Al Madkhal
fil ilmi dakwah……
Pengantar Ilmu Dakwah
Sebuah
Studi Sistematis dan Komprehensif
Tentang
Sejarah, Sumber, Metode dan Permasalahan Dakwah
Berdasarkan
Dalil dan Logika
Pengarang
Muhammad
Abu al-Fatah al-Bayanuniy
Dosen
Pengajar di Sekolah Tinggi Dakwah Islam
Madinah
Munawwarah
Muassasah
al-Risalah
Pasal
Kelima
Metode
Dakwah
Mencakup
Pendahuluan dan Empat
bahasan:
1. Bahasan Pertama :
Aturan dalam menetapkan sarana
2. Bahasan Kedua : Contoh sarana yang bersifat moril
3. Bahasan Ketiga : Contoh sarana yang bersifat Materil
4. Bahasan Keempat :
Ciri-ciri umum
sarana dakwah
Pendahuluan
Pembahasan
ini mencakup pengertian dari sarana dakwah serta
penjelasan
bagiannya secara global.
1. Pengertian
Pada
pengantar sebelum ini, kita telah mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan
sarana dakwah adalah: sesuatu yang mengantarkan para da’i untuk merealisasikan metode
dakwah; baik sesuatu itu bersifat moril (abstrak) maupun materil”.
Seseorang
yang ingin mewujudkan tujuan-tujuannya dan ingin sampai pada keinginannya mesti
menggunakan metode yang akan menolongnya
untuk sampai pada tujuan tersebut. Allah Swt. telah menetapkan bahwa ada
hubungan yang erat dan memberikan pengaruh antara penyebab dengan yang
disebabkan (kausalitas). Allah Swt juga memerintahkan untuk mengambil
(melakukan) segala penyebab yang dapat mengantarkan pada tujuan. Allah Swt.
Berfirman:
Artinya: “ Wahai
orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah
(jalan)...”[1]
Allah Swt juga berfirman:
Artinya: “Orang-orang yang
mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan, siapa di antara
mereka yang lebih dekat (kepada Allah). Mereka mengharapkan rahmat-Nya dan
takut akan azab-Nya."[2]
Para
penda’i adalah orang pertama yang berusaha mencari jalan dalam rangka
mendekatkan diri pada Allah. Agar dengan
dakwahnya ia bisa mempengaruhi orang lain
dan sejalan dengan dengan sunnah Allah Swt di muka bumi. Allah Swt
menjadikan sunah-sunah-Nya (penyebab-penyabab) diutusnya rasul, diturunkannya
al-Qur’an. Walaupun pada hakikatnya Allah Swt mampu untuk menunjuki manusia
seluruhnya tanpa sarana-sarana tesebut.
Keberhasilan
dakwah dalam kehidupan manusia bergantung kepada kesempurnaan metode, kebenaran
cara dan kekuatan sarana dakwah.
2. Pembagian Sarana Dakwah
Jika
berpijak dari definisi sarana dakwah maka lahirlah berbagai macam sarana
dakwah. Sebab yang dimaksud dengan sarana dakwah adalah “sesuatu yang
mengantarkan para da’i untuk merealisasikan metode dakwah; baik bersifat moril
maupun materil”. Betapa banyak para da’i butuh kepada sarana-sarana yang bisa mengantarkan
mereka pada tujuan dakwah!
Dari
definisi sarana dakwah di atas dapat kita bagi sarana dakwah tersebut kepada
dua bagian yang pokok:
a. Sarana dakwah yang bersifat moril
(abstrak)
b. Sarana dakwah yang bersifat materil (konkrit)
Adapun
yang dimaksud dengan sarana dakwah yang bersifat moril (abstrak) adalah segala
sesuatu yang membantu para da’i dalam dakwahnya dari segi kekuatan hati dan
pikiran. Seperti menampakkan sifat-sifat yang baik, akhlak yang mulia,
pemikiran, ide dan hal lainnya yang tidak tampak ataupun tidak bisa diraba akan
tetapi ia bisa dirasakan karena ada pengaruhnya.
Adapun
yang dimaksud dengan metode yang bersifat materil (konkrit) adalah segala
sesuatu yang membantu para da’i dalam dakwahnya berupa hal yang berkaitan
dengan sesuatu yang tampak dan bisa
diraba seperti perkataan, gerakan, peralatan dan tindakan-tindakan.
Melihat
banyaknya bentuk-bentuk dari
sarana dakwah berupa materil ini, maka penulis membaginya kepada tiga bentuk
pokok, yaitu:
1. Sarana yang bersifat fitrah
Yaitu,
sarana-sarana yang terdapat dalam fitrah manusia dan wataknya. Seperti
perkataan ataupun gerakan-gerakannya.
2. Sarana fanniyah (yang bersifat
ilmiyah)
Yaitu,
sarana yang diperoleh oleh
manusia dengan usahanya. Ia berusaha untuk memperolehnya dan kemudian meyampaikannya
dengan berbagai cara, seperti: tulisan, radio, televisi dan lain sebagainya.
3. Sarana tathbiqiyah (yang bersifat
perbuatan)
Yaitu,
kebalikan dari metode nazhriyah (teori), seperti: menyemarakkan mesjid,
mendirikan lembaga-lembaga dakwah, mengadakan acara-acara berupa seminar dan
perkemahan serta ikut serta dalam berjihad di jalan Allah. Dan lain sebaginya.
Pada
pembahasan selanjutnya kita akan lebih memfokuskan pada contoh terperinci dari
setiap permbagian sarana-sarana dakwah yang telah disebutkan di atas.
Bahasan
Pertama
Aturan
Syar`i dalam Sarana-sarana Dakwah
Ketika
dakwah Islam merupakan dakwah untuk menyeru kepada Allah dan juga merupakan aktivitas
yang dijalankan oleh Rasulullah dan para pengikutnya. Maka mesti dakwah
tersebut berpijak pada Kitab Allah Swt (al-Qur`an) dan Sunnah Nabi Muhammad
Saw. Bersesuaian dengan hukum-hukum Islam dalam penetapan metodenya,
cara-caranya serta sarana-sarananya.
Dalam
permasalahan hukum, Islam tidak mengenal pemisah antara metode, cara dan juga
sarana dakwah. Dan Islam juga tidak membenarkan bahwa tujuan bisa membolehkan
berbagai cara ataupun sarana. Setiap cara-cara dakwah harus sesuai dengan
metode dakwah tersebut.
Pengesampingan
nilai-nilai syariat dari segi metode, cara dan juga sarana dakwah sama artinya
dengan menyesatkan dakwah dari relnya. Ataupun
mengeluarkan dakwah dari sumbernya.
Melihat
rumitnya permasalahan ini bagi sebagian para da’i, lahir anggapan bahwa metode
ini tidak mesti
sesuai dengan ketentuan hukum-hukum Islam. Interaksi mereka dengan dakwah tidak
mesti terikat dengan aturan-aturan syariat. Begitu juga dengan melihat sikap
mereka yang terlepas dari aturan yang ada, begitupun karena keyakinan sebagian
mereka bahwa metode ini tergantung pada dasar-dasar dakwah dan menggap bahwa
keduanya hal yang sama. Dimana dalam masalah ini tidak ada kaitannya dengan ijtihad.
Oleh
karena itu saya melihat pentingnya memasukkan bahasan ini (aturan dalam
menetapkan sarana dakwah) dalam pasal khusus. Begitupun dalam menjelaskan
posisi netral dalam pembahasan sarana dakwah sebagai bentuk sankalan bagi
anggapan kerumitan masalah ini. Serta menjauhi sikap berlebihan ataupun
kebalikannya.
Dalam
hal ini, setidaknya kita bisa membagi aturan syar`i yang berkatian dengan
sarana dakwah kepada lima bagian, yaitu:
1. Keterangan nash (teks) al-Qur’an
dan Sunnah dalam menentukan sarana-sarana dakwah.
2. Keterangan
nash al-Qur’an dan Sunnah yang mengharamkan sarana tertentu. Atau
berbagai bentuk pelarangan
terhadap sarana-sarana tersebut.
3. Sarana yang dibolehkan
4. Sarana yang bukan bagian dari syi`ar
orang kafir
5. Rukhsah
(keringanan) dalam menggunakan sebagian sarana yang dilarang dalam beberapa
kondisi.
1. Perintah nash (teks) al-Qur’an dan Sunnah
dalam menetapkan metode.
Apapun
bentuk sarana yang dinukilkan dalam nash syariat. Baik berbentuk
tuntutan dalam menjalankannya berupa wajib ataupun sunat. Atau dengan
pernyataan yang jelas dalam membolehkannya. Maka yang demikian merupakan sarana
dakwah yang yang disyariatkan, tergantung bentuk perintahnya apakah bersifat
wajib, sunat atau mubah. Jika demikian, hendaklah para da’i konsisten dalam
menggunakannya atau mereka berusaha menjadikannya sebagai sarana untuk sampai
pada dakwah.
Dalam
hal ini banyak ditemukan nash-nash syariat yang berbicara dalam menggunakan
sarana-sarana seperti ini. Diantaranya adalah: perkataan, gerakan, tulisan, ta’lim
(pendidikan), jihad, berlaku jujur dan sarana lainnya; baik yang bersifat
materil maupun moril.
Allah
Swt. Berfirman:
Artinya: “Dan bertutur katalah
yang baik terhadap manusia.”[3]
Allah
Swt juga berfirman:
Artinya:“Katakanlah (Muhammad),
“Dialah Allah Yang Maha Esa.”[4]
Allah
Swt juga berfirman:
Artinya: “Dan ucapkanlah
perkataan yang benar.”[5]
Allah
Swt juga berfirman:
Artinya,“Katakanlah (Muhammad),
“Berjalanlah kamu di bumi, lalu perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang
yang berdosa.”[6]
Allah
Swt juga berfirman:
Artinya: “Maka jelajahilah di
segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya.”[7]
Allah
Swt juga berfirman:
Artinya: “Dan sederhanalah dalam
berjalan dan lunakkanlah suaramu.”[8]
Allah
Swt juga berfirman:
Artinya: “Nun, Demi pena dan apa
yang mereka tuliskan.”[9]
Allah
Swt juga berfirman:
Artinnya: “Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Mulia. Yang mengajar
(manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”[10]
Dalam
hadis, Rasul memerintahkan, “Tuliskanlah untuk Abi Syah.”[11]
Dalam
hadis lain disebutkan, “Siapa yang menuliskan (sesuatu) dari saya selain
al-Qur’an, maka hapuskanlah”[12]
Allah
Swt juga berfirman:
Artinya: “Wahai Nabi!
Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap
keraslah terhadap mereka,” [13]
Allah
Swt juga berfirman:
Artinya: “Dan berjuanglah terhadap
mereka dengannya (al-Qur’an) dengan (semangat) perjuangan yang besar.” [14]
Allah
Swt juga berfirman:
Artinya: “Dia benar-benar
seorang yang benar janjinya, seorang Rasul dan Nabi.”[15]
Allah
Swt juga berfirman:
Artinya: “Di antara orang-orang
mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada
Allah.”[16]
Dalam
hadis Nabi juga disebutkan, “Sesungguhnya kejujuran itu menunjukkan pada kebaikan.”[17] Dan masih banyak lagi dali-dalil syariat
yang mensyariatkan sebagian wasilah, baik secara langsung, dan melalui
isyarat.
2. Cara dakwah yang dilarang oleh nash al-Qur’an
ataupun Sunnah dengan berbagai bentuk.
Cara
ataupun sarana dakwah yang dilarang oleh nash dalam berbagai bentuk
merupakan sarana dakwah yang tidak boleh dilakukan, baik bersifat haram ataupun makruh. Oleh sebab itu para
da’i wajib menjauhi ataupun tidak menempuhnya dalam berdakwah.
Ada
beberapa nash syariat yang melarang sebagian sarana dakwah; baik
bersifat moril maupun materil. Di antaranya adalah pelarangan untuk berdusta, bersikap
sombong, bersumpah, bakhil, ingkar janji, meninggikan suara dan sifat buruk
lainnya.
Allah
Swt berfirman:
Artinya:“Sesungguhnya yang
mengada-ngadakan kebohongan, hanyalah orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat
Allah.”[18]
Allah
Swt juga berfirman:
Artinya:“Mereka sangat suka
mendengar berita bohong, banyak memakan (makanan) yang haram.”[19]
Allah
Swt juga berfirman:
Artinya: “dan Allah mengetahui
bahwa Sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta”[20].
Allah
Swt juga berfirman:
Artinya: “dan janganlah kamu
ikuti Setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina,* yang banyak mencela, yang
kian ke mari menghambur fitnah,”[21]
Allah
Swt juga berfirman:
Artinya: “Dan janganlah kamu
memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di
muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong lagi membanggakan diri.”[22]
Allah
Swt juga berfirman:
Artinya: “(Yaitu) orang-orang
yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir. dan Barangsiapa yang berpaling
(dari perintah-perintah Allah) Maka Sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha Kaya
lagi Maha Terpuji.”[23]
Allah
Swt juga berfirman:
Artinya: “Dan siapa yang
dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung”[24]
Dalam hadis Rasul disebutkan, “Empat
sifat yang apabila terdapat pada seseorang maka ia dikatakan orang-orang yang
benar munafiq. Siapa yang padanya terdapat salah satu sifat ini, maka ia
dikatakan orang munafik hingga ia meninggalkan sifatnya; apabila ia dipercayai maka
ia khianat, apabila berkata ia dusta, apabila berjanji ia mengingkarinya,
apabila ia tidak menyukai sesuatu maka ia berbuat jahat.”[25]
Masih
banyak lagi nash-nash syariat yang melarang sebagian cara atapun sarana,
baik pelarangannya secara jelas maupun dengan isyarat.
3. Sarana dakwah yang dibolehkan dalam
syariat
Sarana
dakwah manapun yang tidak ada perintah dari syariat untuk menempuhnya ataupun
melarangnya maka ia termasuk hal yang
dimubahkan (dibolehkan). Hal ini berdasarkan kepada kaedah “al-ashlu fi al-asyya` al-ibahah” (asal
sesuatu itu adalah mubah). Dalam hal ini para penda’i boleh menggunakan sarana
tersebut secara bebas. Sebab nash-nash syariat itu bersifat terbatas
sedangkan sarana-sarana dakwah selalu berkembang sejalan dengan pergantian
masa. Oleh sebab itu nash-nash syariat tidak mungkin merangkum
permasalahan tersebut keseluruhannya. Sebagaimana halnya penggunaan pengeras
suara, radio dan penemuan-penemuan baru lainnya yang mendukung misi dakwah.
Hukum
asal dari sarana ataupun cara-cara seperti ini adalah ibahah (boleh)
selama tidak ada yang mengeluarkannya dari hukum asal tersebut. Dari kaedah ini
maka lahirlah 2 (dua) bagian sarana yang
mungkin kita masukkan dalam pembahasan ini:
a. Sarana dakwah yang diperbedakan oleh
ulama hukumnya; antara boleh dengan haram.
b. Sarana dakwah yang tercampur di dalamnya antara yang pembolehan
dengan pelarangan.
Berikut
penjelasannya:
a. Sarana dakwah yang diperbedakan oleh
ulama hukumnya; antara boleh dengan haram.
Ada
beberapa sarana yang diperdebatkan oleh ulama antara pembolehan atapun
pelarangannya. Perbedaan ini disebabkan oleh beberapa hal yang mempengaruhinya.[26]
Para da’i tidak mampu
membedakan pendapat yang kuat dari pendapat yang ada. Dan tidak boleh boleh
secara lansung membolehkan
ataupun mengharamkannya. Dikarenakan ia masuk
pada wilayah yang diperdebatkan dikalangan ulama.
Dalam
menyikapi sarana seperti ini ulama juga berbeda-beda. Sebagian mereka beranggapan bahwa sarana seperti ini merupakan
hal yang diharamkan dalam rangka kehati-hatian. Mereka menjauhi sarana dakwah ini
dan mengingkari orang yang menggunakannya. Sebagian lagi beranggapan bahwa sarana ini
merupakan hal yang dibolehkan dan mereka menggunakannya tanpa ada beban.
Seolah-olah hal ini merupakan hal yang jelas kehalalannya. Sarana ini bisa
dicontohkan seperti fotoghrapi[27],
drama,[28]
nyanyian yang sebagian alat musiknya dari gendang dan gitar, tarian[29]
ataupun sarana-sana lainnya.
Dalam
pandangan saya kedua sikap di atas tidak keluar dari berlebih-lebihan ataupun
kebalikannya. Dari sini kita dapat menyimpulkan
aturan-aturan dalam sarana ini ke dalam 4 bagian:
1. Boleh menggunakan sarana ini berdakwah
jika kondisi dalam darurat atau ketika dakwah dan maslahat dakwah yang
bersifat umum membutuhkannya. Sebab ketika dalam kondisi darurat ataupun ketika
ia sangat dibutuhkan maka seseuatu yang haram bisa dibolehkan. Hal ini tidak
ada perdebatan dikalangan ulama.—sebagaimana yang dinyatakan dalam kaedah fikih—maka
dalam kondisi ini, pemboleh sarana dakwah seperti ini lebih utama, sebab ia
dikeragui antara dilarang atau dibolehkan. Adapun pendapat yang memandang
kehramannya juga bersifat dzanni (prasangka).
2. Bersikap wara’ (menjaga diri)
maksunya meninggalakan
perbuatan tersebut meski ia bersifat biasa ataupun ia memiliki maslahat
pribadi. Sebab bersikap wara’ terhadap hal yang bersifat syubhat sangat
dituntut. Dalam hal ini seseorang hendaklah meninggalkan perbedaan yang ada.
Dalam hadis disebutkan: ”Siapa yang berhati-hati dalam hal syubhat maka ia telah
bebas dalam masalah agama dan kehormatannya. Siapa yang jatuh dalam hal syubhat
sungguh ia telah jatuh dalam perkara haram.”[30]
3.
Hendaklah
bagi penuntut ilmu untuk membahas dan mengurai permasalahan yang menjadi
perdebatan para ulama. Lakukan pengujian dari setiap pendapat dengan
mengembalikannya kepada dalil yang ada. Bukan dengan cara menguji pendapat
seseorang dengan pendpat orang lain. Karena ia merupakan hal yang bersifat al-ijtihadiyah.
4. Seseorang yang
menguatkan salah satu pendapat, baik mengharamkan atau membolehkan tidak berhak
mengingkari orang yang berbeda pendapat dengannya. Sebab dalam kaedah
disebutkan, “Tidak ada pengingkaran dalam masalah yang diperdebatkan.” Akan
tetapi ia hanya boleh untuk mengajak orang lain dengan cara yang lembut ketika
menjelaskan dalilnya dan disertai dengan menghormati pendapat orang lain.[31]
Sufyan at-Tsauri pernah mengatakan,
“Apabila kamu melihat seorang mengerjakan suatu perbuatan yang ulama berbeda
pendapat tentangnya sedangkan kamu berpendapat lain, maka janganlah kamu
melarangnya.”[32].
Ia juga berkata: “Permasalahan yang ulama berbeda pendapat tentangnya,
maka janganlah larang seseorang untuk mengambil (salah satu)nya.”[33]
Ini adalah empat aturan dalam menyikapi sarana-sarana
dakwah yang dipedebatkan
dikalangan ulama. Jika umat Islam mempraktekkan ini dalam menyikapi semua
permasalahan yang menjadi perdebatan ulama, maka perselisihan akan bisa dihindarkan
dan orang-orang yang berbeda pendapat akan hidup dengan saling mencintai
sebagaimana para ulama terdahulu.
b. Sarana dakwah yang tercampur di dalamnya antara yang pembolehan
dengan pelarangan.
Pada masa sekarang ditemukan sarana
dakwah sebagaimana ditemukan di setiap zaman yang di
dalamnya bercampur antara hal yang halal dengan yang haram. Sarana dakwah
seperti ini berkembang disebabkan oleh
kelalaian umat Islam sendiri
berupa lemahnya pegangan mereka terhadap agama. Ketika
menyikapinya, para da’i merasa bingung. Sebab mereka mereka
membutuhkan sarana dakwah yang demikian akan tetapi disisi lain mereka tidak
boleh menggunakannya.
Dari dahulu hingga sekarang, para da’i dan ulama berbeda
pendapat dalam menyikapinya. Di
antara mereka ada yang menjahuinya dan menganggapnya sebagai hal yang
diharamkan. Sebagian mereka ada yang menggunakannya dan ikut serta di dalamnya.
Di
antara sarana dakwah seperti ini
adalah dengan cara mendirikan perkumpulan, radio, televisi dan lain sebagainya.
Cara ini mengandung nilai kebaikan dan nilai keburukan. Kebanyakannya dari
sarana yang ada tercampur antara yang halal dan haram. Bentuk seperti ini
banyak berkembang dikalangan masyarakat muslim dan hanya sedikit dari mereka
yang terhindar dari yang demikian.
Ulama terbagi kepada dua sikap, pertama, memboikotnya dan kedua,
membolehkannya. Ulama yang membolehkannya tidak efektif dalam melakukan
perubahan dan mereka yang memboikot tidak juga tidak bisa memberikan perubahan
dan selamat dari keburukannya.
Oleh
karena itu, saya memandang bahwa setidaknya ada 2 (dua)
cara dalam menyikapinya:
a.
Kondisi
dimana memungkinkan untuk melakukan perbaikan dan pembersihan dari hal-hal yang
dapat merusaknya; dan
b.
Kondisi
dimana tidak memungkinkan untuk melakukan perbaikan dan pembersihan dari
hal-hal yang dapat merusaknya.
Keadaan Pertama:
Dalam
kondisi seperti ini, para da’i harus melepaskan segala bentuk yang haram dalam
sarana dakwah ini dan kemudian menggunakannya. Sebagaimana yang telah
dipraktekkan oleh Rasul Saw “Pemberi berita yang telanjang”. Pada masa
jahiliyah sudah menjadi kebiasaan jika
mereka ingin mengajak orang lain ke hal yang penting atau memperingatkan mereka
terhadap sesuatu yang berbahaya, mereka melakukan hal-hal berikut ini:
1.
Mereka
naik ke tempat yang tinggi seperti gunung atau tempat yang tinggi lainnya.
2.
Mereka
lalu menyeru dengan suara yang tinggi dan menggunakan lafal-lafal seruan
3.
Mereka
melepaskan pakaian agar orang yang menyaksikan mampu merasakan bahwa hal yang
akan disampaikannya merupakan hal yang penting. Seolah-olah musuh telah
menelanjanginya. Dengan demikian orang-orang akan datang padanya mendengarkan
apa yang akan disampaikannya.
Rasul
tidak meninggalkan cara yang terkontaminasi dengan “telanjang” tersebut. Akan
tetapi beliau meninggalkan hal-hal yang buruk tersebut dan kemudian
menggunakannnya. Tapi, tetap saja beliau berkata: “Saya adalah pemberi
peringatan yang bertelanjang.”[34] Sebagai
bentuk penggambaran atas urgensitas berita yang akan ia sampaikan.[35]
Dalam sebuah hadis juga disebutkan
bahwa ketika turunnya ayat:
Rasulullah
Saw menaiki bukit Shafa dan kemudian menyeru, ”Wahai para sahabatku”[37]
Keadaan
Kedua
Dalam
kondisi kedua ini, para da’i harus berada di salah satu dari dari diantara dua
posisis beikut, yaitu:
1.
Memboikot
dengan memiliki aturan dan prinsip; atau
2.
Ikut
serta dengan memiliki aturan dan prinsip
Di
antara aturan-aturan untuk memboikotnya, yaitu:
1. Hendaklah pemboikotan carana dakwah yang
demikian dilakukan secara berjamaah (bersama-sama). Dalam artian ada
kesepatakan dikalangan mayoritas ulama dan juga para dai. Pada sikap ini juga
mereka tidak menampakkan adanya perbedaan. Agar orang semua mengetahui bahwa
para ulama dan para da’i meninggalkan hal yang demikian dan mengikuti langkah
mereka.
2. Hendaklah pemboikotan yang dilakukan
bersifat menyeluruh baik secara teori ataupun secara praktek. Menyatakan tidak
mau berpartisi pasti
ataupun mengembangkannya kekalangan masyarkat muslim. Menjauhinya dengan
sejauh-jauhnya untuk menampakkan pemboikotan dan juga agar selamat dari dampak
negatif dari cara dakwah yang demikian.
3. Berusaha untuk menciptakan solusi
alternatif dari cara dakwah yang demikian. Agar orang dapat mengambil sisi
kebaikan darinya
dan membuang sisi buruknya. Dan masih banyak lagi aturan-aturan yang telah
ditatapkan oelh para ulama dan juga para da`i.
Di
antara aturan untuk ikut serta di dalamnya, yaitu:
1. Hendaklah berpartisipasi didalamnya
secara kelompok. Artinya adalah hendaklah sarana tersebut didominasi oleh ulama
dan juga para da`i. Tidak ada perbedaan sikap terhadap yang demikian. Sehingga
hal ini dapat memperbanyak sisi positifnya dan kemudian menutupi sisi
negatifnya.
2. Jangan sampai partisipasi ulama ataupun
para dai dalam menjalankan sarana
dakwah ini pada bagian yang diharamkan. Seperti program-program yang dapat
mengantarkan kepada kerusakan, musik, nyanyian yang diharamkan dan sebagainya.
3. Hendaklah keikutsertaan dalam sarana
dakwah seperti ini berdasarkan kepada tingkatan yang sesuai dengan komponen
penysusunnya. Agar suara
kebaikan tidak bisa dikalahkan oleh suara keburukan. Sehingga orang lain
emngikuti suara yang baik dan meninggalakan suara yang buruk.
4. Hendaklah bisa memilih waktu yang sesuai
untuk berpartisipasi. Para da’i harus benar-benar mengambilalih acara pada dari
mulai pembukaan sampai kepada
penutupan.
Jangan sampai acara tersebut dibuka dengan hal-hal yang diharamkan dan kemudian
ditutup dengan hal-hal yang diharamkan.
5. Berusahalah untuk memperbaikinya ataupun
membersihkannya. Ini bisa ditempuh
dengan cara memberikan kontribusi yang baik dan aktif. Senantiasa mengontrol
para penanggungjwab acara tersebut dan mengingatkan mereka betapa pentingnya
sarana tersebut. Jangan hanya berputusa asa ataupun diam.
6. Berusahalah untuk mecari sarana yang
lebih baik agar bisa dijadikan solusi alternatif dan juga sebagai contoh bagi
yang lain.
Dan
masih banyak lagi aturan-aturan lainnya yang ditetapkan oleh ulama dan juga para da`i
untuk berpartisipasi dalam sarana dakwah seperti ini.
4. Sarana yang bukan syi`ar bagi
orang-orang kafir (non-Muslim)
Rasulullah
Saw melarang kita untuk menyerupai orang kafir dan memerintahkan kita agar memperbuat sesuatu yang menjadikan kita
berbeda dengan mereka. Terlebih lagi pada sesuatu yang merupakan syi`ar mereka.
Dalam hadis Rasul disebutkan, “Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia
merupakan bagian dari mereka.”[38] Dalam
hadis lain disebutkan, “Bukanlah bagian dari kami, siapa yang menyerupai
kaum lain.”[39]
Dalam hadis lain disebutkan, “Perbuatlah sesuatu yang berbeda dari orang
kafir, peliharalah jenggot dan cukurlah kumis.”[40]
Dalam hadis lain disebutkan, “Sesunnguhnya orang Yahudi dan Nasrany tidak
memanjangkan (jenggotnya) maka berbedalah dari mereka.”[41]
Oleh
sebab itu hendaklah para da’i menghindari segala sarana dakwah yang merupakan
syi`ar ataupun semboyan bagi orang-orang kafir walau bagaimanapun bentuknya.
Sebagaimana yang ditawarkan kepada Rasulullah Saw berupa sarana-sarana dakwah
yang identik dengan orang kafir dalam mengajak orang lain untuk melaksakan
shalat.
Dalam
hadis Ibnu Umar disebutkan, “Bahwa ketika umat Islam datang ke Madinah maka
mereka berkumpul menunggu datangnya waktu shalat. Tidak ada seorangpun yang
memanggil untuk mendirikan shalat. Suatu hari mereka membahas hal tersebut dan
sebagian mereka berkata, “Ambillah lonceng sebagaimana orang Nasrani
membunyikan lonceng.” Sebagian mereka mengatakan, “Ambillah tanduk sebagaimana
orang Yahudi mengambil tanduk.” Umar lalu berkata, “Kenapa kalian tidak
mengutus seseorang untuk mengajak orang lain melaksanakan shalat.” Rasulullah
lalu berkata, “Wahai Bilal, berdirilah dan serulah untuk mendirikan shalat.”[42]
Dari
sini, kita bisa menetapkan salah satu aturan syariat dalam menetapkan sarana
untuk berdakwah adalah bukan bagian
dari siy’ar ataupun semboyan
bagi orang-orang kafir. Sebagaimana yang kita sebutkan, “Sarana Dakwah yang
kita gunakan bukan merupakan bagian dari syi`ar orang kafir”. Agar dari lafal
ini bisa dipahami bahwa menggunakan sarana yang merupakan siy’ar orang kafir
hukumnya boleh dalam berdakwah. Sebab yang demikian bukanlah syi`ar mereka dan
sebagaimana yang dijelaskan oleh ulama dalam beberapa referensi.[43]
5. Dispensasi dalam menggunakan sebagian wasilah
yang dilarang dalam beberapa keadaan
Islam
adalah agama yang juga mencakup atas
perbuatan
yang cocok untuk diterapkan
dalam situasi
dan kondisi apapun. Oleh sebab itu, Islam juga memberikan dispensasi dalam
membolehkan untuk melakukan
hal-hal yang pada prinsipnya dilarang guna memberikan keringanan dan menolak
segala kesulitan bagi penganutnya. Baik
berupa primer ataupun sekunder.
Keringanan
ini dapat dibagi dalam 2 (dua) bagian
inti:
1. Keringanan pada sebagian sarana yang
bersifat khusus pada beberapa kondisi. Untuk menghindarkan kerusakan daripada
mengambil maslahat yang ada. Atau dalam kondisi ketika dua hal yang
memudaratkan bertemu maka didahulukan mudaratnya lebih ringan sebagaimana
dispensasi untuk boleh berdusta dalam beberapa kondisi.
Dalam
hadis Rasul disebutkan, “Bukanlah dinamakan dusta ketika ia membawa kebaikan
pada orang lain. Ia akan membuahkan kebaikan atau ia akan berkata yang baik.”[44] Dalam
sebuah riwayat lain juga disebutkan, “Saya tidak pernah mendengar sesuatu
yang dibolehkan daripada ketika seseorang berkata dalam tiga keadaan;
(berdusta) dalam peperangan, mendamaikan orang yang bersengketa, dusta seorang
suami terhadap isterinya dan begitupun sebaliknya (isteri terhadap suaminya).”[45]
Dari
hadis ini ulama menetapkan sebuah kaedah dalam kebolehan berdusta, “Apabila
seseorang tidak mungkin sampai pada kebenaran yang tetap baginya kecuali dengan
berdusta, maka ia boleh berdusta untuk sampai pada kebenaran tersebut,” Hal ini dibolehkan dalam mendahulukan maslahat
untuk menjaga hak-hak seseorang dan dalam menghindarkan kezaliman.
2. Dispensasi dalam melakukan hal-hal yang
dilarang karena kondisi darurat atau adanya kebutuhan yang mendesak. Dalam hal
ini ulama menetapkan dua kaedah:
a. Al-dharurat tubihu
al-mazzhurat (Kondisi darurat membolehkan hal-hal
yang dilarang)
b. Al-dharurat tuqaddaru bi
qadriha (pembolehan
sesuatu yang dilarang sesuai dengan kebutuhannya)
Kaedah
ini dikuatkan oleh firman Allah Swt.:
Artinya:
"Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang
diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya."[46]
Allah
Swt juga berfirman:
Artinya: "Barangsiapa
dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak
(pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya."[47]
Dibolehkan bagi para da`i jika menghadapi kondisi
terpaksa atau sejenisnya untuk menempuh sarana dakwah yang diharamkan sesuai
dengan batasannya. Yaitu kadar yang cukup untuk memenuhi kebutuhan.
Terjadi perbedaan dalam aturan yang terakhir ini jika
dipandang dari kaedah, al-ghayah tubariru al-wasilah (tujuan
menghalalkan berbagai cara), kepada beberapa hal, yaitu:
1. Sesungguhnya yang berhak untuk membolehkan ataupun
yang mengharamkan dalam Islam hanya al-Syari` (Allah Swt). Sedangkan pembolehan
teradap orang-orang non-Muslim tergantung kepada usaha dan hawa nafsu mereka
masing-masing.
2.
Bahwasanya tujuan yang bisa membolehkan untuk menempuh hal-hal yang
dilarang selalu dalam konrol syariat. Bukan berdasarkan kepad pandangan manusia
saja terahadap kemashlahatan yang sifatnya terbatas yang dipandang baik oleh
sebagian orang dan dipandang buruk oleh sebagian lain.
3.
Keringanan yang diberikan oleh Islam tergantung kepada kondisi darurat
ataupun kebutuhan yang mendesak. Sebab kondisi darurat dibatasi dengan halnya.
Jadi pembolehan tersebut tidak bersifat mutlak seperti yang dianut oleh
non-Muslim.
Pemabahasan
Kedua
Bentuk
contoh-contoh dakwah yang bersifat Abstrak
Sebagaimana
pada pembahasan yang terdahulu bahwa yang kita maksudkan dari sarana-sarana
dakwah yang bersifat abstrak adalah segala seseuatu yang dapat membantu dakwah
seorang da`i terhadap orang yang ia dakwahi melalui
perasaan
dan pikiran. Seperti dengan
sifat-sifat terpuji, akhlak yang baik, cara berfikir dan perencanaan.
Berhubung
begitu banyaknya bentuk sarana dakwah seperti ini, maka dalam pembahasan ini
saya akan mencukupkan pembahasan
pada dua hal saja.
Pertama, sarana perasaan dan
kedua sarana berfikir.
Di antara sarana yang bersifat abstrak.
Menguatkan
hubungan dengan Allah Swt dengan cara mencintainya dan mencintai Rasul-Nya, mendahulukan cinta
kepada keduanya dari pada mencintai selain keduanya. Hal ini akan terwujud
dengan cara saling mencintai dengan sesama karena Allah Swt ataupun membenci
seseorang juga karena-Nya. Mengikuti
perintah Allah dan ajaran Rasul-Nya
serta benci terhadap segala bentuk kekufuran, kefasikan dan maksiat. Dalam
sebuah hadis Rasulullah Saw disebutkan:
Artinya: Tiga hal yang jika
ada pada diri seseorang maka ia akan merasakan manisnya iman. Kecintaannya
kepada Allah Swt dan Rasul-Nya melebihi dari pada cintanya kepada yang lain.
Seseorang mencintai orang lain karena Allah Swt dan ia juga benci untuk kembali
kepada kekufuran sebagaimana ia benci untuk kembali kepada kekufuran
setelah Allah menyelamatkanya
sebagaimana ia benci untuk dicampakkan ke dalam api.[48]
Selanjutnya
dengan cara menampakkan akhlak yang baik yang melambangkan keindahan Islam dan
keelokkannya. Menjadikan orang lain
cinta
dengan Islam. Bentuk akhlak yang mulia banyak sekali, diantaranya: jujur, sopan, santun, berani,
sabar dan sebagainya.
Selanjutnya
adalah, belajar dan mengajar, mengingat Allah, persaudaraan karena Allah,
perencanaan. Dan lain sebagainya.
Pada bentuk ini saya
akan membahas dua hal saja, yaitu sabar dan perencanaan.
Sabar
Dalam
bahasan ini saya memisahkan pemahaan tentang sabar secara terpisah. Sebab ia
merupan satu hal yang paling banyak digunakan oleh para da`i dalam dakwah
mereka. Serta salah satu
jalan yang paling ampuh untuk menghantarkan kepada kesuksesan.
Allah
Swt memerintahkan kepada hamba-hambanya untuk bersabar.
Artinya: "Hai orang-orang
yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap
siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu
beruntung.[49]
Allah Swt juga berfirman:
Artinya: "Demi
masa.* Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,* kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati
supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi
kesabaran."[50]
Sebagaimana
Allah Swt juga memerintahkan secara khusus
kepada Rasulnya untuk bersabar.
Artinya: "Dan
bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara
yang baik"[51].
Allah Swt juga berfirman:
Artinya: "Dan
untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah."[52]
Allah
Swt menjelaskan kepada
Rasulullah bahwa sabar merupakan jalan dakwahnya serta jalan dakwah para rasul
sebelumnya. Allah Swt berfirman:
Artinya: "Maka
bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari
Rasul-rasul telah bersabar" [53]
Allah Swt juga berfirman:
Artinya: “Dan Sesungguhnya telah didustakan (pula)
Rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan[54]
Allah
Swt juga berfirman:
Artinya: “Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris dan
Dzulkifli. semua mereka Termasuk orang-orang yang sabar.”[55]
Begitu
banyak pembahasan tentang sabar dan orang-orang yang bersabar di dalam
al-Qur’an. Bahkan lebih dari seratusan ayat. Begitu juga ajakan untuk besabar
dalam hadis Rasulullah Saw dalam berbagai cerita tentang orang-orang yang
sabar. Begitu juga dengan sejarah hidup Rasulullah Saw yang mengandung nilai
kesabaran yang tinggi.
Oleh
sebab itu seorang da`i mesti bersabar kepada Allah dan dalam jalan dakwahnya.
Tidak ada kesuksesan kecuali dengan bersabar. Meski walau bagaimanapun halangan
dan cobaan. Allah Swt berfirman:
Artinya: “Apakah kamu mengira
bahwa kamu akan masuk syurga, Padahal belum datang kepadamu (cobaan)
sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh
malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan)
sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah
datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu
amat dekat.”[56]
Sebagaimana
ia juga mesti tahu bahwa kesabaran dapat menjaganya dari konspirasi musuhnya.
Allah Swt berfirman:
Artinya: “Jika kamu bersabar dan
bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan
kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.”[57]
Allah
memberikan balasan bagi orang yang
bersabar yang tidak diberikan kepada yang
lain. Allah Swt berfirman:
Artinya: “Sesungguhnya hanya
orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”[58]
Allah
Swt juga berfirman:
Artinya: “Akan tetapi jika kamu
bersabar, Sesungguhnya Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.”[59]
Allah
Swt juga berfirman:
Artinya: “Dan sungguh akan Kami
berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta,
jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang
sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan:
"Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun" * Sesungguhnya Kami adalah
milik Allah dan kepada-Nya-lah Kami kembali. kalimat ini dinamakan kalimat
istirjaa (pernyataan kembali kepada Allah). Disunatkan menyebutnya waktu
ditimpa marabahaya baik besar maupun kecil.”[60]
Dalam
Hadis Rasulullah Saw disebutkan: Siapa yang meminta kesabaran maka Allah Swt
akan memberikannya. Tidaklah seseorang memberikan kebaikan kepada orang lain
melainkan Allah melapangkan kesabaran
pada dirinya.”[61]
Ulama
membagi sabar kepada tiga pembagian, yaitu:
1. Sabar dalam ketaatan
2. Sabar dalam menjauhi perbuatan masksiat
serta perbuatan yang dilarang-Nya
3. Sabar terhadap musibah yang menimpa.
Kehidupan
seorang muslim secara umum tidak akan terlepas tiga bentuk tersebut. Lalu
bagiamana dengan para da`i yang merupakan pewaris dari para nabi.[62]
Diantara
ulama salaf mengatakan: bencana dapat menyabarkan orang mukmin dan orang kafir.
Akan tetapi tidak ada yang sampai kepada hakikatnya kecuali mereka yang baik.
Ibnu
Mas`ud berkata: kita diuji dengan musibah kita lalu mampu bersabar, kita diuji
dengan kebaikan kita tidak mampu bersabar.
B. Perencanaan
Perencanaan
dalam bahasa Arabnya adalah al-takhthith yang berasal dari kata khaththatha-yukhaththithu,
artinya membuat sebuah rencana. Adapun yang dimaksud dengan al-khuththah
adalah sebuah perintah atau sebuah kondisi. Sebagaimana dalam contoh, si fulan
datang dengan khutthah di kepalanya. Artinya dengan sesuatu yang telah
menjadi tekad bagi dirinya. Dalam sebuah hadis, “Jika engkau dihadapkan
dengan sebuah khuththah (pandangan)
yang lurus maka terimalah.”[63]
Adapun
perencanaan (dalam ilmu menggambar atapun fotografi) adalah sebuah ide yang
telah tergambarkan. Atau tulisan yang telah dituliskan.
Gambaran tersebut menunjukkan makna yang sempurna kepada apa yang diinginkan.
Tidak mesti gambaran tersebut bersifat konsisten.[64]
Kata
al-takhtith dipakai juga untuk makna yang seurupa, yaitu al-tanzhim.
Sebagaimana dikatakan, nazama syai`an. Artinya mengumpulkan dan
menyatukannya dengan yang lain. Atau dikatakan nazhama amrahu artinya
melakukannya dan menyusunnya.[65]
Sedangkan
perencanaan dalam dakwah adalah menetapkan perencanaan serta aturan-aturan yang
berkaitan dengan dakwah.
Kebalikannya adalah tindakan sembarangan yang tidak beraturan. Adakalanya
perencanaan tersebut sempurna ataupun tidak, konsisten ataupun tidak konsisten.
Adapun
urgensitas perencanaan dalam dakwah, Allah Swt telah menciptakan pada setiap
umat jalan ataupun metode yang harus mereka tempuh untuk kemudahan bagi mereka.
Allah
Swt berfirman:
Artinya: “Untuk tiap-tiap umat
diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.[66]
Sebagaimana dalam penjelasan
terhadahulu bahwa yang dimaksud dengan al-manhaj adalah jalan yang
jelas, perencanaan dan aturan.
Perencanaan
ini tampak sekali pada sejarah hidup
Rasulullah Saw. Ia menjalankan dakwahnya dengan perencanaan yang matang. Sama
saja apakah fase Makkah ataupun fase Madinah. Beliau menetapkan perencanaan
yang sesuai dengan setiap fase dengan memperhatikan kondisi dakwah dan orang
yang akan didakwahi. Dengan mempertimbangkan kemampuan dan tantangan, atapun
mempertimbangkan kemashlahatan dakwah jangka pendek ataupun jangka panjang.
Rasulullah
Saw menjalankan setiap perncanaan-perencanaan yang telah disusun selangkah demi
selangkah, mengundurkannya atau menyegerakannya, jauh dari unsur kepentingan
diri sendiri ataupun perasaan. Jauh dari perasaan tertekan ataupun menganggap
hal yang demikian tidak ada artinya. Sampai akhirnya Allah Swt menyampaikan
dakwahnya tepat kepada sasaran. Melaksakan hukum Allah Swt dipermukaan bumi,
sehingga masuklah orang ke agama Allah secara berbondong-bondong. Mengalahkan
makar dari msusuh dakwah dan menghancurkannya. Sebagaimana yang dihadapi oleh
para sahabatnya dalam mengikuti langkah dakwah Rasulullah. Mereka berpegang
teguh dengan jalannya, sunahnya serta sunnah para khlulafau’urrasyidin
setelahnya.
Kemudian
sampailah pada suatu ketika, dimana umat islam melupakan pentingnya perencanaan
ini. Mereka tidak peduli
dengan urgensitasnya. Sehingga sistem dakwahnya kacau balau, perencanaannya
kabur. Akhirnya musuh –musuh dakwah dapat mengalahkanya dengan mudah.[67]
Mereka menerima metode dakwah yang seperti itu dengan guyonan yang tidak ada
arinya. Dampak dari yang demikian adalah lahirlah kesalahan-kesalahan yang
bayak pada da`i, kesalahan tersebut
terus berulang dalam kehidupannya. Sehingga hal ini membutuhkan perhatian besar
dalam memahami urgensitas serta pentingnya sarana ini.
Diantara
aturan-aturan penting dalam sarana
dakwah ini adalah:
Agar
perencanaan dakwah berjalan
dengan sukses, maka perlu memperhatikan beberapa hal berikut ini, yaitu:
1. Hendaklah perencanaan tersebut disusun
oleh ahlinya, mereka adalah orang yang memiliki ilmu dan pengalaman dalam
berbagai hal dalam kehidupan.
2. Hendaklah perencanaan tersebut mencakup
seluruh kalangan dan lapisan masyarakat. Tidak ada pengkhususan pada seseorang
tertentu ataupun kepada kelompok tertentu. Caranya adalah dengan berkumpulnya
serluruh da`i dan ulama serta para pemikir dari berbagai kalangan. Kemudian
mereka memilih orang-orang yang terbaik di antara mereka. Meminta pendapat
mereka dan menyusunnya dalam perencanaan dakwah yang ideal.
3. Hendaklah perencanaan tersebut saling
berkaitan. Artinya adalah perencanaan tersebut
tidak berdasarkan kepada perasaan, dengan memperhatikan hal-hal yang
jauh dan juga masa depan. Jauh dari sifat egoisme dan tergesa-gesa.
4. Hendaklah perencanaan tersebut seimbang.
Sehingga dengan demikian terbentuklah ikatan yang kuat antara kemampuan dengan
kewajiban. Jangan sampai terjadi ketidak seimbangan antara kemampuan dakwah
dengan tugas yang diemban. Dan jangan pernah berhenti dengan halangan dan rintangan
yang berat ataupun yang rumit.
5. Hendaklah perencanaan tersebut
bersesuaian dengan hukum-hukum syaria`at dan tidak bertentangan dengannya.
Hendaklah perencanaan tersebut bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
Saw. Sebab al-Qur’an merupakan penunjuk kepada jalan yang lurus.
Dan masih banyak lagi
aturan-atuan yang dapat diperhatikan oleh para pengemban misi dakwah dengan
memperhatikan realitas dan tantangan.
[1] QS.
Al-Maidah: 05
[2] QS.
Al-Isra': 57
[3] QS. Al-Baqarah: 83
[4] QS. Al-Ikhlas: 1
[5] QS. Al-Ahzab: 70
[6] QS. Al-Namal: 69
[7] QS. Al-Muluk: 15
[8] QS. Luqman: 15
[9] QS. Al-Qalam: 1
[10] QS. Al-Alaq: 1-5
[11] HR Bukhary, Lihat Shahih
al-Bukhary serta al-Fathu (6880). Dan al-Fathu (12/205)
[12] HR Muslim Lihat Shahih
Muslim dengan Syarah al-Nawawy (18/129)
[13] QS. Al-Taubah: 73
[14] QS. Al-Furqan: 52
[15] QS. Maryam: 54
[16] QS. Al-Ahzab: 23
[17] HR. Muttafaq alaihi. Lihat, Shahih
al-Bukhary bserta al-Fathu (6094) (10/507) dan Shahih Muslim no. (2607)
[18] QS. An-Nahal: 105
[19] QS al-Maidah: 42
[20] QS. Al-Miunafiqun: 1
[21] QS. Al-Qalam: 10-11
[22] QS. Luqman: 18
[23] QS. Al-Hadid: 24
[24] QS. Al-Hasyar: 9/ QS.
Al-Taghabun: 16
[25] HR. Muttafaq alaihi. Lihat
Shahih al-Bukhari ma`a al-Fath (34) (1/89) dan Shahih Muslim (58)
[26] Lihat buku saya, Dirasat fi al-Ikhtilafati
al-Fiqhiyah yang diterbitkan oleh Daru al-Salam Kairo. Atau lihat juga
buku-buku tentang sebab-sebab perbedaan lainnya.
[27] Lihat kitab, Hukmu
al-Islami fi al-Shur wa al-Tashwir oleh Dandal Jabri. Ataupun karangan lain yang
memuat tentang perbedaannya.
[28] Akan dijelaskan pada
pembahasan al-Fanniyah
[29] Lihat pada pembagian kedua,
jilid pertama I dari kitab al-Fiqh yang ditulis oleh al-Syeikh al-Imam
Muhammad bin Abdul Wahab Hal. 770 cetakan Jami`ah al-Imam. Lihat di tesis Fathu
al-Asma` fi Syarhi al-Sima` oleh Mala Ali al-Qari yang diajukan pada
jurusan dakwah di Ma`had al-Ali li al-Da`wah al-Islamiyah di Madinah al-Munawwarah
tahun 1403 H dan 1404 H hal. 64
[30] HR. Muttafaq alaih. Lihat Shahih
al-Bukhary Ma`a al-Fathu (52) (1/126) dan Shahih Muslim (1599)
[31] Lihat pada pasal kedua dari
buku saya, Dirasat fi al-Ikhtilafat al-Fiqhiyah, dengan judul al-Inkaru
fi al-Masa’il al-Ikhtilafiyah. Dalam pembahasan ini saya menjelaskan
sikap-sikap ulama dari yang demikian.
[32] Lihat Hilyatu al-Auliya’ oleh
Abu Nu`aim (6/368). Lihat juga buku saya, al-Imam Sufyan al-Tsauri; Hayatuhu al-Ilmiyah wa
al-Amaliyah. Diterbitkan
oleh Daru al-Salam Kairo.
[33] Lihat al-Faqih wa
al-Mutafaqqih (2/69)
[34] HR Muttafaq alaih. Lihat Shahih
al-Bukhary ma`a Al-Fathu no. (6482 dan 7283) dan al-Fathu (11/316)
dan (13/350) Lihat Shahih Muslim bi Syarhi al-Nawawy (15/48).
[35] Lihat kitab, Minhaju al-Da`wah Ila Allah, oleh Amin Ahsan Islahy,
(60-61) diterbitkan oleh Daru al-Kutub al-Islamy di Kuwait.
[36] QS. Al-Syu`ara’: 214
[37] HR. Muttafaq alaih. Lihat Shahih
al-Bukhary ma`a al-Fathu no. (4971 dan 4972) dan al-Fathu (8/737 dan
738) Lihat Shahih Muslim bi Syarhi al-Nawawy (3/83).
[40] HR. Muttafaq alaih. Lihat Shahih
al-Bukhary ma`a al-Fathu, no. (5982) dan al-Fathu (10/349) dan Shahih
Muslim, dengan lafal yang sangat mirip (3/147)
[41] HR. Muttafaq alaih. Lihat Shahih
al-Bukhary ma`a al-Fathu, no. (3462 dan 5899) dan al-Fathu (6/462)
dan (10/354) dan Shahih Muslim bi
Syarhi al-Naway (13/80)
[42] HR. Muslim Lihat, Shahih
Muslim bi Syarhi al-Nawawy, no. (4/317) dan dalam Shahih al-Bukhary dengan
lafal yang berdekatan (604) dan dalam al-Fathu (2/77)
[43] Lihat Fathu al-Bary
(1/275 dan 307) Lihat Juga kitab , Iqthida`u al-Shirathi al-Mustaqim
Mukhalafatan Ahlu al-Jahim oleh Ibnu Taymiyah
[44] HR. Muttafaq alaih. Lihat Shahih
al-Bukhary ma`a al-Fathu, no. (2692) dan al-Fathu (5/299) dan Shahih
Muslim, (3605)
[45] HR. Muslim (3605)
[46] QS.
Al-An`am: 119
[47] QS.
Al-Baqarah: 173
[48] HR.
Muttafaq alaihi, Lihat Shahihal-Buhari ma`a alFathu (16) (1/60) dan Shahih
Muslim (43)
[49] QS.
Ali Imran: 200
[50] QS.
Al-Ashru: 1-3
[51] QS.
Al-Muzammil: 10
[52] QS.
Al-Mudatsir: 7
[53] QS.
Al-Ahqaf: 35
[54] QS.
Al-An`am: 34
[55] Al-Anbiya’:
85
[56] QS.
Al-Baqarah: 214
[57] QS.
Ali Imran: 120
[58] QS.
Al-Zumar: 10
[59] QS.
Al-Nahal: 126
[60] QS.
Al-Baqarah: 155-156
[61] HR.
Muttafaq alaihi. Lihat Shahih al-Bukhary (1469 dan 1470) dan Fathu (3/335)
(11/303) dan Shahih Muslim (1053)
[62] Lihat
Kitab Uddata al-Shabirin wa Dzakhirah al-Syarikin, oleh Ibnu Qayyim. Di
dalamnya terdapat pengertian sabar dan pembaigannya.
[63] Perkataan
ini berasal dari Urwah bin Mas`ud, Ia berkata kepada kaumnya berkaitan dengan
apa yang ia dengarkan dari Rasulullah Saw pada hari hudaibiyah. Dalam Shahih
al-Bukhari dengan lafal. Jika ini telah dihadapkan” (2731) dan ( 2732)
[64] Mu`jam
al-Washith maddah Khatthatha (1/243)
[65] Mu`jam
al-Washith maddah Nazhama (2/941)
[66] QS.
Al-Maidah: 48
[67] Sebagai
contoh lihat, Protokolat Hukman Shahyuni. Di dalamnya terdapat
contoh-contoh perencanaan musuh. Dan buku al-Thanshir: Khuththah li Ghazwi
al-Alam al-Islamy. Diterjemahkan secara keseluruhan pada konfrensi
kristenisasi yang diadakan di kota Glein Aire di Colorado US. Pada tahun 1978
dan kemudian diterbitkan oleh MARC dengan judul: The Gospel And Islam A 1978
Compendium.
0 Comment