LANDASAN
TEORITIS
A. Guru Agama
1.
Pengertian dan Tugas Pokok
Guru Agama
a.
Pengertian Guru Agama
Sebelum penulis menjelaskan tentang pengertian guru
agama, terlebih dahulu penulis akan menjelaskan apa yang dimaksud dengan guru
itu sendiri.
Menurut Kahar Masyhur, guru adalah orang yang kerjanya
mengajar.[1]
Dalam hal ini yang dimaksud dengan guru adalah orang yang pekerjaannya mengajar
dalam bidang pelajaran yang diajarkannya maupun mengajar suatu ilmu pengetahuan
kepada orang lain. Sedangkan menurut Humaidi Tatapangarsa guru adalah orang
yang kita mendapatkan pendidikan dan pengajaran dari dia, formal atau informal.[2]
Disamping itu, Imam al-Ghazali juga mengemukakan bahwa :
Pendidik atau guru adalah orang yang dewasa yang bertanggung jawab
memberikan bimbingan kepada peserta didik ke arah perkembangan jasmani dan
rohaninya, agar tercapai ketingkat kedewasaan (mampu berdiri sendiri) memenuhi
tugasnya sebagai mahluk Tuhan, mahluk individu yang mandiri dan makhluk sosial.[3]
Menurut Zakiah Darajat, “guru adalah pendidik
profesional, karenanya secara implisit ia merelakan dirinya menerima dan
memikul sebagian tanggung jawab pendidikan yang terpikul dipundak orang tua”[4]
Dari defenisi di atas, dapat diketahui bahwa guru
adalah orang yang kerjanya mengajar atau tenaga pendidik yang bertugas
mengajar, membimbing, mengarahkan atau melatih peserta didik.
Selanjutnya, perlu juga diketahui apa yang dimaksud
dengan agama. Sebenarnya banyak kata asing sinonim dengan kata agama.
Ada yang berpendapat bahwa kata agama berasal dari bahasa sanksekerta
yang diartikan dengan haluan, peraturan, jalan atau kebaktian kepada Tuhan.
Pendapat lain mengatakan bahwa kata agama itu sebenarnya terdiri dari dua buah
perkataan yaitu A yang artinya tidak dan Gama berarti kacau
balau. Jadi agama berarti tidak kacau balau yang berarti teratur. Sedangkan
dalam bahasa Arab kata agama disebut dengan “Ad-diin” artinya adat
kebiasaan atau tingkah laku, taat, patuh dan tunduk kepada Tuhan, hukum-hukum
atau peraturan dan juga menyebutkan salah satu peristiwa yang amat
mengharukan/dahsyat, yaitu hari kiamat atau hari pembalasan.[5]
Jadi, agama disini maksudnya adalah suatu peraturan
yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal memegang peraturan Tuhan
dengan kehendak sendiri untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan
kebahagiaan hidup di akhirat.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa secara umum yang
dimaksud dengan guru agama adalah guru yang mengajar dan memegang mata
pelajaran Pendidikan Agama Islam. Berarti guru agama merupakan orang yang
bertanggung jawab mendidik dan mengarahkan anak didik sesuai dan berdasarkan
aturan-aturan yang terdapat dalam agama Islam. Dengan demikian, sistem dan
metode serta kepribadian guru agama harus berdasarkan dan sesuai dengan ajaran
Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis.
Menurut Nur Uhbiyati, “Guru agama atau pendidik Islam
adalah individu yang melaksanakan tindakan pendidkan secara Islami dalam
situasi pendidikan Islam untuk mencapai tujuan yang diharapkan.[6]
Begitu juga menurut Hamdani Insan dan Fuad Ihsan, “Guru agama adalah orang yang
bertanggung jawab memberikan bantuan atau bimbingan secara Islami kepada anak
didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaan”.[7]
Guru agama dalam hal ini adalah guru yang mengajarkan
mata pelajaran Pendidikan Agama Islam pada sekolah-sekolah yang diselenggarakan
atau dikelola oleh Departemen Nasional yang diangkat oleh Menteri Pendidikan
Nasional dan Menteri Agama.
Dengan kata lain, guru agama adalah guru yang
mengajarkan mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah yang dikelola oleh
pemerintah yang bergerak dalam bidang pembinaan mental. Guru agama mempunyai
peranan penting dalam menyelamatkan bangsa dan negara dari hal-hal yang tidak
diinginkan, karena pada usia sekolah apalagi pada Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas sangat diperlukan bimbingan yang
serius dari guru agama.
Adapun tujuan pendidikan agama pada sekolah umum
(termasuk Sekolah Lanjutan Pertama) adalah mencapai dua amanat pembangunan
dibidang pendidikan.
Pendidikan agama pada Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama bertujuan
meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengalaman siswa tentang
agama Islam sehingga menjadi manusia muslim dan bertaqwa kepada Allah SWT serta
berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, masyarakat, bangsa dan bernegara.[8]
Tujuan tersebut adalah mewujudkan manusia Indonesia
yang percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bahkan menjadi tujuan
pendidikan agama yang dicapai melalui proses belajar mengajar di sekolah
sehingga tujuan pendidikan nasional juga merupakan tujuan pendidikan agama.
Untuk mencapai tujuan di atas, dapat ditempuh dengan
cara sebagai berikut:
1)
Membina manusia yang mampu
melaksanakan ajaran agama yang baik dan benar sehingga mencerminkan sikap dan
tindakan dalam seluruh kehidupan
2)
Mendorong manusia untuk mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat
3)
Mendidik ahli-ahli agama yang
cakap dan terampil[9]
Tujuan pendidikan Islam sebagaimana pada umumnya adalah untuk
menyempurnakan hubungan manusia dengan Allah SWT, menyempurnakan hubungan
manusia dengan manusia dan mewujudkan keseimbangan serta keserasian antara
kedua hubungan itu.
Tujuan pendidikan Islam
menurut Muhammad Zein adalah :
1)
Untuk membantu pembentukan akhlak
mulia
2)
Persiapan untuk kehidupan dunia
dan akhirat
3)
Persiapan untuk mencari rejeki dan
pemeliharaan segi-segi kemanfaatan.
4)
Menumbuhkan roh ilmiah (scientific
spirit) dan memuaskan keinginan artinya untuk mengetahui (curiosity)
dan memungkinkan ia mengkaji ilmu sekedar ilmu
5)
Menyiapkan pelajar dari segi
professional, teknis dan perusahaan supaya dapat menguasai profesi tertentu,
teknis tertentu dan perusahaan tertentu supaya dapat mencari rejeki dalam hidup
dan hidup dengan mulia di samping memelihara segi kerohanian dan keagamaan.[10]
Dengan
mengetahui tujuan pendidikan agama, khususnya agama Islam, maka dapat pula
diketahui bahwa perwujudan dalam pelaksanaannya sekaligus menjadi tujuan
pengajaran agama, yaitu membina manusia beragama yang mampu melaksanakan
ajaran-ajaran Islam dengan baik dan sempurna sehingga tercermin pada sikap dan
tindakannya dalam seluruh aspek kehidupan dalam rangka mencapai kebahagiaan di
dunia dan akhirat.
Dalam pembinaan pendidikan, guru bukan hanya dituntut
untuk memindahkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya kepada anak didik, lebih
dari itu, seorang guru, apalagi guru agama dituntut untuk ranah kognitif,
afektif dan psikomotorik terhadap anak didik. Maksudnya, guru agama tidak hanya
memindahkan ilmu saja, tetapi juga menanamkan sikap atau membina
kepribadiannya.
Oleh sebab itu, guru agama bertujuan untuk membina pendidikan dan sikap
keberagamaan anak didiknya dengan mempertimbangkan keharmonisan perkembangan
ketiga aspek yang telah disebutkan di atas. Untuk itu, guru agama sebaiknya
melakukan pembinaan dengan cara sebagai berikut:
1) Memberikan contoh teladan
2) Membiasakan yang baik
3) Menegakkan disiplin
4) Memberikan motivasi atau dorongan
5) Menghukum (dalam rangka pendisiplinan)
6) Penciptaan suasana yang berpengaruh bagi pertumbuhan positif.[11]
Dengan
demikian guru agama bertujuan mengajarkan pendidikan agama Islam di skeolah dan
berusaha untuk menanamkan nilai-nilai iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan terwujudnya manusia yang sehat jasmani dan rohani serta berbudi pekerti
luhur. Di samping itu, guru agama juga berkewajiban untuk membimbing anaknya
menjadi muslim sejati, beriman, beramal saleh, berakhlak mulia, berguna bagi
agama, bangsa dan negara.
b.
Tugas Pokok Guru Agama
Sebagai seorang pendidik,
guru agama mempunyai tugas yang amat kompleks. Mereka tidak saja mentransfer
ilmu pengetahuan agama pada anak didiknya, tetapi juga memperbaiki pribadi dan
akhlak mereka yang rusak dan membawanya kepada pembinaan pribadi yang baik.
Guru agama di sekolah umum juga mempunyai tugas yang
tidak ringan, karena dia harus menghadapi keanekaragaman pribadi dan pengalaman
agama yang dibawa anak didik dari rumahnya masing-masing. Ada anak yang
mempunyai sikap positif terhadap agama karena orang tuanya tekun beribadah dan
sering mengajarnya dengan perlakuan yang baik dan penuh dengan kasih sayang,
sehingga dalam pribadinya terdapat unsur-unsur keagamaan dan pengalaman
beragama yang cukup. Anak seperti ini akan berharap supaya guru agama segera
menambah ilmunya. Sebaliknya terdapat pula anak didik yang sama sekali tidak
mengenal pengalaman beragama disebabkan tidak pernahnya orang tua mendidiknya
di rumah dalam masalah pengalaman beragama.
Dengan demikian dapat dibayangkan betapa beratnya
tugas yang dipikul oleh seorang guru agama. Di samping memperhatikan
keadaan-keadaan anak didik, guru agama perlu juga memperhatikan keadaan guru-guru
yang lainnya, alat pelajaran dan suasana sekolah pada umumnya. Tugas guru agama
di sekolah cukup berat, guru tersebut harus menghadapi sikap jiwa yang
bermacam-macam, bahkan majelis guru lainnya pun beraneka ragam sikapnya
terhadap agama. Oleh sebab itu syarat pertama yang harus dimiliki guru agama
adalah memiliki kepribadian yang mencerminkan ajaran agama yang akan diajarkan
kepada anak didiknya sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai.
Guru agama juga harus mengetahui ciri-ciri
perkembangan jiwa anak agar dapat melaksanakan pendidikan agama dengan cara
yang sesuai dan serasi dengan perkembangan jiwa anak yang sedang dihadapinya.
Karena ketidakcocokan materi dengan perkembangan anak dapat menimbulkan dampak
yang negatif terhadap pemahaman keberagamaan anak, sehingga anak didik
menjauhkan diri dari agama dan dapat membahayakan pertumbuhan jiwa anak didik
sebagai generasi muda. Selanjutnya, guru pada umumnya (termasuk guru agama)
harus menguasai metode atau cara mengajar yang sesuai dengan keadaan, situasi
dan kondisi. Dengan demikian, guru dapat sukses dalam tugasnya sebagai
pendidik, mampu memperbaiki kesalahan yang terlanjur dibuat oleh orang tua dan
menjaga jangan sampai salah dalam memberikan pendidikan agama di sekolah.
Guru merupakan pelimpahan sebagian tanggung jawab
dalam membimbing peserta didik di sekolah dan perkembangan anak agar mencapai
kedewasaan. Bila dilihat dari segi agama, maka pekerjaan guru agama adalah
tugas yang dipikulkan Tuhan kepada umat Islam guna menyiarkan ajaran-Nya untuk
kebahagiaan manusia hidup di dunia dan di akhirat. Seorang guru memikul tugas
sebagai pendidik dan harus dapat memberikan contoh yang baik kepada pesreta
didik untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Jadi, jelaslah bahwa guru agama bertugas menyampaikan
ajaran agama Allah SWT kepada peserta didik dan juga tidak boleh menyimpan
ilmunya. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:
يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا
أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ
وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ
الْكَافِرِينَ (المائدة :67 )
Artinya : “ Hai Rasul sampaikan apa yang disampaikan kepadamu dari
Tuhanmu. Dan jangan tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti)
kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan)
manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang kafir” (QS.
Al-Maidah : 67)[12]
Sebagai seorang pendidik, guru agama harus berusaha
untuk membentuk jiwa dan kepribadian anak didik agar menjadi muslim yang
bertaqwa kepada Allah SWT, mempunyai aqidah kuat yang dapat mengantarkan ke
arah keberhasilan hidup, baik hidup di dunia maupun hidup di akhirat. Tidak
tertutup kemungkinan guru agama akan berhadapan dengan remaja yang sedang
mengalami kegoncangan jiwa. Dalam hal ini, guru tersebut harus mengerti keadaan
jiwa anak didiknya. Dia tidak hanya bertugas memberikan pelajaran dalam arti
membekali ilmu agama saja, akan tetapi juga bertugas mendidik dan membina jiwa
anak yang sedang mengalami berbagai perubahan dan kegoncangan jiwa itu serta
membekalinya dengan agama yang mereka butuhkan. Guru agama yang dapat
memperlakukan siswanya dengan penuh pengertian dan kebijaksanaan akan disenangi
oleh para siswa karena pada umumnya remaja sekolah menengah merasa kurang
dimengerti oleh orang tua, guru dan masyarakat pada umumnya.
Menurut Moh. Uzer Usman, tugas guru dikelompokkan kepada
tiga macam yaitu :
1.
Tugas guru dalam bidang profesi
2.
Tugas kemanusiaan
3.
Tugas dalam bidang kemasyarakatan.[13]
Sedangkan pada umumnya tugas guru itu meliputi:
1.
Tugas Pengajaran atau Guru sebagai
pengajar
- Tugas bimbingan dan penyuluh atau guru sebagai pembimbing dan pemberi bimbingan
3.
Tugas administrasi atau guru
sebagai pemimpin (manajer kelas)[14]
Ketiga tugas di atas
harus dilaksanakan sejalan, seimbang, serasi dan fungsional serta berkaitan
dalam menuju keberhasilan pendidikan sebagai suatu keseluruhan yang tidak
terpisahkan. Sebagai pengajar, guru bertugas membina perkembangan pengetahuan,
sikap dan keterampilan. Guru sebagai pembimbing dan pemberi bimbingan
dimaksudkan agar setiap siswa atau anak didik diinsyafkan mengenai kemampuan
dan potensi anak didik yang sebenarnya dalam kapasitas belajar dan bersikap,
jangan sampai anak didik meremehkan kemampuannya sendiri dan potensinya untuk
belajar dan bersikap sesuai dengan ajaran Islam. Tugas administrasi maksudnya
guru sebagai pengelola kelas (Manajer). Interaksi belajar mengajar
sekurang-kurangnya terus menerus memelihara suasana keagamaan, kerjasama, rasa
persatuan dan perasaan puas pada anak didik dalam pendidikan dan pengajaran
agama Islam.
Zuhairini dkk, mengungkapkan pula bahwa guru agama
sebagai pendidik mempunyai tugas sebagai berikut:
1.
Mendidik anak agar berbudi mulia
2.
Menanamkan keimanan ke dalam jiwa
anak
3.
Mendidik anak agar taat
menjalankan agama
4.
Mengajarkan ilmu pendidikan Islam.[15]
Jadi,
guru agama di sekolah bertugas serta bertanggung jawab sebagai pengajar,
pendidik, pembimbing ke arah kedewasaan peserta didik sesuai dengan
kaedah-kaedah yang baik dan mengarahkan perkembangan pribadi peserta didik
sesuai dengan tujuan dan cita-cita ajaran agama Islam.
Dengan demikian jelaslah bahwa tugas pokok guru agama adalah
membentuk kepribadian siswa dalam memahami siapa dirinya dan memberikan
dorongan agar timbul kesadaran pribadinya untuk mengamalkan ajaran Islam sesuai
dengan tuntutan agama Islam agar terbentuknya kepribadian yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berbudi luhur untuk mencapai
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, sebab pengaruh guru agama sangat besar
terhadap pembentukan pribadi peserta didik.
Tanggung jawab dalam kerangka akhlak
adalah keyakinan bahwa tindakan itu baik.[16]
Tanggung jawab erat kaitannya dengan kesengajaan atau perbuatan yang dilakukan
dengan kesadaran. Selain itu, tanggung jawab guru erat hubungannya dengan hati
nurani atau intuisi yang ada dalam diri manusia yang selalu menyuarakan
kebenaran. Seseorang baru dikatakan bertanggung jawab apabila secara intuisi
perbuatannya itu dapat dipertanggung jawabkan pada hati nurani dan kepada
masyarakat pada umumnya.
Guru agama merupakan orang yang bertanggung jawab
untuk mendidik dan mengarahkan peserta didik berdasarkan kepribadian guru agama
harus sesuai dan berdasarkan ajaran agama Islam yang bersumber kepada al-Qur’an
dan hadis. Karena guru agama adalah orang yang bertanggung jawab dalam
memberikan didikan dan arahan terhadap peserta didik berdasarkan ajaran Islam,
maka guru agama tersebut harus memiliki beberapa sifat yang mesti ada dalam
dirinya. Sifat-sifat tersebut merupakan faktor yang sangat penting dalam rangka
mewujudkan fungsi dan peranannya sebagai guru agama.
Sifat-sifat
yang harus dimiliki oleh guru agama itu diantaranya adalah tidak mengutamakan
materi atau upah dalam melaksanakan tugasnya. Selanjutnya menjaga kebersihan,
terutama kebersihan diri sendiri, ikhlas mengajar sebagai guru agama, memaafkan
kesalahan peserta didiknya,menguasai tabi’at peserta didik dan harus mampu
menguasai bahan-bahan pelajaran yang akan diajarkan pada peserta didik serta
memiliki kepribadian yang baik dan lain-lain. Sifat guru yang menyenangkan
peserta didik adalah guru yang tidak terlalu merasa diri tinggi dan jauh dari
peserta didik, tapi seolah-olah kakak yang dapat memahami penderitaannya,
mendengarkan keluhannya, sanggup memberi bantuan dan menyelesaikan persoalan
yang dihadapinya serta menghargai dengan cara wajar.
Guru agama yang bijaksana
akan berusaha memilih materi yang cocok bagi peserta didik yang dihadapinya dan
metode penyajian pendidikan agama hendaknya memperhatikan keadaan jiwa peserta
didik dan menyadari bahwa pendidikan agama bertujuan untuk membina pribadi
peserta didik. Satu hal lagi yang tak boleh dilupakan adalah latihan-latihan
keagamaan sangat penting agar ajaran agama itu betul-betul masuk menjadi bagian
dari pribadi peserta didik. Guru agama mesti memberikan kesempatan kepada
peserta didik untuk mempunyai pengalaman yang bersifat keagamaan sebanyak
mungkin.
Guru agama adalah orang
yang bertanggung jawab mengarahkan dan membimbing peserta didik berdasarkan
hukum-hukum agama Islam. Kedudukan guru agama di sekolah merupakan pendidik
yang profesional dan telah merelakan dirinya menerima dan memikul sebagian
tanggung jawab pendidikan yang terletak dipundak orang tua.
Berbicara mengenai tugas
dan tangung jawab guru agama, maka akan tergambar dalam pikiran bahwa guru
agama mempunyai tugas dan tanggung jawab yang tidak ringan, artinya di samping
mengemban amanat orang tua yang telah dipukul kepadanya, juga mengemban amanat
Tuhan sebagai pemimpin peserta didiknya. Secara umum tanggung jawab guru
meliputi tiga hal yaitu :
1.
Tanggung jawab dalam mengupayakan
kurikulum
2.
Tanggung jawab dalam mengemban
kurikulum
3.
Tanggung jawab dalam membina
hubungan dengan masyarakat.[17]
Jadi,
tanggung jawab guru agama bukan saja di sekolah, tapi juga di luar sekolah.
Guru agama juga bertanggung jawab dalam memberi petunjuk terhadap peserta didik
dalam menggunakan waktu luang, tanggung jawab kehidupan moral/kehidupan
religius di keluarga, terhadap aktivitas kemasyarakatan dalam berbagai bentuk
dan terhadap siswa, dimana siswa berhubungan dengan sesama manusia, berhubungan
dengan makhluk Allah lainnya serta berhubungan dengan Allah SWT sebagai pencipta.
2.
Kedudukan Guru Agama
Kedudukan guru agama di
sekolah merupakan pendidik yang profesional dan telah merelakan dirinya
menerima dan memikul sebagian tanggung jawab pendidikan yang terletak di pundak
orang tua. Guru merupakan salah satu unsur dalam kependidikan yang harus
berperan aktif dan menempatkan kedudukannya sebagai tenaga professional. Oleh
karena itu setiap rencana kegiatan guru harus dapat didudukkan dan dibenarkan
semata-mata demi kepentingan peserta didik sesuai dengan profesi dan tanggung jawabnya.
Sebagaimana diketahui
sebelumnya bahwa kedudukan guru agama di sekolah sebagai faktor yang sangat
penting dalam pendidikan. Sebagai orang yang bergama Islam kehadiran guru agama
Islam di sekolah sangat berperan penting dalam menanamkan nilai-nilai keagamaan
pada peserta didik yang pada umumnya bergama Islam. Guru agama dalam
menjalankan tugasnya harus sanggup menjadi pendukung yang sebenar-benarnya
terhadap tercapainya cita-cita pendidikan agama, sehingga dirinya dihadapan
siswa merupakan panutan dalam pendidikan bergama Islam yang diajarkan. Untuk
keberhasilan itulah seorang guru agama sebagai pendidik di sekolah harus
memiliki syarat-syarat yang harus dipertanggung jawabkan dalam pendidikan, baik
jasmaniah maupun rohaniah.
Syarat untuk mencapai
guru yang baik dan diperkirakan dapat memenuhi tanggung jawab yang dibebankan
kepadanya adalah bertaqwa kepada Allah SWT, berilmu, sehat jasmani dan rohani,
baik akhlaknya bertanggung jawab dan berjiwa sosial.[18]
Dari pernyataan di atas,
dapat diketahui bahwa guru agama hendaknya memenuhi tanggung jawab yang telah
dibebankan kepadanya agar dalam waktu mengajar tidak hanya mentransfer ilmu
saja. Ditambahkan dengan ketaqwaan seorang guru akan menambah kewaspadaannya
dalam menjalankan tugasnya selaku guru agama di sekolah.
Bagi guru agama Islam, di
samping memiliki syarat-syarat tersebut juga harus :
1. Memiliki pribadi muslim, mukmin, muhsin, mukhlis serta muttaqin
2.
Taat dalam menjalankan agama dan
dapat memberi contoh tauladan yang baik bagi peserta didik
3.
Memiliki jiwa pendidik dan rasa
kasih sayang pada peserta didiknya dan ikhlas jiwanya
4. Mengetahui dasar-dasar ilmu agama
5. Tidak mempunyai cacat rohani dan jasmani dalam dirinya.[19]
Guru agama Islam di
sekolah juga harus professional, apalagi dengan adanya perkembangan teknologi
yang semakin cepat. Dalam peningkatan mutu pelajaran agama Islam, guru agama
dituntut harus tabah akan tingkah laku siswa yang bermacam ragam yang
kadangkala bisa membuat guru agama tersebut merasa tersinggung. Guru agama
Islam sangat berperan penting dalam memberikan arahan dan nasehat agar siswa
dan guru bisa menjalin hubungan yang baik, dan juga untuk menumbuhkan kesadaran
beragama kepada siswa yang akan menjadi darah daging baginya untuk berbuat
kebaikan.
Guru
agama harus memelihara tingkah laku dalam mengajar dan juga di luar jam
pelajaran serta dalam kehidupan sehari-hari. Guru agama perlu pula mengetahui
bahwa sorotan siswa sangat kritis bila berbuat yang tidak wajar. Jadi, kalau
perkataan guru agama tidak sesuai dengan perbuatannya dalam kehidupannya
sehari-hari akan menimbulkan masalah yang sangat sulit bagi guru tersebut.
Sebagai
seorang guru agama hendaknya mampu menjadi contoh tauladan yang baik bagi
peserta didiknya seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, sesuai dengan
firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Ahdzab ayat 21:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ
اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ
الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
(الاحزاب :21 )
Artinya : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suritauladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (Rahmat) Allah dan (Kedatangan) hari kiamat
dan dia banyak menyebut nama Allah” (QS Al-Ahdzab: 21)[20]
Di samping itu, guru
agama Islam sangat dibutuhkan dalam pembinaan akhlak siswa untuk terciptanya
hubungan yang baik antara manusia dengan Allah SWT, dan hubungan dengan sesama
manusia serta hubungan dengan makhluk lainnya. Supaya terwujudnya kepribadian
siswa yang mempunyai akhlak yang baik atau tindakan dan tingkah laku peserta
didik sangat berhubungan dengan guru yang mengajarkan pelajaran agama Islam di
sekolah
Jadi, guru agama Islam
sangat dibutuhkan untuk mengajarkan pendidikan agama Islam di sekolah dan juga
di luar lingkungan sekolah demi terwujudnya kepribadian peserta didik yang
Islami sesuai dengan tujuan pendidikan agama Islam tersebut.
3.
Kompetensi Guru agama
Secara etimologi, kompetensi berasal dari bahasa
Inggris, yaitu “Competence” yang berarti kecakapan atau kemampuan.[21]
Secara terminologi kompetensi dapat diartikan sebagai suatu tugas pemilikan
pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dituntut oleh jabatan seseorang.
Menurut Samana, seorang yang dinyatakan kompeten
dibidang tertentu adalah sebagai berikut:
Seseorang yang menguasai kecakapan kerja atau keahlian selaras dengan
tuntutan di bidang kerja yang bersangkutan dan dengan demikian ia mempunyai
wewenang dalam pelayanan sosial di masyarakatnya. Kecakapan kerja tersebut
dilaksanakan dalam perbuatan yang bermakna, bernilai sosial dan memenuhi
standar tertentu yang diakui oleh kelompok profesinya dan atau warga yang
dilayaninya.[22]
Kadar kompetensi
seseorang tidak hanya ditunjukkan oleh kuantitas kerja, akan tetapi sekaligus
menunjukkan kualitas kerja. Kompetensi menunjukkan kualitas serta kuantitas
layanan pendidikan yang dilaksanakan oleh guru yang bersangkutan secara
standar.
Dengan adanya pengertian
di atas, dapat diketahui bahwa kompetensi guru merupakan kemampuan seorang guru
dalam melaksanakan kwajiban-kewajiban secara bertanggung jawab dan layak,
bahkan tidak dapat dipisahkan dari kegiatan pendidikan dan pengajaran. Bagi
seorang guru seharusnya dikenal adanya sepuluh kompetensi yang harus dikuasinya
dan menerapkan kemampuan dasar bagi setiap guru. Sepuluh kompetensi tersebut
adalah:
1. Meguasai bahan pelajaran
2. Mengelola belajar mengajar
3. Mengelola kelas
4. Menggunakan media atau sumber belajar
5. Menguasai landasan kependidikan
6. Mengelola interaksi belajar mengajar
7. Menilai prestasi belajar
8. Mengenal fungsi dari bimbingan penyuluhan
9. Mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah
10. Memahami dan menafsirkan hasil penelitian sederhana dibidang
kependidian.[23]
Sebagai seorang pendidik, guru agama di samping
mengajarkan ilmu pengetahuan agama, juga bertugas menanamkan keimanan kedalam
jiwa siswa. Suatu hal yang lebih utama adalah menyempurnakan, membersihkan,
menyucikan serta membawa hati manusia untuk bertaqarrub kepada Allah
SWT, sehingga menjadi hamba yang dekat dengan-Nya. Dengan demikian antara tugas
keguruan dengan tugas lainnya harus ditempatkan menurut proporsinya.
Seorang guru dalam melaksanakan tugasnya minimal harus
memiliki empat kemampuan dasar, yaitu :
1.
Penguasaan mata pelajaran yang
diajarkan
2.
Pemahaman peserta didik
3.
Penguasaan pembelajaran yang
mendidik
4.
Pengembangan kepribadian dan
keprofesionalan.[24]
Oleh sebab itu, guru
harus menguasai mata pelajaran dengan tempatnya mengajar, memahami keadaan
peserta didik dan juga menguasai pembelajaran serta melakukan penilaian
terhadap hasil belajar siswa dalam rangka pembentukan kepribadian peserta didik
sebagai umpan balik dalam mengembangkan kepribadian profesionalisme sebagai
seorang guru.
Guru agama harus dapat
mengambil simpati dari peserta didik yang dihadapinya. Dengan adanya simpati
dari peserta didik, para guru dapat menanamkan ajaran agama dengan mudah. Tanpa
adanya simpati dari peserta didik akan menyulitkan guru agama untuk menanamkan
ajaran agama itu kepada peserta didik. Selain itu juga harus kompeten dengan
memiliki kompetensi-kompetensi sebagai berikut:
1.
Menguasai materi al-Islam yang
komprehensif serta berwawasan dan pengayaan terutama pada bidang-bidang yang
menjadi tugasnya.
2.
Penguasaan strategi (mencakup
pendekatan, metode dan teknik) pendidikan Islam, termasuk kemampuan evaluasi
3.
Penguasaan ilmu dan wawasan
kependidikan
4.
Memahami prinsip-prinsip dan
menafsirkan hasil penelitian pendidikan pada umumnya untuk keperluan
pengembangan pendidikan Islam.
5.
Memiliki kepekaan terhadap
informasi secara langsung atau tidak langsung yang mendukung tugasnya.[25]
Untuk mewujudkan guru
yang profesional atau kompeten, dapat dilakukan dengan mengacu kepada tuntunan
Nabi Muhammad SAW, karena beliau satu-satunya guru atau pendidik yang berhasil
dalam waktu yang singkat. Keberhasilan Nabi Muhammad SAW sebagai pendidik
didahului oleh bekal kepribadian (personality) yang berkualitas unggul
dan kepeduliannya terhadap masalah sosial religius, semangat dan ketajamannya
dalam membaca, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui segala ciri sesuatu
secara mampu mempertahankan dan mempertimbangkan kualitas iman, amal saleh dan
berjuang menegakkan kebenaran dan bekal kesabaran.
Dalam melaksanakan
tugasnya, guru agama harus memiliki kemampuan-kemampuan dasar seperti
kompetensi personal religius, kompetensi sosial religius dan kompetensi
profesional religius.
Menurut Saefuddin,
kompetensi-kompetensi itu dapat dijadikan sebagai berikut:
1.
Mengetahui hal-hal yang perlu
diajarkan, sehingga ia harus belajar dan mencari informasi tentang materi yang
diajarkan.
2.
Menguasai keseluruhan bahan yang
akan disampaikan kepada peserta didiknya.
3.
Mempunyai kemampuan menganalisa
materi yang diajarkan dan menghubungkannya dengan konteks komponen-komponen
secara keseluruhan melalui pola yang diberikan Islam tentang bagaimana cara
berpikir (way of tinking) dan cara hidup (waf of life) yang perlu
dikembangkan melalui proses edukasi.
4.
Mengamalkan terlebih dahulu informasi
yang telah di dapat sebelum disajikan kepada peserta didik.
5.
Mengevaluasi proses dan hasil
pendidikan yang sedang dan telah dilaksanakan.
6.
Memberi hadiah (tasyir/reward)
dan hukuman (tandzir/punishment) sesuai dengan usaha dan upaya yang
telah dicapai peserta didik dalam rangka memberikan motivasi dalam proses
belajar mengajar.
7.
Memberikan uswatun hasanah dan
meningkatkan kualitas dan keprofesionalan yang mengacu pada futuristic tanpa
melupakan peningkatan kesejahteraan seperti gaji, pangkat, kesehatan,
perumahan, sehingga pendidik benar-benar berkemampuan tinggi dalam mentransfer
of heart, transfer of head dan transfer of hand kepada peserta didik dan
lingkungannya.[26]
Dalam Islam, penjelasan
di atas sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah As-Shaf ayat 2-3:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ . كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ
اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا
مَا لَا تَفْعَلُونَ . (الصف :1-3 )
Artinya: Hai orang-orang
yang beriman mengapa kamu mengatakan apa yang kami tidak perbuat. Amat besar
kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu ketahui”[27](QS.
As-Shaf : 1-3)
Dari uraian-uraian di
atas, maka sepantasnyalah guru agama untuk mempersiapkan diri sedini mungkin
supaya mempunyai kompertensi yang mendukung dalam melaksanakan proses belajar
mengajar. Sebagai seorang guru agama diperlukan persiapan yang lebih matang
dari segala segi, baik dalam hal yang menyangkut dengan teori dan praktek
pengajaran seperti bahan, metode, evaluasi pengajaran dan sebagainya maupun hal
mendukung pengajaran seperti kesiapan fisik dan mental.
Untuk menjadi guru agama
yang profesional tidaklah mudah, karena guru harus memiliki berbagai
kompetensi-kompetensi keguruan sebagaimana guru-guru lainnya. Kompetensi dasar
(basic competency) bagi guru agama ditentukan oleh tingkat kepekaannya
dari bobot potensi dasaran atau fitrah dan kecenderungan yang dimilikinya.
Potensi atau fitrah itu merupakan tempat dan bahan untuk memproses semua yang
datang dari dalam dirinya. Fitrah atau potensi dasar itu adalah inayah Allah
SWT.
Kompetensi guru agama
dapat pula digolongkan menjadi tiga bagian:
1.
Kompetensi bidang kognitif, yaitu
kemampuan intelektual seperti penguasaan mata pelajaran, pengetahuan tentang
cara mengajar, psikologi belajar, bimbingan penyuluhan, administrasi kelas,
penilaian hasil belajar dan pengetahuan tentang kwemasyarakatan serta
pengetahuan lainnya.
2.
Kompetensi bidang sikap, yaitu
kesiapan dan kesediaan guru terhadap berbagai hal yang berkenaan dengan tugas
dan profesinya.
3.
Kompetensi tentang prilaku guru,
yaitu kemampuan guru dalam berbagi keterampilan seperti kemampuan mengajar,
membimbimbing siswa, memanfaatkan potensi/kemampuan yang ada pada masing-masing
guru.[28]
Kebutuhan guru
pendidikan agama tidak semata-mata bagi keperluan penyelengaraan pendidikan
pada jalur sekolah, tetapi juga perlu dipersiapkan untuk penyelenggaraan di
luar sekolah, pengajian, majelis ta’lim dan pendidikan dilingkungan keluarga.
Secara garis besar
kompetensi guru tersebut dapat dibedakan atas tiga komponen utama, yaitu
kompetensi personal, kompetensi profesional dan kompetensi sosial[29]
Ketiga kompetensi di
atas saling mendukung. Kemampuan personal mencakup penampilan sikap yang
positif terhadap keseluruhan tugas, situasi dan unsur-unsur pendidikan.
Kemampuan profesional meliputi penguasaan materi pelajaran dan bahan-bahan
pengajaran, penguasaan dan penghayatan terhadap landasan kependidikan.
Sedangkan kemampuan sosial mencakup kemampuan untuk menyesuaikan diri kepada
tuntunan pekerjaan dan lingkungan sekitar sehingga dapat menjalin hubungan yang
harmonis dengan peserta didik, teman sejawat dan masyarakat.
Guru agama perlu
mempunyai kompetensi untuk lebih memperdalam pemahaman dan peningkatan
pengamalan ajaran dan nilai-nilai agama untuk membentuk akhlak yang mulia
sehingga mampu menjawab tantangan masa depan.
Peningkatan kualitas
keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa diarahkan agar dapat
menjiwai kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dilaksanakan
melalui pemahaman dan pengamalan nilai-nilai spritual, moral dan etik keagamaan
untuk terbentuknya sikap batin yang taat
dan patuh pada norma dan ketentuan yang berlaku serta memacu etos kerja,
produktivitas dan rasa kesetiakawanan sosial.
Peningkatan keimanan dan
ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dilaksanakan melalui peningkatan
kualitas kelembagaan, pengajaran dan pendidikan agama sesuai dengan agama yang
dianut peserta didik yang bersangkutan pada semua jalur, jenis dan jenjang
pendidikan termasuk pra sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku secara berjenjang, berlanjut dan terus menerus dilingkungan keluarga,
lembaga pendidikan dan masyarakat.
Keberhasilan pendidikan
agama di sekolah lebih banyak ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilan guru
agama dalam mengelola dan mengembangkan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar.
Dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam surat An-Nahl
ayat 125:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ
بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ
بِالْمُهْتَدِينَ (النحل : 125 )
Artinya: “Serulah (Manusia) kepada jalan Tuhan-Mu dengan hikmat dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Tuhan-Mu Dialah
yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya. Dan dialah
yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. An-Nahl : 125)[30]
4.
Tanggung Jawab Guru Agama
Tanggung jawab guru agama
terhadap peserta didik merupakan tugas yang sangat berat karena bukan hanya
memberikan seperangkat ilmu (transfer of knowledge), tapi lebih dari itu
seorang guru harus mampu membentuk kepribadian peserta didik, baik dari segi
sikap, tingkah laku dan perkataanya yang diselaraskan dengan nilai-nilai agama.
Sehingga bisa mengantarkan peserta didik menjadi manusia paripurna (insanul
kamil) untuk memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Dalam kaitan tanggung
jawab guru ini Peters mengemukakan sebagaimana yang dikutip oleh Nana Sudjana,
ada tiga tugas dan tanggung jawab guru yaitu:
a.
Guru sebagai pengajar
Hal
ini lebih menekankan kepada tugas dalam merencanakan melaksanakan pengajaran.
Dalam tugas ini guru dituntut memiliki seperangkap pengetahuan dan keterampilan
teknik mengajar di samping menguasai ilmu atau bahan yang akan diajarakannya.
b.
Guru sebagai pembimbing
Yaitu
memberi tekanan pada tugas, memberikan bantuan kepada siswa dalam pemecahan
masalah yang dihadapinya.
c.
Guru sebagai administrasi kelas
Tugas sebagai
administrator kelas pada hakikatnya merupakan jalinan antara ketatalaksanaan
bidang pengajaran dan ketatalaksanaan pada umumnya. [31]
Sejalan dengan Peters,
Amstrong membagi tugas dan tanggung jawab jawab guru menjadi lima katogeri,
yakni:
a.
Tanggung jawab dalam pengajaran
b.
Tanggung jawab dalam memberikan
bimbingan
c.
Tanggung jawab dalam mengembangkan
kurikulum
d.
Tangung jawab dalam mengembangkan
profesi
e.
Tanggung jawab dalam membina hubungan
dengan masyarakat.[32]
Dari pendapat di atas, dapat dipahami bahwa tanggung
jawab guru tersebut mengandung arti bahwa guru dituntut selalu mencari gagasan
baru demi menyempurnakan hasil proses belajar dan mengajar. Di samping
mempersiapkan anak didik yang berkompetensi agama, baik di lingkungan
pendidikan formal maupun non-formal atau
masyarakat.
Dalam situasi seperti sekarang, tanggung jawab guru
dalam membina hubungan dengan masyarakat terutama pengembangan jiwa keagamaan
anak didik yang sangat dibutuhkan. Dalam mewujudkan hal ini guru agama lebih
berorientasi pada tugas pengajaran agama Islam.
B. Motivasi
1.
Pengertian Motivasi
Motivasi dalam bahasa Inggris adalah “motive” yang
berasal dari kata “motion” yang berarti
gerakan atau sesuatu yang bergerak. Sedangkan Freud mengatakan bahwa motivasi
itu merupakan energi yang terdapat dalam diri seseorang.[33]
Dalam kamus lengkap psikologi yang diterjemahkan oleh Kartini Kartono
menjelaskan bahwa motive (motif) adalah suatu keadaan ketegangan di
dalam individu yang membangkitkan, memelihara dan mengarahkan tingkah laku
menuju kepada satu tujuan atau sasaran.[34]
Senada dengan hal di atas, Abu Ahmadi mengatakan motif
adalah sesuatu yang ada pada diri individu yang menggerakan atau membangkitkan
sehingga individu itu berbuat sesuatu.[35]
Selanjutnya Sumadi Suryabrata mengemukan bahwa motif adalah keadaan dalam
pribadi orang yang mendorong individu untuk melakukan aktivitas-aktivitas
tertentu untuk mencapai satu tujuan.[36]
Selanjutnya menurut Chalijah Hasan motivasi adalah suatu kekuatan yang
merupakan dorongan individu untuk melakukan sesuatu seperti yang diinginkan
atau dikehendakinya.[37]
Berdasarkan beberapa defenisi yang dikemukakan oleh
para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah merupakan suatu
energi yang dapat dalam diri seseorang yang mengakibatkan seseorang itu
melakukan suatu energi yang dapat dalam diri seseorang yang mengakibatkan
seseorang itu melakukan tindakan atau suatu perbuatan yang direncanakan. Dengan
kata lain motivasi adalah suatu keadaan dalam diri manusia yang mendorong
manusia tersebut melakukan aktifitas-aktifitas tertentu guna mencapai suatu
tujuan, yang pada akhirnya merupakan suatu proses pemenuhan kebutuhan dirinya.
Motivasi akan timbul jika ada suatu tujuan yang akan
dicapai. Motivasi ini akan menyebabkan adanya perubahan tenaga yang ada dalam
diri dan menjadi aktif pada saat tertentu, terutama jika ada kebutuhan untuk
mencapai tujuan yang mendesak. Motivasi juga dikatakan serangakian usaha
menyediakan kondisi-kondisi tertentu sehingga seseorang itu mau dan ingin
melakukan sesuatu dan bila ia tidak suka, maka akan berusaha untuk meniadakan
atau mengelakkan perasaan tidak suka itu. Dalam kegiatan motivasi dapat
diartikan sebagai keseluruhan daya upaya penggerak dalam diri siswa yang
menimbulkan kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki untuk subjek itu
dapat tercapai.
2.
Macam-macam motivasi
Dalam melaksanakan suatu
kegiatan, seseorang telah menyimpan keinginan dalam dirinya atau melakukan
suatu kegiatan. Ada bermacam-macam motivasi atau dorongan yang membuat orang
melakukan berbagai kegiatan. Motivasi atau dorongan tersebut sangat bervariasi
sesuai dengan keinginannya.
Menurut Abu Ahmadi dalam
buku Psikologi Sosial menjelaskan tentang macam-macam motif yakni:
a.
Motif Biogenestis
Adalah motif-motif
yang berasal dari kebutuhan-kebutuhan organisme orang demi kelanjutan
kehidupannya secara biologis.
b.
Motif Sosiogenetis
Adalah
motif-motif yang dipelajari orang dan berasal dari lingkungan kebudayaan tempat
orang itu berada dan berkembang.
c.
Motif Teogenetis
Adalah
interaksi antar manusia dengan Tuhan seperti yang nyata dalam ibadahnya dan
dalam kehidupannya sehari-hari, di mana ia berusaha merealisasikan norma-norma
agama tertetu.[38]
Abraham Maslow sebagaimana yang dikutip oleh Nana
Saodih Sukmadinata membagi keseluruhan motif yang mendorong perbuatan individu
atas lima kategori yang membentuk suatu hirarki atau tangga dari rendah ke yang
tinggi, yaitu:
1.
Motif fisiologis yaitu
dorongan-dorongan untuk memenuhi kebutuhan jasmani, seperti kebutuhan akan
makan, minum, bernafas dan bergerak.
2.
Motif pengamanan, yaitu
dorongan-dorongan untuk menjaga atau melindungi diri dari gangguan, baik
gangguan alam, binatang, iklim, maupun penilaian manusia.
3.
Motif persaudaraan dan kasih
sayang, yaitu motif untuk membina hubungan baik, kasih sayang, persaudaraan
baik dengan jenis kelamin yang sama maupun berbeda.
4.
Motif harga diri, yaitu motif
untuk mendapatkan pengenalan, pengakuan, penghargaan dan penghormatan dari
orang lain, ingin mendapatkan penerimaan dan penghargaan dari yang lainnya.
5.
Motif aktualisasi diri, yaitu
manusia memiliki potensi-potensi yang dibawa dari lahirnya dan kodratnya
sebagai manusia. Potensi dan kodratnya ini perlu diaktualisasikan dan
dinyatakan dalam berbagai bentuk dan sifat, kemampuan dan kecakapan nyata.
Melalui berbagai bentuk upaya belajar dan pengalaman individu berusaha
mengaktualisasikan semua potensi yang dimilikinya.[39]
Selanjutnya
Sardiman A.M membagi motivasi menjadi dua bagian, yaitu motivasi dalam dalam
diri (intrinsik) dan motivasi dari luar diri (ekstrinsik).[40]
a. Motivasi Intrinsik
Motivasi intrinsik menurut Poerwanto adalah motivasi
yang timbul dari dalam diri siswa itu sendiri.[41]
Siswa yang memiliki motivasi yang kuat akan mempunyai banyak energi untuk melakukan
kegiatan belajar. Seseorang yang memiliki inteligensi yang cukup tinggi boleh
jadi gagal karena kekurangan motivasi. Siswa yang mempunyai motivasi dapat
dilihat dari aktifitas yang dilakukannya sehari-hari. Seperti yang diungkapkan
oleh Sardiman A.M, yaitu:
1)
Tekun menghadapi tugas
2)
Ulet dalam menghadapi kesulitan
3)
Menunjukan minat terhadap berbagai
macam masalah untuk
orang tua
4)
Lebih senang kerja sendiri
5)
Cepat bosan terhadap tugas-tugas
yang bersifat rutin
6)
Dapat mempertahankan pendapatnya (kalau
sudah yakin akan sesuatu)
7)
Tidak mudah melepas hal yang
diyakini
8)
Senang mencari dan mencari
soal-soal.[42]
Apabila seseorang memiliki ciri-ciri di atas berarti
seseorang itu telah memiliki motivasi yang kuat, motivasi seperti itu sangat
penting dalam proses belajar mengajar. Siswa akan berhasil baik apabila siswa
tersebut tekun dalam mengerjakan tugas, ulet dalam memecahkan masalah-masalah
dan hambatan lain lain secara mandiri.
b.
Motivasi Ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang disebakan oleh
faktor-faktor dari luar situasi belajar mengajar.[43]
Guru hendaknya berusaha memberikan motivasi yang tepat dan optimal. Motivasi
yang diberikan oleh seorang guru hendaknya menimbulkan rasa ingin tahu, rasa
ingin berhasil serta menimbulkan minat siswa untuk belajar.
Dalam proses belajar mengajar, peranan motivasi baik
motivasi instrinsik maupun motivasi ekstrinsik sangat diperlukan. Kedua
motivasi tersebut seperti dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan, karena
keduanya sama-sama berfungsi sebagai pendorong manusia untuk berprilaku
sempurna berlandaskan nilai-nilai religius agama Islam, sebagai penentu arah
perbuatan manusia dan sebagai penetu apa yang harus dikerjakan oleh manusia
tersebut.
Maka dari itu menurut penulis guru harus berhati-hati
dalam memberikan motivasi belajar bagi peserta didik. Sebab banyak maksud guru
untuk memberikan motivasi tetapi justru tidak menguntungkan terutama dalam
memotivasi dalam peserta didik untuk belajar agama. Guru yang berhasil mengajar
adalah guru yang pandai membangkitkan minat peserta didik dalam belajar secara
umum dan belajar agama Islam secara khususnya dengan memanfaatkan motivasi
instrinsik maupun ekstrinsik dalam berbagai bentuk dan kegiatan yang dapat
menunjang minat dan hasil belajar siswa secara optimal.
Ada beberapa cara yang bisa digunakan untuk
meningkatkan minat belajar siswa, berupa dorongan ekstrinsik dan intrinsik, di
antaranya adalah dengan memberikan penghargaan dan pujian, persaingan atau
kompetisi sesama siswa, memberikan hadiah dan hukuman serta dengan cara
memberikan informasi tentang kemajuan belajar siswa.
Dengan mengetahui cara-cara yang bisa menimbulkan
motivasi ekstrinsik di atas diharapkan para guru bisa memanfaatkan beberapa
cara tersebut, pada akhirnya tercapai suatu tujuan yang diharapkan dalam proses
pembelajaran , yaitu tingginya minat belajar siswa untuk belajar agama Islam.
3.
Fungsi Motivasi Belajar
Motivasi
adalah suatu hal yang sangat dibutuhkan dalam dunia pendidikan, tanpa motivasi
mungkin sangat susah untuk mendapatkan peserta didik yang tinggi minatnya.
Dengan adanya motivasi maka akan menjadikan belajar peserta didik lebih
optimal. Oleh karena itu seorang guru harus bisa menggunakan motivasi yang
diberikan, maka akan memberikan hasil yang baik pula terhadap pelajaran yang
diberikan. Jadi, motivasi senantiasa menentukan intensitas usaha belajar bagi
peserta didik.
Dalam proses
belajar mengajar sering ditemukan peserta didik yang malas berpartisipasi dalam
kelas atau luar kelas. Sementara peserta didik yang lain aktif dalam belajar.
Dan juga sering terdapat di dalam kelas beberapa anak yang duduk termenung
dengan santai dengan alam pikiran yang jauh melayang. Sedikitpun tidak bergerak
hatinya untuk mengikuti pelajaran dengan cara mendengarkan dan mengerjakan
tugas-tugas yang diberikan.
Kurangnya
minat siswa terhadap suatu mata pelajaran menjadi pangkal penyebab kenapa
banyak peserta didik tidak tertarik untuk tidak mencatatat apa-apa yang telah
disampaikan oleh guru. Hal demikian menandakan sangat rendahnya motivasi yang dimiliki
siswa tersebut dan kemungkinan tidak memiliki motivasi sama sekali.
Kemiskinan
siswa terhadap motivasi merupakan masalah yang memerlukan suatu bantuan yang
tidak bisa ditunda-tunda. Dengan demikian guru harus mampu menimbulkan gairah
belajar siswa dengan menggunakan motivasi ekstrinstik, sehingga dengan bantuan
tersebut peserta didik bisa keluar dari belajar yang dialaminya.
Apabila
motivasi ekstrinsik yang diberikan itu dapat membantu peserta didik keluar dari
belenggu kesulitan belajar yang dialaminya, maka motivasi berarti telah dapat
diperankan oleh seorang guru. Hal ini merupakan langkah yang akurat untuk
menciptakan iklim belajar yang kondusif bagi peserta didik baik secara
eksternal maupun internal.
Menurut
Saiful Bahri Djamarah, semua motivasi baik motivasi ekstrinsik maupun motivasi
instrinsik mempunyai fungsi yang sama, yaitu berfungsi sebagai pendorong,
penggerak dan penyeleksian perbuatan.[44]
a.
Motivasi sebagai pendorong
perbuatan
Pada mulanya
seorang siswa tisdak mempunyai minat untuk belajar, tetapi adanya sesuatu yang
akan dicari itu maka muncullah minat untuk belajar, tetapi adanya sesuatu yang
akan dicari itu maka muncullah minat untuk belajar. Sesuatu yang dicari itu
dalam rangka memuaskan rasa ingin tahu dari sesuatu yang dipelajari. Sesuatu
yang belum diketahui itu akhirnya mendorong peserta didik untuk belajar. Sikap
keingintahuannya itulah yang mendorong dan mendasari sejumlah aktifitasnya
dalam belajar.
b.
Motivasi sebagai penggerak
Dorongan
psikologis yang melahirkan minat terhadap anak didik itu merupakan suatu
kekuatan yang tidak terbendung, yang kemudian menjelma dalam gerakan
psikosipik. Di sini anak didik telah melakukan aktivitas belajar dengan segenap
jiwa raganya. Akal pikiran berproses dengan sikap raga yang cenderung tunduk
dengan kehendak perbuatan belajar.
c.
Motivasi sebagai pengarah
perbuatan
Apabila
seorang anak didik mempunyai motivasi dapat menyeleksi mana perbuatan yang
harus dilakukan dan mana perbuatan yang diabaikan. Anak didik yang ingin
mendapatkan sesuatu dari mata pelajaran tertentu, tidak mungkin dipaksakan
untuk mempelajari mata pelajaran dimana tersimpan sesuatu yang dicarinya.
Menurut Djamarah sesuatu yang akan dicari peserta didik itu merupakan tujuan
pelajaran yang akan dicapainya dan tujuan belajar itulah sebagai pengarah yang
memberikan motivasi kepada anak didik dalam belajar.[45]
Dari uraian
di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa fungsi motivasi adalah
sebagai pendorong, penggerak dan pengarah perbuatan bagi peserta didik dalam
mencapai suatu tujuan yang diinginkan khususnya dalam proses pembelajaran.
4. Bentuk-bentuk Motivasi
Bentuk-bentuk
motivasi itu ada bermacam-macam. Dalam
hal ini guru harus berhati-hati dalam
menumbuhkan dan memberikan motivasi bagi kegiatan belajar para anak didik. Ada
beberapa bentuk untuk menumbuhkan motivasi dalam kegiatan belajar di sekolah ;
1) Memberi angka
Banyak murid
belajar untuk mencapai angka yang baik, dan untuk itu ia berusaha dengan
segenap tenaga. Angka itu bagi mereka
merupakan motivasi yang sangat kuat. Angka itu benar-benar menggambarkan
hasil belajar anak. Namun belajar semata-mata untuk mencapai angka tidak akan
memberi hasil belajar yang sejati.[46]
Jika dilihat
dari pernyataan di atas, pemberian angka oleh guru merupakan suatu bentuk
motivasi bagi siswa untuk belajar. Jadi, dalam hal memberikan angka guru
haruslah berhati-hati. Artinya guru harus menilai siswa secara obyektif. Jangan
sampai karena ada permasalahan pribadi dengan siswa, guru seenaknya memberikan
angka yang jelek kepada siswa tersebut, padahal
dalam kegiatan pembelajaran siswa yang bersangkutan mempunyai kemampuan yang baik.
2). Hadiah
Pemberian
hadiah oleh guru kepada siswa yang berprestasi merupakan motivasi tersendiri
untuk meningkatkan prestasinya. Sedangkan bagi siswa yang lain juga akan
membangkitkan motivasi mereka untuk belajar dengan harapan mendapat hadiah
sebagaimana temannya itu. Akan tetapi pemberian hadiah oleh guru hendaknya
tidak semata-mata hanya sampai disitu, melainkan guru juga harus mengiringinya dengan nasehat-nasehat yang
baik bahwa sebenarnya belajar itu bukan untuk hadiah, akan tetapi untuk
mendapatkan ilmu yang bermamfaat serta
dapat mengamalkannya.
Hadiah
memang dapat membangkitkan motivasi bila setiap orang mempunyai harapan untuk
mencapainya. [47] Jadi,
keuletan guru dalam membangkitkan motivasi anak melalui hadiah sangat
diperlukan
3) Saingan atau Kompetisi
Persaingan
sering digunakan sebagai alat untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi di
lapangan industri, perdagangan dan juga di sekolah. Persaingan sering mempertiggi hasil belajar, baik itu
persaingan individual maupun kelompok.
4) Go-Involvement
Menumbuhkan
kesadaran pada siswa agar merasakan pentingnya tugas dan menerimanya sebagai
tantangan dengan mempertaruhkan harga dirinya. Kegagalan akan berarti
berkurangnya harga diri.[48]
Jadi,
ego-involvement ini merupakan salah satu bentuk motivasi yang baik dalam proses
belajar mengajar, karena seorang siswa akan berusaha dengan segenap tenaganya
untuk mencapai hasil maksimal guna menjaga harga dirinya.
5) Memberi Ulangan
Seorang
siswa akan lebih giat belajar apabila akan diadakan ulangan. Oleh karena itu,
memberi ulangan ini juga merupakan sarana motivasi. Akan tetapi yang perlu
diingat oleh guru adalah jangan terlalu sering mengadakan ulangan karena akan
membosankan siswa. Kemudian yang lebih penting adalah setiap akan diadakan
ulangan guru terlebih dahulu harus
memberitahukan kepada siswa.
6) Mengetahui Hasil
Dengan
mengetahui hasil pekerjaan adalah merupakan salah satu yang membuat dorongan kepada
siswa untuk lebih giat lagi belajar.
7) Pujian
Pujian
akibat pekerjaan yang diselesaikan dengan baik merupakan motivasi yang baik.
Supaya pujian menjadi sebuah motivasi maka pemberiannya harus tapat.
8)
Hukuman
Hukuman
merupakan bentuk reinforcement yang negatif, tapi kalau diberikan dengan
tepat dan bijak dapat menjadi alat motivasi. Oleh karena itu guru harus paham
tentang prinsip-prinsip pemberian hukuman
Asma Hasan
Fahmi sebagaimana yang dikutif oleh Ramayulis menjelaskan tentang cirri-ciri hukuman
dalam perspektif pendidikan Islam:
a. Hukuman diberikan untuk memperoleh perbaikan
dan pengarahan.
b. Memberikan kesempatan kepada anak untuk memperbaiki kesalahannya
sebelum dipukul, dan kalupun dipukul tidak boleh lebih dari tiga kali.
d.
Pendidik harus tegas dalam
melaksanakan hukman, artinya apabila
sikap keras pendidik telah dianggap
perlu maka harus dilaksanakan dan diutamakan dari sikap lunak dan kasih
sayang. [49]
9) Minat
Motivasi
sangat erat hubungannya dengan minat. Motivasi akan muncul karena ada
kebutuhan, begitu juga dengan minat.
Proses belajar mengajar akan berjalan dengan lancar jika disertai dengan minat.
Ada beberapa
cara dalam membangkitkan minat ;
a. Bangkitkan suatu kebutuhan
b. Hubungan dengan pengalaman lampau
c. Beri kesempatan untuk mendapatkan hasil yang baik, artinya bahan
pelajaran disesuaikan dengan kesanggupan individu.
d. Gunakan berbagai bentuk mengajar, seperti diskusi, kerja kelompok
dan sebagainya.[50]
10) Hasrat untuk Belajar
Hasrat untuk
belajar berarti ada unsur kesengajaan,
ada maksud untuk belajar. Hasrat untuk belajar pada diri anak berarti mereka
mempunyai motivasi untuk belajar, sehingga sudah barang tentu hasilnya akan lebih baik.
11) Tujuan yang diakui
Motivasi
selalu mempunyai tujuan, kalau tujuan
itu berarti bagi anak, ia akan berusaha untuk mencapainya. Guru harus berusaha agar
anak-anak jelas mengetahui tujuan setiap pelajaran. Tujuan yang menarik
bagi anak merupakan motivasi yang terbaik.
12)
Harapan
Memperoleh
dan mencapai harapan-harapan yang telah diberikan kepadanya sebelumnya.[51]
Berarti telah terlihat ada hubungan
antara harapan dengan hadiah. Hadiah merupakan salah satu bentuk harapan yang
akan diberikan kepada siswa setelah siswa tersebut berhasil dalam tugasnya.
Dalam
al-Qur’an, Allah SWT banyak menjelaskan tentang hadiah dan harapan yang akan
diterima seseorang hamba jika hamba-Nya tersebut patuh dan taat pada
perintah-Nya. Salah satu ayat yang berkenaan harapan yang berbentuk hadiah yang
akan diterima seorang hamba setelah hamba tersebut menyelesaikan tugasnya adalah al-Qur’an surat al-Isra’
ayat 79;
وَمِنَ
اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ
مَقَامًا مَحْمُودًا
(
الإسراء : 79 )
Artinya
:”Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu
ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang
terpuji”. (QS. Al-Isra’: 79)[52]
Gagne dan Berliner menyarankan juga sejumlah
cara meningkatkan motivasi siswa, tanpa harus melakukan reorganisasi
kelas secara besar-besaran;
1. Pergunakan pujian verbal. Kata-kata seperti bagus, baik,
pekerjaan yang baik, yang diucapkan segera setelah siswa melakukan tingkah laku
yang diinginkan merupakan pembangkit motivasi yang besar.
2. Pergunakan tes dalam nilai secara bijaksana.
3. Bangkitkan rasa ingin tahu siswa dan keinginannya untuk
mengadakan eksplorasi.
4. Untuk tetap mendapatkan perhatian, sekali-kali guru dapat
melakukan hal-hal yang luar biasa, seperti meminta siswa menyusun soal-soal tes
dan sebagainya.
5. Merangsang hasrat siswa dengan jalan memberikan pada
siswa sedikit contoh hadiah yang akan diterimanya bila berusaha untuk belajar.
6. Agar siswa lebih mudah memahami materi yang diajarkan,
maka pergunakan materi-materi yang sudah dikenal sebagai contoh.
7. Minta pada siswa untuk mempergunakan hal-hal yang sudah
dipelajari sebelumnya.
8. Pergunakan simulasi dan permainan.
9. Perkecil konsekuensi-konsekuensi yang tidak
menyenangkan dari keterlibatan siswa,
seperti ketidaknyamanan fisik.
10. Pengajar atau guru perlu memahami dan mengawasi suasana
social di lingkungan sekolah.
11. Pengajar perlu memahami hubungan kekuasaan antara guru
dan siswa. Seseorang akan dapat mempengaruhi motivasi orang lain bila memiliki
sesuatu bentuk kekuasaan sosial.[53]
5. Peranan Motivasi Terhadap Belajar Siswa
Manusia
merupakan makhluk potensial yang memiliki banyak daya, kekuatan, kesanggupan
atau motif dalam hidupnya. Setiap tingkah laku manusia pada hakekatnya tidak
bisa dipisahkan dari faktor motif yang melatarbelakanginya.
Karena motif
atau motivasi dalam ilmu jiwa dapat diartikan sebagai usaha yang ada dalam diri
manusia yang mendorongnya berbuat sesuatu guna mencapai suatu tujuan yang
diinginkan. Dengan motivasi ke depan manusia pada umumnya dan khususnya siswa
bisa menjadi bergairah, bersemangat, bersungguh-sungguh, berdinamika serta
kreatif dalam berkarya untuk mencapai suatu tujuan.
Dalam dunia
pendidikan dan pengajaran di sekolah motivasi dapat membuat siswa tekun belajar
serta menjadikan siswa sukses dan berprestasi, karena motivasi adalah esensi
dari setiap aktifitas. Kependidikan dan pengajaran dalam kehidupan serta
menjadikan orang berpindirian dalam agamanya.
Dari uraian
di atas, tampak betapa pentingnya peran dan arti motivasi dalam kehidupan
manusia pada umumnya dan siswa khusunya. Hal ini dapat dilihat dari fungsi motivasi
yang telah dikemukakan pada sub di atas, yaitu pertama, motivasi itu sebagai
pendorong untuk bertingkah laku, kedua motivasi berfungsi sebagai penggerak,
ketiga motivasi berfungsi sebagai penuntun arah dan tujuan manusia.
Jadi, dari
segi fungsinya dapat diketahui betapa besarnya peranan motivasi terhadap siswa
untuk membangkitkan gairah belajarnya dan menjadikan siswa memiliki motivasi
belajar yang tinggi.
[1]
Kahar Masyhur, Membina Moral dan Akhlak, (Jakarta : Rineka Cipta, 1994),
h. 287
[2]
Humaidi Tatapangarsa, Akhlak yang Mulia, (Surabaya : Bina Ilmu, 1980),
h. 115
[3]
Al-Ghazali, Ajarah-ajaran Akhlak, (Surabaya : al-Ihklas, 1988), h. 60
[4]
Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996), h.
39
[5]
Abu Ahmadi, Perbandingan Agama, (Jakarta : Rineka Cipta, 1991), h. 2
[6]
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 1997), h.
73
[7] Hamdani
Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Pustaka
Setia, 1988, h. 95
[8]
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Garis-garis Besar Program Pengajaran
(GBPP), Kurikulum 1994 SLTP, (Jakarta : [t.p], 199), h. 2
[9]
Hafni Ladjit dan Ahmad Sabri, Supervisi Pendidikan Agama Islam, (Padang
: IAIN “IB” Press, 1999), h. 12
[10]
Muhammad Zein, Methodologi Pengajaran Agama, (Yogyakarta : Idra Buana ,
1999), Cet-8, h. 197
[11]
Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung : Remaja Rosda
Karya, 1995), h. 124
[12]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang : Thoha
Putra, 1989), h. 172
[13]
Moh Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung : Remaja Rosda Karya,
2002), Cet. Ke-14, h. 6
[14]
Zakiah Darajat, Metodik Khusus Pengakaran Agama Islam, (Jakarta : Bumi
Aksara, 1995), h. 266
[15]
Zuhairini dkk, Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Surabaya : Usaha
Nasional., 1983), h. 35
[16]
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 200), h,
cet. Ke-3, h. 132
[17]
Piet A. Sahertian dan Ida Aleida Sahertian, Supervisi pendidikan dalam
Rangka Incenvice Education, (Jakarta : Rineka Cipta, 1990), h. 39
[18]
Departemen Agama RI, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Proyek Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, 1993), h. 39
[19]
Zuhairini, Op.cit, h. 34
[20]
Departemen Agama RI, op.cit, h. 670
[21]
Syaiful Bahri Djamarah, Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru, (Surabaya
: Usaha Nasional, 1994), hj. 33
[22]
Samana, Profesionalisme Keguruan, (Yogyakarta : Kanisius, 1994), h. 44
[23]
Abdul Rahman Saleh, Pendidik an Agama dan Keagamaan, visi, Misi dan Aksi, (Jakarta
: Gema Windu Panca Perkasa, 2000), h. 107
[24]
Tarsa, Basic Kompetensi, (Jakarta : Proyek Pembibitan Calon Tenaga
Kependidikan Biro Kepegawaian Sekretaris Jenderal Departemen Agama RI, 2003),
h. 31
[25]
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda
Karya, 1993), hal. 170
[26]
A.M. Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi, (Bandung:
Mizan, 1990), hal. 111-112
[27]
Departemen Agama RI, Op. cit, hal. 928
[28]
Abdul Rahman Saleh, Op. Cit, hal. 101
[29]
Hidayati, Unjuk Kerja Guru, (Padang
: Baitul Hikmah Press, 2002), h. 96
[30]
Departemen Agama RI, Op. cit, hal . 421
[31]
Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, (Bandung : Sinar Baru
Algesindo, 2002), h. 15
[32] Ibid
[33]
Sartito Wirawaman Sarwono, Pengantar Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang,
1982), h. 64.
[34]
Kartini Kartono, Kamus Lengkap Psikologi, (Jakarta: Rajawali Press,
1989), hal. 309-310
[35]
Abu Ahmadi, Psikologi Sosial, (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), hal.
72
[36]
Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Press,
1984), hal. 72
[37]
Chalijah Hasan, Dimensi-dimensi Psikologi Pendidikan, (Surabaya:
Al-Ikhlas, 1994), hal. 12
[38]
Abu Ahmadi, Op. cit, hal. 192
[39]
Nana Saodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung:
Remaja Rosdakrya, 2003), h. 68
[40]
Sardiman A.M, Motivasi Dan Interaksi Belajar, (Jakarta: Rajawali Press,
1988), h. 77
[41]
Ngalim Poerwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1991), h. 75
[42]
Sudirman A.M. Op. cit, h. 78
[43]
Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), h.
163
[44]
Saiful Bahri Djamarah, Psikologi Pendidikan Remaja, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2002), hal. 122
[45]
Ibid, hal. 183
[46]
Sardiman, AM, Op. cit, h, 91
[47] Ibid,h,
92
[48]
S. Nasution, Didaktik Azas-azas Mengajar, (Jakarta: Jemmars, 1982), h. 76
[49]
Ramayulis, Pengantar Psikologi Agama, (Jakarta : Kalam Mulia, 2002), h.
189
[50]
S. Nasution, Op. cit, h. 85
[51]
Oemar Hamalik. Psikologi Belajar Mengajar, (Bandung : Sinar Baru
Algesindo,1992), h. 186
[52]
Departemen Agama, Op. cit, h. 436
[53]
Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, (Jakarta :
Rineka Cipta, 2003), h, 177-179
0 Comment