BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Akidah bagi setiap muslim merupakan
salah satu aspek ajaran Islam yang wajib diyakini. Dalam al-Qur’an akidah
disebut dengan al-Iman (percaya) yang sering digandengkan dengan al-Amal
(perbuatan baik) tampaknya kedua unsur ini menggambarkan suatu integritas dalam
ajaran Islam.
Dasar-dasar akidah Islam telah
dijelaskan Nabi Muhammad Saw melalui pewahyuan al-Qur’an dan kumpulan sabdanya
untuk umat manusia generasi muslim awal binaan Rasullullah Saw telah meyakini
dan menghayati akidah ini meski belum diformulasikan sebagai suatu ilmu
lantaran rumusan tersebut belum diperlukan.
Pada periode selanjutnya, persoalan
akidah secara ilmiah dirumuskan oleh sarjana muslim yang dikenal dengan nama mutakallimun,
hasil rumusan mutakallimun itu disebut kalam, secara harfiah disebut
sabda Tuhan ilmu kalam berarti pembahasan tentang kalam Tuhan (al-Qur’an) jika
kalam diartikan dengan kata manusia itu lantaran manusia sering bersilat lidah
dan berdebat dengan kata-kata untuk mempertahankan pendapat masing-masing.
Kata kalam berkaitan dengan kata
logos dalam bahasa Yunani yang berarti alasan atau argumen Ahmad Mahmud Shubhi
mengutip defenisi ilmu kalam versi Ibnu Khaldun bahwa ilmu kalam ialah ilmu
yang membahas tetang persoalan-persoalan dasar keimanan dengan menggunakan
dalil akal dan menolak unsur-unsur bid’ah.
Dari defenisi dapat dipahami bahwa
pembahasan ilmu kalam adalah untuk mempertahankan akidah. Dasar-dasar akidah
yang termaktub di dalam al-Qur’an dianalisa dan dibahas lebih lanjut dengan
menggunakan logika untuk mendapatkan keyakinan yang lebih kokoh.
Persoalan kalam lainnya yang menjadi bahan perdebatan
diantara aliran-aliran kalam adalah masalah pelaku dosa besar, iman dan kufur,
serta perbuatan tuhan dan perbuatan manusia.
Ketika sibuk menyoroti siapa yang masih
dianggap beriman dan siapa yang kafir diantara pelaku tahkim, dan bagaimana nasib para pelaku dosa
besar, para ulama kalam kemudian mencari jawaban atas pertanyaan
siapa sebenarnya yang mengeluarkan perbuatan manusia, apakah Allah sendiri ?
atau manusia sendiri ? atau kerja sama antara keduanya.
Masalah ini kemudian memunculkan
aliran-aliran yang berbeda pendapat tentang hal itu, dan berbagai
persoalan-persoalan yang masing-masing mereka memberikan dalil-dalil yang kuat dan bertanggung jawab.
B. RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan pembahasan
tentang perbandingan antar aliran, khususnya membahas tentang “Pelaku Dosa
Besar, Iman dan Kufur dan Perbuatan Tuhan dan Perbuatan Manusia” dan
permasalahannya dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana perbandingan pelaku dosa
besar menurut aliran-aliran Kalam?
2. Bagaimana perbandingan tentang Iman
dan Kufur menurut aliran-aliran Kalam?
3. Bagaimana perbuatan Tuhan dan
perbuatan manusia menurut aliran-aliran Kalam?
BAB II
PEMBAHASAN
I. PERBANDINGAN ANTARA ALIRAN TERHADAP PELAKU DOSA BESAR
Persoalan kalam yang pertama kali terjadi adalah persoalan
tentang iman dan kafir seseorang, dalam artian bahwa siapa yang masih beragama
Islam dan siapa yang sudah keluar dari agama Islam itu sendiri. Menurut
perkembangannya maka terjadi perdebatan dan persoalan antara paham tiap-tiap
aliran tentang pelaku dosa besar, dalam hal ini status mereka di dalam dunia
bahkan status mereka di akhirat kelak. Berikut adalah sedikit tentang pandangan
aliran untuk status seseorang yang melakukan dosa besar:
A.
Aliran Khawarij
Aliran Khawarij yang dikenal adalah
kelompok a;iran dalam islam yang timbul ketika peristiwa tahkim. Mereka
memandang bahwa orang orang yang terlibat pada peristiwa itu adalah kafir.
Adapun orang-orang yang terlibat adalah : Ali, Muawwiyah, Amr bin Ash, dan Musa
Al-Asy’ari. Berdasarkan surah Alqur’an Surah Al-Maidah ayaat 44 yang berbunyi:
ومن لم يحكم بما انزل الله فاولئك هم الكافرون (الما ئدة)
Artinya:
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka
mereka adalah orang-orang kafir”. (QS. Al-Maidah :44).
Watak mereka yang ekstrimitas adalah salah satu yang
menonjol dari paham aliran Khawarij ini dalam memutuskan persoalan-persoalan
kalam. Hal ini mungkin disebabkan oleh watak kerasnya gurun pasir yang panas,
juga dibangun atas dasar pemahaman tekstual atas nas-nas Al-Qur’an dan Hadits.
Semua pelaku dosa besar (murtabb al-kabirah), Menurut
semua sub sekte khawarij kecuali najdah pelaku dosa besar adalah kafir dan akan
di siksa di neraka selamanya, bahkan salah satu sub sekte khawarij yang ini
adalah Azariqah, berpendapat bahwa pelaku dosa besar bukan hanya kafir
melainkan musyrik, yang menurutnya musyrik itu lebih mengerikan dari pada
kafir.
Menurut sub sekte Najdah mereka berpendapat musyrik kepada
siapa pun yang secara berkesinambungan mengerjakan dosa kecil. Akan halnya
dengan dosa besar, bila tidak dilakukan secara kontinu, pelakunya tidak
dipandang sebagai musyrik tetapi hanya kafir. Namun apabila dilakukan secara
terus menerus maka akan menjaadi dosa musyrik.
Walaupun secara umum subsekte aliran Khawarij sependapt
bahwa pelaku dosa besar dianggap kafir, masing-masing berbeda pendapat tentang
pelaku dosa besar yang diberi predikat kafir. Menurut subsekte Al-Muhakimat,
Ali, Muawiyah, kedua pengantarnya (Amr bin Al-Ash dan Abu Musa Al-Asy’ari
dan semua orang yang menyetujui peristiwa tahkim itu adalah bersalah dan
menjadi kafir. Hukum ini pun mereka luaskan artinya sehingga orang yang berbuat
dosa besar, berbuat zina, membunuh sesama manusia tanpaa sebab, dan dosa besar
lainnya menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam.
Lain halnya dengan subsekte Azaqirah mereka
menghukumkan kafir tidak saja keada orang yang berbuat dosa besar melainkan
juga terhadap orang yang tidak sejalan dengan mereka. pandangan yang berbeda
juga dikemukakan oleh subsekte Najdah, merekaa berpendapat bahwa orang
yang melakukan dosa besar akan menjadi musyrik dan akan kekal di dalam neraka
bagi orang yang tidak sefaham dengan pendapat mereka, tetapi bagi orang yang
melakukan dosa besar dari kalangan kelomponya tetap mendapaatkan siksa di dalam
neraka tetapi akhirnya nanti akan masuk ke dalam surga. Sementara itu subsekte
As-Suriah membagi dosa besar menjadi dua bagian, yaitu dosa yang ada sanksinya
di dunia, seperti membunuh dan berzina, dan dosa yang tak ada sanksinya di
dunia, seperti meninggalkan salat dan puasa. Orang yang berbuat dosa kategori
pertama tidak dipandang sebagai kafir sedangkan yang kedua dipandang kafir.
B.
Aliran Murji’ah
Aliran Murji'ah berbeda pendapat mengenai pelaku dosa besar.
Menurut murjiah yang bersifat ekstrim pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak
akan di siksa di dalam neraka karena menurutnya perbuatan maksiat tidak adapat
menggugurkan keimanan sebagaimana keta'atan tidak dapat membawa kekufuran.
Diantara kalangan Murji’ah yang berpendapat serupa di atas adalah subsekte
Al-Jamiyah, As-Salihiyah, dan Al-Yunusiyah. Merekaa berpendapat bahwa iman
adalah tasdiq secara kalbu; bukan secara demonstratif, baik dalam ucapan maupun
tindakan. Menurut murjiah yang moderat pelaku dosa besar tidaklah menjadi
kafir. Meskipun disiksa di neraka ia tidak kekal didalamnya, bergantung pada
ukuran dosa yang dilakukannya. Diantara yang masuk dalam
kategori ini adalah Abu Hanifah dan pengikutnya. Pertimbangannya, pendapat Abu
hanifah tentang pelaku dosa besar dan konsep iman tidak jauh berbeda dengan
kelompok Murji’ah moderat lainnya. Ia berpendaat bahwa pelaku dosa besar
masih tetap mukmin tetapi dosa yang diperbuatnya bukan berarti tidak
berimplikasi. Seandainya masuk neraka, karena Allah menghendakinya, ia tak akan
kekal di dalamnya.
C.
Aliran Mu’tazillah
Aliran ini tidak menentukan status dan predikat yang pasti
bagi pelaku dosa besar, apakah mereka tetap mukmin atau kafir. Menurutnya
pelaku dosa besar berada di al-manzilah bain al-manzilatain atau berada di
posisi tengah antara mukmin dan kafir. Menurutnya pelaku dosa besar yang
meninggal dan tidak sempat bertaubat, dia akan kekal di neraka. Akan tetapi
siksaan yang di terima lebih ringan dari pada siksaan pada orang kafir. Dalam
perkembangannya, beberapa tokoh Mu’tazillah, seperti Wasil bin Atha dan Amr bin
Ubaid memperjelas sebutan itu dengan istilah fasik bukan mukmin atau kafir.
Mu’tazillah berpandangan bahwa dosa besar itu adalah sesuatu
perbuatan yang ancamannya tersebut di dalam nas, sedangkan dosa kecil adalah
sebaliknya. Tampaknya Mu’tazillah menjadikan ancaman sebagai kriteria dasar
bagi dosa besar maupun kecil.
D.
Aliran Asy’ariyah
Terhadap pelaku dosa besar, agaknya Al-Asy’ari sebagai wakil
ahli As-Sunnah, tidak mengkafirkan orang-orang yang sujud ke Baitullah walaupun
melakukan dosa besar, seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih
tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun
berbuat dosa besar.
Menurut aliran ini para pelaku dosa besar tidak kafir melainkan tetap mukmin akan tetapi juka dosa besar itu dilakukan dengan anggapan bahwa hal itu dibolehkan dan tidak meyakini keharamannya, maka ia telah di pandang kafir. Adapun balasan bagi mereka di akhirat kelak bergantung pada kebijakan tuhan yang maha berkehendak mutlak (bisa masuk surga dan bisa masuk neraka).
E.
Aliran Maturidiyah
Aliran Maturidiyah, baik Samarkand maupun Bukhara, sepakat
menyatakan bahwa pelaku dosa besar masih tetap sebagai mukmin karena adanya
keimanan di dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak di akhirat
menurut apa yang dilakukannya di dalam dunia. Segala keputusan diserahkan hanya
kepada Allah SWT.
Aliran ini berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir
dan tidak kekal di neraka walaupun ia mati sebelum bertaubat. Hal ini karena
tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan
perbuatannya. Kekal di neraka merupakan balasan bagi orang kafir.
F.
Aliran Syi’ah Zaidiyah
Menurut aliran ini pelaku dosa besar akan kekal di neraka jika dia mati sebelum bertaubat dengan taubat yang sesungguhnya. Dalam hal ini, Syi’ah Zaidiyah memang dekat dengan Mu’tazillah. Ini bukan sesuatu yang aneh sebab, diceritakan bahwa Wasil bin Atha salah satu pemimpin Mu’tazillah, mempunyai hubungan dengan Zaid Moojan Momen nahakan mengatakan bahwa Zaid pernah belajar kepada Wasil bin Atha.
II. PERBANDINGAN ANTARA ALIRAN
TENTANG IMAN DAN KUFUR
A. Konsep Iman dan Kufur
Perkataan iman berasal dari bahasa Arab yang berarti tashdiq
(membenarkan), dan kufur – juga dari bahasa Arab – berarti takzib
(mendustakan).
Menurut Hasan Hanafi, ada empat istilah kunci yang biasanya
dipergunakan oleh para teologi muslim dalam membicarakan konsep iman, yaitu:
1. Ma’rifah
bi al-aql, (mengetahui dengan akal).
2. Amal,
perbuatan baik atau patuh.
3. Iqrar, pengakuan
secara lisan, dan
4. Tashdiq,
membenarkan dengan hati, termasuk pula di dalamnya ma’rifah bi al-qalb (mengetahui
dengan hati).
Keempat
istilah kunci di atas misalnya terdapat dalam hadis Nabi saw. Yang diriwayatkan
oleh Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri:
من رأي منكم منكرا فليغيره بيده فان
لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذالك أضعف الاءيمان (رواه مسلم)
Artinya:
“Barang siapa di antara kalian yang
melihat (marifah) kemungkaran, hendaklah mengambil tindakan secara fisik. Jika
engkau tidak kuasa, lakukanlah dengan ucapanmu. Jika itu pun tidak mampu,
lakukanlah dengan kalbumu. (Akan tetapi yang terakhir) ini merupakan iman yang
paling lemah” (H.R. Muslim)
Dan kemudian di dalam pembahasan ilmu tauhid/kalam, konsep
iman dan kufur ini terpilih menjadi tiga pendapat:
1. Iman
adalah tashdiq di dalam hati dan kufur ialah mendustakan di dalam hati
akan wujud Allah dan keberadaan nabi atau rasul Allah. Menurut konsep ini, iman
dan kufur semata-mata urusan hati, bukan terlihat dari luar. Jika seseorang
sudah tashdiq (membenarkan/meyakini) akan adanya Allah, ia sudah disebut
beriman, sekalipun perbuatannya tidak sesuai dengan tuntunan ajaran agama.
Konsep
Iman seperti ini dianut oleh mazhab Murjiah, sebagaian penganut Jahmiah, dan
sebagaian kecil Asy’ariah.
2. Iman
adalah tashdiq di dalam hati dan di ikrarkan dengan lidah. Dengan kata
lain, seseorang bisa disebut beriman jika ia mempercayai dalam hatinya akan
keberadaan Allah dan mengikrarkan (mengucapkan) kepercayaannya itu dengan
lidah. Konsep ini juga tidak menghubungkan iman dengan amal perbuatan manusia.
Yang penting tashdiq dan ikrar.
Konsep
iman seperti ini dianut oleh sebagian pengikut Maturidiah
3. Iman
adalah tashdiq di dalam hati, ikrar dengan lisan, dan dibuktikan dengan
perbuatan, konsep ketiga ini mengaitkan perbuatan manusia dengan iman. Karena
itu, keimanan seseorang ditentukan pula oleh amal perbuatannya. Konsep ini
dianut oleh Mu’tazilah, Khawarij, dan lain-lain.
Dari uraian singkat diatas terlihat bahwa konsep iman di
kalangan teolog Islam berbeda-beda. Ada yang hanya mengandung satu unsur, yaitu
tashdiq, sebagaimana terlihat pada konsep pertama di atas. Ada yang
mengandung dua unsur, tashdiq dan ikrar, seperti konsep nomor dua. Ada
pula yang mengandung tiga unsur, tashdiq, ikrar, dan amaliah,
sebagaimana konsep nomor tiga di atas.
Di samping masalah konsep iman dan kufur, pembahasan di
dalam ilmu tauhid/kalam juga menyangkut masalah apakah iman.itu bisa bertambah
atau berkurang atau tidak. Dalam hal ini ada dua pendapat.
1. Iman
tidak bisa bertambah atau berkurang.
2. Iman
bisa bertambah atau berkurang. Ulama yang berpendapat seperti ini terbagi pula
kepada dua golongan:
a.
Pendapat yang mengatakan bahwa yang bertambah atau berkurang itu adalah tashdiq
dan amal.
b.
Pendapat yang mengatakan bahwa yang bertambah dalam iman itu hanya tashdiqnya.
Pada
umumnya para ulama berpendapat, iman itu dapat bertambah pada tashdiq
dan amalnya. Tashdiq yang bertambah tentu diikuti oleh pertambahan
frekuensi amal.
Menurut sebagian ulama, bertambah atau berkurangnya tashdiq
seseorang tergantung kepada:
1.
Wasilahnya. Kuat atau lemahnya dalil (bukti) yang sampai dan dterima oleh
seseorang dapat menguatkan atau melemahkan tashdiq-nya;
2. Diri
pribadi seseorang itu sendiri, dalam arti kemampuannya menyerap dalil-dalil
keimanan. Makin kuat daya serapnya, makin kuat pula tashdiq-nya.
Sebaliknya, jika daya serapnya lemah atau tidak baik, tashdiq-nya pun
bisa lemah pula;
3.
Pengamalan terhadap ajaran agama. Seseorang yang melaksanakan
kewajiban-kewajiban agama dengan baik dan benar dan frekuensi amaliahnya
tinggi, akan merasakan kekeuatan iman/tashdiq yang tinggi pula. Makin
baik dan tinggi frekuensi amaliahnya, makin bertambah kuat iman/tashdiq-nya.
B. Perbandingan Antar Aliran: Iman
dan Kufur
Akibat dari perbedan pandangan mengenai unsur-unsur iman,
maka timbulah aliran-aliran teologi yang mengemukakan persoalan siapa yang
beriman dan siapa yang kafir. Dapaun aliran-aliran tersebut adalah Khawarij,
Murji’ah, Mu’tajilah, Asy’ariyah, Maturidiyah dan Ahlus Sunnah.
1.
Khawarij
Iman dalam pandangan Khawarij, tidak semata-mata percaya
kepada Allah, mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian
dari keimanan. Segala perbuatan yang berbau religius, termasuk di dalamnya
masalah kekeuasaan adalah bagian dari keimanan (al-amal juz’un al-iman).
Menurut Khawarij, orang yang tidak mengerjakan shalat,
puasa, zakat dan lain-lain, maka orang itu kafir.
Tegasnya sekalian orang mukmin yang berbuat dosa, baik besar
maupun kecil, maka orang itu kafir.
Tegasnya sekalian orang mukmin yang berbuat dosa, baik besar
maupun kecil, maka orang itu kafir, wajib diperangi dan boleh dibunuh, oleh
dirampas hartanya. Demikianlah menurut faham Khawarij.
Aliran Khwarij berpegang pada semboyan la hukma illa
lillah menjadi asas bagi mereka dalam mengukur apakah seseorang masih
mukmin atau sudah kafir. Asas itu membawa mereka kepada paham, setiap orang
yang melakukan perbuataun dosa adalah kafir, karena tidak sesuai dengan hukum
yang ditetapkan Allah. Dengan demikian, orang Islam yang berzina, membunuh
sesama manusia tanpa sebab yang sah, memakan harta anak yatim, riba, dan
dosa-dosa lainnya bukan lagi mukmin, ia telah kafir. Perbuatan dosa yang
membawa kepada kafirnya seseorang menurut golongan ini terbatas pada dosa.
2.
Murji’ah
Aliran Murji’ah berpendapat, orang yang melakukan dosa besar
tetap mukmin. Adapun soal dosa besar yang mereka lakukan ditunda
penyelesaiannya pada hari kiamat. Mereka berpendapat bahwa iman hanya pengakuan
dalam hati sehingga orang tidak menjadi kafir karena melakukan dosa besar.
Berdasarkan pandangan mereka tentang iman, Abu-Hasan
Al-Asy’ary mengklasifikasikan aliran teologi Murji’ah menjadi 12 subsekte,
yaitu Al-Jahmiyah, Ash-Shalihiyah, Al-Yunusiyah, Asy-Syimriya,
As-Saubaniyah, Ash-Salihiyah, AL-Yunusiyah, Asy-Syimriyah, As-Saubaniyah,
An-Najjariyah, Al-Kailaniyah bin Syabib dan pengikutnya, Abu Hanifah dan
pengikutnya, At-Tumaniyah, Al-Marisiyah, dan Al-Karramiyah. Sementara
itu, harun Nasution dan Abu Zahrah membedakan Murji’ah menjadi dua kelompok
utama, yaitu Murji’ah moderat (Murji’ah Sunnah) dan Murji’ah ekstrim
(Murji’ah Bid’ah).
Namun kedua belas kelompok tersebut masing-masing memiliki
pendapat mengenai Iman dan kufur. Dan aliran Mur’jiah ini kemudian berbeda
anggapan tentang batasan kufur yang terpecah dalam tujuh kelompok.
a.
Kelompok pertama ini beranggapan: kufur ini beranggapan: kufur itu merupakan
sesuatu hal yang berkenaan dengan hati, dimana hati tidak mengenal (jahl)
terhadap Allah swt. Adapun mereka yang beranggapan seperti ini ialah para
pengikut kelompok Jahamiyyah.
b.
Kelompok kedua ini beranggapan: kufur itu merupakan banyak hal yang berkenaan
dengan hati ataupun selainnya, seperti tidak mengenal (Jahl) terhadap
Allah swt, membenci dan sombong atas-Nya, mendustakan Allah dan rasul-Nya,
menyepelekan Allah dan rasul-Nya, tidak mengakui Allah itu Esa dan
menganggap-Nya lebih dari satu. Karena itu mereka pun menganggap bisa saja
terjadi kekufuran tersebut, baik dengan hati ataupun lisan, tetapi bukan dengan
perbuatan, dan begitupun iman.
Mereka
pun beranggapan bahwa sesorang yang membunuh ataupun hanya menyakiti nabi
dengan tidak karena mengingkarinya, tetapi hanya karena membunuh ataupun
menyakiti itu semata, niscaya dia tidaklah disebut kufur. Begitupun seseorang
yang meninggalkan kewajiban agama seperti halnya salah dengan tidak karena
menghalalkannya, tetapi hanya karena meninggalkan salat itu semata, niscaya dia
pun tidaklah disebut kufur.
Tetapi
mereka beranggapan: kalau seseorang menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah,
rasul-Nya dan juga orang-orang muslim, niscaya dia pun disebut kufur. Begitupun
kalau seseorang beritikad dengan itikad yang menurut kesepakatan segenap orang
muslim merupakan suatu kekufuran, atau berbuat dengan perbuatan yang merupakan
suatu kekufuran. Niscaya dia pun disebut sebagai orang kafir.
c.
Kelompok ketiga ini tidak dijelaskan.
d.
Kelompok keempat itu beranggapan: Kufur terhadap Allah itu mendustakan-Nya,
membangkang terhadap-Nya dan mengingkari-Nya secara lisan. Karena itu tidaklah
kekufuran, kecuali dengan lisan dan bukan dengan selainnya. Adapun anggapan ini
dikemukakan oleh Muhammad ibn karam dan para pengikutnya.
e.
Kelompok kelima ini beranggapan: kufur itu membangkang melawan dan mengingkari
Allah, baik sepenuh hati ataupun secara lisan.
f.
Kelompok keenam ini ialah para pengikut Abu Syamr, dimana anggapan-anggapan
mereka tentang kufur ini telah di kemukakan dalam uraian yang terdahulu, yang
menyangkut anggapannya tentang tauhid dan qadar.
g.
Kelompok ketujuh ini ialah para pengikut Muhammad ibn Syabib di mana
anggapan-anggapan mereka tentang kufur ini pun telah dikemukakan dalam uraian
yang terdahulu, yang menyangkut anggapannya tentang iman.
Adapun kebanyakan pengikut aliran Murji’ah tidak
mengkufurkan seseorang yang mentakwilkan al-Quran, bahkan tidak pula
mengkufurkan siapa pun selain yang kekufurannya itu telah disepakati
orang-orang muslim.
3.
Mu’tajilah
Menurut mereka iman adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban
kepada Tuhan. Jadi, orang yang membenarkan (tashdiq) tidak ada Tuhan
selain Allah dan Muhammad rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan
kewajiban-kewajiban itu tidak dikatakan mukmin. Tegasnya iman adalah amal. Iman
tidak berarti pasif, menerima apa yang dikatakan orang lain, iman mesti aktif
karena akal mampu mengetahui kewajiban-kewajiban kepada Tuhan.
Kaum Mu’tajilah berpendapat bahwa orang mukmin yang
mengerjakan dosa besar dan mati sebelum tobat, tidak lagi mukmin dan tidak pula
kafir, tetapi dihukumi sebagai orang fasiq.
Di akhirat ia dimasukkan ke neraka untuk selama-lamanya,
tetapi nerakanya agak dingin tidak seperti nerakanya orang kafir. Dan tidak
pula berhak masuk surga. Jelasnya menurut kaum Mutazilah, orang mu’min yang
berbuat dosa besar dan mati sebelum tobat, maka menempati tempat diantara dua
tempat, yakni antara neraka dan surga (manzilatan bainal manzilatain).
4.
Asy’ariyah
Agak pelik untuk memahami makana iman yang diberikan oleh
Abu Al-Hasan Al-Asy’ari sebab, di dalam karya-karyanya seperti Muqalat,
Al-Ibanah, dan Al-Luma, ia mendefinisikan iman secara berbeda-beda. Dalam Muqalat
dan Al-Ibanah disebutkan bahwa iman adalah qawl dan amal dan
dapt bertambah dan berkurang. Dalam Al-Luma, iman diartikan sebagai tashdiq
bi Allah.
Kaum Asy’ariyah – yang muncul sebagai reaksi terhadap
kekerasan Mu’tazilah memaksakan paham khalq al-Quran – banyak
membicarakan persoalan iman dan kufur. Asy’ariyah berpendapat bahwa akal
manusia tidak bisa merupakan ma’rifah dan amal. Manusia dapat bahwa akal
manusia tidak bisa merupakan ma’rifah dan amal. Manusia dapat mengetahui
kewajiban hanya melalui wahyu bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan dan
manusia harus menerimanya sebagai suatu kebenaran. Oleh karena itu, iman bagi
mereka adalah tashdiq. Pendapat ini berbeda dengan kaum Khawarij dan
Mu’tajilah tapi dekat dengan kaum Jabariyah.
Tasdiq menurut
Asy’ariyah merupakan pengakuan dalam hati yang mengandung ma’rifah terhadap
Allah (qaulun bi al-nafs ya tadhammanu a’rifatullah).
Mengenai penuturan dengan lidah (iqrar bi al-lisan)
merupakan syarat iman, tetapi tidak termasuk hakikat iman yaitu tashdiq .
argumentasi mereka istilah al-nahl, ayat 106.
من كفر بالله من بعد أيمانه الأمن
أكره و قلبه مطمئن بالإيمان
Seseorang yang menuturkan kekafirannya dengan lidah dalam
keadaan terpaksa, sedangkan hatinya tetap membenarkan Tuhan dan rasul-Nya, ia
tetap dipandang mukmin. Karena pernyataan lidah itu bukan iman tapi amal yang
berada di luar juzu’iman. Seseorang yang berdosa besar tetap mukmin karena iman
tetap berada dalam hatinya.
5. Al-Maturidiyah
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand
berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar
bi al-lisan. Pengertian ini dikemukakan oleh Al-Maturidi sebagai bantahan
terhadap al-Karamiyah, salah satu subsekte Murji’ah. Ia berargumentasi
dengan ayat al-Quran surat al-Hujurat 14.
Ayat tersebut dipahami al-Maturidi sebagai suatu penegasan
bahwa keimanan itu tidak cukup hanya dengan perkataan semata, tanpa diimani
pula oleh kalbu. Apa yang diucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman,
menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan lidah. Al-Maturidi tidak berhenti
sampai di situ. Menurutnya, tashdiq, seperti yang dipahami di atas,
harus diperoleh dari ma’rifah. Tashdiq hasil dari ma’rifah ini
didapatkan melalui penalaran akal, bukan sekedar berdasarkan wahyu. Lebih
lanjut, Al-Maturidi mendasari pandangannya pada dalil naqli surat Al-Baqarah
ayat 260. Pada surat Al-Baqarah tersebut dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim
meminta kepada Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan Nabi Ibrahim meminta
kepada Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan menghidupkan orang yang sudah
mati. Permintaan Ibrahim tersebut, lanjut Al-maturidi, tidaklah berarti bahwa
Ibrahim belum beriman. Akan tetapi, Ibrahim mengharapkan agar iman yang telah
dimilikinya dapat meningkat menjadi iman hasil ma’rifah. Jadi, menurut
Al-Maturidi, iman adalah tashdiq yang berdasarkan ma’rifah. Meskipun
demikian, ma’rifah menurutnya sama sekali bukan esensi iman, melainkan
faktor penyebab kehadiran iman. Adapun pengertian iman menurut Maturidiyah
Bukhara, seperti yang dijelaskan oleh Al-Bazdawi, adalah tashdiq bi al
qalb dan tashdiq bi al-lisan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tashdiq
bi al-qalb adalah meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah
dan rasul-rasul yang diutus-Nya beserta risalah yang dibawanya. Adapun yang
dimaksud demgan tashdiq al-lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok
ajaran Islam secara verbal. Pendapat ini tampaknya tidak banyak berbeda dengan Asy’ariyah,
yaitu sama-sama menempatkan tashdiq sebagai unsur esensial dari
keimanan walaupun dengan pengungkapan yang berbeda.
6. Ahlus
Sunnah
Menurut Ahlus Sunnah, Iman ialah mengikrarkan dengan lisan
dan membenarkan dengan hati. Iman yang sempurna ialah mengikrarkan dengan
lisan, membenarkan dengan hati dan mengerjakan dengan anggota.
Orang mukmin yang melakukan dosa besar dan mati sebelum
tobat, maka orang itu tetap mukmin. Bila orang itu tidak mendapat ampunan dari
Allah dan tidak pula mendapat syafa’at Nabi Muhammad saw untuk mendapatkan
ampunan dari Allah swt maka orang itu dimasukkan ke neraka buat sementara,
kemudian dikeluarkan dari neraka untuk dimasukkan ke surga.
Orang mukmin bisa menjadi kafir (murtad), karena mengingkari
rukun iman yang enam, misalnya: ragu-ragu atas adanya Tuhan, menyembah kepada
makhluk, menuduh kafir kepada orang Islam.
III. PERBANDINGAN ANTAR ALIRAN TENTANG PERBUATAN TUHAN DAN
PERBUATAN MANUSIA
A. PERBUATAN TUHAN
Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa, mahakuasa dan Maha
Berkehendak. Keyakinan demikian disepakati oleh semua umat Islam. Namun, mereka
berbeda pendapat tentang kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan itu. Apakah
kehendak dan kekuasaan Tuhan itu bersifat mutlak tanpa batas atau ada
batas-batas tertentu sehingga Tuhan “tidak berkuasa mutlak”?.
Adapun berikut ini beberapa pendapat aliran-aliran mengenai
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, yaitu:
1.
Mu’tazilah
Mu’tazilah, sebagai aliran rasionalis yang menempatkan akal
pada posisi yang tinggi dan meyakini kemampuan akal untuk dapat memecahkan
problema teologis, berpendapat, kekuasaan Tuhan tidak mutlak sepenuhnya.
Kekuasaan-Nya dibatasi oleh Tuhan tidak mutlak sepenuhnya. Kekuasaan-Nya
dibatasi oleh beberapa hal yang diciptakan-Nya sendiri. Hal-hal yang membatasi
kekuasaan Tuhan tersebut antara lain adalah:
a) Kewajiban tidak memberikan beban di
luar kemampuan manusia.
b) Kewajiban mengirimkan rasul.
c) Kewajiban menepati janji (al-Wa;d)
dan ancaman (al-Wa’id).
d) Kebebasan dan kemerdekaan manusia
untuk melakukan perbuatannya.
e) Hukum alam. Allah menciptakan alam
semesta ini dengan hukum-hukum tertentu yang bersifat tetap. Hukum-hukum itu
biasanya dinamakan hukum alam. Dengan ketentuan tersebut, Tuhan tidak berkuasa
mutlak lagi. Kekuasaanya-Nya dibatasi oleh hukum-hukum yang diciptakan-Nya
sendiri.
Para pengikut Mu’tazillah berbeda anggapan, apakah perbuatan
Allah SWT, itu berakhir atau tidak? Tentang hal ini mereka terpecah dalam dua
anggapan:
1.
Jaham ibn Shafwan beranggapan bahwa,
segala sesuatu yang dikuasai dan diketahui Allah SWT itu niscaya berakhir,
bahkan surge dan neraka beserta para penghuninya pun niscaya musnah akhirnya,
sehingga tinggallah Allah SWT sendiri sebagai dzat yang maha akhir sebagaimana
mulanya pun dia merupakan yang maha awal yang tiada sesuatu pun yang
menyertai-Nya.
2.
Para pengikut aliran Mu’tazillah lainnya
beranggapan bahwa, surge dan neraka itu tidaklah berakhir, bahkan keduanya
niscaya selalu kekal, begitupun dengan para penghuni surga itu pun niscaya
kekal di dalam surganya mengenyam kenikmatan-kenikmatan yang dikaruniakan
Allah, sebaliknya para penghuni neraka akan mendapat siksa yang ditimpakan Allah
kepada mereka.
2.
Asy’ariyah
Pendapat Mu’tazilah di atas bertolak belakang dengan
pendapat Asy’ariyah. Menurut Asy’ariyah. Tuhan berkuasa mutlak atas
segala-galanya. Tidak ada satupun yang membatasi kekuasaan-Nya itu. Karena
kekuasaan Tuhan bersifat absolute, biasa saja Tuhan memasukkan orang jahat atau
kafir ke dalam surga atau memasukkan orang mukmin yang saleh ke dalam nereka,
jika hal itu memang dikehendaki-Nya. Apabila Tuhan berbuat demikian, menurut
pendapat ini, bukan berarti Tuhan tidak adil. Keadilan Tuhan tidaklah berkurang
dengan perbuatan-Nya itu sebab semua yang ada saja terhadap ciptaan dan
milik-Nya.
Sebagai zat yang memiliki kekuasaan absolute dan mutlak,
bagi Asy’ariyah, Tuhan tidak terikat dengan janji-janji, norma-norma keadilan,
bahkan tidak terikat dengan janji-janji, norma-norma, bahkan tidak terikat
dengan apa pun.
3.
Maturidiyah
Sekalipun golongan ini tidak se ekstrem Asy’ariyah, yang
memiliki paham yang dekat dengan Asy’ariyah. Golongan maturidiyyah berpendapat
bahwa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak, namun kemutlakannya tidak semutlak paham
yang dianut oleh Asy’ariyah kemudian kelompok Maturidiyyah ini terbagi menjadi
Maturidiyyah Bukhara dan Maturidiyyah Samarkand Maturidiyyah Bukhara
berpendapat bahwa:
Tuhan tidak mungkin melanggar janji-janji-Nya memberi pahala
kepada orang yang berbuat baik dan menghukum orang yang berbuat jahat. Pendapat
al-Bazdawi ini menunjukkan bahwa kekuasaan Tuhan tidak mutlak sepenuhnya
sebagaimana pendapat Asy’ariyah sebab masih terkandung adanya kewajiban Tuhan,
yaitu kewajiban menepati janji.
Kalau Maturidiyyah Bukhara lebih dekat kepada pemikiran
Asy’ariyah. Maturidiyyah Samarkan lebih dekat kepada pemikiran Mu’tazilah
sekalipun tidak seekstrim Mu’tazilah. Bagi golongan ini, Tuhan memang memiliki
kekuasaan mutlak, namun kekuasaan-Nya dibatas oleh batasan yang diciptakan-Nya
sendiri. Batasan-batasan tersebut, menurut Prof. Dr. Harun Nasution adalah:
a.
Kemerdekaan dalam kemauan dan perbuatan yang, menurut pendapat mereka, ada pada
manusia.
b. Keadaan
Tuhan menjatuhkan hukuman bukan sewenang-wenang, tetapi berdasarkan atas
kemerdekaan manusia dalam mempergenukan daya yang diciptakan Tuhan dalam
dirinya utnuk berbuat baik atau berbuat jahat.
c. Keadaan
hukuman-hukuman tuhan, sebagai kata al-Bazdawi, tak boleh tidak mesti terjadi.
B. PERBUATAN MANUSIA
Masalah perbuatan manusia bermula dari
pembahasan sederhana yang dilakukan oleh kelompok Jabariyah dan kelompok
Qadariyah, yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan lebih mendalam oleh
aliran Mu’tazilah, Asyi’ariyah,
Maturidiyah, dan Rafidhah.
Akar dari permasalahan perbuatan
manusia adalah keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk di
dalamnya manusia sendiri. Tuhan bersifat Maha kuasa dan mempunyai kehendak yang
bersifat mutlak. Maka di sini timbullah pertanyaan, sampai di manakah manusia
sebagai ciptaan Tuhan tergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan dalam
menentukan perjalanan hidup?, dan apakah manusia terikat seluruhnya kepada
kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan?.
1. Aliran Jabariyah
Dalam pembahasan mengenai perbuatan
manusia tampaknya ada perbedaan pandangan antara Jabariyah Ekstrim dan
Jabariyah Moderat. Jabariyah Ekstrim berpendapat bahwa segala perbuatan manusia
bukanlah merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi
kemauan yang dipaksakan atas dirinya. Salah seorang tokoh Jabariyah Ekstrim,
mengatakan bahwa manusia tidak mampu berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya,
tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.
Jabariyah Moderat mengatakan bahwa
Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan
baik, tetapi manusia mempunyai peranan di dalamnya. Tenaga yang diciptakan
dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang
dimaksud dengan kasab (acquisition), menurut faham kasab manusia
tidaklah majbur. Tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan
tidak pula menjadi pencipta perbuatan. Tetapi manusia itu memperoleh perbuatan
yang diciptakan oleh Tuhan.
2. Aliran Qadariyah
Aliran Qadariyah menyatakan bahwa
segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia
mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya
sendiri, baik itu berbuat baik maupun berbuat jahat. Karena itu ia berhak
menentukan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak memperoleh
hukuman atas kejahatan yang telah ia perbuat.
Faham takdir dalam pandangan Qadariyah,
takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya untuk alam semesta
beserta seluruh isinya yang dalam istilah al-Qur’an adalah Sunatullah.
Aliran Qadariyah berpendapat bahwa
tidak ada alasan yang tepat menyandarkan segala perbuatan manusia kepada
perbuatan Tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin
Islam sendiri banyak ayat al-Qur’an yang mendukung pendapat ini misalnya dalam
surat al-Kahfi ayat ke-29 yang artinya : “Katakanlah, kebenaran dari
Tuhanmu, barang siapa yang mau, berimanlah dia, dan barang siapa yang ingin
kafir maka kafirlah ia”
3. Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah memandang manusia
mempunyai daya yang besar dan bebas. Oleh karena itu, Mu’tazilah menganut faham
Qadariyah atau free wil.l Menurut tokoh Mu’tazilah manusia yang menciptakan
perbuatan-perbuatannya. Mu’tazilah dengan tegas menyatakan bahwa daya juga
berasal dari manusia. Daya yang terdapat pada diri manusia adalah tempat
terciptanya perbuatan. Jadi Tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan manusia.
Aliran Mu’tazilah mengecam keras faham
yang mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan. Menurut mereka
bagaimana mungkin dalam satu perbuatan akan ada dua daya yang menentukannya.
Aliran Mu’tazilah mengaku Tuhan sebagai
pencipta awal, sedangkan manusia berperan sebagai pihak yang berkreasi untuk
mengubah bentuknya.
Untuk membela fahamnya, aliran Mu’tazillah mengungkapkan
ayat sebagai berikut:
الذي احسن كل شئ خلقه (السجدة)
Artinya:
“ Yang membuat segala sesuatu yang dia ciptakan sebaik-baiknya.” (QS.
As-Sajadah : 32).
Disamping itu pula aliran ini mengemukakan argumentasi yang
lain berupa:
a)
Kalau Allah menciptakan perbuatan
manusia, sedangkan manusia sendiri tidak mempunyai perbuatan, maka batallah taklif
syar’i, hal ini karena karena syari’at adalah ungkapan perintah dan
larangan yang merupakan thalab. Pemenuhan thalab tidak terlepas dari kemampuan,
kebebasan, dan pilihan.
b)
Kalau manusia tidak bebas untuk
melakukan perbuatannya, runtuhlah teori pahala dan hukuman yang muncul dalam
konsep al-Wa’ad dan al-Wa’id.
c)
Kalau manusia tidak mempunyai
kebebasan dan pilihan,pengutusan para nabi tidak ada gunanya sama sekali.
4. Aliran Asy’ariyah
Dalam faham Asy’ari, manusia
ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia diibaratkan anak kecil yang tidak
memiliki pilihan dalam hidupnya. Oleh karena itu Aliran ini lebih dekat dengan
faham jabariyah daripada faham Mu’tazilah. Untuk menjelaskan dasar pijakannya,
Asy’ari memakai teori Al-kasb (acquisition, perolehan), segala sesuatu terjadi
dengan perentaraan daya yang diciptakan, sehingga menjadi perolehan dari
muktasib (yang memperoleh kasb) untuk melakukan perbuatan, dimana manusia
kehilangan keaktifan, yang mana manusia hanya bersikap pasif dalam
perbuatan-perbuatannya. Untuk membela keyakinan tersebut Al-Asy’ari mengemukan
dalil Al-qur’an sebagai
berikut:
والله خلقكم وما تعملون (الصافا ت)
Artinya : “Tuhan menciptakan kamu dan apa yang kamu
perbuat” (Q.S. Ash-shaffat : 96)
Aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa
perbuatan manusia diciptakan Allah, sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek
untuk mewujudkannya, dengan demikian Kasb mempunyai pengertian penyertaan
perbuatan dengan daya manusia yang baru. Ini implikasi bahwa perbuatan manusia
dibarengi kehendaknya, dan bukan atas daya kehendaknya.
5. Aliran Maturidiyah
Mengenai perbuatan manusia ini,
terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah
bukhara. Kelompok pertama lebih dekat dengan faham mu’tazilah, sedangkan
kelompok kedua lebih dekat dengan faham Asy’ariya. Kehendak dan daya buat pada
diri manusia manurut Maturidiyah Samarkand adalah kehendak dan daya manusia
dalam arti kata sebenarnya, dan bukan dalam arti kiasan. Perbedaannya dengan
Mu’tazilah adalah bahwa daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi
bersama-sama dengan perbuatannya. Daya yang demikian posisinya lebih kecil
daripada daya yang terdapat dalam faham Mu’tazilah. Oleh karena itu, manusia
dalam faham Al-Maturidi, tidaklah sebebas manusia dalam faham Mu’tazilah.
Maturidiyah bukhara dalam banyak hal
sependapat dengan Maturidiyah Samarkand. Hanya saja golongan ini memberikan
tambahan dalam masalah daya menurutnya untuk perwujudan perbuatan, perlu ada
dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan yang telah
diciptakan Tuhan baginya.
6.
Aliran Rafidhah
Para pengikut Rafidhah berbeda anggapan tentang perbuatan manusia, apakah perbuatan
itu merupakan sesuatu atau bukan? Dan apakah perbuatan itu merupakan jisim atau
bukan?
1.
Kelompok Hisyammiyah ialah para
pengikut Hisyam ibn al-Hakam al-Rafidhi, dimana mereka beranggapan bahwa
perbuatan-perbuatan itu merupakan sifat dari yang berbuat bukan sebagai
yang berbuat dan bukanlah selainnya, dan perbuatan itu pun bukan jisim, bukan
pula sesuatu yang lain. Hisyam pernah berkata : “gerakan itulah perbuatan,
sementara dia bukan perbuatan.”
2.
Kelompok pengikut Hisyam ibn Salim
al-Jawaliqi dan Syaithan al-Thaq, di mana mereka beranggapan bahwa gerakan,
perbuatan dan diamnya hamba Allah itu merupakan sesuatu, bahkan merupakan
jisim. Sehingga hal ini bukanlah sesuatu yang lain, kecuali sebagai jisim, di
mana hamba tersebut sebenarnya membuat berbagai jisim.
3.
Kelompok yang berpendapat bahwa
perbuatan-perbuatan manusia dan hewan itu merupakan jisim. Begitu pun anggapan
mereka tentang warna, bau, suara ataupun semua sifat-sifat jisim.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam perkembangannya, Ilmu kalam berkembang dengan berbagai
permasalahannya yang menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia, mulai dari
permasalahan pelaku dosa besar, penentuan iman dan kufurnya manusia, dan juga
tentang perbuatan Tuhan dan manusia yang aliran-aliran dalam Ilmu Kalam
mempunyai pendapat yang berlainan.
Aliran-aliran dalam Ilmu Kalam masing-masing mempunyai
pendapat yang berlandaskan kepada dalil-dalil Naqli dan Aqli, oleh sebab itu
masing-masing mereka tidak dapat disalahkan atau bahkan mencap salah satu
mereka adalah aliran sesat.
Siapa yang benar dan salah, hanyalah Allah yang tahu
semuanya, dan kita akan mengetahui semuanya itu kelak di negeri akhirat.
B.
Saran
Sebagai umat Islam yang mempunyai Ukhuah Islamiyah yang
tinggi sebaiknya kita mengetahui semua tentang pendapat-pendapat antar aliran,
agar kita dapat memilah dan memilih mana yang sebaiknya kita ikuti tetapi
jangan menganggap rendah aliran yang menurut kita tidak sejalan dengan
keyakinan kita.
0 Comment