MUFASSIR
A.
PENDAHULUAN
Tafsir adalah salah satu cara yang ditempuh oleh para mufassir untuk
menerangkan Al-Qur’an, menjelaskan makna-maknanya serta memperjelas apa yang
sesungguhnya dikehendaki makna dalam lafadz-lafadz al-Qur’an itu, menggali hukum-hukum
yang dikandung di dalamnya serta hikmah yang dikandung oleh Al-Qur'an itu sendiri
Penafsiran terhadap Al-Qur’an itu sudah ada sejak zaman Rasulullah,
semenjak Al-Qur’an itu diturunkan, pada masa Rasulullah penfsiran Al-Qur’an itu
beliau lakukan sendiri, atas dasar wahyu dari Allah melalui malaikat Jibril.
Penafsiran pada zaman Rasulullah berlangsung selama hidupnya,
kemudian setelah rasul wafat para sahabat menafsirkan sendiri ayat- ayat
Al-Qur’an, penafsiran yang dilakukan oleh para sahabat ini berdasarkan penjelasan
yang mereka dengar dari Rasul, dimana semasa Rasul hidup mereka banyak mendengarkan
penafsiran-penafsiran dari Rasul dan mereka hayati dengan sungguh-sungguh, hal ini
dikarenakan para sahabat ini adalah orang Arab pemilik bahasa Arab danmereka juga
menjadi saksi turunnya Al-Qur’an.
Selain itu para sahabat juga memiliki akal yang cerdas, hafalan dan ingatan
yang kuat yang merupakan keistimewaan yang dimiliki oleh orang-orang arab murni
pada masa itu, mereka juga mengetahui sebab turunnya ayat tersebut dan hubungan
antara ayat per ayat, semua pengetahuan mereka itu sangat membantu dalam menafsirkan
Al-Qur’an.
Penafsiran Al-Qur’an pada masa rasul dan sahabat ini belum dituliskan,
kemudian penafsiran Al-Qur’an pada masa tabi’in dilakukan dengan berpedoman kepada
ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits yang diriwayatkan dari Rasul oleh para sahabat,
tapi masih dalam bentuk hafalan dan periwayatan saja, pada masa Umar bin Abdul
Aziz barulah ada pembukuan tafsir, kemudian pada masa mutaqaddimin dan masa mutaakhirin
penulisan tafsir dilakukan oleh para ahli, masa ini penulisan tafsir dipengaruhi
oleh kefanatikan madzhab dari ilmu-ilmu keahlian mereka masing-masing.
Karena begitu berkembangnya ilmutafsir ini, sampaizaman modernisasi ini,
maka dalam menafsirkan Al-Qur’an itu tidak sembarang orang saja untuk bias menafsirkan
Al-Qur’an itu, akan tetapi ada syarat-syarat tertentu yang harus mereka miliki,
untuk itu dalam makalah kali ini penulis akan manjelaskan, siapa itu mufassir?,
apa syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, beserta adab /
tata karma seorang mufassir itu.
B.
PEMBAHASAN
1.
Definisi
Mufassir
Tafsir dalam
disiplin ilmu Al-Quran tidak sama dengan interpretasi teks lainnya; dalam
bahasa Arab, kata tafsir (التفسير) berarti (الإيضاح
والتبيين) “menjelaskan”.
Selain itu, kata tafsir berasal dari
derivasi (isytiqâq) al-fasru (الفسر) yang berarti (الإبانة
والكشف)
“menerangkan dan menyingkap”. Di dalam kamus, kata al-fasru juga
bermakna menerangkan dan menyingkap sesuatu yang tertutup.[1]
Adapun secara
istilah, para ulama mengemukakan beragam definisi mengenai tafsir yang saling
melengkapi antara satu definisi dengan definisi lainnya. Imam Az-Zarkasy dalam
kitabnya, Al-Burhân fî ‘Ulûm Al-Qurân, mendefinisikan tafsir dengan:
علمٌ يُفهم به كتابُ الله تعالى
المُنَزَّل على نبيّه محمد صلّى الله عليه وسلّم وبيان معانيه واستخراج أحكامه
وحِكَمِه
Artinya: “Ilmu untuk memahami
Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa
sallam, menjelaskan maknanya, serta menguraikan hukum dan
hikmahnya.”[2]
Sementara
itu, Imam Jalaluddin As-Suyuthy mendefinisikan tafsir dengan:
علم يبحث عن مراد الله تعالى بقدر
الطاقة البشرية, فهو شامل لكل مايتوقف عليه فهم المعنى وبيان المراد.
Artinya: “Ilmu yang membahas maksud Allah ta‘ala
sesuai dengan Kadar kemampuan manusiawi yang mencakup segala sesuatu yang
berkaitan dengan pemahaman dan penjelasan makna.”[3]
Definisi
tafsir lainnya dikemukakan oleh Syaikh Muhammad Abdul Azhim Az-Zarqany:
علم يبحث فيه عن أحوال القرآن الكريم من
حيث دلالته على مراد الله تعالى بقدر الطاقة البشرية
Artinya:“Ilmu yang membahas perihal Al-Quran
Al-Karim dari segi penunjukan dalilnya sesuai dengan maksud Allah ta‘ala
berdasarkan kadar kemampuan manusiawi”
Oleh
Az-Zarqany, definisi di atas dijelaskan sebagai berikut:
Maksud kata
ilmu adalah pengetahuan-pengetahuan yang terkonsep. Abdul Hakim menjelaskan
secara lebih panjang, “Sesungguhnya ilmu tafsir termasuk konsepsi
(tashawwurât) karena tujuannya adalah memahami konsep makna lafal-lafal
Al-Quran. Ilmu tafsir juga termasuk pengetahuan, akan tetapi kebanyakannya
bahkan semuanya termasuk pengetahuan secara lafal. Sayid berpendapat bahwa
tafsir termasuk legalisasi (tashdîqât) karena mencakup hukum atas
lafal-lafal bahwa lafal-lafal tersebut bermanfaat bagi makna-makna terkait yang
disebutkan dalam tafsir.”
Dengan
perkataan kami, “membahas tentang perihal Al-Quran”, maka tidak termasuk di
dalamnya ilmu-ilmu yang membahas perihal selain Al-Quran.
Dengan
perkataan kami, “dari segi penunjukan dalilnya sesuai dengan maksud Allah
ta‘ala”, maka tidak termasuk di dalamnya ilmu-ilmu yang membahas perihal
Al-Quran dari segi selain segi penunjukan dalilnya. Misalnya ilmu qira’ah yang
membahas keadaan Al-Quran dari segi pengaturan lafal dan cara membacanya.
Demikian juga ilmu rasm ‘Utsmany yang membahas keadaan Al-Quran Al-Karim dari
segi cara menuliskan lafal-lafalnya.
Tidak
termasuk juga dengan perkataan ini ilmu yang membahas keadaan Al-Quran dari
segi ia makhluk atau bukan makhluk karena ini termasuk pembahasan dari ilmu
kalam Demikian juga ilmu yang membahas keadaan Al-Quran dari segi diharamkan
untuk membacanya bagi orang yang junub dan yang semisal karena ini termasuk
pembahasan dari ilmu fikih.
Perkataan kami, “berdasarkan kadar kemampuan
manusiawi”, adalah untuk menjelaskan bahwa tidak dianggap cacat dalam ilmu
tentang tafsir ketidaktahuan terhadap makna mutasyabihat dan ketidaktahuan
terhadap maksud Allah dalam sebuah peristiwa atau perkara.[4]
Demikianlah definisi tafsir yang dikemukakan oleh para
ulama. Tafsir adalah aktivitasnya, sedangkan pelakunya disebut sebagai
mufassir. Husain bin Ali bin Husain Al-Harby menjelaskan definisi mufassir
secara lebih panjang:
المفسّر هو من له أهلية تامّة يعرف بها
مراد الله تعالى بكلامه المتعبّد بتلاوته, قدر الطاقة, وراض نفسه علي مناهج
المفسرين, مع معرفته جملا كثيرة من تفسير كتاب الله, ومارس التفسير عملياً بتعليم
أو تأليف.
Artinya:“Mufassir adalah orang yang memiliki kapabilitas sempurna yang
dengannya ia mengetahui maksud Allah ta‘ala dalam Al-Quran sesuai dengan
kemampuannya. Ia melatih dirinya di atas manhaj para mufassir dengan mengetahui
banyak pendapat mengenai tafsir Kitâbullâh. Selain itu, ia menerapkan tafsir
tersebut baik dengan mengajarkannya atau menuliskannya.”[5]
2. Ilmu Yang Dibutuhkan
Mufassir
Dari penjelasan mengenai definisi
tafsir di atas, kita mengetahui bahwa menafsirkan Al-Quran merupakan amanah
berat. Oleh karena itu, tidak setiap orang memiliki otoritas untuk mengemban
amanah tersebut. Siapa saja yang ingin menafsirkan Al-Quran harus memenuhi
syarat-syarat tertentu. Adanya persyaratan ini merupakan suatu hal yang wajar
dalam semua bidang ilmu. Dalam bidang kedokteran misalnya, seseorang tidak
diperkenankan menangani pasien jika tidak menguasai ilmu kedokteran dengan
baik. Bahkan jika ia nekad membuka praktek dan ternyata pasien malah bertambah
sakit, ia akan dituduh melakukan malpraktek sehingga bisa dituntut ke
pengadilan. Demikian juga halnya dengan tafsir Al-Quran, syarat yang ketat
mutlak diperlukan agar tidak terjadi kesalahan atau kerancuan dalam penafsiran.
Menurut Ahmad Bazawy Adh-Dhawy, syarat mufassir secara umum terbagi menjadi
dua: aspek pengetahuan dan aspek kepribadian.[6]
Aspek pengetahuan adalah syarat yang
berkaitan dengan seperangkat ilmu yang membantu
dan memiliki urgensitas untuk menyingkap suatu hakikat. Tanpa
seperangkat ilmu tersebut, seseorang tidak akan memiliki kapabilitas untuk
menafsirkan Al-Quran karena tidak terpenuhi faktor-faktor yang menjamin dirinya
dapat menyingkap suatu hakikat yang harus dijelaskan. Para ulama memberikan
istilah untuk aspek pengetahuan ini dengan syarat-syarat seorang alim.
Syarat yang berkaitan dengan aspek
pengetahuan yang harus dikuasai oleh seorang mufassir ini dibagi menjadi dua,
yaitu: syarat pengetahuan murni dan syarat manhajiyah (berkaitan dengan
metode). Imam Jalaluddin As-Suyuthy dalam Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qurân menyebutkan
lima belas ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir. Lima belas ilmu tersebut adalah sebagai
berikut:
1.
Bahasa Arab karena dengannya seorang mufassir
mengetahui penjelasan kosakata suatu lafal dan maksudnya sesuai dengan objek.
Oleh
karena demikian urgennya penguasaan terhadap bahasa Arab dalam menafsirkan
Al-Quran, Mujahid bahkan mengatakan,
لا يحل لأحد يؤمن
بالله واليوم الآخر أن يتكلم في كتاب الله إذا لم يكن عالمًا بلغات العرب.
Artinya: “Tidak halal bagi seorang yang beriman
kepada Allah dan hari akhir berbicara mengenai sesuatu yang terdapat dalam
Kitâbullâh apabila ia tidak mengetahui bahasa Arab.”
2.
Nahwu karena suatu makna bisa saja
berubah-ubah dan berlainan sesuai dengan perbedaan i’rab.
3.
Tashrîf (sharaf)
karena dengannya dapat diketahui binâ’ (struktur) dan shîghah
(tense) suatu kata.
4.
Isytiqâq
(derivasi) karena suatu nama apabila isytiqâqnya berasal dari dua subjek
yang berbeda, maka artinya pun juga pasti berbeda. Misalnya (المسيح), apakah berasal dari (السياحة) atau (المسح).
5.
Al-Ma‘âni karena
dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat
dari segi manfaat suatu makna.
6.
Al-Bayân karena
dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat
dari segi perbedaannya sesuai dengan jelas tidaknya suatu makna.
7.
Al-Badî‘ karena
dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat
dari segi keindahan suatu kalimat.
Ketiga
ilmu di atas disebut ilmu balaghah yang merupakan ilmu yang harus dikuasai dan
diperhatikan oleh seorang mufassir agar memiliki sense terhadap
keindahan bahasa (i‘jâz) Al-Quran.
8.
Ilmu qirâ’ah karena dengannya dapat
diketahui cara mengucapkan Al-Quran dan kuat tidaknya model bacaan yang
disampaikan antara satu qâri’ dengan qâri’ lainnya.
9.
Ushûluddîn
(prinsip-prinsip dien) yang terdapat di dalam Al-Quran berupa ayat yang secara
tekstual menunjukkan sesuatu yang tidak boleh ada pada Allah ta‘ala.
Seorang ahli ushul bertugas untuk menakwilkan hal itu dan mengemukakan dalil
terhadap sesuatu yang boleh, wajib, dan tidak boleh.
10.
Ushul
fikih karena dengannya dapat diketahui wajh al-istidlâl (segi
penunjukan dalil) terhadap hukum dan istinbâth.
11.
Asbâbun
Nuzûl (sebab-sebab turunnya ayat) karena dengannya
dapat diketahui maksud ayat sesuai dengan peristiwa diturunkannya.
12.
An-Nâsikh
wa al-Mansûkh agar diketahui mana ayat yang muhkam
(ditetapkan hukumnya) dari ayat selainnya.
13.
Fikih.
14.
Hadits-hadits
penjelas untuk menafsirkan yang mujmal (global) dan mubham (tidak
diketahui).
15.
Ilmu muhibah,
yaitu ilmu yang Allah ta‘ala anugerahkan kepada orang yang mengamalkan
ilmunya.
Dalam
sebuah hadits disebutkan,
من عمل بما علم ورثه
الله علم ما لم يعلم
Artinya: “Siapa yang mengamalkan
ilmunya, maka Allah akan menganugerahinya ilmu yang belum ia ketahui.”
Ibnu Abid Dunya mengatakan, “Ilmu
Al-Quran dan istinbâth darinya merupakan lautan yang tidak bertepi.”
Ilmu-ilmu di atas merupakan alat bagi
seorang mufassir. Seseorang tidak memiliki otoritas untuk menjadi mufassir
kecuali dengan menguasai ilmu-ilmu ini. Siapa saja yang menafsirkan Al-Quran
tanpa menguasai ilmu-ilmu tersebut, berarti ia menafsirkan dengan ra’yu
(akal) yang dilarang. Namun apabila menafsirkan dengan menguasai ilmu-ilmu
tersebut, maka ia tidak menafsirkan dengan ra’yu (akal) yang dilarang.
Adapun bagi seorang mufassir, maka ia
harus menguasai tiga syarat pengetahuan tambahan selain lima belas ilmu di
atas. Tiga syarat pengetahuan tersebut adalah:
1.
Mengetahui
secara sempurna ilmu-ilmu kontemporer hingga mampu memberikan penafsiran
terhadap Al-Quran yang turut membangun peradaban yang benar agar terwujud
universalitas Islam.
2.
Mengetahui
pemikiran filsafat, sosial, ekonomi, dan politik yang sedang mendominasi dunia
agar mufassir mampu mengcounter setiap syubhat yang ditujukan kepada
Islam serta memunculkan hakikat dan sikap Al-Quran Al-Karim terhadap setiap
problematika kontemporer. Dengan demikian, ia telah berpartisipasi dalam
menyadarkan umat terhadap hakikat Islam beserta keistimewaan pemikiran dan
peradabannya.
3.
Memiliki
kesadaran terhadap problematika kontemporer. Pengetahuan ini sangat urgen untuk
memperlihatkan bagaimana sikap dan solusi Islam terhadap problem tersebut.
3. Adab dan Sifat Mufassir
Adapun syarat kedua yang harus terpenuhi pada diri seorang mufassir
adalah syarat yang berkaitan dengan aspek kepribadian. Yang dimaksud dengan
aspek kepribadian adalah akhlak dan nilai-nilai ruhiyah yang harus dimiliki
oleh seorang mufassir agar layak untuk mengemban amanah dalam menyingkap dan
menjelaskan suatu hakikat kepada orang yang tidak mengetahuinya. Para ulama
salaf shalih mengartikulasikan aspek ini sebagai adab-adab seorang alim.
Imam
Abu Thalib Ath-Thabary mengatakan di bagian awal tafsirnya mengenai adab-adab
seorang mufassir, “Ketahuilah bahwa di antara syarat mufassir yang pertama
kali adalah benar akidahnya dan komitmen terhadap sunnah agama. Sebab, orang
yang tertuduh dalam agamanya tidak dapat dipercaya dalam urusan duniawi, maka
bagaimana dalam urusan agama? Kemudian ia tidak dipercaya dalam agama untuk
memberitahukan dari seorang alim, maka bagaimana ia dipercaya untuk
memberitahukan rahasia-rahasia Allah ta‘ala? Sebab seseorang tidak dipercaya
apabila tertuduh sebagai atheis adalah ia akan mencari-cari kekacauan serta
menipu manusia dengan kelicikan dan tipu dayanya seperti kebiasaan sekte
Bathiniyah dan sekte Rafidhah ekstrim. Apabila seseorang tertuduh sebagai
pengikut hawa nafsu, ia tetap tidak dapat dipercaya karena akan menafsirkan
Al-Quran berdasarkan hawa nafsunya agar sesuai dengan bid‘ahnya seperti
kebiasaan sekte Qadariyah. Salah seorang di antara mereka menyusun kitab dalam
tafsir dengan maksud sebagai penjelasan paham mereka dan untuk menghalangi umat
dari mengikuti salaf dan komitmen terhadap jalan petunjuk.”[7]
Sementara itu, Imam As-Suyuthy
mengatakan, “Ketahuilah bahwa seseorang tidak dapat memahami makna wahyu dan
tidak akan terlihat olehnya rahasia-rahasianya sementara di dalam hatinya
terdapat bid‘ah, kesombongan, hawa nafsu, atau cinta dunia, atau gemar melakukan
dosa, atau lemah iman, atau bersandar pada pendapat seorang mufassir yang tidak
memiliki ilmu, atau merujuk kepada akalnya. Semua ini merupakan penutup dan
penghalang yang sebagiannya lebih kuat daripada sebagian lainnya. Saya katakan,
inilah makna firman Allah ta‘ala.
سَأَصْرِفُ عَنْ
ءَايَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ
Artinya:“Aku akan memalingkan orang-orang yang
menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda
kekuasaan-Ku.” (QS Al-A‘raf: 146)
Sufyan
bin ‘Uyainah mengatakan, ‘Para ulama mengatakan bahwa maksud ayat di atas
adalah dicabut dari mereka pemahaman mengenai Al-Quran.’ Diriwayatkan oleh Ibnu
Abi Hatim.”
Berdasarkan perkataan Imam
As-Suyuthy di atas, Ahmad Bazawy Adh-Dhawy meringkaskan sejumlah adab yang
harus dimiliki oleh seorang mufassir, yaitu:
1.
Akidah
yang lurus
2.
Terbebas
dari hawa nafsu
3.
Niat yang
baik
4.
Akhlak
yang baik
5.
Tawadhu‘
dan lemah lembut
6.
Bersikap
zuhud terhadap dunia hingga perbuatannya ikhlas semata-mata karena Allah ta‘ala
7.
Memperlihatkan
taubat dan ketaatan terhadap perkara-perkara syar‘i serta sikap menghindar dari
perkara-perkara yang dilarang
8.
Tidak
bersandar pada ahli bid‘ah dan kesesatan dalam menafsirkan
9.
Bisa
dipastikan bahwa ia tidak tunduk kepada akalnya dan menjadikan Kitâbullâh
sebagai pemimpin yang diikuti.
Selain sembilan point di atas,
Syaikh Manna‘ Al-Qaththan menambahkan beberapa adab yang harus dimiliki oleh
seorang mufassir, yaitu:
1.
Mengamalkan
ilmunya dan bisa dijadikan teladan
2.
Jujur dan teliti
dalam penukilan
3.
Berjiwa
mulia
4.
Berani
dalam menyampaikan kebenaran
5.
Berpenampilan
simpatik
6.
Berbicara
tenang dan mantap
7.
Mendahulukan
orang yang lebih utama dari dirinya
8.
Siap dan
metodologis dalam membuat langkah-langkah penafsiran[8]
MenurutSyaikhShalah ‘Abdul Fattah
al-Khaalidi ada 14 syarat yang harusdimilikiolehseorangmufassir,
diantaranya [9]:
1.
Seorangmufassirituharusbenaragamanya
(akidahnya)
2.
Mengambiltafsiritudarisunnah
3.
Berfikirsehat
4.
Seorangmufassirtidakbolehterpengaruholehmazhab
yang merekaanut
5.
Terkenaladil
di kalanganmuslimin
6.
Terhidardaribid’ah
7.
Ikhlasdalamberamal
8.
Seorangmufassirharuszuhud
9.
Memahami
Al-Qur’an secarabaikdanbenar
10.
Bersikapsesuaidenganajaran
Al-Qur’an
11.
Terhindardaridosadanmaksiat
12.
Menjagapemahamanterhadap
Al-Qur’an
13. Menjauhkandiri dari larangan
Al-Qur’an
14. Cerdas
.
C.
PENUTUP
Demikianlah penjelasan mengenai
syarat-syarat mufassir Al-Quran yang sangat ketat. Dari uraian di atas,
sampailah kita pada satu kesimpulan bahwa tafsir Al-Quran adalah interpretasi
berdasarkan pada ilmu pengetahuan yang mapan.
Orang yang terpenuhi pada dirinya
syarat-syarat mufassir diperbolehkan untuk menafsirkan Al-Quran sesuai dengan
kaidah dan aturan yang berlaku. Akan tetapi jika seseorang tidak dapat mencapai
kriteria syarat-syarat mufassir, maka sikap yang mesti diambil adalah mengikuti
penafsiran para ulama yang berkompeten dalam bidang ini; bukan malah berani
membuat model tafsir baru alias bid‘ah sehingga menimbulkan kerancuan (syubhât)
dalam memahami Islam. Wallâhu a‘lam.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Syuhbah, Muhammad. H. Al-Isrâiliyât wa Al-Maudhû‘ât
fî Kutub At-Tafsîr. KSA: Maktabah As-Sunn
Adz-Dzahabi, Muhammad Husain. 2000. At-Tafsîr wa
Al-Mufassirûn. Juz I. Kairo: Maktabah Wahbah.
Al-Harby, Husain bin Ali bin Husain. 1996. Qawâ‘id
at-Tarjîh ‘Inda al-Mufassirîn; Dirâsah Nazhâriyyah Tathbîqiyyah. Riyadh: Dâr al-Qâsim. Juz
1.
Al-Qaththan, Manna‘. 1973. Mabâhits fî
‘Ulûm Al-Qurân. Beirut:
Mansyûrât Al-‘Ashr Al-Hadîts.
Al-Qaththan, Manna‘. 2007. Pengantar Studi Ilmu
Al-Quran. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar.
Arqahwah, Shalahuddin. 1987. Mukhtashar Al-Itqân
Fî ‘Ulûm Al-Qurân li As-Suyûthy. Beirut:
Dâr An-Nafâis.
Ar-Rumy, Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman. 1419 H. Buhûts
fî Ushûl At-Tafsîr wa Manâhijuhu. KSA: Maktabah At-Taubah.
Az-Zarqany, Muhammad Abdul Azhim. 1995 Manâhilul
‘Irfân fî ‘Ulûm Al-Qurân. Juz II. Beirut:
Dâr Al-Kitâb Al-’Araby.
Fattah, Shalah ‘Abdul
al-Khaalidi, Ta’riifu ad-daarisiina bi manaahijilMufassiriin Damsyiq:
DaarulQalam, tth
Husaini, Adian. “Virus Abu Zaid di Indonesia” dalam
pengantar: Shalahuddin, Henri. 2007. Al-Quran Dihujat. Jakarta: Al-Qalam.
[2] Ar-Rumy, Fahd bin
Abdurrahman bin Sulaiman. 1419 H. Buhûts fî Ushûl At-Tafsîr wa
Manâhijuhu. KSA: Maktabah At-Taubah. Hal. 8. Dinukil dari Al-Burhân
juz I hal. 13.
[4] Az-Zarqany,
Muhammad Abdul Azhim. 1995 Manâhilul ‘Irfân fî ‘Ulûm Al-Qurân. Juz II.
Beirut: Dâr Al-Kitâb Al-’Araby. Hal. 6
[5] . Al-Harby, Husain bin Ali bin Husain. 1996. Qawâ‘id at-Tarjîh
‘Inda al-Mufassirîn; Dirâsah Nazhâriyyah Tathbîqiyyah. Riyadh: Dâr al-Qâsim. Juz 1. Hal. 29.
[7] Al-‘Ik, Khalid Abdurrahman. 1986. Ushûl At-Tafsîr wa Qawâ‘iduhu.
Beirut: Dâr
An-Nafâis. Hal. 189.
[8] Al-Qaththan, Manna‘. 1973. Mabâhits
fî ‘Ulûm Al-Qurân. Beirut:
Mansyûrât Al-‘Ashr Al-Hadîts. Hal. 332. Silakan lihat juga
terjemahannya: Al-Qaththan, Manna‘. 2007. Pengantar Studi Ilmu Al-Quran. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar. Hal. 417-418.
[9]Shalah ‘Abdul Fattah al-Khaalidi, Ta’riifu ad-daarisiina bi
manaahijilMufassiriin (Damsyiq: DaarulQalam, tth) h. 61-64
0 Comment