BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam Islam, sufisme memberi makna isoteris yang melandasi formalisme. Mengkaji tasawuf berarti mempelajari dimensi-dimensi isoterik dari sebuah bangunan kepercayaan, sehingga sebuah agama (Islam) dapat dipandang secara utuh dan universal, bukan sekedar dogma-dogma yang mengukung tanpa makna. Apabila Islam dipisahkan dari aspek ini, maka hanya menjadi kerangka formal. Ibaratnya apabila kerangka tersebut tidak dibalut dengan daging dan kemudian dihidupkan sesungguhnya keindahan Islam tidak akan pernah ditemukan.
Tasawuf seperti halnya sebuah mata air yang mengalir terus menerus yang berasal dari alam dan menjadi sumber untuk memenuhi segala kebutuhan hidup sekaligus sebagai obyek pengkajian dan penelitian yang tidak akan pernah berakhir, meskipun pada setiap masa, tuntutan yang ditujukan padanya nampak dalam kerangka yang berbeda-beda. Dalam ranah aktivitas intelektual, pembahasan tasawuf dapat dikatakan cukup meriah dari waktu ke waktu. Bahkan saat ini pembicaraan mengenai nilai-nilai spiritual dianggap sangat urgen dan mendesak untuk dikaji. Hal ini mungkin suatu keniscayaan yang terjadi sebagai reaksi dari arus perkembangan zaman, yang membawa manusia pada peradaban yang dirasa semakin kehilangan orientasi keilahiannya.
Memang, dalam satu sisi manusia boleh bangga, usahanya yang terus menerus untuk mencapai kesempurnaan alamiahnya dalam ilmu pengetahuan dan kebudayaan sudah pada titik keberhasilan. Dunia modern menciptakan keajaiban-keajaiban yang mencengangkan. Dengan pesatnya perkembangan teknologi, kemudahan-kemudahan dalam berbagai aspek kehidupan dapat tercapai. Dalam era globasisasi ini terdapat – meminjam istilahnya Dimitri Mahayana – ledakan-ledakan yang luar biasa yaitu : ledakan besar komunikasi (communication big bang), ledakan besar informasi (information big bang), ledakan besar pengetahuan (knowledge big bang) dan ledakan besar manajemen (management big bang). Ledakan di sini dalam arti suatu loncatan kemajuan yang amat besar yang berhasil diciptakan oleh manusia. Big bang-big bang inilah yang mengantarkan manusia pada puncak kesempurnaan peradabannya.
Pada era tanpa batas ini, kita bisa menguji keberhasilan manusia dengan melontarkan satu pertanyaan, apa yang tidak dapat diperbuat manusia saat ini? Kita bisa menengok ke belakang ke jaman dahulu kala untuk menjawab pertanyaan itu sebelum kemudian membandingkannya dengan saat ini. Beberapa abad yang lalu dapat dibayangkan betapa manusia hidup dalam ruang yang sangat terbatas. Dunia terasa amat luas tanpa terjangkau oleh pikiran maupun indera. Manusia tidak mengenal apa-apa kecuali lingkungan yang sangat sempit, masyarakat yang satu, yaitu yang melahirkannya sekaligus tempat kematiannya. Kini jaman telah berubah, sejak terjadinya gelombang pencerahan pada abad 18 dan revolusi industri di Inggris, manusia mulai menggunakan akalnya dan muncullah temuan-temuan teknologi yang merubah seluruh sendi kehidupan.
Yang mengagumkan adalah manusia sudah mampu membuat miniatur dunia dengan segala perniknya dalam sebuah layar komputer dan internet. Internet merupakan sebuah lambang kesempurnaan kehidupan manusia. Di dalamnya mampu mencakup segala aspek yang berkaitan dengan kebutuhan manusia mulai dari hiburan, informasi, komunikasi dan bisnis.
Internet membuat dunia begitu kecil, begitu global menuju arah yang disamping positif juga negatif. Bahkan amat mengerikan yakni kebebasan tanpa batas. Dunia yang global memunculkan persoalan-persoalan yang rumit jika dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat kodrati seperti etika moral dan spiritual.
Itu hanyalah sekelumit gambaran tentang bagaimana manusia dengan memanfaatkan akal pikirannya, disatu sisi mencapai keberhasilan dan sekaligus dalam waktu yang sama secara perlahan manusia kehilangan dimensi keilahiannya. Menurut Fromm dalam bukunya Revolution of Hope, masyarakat tidak lebih dari sebuah mesin otomatis dan manusia sebagai onderdil-onderdilnya menjadi bagian dari mesin besar peradaban dan teknologi. Pada mulanya manusia yang menciptakan teknologi demi kebutuhan-kebutuhannya tetapi kemudian manusialah yang akhirnya menjadi budak dari teknologi itu sendiri. Muncullah suatu fenomena yang tidak dapat dipungkiri oleh setiap manusia modern yakni kekosongan spiritual.
Jika dulu Aristoteles mengklasifikasikan hal-hal dalam 10 kategori yaitu substansi, ruang, waktu, kualitas, kuantitas dan lain-lain kini manusia modern mereduksi dirinya menjadi satu kategori saja yaitu kuantitas. Nilai-nilai yang dianut manusia dalam menentukan keberhasilannya diukur dari hal-hal yang empirik, material dan bersifat biologis. Lalu bagaimana peran agama dalam menghadapi krisis spiritual dunia modern? Kenyataannya adalah meskipun agama tetap dipegang akan tetapi hanya menjadi kerangka formalitas yang tidak mempunyai makna dan kekuatan untuk mengatur roda kehidupan.
Adalah penting untuk menyadari bahwa spiritualitas tidak hanya sekedar bagian dari relitas manusia, tetapi spiritualitas adalah keseluruhan makna manusia. Keseluruhan integral ini adalah batu fondasi dari kesadaran diri, dan mencakup semua aspek khusus (manusia). Ia menjadi terlihat di dalam apa-apa yang kita ketahui dan pahami, di dalam bagaimana kita bertindak, berpikir, dan merasakan. Singkatnya kita adalah makhluk spiritual dan keseluruhan dari apa yang disebut dengan dunia material diruhanikan. Kita harus hati-hati terhadap pemikiran yang menganggap spiritualitas hanya berhubungan dengan salah satu fakultas dalam diri kita, atau sebagai sesuatu yang sepenuhnya berada di luar dunia ini, yang tidak ada kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Kita juga harus berhati-hati agar tidak terjatuh ke dalam perangkap intelektual yang terlalu mudah memisahkan akal dari intuisi, kepala dari hati. Ini jauh dari realitas yang dijelaskan oleh Ibnu ‘Arabi. Bagi dia, setiap realitas dunia, atau setiap aspek dari dunia, hanya dapat dipahami dengan tepat melalui asal-usul spiritualnya. Ia menghubungkan setiap realitas keduniawian dengan prinsip ilahiahnya, dan karena itu menempatkan segala sesuatu di tempat yang sebenarnya.
Jika tasawuf memberikan makna isoterik bagi formalitas, dengan metode-metode mujahadah, musyahadah dan intuisi, lain halnya dengan filsafat yang menawarkan akal, argumentasi dan logika untuk mencapai tujuannya. Sekilas keduanya seperti dua hal yang berlawanan dan tidak mungkin bertemu. Tetapi ketika kita menyakini bahwa kebenaran adalah satu seperti halnya kita beriman bahwa Tuhan adalah satu, maka pertentangan itu tidak ada. Baik tasawuf maupun filsafat hanya sebagai instrumen untuk mencapai kebenaran. Menurut Charis Zubair, untuk menangkap kebenaran dari realitas, alat-alat yang digunakan dari yang terendah adalah indera, naluri, akal rasional, dan intuisi. Jika kita menggunakan secara bersamaan maka akan diperoleh kebenaran hakiki yang mencakup dimensi transenden dan imanen. Dalam hal ini tasawuf dan filsafat adalah frame bagi instrumen-instrumen tersebut.
Dengan demikian pengkajian terhadap nilai-nilai spiritual sekaligus filosofis diharapkan mampu menghidupkan kembali eksistensi kemanusiaan kita yang nyaris terlupakan. Sebagai salah satu upaya memenuhi kebutuhan rohani di tengah peradaban moderen yang gersang. Selain itu dimaksudkan untuk melestarikan pemikiran-pemikiran paratokoh islam dengan mencari sisi-sisi positif yang mungkin untuk dipertimbangkan dalam menghadapi zaman global.
Kegelisahan merupakan ciri universal manusia di sepanjang masa dan di berbagai tingkatan, tetapi semakin kentara di dunia modern ini pada mereka yang justru serba kecukupan. Sebenarnya kegelisahan tak perlu ditafsirkan negatif, karena pada dirinya ia tidaklah buruk. Ia malah menunjukkan kepada kita rahasia terdalam eksistensi kita sebagai manusia. Kegelisahan inilah yang oleh SH. Nashr disebut sebagai The Mystical Quest atau pencaharian spiritual. Pencaharian mistik adalah wujud kerinduan sang jiwa untuk kembali ke tempat asalnya, yaitu Allah SWT. Manusia tidak akan penah berhenti mencari – dan karena itu akan selalu gelisah- sebelum mencapai apa yang dirindukannya selama ini, yaitu prtemuan dengan Tuhan atau kesatuan mistik (mystical union) dalam istilah yang dipakai para sufi.
Hal pokok yang paling mendasar dalam agama wahyu adalah ajaran tauhidnya, yaitu pemahaman tentang keesaan Tuhan. Ajaran tauhid ini merupakan suatu jawaban yang diberikan Tuhan kepada manusia atas segala upayanya selama berabad-abad kehidupannya dalam rangka pencarian terhadap realitas Tuhan. Namun pada dasarnya manusia diciptakan dengan segenap fitrah yang dimilikinya, mempunyai agama hakiki sejak lahir, yaitu agama Tauhid.
Dalam suatu masa tertentu, kadang seorang manusia terlahir sebagai seorang terpilih yang mempunyai kemampuan melampaui manusia lain dalam hal menggunakan potensi kemanusiaannya dalam melihat realitas obyektif serta melahirkan cara pandang independent dan uviversal yang sama sekali baru dan mempengaruhi jamannya juga jaman sesudahnya. Tokoh-tokoh ini mencapai derajat kemanusiaan sejati tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Hal ini terjadi pula dalam hal pemahaman terhadap realitas tauhid. Salah satu eksponen yang paling menonjol dalam fenomena ini adalah pemikiran Syaikh Akbar Ibnu ‘Arabi dengan gagasan tentang tauhidnya yang terkenal : Wahdatul wujud.
Menurut A.E. Affifi, wahdatul wujud adalah satu bentuk pantheisme, yang mengasumsikan bahwa Tuhan itu sesuatu yang absolut, yakni wujud yang tidak terbatas dan abadi yang merupakan sumber dari landasan puncak dari wujud kini, yang lalu dan yang akan datang yang lambat laun menjadi suatu bentuk akosmisme yang menyatakan bahwa Dunia Fenomena itu hanyalah semacam bayang-bayang yang lewat dari realitas yang terletak dibelakangnya. Segala sesuatu yang terbatas dan temporal hanyalah ilusi dan tidak riel.
Wahdatul wujud merupakan doktrin yang paling populer dalam sejarah perdebatan dunia sufistik. Sebagian kalangan menganggapnya sebagai ajaran yang menyesatkan dan sebagian lagi menilainya sebagai suatu produk yang berasal dari ketajaman pemikiran dan keagungan hati. Bahkan sampai saat ini boleh dibilang polemik wacana tentang Ibnu ‘Arabi dan wahdatul wujudnya masih berlangsung.
Suatu lembaga dakwah yang berdiri di Saudi Arabia baru-baru ini menerbitkan buletin yang disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia dengan tujuan mempropagandakan misi-misinya, yang salah satu buletinnya memberikan penilaian yang negatif terhadap sufisme dan ajaran tasawuf. Dan pada buletin yang lain menyatakan dilarangnya paham penyatuan agama (wahdatul adyan) yang notabene berakar dari faham wahdatul wujud.
Dilain fihak, di Barat khususnya di kalangan intelektual, semangat untuk melakukan penelitian-penelitian terhadap sufisme khususnya dalam hal ini Ibnu’Arabi terus menyala. Sebut saja misalnya Henry Corbin, Stephen Hirtenstein atau William Chittick yang malah mengkhususkan dirinya menelaah filsafat Ibnu ‘Arabi hingga sudah menghasilkan belasan buku tentang tokoh satu ini. Hal ini tentu tidak menafikan bahwa banyak juga sarjana timur yang menulis tentang Ibnu ‘Arabi.
Kajian tentang doktrin wahdatul wujud menjadi penting pula, mengingat pengaruhnya yang luar biasa dalam sejarah pemikiran sufi hampir di seluruh pelosok negeri-negeri Islam, termasuk Indonesia. Pengaruh doktrin ini terus membekas secara mendalam dan berkembang dengan subur sampai sekarang pada pemikiran mistik Islam kontemporer. Minat terhadap kajian pemikiran Ibnu ‘Arabi semakin meningkat. Sikap simpati terhadap sufi dari Andalusia ini ditunjukkan pula oleh sekelompok sarjana yang mengaguminya dengan mendirikan suatu organisasi bernama The Muhyidin Ibn ‘Arabi Society. Organisasi yang didirikan pada 1977 dan berpusat di Oxford itu, sejak 1982 menerbitkan sebuah jurnal yang diberi nama Journal of the Muhyiddin Ibn ‘Arabi Society. Organisasi ini secara berkala mengadakan pertemuan umum tahunan dan simposium tahunan di tempat-tempat berbeda. Dalam pertemuan dan simposium itu para sarjana menyajikan makalah tentang berbagai aspek pemikiran Ibnu ‘Arabi.
Di Indonesia sendiri, polemik juga tidak dapat terelakkan. Disamping penulisan secara obyektif dan netral, ada juga yang bersifat menolak dan bahkan mengunggulkan. Sebuah buku karangan Drs. H. Abdul Qadir Jailani berjudul Koreksi terhadap Ajaran Tasawuf mengatakan bahwa ajaran yang disebarluaskan guru-guru sufi adalah ajaran sesat yang berasal dari agama kuno, yaitu Hindu, yang salah satunya adalah doktrin pantheistik wahdatul wujud. Sedangkan dalam bukunya Menjemput Masa Depan, Dr. Dimitri Mahayana justru menawarkan doktrin wahdatul wujud sebagai alternatif untuk menjawab berbagai tantangan zaman, khususnya di Indonesia. Bahkan dalam buku ini Dimitri memberikan sebanyak dua belas point untuk memperkuat argumennya dalam menawarkan doktrin ini.
Berkaitan dengan antusiasme yang besar dalam mempelajari pemikiran Ibnu ‘Arabi, kajian yang tertuang dalam skripsi ini diharapkan dapat ikut serta memberikan masukan dan inventaris ilmiah pada pengkajian pemikiran sufi filosofis dan ikut serta dalam upaya pelestarian nilai-nilai tradisi spiritual Islam.
Berikut ini adalah uraian yang menunjukkan bagaimana pengaruh yang ditimbulkan oleh Ibnu ‘Arabi dapat menjadi alasan yang memadai untuk menjadikan Ibnu’Arabi sebagai obyek penelitian dan sumber inspirasi yang tiada habisnya bagi para pemikir, dan para peneliti.
Seperti apa yang diuraikan oleh AJ. Arberry dalam Pasang Surut Aliran Tasawuf :
Ibnu ‘Arabi menandai satu titik balik dalam sejarah tasawuf. Kendati diserang hebat-hebatan karena ajaran pantheistik (namun tatanannya lebih monistik ketimbang pantheistik) dan hujah-hujahnya yang berlebihan, tidak ada sufi setelahnya terlepas dari pengaruhnya, dan ia juga berjasa dalam semua literatur mistisisme sesudahnya. Bukanlah pada tempatnya membahas dampak bagi mistisisme Kristen zaman pertengahan, dan cukuplah disebutkan bahwa hal ini kini lazim dianggap memang terbukti. Untuk memaparkan secara sederhana ihwal pelestarian gagasan-gagasannya dalam tulisan-tulisan ke-Islaman terkemudian rasanya akan memadai kalau disebutkan bahwa penyair Parsi, Iraqi (W 688 H / 1289 M) menggubah Lama’atnya setelah mengenal ajaran Sadruddin Qonawi (W 672 H / 1273 M) dalam Fushusul Hikamnya Ibnu ‘Arabi. Perlu disebut pula bahwa Jami tidak saja merangkum sebuah ulasan tentang Al Lama’at tapi juga menyusun Lawa’ihnya untuk menandingi karya itu. Dua risalah mungil yang artistik ini, yang sama-sama berasal dari kitab berbahasa Parsi, Sawanih dari saudara Al Ghazali, Ahmad (W 517 H / 1123 M) mengandung tema khas doktrin trinitas mistik tentang cinta, pecinta, yang dicinta dan yang mereka tafsirkan dengan garis-garis teosofi Ibnu ‘Arabi.9
Dalam halaman lain buku ini juga menjelaskan :
Doktrin manusia sempurna yang dikembangkan oleh Abdul Karim Al Jili (W 832 H / 1428 M) dalam kitabnya yang terkenal Al Insanul Kamil, dipengaruhi oleh gagasan Ibnu ‘Arabi tentang kesatuan wujud yang melacak asal-usul wujud sejati yang tidak bernama, tidak bersifat; melalui tiga tahap manifestasi beruntun yang disebutnya : kesatuan (ahadiyah), ke Dia-an (Huwiyah) dan ke Akua-an (aniyah). Manusia pada hakikatnya adalah pikiran kosmik yang mempertalikan wujud mutlak dengan alam melalui tiga tahap yang bersesuaian dari penerangan mistik (tajalli) sang mistikus bisa berharap dapat menelusuri kembali asal-usulnya dan akhirnya dapat menjadi manusia sempurna, bersih dari segala atribut, kembali sebagai mutlak dari yang mutlak. Gagasan tentang turunnya ruh semesta ke dalam materi dan tentang pendakian penyucian manusia dari materi, memang akrab dalam pikiran kalangan sufi, jauh sebelum zaman Al Jili. Sumbangsih istimewa Al Jili yang terletak pada penghabluran konsepsi itu, di bawah pengaruh tatanan umum Ibnu ‘Arabi, menjadi sebuah metafisika yang jelas dan konsisten.10
Alasan lain yang tidak dapat dianggap remeh dalam penelitian tentang konsep wahdatul wujud Ibnu ‘Arabi adalah, bahwa jika dibandingkan dengan obyek lain seperti mahabbah, ma’rifah atau Hullul dan ittihad, wahdatul wujud lebih bersifat luas dan universal yang mencakup seluruh realitas yang ada. Sedangkan yang lain bersifat individual atau pemikiran yang berasal dari pengalaman mistis pribadi ketika berhubungan dengan Tuhan. Ketika faham lain hanya bisa dirasakan dan dipahami sendiri oleh sang mistikus tanpa dapat dipahami orang lain dengan akal sehat, konsep Ibnu ‘Arabi dapat ditelusuri dengan cara berfikir yang logis bahkan mampu menawarkan pandangan yang tajam untuk memahami realitas.
Seperti halnya pada filsafat Islam, dalam tasawuf tidak ada yang dapat menyangkal kenyataan bahwa keduanya bercorak hellenistik, karena memang sejarah telah mencatat bahwa pengaruh pemikiran Yunani amatlah besar bagi para filosof Islam dan para Sufi. Meskipun berbagai penelitian dilakukan untuk mengembangkan filsafat Islam dan tasawuf menjadi satu disiplin yang otentik yang berhakikat pada Islam (Qur’an dan Sunah) tetapi tidak dapat dipungkiri pemikiran Yunani menjadi salah satu pangkal mata rantai yang kuat sebagai dasar terbentuknya sistem-sistem dalam filsafat Islam dan sufisme. Demikian pula yang menjadi kenyataan dalam sistem sufi besar Ibnu ‘Arabi. Selain Plato dan Aristoteles pengaruh pikiran Yunani yang sangat kentara dalam pemikirannya adalah Neoplatonisme.
Neoplatonisme adalah sebutan yang diberikan untuk hasil pemikiran Plotinus, orang filosof abad pertengahan. Disebut Neoplatonisme karena pada prinsipnya Plotinus merujuk pada ajaran Plato. Bedanya, Plato mendasarkan ajarannya pada Yang Baik, sedangkan Plotinus pada Yang Satu (The One).
Filosofi Plotinus berpangkal kepada keyakinan, bahwa segala ini, Yang Asal itu adalah satu dengan tidak ada pertentangan di dalamnya. Yang satu itu bukan kwalita dan bukan pula yang terutama dari segala keadaan dan perkembangan dalam dunia, segala datang dari sesuatu, Yang Asal. Yang Asal itu adalah sebab kwantita, bukan akal bukan jiwa, bukan bergerak bukan pula tenang terhenti, bukan dalam ruang dan bukan dalam waktu. Yang satu itu tidak dapat dikenal, sebab tak ada ukuran untuk membandingkannya. Orang hanya dapat mengatakan, apa yang tidak sama dan serupa dengan Dia, tetapi tidak dapat dikatakan apa Dia. Pada dasarnya yang satu itu tidak dapat, karena nama-nama yang satu, yang baik, berlainan dengan Yang Asal. Yang satu itu menunjukkan apa artinya baik itu untuk makhluk Yang lain, bukan apa itu baginya sendiri. Hanya satu saat yang positif yang tidak boleh tidak ada padanya, yaitu Yang Asal itu adalah permulaan dan sebab yang pertama dari segala yang ada.11
Dari sini kita dapat melihat sisi persamaan antara wahdatul wujudnya Ibnu ‘Arabi dan The One-nya Plotinus. Akan tetapi sebenarnya tidaklah sama antara keduanya, karena pemikiran Plotinus hanyalah salah satu unsur dari sekian banyak unsur yang mempengaruhi sistemnya Ibnu ‘Arabi.
Dikarenakan Plotinus hidup pada periode terakhir dalam fase Hellenisme Romawi, maka sistem Neoplatonisme menjadi lebih lengkap, jelas, dan konsisten dibanding Plato dan Aristoteles. Sehingga hal ini menjadikan pengaruhnya lebih dirasakan bagi tokoh sesudahnya. Pengaruhnya yang besar pada tokoh-tokoh Islam maupun Kristen sesudahnya patut untuk dikaji. Tokoh-tokoh Islam yang tidak dapat melepaskan diri dari pengaruhnya adalah antara lain : Al Farabi, Ibnu Sina, Ihwanus Shafa, dan tak terkecuali Ibnu ‘Arabi. Semua yang disebut adalah para tokoh yang tidak dapat dipandang sebelah mata dalam kancah pemikiran dunia Islam. Hal lain yang menjadi alasan untuk mengulas Plotinus adalah karena ajarannya yang bisa disoroti dengan seksama dan jelas jika dikaitkan dengan para sufi, teutama pada teori emanasi dan hirarkinya. Begitu pula yang mempengaruhi Ibnu ‘Arabi lebih signifikan pada teori ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah seperti yang telah diuraikan di atas, maka penulis mengajukan dua hal pokok sebagai rumusan masalah, yaitu:
1. Bagaimana proses terwujudnya keterkaitan antara wahdatul wujudnya Ibnu ‘Arabi dengan filsafat Neoplatonisme? Jika ada, dimanakah letaknya?
2. Bagaimana persamaan dan perbedaan antara filsafat Neoplatonisme dengan wahdatul wujud Ibnu ‘Arabi?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
I. Tujuan Penelitian
a. Mencari keterkaitan antara pemikiran Ibnu ‘Arabi dengan filsafat Neoplatonisme.
b. Mengetahui titik-titik persamaan dan perbedaan antara filsafat Ibnu ‘Arabi dengan Neoplatonisme.
II. Kegunaan Penelitian
a. Sebagai partisipasi penulis dalam rangka ikut melestarikan pemikiran tokoh islam khususnya Ibnu ‘Arabi.
b. Memenuhi sebagian persyaratan guna meraih gelar kesarjanaan strata 1 (S1) di bidang kefilsafatan pada fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
D. Metode Penelitian
Penelitan ini bersifat kepustakaan murni atau library research. Artinya data-data yang digunakan berasal dari sumber kepustakaan baik primer maupun sekunder, baik berupa buku, ensiklopedi, jurnal, majalah dan lain sebagainya. Yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Model penelitian historis faktual mengenai tokoh dan alirannya. Dalam hal ini adalah Ibnu ‘Arabi dengan wahdatul wujudnya dan Plotinus dengan Neoplatonismenya.
b. Model penelitian komparatif, yaitu membandingkan antara sistem Ibnu ‘Arabi dan filsafat Neoplatonisme sebelum kemudian mencari titik temunya.
Metode yang akan digunakan adalah deskriptif sintesis. Deskriptif adalah menggambarkan konsep atau pemikiran Ibnu ‘Arabi dan Plotinus lengkap dengan riwayat hidupnya. Sintesis adalah suatu usaha mencari kesatuan dalam keragaman atau mencari titik temu antara kedua pemikiran sehingga terwujud keterkaitan.
E. Tinjauan Pustaka
Sudah dijelaskan bahwa antusiasme pengkajian terhadap Ibnu ‘Arabi sejak lama sampai saat ini terus menyala. Pemikiran Ibnu ‘Arabi menjadi daya tarik yang luar biasa melebihi tokoh-tokoh sezamannya dalam bidang tasawuf, untuk selalu dan selalu dikaji dan dipelajari. Ratusan karya yang membahas tentangnya sudah diterbitkan baik berupa buku, artikel, maupun jurnal yang ditulis intelektual Barat maupun Timur termasuk Indonesia. Seperti halnya sebuah obyek yang tidak hanya mempunyai satu sisi untuk dilihat, Ibnu ‘Arabi menawarkan banyak sisi yang selalu menantang untuk diteliti, pemikirannya yang luas dapat dilihat dari banyak segi.
Ada sebagian tokoh yang mengkhususkan diri meneliti riwayat hidupnya saja, misalnya Claude Addas dalam bukunya Quest for the Red Sulphur atau R.W.J. Austin dalam Sufis of Andalusia. Buku yang pertama memaparkan biografi Ibnu ‘Arabi dan yang kedua mengenai riwayat hidup dan zamannya yang memberi penjelasan tentang tujuh puluh orang Maghribi yang menurut Ibnu ‘Arabi dari merekalah dia “mengambil manfaat di jalan akhirat”.
Buku-buku yang memberikan gambaran tentang pemikiran Ibnu ‘Arabi juga tidak kalah banyaknya. Sebagai contoh buku Seal of the Saints dan An Ocean without Shore yang memberikan gambaran yang jelas tentang kedalaman ajaran Ibnu ‘Arabi tentang kewalian dan Qur’an. Buku ini ditulis oleh Michel Chodkiewicz. Sedangkan Henry Corbin dalam bukunya Creative Imagination in the Sufism of Ibnu ‘Arabi menyajikan ajaran Ibnu ‘Arabi dengan cara sendiri. Stephen Hirtenstein bahkan menulis tentang ajaran dan kehidupan spiritual pribadi Ibnu ‘Arabi sekaligus dalam satu buku, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul: Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud, Ajaran & Kehidupan Spiritual Syaikh Al Akbar Ibnu ‘Arabi .
Dari sekian banyak buku yang membahas tentang Ibnu ‘Arabi, ada juga yang berusaha sekedar menterjemahkan karya-karyanya dalam bagian-bagian tetentu. Misalnya William C. Chittick mencoba menerjemahkan bagian-bagian dalam Futtuhat Makiyah dalam buku The Sufi Path of Knowledge dan The Self Disclosure of God. Ada juga Angela Seymour yang menerjemahkan 12 bab dari Fusushul Hikam dalam The Wisdom of the Prophet.12
Untuk mewakili tokoh intelek Timur yang menulis buku tentang Ibnu ‘Arabi, kita bisa menyebut A.E. Afifi yang bukunya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi. Di dalamnya memaparkan hasil pemikiran Ibnu ‘Arabi yang dia petakan sebagai berikut : Ontologi, logos, Etika dan Estetika. Keempat klasifikasi tersebut saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Tokoh lain dari Timur yaitu S.H. Nashr yang memasukkan Ibnu ‘Arabi dalam tiga besar pemikir Islam dalam buku Three Muslim Sages yang meskipun karya pendek tetapi cukup representatif untuk memaparkan pemikiran Ibnu ‘Arabi.
Ironis rasanya jika menyebutkan tokoh-tokoh pengkaji Ibnu ‘Arabi tanpa mengikutkan tokoh dari Indonesia, sedangkan penelitian ini dilakukan di tanah air dan juga karya-karya yang dihasilkan tentang Ibnu ‘Arabi masih bisa dhitung dengan jari. Tokoh-tokoh yang dimaksud adalah DR. Kautsar Azhari Noer dan DR. Yunasril Ali. Tokoh yang pertama menghasilkan karya berupa Disertasi yang saat ini sudah dibukukan dengan judul Ibnu ‘Arabi, Wahdatul Wujud dalam Perdebatan. Karya ini menampilkan pemikiran wahdatul wujud Ibnu ‘Arabi, membandingkan dengan Pantheisme dan polemik pemakian istilah Pantheisme untuk wahdatul wujud.
Tokoh yang kedua, DR. Yunasril Ali berhasil menulis sebuah buku tentang konsep Insan Kamil dari Ibnu ‘Arabi yang dikembangkanoleh Al Jili. Buku yang juga berasal dari Disertasi penulis ini diberi judul Manusia Citra Illahi, Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibnu ‘Arabi oleh Al Jili.
Dengan demikian, sejauh penelitian awal yang dilakukan penulis, pembahasan mengenai Ibnu ‘Arabi dan filsafat yang melatar belakangi pemikirannya belum pernah dilakukan. Mengenai Plotinus sendiri, memang ada seorang tokoh bernama Michael Anthony Sells yang melakukan studi banding antara teori emansi Plotinus dan Ibnu ‘Arabi, tetapi tidak secara eksplisit karena disamping Ibnu ‘Arabi ada tokoh John the Scot dan Meister Eckhart yang ikut serta diperbandingkan.
Adapun mengenai skripsi yang telah disusun oleh mahasiswa-mahasiswa Ushuludin, penulisan tentang Ibnu ‘Arabi sudah banyak dilakukan, tetapi sejauh pengamatan penulis, belum ada yang meneliti tentang filsafat yang telah mempengaruhi pemikirannya. Tentang Ibnu ‘Arabi, skripsi yang telah disusun adalah: Mengenai Epistimologi (Ahmad Khamin, 1987), pandangan tentang Tuhan (Alih M.S. 3053), tentang wujud (Alimuddin, 3695), Pantheisme (Haryanto, 05852383), dan tentang kejahatan (Ahmad Sahidah Rahem, 9251213). Sebagian dari skripsi itupun sudah lama dibahas sehingga kondisinya ada yang dalam keadaan nyaris tak bisa dibaca. Skripsi terbaru tentang Ibnu ‘Arabi adalah tahun 2003 yang disusun oleh Saltana dengan judul Hubungan Kualitatif Antara Tuhab dan Manusia Menurut Ibnu ‘Arabi. Sedangkan tentang Plotinus, Muh. Isnanto (05863574) menyusun skripsi berjudul Pemikiran tentang Emanasi antara Plotinus dan Al Farabi. Demikianlah telaah pustaka yang sementara ini dapat dilakukan oleh penulis.
F. Sistematika Pembahasan
Agar mendapat gambaran yang sistematis dan konsisten secara utuh, maka skripsi ini dituangkan dalam suatu sistematika penulisan secara ringkas sebagai berikut :
Bab I. Pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika pembahasan.
Bab II. Mendeskripsikan biografi tokoh, yaitu Ibnu ‘Arabi dalam beberapa sub Bab. Meliputi Riwayat hidup, Corak pemikiran, unsur-unsur yang mempengaruhi pemikiran tokoh, dan karya-karyanya.
Bab III. Membahas tinjauan umum tentang definisi wahdatul wujud dan Neoplatonisme. Sub ba pertama meliputi pengertian dan perdebatan tentang istilah wahdatul wujud. Sub bab kedua tentang Neoplatoisme yang meliputi pengertian dan tokoh-tokohnya ; fase-fase dan unsur-unsur yang mempengaruhinya.
Bab IV. Merupakan inti dari penulisan Skripsi.Yaitu mengenai pengaruh Neoplatonisme dalam wahdatul wujud Ibnu ‘Arabi. Meliputi point-point yang menghubungkan keduanya. Perbedaan dan persamaan kemudian merefleksikannya.
Bab V. Merupakan Penutup. Terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
BIOGRAFI IBNU ‘ARABI
A. Rifayat Hidup
Nama lengkapnya Muhammad Ibnu Ali ibnu Muhammad Ibnu ’Arabi al Tha’i al Hatimi. Nama ini dibubuhkan oleh Ibnu ’Arabi dalam Fihrist (katalog karya-karyanya). Orang-orang sezamannya, khususnya Sadruddin al Qunawi memanggilnya Abu’Abdullah. Banyak penulis pada umumnya menyebut dia sebagai Ibnu ‘Arabi. Nama singkat ini telah lama dipakai oleh para penulis Barat, sebagian mungkin meniru gaya pengarang Turki dan Iran, namun singkatan ini juga berfungsi untuk membedakan dirinya dengan salah seorang tokoh Andalusia lainnya yang terkenal, yakni Abu Bakr Muhammad Ibn ’Arabi (1076-1148), kepala hakim (Qadi) Sevilla ; kelak Ibnu ’Arabi belajar pada sepupu dari tokoh ini. 1
Dari nama lengkap tersebut kemudian oleh orang-orang setelahnya terutama yang mengaguminya Ia diberi gelar, antara lain : Muhyi-Din (Penghidup Agama) dan Syaikh al Akbar (Doktor Maximus). Lalu banyak penulis yang menggabungkan dua gelar itu menjadi : Syaikh al Akbar Muhyidin Ibnu al’Arabi. Dalam banyak penulisan, tokoh ini seringkali hanya disingkat dengan Ibn al’Arabi (dengan Al), Ibnu’Arabi (tanpa al) ataupun Ibn’Arabi saja. 2
Ibnu ‘Arabi dilahirkan pada 17 Ramadan 560 H, bertepatan dengan 28 Juli 1165 m, di Mursia, Spanyol bagian tenggara. Pada waktu kelahirannya Mursia diperintah oleh Muhammad Ibnu Sa’id Ibnu Mardanisy.3 Sebagai anak pertama dan satu-satunya lelaki, kelahirannya jelas merupakan kebahagiaan besar bagi orang tuanya. Tujuh tahun pertama kehidupannya tampaknya dihabiskan di tengah konflik dan ketegangan lokal. Ayahnya bertugas sebagai tentara Ibnu Mardanisy, penguasa lokal yang mendirikan kerajaan kecil untuk diri sendiri dengan bantuan tentara bayaran kristen. Dalam tradisi Rodrigo Diaz (El Cid), leluhurnya yang terkenal pada abad ke XI, Ibnu Mardanisy berdiam di Mursia dan Valencia dan oleh orang-orang Kristen dijuluki “Raja Serigala”. Dia bersekutu dengan raja-raja dari Castile dan Aragon dan selama 25 tahun membela kerajaannya melawan kekuatan baru dari Al Muwahidin, meskipun kekuasaanya semakin surut ketika Ibnu ’Arabi lahir. Dinasti Al Muwahidin berasal dari suku-suku Berber dari pegunungan Atlas Maroko. Pengikut dari pemimpin keagamaan Ibnu Tumart, dan muncul pertama kalinya di tahun 1145. Menjelang tahun 1163 mereka menyerbu Afrika Utara sampai Tripoli. Sepanjang 20 tahun sebelum kelahiran Ibnu ’Arabi, Al Muwahidin telah membangkitkan dan mengkosolidasi kembali persatuan muslim di Andalusia, membangun benteng pertahanan untuk melawan gangguan dari orang-orang Kristen di utara. Mereka menjadikan Sevilla sebagai Ibukota lokal dan membangun stabilitas diseluruh daerah Afrika Utara.4
Pada tahun 1172 Ibnu Mardanisy wafat, dan berakhirlah perlawanan terhadap kekuasaan Al Muwahidin. Ayah Ibnu’Arabi bersama-sama dengan rombongan pengikut Ibnu ’Mardanisy yang terkemuka, tampaknya mengalihkan kesetiannya pada sultan Al Muwahidin, Abu Ya’qub Yusuf I, dan menjadi salah satu penasehat militernya. Pada tahun itu juga semua keluarganya pindah ke Sevilla, pusat kosmopolit yang ramai dan makmur, dan menjadi ibukota kerajaan Al Muwahidin di Spanyol. Program-program pembangunan baru yang dibiayai oleh sultan ; seperti memulihkan kembali sistem air Romawi Kuno, membuat Sevilla menjadi kota utama di negeri ini. Kota ini menjadi titik temu antara berbagai ras, dan kultur dimana penyanyi dan penyair bergaul dengan filosof dan teolog, dan para wali berdampingan dengan para pendosa. Jadi, sejak usia 7 tahun Ibnu ’Arabi tumbuh di lingkungan yang penuh dengan ide-ide penting pada masa itu, ilmu pengetahuan, agama dan filsafat. Ketika komunikasi massa sebagaimana kita kenal sekarang belum ada lingkungan semacam ini menjadi unsur penting dalam perkembangan dirinya. Sevilla abad ke dua belas pada masa Ibnu ’Arabi masih muda bisa disamakan dengan gabungan kota London, Paris dan New York dimasa sekarang – sebuah campuran yang luar biasa dari berbagai orang, bangunan dan peristiwa. 5
Sebagian besar dari kehidupan awalnya dihabiskan seperti lazimnya anak-anak muda yang baru tumbuh. Pendidikannya adalah pendidikan standar untuk keluarga muslim yang baik, meskipun tampaknya ia tidak belajar disekolah resmi, hampir bisa dipastikan ia mendapatkan pelajaran privat di rumah. Dia diajari Al Qur’an oleh salah seorang tetanganya, Abu Abdallah Muhammad al Khayyat, yang kemudian sangat dia cintai dan tetap menjadi sahabat dekatnya selama bertahun-tahun.6
Sejak menetap di Sevilla ketika berusia delapan tahun, Ibnu’Arabi memulai pendidikan formalnya. Di kota pusat ilmu pengetahuan itu, dibawah bimbingan sarjana-sarjana terkenal mempelajari Al Qur’an dan tafsirnya, hadist, fiqih, teologi, dan filsafat skolastik. Sevilla adalah suatu pusat sufisme yang penting pula, dengan sejumlah guru sufi terkemuka yang tinggal disana.7
Selama menetap di Sevilla, Ibnu ‘Arabi muda sering melakukan perjalanan ke berbagai tempat di Spanyol dan Afrika Utara. Kesempatan itu dimanfaatnya untuk mengunjungi para sufi dan sarjana terkemuka. Salah satu kunjungannya yang sangat mengesankan ialah ketika berjumpa dengan Ibnu Rusyd (w 595 / 1198) di Kordova.8 Ibnu ‘Arabi dikirim oleh ayahnya untuk bertemu dengan filsuf besar Ibnu Rusyd yang berasal dari keluarga yang sangat terpandang di Kordova. Ibnu Rusyd, dari semua tokoh abad pertengahan Spanyol, mungkin orang yang paling terkenal di Eropa, karena ia memperkenalkan kembali karya-karya Aristoteles – Astronomi, meteorologi, pengobatan, biologi, etika, logika – dan dan ulasan-ulasannya berpengaruh luar biasa terhadap Eropa ketika orang-orang Eropa kemudian menemukan kembali Aristoteles.9 Percakapan Ibnu ‘Arabi dengan filsuf besar ini membuktikan kecemerlangan yang luar biasa dalam wawasan spiritual dan intelektual. Percakapan tersebut menjelaskan perbedaan dan pertentangan asasi antara jalan akal logis dan jalan imajinasi gnostik yang kemudian membagi pemikiran Islam secara keseluruhan kedalam 2 cabang. Fakta bahwa sufi muda mengalahkan filsuf peripatetik itu dalam tukar pikiran tersebut dengan tepat menunjukan titik buhul pemikiran filosofis dan pengalaman mistik Ibnu’Arabi, yang memperlihatkan bagaimana mistisisme dan filsafat berhubungan satu sama lain dalam kesadaran metafisisnya. Pengalaman-pengalaman visioner mistiknya berhubungan paling dekat dengan, dan disokong oleh pemikiran filosofisnya yang ketat. Ibnu’Arabi adalah seorang mistikus yang sekaligus seorang guru filsafat peripatetik, sehingga ia bisa atau lebih tepat telah memfilsafatkan pengalaman spiritual batinnya kedalam suatu pandangan dunia metafisis maha besar sebagaimana terdalam dalam hubungan dengan struktur metafisikanya kedalam waĥdatul wujūd.10
Pada usia relatif muda, mungkin 16 tahun. Dia menjalani pengasingan diri (khalwat). Menurut kisah yang ditulis lebih dari 150 tahun setelah wafatnya, diceritakan bahwa Ibnu ’Arabi suatu ketika ikut pesta makan-makan bersama teman-temannya dan sebagaimana kebiasaan di Andalusia, setelah hidangan daging lalu disajikan anggur. Saat dia hendak mulai minum segelas anggur, tiba-tiba dia mendengar seruan, “Wahai Muhammad, bukan untuk ini engkau diciptakan!” Karena ketakutan mendengar suara yang tegas ini, dia lari ke sebuah pemakaman di luar kota Sevilla. Disana ia menjumpai reruntuhan yang mirip sebuah gua. Selama empat hari ia tetap tinggal disana sendirian melakukan khalwat, melakukan zikir dan hanya keluar saat shalat.11
Ibnu’Arabi tampaknya ditakdirkan untuk mengikuti jejak ayahnya : Ia bertugas dalam pasukan tentara Sultan Al Muwahiddin selama beberapa waktu, dan dijanjikan kedudukan sebagai asisten untuk gubernur Sevilla. Dia sendiri menyebut periode kehidupan ini sebagai periode kejahilan. Periode kejahilan atau kebodohan ini diakhiri oleh pengalaman konvensi atau pencerahan. Kejahilan Ibnu’Arabi bukan merupakan masa ia melakukan dosa besar atau tindakan yang melampaui batas, namun hanya ketidakpedulian (terhadap Tuhan) dan godaan dari daya tarik duniawi. Ini adalah masa yang hampir semua manusia pasti mengalami, agar mereka memahami makna kejauhan dari Tuhan dan karena itu memahami makna kedekatan dengan Tuhan.12
Setelah pertemuannya dengan Ibnu Rusyd dan mengalami pencerahan spiritual, pada tahun 580 H (1184), Ibnu’Arabi mengundurkan diri dari ketentaraan dan segala urusan duniawi yang dimilikinya. Peristiwa terakhir yang memberinya keputusan bulat adalah saat ia dan panglima Al Muwahidin bersama-sama mengerjakan shalat di Masjid Agung Kordova.
Alasan aku menolak dan mengundurkan diri dari ketentaraan dan alasanku untuk menempuh jalan (Tuhan) dan kecenderunganku terhadap jalan itu adalah sebagai berikut : aku pergi bersama tuanku, Panglima (Al Muwahidin) Abu bakar Yusuf bin Abd al Mu’min bin Ali, menuju ke Masjid Agung Kordova, dan aku melihat dia bersimpuh, sujud dengan rendah hati memohon pada Allah. Kemudian pikiran melintas (khatir) menerpaku (sehingga) aku berkata pada diriku sendiri, “jika penguasa negeri ini begitu pasrah dan sederhana dihadapan Allah, maka dunia ini tidak artinya”. Lalu aku meninggalkannya pada hari itu juga, dan tidak pernah melihatnya lagi. Sejak itu aku mengikuti Jalan ini.13
Begitulah, sejak saat itu Ibnu’Arabi mengabdikan diri pada kehidupan spiritual dan penghambaan penuh terhadap Allah sesuai dengan ajaran yang diberikan oleh Isa, Musa dan Muhammad.
Pada 590 H (1193) ketika pikiran-pikirannya telah mengkristal ia berkelana mengelilingi Andalusia. Petama ia munuju kota Murur, untuk menemui Syeikh Abu Muhammad al Maururi. Selanjutnya ia meneruskan kelananya ke Cordova dan Granada, Setelah puas menikmati kelananya ke berbagai kota di Andalusia ia ingin menyeberangi laut dan menuju daratan lain. Ia pun pergi ke Bejayah (Bugia) Aljazair untuk mengunjungi Syeikh Abu Madyan, seorang pendiri aliran tasawuf,14 yang barangkali adalah Syeikh paling terkemuka pada zamannya. Abu Madyan adalah seorang yang sangat berpengaruh pada diri Ibnu’Arabi. Hal ini terlihat dari kisah-kisah yang ditulisnya sendiri mengenai tokoh-tokoh spiritual pada zamannya.15 Meskipun keinginannya untuk bertemu dengan Abu Madyan secara fisik tidak pernah tercapai – bahkan ajaran Abu Madyan diperolehnya hanya dari murid-muridnya yang nota bene adalah guru-gurunya, seperti A Mawruri, Al Kumi, dan Al Sadrani – akan tetapi Ibnu’Arabi meyakini bahwa Abu Madyan mengenalnya bahkan telah menemuinya berkali-kali secara spiritual.16 Tokoh inilah yang kerap kali disebut-sebut sebagai salah satu mata rantai yang menghubungkan Ibnu’Arabi dengan aliran Neopatonisme.
Dari Bugia Ibnu’Arabi meneruskan kelananya ke Tunisia. Disana dia mengkaji karya seorang sufi politisi Abu al Qasim Ibnu Qushai, Khal’an Na’lain (melepas kedua sandal). Tokoh inilah yang terkenal pembelotannya terhadap dinasti Al Murabithun di Andalusia Barat.17 Selain mengakaji karya tersebut pada tahun yang sama Ibnu’Arabi mengunjungi beberapa murid Abu Madyan seperti Abd al Aziz al Mahdawi dan Abu Muhammad Abdallah al Kinani. Dituturkan bahwa selama berada di Tunisia, Ibnu Arabi bertemu dengan nabi Khidir. Pertemuan kemudian terjadi lagi ketika pada akhir 1194 Ibnu’Arabi kembali ke Andalusia. Dengan demikian sebanyak tiga kali Ibnu’Arabi telah ditemui oleh Khidir, dalam tingkatan yang berada secara fisik. Pertemuan pertama berlangsung di daratan, di jalan kota pada siang hari, dimana ia menekankan kepasrahan lahiriah kepada guru duniawi. Kedua terjadi di air, sebuah pertemuan pribadi di bawah cahaya bulan purnama. Dan ketiga Khidir memperlihatkan di atas udara. Tampaklah bahwa ada tahapan dari ajaran Khidir dalam “bahasa yang khusus” untuk menuntun Ibnu’Arabi kedalam pengetahuan misteri Illahi dan mendorongnya untuk merenungkan kualitas dari pendidikan tersebut.18
Sejak saat itu ia memulai aktifitas menulis, menuangkan ilham atau inspirasi yang diterimanya kedalam tulisan agar bisa dibaca para sahabatnya. Di akhir 1194 setelah kembali ke Andalusia ia menulis salah satu karya besarnya, Mashashid al Asrar (kontemplasi atas misteri-misteri) untuk sahabat-sahabat dari Mahdawi. Dan sekitar tahun yang sama ia menyusun Tadbirat al Ilahiyyah (pemerintahan ilahiyah) untuk al Mawruri.
Dalam periode sepuluh tahun sejak pengunduran dirinya dari pemerintahan Al Muwahidin dan memasuki jalan rohani, Ibnu ’Arabi melakukan perjalanan yang menandai masa instruksi dalam kebijaksanaan kenabian. Dia mulai sebagai Isawi, kemudian menjadi Musawi, dan setelah bertemu dengan Hud dan semua nabi, ia akhirnya sampai pada warisan Muhammad. Terkadang proses ini berada dibawah bimbingan para guru spiritual, terkadang melalui campur tangan langsung dari para nabi itu sendiri. Ibnu ’Arabi dengan jelas melihat seluruh proses perkembangan spiritual dan kewalian dari segi kebijaksanaan khusus dari para nabi dan rasul. Bagi dia kebijaksanaan-kebijaksanaan itu tidak lain adalah ekspresi intergral dan menyatukan kebijaksanaan Muhammad. Warisan kenabian ini membentuk basis riil dari semua tulisannya. Ia mulai sebagai pengikut Isa, menekankan pada penarikan diri, dan kemudian di dalam jalan spiritual Musa, saat cahaya wahyu diturunkan. Setelah melalui tempat-tempat wahyu diwakili oleh masing-masing nabi, dia akhirnya sampai pada warisan sempurna dari Muhammad.19
Ketika ayahnya meninggal dunia, lalu disusul ibunya beberapa bulan kemudian, Ibnu’Arabi menerima kenyataan bahwa ia harus merawat kedua saudara perempuannya, sehingga ia harus meninggalkan kehidupan spiritualnya. Desakan duniawi juga muncul, ketika terjadi ketegangan politik antara Al Muwahidin di Sevilla dan Raja Alfonso VIII dari Castile. Ibnu ’Arabi mendapat tawaran pekerjaan dalam pasukan pengawal sultan. Karena teringat ucapan Salih al Adawi, Ibnu ’Arabi menolak tawaran itu. Kemudian ia meninggalkan Sevilla membawa kedua saudara perempuannya menuju Fez dan tinggal disana untuk beberapa tahun. Setelah kedua adiknya mendapatkan suami, tanggung jawab duniawinya selesai dan ia kembali mencurahkan diri pada jalan spiritual.20
Fez tampaknya menandai periode kebahagian yang luar biasa dalam kehidupannya, dimana dia bisa mengabdikan dirinya secara penuh kepada kegiatan spiritual dan bergaul dengan orang-orang yang sepaham dan memiliki aspirasi yang sama. Dia tidak hanya bertemu dengan para wali yang merupakan pewaris Muhammad – dia sendiri juga semakin jauh masuk kedalam warisan ini. Di Masjid Al Azhar di Fez dia memasuki tingkatan baru dari visi di dalam bentuk cahaya – visi cahaya ini adalah sejenis rasa pendahuluan dari perjalanan cahanya yang besar. Di tahun berikutnya, pada usia tiga puluh tiga tahun, dia mengalami suatu perjalanan yang luar biasa dari semuanya, yaitu pendakian (mi’raj) yang mencerminkan perjalanan malam Nabi Muhammad yang terkenal. Perjalanan ini kemudian tertuang dalam kitab Al Isra (Kitab Perjalanan Pertama).21
Setelah di anugerahi visi yang paling terang tentang takdirnya, Ibnu’Arabi kembali ke semenanjung Liberia untuk terakhir kalinya pada tahun 1198. Di bulan Desember tahun itu ia berada di Kordova saat pemakaman Ibnu Rusyd. Kemudian dari Kordova, bersama sahabat dekatnya Al Habasyi mereka menuju ke Granada dan kembali bertemu dengan Abdallah al Mawrauri. Pada bulan Januari 1199 di Granada Ibnu’Arabi mendapat visi yang memperkuat makna dari penutup para wali.22 Dari Granada mereka menuju Murcia. Setelah dua tahun berada di negri kelahirannya ini, mereka pergi ke Marakesy. Pada awal 1201 (597) dari kota ini mereka menuju Bugia lagi, setelah itu berkelana ke Tripoli, Tunisia, Mesir dan kemudian menuju Makkah.23
Di akhir perjalanan panjangnya dari barat, Ibnu’Arabi akhirnya tiba di Makkah pada pertengahan 1202. Di kota ini namanya mencuat, para tokoh dan ilmuwanpun sering menemuinya. Diantara mereka adalah Abu Syuja’ al Imam al Muwakkil yang mempunyai seorang putri cantik dan cerdas bernama Nizam. Gadis ini memunculkan inspirasi pada diri Ibnu’Arabi sehingga lahirlah karyanya Turjumān al Asywāq.24
Ketika aku tinggal di Makkah pada tahun 599 H, disana aku bertemu dengan banyak pria maupun wanita yang sangat terhormat, beradab, dan saleh. Tak ada satupun diantara mereka yang membangga-banggakan diri sekalipun mereka memiliki berbagai keutamaan dan kemuliaan ; orang-orang seperti Abu Syaja’ Zhahir bin Rustam bin Abu Raja al Isfahani dan saudara perempuannya, binti Rustam, seorang wanita tua alim, seorang teladan cemerlang di kalangan kaum wanita …. Syaikh ini mempunyai seorang anak gadis, seorang dara semampai yang memikat perhatian orang yang melihatnya, yang kehadirannya menerangi pertemuan-pertemuan dengan sinar cemerlang, yang mempesona dan membuat terkagum-kagum semua orang yang bersama dengannya dan menawan kesadaran semua orang yang memandanginya. Namanya adalah Nizam (keselarasan) dan nama panggilannya adalah ‘Ayn al Syams (mata sang surya). Dia sangat religius, alim, zuhud, seorang bijak diantara orang-orang bijak di Tanah Suci itu.25
Menurut Ibnu ’Arabi dalam mukadimah karyanya itu, secara lahiriah karya itu merupakan untaian puisi cintanya kepada gadis rupawan itu, tapi sebenarnya karya itu merupakan ungkapan cintanya kepada Sang Pencipta.26
Selama dua tahun di Makkah (1202-1204), Ibnu’Arabi sibuk dalam penulisan. Karya-karyanya pada periode ini adalah : Misykātul Anwār, Ĥilyatul Abdāl, Ruhul Quds, dan Tājul Rāsail. Namun karyanya yang paling monumental adalah Al Futūĥātul Makkiyyah, yang diklaimnya merupakan hasil pendidikan langsung dari Tuhan. Penulisan kitab yang menjadi masterpiece-nya ini berawal dari peristiwa saat ia bertawaf di Ka’bah, dimana dia bertemu dengan figur pemuda misterius yang memberinya pengetahuan tentang makna isoterik dari al Qur’an. Di samping itu, sebuah visi tentang nabi Muhammad melengkapi perjalanan rohaninya menuju puncak, yakni sebagai penutup kewalian.27 Pada periode Makkah ini juga terjadi pertemuan antara dia dengan Syaikh Majduddin Ishaq bin Yusuf dari Anatolia (daerah Rum). Syakh ini adalah seorang tokoh spiritual penting yang menjadi penasehat raja di Istana Seljuk, yang suatu saat nanti akan menjadi ayah dari Sadruddin al Qunawi, salah seorang tokoh kunci diantara murid-murid Syaikh al Akbar.28
Pada tahun 1204 (601 H) Ibnu ’Arabi meninggalkan Makkah menuju Bagdad dan tinggal selama 12 hari, lalu melanjutkan perjalanan ke Mosul. Tinggal di Mosul selama satu bulan, Ibnu’Arabi bertemu dengan Abdallah bin Jami yang memberinya pentahbisan al Khidr untuk ketiga kalinya.29 Selama tinggal di sini ia berhasil menyelesaikan tiga karya, yaitu Tarazzulah al Maushiliyyah, Kitab Al Jalāl wal Jamāl, dan kitab Kunh mā lā Budda lil murīd minhu. Dari Mosul, selama tahun 1205 (602 H) mereka (Ibnu ’Arabi dan Habasyi) berangkat keutara melalui Dyarbakir, dan Malatya sampai di Konya. Pada tahun ini Ibnu’Arabi menyusun Risalah al Anwār (Risalah Cahaya). Dan untuk pertama kalinya berhbungan dengan Ahaduddin Hamid al Kirmani seorang guru spiritual dari Iran. Pada tahun 1206 Ibnu ‘Arabi menuju ke Yerussalem lalu Hebron (disini berhasil menulis Kitab Al Yaqin) dan menunaikan ibadah Haji di Makkah pada bulan Juli 1206. Menjelang 1207 mereka kembali berada di Kairo, berkumpul bersama sahabat lama Ibnu’Arabi dari Andalusia yaitu Al Khayyat dan Al Mawruri.30 Tetapi sayangnya lingkungan di Kairo tidak bersimpati pada Ibnu’Arabi, karena ajaran-ajarannya dianggap menyimpang dan dituduh melakukan bid’ah. Mereka merasa tertekan dengan keadaan ini, pada akhir tahun 1207 Ibnu’Arabi kembali ke Makkah untuk melanjutkan belajar Hadist dan juga mengunjungi keluarga Abu Syuja’bin Rustam. Setelah tinggal di Makkah sekitar satu tahun lalu berjalan lagi ke utara menuju Asia kecil. Tiba di Konya pada tahun 1210 (607 H) dan disambut baik oleh penguasa Kay Kaus dan orang-orang disana.31
Pada tahun 1212 (609 H) Ibnu ’Arabi kembali mengunjungi Bagdad. Di sana dia bertemu dengan guru sufi terkenal Shihabuddin Umar al Suhrawardi, pengarang kitab Awarif al Ma’arif.32
Pada periode antara 1213 – 1221 Ibnu’Arabi berkelana lagi ke Aleppo, Makkah, Anatolia, Malatya dan Aleppo lagi. Sewaktu tinggal di Malatya Ibnu’Arabi sempat menulis Istilāhāt al Shufiyyah. Pada tahun 1221 di Aleppo, Majduddin Ishaq wafat, dan Ibnu’Arabi mengambil tugas membesarkan dan mendidik putra Majduddin, Sadruddin Qunawi yang saat itu berusia sekitar 7 tahun. Tidak berapa lama kemudian sahabatnya Al Habasyi juga wafat.33
Pada tahun 1223 (620 H) Ibnu’Arabi menetap di Damaskus hingga akhir hayatnya, kecuali sekedar kunjungan singkat ke Aleppo pada tahun 1231. Perjalanan yang panjang, hasil karya yang luar biasa, kefakiran dan kemiskinan yang menjadi panggilan hidupnya, semua telah menggerogoti kesehatannya. Kini dia amat terkenal dan dihormati di mana-mana. Penguasa Damaskus Al Malik al ‘Adl menawarinya untuk tinggal di Istana. Disini Ibnu ’Arabi merampungkan karya besarnya Futūĥātul al Makkiyyah dan juga Fushūsul Hikam sebagai ikhtisar ajaran-ajarannya. Selain itu menyelasaikan puisinya Al Diwan al Akbar.34 Adapun Sadruddin al Qunawi yang telah dibesarkan dan dididiknya selalu mendampinginya dengan setia, bersama dengan Awhaduddin Kirmani, sahabat Ibnu ‘Arabi sekaligus guru Qunawi.
Ibnu ‘Arabi wafat di Damaskus pada 16 November 1240 (28 Rabi’al Tsani 638 H) dalam usia 76 tahun. Qadhi ketua di Damaskus dan 2 orang murid Ibnu ‘Arabi melakukan upacara pemakamannya.35
Tentang isteri-isterinya menurut R.W.J. Austin yang dapat diketahui ada tiga orang yaitu, Maryam, yang dinikahinya di Sevilla dan disebutnya sebanyak dua kali dalam Futūĥātul al Makkiyyah II halaman 278 dan III halaman 235. Fathimah binti Yunus bin Yusuf ; putri seorang syarif di Makkah, ibunda dari Imad al Din (Futuhat IV halaman 554). Dan seorang wanita yang tidak diketahui namanya, putii seorang Qadi ketua Maliki yang dinikahinya di Damaskus (Futūĥātul IV halaman 559). Sedangkan ibunda dari Zainab (anak perempuan Ibnu ‘Arabi) tidak diketaui namanya serta bagaimana nasibnya.36
B. Corak Pemikiran dan Gaya Ibnu ‘Arabi
Secara tipikal Ibnu ‘Arabi dianggap sebagai seorang sufi. Dan anggapan ini relatif benar jika kita memahami istilah sufisme untuk menunjuk pada tambatan pemikiran dan praktek Islam yang menekankan pengalaman langsung dari obyek-obyek iman.37 Terlepas dari perbedaan mengenai asal-usul kata yang membentuk artinya seperti safa (suci) ; shaf (baris) suffah (penghuni masjid nabawi) : sophia (hikmah) ; atau suf (bulu domba) – tasawuf mengandung makna yang dalam yang merujuk pada kebersihan batin, mendekatkan diri pada Tuhan, menjauhkan diri dari kesombongan dan ketamakan terhadap daya tarik dunia. Tasawuf secara umum adalah falsafah hidup dan cara tertentu dalam tingkah laku manusia dalam upaya merealisasikan kesempurnaan moral, pemahaman hakikat realitas dan kebahagian rohaniah.38
Dari sekian pengertian tasawuf (sufisme) di atas adalah benar jika dikatakan bahwa Ibnu ‘Arabi adalah seorang tokoh sufisme. Karena jika kita menyimak kembali riwayat hidupnya, adalah sosok yang memilih jalan ruhani yang penuh kesederhanaan pada saat kenikmatan duniawi mengelilinginya. Harta, jabatan, dan segala kemewahan ditinggalkannya demi mencari kabahagiaan hakiki.
Dalam banyak literatur, Ibnu ‘Arabi memang lebih sering dimasukkan dalam kategori tokoh sufi atau dalam disiplin bidang tasawuf. Tetapi jika ada yang menyebutnya sebagai seorang filosof – seperti halnya AE. Affifi yang memandang Ibnu ‘Arabi dari sudut pandang filsafat – maka tidaklah mudah untuk menyangkalnya. Hal ini dikarenakan corak pemikirannya yang mensintesakan antara tasawuf dan filsafat.
Dari segi epistemologi, sufisme atau tasawuf adalah hasil dari proses mujahadah (mengekang hawa nafsu), musyahadah (pandangan batin) dan intuisi. Sedangkan filsafat adalah hasil dari cara kerja akal (logika) dan argumentasi yang kuat. Keduanya mempunyai obyek yang sama, yakni alam beserta isinya, manusia serta perilakunya dan eksistensi Tuhan. Pemaduan kedua unsur ini, yakni filsafat dan tasawuf menjadi sinergi luar biasa yang melahirkan corak berfikir rasional transedental. Inilah yang mewarnai corak pemikiran Ibnu ‘Arabi. Hasilnya adalah terjalin kamunitas antara perspektif nalar dan spiritual.
Dalam wacana ilmu tasawuf, dibedakan adanya tiga corak atau aliran pemikiran sufisme, yaitu : Tasawuf akhlaki, tasawuf amali dan tasawuf filosofis atau falsafi. Kemudian pembagian tiga corak ini disingkat oleh Prof. H.A. Rivay Siregar menjadi dua aliran yaitu tasawuf sunni (gabungan antara tasawuf akhlaki dan tasawuf amali) dan tasawuf filosofi.39 Keduanya mempunyai sejumlah kesamaan yang prinsipil disamping perbedaan –perbedaan yang mendasar. Persamaannya adalah bahwa keduanya mengaku bersumber dari Qur’an dan Sunnah dan sama-sama berjalan al maqamat dan al ahwal. Perbedaannya adalah mengenai kedekatan antara sufi dengan Tuhannya. Penganut tasawuf sunni mengatakan bahwa sedekat apapun antara seorang manusia dengan Tuhannya tidak mungkin jumbuh karena tidak satu esensi. Sedangkan penganut tasawuf filosofis mengatakan bahwa manusia berpadu dengan Tuhan karena manusia tercipta dari esensi-Nya. Selain itu perbedaan bersumber dari perbedaan instrumen yang digunakan dalam memecahkan persoalan. Di satu pihak, tasawuf sunni cukup menggunakan dalil-dalil naqli dari ajaran Islam, cenderung ortodok dan sederhana dalam pemikiran. Di lain pihak tasawuf filosofis sangat gemar terhadap ide-ide spekulatif dengan menggunakan analisis filsafat yang mereka kuasai, baik filsafat Timur maupun Barat.40
Cikal bakal kemunculan dua aliran dalam tasawuf ini, terjadi pada abad ketiga dan keempat Hijriyah. Pada saat itu muncul dua aliran dalam tradisi asketisme. Aliran pertama melandaskan diri pada Qur’an dan sunnah dan memegang tradisi kalam dan fiqih dengan kuat. Aliran inilah yang menjadi pangkal munculnya tasawuf sunni. Aliran kedua adalah aliran yang selain berprinsip pada Qur’an dan sunnah juga pada tradisi di luar Islam yang cenderung pada hal-hal yang metafisis yang disebut union mystica. Aliran ini sering menunjukkan keganjilan (syathahat) sehingga menimbulkan pertentangan dan dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Aliran inilah yang menjadi awal munculnya tasawuf filosofis.
Kemudian pada abad kelima Hijriyyah, aliran sunni mengalami masa kejayaan di tangan Abu al Hasan al Asyari (w. 324 H) dengan teologi Ahlus sunnah wal jama’ah dan mengkritik keras terhadap keekstriman tokoh sufi seperti Abu Yazid al Busthami dan Al hallaj, yang ungkapan-ungkapannya terkenal ganjil. Pada abad kelima Hijriyyah ini tasawuf aliran filosofis tenggelam dan baru muncul kembali dalam bentuk lain, yaitu pribadi para sufi yang juga filosof pada abad keenam Hijriyyah dan setelahnya.41 Mulai saat itulah tasawuf filosofis berkembang lagi dan sampai pada puncaknya, aliran ini melahirkan sesosok sufi filosofis yang menggemparkan pada abad-abad berikutnya yakni Syaikh al Akbar Ibnu al ‘Arabi. Bahkan sampai saat ini terus menjadi bahan kajian yang aktual.
Umumnya para sufi filosofis begitu gigih mengkompromikan ajaran-ajaran filsafat yang bersal dari luar Islam ke dalam ajaran mereka, serta menggunakan terminologi-terminologi filsafat, tetapi maknanya telah disesuaikan dengan ajaran tasawuf mereka. Para sufi juga filosof ini mengenal dengan baik filsafat Yunani seperti Socrates, Plato dan aliran Stoa (didirikan oleh Zeno), serta aliran Neoplatonisme dengan filsafatnya tentang emanasi. Selain itu mereka juga mempelajari filsafat-filsafat timur kuno, baik dari persia maupun India, serta menelaah karya-karya filosof Islam, seperti Al Farabi, Ibnu Sina dan lain-lain.42 Begitulah yang dilakukan Ibnu ‘Arabi.
Dengan begitu dapat dikatakan bahwa pemikiran Ibnu ‘Arabi dapat dilihat dari dua sudut pandang, yakni tasawuf dan filsafat, meskipun tidak secara murni. Jika dalam membahasnya kita menggunakan kacamata tasawuf, maka pemikirannya dapat dikategorikan tasawuf filosofis. Jika menggunakan kacamata filsafat, maka pemikirannya dikategorikan filsafat mistis.
Kita dapat melihat dari segi tasawuf karena ia menjalani laku kehidupan rohani seperti sufi pada umumnya dan kehidupannya dipenuhi pengalaman spiritual yang agung dan secara epistemologis ia mendapatkan pengetahuan dari intuisi, kasyf (penyingkapan) dan dzauq (rasa). Sedangkan dari sudut pandang filsafat, Ibnu ‘Arabi dapat disebut seorang filosof, karena selain dia faham betul dengan teori-teori filsafat dari berbagai unsur sehingga bahasa yang digunakan adalah bahasa filsafat, tetapi juga pemikirannya menambah pada obyek-obyek kajian filsafat, yaitu problem metafisika.
Menurut A.E. Affifi, secara keseluruhan Ibnu ‘Arabi dapat digambarkan sebagai filosof bertipe tidak beraturan (desultory) dan eklektik. Dikatakannya bahwa gayanya yang ambiquity (mendua) disebabkan paling tidak oleh tiga hal, yaitu : pertama Ibnu ‘Arabi menggunakan istilah-istilah yang diambilnya dari berbagai sumber. Misalnya The Good-nya Plato, The One-nya Plotinus, substansi universal-nya Asy’ari dan Allahnya Islam. Kadang-kadang ia menggunakan satu kata untuk beberapa makna, misalnya hakikat, diartikan sebagai realitas, kadang esensi, kadang suatu idea atau suatu ciri. Yang kedua, bahwa Ibnu ‘Arabi selalu berusaha merekonsiliasikan dogma-dogma ortodok Islam dengan pemikiran panteistik. Dan yang ketiga, ia menggunakan bahasa yang puitis dan fantastis sehingga mengaburkan pemikiran yang logis dan ketat.43
Siapapun tidak menyangkal bahwa memahami pemikiran Ibnu ‘Arabi bukanlah hal yang mudah. Meskipun karya-karyanya yang berjumlah ratusan dapat memberikan gambaran yang utuh buah pemikirannya, tetapi ungkapan-ungkapan yang digunakan bersifat simbolis dan mengandung makna yang begitu dalam sehingga sulit dimengerti oleh orang-orang yang mempelajarinya. Tidak mengherankan jika, pada suatu waktu di musim dingin di parlemen Mesir terjadi perdebatan seru di tengah para tokoh pemikir, mengenai boleh tidaknya salah satu karya Ibnu ‘Arabi diterbitkan secara bebas. Sebagian berpendapat boleh, sebagian melarangnya karena dikhawatirkan menyesatkan pembacanya.44 Memang diperlukan sikap kritis dan ekstra hati-hati karena pembahasannya merambah hal-hal yang sangat fundamental dalam pemikiran, yaitu spekulasi tentang hakikat segala realitas. Itulah mengapa karya-karyanya cenderung dicurigai dan dianggap membahayakan keimanan, terutama dikalangan sunni yang nota bene dianut oleh mayoritas umat Islam.
Namun lain halnya bagi sejumlah sarjana, yang sebagian berasal dari kalangan Syi’ah dan sebagian dari luar Islam. Mereka memiliki sikap yang lebih menggembirakan terhadap konsep-konsep tasawuf filosofis, termasuk didalamnya Ibnu ‘Arabi. Hal ini antara lain disebabkan karena pandangan para sufi dianggap lebih liberal yang mengandung pesan universal bagi bentuk agama apapun. Sehingga adanya keragaman di dunia ini tidak menjadi halangan untuk terjalinnya harmoni kehidupan, karena hanya ada satu realitas yang mendasarinya.
C. Karya-karya Ibnu ‘Arabi
Dalam catatan sejarah pemikiran umat Islam, Ibnu ‘Arabi adalah tokoh yang memberi konstribusi besar terhadap tradisi intelektual secara tertulis. Separoh akhir dari kehidupannya telah menghasilkan ratusan karya yang mempunyai nilai sastra, intelektual dan spiritual yang tidak ternilai harganya. Memang ia adalah pemikir yang paling tinggi tingkat produktifitasnya dibanding pemikir lain.
Namun sampai saat ini belum ada jumlah pasti yang disepakati para peneliti atas karya-karya Ibnu ‘Arabi. Berbagai angka telah disebutkan oleh para sarjana. L. Massignon, seorang orientalis Perancis mengemukakan, Ibnu ‘Arabi menulis sekitar 300 karya. Sementara C. Brockelmann mencatat tidak kurang dari 239 karya. Osman Yahya dalam karya bibliografinya yang berbahsa Perancis, menyebutkan 846 judul dan menyimpulkan bahwa hanya sekitar 700 yang asli dan hanya 400 yang masih ada. Ibnu ‘Arabi sendiri dalam Ijazah li al Malik al Muzaffar menyebutkan 289 judul.45
Menurut SH. Nash, karya-karya Ibnu ‘Arabi beragam ukuran dari isinya: dari uraian-uraian pendek dan surat-surat yang hanya terdiri dari beberapa halaman sampai karya ensiklopedik besar; dari risalah metafisis yang abstrak sampai puisi-puisi sufi yang mengandung aspek kesadaran ma’rifah yang muncul dalam bahasa cinta. Karya-karya itu mencakup persoalan metafisika, kosmologi, psikologi, penafsiran terhadap Al Qur’an dan semuanya bertujuan menjelaskan makna-makna isoterik.46
Menurut Stephen Hirtenstein, Ibnu ‘Arabi menulis tidak kurang dari 350 buku. Karya-karya utamanya disebutkan Stephen sebanyak 30 buah, termasuk didalamnya master piece Futūĥātul al Makkiyyah dan magnum opus Fushūsh al Ĥikam.47
Futūĥāt al Makkiyyah (pembukaan Makkah) adalah karya Ibnu ‘Arabi yang menjadi perdebatan di parlemen Mesir. Berisi tentang kehidupan spiritual para sufi beserta ajaran-ajarannya, prinsip-prinsip metafisika, dan ilmu-ilmu keagamaan seperti tafsir atas Al Qur’an, hadist dan fiqih. Menurut pengakuan Ibnu ‘Arabi, karya ini merupakan hasil pendiktean dari Tuhan melalui malaikat-Nya. Mulai disusun di Makkah pada tahun 1202 (598 H) setelah Ibnu ‘Arabi menerima visi tentang pemuda dan selesai pada tahun 1231 (629 H) untuk versi pertama dan pada tahun 1238 (636 H) untuk versi kedua. Dalam edisi lama kitab ini setebal 2.580 halaman. Dan atas prakarsa Departemen Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Mesir diterbitkan kembali sebanyak 18.000 halaman/37 volume dalam 4 jilid dengan pentahqiq Osman Yahia dan disunting oleh Ibrahim Madkour.48
Karya monumental kedua adalah Fushūsh al Hikam (untaian permata kebijaksanaan). Diakui Ibnu’Arabi, karya ini ditulis berdasarkan perintah Nabi SAW untuk diajarkan pada umat manusia. Terdiri dari 27 bab, setiap bab mengajarkan tentang kebijaksanaan yang dimiliki setiap nabi, dimulai dari nabi Adam dan ditutup dengan Nabi Muhammad. Secara keseluruhan mempresentasikan kebijaksanaan umat yang berbeda-beda menuju kebijaksanaan universal yang dicakup oleh kenabian Muhammad. Karya ini dianggap sebagai intisari dari ajaran Ibnu ‘Arabi, yang ditulis pada tahun 1229 (627 H) di Damaskus, sekitar 10 tahun sebelum ia wafat.49
Selain dua karya utama tersebut, berikut adalah karya-karyanya yang terhimpun dalam beberapa kategori. Karya yang berisi tentang metafisika dan kosmologi ada tiga buah, yaitu Insya’al Dawair (lingkaran yang meliputi) Uqlah al Mustawfiz dan Tadbirah al Ilahiyyah (pemerintahan ilahiyyah)
Suatu kumpulan karya Ibnu ‘Arabi yang berisi tentang pengalaman-pengalaman spiritual dan petunjuk-petunjuk abstrak maupun praktis bagi penempuh jalan ruhani, tergabung dalam Rasa’il Ibnu al Arabi. Diantaranya adalah kitab-kitab sebagai berikut :50
a. Kitab Al Isra’ (Perjalanan malam)
Ditulis pada tahun 1198 (594 H), menggambarkan pendakian mistik dan pertemuan dengan realitas spiritual nabi di tujuh langit.
b. Hilyah al Abdāl (perhiasan para pengganti)
Ditulis pada tahun 1203 (599 H) di Thaif. Mengajarkan empat penopang jalan yaitu : penyendirian, diam,lapar dan terjaga.
c. Risalah al Anwār (risalah cahaya-cahaya)
Ditulis pada tahun 1205 (602 H) di Konya untuk memenuhi permintaan seorang sahabat. Mendiskripsikan persoalan-persoalan spiritual mengenai pendakian non stop melalui berbagai tingkatan menuju kesempurnaan manusia.
d. Kitab Al Fana’ fi al Musyahadah (fana’ dalam kontemplasi)
Ditulis di Bagdad pada tahun 1212 (608 H). Merupakan pemikiran mendalam atas surat ke 98. Mendiskripsikan mengalaman visi mistik dan perbedaan orang-orang berpengetahuan riil dengan orang-orang intelek.
e. Istilah al Shufiyyah (istilah sufi)
Ditulis pada tahun 1218 (615 H) di Malatya. Terdiri dari 199 definisi singkat dari ekspresi penting yang lazim digunakan di antara hamba-hamba Allah.
Karya-karya mengenai biografi para sufi yang hidup di zamannnya adalah Ruĥ al Quds (Ruh-ruh suci) dan Al Durrah al Fakhirah. Kedua kitab ini diterjemahkan dalam satu buku oleh R.W.J Austin dan di beri judul Sufis of Andalusia.
Turjumān al Asywāq adalah karya Ibnu ‘Arabi yang mengundang penafsiran negatif tentangnya, karena dianggap sebagai ekspresi dari cinta nafsu yang dipersembahkan untuk Nizam. Tetapi kemudian sebagai pembelaan bahwa itu merupakan ekspresi cinta terhadap Tuhan, Ibnu ‘Arabi menulis Dzakha’ir al Alāq.
Kitab Al Alif, kitab Al Ba’, kitab Al Ya’, adalah seni karya-karya ringkas, menggunakan sistem penomoran alfabetis. Dimulai di Yerusalem tahun 1204 (602 H). Seri kitab ini membahas prinsip-prinsip Ilahiyyah yang berbeda-beda seperti : ketunggalan (ahadiyyah), kasih (Rahman) dan cahaya (Nūr).
Fihrist al mu’allafah adalah katalog karya tulis yang dibuat Ibnu ‘Arabi sendiri untuk karya-karyanya yang memuat 248 karya. Di tulis pada tahun 1229/1230 (627 h) di Damaskus untuk muridnya Sadruddin al Qunawi.
Selain karya-karya di atas, masih banyak lagi karya Ibnu ‘Arabi yang akan memakan tempat jika dituliskan semua. Di bawah ini adalah karya-karya yang dapat kami sebutkan :
- Mashasid al Asrar al Qusdsiyyah (kontemplasi misteri kudus)
- Anqa’Mughrib (burung anqa’ di barat)
- Misykat al Anwār (relung cahaya)
- Mawaqi’ al Nujūm (letak bintang-bintang)
- Taj al Rasa’il (mahkota surat-surat)
- Kitab Jalāl wa al Jamāl (keagungan dan keindahan)
- Kitab Tajalliyah (kitab teofani)
- Dan Awrat al Usbu’ (doa’ untuk seminggu)
D. Unsur-unsur yang mempengaruhi pemikirannya
Secara umum telah terbukti bahwa tasawuf merupakan fenomena spiritual dan kultural yang tunduk kepada berbagai faktor dan pengaruh yang melingkupi realitas sosial. Meskipun tidak diragukan lagi bahwa ajaran dan prinsip Islam memiliki peran utama di mata kaum muslimin yang dipegang dan dijadikan pedoman asasi, tetapi lingkungan Islam tidak terlepas dari unsur-unsur lain yang masuk kemudian mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya berbagai aliran tasawuf. Menurut Ibrahim Madkour, ada dua klasifikasi besar yang menjadi faktor yang mempengaruhi tasawuf Islam yaitu faktor internal dan faktor eksternal.51
Secara internal tasawuf terpengaruh oleh tindakan nabi dan para sahabatnya yang berlandaskan pada hikmah dan mauidzah yang terdapat dalam Al qur’an dan Al sunnah. Banyak ayat Al Qur’an yang mereka gunakan sebagai dalil untuk justifikasi atas tindakan maupun perilaku mereka. Misalnya saja Al Muzammil : 1-8 yang mengajak untuk berdzikir dan beribadah. Atau surat Al Mujadalah : 7 yang menggambarkan kedekatan hubungan manusia dengan Allah. Adapun hadist-hadist yang dijadikan dasar pemikiran mereka tentang tujuan dari penciptaan makluk, seperti hadist qudsi yang berbunyi :
“Aku (bagaikan) gudang yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenali, untuk itu aku menciptakan makluk, kemudian mereka mengenalku”52
Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi tasawuf diantaranya adalah tradisi Kristen yang sudah lebih dulu muncul di Jazirah Arab sebelum Islam datang. Peradaban India-Cina. Selain itu yang begitu terlihat dalam faktor eksternal ini adalah pengaruh dari filsafat Yunani, terutama Plato, Aristoteles dan Neoplatonisme.53
Klasifikasi faktor internal dan eksternal ini ditujuakan untuk tasawuf secara umum, meski demikian pemikiran tasawuf Ibnu ‘Arabi juga tidak dapat dilepaskan dari faktor-faktor yang telah disebut di atas.
Secara eksplisit A.E. Affifi memaparkan sumber-sumber yang mempengaruhi pemikiran Ibnu ‘Arabi dalam dua kelompok besar yaitu : sumber-sumber dari Islam dan sumber-sumber non Islam. Sumber-sumber Islam disebutkan ada tujuh macam yaitu :
a. Qur’an dan Hadist-hadist Nabi
b. Sufi-sufi pantheistik, seperti Hallaj, Bayazid dan sebagainya.
c. Asketik-asketik muslim.
d. Theologia-theologia skolastik seperti Asy’ari dan Mu’tazilah.
e. Carmathian dan Ismailian (terutama Ikhwanus Shafa)
f. Aristotelian dan Neoplatonik Persia, terutama Ibnu Sina
g. Isyraqiyah
Sedangkan sumner-sumber non Islam adalah filsafat hellenistik, terutama Neoplatonik dan filsafat Pilo dan Stoies.54
AE. Affifi tidak memberi penjelasan secara rinci mengenai unsur-unsur tersebut, tetapi menurutnya pada sisi filosofis Ibnu ‘Arabi lebih merupakan seorang Neoplatonis sebagaimana yang di tunjukkan oleh aliran Ikhwanus Shafa. Pada sisi mistis gayanya sama dengan Hallaj, tetapi tidak dalam emosionalnya, karena Ibnu ‘Arabi jauh lebih besar sikap intelektualnya. Pada sisi logika serta dalam hal etika dan eskatologinya, Ibnu ‘Arabi menggunakan banyak sekali theologia-theologia muslim.55
Bagaimanapun juga harus diakui bahwa Ibnu ‘Arabi sosok ekletik yang berusaha memadukan berbagai unsur – unsur pemikiran. Disamping ajaran Islam yang menjadi unsur fundamental dari permikirannya, unsur-unsur tersebut juga berasal dari ajaran Kristen kuno, Filsafat Yunani, Persia dan India. Namun kita harus mengakui bahwa pemikirannya ini tidak semata-mata diambil secara apa adanya atau asal-asalan dari sumbernya. Oleh Ibnu ‘Arabi setiap unsur yang diambil disesuaikan dengan proporsinya kemudian dipadukan, diolah dan di analisa sehingga menghasilkan formula yang dapat diklaim otentik sebagai hasil pemikirannya. Fakta sejarah membuktikan, meskipun dalam penyampaiannya cenderung tidak beraturan dan sangat sulit dipahami, ajaran Ibnu ‘Arabi dinyatakan oleh banyak pemikir sebagai doktrin yang paling lengkap dan matang. Pemikiran Ibnu ‘Arabi digambarkan sebagai puncak dari penggambaran spritual dan intelektual dari tokoh tokoh sebelumnya.56
BAB III
WAĤDATUL WUJŪD DAN FILSAFAT NEOPLATONISME
Waĥdatul Wujūd
Pengertian
Sebelum melangkah pada pembahasan mengenai konsep waĥdatul wujūd, sebaiknya yang pertama kali kita uraikan adalah istilah kuncinya, yakni wujūd. Banyak penulis merasa kesulitan dalam menemukan suatu terjemah yang tepat bagi kata wujūd. Kebanyakan dari mereka lebih memilih tidak menerjemahkan istilah ini ke dalam kata yang pendek atau singkat. Mereka tetap menggunakannya dengan terlebih dahulu diberi penjelasan panjang lebar, sebagai konsep yang independent maupun digunakan sebagai bahasa teknis yang disesuaikan dengan konteksnya.
Kata wujūd mempunyai pengertian obyektif sekaligus subyektif. Dalam pengertian obyektif, kata wujūd adalah masdar dari wujida yang artinya “ditemukan”. Dalam pengertian ini biasanya wujūd diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi being atau existence atau “ada” dan di dalamnya terdapat aspek ontologis. sedangkan dalam pengertian subyektif wujūd adalah masdar dari wajada yang berarti “menemukan”. Biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi finding dan di dalamnya terdapat aspek epistemologis. dalam sistem Ibnu ‘Arabi, kedua aspek ini menyatu secara harmonis. Pada satu fihak, wujūd atau satu-satunya wujūd adalah “menemukan” Tuhan yang dialami oleh Tuhan sendiri dan para pencari rohani. Orang-orang yang “menemukan” Tuhan oleh Ibnu ‘Arabi disebut sebagai ahlu kasyf wal wujūd (orang-orang yang menyingkap dan menemukan).
Ketika Ibnu ‘Arabi berbicara tentang sesuatu yang spesifik atau suatu ide yang dapat didiskusikan, dia menggunakan term eksistensi yang artinya sesuatu itu ada dan dapat ditemukan. Dalam pengertian ini kita dapat mengatakan bahwa Tuhan mewujud atau “Tuhan ada dan ditemukan”.
Seperti hubungan antara timur dan barat, depan dan belakang, jika wujūd diartikan sebagai “yang ada” atau eksistensi, kita akan dihadapkan pada konsekwensi logisnya yakni ‘adam, “ketiadaan” atau non eksistensi. Hubungan wujūd dengan ‘adam dinisbatkan secara mutlak oleh Ibnu ‘Arabi sebagai hubungan antara cahaya dan kegelapan. Wujūd adalah cahaya dan ‘adam adalah kegelapan, karena itu wujūd atau cahaya adalah milik Tuhan sedangkan ‘adam atau kegelapan adalah milik alam atau kosmos.
Ibnu ‘Arabi seringkali menggunakan kata wujūd dalam pengertian yang beragam, tetapi dalam pengertian fundamental wujūd adalah satu. Perbedaan pengertian pada saat istilah ini digunakan harus dipahami dengan mengandaikan perbedaan realitas tunggal dan penampakan wujūd itu sendiri. Pada tingkatan tertinggi wujūd adalah realitas Tuhan yang absolut dan tidak terbatas, yakni “wujūd niscaya” (wajibul wujūd). Dalam pengertian ini wujūd menandakan esensi Tuhan atau Hakikat (Dzat al Ĥaqq), yaitu satu-satunya realitas yang nyata di setiap sisi. Sedangkan pada tingkatan terbawah wujūd berupa substansi yang meliputi segala sesuatu selain Tuhan (Ma Siwallah). Dengan cara inilah Ibnu ‘Arabi mendefinisikan alam, kosmos atau jagad raya (al ‘alam). Pada pengertian kedua ini istilah wujūd digunakan sebagai stenografi untuk merujuk pada keseluruhan yang eksis dan ditemukan di jagad raya .
Pengertian wujūd yang senada juga telah dikemukakan oleh AE. Affifi yakni (a) wujūd sebagai suatu konsep : ide tentang wujūd eksistensi atau wujūd bil ma’na al masdari, (b) wujūd berarti yang mempunyai wujud, yakni yang ada atau yang hidup atau wujūd bil ma’na maujūd.
Dalam kamus Khasanah Istilah Sufi disebutkan definisi wujūd sebagai berikut : wujūd adalah eksistensi, wujūd atau penemuan. Jika diartikan sebagai wujūd istilah ini menunjukkan Dzat Allah itu sendiri. Jika diartikan sebagai eksistensi, wujūd menunjukkan segala sesuatu di alam semesta. Jika diartikan sebagai penemuan, wujūd menunjukkan pengalaman “menemukan” Allah. Kalangan penegas, penyingkap dan penemu “menemukan” Allah secara terus menerus dan tiada henti, baik di alam semesta maupun di dalam diri mereka sendiri. Untuk definisi waĥdatul wujūd kamus ini menyebutkan : kesatuan eksistensi, kesatuan wujud atau kesatuan penemuan. Di akhir perjalanan hanya Allah yang ditemukan .
Dari pengertian-pengertian wujūd di atas, yakni “menemukan”, “ada” ataupun eksistensi, makna paling fundamental yang menjadi inti dari pemikiran Ibnu ‘Arabi adalah wujud sebagai realitas absolut yang dinisbatkan pada Tuhan. Sedangkan term wujūd/eksistensi yang juga digunakan untuk menjelaskan keberadaan kosmos termasuk manusia memiliki makna majazi atau metaforis, bukan secara hakikat.
Dengan dijelaskannya pengertian wujūd, sebenarnya arti istilah wahdah al wujūd sudah dapat dibayangkan dalam pikiran kita. Jika wujūd adalah satu-satunya realitas yang ada, maka waĥdah sebagai kata depan dari wujūd memiliki arti sebagai tambahan, waĥdatul wujūd atau kesatuan wujud atau kesatuan eksistensi. Meskipun demikian, waĥdah tidak sekedar menjadi tambahan saja. Waĥdah memiliki makna yang sama dengan tauhid , sebuah pengakuan keesaan yang merupakan prinsip dasar dalam bangunan Islam. Waĥdah menjadi awal kata yang memberikan power lebih kepada wujūd untuk menjadi satu istilah khusus yang membedakannya dari pengertian lain, yang kemudian menjadi trade mark dari pemikiran Ibnu ‘Arabi.
Persepsi tentang waĥdatul wujūd dapat dianalogikan dengan apa yang kita pahami ketika ada sorot cahaya menembus sebuah prisma : sekalipun terdapat banyak warna cahaya yang berbeda, namun kita memahaminya hanya berupa cahaya, karena hanya cahayalah yang eksis. Ibnu ‘Arabi mengatakan bahwa wadah manifestasi Tuhan bersifat jamak karena keanekaragaman sifat-sifat dan efek yang ditampilkan. Namun mereka satu, karena kesatuan wujud yang menjelmakan di dalamnya. Kesatuan muncul dalam manifestasi wujud (segala sesuatu), sementara keragaman bersemayam dalam entitas-entitas yang tidak memiliki eksistensi sendiri. Oleh karena itu, Tuhan dalam keesaan-Nya adalah identik dengan wujud dari segala sesuatu, tetapi Dia juga tidak identik dengan segala sesuatu itu.
Menurut Kautsar Azhari Noer, Ibnu ‘Arabi tidak hanya menekankan keesaan wujud, tapi menekankan juga keanekaan realitas. Ia mengajarkan konsep tanzih (ketakdapat dibandingkan) dan tasybih (kemiripan); konsep al bathin (yang tidak tampak) dan al Zhahir (yang tampak); al Ĥaqq dan al Khalq konsep-konsep yang disebut pertama menunjukkan dari segi Dzat-Nya yang satu, sedangkan yang kedua menunjukkan nama-nama-Nya dan penampakan-Nya yang melahirkan keanekaragaman.
Menurut Ibnu ‘Arabi, keragaman dan kemajemukan adalah inheren di dalam Sang Asal. Sama seperti angka adalah inheren dalam unit “satu”. Keragaman ini disebutnya sebagai Nama-nama Ilahi, yang menggambarkan hubungan yang inheren di dalam wujūd itu sendiri. Nama-nama itu dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu transenden dan imanen. Transenden adalah nama yang menunjukkan keadaan dimana wujūd absolut berada di luar wujūd relatif berdasarkan atas interioritas dan prioritas logis. Sedang imanen menunjukkan keadaan dimana wujūd dihubungkan dengan relatifisasi. Mereka hanya dapat dikenali atau diketahui jika efek-efeknya termanifestasikan. Misalnya, untuk menggambarkan-Nya sebagai Yang Absolut, kita harus melepaskan-Nya dari semua batas dan kondisi. Tapi dalam waktu yang sama, batas dan kondisi harus dilekatkan pada bentuk lain agar kita dapat mentransendenkan-Nya dari bentuk lain itu. Untuk menggambarkan-Nya sebagai Tuhan Penguasa, memerlukan eksistensi yang membuat-Nya menjadi Tuhan. Untuk memanggil-Nya Tuhan diperlukan eksistensi tempat menjalankan fungsi ketuhahanan-Nya. Eksistensi yang dimaksud adalah dunia atau alam, dimana nama Tuhan memainkan peran-Nya, baik secara langsung atau tidak dalam mementaskan drama Ilahiah. Demikianlah Ibnu ‘Arabi memandang dunia yang terdiri dari kemajemukan merupakan manifestasi (tajalli) tanpa akhir dari wujūd Tuhan.
Ibnu ‘Arabi menjelaskan bahwa wujud menjadi nyata oleh karena Tuhan sebagai Yang Zahir memperlihatkan Diri-Nya dalam suatu wadah manifestasi (locus of manifestation/mazhar) yakni dalam kosmos itu sendiri. Tuhan tidak memperlihatkan diri-Nya sebagai Yang Bathin, karena sebagai Yang Bathin Dia tidak dapat dijangkau dan diketahui. Di dalam kosmos ini berbagai wadah manifestasipun tampak, dan semua itu dikenal dengan “segala sesuatu” atau entitas-entitas. Wadah manifestasi itu tidak ada dengan sendirinya, karena Tuhanlah pemilik wujūd. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa segala yang maujud di jagad raya mendapat pinjaman wujūd dari Tuhan dan karenanya tidak abadi dan akan kembali pada wujūd hakiki (Tuhan).
Al Ĥaqq identik dengan locus manifestasi. Yang menjelma adalah sifat-sifat dari entitas yang mungkin, yang kekekalannya berasal dari keabadian tanpa awal. Mereka tidak memiliki wujud, maka al Ĥaqq dinyatakan terlalu suci untuk ternodai oleh perubahan sifat-sifat dari mumkin al wujūd di dalam entitas wujūd al Ĥaqq.
Menurut Ibnu ‘Arabi kesatuan adalah karakteristik pertama dari Nama atau asal usul dari segala sesuatu. Menggambarkan-Nya sebagai Yang Satu adalah cara terbaik untuk menunjukkan-Nya, tapi cara ini tidak menjelaskan dan menggambarkan-Nya. Karena realitas mutlak tidak dapat dinamai, dideskripsikan dan tetap tidak dikenal. Yang Satu dan Yang Unik (al Waĥid al Aĥad) adalah sebutan yang paling tepat. Nama ganda ini mengekspresikan makna tunggal dari keesaan dan sekaligus menunjukkan perbedaan dalam kesatuan.
Nama pertama adalah al Waĥid al Aĥad yang merupakan Nama gabungan seperti Baalbek atau rumhurmuz atau al Raĥman al Raĥim. Ia menunjukkan pada esensi terdalam dari kemandirian dan kesempurnaan, bukan sebagai hubungan yang dengannya Dia disifati. Al Waĥid al Aĥad adalah Nama esensial bagi-Nya.
Jika Yang Satu dan Yang Unik adalah asal usul dari segala sesuatu, bagaimana bisa kemajemukan muncul dan kita melihat segala sesuatu dalam keragaman? Ibnu ‘Arabi menganggap hal ini sebagai salah satu bukti bahwa rahmat Allah mengalahkan murka-Nya, mengarahkan pada kebahagiaan tertinggi dari semua ciptaan-Nya. “Ketika Tuhan adalah akar dari segala keragaman dan keyakinan di dalam kosmos, dan ketika Dia menyebabkan eksistensi segala sesuatu di dalam kosmos sesuai ketentuan tanpa terasuki oleh apapun, maka segala sesuatu ada karena rahnat-Nya”.
Ibnu ‘Arabi adalah tokoh pemikir yang mengangkat problem metafisika dengan menggunakan kerangka sufistik, memandangnya melalui dzauq dan menguraikannya dengan akal murni, sehingga apa yang diungkapkannya bersifat hakikat. Baginya hakikat adalah wujūd dan wujūd adalah satu. Kalaupun nampak keanekaragaman, itu hanyalah akibat dari keterbatasan indera dan rasio manusia dalam menangkap hakikat yang satu. Disamping banyak yang mengecamnya banyak pula para penulis tidak keberatan untuk mengatakan bahwa rumusan pemikiran dari Kesatuan Wujud mengandung kedalaman, kejernihan dan kehalusan yang tidak tertandingi. Prinsip ini bukan sekedar apresiasi dari ide intelektual seorang tokoh genius, melainkan usaha pencarian makna hidup yang harus diungkapkan dan diaktualisasikan. Waĥdatul wujūd tidak dapat disejajarkan dengan kepercayaan kepada Yang Esa dalam konteks agama Ibrahim tertentu. Prinsip ini bersifat absolut di luar pertentangan, meliputi semua kepercayaan dan doktrin. Prinsip tersebut muncul dalam segala sesuatu namun tidak terkandung di dalam segala sesuatu.
Sejarah Istilah Waĥdatul Wujūd dan Perdebatan tentangnya
Dalam khasanah sufisme, secara umum konsep waĥdatul wujūd selalu dihubungkan dengan Ibnu ‘Arabi. Karena dianggap sebagai pencetus dari doktrin ini, maka waĥdatul wujūd juga dianggap berasal dari ucapan Ibnu ‘Arabi sendiri. Tetapi seiring berjalannya waktu anggapan ini sedikit demi sedikit berubah dengan diadakannya penelitian-penelitian yang dilakukan oleh sarjana-sarjana kontemporer. Hasil yang diperoleh dari penelitian baru-baru ini adalah bahwa istilah waĥdatul wujūd tidak diciptakan oleh sang syaikh sendiri, karena dalam karyanya tidak ditemukan istilah ini. Tetapi lain halnya dengan apa yang dikemukakan oleh Stephen Hirtenstein. Menurutnya Ibnu ‘Arabi pernah menggunakan istilah waĥdatul wujūd meskipun hanya satu kali dalam karyanya :
Aku memohon kepada-Mu dengan rahasia yang dengannya Engkau menyatukan hal-hal yang bertentangan. Agar Engkau menyatukan untuk-ku hal-hal yang memisahkan keberadaanku, dalam persatuan tempat. Engkau jadikan aku menyaksikan kesatuan wujud-Mu. Masukkan aku ke dalam jubah keindahan-Mu dan mahkotai aku dengan mahkota keagungan-Mu.
Inilah satu-satunya tempat dimana Ibnu ‘Arabi menyebut istilah waĥdatul wujūd dalam sebuah kitab tentang do’a siang dan malam.
Meskipun hanya sekali disebutkannya waĥdatul wujūd dan bahkan sebagian sarjana menganggapnya tidak pernah menyebutnya, Ibnu ‘Arabi tetaplah dipandang sebagai pendiri doktrin ini, karena ajaran-ajarannya yang mengandung ide kesatuan. Misalnya dari ucapan-ucapannya di bawah ini :
Tidak ada sesuatu selain wujud, absolut, yang murni, bukan ex nihilo, dan itu adalah wujud Allah Yang Maha Tinggi. Keberadaan ex nihilo adalah esensi dari benda-benda yang diciptakan itu sendiri, yang merupakan eksistensi dunia. Tidak ada perbedaan diantara dua eksistensi tersebut; dan tidak ada perluasan kecuali dalam imajinasi yang mengklasifikasikan benda-benda. Sehingga tidak ada lagi yang tersisa kecuali wujud mutlak dan wujud relatif, aktif dan pasif. Demikanlah realitas-realitas yang diturunkan dengan kedamaian melalui kesempurnaan.
Semua wujud adalah satu dalam realitas, tiada sesuatupun dalam wujud bersama denganNya.
……… Wujud bukan lain dari al Ĥaqq karena tak ada sesuatupun dalam wujud selain Dia.
……… Entitas wujud adalah satu, tetapi hukum-hukumnya beraneka.
Pada awalnya Ibrahim Madkour dan Su’ad al Hakim berpendapat dalam karya-karya mereka bahwa orang pertama yang menggunakan istilah waĥdatul wujūd adalah Ibnu Taimiyah. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh William C. Chittick menggugurkan anggapan ini dan menyatakan bahwa Al Qunawi-lah orang yang pertama kali menggunakan istilah waĥdatul wujūd. Hal ini dijelaskan oleh Kautsar Azhari Noer. Menurut William C. Chitick, istilah ini pertama digunakan oleh Al Qunawi (w. 673/1274) kemudian diikuti oleh muridnya Sa’id al Din Farghani (w. 700/1301). Tokoh yang sezaman dengan Al Qunawi yang mendapat pengaruh besar dari Ibnu ‘Arabi dan telah menyebut istilah waĥdatul wujūd adalah Ibnu Sab’in (w 669/1270), Awhad al Din Balyani (w 686/1288), Sa’ad al Din Hammuya (w. 649/1252) dan muridnya Azizal Din Nasafi (w. sebelum 700/1300). Sedangkan tokoh yang dianggap paling besar peranannya dalam mempopulerkan istilah waĥdatul wujūd adalah Ibnu Taimiyah (w. 728/1328).
Diantara tokoh-tokoh di atas, nampaknya yang dianggap dapat merepresentasikan ajaran dari Ibnu ‘Arabi secara utuh adalah Al Qunawi dan muridnya Farghani. Kedua tokoh ini memberikan pandangannya yang proporsional bagi dua dimensi dari ajaran waĥdatul wujūd yakni tanzih dan tasybih-Nya. Meskipun Esa dalam Dzat-Nya, wujūd adalah banyak dalam penampakan-Nya. Sedangkan Ibnu Sab’in dan Balyani dianggap hanya memandang satu aspek dari konsep kesatuan wujud yakni tasybih atau imanensi-Nya tanpa tanzih atau transendensi-Nya . Ibnu Taimiyah dikemudian hari menggunakan istilah waĥdatul wujūd dengan memberikan penilaian negatif tentang konsep ini dan para pendukungnya. Ibnu Taimiyah mengkhususkan istilah ini untuk menyebut kaum penganut ittihad dan hullul. Karena pandangannya ini, Ibnu Taimiyah dianggap telah memaknai waĥdatul wujūd dari karya-karya Ibnu Sab’in dan murid-muridnya. Karena ia tidak memandang dua dimensi dari konsep ini tetapi hanya satu dimensi, yakni tasybih-Nya saja .
Sejak zaman Ibnu Taimiyah dan seterusnya, istilah waĥdatul wujūd semakin sering digunakan secara umum untuk menunjukkan doktrin yang diajarkan Ibnu ‘Arabi. Bagi para pengecamnya, doktrin waĥdatul wujūd dicap negatif dan diberi label kufr, zindiq, dan bid’ah. Tetapi bagi penganut dan pendukungnya doktrin dan istilah waĥdatul wujūd mempunyai pengertian positif. Bagi mereka diartikan tauhid yang tinggi sebagai puncak dari keimanan.
Sejak istilah waĥdatul wujūd dirujukkan pada pemikiran Ibnu ‘Arabi, banyak sarjana yang tertarik untuk mengulas apa yang diajarkan sufi dari Andalusia ini, seiring dengan meningkatnya semangat para sarjana dalam mengkaji sufisme. Para sarjana yang berasal dari Barat maupun timur tersebut berbeda satu sama lain dalam memberi kesimpulan tentang ajaran Ibnu ‘Arabi. Menurut studi yang telah dilakukan oleh Kautsar Azhari Noer, banyak sarjana yang setelah mempelajari doktrin waĥdatul wujūd kemudian memberikan label-label yang beragam terhadapnya. Panteisme dan monisme adalah predikat yang banyak digunakan untuk menyebut doktrin ini. Meskipun demikian, tidak sedikit pula sarjana yang menyanggah label-label tersebut karena menganggap hal itu dapat mereduksi makna yang luas dari doktrin ini.
Masih menurut Kautsar, nama para sarjana yang telah melabeli waĥdatul wujūd dengan panteisme dan monisme antara lain : Reynold A. Nicholson dalam tulisannya tentang Ibnu ‘Arabi dalam Encyclopedia of Religion and Ethic pernah mengatakan bahwa sistem Ibnu ‘Arabi dapat dilukiskan sebagai monisme panteistik. Edward J. Jurji memandang bahwa Ibnu ‘Arabi memandang bahwa Ibnu ‘Arabi adalah sang mistikus monis dan panteis terbesar. Gerhard Endress juga memberikan label yang sama dengan Jurji yakni monisme dan panteisme. A.E. Affifi telah mengkategorikan sistem Ibnu ‘Arabi sebagai panteisme yang berbentuk akosmisme yang berbeda dengan panteisme materialistik. Menurut S.A.Q. Husaini, waĥdatul wujūd paling baik diberi label monisme panteistik yang dibedakan dengan monisme lain seperti monisme substansial, agnostik, atributif dan sebagainya.
Kautsar berpendapat bahwa jika panteisme diartikan sebagai imanensi Tuhan saja dan menolak transendensi-Nya, maka label panteisme tidak dapat diberikan pada waĥdatul wujūd, karena hal ini tidak sesuai bahkan dapat mengacaukan pengertian yang sesungguhnya. Dan hal inilah yang telah dilakukan oleh para sarjana seperti Nicholson, Jurji, Endress dan Husaini. Tokoh dari Indonesia yang pernah mengulas tentang waĥdatul wujūd adalah antara lain Hamka dan Yunasril Ali. Kedua tokoh ini memandang sama dalam menilai waĥdatul wujūd, yakni panteisme. Hamka mengatakan bahwa menurut Ibnu ‘Arabi wujūd hanya satu. Wujūd alam adalah satu dan tidak ada perbedaan diantara keduanya. Hamka hanya melihat sisi tasybih dari waĥdatul wujūd, seperti halnya dengan sarjana-sarjana Barat yang telah disebut di atas. Yunasril Ali memperkuat pendapatnya bahwa waĥdatul wujūd adalah panteisme dengan mengutip tulisan Sidi Gazalba “Tuhan dan alam itu identik. Tuhan adalah alam dan alam adalah Tuhan”. Namun dikemudian hari, pendapat Yunasril Ali ini berubah. Ia tidak lagi melabeli waĥdatul wujūd dengan panteisme, bahkan sekarang turut menolak pelabelan ini.
Lain halnya dengan apa yang dikatakan Dr. Simuh tentang waĥdatul wujūd. Menurutnya waĥdatul wujūd adalah bentuk filsafat monisme. Pendapat ini didasarkan pada teori tajalli yang artinya bahwa Allah menampakkan diri dengan bercermin. Makhluk atau alam merupakan hasil dari bayang-bayang Allah dan tidak memiliki wujud hakiki. Karena wujud yang sebenarnya hanya tunggal, maka menurut Simuh paham ini disebut monisme. Dalam hal ini Simuh tidak menjelaskan lebih lanjut tentang transendensi dan imanensi-Nya.
Demikian para tokoh Barat maupun Timur yang telah melabeli doktrin waĥdatul wujūd dengan istilah panteisme dan monisme. Kembali pada apa yang diungkapkan oleh Kautsar, bahwa pelabelan tersebut tidaklah dibenarkan. Namun lanjutnya ada pula pelabelan panteisme yang sulit dibantah dan disalahkan karena tambahan akosmisme di belakangnya. Inilah pendapat A.E. Affifi yang tidak hanya menekankan imanensi-Nya tapi juga mengakui transendensi-Nya. Menurut A.E. Affifi, waĥdatul wujūd adalah satu bentuk panteisme yang mengasumsikan bahwa sesuatu yang absolut, yakni wujud yang tidak terbatas dan abadi yang merupakan sumber landasan puncak dari wujud kini, yang lalu dan akan datang yang lambat laun menjadi suatu bentuk akosmisme yang menyatakan bahwa dunia fenomena hanyalah semcam bayang-bayang yang lewat dari realitas yang terletak di belakangnya. Segala sesuatu yang terbatas dan temporal hanyalah ilusi dan tidak riil.
Menurut hemat penulis, apa yang dimaksud oleh Simuh dan A.E. Affifi mempunyai kesamaan. Mereka berpandangan bahwa wujūd hakiki adalah Tuhan dan alam adalah hanya bayang-bayang yang tidak nyata. Perbedaan dari keduanya adalah dalam memberi pelabelan. Simuh menyebut waĥdatul wujūd sebagai monisme, sedangkan A.E. Affifi menyebutnya sebagai panteisme akosmik. Yang perlu ditekankan disini bahwa Simuh tidak memberikan penjelasan tentang imanensi dan transendensi sedangkan A.E. Affifi mengulasnya secara mendalam.
Selanjutnya mengenai tokoh-tokoh yang menolak pemakaian istilah panteisme dan monisme untuk doktrin waĥdatul wujūd, Kautsar menyebutkan sebagai berikut : Henry Corbin, Titus Burckhardt, SH. Nashr, RWJ. Austin dan William C. Chittick.
Henry Corbin menginterpretasikan pemikiran Ibnu ‘Arabi menurut caranya sendiri yang bersifat non panteistik dan non monistik. Ia menyebutnya sebagai imajinasi kreatif yang membentuk dan menangkap ciri struktur berdimensi dua, yakni : al Ĥaqq dan al Khalq; Lahut dan Nasut; Rabb dan ‘Abd; al Bathin dan al Zhahir. Struktur berdimensi dua ini merupakan prinsip contidentia oppositorum dalam sistem Ibnu ‘Arabi. Imajinasi yang dimaksud Corbin bukanlah dalam arti kata yang lazim –seperti khayalan dan fantasi– tetapi lebih dari itu ia berbicara tentang suatu fungsi dasar yang bersifat mutlak, aktif dan berdaya cipta yang terjalin dengan suatu alam khas yang hanya ada padanya. Suatu alam yang didukung penuh oleh eksistensi obyektif dan hanya bisa dimengerti secara tepat melalui imajinasi. Imajinasi kreatif menjelaskan bahwa penciptaan sebagai teofani, yakni Tuhan yang dari-Nya tercipta segala wujud. Imajinasi teofanik dari pencipta telah mengungkapkan alam semesta, memperbarui ciptaan tanpa henti dalam wujud manusia sebagai citra sempurna-Nya. Ini menunjukkan diri pada diri-Nya sendiri. Itulah sebabnya mengapa imajinasi aktif tak mungkin berupa angan sia-sia, karena justru imajinasi teofanik inilah “yang ada” dan oleh wujud manusia terus mengungkapkan apa yang ditampilkan sendiri olehnya dengan cara pertama-tama mengimajinasikannya. Menurut Henry Corbin pemberian label seperti panteisme dan monisme menyimpangkan makna sebenarnya dari pandangan Ibnu ‘Arabi.
Senada dengan Corbin, Titus Burckhardt juga tidak sepakat jika waĥdatul wujūd diberi label panteisme. Dalam pandangan Burckhardt, panteisme menghilangkan perbedaan antara Tuhan dan alam dan mengacaukan pengertian Tuhan. Sedangkan sufisme dan waĥdatul wujūd tetap mengakui perbedaan itu. Baginya panteisme tidak memberikan tempat kepada transendensi Tuhan, sedangkan waĥdatul wujūd mempertahankannya. Karena itu ia keberatan menerima penamaan panteisme atas waĥdatul wujūd.
S.H. Nashr dalam bukunya Three Muslim Sages menyanggah pula tuduhan panteistik yang ditujukan pada waĥdatul wujūd. Menurut Nashr panteisme adalah sistem filosofis sedangkan Ibnu ‘Arabi dan sufi lain tidak mengikuti atau menciptakan sistem filsafat, sehingga pemikirannya tidak dapat dikategorikan ke dalam sistem filsafat apapun termasuk panteisme dan monisme. Selain itu panteisme mengajarkan suatu kontinuitas substansial antara Tuhan dan alam, sedangkan Ibnu ‘Arabi mengakui transendensial antara Tuhan dan alam, sedangkan Ibnu ‘Arabi mengakui transendensi absolut Tuhan di atas setiap kategori, termasuk kategori substansi.
R.W.J. Austin adalah sarjana yang memiliki persepsi sama seperti para tokoh penyangkal pelabelan panteisme dan monisme terhadap waĥdatul wujūd. Menurutnya panteisme menyamakan Tuhan dengan alam dan menafikan transendensi-Nya, sedangkan waĥdatul wujūd sebaliknya tidak menyamakan Tuhan dengan alam dan menekankan transendensi-Nya. Austin mengatakan pula keunikan pengertian wujūd dengan arti rangkapnya : wujūd (being) dan persepsi (perception). Keunikan arti rangkap ini membuatnya tidak sama dengan panteisme.
William C. Chittick, seorang sarjana kontemporer yang serius mengkaji pemikiran Ibnu ‘Arabi adalah termasuk tokoh yang menolak penyebutan panteisme terhadap doktrin waĥdatul wujūd. Namun, menurut Kautsar Chittick memiliki arah penekanan yang berbeda dengan tokoh-tokoh yang telah disebut di depan. Jika kebanyakan tokoh menolak pelabelan tersebut dikarenakan faktor penafian transendensi Tuhan dalam panteisme, maka bagi Chittick penolakan tersebut lebih disebabkan karena pelabelan tersebut cenderung menyederhanakan keseluruhan sistem dari Ibnu ‘Arabi. Jika waĥdatul wujūd adalah panteisme berarti sebagai pencetusnya, Ibnu ‘Arabi adalah seorang panteis. Padahal menurut Chittick keseluruhan sistem Ibnu ‘Arabi sangat kompleks dan waĥdatul wujūd hanyalah salah satu dimensi dari ajaran Ibnu ‘Arabi.
Yang penting dicatat bahwa Chittick mengakui ketaksebandingan (tanzih) dan kesebandingan / kesetaraan (tasybih) dan memberikan penekanan yang sama terhadap keduanya. Disatu pihak, alam semesta ada melalui wujud Tuhan. Tuhan sendiri adalah esensi yang tidak terjangkau di luar segala yang ada. “Tiada yang mengenal Tuhan selain Tuhan”. Inilah tanzih. Di pihak lain segala sesuatu (sya’i) atau entitas (ayn) yang ditemukan di alam semesta memiliki sifat khususnya sendiri. Semua itu adalah selain Tuhan (al Ghair) yang dapat menjelaskan esensi Tuhan. Inilah tasybih yang mengandung kesetaraan antara Tuhan dan makhluk. Dan Ibnu ‘Arabi meringkaskan pandangannya dalam kalimat pendek “Dia / bukan Dia” (Huwa la Huwa). Persoalan keesaan dan kesetaraan mewarnai hampir seluruh karya-karya Ibnu ‘Arabi. Seluruh sifat yang saling berlawanan melekat pada Tuhan. Dalam upaya mengenal Tuhan kita harus dapat meletakkan berbagai pertentangan secara bersamaan. Dari uraian tentang pandangan William C. Chittick di atas, jelaslah bahwa Chittick sangat tidak sepakat jika waĥdatul wujūd dan Ibnu ‘Arabi disebut sebagai panteisme dan panteis.
Tidak lengkap rasanya jika tidak menyertakan nama-nama dari negeri kita dalam pembicaraan ini. Dalam tulisan mereka, Prof. H. A. Riva’i Siregar dan Dr. Dimitri Mahayana, meskipun dalam proporsi yang kecil sempat memberi sanggahan terhadap pengkategorian panteisme bagi waĥdatul wujūd. Menurut Riva’i Siregar, antara waĥdatul wujūd dan panteisme berbeda. Waĥdatul wujūd menurutnya essential identification of manifested order with ontological principle, yang berarti bahwa hakikat wujud adalah satu yakni Allah. Dan wujud yang banyak hanya ilusi atau bayangan dari “yang satu” itu. Sedangkan panteisme didefinisikannya sebagai substansial identification of universe with God yaitu jauhar atau esensi Tuhan terdapat dalam setiap yang ada. Jika demikian nampaknya konsep waĥdatul wujūd bukanlah kesatuan substansial atau kesatuan Zatiyah.
Waĥdatul wujūd dalam terminologi Ibnu ‘Arabi memiliki sifat aljam’ baina an naqdayn (persatuan di antara hal-hal yang berlawanan). Hal ini dikatakan oleh Dimitri Mahayana. Sifat ini tidak memandang bahwa Tuhan itu mutlak imanen dan tidak transenden (sebagaimana halnya dengan panteisme) dan tidak pula memandang bahwa Tuhan itu mutlak transenden dan tidak imanen. Tuhan adalah Yang Maha Lahir sekaligus Yang Maha Batin. Menurut Dimitri tuduhan-tuduhan negatif tentang doktrin waĥdatul wujūd kurang bersandar pada wacana rasional dari waĥdatul wujūd. Ucapan-ucapan para sufi dalam keadaan ekstase menurutnya tidak cukup dijadikan dasar untuk mengklaim mereka sebagai panteis, karena ucapan-ucapan mereka tidak cukup hanya dipahami dari akal rasional.
Paradigma waĥdatul wujūd dalam pandangan Dimitri adalah sebagai alternatif yang sesuai di era tanpa batas millenium ketiga khususnya di Indonesia, jika doktrin ini mensintesiskan pendekatan syari’at, intuisi intelektual-mistis (Dzauq) dan pembuktian rasional yang dimunculkan dari berbagai aspek, dari tataran intelektual maupun tataran praktis. Dari pandangan Dimitri ini, sangat terlihat bahwa ia adalah salah seorang penyangkal tuduhan panteisme bagi waĥdatul wujūd. Bahkan ia menaruh harapan yang besar pada doktrin ini sebagai paradigma yang mampu menjawab persoalan-persoalan di masa depan, tentu saja sejauh doktrin ini dipahami secara mendalam.
Kembali pada penelitian yang telah dilakukan oleh Kautsar Azhari Noer, bahwa kebanyakan dari sarjana yang tidak menyepakati pelabelan panteisme tidak memperdulikan definisi panteisme secara terperinci. Hasil dari penelitiannya menunjukkan bahwa panteisme yang dimaksud para penyangkal tersebut adalah panteisme dalam definisi yang tidak mengakui transendensi dan personalitas-Nya. Menurut Kautsar, jika panteisme dalam definisi yang mengakui transendensi-Nya, maka pelabelan ini sulit ditolak. Namun sayangnya panteisme dalam definisi ini jarang dipahami dan digunakan oleh para sarjana. Maka kesimpulan akhir dari penelitian ini, Kautsar cenderung tidak menyepakati pemakaian istilah panteisme bagi waĥdatul wujūd dengan alasan pemakaian istilah ini dapat menimbulkan kesalahanpahaman.
Filsafat Neoplatonisme
Latar Belakang Sejarah Neoplatonisme
Pada akhir dunia kuno, kira-kira 5 abad sesudah Aristoteles, bangkitlah lagi pemikiran filsafat kuno untuk kali yang terakhir dalam sistem yang meliputi segala sesuatu, yaitu filsafat Neoplatonisme. Disini segala pemikiran falsafi yang mendahuluinya disusun secara sistematis di atas suatu dasar yang menguasai segala sesuatu. Sistem ini dibentuk pada abad ke 2 M dan bertahan sampai abad ke 6 M. Waktu pembentukannya ini menunjukkan bahwa kebangkitan pemikiran falsafi kuno bersamaan dengan timbulnya agama Kristen, bahkan terjadi pergumulan yang dahsyat diantara keduanya.
Neoplatonisme merupakan produk pemikiran filsafat yang muncul pada rangkaian terakhir dari filsafat Hellenisme Romawi. Sesuai dengan namanya, Neoplatonisme bertujuan menghidupkan kembali ajaran Plato demi keselamatan dunia dengan cara memperkayanya dengan unsur-unsur yang terbaik dari sistem setelahnya, disesuaikan dengan kebutuhan jaman. Unsur-unsur yang dimasukkan diantaranya adalah : ajaran Plato, Aristoteles, Stoa, dan Philo. Usaha ini bermaksud mengembalikan roh Plato pada kemurniannya secara sempurna, menaikkan dualisme Plato kepada tingkatan yang tinggi. Untuk mencapai maksud ini maka disebutlah “Yang Satu” menjadi asas segala “Yang Ada” dan menjadi asal dari segala sesuatu, baik yang bisa diamati maupun tidak, serta menjadi tujuan terakhir bagi segala sesuatu tersebut.
Neoplatonisme bukan hanya kebangkitan kembali filsafat Plato, namun merupakan sistem filsafat yang mempunyai daya spekulatif yang besar. Selain memadukan filsafat Plato dengan trend-trend utama lain dari filsafat kuno kecuali Epikuros, sistem ini mencakup unsur-unsur religius dan mistik yang diambil dari filsafat Timur. Unsur mistik merupakan perkembangan baru pada sejarah filsafat Yunani saat itu, karena sebelumnya belum ada sistem filsafat yang menggunakannya.
Interpretasi yang dilakukan dalam Neoplatonisme cenderung mengkaitkan Allah dengan prinsip kesatuan, dengan membuat-Nya sama sekali transenden, dan dikaitkan dengan dunia melalui deretan perantara-perantara yang turun dari “Yang Satu” oleh prinsip emanasi. Menurut pandangan ini realitas merupakan deretan atau rangkaian bertingkat-tingkat mulai dari Ilahiah sampai yang material. Karena manusia memiliki unsur Ilahiah, maka ia akan merindukan dengan Sang Sumber-nya. Sistem ini dengan demikian mempunyai implikasi-implikasi spiritual maupun intelektual.
Dari banyak literatur, dijelaskan bahwa tokoh pendiri sekaligus tokoh yang paling populer dalam Neoplatonisme adalah Plotinus (205–270). Bahkan karena Plotinus begitu identik dengan Neoplatonisme, tokoh Plotinus tidak dapat ditinggalkan. Padahal meskipun berkaitan erat dengan Plotinus, benih-benih gerakan Neoplatonisme, menurut Lorens Bagus, dapat ditelusuri dalam akademi Plato, yang merebak tidak lama setelah meninggalnya Plato. Lalu pada abad pertama Masehi, Philo Judaeus juga telah merintis aliran Neoplatonisme dengan beberapa cara dengan konsepsinya mengenai Allah yang mutlak transenden dan pandangannya tentang hirarki tingkat-tingkat perantara antara Allah dan dunia. Pada abad 2 M, Numenius dari Apamea seorang Neophytagorean yang menggabungkan tema khas Neoplatonisme dianggap sebagai pendiri aliran ini sebelum Plotinus. Selain itu, Ammonius Saccas, guru Plotinus pada abad 3 M juga dianggap sebagai pendiri aliran pemikiran ini. Namun begitu, Neoplatonisme disebar luaskan pertama kali oleh Plotinus. Usahanya dalam menyusun pemikiran Neoplatonik secara sistematis yang belum pernah dilakukan oleh filosof sebelumnya tertuang dalam karyanya Enneads. Atas dasar inilah Plotinus dinisbatkan oleh para penulis sebagai pendiri sekaligus tokoh paling besar dalam filsafat Neoplatonisme.
Adalah tidak mudah untuk mengetahui riwayat hidup Plotinus secara rinci. Menurut muridnya Porphyri, Plotinus adalah sosok pemalu yang seringkali menolak untuk menceritakan dirinya, orang tuanya maupun negerinya. Menurut banyak literatur, Plotinus hidup pada tahun 205 sampai 270 Masehi. Ia dilahirkan di Lycopolis Yunani. Meski namanya harum karena ajaran-ajarannya ia tidak mau menjadi orang yang terkemuka. Patungnyapun tidak ada sebagaimana orang-orang terkenal pada waktu itu. Banyak sekali tukang patung datang untuk membuat patungnya tetapi selalu ditolaknya. Meskipun namanya tersohor dimana-mana tetapi hidupnya sederhana sekali.
Plotinus belajar filsafat pada umur 28 tahun, yaitu ketika dia merasa mempunyai pembawaan untuk menjadi seorang filosof. Mula-mula ia mempelajari filsafat Yunani terutama Plato. Di Aleksandria dia mengikuti sekolah dan belajar pada orang-orang terkenal. Tetapi dia gagal menemukan kepuasan, sampai kemudian seorang teman mengantarkannya pada seorang filosof yang menjadi gurunya, Ammonius Saccas. Porphyri menceritakan bahwa Plotinus amat terkesan dengan gurunya itu sehingga ia sampai berseru : “Inilah orang yang saya cari!”.
Selama 12 tahun Plotinus menjadi murid Ammonius. Mereka dan beberapa orang murid lain menjalani hidup sederhana. Meskipun Plotinus pandai bicara tetapi ia tidak menuliskan gagasannya sesuai dengan perintah gurunya. Tetapi karena kawan-kawannya (Errenois dan Origenes) melanggar janji maka pada umur 29 tahun ia mulai menulis. Ajaran yang diperoleh dari Ammonius mengenai jalan hidup spiritual dan pengembaraan intelektual yang digunakan untuk kepentingan sendiri. Disamping filsafat, Plotinus juga menguasai ilmu-ilmu lain, seperti ilmu ukur, optik, mekanika, seni dan musik secara teoritis.
Setelah memahami filsafat Plato, rupanya Plotinus merasa pengetahuannya belum cukup mendalam. Ketika berumur 39 tahun, ia meninggalkan Ammonius dan memutuskan untuk memperdalam ilmunya dengan belajar filsafat mistis di Persia dan India, yang pada waktu itu begitu tersohor. Kebetulan saat itu kekaisaran Roma Gordianus mengadakan ekspedisi ke Persia, sehingga Plotinus dapat menumpang dengan cara mendaftar sebagai tentara dalam laskar Gordianus. Tetapi sayang rencananya ke Persia dan India gagal, karena pasukan kaisar mengalami kekalahan perang sampai di Mesopotamia dan kaisar terbunuh. Lalu Plotinus melarikan diri ke Antioch dan tiba di Roma pada tahun 245.
Satu tahun kemudian, Plotinus berhasil mendirikan sekolah di Roma, dan mengajarkan filsafatnya. Metode yang dipakai adalah diskusi. Murid-muridnya berasal dari berbagai kalangan. Disamping Porphyri ada juga diantaranya ahli jiwa, senator, ahli pidato dan wanita-wanita terhormat. Karena sifatnya yang baik dan sederhana semua orang menghormatinya, bahkan ada juga yang mendewakanya karena ilmunya. Tetapi Plotinus tidak terpengaruh dengan semua itu. Ia tetap mengutamakan kehidupan spiritualnya yang sangat bersahaja.
Pada awalnya Plotinus meniru gaya Ammonius, yaitu tidak menuliskan ajaranya. Setelah 11 tahun di Roma barulah ia mulai menulis. Ketika pada tahun 263 Porphyri menjadi pengikutnya, Plotinus melengkapi 54 risalahnya. Dengan dorongan dan pertanyaan Porphyri sangat membantu Plotinus dalam menyelesaikan risalah itu. Sembilan terakhir dari 54 risalah itu ditulisnya dua tahun terakhir kehidupannya. Saat itu kondisi kesehatanya mulai memburuk. Setelah Plotinus meninggal, tulisan yang memuat ajaran-ajarannya diterbitkan oleh Porphyri secara luas. Karya ini diberi judul Enneads, karena memuat 54 bab yang terbagi dalam enam buku, dan tiap-tiap buku memuat 9 bab.
Pada hari berikutnya, Plotinus sering sakit-sakitan sehingga ia berhenti mengajar filsafat. Menurut Porphiry waktu-waktu terakhirnya digunakan untuk bermeditasi. Tujuan terakhirnya dalam bermeditasi adalah persatuan dengan Tuhan yang dianggap diatas segala-galanya. Pada tahun 270 M Plotinus meninggal dunia disuatu tempat bernama Minturnea dalam usianya yang mencapai 65 tahun.
Plotinus seorang mistikus yang yang mempunyai pengalaman langsung dan pibadi akan rahasia Ilahi. Tetapi pemikirannya merupakan filsafat metafisik yang sistematis dan bukan berdasar pada wahyu. Tingkat-tingkat penghayatan yang mutlak diungkap dengan kategori-kategori intelektual spekulatif. Metode yang digunakan Plotinus desebut intuitif atau mistik, karena sifat kontemplatif yang demikian meresapi seluruh metodenya. Filsafat bukan hanya doktrin, tetapi juga way of life. Bersama-sama kelompoknya ia menghayati hidup religius dan mengantarkan mereka pada hal-hal yang bersifat rohani.
Jika Plato mendasarkan filsafatnya pada “ Yang Baik” yang meliputi segala-galanya, maka Plotinus mendasarkan ajarannya pada “Yang Satu” yang menjadi pokok pangkal segala sesuatu. Filsafat metafisikanya ini, Plotinus memusatkan pada tiga prinsip yaitu The One, Nous dan Psyche. The One/Yang Satu memiliki kesempurnaan mutlak melimpahkan pada Nous. Nous lalu melimpahkan pada Psyche atau jiwa. Pada akhirnya jiwa-jiwa ini akan melahirkan materi yang beragam.
Yang Satu dan Yang Baik adalah istilah yang digunakan untuk menyebut Tuhan, sebagai hakikat segala sesuatu, asal muasal segala bentuk yang dengan pelimpahan hirarkis-Nya terciptalah keanekaragaman. Dia adalah sumber kebaikan mutlak. Dunia ini hanyalah hasil dari pancaran yang paling jauh, sehingga cenderung bersifat negatif. Untuk memperoleh kebahagiaan sejati manusia harus membersihkan diri dari hal-hal duniawi dan berusaha untuk mendekati sumbernya yaitu menjalani persatuan dengan Tuhan. Dengan demikian Plotinus tidak membedakan antara Yang Satu dengan yang bermacam-macam. Pada akhirnya ia berpendapat bahwa hakikat segala sesuatu adalah satu.
Fase-fase dalam Aliran Neoplatonisme.
Menurut Karl Praechter, fase-fase aliran Neoplatonisme dibedakan dalam empat macam, yaitu versi metafisika spekulatif, Mazhab theurgi pergamum, sekolah Neoplatonis di Aleksandria dan Neoplatonisme Latin.
Versi Metafisika Spekulatif
Merupakan fase pertama Neoplatonisme sistematis, yaitu terdiri dari masa Plotinus dan Porphyri; aliran Syiria dari Lamblichus; dan aliran Athena dari Plutarch dan proclus.
Fase Plotinus dan Porhyri diakui sebagai fase yang pertama kalinya aliran Neoplatonisme dianggap sebagai filsafat yang mandiri. Kedua tokoh ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain dengan sejarah Neoplatonisme. Enneads adalah karya berharga yang dihasilkan dari kerjasama kedua tokoh ini. Meskipun pada dasarnya Plotinuslah yang mengarang, tetapi bantuan Porphyri berupa pertanyaan-pertanyaan dan dialog sangat berarti dalam penyelesaian Enneads. Setelah Plotinus meninggal, atas prakarsa Porphyri-lah Enneads dapat diakses oleh pemikir-pemikir berikutnya.
Enneads terdiri dari 6 buku. Setiap bukunya berisi 9 karangan yang keseluruhan menggambarkan pikiran Plotinus secara utuh. Enneads pertama berisi masalah etika, mengenai kebajikan, kebahgiaan, bentuk-bentuk kebaikan, kejahatan dan masalah pencabutan kehidupan. Enneads kedua membicarakan fisik alam semesta, tentang binatang-binatang, potensialitas dan aktualitas, sirkulasi, kualitas dan bentuk, juga berisi kritikan terhadap gnotisisme. Enneads ketiga membahas implikasi filsafat tentang dunia, iman, kuasa Tuhan, kekekalan, waktu dan tatanan alam. Enneads keempat tentang sifat danm fungsi jiwa, imortalitas jiwa, penginderaan, dan ingatan. Enneads kelima pembahasan tentang roh ketuhanan atau divine spirit. Disini diterangkan ajaran tentang idea. Enneads keenam berisi berbagai topik seperti kebebasan berkehendak atau free will, ada sebagai realitas dan sebagainya.
Karya lain dalam fase ini adalah Eisagoge karangan Porphyri. Merupakan karya kritikan bagi logika Aristoteles dan mengulas lima kategori (spesies, genus, perbedaan, sifat dan aksidensi) yang dikemudian hari dijadikan konsep dasar bagi buku-buku filsafat abad pertengahan.
Aliran kedua dalam fase metafisika spekulatif adalah Lamblicus dari Syiria (250-325 M). Ia adalah murid Porphyri. Seorang neoplantonis yang menambahkan embel-embel pada tiga hipotesa (The one, Nous, Psyche) dengan menerima sesuatu yang lebih tinggi dan sesuatu yang lebih rendah.
Aliran ketiga adalah dari Athena, Plutacch dan Proclus. Merupakan sekolah Neoplantonis tertua di Athena sekitar tahun 380 sampai 529 M. Aliran ini mencari suatu pandangan tunggal dalam pemikiran Plato, Aristoteles dan Plotonius. Sekolah ini ditutup oleh Justinus pada tahun 529 karena dianggap sebagai musuh agama Kristen. Buku yang dihasilkan dalam fase ini adalah Element of theology dan Plato’s Theology yang sering dianggap sebagai karangan Aristoteles.
Mazhab Theurgi Pergamum
Mazhab ini didirikan oleh Edesius, murid Lamblicus. Merupakan cabang dari Mazhab Lamblicus yang telah menjadi perhatian istimewa dalam theurgi. Merupakan hubungan Neoplantonisme dengan dongeng, Tuhan dan kesatuan yang dimaksudkan membantu Julian Apostate (361-363) dalam perjuangan dengan Kristen.
Sekolah Neoplatonis di Aleksandria
Hidup sekitar tahun 430 sampai penaklukan Aleksandria oleh Islam pada tahun 642. Dimulai dengan Hierocles, murid Plutarch. Mazhab ini mendapat pengaruh dari ajaran Kristen, seperti bila membicarakan penciptaan yang keluar dari pemikiran providence dalam term-term melalui perantara perseorangan dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan melalui Rasul. Beberapa tokohnya memang beragama Kristen, seperti Hermias, Ammonius, Asclepius dan Olimpiodorus.
Aliran Neoplatonisme Latin
Tokohnya antara lain Marcrobius, Marus Victorianus dan Boethius. Tema utamanya ialah pengembangtan konsep trinitas agama Kristen dalam kerangka Neoplantonis. Banyak diantara mereka bergama Kristen, Seperti Boethius yang dikenal dengan karangannya yang berjudul The Concolation of philisophy atau Tentang Penghiburan Filsafat.
Unsur-unsur Filsafat pada Neoplatonisme
Seperti telah disebutkan bahwa filsafat Neoplatonisme merupakan suatu kulminasi dan sintesa definitif dari aneka unsur fisafat Yunani yang didasarkan pada ajaran Plato sebagai unsur paling dominan. Pada dasarnya ia hanya menjelaskan secara implisit apa yang sudah ditemukan Plato. Disamping itu ia juga mengintegrasikan unsur-unsur Pythagoras, Aristoteles, Stoa dan tasawuf Timur. Jadi, Neoplatonisme mengandung unsur-unsur kemanusiaan (hasil pemikiran manusia), kegamaan dan keberhalaan. Di bawah ini adalah unsur filsafat paling mendasar dalam Neoplatonisme :
Pythagoras
Dalam hal mistis, Plotinus terpengaruh oleh Pythagoras, yaitu filosof paling kuno yang menganut aliran kebatinan. Menurut kepercayaan Pythagoras, manusia berasal dari Tuhan karena jiwa adalah penjelmaan dari Tuhan. Jiwa tidak dapat mati seperti halnya jasmani. Jasmani dianggap sebagai sesuatu yang kotor dan memenjarakan roh yang suci. Maka manusia harus membersihkannya agar dapat mencapai kebahagiaan dengan cara bermeditasi dan berbuat baik. Jika manusia mati dan jiwanya belum bersih, maka jiwa itu akan masuk dalam badan yang lain. Pendek kata, jika jiwa bersih, maka ia akan menuju kebahagiaan karena dapat kembali pada Tuhan. Istilah The One sedikit banyak juga terpengaruh dari Pythagoras yang mendasarkan segala sesuatu dari angka satu.
Plato
Unsur Plato yang masuk Neoplatonisme adalah ajaran tentang idea, yang merupakan inti dari seluruh filsafat Plato. Menurut Plato, idea merupakan sesuatu yang obyektif, terlepas dari subyek yang berfikir. Idea tidak dapat diciptakan oleh pemikiran kita serta tidak tergantung padanya. Sebaliknya pemikiranlah yang tergantung pada idea-idea. Idea berdiri sendiri maka pemikiranlah yang menaruh perhatian pada idea. Bagi Plato yang disebut idea adalah realitas yang ada dalam dunia yang tetap (dunia idea), disebut juga dunia baka, tidak bersifat materi, tidak berubah dan kekal.
Selanjutnya Plato mengatakan bahwa idea jumlahnya banyak tetapi bukan berarti tidak punya kesatuan. Idea merupakan suatu orde, suatu keteraturan, serta memiliki susunan tetap. Tersusun secara hirarki dan teratur berasal dari dunia rohani. Sedangkan ide-ide yang bukan dari dunia rohani dan berubah, pada akhirnya sampai pada idea tertinggi yaitu idea kebaikan. Idea ini berlaku di mana-mana dan dimengerti oleh siapapun. Inilah ide “kebaikan yang satu”.
Plato adalah pemikir kedua setelah Pythagoras yang bersifat spiritual. Ia tertarik pada dunia rohani dan berangan-angan terhadap dunia yang kekal. Intisari dari filsafat Plato adalah menyelesaikan hubungan antara materi dan rohani (sesuatu yang nisbi dan sesuatu yang mutlak). Filsafat Plato disebut juga filsafat dualisme. Namun begitu, Plato meyakini dunia rohani sebagai hakikat dari yang ada dan ini disebutnya sebagai “Yang Baik”. Dalam filsafat Neoplatonisme Yang Baik-“nya Plato menjadi “Yang Satu”.
Aristoteles
Terdapat perbedaan antara Plato dan Aristoteles tentang idea-idea. Aristoteles setuju bahwa dalam ilmu pengetahuan ada sesuatu yang umum dan tetap, tetapi bukan dunia idea seperti kata Plato tetapi juga benda-benda jasmani. Menurutnya dalam tiap benda jasmani ada dua hal yakni materi dan bentuk (Hyle dan Morphe). Yang dimaksudkannya di sini adalah prinsip metafisika. Materi adalah kemungkinan belaka untuk menerima bentuk. Tentang kosmos, Aristoteles memikirkan dasar yang pertama adalah pertama (arkhe) dari kosmos tersebut. Menurutnya dasar pertama adalah sesuatu hal yang tetap, tidak berubah dan mutlak. Ia menjadi sebab pertama dari segala sesuatu atau causa prima. Penggerak pertama yang tidak bergerak. Dia-lah Tuhan. Diantara sifatnya ialah akal yang selalu berfikir, pemikirannya ditujukan kepada zatnya sendiri. Pengaruh ini terlihat dalam Neoplatonisme mengenai “Yang Satu”, sebagai sumber pertama yang tidak bergerak tapi menggerakkan dan tidak berubah.
Stoa atau Fisafat Zeno
Bagi Stoa pengetahuan itu berdasar indera. Tidak ada dunia lain selain dunia pengalaman yang jasmani. Tetapi dunia sungguh-sungguh ada. Seluruh alam merupakan keteraturan dengan hukum-hukum mutlak yang harmoni. Aturan-aturan ini menimbulkan nasib, dan kejahatan sebenarnya tidak ada, hanya semu saja. Semua di bawah kekuasaan logos (rasio). Manusia bagian dari logos karenanya tidak dapat mengelak dari ketetapan logos. Jika ia hidup sesuai rasio maka ia bijaksana dan bahagia karena dapat mengendalikan nafsunya.
Manusia yang berpikir dan berbuat sesuai dengan rasio atau ketetapan alamiah akan menjadi manusia yang merdeka. Terjadilah persesuaian antara kemauan manusia dengan Tuhan sebagai pelaksana hukum kausal alamiah. Bukan hanya syarat bagi merdeka sesungguhnya, tetapi juga syarat untuk mendapat kebahagiaan. Pengaruh Stoa dalam Neoplatonisme disesuaikan dalam kerangka mistik Plotinus. Kemerdekaan dan kemestian bukanlah dua hal yang bertentangan.
Filsafat Emanasi
Dasar filsafat Plotinus adalah metafisikanya yang berpusat pada tiga prinsip : Yang Esa / Satu / The One; nous / akal / mind dan jiwa / psyche / the soul. Yang satu mempunyai kesempurnaan yang mutlak dan melimpahkannya pada nous. Nous melimpahkannya pada psyche, yang bagian atasnya berdasar pada nous dan bagian bawah melahirkan jiwa manusia lalu jiwa manusia melahirkan materi. Proses pelimpahan ini disebut sebagai emanasi .
The One adalah suatu realitas yang tidak mungkin dapat dipahami melalui metode sains dan logika. Ia berada di luar eksistensi dan segala nilai. Kita hanya dapat menghayatinya, karena Ia tidak dapat dipikirkan seperti ketika kita memikirkan sesuatu yang ada definisinya. Yang satu adalah puncak dari semua yang ada, cahaya di atas cahaya yang tidak mungkin diketahui esensinya. Ia sempurna karena mengatasi segala hal yang berlawanan. Pada-Nya tiada sifat, tiada predikat. Segala sesuatu atau jagad raya dan segala isinya mengalir ke luar dari-Nya, laksana sumber yang mengalirkan segala sesuatu ke luar, atau laksana cahaya yang bersinar dalam gelap. Oleh karena itu maka dunia segenapnya telah ada secara terpendam dalam Yang Ilahi ini. Konsekuensi dari pemancaran ini adalah, makin jauh aliran dari sumbernya maka semakin tidak sempurna keadaannya. Pendek kata bahwa proses ini bersifat hirarkis, sifat sempurnanya bertingkat-tingkat sesuai jaraknya dari Yang Asal. Uniknya dari The One ini adalah bahwa hakikatnya tidak berkurang dan esensinya tidak berubah karena memancarkan prinsip yang kedua (nous), yang ketiga (jiwa) dan sampai ke materi. Hal ini digambarkan seperti matahari yang memancarkan sinarnya ke segenap alam, tanpa membuatnya berkurang. Seperti seorang manusia yang melahirkan banyak keturunan tanpa membuat kemanusiaannya berkurang. Namun proses emanasi ini jangan dipahami sebagai suatu kejadian fisis yang berlaku dalam ruang dan waktu, sebab ruang dan waktu sendiri terletak pada tingkat terbawah dari emanasi tersebut.
Prinsip kedua adalah nous, sebagai pengaliran tahap pertama dari The One. Nous tidak sempurna karena pada tahap ini Yang Esa telah membedakan diri dalam kedwitunggalan yang terdiri dari pemikir dan yang dipikirkan atau subyek dan obyek. Tentu saja dalam pengertian yang rohani, yaitu suatu permenungan dari Sang Ilahi bahwa Ia “ada”. Namun keluarnya akal atau roh dari yang Pertama ini merupakan sesuatu yang niscaya terjadi begitu saja tanpa kehendak atau kesengajaan. Hakikat nous adalah kesatuan pikiran dan eksistensi. Roh kembali kepada Yang Satu yang merupakan asal usul dan sumbernya. Roh menerima dari Yang Satu isinya, ide-ide. Namun ide-ide tersebut membentuk suatu keanekaan atau suatu sistem dalam roh tersebut. Pembentukan sistem itu menuju pada kategori-kategori dan bilangan-bilangan dan juga kepada materi intelijibel (materi yang dapat dimengerti) sebagai substantrum dari semua ide.
The Soul atau jiwa adalah realitas ketiga dalam emanasi. Sebagaimana Yang Satu menghasilkan nous, demikian pula nous melahirkan jiwa sebagai citranya yang tidak sempurna. Walau di dalam dirinya tidak dapat dibagi, jiwa tetap dapat masuk ke dalam dan menjiwai dunia spasial-sensibel yang diciptakannya. Jiwa memiliki dua macam hubungan, yaitu hubungan dengan nous yang terang dan hubungan dengan materi yang gelap. Oleh karena itu jiwa berfungsi semacam penghubung atau perantara antara nous dan materi. The Soul mengandung satu jiwa dunia dan banyak dunia kecil. Jiwa dunia dapat dilihat dalam dua aspek, ia adalah energi di belakang dunia, dan pada waktu yang sama ia adalah bentuk-bentuk alam semesta termasuk jiwa-jiwa perorangan. Masing-masing seolah-olah mendukung seluruh jagad raya dalam dirinya. Jiwa perorangan mewujudkan suatu pengungkapan jiwa dunia.
Hasil terakhir pemancaran dari Yang Satu adalah materi atau benda-benda yang dilahirkan dari jiwa. Meskipun materi tidak termasuk dalam tritunggal tetapi ia akan tetap ada sebagai konsekwensi terakhir dari emanasi. Materi tidak mengambil bagian dari kodrat Yang satu dan kebaikan, karena materi tidak mampu mengadakan kelahiran lebih lanjut. Ia adalah matarantai yang terendah dan terakhir. Oleh karena itu menurut Plotinus, ibarat sinar matahari yang semakin jauh jaraknya, semakin menuju kegelapan. Yang Pertama sebagai Yang Baik berangsur-angsur melalui hirarki emanasi menjadi keburukan dan ketiadaan hakikat.
Hal inipun berlaku bagi manusia. Manusia memiliki tiga substansi, yaitu nous (roh / akal), jiwa (psyche) dan tubuh (soma). Ketiganya mewujudkan suatu keseluruhan dimana jiwa sebagai tempat kesadaran mengambil tempat sebagai pusat. Tubuh mewujudkan alat badani dan nous senantiasa bersatu dengan yang tertinggi. Plotinus menganggap bahwa tubuh merupakan penjara bagi jiwa dan roh. Untuk itu harus ada upaya mencari jalan untuk kembali pada sumbernya yaitu yang Satu. Inilah tujuan hidup manusia yakni bersatu kembali dengan yang Ilahi. Jalan kembali tersebut ada tiga tahap yakni melakukan kebajikan umum, berfilsafat dan bersatu dengan Tuhan (mistik). Proses dari bawah ke atas ini merupakan prinsip-prinsip etika dalam Neoplatonisme. Tujuan terakhir dari filsafat Plotinus ini adalah penyatuan mistis yang akhirnya akan menerobos tirai dan menyingkap hakikat yang sebenarnya dari Yang Satu yang tidak diketahui.
Jika dilihat secara keseluruhan dari ketiga prinsip Plotinian ini, jiwalah yang dapat digambarkan sebagai yang paling luas dan beragam aktivitasnya. Jiwa bersifat pasif jika berhubungan dengan akal tetapi aktif dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang lain. Jiwa universal ini bertanggung jawab untuk memelihara dan menggerakkan semesta material, dan juga berperan penjadiannya, disamping itu memancarkan kebajikan-kebajikan dan sifat-sifat yang telah diterimanya dari akal untuk dunia material. Singkatnya bahwa jiwa merupakan jembatan bagi prinsip-prinsip metafisika dan dunia aktual.
BAB IV
PENGARUH NEOPLATONISME DALAM WAĤDATUL WUJŪD
IBNU ‘ARABI
Sejarah Pertemuan Filsafat Yunani dengan Islam Terkait dengan Pengaruh Neoplatonisme terhadap Filsafat Ibnu ‘Arabi
Seluruh hasil pemikiran yang pernah muncul di bumi ini, dari Barat maupun Islam, tidak bisa tidak menunjukkan suatu kesinambungan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain secara historis. Produk filsafat di suatu abad tertentu pada dasarnya meneruskan problematika filosofis yang diwarisi dari abad sebelumnya. Disinilah kita melihat bahwa filsafat selalu harus berdialog dengan sejarahnya.
Begitupun halnya ketika kita mempelajari filsafat Ibnu ‘Arabi. Seluruh pemikirannya bukanlah semata-mata hasil dari usaha perenungan tetapi juga dipengaruhi oleh faktor realitas sosial tempat kelahirannya yang merupakan muara yang mempertemukan pemikiran dari seluruh penjuru dunia pada waktu itu.
Sebelum filsafat Islam muncul, di Timur dan Barat telah terdapat berbagai alam pikiran, diantaranya ialah pikiran Mesir Kuno, Sumeria, Babilonia, Asiria, Iran, India, Cina dan Yunani. Dari pikiran-pikiran tersebut yang paling banyak berhubungan dan bahkan menjadi sumber pemikiran filsafat Islam adalah filsafat Yunani, walaupun pikiran Iran dan India juga memberi sumbangannya.
Yunani dikenal dengan kemajuan peradabannya melebihi yang lain. Sejak abad 6 SM Yunani melahirkan pemikir-pemikir yang nantinya menjadi tonggak dalam sejarah pemikiran filosofis. Thales, Anaximandros, Anaximenes dan Heraklitos adalah nama-nama filosof pertama Yunani yang berusaha mencari asas pertama atau hakikat segala sesuatu yang menjadi sumber semua yang ada di muka bumi. Dilanjutkan dengan Pythagoras yang mengenalkan sistem bilangan dan aspek rohani dalam pemikiran manusia. Kemudian Socrates, Plato dan Aristoteles mengantarkan Yunani Kuno pada masa keemasannya. Plato dan Aristoteles adalah dua tokoh yang pengaruhnya tidak dapat diragukan lagi dalam perkembangan filsafat selanjutnya, termasuk filsafat Islam. Plotinus, bapak Neoplatonisme menurut A.H. Armstrong digambarkan sebagai satu-satunya filosof yang ketinggiannya disejajarkan dengan Plato dan Aristoteles dalam perjalanan filsafat Yunani akhir. Ketiga tokoh inilah selain Pythagoras yang mewakili anggapan umum tentang pengaruh filsafat Yunani terhadap para sufi maupun filosof Islam.
Gagasan-gagasan Yunani, menurut W. Montgomery Watt, telah memasuki dunia intelektual dalam dua gelombang. Gelombang pertama dikaitkan dengan penerjemahan-penerjemahan pertama pada abad pertama Abbasiyah. Gelombang kedua berhubungan dengan karya Al Ghazali sekitar tahun 1100. Dalam dua periode inilah ide-ide Yunani memasuki arus utama pemikiran Islam. Disamping itu dilakukan juga dengan gencar telaah-telaah atas filsafat dan sains Yunani. Namun jika ditelusuri sebenarnya perkenalan umat Islam dengan peradaban Yunani seiring dengan pergerakan umat Islam yang melancarkan ekspansi ke arah Barat. Kemenangan umat Islam tidak pernah mendapatkan tandingannya dalam sejarah Dunia. Kira-kira tahun 600 mulailah Muhammad menyiarkan Islam dari Makkah. Pada tahun 625, yakni pada saat meninggalnya, Arabia sudah masuk Islam. Pada masa Khalifah Umar ekspansi dimulai dan Islam selalu mendapat kemenangan. Dalam masa 10 tahun dari tahun 633 – 643 jatuhlah Suriah, Palestina dan Mesir ke tangan kaum muslimin. Pada 708 Afrika Utara berhasil ditaklukkan. Pada tahun 711 Spanyol jatuh dan pulau-pulau di laut Tengah diduduki. Masa paling menonjol dalam penetrasi budaya dan pengetahuan Yunani terhadap Islam memang terjadi pada masa Khalifah Abbasiyah terutama Al Mansur dan Al Ma’mun.
Masa Al Mansur pada abad ke-8 M dianggap sebagai permulaan penerjemahan fisafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Proses ini diteruskan oleh Khalifah Al Ma’mun dengan mendirikan Baitul Hikmah, sebagai pusat penyelenggaraan diskusi, penerjemahan dan kompilasi. Karya-karya yang diterjemahkan antara lain karya Plato, Aristoteles, dan beberapa komentator dan sejumlah karangan Neoplatonisme. Terjemahan ini menjadi titik tolak bagi gerakan filsafat Arab yang berlangsung selama tiga setengah abad. Gerakan filsafat ini mempunyai pusat-pusat terpenting di Bagdad dan Cordoba, atau Spanyol dimana Ibnu ‘Arabi dilahirkan.
Selain karena kecondongan para penguasa pada masa itu kepada ilmu pengetahuan, motivasi penerjemahan sebagai akibat terjadinya pertentangan di kalangan kaum muslimin sendiri dan terpecahnya mereka menjadi golongan-golongan yang masing-masing berusaha mempertahankan keyakinannya dan mengalahkan lawan-lawannya dengan argumen-argumen yang kokoh. Dan kebanyakan dari mereka mempercayakan hal ini pada filsafat Yunani yang diintegrasikan ke dalam struktur dasar wahyu Qur’an.
Mula-mula penerjemahan dilakukan dari bahasa Syriac oleh orang-orang Kristen Irak, tetapi penerjemah paling terkemuka adalah Hunayn ibnu Ishaq (809– 873) yang telah menguasai bahasa Yunani. Sementara bahasa Arab berkembang dan bahan bahasan meningkat, penerjemahan terus berlangsung dan mengalami perbaikan. Proses ini berlangsung sampai abad 11, menjelang saat itu orang-orang Arab telah mengambil alih semua yang mereka perlukan dari Yunani. Selain Plato dan Aristoteles karya Yunani yang diterjemahkan adalah karya Alexander dari Aphrodisias, Porphyri serta bagian-bagian dari Enneads-nya Plotinus. Sebagai taraf tertinggi dari proses akulturasi ini, maka dimana-mana didirikan lembaga-lembaga pengajaran, penterjemahan dan perpustakaan Yunani – Arab. Diantara yang paling berpengaruh terdapat Baitul Hikmah. Didirikan Khalifah Al Makmun di Bagdad tahun 833. Jamiah al Azhar dari Khalifah Al Hakam di Kairo tahun 972, Al Nizamul Mulk di Seljuk tahun 1076. Selain itu pusat kegiatan ilmiah di Kuffah tahun 635, Fustat tahun 640, Wasith dan Basrah tahun 700, Samarra tahun 835 dan Nishapur tahun 889. Demikianlah filsafat Yunani berfungsi sebagai daya integrasi masyarakat dalam situasi baru.
Warisan pemikiran Yunani memiliki peran yang lebih kompleks dan bervariasi dalam pembentukan peradaban Islam, dibanding unsur lain. Namun kultur Yunani yang dikenal di kalangan istana bukanlah murni pemikiran Yunani Kuno, melainkan sudah berkembang dan dipahami di sekitar Laut Tengah beberapa abad menjelang kelahiran Islam. Pemikiran Yunani yang masuk ke dalam percaturan intelektual Islam, merupakan pemikiran sebagaimana yang terjaga, dipahami dan diinterpretasikan oleh imperium Romawi. Kultur tersebut amatlah beragam. Ide-ide Plato terwujud dalam karya-karya politis dan beberapa dialognya. Logika Aristoteles dan karya-karya ilmiah, etika, dan metafisikanya juga sangat dikenal. Namun karya-karya mereka dikenal beberapa abad setelah kematian dua tokoh tersebut, kemudian pemikiran keduanya ditafsirkan ulang dalam term Neoplatonis sebagai guru dari sebuah jalan menuju kebahagiaan spiritual. Warisan Yunani tersebut juga mencakup ide-ide semi ilmiah dan kedokteran Galen, pseudo – science dunia Hellenistik mencakup kimia dan semi mistikal, ide-ide semi ilmiah dari Neophytagorean dan Hermetic.
Mistisisme intelektual yang berasal dari Plotinus, menyediakan sebuah konsep teosofis mengenai jalan mistik. Neoplatonisme memperkenalkan gagasan bahwasannya alam terpancar dari wujud Tuhan dalam beberapa tahapan berturut-turut. Manusia sebagai penghubung dunia spiritual dan material dengan cahaya batinnya mampu mendaki hirarki wujud menuju visi ketuhanan tertinggi. Dengan menemukan kebenaran yang hakiki di dalam batin sesuai dengan struktur kosmologi, kaum mistik mendaki dari keadaan diri yang material menuju wujud spiritual dan pengetahuan tertinggi mengenai Tuhan secara iluminatif.
Konsep emanasi yang digagas oleh Plotinus ini, menjadi dasar bagi terbentuknya filsafat metafisika yang tidak sekedar pengetahuan intelektual, tetapi juga berupa keyakinan spiritual bagi para filosof Islam. Diantara deretan filosof muslim yang terpengaruh dengan filsafat Emanasi Plotinus adalah Al Kindi (w. 873) yang dianggap sebagai perintis, diikuti oleh Al Farabi (w. 950) lalu Ikhwanus Shafa (970), kemudian Ibnu Maskawaih, Ibnu Sina serta filosof-filosof sufi seperti Al Ghazhali dan Ibnu ‘Arabi. Dalam beberapa bentuk metafisika sufi awal ini memadukan pandangan transendentalis dengan imanentalis mengenai eksistensi Tuhan. Tuhan sama sekali berbeda dari realitas makhluk apapun, bahkan ia juga sumber pancaran cahaya spiritual yang menjadikan mungkin atas keberadaan manusia.
Secara berangsur-angsur, sejak Al Kindi, Al Farabi dan Ibnu Sina sampai para filosof Islam Maghribi seperti Ibnu “Arabi, filsafat Neoplatonik mengalami modifikasi sesuai dengan setting dan pemahaman yang dimiliki masing-masing tokoh tersebut. Namun nampak jelas bahwa yang menjadi tema Neoplatonik utama mereka adalah filsafat Emanasi. Meskipun setiap tokoh dipengaruhi oleh sumber yang sama, masing-masing memiliki karakteristik sendiri yang merupakan hasil dari segenap usaha mereka yang murni. Usaha yang paling berani dan sangat radikal dalam mengekspresikan versi mistik tentang realitas dalam istilah-istilah Neoplatonik tidak diragukan lagi adalah usaha Ibnu ‘Arabi. Nampaknya perkenalannya dengan sufisme dan filsafat dimulai di Almeria, dimana aliran Ibnu Masarrah (w. 931 M) seorang filosof dan sufi, berkembang dengan suburnya.
Adalah tidak mudah untuk menguraikan secara eksplisit kronologi dari keterpaduan Ibnu ‘Arabi pada Neoplatonisme. Suatu kesepakatan umum bahwa sejarah filsafat Yunani yang berkesinambungan dengan filsafat Islam maupun tasawufnya adalah point penting sebagai langkah awal untuk menelurusi jejak lebih lanjut bagaimana bentuk keterikatan itu. Yang perlu diingatkan disini bahwa sejarah mistisisme muslim atau tasawuf berhubungan lebih erat dengan sejarah filsafat Islam dibandingkan dengan mistisisme yang pernah ada. Dan Ibnu ‘Arabi, adalah tokoh yang menggeluti keduanya, filsafat dan tasawuf.
Menurut Abdul Qadir Mahmud, orang terdekat yang paling besar pengaruhnya terhadap pemikiran Ibnu ‘Arabi adalah Abu Madyan Syu’aib bin Husain (w. 594 H / 1214 M). Menurutnya Ibnu ‘Arabi memperoleh pengetahuan tasawuf dan filsafat melalui tokoh ini. Abu Madyan adalah guru pertama dan utama serta pengayomnya dalam bidang tasawuf dan filsafat. Disebutkan bahwa Abu Madyan adalah penganut aliran Ibnu Masarrah (w. 318 H / 938 M) yang dikenal sebagai sufi sekaligus tokoh filsafat aliran Neoplatonisme. Mengenai Abu Madyan, pendapat ini memperkuat apa yang diungkapkan oleh Usman Yahya pada kata pengantarnya dalam Futtuhat al Makiyyah I hlm. 28. Bahwa pada masa itu di Andalusia, sudah mulai berkembang paham al Isyraq. Abu Madyan adalah orang pertama yang berjasa dalam pengembangan tarikat ini di Andalusia. Dapat disimpulkan sementara bahwa menurut pendapat satu ini, tokoh yang secara garis besar berperan dalam kronologi keterpengaruhan Ibnu ‘Arabi pada Neoplatonis adalah Abu Madyan dan Ibnu Masarrah.
Abu Madyan adalah tokoh sufi filosof dari Afrika Utara yang sangat dikagumi oleh Ibnu ‘Arabi. Meskipun warisan spiritual yang diperolehnya tidak secara langsung dari Abu Madyan, tetapi Ibnu ‘Arabi berkeyakinan bahwa mereka mempunyai hubungan batin yang erat dan bahkan Abu Madyan selalu membimbingnya dalam menempuh jalan spiritual. Melalui murid-murid Abu Madyanlah Ibnu ‘Arabi mengenal dan mengikuti ajaran Abu Madyan. Ibnu ‘Arabi begitu percaya tokoh-tokoh ini sebagai perantara antara dia dengan Abu Madyan. Mereka adalah : Yusuf Khalaf al Kumi, Abu Muhammad al Maururi, Abu Imran al Sadrani, Abd Aziz Al Mahdawi dan Abu Muhammad Abdallah al Kinani. Disamping itu Ibnu ‘Arabi menganggap tokoh-tokoh tersebut sebagai gurunya.
Tidak seperti filosof Islam dari Barat pada umumnya –seperti Ibnu Bajjah, Ibnu Tuffail dan Ibnu Rusyd– Ibnu ‘Arabi lebih memiliki karakteristik yang radikal dan menonjol dalam mengungkapkan tema mistik Neoplatonik. Masih menurut pendapat awal bahwa hal ini terkait dengan pengaruh dari Ibnu Masarrah. Keterkaitan antara Ibnu ‘Arabi dan Ibnu Masarrah pernah diungkapkan oleh seorang penulis bernama M. Asin Palacios. Melalui bukunya Aben Masarra, Palacios meyakini adanya hubngan historis antara filsafat Ibnu ‘Arabi dengan aliran Al Meria yang lebih tua dan aliran Ibnu Masarrah. Menurutnya ketiganya merupakan mata rantai jika ditelusuri dengan cermat. Namun pendapat Palacois ini disangkal oleh A.E. Affifi. Menurutnya diantara Ibnu ‘Arabi, Ibnu Masarrah dan aliran Almeria tidak memiliki hubungan historis yang jelas. Pendapat ini diperkuatnya dengan menunjukkan bukti-bukti antara lain : tidak adanya murid-murid dari Ibnu Masarrah yang menonjol yang mempunyai otoritas untuk melanjutkan ajaran-ajarannya; tidak ada buku-buku peninggalan Ibnu Masarrah maupun murid-muridnya; dan menurut literatur yang ada Ibnu Masarrah adalah penganut filsafat Empedocles dan juga seorang heretik. Menurut Affifi lagi, satu-satunya hal yang pernah dipinjam Ibnu ‘Arabi dari Ibnu Masarrah adalah simbolisme Tahta yang Kudus yang diartikan lain oleh Ibnu ‘Arabi. Bagi Affifi apa yang diungkapkan oleh Palacios bahwa Ibnu ‘Arabi dipengaruhi oleh Ibnu Masarrah merupakan hipotesis semata yang belum memperoleh bukti-bukti yang kuat. Dengan demikian apa yang telah dikemukakan oleh Abdul Qadir Mahmud dan Palacios tentang pengaruh Ibnu Masarrah terhadap Ibnu ‘Arabi telah dipatahkan oleh penelitian A.E. Affifi.
Untuk selanjutnya, Affifi tetap mengakui bahwa Ibnu ‘Arabi terpengaruh dengan filsafat Neoplatonisme, namun bukan melalui Ibnu Masarrah melainkan dari Ikhwanus Shafa dan Neoplatonik Persia terutama Ibnu Sina dan juga Al Farabi. Dari saluran inilah Ibnu ‘Arabi memadukan sumber-sumber dari Islam maupun dari non Islam termasuk unsur Neoplatonik. Namun dari saluran-saluran tersebut yang dijelaskan secara rinci adalah saluran dari Ikhwanus Shafa (sekitar 970 M). Affifi menyebutkan bahwa terdapat persesuaian antara Ibnu ‘Arabi dan Ikhwanus Shafa, yakni tentang Ontologi mencakup filsafat emanasi dan wujud mutlak; tentang psikologi dan epistemologi serta tentang Mikrokosmos dan Makrokosmos.
Prinsip-prinsip Neoplatonik dalam Pemikiran Ibnu ‘Arabi
Dalam membangun doktrin waĥdatul wujūdnya, Ibnu ‘Arabi mendapat pengaruh dari prinsip-prinsip emanasi dan hirarki Neoplatonisme. Meskipun keduanya tidak dapat dikatakan identik –karena Ibnu ‘Arabi sangat ekletik terhadap sumber lain– tetapi pengaruh itu diakui tetap ada.
Ada kesamaan yang mendasar antara pemikiran Plotinus tentang The One dengan pemikiran Ibnu ‘Arabi tentang waĥdatul wujūd. Seperti filsafat pada umumnya, keduanya membicarakan seputar tema yang mencakup Tuhan, alam, manusia dan bagaimana bentuk hubungan antara ketiganya. Kesamaan yang mendasar dari keduanya adalah bahwa antara Tuhan, alam dan manusia merupakan satu kesatuan yang utuh, hal ini terlepas dari perdebatan mengenai istilah panteisme dan monisme. Namun yang membedakan keduanya adalah bagaimana bentuk hubungan tersebut sehingga ketiganya disebut sebagai satu kesatuan.
Jika dalam Neoplatonisme terdapat 3 prinsip di atas materi, yakni The One, Nous dan Psyche, maka dalam waĥdatul wujūd Ibnu ‘Arabi menyebut adanya Allah sebagai al wujūd mutlaq, al aql al kulli dan al nafs al kulliyat. Plotinus menggambarkan 3 hipotesis yang terhubung secara hirarkis dengan terjadinya pelimpahan atau emanasi. Yang satu sebagai prinsip pertama melahirkan akal, lalu akal melahirkan jiwa, berikutnya jiwa melahirkan materi termasuk di dalamnya alam dan tubuh manusia. Dengan begitu, alam dan tubuh manusia merupakan rangkaian terendah yang muncul setelah terjadinya emanasi dari tiga prinsip.
Intisari dari seluruh sistem Ibnu ‘Arabi adalah satu realitas yang mengungkapkan atau memanifestasikan dirinya dalam bentuk-bentuk yang tidak terbatas, bukan realitas yang memunculkan atau melahirkan atau mengemanasikan sesuatu seperti halnya dalam pemikiran Plotinus. dalam Waĥdatul wujūd, segala sesuatu yang maujud adalah pantulan dari wujūd mutlak, oleh karena itu sifat kesempurnaan dalam setiap pantulan seesuai dengan urutan-urutan kejadiannya atau sesuai dengan jauh dekatnya jarak dari wujūd mutlak, Ibnu ‘Arabi menamakan ini sebagai Tajalliyat. Jadi, adanya keanekaragaman termasuk alam dan manusia, merupakan hasil dari pengejawantahan atau tajalli Tuhan dan bukan dari proses emanasi.
Meskipun dalam hal penggunaan terminologi, Ibnu ‘Arabi sering mengikuti Plotinus, tetapi doktrin emanasi Neoplatonisme diartikan oleh Ibnu ‘Arabi dengan caranya sendiri yang sama sekali lain dari yang dimaksudkan oleh Plotinus. Pada doktrin emanasi Neoplatonik, pergerakan terjadi secara progresif menurut garis lurus atas ke bawah. Pergerakan itu merupakan rangkaian emanasi-emanasi yang tiap anggota secara misterius menciptakan anggota baru. Hasil dari ciptaan itu bersifat lebih rendah dan mencerminkan kesempuranaan dari yang lebih tinggi. Berbeda dengan pandangan Ibnu ‘Arabi yang menganggap adanya intelek pertama, jiwa universal dan tubuh universal sebagai hasil dari cara yang berbeda-beda dalam pengungkapan diri dari yang satu, bukan berada dalam satu garis lurus yang hirarkis. Tajalli adalah manifestasi diri yang abadi tanpa akhir, kadang sebagai esensi dan kadang sebagai suatu bentuk atau form.
Ibnu ‘Arabi menggambarkan doktrin Neoplatonik dengan istilah-istilah al Qalam untuk intelek pertama, Lawh al mahfudz untuk jiwa universal dan al Arsy untuk tubuh universal. Secara etimologi masing-masing berarti pena, meja berkawal dan singgasana. Istilah yang dalam Neoplonisme disebut sebagai hasil dan rangakaian emanasi, oleh Ibnu ‘Arabi disebut sebagai atribut atau aspek-aspek darimana realitas Yang Satu dipandang. Intelek pertama, ruh/jiwa universal dan natur universal merupakan cara memandang Yang Satu dari segi yang berlainan. Misalnya Yang Satu dipandang sebagai kesadaran universal, Yang Satu dipandang sebagai Prinsip Aktif dalam alam, Yang Satu sebagai Prinsip Pemberi Hidup, Yang Satu memanifestasikan diri dalam dunia fenomena dan sebagainya.
Dalam Neoplatonisme, relitas dari keseluruhan bersumber dari The One. Begitupula dalam sistem Ibnu ‘Arabi, wujud pada hakikatnya adalah satu, yakni wujud mutlak (Allah) dan wujud mutlak ini bertajalli dalam tiga martabat. Dalam tiga martabaat inilah Ibnu ‘Arabi sedikit meniru gaya Plotinus yaitu menyusun tiga hipotesis secara hirarkis. Tiga martabat tersebut adalah :
1. Martabat Aĥadiyyah atau Dzatiyyah, yakni bahwa wujud Allah merupakan Dzat yang mutlak lagi mujarrad, atau tidak terbayangkan. Merupakan The One dalam filsafat Neoplatonisme.
2. Martabat Waĥidiyyah, disebut juga martabat tajalli dzat atau fayd al aqdas (limpahan paling kudus). Dzat yang mujarrad bertajalli melalui sifat dan asma’. Dengan tajalli ini Dzat tersebut menjadi pengikat sifat-sifat dan nama-nama yang maha sempurna (asma’ul husna). Tetapi sifat dan nama tersebut berada dalam satu sisi yang tidak berlainan atau identik dengan Dzat Allah. Inilah a’yan tsabitah atau mafātiĥ al ghaib.
3. Martabat tajalli Syuhudi. Disebut juga Fayd muqaddas (limpahan kudus/ kedua) atau kenyataan kedua. Allah bertajalli melalui asma’ dan sifat-Nya dalam keadaan kongkrit. Dengan perkataan lain melalui firman-Nya, maka a’yan tshabitah yang dulunya merupakan wujud potensial dalam Dzat ilahi, kini menjadi kenyataan aktual dalam berbagi citra alam empiris. Alam empiris ini merupakan wadah atau mazhar tajalli illahi dalam berbagai wujud atau bentuk yang tiada akhir.
Bedanya hirarki martabat wujud ini dari tiga hipotesis Plotinus terletak pada alam empiris. Jika dalam sistem Ibnu ‘Arabi alam empiris atau materi merupakan anggota penuh dari hirarki tajalli, sedangkan menurut Plotinus alam empiris atau materi tidak termasuk tritunggalnya, karena baginya materi merupakan prinsip kegelapan dan sumber kejahatan.
Ada hal lain yang membedakan antara emanasi Plotinus dengan tajalliyat Ibnu ‘Arabi. Dalam emanasi Plotinus, lahirnya hipostatis kedua dan ketiga sampai akhirnya melahirkan materi adalah suatu keniscayaan yang begitu saja terjadi, tanpa terencana dan kehendak. Sedangkan menurut Ibnu ‘Arabi terjadinya tajalli atau pengejawantahan Tuhan melalui kosmos disebabkan oleh kehendak-Nya. Menurut Henry Corbin, kesendirian Tuhan dalam kegaiban Nama-nama-Nya yang tidak dikenal adalah kesedihan yang menimbulkan kerinduan untuk dikenal oleh ciptaan-Nya. Lalu Tuhan berkehendak menghembuskan nafas kasih (Nafas Raĥmani). Nafas ini menandai terlepasnya kesedihan Tuhan dan mengaktifkan wujūd, sehingga Nama-nama-Nya akhirnya termanifestasi secara kongkrit. “Kosmos berasal dari Nafas Yang Maha Pengasih karena Dia menjadikan Nama-nama-Nya memiliki akibat-akibat di dalam nama-nama itu sendiri”.
Jadi segala sesuatu yang nampak merupakan pengadaan dari hembusan nafas kasih Tuhan. Oleh karena itu Tuhan layak disebut sebagai al Raĥman, seperti bahasa al Qur’an dalam Bismi Allah Al Raĥman Al Raĥim dan Kasih-Ku meliputi segala sesuatu, maka Aku tetapkan kasih-Ku untuk orang-orang yang bertakwa … (QS. 7 : 156)
The One bagi Plotinus adalah wujud mutlak (wujud absolut) bagi Ibnu ‘Arabi. Keduanya memberikan identifikasi yang sama terhadap prinsip pertama ini. The One adalah wujud yang tidak dapat digambarkan dengan apapun. Dia adalah sumber dari segala sesuatu, tidak dalam ruang dan waktu, tidak dapat dikenal karena tidak ada ukuran untuk membandingkannya. Begitupula Ibnu ‘Arabi dalam mengidentifikasi wujud mutlak. Dia yang mewujudkan segala sesuatu. Tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya. Ibnu ‘Arabi menyebutnya sebagai tanzih (tidak dapat disetarakan). Merupakan esensi yang tidak dapat dipahami dan tidak dapat disetarakan dengan sesuatupun. Tuhan sebagai Dia dalam diri-Nya sendiri. Dalam kondisi ini Tuhan belum mewujudkan diri-Nya dalam bentuk apapun sehingga Ia tidak dapat dikenali kecuali oleh diri-Nya sendiri.
Dalam hubungan dengan Esensi, tidak ada sebutan. Sebab Ia tanpa locus atau wadah pengejawantahan, dan Ia tidak dapat dikenali oleh siapapun. Tiada nama yang menunjukkan pada-Nya kecuali penisbatan, tidak juga dengan bantuan. Nama-nama perbuatan diciptakan sebagai sarana untuk mengenal-Nya dan membedakan-Nya dari selain Dia, tapi pintu (pengetahuan menuju esensi) ini hanya untuk Tuhan, bukan untuk yang lain. Karena “Tiada seorangpun yang mengenal Tuhan, kecuali Tuhan”.
Tentang Akal Pertama
Dalam emanasi Neoplatonik, akal adalah yang pertama kali keluar dari The One. Plotinus menggambarkan akal (nous) selalu merenungkan yang satu dan terus-menerus berusaha mencapai Yang Satu, yang disebut pula sebagai Yang Baik (The Good). Aktivitas dasar akal adalah memancarkan jiwa universal, yang dalam berhubungan dengannya akal bersifat aktif, sedangkan terhadap The One ia bersifat pasif. Akal atau nous ini dalam sistem Ibnu ‘Arabi disebut sebagai al aql al awwal (akal pertama) atau al aql al kulli (akal universal). Namun akal pertama dalam pemikiran Ibnu ‘Arabi ini tidak sesederhana apa yang diutarakan oleh Plotinus. Oleh Ibnu ‘Arabi akal pertama diidentifikasikan dengan peran yang lebih kompleks, meskipun pada dasarnya memiliki kedudukan yang sama dalam arti, berada di bawah Yang Esa dan di atas materi.
Akal atau intelek pertama dalam sistem Ibnu ‘Arabi adalah salah satu sebutan yang diberikan pada logos atau hakikat Muhammadiyah. Merupakan kategori metafisik murni darimana hakikat Muhammadiyah dipandang. Al aqlu al awwal adalah sesuatu yang pertama keluar dari wujud mutlak. Keluar tidak dalam proses ruang dan waktu, dan tanpa terjadi perubahan pada wujud mutlak. Ia penyebab kejadian segala yang ada dan bersifat qadim seperti qadimnya wujud mutlak.
Ibnu ‘Arabi membedakan tiga jenis kategori ontologis, pertama adalah wujud absolut (wujud mutlaq) yang berdiri sendiri dengan entitasnya. Wujudnya mustahil dari tiada. Kedua adalah wujud yang diwujudkan oleh wujud pertama. Ia adalah wujud terbatas dan terikat karena tidak punya esensi sendiri (‘adam). Kategori pertama dan kedua ini diidentifikasi oleh Ibnu ‘Arabi sebagai Tuhan (Allah) dengan alam materi. Sedangkan kategori ketiga adalah tidak wujud dan tidak pula ‘adam, tidak hudust dan tidak qidam. Secara ontologis ia Tuhan dan alam, tetapi pada waktu yang sama ia bukan keduanya. Ia berada diposisi tengah antara Tuhan dan alam materi. Kategori ketiga ini disebut Realitas dari realitas (Haqiqatul Haqa’iq). Hubungan antara Tuhan dengan alam adalah hubungan yang mewujudkan dan yang diwujudkan atau dapat disebut dengan tajalli. Tajalli terjadi jika kategori ketiga ini diikutsertakan. Dengan demikian posisi Haqiqatul Haqa’iq dalam urutan tajalli sama dengan posisi akal atau nous dalam emanasi Neoplatonik.
Haqiqatul Muhammadiyah, haqiqatul haqa’iq maupun al barzakh adalah satu realitas yang sama yang dapat pula disebut sebagai al aqlu awwal atau al qalam (pena). Akal pertama merupakan lambang dari pengetahuan Tuhan yang tidak terbatas dan azali, yang bertajalli pada hakikat Muhammad, sedangkan pena melambangkan alat tulis Tuhan, yang menuliskan pengetahuan tersebut. Di dalam “pena” terdapat “tinta” yang melambangkan ruh yang masih berwujud potensialitas. Dan “huruf-huruf” yang ditulis oleh pena melambangkan bentuk alam. Dialah yang menjadi perantara penciptaan alam semesta dan sebab terpeliharanya.
Mengenai posisi tengah antara Tuhan dan alam dan mengenai sifat nous yang pasif terhadap The One dan aktif hubungannya terhadap materi, Ibnu ‘Arabi juga mengenakan sifat ini pada a’yan tsabitha atau entitas-entitas permanen. Sebelum menjadi wujud yang konkrit, segala sesuatu dari dunia fenomena ini berada di bawah pengendalian esensi Tuhan dan sesuai dengan apa yang ada dalam ilmu Tuhan sejak zaman azali. Artinya, segala urusan dan apa yang ada tidak akan keluar dari rencana yang telah ditetapkan Tuhan dalam ilmu-Nya. Inilah a’yan tsabita atau entitas-entitas permanen yang terletak di tengah-tengah antara Yang Esa sebagai realitas absolut dan dunia fenomena. Ibnu ‘Arabi menamakannya mafātiĥ al ghaib (kunci-kunci kegaiban). Mereka adalah bab pembukaan dalam sejarah penciptaan, yakni pewahyuan Yang Esa kepada diri-Nya sendiri, sebagai pencipta yang merenungkan diri sendiri tentang ketidakterbatasan ciptaan-Nya atau manifestasi-Nya di masa depan. Keadaan khusus ini hanya diketahui oleh Tuhan sendiri. Oleh karena posisi yang unik sebagai perantara antara Yang Esa dan dunia fenomena, maka menurut Ibnu ‘Arabi mempunyai ciri yang unik juga, yakni sifat aktif sekaligus pasif atau reseptif. Pada satu sisi mereka bersifat pasif dan reseptif dalam hubungannya dengan yang lebih tinggi yakni Tuhan. Karena sebagai hasil emanasi dari Yang Esa mereka menerima determinasi-determinasi (aĥkam) dari nama-nama Tuhan secara potensial. Di sisi lain mereka aktif dalam hubungannya dengan yang lebih rendah, yaitu alam konkrit, karena penciptaannya tidak lepas dari keberadaan a’yan tsabitha.
Dari apa yang dijelaskan tentang a’yan tsabitha, menurut A.E. Affifi, Ibnu ‘Arabi sedikit terpengaruh dengan idea-ideanya Plato, tetapi keduanya tidak identik dan berbeda dalam hal-hal tertentu, yakni tentang kesadaran Tuhan yang menyertai entitas-entitas permanen dan tidak dimiliki dalam idea-ideanya Plato. Kesadaran kudus diidentikkan Ibnu ‘Arabi dengan intelek pertama Plotinus yang mencakup semua bentuk-bentuk intelek dari a’yan : esensi, semua esensi yang potensial. Tuhan menjadi sadar akan diri-Nya sendiri melalui intelek pertama, ruh, tetapi menjadi sadar akan masing-masing a’yan mereka sendiri, yakni melalui ruh-ruh yang merupakan modes khusus dalam ruh universal. Ini nampaknya sama dengan pandangan Plotinus tentang mind (pikiran) Yang Esa dan ide-ide-Nya. Pandangan Ibnu ‘Arabi tentang identifikasi pengetahuan Tuhan dengan a’yan benda-benda pada dasarnya sama dengan Plotinus meski tidak begitu tepat. Pengetahuan Tuhan diidentifikasi dengan esensi Tuhan, lalu seperti menurut Plotinus, pengetahuan adalah identik dengan semua modes esensi yang potensial (Yang Esa-nya Plotinus) dan bahwa masing-masing mode harus diidentifikasi dengan ide sendiri dalam kesadaran kudus. Singkat kata, tiap mode harus pada saat yang sama merupakan suatu keadaan esensi dan suatu keadaan yang berada di dalam pengetahuan Tuhan. Kedua keadaan itu serentak dalam keadaan bersatu dalam a’yan tsabitha.
Menurut Wiliam C. Chittick, ajaran Ibnu ‘Arabi yang lebih tepat dihubungkan dengan idea-idea Plato adalah nam-nama Tuhan, sedangkan entitas-entitas permanen adalah segala sesuatu yang belum diberi wujud di dunia ini.
Tentang Jiwa
Konsep hirarki emanasi yang ketiga Plotinus adalah jiwa atau psyche. Ibnu ‘Arabi menamakannya al nafs al kulliyat seperti halnya ikhwanus shafa. Seperi halnya Aristoteles dan Plotinus, yang membagi jiwa dalam tiga bagian yaitu jiwa rasional, jiwa sensitif dan jiwa vegetatif. Masing-masing disifati sebagai jiwa yang ada pada manusia, binatang dan tumbuhan. Berbeda dari Aristoteles yang mengidentifikasikan jiwa rasional sebagai intelek, Ibnu ‘Arabi mengikuti Plotinus yang mengkategorikan jiwa rasional sebagai bagian dari jiwa universal. Ibnu ‘Arabi sepakat dengan pendapat Plotinus yang mengatakan bahwa jiwa-jiwa partikular adalah modes (cara, ragam) dari jiwa universal. Jiwa universal selalu menyadari dirinya sebagai suatu keseluruhan dan sadar bahwa jiwa-jiwa partikular merupakan satu substansi dengannya, sedangkan jiwa-jiwa partikular itu tidak sadar terhadap keseluruhan, mereka hanya tahu bahwa mereka berdiri sendiri. Yang perlu ditekankan adalah bahwa jiwa-jiwa tersebut bukanlah bagian-bagian yang melambangkan kemajemukan yang terpisah-pisah, melainkan sebagai fungsi jiwa universal. Jiwa universal tetap utuh tidak terbagi-bagi, oleh karena itu tetap abadi selamanya. Dengan meluapnya jiwa universal ke dalam kosmos, seluruh kosmos ini berjiwa dan hidup. Karena itu, semuanya yang ada merasakan pertalian jiwa, terikat satu sama lain.
Dari ketiga hipotesisnya, Plotinus menggambarkan jiwalah yang paling luas dan beragam aktifitasnya. Masing-masing dari jiwa partikular memiliki fungsi sendiri. Menurut Ibnu ‘Arabi jiwa vegetatif berfungsi sebagai pengendali proses organisme. Jiwa binatang dianggap sebagai uap yang sangat halus yang berada di dalam organ hati. Dua jiwa ini berbentuk materi dan berada dalam semua makhluk. Sedangkan jiwa rasional hanya dimiliki oleh manusia. Merupakan ruh murni yang bersih dari kesalahan. Jiwa rasional tidak dapat hancur dan abadi. Ibnu ‘Arabi mengidentifikasikan jiwa ini dalam diri manusia sebagai hati mistis. Sebagai prinsip rasional tujuan tunggalnya adalah mencapai pengetahuan sejati, yakni kesadaran akan makna kesatuan dengan Yang Esa.
Hal ini seperti Plotinus yang dalam pengembaraan spiritualnya ditujukan untuk mencapai puncaknya pada penyatuan mistis antara manusia dengan sumbernya. Menurut Plotinus hanyalah penyatuan mistis yang akhirnya akan dapat menerobos tirai dan menyingkap hakikat yang sebenarnya dari Yang Satu.
Inti dari pemikiran Plotinus dan Ibnu ‘Arabi tentang jiwa adalah dalam diri manusia terdapat ketiga jiwa partikular, yakni jiwa tumbuhan, jiwa binatang dan jiwa rasional (hati mistis). Kedua jiwa pertama lebih terkait erat dengan siklus biologis, yakni aktivitas dari organ-organ tubuh. Disini Ibnu ‘Arabi mengatakan bahwa tubuh adalah modes dari jiwa universal atau al jism al kulli. Sedangkan jiwa rasional merupakan jiwa murni yang lebih terkait dengan yang diatasnya yakni akal. Karena ia menerima pancaran dari akal dan menghendaki persatuan dengan sumber utama yakni Yang Esa.
Tentang Analogi
Dalam menjelaskan ajarannya tentang hubungan antara al ĥaqq dengan al Khalq. Ibnu ‘Arabi banyak menggunakan analogi yang memudahkan kita untuk memahami apa yang diajarkannya. Diantaranya adalah analogi “makanan dan yang memakan” ; simbol pelangi dan simbol cermin. Namun analogi yang sama dengan yang digunakan Plotinus adalah “matahari dan cahayanya”. Plotinus membandingkan konsep emanasi dengan pengeluaran cahaya yang terus menerus oleh matahari.
Tentang hal ini kata-kata Ibnu ‘Arabi diabadikan dalam manuskrip al Zhahiriah Damaskus no. 4266, yang dikutip oleh Su’ad al Hakim dalam Al Mu’jamul Shufi : “Maka setiap maujud adalah cahaya dari cahaya-cahaya matahari kekuasaan. Cahaya matahari tidak memiliki tingkat kesertaan, tetapi tingkat kelilinan…..”
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Kemenangan-kemenangan Islam pada abad-abad permulaan setelah hijrah, yaitu pada saat kebangkitannya, telah menciptakan suatu akulturasi peradaban dan kebudayaan termasuk intelektualisme antara orang-orang muslim dengan non muslim. Diantara unsur-unsur yang berpengaruh kuat dalam pembentukan intelektual Islam selanjutnya adalah warisan Yunani. Sebagai akibat meningkatnya hubungan Islam dengan dunia Hellenistik, maka pendapat-pendapat Phytagoras, Plato, Aristoteles dan Neoplatonisme mulai dikibarkan dalam cakrawala Islam baru. Berawal dari besarnya minat orang-orang muslim terhadap ilmu pengetahuan dan kedokteran, mereka mengadakan penerjemahan besar-besaran terhadap karya-karya Yunani. Karena kondisi sosial politik yang mendorong mereka untuk mempertahankan diri dan keimanan, mereka akhirnya mempelajari filsafat Yunani yang menawarkan argumen-argumen rasional yang dianggap mampu membantu mereka. Melalui teks-teks terjemahan dan rentetan tokoh-tokoh yang berkesinambungan, pemikir Islam yang genius banyak mendapat pengaruh dari warisan Yunani. Diantara yang terpengaruh adalah syaikhul akbar Ibnu ‘Arabi.
Secara kronologis keterpengaruhan Ibnu ‘Arabi tehadap filsafat Neoplatonisme memang tidak secara langsung tetapi melalui beberapa tokoh perantara yang memiliki jarak rentang waktu yang tidak sedikit.
Namun dari beberapa pokok pemikirannya memberikan petunjuk pada kita bahwa ada unsur-unsur lain sambil disesuaikan dengan pondasi dasarnya sebagai seorang Muslim.
Menurut Abdul Qadir Mahmud dalam fil falsafah al shufiyah Ibnu ‘Arabi memperoleh pengetahuan tasawuf dan filsafat melalui Abu Madyan Syuaib bin Husain (w. 594). Abu Madyan adalah penganut aliran Ibnu Masarrah (w. 319 H) yang dikenal sebagai tokoh aliran Neoplatonisme di Andalusia. Abu Madyan adalah orang yang paling besar pengaruhnya bagi Ibnu ‘Arabi dalam menempuh jalan spiritualnya, meskipun ajaran-ajaran yang ia dapatkan dari Abu Madyan tidak secara langsung, tetapi melalui murid-muridnya antara lain : Al Kumi, Al Sadrani dan Al Maururi.
Mengenai Ibnu Masarrah, tokoh ini dikenal sebagai tokok filosof sekaligus sufi dari Almeria yang sangat berpengaruh pada abad 9 M. Namun sayangnya ia tidak meninggalkan tulisan-tulisan yang cukup untuk memahami ajaran-ajarannya.
Menurut A.E. Affifi, Ibnu ‘Arabi memang seorang Neoplatonis Muslim, namun ajaran yang diperolehnya sebagai sumber pemikirannya tidak melalui Ibnu Masarrah, tetapi lebih tepat melalui Ikhwanus Shafa dengan Epistles-nya dan Sufi peripatetik seperti Ibnu Sina dan juga sufi panteistik seperti Al Hallaj.
Sedangkan hubungan antara Ibnu ‘Arabi dengan ajaran Almeria Ibnu Masarrah terlalu jauh sehingga tidak dapat menjadi bukti yang cukup untuk mengatakan bahwa keduanya terkait seperti apa yang telah dikatakan oleh Asin Palacious.
Doktrin Ibnu ‘Arabi yang mendapat pengaruh dari Neoplatinisme adalah tajalliyat-nya yang menggantikan emanasi dari Neoplatonisme. Persamaan antara tajalliyat Ibnu ‘Arabi dan Emanasi Plotinus terletak pada point-point sebagai berikut :
1. Keduanya (Ibnu Arabi dan Plotinus) meyakini bahwa pada dasarnya antara Tuhan, manusia dan alam semesta merupakan satu kesatuan yang utuh yang bersumber dari Tuhan dan nantinya akan kembali kepada-Nya.
2. Salah satu istilah yang digunakan oleh Ibnu ‘Arabi adalah istilah fayd yang merupakan terjemah dari emanasi meskipun didefinisikan dengan caranya sendiri.
3. Proses yang sama antara emanasi dan tajalliyat adalah : Diawali dengan wujud mutlak atau The One yang ber-tajalli atau ber emanasi menuju akl pertama atau Nous. Lalu muncullah jiwa universal atau psyche dan terakhir terciptalah natur universal, haba dan hayula atau alam empiris.
4. Apa yang digambarkan The One dalam emanasi Plotinus memiliki kesamaan dengan apa yang digambarkan wujud mutlak dalam tajalliyat Ibnu ‘Arabi, begitupun dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh anggota hirarki emanasi dan hasil tajalliyat Ibnu ‘Arabi, yakni bersifat pasif terhadap yang di atasnya dan bersifat aktif terhadap yang di bawahnya.
5. Mengenai jiwa-jiwa partikular yaitu jiwa vegetatif, jiwa binatang dan jiwa rasional, Ibnu ‘Arabi mengikuti cara Plotinus. Ketiganya adalah bagian dari jiwa universal.
6. Seperti halnya Plotinus yang memusatkan kehidupannya untuk hal-hal spiritual dan pencapaian mistik yaitu bersatunya diri dengan Tuhan sebagai sumber dari kemanusiaannya. Demikian pula Ibnu ‘Arabi menjalani kehidupan spiritual untuk mencapai maqam tak bermaqam.
7. Persamaan lain di antara Ibnu ‘Arabi dengan Neoplatonisme adalah dalam hal pemberian analogi terhadap pemikiran mereka, yaitu tetang hubungan antara Yang Esa dengan alam fenomena atau Al Ĥaqq dengan Al Khalq. Analogi yang digunakan adalah matahari dan cahayanya. Yang Esa atau Tuhan digambarkan seperti cahaya matahari yang secara terus-menerus mengeluarkan sinarnya tanpa mengurangi esensinya dan memberikan eksistensi pada alam material.
Sedangkan point-point yang membedakan antara Ibnu ‘Arabi dengan Neoplatonisme adalah :
1. Yang membedakan tajalliyat Ibnu ‘Arabi dengan emanasi Plotinus adalah bentuk hubungan yang terjalin antara Yang Satu/Allah, manusia dan alam semesta.
a. Emanasi bersifat vertikal karena melalui pelimpahan yang berurutan dari atas ke bawah. Segala sesuatu mengalir sehingga menjadi alam yang serba aneka. Sedangkan tajalli bersifat horisontal, karena segenap fenomena maknawi dan empiris muncul sebagai manifestasi Al Ĥaqq dari segala aspek, bukan dalam satu arah.
b. Proses emanasi menurut Plotinus merupakan proses alamiah yang memang harus terjadi demikian, tanpa sebab, tanpa kesengajaan dari Yang Esa. Sedangkan Tajalliyat dalam sistem Ibnu ‘Arabi, merupakan kehendak Tuhan. Karena ingin dikenal, Allah dengan segaja menghembuskan nafas kasih-Nya sehingga terciptalah makhluk kemudian memberikan kasih sayang terhadap makhluknya bahkan dalam pengejawantahan yang terkecil sekalipun.
2. Banyak hal-hal baru yang dikenalkan dalam ajaran Ibnu ‘Arabi yang tidak terdapat dalam sistem 3 hipostasis Plotinus seperti, a’yan tsabitha dan insan kamil. Karena memang selain mengambil unsur-unsur Neoplatonik, Ibnu ‘Arabi juga mengambil unsur-unsur lain dan tetap menjaga keimanannya sebagai seorang muslim.
Gagasan Ibnu ‘Arabi tentang kesatuan agama-agama merupakan konsekwensi logis yang menjadi kesimpulan akhir dari doktirn wahdatul wujud-nya terutama jika ditelusuri dari doktrin logos-nya. Segala ide berasal dari dan akan kembali pada sumber yang sama, termasuk agama. Ini dapat disamakan dengan teori emanasi Neoplatonisme. Segala sesuatu muncul dari Yang Satu. Agama pada dasarnya juga satu, yakni kepunyaan Allah, apapun nama, bentuk dan atributnya.
Saran-saran
Dengan selesainya skripsi ini, maka penulis menyatakan harapan-harapan sebagai berikut :
Karena penulisan skripsi ini masih terlalu global dan banyak kekurangan di sana sini, maka ada baiknya penulisan ini dijadikan sebagai awal untuk menelusuri pemikiran Ibnu ‘Arabi lebih lanjut, mengingat kajian-kajian tentang pemikirannya sangat luas dan kompleks, sehingga tidak mungkin dimengerti hanya dengan satu langkah penelitian.
Pembahasan mengenai tasawuf yang bercorak filosofis atau filsafat mistis termasuk Ibnu ‘Arabi hendaknya menggunakan bahasa-bahasa yang familiar dan mudah dicerna sehingga dapat memberi akses bagi para peminatnya untuk lebih memahami kandungan nilai-nilai yang disampaikan oleh penulis.
DAFTAR PUSTAKA
Affifi, A.E. Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi. terj. Sjahrir Mawi dan Nandi Rahman. Jakarta : Gaya Media Pratama, 1995.
Ahwani, Ahmad Fuad Al. Filsafat Islam. terj. Sutardji C.B. Jakarta : Pustaka Firdaus, 1988.
Ali, Yunasril. Membersihkan Tasawuf dari Syirik, Bid’ah dan Khurafat. Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1987.
______ Manusia Citra Ilahi : Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibnu ‘Arabi Oleh Al Jili. Jakarta : Paramadina, 1997.
Amstrong, Amatullah. Khasanah Istilah Sufi. terj. M.S. Nasrullah dan Ahmad Baiquni. Bandung : Mizan, 1995.
‘Arabi, Ibnu al. Futtuhat al Makiyyah. ed : Usman Yahya. Kairo, 1979.
Arberry, AJ. Pasang Surut Aliran Tasawuf. terj. Bandung : Mizan, 1985.
Asdi, Endang Daruni dan A. Husnan Aksa. Filsuf-filsuf Dunia dalam Gambar. Yogyakarta : Karya Kencana, 1982.
Austin, R.W.J. Sufi-sufi Andalusia. terj. M.S. Nasrullah. Bandung : Mizan : 1994.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta : Gramedia, 1996.
Bakker, Anton dan Achmad Charis Zubeir. Metode Penelitian Filsafat. Yogyakarta : Kanisius. 1992.
______ Metode-metode Filsafat. Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984.
Berten, K. Sejarah Filsafat dalam Islam. Yogyakarta : Kanisius, 1978.
Chittick, C. William. Dunia Imajinal Ibnu ‘Arabi, Kreativitas Imajinasi dan Persoalan Diversitas Agama. terj. Ahmad Syahid. Surabaya : Risalah Gusti, 2001.
______ SPK : Tuhan Sejati dan Tuhan-tuhan Palsu. terj. Ahmad Nidjam, Sadat Ismail dan Ruslani. Yogyakarta : Qalam, 2001.
______ SPK : Pengetahuan Spritual Ibn Al ‘Arabi. terj. Ahmad Nidjam, Sadat Ismail dan Ruslani. Yogyakarta : Qalam, 2001.
Corbin, Henry. Imajinasi Kreatif : Sufisme Ibn ‘Arabi. terj. M. Khozim dan Suhadi. Yogyakarta : LKIS, 2002.
Daudy, Ahmad. Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syekh Nuruddin Ar Raniri. Jakarta : Rajawali Perss, 1983.
DEPAG RI, YPP Al Qur’an. Al Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta : 1983.
Edward, Paul. The Encyclopedia of Philosophy. New York : Mac Millan Publishing & The Free Press, 1967.
Gazalba, Sidi. Sistematika Filsafat 3. Jakarta : Bulan Bintang, 1996.
Hamka, Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta : Panjimas, 1986.
Hatta, Mohammad. Alam Pikiran Yunani. Jakarta : Tintamas & UI Perss, 1980.
Hadiwijoyo, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat I. Yogyakarta : Kanisius, 1980.
Helwig, W.L. Sejarah Gereja Kristus I. Yogyakarta : Kanisius, 1999.
Hirtenstein, Stephen. Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud, Ajaran dan Kehidupan Spiritual Syaik al Akbar Ibn ‘Arabi. terj. Tri Wibowo B.S. Jakarta : Murai Kencana, 1999.
Jailani, Abdul Qadir. Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf. Jakarta : Gema Insani Perss, 1996.
Kattsof, louis O. Pengantar Filsafat. terj. Soejojo Soemargono. Yogyakarta : Tiara Wacana, 1996.
Kertanegara, Mulyadi. “Pencarian Spiritual di Dunia Modern” dalam Pensyl. Jakarta : STT. Apostolos, 2000.
Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Umat Islam 1 & 2. terj. Jakarta : Rajawali Perss, 1999.
Mackenna, Stephen dan B.S Page. “Biographical Note” dalam Enneads. Chicago : The University of Chicago, 1989.
Madkour, Ibrahim. Aliran dan Teori Filsafat Islam. terj. Yudian W.A. Yogyakarta: Bumi Aksara, 1995.
Mahayana, Dimitri. Menjemput Masa Depan, Futuristik dan Rekayasa Masyarakat Menuju Era Global. Bandung : Rosdakarya, 1999.
Mahmud, Abdul Qadir. Al Falsafah al Shufiyyah fil Islam. Kairo : Darul Fikr al ‘Arabi, 1966.
Mudhofir, Ali. Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi. Yogyakarta : UGM Perss, 1996.
Muzairi. “Filsafat Islam, Suatu Tinjauan Historis” dalam Filsafat Islam. ed : Irma Fatimah. Yogyakarta : LESFI, 1992.
Nasr, Seyyed Hossein. Three Muslim Sages : Avicenna, Suhrawardi, Ibn ‘Arabi. New York : Caravan Books, 1976.
______ Tasawuf, Dulu dan Sekarang. terj. Abdul Hadi W.M. Jakarta : Pustaka Firdaus, 1991.
Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 1995.
Netton, Ian Riochard. Muslim Kebatinan. terj. Musoffa Ihsan. Yogyakarta : Aditya Media, 1994.
Noer, Kautsar Azhari. Ibn Al Arabi, Wahdat al Wujud dalam Perdebatan. Jakarta: Paramadina, 1995.
Poerwantana, dkk. Seluk Beluk Filsafat Islam. Bandung : Rosdakarya, 1994.
Poejawijatna. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta : Rineka Cipta, 1997.
Plotinus. Enneads. trans. by S. Mackenna & B.S. Page. Chicago : The University of Chicago, 1989.
Simuh. Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam. Jakarta : Rajawali Perss, 2002.
Siregar, Rivay H.A. Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neosufisme. Jakarta : Rajawali Perss, 1999.
Taftazani, Abul Wafa’ al Ghanimi. Sufi dari Zaman ke Zaman. terj. Ahmad Rofi’ Usmani. Bandung : Penerbit Pustaka, 1997.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra. Bandung : Rosdakarya, 2000.
Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat. Bandung : Rosdakarya, 1995.
Usmani, Rofi’. Tokoh-tokoh Muslim Pengukir Zaman. Bandung : Penerbit Pustaka, 1998.
Watt, W. Montgomery. Kejayaan Islam, Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis. terj. Hartono Hadikusumo. Yogyakarta : Tiara Wacana, 1990.
Zubeir, Ahmad Charis. “Metodologi Penelitian Filsafat” Makalah pada Lokakarya Dosen-dosen Filsafat Pancasila se-Indonesia di Yogyakarta, Juli 1998.
0 Comment