BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Setiap
anak yang lahir normal, baik fisik maupun mentalnya berpotensi menjadi cerdas.
Hal yang demikian terjadi, karena secara fitrah manusia dibekali potensi
kecerdasan oleh Allah SWT. Dalam rangka mengaktualisasikan dirinya sebagai
hamba (`abid) dan wakil Allah (khalifah) di muka bumi.[1]Sebagaimana
dalam firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 30:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ
لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُواْ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ
الدِّمَاء وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي
أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ (البقرة : 30)
“Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”
(QS. 2: 30)
(QS. 2: 30)
Demikian
pula dengan pendapat al-Ghazali bahwa: “Anak dilahirkan dengan membawa fitrah
yang seimbang dan sehat. Kedua orang tuanyalah yang memberikan agama kepada
mereka.
Demikian
pula anak dapat terpengaruhi sifat-sifat yang buruk. Ia mempelajari sifat–sifat
yang buruk itu dari lingkungan yang dihadapinya. Dari corak hidup yang
memberikan peranan kepadanya dan dari kebiasaan–kebiasaan yang dilakukannya.
Ketika
dilahirkan, keadaan tubuh anak belum sempurna, kekurangan ini diatasinya dengan
latihan dan pendidikan yang ditunjang dengan makanan. Demikian pula halnya
dengan tabiat yang difitrahkan. kepada anak yang merupakan kebajikan yang
diberikan al-Khalik kepadanya”.[2]
Pada masa
sekarang ini, peran keluarga mulai melemah dikarenakan perubahan sosial,
politik dan budaya yang terjadi. Keadaan ini memiliki andil yang besar terhadap
terbebasnya anak dari kekuasaan orang tua, keluarga telah kehilangan fungsinya
dalam perkembangan emosi anak.
Kehidupan
anak-anak yang sudah memasuki usia ramaja sebagian waktunya dihabiskan di Asrama
mulai pagi hingga Malam hari. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwasanya
mereka pun berinteraksi dengan pengasuhnya dan teman-temannya, hasil interaksi
inipun akan mempengaruhi pola perilaku mereka. Oleh karena itu Asrama merupakan
rumah kedua setelah kehidupan mereka bersama orang tua dan saudaranya di rumah,
di mana mereka dapat bermain dan belajar.
Pengaruh
dari adanya perubahan sistem politik, sosial dan budaya yang menyebabkan
melemahnya fungsi keluarga terhadap perkembangan emosi anak, maka peran Asrama
di sini sangat penting dalam pembentukan pola perilaku anak-anak.
Pelaksanaan
pendidikan tidak mungkin lepas dari faktor-faktor psikologis manusia di samping
faktor lingkungan sekitar, maka dalam proses Pembinaan perlu bahkan wajib
berpegang pada petunjuk-petunjuk dari para ahli psikologi terutama psikologi
pendidikan dan psikologi perkembangan, termasuk psikologi agama.
Menurut
al-Farabi dalam buku “Risalah Fi al-Siyasah”,
bahwasanya perlu untuk memperhatikan faktor pembawaan dan tabiat anak-anak.
Anak-anak berbeda pembawaanya satu sama lain. Oleh karena itu apa yang
diajarkan harus sesuai dengan perbedaan pembawaan dan kemampuan itu.[3]
Namun
selama ini hanya sedikit orang tua yang memperhatikan perkembangan kejiwaan
anak secara universal. Orang tua biasanya hanya memperhatikan pada aspek jiwa
yang langsung dapat teramati saat itu juga. Seperti pada perkembangan aspek
kognisi, orang tua akan merasa sangat bahagia bila anaknya yang masih balita
sudah dapat menghafal abjad ataupun mengenal bahasa asing.
Mereka
tidak sadar bahwa anak akan mempunyai masalah-masalah di masa depan yang
penyelesainya tidak hanya ditentukan oleh keberhasilan orang tua dalam
mengembangkan aspek kognisinya atau IQ (Intelligence
Quotient)-nya, namun tak kalah penting adalah keberhasilan pengembangan
aspek emosi anak juga merupakan salah satu faktor penting yang menentukan
keberhasilan anak di masa depan.
Dalam
kaitannya dengan hubungan tersebut maka upaya untuk membangun dan mengembangkan
kecerdasan emosional anak patut diperhatikan karena secara psikologis bukan
pikiran rasional saja yang dapat membantu anak mengalami perkembangan, tetapi
pikiran emosional juga memberi dampak efektif. Hal ini melihat bahwa masa anak
merupakan saat yang tepat untuk menerima dan menyerap informasi-informasi baru.
Jadi agar
kecerdasan emosional anak dapat berjalan dan berkembang dengan baik, maka
seyogyanya diberikan pembinaan dan bimbingan yang dilakukan oleh orang tua,
dalam hal ini yang paling berkompeten adalah Pengasuhan santri kepada santri dalam
masa pertumbuhannya agar ia memiliki kepribadian dan kecerdasan yang cemerlang
baik kecerdasan logika maupun kecerdasan emosi.
Demikian
uraian-uraian yang menjelaskan tentang betapa pentingnya arti kecerdasan
emosional bagi kehidupan modern dewasa ini, yang dijadikan sebagai tolak ukur
keberhasilan hidup.
Maka
kecerdasan emosional ini semakin perlu dipahami, dimiliki dan diperhatikan
dalam pengembanganya karena mengingat kondisi kehidupan dewasa ini yang semakin
kompleks. Kehidupan yang semakin kompleks ini memberikan dampak yang sangat
buruk terhadap konsentrasi kehidupan emosional individu.
Dalam
hal ini, Daniel Goleman mengemukakan hasil survey terhadap para orang tua dan Pengasuh
yang hasilnya menunjukkan bahwa ada kecenderungan yang sama di seluruh dunia,
yaitu generasi sekarang lebih banyak mengalami kesulitan emosional daripada
generasi sebelumnya. Mereka lebih kesepian dan pemurung, lebih beringasan dan
kurang menghargai sopan-santun, lebih gugup dan mudah cemas, lebih impulsif dan
agresif.[4]
Dengan
melihat hasil penemuan dari Daniel Goleman yang mengarah pada arti penting
kecerdasan emosional (EQ) bagi kehidupan manusia dewasa ini. Khusus bagi
anak-anak, keterampilan kecerdasan emosional (EQ) perlu disuguhkan sedini
mungkin agar nantinya anak-anak (siswa) ini dapat tumbuh dan berkembang dengan
baik dan sehat secara moral, emosional, dan sosial.
Merupakan
tugas yang berat bagi orang tua dalam memilih Asrama yang berkualitas bagi pembinaan
anak-anaknya.
Asrama
pada umumnya jarang ditemukan adanya pendidikan yang berorientasi tidak hanya
pada aspek kognitif dan psikomotirik saja melainkan aspek emosional siswanya
pun mendapatkan posisi yang cukup penting diperhatikan. Seperti keberadaan santri
yang tinggal di Asrama PPM Diniyyah Pasia yang menempati posisi yang cukup
diperhitungkan sebagai instansi yang patut dipilih bagi pendidikan anak-anak
sekarang. Karena Pesantren tersebut mempunyai iklim yang bagus bagi
perkembangan emosional anak
Iklim yang
mendukung terciptanya kecerdasan emosional anak ini nampak pada aktivitas harian
baik di dalam maupun di luar Asrama. Pola-pola kecerdasan emosional yang
dikembangkan Pengasuh di dalam Asrama dengan jalan memperhatikan aktivitas anak
yang diasuh dan dibimbing.
Hal ini
dikarenakan banyaknya beban kegiatan yang harus diperhatikan pengasuh dan tidak
tersedianya waktu yang memungkinkan bagi mereka untuk memberikan pelatihan
kecerdasan emosional secara khusus.
Dengan
mempertimbangkan keterbatasan kemampuan penulis dalam memahami persoalan
kecerdasan emosional, khususnya tentang perkembangan kecerdasan emosional anak.
Maka dalam
penelitian ini penulis berusaha untuk menuangkan berbagai masalah emosional
siswa yang dihadapi pengasuhan beserta cara-cara pengasuhan dalam melatih
kecerdasan emosional Anak di Asrama PPM Diniyyah Pasia Kabupaten Agam.
Namun bila
kita lihat fenomena yang ada pada masa sekarang, banyak sekali anak-anak yang
pemurung, depresi, lebih menurutkan kata hati dan tidak patuh. Kemerosotan ini
diakibatkan oleh berbagai hal, misalnya kenyataan-kenyataan ekonomi baru yang
membuat pengasuh terpaksa bekerja lebih keras daripada sebalumnya untuk memberi
pembinaan kepada anak,
Hal ini
hendaklah mendapat perhatian khusus dari orang tua, karena jika tidak,
anak-anak tentu tidak akan tumbuh optimal sebagaimana yang diharapkan.
Di samping
itu pengasuhan yang tidak hanya mengarahkan anak untuk cerdas dari segi
intelegensi saja, namun lebih dari itu para pengasuh hendaklah memperhatikan
unsur kecerdasan emosional anak agar anak bisa tumbuh optimal seperti yang
diharapkan.
Kecerdasan
emosional merupakan sebuah istilah yang relatif baru dikenal dalam khazanah
ilmu pengetahuan. Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada
tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University of New Hampshire
untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya sangat penting
bagi keberhasilan seseorang dalam berbagai bidang kehidupannya.
Kemudian
istilah “kecerdasan emosional” ini menjadi populer tahun 1995 berkat buku
“Emotional Intelligence” buah karya Daniel Goleman.[5]
Adapun
yang dimaksud dengan kecerdasan emosional menurut Salovey dan Mayer adalah
“kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta
menggunakan perasaan tersebut untuk memantau pikiran dan tindakan.[6]
Sementara
itu Daniel Golomen menjelaskan pengertian kecerdasan emosional berikut:
“Merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan orang lain,
kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik
pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain”.
Kecerdasan
emosional mencakup kemampuan-kemampuan yang berbeda tetapi saling melengkapi
dengan kecerdasan akademik (academic intelligence), yaitu kemampuan
kognitif murni yang diukur dengan IQ. Banyak anak cerdas dalam arti terpelajar,
tetapi kurang mempunyai kecerdasan emosional, sehingga bekerja menjadi bawahan
orang ber-IQ lebih rendah tetapi unggul dalam keterampilan kecerdasan emosional.[7]
Berdasarkan
pengertian di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan kecerdasan
emosional adalah suatu kemampuan yang mengenali dan mengelola diri sendiri, perasaan
atau emosi sendiri dalam hubungannya dengan orang lain. Dengan demikian,
kecakapan emosi mencakup kecakapan pribadi dan kecakapan sosial.
Kecakapan
atau kecerdasan emosi merupakan faktor penting dalam menentukan dan mengarahkan
sikap dan tingkah laku seseorang. Kecerdasan emosi sangat menentukan
keberhasilan dan kesejahteraan seseorang dalam kehidupannya.
Karena
seseorang yang memiliki kecerdasan emosional akan mampu untuk mengelola dan
mengabdikan emosional sendiri untuk mencapai tujuan-tujuan yang positif,
memiliki motivasi atau dorongan untuk menjadi lebih baik, memiliki empati dan
kesadaran terhadap perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang serta mengantarkan
seseorang untuk memiliki keterampilan sosial dalam berinteraksi dengan orang
lain.
Berkaitan
dengan pentingnya kecerdasan emosional dalam mencapai keberhasilan seseorang,
Lawrence E. Shapiro menjelaskan sebagai berikut:
Keuletan,
optimisme, motivasi diri dan antusiasme adalah bagian dari kecerdasan emosional
atau EQ bukan didasarkan kepada kepintaran seorang anak, melainkan pada sesuatu
yang dahulu karakteristik pribadi atau karakter. Penelitian-penelitian sekarang
menemukan bahwa keterampilan sosial dan emosional ini lebih penting bagi
keberhasilan hidup dibanding kemampuan intelektual. Dengan perkataan lain,
memiliki EQ tinggi mungkin lebih penting dalam pencapaian keberhasilan
ketimbang IQ tinggi yang diukur berdasarkan uji standar terhadap kecerdasan
kognitif verbal dan non verbal.[8]
Berdasarkan
kutipan di atas jelaslah bahwa kecerdasan emosional sangat penting dalam
menentukan keberhasilan seseorang dalam hidupnya baik di tempat kerja maupun di
lingkungan sosialnya. Berbagai penelitian ilmiah tidak membuktikan bahwa
kecerdasan tanpa intelegensi bahkan tidak ada artinya tanpa disertai dengan
kecerdasan emosi.
Hal ini
sebagaimana dijelaskan oleh Daniel Golomen, “Emosi yang lepas kendali dapat
membuat orang pandai menjadi bodoh”. Tanpa kecerdasan emosi, orang tidak akan
menggunakan kemampuan-kemampuan kognitif mereka sesuai dengan potensi yang
maksimum”.
Seperti
kata Doug Lennick, seseorang Executive Vice Precedent di American Express
Financial Service, bahwa:
Yang
diperlukan seseorang untuk sukses dimulai dari keterampilan intelektual, tetapi
juga memerlukan kecakapan emosi untuk memanfaatkan potensi bakat mereka secara
penuh. Penyebab seseorang tidak mencapai
potensi maksimum adalah ketidak-terampilan emosi”.[9]
Kecerdasan emosional ini bukanlah dipengaruhi oleh
faktor bawaan atau keturunan, melainkan suatu kecakapan yang diperoleh dari
hasil pendidikan dan pengalaman yang dilalui seseorang.
Ini berarti bahwa untuk memiliki kecerdasan
emosional, seseorang harus mendapatkan pembinaan emosional yang dimulai sejak
usia dini. Dalam pendidikan ataupun pembinaan emosional anak ini, pendidikan
keluarga juga sangat berperan penting.
Dalam hal ini, orang tua adalah penagsuh utama dan
pertama, karena dari merekalah setiap anak mula-mula memperoleh pendidikan
dasar-dasar prilaku, sikap hidup dan berbagai kebiasaan perlu ditanamkan kepada
anak sejak dalam lingkungan keluarga yang menjadi landasan bagi pengembangan
kepribadiannya, agar tidak mudah berubah pada kepribadian yang tidak
diinginkan. Oleh sebab itu, orang tua harus dapat mendorong kemajuan
dan perkembangan kepribadian anak.[10]
Mahmud Yunus mengemukakan
tujuan pembinaan menurut Islam yaitu mendidik anak, pemuda-pemuda dan orang
dewasa menjadi seorang muslim sejati, beriman teguh beramal shaleh dan
berakhlak mulia serta berkepribadian utama. [11]
Maka pendidikan Islam harus
ditanamkan kepada anak semenjak dini, sehingga setelah ia baligh dan berakal
mampu merealisasikan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari dan dapat mengembangkan
emosinya dengan baik.
Pondok Pesantren Modern
Diniyyah Pasia, yang berada di Kenagarian Pasia Kecamatan IV Angkat Kabupaten
Agam. Di Balai pendidikan ini seluruh santri maupun santriwati harus tinggal di
asrama selama 24 jam, selain itu di asrama para santri dididik dan diajar
ilmu-ilmu agama dan ilmu umum.
Secara tidak langsung anak
yang tinggal di asrama selama 24 jam sebagaimana di rumah yang seorang anak harus
mendapatkan pembinaan emosional yang dimulai sejak usia dini yang biasanya
didapatkan anak dari keluarga di rumah.
Menurut
Daniel Golemen, kecerdasan emosional dapat berbentuk kemampuan antara lain Kemampuan
untuk memotivasi diri dan bertahan menghadapi frustasi, Mengendalikan dorongan
hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, Mengatur suasana hati dan menjaga
agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir. Serta Berempati dan
berdo’a [12].
Dari bermacam-macam bentu KE diatas untuk memotivasi diri dan bertahan
menghadapi Frustasi lebih menonjol dalam kehidupan anak yang tinggal di Asrama.
Menyadari akan pentingnya
pembinaan kecerdasan emosional bagi anak, maka penulis merasa tertarik untuk
membahas lebih lanjut tentang ini melalui sebuah karya ilmiah yang berjudul “PEMBINAAN
KECERDASAN EMOSIONAL ANAK YANG TINGGAL DI ASRAMA PPM DINIYYAH PASIA”.
B.
Rumusan dan Batasan Masalah
Bertitik
tolak dari uraian di atas, maka untuk lebih terarahnya pembahasan ini penulis
merasa perlu membuat rumusan masalah yakni: “Bagaimana pembina kecerdasan
emosional anak dalam Asrama PPM Diniyyah Pasia.?”.
Adapun
yang menjadi batasan masalah, sebagai berikut:
1. Bentuk-bentuk pembinaan kecerdasan emosional anak di PPM
Diniyyah Pasia.
2. Strategi pembinaan kecerdasan emosional anak di PPM
Diniyyah Pasia.
3. Faktor Penghambat dan penunjang kecerdasan emosional anak di
PPM Diniyyah Pasia.
C.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.
Tujuan Penelitian
Dalam
pembahasan karya ilmiah ini, penulis mempunyai tujuan sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui apakah bentuk-bentuk Pembinaan kecerdasan
emosional anak di PPM Diniyyah Pasia.
b. Untuk mengetahui Strategi pembinaan Kecerdasan emosional
anak di PPM Diniyyah Pasia.
c. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat dan penunjang
kecerdasan emosional anak di PPM Diniyyah Pasia.
2.
Kegunaan Penelitian.
a. Untuk menambah pengetahuan penulis
terutama tentang permasalahan yang sedang diteliti
b. Untuk melengkapi syarat dalam rangka mencapai gelar sarjana
pada STAIN Bukittinggi.
c. Untuk menambah wawasan orang tua dan guru dalam pendidikan
anak.
d. Untuk memperbanyak Literature ilmu pengetahuan tentang pembinaan
emosional anak.
D. Penjelasan Judul
Untuk
lebih jelasnya, agar tidak terjadi kesalahan dalam mengambil pengertian yang
terkandung dalam judul: “Pembinaan Kecerdasan Emosional Anak Dalam Keluarga”,
maka penulis memberi penjelasan:
Pembinaan : Mengarahkan, menuntun anak agar tenang dalam
menghadapi masa depan atau menghadapi masalah sehingga anak dapat menjalaninya.[13]
Berasal dari kata Bina yang berarti
membangun, mendirikan sedangkan pembinaan juga berarti Proses, perbuatan dan
pemahaman, penyempurnaan atau usaha tindakan yang dilaksanakan secara berdaya
guna dan berhasil untuk memperoleh hasil yang baik.[14]
Kecerdasan
Emosional :kemampuan untuk memotivasi
diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk mengendalikan
dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana
hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, untuk
membaca perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara
hubungan dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta
untuk memimpin..[15]
Anak :Anak adalah seseorang yang pada
suatu masa dan perkembangan tertentu dan mempunyai potensi untuk menjadi
cerdas.[16]
Sedangkan anak menurut
Zakiah Daradjat adalah manusia kecil yang berkisar antara umur 0-12 tahun.[17]
Asrama : Kata lainnya adalah Pondok. Yang berarti
Tempat menginap asal kata Pondok diambil dari bahasa Arab yaitu funduq.[18]
PPM Diniyyah Pasia : Salah satu Pesantren Modern yang ada di Kab
Agam Tepatnya di Pasia Ampek Angkek. Yang berdiri dari tahun 1990 sebelum
Pesantren berdiri Nama Diniyyah sudah ada tetapi baru Madrsahnya saja[19]
Jadi
maksud dari judul di atas adalah bagaimana pembinaan di asrama agar anak
mempunyai kemampuan dalam memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang
lain, serta menggunakan perasaan tersebut untuk memantau pikiran dan tindakan.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika
penulis ini agar lebih terarah, maka penulisan akan membagi kepada lima bab,
sebagai berikut:
Bab I
Pendahuluan yang terdiri dari: latar belakang masalah, rumusan dan batasan
masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, penjelasan judul, metode penelitian
dan sistematika penulisan.
Bab II kecerdasan emosional yang terdiri dari pengertian kecerdasan emosional, konsep dasar kecerdasan emosional, bentuk-bentuk kecerdasan emosional, dan urgensi kecerdasan emosional dalam kehidupan.
Bab III metodologi penelitian yang terdiri dari jenis penelitian, sumber data, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data, teknik pengolahan data, teknik analisa data dan teknik penulisan.
Bab IV hasil penelitian yang terdiri dari monografi Pondok Pesantren Modern Diniyyah, bentuk-bentuk pembinaan kecerdasan emosional anak di PPM Diniyyah Pasia, strategi pembinaan kecerdasan emosional anak di PPM Diniyyah Pasia dan faktor penghambat dan penunjang kecerdasan emosional anak di PPM Diniyyah Pasia.
Bab V, penutup, terdiri dari kesimpulan dan saran-saran. Disini akan dijelaskan bagaimana penyelesaian dari persoalan-persoalan yang dikemukakan dalam rumusan masalah berikut alasan-alasannya. Tidak lupa diikutsertakan dengan saran-saran yang berguna dengan persoalan-persoalan yang akan dibahas.
[1] Suharsono, Melejitkan
IQ, IE dan IS, (Jakarta: Inisiasi Press, 2002), Cet. Ke-1, h. 13
[2] Al-Ghazali, Ikhtisar Ihya `Ulumuddin, penerjemah
KH. Mochtar Rosyadi & Mochtar Yahya, (Yogyakarta: al-Falah, 1968), h. 15
[3] Busyairi Madjidi, Konsep
Pendidikan Para Filosof Muslim, (Yogyakarta: Al-Amin Press, 1991), h.18
[4] Syamsu Yusuf LN, op.
cit., h. 113
[5] Daniel Golomen, Kecerdasan
Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi, (Jakarta, Gramedia, 1999), h. 57
[6] Lawrence E. Shapiro, Mengajarkan Emosional
Intelligence Pada Anak, (Jakarta: Gramedia, 1999), h. 49
[7] Ibid., h.52
[8] Lawrence E. Shapiro, op . cit., h. 4
[9] Ibid., h. 36
[10] Heru Noer Aly, Ilmu
Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), Cet. Ke-1, h. 211-212
[11] Mahmud Yunus, Metode
Khusus Pendidikan Agama, (Jakarta; Al Hidayah, 1978), h. 13
[12] Daniel Golemen, op. cit., h. 45
[13] M. Ngalaim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya 2000), Cet. Ke-16, h. 71
[14] Yandianto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Bandung:
M2S, 1999), Cet. Ke-1, h. 67
[15] http://dokter.indo.net.id/emosi.html
[16] Wasty Sumanto, Psikologi
Pendidikan Landasan Kerja Pimpinan Pendidikan, (Jakarta: Rinika Cipta.
1990), h. 166
[17] Zakiyah Daradjat, Ilmu
Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 109
[18] M Daud AI dan Habibah Daud Ali, Lembaga-lembaga
Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. Ke-1, h. 145
[19] Dok Memperingati 50 Tahun Diniyyah h.7
0 Comment