BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Persepsi berasal dari bahasa
Inggris yaitu “perception” diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan
tanggapan-tanggapan, dapat diartikan kesan-kesan pada seseorang setelah
melakukan pengamatan.[1]
Persepsi menurut bahasa adalah
tanggapan atau kesan-kesan yang ditimbulkan oleh seseorang setelah melakukan
pengamatan dan pengertian seseorang tentang situasi sekarang.
Persepsi dalam
arti sempit adalah penglihatan sebagaimana melihat sesuatu, sedangkan dalam
arti luas persepsi adalah pandangan atau pengertian, yaitu bagaimana seseorang
memandang atau mengartikan sesuatu. Dapat juga diartikan bahwa persepsi itu
adalah proses menerima, menyeleksi, mengorganisasi, mengartikan, menguji, dan
memberikan reaksi kepada rangsangan panca indera atau data.
Dalam istilah
psikologi, persepsi menurut Jalaluddin Rahmat adalah pengalaman tentang objek
peristiwa atau hubungan yang diperoleh dengan mengumpulkan informasi dan
menafsirkan pesan[2]. Maka dapat dipahami
bahwa persepsi adalah ungkapan, sinonim dari tanggapan yaitu proses menerima,
menyeleksi, mengorganisasi, mengartikan, menguji, dan memberikan reaksi kepada
rangsangan panca indera dan data. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia persepsi
adalah Tanggapan
(penerimaan) langsung dari sesuatu atau proses seseorang mengetahui beberapa
hal melalui panca indera.[3]
Persepsi dapat dipengaruhi
oleh faktor perhatian, fungsional, dan mental. Suasana mental, emosional, dan
latar belakang budaya dan faktor struktural yang dapat diperoleh berdasarkan kedekatan
bersamaan dan situasi dalam persepsi suatu objek.
Perkawinan
di Minangkabau menganut bentuk kekerabatan matrilineal, perkawinan yang sesuai
adalah mendatangkan laki-laki dari luar lingkungan yang bertujuan untuk
menghasilkan dan mengembangkan keturunan. Perkawinan seperti ini disebut dengan
perkawinan semando, kawin semando merupakan bentuk perkawinan eksogami, yaitu
keharusan kawin dengan orang yang berada di luar lingkungan kekerabatan
matrilinealnya. (sumber)
Dalam adat Minangkabau tidak semua perempuan
yang boleh dikawini, disamping ada larangan kawin yang telah digariskan oleh syarak,
adat Minangkabau juga mempunyai pantangan atau larangan kawin yang tujuannya
untuk menjaga kerukunan sosial, pantangan atau larangana kawin itu antara lain:
1.
Mengawini orang yang telah diceraikan kaum
kerabat, sahabat, dan tetangga dekat
2.
Mempermadukan perempuan yang sekerabat,
sepergaulan, dan setetangga
3.
Mengawini orang yang tengah dalam tunangan
4.
Mengawini wanita yang sepersukuan
Di Kenagarian Padang
Laweh, Kecamatan Sungai Pua yang masyarakatnya 100 % beragama Islam perkawinan yang dilakukan sudah sesuai dengan
syariat Islam dan adat yang berlaku di Nagari Padang Laweh tersebut, namun jika
terjadi perkawinan yang melanggar adat tapi tidak ada larangan menurut agama,
seperti perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan yang sesuku, baik
mereka sama Pengulunya (Datuk) maupun berbeda, maka perkawinan tersebut tidak
sah dan tidak diakui menurut hukum adat.
Menurut adat
yang berlaku di Kenagarian Padang Laweh, sanksi terhadap perkawinan sesuku ini
adalah dibuang sepanjang adat dan di usir dari nagari, yang pada akhirnya akan
menyebabkan terputusnya kekerabatan dengan kaumnya bahkan dengan keluarga dan
sanak famili[5].
Sanksi berasal
dari kata sanctie (Belanda), sanction (Ingggris) yang berarti hukuman[6]. Sanksi ini identik
dengan kata hukum. Hukum ialah suatu siksaan atau penderitaan yang dijatuhkan
oleh negara atau penguasa terhadap seseorang yang melakukan tindakan
pelanggaran terhadap suatu undang-undang[7] Sedangkan sanksi adat adalah
hukuman atau siksaan yang dijatuhkan oleh kepala adat terhadap seseorang yang
melakukan tindakan pelanggaran terhadap suatu ketentuan atau aturan-aturan adat
di wilayah adat tertentu.
Menurut
observasi sementara, penulis mendapati baru dua pasang orang yang telah
mendapat sanksi adat dibuang sapanjang
adat dan diusir dari nagari. Dan redaksi dari masyarakat Padang Laweh
secara umum setuju dan tidak setuju dengan adanya anak nagari Padang Laweh yang
dibuang sepanjang adat dan di usir dari nagari tersebut.
Penulis melihat
bahwa sanksi adat yang diterapkan di Kenagarian Padang Laweh terhadap pelaku
perkawinan sesuku menimbulkan pandangan (persepsi) yang berbeda dari masyarakat
tentang legalitas hukum adat yang berlaku. Ada dua pandangan yang berkembang di
masyarakat Padang Laweh dengan adanya sanksi adat tersebut, ada yang
berpendapat bahwa sanksi adat tersebut terlalu berat dan bertentangan dengan
hukum Islam. Islam menganjurkan umatnya untuk menjaga tali silaturrahmi namun
secara tidak langsung penerapan sanksi adat ini memutuskan tali silaturrahmi,
dan pendapat yang kedua menyatakan bahwa ketentuan hukum adat tersebut wajib
ditaati dan dipatuhi karena sudah demikian aturan adat yang berlaku.
Secara geografis
Nagari Padang Laweh, Kecamatan Sungai Pua termasuk dalam daerah Minangkabau
yang berfalsafahkan kepada “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah” .
Berdasarkan
hal yang telah di paparkan diatas, penulis merasa tertarik untuk mengangkat
masalah ini kedalam karya ilmiah yang berjudul “PERSEPSI MASYARAKAT PADANG LAWEH TERHADAP SANKSI ADAT
DALAM PERKAWINAN SESUKU”
- Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas
dapat dirumuskan masalah sebagi berikut:
Bagaimanakah
Persepsi Mayarakat Padang Laweh Terhadap Sanksi Adat Dalam Perkawinan Sesuku ?.
C. Penjelasan Judul
Untuk
menghindari kekeliruan dalam memahami
judul ini, maka penulis akan mejelaskan pengertian dari beberapa kata yang
penting yang terdapat dalam judul skripsi ini.
Persepsi :
|
Tanggapan (penerimaan)
langsung dari sesuatu atau proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui
panca indera.[8]
Yang penulis maksud dengan persepsi di sini adalah tanggapan/pendapat
masyarakat Nagari Padang Laweh terhadap sanksi adat dalam perkawinan sesuku.
|
Kawin Sasuku
:
|
Sasuku adalah Sepersukuan, yaitu; sama suku
bangsanya, sama asal keturunannya[9]. Kawin sasuku adalah perkawinan antara
laki-laki dan perempuan yang sama suku bangsanya atau asal keturunannya di
Minangkabau
|
Padang Laweh
:
|
Sebuah Nagari yang terletak di Kecamatan Sungai
Pua Kabupaten Agam.
|
Sanksi Adat
:
|
Tanggungan (tindakan hukum dsb) untuk memaksa
orang menepati perjanjian atau menaati apa yang telah ditentukan[10]. Yang dimaksud dengan
sanksi adat adalah tindakan hukum untuk memaksa masyarakat adat untuk mentaati
ketentuan atau aturan adat yang berlaku.
|
Dari penjelasan judul
diatas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan judul secara keseluruhan
adalah “Tanggapan/pendapat langsung dari masyarakat Padang Laweh terhadap sanksi
adat yang diterapkan dalam perkawinan sesuku antara seorang pria dengan seorang
perempuan”
D. Tujuan Pembahasan
Tujuan adalah
sesuatu yang ingin dicapai dalam suatu penelitian. Tujuan yang ingin dicapai
dalam pembahasan ini adalah untuk mengetahui tanggapan,/pendapat masyarakat
Padang Laweh terhadap sanksi adat dalam perkawinan sesuku.
E. Kegunaan Penelitian.
Adapun
kegunaan dari pembahasan ini adalah:
- Untuk memperdalam pengetahuan penulis tentang perkawinan di kenagarian Padang Laweh
- Untuk memenuhi salah satu syarat dalam mencapai gelar kesarjanaan (S1) Hukum Islam pada jurusan Syari’ah, Program Studi Ahwal al-Syakhshiyah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi
F. Metode penelitian
1.
Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat fiel research (Penelitian
Lapangan). Adapun penelitian kepustakaan (library resarch) yang penulis lakukan dimaksud untuk pelengkap
secara teoritis terhadap permasalahan yang sedang diteliti. Untuk pembahasan
ini penulis menggunakan metode penelitian deskriptif, yaitu metode penelitian
yang menggambarkan apa adanya dari suatu gejala atau suatu kejadian.
2.
Lokasi Penelitian
Penelitian yang penulis lakukan bertempat di
Kenagarian Padang Laweh, Kecamatan Sungai Pua, Kabupaten Agam
Alasan penulis memilih Kenagarian Padang Laweh
sebagai tempat penelitian, karena berbeda-bedanya persepsi masyarakat Padang
Laweh tentang Perkawinan Sesuku yang pernah terjadi di Kenagarian Padang laweh.
3.
Populasi dan Sampel
Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dalam menyelesaikan
skripsi ini diperlukan populasi dan sampel. Populasi adalah keseluruhan objek yang diteliti baik berupa orang, benda,
kejadian, nilai maupun yang lainnya[11].
Yang menjadi populasi adalah tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, dan
ninik mamak ampek suku.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel
berikut ini.
TABEL I / POPULASI
No
|
Sumber Data
|
Jumlah
|
1
|
Tokoh Adat
|
6 Orang
|
2
|
Tokoh Masyarakat
|
4 Orang
|
3
|
Tokoh Agama
|
4 Orang
|
4
|
Ninik mamak 4 suku
|
19 Orang
|
5
|
Bundo Kanduang
|
4 orang
|
Jumlah
|
37 Orang
|
Sampel adalah
kumpulan elemen penelitian yang dianggap mewakili terhadap seluruh populasi
atau bagian kecil dari populasi. Dalam penelitian ini penulis menggunakan total
sampling. Menurut Suharsimi Arikumto bahwa, apabila populasi kurang dari 100
lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitan populasi.
Selanjutnya jika jumlah subyeknya besar, dapat diambil antara 10-15 % / 20-25 %
atau lebih[12].
Dalam penelitian ini sampel yang diambil adalah keseluruhan dari piopulasi, hal
ini disebabkan karena pulasinya kurang dari 100.
Tekhnik Pengumpulan Data
a.
Observasi
Adalah teknik pengumpulan data, dimana peneliti
melekukan pengamatan langsung maupun tidak langsung terhadap gejala-gejala
subyek yang diteliti[13]
b.
Angket
Adalah rangkaian pertanyaan yang diberikan
responden secara tertulis mengenai suatu masalah yang diteliti[14].
Pada penelitian ini angket yangdigunakan adalah angket tertutup yang disebarkan
kepada responden
c.
Wawancara
Adalah pengumpulan data brbentuk pertanyaan secara
lisan dan pertanyaan yang diajukan dalam wawancara itu telah dipersiapkan
secara tuntas dilengkapi dengan instrumennya[15]
4.
Metode Pengolahan dan Analisa Data
Setelah penulis mengumpulkan bahan-bahan yang
berhubungan dengan masalah ini, maka selanjutnya data tersebut akan dianalisa
untuk kevalidan data, data tersebut penulis bagi kepada dua kelompok, yaitu:
a.
Data yang bersifat kualitatif
Data yang
diperoleh dari responden melalui wawancara, yang dianalisa denganh mengadakan
seleksi data dan jawaban yang diberikan, kemudian diklasifikasikan dan
dirumuskan dalam bentuk kata-kata
b.
Data yang bersifat kuantitatif
Data ini
diperoleh dari angket yang disebarkan kepada responden. Cara pengolahan dan penganalisaan menggunakan
langkah-langkah sebagai berikut:
1.
Seleksi data yang terkumpul
2.
Mengklasifikasikan masalah pada sebuah tabel
3.
Menghitung frekwensi (f) dari masing-masing
alternatif jawaban dari semua item
4.
Menghitung presentase (%) dari masing-masing
frekwensi dengan rumus:
P = F x 100%
N
Keterangan:
P = Angka presentase
F = frekwensi yang sedang dicari
N = jumlah frekwensi atau banyak.[16]
5.
Mengadakan interpretasi dan analisa data dalam
bentuk kalimat sederhana
c.
Analisa deskriptif analisis
Setelah data terkumpul kemudian diolah untuk
dianalisa dengan menggunakan metode deskriptis analisis, yaitu menggambarkan
informasi yang diperoleh melalui observasi, wawancara dan angket secara
sisitematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan fenomena yang
diteliti, kemudian dilakukan penganalisaan terhadap fenomena tersebut.[17]
Di samping itu, penulis
juga menganalisa data menggunakan pendekatan kualitif dengan menggunakan metode
deduktif, metode induktif dan mertode komperatif.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulisan dan memudahkan
pembahasan, penulis membagi pembahasan kepada Empat bab sebagai berikut:
Bab I, terdiri
dari; pendahuluan, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan
pembahasan, metode penelitian, sistematika penulisan
Bab II, merupakan
landasan teoritis tentang; pengertian persepsi dan faktor-faktor yang
mempengaruhi persepsi dan pengertian hukum adat, perkawinan menurut adat dan larangan/pantangan
kawin menurut adat.
Bab III, berisi
tentang hasil penelitian; monografi Kenagarian Padang Laweh, tata cara
pelakanaan perkawinan di Kenagarian Padang Laweh, persepsi masyarakat Padang
Laweh terhadap sanksi adat dalam perkawinan sesuku dan analisis data.
Bab IV, penutup,
terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.
[1]
Hadi Suparto, Dasar-Dasar Kependidikan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986),
h. 46
[2] Jalaluddin
Rahmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosda
Karya, 2000), cet. Ke-15, h. 39
[3]
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN. Balai
Pustaka, 1991), h. 759
[4]
AA. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru, (Jakarta: Grafitipers, 1986), cet.
Ke II, h. 196
[5]
Madiar Dt. Rajo Endah, Ninik Mamak Nagari Padang Laweh, Wawancara Pribadi, Padang Laweh: 03 Januari 2008
[6]
Zainuddin, Pidana Pencurian Menurut Hukum
Islam, (Bukittinggi: STAIN Sjech. M. Djamil Djambek Bukittinggi,1999), cet.
Ke-I, h. 339
[7]
JCT. Simorangkir, SH dan Woerjono Sastro Pranoto, SH, Pelajaran Hukum Indonesia
dan Asia, (Jakarta: Gunung Agnung, 1962),
cet. Ke-II, h. 218
[8] Ibid.
[9] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Kamus
Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1982), h. 972
[10] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Kamus
Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1982), h. 870
[11] Ine I.Anirman Yousda, Penelitian dan
Statistik Pendidikan, (Jakarta : Bumi Aksara ; 1993), Cet ke-1, h. 34
[12]
Suharsimi Arikumto, Prosedur Penelitian
Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka cipta, 1992), h. 120
[13]
Mardalis, Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposional, (Jakarta:
Bumi Aksara, 1993), h. 53
[14]
Kholid narbuko dan Abu Ahmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1997), Cet. Ke 1, h. 76
[15]
Anas Sujdana, Pengantar Statistik Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h.
27
[16] Op.
cit, h. 40
[17]
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta:
PT. Rineka Cipta. 1998) Cet. Ke-2, h. 244
0 Comment