BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam setiap perkawinan kedua calon mempelai dapat
mengadakan perjanjian perkawian dalam bentuk apapun sepanjang tidak
bertentangan dengan hukum Islam. Dan perjanjian yang sudah dibuat itu mempunyai
akibat hukum masing-masing, yang jika salah satu pihak melanggarnya maka pihak
yang merasa dirugikan dapat melakukan penuntutan untuk mendapatkan haknya.
Di negara kita telah ada aturan khusus yang mengatur
masalah perjanjian perkawinan. Hal ini tertuang dalam Inpres No1/1991 yaitu
kompilasi hukum Islam yang didalam mengatur segala bentuk hubungan keperdataan
di antara sesama muslim.
Pada buku 1 tentang hukum perkawinan dimuat dalam BAB VII
tentang perjanjian perkawinan. Dalam
pasal 45 KHI dijelaskan bahwa kedua menpelai dapat mengadakan perjanjian
dalam bentuk:
1.
Taklik talak
2.
Perjanjian lain yang tidak
bertentangan dengan hukum Islam
Fakta sejarah membenarkan bahwa lembaga yang mengatur
tentang taklik talak di Indonesia sudah ada sejak dahulu. Kenyataan yang ada
bahwa sampai sekarangpun menunjukkan hampir setiap perkawinan di Indonesia yang
dilaksanakan menurut hukum Islam selalu diikuti dengan pengucapan shighat
taklik talak oleh suami. Sekalipun sifatnya sukarela, tapi umumnya di negara
kita membaca taklik talak ini seolah-olah menjadi kewajiban yang harus
dilaksanakan suami.[1]
Taklik talak dilihat dari segi esensinya sebagai
perjanjian perkawinan yang digantungkan pada syarat, dengan tujuan utamanya
melindungi isteri dari kemudharatan karena tindakan sewenang-wenang suami,
mempunyai landasan hukum yang kuat, yaitu:
وان امرأة خافت من بعلها نشوزا واعراضا
فلاجناح عليهما أن يصلحا بينهما صلحا... (النساء: 128)
“Dan
jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya
maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perjanjian/perdamaian yang
sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) …” (QS. Al-Nisa’:
128)
Menurut Sayuti Thalib ayat ini yang menjadi dasar untuk
merumuskan tata cara dan syarat bagi taklik talak sebagai perjanjian
perkawinan. Taklik talak mempunyai arti suatu talak yang digantungkan jatuhnya
pada terjadinya suatu haol yang memamng mungkin terjadi yang telah disebutkan
terlebih dahulu dalam suatu perjanjian yang telah diperjanjikan terlebih
dahulu.[2]
Dan jika hal atau syarat yang diperjanjikan itu terlanggar, maka
terbukalah kesempatan untuk talak oleh isteri jika ia menghendakinya.
Menurut ketentuan fiqh pengucapan taklik talak hukumnya jaiz,
artinya diperbolehkan, tidak diwajibkan ataupun dilarang,[3]
misalkan ucapan suami pada isterinya: “Jika engkau memasuki rumah itu, maka
jatuhlah talak saya satu padamu” atau dengan ucapan “Engkau kutalak bulan
shafar mendatang”. Kejadian masuk rumah dan datangnya bulan Shafar itu disebut
dengan syarat dan syarat itu bisa berbentuk apa saja asal masuk akal dan tidak
bertentangan dengan tujuan syarat. Bila syarat itu terwujud maka jatuhlah talak
itu.
Dalam literatur fiqh, contoh syarat itu selalu bernada
“Suami mengancam pada isterinya dengan makusd agar memperoleh ketaatan
sepenuhnya”. Ini memberikan kesan bahwa suami atau pria pada umumnya berhak
untuk sewaktu-waktu mentalak isterinya.[4]
Sayyid Sabiq dalam bukunya “Fiqh Sunnah”
menjelaskan lebih lanjut tentang syarat sah berlakuna taklik talak ini, yaitu :[5]
1.
Perkaranya belum ada, tapi
mungkinn terjadi kemudian
2.
Hendaknya isteri ketika lahirnya
aqad (talak) dapat dijatuhi talak ini
3.
Ketika terjadi perkara yang
ditaklikkan isteri berada dalam pemilaharaan suaminya
Menurut sejarahnya, pelembagaan taklik talak yang ada di
Indonesia ini sudah dimulai dari pemerintahan Sultan Agung Hanyarakrakusuma,
Raja Mataram (1630 M) dalam upaya memberi kemudahan bagi wanita untuk
melepaskan ikatan perkawinan dari suami yang meninggalkan pergi dalam jangka
waktu tertentu, disamping jaminan bagi suami bila keperluan itu adalah dalam
tugas negara[6]
Dalam suasana pemerintah Belanda pun secara yuridis
formal, lembaga taklik talak itu masih tetap berlaku berdasarkan Stb. 1882 No.
152 sampai sesudah merdeka, menjelang diundangkannya UU No.1/1974 dan bahkan
sampai menjelang diundangkannya UU No 7/1999 dan termuat pula KHI. Sekalipun
Stb. 1882 No 152 sudah dicabut dengan UU No 7/1989, pada saat sekarang ini
dengan diberlakukannya KHI melalui Inpres No 1/1991 yang antara lain mengatur
juga tentang taklik talak, makanya taklik talak dapat dikategorikan sebagai
hukum tertulis[7]
Sighat taklik dirumuskan sedemikian rupa dengan tujuan
untuk melindungi pihak isteri, supaya
tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh suami, jika isteri tidak relaa atas
perlakuan suami, maka isteri dapat mengajukan gugatanm cerai berdasarkan
terwujudnya syarat taklik sebagai mana disebutkan dalam sighat taklik talak
itu.
Bentuk sighat taklik talak berbeda-beda sesuai dengan
selera bahasa di daerah masing-masing, tapi unsur-unsur tetap mesti ada,
seperti: meninggalkan, tidak memberi nafkah, penganiayaan jasmani, dan
diikuti dengan membayar uang iwadh dari
isteri.
Dalam suasan kemerdekaan, Departemen Agam RI memerlukan
seragam di seluruh Indonesia tentang sighat taklik talak ini dan terakhir
dengan Keputusan Menteri Agama RI No
411/2000 yang merumuskan berbunyi sebagai berikut :
“Sesudah akad nikah saya…………….bin………….
berjanji dengan sesungguhnya hati bahwa saya akan menepati kewajiban saya
sebagai suami, dan saya akan pergauli
isteri saya bernama, …………. binti………………. dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf)
menurut ajaran syariat Islam.
Selanjutnya saya membaca sighat taklik
tala atas isteri saya itu sebagai berikut:
(1)
Meninggalkan isteri saya dua tahun
berturut-turut
(2)
Atau saya tidak memberi nafkah
wajib kepadanya tiga bulan lama
(3)
Atau saya menyakiti badan/jasmani
isteri saya
(4)
Atau saya membiarkannya (tidak
memperdulikannya) isteri saya enam bulan lamanya
Kemudian isteri saya tidak redha dan
mengadukanya kepada Pengadilan Agama dan pengaduannya di benarkan dan diterima oleh
Pengadilan tersebut dan isteri saya membayar uang sebesar Rp 10.000 (sepuluh
ribu rupiah) sebagai iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak
saya satu padanya.
Kepada Pengadilan tersebut saya
kuasakan untuk menerima uang iwadh itu kemudian menyerahkannya kepada
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji C/q
Direktorat Urusan Agama untuk keperluan ibadah sosial.
Suami
(……………………..)
Apabila diperhatikan sighat taklik talak menurut Kepetusan
Menteri Agama No 411/2000 diatas terlihat suatu keistimewaan dari bentuk
syarat-syarat dan motivasinya dibandingkan dengan kitab fiqh. Isinya bukan
ancaman suami terhadap isteri, akan tetapi justru berupa janji dari pihak suami
dan isteri untuk mepergaulinya dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf)
sesuai dengan syariat Islam[8]
Di negara kita, sesudah akad nikah maka suami diminta P3N
untuk baca sighat taklik talak yang dipandu oleh P3N tersebut. Dan hampir
disetiap upacara perkawinan sesudah ijab kabul antara suami dan wali, mesti ada
diiringi dengan ucapan taklik talak. Pada dasarnya ketentuan membaca sighat
taklik talak bukanlah suatu keharusan. Tapi pembacaan itu dapat dilakukan
sepanjang mempelai menghendaki.
Namun ada beberapa kasus di daerah dimana P3N itu memaksa
mempelai pria membaca sighat taklik talak tersebut. Dan yang pasti jika suami
terpaksa membaca sighat taklik itu dalam kadaan terpaksa maka tidak bisa
dimintai pertanggung jawaban atas tindakannya, karna dia hanya sebagai pelaku
kemauan pemaksanya.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka penulis mengangap
hal ini sebagai suatu masalah dan sangat menarik untuk dikaji,khususnya pada
era globalisasi ini, dimana dengan semangkin meningkatnya intelektualitas dalam
masyarakat. Untuk itu penulis akan mengkaji lebih lanjut dalam bentuk kripsi
dengan judul: “Persepsi P3N Tentang Taklik Talak Sebagai Perjanjian
Perkawinan’.
B.
Rumusan Masalah
Dari uraian diatas maka penulis rumuskan masalah sebagai
berikut:
1.
Bagaimana kedudukan pembacaan
sighat taklik talak dalam perkawinan
2.
Bagaimana pandangan P3N sendiri
selaku pejabatyang dibeeri wewenag untuk mengakadkan perkawinan terhadap
pembacaan sighat taklik talak sesudah akad nikah
3.
Bagaimana cara P3N memberikan
pemahaman pada calon mempelai untuk membaca taklik talak sehingga disana tidak
ada unsur paksaan.
C.
Postulat
Lembaga taklik talak mempunyai sejarah yang panjang dalam
perkembangan hukum Islam di Indonesia dan sangat bermanfat dalam pembinaan umat
Islam khususnya dibidang perkawinan. Oleh karena itu lembaga ini perlu
dilestarikan sesuai dengan perkembangan masyarakat sekarang.
D.
Hipotesa
Adanya pemaksaan dari P3N pada calon mempelai untuk
membaca sighat taklik talak itu, karena P3N sendiri tidak ada memberikan
tentang arti dan hikmah dari taklik itu. Makanya jika ada keterangan dari P3N
sendiri tentang taklik talak itu, maka dengan dasar kesukarelaan dan kesadaran,
maka tanpa dipaksapun calon mempelai pria akan membaca taklik talak dengan
panduan P3N.
E.
Tujuan dan Kegunaan
1.
Tujuan pembahasan
Untuk mengetahui persepsi P3N tentang pembacaan sighat
taklik talak sesudah akad nikah dan ditambah pula untuk memperkuat isi skripsi
ini dengan mengetahui persepsi calon
mempelai sendiri tentang pembacaan taklik talak itu. Sekligus untuk mengetahui
akibat hukum dari calon mempelai yang dipaksa untuk membeca taklik talak
tersebut.
2.
Kegunaan pembahasan
a.
Meningkatkan kemampuan penulis
dalam menganalisa permasalahandan menemukan solusinya.
b.
Untuk memenuhi persyaratan dalam
mencapai gelar sarjana hukum Islam pada Stain Sech M. Jdamil Djambek
Bukittinggi.
F.
Penjelasan Judul
Untuk menghindari terjadinya salah pengertian dalam nama
judul skripsi ini, maka komponen judul perlu diberi penjelasan :
Persepsi : Tanggapan
(penerimaan) lansung dari suatu serapan, proses seseorang mengetahui beberapa
hal mengenai sesuatu melalui panca inderanya.[9]
P3N : Pemuka
agama Islam di Desa yang ditunjuk dan dibrhentikan oleh Kepala Bidang Urusan
Agama Islam.
Taklik Talak : Perjanjian
yang diucapkan calon mempelai pria sesudah akad nikah yang dicantumkan dalam
akta nikah berupa janji talak yang digantungkan pada suatu keadaan tertentu
yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.[10]
Perjanjian : Persetujuan
(tertulis atau lisan) yang dibuat oleh kedua belah pihak atau lebih,
masing-masing berjanji akan mentaati apa yang tersebut dalam perjanjian itu.[11]
Perkawinan : Ikatan antara
seorang pria dan wanita untuk berumah tangga dan membina keluarga.
Jadi maksud judul ini secara keseluruhan adalah bagaimana
tanggapan dari pemuka agama Islam (perpanjangan tangan dari P3N) sebagai orang
yang mengakadkan perkawinan, mengani pembacaan taklik talak sesudah akad nikah
oleh mempelai pria yang merupakan suatu perjanjian perkawinan.
G.
Metode Pembahasan
Dalam pengumpulan data, penulis memakai metode sebagai
berikut:
1.
Library Research, yaitu
peneltian kepustakaan dengan cara melakukan penelitian terhadap litertur atau
referensi yang erat hubungannya dengan pokok masalah yang dibahas.
2.
Field Research, yaitu
penelitian yang dilakukan di lapangan, yaitu dengan melakukan wawancara dengan
P3N sekaligus denganc alon mempelai untuk mendapatkan data yang akurat. Selain
itu ditambah pula dengan melakukan penelitian terhadap berkas kutipan di KUA
tentang persentase calon mempelai yang membaca taklik talak.
Dalam mengolah data yang sudah ada, maka penulis memakai
metode sebagai berikut :
1.
Deduktif yaitu : berangkat dari
suatu pengetahuan yang sifatnya umum dan
bertitik tolak dari pada pengetahuannya yang umum itu, kita hendak
menilai suatu kejadian yang khusus[12]
2.
Induktif yaitu berangkat dari
fakta-fakta yang khusus, peristiwa-peristiwa yang kongkrit lalu dari fakta
persitiwa yang khusus itu ditarik generalisasi yang mempunyai sifat umum[13]
H.
Sistematika Penulisan
Untuk memberikan jawaban yang lengkap mengenai
isi dari skripsi ini, maka penuls
menyusunnya dengan sistematika sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan
yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, postulat, hipotesa dan
kegunaan pembahasan, penjelasan judul, metodologi penelitian dan sitematika
penulisan
Bab II : Berisikan
pembahasan tentang taklik talak dan permasalahannya, yang terdiri dari pengertian taklil talak, sejarah
taklik talak Indonesia, pendapat ulama Indonesia tentang taklik talak serta
rumusan taklik talak
Bab III : Membicarkan tentang
perjanjian perkawinan, yang terdiri dari pengertian perjanjian
perkawinan, perjanjian perkawinan hukum Islam, dan berakhirnya perjanjian
menurut Islam
Bab IV : Dibahas
mengenai pandangan P3N terhadap pembacaan sighat taklik talak sesudah akad
perkawinan sebagai suatu perjanjian perkawinan yang berisikan tentang
eksistensi dan kekuatan berlakunya taklik talak, persepsi P3N terhadap
pembacaan sighat taklik talak sesudah
akad nikah disertai analisa dari penulisan
Bab V : Penutup
atau bagian terakhir, yang dalam hal ini penulis mengakhiri dengan menarik kesimpulan serta saran-saran dan harapan penulis
Penulis
melengkapi dengan daftar kepustakaan yang dijadikan acuan dalam penulisan
skripsi ini.
[1]
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Yayasan al-Hikmah, 2000), h. 245
[2]
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penerbit
UI, 1974), h. 118
[3]
Zaini Ahmad Noeh, Pembacaan Sighat Taklik Talak, Mimbar Hukum Nomor 30 Tahun
VII, (Jakarta: al-Hikkmah dan Ditbinbapera, 1997), h. 68
[4] Ibid.,
h. 68
[5] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Alih Bahasa Moh.
Thalib, (Bandung: PT Al-Ma’rif, 1997), h, 38
[6]
Zaini Ahmad, op.cit, h.64
[7]
Abdul Manan, op.cit,.h.248
[8]
Zaini Ahmad, op.,cit,h.,68
[9]
Departemen P&K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1999) h. 675
[10]
Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, KHI, (Jakarta: Depag RI,
1992), h.
[11]
Departemen P&Kertas Kerja Perorangan , op.cit, h. 350
[12]
Sutrisno Hadi, Metodelogi Research, (Yogyakarta,: Yayasan Penerbit
Fakultas UGM, 1982), h. 43
[13] Ibid.,
h. 42
0 Comment