1. Pesan-Pesan Dakwah
Pesan-pesan dakwah adalah pernyataan-pernyataan yang terdapat dan
bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah atau sumber lain yang merupakan
interpretasi dari kedua sumber tersebut yang berupa ajaran Islam.
Dalam konteks penelitian ini pesan-pesan dakwah yang dimaksud adalah
pernyataan-pernyataan yang terdapat dalam novel “Kasidah Lereng Bukit”
karya Achmad Munif mengandung ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an
dan as-Sunnah yang bertema keimanan, hukum Islam dan akhlak yang
bertujuan amar ma’ruf nahi munkar
2. Novel Kasidah Lereng Bukit
Novel adalah salah satu bentuk karya sastra, lebih luas dari cerpen atau
cerita pendek lebih sempit dari roman. Karangan ini menceritakan
peristiwa tertentu dalam kehidupan manusia, suatu kejadian yang luar
biasa dari kehidupan orang-orang. Keluarbiasaannya terletak pada
konflik, pertikaian yang meninggalkan pergolakan jiwa tokoh-tokohnya,
sehingga tidak jarang mampu mengubah jalan hidup dari tokoh-tokoh dalam
novel tersebut.
Novel “Kasidah Lereng Bukit” karya Achmad Munif berarti yang ada, yang
terdapat atau yang muncul dalam novel yang berjudul “Kasidah Lereng
Bukit” yang ditulis oleh sastrawan Islam yang bernama Achmad Munif.
Penegasan istilah dimuka dapat merumuskan maksud judul secara
keseluruhan yaitu penelitian terhadap novel “Kasidah Lereng Bukit” karya
Achmad Munif yang di dalamnya tertuang pesan-pesan dakwah yang
bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang dibatasi pada tema keimanan
dan akhlak yang bertujuan amar ma’ruf nahi munkar.
B. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama moral, agama yang mementingkan isi atau kualitas
seseorang bukan penampilan saja serta membentuk jiwa manusia dengan
nilai-nilai moral, bukan kerendahan. Salah satu nilai moral yang di
ajarkan Islam ialah berdakwah dijalan Allah dengan bijaksana serta
dengan ajaran yang baik. Sesuai dengan firman Allah dalam surat
An-Nahl ayat 125:
أدع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتى هي أحسن, إن ربك هو أعلم بمن ضل عن سبيله وهو أعلم بالمهتدين.
Artinya; Serulah kepada jalan tuhanmu dengan hikmah dan nasehat baik
dan bertukar pikiran dengan cara yang lebih baik, sesungguhnya tuhanmu
lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya, dan dialah yang
mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.
Dakwah merupakan konsep yang sepenuhnya mengandung pengertian menyeru
kepada yang baik, yaitu baik menurut Islam. Pengertian dakwah
sebagaimana dipahami dalam surat an-Nahl ayat 125 mempunyai makna yang
luas dan mendalam, begitu juga pelbagai definisi yang telah dibaca
tentang pengertian-pengertian dakwah. Jelas bahwa dakwah adalah tugas
agama yang luhur dan mulia karena merupakan suatu upaya dan usaha
merubah manusia dari suatu kondisi yang kurang baik kepada kondisi yang
lebih baik.
Kerja dakwah adalah kerja menggarami kehidupan manusia dengan
nilai-nilai iman dan taqwa untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Kerja
ini tidak akan pernah selesai selama kehidupan dunia masih berlangsung,
selama itu umat berkewajiban menyampaikan pesan-pesan kenabian dalam
situasi dan kondisi yang bagaimanapun coraknya. Isi pesan dakwah pada
hakekatnya merupakan tuntunan abadi manusia sepanjang masa.
Di tengah pembangunan masa kini yang banyak membawa perkembangan baru
dalam bidang agama, sosial, sains dan teknologi akan membawa pengaruh
semakin berkembangnya sifat-sifat konsumerisme, materialisme beserta
pendangkalan rohani dan moral, dakwah senantiasa dituntut untuk terus
berupaya merubah suatu kondisi negatif ke kondisi yang positif atau
perubahan dari kondisi yang sudah positif menuju kondisi yang lebih
positif lagi, tentu saja dengan penuh hikmah dan mau’idhoh hasanah.
Dalam konsep Islam, setiap muslim sesungguhnya adalah juru dakwah yang
mengemban tugas untuk menjadi teladan moral ditengah masyarakat. Tugas
dakwah yang demikian berat dan luhur itu mencakup pada dua aspek yaitu
Amar makruf (mengajak kepada kebaikan) dan nahi munkar (mencegah
kemunkaran). Jika seluruh muslim menyadari hal ini selayaknya krisis
moral yang merebak dikalangan masyarakat sedikit demi sedikit akan
tereliminasi.
Pesan-pesan yang disampaikan da’i kepada sasaran dakwah (mad’u) dapat
disebarkan melalui media. Pada masa permulaan Islam, Rasulullah dan
Sahabatnya menggunakan media oral dan kontak langsung. Dengan kemajuan
sains dan teknologi yang diperoleh pada saat ini, pesan-pesan dakwah
yang disampaikan lewat media radio, televisi, film, surat kabar, teater,
novel bahkan melalui jaringan internet. Hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam surat Ibrahim ayat 4:
وما أرسلنا من رسول الا بلسان قومه ليبين لهم .
Artinya: “Kami tidak mengutus Rasul kecuali dengan bahasa kaumnya untuk menjelaskan kepada mereka”.
Media tulis merupakan media yang tetap dibutuhkan pada saat ini dan
masa yang akan datang, melalui media tulis da’i dapat menyebarkan pesan
keagamaan dan melaksanakan islah atau perbaikan serta amar ma’ruf dan
nahi munkar.
Salah satu batasan sastra adalah segala sesuatu yang tertulis.
Hubungannya dengan dakwah sastra dapat dijadikan media dakwah secara
tertulis. Sastra disamping sebagai alat penyebaran ideologi, sastra juga
dianggap mampu memberikan pengalaman hidup dan nilai-nilai kemanusiaan
yang luhur bagi pembacanya. Pada akhirnya sastra yang baik adalah
sastra yang religius. Oleh karena itu novel sebagai dakwah Islam tidak
hanya mengantarkan para pembaca kepada pemahaman yang terbatas pada
bentuk ekspresi keagamaan yang formal yang berbau verbalisme saja, akan
tetapi juga meliputi keseluruhan sikap dan upaya manusia mempertanyakan
diri dan hakekat dirinya. Dengan demikian novel sebagai karya sastra
merupakan media dakwah yang relevan untuk saat ini dimana manusia mulai
banyak yang terkikis nilai-nilai kemanusiaan dan melupakan tuhannya.
Berbicara masalah dakwah Islam Azyumardi Azra dalam bukunya yang
berjudul Konteks Berteologi di Indonesia mengatakan bahwa dakwah dalam
Islam juga memajukan pentingnya informasi bagi kaum Muslimin. Setiap
kaum Muslimin dan Muslimat berkewajiban menyampaikan informasi yang
benar dan akurat, seperti sabda Nabi Saw (ballighuu ‘anni Walau aayah)
sampaikan walaupun hanya satu ayat. Dakwah sebagai sarana untuk
penyebaran informasi kebenaran tentu saja tidak terbatas pada medium
lisan, tetapi juga medium tulisan dan medium-medium informasi lainnya.
Medium tulisan merupakan salah satu metode dakwah yang sangat efisien di
zaman sekarang ini, sehingga umat Islam tentunya harus mampu
berdakwah lewat surat kabar, majalah, buku, jurnal, sastra dan
lain-lain.
Keistimewaan dakwah bil-Qolam (media cetak, buku, jurnal dan sastra)
adalah obyek dakwah dan cakupannya lebih banyak dan luas, karena
pesan-pesan dakwah dan informasi Islam yang dituliskan dapat dibaca oleh
ratusan, ribuan bahkan ratusan ribu pembaca dalam waktu yang serempak
dan bersamaan. Dakwah Bil-Qolam juga dapat mempengaruhi orang secara
kuat.
Suatu karya sastra tidak terlepas dari penciptanya dan pencipta
(pengarang) karya sastra akan dipengaruhi oleh struktur sosial dimana ia
berada.
Keberadaan suatu novel tidak bisa lepas dari latar belakang yang
dimiliki pengarang menyangkut pendidikan, pengetahuan, pengalaman
pribadi, agama dan lain-lain sehingga suatu karya sastra yang
dihasilkannya memiliki khas tersendiri Achmad Munif mampu dengan akrab
menyapa pembaca melalui tulisan-tulisannya, dalam karyanya penulis mampu
mempermainkan emosi, menarik pembaca melalui tokoh cerita.
Kelebihan Achmad Munif mampu mengangkat realitas yang ada disekitarnya
tanpa berpresensi menganggap diri sendiri sebagai “yang paling benar”.
Realita kehidupan dalam novel “Kasidah Lereng Bukit” diangkat apa
adanya, dibiarkan mengalir dengan segala pernik kehidupan dan watak
manusia yang dilingkupi. Pertarungan antara nilai-nilai baik dan buruk,
bermoral dan amoral, idealis dan pragmatis dianggap sebagai sebuah
kenyataan, seperti dalam novel “ Kasidah Lereng Bukit”. Sentuhan
kehidupan keluarga dan masyarakat digambarkan secara menarik melalui
tokoh Pak Hadhori beserta keluarga dan Gus Mu’ali beserta keluarga.
Menurut WJS. Purwadarminta, pesan adalah: pesan, suruhan (perintah,
nasehat, permintaan, amanat) yang harus dilakukan atau disampaikan
kepada orang lain. Sedangkan menurut Onong Uchjana Effendi bahwa
massage yaitu pesan yang merupkan seperangkat lambang bermakna yang
dilambangkan oleh komunikator. Pesan-pesan komunikator disampaikan
melalui simbol-simbol yang bermakna kepada penerima pesan.
Menurut AW. Wijaya bahwa pesan adalah keseluruhan dari apa yang
disampaikan oleh komunikator. Pesan seharusnya mempunyai inti (thema)
sebagai pengarah di dalam usaha mencapai perubahan sikap dan tingkah
laku komunikan. Pesan dapat disampaikan secara panjang lebar, namun
yang perlu diperhatikan dan diarahkan adalah tujuan akhir dari proses
komunikasi.
Pada hakekatnya, pesan-pesan yang disampaikan dalam proses dakwah
bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadits. Statement ini sesuai dengan apa
yang dikatakan oleh Toto Tasmara bahwa pesan dakwah adalah semua
pernyataan yang bersumberkan al-Qur’an dan as-Sunnah baik tertulis atau
lisan dengan pesan-pesan (risalah).
b. Unsur-Unsur Pesan
Menurut Onong Uchjana Effendi, bahwa pesan komunikasi terdiri atas isi
pesan (The Content of Massage) dan lambang (simbol). Maksud dari pada
isi pesan di sini adalah materi-materi yang disampaikan oleh komunikator
(da’i) kepada masyarakat (komunikan) yang berupa bahasa. Isi pesan
dalam skripsi ini tentu saja berupa pernyataan tertulis sesuai dengan
al-Qur’an dan al-Hadits.
c. Pesan-pesan dakwah
Pesan-pesan dakwah adalah segala sesuatu yang harus disampaikan oleh
subyek kepada obyek dakwah, yaitu keseluruhan ajaran Islam yang ada
dalam kitabullah maupun dalam sunnah Rasul-Nya. Pada dasarnya isi pesan
dakwah adalah materi dakwah yang berisi ajaran Islam. Ajaran-ajaran
Islam tersebut dibagi menjadi tiga yaitu: masalah keimanan, masalah
hukum Islam dan masalah akhlak.
1) Masalah Keimanan (aqidah)
Aqidah dalam Islam beritikad batiniah yang mencakup masalah-masalah yang
erat hubungannya dengan rukun iman. Di bidang aqidah ini pembahasannya
bukan saja tertuju pada masalah-masalah yang wajib diimani, akan tetapi
materi dakwah juga meliputi masalah-masalah yang dilarang sebagai
lawannya misalnya syirik atau menyekutukan Tuhan, ingkar dengan adanya
Tuhan dan sebagainya. Dalam masalah aqidah ini antara lain penulis akan
membahas mengenai persoalan sosial keagamaan yang merupakan setting
sosiologis dari novel “Kasidah Lereng Bukit” antara lain tentang
larangan percaya kepada dukun
Salah satu perbuatan yang membawa manusia syirik atau menyekutukan Allah
adalah percaya kepada dukun. Allah SWT telah memperingatkan hambanya
bahwa mendatangi dukun dan menanyakan sesuatu kepadanya adalah dosa yang
paling besar walaupun secara kebetulan benar terjadi karena hal-hal
tersebut adalah khusus ilmu Allah saja.
2) Masalah Hukum Islam (syari’at)
Hukum-hukum ini merupakan peraturan-peraturan atau sistem yang
disyari’atkan Allah SWT untuk umat manusia, baik secara terperinci
maupun pokok-pokoknya saja. Hukum-hukum ini dalam Islam meliputi
ibadah, Hukum keluarga atau al-Ahwalusyakhsyiyah, hukum ekonomi atau
al-Mu’amalatul maaliyah, hukum pidana dan hukum ketatanegaraan. Dalam
novel “Kasidah Lereng Bukit” masalah hukum Islam meliputi: Shalat
Shalat adalah ibadah yang ditetapkan Tuhan sebagai pengejawantahan atau
aplikasi dari keyakinan. Karena itu shalat telah menjadi kebutuhan
bukannya beban atau kewajiban. Manusia adalah makhluk yang memiliki
naluri cemas dan mengharap. Ia selalu membutuhkan sandaran kepada Allah
terutama pada saat cemas ketika berharap bukan bersandar pada makhluk
karena bersandar kepada makhluk tidak akan membuahkan hasil yang
maksimal.
3) Masalah Akhlak
Masalah akhlak dalam aktifitas dakwah (sebagai materi dakwah) merupakan
pelengkap saja, yakni untuk melengkapi keimanan dan keislaman seseorang.
Meskipun akhlak ini berfungsi sebagai pelengkap, bukan berarti masalah
akhlak kurang penting dibandingkan dengan keimanan dan keislaman, akan
tetapi akhlak adalah sebagai penyempurnaan keimanan dan keislaman. Sebab
Rasulullah saw sendiri pernah bersabda yang artinya: “aku (Muhammad)
diutus oleh Allah di dunia ini hanyalah untuk menyempurnakan akhlak”.
(Hadits sohih) aplikasi akhlak dalam novel “Kasidah Lereng Bukit”
meliputi :
1) Menjaga Keharmonisan Rumah Tangga
Keluarga merupakan amanah dan rahmat dari Allah yang diberikan kepada
makhluknya. Akan tetapi menjaga keharmonisan dalam bahtera rumah tangga
bukanlah suatu hal yang mudah untuk dijalani. Jika melihat perjalanan
rumah tangga Rasulullah SAW dalam membina rumah tangga ada tiga hal yang
dilakukan Rasulullah yaitu kesetiaan, kesabaran dan keadilan Rasulullah
SAW. Tiga hal itulah yang paling dominan dilakukan Rasulullah sebagai
acuan keberhasilannya dalam mengarungi rumah tangga.
2) Mengucap Shalawat dan Salam
Shalawat dan salam disamping bukti penghormatan umat kepada Nabi juga
untuk kebaikan umat itu sendiri. Allah memerintahkan kepada orang-orang
yang beriman untuk mengucapkan shalawat dan salam kepada nabi, hal ini
dianjurkan bukan karena Nabi membutuhkannya. Sebab tanpa do’a dari
siapapun beliau pasti akan selamat dan mendapatkan tempat yang paling
mulia disisi Allah SWT
3) Zikir
Zikir adalah mengingat, yaitu mengingat Allah. Menjadikan Allah sebagai
raja di hatinya. Dalam kondisi dan situasi bagaimanapun manusia
mengingat Tuhannya bukan hanya ketika shalat saja akan tetapi dimanapun
ia berada ia selalu mengingat Tuhannya karena orang yang selalu berzikir
di kala melakukan aktivitas, akan menimbulkan ketenangan dan
keterikatan batin yang selalu bersandarkan pada kuasa Tuhannya.
Keterlibatan Allah dijadikan sebagai penolong dan pelindung. Tuhan
adalah satu dan manusia yang diciptakan terpadu dan menyatu baik dalam
pikir maupun dalam zikir serta perilaku sehari-hari.
4) Tobat
Orang yang taubat kepada Allah adalah orang yang kembali kepada jalan
Allah. Kembali dari sifat tercela menuju sifat-sifat terpuji, kembali
dari larangan Allah menuju perintah-Nya, kembali dari maksiat menuju
taat, kembali dari segala yang dibenci Allah menuju perbuatan yang
diredhai-Nya, kembali dari yang bertentangan menuju yang menyenangkan,
kembali kepada Allah setelah meninggalkan-Nya dan kembali taat setelah
menentang-Nya.
5) Do’a dan Ikhtiar atau usaha
Do’a merupakan hal yang selalu dipanjatkan makhluk terhadap Tuhannya
karena do’a adalah sarana untuk meraih suatu kebutuhan. Akan tetapi
dalam meraih suatu yang diinginkan bukan hanya sebatas do’a, tanpa
ketabahan dalam usaha, belum menjadi jaminan terpenuhinya harapan oleh
karena itu do’a dan usaha merupakan dua jalan yang bergandengan atau
seiring untuk dijalankan
6) Tawadhu’
Tawadhu’ adalah sifat rendah hati lawan dari sombong dan takabur. Orang
yang rendah hati tidak memandang dirinya lebih dari orang lain, ia
sadar bahwa apapun yang ia miliki di dunia ini adalah milik Allah,
sementara orang yang sombong menghargai dirinya secara berlebihan ia
tidak sadar apa yang ia miliki merupakan titipan dari Allah dan suatu
saat akan diminta pertanggung jawaban dari apa yang ia miliki.
7) Prasangka
Prasangka baik merupakan ajaran moral Islam yaitu meniadakan prasangka buruk terhadap siapapun.
Menuntut Ilmu
Ilmu pengetahuan merupakan makanan rohani bagi manusia, disamping
memikirkan keperluan jasmani, sebaiknya juga harus berpikir tentang
makanan rohani dan spiritualnya. Islam mewajibkan kepada umatnya baik
pria maupun wanita untuk menuntut ilmu pengetahuan. Nabi bersabda
“menuntut ilmu wajib bagi setiap Muslim”
2. Tinjauan Novel Menurut Teori Sastra
a) Pengertian Novel
Kata novel berasal dari bahasa latin “novelus” yang diturunkan pula dari
kata “novies” yang berarti baru. Di katakan baru karena bila
dibandingkan dengan jenis sastra yang lain seperti puisi, drama dan
lain-lain, maka jenis novel ini muncul kemudian.
Dalam buku “The Advanced Learner’s Dictionary of Current English”
sebagaimana dikutip oleh Henry Guntur Tarigan dalam buku Prinsip-prinsip
Dasar Sastra, dapat kita peroleh keterangan bahwa novel adalah suatu
cerita dengan alur yang cukup panjang mengisi satu buku atau lebih, yang
menggarap kehidupan pria dan wanita yang bersifat imajinatif.
Meskipun novel merupakan karya sastra yang imajinantif, rekaan atau
khayalan harus berdasarkan kenyataan. Dalam cerita rekaan ini tentu saja
bukan kenyataan yang dilihat saban hari. Jika sebuah karangan
mengangkat begitu saja kenyataan sehari-hari atau pengalaman atau yang
dialami, ia bukan sebuah cerita rekaan atau fiksi, namun bisa dikatakan
sebuah laporan jurnalistik, deskriptif atau eksposisi ilmiah atau
semacam fotografi. Rasa seni atau sense of art dari sang pengarang yang
sebenarnya membuat sebuah kenyataan menjadi kisah yang menarik dalam
fiksi.
“Kenyataan” yang dilihat sehari menjadi berbeda dengan “kenyataan” yang
ada dalam fiksi. Fiksi adalah sebuah ide atau gagasan, sementara
kenyataan empiris adalah fakta fisik. “Kenyataan fungsional” tak dapat
mengacu pada kenyataan empiris atau faktual. Nama, peristiwa, atau
sebuah tempat kejadian dalam fiksi tidak dapat dianggap atau
dijustifikasi dengan nama dan peristiwa di suatu tempat walau sama
sekali serupa.
b) Sastra Dalam Perspektif Islam
Bangsa Arab sebelum lahirnya Islam sangat terkenal dengan kepandaiannya
dalam bidang sastra terutama dalam sastra bahasa dan syair. Ditengah
masyarakat seperti itulah Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW untuk
mengembangkan dakwah Islam. Oleh sebab itu Allah menurunkan Mukjizat
kepada Nabi Muhammad sesuai dengan keadaan masyarakat yang akan dihadapi
pada masa itu. Diantara Mukjizat yang terpenting adalah al-Qur’an. Jika
dipandang dari sudut kesusastraan Arab al-Qur’an sangat indah gaya
bahasanya.
Nilai sastra yang dikandung al-Qur’an tidak lain dari pembawa
kesempurnaannya. Tiap-tiap yang sempurna mengandung tiga nilai yaitu:
benar, baik dan bagus, al-Qur’an adalah:
1) Benar sesuai dengan setiap perkara yang diberitakan-Nya dan petunjuk-Nya, suruhan dan larangan-Nya dengan fitrah manusia
2) Baik ternyata membawa manusia pada akhlak yang tinggi.
3) Bagus pada nilai sastranya.
Nilai sastra yang terkandung dalam al-Qur’an menunjukkan bahwa al-Qur’an
telah membukakan pintu dan jalan bagi kesenian. Agama Islam tidak
memandang sebelah mata terhadap keindahan. Keindahan merupakan faktor
utama dalam kesenian. Dalam Islam keindahan dan kesenian adalah lambang
dari mahabbah atau kecintaan Muslim kepada Allah SWT.
Ekspresi simbolis dari karya-karya Muslim seperti kesenian,
kesusasteraan dan hasil budaya, hanya pada dasarnya juga mencerminkan
pelaksanaan nilai-nilai sentral Islam melalui prinsip Tazkiyah, yaitu
usaha rasional manusia beriman yang orientasi filosofinya adalah pusat
perhatian masyarakat atau humanisme teosentris atau pusat perhatian
manusia untuk selalu membersihkan diri atau meningkatkan kualitas
rohaninya secara terus menerus, seperti sastrawan terkenal Tofik Ismail
karya sastranya merupakan “Sajadah panjang yang diarahkan kekuburannya”.
Ini berarti penciptaan karya seni merupakan ekspresi yang tujuannya
kepada Tuhan. Demikian juga halnya dengan sastrawan Almarhum Ahmad
Sadali, karya lukisnya dianggap perwujudan takbir, tahmid dan rasa
syukurnya kepada Tuhan.
Agama Islam memberikan batasan terhadap seni yang diperbolehkan dan yang
dilarang atau diharamkan. Sesuatu yang diharamkan dalam Islam, pada
hakekatnya disebutkan oleh salah satu dari lima unsur penyebab yaitu:
merusak agama, merusak jiwa, merusak kehormatan, merusak harta benda dan
merusak keturunan.
Jika ditinjau dari penyebab haramnya sesuatu, apakah kesenian itu
termasuk hukumnya haram atau tidak. Para ahli hukum memberikan pendapat
sebagai berikut:
H.M Toha Yahya Umar Mengatakan bahwa :
Hukum seni musik, tari dan suara dalam Islam adalah mubah (boleh) selama
tidak disertai dengan hal-hal haram. Dan jika disertai dengan hal-hal
yang haram maka hukumnya menjadi haram.”
Menurut Imam Malik:
Bahwa bernyanyi dengan Ma’azif (alat-alat musik) tidak haram.
Sedangkan Abdullah Bin Nuh mengatakan :
Islam memang ada yang menghukumi kesenian tertentu bersifat haram,
kesenian itu diharamkan apabila seni suara dan seni musik terikat pada
al-Malahi (membuat orang lupa kepada Allah), al-Khamer (minum alkohol),
al-Qoinat (penyanyi cabul), dan seni rupa (gambar, patung) yang ada
hubungannya dengan jiwa kemusyrikan dan penyembahan berhala.
Sidi Gazalba memberikan kesimpulan tentang konsep kesenian dalam Islam yaitu:
1) Naluri asasi manusia yang mengarah kepada keselamatan dan kesenangan.
2) Islam diturunkan untuk menumbuh dan memberi petunjuk kepada manusia, bagaimana menunjukkan selamat di dunia dan di akherat.
3) Kesenian adalah jawaban dari fitrah manusia yang memerlukan
kesenangan, karena itu kesenian halal hukumnya bahkan dalam perkara
tertentu dianjurkan karena seni lahir dari sisi terdalam manusia dan
didorong oleh naluri manusia atau fitrah yang dianugerahkan Allah
kepada hamba-hamba-Nya.
4) Seni wajib mengandung pesan moral sehingga kesenangan yang diusahakan tidak merusak keselamatan.
5) Seni tidak boleh melewati batas, ia mesti takluk kepada agama.
Pada prinsipnya pendapat-pendapat tersebut mengatakan bahwa kesenian
termasuk sastra diperbolehkan jika tidak bertentangan dengan agama
Islam.
c) Novel dalam Karya Sastra
Setiap novel atau karya sastra mempunyai dua segi, pertama: segi
Ekstrinsik (extrinsic) yaitu hal yang mempengaruhi cipta sastra dari
luar kedua: segi Intrinsik (intrinsic) yaitu hal-hal yang membangun
cipta dari dalam. yang termasuk segi ekstrinsik cipta sastra yakni
faktor-faktor sosiologi, ideologi, politik, ekonomi, kebudayaan dan
lain-lain yang turut berperan dalam penciptaannya. Unsur ekstrinsik itu
merupakan latar belakang dan informasi bagi cipta dan tidak dapat
diabaikan karena mempunyai nilai, arti dan pengaruhnya, walaupun penting
unsur-unsur ekstrinsik itu tidak menjadi dasar eksistensi sebuah karya
sastra.
Eksistensi cipta terletak pada unsur intrinsiknya tanpa mengabaikan
unsur ekstrinsiknya, menurut M. Saleh Sa’ad, unsur-unsur intrinsik cipta
sastra yaitu: faktor dalam yang aktif berperan sehingga memungkinkan
sebuah karangan menjadi cipta rasa.
Unsur-unsur intrinsik cerita rekaan adalah tema, tokoh dan perwatakan, alur atau plot, latar, teknik penceritaan dan diksi.
1) Tema
Menurut Boen S.Oemarjati, tema adalah persoalan yang telah berhasil
menduduki tempat khas dalam pemikiran pengarang, dalam tema tersirat
tujuan cerita. M. Sa’ad mengatakan tema adalah suatu yang menjadi
persoalan bagi pengarang, didalamnya terbayang pandangan hidup dan cita
pengarang. Persoalan inilah yang dihidangkan pengarang, kadang-kadang
sering juga dengan pemecahannya sekaligus.
Menurut Stanton dan Kenny tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita.
Tema sebuah cipta sastra biasanya tersembunyi, tersirat dalam seluruh
cerita dalam semua unsurnya. Pengarang menggunakan dialog, jalan pikiran
serta perasaan tokoh-tokohnya, kejadian-kejadian dan latar cerita untuk
menyarankan dan mempertegas tema. Pembaca baru dapat merasakan dan
mengetahui tema dengan penafsiran kesan yang timbul setelah pembaca
cerita itu seluruhnya. Tetapi ada pula pengarang yang terang-terang
menyampaikan tema cerita.
Tema terbagi menjadi dua yaitu: tema pokok dan anak tema, tema utama
atau mayor tema yaitu tema yang penting dan dominan yang merasuki
seluruh cerita. Dan anak tema, tema bawahan atau minor tema yang
berfungsi sebagai penyokong dan menonjolkan tema utama, menghidupkan
suasana cerita atau dapat juga dijadikan sebagai latar belakang cerita.
Tema bawah biasanya lebih dari satu, sedangkan tema utama tidak mungkin
lebih dari satu.
Untuk menentukan tema pokok dan tema bawahan harus ditentukan dulu tokoh
utama dan tokoh pembantu, kemudian mencari dan menentukan masalah mana
yang paling penting dan kuat yang dihadapi tokoh utama. Masalah itulah
yang dinamakan tema utama atau pokok tema sedang tema lainnya termasuk
tema bawah atau anak tema.
2) Tokoh dan Perwatakan
Tokoh cerita (character), menurut Abraham adalah orang-orang yang
ditampilkan dalam karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditampilkan
memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
Istilah tokoh menunjukkan pada orangnya atau pelaku cerita. Sedangkan
penokohan dan karakteristik sering juga disamakan artinya dengan
karakter dan perwatakan menunjukkan pada penempatan tokoh-tokoh tertentu
dengan watak tertentu dalam sebuah cerita. Jones mengatakan penokohan
adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seorang yang ditampilkan
dalam sebuah cerita.
Dari segi peranan ada tokoh peran, tokoh pembantu dan tokoh tambahan.
Tokoh utama mungkin saja lebih dari satu tetapi mempunyai peran yang
tidak sama, yang satu lebih penting dari yang lainnya. Tokoh utama yang
paling penting dinamakan tokoh inti atau tokoh pusat.
Dani N. Tado menggunakan istilah protagonis yaitu peran atau pemain yang
pertama (utama) yang mendukung ide prinsipil dalam cerita dan biasanya
mempunyai rencana dan maksud tertentu. Antagonis berarti peran lawan
peran kedua yang biasanya menentang dan berusaha menggagalkan rencana
dan keinginan pemain utama. Ada lagi istilah trigonis yaitu pemain
ketiga biasanya menjadi tokoh penengah antara pemain utama dan kedua.
3) Alur atau Plot
Alur atau plot adalah urutan peristiwa yang bersambung-sambung dalam
sebuah cerita berdasarkan sebab akibat. Hukum sebab akibat atau kausal
merupakan unsur penting dalam sebuah alur, karena tanpa hubungan ini
jalinan peristiwa tidak bisa dinamakan alur.
Alur memiliki elemen-elemen sebagai berikut
a) Pengenalan
b) Timbulnya konflik
c) Konflik memuncak
d) Klimak atau puncak
e) Pemecahan soal.
Dari segi kualitas alur ada dua macam yaitu alur erat dimana hubungan
antar peristiwa-peristiwa saling padu dan kompak, saling mengait dan
mempengaruhi. Dan alur longgar atau renggang dimana hubungan antar
peristiwa tidak begitu padu dan tidak mempunyai hubungan langsung dengan
pokok cerita .
Dari segi urutan pengisahan alur maju atau alur progresif, yaitu cerita
dibuka dari awal cerita dan ditutup akhir cerita. Dan alur mundur atau
alur regresif dimana cerita bukan dari awal peristiwa tetapi dari akhir
peristiwa. Ada juga alur gabungan yang ceritanya dimulai dari
pertengahan peristiwa.
Dari segi tegangan ada empat yaitu (a) alur menanjak atau klimaks,
cerita dimulai dari cerita biasa dan kemudian makin menonjol atau
tegang. (b) alur menurun atau anti klimaks, yang dimulai dengan
peristiwa yang paling tegang kemudian mengendor dan diakhiri dengan
peristiwa yang biasa saja. (c) alur primidal, puncak klimaks tidak
terdapat di awal atau di akhir cerita tetapi pada pertengahan.
4) Latar atau Setting
MJ. Murphy berpendapat bahwa latar atau setting adalah latar belakang
para tokoh atau pelaku. Dalam berapa cerita latar diutamakan, sedangkan
dalam berapa yang lainnya kurang diutamakan. Latar dapat dikatakan
dengan tempat dan waktu dimana para tokoh hidup dan bergerak.
Kedua-duanya mempengaruhi watak atau kepribadian, tingkah laku dan cara
berpikir para tokoh.
Menurut Jakub Sumardjo, latar atau setting adalah tempat bermain sebuah
cerita. Setting disini bukan hanya terbatas pada pengertian geografis
tetapi juga antropologis. Dikalangan masyarakat mana, zaman apa, dalam
suasana apa cerita itu berlangsung adalah setting.
Ada dua jenis latar yaitu:
a) Latar netral (Neutral Setting) yang tidak memiliki dan tidak
mendeskripsikan sifat khas tertentu yang menonjol dalam latar, sifat
yang terdapat dalam sebuah latar tersebut lebih bersifat umum.
b) Latar tripikal yang memiliki dan menonjolkan sifat khas latar tertentu, baik menyangkut unsur tempat, waktu maupun sosial.
Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok yaitu tempat,
waktu dan sosial. Unsur tempat menunjukkan pada lokasi terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah fiksi. Latar waktu
yang berhubungan dengan “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Sedangkan latar sosial
menunjukkan pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan
sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan pada karya fiksi
mencakup kebiasaan hidup, cara berfikir, bersikap dan lain-lain.
5) Teknik Penceritaan
Sebelum menulis pengarang terlebih dahulu siapa yang menjadi pusat
cerita, siapa yang menjadi subyeknya. Menentukan pusat cerita atau pusat
pengisahan berarti menentukan siapakah pertalian atau relasi antara
pengarang dengan ceritanya. Relasi inilah menurut Rene Wellek yang
menjadi masalah pokok dari pusat pengisahan.
Ditinjau dari pusat pengisahan ada tiga macam metode cerita yaitu:
a) Sudut pandang pengisahan orang ketiga “dia” pengisahan cerita yang
menggunakan sudut pandang personal ketiga gaya “dia”, “ia”, “mereka”
narator adalah seorang yang berada diluar cerita yang menampilkan
tokoh-tokoh cerita yang menyebutkan nama atau kata gantinya: ia, dia,
mereka.
b) Sudut pandang personal pertama: “aku” dalam pengisahan cerita yang
menggunakan sudut pandang personal pertama, (first person point of
view), “aku” jadi gaya “aku” narator adalah seorang yang ikut terlibat
dalam sebuah cerita. Ia adalah tokoh yang mengisahkan kesadaran dirinya
(self consciousness), mengisahkan peristiwa dan tindakan yang,
diketahui, dilihat, didengar, dialami dan dirasakan serta sikap terhadap
orang (tokoh) lain kepada pembaca.
c) Sudut pandang campuran “aku” dan “dia” pengarang dapat berganti-ganti
dari teknik yang satu ke teknik yang lain untuk sebuah cerita yang
ditulisnya. Semuanya tergantung dari kemauan dan kreativitas pengarang.
6) Diksi atau Pilihan Kata
Diksi berhubungan erat dengan unsur-unsur intrinsik lainnya, seperti
tema atau isi, tokoh dan perwatakan, latar dan teknik penceritaan. Diksi
ditentukan oleh isi atau tema yang akan disampaikan, diksi juga
dipengaruhi dan ditentukan oleh tokoh dan perwatakan serta latar atau
tempat terjadinya cerita juga sangat dipengaruhi oleh diksi dan ragam
bahasa yang dipakai dalam cerita. Sedangkan dalam teknik penceritaan
diksi dipengaruhi oleh metode cerita yang dipilih oleh pengarang dalam
menyusun cerita. Selain itu, diksi turut menjadikan cerita menjadi hidup
dan menarik.
Diksi bukan hanya pilihan kata, tetapi juga meliputi persoalan gaya
bahasa, ungkapan-ungkapan dan sebagainya. Bahasa merupakan sarana
pengungkapan sastra. Dipihak lain sastra lebih dari sekedar bahasa,
deret kata, namun unsur kelebihan itu hanya dapat diungkapkan dan
ditafsirkan melalui bahasa. Jika sastra ingin menyampaikan sesuatu atau
mendialogkan sesuatu, hanya dapat dikomunikasikan lewat sarana bahasa.
Bahasa dalam sastra untuk mengembangkan fungsi utamanya: fungsi
komunikatif. Hanya saja bahasa yang digunakan sastrawan atau pengarang
adalah bahasa tulisan yang diapresiasikan melalui karya sastra.
Sastra adalah seni kata, jadi seberapapun pentingnya motif dan niat baik
penulis, kesungguhannya menyiapkan dan menggeluti bahan tulisan,
keinginannya untuk ikut berbicara masalah-masalah masyarakatnya, tetap
tidak bisa menggantikan kewajiban utama penulis untuk memiliki daya
dobrak artikulatif atau alat ucap dan memaksimalkan (penggunaan)
bahasanya. Penulis yang baik harus terus berproses mengembangkan dirinya
menjadi “tukang” yang semakin lihai mengartikulasikan hal-hal yang
ingin ia ungkapkan melalui tindakan berbahasa (tulis). Di tangan penulis
yang baik, bahasa menjadi alat ungkap yang luar biasa, alat ekspresi
yang kuat, lentur dan indah.
d) Novel Sebagai Media Dakwah
Tinjauan atas dasar sudut komunikasi, teks-teks karya sastra baik berupa
puisi, cerita pendek atau novel, merupakan satu bentuk pesan komunikasi
karya sastra, layaknya semua bentuk komunikasi mengalami sebuah bentuk
penulisan (encoding), pemuatan dalam buku, majalah atau surat kabar
(media) dan akhirnya akan dibaca oleh khalayak (decoding). “pernyataan
manusia” dalam karya sastra juga memperlihatkan adanya keinginan
pengarang (komunikator) guna menyampaikan sesuatu kepada pembacanya
(komunikan).
Dakwah merupakan suatu proses komunikasi. Di dalam penyampaian pesan-pesan keagamaan oleh subyek dakwah kepada
obyek dakwah sering memerlukan suatu media. Dan seorang da’i yang
berkecimpung di dunia sastra, dalam hal ini sastra yang berbentuk novel,
dapat menggunakan novel sebagai media dakwah. Pesan-pesan keagamaan
yang di kemas dalam bentuk yang menarik dan menyentuh perasaan pembaca,
akan membuat kesan yang mendalam dihati pembaca dan tanpa terasa pembaca
akan dibawa oleh pengarang kepada ide-ide keagamaan yang
dikehendakinya. Menurut Horatius, karya sastra bersifat dulce et utile:
menyenangkan dan bermanfaat. Novel yang baik akan membekali pembaca
dengan suatu yang bermanfaat bagi kehidupan pembaca selanjutnya.
Menurut Radhar Panca Dahana bahwa sebuah karya sastra apapun bentuknya
menumpahkan pusat perhatiannya pada manusia, apapapun gaya bahasa,
apapun jenisnya pada dasrnya sastra mengandung pesan atau ajaran
keagamaan (homo religious).
Cerita rekaan berbentuk novel, identik dengan menggambarkan kenyataan
yang hidup dalam masyarakat dimanapun manusia berada boleh berimajinasi
karena lapangan seni islami adala semua wujud. Menurut M Quraish Shihab
jika hal tersebut diindahkan, maka pada saat itu pula seni telah
mengayunkan langkah berfungsi sebagai sarana dakwah islamiah.
G. Metode Penelitian
1. Penentuan Subyek dan obyek penelitian
Dalam menentukan metode penelitian tentu saja harus menyesuaikan dengan
obyek yang akan diteliti begitu juga dengan subyek penelitian. Penulisan
skripsi ini adalah studi analisis literatur, menurut Hawkes dalam
analisis karya sastra diuraikan unsur-unsur pembentukannya. Dengan
demikian, makna keseluruhan akan dapat dipahami. Hal ini mengingat bahwa
karya sastra adalah sebuah karya yang utuh.
Dalam menentukan metode penelitian disesuaikan dengan obyek dan tujuan
penelitian adapun penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah novel
“Kasidah Lereng Bukit” karya Achmad Munif
Melihat penelitian yang bersifat kualitatif (menerangkan) serta tujuan
penelitian ini secara khusus dimaksudkan untuk mendeskripsikan tentang
pesan-pesan dakwah yang terkandung dalam obyek penelitian. Maka dalam
penulisan ini penulis menggunakan metode analisis deskriptif analisis
yakni menuturkan, menafsirkan dan menganalisis sumber yang ada.
2. Metode Pengumpulan Data
Untuk pengumpulan data, dalam penelitian ini penulis menggunakan teknis sebagai berikut:
a. Metode interview
Metode Interview adalah metode pengumpulan data dengan komunikasi
langsung antara peneliti atau penyelidik dengan subyek , atau sebuah
dialog dengan berkomunikasi langsung dengan subyek penelitian ini dengan
penulis buku “Kasidah Lereng bukit” Achmad Munif untuk memperoleh
informasi. Bentuk interview yang penulis gunakan adalah interview bebas
terpimpin.
b. Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah metode pengumpulan data dengan cara mencari
data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku,
surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya.
Sedangkan untuk melengkapi data dalam skripsi ini penulis menggunakan
literatur yang berhubungan dengan penelitian ini. Diantaranya adalah
buku-buku, surat kabar, dan lain-lain. Data tersebut digunakan sebagai
pendukung data pokok.
c. Metode Analisis Data
Untuk menganalisa data yang di kumpul, penulis menggunakan analisis isi
(content analisis), yaitu metode yang dapat dipergunakan untuk
menganalisa bentuk-bentuk komunikasi seperti surat kabar, buku, puisi,
lagu, cerita langit, lukisan, pidato, surat, peraturan undang-undang,
musik teater dan sebagainya.
Eriyanto mengatakan dalam bukunya Analisis Wacana Pengantar Analisis
Media Bahwa salah satu karakteristik analisis isi kuantitatif, mengikuti
Barelson adalah teknik untuk menguraikan secara obyektif, sistematik
dan kuantitatif komunikasi.
Akan tetapi dalam menganalisis sebuah media, karena novel adalah
merupakan sebuah media, maka Eriyanto mengatakan akan lebih lengkap jika
dipadukan dengan analisis wacana, untuk melengkapi dan menutupi
kelemahan dari analisis isi, bahwa analisis wacana dalam analisisnya
lebih bersifat kualitatif dibandingkan dengan analisis isi yang umumnya
kuantitatif, analisis wacana lebih memperhitungkan pemaknaan teks
daripada penjumlahan unit kategori seperti analisis isi. Dasar dari
analisis wacana adalah interpretasi dan penafsiran peneliti.
Adapun langkah-langkah yang akan ditempuh dalam penulisan skripsi ini sebagai berikut:
1) mengidentifikasi data penelitian tentang bentuk dan strukturnya
2) mendeskripsikan ciri-ciri atau komponen-komponen pesan yang terkandung dalam setiap data
3) menganalisa ciri-ciri atau komponen-komponen pesan yang terkandung dalam setiap data
4) menyusun klasifikasi keseluruhan hasil dari analisa itu, sehingga
mendapatkan deskripsi tentang isi dan kecenderungan pesan serta
unsur-unsur intrinsik novel sebagai pesan dakwah.
BAB II
BIOGRAFI HASIL KARYA ACHMAD MUNIF
A. Biografi
Achmad Munif lahir di sebuah desa kecil di tepi kali Brantas bernama
Ponen Pulogedang, Tembelang, Jombang Jawa Timur. Ibunya meninggal dunia
ketika melahirkan beliau, kemudian ayahnya menikah lagi. Achmad Munif
beserta empat saudara kandungnya dibesarkan oleh kakek neneknya, namun
ketika berumur enam tahun dan sedang duduk di kelas satu SR kakeknya
meninggal dunia. Sekalipun hanya bisa membaca huruf Arab tetapi
neneknya berpikiran maju, semua cucunya disekolahkan minimal sampai SMA,
dan yang bisa sampai di perguruan tinggi hanya beliau dan saudaranya
yang nomor dua alumnus IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan bekerja
sebagai salah seorang pejabat Teras di Departemen Negara RI.
Sejak kelas enam SR Achmad Munif sudah membaca buku-buku sastra seperti
“Keluarga Gerilya” (peram), Di bawah Lindungan Ka’bah, Merantau ke Deli,
“Tenggelamnya Kapal Van Derwijck” (Hamka), Siti Nurbaya (Marah Rusli),
Layar Terbang (SSPA), Belenggu (Amryn Pane), Surabaya (Idrus),
Sajak-sajak Choiril Anwar dan masih banyak lainnya.
Adapun riwayat sekolah Achmad Munif sendiri cukup unik, setelah lulus
SMEA koperasi beliau di terima di fakultas ekonomi UGM, namun hanya
dijalani selama dua tahun. Karena merasa tersiksa dengan mata kuliah
Accounting, kemudian Achmad Munif mendaftarkan di IKIP sekarang UNY di
fakultas Ilmu sosial tetapi dijalaninya selama tiga bulan karena
diterima juga di fakultas filsafat UGM, bersamaan dengan itu beliau juga
diterima juga di harian ‘Kedaulatan Rakyat” sebagai korektor. Saat itu
juga beliau berkenalan dengan seorang penyair yang bernama Umbu Landu
Pranggi yang secara tidak langsung menjadi gurunya dalam penulisan.
Sesungguhnya sekolah beliau di fakultas filsafat UGM cukup lancar namun
kala itu beliau merasa berada di tiga dunia sekaligus (dunia kampus,
dunia Koran dan dunia penulisan). Akhirnya setelah tiga tahun lancar di
fakultas Filsafat, kampus UGM beliau tinggalkan sebab dari korektor KR
beliau dipromosikan menjadi sekretaris redaksi minggu pagi dan dua
tahun kemudian menjadi redaktur (wartawan) minggu pagi dua tahun
kemudian menjadi wartawan Kedaulatan Rakyat, redaktur KR dan redaktur
pelaksana KR. Tahun 1989, beliau keluar dari KR dan bekerja di harian ”
JOGJA POST” sebagai opini dan budaya sampai harian itu tidak terbit
lagi. Acmad Munif menikah dengan gadis pujaannya gadis Cirebon bernama
Siti Hapsah dan dikarunia dua orang anak Olenka Fatten Hamama dan Fadila
Adelin Surtikanti semuanya perempuan.
Achmad Munif sudah terbius di dunia penulisan. Bersama anggota persada
studi klub (PSK) dengan dipimpin oleh Umbu Landu membuat ia bahagia dan
melupakan dunia kampus. Bersama-sama mas Umbu, Sumarno Pragolapati Teguh
Ranusastara Asmara, Suparno S Ahdi (kini wartawan dan redaktur KR),
Faisal Ismail, (DR. dan sekjen Departemen Republik Indonesia), Bambang
Indra Basuki (alm.), Bambang Supria Hadi dan lain sebagainya. Setiap
malam menggelandang di Malioboro mencari jati diri. Dulu keramaian kota
Jogja belum merata seperti sekarang, Malioboro benar-benar menjadi pusat
keramaian kota. Sepanjang timur Malioboro dirindangi pohon-pohon besar,
disebelah hotel Garuda masih ada sebuah taman kecil, pada malam hari
mereka sering membaca puisi di taman itu, mereka membaca puisi
keras-keras seakan-akan tidak ada beban sama sekali, mereka tidak peduli
orang-orang berkerumun menonton mereka. Dunia mereka adalah dunia
puisi, cerpen, esei yang hampir setiap malam dibaca, didiskusikan bahkan
dipertengkarkan, namun mereka juga membicarakan seni rupa, politik,
tari dan teater.
Banyak teman mudanya bertanya-tanya tentang proses kreatif Achmad Munif,
tetapi memang sulit menerangkan proses kreatif beliau selama ini. Sejak
muda beliau ingin menjadi penulis dan tidak peduli apakah penulis
besar atau penulis kecil, karena bagi Achmad Munif hal itu sama saja.
Keinginan menulis berawal ketika duduk di bangku kelas enam SD, dan
kebetulan saudara kandungnya di Surabaya sudah mulai menulis dan dimuat
di media massa. Ketika SMP keinginan menulis beliau semakin besar,
buku-buku bacaannya meminjam dari kantor penerangan kabupaten Jombang.
Achmad Munif masih ingat ketika menunggu Kereta Api yang berangkat ke
Ploso setelah bubaran sekolah, pada saat itu teman-temannya berkejaran
di Peron, beliau lebih suka membaca buku, sering teman-temannya
mengejek sebagai calon pengarang besar, tetapi tidak dihiraukannya,
bahkan sering buku yang sedang dibacanya direbut temannya bahkan
dilempar-lempar ke atas. Dalam diri Achmad Munif keinginan untuk menulis
datang begitu saja, tetapi terkadang beliau merenung terlebih dahulu,
pada saat keinginan menulis datang, untuk berapa saat diendapkan dalam
pikiran dan perasaannya, kemudian pada saat yang tepat baru diketik,
beliau hampir tidak menunda tulisan sebelum selesai kecuali novel.
Biasanya kalau menulis cerpen atau artikel sekali duduk selesai.
Achmad Munif tidak pernah mempunyai komitmen pada salah satu media
massa, beliau selalu punya keinginan menulis di semua media masa yang
ada. Beliau hampir tidak pernah peduli apakah tulisannya dimuat atau
tidak, rasa optimis dan berprasangka baik (khusnudzon) selalu ada dalam
hatinya kepada redaktur media massa. Kalau tulisannya tidak dimuat,
beliau berusaha menyalahkan diri sendiri, artinya tulisannya memang
tidak layak dimuat atau tidak sesuai dengan media massa yang
bersangkutan. Beliau bersyukur pada Tuhan karena sekalipun usianya sudah
semakin tua keinginannya untuk menulis tidak pernah surut. Achmad Munif
tidak peduli predikat apa yang diberikan kepadanya, keinginan hanyalah
“saya akan terus mampu menulis selama hayat masih dikandung badan, sebab
saya merasa tidak bisa bekerja apa-apa selain menulis”.
B. Corak Dakwah Achmad Munif dalam Karya-Karyanya
Sastra dan agama dalam hubungannya sebuah karya yang bisa dikatakan baik
dan dapat dipertahankan nilainya jika penyajian ide atau wawasan
keagamaanya itu tidak berbau propaganda yang vullgar, tidak menggurui.
Ide-ide keagamaan sampai pada pembaca secara simpatik tanpa mengurangi
kemerdekaannya secara pribadi, dapat dikatakan ide-ide keagamaan itu
terserap secara inplisit (tidak langsung), terbungkus oleh selera
kepuitisan ungkapan pengarangnya, tidak mengundang prasangka, dan juga
tidak menimbulkan wasangka yang seringkali menambah suburkan
fanatisme agama dalam pikiran pembaca. Di luar kesadarannya pembaca
tertawa oleh arus ideologis karya satra itu yang mungkin membawanya
kedalam perenungan metafisis.
Achmad Munif menjadikan novel sebagai media untuk menuangkan gagasan
atau ide-idenya, termasuk didalamnya ide-ide keagamaan dan dakwah
disampaikan Achmad Munif secara inflisit, tidak vullgar dan tidak berbau
propaganda agama. Didalam menuangkan ajaran-ajaran yang terdapat dalam
al-Qur’an dan al-Hadits, Achmad Munif Terkadang pernah menulis kutipan
ayat-ayat atau hadits secara langsung didalam novelnya, dan terkadang
beliau sangat memihak pada Islam. Dia sadar bahwa novel tetaplah novel
dan bukan kumpulan Khotbah dan itulah sastra. Sastra memang harus
menembus hati siapapun yang membaca, bahkan orang-orang yang sengaja
disinggungnya. Seandainya pesan dakwah disampaikan secara formal dan
vullgar, mungkin masyarakat yang disoroti akan merasa disinggung dan
tidak mau membaca novel tersebut. Itu berarti tujuan tidak berhasil.
Sebagai seorang pemerhati sosial Achmad Munif menjadikan agama Islam
sebagai sentral memecahkan persoalan yang dapat mengatasi segala problem
kehidupan baik yang bersifat horizontal (hubungan sesama manusia dan
lingkungan alam sekitar) maupun Vertikal (hubungannya dengan Tuhannya).
Ia percaya bahwa seburuk-buruk manusia bisa menjadi baik kalau selalu
berusaha menjadi baik. Nur Illahi akan datang jika manusia selalu
berusaha mendekati Tuhan. Sebaliknya manusia yang baik bisa berubah
menjadi buruk karena tidak mampu menahan godaan. Beliau tidak mencurigai
orang lain yang berusaha menjadi baik. Manusia sebelum meninggal dunia
selalu dalam proses menjadi baik atau buruk. Oleh karena itu Achmad
Munif bersimpati kepada tokoh-tokoh yang beliau ciptakan sekalipun ia
tokoh yang berperan jahat dalam karyanya. Beliau selalu memberi latar
belakang kenapa tokoh tersebut menjadi jahat.
C. Karya-Karya Achmad Munif
Karya-karya Acmad Munif baik berupa artikel, maupun cerpen telah banyak
dimuat dipelbagai media massa antara lain: Kompas, Republika, Suara
Pembaharuan, Bisnis Indonesia, Nova, Femina, Kartini, Jawa Post,
Surabaya Post, Suara Merdeka, Bernas dan Horison. Beberapa cerpen yang
masuk dalam antologi cerpen antara lain “Pagelaran” (FKY), “Lukisan
Matahari” (Bernas), “Condromowo” (Bernas” dan “Mudik” (Benteng Budaya),
“Pembisik” (Republika). Sedangkan cerpen “Kalau Kadir Batuk-Batuk”
pernah dimuat dalam (NOVA) dan menjadi bahan pelajaran bahasa Indonesia
karangan Drs. Slamet Widodo. Adapun klasifikasi karya-karyanya yang
pernah dimuat di media massa dan diterbitkan antara lain: cerita pendek,
kumpulan cerita pendek, karya novel atau novelette yang sudah
diterbitkan dan karya non fiksi yang sudah diterbitkan
Cerita Pendek
1. “Mak Ayo Menari Mak” dimuat dalam (NOVA), No. 742 pada tanggal 19 Mei 2002
2. “Tikus” dimuat dalam harian Republika pada tanggal 23 Juni 2002
3. “Popy” dimuat dalam harian Bisnis Indonesia pada tanggal 28 Mei 2000
4. “Yu Tum” pernah dimuat pada harian Surabaya Post pada tanggal 4 Oktober 1992
5. “Primadona” dimuat dalam “Sinar Harapan” pada tanggal 7 Juni 1992
6. “Darah Di Ujung Belati” dimuat dalam “Sinar Harapan” tanggal 18 Agustus 2001
7. “Kalu Kadir Batuk-Batuk” Dimuat dalam majalah (NOVA), pada tanggal 9 Januari 1994
8. “Rambut Jaitun” dalam majalah (NOVA), pada tanggal 6 Januari 2002
9. “Sahabat” dimuat dalam media “Suara Karya” pada tanggal 19 Desember 1992
10. “Satu Dari Dua Sahabat” dimuat dalam majalah “Suara Muhamadiayah” No. 9 pada tanggal 1 Mei 1991
11. “Harga Diri” dimuat dalam harian “Solo Post” pada tanggal 16 April 200
12. “Cara Salim Menghadap Allah” dimuat dalam harian “Republika” pada tanggal 4 November 2001
13. “Keris” dimuat dalam harian “Suara Merdeka” pada tanggal 14 februari 1993
14. “Jenazah Pak Korup” dimuat dalam harian “Republika” 1 Juli 2002
15. “Bayangan Itu Terus Berkelebat” dimuat dalam majalah (NOVA), No. 674, pada tanggal 28 Oktober 2001
16. “Pidato” dimuat dalam majalah “Suara Muhamadiyah”, No.6 pada tanggal 16 sampai 31 Maret 1996
17. “Sumi Kembali Ke Malasiya” dimuat dalam majalah (NOVA), No. 1807, pada tanggal 1 sampai 10 Ju8li 1993
18. “Handuk” dimuat dalam harian “Bisnis Indonesia” pad tanggal 9 Mei 1993
19. “Parcel” dimuat dalam harian “Republika” pada tanggal 6 Maret 1994
20. “Seekor Ular Untuk Istri” dimuat dalam harian “Republika” pada tanggal 1 April 2001
21. “Kacamata” dimuat dalam koran “Tempo” pada tahun 2003
22. “Kisah Jibril” dimuat dalam harian umum “Republika”, pada tanggal 23 September 2001
23. “Cerai” dimuat dalam majalah (NOVA), No. 683, pada tanggal 1 April 2001
24. “Tanda-Tanda Kebesaran Allah” dimuat dalam harian umum “Republika” pada tahun 2001
25. “Kehormatan Ibu” dimuat dalam “Horison” pada tahun 2001
26. “Tuan Gendon” dimuat dalam “Horison” pada tahun1998
27. “Mas Kribo” dimuat dalam “Horison” pada tahun 1991
28. “Kucing Itu Mati” dimuat dalam harian umum “Surabaya Post” pada tahun 1993
29. “Katabelece” dimuat dalam harian umum “Surabaya post” pada tahun 1994
30. “Perempuan Ular” dimuat dalam “Liberty” pada tahun 1999
31. “Buronan” dimuat dalam majalah “Suara Muhamadiyah” No. 75, pada tanggal 1 sampai 15 Sptember 1990
32. “Lelaki di Dalam Kereta” dimuat dalam “liberty, No. 1785, pada tanggal 1sampai 15 November 1992
33. “Sandal” dimuat dalam harian umum “Republika”pada tahun 2001
34. “Pulang Ke Padang Ilalang” dimuat dalam “Fadila” pada tahun 2003
35. “Kunti, Cintanya Yang Hilang” dimuat dalam majalah “Anita Cemerlang”
36. “Anastasia” dimuat dalam Majalah “Femina”
37. “Di Bawah Langit Pegunungan” dimuat dalam majalah “Anita Cemerlang
38. “Suatu Hari Dalam Pegunungan” dimuat dalam majalah “Anita Cemerlang”
39. “Perjalanan Sunyi” dimuat dalam majalah “Anita Cemerlang”
40. “Cinta, Ombak dan Pasir Pantai” dimuat dalam minggu Pagi
41. “Sampai Kapan Aku Harus Menunggu” dimuat dalam majalah “Kartini”
42. “VW Kodok” dimuat dalam majalah “Krtini”
43. “Kalung Bermata Berlian” dimuat dalam Harian “Bisnis Indonesia”
44. “Balada Kadir dan sumi” dimuat dalam “Liberty”
45. “Mak Menari Di Padang Ilalang” Mendapat juara pertama Lomba pnulisan cerpen majalah “Kartini” pada tahun 2004
46. “Maaf Kami salah Tangkap” dimuat dalam harian umum “Solo Post” pada tahun 1999
47. “Titisan Dewi Drupadi” dimuat dalam harian “Solo Post”
48. “Gong” Dimuat dalam harian umum “Solo Post”
49. “Istriku Menghitung Bintang” dimuat dalam majalah “NOVA”
dan masih banyak lagi yang tidak terdokumentasi.
Kumpulan Cerpen yang sudah Di Terbitkan
1. “Tanda-Tanda Kebesaran Allah” diterbitkan oleh MM Corp, Jakarta 2003
2. “Kehormatan Ibu” diterbitkan oleh priogres – Narasi Yogyakarta 2004
3. “Cinta yang Hilang” diterbitkan oleh Media Presindo – Narasi Yogyakarta 2004
4. “Parcel” masuk dalam antologi “Mudik” – Benteng 1996
5. “Kucing Itu Mati” Masuk dalam Antologi “Pagelaran” – FKY tahun 1996
6. “Sang Bos” masuk dalam Antologi “Lukisan Matahari” harian “Bernas”
7. “Bawa Celurit” masuk dalam Antologi “Condromowo” harian “Bernas”
8. “Jenazah” masuk dalam Antologi “Pembisik” harian “republika.”
Cerita Bersambung atau Novelet
1. “Tandak” dimuat dalam harian umum “Surabaya Post, pada tahun 1992
2. “Birunya Langit Yogya” dimuat dalam majalah “Anita Cemerlang pada tahun 1990
3. “Pria Idaman Lain” Dimuat dalam PIL – “SuraBaya Post” pada tahun 1993
4. “primadona” dimuat dalam harian umum Surabaya Post pada tahun 1995
5. “Kembang Kampus” dimuat dalam harian umum Jawa Post” pada tahun 2004
6. “Merpati Biru” dimuat dalam harian umum “Jawa Post” pada tahun 1995
7. “Bayang-Bayang Hitam” dimuat dalam harian umum “Jawa Post” pada tahun 1989
8. “Cemara-Cemara” dimuat dalam harian umum “Jawa Post” pada tahun 1994
9. “Tikungan” dimuat dalam harian harian umum “Republika” pada tahun 1994
10. “Angin Pantai Selatan” dimuat dalam harian umum “Republika” pada tahun 1995
11. “Jalan Kehidupan” dimuat dalam harian umum “Republika” pada tahun 1996
12. “Sawitri Perempuan Panggung” dimuat dalam majalah “NOVA”, pada tahun 2002
13. “Darah Biru” dimuat dalam majalah “NOVA”, edisi bulan Maret sampai Agustus tahun 2004
14. “Pasir-Pasir Pantai” dimuat dalam harian umum ” Republika” tahun 1988
15. “Ken Dedes” dimuat dalam harian umum “Yogya Post” tahun 1995
16. Bulan Terlalu Jauh” dimuat dalam majalah “Kartini”
17. “Memburu Bayang-Bayang” dimuat dalam majalah “Kartini”
18. “Mujsim Petik Apel” dimuat dalam majalah “Kartini”
19. “Tanaka San” dimuat dalam majalah “Kartini”
20. “Tembang-Tembang” dimuat dalam majalah “Femina”
21. “Bibir Merah” dimuat dalam harian “Suara Pembaharuan”
22. “Perempuan-Perempuan” dimuat dalam harian “Suara Pembaharuan”
23. “Persaingan” dimuat dalam “Matras” tahun 1993
24. “Padang Perburuan” dimuat dalam harian “Minggu Pagi”
25. “Lipstick” dimuat dalam harian umum “Jawa Post” tahun 2003.
Karya Novel atau novelet yang Sudah di Bukukan
1. “Merati Biru” diterbitkan oleh penerbit Navila Yogya Cetakan Pertama tahun 2000
2. “Tikungan” diterbitkan oleh penerbit Navila cetakan pertama tahun 2000
3. “Perempuan Yogya” diterbitkan oleh penerbit Navila Yogya cetakan pertama tahun 2001
4. “Kembang Kampus” diterbitkan oleh penerbit gita Nagari yogya cetakan pertama tahun 2003
5. “Primadona” diterbitkan oleh penerbit Gita Nagari Cetakan pertama Tahun 2003
6. “Sang Penindas” diterbitkan olehb Navila Yogya Cetakan pertama Tahun 2003
7. “Terbanglah Merpati” diterbitkan oleh penerbit Gita Nagari cetakan pertama tahun 2002
8. “Kasidah Lereng Bukit” diterbitkan oleh Gita Nagari yogya cetakan pertama tahun 2003
9. “Pengorbanan Rum” diterbitkan oleh narasi Yogya cetakan pertama tahun 2003
10. “Perempuan di Simpangan Jalan” diterbitkan oleh penerbit Narasi Yogya cetakan pertama tahun 2003
11. “Kupu-Kupu Malam” diterbitkan oleh Media Pressindo Yogya Cetakan pertama tahun 2003
12. “Lipstick” diterbitkan oleh Media Pressindo cetakan pertama tahun 2003
13. “Sawitri Perempuan Tangguh” diterbitkan oleh penerbit Prima Media Pustaka jakarta tahun 2004
14. “Bibir Merah” diterbiotkan oleh penerbit Navila Yogya cetakan pertama tahun 2004
15. “Cinta yang Hilang” diterbitkan oleh Narasi Yogya cetakan pertama tahun 2004
16. “Mengukir Cinta di Pasir Pantai” diterbitkan oleh diva Yogya cetakan pertama tahun 2004.
Karya Non fiksi
1. Dwi Tunggal Samawi – Wonohito Kedaulatan Rakyat (KR) Yogya tahun 1985
2. Tokoh Arab Ummu Kaltsum – Saddam Hussein – Kota kembang tahun 2003
3. Haji Perjalanan Air Mata Tim penulis – Benteng 1994
4. Berikan Cinta Apa Adanya Amor tahun 2004
5. Cinta Modal Prangko amor tahun 2004.
D. Latar Belakang Lahirnya Novel “Kasidah Lereng Bukit”
Setiap karya yang dihasilkan oleh seorang sastrawan pasti mempunyai
latar belakang sehingga terciptanya karya tersebut, begitu juga dengan
novel “Kasidah Lereng Bukit”. Menurut Achmad Munif novel ini
terinspirasi dan ditulis setelah beliau diundang kepondok pesantren (PP)
“Bahrul Ulum “Tambak Beras, Jombangdan pondok pesantren “Darul Ulum”
Peterongan, jombang. Achmad Munif baru tahu ternyata buku-bukunya
seperti “Merpati Biru”, “Tikungan”, “Perempuan Jogja” dan “Sang
Penindas” digemari oleh para santri yang ada dua Pondok Pesantren
tersebut. Padahal beliau berprasangka bahwa karya-karyanya yang digemari
itu tidak begitu Islami, lalu ia mempunyai keinginan dan bertanya-tanya
dalam benaknya “mengapa saya tidak menulis novel yuang sedikit lebih
Islami yang barangkali lebih sesuai untuk bacaan kalangan muda
pesantren”, maka lahirlah “Kasidah Lereng Bukit”.
Novel “Kasidah Lereng Bukit” menceritakan dua anak manusia yang saling
mencintai tetapi novel ini berbeda dengan kisah cinta sebagaimana di
gemari oleh banyak penulis dan pembaca lainnya. Menurut Acmad Munif
bahwa cinta tidak sama dengan seks. Maka dengan lahirnya novel ini
beliau sedikit memberi penyadaran kepada “yang mau percaya” bahwa cinta
tidak selalu identik dengan seks, karena cinta adalah “perasaan” yang
bisa diekspresikan melalui anggota tubuh yang lain misalnya laki-laki
dan perempuan yang sedang bercinta ia sedang merasakan keindahan dan
kenikmatan di dalam perasaannya, keindahan cinta tergantung kepada siapa
yang merasakannya. Misalnya hanya saling pandang, mendengarkan
suaranya, membaca surat, ucapan sepatah atau dua patah kata bisa jadi
sangat indah.
Achmad Munif masih ingat dengan kata-kata Buya Hamka “Cinta itu Suci dan
datang dari Allah, ia menjadi tidak suci karena manusia sendiri yang
mengotorinya dengan nafsu birahi”. Maka menurut Achmad Munif cinta yang
benar adalah cinta yang tidak “membius” seperti candu atau sabu-sabu,
yang membuat orang melayang di awan jauh dari segala macam kesulitan
padahal ia berada di bumi yang penuh dengan kerumitan. Cinta perlu
dijalani secara wajar sambil belajar, membaca buku, nonton sepak bola,
atau naik sepeda. Cinta tidak harus ada di mall-mall, berdua-duaan
digunung dan dipantai atau di restoran dan kafe-kafe. Cinta yang benar
adalah yang memberi semangat, menyegarkan kembali bagi yang loyo, bukan
yang melemahkan, yang membuat kita lalai karena terlalu sering melamun,
mengubar angan-angan dan mimpi. Cinta yang benar bukan berpesta ganja
dikamar hotel ketika cowok dan cewek berpelukan tampa busana, dengan
mata setengah memejam dan tubuh lemah lunglai, dan baru sadar ketika
digropyok polisi. Dan lebih dari itu cinta itu suci dan bukan nafsu
barahi, cinta itu barokah dan bukan musibah dan cinta tidak mengajarkan
kepada keburukan. Dalam pengertian yang benar cinta adalah proses menuju
pernikahan, cinta itu tidak boleh hanya untuk iseng dan main-main.
Tetapi memang untuk membangun keluarga yang melahirkan anak-anak yang
menurut istilah agama “Qurrota ‘a’yun seperti do’a setiap kali selesai
shalat, bukan anak-anak yang dhuafa’ atau anak-anak yang lemah. Menurut
Achmad Munif cinta yang benar adalah saling memberi semangat saling
memberi perhatian, saling mengingatkan ketika salah. Memang bercinta
adalah hak setiap orang akan tetapi yang realistis karena menurut beliau
masa muda adalah masa untuk menentukan kualitas masa yang akan datang,
pacaran yang berkuwalitas tinggi adalah pacaran yang realistis dan
sebaliknya pacaran atau bercinta yang kuwalitasnya rendah adalah cinta
yang tidak realistis, jika salah melangkah bisa akibatnya patal,
cita-cita yang tinggi sudah digantung sejak lama bisa hancur berantakan.
Achmad Munif menciptakan novel yang islami akan digemari oleh pembaca,
walau bukan novel yang beradegan seks seperti novel “Layla Majnun”
(Syaikh Nizam) yang diterbitkan “Navila” bahkan menjadi “Best seller”
dan juga “Salamah” karya Ahmad Baksir (Navila) lalu novel-novel yang
Islam yang diterbitkan “Mizan” karya Gola Ging, Asma Nadia, Helfi Tiana
Rosa dan lainya, bahkan majalah “Annida” yang memuat cerpen-cerpen
Islami yang memuat tanpa adegan seks sama sekali yang sangat luar biasa
laris dibaca oleh kalangan anak muda, dengan kata lain bahwa karya tanpa
seks memiliki penggemar sendiri yang jumlahnya tidak sedikit.
Dalam mengungkapkan kata-kata Achmad Munif lebih cenderung memakai kata
kiasan untuk memperhalus bahasa dan memperindah suasana. Sebab
adakalanya suatu pernyataan tidak dilontarkan begitu saja, misalnya agar
tidak menyinggung perasaan orang lain. Misalnya dalam karyanya “Kasidah
Lereng Bukit” beliau mengatakan bahwa sebagai ustaz Abah Nur tidak
hanya menyuruh para santrinya untuk membaca Al-Qur’an dan al-Hadits atau
kitab-kitab kuning tetapi juga membaca alam semesta yang menghampar
didepan kita. Karena dengan membaca alam semesta, manusia semakin
menyadari kebesaran dan Kemaha Penciptaan Allah. Membaca tanda-tanda
kebesaran Allah itu tidak hanya membaca kitab-kitab tetapi juga
merenungi alam semesta misalnya tentang “Matahari Bersinar Terik”
sebagai ustaz, Abah Nur meminta kepada para santrinya untuk merenungi
fungsi matahari dengan sinarnya. Berfikirlah bahwa terik matahari
dibutuhkan manusia sebab kalau hujan sepanjang tahun banjir besar akan
datang dimana-mana. “Tentang hembusan angin yang menyejukkan alam
semesta”. Rasakan betapa Allah telah menciptakan keseimbangan antara
“terik matahari” dan “angin menyejukkan alam semesta”, rasa gerah
ditubuh kita akan terkurangi oleh hembusan angin. Tentang burung jalak
yang bergoyang diranting Terembesi renungkanlah betapa burung itu juga
sedang merasakan merasakan angin sejuk yang bertiup. Betapa adilnya
Allah. “Tentang Alang-alang terus bergoyang-goyang menari-nari”.
Renungkanlah goyangan alang-alang kekiri dan kekanan sebagai bentuk
zikirnya kepada tuhan. Pokoknya Abah Nur ingin santri-santrinya
merenungkan alam disektarnya. Karena disanalah akan menyadari betapa
Maha besarnya Allah
Di samping menggambarkan tentang keadaan pondok Achmad Munif juga
mengungkapkan mengapa beliau banyak menggunakan bahasa Jawa Timuran.
Pertama karena beliau berasal dari Jawa Timur Kedua karena menurut
beliau bahasa Jawa Timur sangat dinamis, Ketiga beliau berkeinginan
lebih menggunakan bahasa Jawa Timur kepada khalayak yang lebih luas
karena ini merupakan sebuah misi beliau karena beliau merasa iri kepada
bahasa Betawi dipergunakan hampir semua sinetron televisi. Beliau
optimis bahwa bahasa Jawa Timur akan memperkaya khasanah sastra
Indonesia “bagi saya bahasa daerah termasuk Jawa Timur akan memperkaya
khasanah Sastra Indonesia” dan hal ini akan mendorong dialog suku-suku
antar bangsa di tanah air. Masuknya bahasa daerah kebahasa Indonesia
akan memperkaya kosa kata bahasa Indonesia itu sendiri. Hal ini menurut
Achmad Munif sebagai pengarang yang melatar belakangi menulis novel
Kasidah Lereng Bukit ini karena beliau sebagai pengarang itu sendiri.
Yang membedakan antara pengarang dan manusia biasa adalah kepekaannya,
setiap hal yang dijumpainya dan dipikirkannya merupakan bahan baku untuk
karya-karyanya.
E. Sinopsis Novel Kasidah Lereng Bukit
Novel “Kasidah Lereng Bukit” ini menceritakan kisah cinta dan kekuasaan
terkadang acapkali bersentuhan sebagai kawan dan terkadang menjadi
lawan, kekuasaan sering menyerimpung, menghadang dan mencabik-cabik
cinta. Hal ini seperti digambarkan oleh penulis novel pada tokoh Ahmad
Furkondan Nurul Fitria. Kisah cinta ini berawal dari suara alunan
Shalawat Nabi atau Diba’an yang sudah menjadi rutinitas santri, santri
wati pesanteren “Darul Iman” beserta pemuda dan pemudi desa Kedungpring
kecamatan Tumpang sebuah kabupaten dilereng bukit di Jawa Timur.
Suara merdu yang dilantunkan oleh Nurul Fitria sesekali mengganggu hati
nurani seorang pemuda ganteng yaitu Ahmad Furkon, tetapi gangguan itu
bukanlah sebuah gangguan yang sembarangan, tetapi merupakan gangguan
yang sangat indah dirasakan oleh Ahmad Furkon. Nurul Fitria yang
mempunyai seraut wajah cantik, hidung tidak terlalu mancung bibir mungil
indah, mata bening dan bulat terbayang dalam benak Ahmad Furkon.
Ternyata benih cita yang sudah bersemi itu mendapat dukungan dari
teman-temannya dipesantren.
Ahmad Furkon yang masih tinggal bersama orang tuanya, tidak jarang
ibunya menanyakan tentang hubungan anaknya dengan Nurul Fitria anak Gus
Muali sehingga ibunya merencanakan melamar dan menikahi kedua pemuda itu
karena kekawatiran ibunya sebagai orang tua, apalagi Ahmad Furkon
mempunyai rencana untuk melanjutkan kuliyah.
Ahmad Furkon dan Nurul Fitria memang warga asli desa Kedung Pring.
Disamping sekolah SMU dikabupaten mereka juga nyantri dipondok pesantren
Darul Iman yang diasuh oleh Gus Nur atau sering dipanggil Abah Nur,
akan tetapi karena rumah Nirul Fitria dan Ahmad Furkon tidak jauh dari
pesantern maka mereka tidak tinggal dipesantern seperti santri yang
berasal dari daerah lain
Ahmad Furkon hanya keluarga yang sederhana secara ekonomi tetapi
terkenal keluarga yang agamis didesanya dia punya tekat untuk
melanjutkan sekolah ke Jogja setelah menamatkan SMU, ia yakin bahwa
Allah akan melapangkan rizki bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Di balik
tekat untuk melanjutkan kuliyah Ahmad Furkon tidak bisa meninggalkan
Nurul Fitria, ia selalu bertanya-tanya dalam benaknya apakah Gus Muali
sebagai orang tua gadis yang ia cintai akan merestui hubungan mereka
karena ia merasa keluarga Nurul Fitria adalah keluarga yang serba
berkecukupan dibandingkan dengan keluarganya.
Ibu Masyitoh orang tua Nurul Fitria sangat merestui hubungannya dengan
Ahmad Furkon karena ibunya tahu bahwa Ahmad Furkon adalah orang yang
baik-baik dan pengetahuan tentang agama sangat luas berbeda dengan
ayahnya Gus Muali yang menginginkan calon suami anaknya setidaknya
berkecukupan dalam hal materi dan mengabaikan sisi agama yang dimiliki.
Ayahnya berpanndangan bahwa hidup harus realistis, kenyataan tidak
seindah angan-angan. Ayahnya berkeinginan menjodohkan Nurul Fitria
dengan Kahar anak Wak Mukri juragan tembakau yang katanya mempunyai masa
depan yang cerah. Karena Kahar anak satu-satunya Wak Mukri dan dialah
yang akan mewarisi seluruh harta orang tuanya.
Lama kelamaan rasa cinta Ahmad Furkon terhadap Nurul Fitria semakin
bertambah akan tetapi diiringi rasa bimbang dihatinya karena dia merasa
dirinya jauh dari kriteria yang diinginkan orang tua gadis yang ia
cintai. Cinta terkadang menjadi barang dagangan, bahkan terkadang lebih
tidak berharga, tetapi cinta memang tak pernah hinggap dalam hati orang
yang ambisius selalu meraih kekuasaan dengan kejam, cinta menjadi orang
lemah memegang kekuasaan. Kekuasaan diraih dengan cinta tentu berbeda
dengan kekuasaan yang diraih dengan ambisi
Di desa Kedungpring akan diadakan pergantian kepala desa karena kepala
desa yang lama sebentar lagi akan lengser. Diperkirakan akan ada dua
orang yang akan mencalonkan diri dalam pemilihan kepala desa Kedung
Pring yaitu Gus Muali orangtua Nurul Fitria dan pak Hudori orang tua
Ahmad Furkon. Para tokoh agama desa Kedungpring menaruh perhatian pada
Pak Hudori ayahnya Ahmad Furkon karena kesederhanaan, kesabaran rendah
hati dan penuh dengan religius yang dimilikinya, sehingga predikat
kepercayaan masyarakatpun disandangnya di desa tersebut, di samping
akhlak sesama masyarakat yang cukup baik keluarganya juga terkenal
dengan keluarga sakinah mawaddah warahmah, sehingga pencalonan dirinya
menjadi Lurah ia musyawarahkan bersama keluarganya terlebih dahulu,
berbeda dengan Gus Muali dalam pencalonan ini diiringi dengan ambisius,
intrik dan perdukunan yang kuat sehingga berbagai cara yang dilakukan
untuk mendapatkan kekuasaan. Tidak hanya itu sifat ambisius itu juga
diiringi berselingkuh dengan Ning Lestari seorang janda yang ditinggal
mati suaminya kerena tertembak beberapa tahun yang lalu disebabkan
mencuri untuk menambah tidak harmonisnya rumah tangga yang semula sudah
tidak harmonis.
Kabar Gus Muali akan mencalonkan menjadi kepala desa telah tersebar di
seluruh desa Kedung Pring, ia menyuruh Sandrak sebagai tim suksesnya
untuk menghembus-hembuskan kabar itu, sementara para warga gelisah
mendengar kabar itu seolah mereka tidak menyepakati jika ia akan
menggantikan pak Sanhaji sebagai kepala desa
Ahmad Furkon baru dua bulan tinggal di Jogja, setelah ia diterima
di fakultas sastra Arab ia tinggal dikost dan terkenal dengan anak yang
baik di kosnya, di manapun ia berada bisa membawa diri. Keprihatinan
Ahmad Furkon terhadap orang tuanya dalam pencalonan lurah tetap ada,
nasehat dan dukungan kepada orang tua yang selalu ia komunikasikan lewat
surat.
Dalam pemilihan lurah tersebut ada dua bendera yang akan menjadi lambang
yaitu “jagung” sebagai lambang dari kubu pak Hudori dan “pepaya”
sebagai lambang dari kubu Gus Muali. Melihat lambang jagung sangat
diminati oleh masyarakat Kedungpring maka Gus muali berkeinginan menukar
lambang bendera tersebut, karena jagung merupakan mata pencaharian
masyarakat desa Kedungpring. Berapa hari yang lalu Kang Bakron sebagai
ketua pemilihan kepala desa dan masih famili Gus Muali mendatangi Pak
Hudori dikebunnya, selain untuk silaturrahmi ia juga membicarakan
masalah hubungan Ahmad Furkon dengan Nurul Fitria. Akan tetapi
kedatangan Bakron itu berbagai macam penafsiran oleh masyarakat. Ada
yang menduga Pak Hudori mengurungkan niat untuk mencalonkan diri jadi
kepala desa, ada yang menduga bahwa Pak Hudori menduga menerima uang
dari Gus Muali dan ada juga yang menduga pertemuan itu membicarakan
hubungan Ahmad Furkon dan Nurul Fitria.
Eyang Sumo sebagai penasehat (dukun) Gus Muali memberi nasehat untuk
segera menukarkan lambang pepaya menjadi lambang jagung walau
bagaimanapun caranya. Gus Muali bingung walaupun sudah banyak cara yang
dilakukannya diantaranya mengutuskan Bakron untuk menemui Pak Hudori
tetapi pertemuan itu tidak mendapatkan hasil, melihat keadaan yang
begitu panas Ning Lestari tidak sampai hati Kang Bakron dimarahi Gus
Muali, ia datang untuk menengahi dengan mengusulkan bahwa Gus Muali saja
yang menemui Pak Hudori.
Gus Muali datang menemui Pak Hudori, di samping membicarakan tentang
hubungan anaknya mereka juga membicarakan masalah pertukaran bendera.
Tetapi Pak Hudori setuju-setuju saja benderanya jagung ditukar dengan
bendera pepaya. Pak Hudori yakin bahwa yang akan dipilih dalam pemilihan
kepala desa nanti bukanlah lambang tetapi orangnya.
Pemilihan lurah semakin dekat sebagian pendukung Pak Hudori kecewa
dengan pertukaran bendera itu, tim sukses Pak hudori berusaha untuk
meyakinkan masyarakatnya bahwa dalam pemilihan nanti bukan lambang
jagung atau pepaya yang akan dipilih tetapi orangnya. Dari tim sukses
Gus Muali sedikit oleng mendengar prinsip Pak Hudori yang sudah tidak
mempersoalkan masalah bendera sementara Pak Hudori hanya bisa bersabar,
tabah memohon do’a kepada Allah, ia tidak pernah lupa ingat pada Allah,
apapun yang akan terjadi beliau siap menerima kenyataan.
Akhirnya sampailah pada hari pemilihan kepala desa Kedungpring, balai
desa dipercantik dengan berbagai perhiasan, suasana ramai dan meriah,
pemilihan akan dimualai pukul 08.00 pagi, sedangkan perhitungan suara
dilakukan pukul 14.00 semua orang berdebar-debar, Gus Muali semakin
gelisah sementara Pak Hudori sempat juga gelisah. Sampai pada
perhitungan terakhir di papan suara tertulis perolehan pak Hudori 2545
suara, sedangkan Gus Muali 2454 suara jelaslah Pak Hudori mengungguli
Gus Muali, para Pendukung Pak Hudori serentak berteriak gembira
Hanya kegelisahan yang ada pada diri Gus Muali, dia menyalahkan anak dan
istrinya tidak becus mendukung dirinya, ia juga menyalahkan Eyang Sumo
sebagai dukun, ia bagaikan Elang patah kedua sayapnya apalagi teringat
hutang kepada Wak Mukri orang tua Kahar mau tidak mau harus dibayar,
sedangkan salah satu jalan untuk melunasinya yaitu menikahkan anaknya
Nurul Fitria dengan Kahar
Gus Muali hanya pasrah penuh malu dan penyesalan ia hanya bisa
berandai-andai, andaikata tidak berambisi menjadi lurah, tidak menyogok
calon-calon lain, tidak berselingkuh dengan Ning Lestari, andai tidak
menghalangi hubungan Nurul Fitria dengan anak pak Hudori, andai tidak
berhutang dengan Wak Mukri, andai tidak menjadi rentenir, andai tidak
berambisi punya menantu Kahar, andai tidak sering meninggalkan Shalat,
dan seribu andaikata lainnya
Akan tetapi niat Nurul Fitria ingin membahagiakan orangtuanya dengan
menerima Kahar menjadi suaminya menjadi pendamping hidup, tidak
tercapai. Di akibatkan Kahar mati terbunuh dalam keributan bersama
teman-temannya, akhirnya Nurul Fitria kembali kepangkuan Ahmad Furkon
lagi.
BAB III
PESAN-PESAN DAKWAH DAN UNSUR-UNSUR INTRINSIK DALAM NOVEL “KASIDAH LERENG BUKIT”
KARYA ACHMAD MUNIF
A. Pesan-pesan Dakwah dalam Novel Kasidah Lereng Bukit Karya Achmad Munif.
1. Keimanan
Pesan dakwah yang memuat tentang tema keimanan dalam novel “Kasidah
Lereng Bukit” tidak dominan karena novel ini lebih banyak menyampaikan
pesan akhlak adapun pesan dakwah tentang keimanan atau aqidah adalah
larangan mempercayai dukun
Salah satu yang bisa mencampakkan manusia kufur kepada Allah adalah
mempercayai dukun, seseorang yang tidak istiqomah atau tidak teguh
pendirian dalam meniti jalan Allah. Istiqomah adalah sikap teguh dalam
mempertahankan keimanan dan ke Islaman sekalipun menghadapi pelbagai
macam tantangan dan godaan.
Islam sangat melarang mempercayai ahli Nujum, dukun, peramal, tukang
sihir, orang yang mengaku mengetahui jiwa orang atau peristiwa-peristiwa
yang lalu yang tidak diketahui orang atau mengetahui apa yang terjadi
dimasa yang akan datang. Berkenaan dengan hal tersebut Rosulullah SAW
bersabda:
“Barang siapa yang mendatangi peramal dan menanyakan sesuatu kepadanya,
maka tidak diterima shalat baginya selama empat puluh hari “ (HR.
Muslim)
Melalui tokoh Pak Hudori Achmad Munif Menggambarkan betapa
istiqomahnya Pak Hudori menghadapi tantangan pencalonan kepala desa
Kedungpring. Dalam pencalonan tersebut terdapat dua kubu yaitu kubu Gus
Muali yang kental dengan perdukunan demi mendapatkan pangkat sebagai
kepala desa dan kubu Pak Hudori. Pak Hudori tetap istiqomah walaupun
sebagian masyarakat menuduh bahwa beliau menggunakan dukun, dengan sabar
dan tabah beliau menepis tuduhan tersebut bahkan istri Pak Hudoripun
terpengaruhi dengan tuduhan masyarakat.
“Untuk desa Kedungpring lambang kemakmurannya bukan pepaya tetapi
jagung. Lha wong kedung Pring ini penghasilan utamanya jagung kok
memilih kates? Kata dukun itu Gus Muali terlalu gegabah memilih bendera.
Kedung Pring ya jagung bukan bukan pepaya. Ada yang mengatakan Gus
Muali terlalu grogi mendengar kata-kata Pak dukun”
Pak Hudori tersenyum.
“Jangan percaya pada dukun, Bu. Tidak ada gunanya kita shalat setiap
hari kalau masih percaya kepada sesuatu selain Allah. Tuhan menciptakan
dan menumbuhkan jagung dan pepaya sama-sama bagus dan bermanfaat bagi
manusia”.
Betapa yakinnya Pak Hudori kepada pertolongan Allah akan datang
kepadanya dengan sabar beliau meyakinkan masyarakat bahwa dalam
pencalonan nanti murni dari hati nurani bukan mengharapkan sesuatu dari
pencalonan ini bahkan ingin membuang jauh-jauh tradisi perdukunan dan
intrik yang sudah mengalir dimasyarakat beliau rela menukar lambang
bendera pencalonannya yang pada mulanya jagung menjadi lambang bendera
pepaya, Pak Hudori berbicara didepan masyarakat.
“Tentu bapak-bapak bertanya atas dasar apa saya menukar jagung dengan
pepaya? Pertama atas dasar penghargaan saya terhadap Gus Muali yang
sudah mau datang kerumah saya, kedua atas dasar keparcayaan saya bahwa
dengan bendera apapun saya akan menang jika Allah menghendaki. Dan
dengan bendera apapun juga saya akan kalah jika Allah tidak menghendaki,
ketiga saya ingin menghilangkan atau paling tidak mengurangi tradisi
perdukunan dalam setiap ada pemilihan lurah didesa ini”.
Begitu sabar dan tabahnya perjuangan Pak Hudori dalam memerangi
tradisi yang sudah mendarah daging didesa Kedungpring, akan tetapi
dengan keteguhan hati itulah yang membuat Pak Hudori yakin atas
pertolongan Allah. Berkenaan dengan hal tersebut Allah SWT berfirman
dalam Surat Fussilat ayat 30
إن الذين قالوا ربنا الله ثم استقاموا تتنزل عليهم الملائكة ألا تخافوا ولا تحزنوا وأبشروا بالجنة التي كنتم توعدون(30)
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang menyatakan “ Tuhan kami ialah
Allah” kemudian ia istiqomah, maka malaikat akan turun kepada mereka
(dengan mengatakan) “ janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu
merasa sedih dan bergembiralah kamu dengan memperoleh sorga yang sudah
dijanjikan kepadamu.” (QS. Fushilat 30)
Setelah mendengar pidato Pak Hudori sebagian masyarakat sudah mulai
yakin bahwa selama ini yang dibicarakan seputar lambang bendera jagung
dan pepaya masyarakat mulai sadar bahwa yang akan di pilih bukan
lambang bendera dan jagung akan tetapi siapa pribadi orang yang akan
dipilih.
Pak Hudoripun berani menukar bendera yang sudah ia pegang bendera
jagung menjadi bendera pepaya. Dengan senang hati dan yakin bahwa
pertolongan Allah pasti datang kepadanya. Demikianlah sikap istiqomah
yang dimiliki oleh tokoh Pak Hudori dengan kreatif Achmad Munif
menggambarkan sosok beliau, sehingga sikap istiqomah yang patut untuk
diikuti karena tampa sikap seperti itu seseorang akan cepat putus asa
dan cepat lupa diri sehingga mudah untuk terombang ambing oleh berbagai
macam arus. Orang tidak istiqomah ibarat baling-baling diatas bukit yang
berputar mengikuti arah mata angin yang berhembus.
2. Hukum-hukum Islam (syari’at)
Penyampaian pesan dakwah tentang hukum Islam dalam novel “Kasidah Lereng Bukit” hanya satu yaitu tentang ajaran shalat
Dalam Novel Kasidah Lereng Bukit digambarkan Achmad Munif bahwa
kehidupan masyarakat Kedungpring tenang, adem ayem karena diwarnai
dengan suasana pesanteren. Malam jum’at para santriwan dan santri wati
serta pemuda dan pemudi menyelenggarakan Diba’an menambah tampaknya desa
Kedungpring penuh dengan nuansa religius.
Jika datang waktu Shalat Subuh, Fitria segera mengibaskan selimutnya
lalu bangkit dan turun dari tempat tidurnya. Fitria keluar dari kamarnya
menuju padasan (tempat air wudhu’) untuk mengambil air Wudhu” kemudian
pergi kemasjid untuk melakukan Shalat jama’ah. Jika suara adzan dari
masjid desa Kedung Pring sudah dikumandangkan, jiwa-jiwa yang dalam
hatinya tersemayam iman yang kuat dan ikhlas berhamba kepada Allah,
bergerak meninggalkan kesibukan mereka masing-masing melangkah menghadap
dan menyembah Allah SWT.
Kewajiban orang tua terhadap anaknya Pak Hudori selalu menggambarkan
keadaannya hidup agamis dan harmonis walaupun Ahmad Furkon jauh dari
orang tua, pergi untuk menuntut ilmu di Jogja, rasa perhatian Pak Hudori
kepada anakanya beliau selalu mengirimkan surat, mengingatkan agar
tidak melupakan Shalat lima waktu dan rajin belajar hal yang penting
diingatkan ayahnya.
Selain Shalat-shalat wajib Shalat sunatpun kerap ia lakukan hal ini
tergambar pada sosok Pak Huduri tatkala ia selalu minta petunjuk ingin
mencalonkan diri menjadi lurah desa Kedungpring seperti dalam cuplikan
berikut dalam isi suratnya
“ Bapak juga sudah berapa kali Shalat Istikhoroh dan menurut bapak Allah
memberikan tanda-tanda agar bapak menerima permintaan orang-orang desa
kedung Pring. Ibumu sendiri juga mendukung asalkan pencalonan itu tidak
didasarkan ambisi untuk memperoleh jabatan”.
Di samping Shalat Istikhoroh Shalat Tahajjud kerap dilakukan oleh
Ahmad Furkon seperti digambarkan penulis novel melalui tokoh Ahmad
furkon
“ Furkon menatap jam dinding yang jarum sekonnya bergerak
berlahan-lahan. Sudah menjelang tengah malam Furkon beranjak dari kursi
belajarnya lalu melangkah kekamar mandi, tiba-tiba ia ingin Shalat
Tahajjud.
Furkon selalu ingat pesan dari orang tuanya bahwa selain shalat wajib
lima waktu dalam sehari ada Shalat-shalat sunnah yang jika di kerjakan
dengan khusuk bisa menentramkan hati. “bangunlah tengah malam dan
Shalatlah” kata ibunya. Ketika orang lain tidur nyenyak, bangunlah lalu
mengambil air wudhu’dan bersujudlah “kata ayahnya”.
Pak Hudori digambarkan sebagai sosok orang yang sederhana dan terkenal
dengan keluarga sakinah didesanya. Ia selalu istiqomah menjalankan
Shalat Tahajjud. Pada malam itu beliau ingin merenung dan pergi
keladangnya. Disamping untuk merenung ia ingin menjaga ladangnya agar
terhindar dari kere-kera berekor panjang merusak tanamannnya. Pak Hudori
masuk kedalam rumah, lalu ia tersenyum sendiri, ia ambil korek gas lalu
di hidupkan dengan cahaya korek api itu ia melihat jam tangannya sudah
menunjuk pukul 03.00 dini hari.
“Pak Hudori mengambil air wudhu’ dari ember yang tadi dibawa dari
rumahnya, setelah wudhu’ ia gelar tikar dan sajadah lalu ia shalat.
Sepi sekali, yang terdengar hanya gemersik daun-daun jagung yang disapa angin malam.
“ Allahuakbar…..”!.
Cuplikan tersebut menggambarkan keistiqomahan, kesabaran dan
kedamaian dan agamisnya jiwa mereka, walaupun penuh kesederhanaan,
mereka selalu istiqomah menjalankan perintah Allah, memohon ridho dan
pertolongan dari Allah dengan penuh kekhusuan sesuai dengan perintah
Allah dalam firmannya surat al-Baqarah ayat 45:
واستعينوا بالصبر والصلاة وإنها لكبيرة إلا على الخاشعين(45)
Artinya : “Jadilah sabar dan Shalat sebagai penolongmu, dan
sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang
yang khusyu’ (Q.S al-Baqarah ayat:45)
Dengan Shalat yang khusyu’ manusia dapat meningkatkan derajat dan
kwalitas dirinya sebagai hamba yang bertakwa. Hanya taqwa kepada Allah
manusia akan memperoleh kemuliaan dari pada-Nya, karena Shalat
mempunyai efek dan kaitan yang sangat luas, maka shalat yang khusyu’
laksana mi’raj Nabi Muhammad SAW, dia akan memperoleh jalan dan tangga
menuju kemuliaan dan kebahagiaan yang didambakan.
Shalat merupakan ibadah orang Islam, setiap Muslim dapat berhubungan
langsung dengan Allah. Di dalam komunikasi antara makhluk dan khaliknya
inilah secara timbal balik manusia akan mendapatkan-Nya dan getaran-Nya
yang sangat indah dan mengasikkan. Oleh karena itu walaupun masyarakat
Kedungpring mayoritas petani jagung mereka berusaha untuk selalu
mendekatkan diri kepada sang pencipta.
Di tengah gencarnya isu pemilihan kepala desa Kedungpring, diantaranya
dengan menggunakan kekuatan dukun yang dilakukan oleh calon kepala desa
yang lain akan tetapi berbeda dengan Pak Hudori, ketentraman hati adalah
dambaan setiap manusia, ia tetap ingat kepada Allah dan memohon
kepada-Nya bahwa apapun yang akan terjadi entah kalah atau menang dalam
pemilihan nanti beliau siap menerima kenyataan.
“Di pendopo kelurahan pemilihan sudah selesai, acara diskor dua jam
sebelum acara perhitungan suara dilakukan. Pak Hudori, Furkon, Sartono
dan Marhaban menuju masjid untuk melakukan jama’ah shalat Dzuhur. Bu
Kusnah mengajak Rosyatin anak gadisnya dan Arum pulang dulu nanti
kembali lagi pada saat perhitungan suara”.
Achmad Munif menggambarkan usaha seorang hamba yang berusaha khusyu’
dalam Shalatnya dengan lengkap dan memikat. Disaat itulah Pak Hudori
merasakan ketenangan dan ketentraman jiwa walaupun menghadapi tantangan
dalam pemilihan kepala desa ia hanya tersenyum ringan setelah jama’ah
Shalat Dzuhur orang-orang menyalaminya. Atau ia hanya angkat bahu saja
kala ada yang menanyakan prakiraan hasil pemilihan. Hal ini menunjukkan
betapa rendah hati (tawaddhu’) nya seorang Hudori. Ia merasa pristiwa
yang sesungguhnya tidak pernah dia inginkan terjadi maka terjadi juga.
Bagi beliau semua itu karena misteri kehidupan yang tidak pernah ia
mengerti.
Secara implisit Achmad Munif menggambarkan kesadaran manusia akan
keterikatan seseorang dengan Illahinya. Melalui Shalat seseorang mampu
menepis kegelisahan batinnya dan menemukan hikmah dibalik kejadian dan
cobaan yang dihadapinya, pencerahan batin seseorang diperoleh dari jalan
yang ditentukan Allah yakni melalui Shalat.
Shalat adalah salah satu yang ditetapkan Tuhan sebagai pengejawantahan
dari keyakinan. Karena itu shalat telah menjadi kebutuhan bukannya beban
atau kewajiban. Manusia adalah makhluk yang memiliki naluri cemas dan
mengharap. Ia selalu membutuhkan sandaran kepada Allah terutama pada
saat cemas, disaat inilah manusia bersandar pada Allah bukan pada
manusia karena bersandar pada manusia tidak akan membuahkan hasil.
3. Akhlak atau Moral
a. Dzikir Kepada Allah
Dzikir berasal dari kata “dzakara” artinya mengingat, memperhatikan,
mengenang, mengambil pelajaran, mengenal atau mengerti. Biasanya dzikir
diperlihatkan orang hanya dalam bentuk renungan sambil duduk, al-Qur’an
memberi petunjuk bahwa dzikir bukan hanya ekspresi dengan ingatan yang
dilakukan dengan komat-kamit lidah sambil merenung akan tetapi lebih
dari itu, dzikir bersifat implementatif dalam berbagai menciptakan yang
aktif dan kreatif. Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imran ayat 191
الذين يذكرون الله قياما وقعودا وعلى جنوبهم ويتفكرون في خلق السموات والأرض ربنا ما خلقت هذا باطلا سبحانك فقنا عذاب النار(191)
Artinya : “Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi seraya berkata “Ya tuhan kami, tiadalah engkau
mencptakan ini dengan sia-sia maha suci Engkau, maka peliharalah kami
dari siksa Neraka” (Ali Imran 191)
Sebagai bukti bahwa dzikir bersifat implementatif dalam berbagai
variasi yang aktif dan keratif, Achmad Munif menampilkan sosok pemuda
yang sedang di landa cinta yaitu Ahmad Furkon. Bersama teman-teman yang
lain dikala senda guraunya Ahmad Furkon yang sedang asik mendengarkan
Abah Nur yang selalu memberi pencerahan rohani setiap bertemu bertemu
santrinya, tetapi yang terpikir dalam benak Ahmad Furkon adalah alunan
shalawat yang dilantunkan oleh santriwati Nurul Fitri. Di kala asik
mendengarkan suara tembang Kasidah Furkon tersentak kaget karena ditanya
temannya Sohib Ridwan masalah kepergiannya ke Jogja untuk melanjutkan
studinya.
“Lekaslah ente ke Jogja. Disana tidak ada yang menghukum engkau”.
Furkon blingsatan.
“Istighfar Furkon, istighfar”.
Furkon tergagap.
“Astaghfirullahal’adzim.”
Dengan berzikir dapat menjaga lidah dari perkataan yang tidak
bermanfaat, karena manusia tidak pernah berhenti berbicara selama
hidupnya, akan tetapi jika pembicaraannya mengandung nuansa zikir dan
mengingat perintah-Nya akan lebih bermanfaat.
Keluarga Ahmad Furkon memang terkenal keluarga yang harmonis hingga
tidak jarang keluarga ini menyempatkan diri untuk bersenda gurau bersama
anak dan istrinya, karena di desanya akan diadakan pergantian kepala
desa, pak Hudori berpaling pada Furkon sedang belajar tidak jauh dari
tempatnya bersantai.
“ Furkon?”.
“ Ya,Pak”.
“ Bagamana Pendapatmu kalau bapak mencalonkan diri menjadi lurah?”
“ Astaghfirullah hal ‘adzim, istighfar, Pak, istighfar”
“ Lo kenapa, Le?”
Furkon tertawa ngakak
Walaupun Nurul Fitria tidak disetujui ayahnya berteman dengan Furkon
tetapi ia selalu saja mencari kesempatan untuk bertemu Furkon. Ditengah
lamunan Nurul Fitria datang.
“ Cak?!”
“ Astaghfirullah….”
Furkon tersentak, Nurul Fitria sudah berdiri dekatnya.
Orang yang selalu mengingat Allah dikala melakukan aktivitasnya, akan
menimbulkan ketenangan dan keterikatan batin yang selalu bersandar pada
kuasa-Nya. Keterikatan untuk selalu menjadikan Allah sebagai tempat
untuk berlindung dari segala persoalan hidup Allah berfirman dalam Surat
al-Fatihah ayat 5 : “iyyaka nakbudu waiyyaka nastaiin” hanya Engkaulah
(ya Allah) yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon
pertolongan.
Islam dan tauhid sebagai prinsip ajaran-Nya, mengutamakan integritas
(persatuan), Tuhan adalah Esa dan manusia yang diciptakan terpadu dan
menyatu, baik dalam pikir maupun dalam dzikir serta prilaku
sehari-harinya dengan pusat hidup dan proses segala-galanya, penyatuan
dan integritas itu disebut dzikir. Hal ini digambarkan Achmad Munif
ketika Gus Nur dan tokoh-tokoh masyarakat Kdung Pring lainnya mendukung
Pak Hudori untuk mencalonkan diri menjadi lurah, walaupun dari sekian
banyak masyarakat yang telah memberi dukungan tetap saja Pak Hudori
berfikir jauh “bahwa menjadi pemimpin adalah amanat dari Allah”.
Pak Hudori adalah tokoh spritual didesa Kedungpring, ibadah-ibadah
dilakukan sebagai aktivitas sehari-harinya, di samping ibadah-ibadah
wajib, ibadah-ibadah sunatpun kerap dilakukannya seperi shalat duha,
shalat tahajjud dilakukannya dini hari. Kebiasaannya setelah selesai
mengucap salam terakhir shalatnya beliau mengambil tasbih dari saku
bajunya, kemudian mengucapkan tasbih, tahmid, dan takbir, dengan
menghitung biji-biji tasbih ditangannya masing-masng 33 kali lalu
dilanjutkan dzikir dengan hitungan yang tidak terbatas.
Sebagai hamba Allah yang taat, selalu mengingat Allah dalam setiap
langkah dan geraknya, tentu saja ia rindu dan ingin selalu merasa dekat
dengan-Nya. Menjelang pemilihan lurah desa Kedungpring, Pak Hudori sudah
siap apapun yang akan terjadi ketika pemilihan nanti dalam artian jika
kalah beliau tidak kecewa dan menangpun tidak bangga karena ia ingat
bahwa menjadi pemimpin bukanlah suatu penghormatan akan tetapi merupakan
amanat dari Allah yang harus dipertanggaung jawabkan dihari akhir
nanti. Walaupun kadang terbersit dalam renungnya jika ia dipanggil
masyarakat “Pak Lurah” dan istrinya dipanggil “Bu Lurah” lalu dia sadar
dari lamunannya lalu berucap “Astaghfirullah….” ia bergumam.
Istrinya adalah perempuan yang sederhana sepanjang hidupnya tidak
memiliki ambisi apa-apa kecuali mati tetap dalam Islam. “wala tamutunna
illa wa antum muslimuun”. Dan berapa keinginan lagi ia ingin anaknya
menjadi anak yang shaleh dan shalehah. Bu Kusnah perempuan sederhana
yang tidak banyak tuntutan yang harus selalu menuntut persamaan hak
perempuan dan laki-laki.
Dengan demikian betapa pentingnya mengetahui (ma’rifat) dan mengingat
(dzikir) Allah baik terhadap nama maupun sifat-safat-Nya, kemudian
ditumbuh kembangkan dalam diri secara aktif, karena sesungguhnya iman
adalah keyakinan dalam hati, diucapkan dengan lidah (lisan) dan
direalisasikan dalam amal perbuatan. Seorang yang mampu
menginternalisasikan sifat-sifat dan nama-nama Allah ke dalam dirinya,
kemudian mengekpresikannya dalam prilaku sehari-harinya, jadilah orang
tersebut manusia yang baik dan dijamin masuk Surga.
Tidak ada suatu jalan yang menyelamatkan manusia kecuali zikir kepada
Allah. Praktek membuktikan barang siapa lidahnya telah terbiasa zikir
kepada Allah, maka ia akan terjaga dari perkataan batil dan sebaliknya
jika lidah kering dari menyebut nama Allah maka akan basah dengan
kebatilan.
b. Bertaubat Atas Dosa Yang Telah di Perbuat
Taubat berakar dari kata “taba” yang berarti kembali. Orang yang
bertaubat kepada Allah SWT adalah orang yang kembali dari sesuatu menuji
sesuatu, kembali dari sifat-sifat tercela menuju sifat yang terpuji,
kembali dari larangan Allah menuju perintah-Nya. Taubat ini dilakukan
dengan menghentikan maksiat, menyesali diri atas dosa yang telah
diperbuat dan berjanji tidak akan mengulangi lagi.
Setelah sekian lama Gus Muali mengatur siasat buruknya dengan maksud
ingin mencari jabatan menjadi kepala desa Kedungpring, lalu ambisi itu
dilakukannya dengan menghalalkan segala cara, yaitu mengorbankan anak
perempuannya dijadikan taruhan hutang, pencalonan dengan mengambil jalan
pintas, dengan mengundang dukun dengan tujuan ingin mendapatkan
kekuasaan, hutang tersebar dimana-mana dan nama baik dimasyarakatpun
sudah tercemar, lalu Gus Muali hanya bisa berandai-andai “andaikata
tidak berambisi menjadi lurah, andaikata tidak menyogok calon-calon
Lurah yang lain, andaikata tidak menghalangi hubungan Fitria dengan
Furkon, andaikata tidak berhutang kepada Wak Mukri, andaikata tidak
menjadi rentenir, andaikata tidak berambisi punya menantu Kahar,
andaikata tidak sering meninggalkan Shalat lima waktu dan seribu
andaikata lainnya”.
Dalam keadaan galau tidak tahu apa yang harus ia lakukan kecuali
penyesalan yang mendalam, hatinya menjerit, menangis dan satu-satunya
yang bisa ia lakukan adalah beristighfar dan mengingat Allah. Hampir
setiap malam Gus Muali senang melihat istrinya Shalat Tahajjud dan
menderaskan al-Qur’an setiap habis Shalat Subuh. Padahal dulu Gus Muali
sangat membenci anak dan istrinya rajin beribadah.
Gus Muali menyesali kesalahan yang telah ia perbuat, ia telah melakukan
dosa besar sehingga mendatangkan bencana bagi dirinya dan rumah
tangganya “kalau dulu aku tidak kedonyan (cinta dunia), menganggap harta
satu-satunya yang bisa memberi kebahagiaan, ternyata harta hanya bisa
memberikan kesenangan, tetapi bukan kebahagiaan”.
Gus Muali tidak segan meminta nasehat kepada istrinya Ny. Masyitoh dan
Eyang Mus, karena kegelisahan hati dan kebingungan yang ia rasakan. Dari
rumah Bakron ia langsung ngebut mengendarai mobil menuju rumah Eyang
Sumo di Banyu Wangi sampai rumah Eyang Sumo, laki-laki tua itu sedang
nglaras (menyanyi) dikursi goyang diberanda rumahnya yang bergaya joglo.
Eyang Sumo tersenyum.
“Kamu mau menyalahkan Eyang lagi? Kamu belum bisa menerima kekalahan
itu?Muali, disetiap ada pertarungan itu hanya ada dua kemungkinan,
menang atau kalah. Memang kadang berakhir seri, dan pertarungan diulangi
untuk mengetahui siapa yang paling kuat “posisi seri” itu hanya
sementara saja sebab pada akhirnya yang muncul adalah pemenangnya”.
“Masalahnya bukan itu, Eyang. Saya sudah menerima kekalahan”. Lalu apa
lagi, minta aku nyantet Hudori?. Aku tidak bisa sebab santet itu akan
berbalik menyerangku. Hudori terlalu baik untuk dicelakai”.
“Saya memang salah Eyang? Lalu apa yang harus saya lakukan?”
“Kembalilah kerumah”!
“Apa itu mungkin?”
Dalam hati Gus Muali bisa menerima nasehat Eyang Sumo, maka ia merasa
tidak ada gunanya berlama-lama di Banyu Wangi, ia ingin segera kembali
kepada anak dan istrinya. Mendengar nasehat Eyang Sumo, terbitlah cahaya
harapan diwajah Gus Muali karena dalam keadaan bingung, cemas dan putus
asa ada seorang yang mau menolong dan menyejukkan hatinya serta
memberikan alternatif yang baik.
Tobat yang dianjurkan Eyang Sumo hakekatnya adalah tobat Nasuha yang
dianjurkan untuk menghapus segala kealpaan dan kesalahan seperti yang
telah difirmankan Allah dalam surat al-Tahrim ayat: 8
ياأيها الذين ءامنوا توبوا إلى الله توبة نصوحا عسى ربكم أن يكفر عنكم سيئاتكم ويدخلكم جنات تجري من تحتها الأنهار
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah
dengan tobat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhanmu akan menghapus
kesalahan-kesalahan dan memasukkan kamu kesurga yang mengalir
dibawahnya sungai-sungai (at-Tahrim:8
Pada akhirnya Gus Muali bisa menerima apa yang di nasehati Eyang Sumo
kepadanya untuk segera kembali kepada Allah dan membangun kembali
keluarga yang sudah tidak harmonis lagi. Mungkin dengan jalan itu Gus
Muali semakin menyadari keberadaan dirinya dihadapan Allah. Dengan cara
halus penuh hikmah Eyang Sumo dan istrinya memberi nasehat agar Gus
Muali kembali kepada jalan Allah, membangkit kembali religiusitas Gus
Muali yang nyaris hilang dalam hidupnya.
“Aku lupa sangkan paraning dumadi”. Aku lupa bahwa dulu pemuda miskin
yang berhasil karena dimodali mertua. Aku menyombongkan diri seolah-olah
apa yang aku dapatkan seluruhnya hasil keringatku sendiri. Aku lupa
bahwa dalam setiap keberhasilan manusia, takdir Tuhan ikut berperan. Aku
lupa Shalat, Shalat jama’ah dimasjid hanya menghabis-habiskan waktu”
“ Sudahlah Pak, yang berlalu biarlah berlalu. Sekarang kita pikirkan
anak kita, Ibu kasihan sekali sama si Fit, ia terpaksa berkorban demi
orang tua, kita ini terbalik seharusnya orang tua berkorban untuk anak
tapi Fit berkorban untuk kita itukan terbalik Pak”!
c. Do’a dan Ikhtiar
Ikhtiar dan do’a merupakan cara yang di anjurkan Islam untuk mencapai
apa yang diinginkan oleh seseorang, manusia tidak akan mendapatkan hal
yang diinginkan jika tidak diiringi dengan usaha atau iktiar. Begitu
juga sebaliknya walaupun usaha sudah dilakukan dengan maksimal jika
Allah tidak menghendaki, maka seseorang tidak akan mendapatkan apa yang
ia inginkan. Maka ikhtiar dan do’a adalah satu jalan yang harus
dilakukan seiring, Allah berfirman dalam surat al-Ra’d ayat 11:
إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم
Artinya: “sesungguhnya Allah tidak merubah suatu kaum sehingga mereka
merubah keadaan yang ada pada dirinya (QS. Al-Ra’d ayat 11)
Di samping belajar ilmu Islam para santri pondok pesantren juga
diajarkan para ustazdnya cara bercocok tanam, suatu hari para santri
setelah menyelesaikan kerja mereka menanam biji-biji jagung
dilubang-lubang dibeberapa petak tanah ladang itu. Para santriwan
membuat lubang-lubang itu dengan alu santriwati memasukkan biji-biji
jagung dilubang tersebut, setelah bekerja mereka memisahkan diri dalam
dua kelompok, Abah Nur datang melihat hasil cocok tanam santri dan
santriwati, disamping itu Abah Nur seperti biasa memberikan sedikit
semangat agar anak-anak didiknya selalu semangat melakukan aktivitas
mereka, seperti dalam cuplikan berikut:
“Allah itu suka kepada orang-orang yang mau bekerja keras. Innallaha la
yughoyyiru ma biqoumin hatta yughoyyiru ma biamfusihim.
Abah Nur sebagai seorang Ustadz yang terkenal baik dan berwibawa di
pondok pesanteren itu tidak pernah jenuh memberikan nasehat kepada para
santri dan santriwati.
“Sudah saatnya kita kembali kepesanteren, sekarang empat petak cukup, besok kita tingkatkan menjadi lima petak “!
“Setuju”?
“Apakah kalian tidak tahu Allah memberikan rezeki dan menyempitkannya
bagi siapa yang dikehendaki. Tapi insyaallah kita akan diberi rizki yang
banyak karena kita mau bekerja keras dan bersyukur.
“Amiiin.”
Cuplikan diatas menggambarkan para santri dan santriwan selalu
optimis bahwa Allah pasti akan memberi rezeki kepada para hamban-Nya,
ini menunjukkan bahwa ikhtiar yang mereka lakukan tetap disandarkan
kepada Allah.
Suatu perasaan yang tidak menyenangkan, kecemasan dapat membangun dan
mendorong terjadinya tingkah laku yang efektif dan positif. Ketika
Ahmad Furkon berkeinginan untuk melanjutkan studinya keperguruan tinggi
ia merasa cemas bahwa orang tuanya tidak bisa membiayai kuliyahnya
disamping itu ia juga hawatir bahwa ia tidak diterima diperguruan tinggi
yang ia inginkan, akan tetapi Pak Hudori sebagai ayahnya selalu
memberikan yang terbaik untuk anaknya seperti dalam cuplikan berikut:
“Kapan rencana kamu ke Jogja?” tanya Pak Hudori sambil makan
“ Untuk menghemat biaya, nanti saja kalau dekat ujian masuk.”
“Sekitar sebulan lagi”.
“Kamu sudah siap?”
“ Belajar sih sudah Pak. Tapi masuk Gadjah Mada itukan sulit, saingannya banya ribuan.”
“ Mintalah kepada Allah. Ud’uni astajib lakum. Kalau kamu minta dengan sungguh-sungguh Allah pasti ngijabihi
“ Kadang-kadang saya malu Pak. Masak kita ini minta terus.”
“ Lo Gusti Allah justru akan marah kalau kita tidak pernah minta, Allah maha kaya dan maha pemberi.
Pak hudori tidak pernah jenuh untuk meyakinkan anaknya.
“Soal biaya jangan kamu pikirkan bener, bapak yakin bisa cari uang untuk
sekolah kamu, Allahu yabsuthu rizqon liman yasya’u min ba’dihi
wayaqdiru lahu bikullisyai’in aliima, Allah melapangkan rizki bagi siapa
saja yang dikehendakinya diantara hamba-hambanya dan dia pula yang
menyempitkan baginya. Sesungguhnya Allah maha mengetahui segala sesuatu.
Di tengah kebingungan dan kebimbangan antara mencalonkan diri menjadi
lurah atas permintaan masyarakat Kedungpring dengan tidak mencalonkan
diri menjadi lurah, Pak Hudori selalu berkomunikasi dengan anaknya
walaupun Ahmad Furkon jauh dari orang tuanya. Komunikasi dilakukan
dengan surat.
“Furkon, maafkan Bapak kalau menerima permintaan orang-orang
Kedungpering, Bapak tidak bisa menolak setelah Abah Nur menemui Bapak
maaf yo Le. Berdo’alah kamu untuk Bapak, kalau dalam pemilihan nanti
bapak kalah, semoga Bapak tetap tegar. Kalau Bapak menang do’akan
semoga Allah membimbing Bapak agar bisa memimpin desa Kedungpring dengan
baik. Mungkin kamu kecewa atas keputusan Bapak ini, tapi Bapak sudah
“Bismillah” Bapak juga sudah berapa kali Shalat Istikhoroh dan menurut
Bapak, Allah memberikan tanda-tanda agar bapak menerima permintaan
orang-orang Kedung Pring, Ibumu sendiri juga mendukung asalkan
pencalonan itu tidak berdasarkan ambisi untuk memperoleh jabatan.
Achmad Munif sebagai penulis novel Kasidah Lereng Bukit memberikan
solusi melalui tokoh Pak Hudori dan Abah Nur berupa ikhtiar dan do’a
ketika seorang sedang menghadapi cobaan hidup dengan ikhtiar seorang
dapat merealisikan apa yang dikehendakinya. Tanpa ikhtiar apa yang
diharapkan tidak akan menjadi kenyataan. Achmad Munif memberi solusi
tidak hanya sebatas ikhtiar saja dalam novelnya, akan tetapi diiringi
dengan do’a. Karena dengan do’a merupakan harapan yang sangat dalam
serta kepercayaan yang sangat teguh bahwa Allah akan menjauhkan segala
halangan yang akan menghambat tercapainya maksud dan tujuan. Sehingga
dengan do’a dapat memupuk rasa optimis dalam diri seorang, percaya diri
terhadap apa yang akan dihadapi dan akan menyingkirkan keragu-raguan dan
kecemasan serta mempertebal keimanan.
d. Syukur
Syukur adalah memuji sipemberi nikmat atas kebaikan yang telah
dilakukannya. Hakekat syukur dapat dikualifikasikan menjadi tiga macam
(1) syukur dengan hati yaitu dengan merenungkan nikmat itu sendiri. (2)
syukur dengan lisan atau lidah yaitu dengan memuji dan menjunjung sang
pemberi nikmat. (3) syukur dengan anggota badan, yaitu dengan membalas
nikmat yang diterimanya sesuai dengan kemampuan dan etika bersyukur.
Sudah sepantasnya seorang hamba selalu bersyukur terhadap nikmat yang
telah diberikan kepadanya. Allah berfirman dalam surat al-Baqoroh ayat”
152 :
فاذكروني أذكركم واشكروا لي ولا تكفرون(152)
Artinya: “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat
(Pula) Kepadamu, dan bersyukurlah Kepada-Ku, dan janganlah kamu
mengingkari (nikmat)-Ku (QS: al-Baqarah: 152)
Abah Nur seorang ustadz yang selalu memberi motivasi kepada
santri-santrinya, beliau tidak pernah jenuh, tidak kenal lelah mengajak
santri-santrinya bekerja untuk meringankan beban orang tua santri.
Setelah tanaman jagung berhasil para santri akan mendapat subsidi dari
hasil penjualan jagung itu hal ini digambarkan dalam cuplikan berikut:
“ Abah Nur tersenyum .
“ Berapa petak hari ini”?
“ Empat petak Abah……”
Para santriwan menjawab serentak.
“ Bagus kita tinggal menunggu jagung-jagung itu tumbuh, berbuah lalu
kita memanennya. Alhamdulillah semuanya harus kita syukuri,
mudah-mudahan jagung-jagung yang kita tanam tumbuh dengan baik dan tidak
dimakan hama”
“ Amiiin…..”
Janji Allah tidak akan pernah diingkari ketika hamba-Nya selau bersyukur
atas nikmat yang telah diberikan, begitulah Abah Nur tidak kenal lelah
memberi nasehat kepada muridnya. Karena beliau tahu bagaimana kondisi
ekonomi anak didiknya. Tidak semua santri serba berkecukupan, akan
tetapi ada sebagian anak didiknya berasal dari keluarga yang tidak
mampu. Abah Nur selalu meyakinkan santrinya bahwa Allah akan memberikan
rezeki dan menyempitkan bagi siapa yang dikehendaki-Nya, tapi Insya
allah kita akan diberi rezeki yang banyak karena kita mau bekerja keras
dan bersyukur.
“ Amiiin….!
Hal tersebut seperti difirman Allah dalm surat Ibrohim ayat: 5
لئن شكرتم لأزيدنكم ولئن كفرتم إن عذابي لشديد(7)
Artinya: “Jika kamu bersyukur akan Kutambah (nikmat-Ku) untukmu, dan
bila kamu kufur, maka sesungguhnya siksa-Ku amat pedih (QS. Ibrohim: 5)
Hakekat syukur yang diaplikasikan oleh tokoh Abah Nur adalah syukur
lisan dan anggota badan karena disamping beliau mengucapkan kata syukur
beliau juga mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Anak-anak
muridnya diajak bekerja untuk mendapatkan tambahan biaya belajar mereka.
e. Prasangka
Salah satu ajaran moral dalam Islam adalah baik sangka (khusnu al-zan)
menurut Abu Muhammad baik sangka adalah meniadakan prasangka buruk.
Novel “Kasidah Lereng Bukit” karya Achmad Munif dengan kreatif
menggambarkan sebuah keluarga yang selalu membentuk pribadi-pribadi yang
selalu berbaik sangka terhadap siapapun, misalnya keluarga Pak Hudori
ketika menepis perkataan anaknya Furqon, dia menyangka walaupun menyukai
Nurul Fitria, dalam benaknya bahwa orangtua Nurul Fitria tidak akan
merestui hubungannya dengan gadis yang ia cintai. Furkon merasa pisimis
Nurul Fitria tidak mencintai dia dengan alasan keluarganya miskin,
sedangkan Nurul Fitria adalah anak orang kaya di Desa Kedungpring.
Perkataan Furkon langsung ditepis oleh bapaknya seperti dalam cuplikan
berikut:
“ Gane ngerti, kon saiki wiss pinter Le. Kamu sudah pas jadi suami Fitria”
” Iya kalu bapaknya setuju, selama kantong kita tipis mana dia mau.”
“ Ya jangan begitu, jangan prasangka buruk dulu. Ojo su’uzon, apike khusnudzon ae, Le”
“ Tidak prasanka buruk, Pak. Tapi saya sudah mendengar Gus Muali pernah
menyatakan tidak akan merestui hubungan saya dengan anak gadisnya”
“ Itu dulu, kan?”
“ Sampai kapanpun.”
“ Kamu ini pisimis saja bawaannya”.
Agar selalu berprasangka baik tidak semua orang melakukannya dengan
mudah akan tetapi prasangka buruk (su’u al-Zan) merupakan keharusan
untuk dijauhi. Allah SWT berfirman dalam surat al-Hujarat ayat 12:
ياأيها الذين ءامنوا اجتنبوا كثيرا من الظن إن بعض الظن إثم
Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari
berburuk sangka, sesungguhnya sebagian berburuk sangka adalah dosa
(al-Hujarat: 12)
Parkara hubungan furkon dan Fitria sangat berkaitan dengan masalah
pencalonan orang tua mereka menjadi kepala desa, karena Pak Hudori dan
Gus Muali keduanya mencalonkan diri menjadi kepala desa. Suatu hari Gus
Muali mengutus tim suksesnya Bakron untuk mendatangi Pak Hudori
kekebunnya, dalam pertemuan itu berbicara masalah hubungan Furkon dan
Nurul Fitria, hal ini diceritakan Pak Hudori kepada istrinya, Bu Kusnah
tidak bisa menghilangkan rasa herannya, ada apa tim sukses Muali datang
kepada suaminya, mereka menganggap perubahan Gus Muali terlalu cepat.
“ Kalau Ibu bagaimana?”.
“ Saya ini setuju saja, Pak tapi apakah keinginan Gus Muali itu tulus ?”.
“ Jangan su’uzon, kita Khusnudzon saja”
“ Tidak su’uzon , tapi ada apa?”.
“ Bapak sendiri tidak tahu.”
“ Lalu bapak tadi bilang apa?”.
“ Kamukan tahu bapak ini selalu berprasangka baik kepada siapa saja yang
datang. Saya bilang kepada Bakron kalau maunya Muali begitu saya manut
saja. Bukankah Furkon memang mencintai Fitria?”
Kedatangan Bakron tim sukses Muali ketempat Pak Hudori dengan cepat
kabar tersebar keplosok desa Kedungpring. Berbagai penafsiran dari
pristiwa itu. Pak Hudori memang tidak tahu siapa yang menyebar kabar
yang beterbangan. Berbagai kabar burung dan prasangka yang di duga oleh
masyarakat desa Kedung Pring. Perkara kedatangan Bakron inipun menjadi
masalah dalam pencalonan kepala desa, pada mulanya sebagian masyarakat
sudah yakin memilih Pak Hudori akhirnya berpihak kepada Gus Muali dan
sebaliknya yang sudah yakin memilih Gus Muali akhirnya berseberangan
ingin memilih Pak Hudori.
Setelah terpilihnya Pak Hudori menjadi kepala desa, pada mulanya
hubungan Furkon dan Fitria sudah disetujui orang tuanya untuk menikahkan
Nurul Fitria menjadi istrinya akan tetapi Gus Muali di landa kesulitan
di mana-mana banyak hutang, sedangkan hubungan dengan Pak Hudori sedikit
renggang, ia merasa malu kepada pak Hudori padahal Pak Hudori tidak
mempermalukan dia, akhirnya Gus Muali berencana menikahkan Nurul Fitria
kepada Kahar anak Wak Mukri juragan tembakau karena hutang kepada orang
tua Kahar. Suatu hari Kahar ingin mengajak Nurul Fitria untuk
jalan-jalan, akan tetapi Bu Masyitoh selalu berprasangka yang tidak enak
terhadap Kahar, ia takut anaknya terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Gus Muali berusaha menepis prasangka istrinya.
“ Jangan membayangkan yang buruk-buruk”.
“Tapi Firasat saya?”.
“ Masak sih ada seorang calon suami berniat buruk terhadap calon istrinya?”.
“ Siapa tahu.”
“ Kita tidak boleh Su’uzon, Bu. Masak kepada calon menantu Su’udzon.”
“ Saya sendiri kepinginnya ya Khusnudzon saja, Pak. Tetapi perasaan saya mengatakan lain.
Cuplikan tersebut sungguh berbaik sangka tidak mudah untuk
diaflikasikan dalam kehidpan sehari-hari kendati keinginan sudah
menghendaki untuk berbaik sangka akan tetapi hati tidak demikian.
f. Tawadhu’
Tawadhu’ artinya rendah hati, lawan dari sombong atau takabur. Orang
yang rendah hati tidak memandang dirinya lebih dari orang lain,
sementara orang yang sombong menghargai dirinya secara berlebihan.
Pesan dakwah dari sosok yang di gambarkan Achmad Munif melalui tokoh Pak
Hudori adalah bahwa rendah hati merupakan anjuran Islam yang pantas
untuk diikuti oleh orang-orang muslim. Hal ini terbukti bahwa implikasi
dari aplikasi tawadhu’ pengakuan Bu Narmi sebagai Ibu kos Acmad Furkon
dalam cuplikan novel berikut.
“Pada suatu saat orang-orang akan akan melihat pamor itu lalu
mengangkatnya menjadi pemimpin. Banyak orang yang merasa dirinya
pemimpin tetapi sebenarnya ia bukan apa-apa dan sama sekali tidak
kewahyon. Orang semacam ini memang bisa saja memaksa diri atau dipaksa
menjadi pemimpin namun dia tidak akan berhasil. Pak Hudori, ayahmu itu
Nak Furkon, orang yang rendah hati, ia merasa dirinya tidak berarti
apa-apa, merasa miskin, padahal mempunyai kekayaan jiwa yang luar biasa
besarnya.
Sikap tawadhu’ terhadap sesama manusia adalah sifat mulia yang lahir
dari kesadaran akan kemahakuasaan Allah atas segala hambanya. Ia
menyadari bahwa apa-apa yang dimiliki, baik bentuk rupa yang cantik atau
tampan, ilmu pengetahuan, harta kekayaan maupun pangkat yang tinggi,
kedudukan dan lain-lain adalah akan diminta pertanggung jawaban kepada
Allah. Allah SWT berfirman dalam surat an-Nah layat 53:
وما بكم من نعمة فمن الله ثم إذا مسكم الضر فإليه تجأرون(53)
Artinya: “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari
Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudhoratan, maka
hanya kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan (QS. An-Nahl: 53)
Dengan kesadaran yang ada pada diri seseorang tidak pantas bagi
dirinya untuk menyobongkan diri terhadap Allah, bahwa dengan tawadhu’
tidak akan membuat derajat seseorang menjadi rendah, malah ia akan
dihormati dan dihargai. Rosulullah SAW bersabda :
التواضع لا يزيد العبد إلاّ رفعة وتواضعوا يرفعكم
Artinya: ”Tawadhu’ tidak ada yang bertambah bagi seorang hamba
kecuali ketinggian (derajat), oleh sebab itu tawadhu’lah kamu, niscaya
Allah akan meninggikan derajatmu (HR. Ad-Dailami)
Hal tersebut terbukti digambarkan Achmad Munif dalam karyanya
“Kasidah Lereng Bukit” melalui tokoh Pak Hudori, dengan kerendahan
hatinya, beliau mendapat kepercayaan menjadi kepala desa Kedungpring,
masyarakat tidak pernah menyangka bahwa ia benar-benar Nyolong Petek,
orang tidak menyangka bahwa Pak Hudori adalah satria piningit yang
sebelumnya hanya dikenal hanya sebagai orang yang biasa, tetapi ketika
tiga bulan memimpin desa keluar pamornya. Pelbagai kebijakan bahwa Pak
Hudori memang pemimpin yang berorientasi kerakyatan.
g. Mengucapkan Shalawat dan Menebarkan Salam (Absussalam)
Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk
mengucapkan Shalawat dan salam kepada Nabi bukan berarti Nabi
membutuhkannya. Sebab tampa do’a dari siapapun beliau sudah pasti akan
selamat dan mendapatkan tempat yang paling mulia dan paling terhormat
disisi Allah SWT. Allah berfirman :
انّ الله وملائكته يصلون على النبي ياأيها الذين ءامنوا صلوا عليه وسلموا تسليما(56)
Artinya : “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat
untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriaman, bershalawatlah kamu untuk
Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya (al-Ahzab: 56)
Perintah untuk bershalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW dengan
pernyataan bahwa Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada beliau hal
ini disamping menunjukkan betapa mulia dan terhormatnya kedudukan beliau
disisi Allah SWT, juga menunjukkan betapa pentingnya perintah
bershalawat dan salam itu untuk dilakukan.
Tradisi masyarakat, yang dilakukan pemuda dan pemudi beserta santri dan
santriwati di desa Kedungpring setiap malam jum’at adalah
menyelenggarakan diba’an diantara Shalawat yang sering dilantunkan oleh
masyarakat ini adalah:
“Ya Robby solli alaa Muhammad
Ya Robby sholli alaihi wasallim
Ya Robby balighul washilah
Ya Robby khushoh bil fadhilah
Ya Robby wardho anissohabah”.
Nurul Fitria sebagai santriwati yang kreatif dalam memimpin diba’an.
Shalawat yang sering di lantunkan oleh Nurul Fitria bersama
teman-temannya adalah :
“Ya Nabi salam alaika
Ya Rosul salam alaika
Ya Habib salam alaika
Shalawatullah alaika”.
Kegiatan diba’an seperti yang dilakukan masyarkat ini tergambarlah
bahwa cintanya masyarakat kepada baginda Nabi, disamping untuk menambah
keimanan juga untuk menambah aktivitas yang bernuansa positif
dimasyarakat Kedungpring. Ucapan shalawat dan salam dari kita,
orang-orang yang beriman, disamping sebagai bukti penghormatan kepada
beliau, juga untuk kebaikan diri sendiri. Nabi Muhammad SAW bersabda:
من صلّى عليّ مرّة صلّى الله عليه بها عشر
“ Barang siapa yang bershalawat kepadaku satu kali, maka dengan
shalawatnya itu Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali (H.R
Ahmad)
Selain bacaan Shalawat yang di bacakan dalam Shalat dan di lantunkan
seperti dalam bentuk Diba’an, salam diaflikasikan lebih kreatif lagi
dalam kehidupan sehari-hari dan dalam berbagai kesempatan baik dalam
pidato, ceramah seminar, diskusi maupun dalam pembicaraan sehari-hari.
Salam merupakan ucapan ketika bertemu antara orang Islam satu dengan
orang Islam lainnya. Salam ini berisi do’a keselamatan yang sangat
dianjurkan agama Islam. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairoh
mengatakan:
“Ya ayyuhannaas afsussalam wa’at’imul mutho’aam washilularham”
Wahai sekalian manusia, tebarkan salam, dan beri makan, dan hubungilah famili….(Bahresyi: 1987: 50)
Adapun ucapan salam itu banyak dituturkan dalam agama Islam, seperti
mulai dari yang paling pendek sampai yang paling panjang adalah
“assalamu;alaikum”. “assalaamu’alaikum warohmatullahi” dan
“assalamualaikum warohmatullahi wabarokaatuh”. Bagi yang diberi dan
mendengarkan salam wajib menjawab dengan ucapan yang sama atau lebih
baik yakni “wa’alaikum salam”, wa’alaikum salam warohmatullahi” atau
wa’alaikum salam warohmatullahiwabarokatuh”. (Bahreisyi: 1987: 53-54)
Melalui tokoh Abah Nur, Achmad Munif menggambarkan secara inplisit bahwa
peraktek salam selalu diaplikasikan dalam kehidupan pemuda dan pemudi,
santri santriwati desa Kedungpring. Setiap berjumpa dengan santri dan
pemuda Abah Nur pertama kali diucapkan adalah salam.
“Assalamu’alaikum…!
“Wa’alaikum salam, jawab santri serentak.
Di samping pertemuan Abah Nur dengan santri yang sengaja maupun
tidak disengaja, pertemuan rutin yang sifatnya sengaja beliau selalu
membiasakan untuk memuji kehadirat Allah SWT dan shalawat beserta salam
sebelum mengawali pengajian bersama santrinya.
Betapa pentingnya shalawat dan salam untuk selalu diaflikasikan dalam
kehidupan sehari-hari, sebagai wujud dari iman, cinta dan hormat kepada
Nabi Muhammad SAW, dan juga sebagai bentuk rasa terimakasih atas
jasa-jasa beliau yang tidak ada tandingnya untuk umat manusia, lebih
khusus lagi untuk orang-orang yang beriman, tentu tidak pantas sebagai
umatnya berhemat-hemat mengucapkan shalawat dan salam kepada beliau,
apalagi jatuh kepada sifat “Bakhil” atau kikir. Di samping sebagai
rasa hormat dan untuk mempertebal keimanan kita kepada Nabi Muhammad,
salam merupakan do’a bagi orang muslim, setiap bertemu ,bertatap muka
ucapan yang pertama kali keluar dari mulut adalah salam, sebagai pembeda
antara orang Muslim dan non Muslim, maka dari itu dalam ajaran Islam
tidak dianjurkan untuk mengucapkan salam kepada orang yang non Muslim.
h. Menjaga Keharmonisan Rumah Tangga
Pak Hudori adalah seorang sosok yang terkenal sederhana, sabar dan
jujur. Setelah berapa tahun beliau menikah dengan Bu Kusnah dan
dikaruniai dua orang anak. Bu Kusnah adalah seorang istri yang sangat
patuh kepada suaminya tidak banyak tuntutan ia bukan perempuan dari
gerakan peminin yang terus menerus menuntut persamaan hak. Ia tidak
mengerti betul apa itu emansipasi, baginya dalam rumah tangga apabila
sudah ada saling saling pengertian sudah cukup, tidak perlu tugas istri
dan suami dibagi-bagi agar rata dengan demikian akan terasa adil. Sebab
bagi Bu Kusnah apa yang disebut adil jika suami dan istri sudah memenuhi
kewajibannya dengan baik, suami memberi nafkah dan istri
membelanjakannya dengan hati-hati. Gusti Allah telah memberikan jatahnya
masing-masingkepada setiap orang “Nrimo Ing Pandum” bagi Bu Kusnah
jangan diartikan sebagai kepasrahan total. beliau juga termasuk orang
yang sederhana sehingga beliau punya perinsip bahwa dia tidak banyak
punya ambisi kecuali mati dalam keadaan Islam Wala tamutunna Illa
wa’antum Muslimuun. Di samping itu beliau ingin anaknya menjadi anak
Shaleh dan Shalekhah. Namun sebagai ungkapan rasa syukur mendapatkan
rezeki dari hasil usaha yang sudah dilakukan, oleh karena itu bagi Pak
Hudori istrinya adalah “bintang bercahaya” yang selalu menjadi penerang
jalan hidupnya yang kadang-kadang terasa gelap apalagi pada masa-masa
sulit tahun 60-an ketika ia sering di kirim kekantong-kantong
pemberontak di hutan-hutan dan Goa di Jawa Timur bagian Selatan.
Istrinya selalu mengingatkan agar tidak lupa membaca Bismillah atau La
haulawala quwwata illa billahil’aliyil’adzim, agar selalu mendapat
keselamatan dari Tuhan. Pak Hudori tidak tahu apa yang akan terjadi
ketika menghadapi masa-masa sulit jika tidak dibimbing oleh perempuan
penyabar bagaikan Dewi Prupadi itu.
Pak Hudori senyum sendiri.
“Dulu ia sering memuji istrinya bagaikan Dewi Drupadi istri Prabu Puno
Dewo yang kesabarannya tanpa tanding. Dan biasanya, istrinya protes
kalau disamakan dengan Dewi Drupadi dengan mencubitnya kuat-kuat. Dan ia
selalu menghindari cubitan yang datangnya bertubi-tubi bagaikan peluru
yang ditembakkan. Disinilah romantisnya Pak Hudori bersama istrinya.
Kadang Pak Hudori menyamakan istrinya dengan Dewi Setyawati Permaisuri
Prabu Salya yang memiliki kesetiaan yang luar biasa hebat. Dan istrinya
protes karena Permaisuri Prabu Salya itu bunuh diri ketika suaminya
gugur dimedan perang.”
Walaupun kehidupan mereka terkenal keluarga yang sederhana didesanya
namun rumah tangga yang dibangun dengan kasih tulus itu selalu
mengalirkan kebahagiaan. Hal itu tidak lepas dari upaya mereka untuk
mewujudkan keharmonisan hubungan suami istri yang dicapai melalui:
1) Saling Mencintai dan Saling Menerima Kekurangan
Pak Hudori adalah seorang Tentara Nasional Indonesia (TNI), bisa
dikatakan dari orang yang berpendidikan dan berpengalaman, akan tetapi
Bu Kusnah istrinya hanya Ibu rumah tangga yang tidak punya penghasilan
apa-apa. Jika dipehatikan disinilah keharmonoisan terbentuk, saling
menerima kekurangan masing-masing. Bu Kusnah sangat yakin walaupun
beliau hanya bekerja seputar mengurus rumah tangga dan anaknya ia yakin
bahwa itu merupakan ibadah kepada Allah. Sudah semestinya Bu Kusnah
mendapatkan perlakuan yang baik dari suaminya karena Bu Kusnah selalu
memberikan yang terbaik kepada suaminya. Allah firman dalam Surat
an-Nisa’ ayat: 9
وعاشروهن بالمعروف فإن كرهتموهن فعسى أن تكرهوا شيئا ويجعل الله فيه خيرا كثيرا(19)
Artinya: “Dan bergaullah dengan mereka secara patut, kemudian jika
kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak
(QS. An-Nisa’: 19)
2) Tetap Setia dalam Suka dan Duka
Pak Hudori dalam beberapa hari yang lalu pamong atau petinggi desa yang
lama datang kepadanya, mereka memberi dorongan agar Pak Hudori
mencalonkan diri menjadi kepala desa. Sebab kepala desa yang lama Bapak
Sanhaji sudah menjabat dua priode dan tidak bersedia di pilih lagi
dengan alasan kesehatannya yang sudah tidak memungkinkan. Hal tersebut
dimusyawarahkan oleh Pak Hudori bersama istri dan anaknya terlebih
dahulu, pada dasarnya Beliau tidak pernah berambisi ingin menjadi kepala
desa, beliau heran bisa-bisanya mereka menilai dirinya pantas memimpin
desa.
“ Gak keliru, tah?
Pak Hudori berpaling pada Furkon yang sedang belajar tidak jauh dari tempat santainya.
“ Furkon”?
“ Ya, Pak.”
“ Bagaimana pendapatmu kalau bapak mencalonkan diri jadi lurah?”
“ Astaghfirullahal adziiim, Istighfar , Pak Istighfar!
“ Lo, kenapa, Le?”
furkon tertawa ngakak, Bu Kusnah muncul dari dapur.
“ Ada apa, Le?”
“ Bu, Bapak arep nyalon lurah.
Kata-kata Furkon itu disambut dengan tawa renyah Bu Kusnah.
“ Ketemu pirang perkoro, Paak, kok peno arepe nyalon lurah barang.
Musyawarah selalu dilakukan dalam keluarga Pak Hudori entah
musyawarahnya besar maupun hal yang kecil, karena anak dan istri bagi
Pak Hudori adalah tempat berbagi suka dan duka kehidupan masalah
kecilpun ia musyawarahkan dan ia tidak segan meminta pendapat anak dan
istrinya tentang apa yang sedang dipikirkannya. Melalui tokoh keluarga
Pak Hudori Achmad Munif menggambarkan keluarga yang bahagia penuh dengan
keharmonisan selalu memaafkan dan selalu bahu membahu untuk
kesejahteraan bersama dalam keluarganya.
B. Penyampaian Pesan-pesan Dakwah Melalui Unsur-unsur Intrinsik Cerita Rekaan Novel “Kasidah Lereng Bukit” Karya Achmad Munif
Setelah menelaah pesan-pesan dakwah dalam Novel “ Kasidah Lereng Bukit”
karya Achmad Munif pembahasan berikutnya adalah bagaimana penyampaian
pesan-pesan dakwah diintegrasikan (disatukan, dipadukan) kedalam
unsur-unsur intrinsik cerita rekaan.
Unsur-unsur intrinsik dalam cerita rekaan seperti yang telah penulis
jabarkan pada bab satu adalah meliputi tema, tokoh dan perwatakan, alur,
setting, teknik penceritaan dan diksi. Sebuah cerita rekaan tidak dapat
dipisahkan dari unsur intrinsiknya, karena unsur itulah yang membuat
sebuah cerita menjadi satu kesatuan yang utuh dan terpadu. Begitu pula
dengan pesan dakwah yang ditampilkan dalam cerita, maka pesan dakwah
akan menjadi sebuah bagian dalam sebuah cerita yang berhubungan dengan
unsur intrinsik cerita tersebut. Pengarang menggunakan unsur intriniknya
untuk menuangkan semua idenya sehingga cerita menjadi utuh dan saling
padu, termasuk pesan-pesan dakwah yang dituangkan dalam cerita.
Berikut ini penulis mengemukakan analisis penulis tentang penyampaian
pesan-pesan dakwah yang di integrasikan kedalam unsur-unsur intrinsik
cerita rekaan dalam novel “Kasidah lereng Bukit” karya Achmad Munif.
1. Tema
Tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Pesan dakwah yang
ditampilkan melalui tema berarti memang pesan dakwah itulah yang ingin
ditonjolkan oleh pengarang dalam cerita rekaannya. Meskipun ada tema
yang secara jelas digambarkan oleh pengarang dan ada yang secara
samar-samar, tetapi jika pembaca membaca novel tersebut maka tema yang
muncul dalam pikiran pembaca, jika novel mengandung pesan-pesan dakwah
akan menimbulkan sebuah persepsi bahwa novel tersebut bernuansa Islami,
karena unsur dakwah yang menonjol dalam temanya. Dan inilah salah satu
kelebihan penyampaian pesan-pesan dakwah melalui tema, yaitu pesan
tersebut akan lebih tampak sehingga pembaca lebih mudah memahami adanya
pesan-pesan dakwah tersebut.
Selain itu penyampaian pesan-pesan dakwah melalui tema juga menjadikan
nilai dakwah dalam novel itu menjadi menonjol dan kokoh karena di dukung
oleh unsur intrinsik lain yang ikut membangun munculnya tema yang
bermuatan dakwah tersebut. Dalam sebuah novel pada dasarnya bukan hanya
satu tema yang akan di kemukakan oleh pengarang, akan tetap dari banyak
tema yang di sampaikan, ada satu tema yang menjadi tema pokok, karena
tema pokok merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya
sastra dan yang terkandung dalam teks sebagai struktur simentis (Tata
makna, kata-kata) dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau
perbedaan-perbedaan.
Novel “Kasidah Lereng Bukit” misalnya tema novel ini ada banyak makna
(tema) diantaranya masalah (1) dua anak muda desa kecil di lereng bukit
yang saling jatuh cinta. Hubungan Ahmad Furkon dan Nurul Fitria tidak
direstui orang tuanya pihak gadis dengan alasan keluarganya miskin. Akan
tetapi orang tua gadis (Gus Muali) ingin merebut kekuasaan menjadi
kepala desa, Nurul Fitria pura-pura diizinkan menjalin hubungan dengan
Ahmad Furkon. Akan tetapi kekuasan tidak dapat diraih oleh orang tua
gadis, karena terlalu berambisi dan menghalalkan segala cara untuk
meraih kekuasaan. (2) masalah dua pribadi yang bertentangan pola
berpikir. Tradisi perdukunan dan intrik (persekongkolan). Gus Muali
digambarkan sebagai tokoh yang sangat ambisius untuk mendapatkan
kekuasaan sedangkan Pak Hudori di gambarkan sebagai tokoh yang rendah
hati tawakkal, sabar dan rajin menjalankan syari’at Islam sehingga
dengan kerendahan hati beliau mendapatkan kepercayaan dan dukungan
langsung dari masyarakat desa Kedung Pring. (3) tentang Nurul Fitria di
jodohkan orang tuanya dengan Kahar anak Wak mukri juragan tembakau
didesanya. (4) masalah Ning Lestari yang mencoba merebut cinta ayah
Nurul Fitria dan berniat menyingkirkan Ibu gadis tersebut, ternyata
setelah jelas kekalahan Gus Muali mencalonkan diri menjadi lurah Ning
Lestari lari dari genggaman Gus Muali karena sudah tidak ada harapan
lagi untuk mendapatkan kekayaan Gus Muali. (5) tentang kegigihan Furkon
menuntut ilmu walaupu orang tuanya hidup apa adanya dan penuh
kesederhanaan. Tetapi ia yakin jika ada kemauan pasti ada jalan untuk
melanjutkan studinya ke Jogja.
Dari tema-tema yang ditawarkan dapat diambil pesan-pesan dakwah (1)
Islam mengajarkan umatnya untuk slektif dalam menentukan calon
pendamping hidup, Rosulullah SAW bersabda yang menjadi titik poin utama
dalam memilih calon suami atau istri adalah agama. Karena agama telah
melewati tiga kriteria yaitu kaya, catik dan keturunan baik-baik. (2)
Kritik sosial tentang tradisi perdukunan, dalam Islam mempercayai selain
Allah merupakan dosa besar sehingga hadits Rosulullah SAW mengatakan
“Barang siapa mendatangi seorang peramal dan menanyakan sesuatu
kepadanya, maka tidak diterima baginya shalat selama empat puluh hari”
(HR. Muslim), (3) pesan lain bahwa Islam mengangkat derajat seseoang
yang mempunyai ilmu pengetahuan dengan berapa derajat, Islam juga
mnganjurkan umatnya untuk menuntut ilmu dari lahir hingga akhir
hayatnya. (4) dalam hidup berumah tangga kehadiran orang ketiga dalam
rumah tangga seringkali menjadi batu penghalang, salah satunya
perselingkuhan.
2. Tokoh dan Perwatakan
Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa dalam berbagai
peristiwa. Unsur ini menampilkan tokoh cerita (karakter) yang biasanya
disebutkan nama dan latar belakangnya secara jelas oleh pengarang.
Tetapi ada juga pengarang yang tidak menyebutkan latar belakang tokohnya
secara jelas atau tampa menjelaskan nama lengkapnya, biasanya tokoh ini
disebut peran pembantu atau tokoh bawahan, misalnya dalam novel
“Kasidah Lereng Bukit” peran “Santriwan dan “Santriwati” disini tidak
disebutkan nama secara lengkap dan latar belakang masing-masing individu
secara jelas.
Selain menyebut tokoh, pengarang juga menampilkan perwatakan dari sang
tokoh meskipun kadang tidak jelas atau tidak langsung, misalnya melalui
sikap dan tindakan watak tokoh tersebut dalam menghadapi masalah
kehidupan atau konflik dalam cerita tersebut. Biasanya ada tokoh
protaganis (pemeran penting) atau panglima. Dan ada tokoh antagonis
(tokoh penentang) dalam cerita rekaan. Pengarang menggambarkan tokoh Pak
Hudori sebagai tokoh protaganis, dalam cerita digambarkan sebagai orang
yang taat pada syari’at Islam dan Gus Muali sebagai tokoh antagonis,
yang bertentangan dengan syari’at Islam.
Penyampaian pesan-pesan dakwah melalui tokoh yang tercermin dari sikap
dan tindakan tokoh biasanya memang kurang tangkap secara langsung oleh
pembaca, apalagi tokoh tersebut bukan tokoh utama, dan di sinilah salah
satu kelemahan penyampaian pesan-pesan dakwah melalui tokoh. Oleh karena
itu tokoh dalam cerita harus tokoh yang hidup atau tokoh yang
berpribadi, berwatak dan memiliki sifat-sifat tertentu, bukan tokoh mati
yang merupakan boneka ditangan pengarang, datar dalam bersikap, tidak
memiliki respon dalam cerita dan diam tidak berubah (statis dan tidak
ada gejolak emosional). Seorang tokoh atau pemeran secara wajar dapat
diterima bila dapat dipertanggungjawabkan dari segi fisik, sosiologis
dan psikologis.
Keberadaan tokoh cerita yang hidup diharapkan akan meninggalkan kesan di
hati pembaca sehingga membuat pembaca mengingat keberadaan tokoh
tersebut, begitu juga dengan tindakan dan sikap tokoh yang mencerminkan
nilai-nilai Islam sebagai pesan-pesan dakwah.
Penyampaian pesan dakwah melalui tokoh dan perwatakan dalam novel
“Kasidah Lereng Bukit” dapat digolong sebagai penyampaian pesan-pesan
dakwah secara implisit (secara halus) karena tercermin dari sikap dan
tindakan tokoh. Seperti tokoh Abah Nur sebagai seorang yang taat
beribadah kepada Allah, penuh karismatik dan menjadi tokoh agama yang
disegani dimasyarakat Kedungpring, akan tetapi tokoh ini secara fisik
tidak ditampilkan dan tidak berpareasi dalam keterlibatannya sebagai
tokoh hanya digambarkan dari segi sosialnya saja.
Tokoh Pak Hudori ditampilkan sebagai tokoh yang rendah hati dan
istiqomah dalam menjalankan syari’at, hal ini tergambar pada
keterlibatan pribadi tokoh dalam cerita contohnya bagaimana beliau
menyikapi konflik yang ada dalam pencalonan kepala desa yang penuh
dengan perdukunan dan persekongkolan masyarakat dalam pemilihan kepala
desa.
Tokoh Gus muali sebagai tokoh yang menentang Pak Hudori digambarkan
sebagai orang yang buruk akhlaknya dikalangan desa Kedungpring. Padahal
anak dan istrinya adalah seorang yang taat beribadah, sabar dan tegar
dalam menghadapi sikap Gus Muali yang tidak taat kepada ajaran syari’at
dan egoisme tinggi hal ini bisa dipahami pada cerita tentang Nurul
Fitria dijodohkan dengan Kahar anak juragan tembakau dan dilihat dari
cara Gus Muali mencalonkan diri menjadi kepala desa akan tetapi pada
akhirnya ia sadar bahwa apa yang telah ia perbuat sangat bertentangan
dengan ajaran Islam.
Ada berapa metode dalam watak tokoh atau metode penkohannya yaitu metode
langsung dan metode tak langsung. Metode langsung yaitu metode dimana
pengarang tidak memaparkan watak tokoh tetapi hanya dapat menambah
tentang watak tokoh. Sedangkan tokoh tak langsung adalah watak tokoh
dapat ditonjolkan pengarang, bahkan juga dari segi penampilan fisiknya
serta dari gambaran lingkungan atau tempat tinggal tokoh. Dalam novel
“Kasidah Lereng Bukit” karya Achmad Munif ini tokoh Ahmad furkon
digambarkan sebagai tokoh tak langsung hal ini tergambar ketika bersama
teman-teman kampusnya memberi lakob atau panggilan kepada Ahmad Furkon
“Pak Kiyai” karena secara fisiknya dan penampilan sehari-harinya, begitu
juga dengan tutur kata yang diungkapkan selalu mengungkapkan kata yang
bermakna bagi teman-temannya.
Tokoh Nurul Fitria, Bu Kusnah, dan Ny. Masyitoh sebagai tokoh bawahan,
yaitu tokoh yang tidak sentral kedudukannya dalam cerita akan tetapi
kedudukannya dalam cerita sangat diperlukan untuk menunjang atau
mendukung tokoh utama. Ketiga orang tersebut di gambarkan sebagai tokoh
yang rendah hati dan selalu menjadi panutan bagi masyarakat kaum hawa
di desa Kedungring. Secara fisik Nurul Fitria sebagai gadis yang selalu
menjaga kehormatandalam kehidupan seharinya jilbab selalu dikenakannya
untuk menutupi auratnya. Dalam ajaran Islam menutup aurat adalah suatu
kewajiban bagi kaum hawa, Allah telah menjajikan agar mereka yang
menggunakan jilbab agar mudah untuk dikenal.
3. Alur/Plot
Alur atau plot adalah urutan peristiwa yang bersambung-sambung dalam
sebuah cerita yang berdasarkan hubungan sebab akibat atau hubungan
kausal, sehingga membentuk jalinan peristiwa. Kelemahan penyampaian
pesan dakwah melalui alur adalah pesan dakwah tersebut tidak tampak dan
tidak menonjol karena jalinan peristiwa lebih domonan dalam pemikiran
pembaca. Kecuali pengarang secara jelas membuat cerita dengan konflik
tentang masalah keagamaan, maka kesan agamis ataupun pesan-pesan dakwah
dalam alur cerita tersebut akan lebih menonjol. Akan tetapi meskipun
alur tidak menonjol, pesan dakwah akan lebih menyatu dengan cerita dan
tidak terkesan di paksa untuk di tonjolkan.
Novel “Kasidah Lereng Bukit”ini ditinjau dari tegangannya merupakan alur
primidal yaitu puncak klimak tidak terdapat diawal dan diakhir cerita
tetapi pada pertengahan. Konflik pencalonan kepala desa antara Pak
Hudori dan Gus Muali belum ditemukan pada permulaan cerita tetapi
ditemukan pada pertengahan cerita. Lalu konflok diakhiri dengan solusi
yautu Pak Hudori sesuai dengan perbuatannya ia berhasil menjadi kepala
desa sedangkan Gus Muali menyesali perbuatannya ketika gagal menjadi
kepala desa.
Sedangkan dari urutan pengisahannya mengunakan alur progresif yaitu
cerita dibuka dari awal cerita kisah cinta Ahmad Furkon dan Nurul Fitria
dan ditutup dengan akhir cerita penyesalan Gus Muali atas perbuatannya
dan Nurul Fitria bersama Ahmad Furkon bersatu kembali.
Jika dilihat dari tema-tema yang ingin disampaikan pengarang, pesan
dakwah tampak dalam dialog yang di gunakan. Misalnya dialog antara Pak
Hudori dengan Ahmad Fukon, dalam kesempatn itu Pak Hudori menasehati
anaknya Furkon supaya punya tekat bulat untuk menuntut ilmu karena
mengingat hadits Rosulullah SAW “tolabul ilmi faridhotun ‘ala kulli
muslimin”, “utlubul ilma walau bissin”, kemudian tampak juga pada dialog
antara Nurul Fitria dengan ibunya Ny. Masyitoh masalah hubungan Nurul
Fitria dengan Ahmad urkon disetujui Ibunya karena Ahmad Furkon adalah
pemuda yang mempunyai nilai religius pada dirinya. Dalam dialog tersebut
tampak Nurul Fitria memanggil Ibunya dengan panggilan “Ummi”
menggunakan bahasa Arab
Selanjutnya tampak pada dialog antara Abah Nur dengan santrinya ketika
memberi tausiyah atau siraman rohani kepada santri anak didiknya, bahwa
do’a dan ikhtiar merupakan hal yang paling penting untuk dilakukan
karena Allah tidak akan merubah suatu kaum sehingga kaum itu sendiri
yang yang merubah keadaannya. Selain itu pada dialog antara Pak Hudori
dengan masyarakat Kedungpring, pada kesempatan itu Pak Hudori berusaha
meyakinkan masyarakat untuk tidak mempercayai sesuatu selain Allah,
selalu mengerjakan shalat baik shalat lima waktu dan shalat-shalat
sunnah lainya, jangan percaya kepada kekuatan dukun dan menjauhi syirik
atau mensekutukan Allah.
4. Latar atau Setting
Latar adalah tempat bermainnya cerita, tidak hanya terbatas pada
pengertian geografis tetapi juga antriopologis. Unsur Islami tampak
pada latar akan menimbulkan kesan Islami pada novel itu apalagi jika
unsur Islami ada dalam semua latarnya, baik latar tempat, sosial ataupun
suasananya, novel “Kasidah Lereng Bukit” karya Achmad Munif hampir
semua latarnya berhubungan dengan nuansa Islami. Tidak hanya latar
tempat saja, misalnya pesantren, suasana diba’an didesa Kedung Pering,
suasana kampus, suasana santri bercocok tanam disela-sela jam belajar
mereka, tetapi juga latar sosialnya yang menampilkan nilai Islami,
misalnya suasana masjid di kampung kecil selalu di hiasi dengan jama’ah
shalat.
Achmad Munif sendiri mengatakan sebagian besar novel “Kasidah Lereng
Bukit” settingnya memang menampilkan suasana pesantren dan menggambarkan
sebuah kampung yang penuh dengan suasana religius. Menurutnya novel ini
muncul terinspirasi ketika Beliau di undang kepondok pesanteren “Bahrul
Ulum” Tambak Beras Jombang dan pondok pesanteren “Peterongan” Jombang,
ternyata dua pondok tersebut novelnya yang lain sangat digemari oleh
santri dan santriwati padahal ia merasa novelnya yang digemari tersebut
tidak terlalu Islami. Lalu ia berkeinginan dan berkata “mengapa saya
tidak menulis novel yang sedikit Islami dan lebih pas untuk bacaan
kalangan muda pesanteren.” Inilah yang membuat Achmad Munif semangat
membuat novel “Kasidah Lereng bukit” walaupun latar belakang
kehidupannya bukan berasal dari lingkungan pesanteren atau
sekolah-sekolah Islam tetapi keinginan untuk memperluas syi’ar Islam
tetap digemarinya.
Latar atau setting dalam novel “kasidah Lereng Bukit” karya Acmad Munif
ini lebih menggunakan latar tripikal yaitu memiliki dan menonjolkan
sifat khas latar tertentu menyangkut waktu, tempat maupun sosial
misalnya suasana pesantren yang dipenuhi dengan suasana Islami oleh para
santri.
5. Teknik Penceritaan
Teknik penceritaan adalah bagaimana pengarang menentukan pusat cerita
(pengisahan) atau siapa yang menjadi subyeknya. Ada tiga metode yang
digunakan oleh pengarang untuk menyebut subyek cerita yaitu: pertama,
sudut pandang orang ketiga si “dia” dalam novel “Kasidah Lereng Bukit”
yang menceritakan pusat pengisahan orang ketiga ketika pengarang
mengisahkan tokoh Ahmad Furkon, Nurul fitria, dan Ning Lestari. Sering
kali pengarang menggunakan kata “Dia”, “Ia” atau “nya”, sedangkan kata
ganti orang ketiga “Beliau” ini sering digunakan pada pengisahan tokoh
Abah Nur, Pak Hudori, Gus Muali, Bu Kusnah, dan Bu masyitoh. Kata ganti
“beliau” terkadang pengarang menggunakan kata ganti “dia” atau “ia”
untuk Abah Nur, Pak Hudori, gus Muali, Bu Masyitoh dan Bu Kusnah.
Sedangkan pengisahan orang ketiga “mereka” digunakan untuk santri dan
masyarakat desa Kedung Pring akan tetapi terkadang untuk menceritakan
orang ketiga pengarang menyebutkan jumlah tokoh misalnya “ketiga orang”
ketika pengarang menyebut nama Pak Rahardi, Lik Basofi dan Mas Sasminto.
Kedua, Sudut pandang personal pertama “aku”. Gaya “aku” narator orang
yang terlibat dalam cerita. Ia adalah tokoh yang mengisahkan peristiwa
dan tindakan yang diketahui dan dilihatnya kepada pembaca. Dalam novel
“kasidah Lereng Bukit” beberapa alur cerita yang menggunakan sudut
pandang orang pertama misalnya dialog Furkon dengan Nurul Fitria tentang
kepergian Furkon melanjutkan sekolah ke Jogja, tetapi terkadang
pengarang menggunakan nama pada dialog antara Gus Muali dengan Eyang
sumoharjo, disini Eyang Sumoharjo menyebut namanya dengan lakob atau
gelar “Eyang” bukan “aku”.
“Eyang tidak bisa merubah nasibmu kalau kamu sendiri tidaka mau merubahnya.”
Ketiga, adalah sududut pandang campuran “aku” dan “dia”. Pengarang dapat
berganti-ganti dari satu teknik keteknik yang lain. Dalam novel
“Kasidah Lereng Bukit” ini yang sering menggunakan teknik sudut pandang
campuran sering kali pada tokoh Ahmad Furkon. Terkadang pengarang
mengisahkan dari sudut pandang “aku” dan “dia” secara bergantian.
Mula-mula cerita dikisahkan dari sudut “aku” namun kemudian terjadi
pergantian ke “dia” dan kembali ke sudut “aku”. Penggunaan sudut pandang
tersebut dalam sebuah novel terjadi karena pengarang ingin memberikan
cerita secara lebih banyak kepada pembaca.
Penyampaian pesan-pesan dakwah melalui unsur teknik penceritaan
sebenarnya tidak jauh berbeda dengan penyampaian pesan-pesan dakwah
melalui tokoh dan perwatakan. Hanya saja dalam penyampaian pesan dakwah
melalui teknik penceritaan pengarang tidak terfokus pada penyebutan
nam-nama tokoh dalam cerita itu tetapi pengarang bisa menyebut
tokoh-tokoh dalam ceritanya dengan sebutan “aku” dan “nya”. Misalnya
pada pusat cerita tentang penyesalan Gus Muali, pengarang menggunakan
tokoh “aku” untuk mengungkapkan rasa penyesalannya bahwa ternyata harta
satu-satunya yang bisa memberi kebahagiaan. Ternyata memberikan
kesenangan tetapi bukan kebahagiaan.
Cerita lain pada Novel “Kasidah Lereng Bukit” ketika menceritakan
tradisi perdukunan, tokoh “aku” kadang juga menyebut tokoh Eyang
Sumoharjo yang mengaku dirinya lebih tua umurnya dari umur Gus Muali,
dan Eyang sumoharjo juga lebih tahu tradisi pencalonan kepala desa
daerah Jawa Wetan yang menunjukkan dirinya sebagai orang pintar (dukun)
yang menunjukkan bahwa dirinya tidak mempunyai sifat istiqomah.
Tokoh Ahmad Furkon digambarkan sebagai tokoh “dia” diceritakan sebagai anak muda yang mempunyai kegigihan dalam menuntut ilmu.
Penyebutan tokoh cerita “ia” pada tokoh Nurul Fitria melalui gambaran
wataknya dan settingnya yang mengambarkan gadis yang taat kepada
syari’at Islam.
Tokoh Pak Hudori, Abah Nur, Bu Kusnah dan Bu Masyitoh digambarkan
sebagai sebutan penghormatan tokoh “Beliau” dan “dia” yang tekun
beribadah, sabar dan penuh dengan kesederhanaan, apalagi tokoh Bu
Masyitoh Beliau adalah istri Gus Muali. Walaupun Gus Muali digambarkan
sebagai tokoh antagonis akan tetapi dengan keistiqomahan Bu masyitoh ia
tidak terpengaruh sama sekali walaupun pribadi suaminya sehari-hari jauh
bertentangan dengan ajaran Islam.
Penyebutan tokoh cerita dengan tokoh “aku”, “dia”, “ia”atau “nya”
merupakan metode yang ditentukan oleh pengarang, penyebutan kata “aku”,
dia, “ia, mereka dan nya” hanya untuk menunjukkan pada tokoh tertentu
yang disebutnya. Pada tokoh tersebut pengarang dapat memasukkan pesan
dakwah, baik dari karakter tokoh, sikap dan tindakan atau melalui
kalimat yang diucapkan tokoh dengan menggambarkan watak tokoh itu
sendiri oleh pengarang. Pengarang hanya menentukan tokoh mana yang akan
dijadikan sebagai media penyampaian pesan-pesan dakwah dan pada tokoh
tersebut pengarang bisa menggunakan sebutan “aku”, “dia”, “ia”, “mereka”
dan “nya”.
6. Diksi
Diksi merupakan salah satu unsur cerita rekaan yang sangat erat
hubungannya dengan unsur-unsur lain dalam cerita rekaan. Karena diksi
adalah tata bahasa. Bagaimana seorang pengarang menggunakan tata
bahasanya untuk menerangkan cerita. Diksi merupakan alat bagi pengarang
untuk mengungkapkan ide ceritanya termasuk untuk mengungkapkan dan
merangkul pesan-pesan dakwah yang ingin di tampilkan dalam cerita baik
melalui tema, tokoh dan perwatakan, alur, setting dan teknik
penceritaan. Jadi diksi dalam hal penyampaian pesan-pesan dakwah melalui
integrasi kedalam unsur-unsur intrinsik cerita rekaan berfungsi sebagai
alat yang di gunakan untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah melalui
unsur intrinsik cerita rekaan.
Penggunaan diksi tergantung pada bagaimana pengarang mengolah kata-kata
dan kalimat dalam cerita yang di buatnya secara sederhana untuk
menciptakan sebuah cerita yang saling bersambung, tetapi tidak terlepas
dari unsur-unsur intrinsik cerita. Kalimat yang dibuat pengarang dalam
novel biasanya berhubungan dengan target atau sasaran pembaca novel,
bagaimana keadaan sasaran pembaca novel mengharuskan pengarang untuk
merangkul gaya bahasa yang disesuaikan dengan karakteristik pembaca agar
pembaca mudah memahami isi novel tersebut.
Achmad Munif sendiri menggunakan kalimat yang menurutnya sederhana dan
gampang untuk dicerna karena sasaran pembacanya adalah masyarakat umum
yang keadaannya majemuk baik kondisi budaya ataupun tinggkat
pendidikannya.
Novel “Kasidah Lereng Bukit” disini pengarang menggunakan bahasa
campuran yaitu bahasa Jawa Timuran yang mungkin karena beliau berasal
dari Jawa Timur, bahasa Indonesia secara mayoritas dan bahasa Arab
seperti “Ummi” untuk panggilan ibu, ngijabahi (mengabulkan),
“Kunfayakuun” dan “su’udzon, Khusnuzon (prasangka) sebagai bumbu
penyedap cerita agar berpareasi dalam memahami bahasa. Akan tetapi
bahasa Jawa yang disampaikan pengarang adalah bahasa yang mudah untuk
dicerna oleh para pembaca misalnya ” yok opo Bapak iki, rek”, “koen kok
ngerti ae , Kus. “Wedi ambek mbok towo, tah?”, “koen ojok
mincing-mancing aku Dap”! begitu juga dengan bahasa Arab , yaitu
dalil-dalil yang sudah tidak asing di dengar oleh orang awam misalnya
“wala tamutunna illa wa’antum muslimuun”, utlubul ‘ilma walau walau
bissiin”. Novel Kasidah Lereng Bukit ini tercipta karena terinspirasi
dengan sasaran yang akan membaca, beliau berharap anak muda pesanteren,
siswa dan mahasiswa akan membaca novelnya. Karena ia merasa sangat
relevan untuk kalangan anak muda atas pesan yang di sampaikan dalam
novel “Kasidah Lereng Bukit”
Gaya bahasa yang digunakan pengarang dalam novelnya sangat berpengaruh
terhadap respon pembaca, gaya bahasa yang sederhana biasanya akan lebih
banyak diterima oleh pelbagai kalangan pembaca karena lebih mudah untuk
dipahami isi cerita dan pesan-pesan didalamnya.
Begitu juga dengan pesan dakwah dalam novel, jika menggunakan bahasa
yang sederhana, ringan dan lugas akan lebih mudah untuk di pahami oleh
berbagai kalangan pembaca, dan pemahaman terhadap pesan-pesan dakwah
tersebut akan membawa kepada pengamalan terhadap nilai-nilai dan ajaran
agama Islam bagi pembaca.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan-pembahasan pada bab-bab sebelumnya dari skripsi
ini, maka kesimpulan yang dapat penulis kemukakan antara lain:
1. Bentuk pesan-pesan dakwah yang terdapat dalam novel “Kasidah Lereng
Bukit” karya Achmad Munif sering kali tidak terlepas dari tiga aspek,
yaitu:
a) Aspek aqidah, dalam novel “Kasidah Lereng Bukit karya Achmad Munif
tidak banyak hanya ada satu pesan yaitu larangan mempercayai dukun, ini
merupakan kritik sosial bagi masyarakat tentang tradisi perdukunan dan
budaya intrik atau persekongkolan, hal ini baik untuk dipahami bahwa
tradisi perdukunan akan menjebak manusia pada jurang kemusyrikan.
b) Aspek Syari’ah dalam novel “Kasidah Lereng Bukit” terdapat ajaran
Islam yang mengajak pembaca untuk selalu menjalankan shalat baik
shalat-shalat wajib maupun shalat-shalat sunat, karena shalat merupakan
salah satu jalan bagi makhluk (manusia untuk memperoleh ketenangan batin
dan merupakan sarana manusia untuk berkomunikasi langsung pada Robbnya.
c) Aspek akhlak, dalam novel “Kasidah Lereng Bukit” banyak pesan-pesan
mengenai akhlak yaitu ikhtiar (usaha) dan do’a merupakan dua jalan yang
tidak bisa dipisahkan untuk mendapatkan apa yang di inginkan, menjauhi
prasangka buruk, mensyukuri nikmat yang telah dianugerahkan, bertobat
dan menyesali dosa yang telah diperbuat , mengucap shalawat sebagai
ungkapan rasa hormat dan do’a umat kepada Nabi besar junjungan kita
Muhammad SAW walaupun pada dasarnya beliau tidak mengharapkan.
Absussalam atau menebarkan salam merupakan ajaran moral dan menebarkan
do’a sesama muslim, menjaga keharmonisan rumah tangga, melalui tokoh Pak
Hudori Achmad Munif menggambarkan bagaimana rumah tangga yang sakinah
mawaddah warohmah berlandaskan ajaran Rosulullah SAW ada tiga hal yang
paling pokok yaitu kesetiaan, kesabaran dan keadilan. Tawadhu’ (rendah
hati) lawan rendah diri bahwa apapun yang di miliki oleh setiap manusia
merupakan milik Allah dan suatu saat akan kembali kepada Allah baik
berupa harta, jabatan dan apapun yang di miliki akan di minta
pertanggung jawaban di hadapan Allah.
2. Ditinjau dari unsur intrinsiknya novel “Kasidah Lereng Bukit”
sebagian besar beralur lurus, tokohnya semuanya beragama Islam. Ditinjau
dari tegangan merupakan alur primidal yaitu puncak klimak tidak
terdapat diawal dan di akhir akan tetapi pada pertengahan, sedangkan
ditinjau dari urutan pengisahan menggunakan alur progresip cerita dibuka
dari awal cerita dan ditutup akkhir cerita. Sedangkan latar novel
menggunakan latar atau setting tripikal yaitu menonjolkan sifat khas
latar tertentu menyangkut waktu, tempat maupun sosial. Latar tempat,
sosial, ataupun latar suasananya berhubungan dengan nuansa Islami. Ada
berapa tema yang bersifat Islami yang ingin disampaikan oleh pengarang
seperti menghilangkan budaya intrik dan perdukunan, pergaulan muda mudi
dalam perihal cinta, semangat menuntut ilmu, yang paling menonjol
disampaikan pengarang. Tidak semua pesan dakwah disampaikan melalui
unsur pesan melalui dialog akan tetapi ada pesan yang disampaikan
melalui watak tokoh seperti tokoh Nurul Fitria yang digambarkan sebagai
wanita yang selalu menjaga kehormatannya dengan menggunakan jilbab atau
hijab. Sedangkan unsur teknik penceritaan pengarang menggunakan semua
teknik pusat pengisahan cerita rekaan dalam cerpen-cerpennya yaitu:
“aku, dia, mereka dan nya”. Diksi yang digunakan dalam novel “Kasidah
Lereng Bukit menggunakan bahasa yang sederhana sehingga mudah dipahami
dan diidentifikasikan.
B. Saran-Saran
1. Kepada Bapak Achmad Munif kami harapkan untuk tetap konsisten dalam
menulis karya-kaya yang bernuansa dakwah, guna memperkaya khazanah media
dakwah Islam
2. Penulis memohon kepada bapak Achmad Munif Hendaknya selalu konsisten
dalam menyampaikan karya sastra yang menceritakan keimanan, Islam dan
moral karena tidak semua orang memahami dan mengerti bagaimana
mengaplikasikan iman, Islam dan akhlaq yang benar sesuai dengan ajaran
Islam dalam kedupan yaumiyah atau kehidupan sehari-hari, sehingga dengan
adanya ide yang dituangkan berbentuk sastra para pembaca sastra bisa
mengambil hikmah dari ide yang bapak tuangkan dalam karyanya.
3. Kepada para juru dakwah hendaknya dapat menggunakan metode dakwah ini
yaitu dakwah dengan media tulis terutama mahasiswa Komunikasi Penyiaran
Islam, dengan karya sastrapun atau jurnalis bisa mengembangkan dakwah
dalam rangka Amar ma’ruf Nahi munkar
Syukur Alhamdulillahirobbil‘alamin penulisan skripsi ini dapat
diselesaikan berkat Rahmat Allah SWT yang telah memberi tuntunan,
petunjuk dan kemudahan kepada hamba-Nya.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini jauh dari kesempurnaan,
oleh karena itu penulis senantiasa mengharapkan saran dan kritik dari
pembaca. Harapan penulis, skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi
penulis dan bagi para pembaca umumnya
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khusit, Muhammad Ustman, Penyelesaian Problem Rumah Tangga Secara Islami, Maktabatul Qur’an Kairo: CV. Pustaka Mantiq, 1992
Al-Jauziyyah, Ibnul qoyyim, zikir Cahaya Kehidupan, Jakarta: Gema Insani, 2002
Aw. Wijaya, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, Jakarta: PT Bina Aksara, 1986
Azra, Azyumardi, Konteks Bertheologi di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1999
Bahreisj, Husein, Himpunan Hadits Shahih Muslim, Surabaya: 1987
Dahana, Radhal Panca, Kebenaran dan Dusta dalam Sastra, Magelang: Indonesiatra, 2001
Damono, Sapardi Djoko, Simposium Nasional dan Seresehan Kesenian dalam horison No.I TH. XIX, 1984
Daulay, Hamdan, Dakwah di Tengah Persoalan Budaya dan Politik, Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI), 2001
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1997
Effendi, Onong Uchjana, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, (yogyakarta: Lkis, 2001
Gazalba, Sidi, Asas Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1978
Harahap, Nasruddin, CS. (ed) Dakwah Pembangunan, Yogyakarta: DPD golkar TK. I, 1992
Ilyas, Yunahar, Kuliah Akhlak, Yogyakarta: LPPI, 2001
Ismail, Ilyas, Pintu-pintu Kebaikan, Jakarta:PT. Raja Grapindo Persada, 1997
Isror, C, Sejarah Kesenian Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1997
Jameel, Zeno Bin Muhammad, Bimbingan Islam untuk Pribadi dan Masyarakat, Jakarta: arul Haq,1994
Jarullah, Abdullah, Fenomena Syukur, surabaya: Risalah Gusti, 1996
Kamaludin, SF, Shalat Jama’ah Jalan Terindah Menuju Surga, Suara MerdekaTh. XXVI, No.304
Mido, Frans, Cerita Rekaan dan Sluk bluknya, NTT: Nusa Indah, 1994
Munif Achnad, Kasidah Lereng Bukit,Yogyakarta: Gita Nagari, 2003
Nurgiantoro, Burhan, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gajah Mada University (UGM) Press, 1995
Pardopo, Djoko, Rahmat, Beberapa Teori Sastra, Yogakarta: pustaka Pelajar, 1995
Rahmad, Jalaludin, Metode Penelitian Komunikasi, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1984
Raqhmat, Jalaludin, Mukhtar Ganda Atmaja, Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern, Bandung: Remaja Rosda Karya,1993
Said, rahmatsjah, dengan Do’a Membentuk Jiwa yang Sehat, Pelita: Th, XVIII
Shihab, Alwi, Memilih Bersama Rasulullah, Jakarta: PT. Grapindo Persada, 1998
Shihab, Quraish, Lentera Hati, Bandung: Mizan,1994
—————— Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan 2000
Shihata, Abdullah, Dakwah Islamiyah, Tim Penerjemah RI, Jakarta: CV, Rasindo, 1986
Sudjiman, Panuti, Memahami Cerita Rekaan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1991
Sumarjo, Jaka dan Daini KM, Apresiasi Kesusastraan, Jakarta: Gramedia, 1994
Surahman, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Tarsito, 1980
Susanto, Ready, Sastra Buat Komunikasi atau Komunikasi Melalui Sastra, Jakarta: Sabtu 16 November, 1991
Syamsul, Asep, , M. Ramli, Jurnal Praktis, Bandung: PT Angkasa Putra, I
Bandar Udara Adi Sucifto, Yogyakarta: Remaja Rosda Karya Offset, 1987
Syukur, Amin, Dzikir Fungsional, Suara Merdeka: Th.-No. XLII/319
Tarigan, Henry Guntur, Prinsip-prinsip Dasar sastra, Bandung: Angkasa 1986
Tasmara, Toto, Komunikasi Dakwah, Jakrta: Gaya MediaPratama, 1987
Wellek, Rene, Warren, Austin, Teori Kesusastraan, Jakarta: Pt Gramedia Pustaka Utama, 1983
Wijaya, Mangun, Sastra dan Religiositas, Yogyakarta: Kanisius, 1988
Wijoyo, Kunto, Paradigma Islam dan Interpensi untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1991
Yudiono, KS, Telaah Kritik Sastra Indonesia, Bandung: Bina Aksara, 1986
0 Comment