BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Di dalam Islam telah
dinyatakan bahwa seseorang anak adalah suatu anugerah dari Allah SWT, yang mana
dia harus dijaga dan dipelihara dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana dijelaskan
dalam sebuah hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah yang berbunyi :
كل
مولود يولداعلىالفطرة فأبواه يهودانه اوينفرانه اويمجسانه
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci atau fitrah,
maka tergantung kepada orang tuanyalah apakah si anak itu akan menjadi seorang
Yahudi, Nasrani, atau Majusi”.
Maka para
orang tua hendaklah menyadari bahwa anak adalah amanah dari Tuhan, yang harus
diarahkan dan dibimbing ke arah kehidupan yang lebih baik sesuai dengan
petunjuk-Nya, baik itu dari segi moral maupun spiritual, dari segi jasmani dan
rohani.
Namun
bila kita lihat fenomena yang ada pada masa sekarang, banyak sekali anak-anak
yang pemurung, depresi, lebih menurutkan kata hati dan tidak patuh. Kemerosotan
ini diakibatkan oleh berbagai hal, misalnya kenyataan-kenyataan ekonomi baru
yang membuat orang tua terpaksa bekerja lebih keras daripada generasi
sebelumnya untuk memberi nafkah kepada keluarganya, sehingga peran orang tua
terhadap anak cenderung terabaikan.
Hal
ini hendaklah mendapat perhatian khusus dari orang tua, karena jika tidak,
anak-anak tentu tidak akan tumbuh optimal sebagaimana yang diharapkan.
Disamping itu orang tua yang tidak
hanya mengarahkan anak untuk cerdas dari segi intelegensi saja, namun lebih
dari itu para orang tua hendaklah
memperhatikan unsur kecerdasan emosional anak agar anak bisa tumbuh optimal
seperti yang diharapkan.
Kecerdasan
emosional merupakan sebuah istilah yang relatif baru dikenal dalam khazanah
ilmu pengetahuan. Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada
tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University of New Hampshire
untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya sangat penting
bagi keberhasilan seseorang dalam berbagai bidang kehidupannya. Kemudian
istilah “kecerdasan emosional” ini menjadi populer tahun 1995 berkat buku “
Emotional Intelligence” buah karya Daniel Goleman.[1]
Adapun yang
dimaksud dengan kecerdasan emosional menurut Salovey dan Mayer adalah
“kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta
menggunakan perasaan tersebut untuk memantau pikiran dan tindakan.[2]
Sementara
itu Daniel Golomen menjelaskan pengertian kecerdasan emosional berikut :
“Merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan orang lain,
kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik
pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.
Kecerdasan
emosional mencakup kemampuan-kemampuan yang berbeda tetapi saling melengkapi
dengan kecerdasan akademik (Academic Intelligensi, yaitu kemampuan kognitif
murni yang diukur dengan IQ. Banyak anak cerdas dalam arti terpelajar, tetapi
tidak mempunyai kecerdasan emosional, sehingga bekerja menjadi bawahan oang
ber-IQ lebih rendah tetapi unggul dalam keterampilan kecerdasan emosional.[3]
Berdasarkan
pengertian di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan kecerdasan emosional
adalah suatu kemampuan yang mengenali dan mengelola diri sendiri, perasaan atau
emosi sendiri dalam hubungannya dengan orang lain. Dengan demikian, kecakapan
emosi mencakup kecakapan pribadi dan kecakapan sosial.
Kecakapan
atau kecerdasan emosi merupakan faktor penting dalam menentukan dan mengarahkan
sikap dan tingkah laku seseorang. Kecerdasan emosi sangat akan sangat
menentukan keberhasilan dan kesejahteraan seseorang dalam kehidupannya. Karena
seseorang yang memiliki kecerdasan emosional akan mampu untuk mengelola dan
mengabdikan emosional sendiri untuk mencapai tujuan-tujuan yang positif,
memiliki motivasi atau dorongan untuk menjadi lebih baik, memiliki empati dan
kesadaran terhadap perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang serta mengantarkan
seseorang untuk memiliki keterampilan sosial dalam berinteraksi dengan orang
lain. Berkaitan dengan pentingnya kecerdasan emosional dalam mencapai
keberhasilan seseorang, Lawrence E. Shapiro menjelaskan sebagai berikut :
“Keuletan,
optimisme, motivasi diri dan antusiasme adalah bagian dari kecerdasan emosional
atau IQ bukan didasarkan kepada kepintaran seorang anak, melahirkan pada
sesuatu yang dahulu karakteristik pribadi atau karakter. Penelitian-penelitian
sekarang menemukan bahwa keterampilan sosial dan emosional ini lebih penting
bagi keberhasilan hidup dibanding kemampuan intelektual. Dengan perkataan lain,
memiliki IQ tinggi mungkin lebih penting dalam pencapaian keberhasilan
ketimbang IQ tinggi yang diukur berdasarkan uji standar terhadap kecerdasan kognitif
verbal dan non verbal.[4]
Berdasarkan
kutipan di atas jelaslah bahwa
kecerdasan emosional sangat penting dalam menentukan keberhasilan seseorang
dalam hidupnya baik di tempat kerja maupun di lingkungan sosialnya. Berbagai
penelitian ilmiah tidak membuktikan bahwa kecerdasan tanpa intelegensi bahkan
tidak ada artinya tanpa disertai dengan kecerdasan emosi. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh
Daniel Golomen, “Emosi yang lepas kendali dapat membuat orang pandai menjadi
bodoh”. Tanpa kecerdasan emosi, orang tidak akan menggunakan
kemampuan-kemampuan kognitif mereka sesuai dengan potensi yang maksimum”.
Seperti kata
Doug Lennick, seseorang executive vice precedent di American Express Financial
Service, “Yang diperlukan seseorang untuk sukses dimulai dari keterampilan
intelektual, tetapi juga memerlukan kecakapan emosi untuk memanfaatkan potensi
bakat mereka secara penuh. Penyebab seseorang tidak mencapai potensi maksimum
adalah ketidak-terampilan emosi”.[5]
Kecerdasan
emosional ini bukanlah dipengaruhi oleh faktor bawaan atau keturunan, melainkan
suatu kecakapan yang diperoleh dari hasil pendidikan dan pengalaman yang
dilalui seseorang. Ini berarti bahwa untuk memiliki kecerdasan emosional,
seseorang harus mendapatkan pembinaan emosional yang dimulai sejak usia dini.
Dalam pendidikan ataupun pembinaan emosional anak ini, pendidikan keluarga
sangat berperan penting.
Dalam hal
ini, orang tua adalah pendidik utama dan pertama, karena dari merekalah setiap
anak mula-mula memperoleh pendidikan dasar-dasar prilaku, sikap hidup dan
berbagai kebiasaan perlu ditanamkan kepada anak sejak dalam lingkungan keluarga
yang menjadi landasan bagi pengembangan kepribadiannya, agar tidak mudah
berubah pada kepribadian yang tidak diinginkan. Oleh sebab itu, orang tua harus
dapat mendorong kemajuan dan perkembangan kepribadian anak.[6]
Menyadari
bahwa keluarga adalah merupakan lingkungan yang pertama bagi anak didik yaitu
pertama-tama mendapatkan pengaruh sadar, maka tugas keluarga adalah meletakkan
dasar-dasar bagi perkembangan anak berikutnya, agar anak dapat berkembang
dengan baik.
Anak yang
karena satu dan lain hal tidak mendapatkan pendidikan dasar secara wajar, ia
akan mengalami kesulitan dalam perkembangan berikut, seperti yang dinyatakan
oleh Prof. Dr Sikun Pribadi ; “Lingkungan keluarga sering disebut lingkungan
pertama di dalam pendidikan”.[7]
Jika karena
sesuatu hal anak terpaksa tidak tinggal di lingkungan keluarga yang hidup
bahagia maka kemungkinan besar masa depan anak tersebut akan mengalami
kesulitan-kesulitan, baik di sekolah, masyarakat ramai, dalam lingkungan kerja,
maupun kelak sebagai suami istri dan dalam lingkungan kehidupan keluarga.
Keluarga
adalah lembaga pendidikan yang bersifat kodrati, karena antara orang tua
sebagai pendidik dan anak sebagai terdidik terdapat hubungan darah, karena itu
kewenangannya bersifat kodrati pula.
Dari hasil
penelitian para ahli memperhatikan bahwa orang yang melatih emosi mempunyai
kesadaran kuat akan emosi mereka sendiri maupun emosi-emosi orang-orang yang
mereka kasihi. Selain itu mereka mengenali bahwa semua emosi bahkan semua emosi
yang ada pada umumnya kita anggap negatif seperti kesedihan, amarah dan
ketakutan dapat memiliki tujuan bermanfaat dalam kehidupan kita. Orang tua yang
melatih emosi mendorong kejujuran emosional dalam diri anak-anak mereka.
Menyadari
akan pentingnya pendidikan di keluarga dan pembinaan kecerdasan emosional bagi
anak, maka penulis merasa tertarik untuk membahas lebih lanjut tentang ini
melalui sebuah karya ilmiah yang berjudul “PEMBINAAN
KECERDASAN ANAK DALAM KELUARGA”.
B. Rumusan
dan Batasan Masalah
Bertitik tolak dari
uraian di atas, maka untuk lebih terarahnya pembahasan ini penulis merasa perlu
membuat rumusan masalah yakni : “Bagaimana pembina kecerdasan emosional anak
dalam keluarga”.
Adapun yang menjadi
batasan masalah, sebagai berikut :
1.
Bentuk-bentuk
kecerdasan emosional yang diperlukan pada pendidikan seorang anak.
2.
Pembinaan
kecerdasan emosional anak dalam keluarga
C. Tujuan
dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan
Penelitian
Dalam pembahasan
karya ilmiah ini, penulis mempunyai tujuan sebagai berikut :
a)
Untuk
mengetahui apa saja bentuk-bentuk kecerdasan emosional yang diperlukan pada
pendidikan seorang anak.
b)
Untuk
mengetahui bagaimana pembinaan kecerdasan emosional anak dalam keluarga.
2. Kegunaan
Penelitian
a.
Untuk melengkapi
syarat dalam rangka mencapai gelar sarjana pada STAIN Bukittinggi.
b.
Untuk menambah
wawasan orang tua dan guru dalam
pendidikan anak.
c.
Untuk
memperbanyak literatur ilmu pengetahuan tentang psikologi anak.
D. Penjelasan
Judul
Untuk lebih
jelasnya, agar tidak terjadi kesalahan dalam mengambil pengertian yang
terkandung dalam judul: “Pembinaan Kecerdasan Emosional Anak Dalam Keluarga”,
maka penulis memberi penjelasan :
1. Pembinaan
Membina, berarti
:”Upaya untuk mendapatkan hasil yang lebih baik atau proses membina,
membangun”.[8]
2. Kecerdasan
Emosional
“Kemampuan mengenali
diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri dan kemampuan
mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dalam hubungannya dengan orang
lain.[9]
Yang penulis maksud
disini adalah kemampuan seseorang dalam mengendalikan diri dalam menghadapi
berbagai persoalan hidup dan dalam berhubungan dengan orang lain.
3. Keluarga
Keluarga sebagai
landasan pendidikan yang penulis maksud disini adalah suatu lembaga pendidikan
non formal yang cukup berperan dalam kehidupan seorang anak.
E. Metodologi
Penelitian
1. Jenis
Penelitian
Penelitian ini
adalah studi kepustakaan (Library Research), dimana penulis merujuk
kepada buku-buku yang berhubungan dengan masalah yang sedang penulis bahas.
2. Sumber
Data
Data
diambil dari perpustakaan yang terdiri dari :
a.
Data primer,
yakni data yang menjadi sumber utama. Dalam penelitian ini data primer itu
adalah buku-buku yang berkaitan dengan EQ dan pendidikan anak.
b.
Data sekunder,
yaitu data yang menunjang dan ada relevansi nya dengan judul yang penulis
bahas.
3. Teknik
Pengumpulan Data
Karena penelitian
ini Library Research, maka teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara
membaca, mencatat atau menfoto copy semua kajian yang berhubungan dengan
pendidikan anak dan kecerdasan emosional, untuk kemudian data yang diperoleh
dikumpulkan dan diklasifikasikan sesuai dengan keperluan pembahasan.
4. Analisa
Data
Dalam rangka
menganalisa data yang diperoleh dari hasil bacaan terhadap literatur yang ada
kaitannya dengan masalah ini.
Data telah
dikumpulkan kemudian dianalisa dengan menggunakan kerangka berfikir sebagai
berikut :
a.
Deduktif, yaitu
pembahasan yang bertitik tolak dari keterangan-keterangan dan pengetahuan yang
bersifat umum yang kemudian ditarik menuju kesimpulan yang bersifat khusus.
b.
Induktif, yaitu
pembahasan yang dimulai dari yang bersifat khusus menuju kesimpulan yang
bersifat umum.[10]
c.
Komperatif,
yaitu pembahasan dengan memperbandingkan pendapat para ahli dalam suatu
masalah, kemudian dikompromikan, maka penulis mencoba menganalisa, mana yang
lebih mendekati pada kebenaran.[11]
F. Sistematika
Penulisan
Dalam penulisan dan
pembahasan skripsi ini, penulis membaginya dalam beberapa pokok bahasan yang
secara garis besar terdiri dari lima bab, dan masing-masing sub bab dengan
sistematika sebagai berikut :
Bab I : Memuat beberapa pikiran yang mendasari
pembahasan nantinya secara keseluruhan meliputi : latar belakang masalah,
rumusan dan batasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, penjelasan judul,
metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II : Akan memaparkan tentang kecerdasan
emosional yang dibagi dalam pembahasan, konsep dasar kecerdasan emosional,
bentuk-bentuk kecerdasan emosional, urgensi kecerdasan emosional dalam
kehidupan.
Bab III : Akan mengemukakan tentang keluarga, yang
akan membahas, pengertian keluarga, dasar pendidikan di keluarga, tujuan
pendidikan di keluarga, faktor yang mempengaruhi pendidikan keluarga.
Bab IV : Akan membahas tentang keterkaitan pembinaan
kecerdasan emosional anak dengan anak pendidikan keluarga, yang membahas,
bentuk-bentuk kecerdasan emosional bagi anak, punya keluarga dalam pembinaan
kecerdasan emosional anak.
Bab V : Penutup yang meliputi kesimpulan dan
saran-saran.
[1]
Daniel Golomen, Kecerdasan Emosi untuk
Mencapai Puncak Prestasi, (Jakarta, Gramedia, 1999).
[2]
Lawrence E. Shapiro, Mengajarkan Emosional Intelligence Pada Anak,
(Jakarta : Gramedia, 1999)
[3] Ibid.,
h.52
[4]
Lawrence E. Shapiro, op . cit., h. 4
[5] op
. cit., h. 36
[6]
Heru Noe Aly, Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta ; Logos, 1999), Cet. ke-1,
h.211-212
[7]
Sikun Prbadi, 1982.h.67
[8]
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta : Balai Pustaka, 1994), h.117
[9]
Daniel Goleman, op . cit., h. 512
[10]
Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta : Fakultas Psykologi UGM,
1992).
[11]
Winarno Surahman, Dasar-dasar dan Teknik Research. (Bandung : Tarsio,
1875)
0 Comment