleh Allah, lepas dari konteks sosial-historisnya, asbab al-nuzulnya dan audiens asli yang ditunjuk oleh ayat Al-Qur’an. Artinya, penafsiran bukan dilakukan sebagaimana dalam tradisi penafsiran Al-Qur’an yang memakai bantuan asbab al-nuzul ataupun bantuan lainnya (demi makna orisinal ayat), namun justru harus mengambil jarak dengan masa lalu teks, termasuk asbab al-nuzulnya.
Penafsiran selanjutnya bergerak pada tahap refleksi. Pada tahap ini makna verbal yang telah diperoleh dalam analisis semantik diselidiki lebih lanjut. Dalam hal ini akan sedikit dijelaskan kembali kritik Ricoeur terhadap pandangan modern yang memandang simbol bermakna univok (tunggal). Ricour memandang sebuah simbol (dalam hal ini bahasa juga termasuk simbol) memiliki makna ganda (ekuivok). Makna ganda inilah yang membawa Ricoeur merumuskan pengertian baru tentang interpretasi, di mana interpretasi dalam pandangan Ricoeur ditujukan pada di balik yang tampak melalui apa yang tampak. Kalau mengikuti teori interpretasi Ricoeur, pada tahap refleks inilah adanya kesamaran makna akibat adanya surplus makna dan kerancuan logika yang terdapat dalam Al-Qur’an yang tidak dapat diselesaikan dalam tahap semantik akan diselesaikan. Juga, pada tahap refleksi ini pula dilakukan penyelidikan terhadap kesadaran awal si penafsir sendiri—yang menurut Ricoeur (dengan mengikuti Marx, Nietcze, dan Freud) perlu dicurigai sebagai kesadaran palsu—di mana untuk menyingkap kesadaran palsu ini dipakai bantuan dari psikoanalisis. Maksudnya bahwa refleksi harus bertentangan dengan filsafat kesadaran. Pendek kata, pada tahap refleksi ini, makna verbal yang telah diperoleh dari tahap sebelumnya dalam menginterpretasikan Al-Qur’an perlu dikritik dan dijustifikasi, yaitu untuk menjadi pemahaman yang sophisticated (pemahaman-diri/ontology of interpretation). Dan karena menurut Ricoeur tidak ada pedoman untuk mempresupposisi makna dalam menghadapi surplus makna, maka prosupposisi makna dilakukan dengan memaknai teks sebagai keutuhan dan keutuhan tunggal (secara utuh dan berdasarkan tipe individual teks). Berarti dalam menpresuppisisi makna Al-Qur’an, penafsir melakukannya dengan memahami Al-Qur’an secara utuh sebagai sebuah karya dan berdasarkan genre dan tipologi Al-Qur’an.
Berdasar pada hermeneutika Ricoeur artinya interpretasi Al-Qur’an juga bersifat probabel bukan verifikatif (sesuai dengan logika probabilitas bukan logika verifikasi empirik). Dan sebagaimana yang dikatakan oleh Ricoeur bahwa teks sebagai keutuhan dan keutuhan tunggal dapat dibandingkan dengan sebuah objek yang dapat dipandang dari berbagai sisi namun tidak dari keseluruhan sisi secara serentak, interpretasi Al-Qur’an dengan demikian dapat dilakukan dengan bermacam-macam cara.
Tahap ketiga adalah tahap eksistensial, yaitu tahapan di mana interpretasi dilakukan lebih mendalam, yaitu untuk menyingkap “ada” yang dibawa oleh bahasa ke dalam Al-Qur’an. Namun, penyingkapan “ada” yang terdapat dalam Al-Qur’an, sesuai dengan teori Ricoeur, tidak dilakukan secara langsung, tapi lewat mediasi teks atau lewat proses interpretasi teks, yaitu memberlakukan otonomi teks dengan analisis semantik dan refleksi sebagai momennya.
Pada tahap eksistensial ini berarti si penafsir bermetamorfosis dengan Al-Qur’an (melakukan gerak ulang-balik antara pemahaman Al-Qur’an dan pemahaman diri), yaitu membuka diri terhadap teks Al-Qur’an yang juga membuka diri. Secara konkret ini memang sulit untuk dijelaskan, tetapi penyusun kira tidak terlalu sulit untuk membayangkan apa maksudnya. Pada ujung pemahaman inilah “apa yang asing” yaitu Al-Qur’an, akan menjadi milik sendiri (apropiasi). Al-Qur’an yang hadir dari masa lalu menjadi bermakna dan selaras dengan masa kekinian pembaca barunya. Namun, yang diapropiasi dari Al-Qur’an ini, sekali lagi, bukanlan maksud Tuhan, bukan konteks Arab; baik konteks umum maupun konteks khusus ( asbab al-nuzul), juga bukan harapan atau perasaan pembaca asli, melainkan “ada” yang dibawa bahasa ke dalam Al-Qur’an atau dunia yang dibentangkan dalam Al-Qur’an melalui bahasa. Dengan dicapainya pemahaman-diri melalui pemahaman teks, maka hubungan antara penafsir dengan Al-Qur’an bukanlah hubungan subjek-objek: Al-Qur’an bukan objek yang dipahami oleh penafsir dan penafsir bukanlah subjek yang memahami Al-Qur’an. Namun, yang ada adalah transendensi dari subjek-objek. Menafsirkan Al-Qur’an sebagai memahami-diri (eksistensial, ontologis).
Dengan demikian, memahami Al-Qur’an kalau menurut hermeneutika Ricoeur berarti mengikuti pergerakan Al-Qur’an dari makna ke referensi: dari apa yang dikatakan Al-Qur’an kepada tentang apa yang dikatakannya. Penafsiran tidak sebatas melakukan pencarian makna, namun untuk menemukan “dunia” yang dibawa bahasa ke dalam Al-Qur’an. Pemahaman terhadap Al-Qur’an, kalau mengikuti Ricoeur, berarti pada akhirnya sebagai pemahaman yang sophisticated, yaitu mencoba berpikir lewat Al-Qur’an sebagai titik tolaknya; tidak sebatas pemahaman makna teks. Artinya, kalau didasarkan pada hermeneutika Ricoeur, interpretasi Al-Qur’an bersifat produktif dan bercorak eksistensial.
Sungguhpun demikian, bukanlah hal yang mudah untuk menerapkan teori interpretasi teksnya Ricoeur tersebut pada menafsirkan Al-Qur’an, yaitu karena tiga hal yang dinafikan oleh Ricoeur merupakan hal-hal sensitif, di mana selama ini menjadi perdebatan di kalangan ulama. Seperti mengenai asbab al-nuzul, ia menjadi hal yang kontroversial di kalangan ulama, bahkan sampai merembet pada perdebatan teologis. Selain itu, selama ini masih terjadi tarik-menarik di kalangan ulama antara apakah teks harus dipahami sesuai dengan yang dimaksud awalnya atau harus dipahami dengan melampaui apa yang ada pada awalnya; antara kubu yang mengharuskan reproduksi makna dengan kubu yang mengedepankan produksi makna. Oleh karena itu, pembahasan akan dilanjutkan dengan melakukan analisis terhadap teori interpretasi teks dalam hermeneutika Ricoeur (yang memuat konsep otonomi teks di dalamnya), yaitu untuk mengetahui posisi asbab al-nuzul dalam penafsiran Al-Qur’an dan kemungkinan hermeneutika Ricoeur dalam penafsiran Al-Qur’an.
D. Menyoal Hermeneutika Ricoeur, Menetapkan Posisi Asbab Al-Nuzul
Kalau dilihat dari model interpretasinya yang berawal dari analisis kebahasaan teks dan berlanjut pada penyingkapan referensi (weltanschauung) teks, sesungguhnya model interpretasinya Ricoeur hampir serupa dengan model interpretasi (hermeneutika) yang digagas Abu Zaid. Mengapa demikian? Karena interpretasi bagi Abu Zaid adalah penelusuran ma’na (makna) dan magza (signifikansi). Interpretasi atau penelusuran ma’na dan magza tersebut juga diawali dengan analisis kebahasaan sebagai momen pencarian welthanschauung teks. Penelusuran ma’na yaitu seperti pencarian makna (apa yang dikatakan teks) dalam hermeneutika Ricoeur, sementara penyingkapan magza sama dengan perluasan makna atau penyingkapan referensi (tentang apa yang dikatakan teks). Artinya bahwa “misi” interpretasi keduanya sama, yaitu ingin menjadikan teks tidak aus dimakan waktu dengan cara penyingkapan halnya teks atau weltanschauung teks. Yang membedakan antara keduanya bahwa teks dalam pemahaman teksnya Ricoeur diotonomkan dari kondisi sosial historisnya, sementara dalam penafsiran Abu Zaid, konteks justru sangat signifikan. Argumen Abu Zaid inilah yang menjadi bahan pertimbangan dalam mengupas asbab al-nuzul dan untuk menilai otonomi teks dalam penafsiran Al-Qur’an.
Bagi Abu Zaid, konteks atau asbab al-nuzul sangat penting dalam pemahaman ayat adalah atas pertimbangan bahwa tidak semua ayat dalam Al-Qur’an dinyatakan secara jelas. Terdapat ayat-ayat yang kurang jelas dan membingungkan yang tidak mudah untuk dipahami dengan hanya berdasarkan lafaz atau struktur kebahasaannya. Yang menjadi dasar pertimbangan tidak dapat dinafikannya asbab al-nuzul adalah adanya ayat-ayat bermateri hukum yang tidak menyiratkan makna secara jelas. Ayat-ayat hukum inilah yang mendasari Abu Zaid berpandangan bahwa tidak semua ayat dapat dipahami dengan mengabaikan konteks sosial historisnya atau hanya berdasarkan struktur kebahasaannya an sich. Contoh ayat tersebut adalah ayat tentang khamr dalam surah an-Nisa’ ayat 43:
يايها الذين امنوا لا تقربوا الصلوة وانتم سكارى حتى تعلموا ما تقولون.
Ayat tersebut kalau dipahami dengan berdasarkan pada apa yang dinyatakan teks (keumuman kata) dan tidak dikaitkan dengan ayat tentang khamr lainnya, maka akan mengandung pengertian bahwa di luar shalat, khamr dihalalkan. Untuk menghindari pemahaman yang seperti itulah konteks sosial historis turunnya ayat atau asbab al-nuzulnya dibutuhkan (tidak dapat dieliminir), yaitu diperlukan untuk membantu kesulitan dalam memahami ayat semacam khamr ini. Melalui bantuan asbab al-nuzullah akan diketahui bahwa ayat tersebut merupakan ayat yang tidak berdiri sendiri, melainkan berkorelasi dengan dua ayat lainya, yaitu surah al-Baqarah (2) ayat 219 dan surah al-Maidah ayat 90-91.
يسألونك عن الخمر والميسر قل فيهما اثم كبير ومنافع للناس واسمهما اكبر من نفعهما.
يايها الذين امنوا انما الخمر والميسر والانصاب والازلام رجس من عمل الشيطان فاجتنبوه لعكم تفلحون. انما يريد الشيطان ان يوقع بينكم العداوة والبغصاء بالخمر والميسر ويصدكم عن ذكر الله وعن الصلوة فهل انتم منتهون.
Memahami ayat tentang khamr di atas dengan memegang keumuman kata dan mengabaikan asbab al-nuzul, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Zaid, akan menyebabkan hikmah tasyri’ terabaikan. Demikian pula, masalah halal dan haram pun akan terabaikan.
Selain ayat-ayat tersebut, Abu Zaid juga mengajukan contoh ayat-ayat lain yang juga akan sulit dipahami kalau konteks diacuhkan. Asbab al-nuzul demikian signifikan bagi Abu Zaid yaitu dengan mempertimbangkan adanya ayat seperti surah al-An’am (6) ayat 145 tentang qasr (pembatasan makanan yang diharamkan)
قل لا اجد فى مااوحي الي محرما على طاعم يطعمه الا ان يكون ميبة او دما مسفوحا او لحم حنزير فانه رجس او فسقا اهل لغير الله به فمن اضطر غير باغ ولا عاد فان ربك غفور رحيم .
Ayat di atas kalau dipahami dengan tanpa asbab al-nuzul akan menimbulkan pemahaman bahwa di luar yang diungkapkan adalah halal sebagaimana pemahaman Imam Malik, yang memandang ayat tersebut membatasi makanan yang diharamkan berdasarkan struktur bahasa ayat tersebut (yang mempergunakan bentuk pembatasan atau qasr dengan memakai bentuk nafi dan pengecualian). Sementara dengan berdasarkan asbab al-nuzul, imam Syafi’i berpendapat bahwa ayat tersebut bukanlah suatu nash (penegasan) mengenai pembatasan makanan yang diharamkan, tetapi maknanya hanya menetapkan larangan terhadap apa yang diungkapkannya tanpa mempunyai konsekuensi bahwa di luar yang diungkapkan adalah halal.
Artinya, ayat-ayat hukum seperti tersebutlah yang menjadi alasan bahwa otonomi teks dari kondisi sosial historis sulit dapat diterapkan. Ayat-ayat seperti di atas akan sulit dipahami kalau tidak dibantu dengan pengetahuan tentang asbab al-nuzul atau konteks sejarahnya atau hanya berdasarkan struktur teks saja.
Namun demikian, sebagaimana yang telah disinggung di awal pembahasan, tidak semua ayat-ayat yang dikatakan bersabab al-nuzul memuat materi hukum, ada juga ayat-ayat yang dianggap mempunyai sebab khusus namun tidak memuat persoalan hukum, seperti surah al-Isra’ (17) ayat 85 tentang roh:
ويسألونك عن الروح. قل الروح من امر ربي وما اوتيتم من العلم الا قليلا.
Untuk ayat seperti di atas, asbab al-nuzul tidak terlalu diperlukan, yaitu karena tanpa bantuan asbab al-nuzul pun makna ayat tidak akan terlalu sulit untuk disingkap atau tidak terlalu menimbulkan masalah dalam pemahaman seandainya konteks khususnya diabaikan.
Mengenai ayat 85 di atas, persoalan mengenai siapa yang bertanya ketika itu sehingga kemudian datang ayat tersebut, bukanlah merupakan persoalan yang signifikan untuk diketahui atau dibicarakan. Tidak terlalu penting untuk membicarakan secara panjang lebar mengenai ayat tersebut turun berkaitan dengan siapa, si A atau si B. Tidak terlalu penting mengetahui peristiwa apa yang terjadi ketika ayat tersebut turun. Untuk memahami ayat seperti di atas tidak terlalu membutuhkan pengetahuan mengenai asbab al-nuzul. Bahwa persoalan ruh itu urusan Tuhan sudah sangat jelas sehingga seandainya konteks ayat diabaikan, ayat tersebut tidak menjadi sulit dipahami. Dengan demikian, apakah asbab al-nuzul diperlukan atau tidaknya adalah tergantung pada macam ayatnya. Artinya, otonomi teks yang mengacuhkan konteks tersebut dapat diterapkan dalam penafsiran Al-Qur’an hanya pada ayat-ayat tertentu atau sebagian ayat saja (tidak pada semua ayat Al-Qur’an). Tidak semua ayat yang selama ini diklaim mempunyai sabab al-nuzul perlu dipahami dengan menilik asbab al-nuzulnya, misalnya ayat tentang ruh yang dicontohkan di atas, ayat 23-24 dari surat al-Kahfi tentang perintah untuk mengucapkan “Insya Allah”, surat al-Duha dan lain semacamnya. Sementara untuk memahami ayat-ayat bermateri hukum seperti ayat-ayat tentang khamr di atas, memperlakukan otonomi teks dari konteksnya akan menyulitkan pemahaman. Dalam hal ini perlu diingat bahwa pemahaman terhadap Al-Qur’an mempunyai implikasi terhadap dosa dan pahala serta keimanan seseorang, bukan sekadar persoalan membaca atau memahami saja. Tidak dapat dilupakan bahwa Al-Qur’an bukan hanya teks biasa namun teks suci keagamaan, sebagai bimbingan dan sentralitas berperilaku dan menjalankan hidup bagi umat Islam. Di dalamnya tidak hanya termuat cerita-cerita atau kisah-kisah umat terdahulu atau cerita tentang hari akhir saja, melainkan banyak aturan-aturan yang ditetapkan di dalamnya yang ditujukan untuk ditaati oleh umat Islam, yang mana aturan-aturan tersebut banyak termuat dalam ayat-ayat yang bermateri hukum yang kebanyakan perlu dipahami dengan menilik asbab al-nuzulnya, seperti ayat-ayat tentang khamr, tentang halal dan haram dan lain sebagainya.
Namun demikian, sungguhpun asbab al-nuzul tetap penting dalam memahami sebagian ayat, namun Abu Zaid tidak mengamini metode ulama klasik. Ayat-ayat yang bersabab al-nuzul, bagi Abu Zaid, tidak dipahami dengan hanya berdasarkan riwayat atau naql, melainkan dengan metode penalaran atau ijtihad, yang juga mempertimbangkan struktur kebahasaannya.
Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya bahwa pedoman dasar dalam mengetahui asbab al-nuzul adalah melalui riwayat. Seperti yang dikatakan oleh Al-Wahidi, “tidak boleh mengatakan tentang sabab al-nuzul Al-Qur’an melainkan dengan dasar riwayat dan mendengar dari orang-orang yang menyaksikan ayat itu diturunkan dan mengetahui sebab-sebab turunnya serta membahas pengertiannya”. Maka karena seringnya ditemukan banyak riwayat yang merujuk pada satu ayat dan karena ketidakpastian riwayat, maka mereka membuat standar dalam menentukan riwayat mana yang dapat dianggap sebagai asbab al-nuzul dan yang tidak.
Menurut mereka, kalau asbab al-nuzul disebutkan dengan ungkapan yang jelas, seperti sababu nuzuuli hazihil ayati kaza (sebab turun ayat ini adalah begini), atau sabab nuzul tidak ditunjukkan dengan lafad sebab, tetapi dengan mendatangkan lafad “fa” yang masuk kepada ayat yang dimaksud secara langsung setelah pemaparan suatu peristiwa atau kejadian, maka berarti itu adalah sebab bagi turunnya ayat tersebut. Jika redaksinya berbentuk demikian maka secara definitif dianggap menunjukkan sabab al-nuzul dan tidak mengandung kemungkinan makna lain. Sementara kalau sabab al-nuzul tidak disebutkan dengan ungkapan sebab secara jelas juga tidak dengan mendatangkan “fa” yang menunjukkan sebab, tetapi dengan redaksi: “Nazalat Hazihil ayatu fi kaza”( ayat ini turun mengenai ini), atau ahsibu hazihil ayata fi kaza (aku mengira ayat ini turun mengenai soal begini), atau ma ahsibu hazihil ayata nazalat illa fi kaza (aku tidak mengira ayat ini turun kecuali mengenai hal yang begini) di mana perawi tidak memastikan sabab al-nuzul, maka dianggap mengandung suatu kemungkinan, mungkin menunjukkan sebab, mungkin menunjukkan hukum atau lainnya.
Selain itu, ulama klasik juga membuat aturan-aturan tertentu untuk mengantisipasi ketika ditemukan banyak riwayat mengenai satu ayat, yaitu: jika semua riwayat tidak tegas dalam menunjukkan sebab maka dipandang sebagai tafsir atau kandungan ayat; jika sebagian tidak tegas sementara sebagian lain tegas maka yang menjadi pegangan adalah yang tegas; jika semuanya tegas maka tidak terlepas kemungkinan bahwa salah satunya sahih atau semuanya sahih. Apabila salah satunya sahih sedang yang lain tidak, maka yang sahih itulah yang menjadi pegangan; Jika semuanya sahih maka dilakukan pentarjihan bila mungkin. Bila tidak mungkin maka dipadukan. Bila tidak mungkin juga maka dipandanglah ayatnya turun beberapa kali dan berulang. Al-Hakim pun menjelaskan, apabila seorang sahabat menyaksikan masa wahyu dan Al-Qur’an diturunkan meriwayatkan tentang suatu ayat Al-Qur’an, maka hadis itu dipandang sebagai hadis musnad (hadis yang periwayatannya bersambung mulai dari pengumpul atau penulisnya sampai kepada sahabat dan Nabi). Ibnu Shalah juga sependapat dengan ini. Sementara sabab al-nuzul dengan hadis mursal (hadis yang gugur dari sanadnya seorang sahabat dan mata rantai periwayatnya hanya sampai kepada seorang tabi’in), maka tidak diterima kecuali sanadnya sahih dan dikuatkan oleh hadis mursal lainnya. Di samping itu, periwayatnya harus pula termasuk imam-imam tafsir yang mengambil tafsirnya dari sahabat, seperti Mujahid, Ikrimah, dan Sa’id Ibn Jubair. Jika riwayat itu berasal dari tabi’in maka syaratnya bahwa ucapan tabi’in itu secara jelas menunjukkan asbab al-nuzul.
Pandangan ulama klasik yang demikian mempercayai riwayat para sahabat mengenai asbab al-nuzul hingga mencapai taraf hadis musnad itulah yang ditolak oleh Abu Zaid. Menurutnya, secara pasti tidak semua sahabat menyaksikan turunnya semua ayat dalam berbagai waktu yang berbeda-beda, dan menurutnya lagi bahwa asbab al-nuzul baru muncul pada masa berikutnya, yaitu masa tabi’in—sebab pada masa sahabat tidak dirasa perlu berupaya meriwayatkan peristiwa-peristiwa yang menyebabkan ayat-ayat itu turun, ayat per ayat atau peristiwa per peristiwa. Riwayat yang dinisbatkan berasal dari sahabat dalam masalah ini, menurutnya, sebenarnya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang timbul pada masa berikutnya, yaitu masa tabi’in yang mengalami kesulitan dalam menghadapi sejumlah kesulitan makna, sementara masa tabi’in itu sendiri, dijelaskan oleh abu Zaid, sebagai era pertarungan politik dan intelektual, sehingga ukuran menetapkan “para perawi yang dipercaya” lebih didasarkan pada pertimbangan ideologis—yang pada akhirnya memberikan otoritas keagamaan yang mutlak.
Karena ulama klasik mengharuskan untuk berdasarkan pada riwayat dalam menentukan asbab al-nuzul itulah maka apabila ditemukan banyak riwayat mengenai satu ayat, ulama melakukan strategi-strategi tertentu (metode tarjih) supaya tetap berada dalam rel atau supaya tetap berpijak pada riwayat. Demi berpijak pada riwayat itulah, ulama tidak dapat berbuat banyak selain mentarjih atau mengkompromikan riwayat.. Inilah yang dikritik oleh Abu Zaid. Menurutnya, metode ulama klasik yang menetapkan asbab al-nuzul dengan hanya berdasarkan pada riwayat dapat memunculkan pandangan bahwa ayat turun berulang-ulang. Sementara menganggap bahwa ayat turun berulang-ulang sama artinya dengan menganggap penerima pertama ayat tersebut (Nabi) lupa terhadap teks sehingga memerlukan Jibril untuk menurunkan ayat kembali kepada Nabi untuk mengingatkan tentang ayat yang telah diwahyukan sebelumnya. Selain itu, menganggap ayat turun berulang-ulang dapat memunculkan suatu teks tanpa hukum-hukumnya (teks-teks yang tidak bermakna) atau memunculkan kemungkinan terjadinya komunikasi tanpa teks. Pertanyaan yang diajukan oleh Abu Zaid: bagaimana mungkin hukum diturunkan tanpa teks?
Dikatakan oleh Abu Zaid bahwa ulama terperangkap dalam persoalan bagaimana mentarjih riwayat yang berbeda-beda adalah karena mereka memiliki konsepsi bahwa pengetahuan tentang asbab al-nuzul hanya dapat diketahui melalui naql atau periwayatan atau tidak memberi ruang bagi ijtihad. Menurutnya, penggunaan metode tarjih riwayat menjadikan terperangkap dalam asumsi-asumsi yang tujuannya mengkompromikan berbagai pendapat dan riwayat lantaran berasal dari pribadi-pribadi yang dilekatkan beberapa macam atribut kesucian, apakah mereka itu sahabat ataupun tabi’in. Itulah kenapa Abu Zaid menegaskan untuk menyelesaikan adanya banyak riwayat dengan berdasarkan ijtihad. Sehingga, interpretasi terhadap Al-Quran tidak hanya didasarkan pada realitas atau konteks sosial historisnya saja, melainkan juga dengan mempertimbangkan struktur kebahasaan teks atau melalui penalaran.
Mengenai penelusuran asbab al-nuzul atau memahami ayat dengan jalan ijtihad ini—yaitu di samping menilik riwayat juga mempertimbangkan aspek kebahasaan ayat (asbab al-nuzul dicari dari dalam teks berdasarkan tanda-tanda yang ada dalam teks)—Abu Zaid mengajukan ayat 173 Surah Ali Imran (3) berikut sebagai contoh.
الذين قال لهم الناس ان الناس قد جمعوا لكم فاحشوهم وزادهم ايمانا وقالوا حسبنا الله ونعم الوكيل.
Menurut Abu Zaid, ayat tersebut akan sulit dipahami hanya dengan berdasarkan pada keumuman katanya. Menurutnya tidak mungkin kata-kata al-nas dalam teks tersebut berarti “semua manusia”. Kalau bermakna demikian maka artinya “semua manusia berkata kepada semua manusia”. Struktur teks tersebut menegaskan kekhususan acuan dari masing-masing kata al-nas, bahwa (al-nas) yang mengatakan bukan (al-nas) yang menjadi sasaran bicara. Ini merupakan taraf-taraf kata ganti dalam ungkapan teks. Huruf alif dan lam pada kedua kata al-nas bukan alif-lam yang menunjukkan jenis (li al-jinsi), tetapi alif-lam menunjukkan benda yang diketahui (li al-‘ahd), tetapi—sebagaimana yang ditegaskan oleh Abu Zaid—untuk mengetahuinya hanya dengan kembali ke asbab al-nuzul. Dalam hal ini makna teks terungkap dengan berdasarkan analisis strukturnya dan dengan kembali pada konteks yang memproduksinya.
Sebagaimana Abu Zaid, Hassan Hanafi pun menganggap asbab al-nuzul penting dalam memahami ayat. Dalam interpretasinya, tahap eidetis—yang merupakan kelanjutan atau tahap kedua setelah dilakukan kritik historis (yaitu untuk memastikan keaslian teks yang disampaikan Nabi dalam sejarah)—tidak hanya memuat analisis kebahasaan saja, namun dilakukan pula analisis terhadap konteks sejarah (yang kemudian dilanjutkan dengan generalisasi).
Dalam hal ini, Hanafi memang mengakui bahwa sumber sejarah tidak akan pernah memadai karena terdapat banyaknya kontroversi sejarah, namun dia (penafsirannya) mensyaratkan untuk tidak mengabaikan asbab al-nuzul, yaitu sebagai supremasi realitas atas pemikiran dan teks. Menurut Hanafi, tidak ada satu ayat atau satu surat pun yang tanpa didahului latar belakang pewahyuan (asbab al-nuzul) walaupun asbab al-nuzul ini harus dipahami secara luas. Namun demikian, untuk mendukung proses interpretasi, dibutuhkan penyusunan asbab al-nuzul secara diakronik.
Sampai di sini dapat dikatakan bahwa asbab al-nuzul dipentingkan adalah karena pertimbangan adanya ayat-ayat tertentu yang akan sulit dipahami jika mengabaikan asbab al-nuzul atau menafikan konteks sosial historisnya. Dalam hal ini pandangan ulama yang mementingkan makna menjadi menarik untuk dibicarakan.
Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, bagi Bintusy Syati’, asbab al-nuzul bukanlah merupakan hal yang penting dalam memahami ayat. Namun demikian, Bintusy Syati’ yang menolak dipertimbangkannya asbab al-nuzul dan lebih mengandalkan struktur teks (keumuman kata) dalam menafsirkan ayat ketika membicarakan mengenai asbab al-nuzul, tidak mendiskusikan mengenai ayat (bermateri hukum) tersebut ataupun memberikan jawaban bagaimana menghadapi ayat tersebut jika hanya didasarkan pada struktur teks. Bintusy Syati’ menolak menafsirkan ayat dengan berdasarkan asbab al-nuzul justru dengan contoh tafsir surat-surat Makkiyah yang notabene tidak memuat materi hukum, seperti surat al-Duha. Di samping itu, ketika ia menafsirkan surat al-Duha tersebut, yang dipersoalkan olehnya justru asbab al-nuzul tentang anak anjing yang dalam tradisi asbab al-nuzul sendiri tidak dikuatkan karena riwayat tersebut mengandung rawi yang lemah.
Selain Bintusy Syathi, Ali Harb yang menegaskan untuk memahami Al-Qur’an berdasarkan eksistensi teks itu sendiri (otonomi teks) pun tidak memberikan contoh bagaimana alternatif barunya. Ia mengritik penafsiran yang memberi tempat pada asbab al-nuzul (pementingan konteks sosial historis) juga dengan tanpa memberikan tawaran konkret dalam konturnya. Misalnya mengenai bagaimana menghadapi ayat-ayat hukum seperti yang dicontohkan di atas kalau berdasarkan teks saja atau keumuman kata.
Dengan demikian, pandangan ulama yang menolak pemakaian asbab al-nuzul kurang dapat dijadikan argumen untuk menafikan asbab al-nuzul walaupun asbab al-nuzul yang perlu ditilik ini juga tidak harus dipahami sebagai sebab dalam pengertian kausalitas, namun supremasi realitas sebagaimana yang dikatakan Hanafi atau yang perlu dilacak berdasarkan struktur teksnya sebagaimana yang ditekankan Abu Zaid.
Dari uraian di atas, otonomi teks terhadap konteks sosial historis dalam penafsiran Al-Qur’an, dengan demikian, kurang dapat diterapkan pada ayat-ayat hukum (sebagaimana yang dicontohkan di atas). Sementara untuk ayat-ayat tertentu seperti ayat tentang ruh di atas, mengabaikan asbab al-nuzulnya atau konteks sosial historis ayat tidak menimbulkan problem yang serius dalam pemahaman. Dalam hal ini penyusun juga kurang sepakat dengan model kritik seperti yang dilakukan Ali Harb yang tanpa memberikan tawaran konkret terhadap bagaimana menyikapi ayat-ayat yang kurang jelas (seperti contoh di atas), karena dalam pertimbangan penyusun bahwa dalam membicarakan asbab al-nuzul, ayat-ayat bermateri hukum sebagaimana yang dicontohkan di atas penting untuk didiskusikan, bukan malah ayat-ayat makkiyah seperti surat al-Duha dan semacamnya. Oleh karena itu, penyusun lebih cenderung kepada pandangan Abu Zaid (juga Hanafi) karena analisisnya tentang asbab al-nuzul lebih argumentatif di mana ayat-ayat hukum yang notabene banyak dikatakan mempunyai asbab al-nuzul dikupas olehnya secara intensif. Abu Zaid mengemukakan keberatan-keberatan dinafikannya asbab al-nuzul dalam memahami ayat adalah dengan menunjukkan kesulitan-kesulitan apa yang akan dihadapi ketika konteks atau asbab al-nuzul diacuhkan, sebagaimana yang telah dicontohkan di atas. Argumen yang dikemukakan Abu Zaid—yang memberi tempat pada asbab al-nuzul dalam menafsirkan ayat-ayat tertentu namun tidak mengacuhkan kebahasaannya dan asbab al-nuzul yang dipahami secara diakronik (dengan mempertimbangkan waktu atau tidak larut pada realitas partikular, melainkan mencari signifikansinya)—bagi penyusun lebih dapat dijadikan pertimbangan daripada pandangan Bintusy Syathi atau Ali Harb yang hanya mengritik namun tidak memberikan jalan keluar yang konkret.
Demikianlah hermeneutika Ricoeur yang berkaitan dengan otonomi teks dari kondisi sosial historis (dikaitkan dengan asbab al-nuzul). Ternyata tidak semua ayat Al-Qur’an dapat dipahami dengan mengabaikan konteks sosial historisnya atau asbab al-nuzulnya seperti ayat tentang khamr dan halal haram di atas. Dengan kata lain, asbab al-nuzul tidak dapat diacuhkan karena adanya keberatan-keberatan berupa ayat-ayat hukum yang tidak dapat dipahami hanya berdasarkan struktur teks (keumuman kata).
Kemudian mengenai otonomi dari maksud pengarang. Sangat jelas bahwa mengetahui maksud Allah adalah suatu hal yang mustahil. Dalam hal ini, jika menurut Ricoeur maksud pengarang harus didistansiasikan dalam pemahaman teks karena teks (membaca teks) mempunyai karakter yang berbeda dengan ujaran (dialog)—posisi pembicara yang berhadap-hadapan dengan pendengar dalam situasi yang dialogis (komunikasi dalam bentuk interlokusi) dan yang memungkinkan terjadinya saling respon dalam sebuah dialog tidak terjadi dalam pemahaman teks (ketika membaca teks)—maka dalam Al-Qur’an, persoalan tidak dapat dijangkaunya maksud Allah bukan hanya karena tidak terjadinya dialog antara keduanya atau telah terentang jarak yang begitu jauh dengan masa lalu ketika teks itu ditulis, tetapi juga karena keduanya berada dalam “dunia” yang berbeda: Tuhan yang transhistoris dan manusia yang historis. Oleh karena maksud Allah tidak mungkin dapat dijangkau, maka makna sesuai dengan maksud Allah pun tidak akan pernah ada. Yang dapat diperoleh sejauh-jauhnya hanyalah suatu makna yang diandaikan sebagai apa yang dimaksud Allah (atas dasar apa seorang penafsir mengklaim bahwa makna yang dapat diperolehnya sebagai apa yang dimaksud oleh Allah?) Oleh karena itu, dalam penafsiran Al-Qur’an, otonomi teks terhadap pengarang tidak menemukan persoalan, yaitu atas dasar tidak dapat dijangkaunya maksud Allah.
Sementara mengenai otonomi teks dari audiens asli teks. Sesungguhnya, kalau dilihat dari semangatnya dalam “menghangatkan” teks, hermeneutika Ricoeur tidak berbeda dengan apa yang ada dalam aktifitas penafsiran Al-Qur’an akhir-akhir ini yang disebut dengan “kontekstualisasi Al-Qur’an”. Kontekstualisasi Al-Qur’an yang semakin santer diperbincangkan akhir-akhir ini tiada lain adalah dalam rangka mengup date Al-Qur’an supaya tetap salih li kulli zaman wa makan; supaya tetap dapat menghadapi pembaca barunya. Artinya, penafsiran Al-Qur’an pun tidak membatasi pada audiens awalnya. Demikian pula, mengenai kritik terhadap pemahaman teks yang berorientasi mereproduksi makna yang diajukan Ricoeur terhadap tradisi hermeneutika Romantis. Dalam penafsiran Al-Qur’an, ulama pun telah banyak yang mempertanyakan penafsiran yang berpretensi untuk mengasilkan makna sebagaimana yang dipahami awalnya, namun tidak dengan cara yang serupa dengan Ricoeur yang memperlakukan teks sebagai otonom dari tiga hal: maksud pengarang teks; kondisi sosial historisnya dan audiens aslinya atau hanya berdsarkan realitas teks itu sendiri. Dikatakan tidak serupa adalah karena dalam penafsiran Al-Qur’an, konteks sosial historis Al-Qur’an ataupun asbab al-nuzul tetap penting dalam penafsiran Al-Qur’an sebagaimana yang telah diulas di atas dalam pembahasan mengenai asbab al-nuzul. Mereka ini seperti Hassan Hanafi, Farid Essack, Asghar Ali Engineer maupun Amina Wadud.
Penafsiran bagi Hanafi tidak diarahkan untuk menemukan makna objektif ayat, namun penafsirannya yang bercorak sosial dan eksistensial dimaksudkan untuk praksis. Menurut Hanafi sebagaimana yang dielaborasi oleh Ilham B. Saenong, pencarian makna sejati teks tidak mungkin dilakukan. Alasannya tidak saja karena jarak ruang dan waktu yang telah sedemikian jauh, tapi juga penafsiran itu sendiri akan selalu dipengaruhi oleh posisi penafsir, posisi teks, kondisi sosial dan konteks kebudayaan di mana Al-Qur’an ditafsirkan.
Senada dengan Hanafi di atas, menurut Asghar “Setiap orang memahami teks menurut latar belakang, posisi a priori politik, sosial, dan ekonomi. Interpretasi teks berikutnya dilakukan demikian. Sangatlah susah menunjukan apa sebenarnya yang dimaksud oleh Tuhan. Setiap orang mencoba mendekati maksudNya menurut posisi a priori-nya sendiri.” Penafsiran dipandang selalu merupakan refleksi keadaan sosial dan latar belakang individual penafsir. Suatu penafsiran betapapun mengusahakan objektifitas, bisa saja terjebak dalam berbagai bentuk eksploitasi, seandainya ia muncul dalam masyarakat feodalistik, patriarkhal dan menindas.
Begitu pula menurut Amina Wadud. Menurut dia “setiap interpretasi berusaha menggambarkan maksud teks, namun serempak dengan itu, mengandung prior text berupa persepsi, keadaan, dan latar belakang dari orang yang membuat interpretasi” Prior teks semakin tidak dapat terhindarkan sebab ia merupakan bahasa dan konteks budaya di mana teks itu ditafsirkan. Oleh karenanya, bagi Wadud, tidak ada penafsiran Al-Qur’an yang sepenuhnya objektif, mengingat setiap penafsiran memuat sejumlah pilihan yang bersifat subjektif. Juga, tidak ada penafsiran yang bersifat definitif, pasti dan memutuskan.
Dengan demikian, apa yang dikatakan oleh Ricoeur bahwa makna orisinal tidak mungkin dijangkau ternyata tidak berseberangan dengan pandangan sebagian ulama tafsir seperti Hanafi, Wadud dan lainnya. Ternyata, beberapa ulama tafsir pun mengakui bahwa tidak mungkin mendapatkan makna orisinal dan objektif teks. dan yang penting lagi ternyata penafsiran Al-Qur’an pun tidak membatasi teks pada audiens aslinya.
Namun demikian, sungguhpun telah dapat diketahui posisi asbab al-nuzul jika didasarkan pada hermeneutika Ricoeur, analisis mengenai hermeneutika Ricoeur masih perlu dilanjutkan dengan menganalisis secara keseluruhan mengenai hermeneutikanya, untuk melihat lebih jauh bagaimana teori interpretasinya kalau diterapkan dalam penafsiran Al-Qur’an.
Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa memahami teks bagi Ricoeur pertama-tama adalah melakukan analisis kebahasaan, yang dilakukan dalam tahap semantik. Setelah itu dilakukan validasi atau refleksi dengan memperlakukan teks sebagai keutuhan dan keutuhan tunggal serta berdasarkan genre teks, dan kemudian berakhir sebagai pemahaman yang sophisticated (tahap eksistensial).
Mengenai tahap semantik atau analisis kebahasaan. Sebetulnya analisis semantik atau analisis kebahasaan telah banyak mewarnai penafsiran Al-Qur’an, terutama akhir-akhir ini. Minimal, ulama tafsir mulai memasukkan metode analisis bahasa walaupun tetap memakai prinsip-prinsip penafsiran konvensional. Misalnya Abu Zaid, sungguhpun ia tidak bergeser dalam hal memandang asbab al-nuzul (asbab al-nuzul dianggapnya penting, dengan formula baru), namun interpretasinya juga mensyaratkan untuk menganalisis kebahasaan teks. Demikian Hassan Hanafi, ia pun memandang analisis kebahasan teks sebagai hal yang tak dapat dinafikan (yang dilakukan pada tahap eidetis). Dalam hal ini, Toshihiko Izutsu bahkan melakukan pemahaman terhadap Al-Qur’an dengan pendekatan semantik, sebagai upaya untuk menyingkap weltanschauung Al-Qur’an.
Yang menjadi persoalan dari hermeneutika Ricoeur yang paling pokok adalah pada tahap refleksi atau tahap validasinya. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, menurut Ricoeur tidak ada pedoman untuk mempresupposisi makna dalam menghadapi surplus makna, itulah kenapa prosupposisi makna dilakukan dengan memaknai teks sebagai keutuhan (menganalisis teks dalam satu keseluruhan) dan keutuhan tunggal (yaitu sesuai dengan tipe atau gaya individual). Kalau mengikuti Ricoeur berarti dalam menpresuppisisi makna Al-Qur’an, penafsir melakukannya dengan memahami Al-Qur’an secara utuh sebagai sebuah karya dan berdasarkan genre dan tipologi Al-Qur’an.
Memaknai Al-Qur’an sebagai keutuhan dan keutuhan tunggal, dengan demikian berarti memaknai dalam keseluruhannya atau serupa dengan metode tahlili dalam penafsiran Al-Qur’an: memahami semua ayat dari surat al-Fatihah sampai al-Nas, utuh satu Al-Qur’an tanpa meninggalkan satu ayat pun.. Padahal, metode tahlili itu sendiri dalam penafsiran Al-Qur’an sudah mulai ditinggalkan karena dianggap tidak memadai dan kurang dapat mengakomodir kepentingan umat atau kurang efektif dalam menjawab problem kekinian umat, yaitu atas pertimbangan bahwa Al-Qur’an terdiri dari bagian-bagian yang sifatnya berbeda antara satu sama lain. Sebagian dialektis dan penuh keterangan, sebagian lagi puitis, ringkas dan langsung pada pokok persoalan, di mana menurut Arkoun bahwa wacana yang digunakan dalam Al-Qur’an bertipe legislatif, naratif, hikmah dan puitis. Artinya, kalau menafsirkan Al-Qur’an mengikuti model interpretasi Ricoeur berarti memahaminya sebagai sebuah karya yang memuat banyak tema pokok yang berbeda-beda. Padahal, Al-Qur’an diturunkan dalam waktu kurang lebih 23 tahun, yang tentu saja ayat-ayat yang turun pada awal kenabian berbeda dengan ayat-ayat yang turun ketika masa pembimbingan masyarakat. Pertanyaannya, bagaimana mungkin makna verbal akan dapat diperoleh dengan cara seperti itu. Bagi penyusun, model pemahaman yang berdasarkan keutuhan karya untuk Al-Qur’an yang mempunyai banyak tema pokok justru akan mempersulit penangkapan makna verbal. Presupposisi model tersebut tidak efektif untuk teks Al-Qur’an karena di dalamnya termuat banyak tema yang berbeda dan tidak sistematis, di mana tema tertentu hadir dalam tempat yang berlainan atau terpotong oleh tema lainnya. Di samping itu, kalau menurut Ricoeur teks harus dianalisis berdasarkan genrenya, lantas apa genre (teks) Al-Qur’an?
Sungguhpun Al-Qur’an merupakan teks, namun ia bukanlah sekedar sebuah tulisan dan dapat disamakan dengan teks sastera biasa. Al-Qur’an bukanlah teks “puisi” atau “prosa”, namun Al-Qur’an adalah Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an adalah mu’jizat di tengah-tengah masyarakat berperadaban sastra, maka tentu saja ia bersifat mengungguli teks-teks sastra yang ada dalam masyarakat Arab ketika itu. Tentu saja kesastraan Al-Qur’an adalah kesastraan sangat tinggi dan bersifat melampaui yang ada, karena dia sebagai mu’jizat yang mempunyai tujuan melemahkan. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Nasr Hamid Abu Zaid,
Al-Qur’an menolak dirinya sebagai “puisi” dan menolak Nabi saw disebut “penyair”. Penolakan ini harus dipahami dalam perspektif pertentangan antara “ideologi baru dengan “idiologi lama”. Puisi merupakan “ontologi bahasa Arab” (Diwan al-Arab), yaitu, dalam bahasa ulama kuno, satu-satunya pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat Arab). Ini berarti bahwa puisi merupakan “Teks” dalam kebudayaan pra-Islam. Meskipun teks Al-Qur’an memiliki kemiripan dengan puisi, dari segi esensinya sebagai komunikasi, namun dalam banyak hal ia berbeda dengan puisi. “Perbedaan” ini tampak jelas dalam proses dan hubungan komunikasi, siapa-siapa saja yang terlibat. Hubungan dalam wahyu agama bersifat vertikal; teks ‘diturunkan”, sementara hubungan dalam wahyu puisi bersifat horisontal . . . komunikasi yang terjadi dalam konteks puisi berjalan tanpa perantara.
Perbedaan antara Al-Qur’an dan puisi tidak hanya dalam proses komunikasi dan hubungan-hubungannya, tetapi juga dalam struktur teks itu sendiri. Al-Qur’an adalah teks yang tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori “puisi” maupun kategori “prosa” yang dikenal bangsa Arab sebelum Islam, apakah itu teks pidato, sajak para peramal ataupun teks perumpamaan. Al-Qur’an seperti yang dikatakan oleh Taha Husein, bukan puisi dan bukan prosa, tetapi dia adalah Al-Qur’an.
Dengan terdapatnya karakter yang demikian, mempresupposisi makna berdasarkan pada keutuhan dan keutuhan tunggal serta berdasarkan genrenya sebagaimana yang ditegaskan oleh Ricoeur kurang cocok pada teks yang mempunyai watak “unik” seperti Al-Qur’an. Namun, dengan watak seperti itu tidak kemudian berarti bahwa Al-Qur’an tidak boleh diinterpretasikan. Justru karena ia adalah kitab suci keagamaan maka kebutuhan akan interpretasi terhadapnya lebih besar. Terdapatnya karakter yang demikian tidak menjadi halangan untuk melakukan interpretasi karena bagaimanapun juga teks Al-Qur’an yang berdimensi manusiawi tetap harus diinterpretasikan. Jika demikian, lantas bagaimana cara menangkap maknanya?
Berkaitan dengan validasi tersebut, kalau menurut Ricoeur makna harus ditebak karena maksud pengarang di luar jangkauan (dengan cara melakukan pemahaman terhadap karya secara utuh dan berdasarkan tipe individual serta genrenya), maka pada Al-Qur’an terdapat Nabi yang mempunyai otoritas menerangkan ayat-ayat Al-Qur’an, yaitu dengan bentuk formal hadis. Adanya hadis inilah yang akan dapat mempermudah pemahaman terhadap Al-Qur’an. Dalam hal ini, surat an-Nisa ayat 80 menegaskan
من يطع الرسول فقد اطاع الله ومن تولى فما ارسلناك عليه حفيظا Selain itu, terdapat surah al-Nisa (4): al-Hasyr (59); 33: al-Anbiya (21); Ali ‘Imran (3):132; al-Anfal (8): 1, 20 dan 46 yang menegaskan hal serupa.
Di samping adanya watak Al-Qur’an yang demikian, pemahaman terhadap Al-Qur’an itu sendiri bukanlah sekedar pemahaman yang bermaksud menyelamatkan teks dari menghilangnya dalam waktu. Interpretasi Al-Qur’an bukanlah sekadar persoalan bagaimana menggali makna dan membuatnya terus “hangat” dalam dunia kekinian pembaca baru. Lebih dari itu, pemahaman terhadap Al-Qur’an adalah masalah kebutuhan, keharusan dan kenicayaan bagi umat Islam. Penafsir melakukan pemahaman terhadap Al-Qur’an justru karena kebutuhan dan pertanggungjawaban kepada Sang Pengarang (Allah). Pemahaman terhadap Al-Qur’an adalah menyangkut masalah keimanan, karena Al-Qur’an merupakan teks suci keagamaan yang di dalamnya memuat pesan bersifat “istimewa”, yang dimaksudkan oleh pengarangnya untuk direalisasikan. Pembaca bukanlah tidak mempunyai keterkaitan atau putus sama sekali dengan pengarang, namun pembaca justru melakukan pembacaan demi keterkaitannya dengan sang pengarang. Di samping itu, Al-Qur’an turun karena sengaja dan dimaksudkan untuk menurunkan pesan kepada manusia. Ada tujuan secara “terencana” dari pengarang dengan mendatangkan Al-Qur’an. Artinya, bukan hanya persoalan epistemologis an sich yang terjadi dalam interpretasi Al-Qur’an atau sekadar masalah bagaimana cara memahami. Lebih dari itu, yaitu masalah keimanan seseorang dan realisasi dari sebuah pemahaman, yang menyangkut pertanggungjawaban kelas tinggi kepada Sang Pengarang, di mana ada dosa dan pahala di dalamnya. Oleh karenanya, teori interpretasi Ricoeur (hermeneutikanya) yang di dalamnya termuat otonomi teks kurang dapat sepenuhnya landing dalam penafsiran Al-Qur’an. Bagi ayat-ayat semacam ruh, interpretasi Al-Qur’an mungkin untuk mengabaikan konteks atau asbab al-nuzulnya. Namun untuk ayat-ayat tertentu seperti ayat-ayat tentang khamr, halal-haram dan semacamnya, otonomi teks dari konteks sosial hirtorisnya akan menyulitkan pemahaman terhadap ayat, karena untuk dapat dipahami, ayat-ayat tersebut memerlukan asbab al-nuzul.
BAB V
PENUTUP
Kalau pada bab-bab sebelumnya telah dicoba menguraikan, menganalisis serta menjawab persoalan yang dinyatakan pada bab satu, maka pada bab ini akan dikemukakan kesimpulannya. Di samping itu juga akan dikemukakan saran-saran seperlunya.
A. Kesimpulan
Hermeneutika Ricoeur, yang memperlakukan teks sebagai entitas otonom: lepas dari maksud pengarang, kondisi sosial historis pengadaan teks dan audiens asli teks memang sukses merevisi kecenderungan reproduktif dalam hermeneutika Romantis. Hermeneutikanya juga berhasil mendamaikan perdebatan (hermeneutical despute) antara hermeneutika Teoretis dan hermeneutika Filosofis, namun hermeneutikanya kurang sepenuhnya dapat diterapkan dalam penafsiran Al-Qur’an, yaitu karena adanya sandungan berupa ayat-ayat bermateri hukum dalam Al-Qur’an yang tidak dapat dipahami hanya dari struktur teks semata, namun harus dipahami dengan menilik konteks sosial historis atau dengan bantuan asbab al-nuzulnya. Artinya, teori interpretasi teksnya Ricoeur (hermeneutika Ricoeur) yang memuat otonomi teks tidak dapat diterapkan pada semua ayat Al-Qur’an, melainkan ia hanya dapat landing pada sebagian ayat-ayat Al-Qur’an saja (ayat-ayat tertentu semacam ayat tentang ruh). Dengan demikian, asbab al-nuzul dalam penafsiran Al-Qur’an adalah tetap signifikan, yaitu signifikan untuk memahami ayat-ayat tertentu. Namun demikian, asbab al-nuzul dalam hal ini harus dipahami dengan pandangan dan prosedur baru, yaitu tidak sebagaimana ulama klasik yang hanya berfokus pada riwayat dan menggunakan metode tarjih atau mengkompromikan terdapatnya banyak riwayat), melainkan harus dipahami secara diakronik (mempertimbangkan faktor waktu) dan dilacak dengan tidak hanya berdasarkan pada riwayat an sich, melainkan juga berdasarkan pada struktur atau aspek kebahasaan teks.
Selain tersandung dengan ayat-ayat bermateri hukum atau ayat-ayat yang tidak dapat dipahami berdasarkan keumuman kata semata, tidak landingnya hermeneutika Ricoeur (ketidakmungkinan hermeneutika Ricoeur) dalam penafsiran Al-Qur’an juga dikarenakan tidak dapat diterapkannya model validasi atau presupposisi makna (dalam interpretasi teksnya Ricoeur) yang didasarkan pada keutuhan dan keutuhan tunggal serta genre teks, yaitu karena Al-Qur’an bukanlah “puisi” atau “prosa’ sebagaimana teks-teks profan pada umumnya, juga karena Al-Qur’an terdiri dari bagian-bagian yang sifatnya berbeda antara satu sama lain: sebagiannya dialektis dan penuh keterangan, sebagian lagi puitis, ringkas dan langsung pada pokok persoalan. Namun demikian, sungguhpun hermeneutika Ricoeur (yang memuat otonomi teks) tidak sepenuhnya berhasil mengeliminir asbab al-nuzul, namun upayanya “menghangatkan” teks dengan memperlebar jangkauan teks (tidak menghentikannya pada audiens asli teks) sesungguhnya selaras dengan “semangat” yang ada dalam penafsirkan Al-Qur’an yaitu semangat menjadikan Al-Qur’an tetap salih li kulli zaman wa makan.
B. Saran-saran
Dari kajian tentang posisi asbab al-nuzul dengan menggunakan metode hermeneutika Paul Ricoeur, perlu diajukan saran-saran sebagai berikut:
1. Pemikiran tentang ilmu-ilmu penafsiran yang tercakup dalam ulumul Qur’an yang telah dihasilkan oleh ulama sejauh ini, akibat dari berkembangnya zaman, banyak yang tidak lagi relevan dan tidak lagi memadai. Di samping itu, kajian terhadap ilmu-ilmu Al-Qur’an selama ini cenderung bersifat normatif-deskriptif. Oleh karena itu, dengan terdapatnya pemikiran-pemikiran dan metode-metode baru dalam analisis teks, peminat studi tafsir perlu melakukan kajian terhadap ilmu-ilmu Al-Qur’an tersebut secara lebih kreatif-analitis-kritis (diperlukan kepekaan intelektual) karena banyak dari pemikiran lama yang ternyata tidak lagi memadai.
2. Dalam penafsiran Al-Qur’an, kajian yang bersifat metodologis, terutama studi mengenai hermeneutika yang terfokus pada pemikiran tokoh belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, para peminat studi tafsir perlu memarakkan kajian metodologis penafsiran Al-Qur’an dengan melakukan kajian terhadap metode analitis teks terbaru, terlebih kajian terhadap gagasan hermeneutika tokoh tertentu dan pemikiran tentang hermeneutika terbaru.
3. Data-data tentang asbab al-nuzul dan hermeneutika yang terdapat di perpustakaan pusat IAIN Sunan Kalijaga kurang memadai. Oleh karena itu, diperlukan upaya penambahan buku untuk membantu memperlancar eksperimentasi intelektual.
Demikianlah kesimpulan yang dapat dicapai dari studi ini. Penyusun sangat menyadari bahwa hasil yang diperoleh dari penelitian ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penyusun mempersilakan peneliti berikutnya untuk menfalsifikasi kesimpulan-kesimpulan yang telah penyusun peroleh saat ini. Karena, “kebenaran hari ini hanyalah sebuah kealpaan di hari esok”.

0 Comment