04 Mei 2012


                        Al Madkhal fil ilmi dakwah……
Pengantar Ilmu Dakwah
Sebuah Studi Sistematis dan Komprehensif
Tentang Sejarah, Sumber, Metode dan Permasalahan Dakwah
Berdasarkan Dalil dan Logika






Pengarang
Muhammad Abu al-Fatah al-Bayanuniy
Dosen Pengajar di Sekolah Tinggi Dakwah Islam
Madinah Munawwarah









Muassasah al-Risalah

Pasal Kelima
Metode Dakwah

Mencakup Pendahuluan dan Empat bahasan:

1.      Bahasan Pertama                  : Aturan dalam menetapkan sarana
2.      Bahasan Kedua                     : Contoh sarana yang bersifat moril
3.      Bahasan Ketiga                     : Contoh sarana yang bersifat Materil
4.      Bahasan Keempat                 : Ciri-ciri umum sarana dakwah




Pendahuluan
Pembahasan ini mencakup pengertian dari sarana dakwah serta penjelasan bagiannya secara global.
1.      Pengertian
Pada pengantar sebelum ini, kita telah mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan sarana dakwah adalah: sesuatu yang mengantarkan para da’i untuk merealisasikan metode dakwah; baik sesuatu itu bersifat moril (abstrak) maupun materil”.
Seseorang yang ingin mewujudkan tujuan-tujuannya dan ingin sampai pada keinginannya mesti  menggunakan metode yang akan menolongnya untuk sampai pada tujuan tersebut. Allah Swt. telah menetapkan bahwa ada hubungan yang erat dan memberikan pengaruh antara penyebab dengan yang disebabkan (kausalitas). Allah Swt juga memerintahkan untuk mengambil (melakukan) segala penyebab yang dapat mengantarkan pada tujuan. Allah Swt. Berfirman:
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan)...”[1]
Allah Swt juga berfirman:
Artinya: “Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah). Mereka mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya."[2]
Para penda’i adalah orang pertama yang berusaha mencari jalan dalam rangka mendekatkan diri pada Allah. Agar dengan dakwahnya ia bisa mempengaruhi orang lain dan sejalan dengan dengan sunnah Allah Swt di muka bumi. Allah Swt menjadikan sunah-sunah-Nya (penyebab-penyabab) diutusnya rasul, diturunkannya al-Qur’an. Walaupun pada hakikatnya Allah Swt mampu untuk menunjuki manusia seluruhnya tanpa sarana-sarana tesebut.
Keberhasilan dakwah dalam kehidupan manusia bergantung kepada kesempurnaan metode, kebenaran cara dan kekuatan sarana dakwah.
2.      Pembagian Sarana Dakwah
Jika berpijak dari definisi sarana dakwah maka lahirlah berbagai macam sarana dakwah. Sebab yang dimaksud dengan sarana dakwah adalah “sesuatu yang mengantarkan para da’i untuk merealisasikan metode dakwah; baik bersifat moril maupun materil”. Betapa banyak para da’i butuh kepada sarana-sarana yang bisa mengantarkan mereka pada tujuan dakwah!
Dari definisi sarana dakwah di atas dapat kita bagi sarana dakwah tersebut kepada dua bagian yang pokok:
a.       Sarana dakwah yang bersifat moril (abstrak)
b.      Sarana dakwah yang bersifat materil (konkrit)

Adapun yang dimaksud dengan sarana dakwah yang bersifat moril (abstrak) adalah segala sesuatu yang membantu para da’i dalam dakwahnya dari segi kekuatan hati dan pikiran. Seperti menampakkan sifat-sifat yang baik, akhlak yang mulia, pemikiran, ide dan hal lainnya yang tidak tampak ataupun tidak bisa diraba akan tetapi ia bisa dirasakan karena ada pengaruhnya.
Adapun yang dimaksud dengan metode yang bersifat materil (konkrit) adalah segala sesuatu yang membantu para da’i dalam dakwahnya berupa hal yang berkaitan dengan sesuatu yang  tampak dan bisa diraba seperti perkataan, gerakan, peralatan dan tindakan-tindakan.
Melihat banyaknya bentuk-bentuk dari sarana dakwah berupa materil ini, maka penulis membaginya kepada tiga bentuk pokok, yaitu:
1.      Sarana yang bersifat fitrah
Yaitu, sarana-sarana yang terdapat dalam fitrah manusia dan wataknya. Seperti perkataan ataupun gerakan-gerakannya.
2.      Sarana fanniyah (yang bersifat ilmiyah)
Yaitu, sarana yang diperoleh oleh manusia dengan usahanya. Ia berusaha untuk memperolehnya dan kemudian meyampaikannya dengan berbagai cara, seperti: tulisan, radio, televisi dan lain sebagainya.
3.      Sarana tathbiqiyah (yang bersifat perbuatan)
Yaitu, kebalikan dari metode nazhriyah (teori), seperti: menyemarakkan mesjid, mendirikan lembaga-lembaga dakwah, mengadakan acara-acara berupa seminar dan perkemahan serta ikut serta dalam berjihad di jalan Allah. Dan lain sebaginya.
Pada pembahasan selanjutnya kita akan lebih memfokuskan pada contoh terperinci dari setiap permbagian sarana-sarana dakwah yang telah disebutkan di atas.




Bahasan Pertama
Aturan Syar`i dalam Sarana-sarana Dakwah
Ketika dakwah Islam merupakan dakwah untuk menyeru kepada Allah dan juga merupakan aktivitas yang dijalankan oleh Rasulullah dan para pengikutnya. Maka mesti dakwah tersebut berpijak pada Kitab Allah Swt (al-Qur`an) dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. Bersesuaian dengan hukum-hukum Islam dalam penetapan metodenya, cara-caranya serta sarana-sarananya.
Dalam permasalahan hukum, Islam tidak mengenal pemisah antara metode, cara dan juga sarana dakwah. Dan Islam juga tidak membenarkan bahwa tujuan bisa membolehkan berbagai cara ataupun sarana. Setiap cara-cara dakwah harus sesuai dengan metode dakwah tersebut.
Pengesampingan nilai-nilai syariat dari segi metode, cara dan juga sarana dakwah sama artinya dengan menyesatkan dakwah dari relnya. Ataupun mengeluarkan dakwah dari sumbernya.
Melihat rumitnya permasalahan ini bagi sebagian para da’i, lahir anggapan bahwa metode ini tidak mesti sesuai dengan ketentuan hukum-hukum Islam. Interaksi mereka dengan dakwah tidak mesti terikat dengan aturan-aturan syariat. Begitu juga dengan melihat sikap mereka yang terlepas dari aturan yang ada, begitupun karena keyakinan sebagian mereka bahwa metode ini tergantung pada dasar-dasar dakwah dan menggap bahwa keduanya hal yang sama. Dimana dalam masalah ini tidak ada kaitannya dengan ijtihad.
Oleh karena itu saya melihat pentingnya memasukkan bahasan ini (aturan dalam menetapkan sarana dakwah) dalam pasal khusus. Begitupun dalam menjelaskan posisi netral dalam pembahasan sarana dakwah sebagai bentuk sankalan bagi anggapan kerumitan masalah ini. Serta menjauhi sikap berlebihan ataupun kebalikannya.
Dalam hal ini, setidaknya kita bisa membagi aturan syar`i yang berkatian dengan sarana dakwah kepada lima bagian, yaitu:
1.      Keterangan nash (teks) al-Qur’an dan Sunnah dalam menentukan sarana-sarana dakwah.
2.       Keterangan  nash al-Qur’an dan Sunnah yang mengharamkan sarana tertentu. Atau berbagai bentuk pelarangan terhadap sarana-sarana tersebut.
3.      Sarana yang dibolehkan
4.      Sarana yang bukan bagian dari syi`ar orang kafir
5.      Rukhsah (keringanan) dalam menggunakan sebagian sarana yang dilarang dalam beberapa kondisi.
1.       Perintah nash (teks) al-Qur’an dan Sunnah dalam menetapkan metode.
Apapun bentuk sarana yang dinukilkan dalam nash syariat. Baik berbentuk tuntutan dalam menjalankannya berupa wajib ataupun sunat. Atau dengan pernyataan yang jelas dalam membolehkannya. Maka yang demikian merupakan sarana dakwah yang yang disyariatkan, tergantung bentuk perintahnya apakah bersifat wajib, sunat atau mubah. Jika demikian, hendaklah para da’i konsisten dalam menggunakannya atau mereka berusaha menjadikannya sebagai sarana untuk sampai pada dakwah.
Dalam hal ini banyak ditemukan nash-nash syariat yang berbicara dalam menggunakan sarana-sarana seperti ini. Diantaranya adalah: perkataan, gerakan, tulisan, ta’lim (pendidikan), jihad, berlaku jujur dan sarana lainnya; baik yang bersifat materil maupun moril.
Allah Swt. Berfirman:
Artinya: “Dan bertutur katalah yang baik terhadap manusia.”[3]
Allah Swt juga berfirman:
Artinya:“Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah Yang Maha Esa.”[4]
Allah Swt juga berfirman:
Artinya: “Dan ucapkanlah perkataan yang benar.”[5]
Allah Swt juga berfirman:
Artinya,“Katakanlah (Muhammad), “Berjalanlah kamu di bumi, lalu perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa.”[6]
Allah Swt juga berfirman:
Artinya: “Maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya.”[7]
Allah Swt juga berfirman:
Artinya: “Dan sederhanalah dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.”[8]
Allah Swt juga berfirman:
Artinya: “Nun, Demi pena dan apa yang mereka tuliskan.”[9]
Allah Swt juga berfirman:
Artinnya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Mulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”[10]
Dalam hadis, Rasul memerintahkan, “Tuliskanlah untuk Abi Syah.”[11]
Dalam hadis lain disebutkan, “Siapa yang menuliskan (sesuatu) dari saya selain al-Qur’an, maka hapuskanlah”[12]
Allah Swt juga berfirman:
Artinya: “Wahai Nabi! Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka,” [13]
Allah Swt juga berfirman:
Artinya: “Dan berjuanglah terhadap mereka dengannya (al-Qur’an) dengan (semangat) perjuangan yang besar.” [14]
Allah Swt juga berfirman:
Artinya: “Dia benar-benar seorang yang benar janjinya, seorang Rasul dan Nabi.”[15]
Allah Swt juga berfirman:
Artinya: “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah.”[16]
Dalam hadis Nabi juga disebutkan, “Sesungguhnya kejujuran itu menunjukkan pada kebaikan.”[17]  Dan masih banyak lagi dali-dalil syariat yang mensyariatkan sebagian wasilah, baik secara langsung, dan melalui isyarat.
2.      Cara dakwah yang dilarang oleh nash al-Qur’an ataupun Sunnah dengan berbagai bentuk.
Cara ataupun sarana dakwah yang dilarang oleh nash dalam berbagai bentuk merupakan sarana dakwah yang tidak boleh dilakukan, baik bersifat  haram ataupun makruh. Oleh sebab itu para da’i wajib menjauhi ataupun tidak menempuhnya dalam berdakwah.
Ada beberapa nash syariat yang melarang sebagian sarana dakwah; baik bersifat moril maupun materil. Di antaranya adalah pelarangan untuk berdusta, bersikap sombong, bersumpah, bakhil, ingkar janji, meninggikan suara dan sifat buruk lainnya.
Allah Swt berfirman:
Artinya:“Sesungguhnya yang mengada-ngadakan kebohongan, hanyalah orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah.”[18]
Allah Swt juga berfirman:
Artinya:“Mereka sangat suka mendengar berita bohong, banyak memakan (makanan) yang haram.”[19]
Allah Swt juga berfirman:
Artinya: “dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta”[20].
Allah Swt juga berfirman:
Artinya: “dan janganlah kamu ikuti Setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina,* yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah,”[21]
Allah Swt juga berfirman:
Artinya: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.”[22]
Allah Swt juga berfirman:
Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir. dan Barangsiapa yang berpaling (dari perintah-perintah Allah) Maka Sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”[23]
Allah Swt juga berfirman:
Artinya: “Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung”[24]
Dalam hadis Rasul disebutkan, “Empat sifat yang apabila terdapat pada seseorang maka ia dikatakan orang-orang yang benar munafiq. Siapa yang padanya terdapat salah satu sifat ini, maka ia dikatakan orang munafik hingga ia meninggalkan sifatnya; apabila ia dipercayai maka ia khianat, apabila berkata ia dusta, apabila berjanji ia mengingkarinya, apabila ia tidak menyukai sesuatu maka ia berbuat jahat.”[25] 
Masih banyak lagi nash-nash syariat yang melarang sebagian cara atapun sarana, baik pelarangannya secara jelas maupun dengan isyarat.
3.      Sarana dakwah yang dibolehkan dalam syariat
Sarana dakwah manapun yang tidak ada perintah dari syariat untuk menempuhnya ataupun melarangnya  maka ia termasuk hal yang dimubahkan (dibolehkan). Hal ini berdasarkan kepada kaedah “al-ashlu fi al-asyya` al-ibahah” (asal sesuatu itu adalah mubah). Dalam hal ini para penda’i boleh menggunakan sarana tersebut secara bebas. Sebab nash-nash syariat itu bersifat terbatas sedangkan sarana-sarana dakwah selalu berkembang sejalan dengan pergantian masa. Oleh sebab itu nash-nash syariat tidak mungkin merangkum permasalahan tersebut keseluruhannya. Sebagaimana halnya penggunaan pengeras suara, radio dan penemuan-penemuan baru lainnya yang mendukung misi dakwah.
Hukum asal dari sarana ataupun cara-cara seperti ini adalah ibahah (boleh) selama tidak ada yang mengeluarkannya dari hukum asal tersebut. Dari kaedah ini maka lahirlah  2 (dua) bagian sarana yang mungkin kita masukkan dalam pembahasan ini:
a.       Sarana dakwah yang diperbedakan oleh ulama hukumnya; antara boleh dengan haram.
b.      Sarana dakwah yang tercampur di dalamnya antara yang pembolehan dengan pelarangan.
Berikut penjelasannya:
a.      Sarana dakwah yang diperbedakan oleh ulama hukumnya; antara boleh dengan haram.
Ada beberapa sarana yang diperdebatkan oleh ulama antara pembolehan atapun pelarangannya. Perbedaan ini disebabkan oleh beberapa hal yang mempengaruhinya.[26] Para da’i tidak mampu membedakan pendapat yang kuat dari pendapat yang ada. Dan tidak boleh boleh secara lansung membolehkan ataupun mengharamkannya. Dikarenakan ia masuk pada wilayah yang diperdebatkan dikalangan ulama.
Dalam menyikapi sarana seperti ini ulama juga berbeda-beda. Sebagian mereka beranggapan bahwa sarana seperti ini merupakan hal yang diharamkan dalam rangka kehati-hatian. Mereka menjauhi sarana dakwah ini dan mengingkari orang yang menggunakannya. Sebagian lagi beranggapan bahwa sarana ini merupakan hal yang dibolehkan dan mereka menggunakannya tanpa ada beban. Seolah-olah hal ini merupakan hal yang jelas kehalalannya. Sarana ini bisa dicontohkan seperti fotoghrapi[27], drama,[28] nyanyian yang sebagian alat musiknya dari gendang dan gitar, tarian[29] ataupun sarana-sana lainnya.
Dalam pandangan saya kedua sikap di atas tidak keluar dari berlebih-lebihan ataupun kebalikannya.  Dari sini kita dapat menyimpulkan aturan-aturan dalam sarana ini ke dalam 4 bagian:
1.      Boleh menggunakan sarana ini berdakwah jika kondisi dalam darurat atau ketika dakwah dan maslahat dakwah yang bersifat umum membutuhkannya. Sebab ketika dalam kondisi darurat ataupun ketika ia sangat dibutuhkan maka seseuatu yang haram bisa dibolehkan. Hal ini tidak ada perdebatan dikalangan ulama.—sebagaimana yang dinyatakan dalam kaedah fikih—maka dalam kondisi ini, pemboleh sarana dakwah seperti ini lebih utama, sebab ia dikeragui antara dilarang atau dibolehkan. Adapun pendapat yang memandang kehramannya juga bersifat dzanni (prasangka).
2.      Bersikap wara’ (menjaga diri) maksunya meninggalakan perbuatan tersebut meski ia bersifat biasa ataupun ia memiliki maslahat pribadi. Sebab bersikap wara’ terhadap hal yang bersifat syubhat sangat dituntut. Dalam hal ini seseorang hendaklah meninggalkan perbedaan yang ada. Dalam hadis disebutkan: ”Siapa yang berhati-hati dalam hal syubhat maka ia telah bebas dalam masalah agama dan kehormatannya. Siapa yang jatuh dalam hal syubhat sungguh ia telah jatuh dalam perkara haram.”[30]
3.      Hendaklah bagi penuntut ilmu untuk membahas dan mengurai permasalahan yang menjadi perdebatan para ulama. Lakukan pengujian dari setiap pendapat dengan mengembalikannya kepada dalil yang ada. Bukan dengan cara menguji pendapat seseorang dengan pendpat orang lain. Karena ia merupakan hal yang bersifat al-ijtihadiyah.
4.      Seseorang  yang menguatkan salah satu pendapat, baik mengharamkan atau membolehkan tidak berhak mengingkari orang yang berbeda pendapat dengannya. Sebab dalam kaedah disebutkan, “Tidak ada pengingkaran dalam masalah yang diperdebatkan.” Akan tetapi ia hanya boleh untuk mengajak orang lain dengan cara yang lembut ketika menjelaskan dalilnya dan disertai dengan menghormati pendapat orang lain.[31]
Sufyan at-Tsauri pernah mengatakan, “Apabila kamu melihat seorang mengerjakan suatu perbuatan yang ulama berbeda pendapat tentangnya sedangkan kamu berpendapat lain, maka janganlah kamu melarangnya.”[32].
Ia juga berkata: “Permasalahan yang ulama berbeda pendapat tentangnya, maka janganlah larang seseorang untuk mengambil (salah satu)nya.”[33]
Ini adalah empat aturan dalam menyikapi sarana-sarana dakwah yang dipedebatkan dikalangan ulama. Jika umat Islam mempraktekkan ini dalam menyikapi semua permasalahan yang menjadi perdebatan ulama, maka perselisihan akan bisa dihindarkan dan orang-orang yang berbeda pendapat akan hidup dengan saling mencintai sebagaimana para ulama terdahulu.
b.      Sarana dakwah yang tercampur di dalamnya antara yang pembolehan dengan pelarangan.
Pada masa sekarang ditemukan sarana dakwah sebagaimana ditemukan di setiap zaman yang di dalamnya bercampur antara hal yang halal dengan yang haram. Sarana dakwah seperti ini berkembang disebabkan oleh kelalaian umat Islam sendiri berupa lemahnya pegangan mereka terhadap agama. Ketika menyikapinya,  para da’i merasa bingung. Sebab mereka mereka membutuhkan sarana dakwah yang demikian akan tetapi disisi lain mereka tidak boleh menggunakannya.
Dari dahulu hingga sekarang, para da’i dan ulama berbeda pendapat dalam menyikapinya. Di antara mereka ada yang menjahuinya dan menganggapnya sebagai hal yang diharamkan. Sebagian mereka ada yang menggunakannya dan ikut serta di dalamnya.
Di antara sarana dakwah seperti ini adalah dengan cara mendirikan perkumpulan, radio, televisi dan lain sebagainya. Cara ini mengandung nilai kebaikan dan nilai keburukan. Kebanyakannya dari sarana yang ada tercampur antara yang halal dan haram. Bentuk seperti ini banyak berkembang dikalangan masyarakat muslim dan hanya sedikit dari mereka yang terhindar dari yang demikian.
Ulama terbagi kepada dua  sikap, pertama, memboikotnya dan kedua, membolehkannya. Ulama yang membolehkannya tidak efektif dalam melakukan perubahan dan mereka yang memboikot tidak juga tidak bisa memberikan perubahan dan selamat dari keburukannya.
Oleh karena itu, saya memandang bahwa setidaknya ada 2 (dua) cara dalam menyikapinya:
a.       Kondisi dimana memungkinkan untuk melakukan perbaikan dan pembersihan dari hal-hal yang dapat merusaknya; dan
b.      Kondisi dimana tidak memungkinkan untuk melakukan perbaikan dan pembersihan dari hal-hal yang dapat merusaknya.
Keadaan Pertama:
Dalam kondisi seperti ini, para da’i harus melepaskan segala bentuk yang haram dalam sarana dakwah ini dan kemudian menggunakannya. Sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh Rasul Saw “Pemberi berita yang telanjang”. Pada masa jahiliyah sudah menjadi kebiasaan jika mereka ingin mengajak orang lain ke hal yang penting atau memperingatkan mereka terhadap sesuatu yang berbahaya, mereka melakukan hal-hal berikut ini:
1.      Mereka naik ke tempat yang tinggi seperti gunung atau tempat yang tinggi lainnya.
2.      Mereka lalu menyeru dengan suara yang tinggi dan menggunakan lafal-lafal seruan
3.      Mereka melepaskan pakaian agar orang yang menyaksikan mampu merasakan bahwa hal yang akan disampaikannya merupakan hal yang penting. Seolah-olah musuh telah menelanjanginya. Dengan demikian orang-orang akan datang padanya mendengarkan apa yang akan disampaikannya.
Rasul tidak meninggalkan cara yang terkontaminasi dengan “telanjang” tersebut. Akan tetapi beliau meninggalkan hal-hal yang buruk tersebut dan kemudian menggunakannnya. Tapi, tetap saja beliau berkata: “Saya adalah pemberi peringatan yang bertelanjang.”[34] Sebagai bentuk penggambaran atas urgensitas berita yang akan ia sampaikan.[35]
            Dalam sebuah hadis juga disebutkan bahwa ketika turunnya ayat:
Artinya: Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat,”[36]
Rasulullah Saw menaiki bukit Shafa dan kemudian menyeru, ”Wahai para sahabatku”[37]
Keadaan Kedua
Dalam kondisi kedua ini, para da’i harus berada di salah satu dari dari diantara dua posisis beikut, yaitu:
1.      Memboikot dengan memiliki aturan dan prinsip; atau
2.      Ikut serta dengan memiliki aturan dan prinsip
Di antara aturan-aturan untuk memboikotnya, yaitu:
1.      Hendaklah pemboikotan carana dakwah yang demikian dilakukan secara berjamaah (bersama-sama). Dalam artian ada kesepatakan dikalangan mayoritas ulama dan juga para dai. Pada sikap ini juga mereka tidak menampakkan adanya perbedaan. Agar orang semua mengetahui bahwa para ulama dan para da’i meninggalkan hal yang demikian dan mengikuti langkah mereka.
2.      Hendaklah pemboikotan yang dilakukan bersifat menyeluruh baik secara teori ataupun secara praktek. Menyatakan tidak mau berpartisi pasti ataupun mengembangkannya kekalangan masyarkat muslim. Menjauhinya dengan sejauh-jauhnya untuk menampakkan pemboikotan dan juga agar selamat dari dampak negatif dari cara dakwah yang demikian.
3.      Berusaha untuk menciptakan solusi alternatif dari cara dakwah yang demikian. Agar orang dapat mengambil sisi kebaikan darinya dan membuang sisi buruknya. Dan masih banyak lagi aturan-aturan yang telah ditatapkan oelh para ulama dan juga para da`i.
Di antara aturan untuk ikut serta di dalamnya, yaitu:
1.      Hendaklah berpartisipasi didalamnya secara kelompok. Artinya adalah hendaklah sarana tersebut didominasi oleh ulama dan juga para da`i. Tidak ada perbedaan sikap terhadap yang demikian. Sehingga hal ini dapat memperbanyak sisi positifnya dan kemudian menutupi sisi negatifnya.
2.      Jangan sampai partisipasi ulama ataupun para dai dalam menjalankan sarana dakwah ini pada bagian yang diharamkan. Seperti program-program yang dapat mengantarkan kepada kerusakan, musik, nyanyian yang diharamkan dan sebagainya.
3.      Hendaklah keikutsertaan dalam sarana dakwah seperti ini berdasarkan kepada tingkatan yang sesuai dengan komponen penysusunnya. Agar suara kebaikan tidak bisa dikalahkan oleh suara keburukan. Sehingga orang lain emngikuti suara yang baik dan meninggalakan suara yang buruk.
4.      Hendaklah bisa memilih waktu yang sesuai untuk berpartisipasi. Para da’i harus benar-benar mengambilalih acara pada dari mulai pembukaan sampai kepada penutupan. Jangan sampai acara tersebut dibuka dengan hal-hal yang diharamkan dan kemudian ditutup dengan hal-hal yang diharamkan.
5.      Berusahalah untuk memperbaikinya ataupun membersihkannya.  Ini bisa ditempuh dengan cara memberikan kontribusi yang baik dan aktif. Senantiasa mengontrol para penanggungjwab acara tersebut dan mengingatkan mereka betapa pentingnya sarana tersebut. Jangan hanya berputusa asa ataupun diam.
6.      Berusahalah untuk mecari sarana yang lebih baik agar bisa dijadikan solusi alternatif dan juga sebagai contoh bagi yang lain.
Dan masih banyak lagi aturan-aturan lainnya yang ditetapkan oleh ulama dan juga para da`i untuk berpartisipasi dalam sarana dakwah seperti ini.
4.      Sarana yang bukan syi`ar bagi orang-orang kafir (non-Muslim)
Rasulullah Saw melarang kita untuk menyerupai orang kafir dan memerintahkan  kita agar memperbuat sesuatu yang menjadikan kita berbeda dengan mereka. Terlebih lagi pada sesuatu yang merupakan syi`ar mereka. Dalam hadis Rasul disebutkan, “Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia merupakan bagian dari mereka.”[38] Dalam hadis lain disebutkan, “Bukanlah bagian dari kami, siapa yang menyerupai kaum lain.”[39] Dalam hadis lain disebutkan, “Perbuatlah sesuatu yang berbeda dari orang kafir, peliharalah jenggot dan cukurlah kumis.”[40] Dalam hadis lain disebutkan, “Sesunnguhnya orang Yahudi dan Nasrany tidak memanjangkan (jenggotnya) maka berbedalah dari mereka.”[41]
Oleh sebab itu hendaklah para da’i menghindari segala sarana dakwah yang merupakan syi`ar ataupun semboyan bagi orang-orang kafir walau bagaimanapun bentuknya. Sebagaimana yang ditawarkan kepada Rasulullah Saw berupa sarana-sarana dakwah yang identik dengan orang kafir dalam mengajak orang lain untuk melaksakan shalat.
Dalam hadis Ibnu Umar disebutkan, “Bahwa ketika umat Islam datang ke Madinah maka mereka berkumpul menunggu datangnya waktu shalat. Tidak ada seorangpun yang memanggil untuk mendirikan shalat. Suatu hari mereka membahas hal tersebut dan sebagian mereka berkata, “Ambillah lonceng sebagaimana orang Nasrani membunyikan lonceng.” Sebagian mereka mengatakan, “Ambillah tanduk sebagaimana orang Yahudi mengambil tanduk.” Umar lalu berkata, “Kenapa kalian tidak mengutus seseorang untuk mengajak orang lain melaksanakan shalat.” Rasulullah lalu berkata, “Wahai Bilal, berdirilah dan serulah untuk mendirikan shalat.”[42]
Dari sini, kita bisa menetapkan salah satu aturan syariat dalam menetapkan sarana untuk berdakwah adalah bukan bagian dari siy’ar ataupun semboyan bagi orang-orang kafir. Sebagaimana yang kita sebutkan, “Sarana Dakwah yang kita gunakan bukan merupakan bagian dari syi`ar orang kafir”. Agar dari lafal ini bisa dipahami bahwa menggunakan sarana yang merupakan siy’ar orang kafir hukumnya boleh dalam berdakwah. Sebab yang demikian bukanlah syi`ar mereka dan sebagaimana yang dijelaskan oleh ulama dalam beberapa referensi.[43]
5.      Dispensasi dalam menggunakan sebagian wasilah yang dilarang dalam beberapa keadaan
Islam adalah agama yang juga mencakup atas perbuatan yang cocok untuk diterapkan dalam situasi dan kondisi apapun. Oleh sebab itu, Islam juga memberikan dispensasi dalam membolehkan untuk melakukan hal-hal yang pada prinsipnya dilarang guna memberikan keringanan dan menolak segala kesulitan bagi penganutnya. Baik berupa primer ataupun sekunder.
Keringanan ini dapat dibagi dalam 2 (dua) bagian inti:
1.      Keringanan pada sebagian sarana yang bersifat khusus pada beberapa kondisi. Untuk menghindarkan kerusakan daripada mengambil maslahat yang ada. Atau dalam kondisi ketika dua hal yang memudaratkan bertemu maka didahulukan mudaratnya lebih ringan sebagaimana dispensasi untuk boleh berdusta dalam beberapa kondisi.
Dalam hadis Rasul disebutkan, “Bukanlah dinamakan dusta ketika ia membawa kebaikan pada orang lain. Ia akan membuahkan kebaikan atau ia akan berkata yang baik.”[44] Dalam sebuah riwayat lain juga disebutkan, “Saya tidak pernah mendengar sesuatu yang dibolehkan daripada ketika seseorang berkata dalam tiga keadaan; (berdusta) dalam peperangan, mendamaikan orang yang bersengketa, dusta seorang suami terhadap isterinya dan begitupun sebaliknya (isteri terhadap suaminya).”[45]
Dari hadis ini ulama menetapkan sebuah kaedah dalam kebolehan berdusta, “Apabila seseorang tidak mungkin sampai pada kebenaran yang tetap baginya kecuali dengan berdusta, maka ia boleh berdusta untuk sampai pada kebenaran tersebut,”  Hal ini dibolehkan dalam mendahulukan maslahat untuk menjaga hak-hak seseorang dan dalam menghindarkan kezaliman.
2.      Dispensasi dalam melakukan hal-hal yang dilarang karena kondisi darurat atau adanya kebutuhan yang mendesak. Dalam hal ini ulama menetapkan dua kaedah:
a.       Al-dharurat tubihu al-mazzhurat (Kondisi darurat membolehkan hal-hal yang dilarang)
b.      Al-dharurat tuqaddaru bi qadriha (pembolehan sesuatu yang dilarang sesuai dengan kebutuhannya)
Kaedah ini dikuatkan oleh firman Allah Swt.:
Artinya: "Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya."[46]
            Allah Swt juga berfirman:
Artinya: "Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya."[47]
Dibolehkan bagi para da`i jika menghadapi kondisi terpaksa atau sejenisnya untuk menempuh sarana dakwah yang diharamkan sesuai dengan batasannya. Yaitu kadar yang cukup untuk memenuhi kebutuhan.
Terjadi perbedaan dalam aturan yang terakhir ini jika dipandang dari kaedah, al-ghayah tubariru al-wasilah (tujuan menghalalkan berbagai cara), kepada beberapa hal, yaitu:
1. Sesungguhnya yang berhak untuk membolehkan ataupun yang mengharamkan dalam Islam hanya al-Syari` (Allah Swt). Sedangkan pembolehan teradap orang-orang non-Muslim tergantung kepada usaha dan hawa nafsu mereka masing-masing.
2.      Bahwasanya tujuan yang bisa membolehkan untuk menempuh hal-hal yang dilarang selalu dalam konrol syariat. Bukan berdasarkan kepad pandangan manusia saja terahadap kemashlahatan yang sifatnya terbatas yang dipandang baik oleh sebagian orang dan dipandang buruk oleh sebagian lain.
3.      Keringanan yang diberikan oleh Islam tergantung kepada kondisi darurat ataupun kebutuhan yang mendesak. Sebab kondisi darurat dibatasi dengan halnya. Jadi pembolehan tersebut tidak bersifat mutlak seperti yang dianut oleh non-Muslim.



Pemabahasan Kedua
Bentuk contoh-contoh dakwah yang bersifat Abstrak
Sebagaimana pada pembahasan yang terdahulu bahwa yang kita maksudkan dari sarana-sarana dakwah yang bersifat abstrak adalah segala seseuatu yang dapat membantu dakwah seorang da`i terhadap orang yang ia dakwahi melalui perasaan dan pikiran. Seperti dengan sifat-sifat terpuji, akhlak yang baik, cara berfikir dan perencanaan.
Berhubung begitu banyaknya bentuk sarana dakwah seperti ini, maka dalam pembahasan ini saya akan mencukupkan pembahasan pada dua hal saja. Pertama, sarana perasaan dan kedua sarana berfikir.
Di antara sarana yang bersifat abstrak.
Menguatkan hubungan dengan Allah Swt dengan cara mencintainya dan mencintai Rasul-Nya, mendahulukan cinta kepada keduanya dari pada mencintai selain keduanya. Hal ini akan terwujud dengan cara saling mencintai dengan sesama karena Allah Swt ataupun membenci seseorang juga karena-Nya. Mengikuti perintah Allah dan ajaran Rasul-Nya serta benci terhadap segala bentuk kekufuran, kefasikan dan maksiat. Dalam sebuah hadis Rasulullah Saw disebutkan:
Artinya: Tiga hal yang jika ada pada diri seseorang maka ia akan merasakan manisnya iman. Kecintaannya kepada Allah Swt dan Rasul-Nya melebihi dari pada cintanya kepada yang lain. Seseorang mencintai orang lain karena Allah Swt dan ia juga benci untuk kembali kepada kekufuran sebagaimana ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah  Allah menyelamatkanya sebagaimana ia benci untuk dicampakkan ke dalam api.[48]
Selanjutnya dengan cara menampakkan akhlak yang baik yang melambangkan keindahan Islam dan keelokkannya. Menjadikan orang lain cinta dengan Islam. Bentuk akhlak yang mulia banyak sekali, diantaranya: jujur, sopan, santun, berani, sabar dan sebagainya.
Selanjutnya adalah, belajar dan mengajar, mengingat Allah, persaudaraan karena Allah, perencanaan.  Dan lain sebagainya.
Pada bentuk ini saya akan membahas dua hal saja, yaitu sabar dan perencanaan.
Sabar
Dalam bahasan ini saya memisahkan pemahaan tentang sabar secara terpisah. Sebab ia merupan satu hal yang paling banyak digunakan oleh para da`i dalam dakwah mereka. Serta salah satu jalan yang paling ampuh untuk menghantarkan kepada kesuksesan.
Allah Swt memerintahkan kepada hamba-hambanya untuk bersabar.
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.[49]
Allah Swt juga berfirman:
Artinya: "Demi masa.* Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,* kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran."[50]
Sebagaimana Allah Swt juga memerintahkan secara khusus kepada Rasulnya untuk bersabar.
Artinya: "Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik"[51].
Allah Swt juga berfirman:
Artinya: "Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah."[52]
Allah Swt menjelaskan kepada Rasulullah bahwa sabar merupakan jalan dakwahnya serta jalan dakwah para rasul sebelumnya. Allah Swt berfirman:
Artinya: "Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari Rasul-rasul telah bersabar" [53]
Allah Swt juga berfirman:
Artinya: “Dan Sesungguhnya telah didustakan (pula) Rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan[54]
            Allah Swt juga berfirman:
Artinya: “Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris dan Dzulkifli. semua mereka Termasuk orang-orang yang sabar.”[55]
Begitu banyak pembahasan tentang sabar dan orang-orang yang bersabar di dalam al-Qur’an. Bahkan lebih dari seratusan ayat. Begitu juga ajakan untuk besabar dalam hadis Rasulullah Saw dalam berbagai cerita tentang orang-orang yang sabar. Begitu juga dengan sejarah hidup Rasulullah Saw yang mengandung nilai kesabaran yang tinggi.
Oleh sebab itu seorang da`i mesti bersabar kepada Allah dan dalam jalan dakwahnya. Tidak ada kesuksesan kecuali dengan bersabar. Meski walau bagaimanapun halangan dan cobaan. Allah Swt berfirman:
Artinya: “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, Padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.”[56]
Sebagaimana ia juga mesti tahu bahwa kesabaran dapat menjaganya dari konspirasi musuhnya. Allah Swt berfirman:
Artinya: “Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.”[57]
Allah memberikan balasan bagi orang yang bersabar yang tidak diberikan kepada yang lain. Allah Swt berfirman:
Artinya: “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”[58]
Allah Swt juga berfirman:
Artinya: “Akan tetapi jika kamu bersabar, Sesungguhnya Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.”[59]
Allah Swt juga berfirman:
Artinya: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun" * Sesungguhnya Kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah Kami kembali. kalimat ini dinamakan kalimat istirjaa (pernyataan kembali kepada Allah). Disunatkan menyebutnya waktu ditimpa marabahaya baik besar maupun kecil.”[60]
Dalam Hadis Rasulullah Saw disebutkan: Siapa yang meminta kesabaran maka Allah Swt akan memberikannya. Tidaklah seseorang memberikan kebaikan kepada orang lain melainkan Allah melapangkan  kesabaran pada dirinya.”[61] 
Ulama membagi sabar kepada tiga pembagian, yaitu:
1.      Sabar dalam ketaatan
2.      Sabar dalam menjauhi perbuatan masksiat serta perbuatan yang dilarang-Nya
3.      Sabar terhadap musibah yang menimpa.
Kehidupan seorang muslim secara umum tidak akan terlepas tiga bentuk tersebut. Lalu bagiamana dengan para da`i yang merupakan pewaris dari para nabi.[62]
Diantara ulama salaf mengatakan: bencana dapat menyabarkan orang mukmin dan orang kafir. Akan tetapi tidak ada yang sampai kepada hakikatnya kecuali mereka yang baik.
Ibnu Mas`ud berkata: kita diuji dengan musibah kita lalu mampu bersabar, kita diuji dengan kebaikan kita tidak mampu bersabar.


B. Perencanaan
Perencanaan dalam bahasa Arabnya adalah al-takhthith yang berasal dari kata khaththatha-yukhaththithu, artinya membuat sebuah rencana. Adapun yang dimaksud dengan al-khuththah adalah sebuah perintah atau sebuah kondisi. Sebagaimana dalam contoh, si fulan datang dengan khutthah di kepalanya. Artinya dengan sesuatu yang telah menjadi tekad bagi dirinya. Dalam sebuah hadis, “Jika engkau dihadapkan dengan sebuah khuththah (pandangan) yang lurus maka terimalah.”[63]
Adapun perencanaan (dalam ilmu menggambar atapun fotografi) adalah sebuah ide yang telah tergambarkan. Atau tulisan yang telah dituliskan. Gambaran tersebut menunjukkan makna yang sempurna kepada apa yang diinginkan. Tidak mesti gambaran tersebut bersifat konsisten.[64]
Kata al-takhtith dipakai juga untuk makna yang seurupa, yaitu al-tanzhim. Sebagaimana dikatakan, nazama syai`an. Artinya mengumpulkan dan menyatukannya dengan yang lain. Atau dikatakan nazhama amrahu artinya melakukannya dan menyusunnya.[65]
Sedangkan perencanaan dalam dakwah adalah menetapkan perencanaan serta aturan-aturan yang berkaitan dengan dakwah. Kebalikannya adalah tindakan sembarangan yang tidak beraturan. Adakalanya perencanaan tersebut sempurna ataupun tidak, konsisten ataupun tidak konsisten.
Adapun urgensitas perencanaan dalam dakwah, Allah Swt telah menciptakan pada setiap umat jalan ataupun metode yang harus mereka tempuh untuk kemudahan bagi mereka.
Allah Swt berfirman:
Artinya: “Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.[66]
Sebagaimana dalam penjelasan terhadahulu bahwa yang dimaksud dengan al-manhaj adalah jalan yang jelas, perencanaan dan aturan.
Perencanaan ini tampak sekali pada sejarah hidup Rasulullah Saw. Ia menjalankan dakwahnya dengan perencanaan yang matang. Sama saja apakah fase Makkah ataupun fase Madinah. Beliau menetapkan perencanaan yang sesuai dengan setiap fase dengan memperhatikan kondisi dakwah dan orang yang akan didakwahi. Dengan mempertimbangkan kemampuan dan tantangan, atapun mempertimbangkan kemashlahatan dakwah jangka pendek ataupun jangka panjang.
Rasulullah Saw menjalankan setiap perncanaan-perencanaan yang telah disusun selangkah demi selangkah, mengundurkannya atau menyegerakannya, jauh dari unsur kepentingan diri sendiri ataupun perasaan. Jauh dari perasaan tertekan ataupun menganggap hal yang demikian tidak ada artinya. Sampai akhirnya Allah Swt menyampaikan dakwahnya tepat kepada sasaran. Melaksakan hukum Allah Swt dipermukaan bumi, sehingga masuklah orang ke agama Allah secara berbondong-bondong. Mengalahkan makar dari msusuh dakwah dan menghancurkannya. Sebagaimana yang dihadapi oleh para sahabatnya dalam mengikuti langkah dakwah Rasulullah. Mereka berpegang teguh dengan jalannya, sunahnya serta sunnah para khlulafau’urrasyidin setelahnya.
Kemudian sampailah pada suatu ketika, dimana umat islam melupakan pentingnya perencanaan ini. Mereka tidak peduli dengan urgensitasnya. Sehingga sistem dakwahnya kacau balau, perencanaannya kabur. Akhirnya musuh –musuh dakwah dapat mengalahkanya dengan mudah.[67] Mereka menerima metode dakwah yang seperti itu dengan guyonan yang tidak ada arinya. Dampak dari yang demikian adalah lahirlah kesalahan-kesalahan yang bayak pada da`i, kesalahan tersebut terus berulang dalam kehidupannya. Sehingga hal ini membutuhkan perhatian besar dalam memahami urgensitas serta pentingnya sarana ini.
Diantara aturan-aturan penting dalam sarana dakwah ini adalah:
Agar perencanaan dakwah berjalan dengan sukses, maka perlu memperhatikan beberapa hal berikut ini, yaitu:
1.      Hendaklah perencanaan tersebut disusun oleh ahlinya, mereka adalah orang yang memiliki ilmu dan pengalaman dalam berbagai hal dalam kehidupan.
2.      Hendaklah perencanaan tersebut mencakup seluruh kalangan dan lapisan masyarakat. Tidak ada pengkhususan pada seseorang tertentu ataupun kepada kelompok tertentu. Caranya adalah dengan berkumpulnya serluruh da`i dan ulama serta para pemikir dari berbagai kalangan. Kemudian mereka memilih orang-orang yang terbaik di antara mereka. Meminta pendapat mereka dan menyusunnya dalam perencanaan dakwah yang ideal.
3.      Hendaklah perencanaan tersebut saling berkaitan. Artinya adalah perencanaan tersebut  tidak berdasarkan kepada perasaan, dengan memperhatikan hal-hal yang jauh dan juga masa depan. Jauh dari sifat egoisme dan tergesa-gesa.
4.      Hendaklah perencanaan tersebut seimbang. Sehingga dengan demikian terbentuklah ikatan yang kuat antara kemampuan dengan kewajiban. Jangan sampai terjadi ketidak seimbangan antara kemampuan dakwah dengan tugas yang diemban. Dan jangan pernah berhenti dengan halangan dan rintangan yang berat ataupun yang rumit.
5.      Hendaklah perencanaan tersebut bersesuaian dengan hukum-hukum syaria`at dan tidak bertentangan dengannya. Hendaklah perencanaan tersebut bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. Sebab al-Qur’an merupakan penunjuk kepada jalan yang lurus.
Dan masih banyak lagi aturan-atuan yang dapat diperhatikan oleh para pengemban misi dakwah dengan memperhatikan realitas dan tantangan.


[1] QS. Al-Maidah: 05
[2] QS. Al-Isra': 57
[3] QS. Al-Baqarah: 83
[4] QS. Al-Ikhlas: 1
[5] QS. Al-Ahzab: 70
[6] QS. Al-Namal: 69
[7] QS. Al-Muluk: 15
[8] QS. Luqman: 15
[9] QS. Al-Qalam: 1
[10] QS. Al-Alaq: 1-5
[11] HR Bukhary, Lihat Shahih al-Bukhary serta al-Fathu (6880). Dan al-Fathu (12/205)
[12] HR Muslim Lihat Shahih Muslim dengan Syarah al-Nawawy (18/129)
[13] QS. Al-Taubah: 73
[14] QS. Al-Furqan: 52
[15] QS. Maryam: 54
[16] QS. Al-Ahzab: 23
[17] HR. Muttafaq alaihi. Lihat, Shahih al-Bukhary bserta al-Fathu (6094) (10/507) dan Shahih Muslim no. (2607)
[18] QS. An-Nahal: 105
[19] QS al-Maidah: 42
[20] QS. Al-Miunafiqun: 1
[21] QS. Al-Qalam: 10-11
[22] QS. Luqman: 18
[23] QS. Al-Hadid: 24
[24] QS. Al-Hasyar: 9/ QS. Al-Taghabun: 16
[25] HR. Muttafaq alaihi. Lihat Shahih al-Bukhari ma`a al-Fath (34) (1/89) dan Shahih Muslim (58)
[26]  Lihat buku saya, Dirasat fi al-Ikhtilafati al-Fiqhiyah yang diterbitkan oleh Daru al-Salam Kairo. Atau lihat juga buku-buku tentang sebab-sebab perbedaan lainnya.
[27] Lihat kitab, Hukmu al-Islami fi al-Shur wa al-Tashwir oleh Dandal Jabri. Ataupun karangan lain yang memuat tentang perbedaannya.
[28] Akan dijelaskan pada pembahasan al-Fanniyah
[29] Lihat pada pembagian kedua, jilid pertama I dari kitab al-Fiqh yang ditulis oleh al-Syeikh al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab Hal. 770 cetakan Jami`ah al-Imam. Lihat di tesis Fathu al-Asma` fi Syarhi al-Sima` oleh Mala Ali al-Qari yang diajukan pada jurusan dakwah di Ma`had al-Ali li al-Da`wah al-Islamiyah di Madinah al-Munawwarah tahun 1403 H dan 1404 H hal. 64
[30] HR. Muttafaq alaih. Lihat Shahih al-Bukhary Ma`a al-Fathu (52) (1/126) dan Shahih Muslim (1599)
[31] Lihat pada pasal kedua dari buku saya, Dirasat fi al-Ikhtilafat al-Fiqhiyah, dengan judul al-Inkaru fi al-Masa’il al-Ikhtilafiyah. Dalam pembahasan ini saya menjelaskan sikap-sikap ulama dari yang demikian.
[32] Lihat Hilyatu al-Auliya’ oleh Abu Nu`aim (6/368). Lihat juga buku saya, al-Imam Sufyan al-Tsauri; Hayatuhu al-Ilmiyah wa al-Amaliyah. Diterbitkan oleh Daru al-Salam Kairo.
[33] Lihat al-Faqih wa al-Mutafaqqih (2/69)
[34] HR Muttafaq alaih. Lihat Shahih al-Bukhary ma`a Al-Fathu no. (6482 dan 7283) dan al-Fathu (11/316) dan (13/350) Lihat Shahih Muslim bi Syarhi al-Nawawy (15/48).
[35] Lihat kitab, Minhaju al-Da`wah Ila Allah, oleh Amin Ahsan Islahy, (60-61) diterbitkan oleh Daru al-Kutub al-Islamy di Kuwait.
[36] QS. Al-Syu`ara’: 214
[37] HR. Muttafaq alaih. Lihat Shahih al-Bukhary ma`a al-Fathu no. (4971 dan 4972) dan al-Fathu (8/737 dan 738) Lihat Shahih Muslim bi Syarhi al-Nawawy (3/83).
[38] HR. Ahmad dalam al-Musnad, (2/50)  dan Abu Daud dalam sunannya. (4031) dan (1/44)
[39] HR. Tirmidzy, Sunan al-Tirmidzy, No. (2836) dan (4/159)
[40] HR. Muttafaq alaih. Lihat Shahih al-Bukhary ma`a al-Fathu, no. (5982) dan al-Fathu (10/349) dan Shahih Muslim, dengan lafal yang sangat mirip (3/147)
[41] HR. Muttafaq alaih. Lihat Shahih al-Bukhary ma`a al-Fathu, no. (3462 dan 5899) dan al-Fathu (6/462) dan (10/354) dan  Shahih Muslim bi Syarhi al-Naway (13/80)
[42] HR. Muslim Lihat, Shahih Muslim bi Syarhi al-Nawawy, no. (4/317) dan dalam Shahih al-Bukhary dengan lafal yang berdekatan (604) dan dalam al-Fathu (2/77)
[43] Lihat Fathu al-Bary (1/275 dan 307) Lihat Juga kitab , Iqthida`u al-Shirathi al-Mustaqim Mukhalafatan Ahlu al-Jahim oleh Ibnu Taymiyah
[44] HR. Muttafaq alaih. Lihat Shahih al-Bukhary ma`a al-Fathu, no. (2692) dan al-Fathu (5/299) dan Shahih Muslim, (3605)
[45] HR. Muslim (3605)
[46] QS. Al-An`am: 119
[47] QS. Al-Baqarah: 173
[48] HR. Muttafaq alaihi, Lihat Shahihal-Buhari ma`a alFathu (16) (1/60) dan Shahih Muslim (43)
[49] QS. Ali Imran: 200
[50] QS. Al-Ashru: 1-3
[51] QS. Al-Muzammil: 10
[52] QS. Al-Mudatsir: 7
[53] QS. Al-Ahqaf: 35
[54] QS. Al-An`am: 34
[55] Al-Anbiya’: 85
[56] QS. Al-Baqarah: 214
[57] QS. Ali Imran: 120
[58] QS. Al-Zumar: 10
[59] QS. Al-Nahal: 126
[60] QS. Al-Baqarah: 155-156
[61] HR. Muttafaq alaihi. Lihat Shahih al-Bukhary (1469 dan 1470) dan Fathu (3/335) (11/303) dan Shahih Muslim (1053)
[62] Lihat Kitab Uddata al-Shabirin wa Dzakhirah al-Syarikin, oleh Ibnu Qayyim. Di dalamnya terdapat pengertian sabar dan pembaigannya.
[63] Perkataan ini berasal dari Urwah bin Mas`ud, Ia berkata kepada kaumnya berkaitan dengan apa yang ia dengarkan dari Rasulullah Saw pada hari hudaibiyah. Dalam Shahih al-Bukhari dengan lafal. Jika ini telah dihadapkan” (2731) dan ( 2732)
[64] Mu`jam al-Washith maddah Khatthatha (1/243)
[65] Mu`jam al-Washith maddah Nazhama (2/941)

[66] QS. Al-Maidah: 48
[67] Sebagai contoh lihat, Protokolat Hukman Shahyuni. Di dalamnya terdapat contoh-contoh perencanaan musuh. Dan buku al-Thanshir: Khuththah li Ghazwi al-Alam al-Islamy. Diterjemahkan secara keseluruhan pada konfrensi kristenisasi yang diadakan di kota Glein Aire di Colorado US. Pada tahun 1978 dan kemudian diterbitkan oleh MARC dengan judul: The Gospel And Islam A 1978 Compendium.

0 Comment