13 Mei 2012

1. Pesan-Pesan Dakwah
Pesan-pesan dakwah adalah pernyataan-pernyataan yang terdapat dan bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah atau sumber lain yang merupakan interpretasi dari kedua sumber tersebut yang berupa ajaran Islam.
Dalam konteks penelitian ini pesan-pesan dakwah yang dimaksud adalah pernyataan-pernyataan yang terdapat dalam novel “Kasidah Lereng Bukit” karya Achmad Munif mengandung ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang bertema keimanan, hukum Islam dan akhlak yang bertujuan amar ma’ruf nahi munkar

2. Novel Kasidah Lereng Bukit

Novel adalah salah satu bentuk karya sastra, lebih luas dari cerpen atau cerita pendek lebih sempit dari roman. Karangan ini menceritakan peristiwa tertentu dalam kehidupan manusia, suatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan orang-orang. Keluarbiasaannya terletak pada konflik, pertikaian yang meninggalkan pergolakan jiwa tokoh-tokohnya, sehingga tidak jarang mampu mengubah jalan hidup dari tokoh-tokoh dalam novel tersebut.

Novel “Kasidah Lereng Bukit” karya Achmad Munif berarti yang ada, yang terdapat atau yang muncul dalam novel yang berjudul “Kasidah Lereng Bukit” yang ditulis oleh sastrawan Islam yang bernama Achmad Munif.

Penegasan istilah dimuka dapat merumuskan maksud judul secara keseluruhan yaitu penelitian terhadap novel “Kasidah Lereng Bukit” karya Achmad Munif yang di dalamnya tertuang pesan-pesan dakwah yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang dibatasi pada tema keimanan dan akhlak yang bertujuan amar ma’ruf nahi munkar.

B. Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama moral, agama yang mementingkan isi atau kualitas seseorang bukan penampilan saja serta membentuk jiwa manusia dengan nilai-nilai moral, bukan kerendahan. Salah satu nilai moral yang di ajarkan Islam ialah berdakwah dijalan Allah dengan bijaksana serta dengan ajaran yang baik. Sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 125:

أدع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتى هي أحسن, إن ربك هو أعلم بمن ضل عن سبيله وهو أعلم بالمهتدين.

Artinya; Serulah kepada jalan tuhanmu dengan hikmah dan nasehat baik dan bertukar pikiran dengan cara yang lebih baik, sesungguhnya tuhanmu lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya, dan dialah yang mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.

Dakwah merupakan konsep yang sepenuhnya mengandung pengertian menyeru kepada yang baik, yaitu baik menurut Islam. Pengertian dakwah sebagaimana dipahami dalam surat an-Nahl ayat 125 mempunyai makna yang luas dan mendalam, begitu juga pelbagai definisi yang telah dibaca tentang pengertian-pengertian dakwah. Jelas bahwa dakwah adalah tugas agama yang luhur dan mulia karena merupakan suatu upaya dan usaha merubah manusia dari suatu kondisi yang kurang baik kepada kondisi yang lebih baik.

Kerja dakwah adalah kerja menggarami kehidupan manusia dengan nilai-nilai iman dan taqwa untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Kerja ini tidak akan pernah selesai selama kehidupan dunia masih berlangsung, selama itu umat berkewajiban menyampaikan pesan-pesan kenabian dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun coraknya. Isi pesan dakwah pada hakekatnya merupakan tuntunan abadi manusia sepanjang masa.

Di tengah pembangunan masa kini yang banyak membawa perkembangan baru dalam bidang agama, sosial, sains dan teknologi akan membawa pengaruh semakin berkembangnya sifat-sifat konsumerisme, materialisme beserta pendangkalan rohani dan moral, dakwah senantiasa dituntut untuk terus berupaya merubah suatu kondisi negatif ke kondisi yang positif atau perubahan dari kondisi yang sudah positif menuju kondisi yang lebih positif lagi, tentu saja dengan penuh hikmah dan mau’idhoh hasanah.

Dalam konsep Islam, setiap muslim sesungguhnya adalah juru dakwah yang mengemban tugas untuk menjadi teladan moral ditengah masyarakat. Tugas dakwah yang demikian berat dan luhur itu mencakup pada dua aspek yaitu Amar makruf (mengajak kepada kebaikan) dan nahi munkar (mencegah kemunkaran). Jika seluruh muslim menyadari hal ini selayaknya krisis moral yang merebak dikalangan masyarakat sedikit demi sedikit akan tereliminasi.

Pesan-pesan yang disampaikan da’i kepada sasaran dakwah (mad’u) dapat disebarkan melalui media. Pada masa permulaan Islam, Rasulullah dan Sahabatnya menggunakan media oral dan kontak langsung. Dengan kemajuan sains dan teknologi yang diperoleh pada saat ini, pesan-pesan dakwah yang disampaikan lewat media radio, televisi, film, surat kabar, teater, novel bahkan melalui jaringan internet. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Ibrahim ayat 4:

وما أرسلنا من رسول الا بلسان قومه ليبين لهم .

Artinya: “Kami tidak mengutus Rasul kecuali dengan bahasa kaumnya untuk menjelaskan kepada mereka”.

Media tulis merupakan media yang tetap dibutuhkan pada saat ini dan masa yang akan datang, melalui media tulis da’i dapat menyebarkan pesan keagamaan dan melaksanakan islah atau perbaikan serta amar ma’ruf dan nahi munkar.

Salah satu batasan sastra adalah segala sesuatu yang tertulis. Hubungannya dengan dakwah sastra dapat dijadikan media dakwah secara tertulis. Sastra disamping sebagai alat penyebaran ideologi, sastra juga dianggap mampu memberikan pengalaman hidup dan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur bagi pembacanya. Pada akhirnya sastra yang baik adalah sastra yang religius. Oleh karena itu novel sebagai dakwah Islam tidak hanya mengantarkan para pembaca kepada pemahaman yang terbatas pada bentuk ekspresi keagamaan yang formal yang berbau verbalisme saja, akan tetapi juga meliputi keseluruhan sikap dan upaya manusia mempertanyakan diri dan hakekat dirinya. Dengan demikian novel sebagai karya sastra merupakan media dakwah yang relevan untuk saat ini dimana manusia mulai banyak yang terkikis nilai-nilai kemanusiaan dan melupakan tuhannya.

Berbicara masalah dakwah Islam Azyumardi Azra dalam bukunya yang berjudul Konteks Berteologi di Indonesia mengatakan bahwa dakwah dalam Islam juga memajukan pentingnya informasi bagi kaum Muslimin. Setiap kaum Muslimin dan Muslimat berkewajiban menyampaikan informasi yang benar dan akurat, seperti sabda Nabi Saw (ballighuu ‘anni Walau aayah) sampaikan walaupun hanya satu ayat. Dakwah sebagai sarana untuk penyebaran informasi kebenaran tentu saja tidak terbatas pada medium lisan, tetapi juga medium tulisan dan medium-medium informasi lainnya.

Medium tulisan merupakan salah satu metode dakwah yang sangat efisien di zaman sekarang ini, sehingga umat Islam tentunya harus mampu berdakwah lewat surat kabar, majalah, buku, jurnal, sastra dan lain-lain.

Keistimewaan dakwah bil-Qolam (media cetak, buku, jurnal dan sastra) adalah obyek dakwah dan cakupannya lebih banyak dan luas, karena pesan-pesan dakwah dan informasi Islam yang dituliskan dapat dibaca oleh ratusan, ribuan bahkan ratusan ribu pembaca dalam waktu yang serempak dan bersamaan. Dakwah Bil-Qolam juga dapat mempengaruhi orang secara kuat.

Suatu karya sastra tidak terlepas dari penciptanya dan pencipta (pengarang) karya sastra akan dipengaruhi oleh struktur sosial dimana ia berada.

Keberadaan suatu novel tidak bisa lepas dari latar belakang yang dimiliki pengarang menyangkut pendidikan, pengetahuan, pengalaman pribadi, agama dan lain-lain sehingga suatu karya sastra yang dihasilkannya memiliki khas tersendiri Achmad Munif mampu dengan akrab menyapa pembaca melalui tulisan-tulisannya, dalam karyanya penulis mampu mempermainkan emosi, menarik pembaca melalui tokoh cerita.

Kelebihan Achmad Munif mampu mengangkat realitas yang ada disekitarnya tanpa berpresensi menganggap diri sendiri sebagai “yang paling benar”. Realita kehidupan dalam novel “Kasidah Lereng Bukit” diangkat apa adanya, dibiarkan mengalir dengan segala pernik kehidupan dan watak manusia yang dilingkupi. Pertarungan antara nilai-nilai baik dan buruk, bermoral dan amoral, idealis dan pragmatis dianggap sebagai sebuah kenyataan, seperti dalam novel “ Kasidah Lereng Bukit”. Sentuhan kehidupan keluarga dan masyarakat digambarkan secara menarik melalui tokoh Pak Hadhori beserta keluarga dan Gus Mu’ali beserta keluarga.

Menurut WJS. Purwadarminta, pesan adalah: pesan, suruhan (perintah, nasehat, permintaan, amanat) yang harus dilakukan atau disampaikan kepada orang lain. Sedangkan menurut Onong Uchjana Effendi bahwa massage yaitu pesan yang merupkan seperangkat lambang bermakna yang dilambangkan oleh komunikator. Pesan-pesan komunikator disampaikan melalui simbol-simbol yang bermakna kepada penerima pesan.

Menurut AW. Wijaya bahwa pesan adalah keseluruhan dari apa yang disampaikan oleh komunikator. Pesan seharusnya mempunyai inti (thema) sebagai pengarah di dalam usaha mencapai perubahan sikap dan tingkah laku komunikan. Pesan dapat disampaikan secara panjang lebar, namun yang perlu diperhatikan dan diarahkan adalah tujuan akhir dari proses komunikasi.

Pada hakekatnya, pesan-pesan yang disampaikan dalam proses dakwah bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadits. Statement ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Toto Tasmara bahwa pesan dakwah adalah semua pernyataan yang bersumberkan al-Qur’an dan as-Sunnah baik tertulis atau lisan dengan pesan-pesan (risalah).

b. Unsur-Unsur Pesan
Menurut Onong Uchjana Effendi, bahwa pesan komunikasi terdiri atas isi pesan (The Content of Massage) dan lambang (simbol). Maksud dari pada isi pesan di sini adalah materi-materi yang disampaikan oleh komunikator (da’i) kepada masyarakat (komunikan) yang berupa bahasa. Isi pesan dalam skripsi ini tentu saja berupa pernyataan tertulis sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadits.

c. Pesan-pesan dakwah
Pesan-pesan dakwah adalah segala sesuatu yang harus disampaikan oleh subyek kepada obyek dakwah, yaitu keseluruhan ajaran Islam yang ada dalam kitabullah maupun dalam sunnah Rasul-Nya. Pada dasarnya isi pesan dakwah adalah materi dakwah yang berisi ajaran Islam. Ajaran-ajaran Islam tersebut dibagi menjadi tiga yaitu: masalah keimanan, masalah hukum Islam dan masalah akhlak.

1) Masalah Keimanan (aqidah)
Aqidah dalam Islam beritikad batiniah yang mencakup masalah-masalah yang erat hubungannya dengan rukun iman. Di bidang aqidah ini pembahasannya bukan saja tertuju pada masalah-masalah yang wajib diimani, akan tetapi materi dakwah juga meliputi masalah-masalah yang dilarang sebagai lawannya misalnya syirik atau menyekutukan Tuhan, ingkar dengan adanya Tuhan dan sebagainya. Dalam masalah aqidah ini antara lain penulis akan membahas mengenai persoalan sosial keagamaan yang merupakan setting sosiologis dari novel “Kasidah Lereng Bukit” antara lain tentang larangan percaya kepada dukun

Salah satu perbuatan yang membawa manusia syirik atau menyekutukan Allah adalah percaya kepada dukun. Allah SWT telah memperingatkan hambanya bahwa mendatangi dukun dan menanyakan sesuatu kepadanya adalah dosa yang paling besar walaupun secara kebetulan benar terjadi karena hal-hal tersebut adalah khusus ilmu Allah saja.

2) Masalah Hukum Islam (syari’at)
Hukum-hukum ini merupakan peraturan-peraturan atau sistem yang disyari’atkan Allah SWT untuk umat manusia, baik secara terperinci maupun pokok-pokoknya saja. Hukum-hukum ini dalam Islam meliputi ibadah, Hukum keluarga atau al-Ahwalusyakhsyiyah, hukum ekonomi atau al-Mu’amalatul maaliyah, hukum pidana dan hukum ketatanegaraan. Dalam novel “Kasidah Lereng Bukit” masalah hukum Islam meliputi: Shalat

Shalat adalah ibadah yang ditetapkan Tuhan sebagai pengejawantahan atau aplikasi dari keyakinan. Karena itu shalat telah menjadi kebutuhan bukannya beban atau kewajiban. Manusia adalah makhluk yang memiliki naluri cemas dan mengharap. Ia selalu membutuhkan sandaran kepada Allah terutama pada saat cemas ketika berharap bukan bersandar pada makhluk karena bersandar kepada makhluk tidak akan membuahkan hasil yang maksimal.

3) Masalah Akhlak
Masalah akhlak dalam aktifitas dakwah (sebagai materi dakwah) merupakan pelengkap saja, yakni untuk melengkapi keimanan dan keislaman seseorang. Meskipun akhlak ini berfungsi sebagai pelengkap, bukan berarti masalah akhlak kurang penting dibandingkan dengan keimanan dan keislaman, akan tetapi akhlak adalah sebagai penyempurnaan keimanan dan keislaman. Sebab Rasulullah saw sendiri pernah bersabda yang artinya: “aku (Muhammad) diutus oleh Allah di dunia ini hanyalah untuk menyempurnakan akhlak”. (Hadits sohih) aplikasi akhlak dalam novel “Kasidah Lereng Bukit” meliputi :

1) Menjaga Keharmonisan Rumah Tangga
Keluarga merupakan amanah dan rahmat dari Allah yang diberikan kepada makhluknya. Akan tetapi menjaga keharmonisan dalam bahtera rumah tangga bukanlah suatu hal yang mudah untuk dijalani. Jika melihat perjalanan rumah tangga Rasulullah SAW dalam membina rumah tangga ada tiga hal yang dilakukan Rasulullah yaitu kesetiaan, kesabaran dan keadilan Rasulullah SAW. Tiga hal itulah yang paling dominan dilakukan Rasulullah sebagai acuan keberhasilannya dalam mengarungi rumah tangga.

2) Mengucap Shalawat dan Salam
Shalawat dan salam disamping bukti penghormatan umat kepada Nabi juga untuk kebaikan umat itu sendiri. Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk mengucapkan shalawat dan salam kepada nabi, hal ini dianjurkan bukan karena Nabi membutuhkannya. Sebab tanpa do’a dari siapapun beliau pasti akan selamat dan mendapatkan tempat yang paling mulia disisi Allah SWT

3) Zikir
Zikir adalah mengingat, yaitu mengingat Allah. Menjadikan Allah sebagai raja di hatinya. Dalam kondisi dan situasi bagaimanapun manusia mengingat Tuhannya bukan hanya ketika shalat saja akan tetapi dimanapun ia berada ia selalu mengingat Tuhannya karena orang yang selalu berzikir di kala melakukan aktivitas, akan menimbulkan ketenangan dan keterikatan batin yang selalu bersandarkan pada kuasa Tuhannya. Keterlibatan Allah dijadikan sebagai penolong dan pelindung. Tuhan adalah satu dan manusia yang diciptakan terpadu dan menyatu baik dalam pikir maupun dalam zikir serta perilaku sehari-hari.

4) Tobat
Orang yang taubat kepada Allah adalah orang yang kembali kepada jalan Allah. Kembali dari sifat tercela menuju sifat-sifat terpuji, kembali dari larangan Allah menuju perintah-Nya, kembali dari maksiat menuju taat, kembali dari segala yang dibenci Allah menuju perbuatan yang diredhai-Nya, kembali dari yang bertentangan menuju yang menyenangkan, kembali kepada Allah setelah meninggalkan-Nya dan kembali taat setelah menentang-Nya.

5) Do’a dan Ikhtiar atau usaha
Do’a merupakan hal yang selalu dipanjatkan makhluk terhadap Tuhannya karena do’a adalah sarana untuk meraih suatu kebutuhan. Akan tetapi dalam meraih suatu yang diinginkan bukan hanya sebatas do’a, tanpa ketabahan dalam usaha, belum menjadi jaminan terpenuhinya harapan oleh karena itu do’a dan usaha merupakan dua jalan yang bergandengan atau seiring untuk dijalankan

6) Tawadhu’
Tawadhu’ adalah sifat rendah hati lawan dari sombong dan takabur. Orang yang rendah hati tidak memandang dirinya lebih dari orang lain, ia sadar bahwa apapun yang ia miliki di dunia ini adalah milik Allah, sementara orang yang sombong menghargai dirinya secara berlebihan ia tidak sadar apa yang ia miliki merupakan titipan dari Allah dan suatu saat akan diminta pertanggung jawaban dari apa yang ia miliki.

7) Prasangka
Prasangka baik merupakan ajaran moral Islam yaitu meniadakan prasangka buruk terhadap siapapun.
  Menuntut Ilmu
Ilmu pengetahuan merupakan makanan rohani bagi manusia, disamping memikirkan keperluan jasmani, sebaiknya juga harus berpikir tentang makanan rohani dan spiritualnya. Islam mewajibkan kepada umatnya baik pria maupun wanita untuk menuntut ilmu pengetahuan. Nabi bersabda “menuntut ilmu wajib bagi setiap Muslim”

2. Tinjauan Novel Menurut Teori Sastra

a) Pengertian Novel
Kata novel berasal dari bahasa latin “novelus” yang diturunkan pula dari kata “novies” yang berarti baru. Di katakan baru karena bila dibandingkan dengan jenis sastra yang lain seperti puisi, drama dan lain-lain, maka jenis novel ini muncul kemudian.

Dalam buku “The Advanced Learner’s Dictionary of Current English” sebagaimana dikutip oleh Henry Guntur Tarigan dalam buku Prinsip-prinsip Dasar Sastra, dapat kita peroleh keterangan bahwa novel adalah suatu cerita dengan alur yang cukup panjang mengisi satu buku atau lebih, yang menggarap kehidupan pria dan wanita yang bersifat imajinatif. Meskipun novel merupakan karya sastra yang imajinantif, rekaan atau khayalan harus berdasarkan kenyataan. Dalam cerita rekaan ini tentu saja bukan kenyataan yang dilihat saban hari. Jika sebuah karangan mengangkat begitu saja kenyataan sehari-hari atau pengalaman atau yang dialami, ia bukan sebuah cerita rekaan atau fiksi, namun bisa dikatakan sebuah laporan jurnalistik, deskriptif atau eksposisi ilmiah atau semacam fotografi. Rasa seni atau sense of art dari sang pengarang yang sebenarnya membuat sebuah kenyataan menjadi kisah yang menarik dalam fiksi.

“Kenyataan” yang dilihat sehari menjadi berbeda dengan “kenyataan” yang ada dalam fiksi. Fiksi adalah sebuah ide atau gagasan, sementara kenyataan empiris adalah fakta fisik. “Kenyataan fungsional” tak dapat mengacu pada kenyataan empiris atau faktual. Nama, peristiwa, atau sebuah tempat kejadian dalam fiksi tidak dapat dianggap atau dijustifikasi dengan nama dan peristiwa di suatu tempat walau sama sekali serupa.

b) Sastra Dalam Perspektif Islam
Bangsa Arab sebelum lahirnya Islam sangat terkenal dengan kepandaiannya dalam bidang sastra terutama dalam sastra bahasa dan syair. Ditengah masyarakat seperti itulah Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW untuk mengembangkan dakwah Islam. Oleh sebab itu Allah menurunkan Mukjizat kepada Nabi Muhammad sesuai dengan keadaan masyarakat yang akan dihadapi pada masa itu. Diantara Mukjizat yang terpenting adalah al-Qur’an. Jika dipandang dari sudut kesusastraan Arab al-Qur’an sangat indah gaya bahasanya.

Nilai sastra yang dikandung al-Qur’an tidak lain dari pembawa kesempurnaannya. Tiap-tiap yang sempurna mengandung tiga nilai yaitu: benar, baik dan bagus, al-Qur’an adalah:

1) Benar sesuai dengan setiap perkara yang diberitakan-Nya dan petunjuk-Nya, suruhan dan larangan-Nya dengan fitrah manusia
2) Baik ternyata membawa manusia pada akhlak yang tinggi.
3) Bagus pada nilai sastranya.

Nilai sastra yang terkandung dalam al-Qur’an menunjukkan bahwa al-Qur’an telah membukakan pintu dan jalan bagi kesenian. Agama Islam tidak memandang sebelah mata terhadap keindahan. Keindahan merupakan faktor utama dalam kesenian. Dalam Islam keindahan dan kesenian adalah lambang dari mahabbah atau kecintaan Muslim kepada Allah SWT.

Ekspresi simbolis dari karya-karya Muslim seperti kesenian, kesusasteraan dan hasil budaya, hanya pada dasarnya juga mencerminkan pelaksanaan nilai-nilai sentral Islam melalui prinsip Tazkiyah, yaitu usaha rasional manusia beriman yang orientasi filosofinya adalah pusat perhatian masyarakat atau humanisme teosentris atau pusat perhatian manusia untuk selalu membersihkan diri atau meningkatkan kualitas rohaninya secara terus menerus, seperti sastrawan terkenal Tofik Ismail karya sastranya merupakan “Sajadah panjang yang diarahkan kekuburannya”. Ini berarti penciptaan karya seni merupakan ekspresi yang tujuannya kepada Tuhan. Demikian juga halnya dengan sastrawan Almarhum Ahmad Sadali, karya lukisnya dianggap perwujudan takbir, tahmid dan rasa syukurnya kepada Tuhan.
Agama Islam memberikan batasan terhadap seni yang diperbolehkan dan yang dilarang atau diharamkan. Sesuatu yang diharamkan dalam Islam, pada hakekatnya disebutkan oleh salah satu dari lima unsur penyebab yaitu: merusak agama, merusak jiwa, merusak kehormatan, merusak harta benda dan merusak keturunan.

Jika ditinjau dari penyebab haramnya sesuatu, apakah kesenian itu termasuk hukumnya haram atau tidak. Para ahli hukum memberikan pendapat sebagai berikut:

H.M Toha Yahya Umar Mengatakan bahwa :
Hukum seni musik, tari dan suara dalam Islam adalah mubah (boleh) selama tidak disertai dengan hal-hal haram. Dan jika disertai dengan hal-hal yang haram maka hukumnya menjadi haram.”
Menurut Imam Malik:
Bahwa bernyanyi dengan Ma’azif (alat-alat musik) tidak haram.
Sedangkan Abdullah Bin Nuh mengatakan :
Islam memang ada yang menghukumi kesenian tertentu bersifat haram, kesenian itu diharamkan apabila seni suara dan seni musik terikat pada al-Malahi (membuat orang lupa kepada Allah), al-Khamer (minum alkohol), al-Qoinat (penyanyi cabul), dan seni rupa (gambar, patung) yang ada hubungannya dengan jiwa kemusyrikan dan penyembahan berhala.

Sidi Gazalba memberikan kesimpulan tentang konsep kesenian dalam Islam yaitu:
1) Naluri asasi manusia yang mengarah kepada keselamatan dan kesenangan.
2) Islam diturunkan untuk menumbuh dan memberi petunjuk kepada manusia, bagaimana menunjukkan selamat di dunia dan di akherat.
3) Kesenian adalah jawaban dari fitrah manusia yang memerlukan kesenangan, karena itu kesenian halal hukumnya bahkan dalam perkara tertentu dianjurkan karena seni lahir dari sisi terdalam manusia dan didorong oleh naluri manusia atau fitrah yang dianugerahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya.
4) Seni wajib mengandung pesan moral sehingga kesenangan yang diusahakan tidak merusak keselamatan.
5) Seni tidak boleh melewati batas, ia mesti takluk kepada agama.
Pada prinsipnya pendapat-pendapat tersebut mengatakan bahwa kesenian termasuk sastra diperbolehkan jika tidak bertentangan dengan agama Islam.

c) Novel dalam Karya Sastra
Setiap novel atau karya sastra mempunyai dua segi, pertama: segi Ekstrinsik (extrinsic) yaitu hal yang mempengaruhi cipta sastra dari luar kedua: segi Intrinsik (intrinsic) yaitu hal-hal yang membangun cipta dari dalam. yang termasuk segi ekstrinsik cipta sastra yakni faktor-faktor sosiologi, ideologi, politik, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain yang turut berperan dalam penciptaannya. Unsur ekstrinsik itu merupakan latar belakang dan informasi bagi cipta dan tidak dapat diabaikan karena mempunyai nilai, arti dan pengaruhnya, walaupun penting unsur-unsur ekstrinsik itu tidak menjadi dasar eksistensi sebuah karya sastra.

Eksistensi cipta terletak pada unsur intrinsiknya tanpa mengabaikan unsur ekstrinsiknya, menurut M. Saleh Sa’ad, unsur-unsur intrinsik cipta sastra yaitu: faktor dalam yang aktif berperan sehingga memungkinkan sebuah karangan menjadi cipta rasa.
Unsur-unsur intrinsik cerita rekaan adalah tema, tokoh dan perwatakan, alur atau plot, latar, teknik penceritaan dan diksi.

1) Tema
Menurut Boen S.Oemarjati, tema adalah persoalan yang telah berhasil menduduki tempat khas dalam pemikiran pengarang, dalam tema tersirat tujuan cerita. M. Sa’ad mengatakan tema adalah suatu yang menjadi persoalan bagi pengarang, didalamnya terbayang pandangan hidup dan cita pengarang. Persoalan inilah yang dihidangkan pengarang, kadang-kadang sering juga dengan pemecahannya sekaligus.

Menurut Stanton dan Kenny tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita.
Tema sebuah cipta sastra biasanya tersembunyi, tersirat dalam seluruh cerita dalam semua unsurnya. Pengarang menggunakan dialog, jalan pikiran serta perasaan tokoh-tokohnya, kejadian-kejadian dan latar cerita untuk menyarankan dan mempertegas tema. Pembaca baru dapat merasakan dan mengetahui tema dengan penafsiran kesan yang timbul setelah pembaca cerita itu seluruhnya. Tetapi ada pula pengarang yang terang-terang menyampaikan tema cerita.

Tema terbagi menjadi dua yaitu: tema pokok dan anak tema, tema utama atau mayor tema yaitu tema yang penting dan dominan yang merasuki seluruh cerita. Dan anak tema, tema bawahan atau minor tema yang berfungsi sebagai penyokong dan menonjolkan tema utama, menghidupkan suasana cerita atau dapat juga dijadikan sebagai latar belakang cerita. Tema bawah biasanya lebih dari satu, sedangkan tema utama tidak mungkin lebih dari satu.

Untuk menentukan tema pokok dan tema bawahan harus ditentukan dulu tokoh utama dan tokoh pembantu, kemudian mencari dan menentukan masalah mana yang paling penting dan kuat yang dihadapi tokoh utama. Masalah itulah yang dinamakan tema utama atau pokok tema sedang tema lainnya termasuk tema bawah atau anak tema.

2) Tokoh dan Perwatakan
Tokoh cerita (character), menurut Abraham adalah orang-orang yang ditampilkan dalam karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditampilkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Istilah tokoh menunjukkan pada orangnya atau pelaku cerita. Sedangkan penokohan dan karakteristik sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan menunjukkan pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak tertentu dalam sebuah cerita. Jones mengatakan penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.
Dari segi peranan ada tokoh peran, tokoh pembantu dan tokoh tambahan. Tokoh utama mungkin saja lebih dari satu tetapi mempunyai peran yang tidak sama, yang satu lebih penting dari yang lainnya. Tokoh utama yang paling penting dinamakan tokoh inti atau tokoh pusat.

Dani N. Tado menggunakan istilah protagonis yaitu peran atau pemain yang pertama (utama) yang mendukung ide prinsipil dalam cerita dan biasanya mempunyai rencana dan maksud tertentu. Antagonis berarti peran lawan peran kedua yang biasanya menentang dan berusaha menggagalkan rencana dan keinginan pemain utama. Ada lagi istilah trigonis yaitu pemain ketiga biasanya menjadi tokoh penengah antara pemain utama dan kedua.

3) Alur atau Plot
Alur atau plot adalah urutan peristiwa yang bersambung-sambung dalam sebuah cerita berdasarkan sebab akibat. Hukum sebab akibat atau kausal merupakan unsur penting dalam sebuah alur, karena tanpa hubungan ini jalinan peristiwa tidak bisa dinamakan alur.
Alur memiliki elemen-elemen sebagai berikut

a) Pengenalan
b) Timbulnya konflik
c) Konflik memuncak
d) Klimak atau puncak
e) Pemecahan soal.

Dari segi kualitas alur ada dua macam yaitu alur erat dimana hubungan antar peristiwa-peristiwa saling padu dan kompak, saling mengait dan mempengaruhi. Dan alur longgar atau renggang dimana hubungan antar peristiwa tidak begitu padu dan tidak mempunyai hubungan langsung dengan pokok cerita .

Dari segi urutan pengisahan alur maju atau alur progresif, yaitu cerita dibuka dari awal cerita dan ditutup akhir cerita. Dan alur mundur atau alur regresif dimana cerita bukan dari awal peristiwa tetapi dari akhir peristiwa. Ada juga alur gabungan yang ceritanya dimulai dari pertengahan peristiwa.

Dari segi tegangan ada empat yaitu (a) alur menanjak atau klimaks, cerita dimulai dari cerita biasa dan kemudian makin menonjol atau tegang. (b) alur menurun atau anti klimaks, yang dimulai dengan peristiwa yang paling tegang kemudian mengendor dan diakhiri dengan peristiwa yang biasa saja. (c) alur primidal, puncak klimaks tidak terdapat di awal atau di akhir cerita tetapi pada pertengahan.

4) Latar atau Setting
MJ. Murphy berpendapat bahwa latar atau setting adalah latar belakang para tokoh atau pelaku. Dalam berapa cerita latar diutamakan, sedangkan dalam berapa yang lainnya kurang diutamakan. Latar dapat dikatakan dengan tempat dan waktu dimana para tokoh hidup dan bergerak. Kedua-duanya mempengaruhi watak atau kepribadian, tingkah laku dan cara berpikir para tokoh.
Menurut Jakub Sumardjo, latar atau setting adalah tempat bermain sebuah cerita. Setting disini bukan hanya terbatas pada pengertian geografis tetapi juga antropologis. Dikalangan masyarakat mana, zaman apa, dalam suasana apa cerita itu berlangsung adalah setting.

Ada dua jenis latar yaitu:
a) Latar netral (Neutral Setting) yang tidak memiliki dan tidak mendeskripsikan sifat khas tertentu yang menonjol dalam latar, sifat yang terdapat dalam sebuah latar tersebut lebih bersifat umum.
b) Latar tripikal yang memiliki dan menonjolkan sifat khas latar tertentu, baik menyangkut unsur tempat, waktu maupun sosial.

Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok yaitu tempat, waktu dan sosial. Unsur tempat menunjukkan pada lokasi terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah fiksi. Latar waktu yang berhubungan dengan “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Sedangkan latar sosial menunjukkan pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan pada karya fiksi mencakup kebiasaan hidup, cara berfikir, bersikap dan lain-lain.

5) Teknik Penceritaan
Sebelum menulis pengarang terlebih dahulu siapa yang menjadi pusat cerita, siapa yang menjadi subyeknya. Menentukan pusat cerita atau pusat pengisahan berarti menentukan siapakah pertalian atau relasi antara pengarang dengan ceritanya. Relasi inilah menurut Rene Wellek yang menjadi masalah pokok dari pusat pengisahan.

Ditinjau dari pusat pengisahan ada tiga macam metode cerita yaitu:
a) Sudut pandang pengisahan orang ketiga “dia” pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang personal ketiga gaya “dia”, “ia”, “mereka” narator adalah seorang yang berada diluar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita yang menyebutkan nama atau kata gantinya: ia, dia, mereka.
b) Sudut pandang personal pertama: “aku” dalam pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang personal pertama, (first person point of view), “aku” jadi gaya “aku” narator adalah seorang yang ikut terlibat dalam sebuah cerita. Ia adalah tokoh yang mengisahkan kesadaran dirinya (self consciousness), mengisahkan peristiwa dan tindakan yang, diketahui, dilihat, didengar, dialami dan dirasakan serta sikap terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca.
c) Sudut pandang campuran “aku” dan “dia” pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang lain untuk sebuah cerita yang ditulisnya. Semuanya tergantung dari kemauan dan kreativitas pengarang.

6) Diksi atau Pilihan Kata
Diksi berhubungan erat dengan unsur-unsur intrinsik lainnya, seperti tema atau isi, tokoh dan perwatakan, latar dan teknik penceritaan. Diksi ditentukan oleh isi atau tema yang akan disampaikan, diksi juga dipengaruhi dan ditentukan oleh tokoh dan perwatakan serta latar atau tempat terjadinya cerita juga sangat dipengaruhi oleh diksi dan ragam bahasa yang dipakai dalam cerita. Sedangkan dalam teknik penceritaan diksi dipengaruhi oleh metode cerita yang dipilih oleh pengarang dalam menyusun cerita. Selain itu, diksi turut menjadikan cerita menjadi hidup dan menarik.
Diksi bukan hanya pilihan kata, tetapi juga meliputi persoalan gaya bahasa, ungkapan-ungkapan dan sebagainya. Bahasa merupakan sarana pengungkapan sastra. Dipihak lain sastra lebih dari sekedar bahasa, deret kata, namun unsur kelebihan itu hanya dapat diungkapkan dan ditafsirkan melalui bahasa. Jika sastra ingin menyampaikan sesuatu atau mendialogkan sesuatu, hanya dapat dikomunikasikan lewat sarana bahasa. Bahasa dalam sastra untuk mengembangkan fungsi utamanya: fungsi komunikatif. Hanya saja bahasa yang digunakan sastrawan atau pengarang adalah bahasa tulisan yang diapresiasikan melalui karya sastra.
Sastra adalah seni kata, jadi seberapapun pentingnya motif dan niat baik penulis, kesungguhannya menyiapkan dan menggeluti bahan tulisan, keinginannya untuk ikut berbicara masalah-masalah masyarakatnya, tetap tidak bisa menggantikan kewajiban utama penulis untuk memiliki daya dobrak artikulatif atau alat ucap dan memaksimalkan (penggunaan) bahasanya. Penulis yang baik harus terus berproses mengembangkan dirinya menjadi “tukang” yang semakin lihai mengartikulasikan hal-hal yang ingin ia ungkapkan melalui tindakan berbahasa (tulis). Di tangan penulis yang baik, bahasa menjadi alat ungkap yang luar biasa, alat ekspresi yang kuat, lentur dan indah.

d) Novel Sebagai Media Dakwah
Tinjauan atas dasar sudut komunikasi, teks-teks karya sastra baik berupa puisi, cerita pendek atau novel, merupakan satu bentuk pesan komunikasi karya sastra, layaknya semua bentuk komunikasi mengalami sebuah bentuk penulisan (encoding), pemuatan dalam buku, majalah atau surat kabar (media) dan akhirnya akan dibaca oleh khalayak (decoding). “pernyataan manusia” dalam karya sastra juga memperlihatkan adanya keinginan pengarang (komunikator) guna menyampaikan sesuatu kepada pembacanya (komunikan).
Dakwah merupakan suatu proses komunikasi. Di dalam penyampaian pesan-pesan keagamaan oleh subyek dakwah kepada
obyek dakwah sering memerlukan suatu media. Dan seorang da’i yang berkecimpung di dunia sastra, dalam hal ini sastra yang berbentuk novel, dapat menggunakan novel sebagai media dakwah. Pesan-pesan keagamaan yang di kemas dalam bentuk yang menarik dan menyentuh perasaan pembaca, akan membuat kesan yang mendalam dihati pembaca dan tanpa terasa pembaca akan dibawa oleh pengarang kepada ide-ide keagamaan yang dikehendakinya. Menurut Horatius, karya sastra bersifat dulce et utile: menyenangkan dan bermanfaat. Novel yang baik akan membekali pembaca dengan suatu yang bermanfaat bagi kehidupan pembaca selanjutnya.
Menurut Radhar Panca Dahana bahwa sebuah karya sastra apapun bentuknya menumpahkan pusat perhatiannya pada manusia, apapapun gaya bahasa, apapun jenisnya pada dasrnya sastra mengandung pesan atau ajaran keagamaan (homo religious).
Cerita rekaan berbentuk novel, identik dengan menggambarkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat dimanapun manusia berada boleh berimajinasi karena lapangan seni islami adala semua wujud. Menurut M Quraish Shihab jika hal tersebut diindahkan, maka pada saat itu pula seni telah mengayunkan langkah berfungsi sebagai sarana dakwah islamiah.

G. Metode Penelitian
1. Penentuan Subyek dan obyek penelitian
Dalam menentukan metode penelitian tentu saja harus menyesuaikan dengan obyek yang akan diteliti begitu juga dengan subyek penelitian. Penulisan skripsi ini adalah studi analisis literatur, menurut Hawkes dalam analisis karya sastra diuraikan unsur-unsur pembentukannya. Dengan demikian, makna keseluruhan akan dapat dipahami. Hal ini mengingat bahwa karya sastra adalah sebuah karya yang utuh.
Dalam menentukan metode penelitian disesuaikan dengan obyek dan tujuan penelitian adapun penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah novel “Kasidah Lereng Bukit” karya Achmad Munif
Melihat penelitian yang bersifat kualitatif (menerangkan) serta tujuan penelitian ini secara khusus dimaksudkan untuk mendeskripsikan tentang pesan-pesan dakwah yang terkandung dalam obyek penelitian. Maka dalam penulisan ini penulis menggunakan metode analisis deskriptif analisis yakni menuturkan, menafsirkan dan menganalisis sumber yang ada.

2. Metode Pengumpulan Data
Untuk pengumpulan data, dalam penelitian ini penulis menggunakan teknis sebagai berikut:
a. Metode interview
Metode Interview adalah metode pengumpulan data dengan komunikasi langsung antara peneliti atau penyelidik dengan subyek , atau sebuah dialog dengan berkomunikasi langsung dengan subyek penelitian ini dengan penulis buku “Kasidah Lereng bukit” Achmad Munif untuk memperoleh informasi. Bentuk interview yang penulis gunakan adalah interview bebas terpimpin.

b. Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah metode pengumpulan data dengan cara mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya. Sedangkan untuk melengkapi data dalam skripsi ini penulis menggunakan literatur yang berhubungan dengan penelitian ini. Diantaranya adalah buku-buku, surat kabar, dan lain-lain. Data tersebut digunakan sebagai pendukung data pokok.
c. Metode Analisis Data
Untuk menganalisa data yang di kumpul, penulis menggunakan analisis isi (content analisis), yaitu metode yang dapat dipergunakan untuk menganalisa bentuk-bentuk komunikasi seperti surat kabar, buku, puisi, lagu, cerita langit, lukisan, pidato, surat, peraturan undang-undang, musik teater dan sebagainya.
Eriyanto mengatakan dalam bukunya Analisis Wacana Pengantar Analisis Media Bahwa salah satu karakteristik analisis isi kuantitatif, mengikuti Barelson adalah teknik untuk menguraikan secara obyektif, sistematik dan kuantitatif komunikasi.
Akan tetapi dalam menganalisis sebuah media, karena novel adalah merupakan sebuah media, maka Eriyanto mengatakan akan lebih lengkap jika dipadukan dengan analisis wacana, untuk melengkapi dan menutupi kelemahan dari analisis isi, bahwa analisis wacana dalam analisisnya lebih bersifat kualitatif dibandingkan dengan analisis isi yang umumnya kuantitatif, analisis wacana lebih memperhitungkan pemaknaan teks daripada penjumlahan unit kategori seperti analisis isi. Dasar dari analisis wacana adalah interpretasi dan penafsiran peneliti.

Adapun langkah-langkah yang akan ditempuh dalam penulisan skripsi ini sebagai berikut:
1) mengidentifikasi data penelitian tentang bentuk dan strukturnya
2) mendeskripsikan ciri-ciri atau komponen-komponen pesan yang terkandung dalam setiap data
3) menganalisa ciri-ciri atau komponen-komponen pesan yang terkandung dalam setiap data
4) menyusun klasifikasi keseluruhan hasil dari analisa itu, sehingga mendapatkan deskripsi tentang isi dan kecenderungan pesan serta unsur-unsur intrinsik novel sebagai pesan dakwah.

BAB II
BIOGRAFI HASIL KARYA ACHMAD MUNIF
A. Biografi
Achmad Munif lahir di sebuah desa kecil di tepi kali Brantas bernama Ponen Pulogedang, Tembelang, Jombang Jawa Timur. Ibunya meninggal dunia ketika melahirkan beliau, kemudian ayahnya menikah lagi. Achmad Munif beserta empat saudara kandungnya dibesarkan oleh kakek neneknya, namun ketika berumur enam tahun dan sedang duduk di kelas satu SR kakeknya meninggal dunia. Sekalipun hanya bisa membaca huruf Arab tetapi neneknya berpikiran maju, semua cucunya disekolahkan minimal sampai SMA, dan yang bisa sampai di perguruan tinggi hanya beliau dan saudaranya yang nomor dua alumnus IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan bekerja sebagai salah seorang pejabat Teras di Departemen Negara RI.
Sejak kelas enam SR Achmad Munif sudah membaca buku-buku sastra seperti “Keluarga Gerilya” (peram), Di bawah Lindungan Ka’bah, Merantau ke Deli, “Tenggelamnya Kapal Van Derwijck” (Hamka), Siti Nurbaya (Marah Rusli), Layar Terbang (SSPA), Belenggu (Amryn Pane), Surabaya (Idrus), Sajak-sajak Choiril Anwar dan masih banyak lainnya.
Adapun riwayat sekolah Achmad Munif sendiri cukup unik, setelah lulus SMEA koperasi beliau di terima di fakultas ekonomi UGM, namun hanya dijalani selama dua tahun. Karena merasa tersiksa dengan mata kuliah Accounting, kemudian Achmad Munif mendaftarkan di IKIP sekarang UNY di fakultas Ilmu sosial tetapi dijalaninya selama tiga bulan karena diterima juga di fakultas filsafat UGM, bersamaan dengan itu beliau juga diterima juga di harian ‘Kedaulatan Rakyat” sebagai korektor. Saat itu juga beliau berkenalan dengan seorang penyair yang bernama Umbu Landu Pranggi yang secara tidak langsung menjadi gurunya dalam penulisan. Sesungguhnya sekolah beliau di fakultas filsafat UGM cukup lancar namun kala itu beliau merasa berada di tiga dunia sekaligus (dunia kampus, dunia Koran dan dunia penulisan). Akhirnya setelah tiga tahun lancar di fakultas Filsafat, kampus UGM beliau tinggalkan sebab dari korektor KR beliau dipromosikan menjadi sekretaris redaksi minggu pagi dan dua tahun kemudian menjadi redaktur (wartawan) minggu pagi dua tahun kemudian menjadi wartawan Kedaulatan Rakyat, redaktur KR dan redaktur pelaksana KR. Tahun 1989, beliau keluar dari KR dan bekerja di harian ” JOGJA POST” sebagai opini dan budaya sampai harian itu tidak terbit lagi. Acmad Munif menikah dengan gadis pujaannya gadis Cirebon bernama Siti Hapsah dan dikarunia dua orang anak Olenka Fatten Hamama dan Fadila Adelin Surtikanti semuanya perempuan.
Achmad Munif sudah terbius di dunia penulisan. Bersama anggota persada studi klub (PSK) dengan dipimpin oleh Umbu Landu membuat ia bahagia dan melupakan dunia kampus. Bersama-sama mas Umbu, Sumarno Pragolapati Teguh Ranusastara Asmara, Suparno S Ahdi (kini wartawan dan redaktur KR), Faisal Ismail, (DR. dan sekjen Departemen Republik Indonesia), Bambang Indra Basuki (alm.), Bambang Supria Hadi dan lain sebagainya. Setiap malam menggelandang di Malioboro mencari jati diri. Dulu keramaian kota Jogja belum merata seperti sekarang, Malioboro benar-benar menjadi pusat keramaian kota. Sepanjang timur Malioboro dirindangi pohon-pohon besar, disebelah hotel Garuda masih ada sebuah taman kecil, pada malam hari mereka sering membaca puisi di taman itu, mereka membaca puisi keras-keras seakan-akan tidak ada beban sama sekali, mereka tidak peduli orang-orang berkerumun menonton mereka. Dunia mereka adalah dunia puisi, cerpen, esei yang hampir setiap malam dibaca, didiskusikan bahkan dipertengkarkan, namun mereka juga membicarakan seni rupa, politik, tari dan teater.
Banyak teman mudanya bertanya-tanya tentang proses kreatif Achmad Munif, tetapi memang sulit menerangkan proses kreatif beliau selama ini. Sejak muda beliau ingin menjadi penulis dan tidak peduli apakah penulis besar atau penulis kecil, karena bagi Achmad Munif hal itu sama saja. Keinginan menulis berawal ketika duduk di bangku kelas enam SD, dan kebetulan saudara kandungnya di Surabaya sudah mulai menulis dan dimuat di media massa. Ketika SMP keinginan menulis beliau semakin besar, buku-buku bacaannya meminjam dari kantor penerangan kabupaten Jombang. Achmad Munif masih ingat ketika menunggu Kereta Api yang berangkat ke Ploso setelah bubaran sekolah, pada saat itu teman-temannya berkejaran di Peron, beliau lebih suka membaca buku, sering teman-temannya mengejek sebagai calon pengarang besar, tetapi tidak dihiraukannya, bahkan sering buku yang sedang dibacanya direbut temannya bahkan dilempar-lempar ke atas. Dalam diri Achmad Munif keinginan untuk menulis datang begitu saja, tetapi terkadang beliau merenung terlebih dahulu, pada saat keinginan menulis datang, untuk berapa saat diendapkan dalam pikiran dan perasaannya, kemudian pada saat yang tepat baru diketik, beliau hampir tidak menunda tulisan sebelum selesai kecuali novel. Biasanya kalau menulis cerpen atau artikel sekali duduk selesai.
Achmad Munif tidak pernah mempunyai komitmen pada salah satu media massa, beliau selalu punya keinginan menulis di semua media masa yang ada. Beliau hampir tidak pernah peduli apakah tulisannya dimuat atau tidak, rasa optimis dan berprasangka baik (khusnudzon) selalu ada dalam hatinya kepada redaktur media massa. Kalau tulisannya tidak dimuat, beliau berusaha menyalahkan diri sendiri, artinya tulisannya memang tidak layak dimuat atau tidak sesuai dengan media massa yang bersangkutan. Beliau bersyukur pada Tuhan karena sekalipun usianya sudah semakin tua keinginannya untuk menulis tidak pernah surut. Achmad Munif tidak peduli predikat apa yang diberikan kepadanya, keinginan hanyalah “saya akan terus mampu menulis selama hayat masih dikandung badan, sebab saya merasa tidak bisa bekerja apa-apa selain menulis”.
B. Corak Dakwah Achmad Munif dalam Karya-Karyanya
Sastra dan agama dalam hubungannya sebuah karya yang bisa dikatakan baik dan dapat dipertahankan nilainya jika penyajian ide atau wawasan keagamaanya itu tidak berbau propaganda yang vullgar, tidak menggurui. Ide-ide keagamaan sampai pada pembaca secara simpatik tanpa mengurangi kemerdekaannya secara pribadi, dapat dikatakan ide-ide keagamaan itu terserap secara inplisit (tidak langsung), terbungkus oleh selera kepuitisan ungkapan pengarangnya, tidak mengundang prasangka, dan juga tidak menimbulkan wasangka yang seringkali menambah suburkan fanatisme agama dalam pikiran pembaca. Di luar kesadarannya pembaca tertawa oleh arus ideologis karya satra itu yang mungkin membawanya kedalam perenungan metafisis.
Achmad Munif menjadikan novel sebagai media untuk menuangkan gagasan atau ide-idenya, termasuk didalamnya ide-ide keagamaan dan dakwah disampaikan Achmad Munif secara inflisit, tidak vullgar dan tidak berbau propaganda agama. Didalam menuangkan ajaran-ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits, Achmad Munif Terkadang pernah menulis kutipan ayat-ayat atau hadits secara langsung didalam novelnya, dan terkadang beliau sangat memihak pada Islam. Dia sadar bahwa novel tetaplah novel dan bukan kumpulan Khotbah dan itulah sastra. Sastra memang harus menembus hati siapapun yang membaca, bahkan orang-orang yang sengaja disinggungnya. Seandainya pesan dakwah disampaikan secara formal dan vullgar, mungkin masyarakat yang disoroti akan merasa disinggung dan tidak mau membaca novel tersebut. Itu berarti tujuan tidak berhasil. Sebagai seorang pemerhati sosial Achmad Munif menjadikan agama Islam sebagai sentral memecahkan persoalan yang dapat mengatasi segala problem kehidupan baik yang bersifat horizontal (hubungan sesama manusia dan lingkungan alam sekitar) maupun Vertikal (hubungannya dengan Tuhannya). Ia percaya bahwa seburuk-buruk manusia bisa menjadi baik kalau selalu berusaha menjadi baik. Nur Illahi akan datang jika manusia selalu berusaha mendekati Tuhan. Sebaliknya manusia yang baik bisa berubah menjadi buruk karena tidak mampu menahan godaan. Beliau tidak mencurigai orang lain yang berusaha menjadi baik. Manusia sebelum meninggal dunia selalu dalam proses menjadi baik atau buruk. Oleh karena itu Achmad Munif bersimpati kepada tokoh-tokoh yang beliau ciptakan sekalipun ia tokoh yang berperan jahat dalam karyanya. Beliau selalu memberi latar belakang kenapa tokoh tersebut menjadi jahat.
C. Karya-Karya Achmad Munif
Karya-karya Acmad Munif baik berupa artikel, maupun cerpen telah banyak dimuat dipelbagai media massa antara lain: Kompas, Republika, Suara Pembaharuan, Bisnis Indonesia, Nova, Femina, Kartini, Jawa Post, Surabaya Post, Suara Merdeka, Bernas dan Horison. Beberapa cerpen yang masuk dalam antologi cerpen antara lain “Pagelaran” (FKY), “Lukisan Matahari” (Bernas), “Condromowo” (Bernas” dan “Mudik” (Benteng Budaya), “Pembisik” (Republika). Sedangkan cerpen “Kalau Kadir Batuk-Batuk” pernah dimuat dalam (NOVA) dan menjadi bahan pelajaran bahasa Indonesia karangan Drs. Slamet Widodo. Adapun klasifikasi karya-karyanya yang pernah dimuat di media massa dan diterbitkan antara lain: cerita pendek, kumpulan cerita pendek, karya novel atau novelette yang sudah diterbitkan dan karya non fiksi yang sudah diterbitkan
Cerita Pendek
1. “Mak Ayo Menari Mak” dimuat dalam (NOVA), No. 742 pada tanggal 19 Mei 2002
2. “Tikus” dimuat dalam harian Republika pada tanggal 23 Juni 2002
3. “Popy” dimuat dalam harian Bisnis Indonesia pada tanggal 28 Mei 2000
4. “Yu Tum” pernah dimuat pada harian Surabaya Post pada tanggal 4 Oktober 1992
5. “Primadona” dimuat dalam “Sinar Harapan” pada tanggal 7 Juni 1992
6. “Darah Di Ujung Belati” dimuat dalam “Sinar Harapan” tanggal 18 Agustus 2001
7. “Kalu Kadir Batuk-Batuk” Dimuat dalam majalah (NOVA), pada tanggal 9 Januari 1994
8. “Rambut Jaitun” dalam majalah (NOVA), pada tanggal 6 Januari 2002
9. “Sahabat” dimuat dalam media “Suara Karya” pada tanggal 19 Desember 1992
10. “Satu Dari Dua Sahabat” dimuat dalam majalah “Suara Muhamadiayah” No. 9 pada tanggal 1 Mei 1991
11. “Harga Diri” dimuat dalam harian “Solo Post” pada tanggal 16 April 200
12. “Cara Salim Menghadap Allah” dimuat dalam harian “Republika” pada tanggal 4 November 2001
13. “Keris” dimuat dalam harian “Suara Merdeka” pada tanggal 14 februari 1993
14. “Jenazah Pak Korup” dimuat dalam harian “Republika” 1 Juli 2002
15. “Bayangan Itu Terus Berkelebat” dimuat dalam majalah (NOVA), No. 674, pada tanggal 28 Oktober 2001
16. “Pidato” dimuat dalam majalah “Suara Muhamadiyah”, No.6 pada tanggal 16 sampai 31 Maret 1996
17. “Sumi Kembali Ke Malasiya” dimuat dalam majalah (NOVA), No. 1807, pada tanggal 1 sampai 10 Ju8li 1993
18. “Handuk” dimuat dalam harian “Bisnis Indonesia” pad tanggal 9 Mei 1993
19. “Parcel” dimuat dalam harian “Republika” pada tanggal 6 Maret 1994
20. “Seekor Ular Untuk Istri” dimuat dalam harian “Republika” pada tanggal 1 April 2001
21. “Kacamata” dimuat dalam koran “Tempo” pada tahun 2003
22. “Kisah Jibril” dimuat dalam harian umum “Republika”, pada tanggal 23 September 2001
23. “Cerai” dimuat dalam majalah (NOVA), No. 683, pada tanggal 1 April 2001
24. “Tanda-Tanda Kebesaran Allah” dimuat dalam harian umum “Republika” pada tahun 2001
25. “Kehormatan Ibu” dimuat dalam “Horison” pada tahun 2001
26. “Tuan Gendon” dimuat dalam “Horison” pada tahun1998
27. “Mas Kribo” dimuat dalam “Horison” pada tahun 1991
28. “Kucing Itu Mati” dimuat dalam harian umum “Surabaya Post” pada tahun 1993
29. “Katabelece” dimuat dalam harian umum “Surabaya post” pada tahun 1994
30. “Perempuan Ular” dimuat dalam “Liberty” pada tahun 1999
31. “Buronan” dimuat dalam majalah “Suara Muhamadiyah” No. 75, pada tanggal 1 sampai 15 Sptember 1990
32. “Lelaki di Dalam Kereta” dimuat dalam “liberty, No. 1785, pada tanggal 1sampai 15 November 1992
33. “Sandal” dimuat dalam harian umum “Republika”pada tahun 2001
34. “Pulang Ke Padang Ilalang” dimuat dalam “Fadila” pada tahun 2003
35. “Kunti, Cintanya Yang Hilang” dimuat dalam majalah “Anita Cemerlang”
36. “Anastasia” dimuat dalam Majalah “Femina”
37. “Di Bawah Langit Pegunungan” dimuat dalam majalah “Anita Cemerlang
38. “Suatu Hari Dalam Pegunungan” dimuat dalam majalah “Anita Cemerlang”
39. “Perjalanan Sunyi” dimuat dalam majalah “Anita Cemerlang”
40. “Cinta, Ombak dan Pasir Pantai” dimuat dalam minggu Pagi
41. “Sampai Kapan Aku Harus Menunggu” dimuat dalam majalah “Kartini”
42. “VW Kodok” dimuat dalam majalah “Krtini”
43. “Kalung Bermata Berlian” dimuat dalam Harian “Bisnis Indonesia”
44. “Balada Kadir dan sumi” dimuat dalam “Liberty”
45. “Mak Menari Di Padang Ilalang” Mendapat juara pertama Lomba pnulisan cerpen majalah “Kartini” pada tahun 2004
46. “Maaf Kami salah Tangkap” dimuat dalam harian umum “Solo Post” pada tahun 1999
47. “Titisan Dewi Drupadi” dimuat dalam harian “Solo Post”
48. “Gong” Dimuat dalam harian umum “Solo Post”
49. “Istriku Menghitung Bintang” dimuat dalam majalah “NOVA”
dan masih banyak lagi yang tidak terdokumentasi.
Kumpulan Cerpen yang sudah Di Terbitkan
1. “Tanda-Tanda Kebesaran Allah” diterbitkan oleh MM Corp, Jakarta 2003
2. “Kehormatan Ibu” diterbitkan oleh priogres – Narasi Yogyakarta 2004
3. “Cinta yang Hilang” diterbitkan oleh Media Presindo – Narasi Yogyakarta 2004
4. “Parcel” masuk dalam antologi “Mudik” – Benteng 1996
5. “Kucing Itu Mati” Masuk dalam Antologi “Pagelaran” – FKY tahun 1996
6. “Sang Bos” masuk dalam Antologi “Lukisan Matahari” harian “Bernas”
7. “Bawa Celurit” masuk dalam Antologi “Condromowo” harian “Bernas”
8. “Jenazah” masuk dalam Antologi “Pembisik” harian “republika.”
Cerita Bersambung atau Novelet
1. “Tandak” dimuat dalam harian umum “Surabaya Post, pada tahun 1992
2. “Birunya Langit Yogya” dimuat dalam majalah “Anita Cemerlang pada tahun 1990
3. “Pria Idaman Lain” Dimuat dalam PIL – “SuraBaya Post” pada tahun 1993
4. “primadona” dimuat dalam harian umum Surabaya Post pada tahun 1995
5. “Kembang Kampus” dimuat dalam harian umum Jawa Post” pada tahun 2004
6. “Merpati Biru” dimuat dalam harian umum “Jawa Post” pada tahun 1995
7. “Bayang-Bayang Hitam” dimuat dalam harian umum “Jawa Post” pada tahun 1989
8. “Cemara-Cemara” dimuat dalam harian umum “Jawa Post” pada tahun 1994
9. “Tikungan” dimuat dalam harian harian umum “Republika” pada tahun 1994
10. “Angin Pantai Selatan” dimuat dalam harian umum “Republika” pada tahun 1995
11. “Jalan Kehidupan” dimuat dalam harian umum “Republika” pada tahun 1996
12. “Sawitri Perempuan Panggung” dimuat dalam majalah “NOVA”, pada tahun 2002
13. “Darah Biru” dimuat dalam majalah “NOVA”, edisi bulan Maret sampai Agustus tahun 2004
14. “Pasir-Pasir Pantai” dimuat dalam harian umum ” Republika” tahun 1988
15. “Ken Dedes” dimuat dalam harian umum “Yogya Post” tahun 1995
16. Bulan Terlalu Jauh” dimuat dalam majalah “Kartini”
17. “Memburu Bayang-Bayang” dimuat dalam majalah “Kartini”
18. “Mujsim Petik Apel” dimuat dalam majalah “Kartini”
19. “Tanaka San” dimuat dalam majalah “Kartini”
20. “Tembang-Tembang” dimuat dalam majalah “Femina”
21. “Bibir Merah” dimuat dalam harian “Suara Pembaharuan”
22. “Perempuan-Perempuan” dimuat dalam harian “Suara Pembaharuan”
23. “Persaingan” dimuat dalam “Matras” tahun 1993
24. “Padang Perburuan” dimuat dalam harian “Minggu Pagi”
25. “Lipstick” dimuat dalam harian umum “Jawa Post” tahun 2003.
Karya Novel atau novelet yang Sudah di Bukukan
1. “Merati Biru” diterbitkan oleh penerbit Navila Yogya Cetakan Pertama tahun 2000
2. “Tikungan” diterbitkan oleh penerbit Navila cetakan pertama tahun 2000
3. “Perempuan Yogya” diterbitkan oleh penerbit Navila Yogya cetakan pertama tahun 2001
4. “Kembang Kampus” diterbitkan oleh penerbit gita Nagari yogya cetakan pertama tahun 2003
5. “Primadona” diterbitkan oleh penerbit Gita Nagari Cetakan pertama Tahun 2003
6. “Sang Penindas” diterbitkan olehb Navila Yogya Cetakan pertama Tahun 2003
7. “Terbanglah Merpati” diterbitkan oleh penerbit Gita Nagari cetakan pertama tahun 2002
8. “Kasidah Lereng Bukit” diterbitkan oleh Gita Nagari yogya cetakan pertama tahun 2003
9. “Pengorbanan Rum” diterbitkan oleh narasi Yogya cetakan pertama tahun 2003
10. “Perempuan di Simpangan Jalan” diterbitkan oleh penerbit Narasi Yogya cetakan pertama tahun 2003
11. “Kupu-Kupu Malam” diterbitkan oleh Media Pressindo Yogya Cetakan pertama tahun 2003
12. “Lipstick” diterbitkan oleh Media Pressindo cetakan pertama tahun 2003
13. “Sawitri Perempuan Tangguh” diterbitkan oleh penerbit Prima Media Pustaka jakarta tahun 2004
14. “Bibir Merah” diterbiotkan oleh penerbit Navila Yogya cetakan pertama tahun 2004
15. “Cinta yang Hilang” diterbitkan oleh Narasi Yogya cetakan pertama tahun 2004
16. “Mengukir Cinta di Pasir Pantai” diterbitkan oleh diva Yogya cetakan pertama tahun 2004.
Karya Non fiksi
1. Dwi Tunggal Samawi – Wonohito Kedaulatan Rakyat (KR) Yogya tahun 1985
2. Tokoh Arab Ummu Kaltsum – Saddam Hussein – Kota kembang tahun 2003
3. Haji Perjalanan Air Mata Tim penulis – Benteng 1994
4. Berikan Cinta Apa Adanya Amor tahun 2004
5. Cinta Modal Prangko amor tahun 2004.
D. Latar Belakang Lahirnya Novel “Kasidah Lereng Bukit”
Setiap karya yang dihasilkan oleh seorang sastrawan pasti mempunyai latar belakang sehingga terciptanya karya tersebut, begitu juga dengan novel “Kasidah Lereng Bukit”. Menurut Achmad Munif novel ini terinspirasi dan ditulis setelah beliau diundang kepondok pesantren (PP) “Bahrul Ulum “Tambak Beras, Jombangdan pondok pesantren “Darul Ulum” Peterongan, jombang. Achmad Munif baru tahu ternyata buku-bukunya seperti “Merpati Biru”, “Tikungan”, “Perempuan Jogja” dan “Sang Penindas” digemari oleh para santri yang ada dua Pondok Pesantren tersebut. Padahal beliau berprasangka bahwa karya-karyanya yang digemari itu tidak begitu Islami, lalu ia mempunyai keinginan dan bertanya-tanya dalam benaknya “mengapa saya tidak menulis novel yuang sedikit lebih Islami yang barangkali lebih sesuai untuk bacaan kalangan muda pesantren”, maka lahirlah “Kasidah Lereng Bukit”.
Novel “Kasidah Lereng Bukit” menceritakan dua anak manusia yang saling mencintai tetapi novel ini berbeda dengan kisah cinta sebagaimana di gemari oleh banyak penulis dan pembaca lainnya. Menurut Acmad Munif bahwa cinta tidak sama dengan seks. Maka dengan lahirnya novel ini beliau sedikit memberi penyadaran kepada “yang mau percaya” bahwa cinta tidak selalu identik dengan seks, karena cinta adalah “perasaan” yang bisa diekspresikan melalui anggota tubuh yang lain misalnya laki-laki dan perempuan yang sedang bercinta ia sedang merasakan keindahan dan kenikmatan di dalam perasaannya, keindahan cinta tergantung kepada siapa yang merasakannya. Misalnya hanya saling pandang, mendengarkan suaranya, membaca surat, ucapan sepatah atau dua patah kata bisa jadi sangat indah.
Achmad Munif masih ingat dengan kata-kata Buya Hamka “Cinta itu Suci dan datang dari Allah, ia menjadi tidak suci karena manusia sendiri yang mengotorinya dengan nafsu birahi”. Maka menurut Achmad Munif cinta yang benar adalah cinta yang tidak “membius” seperti candu atau sabu-sabu, yang membuat orang melayang di awan jauh dari segala macam kesulitan padahal ia berada di bumi yang penuh dengan kerumitan. Cinta perlu dijalani secara wajar sambil belajar, membaca buku, nonton sepak bola, atau naik sepeda. Cinta tidak harus ada di mall-mall, berdua-duaan digunung dan dipantai atau di restoran dan kafe-kafe. Cinta yang benar adalah yang memberi semangat, menyegarkan kembali bagi yang loyo, bukan yang melemahkan, yang membuat kita lalai karena terlalu sering melamun, mengubar angan-angan dan mimpi. Cinta yang benar bukan berpesta ganja dikamar hotel ketika cowok dan cewek berpelukan tampa busana, dengan mata setengah memejam dan tubuh lemah lunglai, dan baru sadar ketika digropyok polisi. Dan lebih dari itu cinta itu suci dan bukan nafsu barahi, cinta itu barokah dan bukan musibah dan cinta tidak mengajarkan kepada keburukan. Dalam pengertian yang benar cinta adalah proses menuju pernikahan, cinta itu tidak boleh hanya untuk iseng dan main-main. Tetapi memang untuk membangun keluarga yang melahirkan anak-anak yang menurut istilah agama “Qurrota ‘a’yun seperti do’a setiap kali selesai shalat, bukan anak-anak yang dhuafa’ atau anak-anak yang lemah. Menurut Achmad Munif cinta yang benar adalah saling memberi semangat saling memberi perhatian, saling mengingatkan ketika salah. Memang bercinta adalah hak setiap orang akan tetapi yang realistis karena menurut beliau masa muda adalah masa untuk menentukan kualitas masa yang akan datang, pacaran yang berkuwalitas tinggi adalah pacaran yang realistis dan sebaliknya pacaran atau bercinta yang kuwalitasnya rendah adalah cinta yang tidak realistis, jika salah melangkah bisa akibatnya patal, cita-cita yang tinggi sudah digantung sejak lama bisa hancur berantakan.
Achmad Munif menciptakan novel yang islami akan digemari oleh pembaca, walau bukan novel yang beradegan seks seperti novel “Layla Majnun” (Syaikh Nizam) yang diterbitkan “Navila” bahkan menjadi “Best seller” dan juga “Salamah” karya Ahmad Baksir (Navila) lalu novel-novel yang Islam yang diterbitkan “Mizan” karya Gola Ging, Asma Nadia, Helfi Tiana Rosa dan lainya, bahkan majalah “Annida” yang memuat cerpen-cerpen Islami yang memuat tanpa adegan seks sama sekali yang sangat luar biasa laris dibaca oleh kalangan anak muda, dengan kata lain bahwa karya tanpa seks memiliki penggemar sendiri yang jumlahnya tidak sedikit.
Dalam mengungkapkan kata-kata Achmad Munif lebih cenderung memakai kata kiasan untuk memperhalus bahasa dan memperindah suasana. Sebab adakalanya suatu pernyataan tidak dilontarkan begitu saja, misalnya agar tidak menyinggung perasaan orang lain. Misalnya dalam karyanya “Kasidah Lereng Bukit” beliau mengatakan bahwa sebagai ustaz Abah Nur tidak hanya menyuruh para santrinya untuk membaca Al-Qur’an dan al-Hadits atau kitab-kitab kuning tetapi juga membaca alam semesta yang menghampar didepan kita. Karena dengan membaca alam semesta, manusia semakin menyadari kebesaran dan Kemaha Penciptaan Allah. Membaca tanda-tanda kebesaran Allah itu tidak hanya membaca kitab-kitab tetapi juga merenungi alam semesta misalnya tentang “Matahari Bersinar Terik” sebagai ustaz, Abah Nur meminta kepada para santrinya untuk merenungi fungsi matahari dengan sinarnya. Berfikirlah bahwa terik matahari dibutuhkan manusia sebab kalau hujan sepanjang tahun banjir besar akan datang dimana-mana. “Tentang hembusan angin yang menyejukkan alam semesta”. Rasakan betapa Allah telah menciptakan keseimbangan antara “terik matahari” dan “angin menyejukkan alam semesta”, rasa gerah ditubuh kita akan terkurangi oleh hembusan angin. Tentang burung jalak yang bergoyang diranting Terembesi renungkanlah betapa burung itu juga sedang merasakan merasakan angin sejuk yang bertiup. Betapa adilnya Allah. “Tentang Alang-alang terus bergoyang-goyang menari-nari”. Renungkanlah goyangan alang-alang kekiri dan kekanan sebagai bentuk zikirnya kepada tuhan. Pokoknya Abah Nur ingin santri-santrinya merenungkan alam disektarnya. Karena disanalah akan menyadari betapa Maha besarnya Allah
Di samping menggambarkan tentang keadaan pondok Achmad Munif juga mengungkapkan mengapa beliau banyak menggunakan bahasa Jawa Timuran. Pertama karena beliau berasal dari Jawa Timur Kedua karena menurut beliau bahasa Jawa Timur sangat dinamis, Ketiga beliau berkeinginan lebih menggunakan bahasa Jawa Timur kepada khalayak yang lebih luas karena ini merupakan sebuah misi beliau karena beliau merasa iri kepada bahasa Betawi dipergunakan hampir semua sinetron televisi. Beliau optimis bahwa bahasa Jawa Timur akan memperkaya khasanah sastra Indonesia “bagi saya bahasa daerah termasuk Jawa Timur akan memperkaya khasanah Sastra Indonesia” dan hal ini akan mendorong dialog suku-suku antar bangsa di tanah air. Masuknya bahasa daerah kebahasa Indonesia akan memperkaya kosa kata bahasa Indonesia itu sendiri. Hal ini menurut Achmad Munif sebagai pengarang yang melatar belakangi menulis novel Kasidah Lereng Bukit ini karena beliau sebagai pengarang itu sendiri. Yang membedakan antara pengarang dan manusia biasa adalah kepekaannya, setiap hal yang dijumpainya dan dipikirkannya merupakan bahan baku untuk karya-karyanya.
E. Sinopsis Novel Kasidah Lereng Bukit
Novel “Kasidah Lereng Bukit” ini menceritakan kisah cinta dan kekuasaan terkadang acapkali bersentuhan sebagai kawan dan terkadang menjadi lawan, kekuasaan sering menyerimpung, menghadang dan mencabik-cabik cinta. Hal ini seperti digambarkan oleh penulis novel pada tokoh Ahmad Furkondan Nurul Fitria. Kisah cinta ini berawal dari suara alunan Shalawat Nabi atau Diba’an yang sudah menjadi rutinitas santri, santri wati pesanteren “Darul Iman” beserta pemuda dan pemudi desa Kedungpring kecamatan Tumpang sebuah kabupaten dilereng bukit di Jawa Timur.
Suara merdu yang dilantunkan oleh Nurul Fitria sesekali mengganggu hati nurani seorang pemuda ganteng yaitu Ahmad Furkon, tetapi gangguan itu bukanlah sebuah gangguan yang sembarangan, tetapi merupakan gangguan yang sangat indah dirasakan oleh Ahmad Furkon. Nurul Fitria yang mempunyai seraut wajah cantik, hidung tidak terlalu mancung bibir mungil indah, mata bening dan bulat terbayang dalam benak Ahmad Furkon. Ternyata benih cita yang sudah bersemi itu mendapat dukungan dari teman-temannya dipesantren.
Ahmad Furkon yang masih tinggal bersama orang tuanya, tidak jarang ibunya menanyakan tentang hubungan anaknya dengan Nurul Fitria anak Gus Muali sehingga ibunya merencanakan melamar dan menikahi kedua pemuda itu karena kekawatiran ibunya sebagai orang tua, apalagi Ahmad Furkon mempunyai rencana untuk melanjutkan kuliyah.
Ahmad Furkon dan Nurul Fitria memang warga asli desa Kedung Pring. Disamping sekolah SMU dikabupaten mereka juga nyantri dipondok pesantren Darul Iman yang diasuh oleh Gus Nur atau sering dipanggil Abah Nur, akan tetapi karena rumah Nirul Fitria dan Ahmad Furkon tidak jauh dari pesantern maka mereka tidak tinggal dipesantern seperti santri yang berasal dari daerah lain
Ahmad Furkon hanya keluarga yang sederhana secara ekonomi tetapi terkenal keluarga yang agamis didesanya dia punya tekat untuk melanjutkan sekolah ke Jogja setelah menamatkan SMU, ia yakin bahwa Allah akan melapangkan rizki bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Di balik tekat untuk melanjutkan kuliyah Ahmad Furkon tidak bisa meninggalkan Nurul Fitria, ia selalu bertanya-tanya dalam benaknya apakah Gus Muali sebagai orang tua gadis yang ia cintai akan merestui hubungan mereka karena ia merasa keluarga Nurul Fitria adalah keluarga yang serba berkecukupan dibandingkan dengan keluarganya.
Ibu Masyitoh orang tua Nurul Fitria sangat merestui hubungannya dengan Ahmad Furkon karena ibunya tahu bahwa Ahmad Furkon adalah orang yang baik-baik dan pengetahuan tentang agama sangat luas berbeda dengan ayahnya Gus Muali yang menginginkan calon suami anaknya setidaknya berkecukupan dalam hal materi dan mengabaikan sisi agama yang dimiliki. Ayahnya berpanndangan bahwa hidup harus realistis, kenyataan tidak seindah angan-angan. Ayahnya berkeinginan menjodohkan Nurul Fitria dengan Kahar anak Wak Mukri juragan tembakau yang katanya mempunyai masa depan yang cerah. Karena Kahar anak satu-satunya Wak Mukri dan dialah yang akan mewarisi seluruh harta orang tuanya.
Lama kelamaan rasa cinta Ahmad Furkon terhadap Nurul Fitria semakin bertambah akan tetapi diiringi rasa bimbang dihatinya karena dia merasa dirinya jauh dari kriteria yang diinginkan orang tua gadis yang ia cintai. Cinta terkadang menjadi barang dagangan, bahkan terkadang lebih tidak berharga, tetapi cinta memang tak pernah hinggap dalam hati orang yang ambisius selalu meraih kekuasaan dengan kejam, cinta menjadi orang lemah memegang kekuasaan. Kekuasaan diraih dengan cinta tentu berbeda dengan kekuasaan yang diraih dengan ambisi
Di desa Kedungpring akan diadakan pergantian kepala desa karena kepala desa yang lama sebentar lagi akan lengser. Diperkirakan akan ada dua orang yang akan mencalonkan diri dalam pemilihan kepala desa Kedung Pring yaitu Gus Muali orangtua Nurul Fitria dan pak Hudori orang tua Ahmad Furkon. Para tokoh agama desa Kedungpring menaruh perhatian pada Pak Hudori ayahnya Ahmad Furkon karena kesederhanaan, kesabaran rendah hati dan penuh dengan religius yang dimilikinya, sehingga predikat kepercayaan masyarakatpun disandangnya di desa tersebut, di samping akhlak sesama masyarakat yang cukup baik keluarganya juga terkenal dengan keluarga sakinah mawaddah warahmah, sehingga pencalonan dirinya menjadi Lurah ia musyawarahkan bersama keluarganya terlebih dahulu, berbeda dengan Gus Muali dalam pencalonan ini diiringi dengan ambisius, intrik dan perdukunan yang kuat sehingga berbagai cara yang dilakukan untuk mendapatkan kekuasaan. Tidak hanya itu sifat ambisius itu juga diiringi berselingkuh dengan Ning Lestari seorang janda yang ditinggal mati suaminya kerena tertembak beberapa tahun yang lalu disebabkan mencuri untuk menambah tidak harmonisnya rumah tangga yang semula sudah tidak harmonis.
Kabar Gus Muali akan mencalonkan menjadi kepala desa telah tersebar di seluruh desa Kedung Pring, ia menyuruh Sandrak sebagai tim suksesnya untuk menghembus-hembuskan kabar itu, sementara para warga gelisah mendengar kabar itu seolah mereka tidak menyepakati jika ia akan menggantikan pak Sanhaji sebagai kepala desa
Ahmad Furkon baru dua bulan tinggal di Jogja, setelah ia diterima di fakultas sastra Arab ia tinggal dikost dan terkenal dengan anak yang baik di kosnya, di manapun ia berada bisa membawa diri. Keprihatinan Ahmad Furkon terhadap orang tuanya dalam pencalonan lurah tetap ada, nasehat dan dukungan kepada orang tua yang selalu ia komunikasikan lewat surat.
Dalam pemilihan lurah tersebut ada dua bendera yang akan menjadi lambang yaitu “jagung” sebagai lambang dari kubu pak Hudori dan “pepaya” sebagai lambang dari kubu Gus Muali. Melihat lambang jagung sangat diminati oleh masyarakat Kedungpring maka Gus muali berkeinginan menukar lambang bendera tersebut, karena jagung merupakan mata pencaharian masyarakat desa Kedungpring. Berapa hari yang lalu Kang Bakron sebagai ketua pemilihan kepala desa dan masih famili Gus Muali mendatangi Pak Hudori dikebunnya, selain untuk silaturrahmi ia juga membicarakan masalah hubungan Ahmad Furkon dengan Nurul Fitria. Akan tetapi kedatangan Bakron itu berbagai macam penafsiran oleh masyarakat. Ada yang menduga Pak Hudori mengurungkan niat untuk mencalonkan diri jadi kepala desa, ada yang menduga bahwa Pak Hudori menduga menerima uang dari Gus Muali dan ada juga yang menduga pertemuan itu membicarakan hubungan Ahmad Furkon dan Nurul Fitria.
Eyang Sumo sebagai penasehat (dukun) Gus Muali memberi nasehat untuk segera menukarkan lambang pepaya menjadi lambang jagung walau bagaimanapun caranya. Gus Muali bingung walaupun sudah banyak cara yang dilakukannya diantaranya mengutuskan Bakron untuk menemui Pak Hudori tetapi pertemuan itu tidak mendapatkan hasil, melihat keadaan yang begitu panas Ning Lestari tidak sampai hati Kang Bakron dimarahi Gus Muali, ia datang untuk menengahi dengan mengusulkan bahwa Gus Muali saja yang menemui Pak Hudori.
Gus Muali datang menemui Pak Hudori, di samping membicarakan tentang hubungan anaknya mereka juga membicarakan masalah pertukaran bendera. Tetapi Pak Hudori setuju-setuju saja benderanya jagung ditukar dengan bendera pepaya. Pak Hudori yakin bahwa yang akan dipilih dalam pemilihan kepala desa nanti bukanlah lambang tetapi orangnya.
Pemilihan lurah semakin dekat sebagian pendukung Pak Hudori kecewa dengan pertukaran bendera itu, tim sukses Pak hudori berusaha untuk meyakinkan masyarakatnya bahwa dalam pemilihan nanti bukan lambang jagung atau pepaya yang akan dipilih tetapi orangnya. Dari tim sukses Gus Muali sedikit oleng mendengar prinsip Pak Hudori yang sudah tidak mempersoalkan masalah bendera sementara Pak Hudori hanya bisa bersabar, tabah memohon do’a kepada Allah, ia tidak pernah lupa ingat pada Allah, apapun yang akan terjadi beliau siap menerima kenyataan.
Akhirnya sampailah pada hari pemilihan kepala desa Kedungpring, balai desa dipercantik dengan berbagai perhiasan, suasana ramai dan meriah, pemilihan akan dimualai pukul 08.00 pagi, sedangkan perhitungan suara dilakukan pukul 14.00 semua orang berdebar-debar, Gus Muali semakin gelisah sementara Pak Hudori sempat juga gelisah. Sampai pada perhitungan terakhir di papan suara tertulis perolehan pak Hudori 2545 suara, sedangkan Gus Muali 2454 suara jelaslah Pak Hudori mengungguli Gus Muali, para Pendukung Pak Hudori serentak berteriak gembira
Hanya kegelisahan yang ada pada diri Gus Muali, dia menyalahkan anak dan istrinya tidak becus mendukung dirinya, ia juga menyalahkan Eyang Sumo sebagai dukun, ia bagaikan Elang patah kedua sayapnya apalagi teringat hutang kepada Wak Mukri orang tua Kahar mau tidak mau harus dibayar, sedangkan salah satu jalan untuk melunasinya yaitu menikahkan anaknya Nurul Fitria dengan Kahar
Gus Muali hanya pasrah penuh malu dan penyesalan ia hanya bisa berandai-andai, andaikata tidak berambisi menjadi lurah, tidak menyogok calon-calon lain, tidak berselingkuh dengan Ning Lestari, andai tidak menghalangi hubungan Nurul Fitria dengan anak pak Hudori, andai tidak berhutang dengan Wak Mukri, andai tidak menjadi rentenir, andai tidak berambisi punya menantu Kahar, andai tidak sering meninggalkan Shalat, dan seribu andaikata lainnya
Akan tetapi niat Nurul Fitria ingin membahagiakan orangtuanya dengan menerima Kahar menjadi suaminya menjadi pendamping hidup, tidak tercapai. Di akibatkan Kahar mati terbunuh dalam keributan bersama teman-temannya, akhirnya Nurul Fitria kembali kepangkuan Ahmad Furkon lagi.
BAB III
PESAN-PESAN DAKWAH DAN UNSUR-UNSUR INTRINSIK DALAM NOVEL “KASIDAH LERENG BUKIT”
KARYA ACHMAD MUNIF
A. Pesan-pesan Dakwah dalam Novel Kasidah Lereng Bukit Karya Achmad Munif.
1. Keimanan
Pesan dakwah yang memuat tentang tema keimanan dalam novel “Kasidah Lereng Bukit” tidak dominan karena novel ini lebih banyak menyampaikan pesan akhlak adapun pesan dakwah tentang keimanan atau aqidah adalah larangan mempercayai dukun
Salah satu yang bisa mencampakkan manusia kufur kepada Allah adalah mempercayai dukun, seseorang yang tidak istiqomah atau tidak teguh pendirian dalam meniti jalan Allah. Istiqomah adalah sikap teguh dalam mempertahankan keimanan dan ke Islaman sekalipun menghadapi pelbagai macam tantangan dan godaan.
Islam sangat melarang mempercayai ahli Nujum, dukun, peramal, tukang sihir, orang yang mengaku mengetahui jiwa orang atau peristiwa-peristiwa yang lalu yang tidak diketahui orang atau mengetahui apa yang terjadi dimasa yang akan datang. Berkenaan dengan hal tersebut Rosulullah SAW bersabda:
“Barang siapa yang mendatangi peramal dan menanyakan sesuatu kepadanya, maka tidak diterima shalat baginya selama empat puluh hari “ (HR. Muslim)
Melalui tokoh Pak Hudori Achmad Munif Menggambarkan betapa istiqomahnya Pak Hudori menghadapi tantangan pencalonan kepala desa Kedungpring. Dalam pencalonan tersebut terdapat dua kubu yaitu kubu Gus Muali yang kental dengan perdukunan demi mendapatkan pangkat sebagai kepala desa dan kubu Pak Hudori. Pak Hudori tetap istiqomah walaupun sebagian masyarakat menuduh bahwa beliau menggunakan dukun, dengan sabar dan tabah beliau menepis tuduhan tersebut bahkan istri Pak Hudoripun terpengaruhi dengan tuduhan masyarakat.
“Untuk desa Kedungpring lambang kemakmurannya bukan pepaya tetapi jagung. Lha wong kedung Pring ini penghasilan utamanya jagung kok memilih kates? Kata dukun itu Gus Muali terlalu gegabah memilih bendera. Kedung Pring ya jagung bukan bukan pepaya. Ada yang mengatakan Gus Muali terlalu grogi mendengar kata-kata Pak dukun”
Pak Hudori tersenyum.
“Jangan percaya pada dukun, Bu. Tidak ada gunanya kita shalat setiap hari kalau masih percaya kepada sesuatu selain Allah. Tuhan menciptakan dan menumbuhkan jagung dan pepaya sama-sama bagus dan bermanfaat bagi manusia”.
Betapa yakinnya Pak Hudori kepada pertolongan Allah akan datang kepadanya dengan sabar beliau meyakinkan masyarakat bahwa dalam pencalonan nanti murni dari hati nurani bukan mengharapkan sesuatu dari pencalonan ini bahkan ingin membuang jauh-jauh tradisi perdukunan dan intrik yang sudah mengalir dimasyarakat beliau rela menukar lambang bendera pencalonannya yang pada mulanya jagung menjadi lambang bendera pepaya, Pak Hudori berbicara didepan masyarakat.
“Tentu bapak-bapak bertanya atas dasar apa saya menukar jagung dengan pepaya? Pertama atas dasar penghargaan saya terhadap Gus Muali yang sudah mau datang kerumah saya, kedua atas dasar keparcayaan saya bahwa dengan bendera apapun saya akan menang jika Allah menghendaki. Dan dengan bendera apapun juga saya akan kalah jika Allah tidak menghendaki, ketiga saya ingin menghilangkan atau paling tidak mengurangi tradisi perdukunan dalam setiap ada pemilihan lurah didesa ini”.
Begitu sabar dan tabahnya perjuangan Pak Hudori dalam memerangi tradisi yang sudah mendarah daging didesa Kedungpring, akan tetapi dengan keteguhan hati itulah yang membuat Pak Hudori yakin atas pertolongan Allah. Berkenaan dengan hal tersebut Allah SWT berfirman dalam Surat Fussilat ayat 30
إن الذين قالوا ربنا الله ثم استقاموا تتنزل عليهم الملائكة ألا تخافوا ولا تحزنوا وأبشروا بالجنة التي كنتم توعدون(30)
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang menyatakan “ Tuhan kami ialah Allah” kemudian ia istiqomah, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan) “ janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih dan bergembiralah kamu dengan memperoleh sorga yang sudah dijanjikan kepadamu.” (QS. Fushilat 30)
Setelah mendengar pidato Pak Hudori sebagian masyarakat sudah mulai yakin bahwa selama ini yang dibicarakan seputar lambang bendera jagung dan pepaya masyarakat mulai sadar bahwa yang akan di pilih bukan lambang bendera dan jagung akan tetapi siapa pribadi orang yang akan dipilih.
Pak Hudoripun berani menukar bendera yang sudah ia pegang bendera jagung menjadi bendera pepaya. Dengan senang hati dan yakin bahwa pertolongan Allah pasti datang kepadanya. Demikianlah sikap istiqomah yang dimiliki oleh tokoh Pak Hudori dengan kreatif Achmad Munif menggambarkan sosok beliau, sehingga sikap istiqomah yang patut untuk diikuti karena tampa sikap seperti itu seseorang akan cepat putus asa dan cepat lupa diri sehingga mudah untuk terombang ambing oleh berbagai macam arus. Orang tidak istiqomah ibarat baling-baling diatas bukit yang berputar mengikuti arah mata angin yang berhembus.
2. Hukum-hukum Islam (syari’at)
Penyampaian pesan dakwah tentang hukum Islam dalam novel “Kasidah Lereng Bukit” hanya satu yaitu tentang ajaran shalat
Dalam Novel Kasidah Lereng Bukit digambarkan Achmad Munif bahwa kehidupan masyarakat Kedungpring tenang, adem ayem karena diwarnai dengan suasana pesanteren. Malam jum’at para santriwan dan santri wati serta pemuda dan pemudi menyelenggarakan Diba’an menambah tampaknya desa Kedungpring penuh dengan nuansa religius.
Jika datang waktu Shalat Subuh, Fitria segera mengibaskan selimutnya lalu bangkit dan turun dari tempat tidurnya. Fitria keluar dari kamarnya menuju padasan (tempat air wudhu’) untuk mengambil air Wudhu” kemudian pergi kemasjid untuk melakukan Shalat jama’ah. Jika suara adzan dari masjid desa Kedung Pring sudah dikumandangkan, jiwa-jiwa yang dalam hatinya tersemayam iman yang kuat dan ikhlas berhamba kepada Allah, bergerak meninggalkan kesibukan mereka masing-masing melangkah menghadap dan menyembah Allah SWT.
Kewajiban orang tua terhadap anaknya Pak Hudori selalu menggambarkan keadaannya hidup agamis dan harmonis walaupun Ahmad Furkon jauh dari orang tua, pergi untuk menuntut ilmu di Jogja, rasa perhatian Pak Hudori kepada anakanya beliau selalu mengirimkan surat, mengingatkan agar tidak melupakan Shalat lima waktu dan rajin belajar hal yang penting diingatkan ayahnya.
Selain Shalat-shalat wajib Shalat sunatpun kerap ia lakukan hal ini tergambar pada sosok Pak Huduri tatkala ia selalu minta petunjuk ingin mencalonkan diri menjadi lurah desa Kedungpring seperti dalam cuplikan berikut dalam isi suratnya
“ Bapak juga sudah berapa kali Shalat Istikhoroh dan menurut bapak Allah memberikan tanda-tanda agar bapak menerima permintaan orang-orang desa kedung Pring. Ibumu sendiri juga mendukung asalkan pencalonan itu tidak didasarkan ambisi untuk memperoleh jabatan”.
Di samping Shalat Istikhoroh Shalat Tahajjud kerap dilakukan oleh Ahmad Furkon seperti digambarkan penulis novel melalui tokoh Ahmad furkon
“ Furkon menatap jam dinding yang jarum sekonnya bergerak berlahan-lahan. Sudah menjelang tengah malam Furkon beranjak dari kursi belajarnya lalu melangkah kekamar mandi, tiba-tiba ia ingin Shalat Tahajjud.
Furkon selalu ingat pesan dari orang tuanya bahwa selain shalat wajib lima waktu dalam sehari ada Shalat-shalat sunnah yang jika di kerjakan dengan khusuk bisa menentramkan hati. “bangunlah tengah malam dan Shalatlah” kata ibunya. Ketika orang lain tidur nyenyak, bangunlah lalu mengambil air wudhu’dan bersujudlah “kata ayahnya”.
Pak Hudori digambarkan sebagai sosok orang yang sederhana dan terkenal dengan keluarga sakinah didesanya. Ia selalu istiqomah menjalankan Shalat Tahajjud. Pada malam itu beliau ingin merenung dan pergi keladangnya. Disamping untuk merenung ia ingin menjaga ladangnya agar terhindar dari kere-kera berekor panjang merusak tanamannnya. Pak Hudori masuk kedalam rumah, lalu ia tersenyum sendiri, ia ambil korek gas lalu di hidupkan dengan cahaya korek api itu ia melihat jam tangannya sudah menunjuk pukul 03.00 dini hari.
“Pak Hudori mengambil air wudhu’ dari ember yang tadi dibawa dari rumahnya, setelah wudhu’ ia gelar tikar dan sajadah lalu ia shalat.
Sepi sekali, yang terdengar hanya gemersik daun-daun jagung yang disapa angin malam.
“ Allahuakbar…..”!.
Cuplikan tersebut menggambarkan keistiqomahan, kesabaran dan kedamaian dan agamisnya jiwa mereka, walaupun penuh kesederhanaan, mereka selalu istiqomah menjalankan perintah Allah, memohon ridho dan pertolongan dari Allah dengan penuh kekhusuan sesuai dengan perintah Allah dalam firmannya surat al-Baqarah ayat 45:
واستعينوا بالصبر والصلاة وإنها لكبيرة إلا على الخاشعين(45)
Artinya : “Jadilah sabar dan Shalat sebagai penolongmu, dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’ (Q.S al-Baqarah ayat:45)
Dengan Shalat yang khusyu’ manusia dapat meningkatkan derajat dan kwalitas dirinya sebagai hamba yang bertakwa. Hanya taqwa kepada Allah manusia akan memperoleh kemuliaan dari pada-Nya, karena Shalat mempunyai efek dan kaitan yang sangat luas, maka shalat yang khusyu’ laksana mi’raj Nabi Muhammad SAW, dia akan memperoleh jalan dan tangga menuju kemuliaan dan kebahagiaan yang didambakan.
Shalat merupakan ibadah orang Islam, setiap Muslim dapat berhubungan langsung dengan Allah. Di dalam komunikasi antara makhluk dan khaliknya inilah secara timbal balik manusia akan mendapatkan-Nya dan getaran-Nya yang sangat indah dan mengasikkan. Oleh karena itu walaupun masyarakat Kedungpring mayoritas petani jagung mereka berusaha untuk selalu mendekatkan diri kepada sang pencipta.
Di tengah gencarnya isu pemilihan kepala desa Kedungpring, diantaranya dengan menggunakan kekuatan dukun yang dilakukan oleh calon kepala desa yang lain akan tetapi berbeda dengan Pak Hudori, ketentraman hati adalah dambaan setiap manusia, ia tetap ingat kepada Allah dan memohon kepada-Nya bahwa apapun yang akan terjadi entah kalah atau menang dalam pemilihan nanti beliau siap menerima kenyataan.
“Di pendopo kelurahan pemilihan sudah selesai, acara diskor dua jam sebelum acara perhitungan suara dilakukan. Pak Hudori, Furkon, Sartono dan Marhaban menuju masjid untuk melakukan jama’ah shalat Dzuhur. Bu Kusnah mengajak Rosyatin anak gadisnya dan Arum pulang dulu nanti kembali lagi pada saat perhitungan suara”.
Achmad Munif menggambarkan usaha seorang hamba yang berusaha khusyu’ dalam Shalatnya dengan lengkap dan memikat. Disaat itulah Pak Hudori merasakan ketenangan dan ketentraman jiwa walaupun menghadapi tantangan dalam pemilihan kepala desa ia hanya tersenyum ringan setelah jama’ah Shalat Dzuhur orang-orang menyalaminya. Atau ia hanya angkat bahu saja kala ada yang menanyakan prakiraan hasil pemilihan. Hal ini menunjukkan betapa rendah hati (tawaddhu’) nya seorang Hudori. Ia merasa pristiwa yang sesungguhnya tidak pernah dia inginkan terjadi maka terjadi juga. Bagi beliau semua itu karena misteri kehidupan yang tidak pernah ia mengerti.
Secara implisit Achmad Munif menggambarkan kesadaran manusia akan keterikatan seseorang dengan Illahinya. Melalui Shalat seseorang mampu menepis kegelisahan batinnya dan menemukan hikmah dibalik kejadian dan cobaan yang dihadapinya, pencerahan batin seseorang diperoleh dari jalan yang ditentukan Allah yakni melalui Shalat.
Shalat adalah salah satu yang ditetapkan Tuhan sebagai pengejawantahan dari keyakinan. Karena itu shalat telah menjadi kebutuhan bukannya beban atau kewajiban. Manusia adalah makhluk yang memiliki naluri cemas dan mengharap. Ia selalu membutuhkan sandaran kepada Allah terutama pada saat cemas, disaat inilah manusia bersandar pada Allah bukan pada manusia karena bersandar pada manusia tidak akan membuahkan hasil.
3. Akhlak atau Moral
a. Dzikir Kepada Allah
Dzikir berasal dari kata “dzakara” artinya mengingat, memperhatikan, mengenang, mengambil pelajaran, mengenal atau mengerti. Biasanya dzikir diperlihatkan orang hanya dalam bentuk renungan sambil duduk, al-Qur’an memberi petunjuk bahwa dzikir bukan hanya ekspresi dengan ingatan yang dilakukan dengan komat-kamit lidah sambil merenung akan tetapi lebih dari itu, dzikir bersifat implementatif dalam berbagai menciptakan yang aktif dan kreatif. Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imran ayat 191
الذين يذكرون الله قياما وقعودا وعلى جنوبهم ويتفكرون في خلق السموات والأرض ربنا ما خلقت هذا باطلا سبحانك فقنا عذاب النار(191)
Artinya : “Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata “Ya tuhan kami, tiadalah engkau mencptakan ini dengan sia-sia maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa Neraka” (Ali Imran 191)
Sebagai bukti bahwa dzikir bersifat implementatif dalam berbagai variasi yang aktif dan keratif, Achmad Munif menampilkan sosok pemuda yang sedang di landa cinta yaitu Ahmad Furkon. Bersama teman-teman yang lain dikala senda guraunya Ahmad Furkon yang sedang asik mendengarkan Abah Nur yang selalu memberi pencerahan rohani setiap bertemu bertemu santrinya, tetapi yang terpikir dalam benak Ahmad Furkon adalah alunan shalawat yang dilantunkan oleh santriwati Nurul Fitri. Di kala asik mendengarkan suara tembang Kasidah Furkon tersentak kaget karena ditanya temannya Sohib Ridwan masalah kepergiannya ke Jogja untuk melanjutkan studinya.
“Lekaslah ente ke Jogja. Disana tidak ada yang menghukum engkau”.
Furkon blingsatan.
“Istighfar Furkon, istighfar”.
Furkon tergagap.
“Astaghfirullahal’adzim.”
Dengan berzikir dapat menjaga lidah dari perkataan yang tidak bermanfaat, karena manusia tidak pernah berhenti berbicara selama hidupnya, akan tetapi jika pembicaraannya mengandung nuansa zikir dan mengingat perintah-Nya akan lebih bermanfaat.
Keluarga Ahmad Furkon memang terkenal keluarga yang harmonis hingga tidak jarang keluarga ini menyempatkan diri untuk bersenda gurau bersama anak dan istrinya, karena di desanya akan diadakan pergantian kepala desa, pak Hudori berpaling pada Furkon sedang belajar tidak jauh dari tempatnya bersantai.
“ Furkon?”.
“ Ya,Pak”.
“ Bagamana Pendapatmu kalau bapak mencalonkan diri menjadi lurah?”
“ Astaghfirullah hal ‘adzim, istighfar, Pak, istighfar”
“ Lo kenapa, Le?”
Furkon tertawa ngakak
Walaupun Nurul Fitria tidak disetujui ayahnya berteman dengan Furkon tetapi ia selalu saja mencari kesempatan untuk bertemu Furkon. Ditengah lamunan Nurul Fitria datang.
“ Cak?!”
“ Astaghfirullah….”
Furkon tersentak, Nurul Fitria sudah berdiri dekatnya.
Orang yang selalu mengingat Allah dikala melakukan aktivitasnya, akan menimbulkan ketenangan dan keterikatan batin yang selalu bersandar pada kuasa-Nya. Keterikatan untuk selalu menjadikan Allah sebagai tempat untuk berlindung dari segala persoalan hidup Allah berfirman dalam Surat al-Fatihah ayat 5 : “iyyaka nakbudu waiyyaka nastaiin” hanya Engkaulah (ya Allah) yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.
Islam dan tauhid sebagai prinsip ajaran-Nya, mengutamakan integritas (persatuan), Tuhan adalah Esa dan manusia yang diciptakan terpadu dan menyatu, baik dalam pikir maupun dalam dzikir serta prilaku sehari-harinya dengan pusat hidup dan proses segala-galanya, penyatuan dan integritas itu disebut dzikir. Hal ini digambarkan Achmad Munif ketika Gus Nur dan tokoh-tokoh masyarakat Kdung Pring lainnya mendukung Pak Hudori untuk mencalonkan diri menjadi lurah, walaupun dari sekian banyak masyarakat yang telah memberi dukungan tetap saja Pak Hudori berfikir jauh “bahwa menjadi pemimpin adalah amanat dari Allah”.
Pak Hudori adalah tokoh spritual didesa Kedungpring, ibadah-ibadah dilakukan sebagai aktivitas sehari-harinya, di samping ibadah-ibadah wajib, ibadah-ibadah sunatpun kerap dilakukannya seperi shalat duha, shalat tahajjud dilakukannya dini hari. Kebiasaannya setelah selesai mengucap salam terakhir shalatnya beliau mengambil tasbih dari saku bajunya, kemudian mengucapkan tasbih, tahmid, dan takbir, dengan menghitung biji-biji tasbih ditangannya masing-masng 33 kali lalu dilanjutkan dzikir dengan hitungan yang tidak terbatas.
Sebagai hamba Allah yang taat, selalu mengingat Allah dalam setiap langkah dan geraknya, tentu saja ia rindu dan ingin selalu merasa dekat dengan-Nya. Menjelang pemilihan lurah desa Kedungpring, Pak Hudori sudah siap apapun yang akan terjadi ketika pemilihan nanti dalam artian jika kalah beliau tidak kecewa dan menangpun tidak bangga karena ia ingat bahwa menjadi pemimpin bukanlah suatu penghormatan akan tetapi merupakan amanat dari Allah yang harus dipertanggaung jawabkan dihari akhir nanti. Walaupun kadang terbersit dalam renungnya jika ia dipanggil masyarakat “Pak Lurah” dan istrinya dipanggil “Bu Lurah” lalu dia sadar dari lamunannya lalu berucap “Astaghfirullah….” ia bergumam.
Istrinya adalah perempuan yang sederhana sepanjang hidupnya tidak memiliki ambisi apa-apa kecuali mati tetap dalam Islam. “wala tamutunna illa wa antum muslimuun”. Dan berapa keinginan lagi ia ingin anaknya menjadi anak yang shaleh dan shalehah. Bu Kusnah perempuan sederhana yang tidak banyak tuntutan yang harus selalu menuntut persamaan hak perempuan dan laki-laki.
Dengan demikian betapa pentingnya mengetahui (ma’rifat) dan mengingat (dzikir) Allah baik terhadap nama maupun sifat-safat-Nya, kemudian ditumbuh kembangkan dalam diri secara aktif, karena sesungguhnya iman adalah keyakinan dalam hati, diucapkan dengan lidah (lisan) dan direalisasikan dalam amal perbuatan. Seorang yang mampu menginternalisasikan sifat-sifat dan nama-nama Allah ke dalam dirinya, kemudian mengekpresikannya dalam prilaku sehari-harinya, jadilah orang tersebut manusia yang baik dan dijamin masuk Surga.
Tidak ada suatu jalan yang menyelamatkan manusia kecuali zikir kepada Allah. Praktek membuktikan barang siapa lidahnya telah terbiasa zikir kepada Allah, maka ia akan terjaga dari perkataan batil dan sebaliknya jika lidah kering dari menyebut nama Allah maka akan basah dengan kebatilan.
b. Bertaubat Atas Dosa Yang Telah di Perbuat
Taubat berakar dari kata “taba” yang berarti kembali. Orang yang bertaubat kepada Allah SWT adalah orang yang kembali dari sesuatu menuji sesuatu, kembali dari sifat-sifat tercela menuju sifat yang terpuji, kembali dari larangan Allah menuju perintah-Nya. Taubat ini dilakukan dengan menghentikan maksiat, menyesali diri atas dosa yang telah diperbuat dan berjanji tidak akan mengulangi lagi.
Setelah sekian lama Gus Muali mengatur siasat buruknya dengan maksud ingin mencari jabatan menjadi kepala desa Kedungpring, lalu ambisi itu dilakukannya dengan menghalalkan segala cara, yaitu mengorbankan anak perempuannya dijadikan taruhan hutang, pencalonan dengan mengambil jalan pintas, dengan mengundang dukun dengan tujuan ingin mendapatkan kekuasaan, hutang tersebar dimana-mana dan nama baik dimasyarakatpun sudah tercemar, lalu Gus Muali hanya bisa berandai-andai “andaikata tidak berambisi menjadi lurah, andaikata tidak menyogok calon-calon Lurah yang lain, andaikata tidak menghalangi hubungan Fitria dengan Furkon, andaikata tidak berhutang kepada Wak Mukri, andaikata tidak menjadi rentenir, andaikata tidak berambisi punya menantu Kahar, andaikata tidak sering meninggalkan Shalat lima waktu dan seribu andaikata lainnya”.
Dalam keadaan galau tidak tahu apa yang harus ia lakukan kecuali penyesalan yang mendalam, hatinya menjerit, menangis dan satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah beristighfar dan mengingat Allah. Hampir setiap malam Gus Muali senang melihat istrinya Shalat Tahajjud dan menderaskan al-Qur’an setiap habis Shalat Subuh. Padahal dulu Gus Muali sangat membenci anak dan istrinya rajin beribadah.
Gus Muali menyesali kesalahan yang telah ia perbuat, ia telah melakukan dosa besar sehingga mendatangkan bencana bagi dirinya dan rumah tangganya “kalau dulu aku tidak kedonyan (cinta dunia), menganggap harta satu-satunya yang bisa memberi kebahagiaan, ternyata harta hanya bisa memberikan kesenangan, tetapi bukan kebahagiaan”.
Gus Muali tidak segan meminta nasehat kepada istrinya Ny. Masyitoh dan Eyang Mus, karena kegelisahan hati dan kebingungan yang ia rasakan. Dari rumah Bakron ia langsung ngebut mengendarai mobil menuju rumah Eyang Sumo di Banyu Wangi sampai rumah Eyang Sumo, laki-laki tua itu sedang nglaras (menyanyi) dikursi goyang diberanda rumahnya yang bergaya joglo.
Eyang Sumo tersenyum.
“Kamu mau menyalahkan Eyang lagi? Kamu belum bisa menerima kekalahan itu?Muali, disetiap ada pertarungan itu hanya ada dua kemungkinan, menang atau kalah. Memang kadang berakhir seri, dan pertarungan diulangi untuk mengetahui siapa yang paling kuat “posisi seri” itu hanya sementara saja sebab pada akhirnya yang muncul adalah pemenangnya”.
“Masalahnya bukan itu, Eyang. Saya sudah menerima kekalahan”. Lalu apa lagi, minta aku nyantet Hudori?. Aku tidak bisa sebab santet itu akan berbalik menyerangku. Hudori terlalu baik untuk dicelakai”.
“Saya memang salah Eyang? Lalu apa yang harus saya lakukan?”
“Kembalilah kerumah”!
“Apa itu mungkin?”
Dalam hati Gus Muali bisa menerima nasehat Eyang Sumo, maka ia merasa tidak ada gunanya berlama-lama di Banyu Wangi, ia ingin segera kembali kepada anak dan istrinya. Mendengar nasehat Eyang Sumo, terbitlah cahaya harapan diwajah Gus Muali karena dalam keadaan bingung, cemas dan putus asa ada seorang yang mau menolong dan menyejukkan hatinya serta memberikan alternatif yang baik.
Tobat yang dianjurkan Eyang Sumo hakekatnya adalah tobat Nasuha yang dianjurkan untuk menghapus segala kealpaan dan kesalahan seperti yang telah difirmankan Allah dalam surat al-Tahrim ayat: 8
ياأيها الذين ءامنوا توبوا إلى الله توبة نصوحا عسى ربكم أن يكفر عنكم سيئاتكم ويدخلكم جنات تجري من تحتها الأنهار
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhanmu akan menghapus kesalahan-kesalahan dan memasukkan kamu kesurga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai (at-Tahrim:8
Pada akhirnya Gus Muali bisa menerima apa yang di nasehati Eyang Sumo kepadanya untuk segera kembali kepada Allah dan membangun kembali keluarga yang sudah tidak harmonis lagi. Mungkin dengan jalan itu Gus Muali semakin menyadari keberadaan dirinya dihadapan Allah. Dengan cara halus penuh hikmah Eyang Sumo dan istrinya memberi nasehat agar Gus Muali kembali kepada jalan Allah, membangkit kembali religiusitas Gus Muali yang nyaris hilang dalam hidupnya.
“Aku lupa sangkan paraning dumadi”. Aku lupa bahwa dulu pemuda miskin yang berhasil karena dimodali mertua. Aku menyombongkan diri seolah-olah apa yang aku dapatkan seluruhnya hasil keringatku sendiri. Aku lupa bahwa dalam setiap keberhasilan manusia, takdir Tuhan ikut berperan. Aku lupa Shalat, Shalat jama’ah dimasjid hanya menghabis-habiskan waktu”
“ Sudahlah Pak, yang berlalu biarlah berlalu. Sekarang kita pikirkan anak kita, Ibu kasihan sekali sama si Fit, ia terpaksa berkorban demi orang tua, kita ini terbalik seharusnya orang tua berkorban untuk anak tapi Fit berkorban untuk kita itukan terbalik Pak”!
c. Do’a dan Ikhtiar
Ikhtiar dan do’a merupakan cara yang di anjurkan Islam untuk mencapai apa yang diinginkan oleh seseorang, manusia tidak akan mendapatkan hal yang diinginkan jika tidak diiringi dengan usaha atau iktiar. Begitu juga sebaliknya walaupun usaha sudah dilakukan dengan maksimal jika Allah tidak menghendaki, maka seseorang tidak akan mendapatkan apa yang ia inginkan. Maka ikhtiar dan do’a adalah satu jalan yang harus dilakukan seiring, Allah berfirman dalam surat al-Ra’d ayat 11:
إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم
Artinya: “sesungguhnya Allah tidak merubah suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada dirinya (QS. Al-Ra’d ayat 11)
Di samping belajar ilmu Islam para santri pondok pesantren juga diajarkan para ustazdnya cara bercocok tanam, suatu hari para santri setelah menyelesaikan kerja mereka menanam biji-biji jagung dilubang-lubang dibeberapa petak tanah ladang itu. Para santriwan membuat lubang-lubang itu dengan alu santriwati memasukkan biji-biji jagung dilubang tersebut, setelah bekerja mereka memisahkan diri dalam dua kelompok, Abah Nur datang melihat hasil cocok tanam santri dan santriwati, disamping itu Abah Nur seperti biasa memberikan sedikit semangat agar anak-anak didiknya selalu semangat melakukan aktivitas mereka, seperti dalam cuplikan berikut:
“Allah itu suka kepada orang-orang yang mau bekerja keras. Innallaha la yughoyyiru ma biqoumin hatta yughoyyiru ma biamfusihim.
Abah Nur sebagai seorang Ustadz yang terkenal baik dan berwibawa di pondok pesanteren itu tidak pernah jenuh memberikan nasehat kepada para santri dan santriwati.
“Sudah saatnya kita kembali kepesanteren, sekarang empat petak cukup, besok kita tingkatkan menjadi lima petak “!
“Setuju”?
“Apakah kalian tidak tahu Allah memberikan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang dikehendaki. Tapi insyaallah kita akan diberi rizki yang banyak karena kita mau bekerja keras dan bersyukur.
“Amiiin.”
Cuplikan diatas menggambarkan para santri dan santriwan selalu optimis bahwa Allah pasti akan memberi rezeki kepada para hamban-Nya, ini menunjukkan bahwa ikhtiar yang mereka lakukan tetap disandarkan kepada Allah.
Suatu perasaan yang tidak menyenangkan, kecemasan dapat membangun dan mendorong terjadinya tingkah laku yang efektif dan positif. Ketika Ahmad Furkon berkeinginan untuk melanjutkan studinya keperguruan tinggi ia merasa cemas bahwa orang tuanya tidak bisa membiayai kuliyahnya disamping itu ia juga hawatir bahwa ia tidak diterima diperguruan tinggi yang ia inginkan, akan tetapi Pak Hudori sebagai ayahnya selalu memberikan yang terbaik untuk anaknya seperti dalam cuplikan berikut:
“Kapan rencana kamu ke Jogja?” tanya Pak Hudori sambil makan
“ Untuk menghemat biaya, nanti saja kalau dekat ujian masuk.”
“Sekitar sebulan lagi”.
“Kamu sudah siap?”
“ Belajar sih sudah Pak. Tapi masuk Gadjah Mada itukan sulit, saingannya banya ribuan.”
“ Mintalah kepada Allah. Ud’uni astajib lakum. Kalau kamu minta dengan sungguh-sungguh Allah pasti ngijabihi
“ Kadang-kadang saya malu Pak. Masak kita ini minta terus.”
“ Lo Gusti Allah justru akan marah kalau kita tidak pernah minta, Allah maha kaya dan maha pemberi.
Pak hudori tidak pernah jenuh untuk meyakinkan anaknya.
“Soal biaya jangan kamu pikirkan bener, bapak yakin bisa cari uang untuk sekolah kamu, Allahu yabsuthu rizqon liman yasya’u min ba’dihi wayaqdiru lahu bikullisyai’in aliima, Allah melapangkan rizki bagi siapa saja yang dikehendakinya diantara hamba-hambanya dan dia pula yang menyempitkan baginya. Sesungguhnya Allah maha mengetahui segala sesuatu.
Di tengah kebingungan dan kebimbangan antara mencalonkan diri menjadi lurah atas permintaan masyarakat Kedungpring dengan tidak mencalonkan diri menjadi lurah, Pak Hudori selalu berkomunikasi dengan anaknya walaupun Ahmad Furkon jauh dari orang tuanya. Komunikasi dilakukan dengan surat.
“Furkon, maafkan Bapak kalau menerima permintaan orang-orang Kedungpering, Bapak tidak bisa menolak setelah Abah Nur menemui Bapak maaf yo Le. Berdo’alah kamu untuk Bapak, kalau dalam pemilihan nanti bapak kalah, semoga Bapak tetap tegar. Kalau Bapak menang do’akan semoga Allah membimbing Bapak agar bisa memimpin desa Kedungpring dengan baik. Mungkin kamu kecewa atas keputusan Bapak ini, tapi Bapak sudah “Bismillah” Bapak juga sudah berapa kali Shalat Istikhoroh dan menurut Bapak, Allah memberikan tanda-tanda agar bapak menerima permintaan orang-orang Kedung Pring, Ibumu sendiri juga mendukung asalkan pencalonan itu tidak berdasarkan ambisi untuk memperoleh jabatan.
Achmad Munif sebagai penulis novel Kasidah Lereng Bukit memberikan solusi melalui tokoh Pak Hudori dan Abah Nur berupa ikhtiar dan do’a ketika seorang sedang menghadapi cobaan hidup dengan ikhtiar seorang dapat merealisikan apa yang dikehendakinya. Tanpa ikhtiar apa yang diharapkan tidak akan menjadi kenyataan. Achmad Munif memberi solusi tidak hanya sebatas ikhtiar saja dalam novelnya, akan tetapi diiringi dengan do’a. Karena dengan do’a merupakan harapan yang sangat dalam serta kepercayaan yang sangat teguh bahwa Allah akan menjauhkan segala halangan yang akan menghambat tercapainya maksud dan tujuan. Sehingga dengan do’a dapat memupuk rasa optimis dalam diri seorang, percaya diri terhadap apa yang akan dihadapi dan akan menyingkirkan keragu-raguan dan kecemasan serta mempertebal keimanan.
d. Syukur
Syukur adalah memuji sipemberi nikmat atas kebaikan yang telah dilakukannya. Hakekat syukur dapat dikualifikasikan menjadi tiga macam (1) syukur dengan hati yaitu dengan merenungkan nikmat itu sendiri. (2) syukur dengan lisan atau lidah yaitu dengan memuji dan menjunjung sang pemberi nikmat. (3) syukur dengan anggota badan, yaitu dengan membalas nikmat yang diterimanya sesuai dengan kemampuan dan etika bersyukur. Sudah sepantasnya seorang hamba selalu bersyukur terhadap nikmat yang telah diberikan kepadanya. Allah berfirman dalam surat al-Baqoroh ayat” 152 :
فاذكروني أذكركم واشكروا لي ولا تكفرون(152)
Artinya: “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (Pula) Kepadamu, dan bersyukurlah Kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku (QS: al-Baqarah: 152)
Abah Nur seorang ustadz yang selalu memberi motivasi kepada santri-santrinya, beliau tidak pernah jenuh, tidak kenal lelah mengajak santri-santrinya bekerja untuk meringankan beban orang tua santri. Setelah tanaman jagung berhasil para santri akan mendapat subsidi dari hasil penjualan jagung itu hal ini digambarkan dalam cuplikan berikut:
“ Abah Nur tersenyum .
“ Berapa petak hari ini”?
“ Empat petak Abah……”
Para santriwan menjawab serentak.
“ Bagus kita tinggal menunggu jagung-jagung itu tumbuh, berbuah lalu kita memanennya. Alhamdulillah semuanya harus kita syukuri, mudah-mudahan jagung-jagung yang kita tanam tumbuh dengan baik dan tidak dimakan hama”
“ Amiiin…..”
Janji Allah tidak akan pernah diingkari ketika hamba-Nya selau bersyukur atas nikmat yang telah diberikan, begitulah Abah Nur tidak kenal lelah memberi nasehat kepada muridnya. Karena beliau tahu bagaimana kondisi ekonomi anak didiknya. Tidak semua santri serba berkecukupan, akan tetapi ada sebagian anak didiknya berasal dari keluarga yang tidak mampu. Abah Nur selalu meyakinkan santrinya bahwa Allah akan memberikan rezeki dan menyempitkan bagi siapa yang dikehendaki-Nya, tapi Insya allah kita akan diberi rezeki yang banyak karena kita mau bekerja keras dan bersyukur.
“ Amiiin….!
Hal tersebut seperti difirman Allah dalm surat Ibrohim ayat: 5
لئن شكرتم لأزيدنكم ولئن كفرتم إن عذابي لشديد(7)
Artinya: “Jika kamu bersyukur akan Kutambah (nikmat-Ku) untukmu, dan bila kamu kufur, maka sesungguhnya siksa-Ku amat pedih (QS. Ibrohim: 5)
Hakekat syukur yang diaplikasikan oleh tokoh Abah Nur adalah syukur lisan dan anggota badan karena disamping beliau mengucapkan kata syukur beliau juga mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Anak-anak muridnya diajak bekerja untuk mendapatkan tambahan biaya belajar mereka.
e. Prasangka
Salah satu ajaran moral dalam Islam adalah baik sangka (khusnu al-zan) menurut Abu Muhammad baik sangka adalah meniadakan prasangka buruk.
Novel “Kasidah Lereng Bukit” karya Achmad Munif dengan kreatif menggambarkan sebuah keluarga yang selalu membentuk pribadi-pribadi yang selalu berbaik sangka terhadap siapapun, misalnya keluarga Pak Hudori ketika menepis perkataan anaknya Furqon, dia menyangka walaupun menyukai Nurul Fitria, dalam benaknya bahwa orangtua Nurul Fitria tidak akan merestui hubungannya dengan gadis yang ia cintai. Furkon merasa pisimis Nurul Fitria tidak mencintai dia dengan alasan keluarganya miskin, sedangkan Nurul Fitria adalah anak orang kaya di Desa Kedungpring. Perkataan Furkon langsung ditepis oleh bapaknya seperti dalam cuplikan berikut:
“ Gane ngerti, kon saiki wiss pinter Le. Kamu sudah pas jadi suami Fitria”
” Iya kalu bapaknya setuju, selama kantong kita tipis mana dia mau.”
“ Ya jangan begitu, jangan prasangka buruk dulu. Ojo su’uzon, apike khusnudzon ae, Le”
“ Tidak prasanka buruk, Pak. Tapi saya sudah mendengar Gus Muali pernah menyatakan tidak akan merestui hubungan saya dengan anak gadisnya”
“ Itu dulu, kan?”
“ Sampai kapanpun.”
“ Kamu ini pisimis saja bawaannya”.
Agar selalu berprasangka baik tidak semua orang melakukannya dengan mudah akan tetapi prasangka buruk (su’u al-Zan) merupakan keharusan untuk dijauhi. Allah SWT berfirman dalam surat al-Hujarat ayat 12:
ياأيها الذين ءامنوا اجتنبوا كثيرا من الظن إن بعض الظن إثم
Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari berburuk sangka, sesungguhnya sebagian berburuk sangka adalah dosa (al-Hujarat: 12)
Parkara hubungan furkon dan Fitria sangat berkaitan dengan masalah pencalonan orang tua mereka menjadi kepala desa, karena Pak Hudori dan Gus Muali keduanya mencalonkan diri menjadi kepala desa. Suatu hari Gus Muali mengutus tim suksesnya Bakron untuk mendatangi Pak Hudori kekebunnya, dalam pertemuan itu berbicara masalah hubungan Furkon dan Nurul Fitria, hal ini diceritakan Pak Hudori kepada istrinya, Bu Kusnah tidak bisa menghilangkan rasa herannya, ada apa tim sukses Muali datang kepada suaminya, mereka menganggap perubahan Gus Muali terlalu cepat.
“ Kalau Ibu bagaimana?”.
“ Saya ini setuju saja, Pak tapi apakah keinginan Gus Muali itu tulus ?”.
“ Jangan su’uzon, kita Khusnudzon saja”
“ Tidak su’uzon , tapi ada apa?”.
“ Bapak sendiri tidak tahu.”
“ Lalu bapak tadi bilang apa?”.
“ Kamukan tahu bapak ini selalu berprasangka baik kepada siapa saja yang datang. Saya bilang kepada Bakron kalau maunya Muali begitu saya manut saja. Bukankah Furkon memang mencintai Fitria?”
Kedatangan Bakron tim sukses Muali ketempat Pak Hudori dengan cepat kabar tersebar keplosok desa Kedungpring. Berbagai penafsiran dari pristiwa itu. Pak Hudori memang tidak tahu siapa yang menyebar kabar yang beterbangan. Berbagai kabar burung dan prasangka yang di duga oleh masyarakat desa Kedung Pring. Perkara kedatangan Bakron inipun menjadi masalah dalam pencalonan kepala desa, pada mulanya sebagian masyarakat sudah yakin memilih Pak Hudori akhirnya berpihak kepada Gus Muali dan sebaliknya yang sudah yakin memilih Gus Muali akhirnya berseberangan ingin memilih Pak Hudori.
Setelah terpilihnya Pak Hudori menjadi kepala desa, pada mulanya hubungan Furkon dan Fitria sudah disetujui orang tuanya untuk menikahkan Nurul Fitria menjadi istrinya akan tetapi Gus Muali di landa kesulitan di mana-mana banyak hutang, sedangkan hubungan dengan Pak Hudori sedikit renggang, ia merasa malu kepada pak Hudori padahal Pak Hudori tidak mempermalukan dia, akhirnya Gus Muali berencana menikahkan Nurul Fitria kepada Kahar anak Wak Mukri juragan tembakau karena hutang kepada orang tua Kahar. Suatu hari Kahar ingin mengajak Nurul Fitria untuk jalan-jalan, akan tetapi Bu Masyitoh selalu berprasangka yang tidak enak terhadap Kahar, ia takut anaknya terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Gus Muali berusaha menepis prasangka istrinya.
“ Jangan membayangkan yang buruk-buruk”.
“Tapi Firasat saya?”.
“ Masak sih ada seorang calon suami berniat buruk terhadap calon istrinya?”.
“ Siapa tahu.”
“ Kita tidak boleh Su’uzon, Bu. Masak kepada calon menantu Su’udzon.”
“ Saya sendiri kepinginnya ya Khusnudzon saja, Pak. Tetapi perasaan saya mengatakan lain.
Cuplikan tersebut sungguh berbaik sangka tidak mudah untuk diaflikasikan dalam kehidpan sehari-hari kendati keinginan sudah menghendaki untuk berbaik sangka akan tetapi hati tidak demikian.
f. Tawadhu’
Tawadhu’ artinya rendah hati, lawan dari sombong atau takabur. Orang yang rendah hati tidak memandang dirinya lebih dari orang lain, sementara orang yang sombong menghargai dirinya secara berlebihan.
Pesan dakwah dari sosok yang di gambarkan Achmad Munif melalui tokoh Pak Hudori adalah bahwa rendah hati merupakan anjuran Islam yang pantas untuk diikuti oleh orang-orang muslim. Hal ini terbukti bahwa implikasi dari aplikasi tawadhu’ pengakuan Bu Narmi sebagai Ibu kos Acmad Furkon dalam cuplikan novel berikut.
“Pada suatu saat orang-orang akan akan melihat pamor itu lalu mengangkatnya menjadi pemimpin. Banyak orang yang merasa dirinya pemimpin tetapi sebenarnya ia bukan apa-apa dan sama sekali tidak kewahyon. Orang semacam ini memang bisa saja memaksa diri atau dipaksa menjadi pemimpin namun dia tidak akan berhasil. Pak Hudori, ayahmu itu Nak Furkon, orang yang rendah hati, ia merasa dirinya tidak berarti apa-apa, merasa miskin, padahal mempunyai kekayaan jiwa yang luar biasa besarnya.
Sikap tawadhu’ terhadap sesama manusia adalah sifat mulia yang lahir dari kesadaran akan kemahakuasaan Allah atas segala hambanya. Ia menyadari bahwa apa-apa yang dimiliki, baik bentuk rupa yang cantik atau tampan, ilmu pengetahuan, harta kekayaan maupun pangkat yang tinggi, kedudukan dan lain-lain adalah akan diminta pertanggung jawaban kepada Allah. Allah SWT berfirman dalam surat an-Nah layat 53:
وما بكم من نعمة فمن الله ثم إذا مسكم الضر فإليه تجأرون(53)
Artinya: “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudhoratan, maka hanya kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan (QS. An-Nahl: 53)
Dengan kesadaran yang ada pada diri seseorang tidak pantas bagi dirinya untuk menyobongkan diri terhadap Allah, bahwa dengan tawadhu’ tidak akan membuat derajat seseorang menjadi rendah, malah ia akan dihormati dan dihargai. Rosulullah SAW bersabda :
التواضع لا يزيد العبد إلاّ رفعة وتواضعوا يرفعكم
Artinya: ”Tawadhu’ tidak ada yang bertambah bagi seorang hamba kecuali ketinggian (derajat), oleh sebab itu tawadhu’lah kamu, niscaya Allah akan meninggikan derajatmu (HR. Ad-Dailami)
Hal tersebut terbukti digambarkan Achmad Munif dalam karyanya “Kasidah Lereng Bukit” melalui tokoh Pak Hudori, dengan kerendahan hatinya, beliau mendapat kepercayaan menjadi kepala desa Kedungpring, masyarakat tidak pernah menyangka bahwa ia benar-benar Nyolong Petek, orang tidak menyangka bahwa Pak Hudori adalah satria piningit yang sebelumnya hanya dikenal hanya sebagai orang yang biasa, tetapi ketika tiga bulan memimpin desa keluar pamornya. Pelbagai kebijakan bahwa Pak Hudori memang pemimpin yang berorientasi kerakyatan.
g. Mengucapkan Shalawat dan Menebarkan Salam (Absussalam)
Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk mengucapkan Shalawat dan salam kepada Nabi bukan berarti Nabi membutuhkannya. Sebab tampa do’a dari siapapun beliau sudah pasti akan selamat dan mendapatkan tempat yang paling mulia dan paling terhormat disisi Allah SWT. Allah berfirman :
انّ الله وملائكته يصلون على النبي ياأيها الذين ءامنوا صلوا عليه وسلموا تسليما(56)
Artinya : “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriaman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya (al-Ahzab: 56)
Perintah untuk bershalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW dengan pernyataan bahwa Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada beliau hal ini disamping menunjukkan betapa mulia dan terhormatnya kedudukan beliau disisi Allah SWT, juga menunjukkan betapa pentingnya perintah bershalawat dan salam itu untuk dilakukan.
Tradisi masyarakat, yang dilakukan pemuda dan pemudi beserta santri dan santriwati di desa Kedungpring setiap malam jum’at adalah menyelenggarakan diba’an diantara Shalawat yang sering dilantunkan oleh masyarakat ini adalah:
“Ya Robby solli alaa Muhammad
Ya Robby sholli alaihi wasallim
Ya Robby balighul washilah
Ya Robby khushoh bil fadhilah
Ya Robby wardho anissohabah”.
Nurul Fitria sebagai santriwati yang kreatif dalam memimpin diba’an. Shalawat yang sering di lantunkan oleh Nurul Fitria bersama teman-temannya adalah :
“Ya Nabi salam alaika
Ya Rosul salam alaika
Ya Habib salam alaika
Shalawatullah alaika”.
Kegiatan diba’an seperti yang dilakukan masyarkat ini tergambarlah bahwa cintanya masyarakat kepada baginda Nabi, disamping untuk menambah keimanan juga untuk menambah aktivitas yang bernuansa positif dimasyarakat Kedungpring. Ucapan shalawat dan salam dari kita, orang-orang yang beriman, disamping sebagai bukti penghormatan kepada beliau, juga untuk kebaikan diri sendiri. Nabi Muhammad SAW bersabda:
من صلّى عليّ مرّة صلّى الله عليه بها عشر
“ Barang siapa yang bershalawat kepadaku satu kali, maka dengan shalawatnya itu Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali (H.R Ahmad)
Selain bacaan Shalawat yang di bacakan dalam Shalat dan di lantunkan seperti dalam bentuk Diba’an, salam diaflikasikan lebih kreatif lagi dalam kehidupan sehari-hari dan dalam berbagai kesempatan baik dalam pidato, ceramah seminar, diskusi maupun dalam pembicaraan sehari-hari.
Salam merupakan ucapan ketika bertemu antara orang Islam satu dengan orang Islam lainnya. Salam ini berisi do’a keselamatan yang sangat dianjurkan agama Islam. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairoh mengatakan:
“Ya ayyuhannaas afsussalam wa’at’imul mutho’aam washilularham”
Wahai sekalian manusia, tebarkan salam, dan beri makan, dan hubungilah famili….(Bahresyi: 1987: 50)
Adapun ucapan salam itu banyak dituturkan dalam agama Islam, seperti mulai dari yang paling pendek sampai yang paling panjang adalah “assalamu;alaikum”. “assalaamu’alaikum warohmatullahi” dan “assalamualaikum warohmatullahi wabarokaatuh”. Bagi yang diberi dan mendengarkan salam wajib menjawab dengan ucapan yang sama atau lebih baik yakni “wa’alaikum salam”, wa’alaikum salam warohmatullahi” atau wa’alaikum salam warohmatullahiwabarokatuh”. (Bahreisyi: 1987: 53-54)
Melalui tokoh Abah Nur, Achmad Munif menggambarkan secara inplisit bahwa peraktek salam selalu diaplikasikan dalam kehidupan pemuda dan pemudi, santri santriwati desa Kedungpring. Setiap berjumpa dengan santri dan pemuda Abah Nur pertama kali diucapkan adalah salam.
“Assalamu’alaikum…!
“Wa’alaikum salam, jawab santri serentak.
Di samping pertemuan Abah Nur dengan santri yang sengaja maupun tidak disengaja, pertemuan rutin yang sifatnya sengaja beliau selalu membiasakan untuk memuji kehadirat Allah SWT dan shalawat beserta salam sebelum mengawali pengajian bersama santrinya.
Betapa pentingnya shalawat dan salam untuk selalu diaflikasikan dalam kehidupan sehari-hari, sebagai wujud dari iman, cinta dan hormat kepada Nabi Muhammad SAW, dan juga sebagai bentuk rasa terimakasih atas jasa-jasa beliau yang tidak ada tandingnya untuk umat manusia, lebih khusus lagi untuk orang-orang yang beriman, tentu tidak pantas sebagai umatnya berhemat-hemat mengucapkan shalawat dan salam kepada beliau, apalagi jatuh kepada sifat “Bakhil” atau kikir. Di samping sebagai rasa hormat dan untuk mempertebal keimanan kita kepada Nabi Muhammad, salam merupakan do’a bagi orang muslim, setiap bertemu ,bertatap muka ucapan yang pertama kali keluar dari mulut adalah salam, sebagai pembeda antara orang Muslim dan non Muslim, maka dari itu dalam ajaran Islam tidak dianjurkan untuk mengucapkan salam kepada orang yang non Muslim.
h. Menjaga Keharmonisan Rumah Tangga
Pak Hudori adalah seorang sosok yang terkenal sederhana, sabar dan jujur. Setelah berapa tahun beliau menikah dengan Bu Kusnah dan dikaruniai dua orang anak. Bu Kusnah adalah seorang istri yang sangat patuh kepada suaminya tidak banyak tuntutan ia bukan perempuan dari gerakan peminin yang terus menerus menuntut persamaan hak. Ia tidak mengerti betul apa itu emansipasi, baginya dalam rumah tangga apabila sudah ada saling saling pengertian sudah cukup, tidak perlu tugas istri dan suami dibagi-bagi agar rata dengan demikian akan terasa adil. Sebab bagi Bu Kusnah apa yang disebut adil jika suami dan istri sudah memenuhi kewajibannya dengan baik, suami memberi nafkah dan istri membelanjakannya dengan hati-hati. Gusti Allah telah memberikan jatahnya masing-masingkepada setiap orang “Nrimo Ing Pandum” bagi Bu Kusnah jangan diartikan sebagai kepasrahan total. beliau juga termasuk orang yang sederhana sehingga beliau punya perinsip bahwa dia tidak banyak punya ambisi kecuali mati dalam keadaan Islam Wala tamutunna Illa wa’antum Muslimuun. Di samping itu beliau ingin anaknya menjadi anak Shaleh dan Shalekhah. Namun sebagai ungkapan rasa syukur mendapatkan rezeki dari hasil usaha yang sudah dilakukan, oleh karena itu bagi Pak Hudori istrinya adalah “bintang bercahaya” yang selalu menjadi penerang jalan hidupnya yang kadang-kadang terasa gelap apalagi pada masa-masa sulit tahun 60-an ketika ia sering di kirim kekantong-kantong pemberontak di hutan-hutan dan Goa di Jawa Timur bagian Selatan.
Istrinya selalu mengingatkan agar tidak lupa membaca Bismillah atau La haulawala quwwata illa billahil’aliyil’adzim, agar selalu mendapat keselamatan dari Tuhan. Pak Hudori tidak tahu apa yang akan terjadi ketika menghadapi masa-masa sulit jika tidak dibimbing oleh perempuan penyabar bagaikan Dewi Prupadi itu.
Pak Hudori senyum sendiri.
“Dulu ia sering memuji istrinya bagaikan Dewi Drupadi istri Prabu Puno Dewo yang kesabarannya tanpa tanding. Dan biasanya, istrinya protes kalau disamakan dengan Dewi Drupadi dengan mencubitnya kuat-kuat. Dan ia selalu menghindari cubitan yang datangnya bertubi-tubi bagaikan peluru yang ditembakkan. Disinilah romantisnya Pak Hudori bersama istrinya. Kadang Pak Hudori menyamakan istrinya dengan Dewi Setyawati Permaisuri Prabu Salya yang memiliki kesetiaan yang luar biasa hebat. Dan istrinya protes karena Permaisuri Prabu Salya itu bunuh diri ketika suaminya gugur dimedan perang.”
Walaupun kehidupan mereka terkenal keluarga yang sederhana didesanya namun rumah tangga yang dibangun dengan kasih tulus itu selalu mengalirkan kebahagiaan. Hal itu tidak lepas dari upaya mereka untuk mewujudkan keharmonisan hubungan suami istri yang dicapai melalui:
1) Saling Mencintai dan Saling Menerima Kekurangan
Pak Hudori adalah seorang Tentara Nasional Indonesia (TNI), bisa dikatakan dari orang yang berpendidikan dan berpengalaman, akan tetapi Bu Kusnah istrinya hanya Ibu rumah tangga yang tidak punya penghasilan apa-apa. Jika dipehatikan disinilah keharmonoisan terbentuk, saling menerima kekurangan masing-masing. Bu Kusnah sangat yakin walaupun beliau hanya bekerja seputar mengurus rumah tangga dan anaknya ia yakin bahwa itu merupakan ibadah kepada Allah. Sudah semestinya Bu Kusnah mendapatkan perlakuan yang baik dari suaminya karena Bu Kusnah selalu memberikan yang terbaik kepada suaminya. Allah firman dalam Surat an-Nisa’ ayat: 9
وعاشروهن بالمعروف فإن كرهتموهن فعسى أن تكرهوا شيئا ويجعل الله فيه خيرا كثيرا(19)
Artinya: “Dan bergaullah dengan mereka secara patut, kemudian jika kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (QS. An-Nisa’: 19)
2) Tetap Setia dalam Suka dan Duka
Pak Hudori dalam beberapa hari yang lalu pamong atau petinggi desa yang lama datang kepadanya, mereka memberi dorongan agar Pak Hudori mencalonkan diri menjadi kepala desa. Sebab kepala desa yang lama Bapak Sanhaji sudah menjabat dua priode dan tidak bersedia di pilih lagi dengan alasan kesehatannya yang sudah tidak memungkinkan. Hal tersebut dimusyawarahkan oleh Pak Hudori bersama istri dan anaknya terlebih dahulu, pada dasarnya Beliau tidak pernah berambisi ingin menjadi kepala desa, beliau heran bisa-bisanya mereka menilai dirinya pantas memimpin desa.
“ Gak keliru, tah?
Pak Hudori berpaling pada Furkon yang sedang belajar tidak jauh dari tempat santainya.
“ Furkon”?
“ Ya, Pak.”
“ Bagaimana pendapatmu kalau bapak mencalonkan diri jadi lurah?”
“ Astaghfirullahal adziiim, Istighfar , Pak Istighfar!
“ Lo, kenapa, Le?”
furkon tertawa ngakak, Bu Kusnah muncul dari dapur.
“ Ada apa, Le?”
“ Bu, Bapak arep nyalon lurah.
Kata-kata Furkon itu disambut dengan tawa renyah Bu Kusnah.
“ Ketemu pirang perkoro, Paak, kok peno arepe nyalon lurah barang.
Musyawarah selalu dilakukan dalam keluarga Pak Hudori entah musyawarahnya besar maupun hal yang kecil, karena anak dan istri bagi Pak Hudori adalah tempat berbagi suka dan duka kehidupan masalah kecilpun ia musyawarahkan dan ia tidak segan meminta pendapat anak dan istrinya tentang apa yang sedang dipikirkannya. Melalui tokoh keluarga Pak Hudori Achmad Munif menggambarkan keluarga yang bahagia penuh dengan keharmonisan selalu memaafkan dan selalu bahu membahu untuk kesejahteraan bersama dalam keluarganya.
B. Penyampaian Pesan-pesan Dakwah Melalui Unsur-unsur Intrinsik Cerita Rekaan Novel “Kasidah Lereng Bukit” Karya Achmad Munif
Setelah menelaah pesan-pesan dakwah dalam Novel “ Kasidah Lereng Bukit” karya Achmad Munif pembahasan berikutnya adalah bagaimana penyampaian pesan-pesan dakwah diintegrasikan (disatukan, dipadukan) kedalam unsur-unsur intrinsik cerita rekaan.
Unsur-unsur intrinsik dalam cerita rekaan seperti yang telah penulis jabarkan pada bab satu adalah meliputi tema, tokoh dan perwatakan, alur, setting, teknik penceritaan dan diksi. Sebuah cerita rekaan tidak dapat dipisahkan dari unsur intrinsiknya, karena unsur itulah yang membuat sebuah cerita menjadi satu kesatuan yang utuh dan terpadu. Begitu pula dengan pesan dakwah yang ditampilkan dalam cerita, maka pesan dakwah akan menjadi sebuah bagian dalam sebuah cerita yang berhubungan dengan unsur intrinsik cerita tersebut. Pengarang menggunakan unsur intriniknya untuk menuangkan semua idenya sehingga cerita menjadi utuh dan saling padu, termasuk pesan-pesan dakwah yang dituangkan dalam cerita.
Berikut ini penulis mengemukakan analisis penulis tentang penyampaian pesan-pesan dakwah yang di integrasikan kedalam unsur-unsur intrinsik cerita rekaan dalam novel “Kasidah lereng Bukit” karya Achmad Munif.
1. Tema
Tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Pesan dakwah yang ditampilkan melalui tema berarti memang pesan dakwah itulah yang ingin ditonjolkan oleh pengarang dalam cerita rekaannya. Meskipun ada tema yang secara jelas digambarkan oleh pengarang dan ada yang secara samar-samar, tetapi jika pembaca membaca novel tersebut maka tema yang muncul dalam pikiran pembaca, jika novel mengandung pesan-pesan dakwah akan menimbulkan sebuah persepsi bahwa novel tersebut bernuansa Islami, karena unsur dakwah yang menonjol dalam temanya. Dan inilah salah satu kelebihan penyampaian pesan-pesan dakwah melalui tema, yaitu pesan tersebut akan lebih tampak sehingga pembaca lebih mudah memahami adanya pesan-pesan dakwah tersebut.
Selain itu penyampaian pesan-pesan dakwah melalui tema juga menjadikan nilai dakwah dalam novel itu menjadi menonjol dan kokoh karena di dukung oleh unsur intrinsik lain yang ikut membangun munculnya tema yang bermuatan dakwah tersebut. Dalam sebuah novel pada dasarnya bukan hanya satu tema yang akan di kemukakan oleh pengarang, akan tetap dari banyak tema yang di sampaikan, ada satu tema yang menjadi tema pokok, karena tema pokok merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung dalam teks sebagai struktur simentis (Tata makna, kata-kata) dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan.
Novel “Kasidah Lereng Bukit” misalnya tema novel ini ada banyak makna (tema) diantaranya masalah (1) dua anak muda desa kecil di lereng bukit yang saling jatuh cinta. Hubungan Ahmad Furkon dan Nurul Fitria tidak direstui orang tuanya pihak gadis dengan alasan keluarganya miskin. Akan tetapi orang tua gadis (Gus Muali) ingin merebut kekuasaan menjadi kepala desa, Nurul Fitria pura-pura diizinkan menjalin hubungan dengan Ahmad Furkon. Akan tetapi kekuasan tidak dapat diraih oleh orang tua gadis, karena terlalu berambisi dan menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. (2) masalah dua pribadi yang bertentangan pola berpikir. Tradisi perdukunan dan intrik (persekongkolan). Gus Muali digambarkan sebagai tokoh yang sangat ambisius untuk mendapatkan kekuasaan sedangkan Pak Hudori di gambarkan sebagai tokoh yang rendah hati tawakkal, sabar dan rajin menjalankan syari’at Islam sehingga dengan kerendahan hati beliau mendapatkan kepercayaan dan dukungan langsung dari masyarakat desa Kedung Pring. (3) tentang Nurul Fitria di jodohkan orang tuanya dengan Kahar anak Wak mukri juragan tembakau didesanya. (4) masalah Ning Lestari yang mencoba merebut cinta ayah Nurul Fitria dan berniat menyingkirkan Ibu gadis tersebut, ternyata setelah jelas kekalahan Gus Muali mencalonkan diri menjadi lurah Ning Lestari lari dari genggaman Gus Muali karena sudah tidak ada harapan lagi untuk mendapatkan kekayaan Gus Muali. (5) tentang kegigihan Furkon menuntut ilmu walaupu orang tuanya hidup apa adanya dan penuh kesederhanaan. Tetapi ia yakin jika ada kemauan pasti ada jalan untuk melanjutkan studinya ke Jogja.
Dari tema-tema yang ditawarkan dapat diambil pesan-pesan dakwah (1) Islam mengajarkan umatnya untuk slektif dalam menentukan calon pendamping hidup, Rosulullah SAW bersabda yang menjadi titik poin utama dalam memilih calon suami atau istri adalah agama. Karena agama telah melewati tiga kriteria yaitu kaya, catik dan keturunan baik-baik. (2) Kritik sosial tentang tradisi perdukunan, dalam Islam mempercayai selain Allah merupakan dosa besar sehingga hadits Rosulullah SAW mengatakan “Barang siapa mendatangi seorang peramal dan menanyakan sesuatu kepadanya, maka tidak diterima baginya shalat selama empat puluh hari” (HR. Muslim), (3) pesan lain bahwa Islam mengangkat derajat seseoang yang mempunyai ilmu pengetahuan dengan berapa derajat, Islam juga mnganjurkan umatnya untuk menuntut ilmu dari lahir hingga akhir hayatnya. (4) dalam hidup berumah tangga kehadiran orang ketiga dalam rumah tangga seringkali menjadi batu penghalang, salah satunya perselingkuhan.
2. Tokoh dan Perwatakan
Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa dalam berbagai peristiwa. Unsur ini menampilkan tokoh cerita (karakter) yang biasanya disebutkan nama dan latar belakangnya secara jelas oleh pengarang. Tetapi ada juga pengarang yang tidak menyebutkan latar belakang tokohnya secara jelas atau tampa menjelaskan nama lengkapnya, biasanya tokoh ini disebut peran pembantu atau tokoh bawahan, misalnya dalam novel “Kasidah Lereng Bukit” peran “Santriwan dan “Santriwati” disini tidak disebutkan nama secara lengkap dan latar belakang masing-masing individu secara jelas.
Selain menyebut tokoh, pengarang juga menampilkan perwatakan dari sang tokoh meskipun kadang tidak jelas atau tidak langsung, misalnya melalui sikap dan tindakan watak tokoh tersebut dalam menghadapi masalah kehidupan atau konflik dalam cerita tersebut. Biasanya ada tokoh protaganis (pemeran penting) atau panglima. Dan ada tokoh antagonis (tokoh penentang) dalam cerita rekaan. Pengarang menggambarkan tokoh Pak Hudori sebagai tokoh protaganis, dalam cerita digambarkan sebagai orang yang taat pada syari’at Islam dan Gus Muali sebagai tokoh antagonis, yang bertentangan dengan syari’at Islam.
Penyampaian pesan-pesan dakwah melalui tokoh yang tercermin dari sikap dan tindakan tokoh biasanya memang kurang tangkap secara langsung oleh pembaca, apalagi tokoh tersebut bukan tokoh utama, dan di sinilah salah satu kelemahan penyampaian pesan-pesan dakwah melalui tokoh. Oleh karena itu tokoh dalam cerita harus tokoh yang hidup atau tokoh yang berpribadi, berwatak dan memiliki sifat-sifat tertentu, bukan tokoh mati yang merupakan boneka ditangan pengarang, datar dalam bersikap, tidak memiliki respon dalam cerita dan diam tidak berubah (statis dan tidak ada gejolak emosional). Seorang tokoh atau pemeran secara wajar dapat diterima bila dapat dipertanggungjawabkan dari segi fisik, sosiologis dan psikologis.
Keberadaan tokoh cerita yang hidup diharapkan akan meninggalkan kesan di hati pembaca sehingga membuat pembaca mengingat keberadaan tokoh tersebut, begitu juga dengan tindakan dan sikap tokoh yang mencerminkan nilai-nilai Islam sebagai pesan-pesan dakwah.
Penyampaian pesan dakwah melalui tokoh dan perwatakan dalam novel “Kasidah Lereng Bukit” dapat digolong sebagai penyampaian pesan-pesan dakwah secara implisit (secara halus) karena tercermin dari sikap dan tindakan tokoh. Seperti tokoh Abah Nur sebagai seorang yang taat beribadah kepada Allah, penuh karismatik dan menjadi tokoh agama yang disegani dimasyarakat Kedungpring, akan tetapi tokoh ini secara fisik tidak ditampilkan dan tidak berpareasi dalam keterlibatannya sebagai tokoh hanya digambarkan dari segi sosialnya saja.
Tokoh Pak Hudori ditampilkan sebagai tokoh yang rendah hati dan istiqomah dalam menjalankan syari’at, hal ini tergambar pada keterlibatan pribadi tokoh dalam cerita contohnya bagaimana beliau menyikapi konflik yang ada dalam pencalonan kepala desa yang penuh dengan perdukunan dan persekongkolan masyarakat dalam pemilihan kepala desa.
Tokoh Gus muali sebagai tokoh yang menentang Pak Hudori digambarkan sebagai orang yang buruk akhlaknya dikalangan desa Kedungpring. Padahal anak dan istrinya adalah seorang yang taat beribadah, sabar dan tegar dalam menghadapi sikap Gus Muali yang tidak taat kepada ajaran syari’at dan egoisme tinggi hal ini bisa dipahami pada cerita tentang Nurul Fitria dijodohkan dengan Kahar anak juragan tembakau dan dilihat dari cara Gus Muali mencalonkan diri menjadi kepala desa akan tetapi pada akhirnya ia sadar bahwa apa yang telah ia perbuat sangat bertentangan dengan ajaran Islam.
Ada berapa metode dalam watak tokoh atau metode penkohannya yaitu metode langsung dan metode tak langsung. Metode langsung yaitu metode dimana pengarang tidak memaparkan watak tokoh tetapi hanya dapat menambah tentang watak tokoh. Sedangkan tokoh tak langsung adalah watak tokoh dapat ditonjolkan pengarang, bahkan juga dari segi penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat tinggal tokoh. Dalam novel “Kasidah Lereng Bukit” karya Achmad Munif ini tokoh Ahmad furkon digambarkan sebagai tokoh tak langsung hal ini tergambar ketika bersama teman-teman kampusnya memberi lakob atau panggilan kepada Ahmad Furkon “Pak Kiyai” karena secara fisiknya dan penampilan sehari-harinya, begitu juga dengan tutur kata yang diungkapkan selalu mengungkapkan kata yang bermakna bagi teman-temannya.
Tokoh Nurul Fitria, Bu Kusnah, dan Ny. Masyitoh sebagai tokoh bawahan, yaitu tokoh yang tidak sentral kedudukannya dalam cerita akan tetapi kedudukannya dalam cerita sangat diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh utama. Ketiga orang tersebut di gambarkan sebagai tokoh yang rendah hati dan selalu menjadi panutan bagi masyarakat kaum hawa di desa Kedungring. Secara fisik Nurul Fitria sebagai gadis yang selalu menjaga kehormatandalam kehidupan seharinya jilbab selalu dikenakannya untuk menutupi auratnya. Dalam ajaran Islam menutup aurat adalah suatu kewajiban bagi kaum hawa, Allah telah menjajikan agar mereka yang menggunakan jilbab agar mudah untuk dikenal.
3. Alur/Plot
Alur atau plot adalah urutan peristiwa yang bersambung-sambung dalam sebuah cerita yang berdasarkan hubungan sebab akibat atau hubungan kausal, sehingga membentuk jalinan peristiwa. Kelemahan penyampaian pesan dakwah melalui alur adalah pesan dakwah tersebut tidak tampak dan tidak menonjol karena jalinan peristiwa lebih domonan dalam pemikiran pembaca. Kecuali pengarang secara jelas membuat cerita dengan konflik tentang masalah keagamaan, maka kesan agamis ataupun pesan-pesan dakwah dalam alur cerita tersebut akan lebih menonjol. Akan tetapi meskipun alur tidak menonjol, pesan dakwah akan lebih menyatu dengan cerita dan tidak terkesan di paksa untuk di tonjolkan.
Novel “Kasidah Lereng Bukit”ini ditinjau dari tegangannya merupakan alur primidal yaitu puncak klimak tidak terdapat diawal dan diakhir cerita tetapi pada pertengahan. Konflik pencalonan kepala desa antara Pak Hudori dan Gus Muali belum ditemukan pada permulaan cerita tetapi ditemukan pada pertengahan cerita. Lalu konflok diakhiri dengan solusi yautu Pak Hudori sesuai dengan perbuatannya ia berhasil menjadi kepala desa sedangkan Gus Muali menyesali perbuatannya ketika gagal menjadi kepala desa.
Sedangkan dari urutan pengisahannya mengunakan alur progresif yaitu cerita dibuka dari awal cerita kisah cinta Ahmad Furkon dan Nurul Fitria dan ditutup dengan akhir cerita penyesalan Gus Muali atas perbuatannya dan Nurul Fitria bersama Ahmad Furkon bersatu kembali.
Jika dilihat dari tema-tema yang ingin disampaikan pengarang, pesan dakwah tampak dalam dialog yang di gunakan. Misalnya dialog antara Pak Hudori dengan Ahmad Fukon, dalam kesempatn itu Pak Hudori menasehati anaknya Furkon supaya punya tekat bulat untuk menuntut ilmu karena mengingat hadits Rosulullah SAW “tolabul ilmi faridhotun ‘ala kulli muslimin”, “utlubul ilma walau bissin”, kemudian tampak juga pada dialog antara Nurul Fitria dengan ibunya Ny. Masyitoh masalah hubungan Nurul Fitria dengan Ahmad urkon disetujui Ibunya karena Ahmad Furkon adalah pemuda yang mempunyai nilai religius pada dirinya. Dalam dialog tersebut tampak Nurul Fitria memanggil Ibunya dengan panggilan “Ummi” menggunakan bahasa Arab
Selanjutnya tampak pada dialog antara Abah Nur dengan santrinya ketika memberi tausiyah atau siraman rohani kepada santri anak didiknya, bahwa do’a dan ikhtiar merupakan hal yang paling penting untuk dilakukan karena Allah tidak akan merubah suatu kaum sehingga kaum itu sendiri yang yang merubah keadaannya. Selain itu pada dialog antara Pak Hudori dengan masyarakat Kedungpring, pada kesempatan itu Pak Hudori berusaha meyakinkan masyarakat untuk tidak mempercayai sesuatu selain Allah, selalu mengerjakan shalat baik shalat lima waktu dan shalat-shalat sunnah lainya, jangan percaya kepada kekuatan dukun dan menjauhi syirik atau mensekutukan Allah.
4. Latar atau Setting
Latar adalah tempat bermainnya cerita, tidak hanya terbatas pada pengertian geografis tetapi juga antriopologis. Unsur Islami tampak pada latar akan menimbulkan kesan Islami pada novel itu apalagi jika unsur Islami ada dalam semua latarnya, baik latar tempat, sosial ataupun suasananya, novel “Kasidah Lereng Bukit” karya Achmad Munif hampir semua latarnya berhubungan dengan nuansa Islami. Tidak hanya latar tempat saja, misalnya pesantren, suasana diba’an didesa Kedung Pering, suasana kampus, suasana santri bercocok tanam disela-sela jam belajar mereka, tetapi juga latar sosialnya yang menampilkan nilai Islami, misalnya suasana masjid di kampung kecil selalu di hiasi dengan jama’ah shalat.
Achmad Munif sendiri mengatakan sebagian besar novel “Kasidah Lereng Bukit” settingnya memang menampilkan suasana pesantren dan menggambarkan sebuah kampung yang penuh dengan suasana religius. Menurutnya novel ini muncul terinspirasi ketika Beliau di undang kepondok pesanteren “Bahrul Ulum” Tambak Beras Jombang dan pondok pesanteren “Peterongan” Jombang, ternyata dua pondok tersebut novelnya yang lain sangat digemari oleh santri dan santriwati padahal ia merasa novelnya yang digemari tersebut tidak terlalu Islami. Lalu ia berkeinginan dan berkata “mengapa saya tidak menulis novel yang sedikit Islami dan lebih pas untuk bacaan kalangan muda pesanteren.” Inilah yang membuat Achmad Munif semangat membuat novel “Kasidah Lereng bukit” walaupun latar belakang kehidupannya bukan berasal dari lingkungan pesanteren atau sekolah-sekolah Islam tetapi keinginan untuk memperluas syi’ar Islam tetap digemarinya.
Latar atau setting dalam novel “kasidah Lereng Bukit” karya Acmad Munif ini lebih menggunakan latar tripikal yaitu memiliki dan menonjolkan sifat khas latar tertentu menyangkut waktu, tempat maupun sosial misalnya suasana pesantren yang dipenuhi dengan suasana Islami oleh para santri.
5. Teknik Penceritaan
Teknik penceritaan adalah bagaimana pengarang menentukan pusat cerita (pengisahan) atau siapa yang menjadi subyeknya. Ada tiga metode yang digunakan oleh pengarang untuk menyebut subyek cerita yaitu: pertama, sudut pandang orang ketiga si “dia” dalam novel “Kasidah Lereng Bukit” yang menceritakan pusat pengisahan orang ketiga ketika pengarang mengisahkan tokoh Ahmad Furkon, Nurul fitria, dan Ning Lestari. Sering kali pengarang menggunakan kata “Dia”, “Ia” atau “nya”, sedangkan kata ganti orang ketiga “Beliau” ini sering digunakan pada pengisahan tokoh Abah Nur, Pak Hudori, Gus Muali, Bu Kusnah, dan Bu masyitoh. Kata ganti “beliau” terkadang pengarang menggunakan kata ganti “dia” atau “ia” untuk Abah Nur, Pak Hudori, gus Muali, Bu Masyitoh dan Bu Kusnah.
Sedangkan pengisahan orang ketiga “mereka” digunakan untuk santri dan masyarakat desa Kedung Pring akan tetapi terkadang untuk menceritakan orang ketiga pengarang menyebutkan jumlah tokoh misalnya “ketiga orang” ketika pengarang menyebut nama Pak Rahardi, Lik Basofi dan Mas Sasminto.
Kedua, Sudut pandang personal pertama “aku”. Gaya “aku” narator orang yang terlibat dalam cerita. Ia adalah tokoh yang mengisahkan peristiwa dan tindakan yang diketahui dan dilihatnya kepada pembaca. Dalam novel “kasidah Lereng Bukit” beberapa alur cerita yang menggunakan sudut pandang orang pertama misalnya dialog Furkon dengan Nurul Fitria tentang kepergian Furkon melanjutkan sekolah ke Jogja, tetapi terkadang pengarang menggunakan nama pada dialog antara Gus Muali dengan Eyang sumoharjo, disini Eyang Sumoharjo menyebut namanya dengan lakob atau gelar “Eyang” bukan “aku”.
“Eyang tidak bisa merubah nasibmu kalau kamu sendiri tidaka mau merubahnya.”
Ketiga, adalah sududut pandang campuran “aku” dan “dia”. Pengarang dapat berganti-ganti dari satu teknik keteknik yang lain. Dalam novel “Kasidah Lereng Bukit” ini yang sering menggunakan teknik sudut pandang campuran sering kali pada tokoh Ahmad Furkon. Terkadang pengarang mengisahkan dari sudut pandang “aku” dan “dia” secara bergantian. Mula-mula cerita dikisahkan dari sudut “aku” namun kemudian terjadi pergantian ke “dia” dan kembali ke sudut “aku”. Penggunaan sudut pandang tersebut dalam sebuah novel terjadi karena pengarang ingin memberikan cerita secara lebih banyak kepada pembaca.
Penyampaian pesan-pesan dakwah melalui unsur teknik penceritaan sebenarnya tidak jauh berbeda dengan penyampaian pesan-pesan dakwah melalui tokoh dan perwatakan. Hanya saja dalam penyampaian pesan dakwah melalui teknik penceritaan pengarang tidak terfokus pada penyebutan nam-nama tokoh dalam cerita itu tetapi pengarang bisa menyebut tokoh-tokoh dalam ceritanya dengan sebutan “aku” dan “nya”. Misalnya pada pusat cerita tentang penyesalan Gus Muali, pengarang menggunakan tokoh “aku” untuk mengungkapkan rasa penyesalannya bahwa ternyata harta satu-satunya yang bisa memberi kebahagiaan. Ternyata memberikan kesenangan tetapi bukan kebahagiaan.
Cerita lain pada Novel “Kasidah Lereng Bukit” ketika menceritakan tradisi perdukunan, tokoh “aku” kadang juga menyebut tokoh Eyang Sumoharjo yang mengaku dirinya lebih tua umurnya dari umur Gus Muali, dan Eyang sumoharjo juga lebih tahu tradisi pencalonan kepala desa daerah Jawa Wetan yang menunjukkan dirinya sebagai orang pintar (dukun) yang menunjukkan bahwa dirinya tidak mempunyai sifat istiqomah.
Tokoh Ahmad Furkon digambarkan sebagai tokoh “dia” diceritakan sebagai anak muda yang mempunyai kegigihan dalam menuntut ilmu.
Penyebutan tokoh cerita “ia” pada tokoh Nurul Fitria melalui gambaran wataknya dan settingnya yang mengambarkan gadis yang taat kepada syari’at Islam.
Tokoh Pak Hudori, Abah Nur, Bu Kusnah dan Bu Masyitoh digambarkan sebagai sebutan penghormatan tokoh “Beliau” dan “dia” yang tekun beribadah, sabar dan penuh dengan kesederhanaan, apalagi tokoh Bu Masyitoh Beliau adalah istri Gus Muali. Walaupun Gus Muali digambarkan sebagai tokoh antagonis akan tetapi dengan keistiqomahan Bu masyitoh ia tidak terpengaruh sama sekali walaupun pribadi suaminya sehari-hari jauh bertentangan dengan ajaran Islam.
Penyebutan tokoh cerita dengan tokoh “aku”, “dia”, “ia”atau “nya” merupakan metode yang ditentukan oleh pengarang, penyebutan kata “aku”, dia, “ia, mereka dan nya” hanya untuk menunjukkan pada tokoh tertentu yang disebutnya. Pada tokoh tersebut pengarang dapat memasukkan pesan dakwah, baik dari karakter tokoh, sikap dan tindakan atau melalui kalimat yang diucapkan tokoh dengan menggambarkan watak tokoh itu sendiri oleh pengarang. Pengarang hanya menentukan tokoh mana yang akan dijadikan sebagai media penyampaian pesan-pesan dakwah dan pada tokoh tersebut pengarang bisa menggunakan sebutan “aku”, “dia”, “ia”, “mereka” dan “nya”.
6. Diksi
Diksi merupakan salah satu unsur cerita rekaan yang sangat erat hubungannya dengan unsur-unsur lain dalam cerita rekaan. Karena diksi adalah tata bahasa. Bagaimana seorang pengarang menggunakan tata bahasanya untuk menerangkan cerita. Diksi merupakan alat bagi pengarang untuk mengungkapkan ide ceritanya termasuk untuk mengungkapkan dan merangkul pesan-pesan dakwah yang ingin di tampilkan dalam cerita baik melalui tema, tokoh dan perwatakan, alur, setting dan teknik penceritaan. Jadi diksi dalam hal penyampaian pesan-pesan dakwah melalui integrasi kedalam unsur-unsur intrinsik cerita rekaan berfungsi sebagai alat yang di gunakan untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah melalui unsur intrinsik cerita rekaan.
Penggunaan diksi tergantung pada bagaimana pengarang mengolah kata-kata dan kalimat dalam cerita yang di buatnya secara sederhana untuk menciptakan sebuah cerita yang saling bersambung, tetapi tidak terlepas dari unsur-unsur intrinsik cerita. Kalimat yang dibuat pengarang dalam novel biasanya berhubungan dengan target atau sasaran pembaca novel, bagaimana keadaan sasaran pembaca novel mengharuskan pengarang untuk merangkul gaya bahasa yang disesuaikan dengan karakteristik pembaca agar pembaca mudah memahami isi novel tersebut.
Achmad Munif sendiri menggunakan kalimat yang menurutnya sederhana dan gampang untuk dicerna karena sasaran pembacanya adalah masyarakat umum yang keadaannya majemuk baik kondisi budaya ataupun tinggkat pendidikannya.
Novel “Kasidah Lereng Bukit” disini pengarang menggunakan bahasa campuran yaitu bahasa Jawa Timuran yang mungkin karena beliau berasal dari Jawa Timur, bahasa Indonesia secara mayoritas dan bahasa Arab seperti “Ummi” untuk panggilan ibu, ngijabahi (mengabulkan), “Kunfayakuun” dan “su’udzon, Khusnuzon (prasangka) sebagai bumbu penyedap cerita agar berpareasi dalam memahami bahasa. Akan tetapi bahasa Jawa yang disampaikan pengarang adalah bahasa yang mudah untuk dicerna oleh para pembaca misalnya ” yok opo Bapak iki, rek”, “koen kok ngerti ae , Kus. “Wedi ambek mbok towo, tah?”, “koen ojok mincing-mancing aku Dap”! begitu juga dengan bahasa Arab , yaitu dalil-dalil yang sudah tidak asing di dengar oleh orang awam misalnya “wala tamutunna illa wa’antum muslimuun”, utlubul ‘ilma walau walau bissiin”. Novel Kasidah Lereng Bukit ini tercipta karena terinspirasi dengan sasaran yang akan membaca, beliau berharap anak muda pesanteren, siswa dan mahasiswa akan membaca novelnya. Karena ia merasa sangat relevan untuk kalangan anak muda atas pesan yang di sampaikan dalam novel “Kasidah Lereng Bukit”
Gaya bahasa yang digunakan pengarang dalam novelnya sangat berpengaruh terhadap respon pembaca, gaya bahasa yang sederhana biasanya akan lebih banyak diterima oleh pelbagai kalangan pembaca karena lebih mudah untuk dipahami isi cerita dan pesan-pesan didalamnya.
Begitu juga dengan pesan dakwah dalam novel, jika menggunakan bahasa yang sederhana, ringan dan lugas akan lebih mudah untuk di pahami oleh berbagai kalangan pembaca, dan pemahaman terhadap pesan-pesan dakwah tersebut akan membawa kepada pengamalan terhadap nilai-nilai dan ajaran agama Islam bagi pembaca.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan-pembahasan pada bab-bab sebelumnya dari skripsi ini, maka kesimpulan yang dapat penulis kemukakan antara lain:
1. Bentuk pesan-pesan dakwah yang terdapat dalam novel “Kasidah Lereng Bukit” karya Achmad Munif sering kali tidak terlepas dari tiga aspek, yaitu:
a) Aspek aqidah, dalam novel “Kasidah Lereng Bukit karya Achmad Munif tidak banyak hanya ada satu pesan yaitu larangan mempercayai dukun, ini merupakan kritik sosial bagi masyarakat tentang tradisi perdukunan dan budaya intrik atau persekongkolan, hal ini baik untuk dipahami bahwa tradisi perdukunan akan menjebak manusia pada jurang kemusyrikan.
b) Aspek Syari’ah dalam novel “Kasidah Lereng Bukit” terdapat ajaran Islam yang mengajak pembaca untuk selalu menjalankan shalat baik shalat-shalat wajib maupun shalat-shalat sunat, karena shalat merupakan salah satu jalan bagi makhluk (manusia untuk memperoleh ketenangan batin dan merupakan sarana manusia untuk berkomunikasi langsung pada Robbnya.
c) Aspek akhlak, dalam novel “Kasidah Lereng Bukit” banyak pesan-pesan mengenai akhlak yaitu ikhtiar (usaha) dan do’a merupakan dua jalan yang tidak bisa dipisahkan untuk mendapatkan apa yang di inginkan, menjauhi prasangka buruk, mensyukuri nikmat yang telah dianugerahkan, bertobat dan menyesali dosa yang telah diperbuat , mengucap shalawat sebagai ungkapan rasa hormat dan do’a umat kepada Nabi besar junjungan kita Muhammad SAW walaupun pada dasarnya beliau tidak mengharapkan. Absussalam atau menebarkan salam merupakan ajaran moral dan menebarkan do’a sesama muslim, menjaga keharmonisan rumah tangga, melalui tokoh Pak Hudori Achmad Munif menggambarkan bagaimana rumah tangga yang sakinah mawaddah warohmah berlandaskan ajaran Rosulullah SAW ada tiga hal yang paling pokok yaitu kesetiaan, kesabaran dan keadilan. Tawadhu’ (rendah hati) lawan rendah diri bahwa apapun yang di miliki oleh setiap manusia merupakan milik Allah dan suatu saat akan kembali kepada Allah baik berupa harta, jabatan dan apapun yang di miliki akan di minta pertanggung jawaban di hadapan Allah.
2. Ditinjau dari unsur intrinsiknya novel “Kasidah Lereng Bukit” sebagian besar beralur lurus, tokohnya semuanya beragama Islam. Ditinjau dari tegangan merupakan alur primidal yaitu puncak klimak tidak terdapat diawal dan di akhir akan tetapi pada pertengahan, sedangkan ditinjau dari urutan pengisahan menggunakan alur progresip cerita dibuka dari awal cerita dan ditutup akkhir cerita. Sedangkan latar novel menggunakan latar atau setting tripikal yaitu menonjolkan sifat khas latar tertentu menyangkut waktu, tempat maupun sosial. Latar tempat, sosial, ataupun latar suasananya berhubungan dengan nuansa Islami. Ada berapa tema yang bersifat Islami yang ingin disampaikan oleh pengarang seperti menghilangkan budaya intrik dan perdukunan, pergaulan muda mudi dalam perihal cinta, semangat menuntut ilmu, yang paling menonjol disampaikan pengarang. Tidak semua pesan dakwah disampaikan melalui unsur pesan melalui dialog akan tetapi ada pesan yang disampaikan melalui watak tokoh seperti tokoh Nurul Fitria yang digambarkan sebagai wanita yang selalu menjaga kehormatannya dengan menggunakan jilbab atau hijab. Sedangkan unsur teknik penceritaan pengarang menggunakan semua teknik pusat pengisahan cerita rekaan dalam cerpen-cerpennya yaitu: “aku, dia, mereka dan nya”. Diksi yang digunakan dalam novel “Kasidah Lereng Bukit menggunakan bahasa yang sederhana sehingga mudah dipahami dan diidentifikasikan.
B. Saran-Saran
1. Kepada Bapak Achmad Munif kami harapkan untuk tetap konsisten dalam menulis karya-kaya yang bernuansa dakwah, guna memperkaya khazanah media dakwah Islam
2. Penulis memohon kepada bapak Achmad Munif Hendaknya selalu konsisten dalam menyampaikan karya sastra yang menceritakan keimanan, Islam dan moral karena tidak semua orang memahami dan mengerti bagaimana mengaplikasikan iman, Islam dan akhlaq yang benar sesuai dengan ajaran Islam dalam kedupan yaumiyah atau kehidupan sehari-hari, sehingga dengan adanya ide yang dituangkan berbentuk sastra para pembaca sastra bisa mengambil hikmah dari ide yang bapak tuangkan dalam karyanya.
3. Kepada para juru dakwah hendaknya dapat menggunakan metode dakwah ini yaitu dakwah dengan media tulis terutama mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam, dengan karya sastrapun atau jurnalis bisa mengembangkan dakwah dalam rangka Amar ma’ruf Nahi munkar
Syukur Alhamdulillahirobbil‘alamin penulisan skripsi ini dapat diselesaikan berkat Rahmat Allah SWT yang telah memberi tuntunan, petunjuk dan kemudahan kepada hamba-Nya.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis senantiasa mengharapkan saran dan kritik dari pembaca. Harapan penulis, skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan bagi para pembaca umumnya
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khusit, Muhammad Ustman, Penyelesaian Problem Rumah Tangga Secara Islami, Maktabatul Qur’an Kairo: CV. Pustaka Mantiq, 1992
Al-Jauziyyah, Ibnul qoyyim, zikir Cahaya Kehidupan, Jakarta: Gema Insani, 2002
Aw. Wijaya, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, Jakarta: PT Bina Aksara, 1986
Azra, Azyumardi, Konteks Bertheologi di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1999
Bahreisj, Husein, Himpunan Hadits Shahih Muslim, Surabaya: 1987
Dahana, Radhal Panca, Kebenaran dan Dusta dalam Sastra, Magelang: Indonesiatra, 2001
Damono, Sapardi Djoko, Simposium Nasional dan Seresehan Kesenian dalam horison No.I TH. XIX, 1984
Daulay, Hamdan, Dakwah di Tengah Persoalan Budaya dan Politik, Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI), 2001
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1997
Effendi, Onong Uchjana, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, (yogyakarta: Lkis, 2001
Gazalba, Sidi, Asas Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1978
Harahap, Nasruddin, CS. (ed) Dakwah Pembangunan, Yogyakarta: DPD golkar TK. I, 1992
Ilyas, Yunahar, Kuliah Akhlak, Yogyakarta: LPPI, 2001
Ismail, Ilyas, Pintu-pintu Kebaikan, Jakarta:PT. Raja Grapindo Persada, 1997
Isror, C, Sejarah Kesenian Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1997
Jameel, Zeno Bin Muhammad, Bimbingan Islam untuk Pribadi dan Masyarakat, Jakarta: arul Haq,1994
Jarullah, Abdullah, Fenomena Syukur, surabaya: Risalah Gusti, 1996
Kamaludin, SF, Shalat Jama’ah Jalan Terindah Menuju Surga, Suara MerdekaTh. XXVI, No.304
Mido, Frans, Cerita Rekaan dan Sluk bluknya, NTT: Nusa Indah, 1994
Munif Achnad, Kasidah Lereng Bukit,Yogyakarta: Gita Nagari, 2003
Nurgiantoro, Burhan, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gajah Mada University (UGM) Press, 1995
Pardopo, Djoko, Rahmat, Beberapa Teori Sastra, Yogakarta: pustaka Pelajar, 1995
Rahmad, Jalaludin, Metode Penelitian Komunikasi, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1984
Raqhmat, Jalaludin, Mukhtar Ganda Atmaja, Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern, Bandung: Remaja Rosda Karya,1993
Said, rahmatsjah, dengan Do’a Membentuk Jiwa yang Sehat, Pelita: Th, XVIII
Shihab, Alwi, Memilih Bersama Rasulullah, Jakarta: PT. Grapindo Persada, 1998
Shihab, Quraish, Lentera Hati, Bandung: Mizan,1994
—————— Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan 2000
Shihata, Abdullah, Dakwah Islamiyah, Tim Penerjemah RI, Jakarta: CV, Rasindo, 1986
Sudjiman, Panuti, Memahami Cerita Rekaan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1991
Sumarjo, Jaka dan Daini KM, Apresiasi Kesusastraan, Jakarta: Gramedia, 1994
Surahman, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Tarsito, 1980
Susanto, Ready, Sastra Buat Komunikasi atau Komunikasi Melalui Sastra, Jakarta: Sabtu 16 November, 1991
Syamsul, Asep, , M. Ramli, Jurnal Praktis, Bandung: PT Angkasa Putra, I Bandar Udara Adi Sucifto, Yogyakarta: Remaja Rosda Karya Offset, 1987
Syukur, Amin, Dzikir Fungsional, Suara Merdeka: Th.-No. XLII/319
Tarigan, Henry Guntur, Prinsip-prinsip Dasar sastra, Bandung: Angkasa 1986
Tasmara, Toto, Komunikasi Dakwah, Jakrta: Gaya MediaPratama, 1987
Wellek, Rene, Warren, Austin, Teori Kesusastraan, Jakarta: Pt Gramedia Pustaka Utama, 1983
Wijaya, Mangun, Sastra dan Religiositas, Yogyakarta: Kanisius, 1988
Wijoyo, Kunto, Paradigma Islam dan Interpensi untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1991
Yudiono, KS, Telaah Kritik Sastra Indonesia, Bandung: Bina Aksara, 1986

0 Comment