BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Allah SWT telah mewajibkan hamba-Nya agar beribadah
kepada-Nya semata. Hal itu dapat ditemukan dalam beberapa ayat al-Qur’an sebagai berikut:
وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون (الزا ريات : 56)
Artinya : “Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS
Adz-Zariyat : 56)
[1]
Selanjutnya pada ayat lain Allah mengatakan bahwa
manusia diperintahkan untuk menyembah kepada-Nya :
وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين حنفاء ويقيموا
الصلاة ويؤتواالزكاة وذلك دين القيمة (البينة : 5)
Artinya : “Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah, dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS
al-Bayyinah : 5)[2]
Berdasarkan ayat-ayat di atas dapat dipahami bahwa
Allah SWT memerintahkan untuk menyembah kepada-Nya. Cara menyembah Allah SWT
yang dimaksud dalam ayat ini adalah dengan jalan mendirikan shalat dan
menunaikan zakat. Berarti mengerjakan shalat dan membayarkan zakat merupakan
dua bentuk pekerjaan yang diutamakan bagi
manusia dalam agama
Islam.
Shalat adalah salah satu ibadah yang sangat fundamental
bahkan merupakan salah satu dari rukun Islam. Dengan demikian ibadah
shalat merupakan salah
satu syarat untuk berdiri kokohnya agama Islam.
Fukaha telah berijma’
bahwa siapa yang meninggalkan shalat berarti telah meruntuhkan
salah satu rukun
(sendi Islam) terkuat.[3]
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW berikut :
عبيد الله بن مو سى قال اخبرنا حنظلةبن أبى
سفيان عن عكر مة بن خالد عن ابن عمر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم بنى الا
سلام على خمس شها دة ان لااله الا الله وان محمدارسو ل الله و اقام الصلاة وإيتاء
الز كاة والحج البيت وصوم رمضان (رواه البجارى)
Artinya : “Ubaid bin Abdullah berkata: telah
dikabarkan kepada Hanzhalah bin Abi Sufyan, dari ‘Ikrimah bin Khalid dari ‘Umar
ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : Islam itu didirikan atas lima dasar
yaitu : bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu adalah
Rasul Allah, mendirikan shalat, membayarkan zakat, naik haji ke Baitullah serta
berpuasa pada bulan Ramadhan.”(H.R Bukhari) [4]
Berdasarkan hadits di atas dapat
dipahami bahwa ibadah shalat merupakan
perbuatan yang paling utama, paling tinggi dan paling agung dalam Islam.[5] Oleh karena itu sudah seharusnya bagi umat Islam untuk
mengetahui hukum-hukum shalat sehingga dalam pelaksanaannya benar-benar
sesuai syari’at.
Ulama fiqhpun sepakat menyatakan
bahwa ibadah shalat itu merupakan kewajiban yang harus diketahui dan dilaksanakan
oleh setiap individu muslim.[6]
Perintah melaksanakan shalat
dibebankan kepada tiap individu muslim kecuali ada halangan yang diperbolehkan syara’
untuk tidak melaksanakannya. Shalat tidak dibebankan kepada orang gila,
orang pingsan, wanita haidh dan nifas
karena habis melahirkan serta anak-anak yang belum baligh. Hanya pada
waktu-waktu dan keadaan tersebutlah kewajiban shalat gugur pada diri seseorang.
Shalat adalah amal yang pertama kali akan dihisab pada
diri seorang hamba, baik ketika di dalam kuburnya maupun ketika dipertemukan
dengan Tuhannya. Apabila shalatnya baik maka baiklah semua amalnya tetapi
apabila shalatnya rusak maka rusaklah semua amalannya.[7] Berarti agar
shalat seseorang dapat diterima
Allah SWT, maka wajib baginya berusaha untuk menyempurnakannya. Caranya dengan
menggalinya dari nash-nash al-Qur’an
dan Hadits Rasulullah SAW.
Orang yang akan mendirikan shalat harus betul-betul
memperhatikan dan memahami ketentuan seputar shalat seperti rukun dan syarat-syarat shalat.Tanpa terpenuhinya
kedua aspek tersebut shalat seseorang tidak sah.[8]
Jadi pelaksanaan shalat harus berdasarkan
ketentuan-ketentuan yang telah disyariatkan Allah SWT sebagai manifestasi firman-Nya :
إنني أنا الله لا إله إلا أنا فاعبدني وأقم الصلاة لذكري (طه : 14)
Artinya
: “Sesungguhnya
aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan
dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. (QS.Tha ha :14 )[9]
Pada ayat ini Allah memerintahkan untuk melaksanakan
shalat. Sebab dengan mendirikan shalat berarti hati seseorang ingat kepada Allah SWT.
Melakukan ibadah shalat juga merupakan bukti kepatuhan
seseorang kepada Rasulullah SAW,
sebagaimana hadits berikut :
محمد بن المثى قال حد ثنا عبد الو هاب قال حدثنا ايوب عن أبى قلا
بة قال حد ثنا ما لك قال قال رسولالله صلى الله عليه وسلم صلو كما رايتمو انى اصلى(رواه البجارى)
Artinya : “Muhammad
ibn Mutsana berkata “disampaikan oleh Abdul Wahab dia berkata diceritakan
kepada kami oleh Ayyub dari Abi Qilabah ia berkata di ceritakan kepada
kami dari Malik ia berkata Rasulullah
SAW bersabda shalatlah kalian sebagaimana melihat aku shalat …” (H.R.
Bukhari). [10]
Berdasarkan hadits di atas dapat dipahami bahwa acuan
dalam melaksanakan ibadah shalat berdasarkan yang telah dilaksanakan dan
diajarkan Nabi Muhammad SAW.
Shalat merupakan ibadah yang dilaksanakan dengan
anggota lahir dan bathin dalam bentuk perbuatan dan perkataan tertentu.[11]Sebab ibadah shalat
mempunyai gerakan-gerakan dan bacaan-bacaan tertentu. Apabila kedua hal
itu tidak terpenuhi maka belum tentu shalat
yang dilakukan tersebut sah.
Mengenai cara pelaksanaan shalat telah dijelaskan dalam
hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah
r.a berikut ini :
عن عائثة رضي الله عنها قالت كان رسول الله صلى الله عليه وسلم
يستفتح الصلاة با لتكبير و القر اءة بالحمدالله رب العا لمين وكان اذاركع لم يشحص
رأسه ولم يصو به ولكن بين ذلك وكان اذا رفع رأسه من الركوع لم يسجد حتى يستوي
قائما وكان اذا رفع رأسه من السجدة حتى يستو ي جالساوكا ن يقول فى كل ركعتين
التحية وكان يفرش رجله اليسرى وينصب رجله اليمنى وكان ينهى عن عقبة الشيطان وينهى
ان يفترش الرجل ذر اعيه افتراش السبع وكان يختم الصلاة بالتسليم (رواه مسلم)
Artinya : ”Dari
‘Aisyah r.a ia berkata; Rasulullah SAW biasa membuka shalat
dengan takbiratul ihram dan memulai membaca (Al-Qur’an) dengan
“alhamdulillahhirobbil ‘alamin”. Apabila beliau ruku’ beliau tidak mengangkat kepalanya dan tidak
pula menundukkan kepalanya, akan tetapi antara keduanya, Apabila beliau telah
mengangkat kepalanya dari ruku’
(I’tidal), beliau tidak sujud sehingga tegak berdiri : apabila beliau telah
mengangkat kepalanya dari sujud, maka beliau tidak sujud lagi (sehingga)
duduk dengan tegak dan biasanya pada setiap raka’at, beliau (
pada duduk tahiyat itu ) membentangkan kakinya yang kiri dan menegakkan kakinya
yang kanan. Dan beliau duduk di atas dua kaki/tumit yang ditegakkan dan
melarang seseorang yang membentangkan dua sikunya seperti binatang buas. Dan
beliau mengakhiri shalatnya dengan membaca salam”. (H.R Muslim)[12]
Hadits di atas menjelaskan bahwa shalat diawali dengan
takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Takbiratul ihram adalah tanda bahwa
shalat telah dimulai. Bila shalat telah dimulai fikiran diusahakan jauh dari
hal-hal keduniaan. Karena dengan takbiratul ihram berarti terputuslah hubungan
dengan apa-apa yang ada di luar shalat
sampai shalat itu diakhiri dengan salam.
Seharusnya bagi orang yang sedang melaksanakan shalat
hatinya juga ikut turut serta merasakan
apa yang sedang diucapkan lisannya. Artinya setiap gerakan-gerakan anggota
tubuh dan bacaan-bacaan yang dibaca dalam shalat adalah satu kesatuan.
Jadi bukan hanya badan saja yang shalat melainkan hati
juga berkonsentrasi memahami dan membenarkan ucapan lisannya sehingga khusu’
dalam shalat.
Sebagaimana telah disinggung pada pembahasan sebelumnya
bahwa shalat adalah ibadah yang terdiri dari berbagai gerakan dan bacaan.
Gerakan-gerakan shalat antara lain takbiratul ihram, ruku’, sujud, duduk antara
dua sujud, duduk akhir serta gerakan lainnya sebagaimana yang telah disebutkan
pada Hadits di atas.
Selanjutnya mengenai bacaan-bacaan ketika shalat
dikalangan fukaha terjadi perbedaan pendapat dalam menggolongkan bacaan yang
termasuk rukun dan syarat sah shalat. Salah satu perbedaan pendapat fukaha dalam hal bacaan shalat adalah tentang
kedudukan hukum membaca dua kali salam diakhir shalat. Golongan Syafi’iyah
berpendapat bahwa salam yang wajib sebagai penutup shalat adalah salam pertama. Membaca salam kedua adalah sunat.[13]Sedangkan golongan Hanabilah berpendapat bahwa membaca
salam yang kedua dalam shalat adalah wajib[14]sebagaimana salam pertama sebab kedua salam
termasuk rukun shalat.[15]
Mencermati perbedaan pendapat ini, maka penulis
ingin meneliti dan membahasnya dalam
bentuk karya ilmiah (Skripsi) dengan judul : “KEDUDUKAN SALAM DALAM
SHALAT (Studi Komparatif Antara Fiqh
Syafi’iyah dan Fiqh Hanabilah)”.
B.
Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang masalah di atas maka
yang menjadi rumusan masalah dalam skripsi ini adalah :
1.
Mengapa golongan Syafi’iyah berpendapat hukum membaca salam kedua dalam
shalat adalah sunnat dan mengapa pula golongan Hanabilah berpendapat membaca
salam kedua adalah wajib sebagaimana salam pertama?
2.
Apakah yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat antara Syafi’iyah dan
Hanabilah dalam masalah hukum membaca salam kedua dalam shalat?
3.
Manakah di antara kedua pendapat itu yang lebih kuat dan lebih tepat untuk
dipedomani?
C.
Tujuan dan Kegunaan
1.
Tujuan
Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah
:
1.
Untuk mengetahui alasan golongan Syafi’iyah yang mengatakan membaca salam
kedua hukumnya sunnat dan untuk mengetahui alasan golongan Hanabilah yang
berpendapat salam kedua hukumnya wajib juga sebagaimana salam pertama.
2.
Untuk mengetahui penyebab terjadinya perbedaan pendapat antara Syafi’iyah
dan Hanabilah mengenai hukum
membaca salam kedua dalam shalat
3.
Untuk mengetahui pendapat siapakah yang paling kuat dalilnya sehingga bisa
dijadikan pedoman dalam pengamalannya.
2.
Kegunaan
Kegunaan penulisan skripsi ini adalah :
1.
Melengkapi persyaratan dalam mencapai gelar sarjana (S1) dalam ilmu
Perbandingan Hukum dan Mazhab Fakultas Syari’ah IAIN Imam Bonjol Padang.
2.
Menambah literatur perpustakaan IAIN Imam Bonjol Padang.
D.
Penjelasan Judul
Untuk mempermudah dalam memahami arti, maksud serta
menghindari kesalahan dalam memahami judul skripsi ini, terlebih dahulu penulis
memberikan penjelasan kata-kata kunci yang terdapat dalam judul di atas
Kedudukan :
kediaman, letak atau tempat suatu
benda, tingkatan martabat, keadaan yang sebenarnya, status.[16]
Salam
: Salam adalah ucapan “assalamu ’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh” (mudah-mudahan keselamatan atas dirimu dengan
mendapat rahmat dan berkah-Nya)[17]. Salam yang dimaksudkan adalah ucapan
“assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh” yang kedua sewaktu menoleh ke
kiri sebagai penutup shalat
Shalat :
Shalat secara lughat berati do’a.
Sedangkan menurut istilah syara’
adalah ibadah yang terdiri dari beberapa perbuatan dan perkataan tertentu yang
dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, menurut cara-cara dan
syarat-syarat serta rukun-rukun yang telah ditentukan.[18]
Studi
Komparatif : Kalimat ini terdiri dari dua kata “studi dan
komparatif”. Studi adalah : Kajian, telaah, penelitian, penyelidikan ilmiah.[19] Komparatif : Berasal dari kata comparative yang
berarti bertalian dengan perbandingan.[20] Studi komparatif yang penulis maksud adalah :
perbandingan pendapat antara Syafi’iyah dan Hanabilah
Fiqh Syafi’iyah
: Terdiri dari dua kata yaitu Fiqh dan Syafi’iyah. Fiqh adalah
pemahaman yang mendalam.[21] Syafi’iyah adalah penamaan bagi para pengikut Imam
Syafi’i yang dinisbahkan dari namanya, Muhammad bin Idris al Syafi’i, lahir
tahun 150 H di Gazza dan wafat di Mesir, tahun 204 H.[22] Fiqh Syafi’iyah adalah hasil ijtihad Imam Syafi’i dan pengikutnya dalam bidang
hukum (fiqh).
Hanabilah : Orang-orang yang mengikuti hasil ijtihad
Ahmad bin Hanbal dalam masalah hukum (fiqh). Imam Ahmad bin Hanbal, yang
lengkapnya bernama Abu Abdillah Ahmad
bin Hanbal lahir pada tahun 164 H, wafat tahun 241 H.[23] Fiqh Hanabilah adalah hasil ijtihad Imam Ahmad bin
Hanbal dan pengikutnya dalam bidang
hukum (fiqh).
Secara utuh judul skripsi ini adalah untuk
meneliti, menelaah dan memperbandingkan pendapat mazhab Syafi’i dan mazhab
Hanbali tentang ketentuan membaca assalamu’alaikum warohmatullahi
wabarokatuh yang kedua sewaktu
memalingkan muka kesebelah kiri sebagai
ucapan penutup dalam shalat.
E.
Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai membaca salam dalam shalat ini juga
telah pernah dilakukan oleh sarjana lain, tetapi dengan sudut pandang berbeda
dari penelitian yang akan penulis lakukan.
Penelitian tersebut dilakukan oleh Yendrizal (Bp. 398
055) dengan judul Hukum Membaca Salam di Akhir Shalat, (Komparatif Fiqh
Hanafiah dan Fiqh Syafi’iyah). Penelitiannya menyoroti masalah kedudukan salam
dengan mengkomparatifkan fiqh Hanafiyah dengan fiqh Syafi’iyah dalam menetapkan
hukum salam. Hanafiyah berpendapat salam adalah wajib shalat, jadi tanpa
membaca salam shalat tetap sah (tidak batal). Syafi’iyah berpendapat salam
adalah fardhu shalat akibatnya tanpa membaca salam shalat tidak sah (batal). Sebab
salam adalah rukun shalat. Kesimpulan penelitiannya pendapat Syafi’iyah lebih
kuat argumen dan dalilnya.
Sedangkan dalam penelitian ini penulis akan meneliti
bagaimanakah kedudukan hukum membaca dua kali salam dalam shalat? Pokok utama
permasalahan bagi penulis adalah mengapa Syafi’iyah mengatakan salam yang kedua
(sewaktu menoleh ke kiri) adalah sunat. Pendapat Syafi’iyah ini akan penulis
komparasikan dengan pendapat Hanabilah yang mengatakan membaca kedua salam
(salam pertama dan salam kedua) adalah fardhu shalat yang apabila tidak
diucapkan maka shalat tidak sah (batal).
F.
Metode
Penelitian
Untuk sampai kepada hasil yang
penulis tuju, penulis melakukan penelitian ini dengan menggunakan metode Library
Research (Penelitian Kepustakaan), yaitu memilih, membaca, kemudian
menelaah buku-buku yang relevan dan
representatif dengan masalah yang dibahas, baik melalui sumber primer
maupun sumber sekunder.
Setelah data terkumpul, kemudian
penulis pelajari dan dianalisa untuk kemudian
dipaparkan dalam bentuk karya tulis ilmiah (skripsi)
Sumber primer adalah buku-buku yang dikarang langsung
oleh Imam Mazhab atau buku-buku yang dikarang oleh pengikut-pengikutnya.
Sumber-sumber primer di kalangan Syafi’iyah seperti kitab al-Umm karangan
Imam al-Syafi’i sendiri, al-Muhazzab karangan al-Syairazi, Majmu’
Sarh al-Muhazzab karangan an-Nawawi
dan kitab- kitab lainnya. Sumber-sumber primer di kalangan Hanabilah adalah al-Mughni
‘ala-Mukhtashiril al-Kharqi karangan Ibnu Qudamah al-Maqdusi, al-Mu’tamad
fi Fiqh Imam Ahmad karangan Muhammad Nashiruddin al-Bani serta
kitab-kitab lainnya. Sedangkan data yang berupa sumber sekunder adalah
kitab-kitab atau buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan ini tetapi tidak
dikarang oleh kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah
Dalam mengolah data penulis menggunakan metode :
Deduktif : yaitu
dengan metode pembahasan yang
dimulai dari uraian yang bersifat umum
menuju pada kesimpulan yang bersifat
khusus.[24]
Induktif : yaitu
metode pengambilan kesimpulan yang berangkat dari fakta-fakta yang bersifat
khusus menuju pada kesimpulan yang bersifat umum.[25]
Komparatif : yaitu
penulis akan mengambil pendapat yang terkuat setelah memperhatikan dan
memperbandingkan pendapat golongan Syafi’iyah
dan golongan Hanabilah, dalil-dalil serta alasan-alasan mereka
masing-masing.
G.
Sistematika Penulisan
Untuk lebih mempermudah dalam memahami dan terarahnya
penelitian ini maka sistematika penulisan penulis bagi dalam empat
bab. Masing-masing bab mempunyai spesifikasi pembahasan tersendiri, yang
pembahasannya diurutkan dari bab satu sampai bab lima.
Pada bab pertama merupakan pendahuluan yang merupakan
acuan dasar dalam penulisan skripsi ini. Bab pendahuluan ini terdiri dari latar
belakang masalah, rumusan masalah, penjelasan judul, tujuan dan kegunaan
pembahasan, tinjauan pustaka, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua adalah pembahasan tentang fiqh Syafi’iyah dan
Hanabilah. Tujuan diadakannya pembahasan ini adalah agar jelas perbedaan
masing-masing mazhab. Bab dua ini
terdiri dari tiga sub bab. Sub bab pertama menceritakan sekilas tentang fiqh Syafi’iyah dan fiqh
Hanabilah. Sub bab kedua dan ketiga
adalah metode istinbath hukum fiqh Syafi’iyah dan fiqh Hanabilah .
Bab ketiga merupakan uraian tentang shalat secara umum. Dalam bab tiga ini
dibahas beberapa aspek tentang shalat yang terdiri dari lima sub bab yang
dimulai dari pengertian shalat dan dasar
hukum perintah shalat, syarat dan rukun shalat, keutamaan ibadah shalat dalam
Islam serta hikmah Shalat.
Bab keempat merupakan inti pokok dari pembahasan
skripsi ini. Bab empat memuat pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah tentang hukum
membaca salam yang kedua dalam shalat. Bab empat ini juga dilengkapi dengan
analisa penulis.
Bab kelima adalah kesimpulan dan saran. Bagian
kesimpulan untuk mengetahui jawaban dari persoalan pokok yang dibahas dalam
rumusan masalah Pada bab lima ini juga tergambar implikasi dari pembahasan yang
bermuatan saran-saran.
[1]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
(Semarang : Toha Putra, 1989), h. 736
[3]Abdurrahman al Jaziri, Fiqh Empat Mazhab, Alih
Bahasa Chatibul Umam, Abu Hurairah, judul asli “Al Fiqh ‘Ala Mazhahib Al
‘Arba’ah”, (Jakarta : Darul Ulum Press, 2002), Jil. I, Cet Ke- III, h. 3
[4]Imam Bukhari, Sahih Bukhari, (Beirut : Dar
al-Fikr, 1981), Juz I, h. 2
[5]Abdurrahman al Jaziri, Op. cit, h. 2
[6]Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
1997), Juz V., h.1536
[7]Ibnu Qayyim al Jauziyah, Rahasia di Balik Shalat,
Penerjemah Amir Hamzah Fachruddin dan Kamaluddin Sa’adiatulharamaini, judul
asli “Kitabus Shalah wa Hukmu Tharikiha”, (Jakarta : Pustaka Azzam,
2003), Cet ke.VII, h.13
[8]M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 1995), Cet.ke I, h. 35
[9]Departemen Agama RI, Op. cit, h 477.
[10]Imam Bukhari, Op. cit, h.155
[11]Syahminan Zaidan, Untuk Apa Seorang Muslim Shalat,
(Jakarta: Kalam Mulia, 1987)
[12]Muhammad bin Isma’il al - Kahlani, Subul al-Salam,
(Bandung : Dahlan, t. th), Juz. I, h.
511,
[13]Abu Ishak al Syairazi, Al Muhazzab fi Fiqh Imam al Syafi’I, (Mesir : Dar al
Fikr,t.th), Juz. I., h.111
[14]Ibnu Qudamah al-Maqdusi, Al Mughni ‘Ala
Mukhtashiril Kharqi, (Beirut : Dar
al-Kitab ‘Ilmiah, t. th.), Juz. I., h.
386
[15]Muhammad Nashiruddin al- Bani, Al Mu’tamad fi Fiqh Imam Ahmad, (Kairo: Dar al Fikr,
t. th), Juz. I, h. 128
[16]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka,1993), Cet Ke II, h. 214
[17]Abdul Mujieb dkk, Kamus Istilah Fikih, (Jakarta
: Pustaka Firdaus, 1995), Cet. Ke. II,
h. 313
[19]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op. cit,
h. 860
[20]John M. Exhols dan Hasan Sadily, Kamus Inggris
Indonesia, (Jakarta : Gramedia, 1990), h. 131
[21]Abdul Aziz Dahlan, Op cit. , h.708.
[22]IAIN Syarif Hidayatullah , Ensiklopedi Islam
Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 1993), h 37.
[23]Abdul Mujieb dkk, Op. cit h.98
[24]Winarno Surachman, Pengantar Penelitian Ilmiah, (Bandung : Tersito,
1985), h. 143
[25]Sutrisno Hadi, Metodologi Research,(Yogyakarta :
Andi Offset, 1989), h. 142
0 Comment