04 Mei 2012


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Akidah bagi setiap muslim merupakan salah satu aspek ajaran Islam yang wajib diyakini. Dalam al-Qur’an akidah disebut dengan al-Iman (percaya) yang sering digandengkan dengan al-Amal (perbuatan baik) tampaknya kedua unsur ini menggambarkan suatu integritas dalam ajaran Islam.
Dasar-dasar akidah Islam telah dijelaskan Nabi Muhammad Saw melalui pewahyuan al-Qur’an dan kumpulan sabdanya untuk umat manusia generasi muslim awal binaan Rasullullah Saw telah meyakini dan menghayati akidah ini meski belum diformulasikan sebagai suatu ilmu lantaran rumusan tersebut belum diperlukan.
Pada periode selanjutnya, persoalan akidah secara ilmiah dirumuskan oleh sarjana muslim yang dikenal dengan nama mutakallimun, hasil rumusan mutakallimun itu disebut kalam, secara harfiah disebut sabda Tuhan ilmu kalam berarti pembahasan tentang kalam Tuhan (al-Qur’an) jika kalam diartikan dengan kata manusia itu lantaran manusia sering bersilat lidah dan berdebat dengan kata-kata untuk mempertahankan pendapat masing-masing.
Kata kalam berkaitan dengan kata logos dalam bahasa Yunani yang berarti alasan atau argumen Ahmad Mahmud Shubhi mengutip defenisi ilmu kalam versi Ibnu Khaldun bahwa ilmu kalam ialah ilmu yang membahas tetang persoalan-persoalan dasar keimanan dengan menggunakan dalil akal dan menolak unsur-unsur bid’ah.
Dari defenisi dapat dipahami bahwa pembahasan ilmu kalam adalah untuk mempertahankan akidah. Dasar-dasar akidah yang termaktub di dalam al-Qur’an dianalisa dan dibahas lebih lanjut dengan menggunakan logika untuk mendapatkan keyakinan yang lebih kokoh.
Persoalan kalam lainnya yang menjadi bahan perdebatan diantara aliran-aliran kalam adalah masalah pelaku dosa besar, iman dan kufur, serta perbuatan tuhan dan perbuatan manusia.
Ketika sibuk menyoroti siapa yang masih dianggap beriman dan siapa yang kafir diantara pelaku tahkim, dan bagaimana nasib para pelaku dosa besar, para ulama kalam kemudian mencari jawaban atas pertanyaan siapa sebenarnya yang mengeluarkan perbuatan manusia, apakah Allah sendiri ? atau manusia sendiri ? atau kerja sama antara keduanya.
Masalah ini kemudian memunculkan aliran-aliran yang berbeda pendapat tentang hal itu, dan berbagai persoalan-persoalan yang masing-masing mereka memberikan dalil-dalil yang kuat dan bertanggung jawab.

B.     RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan pembahasan tentang perbandingan antar aliran, khususnya membahas tentang “Pelaku Dosa Besar, Iman dan Kufur dan Perbuatan Tuhan dan Perbuatan Manusia” dan permasalahannya dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Bagaimana perbandingan pelaku dosa besar menurut  aliran-aliran Kalam?
2.      Bagaimana perbandingan tentang Iman dan Kufur menurut aliran-aliran Kalam?
3.      Bagaimana perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia menurut aliran-aliran Kalam?
















BAB II
PEMBAHASAN

I. PERBANDINGAN ANTARA ALIRAN TERHADAP PELAKU DOSA BESAR
Persoalan kalam yang pertama kali terjadi adalah persoalan tentang iman dan kafir seseorang, dalam artian bahwa siapa yang masih beragama Islam dan siapa yang sudah keluar dari agama Islam itu sendiri. Menurut perkembangannya maka terjadi perdebatan dan persoalan antara paham tiap-tiap aliran tentang pelaku dosa besar, dalam hal ini status mereka di dalam dunia bahkan status mereka di akhirat kelak. Berikut adalah sedikit tentang pandangan aliran untuk status seseorang yang melakukan dosa besar:
A. Aliran Khawarij
            Aliran Khawarij yang dikenal adalah kelompok a;iran dalam islam yang timbul ketika peristiwa tahkim. Mereka memandang bahwa orang orang yang terlibat pada peristiwa itu adalah kafir. Adapun orang-orang yang terlibat adalah : Ali, Muawwiyah, Amr bin Ash, dan Musa Al-Asy’ari. Berdasarkan surah Alqur’an Surah Al-Maidah ayaat 44 yang berbunyi:
ومن لم يحكم بما انزل الله فاولئك هم الكافرون (الما ئدة)
Artinya: “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang kafir”. (QS. Al-Maidah :44).
Watak mereka yang ekstrimitas adalah salah satu yang menonjol dari paham aliran Khawarij ini dalam memutuskan persoalan-persoalan kalam. Hal ini mungkin disebabkan oleh watak kerasnya gurun pasir yang panas, juga dibangun atas dasar pemahaman tekstual atas nas-nas Al-Qur’an dan Hadits.
Semua pelaku dosa besar (murtabb al-kabirah), Menurut semua sub sekte khawarij kecuali najdah pelaku dosa besar adalah kafir dan akan di siksa di neraka selamanya, bahkan salah satu sub sekte khawarij yang ini adalah Azariqah, berpendapat bahwa pelaku dosa besar bukan hanya kafir melainkan musyrik, yang menurutnya musyrik itu lebih mengerikan dari pada kafir.
Menurut sub sekte Najdah mereka berpendapat musyrik kepada siapa pun yang secara berkesinambungan mengerjakan dosa kecil. Akan halnya dengan dosa besar, bila tidak dilakukan secara kontinu, pelakunya tidak dipandang sebagai musyrik tetapi hanya kafir. Namun apabila dilakukan secara terus menerus maka akan menjaadi dosa musyrik.
Walaupun secara umum subsekte aliran Khawarij sependapt bahwa pelaku dosa besar dianggap kafir, masing-masing berbeda pendapat tentang pelaku dosa besar yang diberi predikat kafir. Menurut subsekte Al-Muhakimat, Ali, Muawiyah, kedua pengantarnya (Amr bin Al-Ash dan Abu Musa Al-Asy’ari dan semua orang yang menyetujui peristiwa tahkim itu adalah bersalah dan menjadi kafir. Hukum ini pun mereka luaskan artinya sehingga orang yang berbuat dosa besar, berbuat zina, membunuh sesama manusia tanpaa sebab, dan dosa besar lainnya menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam.
Lain halnya dengan subsekte  Azaqirah mereka menghukumkan kafir tidak saja keada orang yang berbuat dosa besar melainkan juga terhadap orang yang tidak sejalan dengan mereka. pandangan yang berbeda juga dikemukakan oleh subsekte Najdah, merekaa berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar akan menjadi musyrik dan akan kekal di dalam neraka bagi orang yang tidak sefaham dengan pendapat mereka, tetapi bagi orang yang melakukan dosa besar dari kalangan kelomponya tetap mendapaatkan siksa di dalam neraka tetapi akhirnya nanti akan masuk ke dalam surga. Sementara itu subsekte As-Suriah membagi dosa besar menjadi dua bagian, yaitu dosa yang ada sanksinya di dunia, seperti membunuh dan berzina, dan dosa yang tak ada sanksinya di dunia, seperti meninggalkan salat dan puasa. Orang yang berbuat dosa kategori pertama tidak dipandang sebagai kafir sedangkan yang kedua dipandang kafir.
B. Aliran Murji’ah
Aliran Murji'ah berbeda pendapat mengenai pelaku dosa besar. Menurut murjiah yang bersifat ekstrim pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak akan di siksa di dalam neraka karena menurutnya perbuatan maksiat tidak adapat menggugurkan keimanan sebagaimana keta'atan tidak dapat membawa kekufuran. Diantara kalangan Murji’ah yang berpendapat serupa di atas adalah subsekte Al-Jamiyah, As-Salihiyah, dan Al-Yunusiyah. Merekaa berpendapat bahwa iman adalah tasdiq secara kalbu; bukan secara demonstratif, baik dalam ucapan maupun tindakan. Menurut murjiah yang moderat pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka ia tidak kekal didalamnya, bergantung pada ukuran dosa yang dilakukannya. Diantara yang masuk dalam kategori ini adalah Abu Hanifah dan pengikutnya. Pertimbangannya, pendapat Abu hanifah tentang pelaku dosa besar dan konsep iman tidak jauh berbeda dengan kelompok Murji’ah moderat lainnya. Ia berpendaat bahwa pelaku dosa besar masih tetap mukmin tetapi dosa yang diperbuatnya bukan berarti tidak berimplikasi. Seandainya masuk neraka, karena Allah menghendakinya, ia tak akan kekal di dalamnya.
C. Aliran Mu’tazillah
Aliran ini tidak menentukan status dan predikat yang pasti bagi pelaku dosa besar, apakah mereka tetap mukmin atau kafir. Menurutnya pelaku dosa besar berada di al-manzilah bain al-manzilatain atau berada di posisi tengah antara mukmin dan kafir. Menurutnya pelaku dosa besar yang meninggal dan tidak sempat bertaubat, dia akan kekal di neraka. Akan tetapi siksaan yang di terima lebih ringan dari pada siksaan pada orang kafir. Dalam perkembangannya, beberapa tokoh Mu’tazillah, seperti Wasil bin Atha dan Amr bin Ubaid memperjelas sebutan itu dengan istilah fasik bukan mukmin atau kafir.
Mu’tazillah berpandangan bahwa dosa besar itu adalah sesuatu perbuatan yang ancamannya tersebut di dalam nas, sedangkan dosa kecil adalah sebaliknya. Tampaknya Mu’tazillah menjadikan ancaman sebagai kriteria dasar bagi dosa besar maupun kecil.
D. Aliran Asy’ariyah
Terhadap pelaku dosa besar, agaknya Al-Asy’ari sebagai wakil ahli As-Sunnah, tidak mengkafirkan orang-orang yang sujud ke Baitullah walaupun melakukan dosa besar, seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar.

            Menurut aliran ini para pelaku dosa besar tidak kafir melainkan tetap mukmin akan tetapi juka dosa besar itu dilakukan dengan anggapan bahwa hal itu dibolehkan dan tidak meyakini keharamannya, maka ia telah di pandang kafir. Adapun balasan bagi mereka di akhirat kelak bergantung pada kebijakan tuhan yang maha berkehendak mutlak (bisa masuk surga dan bisa masuk neraka).



E. Aliran Maturidiyah
Aliran Maturidiyah, baik Samarkand maupun Bukhara, sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa besar masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan di dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak di akhirat menurut apa yang dilakukannya di dalam dunia. Segala keputusan diserahkan hanya kepada Allah SWT.
Aliran ini berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak kekal di neraka walaupun ia mati sebelum bertaubat. Hal ini karena tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di neraka merupakan balasan bagi orang kafir.
F. Aliran Syi’ah Zaidiyah

            Menurut aliran ini pelaku dosa besar akan kekal di neraka jika dia mati sebelum bertaubat dengan taubat yang sesungguhnya. Dalam hal ini, Syi’ah Zaidiyah memang dekat dengan Mu’tazillah. Ini bukan sesuatu yang aneh sebab, diceritakan bahwa Wasil bin Atha salah satu pemimpin Mu’tazillah, mempunyai hubungan dengan Zaid Moojan Momen nahakan mengatakan bahwa Zaid pernah belajar kepada Wasil bin Atha.

II. PERBANDINGAN ANTARA ALIRAN
 TENTANG IMAN DAN KUFUR
A. Konsep Iman dan Kufur
Perkataan iman berasal dari bahasa Arab yang berarti tashdiq (membenarkan), dan kufur – juga dari bahasa Arab – berarti takzib (mendustakan).
Menurut Hasan Hanafi, ada empat istilah kunci yang biasanya dipergunakan oleh para teologi muslim dalam membicarakan konsep iman, yaitu:
1. Ma’rifah bi al-aql, (mengetahui dengan akal).
2. Amal, perbuatan baik atau patuh.
3. Iqrar, pengakuan secara lisan, dan
4. Tashdiq, membenarkan dengan hati, termasuk pula di dalamnya ma’rifah bi al-qalb (mengetahui dengan hati).
Keempat istilah kunci di atas misalnya terdapat dalam hadis Nabi saw. Yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri:
من رأي منكم منكرا فليغيره بيده فان لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذالك أضعف الاءيمان (رواه مسلم)
Artinya:
Barang siapa di antara kalian yang melihat (marifah) kemungkaran, hendaklah mengambil tindakan secara fisik. Jika engkau tidak kuasa, lakukanlah dengan ucapanmu. Jika itu pun tidak mampu, lakukanlah dengan kalbumu. (Akan tetapi yang terakhir) ini merupakan iman yang paling lemah” (H.R. Muslim)
Dan kemudian di dalam pembahasan ilmu tauhid/kalam, konsep iman dan kufur ini terpilih menjadi tiga pendapat:
1. Iman adalah tashdiq di dalam hati dan kufur ialah mendustakan di dalam hati akan wujud Allah dan keberadaan nabi atau rasul Allah. Menurut konsep ini, iman dan kufur semata-mata urusan hati, bukan terlihat dari luar. Jika seseorang sudah tashdiq (membenarkan/meyakini) akan adanya Allah, ia sudah disebut beriman, sekalipun perbuatannya tidak sesuai dengan tuntunan ajaran agama.
Konsep Iman seperti ini dianut oleh mazhab Murjiah, sebagaian penganut Jahmiah, dan sebagaian kecil Asy’ariah.
2. Iman adalah tashdiq di dalam hati dan di ikrarkan dengan lidah. Dengan kata lain, seseorang bisa disebut beriman jika ia mempercayai dalam hatinya akan keberadaan Allah dan mengikrarkan (mengucapkan) kepercayaannya itu dengan lidah. Konsep ini juga tidak menghubungkan iman dengan amal perbuatan manusia. Yang penting tashdiq dan ikrar.
Konsep iman seperti ini dianut oleh sebagian pengikut Maturidiah
3. Iman adalah tashdiq di dalam hati, ikrar dengan lisan, dan dibuktikan dengan perbuatan, konsep ketiga ini mengaitkan perbuatan manusia dengan iman. Karena itu, keimanan seseorang ditentukan pula oleh amal perbuatannya. Konsep ini dianut oleh Mu’tazilah, Khawarij, dan lain-lain.
Dari uraian singkat diatas terlihat bahwa konsep iman di kalangan teolog Islam berbeda-beda. Ada yang hanya mengandung satu unsur, yaitu tashdiq, sebagaimana terlihat pada konsep pertama di atas. Ada yang mengandung dua unsur, tashdiq dan ikrar, seperti konsep nomor dua. Ada pula yang mengandung tiga unsur, tashdiq, ikrar, dan amaliah, sebagaimana konsep nomor tiga di atas.
Di samping masalah konsep iman dan kufur, pembahasan di dalam ilmu tauhid/kalam juga menyangkut masalah apakah iman.itu bisa bertambah atau berkurang atau tidak. Dalam hal ini ada dua pendapat.
1. Iman tidak bisa bertambah atau berkurang.
2. Iman bisa bertambah atau berkurang. Ulama yang berpendapat seperti ini terbagi pula kepada dua golongan:
a. Pendapat yang mengatakan bahwa yang bertambah atau berkurang itu adalah tashdiq dan amal.
b. Pendapat yang mengatakan bahwa yang bertambah dalam iman itu hanya tashdiqnya.
Pada umumnya para ulama berpendapat, iman itu dapat bertambah pada tashdiq dan amalnya. Tashdiq yang bertambah tentu diikuti oleh pertambahan frekuensi amal.
Menurut sebagian ulama, bertambah atau berkurangnya tashdiq seseorang tergantung kepada:
1. Wasilahnya. Kuat atau lemahnya dalil (bukti) yang sampai dan dterima oleh seseorang dapat menguatkan atau melemahkan tashdiq-nya;
2. Diri pribadi seseorang itu sendiri, dalam arti kemampuannya menyerap dalil-dalil keimanan. Makin kuat daya serapnya, makin kuat pula tashdiq-nya. Sebaliknya, jika daya serapnya lemah atau tidak baik, tashdiq-nya pun bisa lemah pula;
3. Pengamalan terhadap ajaran agama. Seseorang yang melaksanakan kewajiban-kewajiban agama dengan baik dan benar dan frekuensi amaliahnya tinggi, akan merasakan kekeuatan iman/tashdiq yang tinggi pula. Makin baik dan tinggi frekuensi amaliahnya, makin bertambah kuat iman/tashdiq-nya.
B. Perbandingan Antar Aliran: Iman dan Kufur
Akibat dari perbedan pandangan mengenai unsur-unsur iman, maka timbulah aliran-aliran teologi yang mengemukakan persoalan siapa yang beriman dan siapa yang kafir. Dapaun aliran-aliran tersebut adalah Khawarij, Murji’ah, Mu’tajilah, Asy’ariyah, Maturidiyah dan Ahlus Sunnah.
1. Khawarij
Iman dalam pandangan Khawarij, tidak semata-mata percaya kepada Allah, mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan. Segala perbuatan yang berbau religius, termasuk di dalamnya masalah kekeuasaan adalah bagian dari keimanan (al-amal juz’un al-iman).
Menurut Khawarij, orang yang tidak mengerjakan shalat, puasa, zakat dan lain-lain, maka orang itu kafir.
Tegasnya sekalian orang mukmin yang berbuat dosa, baik besar maupun kecil, maka orang itu kafir.
Tegasnya sekalian orang mukmin yang berbuat dosa, baik besar maupun kecil, maka orang itu kafir, wajib diperangi dan boleh dibunuh, oleh dirampas hartanya. Demikianlah menurut faham Khawarij.
Aliran Khwarij berpegang pada semboyan la hukma illa lillah menjadi asas bagi mereka dalam mengukur apakah seseorang masih mukmin atau sudah kafir. Asas itu membawa mereka kepada paham, setiap orang yang melakukan perbuataun dosa adalah kafir, karena tidak sesuai dengan hukum yang ditetapkan Allah. Dengan demikian, orang Islam yang berzina, membunuh sesama manusia tanpa sebab yang sah, memakan harta anak yatim, riba, dan dosa-dosa lainnya bukan lagi mukmin, ia telah kafir. Perbuatan dosa yang membawa kepada kafirnya seseorang menurut golongan ini terbatas pada dosa.
2. Murji’ah
Aliran Murji’ah berpendapat, orang yang melakukan dosa besar tetap mukmin. Adapun soal dosa besar yang mereka lakukan ditunda penyelesaiannya pada hari kiamat. Mereka berpendapat bahwa iman hanya pengakuan dalam hati sehingga orang tidak menjadi kafir karena melakukan dosa besar.
Berdasarkan pandangan mereka tentang iman, Abu-Hasan Al-Asy’ary mengklasifikasikan aliran teologi Murji’ah menjadi 12 subsekte, yaitu Al-Jahmiyah, Ash-Shalihiyah, Al-Yunusiyah, Asy-Syimriya, As-Saubaniyah, Ash-Salihiyah, AL-Yunusiyah, Asy-Syimriyah, As-Saubaniyah, An-Najjariyah, Al-Kailaniyah bin Syabib dan pengikutnya, Abu Hanifah dan pengikutnya, At-Tumaniyah, Al-Marisiyah, dan Al-Karramiyah. Sementara itu, harun Nasution dan Abu Zahrah membedakan Murji’ah menjadi dua kelompok utama, yaitu Murji’ah moderat (Murji’ah Sunnah) dan Murji’ah ekstrim (Murji’ah Bid’ah).
Namun kedua belas kelompok tersebut masing-masing memiliki pendapat mengenai Iman dan kufur. Dan aliran Mur’jiah ini kemudian berbeda anggapan tentang batasan kufur yang terpecah dalam tujuh kelompok.
a. Kelompok pertama ini beranggapan: kufur ini beranggapan: kufur itu merupakan sesuatu hal yang berkenaan dengan hati, dimana hati tidak mengenal (jahl) terhadap Allah swt. Adapun mereka yang beranggapan seperti ini ialah para pengikut kelompok Jahamiyyah.
b. Kelompok kedua ini beranggapan: kufur itu merupakan banyak hal yang berkenaan dengan hati ataupun selainnya, seperti tidak mengenal (Jahl) terhadap Allah swt, membenci dan sombong atas-Nya, mendustakan Allah dan rasul-Nya, menyepelekan Allah dan rasul-Nya, tidak mengakui Allah itu Esa dan menganggap-Nya lebih dari satu. Karena itu mereka pun menganggap bisa saja terjadi kekufuran tersebut, baik dengan hati ataupun lisan, tetapi bukan dengan perbuatan, dan begitupun iman.
Mereka pun beranggapan bahwa sesorang yang membunuh ataupun hanya menyakiti nabi dengan tidak karena mengingkarinya, tetapi hanya karena membunuh ataupun menyakiti itu semata, niscaya dia tidaklah disebut kufur. Begitupun seseorang yang meninggalkan kewajiban agama seperti halnya salah dengan tidak karena menghalalkannya, tetapi hanya karena meninggalkan salat itu semata, niscaya dia pun tidaklah disebut kufur.
Tetapi mereka beranggapan: kalau seseorang menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah, rasul-Nya dan juga orang-orang muslim, niscaya dia pun disebut kufur. Begitupun kalau seseorang beritikad dengan itikad yang menurut kesepakatan segenap orang muslim merupakan suatu kekufuran, atau berbuat dengan perbuatan yang merupakan suatu kekufuran. Niscaya dia pun disebut sebagai orang kafir.
c. Kelompok ketiga ini tidak dijelaskan.
d. Kelompok keempat itu beranggapan: Kufur terhadap Allah itu mendustakan-Nya, membangkang terhadap-Nya dan mengingkari-Nya secara lisan. Karena itu tidaklah kekufuran, kecuali dengan lisan dan bukan dengan selainnya. Adapun anggapan ini dikemukakan oleh Muhammad ibn karam dan para pengikutnya.
e. Kelompok kelima ini beranggapan: kufur itu membangkang melawan dan mengingkari Allah, baik sepenuh hati ataupun secara lisan.
f. Kelompok keenam ini ialah para pengikut Abu Syamr, dimana anggapan-anggapan mereka tentang kufur ini telah di kemukakan dalam uraian yang terdahulu, yang menyangkut anggapannya tentang tauhid dan qadar.
g. Kelompok ketujuh ini ialah para pengikut Muhammad ibn Syabib di mana anggapan-anggapan mereka tentang kufur ini pun telah dikemukakan dalam uraian yang terdahulu, yang menyangkut anggapannya tentang iman.
Adapun kebanyakan pengikut aliran Murji’ah tidak mengkufurkan seseorang yang mentakwilkan al-Quran, bahkan tidak pula mengkufurkan siapa pun selain yang kekufurannya itu telah disepakati orang-orang muslim.
3. Mu’tajilah
Menurut mereka iman adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada Tuhan. Jadi, orang yang membenarkan (tashdiq) tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban itu tidak dikatakan mukmin. Tegasnya iman adalah amal. Iman tidak berarti pasif, menerima apa yang dikatakan orang lain, iman mesti aktif karena akal mampu mengetahui kewajiban-kewajiban kepada Tuhan.
Kaum Mu’tajilah berpendapat bahwa orang mukmin yang mengerjakan dosa besar dan mati sebelum tobat, tidak lagi mukmin dan tidak pula kafir, tetapi dihukumi sebagai orang fasiq.
Di akhirat ia dimasukkan ke neraka untuk selama-lamanya, tetapi nerakanya agak dingin tidak seperti nerakanya orang kafir. Dan tidak pula berhak masuk surga. Jelasnya menurut kaum Mutazilah, orang mu’min yang berbuat dosa besar dan mati sebelum tobat, maka menempati tempat diantara dua tempat, yakni antara neraka dan surga (manzilatan bainal manzilatain).
4. Asy’ariyah
Agak pelik untuk memahami makana iman yang diberikan oleh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari sebab, di dalam karya-karyanya seperti Muqalat, Al-Ibanah, dan Al-Luma, ia mendefinisikan iman secara berbeda-beda. Dalam Muqalat dan Al-Ibanah disebutkan bahwa iman adalah qawl dan amal dan dapt bertambah dan berkurang. Dalam Al-Luma, iman diartikan sebagai tashdiq bi Allah.
Kaum Asy’ariyah – yang muncul sebagai reaksi terhadap kekerasan Mu’tazilah memaksakan paham khalq al-Quran – banyak membicarakan persoalan iman dan kufur. Asy’ariyah berpendapat bahwa akal manusia tidak bisa merupakan ma’rifah dan amal. Manusia dapat bahwa akal manusia tidak bisa merupakan ma’rifah dan amal. Manusia dapat mengetahui kewajiban hanya melalui wahyu bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan dan manusia harus menerimanya sebagai suatu kebenaran. Oleh karena itu, iman bagi mereka adalah tashdiq. Pendapat ini berbeda dengan kaum Khawarij dan Mu’tajilah tapi dekat dengan kaum Jabariyah.
Tasdiq menurut Asy’ariyah merupakan pengakuan dalam hati yang mengandung ma’rifah terhadap Allah (qaulun bi al-nafs ya tadhammanu a’rifatullah).
Mengenai penuturan dengan lidah (iqrar bi al-lisan) merupakan syarat iman, tetapi tidak termasuk hakikat iman yaitu tashdiq . argumentasi mereka istilah al-nahl, ayat 106.
من كفر بالله من بعد أيمانه الأمن أكره و قلبه مطمئن بالإيمان
Seseorang yang menuturkan kekafirannya dengan lidah dalam keadaan terpaksa, sedangkan hatinya tetap membenarkan Tuhan dan rasul-Nya, ia tetap dipandang mukmin. Karena pernyataan lidah itu bukan iman tapi amal yang berada di luar juzu’iman. Seseorang yang berdosa besar tetap mukmin karena iman tetap berada dalam hatinya.
5. Al-Maturidiyah
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan. Pengertian ini dikemukakan oleh Al-Maturidi sebagai bantahan terhadap al-Karamiyah, salah satu subsekte Murji’ah. Ia berargumentasi dengan ayat al-Quran surat al-Hujurat 14.
Ayat tersebut dipahami al-Maturidi sebagai suatu penegasan bahwa keimanan itu tidak cukup hanya dengan perkataan semata, tanpa diimani pula oleh kalbu. Apa yang diucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan lidah. Al-Maturidi tidak berhenti sampai di situ. Menurutnya, tashdiq, seperti yang dipahami di atas, harus diperoleh dari ma’rifah. Tashdiq hasil dari ma’rifah ini didapatkan melalui penalaran akal, bukan sekedar berdasarkan wahyu. Lebih lanjut, Al-Maturidi mendasari pandangannya pada dalil naqli surat Al-Baqarah ayat 260. Pada surat Al-Baqarah tersebut dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim meminta kepada Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan Nabi Ibrahim meminta kepada Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan menghidupkan orang yang sudah mati. Permintaan Ibrahim tersebut, lanjut Al-maturidi, tidaklah berarti bahwa Ibrahim belum beriman. Akan tetapi, Ibrahim mengharapkan agar iman yang telah dimilikinya dapat meningkat menjadi iman hasil ma’rifah. Jadi, menurut Al-Maturidi, iman adalah tashdiq yang berdasarkan ma’rifah. Meskipun demikian, ma’rifah menurutnya sama sekali bukan esensi iman, melainkan faktor penyebab kehadiran iman. Adapun pengertian iman menurut Maturidiyah Bukhara, seperti yang dijelaskan oleh Al-Bazdawi, adalah tashdiq bi al qalb dan tashdiq bi al-lisan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tashdiq bi al-qalb adalah meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya beserta risalah yang dibawanya. Adapun yang dimaksud demgan tashdiq al-lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok ajaran Islam secara verbal. Pendapat ini tampaknya tidak banyak berbeda dengan Asy’ariyah, yaitu sama-sama menempatkan tashdiq sebagai unsur esensial dari keimanan walaupun dengan pengungkapan yang berbeda.
6. Ahlus Sunnah
Menurut Ahlus Sunnah, Iman ialah mengikrarkan dengan lisan dan membenarkan dengan hati. Iman yang sempurna ialah mengikrarkan dengan lisan, membenarkan dengan hati dan mengerjakan dengan anggota.
Orang mukmin yang melakukan dosa besar dan mati sebelum tobat, maka orang itu tetap mukmin. Bila orang itu tidak mendapat ampunan dari Allah dan tidak pula mendapat syafa’at Nabi Muhammad saw untuk mendapatkan ampunan dari Allah swt maka orang itu dimasukkan ke neraka buat sementara, kemudian dikeluarkan dari neraka untuk dimasukkan ke surga.
Orang mukmin bisa menjadi kafir (murtad), karena mengingkari rukun iman yang enam, misalnya: ragu-ragu atas adanya Tuhan, menyembah kepada makhluk, menuduh kafir kepada orang Islam.




III. PERBANDINGAN ANTAR ALIRAN TENTANG PERBUATAN TUHAN DAN PERBUATAN MANUSIA
A. PERBUATAN TUHAN
Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa, mahakuasa dan Maha Berkehendak. Keyakinan demikian disepakati oleh semua umat Islam. Namun, mereka berbeda pendapat tentang kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan itu. Apakah kehendak dan kekuasaan Tuhan itu bersifat mutlak tanpa batas atau ada batas-batas tertentu sehingga Tuhan “tidak berkuasa mutlak”?.
Adapun berikut ini beberapa pendapat aliran-aliran mengenai kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, yaitu:
1. Mu’tazilah
Mu’tazilah, sebagai aliran rasionalis yang menempatkan akal pada posisi yang tinggi dan meyakini kemampuan akal untuk dapat memecahkan problema teologis, berpendapat, kekuasaan Tuhan tidak mutlak sepenuhnya. Kekuasaan-Nya dibatasi oleh Tuhan tidak mutlak sepenuhnya. Kekuasaan-Nya dibatasi oleh beberapa hal yang diciptakan-Nya sendiri. Hal-hal yang membatasi kekuasaan Tuhan tersebut antara lain adalah:
a)      Kewajiban tidak memberikan beban di luar kemampuan manusia.
b)      Kewajiban mengirimkan rasul.
c)      Kewajiban menepati janji (al-Wa;d) dan ancaman (al-Wa’id).
d)     Kebebasan dan kemerdekaan manusia untuk melakukan perbuatannya.
e)      Hukum alam. Allah menciptakan alam semesta ini dengan hukum-hukum tertentu yang bersifat tetap. Hukum-hukum itu biasanya dinamakan hukum alam. Dengan ketentuan tersebut, Tuhan tidak berkuasa mutlak lagi. Kekuasaanya-Nya dibatasi oleh hukum-hukum yang diciptakan-Nya sendiri.
Para pengikut Mu’tazillah berbeda anggapan, apakah perbuatan Allah SWT, itu berakhir atau tidak? Tentang hal ini mereka terpecah dalam dua anggapan:
      1.            Jaham ibn Shafwan beranggapan bahwa, segala sesuatu yang dikuasai dan diketahui Allah SWT itu niscaya berakhir, bahkan surge dan neraka beserta para penghuninya pun niscaya musnah akhirnya, sehingga tinggallah Allah SWT sendiri sebagai dzat yang maha akhir sebagaimana mulanya pun dia merupakan yang maha awal yang tiada sesuatu pun yang menyertai-Nya.
      2.            Para pengikut aliran Mu’tazillah lainnya beranggapan bahwa, surge dan neraka itu tidaklah berakhir, bahkan keduanya niscaya selalu kekal, begitupun dengan para penghuni surga itu pun niscaya kekal di dalam surganya mengenyam kenikmatan-kenikmatan yang dikaruniakan Allah, sebaliknya para penghuni neraka akan mendapat siksa yang ditimpakan Allah kepada mereka.
2. Asy’ariyah
Pendapat Mu’tazilah di atas bertolak belakang dengan pendapat Asy’ariyah. Menurut Asy’ariyah. Tuhan berkuasa mutlak atas segala-galanya. Tidak ada satupun yang membatasi kekuasaan-Nya itu. Karena kekuasaan Tuhan bersifat absolute, biasa saja Tuhan memasukkan orang jahat atau kafir ke dalam surga atau memasukkan orang mukmin yang saleh ke dalam nereka, jika hal itu memang dikehendaki-Nya. Apabila Tuhan berbuat demikian, menurut pendapat ini, bukan berarti Tuhan tidak adil. Keadilan Tuhan tidaklah berkurang dengan perbuatan-Nya itu sebab semua yang ada saja terhadap ciptaan dan milik-Nya.
Sebagai zat yang memiliki kekuasaan absolute dan mutlak, bagi Asy’ariyah, Tuhan tidak terikat dengan janji-janji, norma-norma keadilan, bahkan tidak terikat dengan janji-janji, norma-norma, bahkan tidak terikat dengan apa pun.
3. Maturidiyah
Sekalipun golongan ini tidak se ekstrem Asy’ariyah, yang memiliki paham yang dekat dengan Asy’ariyah. Golongan maturidiyyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak, namun kemutlakannya tidak semutlak paham yang dianut oleh Asy’ariyah kemudian kelompok Maturidiyyah ini terbagi menjadi Maturidiyyah Bukhara dan Maturidiyyah Samarkand Maturidiyyah Bukhara berpendapat bahwa:
Tuhan tidak mungkin melanggar janji-janji-Nya memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan menghukum orang yang berbuat jahat. Pendapat al-Bazdawi ini menunjukkan bahwa kekuasaan Tuhan tidak mutlak sepenuhnya sebagaimana pendapat Asy’ariyah sebab masih terkandung adanya kewajiban Tuhan, yaitu kewajiban menepati janji.
Kalau Maturidiyyah Bukhara lebih dekat kepada pemikiran Asy’ariyah. Maturidiyyah Samarkan lebih dekat kepada pemikiran Mu’tazilah sekalipun tidak seekstrim Mu’tazilah. Bagi golongan ini, Tuhan memang memiliki kekuasaan mutlak, namun kekuasaan-Nya dibatas oleh batasan yang diciptakan-Nya sendiri. Batasan-batasan tersebut, menurut Prof. Dr. Harun Nasution adalah:
a. Kemerdekaan dalam kemauan dan perbuatan yang, menurut pendapat mereka, ada pada manusia.
b. Keadaan Tuhan menjatuhkan hukuman bukan sewenang-wenang, tetapi berdasarkan atas kemerdekaan manusia dalam mempergenukan daya yang diciptakan Tuhan dalam dirinya utnuk berbuat baik atau berbuat jahat.
c. Keadaan hukuman-hukuman tuhan, sebagai kata al-Bazdawi, tak boleh tidak mesti terjadi.
B. PERBUATAN MANUSIA
Masalah perbuatan manusia bermula dari pembahasan sederhana yang dilakukan oleh kelompok Jabariyah dan kelompok Qadariyah, yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan lebih mendalam oleh aliran Mu’tazilah, Asyi’ariyah, Maturidiyah, dan Rafidhah.
Akar dari permasalahan perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk di dalamnya manusia sendiri. Tuhan bersifat Maha kuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Maka di sini timbullah pertanyaan, sampai di manakah manusia sebagai ciptaan Tuhan tergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan dalam menentukan perjalanan hidup?, dan apakah manusia terikat seluruhnya kepada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan?.

1. Aliran Jabariyah

Dalam pembahasan mengenai perbuatan manusia tampaknya ada perbedaan pandangan antara Jabariyah Ekstrim dan Jabariyah Moderat. Jabariyah Ekstrim berpendapat bahwa segala perbuatan manusia bukanlah merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi kemauan yang dipaksakan atas dirinya. Salah seorang tokoh Jabariyah Ekstrim, mengatakan bahwa manusia tidak mampu berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.
Jabariyah Moderat mengatakan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai peranan di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisition), menurut faham kasab manusia tidaklah majbur. Tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan. Tetapi manusia itu memperoleh perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan.

2. Aliran Qadariyah

Aliran Qadariyah menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik itu berbuat baik maupun berbuat jahat. Karena itu ia berhak menentukan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak memperoleh hukuman atas kejahatan yang telah ia perbuat.
Faham takdir dalam pandangan Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya untuk alam semesta beserta seluruh isinya yang dalam istilah al-Qur’an adalah Sunatullah.
Aliran Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin Islam sendiri banyak ayat al-Qur’an yang mendukung pendapat ini misalnya dalam surat al-Kahfi ayat ke-29 yang artinya : “Katakanlah, kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau, berimanlah dia, dan barang siapa yang ingin kafir maka kafirlah ia

3. Aliran Mu’tazilah

Aliran Mu’tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan bebas. Oleh karena itu, Mu’tazilah menganut faham Qadariyah atau free wil.l Menurut tokoh Mu’tazilah manusia yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Mu’tazilah dengan tegas menyatakan bahwa daya juga berasal dari manusia. Daya yang terdapat pada diri manusia adalah tempat terciptanya perbuatan. Jadi Tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan manusia.
Aliran Mu’tazilah mengecam keras faham yang mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan. Menurut mereka bagaimana mungkin dalam satu perbuatan akan ada dua daya yang menentukannya.
Aliran Mu’tazilah mengaku Tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan manusia berperan sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah bentuknya.
Untuk membela fahamnya, aliran Mu’tazillah mengungkapkan ayat sebagai berikut:
الذي احسن كل شئ خلقه (السجدة)
Artinya:
             “ Yang membuat segala sesuatu yang dia ciptakan sebaik-baiknya.” (QS. As-Sajadah : 32).
Disamping itu pula aliran ini mengemukakan argumentasi yang lain berupa:
a)      Kalau Allah menciptakan perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri tidak mempunyai perbuatan, maka batallah taklif syar’i, hal ini karena karena syari’at adalah ungkapan perintah dan larangan yang merupakan thalab. Pemenuhan thalab tidak terlepas dari kemampuan, kebebasan, dan pilihan.
b)      Kalau manusia tidak bebas untuk melakukan perbuatannya, runtuhlah teori pahala dan hukuman yang muncul dalam konsep al-Wa’ad dan al-Wa’id.
c)      Kalau manusia tidak mempunyai kebebasan dan pilihan,pengutusan para nabi tidak ada gunanya sama sekali.

4. Aliran Asy’ariyah

Dalam faham Asy’ari, manusia ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia diibaratkan anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalam hidupnya. Oleh karena itu Aliran ini lebih dekat dengan faham jabariyah daripada faham Mu’tazilah. Untuk menjelaskan dasar pijakannya, Asy’ari memakai teori Al-kasb (acquisition, perolehan), segala sesuatu terjadi dengan perentaraan daya yang diciptakan, sehingga menjadi perolehan dari muktasib (yang memperoleh kasb) untuk melakukan perbuatan, dimana manusia kehilangan keaktifan, yang mana manusia hanya bersikap pasif dalam perbuatan-perbuatannya. Untuk membela keyakinan tersebut Al-Asy’ari mengemukan dalil Al-qur’an sebagai berikut:
والله خلقكم وما تعملون (الصافا ت)
Artinya : “Tuhan menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat” (Q.S. Ash-shaffat : 96)
Aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan Allah, sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya, dengan demikian Kasb mempunyai pengertian penyertaan perbuatan dengan daya manusia yang baru. Ini implikasi bahwa perbuatan manusia dibarengi kehendaknya, dan bukan atas daya kehendaknya.

5. Aliran Maturidiyah

Mengenai perbuatan manusia ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah bukhara. Kelompok pertama lebih dekat dengan faham mu’tazilah, sedangkan kelompok kedua lebih dekat dengan faham Asy’ariya. Kehendak dan daya buat pada diri manusia manurut Maturidiyah Samarkand adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya, dan bukan dalam arti kiasan. Perbedaannya dengan Mu’tazilah adalah bahwa daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Daya yang demikian posisinya lebih kecil daripada daya yang terdapat dalam faham Mu’tazilah. Oleh karena itu, manusia dalam faham Al-Maturidi, tidaklah sebebas manusia dalam faham Mu’tazilah.
Maturidiyah bukhara dalam banyak hal sependapat dengan Maturidiyah Samarkand. Hanya saja golongan ini memberikan tambahan dalam masalah daya menurutnya untuk perwujudan perbuatan, perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan baginya.

6. Aliran Rafidhah

            Para pengikut Rafidhah berbeda anggapan tentang perbuatan manusia, apakah perbuatan itu merupakan sesuatu atau bukan? Dan apakah perbuatan itu merupakan jisim atau bukan?
      1.            Kelompok Hisyammiyah ialah para pengikut Hisyam ibn al-Hakam al-Rafidhi, dimana mereka beranggapan bahwa perbuatan-perbuatan itu merupakan sifat dari yang berbuat  bukan sebagai yang berbuat dan bukanlah selainnya, dan perbuatan itu pun bukan jisim, bukan pula sesuatu yang lain. Hisyam pernah berkata : “gerakan itulah perbuatan, sementara dia bukan perbuatan.”
      2.            Kelompok pengikut Hisyam ibn Salim al-Jawaliqi dan Syaithan al-Thaq, di mana mereka beranggapan bahwa gerakan, perbuatan dan diamnya hamba Allah itu merupakan sesuatu, bahkan merupakan jisim. Sehingga hal ini bukanlah sesuatu yang lain, kecuali sebagai jisim, di mana hamba tersebut sebenarnya membuat berbagai jisim.
      3.            Kelompok yang berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan manusia dan hewan itu merupakan jisim. Begitu pun anggapan mereka tentang warna, bau, suara ataupun semua sifat-sifat jisim.



BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam perkembangannya, Ilmu kalam berkembang dengan berbagai permasalahannya yang menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia, mulai dari permasalahan pelaku dosa besar, penentuan iman dan kufurnya manusia, dan juga tentang perbuatan Tuhan dan manusia yang aliran-aliran dalam Ilmu Kalam mempunyai pendapat yang berlainan.
Aliran-aliran dalam Ilmu Kalam masing-masing mempunyai pendapat yang berlandaskan kepada dalil-dalil Naqli dan Aqli, oleh sebab itu masing-masing mereka tidak dapat disalahkan atau bahkan mencap salah satu mereka adalah aliran sesat.
Siapa yang benar dan salah, hanyalah Allah yang tahu semuanya, dan kita akan mengetahui semuanya itu kelak di negeri akhirat.

B. Saran
Sebagai umat Islam yang mempunyai Ukhuah Islamiyah yang tinggi sebaiknya kita mengetahui semua tentang pendapat-pendapat antar aliran, agar kita dapat memilah dan memilih mana yang sebaiknya kita ikuti tetapi jangan menganggap rendah aliran yang menurut kita tidak sejalan dengan keyakinan kita.

0 Comment