KEDUDUKAN KHIYAR DALAM ISLAM
A. Pengertian Khiyar
Pengertian
khiyar dapat dipahami melalui dua segi, yaitu secara bahasa (etimologi)
dan secara istilah (terminology).
Menurut
bahasa ada beberapa pendapat ulama tentang pengertian khiyar ini, antara
lain:
Menurut Abu Luis al-Ma’luf:
الخيار لغة خيار شىء[1]
“Khiyar
menurut bahasa artinya memilih sesuatu”
Menurut
Idris al-Marbawy:
الخيار لغة خيار – اختيرر – اختيارا – اختيارى [2]
“Khiyar
menurut bahasa artinya: memilih/pilihan”
Dengan
memperhatikan pengertian khiyar di atas secara umum mencakup semua
perbuatan yang boleh memilih dari beberapa persoalan, pilihan itu didasarkan
kepada kehendak diri, dengan mengambil salah satu yang lebih afdhal dari
beberapa persoalan tersebut.
Dalam hal ini pilihan yang dimaksud adalah dalam
masalah jual beli yang sifatnya tukar menukar baik berupa kebutuhan primer
maupun sekunder antara pembeli dan penjual yang dianggap penting menurut
seseorang untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya pengertian khiyar menurut
istilah, terdapat beberapa pendapat ulama, antara lain:
Menurut
Wahbah al-Zuhaili:
الخيار امضاء العقد وعدم امضائه بفسخه [3]
“Memilih antara meneruskan
akad dan tidak meneruskan dengan cara menfasakhnya”
Menurut
Muhammad ibn Ismail al-Kahlani:
وهو طلب خير الأمرين من امضاء البيع او فسخه [4]
“Tuntutan untuk memilih
dua urusan dari meneruskan jual beli atau membatalkan nya”
Dari
dua defenisi yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa khiyar adalah
suatu hak pilih yang diberikan kepada pembeli dan penjual dalam melakukan
transaksi antara meneruskan akad atau mengagalkannya, setelah terjadi ijab dan
qabul antara kedua belah pihak. Hak memilih ini bisa saja timbul dari
penjual atau sebaliknya dari pembeli.
B. Macam-macam Khiyar
Dalam
fiqh Islam, jual beli yang sudah sempurna akad nya antara para pihak yang
melakukan transaksi (penjual dan pembeli), diberi hak untuk meneruskan atau
menggagalkannya, baik penggagalan itu seluruh atau sebahagian saja.
Pada
beberapa kitab yang membahas tentang masalah jual beli (بيوع), khiyar itu ada beberapa macam, yaitu khiyar majelis,
khiyar syarat dan khiyar ‘aib. Untuk memahami macam-macam khiyar
tersebut penulis akan menjelaskan satu persatu.
1.
Khiyar
Majelis
اذا خصل الإيجاب
والقبول من البائع ما و المشترى وتم العقد فلكل واحد منهما حق ابقد الغائه ما فى
المجلس راى محل العقد مالم يتبامعا على انه لاخيار[5]
“Apabila ijab dan qabul
terjadi dari pihak penjual dan pembeli, setelah sempurna akad nya, maka kedua
belah pihak ada hak khiyar untuk melangsungkan atau meninggalkan jual beli,
selama keduanya masih berada di tempat meskipun apa-apa yang tidak ada
diperjanjikan dalam jual beli sesungguhnya tidak ada khiyar”
Dari
pengertian di atas dapat dikatakan bahwa khiyar majelis adalah suatu
kebolehan yang diberikan kepada pihak penjual maupun pembeli, untuk menentukan
pilihan apakah jual beli akan diteruskan atau dibatalkan selama masih dalam
satu majelis (موكول
الى العرف), misalnya kesalahan penjual dalam memberikan benda yang dijual
kepada pembeli yang mengakibatkan kerugian pada diri penjual.
Di
sini hak khiyar ada pada penjual, sedang contoh bagi pembeli adalah,
terdapat kekeliruan oleh pihak penjual dalam memberikan benda kepada pembeli
yang mengakibatkan kerugian pada dirinya (si penjual).
Keberadaan
khiyar dalam jual beli disepakati oleh ulama, namun mereka berbeda
pendapat tentang khiyar majelis. Perbedaan ini terlihat pada kita Fiqh
al-Mazahib al-Arba’ah yang dikemukakan oleh Abdrrahman al-Jaziri, di dalam
kitab ini dibuat sebagai berikut:
a.
Golongan
Syafi’iyah berpendapat
يثبت خيار المجلس
بعد تماما العقد بدون شروط الخيار بل لو اشترط العاقد عدم الخيار البع لأنه شرط
يقتضى العقد عدمه لأنه الخيار فى المجلس ثبت بالنص لابالإجتهاد فأصبع من مقتضى
العقد وكل لايقتضيه العقد فهو باطل[6]
“Khiyar majelis itu tetep
berlaku setelah sempurna akad tempat
mensyaratkan khiyar, bahkan kalau mensyaratkan orang yang berakad (penjual dan
pembeli) tidak adanya khiyar, maka jual beli akad batal khiyar majelis itu
berlaku dengan nash bukan dengan ijtihad. Oleh sebab itu khiyar majelis adalah
kehendak akad , sesuatu syarat yang tidak ditetapkan akad , maka ia akan batal”
Hadis
yang diambil oleh golongan Syafi’i sebagai dasar hukum tentang khiyar
majelis adalah:
عن عبد الله دينار:
انه سمع ابن عمر يقول: قال رسول الله ص.م: كل بيعين لابيع بينهما حتى يتفرقا
الابيع الخيار (رواه مسلم)[7]
“Dari
Ibnu Umar bahwa Rasulullah Saw bersabda: Dua orang yang melakukan jual beli,
masing-masing mereka ada hak khiyar, selama mereka belum berpisah, kecuali jual
beli dengan khiyar”
Hadis
ini memberikan penjelasan tentang adanya hak khiyar dalam suatu majelis
akad antara penjual dan pembeli.
Apabila khiyar itu disyaratkan dengan sesuatu yang akan menggagalkan
jual beli baik secara lisan atau tulisan, maka khiyar tersebut menjadi
batal.
b.
Golongan
Hanabalah berbeda pendapat:
يثبت خيار المجلس
للمتعاقدين ولو لم يشترطاه ولو بعد تمام العقد فلكل واحد منهما امضاء العقد وفسخه
مادام فى المجلس ولو اقام سهرا واكثر الا ان تفرقا كرها كما اذا احملهما على
التفرق سبع ونحوه او طلع عليهما ونحو ذلك فإن التفرق فى هذه الحالة لايسقط الخيار
ومتى ثم العقد وتفرقا لزم البيع فليس لو احد منها الفسخ الابعيب او خيار شرط [8]
“Khiyar majelis tetap
berlaku terhadap dua orang yang berjual beli sekalipun mereka tidak
mensyaratkan setelah sempurna akad jual
beli, maka kedua belah pihak diberi hak untuk melangsungkan atau menggalkannya,
selama keduanya masih berada dalam majelis, maupun ia melangsungkan sebulan
atau lebih, kecuali apabila berpisah keduanya secara terpaksa, begitu juga
halnya apabila berpisah selama bertemu saksi, atau orang lain berbuat aniaya terhadap
keduanya berpisah, maka mestilah jual beli terjadi, atau salah satu dari
keduanya tidak boleh menggugurkan jual beli kecuali dengan aib atau khiyar
syarat”
Golongan
Hanabalah berpendapat bahwa pada prinsipnya khiyar majelis ini sudah ada
dengan sendirinya apabila dilihat secara hukum tanpa syarat, tetapi jika
disyari’atkan, maka itu lebih baik.
c.
Golongan
Hanafiyah berpendapat
خيار المجلس لايثبت
للعاقد الا بالشرط فإذ تم العقد بينهما من غيرشرط الخيار اصبح لازما سواء اقام
بالمدلس او تفرقا وكما الذى للعاقد فى المجلس بدون شرط هو خيار القول[9]
Golongan
memberikan penjelasan bahwa menurut mereka khiyar majelis itu tiada ada
terhadap jual beli yang sudah sempurna akad nya, kecuali khiyar qabul atau
memilih dengan celanya syarat.
d.
Golongan
Malikiyah berpendapat.
لاخيار فى المجلس
اصلا بل يتقسم الى قسمين الأول خيار الشرط ويسمى خيار هى الثنى خيار النقيصة ويسمى
الخيار الحكمى[10]
“Pada prinsipnya khiyar
majelis itu tidak ada, hanya khiyar dibagi menjadi dua yang pertama khiyar
syarat dinamai juga dengan khiyar syarthy, kedua khiyar naqishah, dinamai juga
dengan khiyar hukmy disebabkan kelihatan ‘aib terhadap barang yang dibeli.”
Dari
pendapat di atas terlihat bahwa Malikiyah menyatakan khiyar majelis itu
tidak ada dalam perjanjian jual beli. Mereka membagi khiyar itu kepada
dua bentuk, yaitu, aib dan syarat.
Apabila
disimpulkan empat pendapat di yang penulis kemukakan di atas dapat
dikelompokkan atas dua kategori, yaitu:
a.
Golongan
yang mengatakan adanya khiyar majelis dalam jual beli secara mutlak, ada
secara hukum, dinyatakan oleh Syafi’i dan Hanabalah.
b.
Golongan
yang menyatakan tidak ada khiyar majelis dalam jual beli adalah golongan
Hanafiyah dan Malikiyah.
Pendapat
ini didasarkan kepada pemahaman potongan hadis yang berbunyi: ما لم يتفرقا. Imam Syafi’i dan Hanbali memahami itu adalah selama belum
berpisah dalam suatu tempat atau majelis. Oleh sebab itu, ijab dan qabul baru
dikatakan sempurna setelah terjadinya perpisahan di antara mereka. Dari
pemahaman itu, khiyar majelis ada dalam jual beli.
Sedangkan
menurut Hanafiyah dan Malikiyah, suatu akad
dipandang sah dan tidak dapat diganggu gugat lagi berlakunya, setelah
terjadinya ijab dan qabul. Apabila hak khiyar masih ada berarti
akad ditolak lagi oleh satu pihak tanpa
adanya persetujuan dari pihak lain. Dengan demikian setelah ijab dan qabul
tidak ada lagi lagi khiyar walaupun mereka belum berpisah tempat. Akan
tetapi, ijab yang belum diqabulkan masih berlaku khiyar, walaupun mereka
telah bercerai karena keridhaan belum tercapai di antara kedua belah pihak.
Pemahaman
Hanafiyah dan Malikiyah terhadap potongan hadis مالم يتفرقا adalah
selama ijab belum dikabulkan, atau belum sempurna akad jual beli,
sehingga yang diartikan satu majelis di sini adalah akad.. jika ijab dan qabul
telah sempurna diberikan hak untuk memilih yang disebut dengan khiyar syarat.
Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Muhammad ibn Ismail al-Kahlani:
لايثبت خيار المجلس
بل متى تفرق المتبايعان بالقول فلا خيار الا ماشرطا[11]
“Apabila berpisah penjual
dan pembeli, tiada ada lagi khiyar majelis kecuali khiyar syarat”
Ungkapan
di atas memberikan pengertian bagi kedua Iman itu, bahwa apabila akad jual beli telah sempurna, maka khiyar
majelis itu tidak ada, meskipun para pihak masih berada pada satu tempat.
Oleh karena itu, ijab dan qabul sudah sempurna yang ada hanyalah khiyar
syarat.
Batas
waktu khiyar majelis menurut Syafi’i dan Hanabalah adalah apabila telah
terlepas dari ukuran dan jaraknya, yaitu keluarnya pembeli dan penjual dari
tempat transaksi jual beli, atau berpaling salah satu pihak dua langkah atau
tiga langkah jika tempatnya besar, sesuai dengan yang dijelaskan dalam kitab Subul
al-Salam:
ففى المنزل الصغير
يخروج احدهما وفى الكبير بالتحول من مجلسه الى اخر بخطوتين او ثلاث, فإن قاما معا
او ذاهبا معا فالخيار باق[12]
“Di tempat yang kecil
dihitung sejak salah satu itu keluar, dan dari tempat yang besar semenjak
berpindahnya seseorang dari tempat duduknya dua langkah, jika berdiri
kedua-duanya bersama-sama atau berpindah bersama-sama tetap khiyar majelisnya”
Perbedaan
pendapat di kalangan ulama itu adalah sesuatu yang lazim, dalam menyikapi masalah
ini, penulis sepakat bahwa khiyar majelis ada dalam perjanjian jual beli
atau tukar tambah, karena ini diatur ulang oleh ketentuan nash, yaitu lafaz
hadis yang berbunyi:
عن ابن عمر يقول
رسول الله ص.م اذ تبايع المتبايعان بالبيع فكل واحد منهما بالخيار من بيعه ما لم
يتفرقا أو يكون بيعهما عن خيار فإذا كان بيعهما عن خيار فقد وجب[13]
“Dari Ibnu Umar ra,
berkata Rasulullah Saw, bersabda apabila dua orang melakukan jual beli masing-masing
mempunyai hak pilih selama keduanya belum berpisah atau keduanya telah
menetapkan pilihan tertentu maka itu wajib dilaksanakan”
Hadis
di atas, jelas sekali membicarakan tentang keberadaan khiyar majelis dalam
jual beli. Menurut penulis sangat penting, apabila dengan adanya perkembangan
di bidang perdagangan yang cukup pesat, sehingga rawan terjadinya penipuan
dalam suatu transaksi. Apabila khiyar majelis tidak ada, maka tujuan
jual beli dapat diselewengkan oleh pihak-pihak yang melakukan jual beli, terutama
bagi pelaku jual beli yang berjauhan. Misalnya seseorang pergi ke suatu tempat,
waktu akan pulang ia membeli suatu benda di pertokoan, karena kediaman nya
jauh, ia akan memeriksa secara teliti tentang benda tersebut apabila terjadi
sesuatu yang tidak diinginkan. Di sini sangat penting keberadaan khiyar
majelis jika tidak jual beli menjadi cacat secara hukum.
2.
Khiyar
syarat
Menurut
Abdurrahman al-Jaziry, khiyar syarat adalah:
هو عبادة عن كون
العاقد بيبع السلعة ويشتريها بشطا ان يكون له الخيار فى إمضاء العاقد وفسخة فمعنى
قولهم خيار الشرط الخيار الثابت بالشرط [14]
“Sesuatu pengertian
tentang keadaan orang yang berakad dengan menjual benda atau membelinya dengan
ada syarat melangsungkan akad atau
membatalkannya, maka pengertian khiyar adalah khiyar yang ditetapkan dengan
syarat”
Menurut
Sayyid Sabiq,
Khiyar syarat adalah salah satu pihak
melakukan jual beli mensyaratkan bahwa ia boleh berkhiyar dalam waktu
tertentu sesuai perjanjian, jika ia menghendaki jual beli berlangsunglah khiyar
syarat dan jika tidak dilangsungkan jual beli dibatalkan dalam masa
tersebut.[15]
Dari
dua pengertian khiyar di atas, dapat kita pahami bahwa jual beli dapat
berlangsung setelah sempurna akad antara
penjual dan pembeli. Apabila jual beli berlangsung, diberi hak kepada penjual
dan pembeli untuk mensyaratkan apakah jual beli itu diteruskan atau dibatalkan.
Persyaratan itu diadakan oleh kedua belah pihak seperti 1 minggu atau sampai 1
bulan. Contoh seorang konsumen membeli mesin cuci seharga Rp. 4.000.000,-, ia
katakan kalau istri saya tidak menyukainya selama 1 minggu barang ini saya
kembalikan.
Dari
contoh di atas dapat diketahui, apabila syarat disepakati dan terpenuhi maka
berlangsung jual beli. Para ulama membolehkan adanya khiyar syarat pada
jual beli, tetapi dalam kitab Rahdh al-Mukhtar beberapa ketentuan khiyar
syarat dalam jual beli:
a.
Khiyar
syarat menjadi
fasid (batal) dalam jual beli seperti pembatalan pembeli: “Aku beli
untukku ini, sesungguhnya aku berkhiyar beberapa hari atau selamanya.[16]
Keterangan di atas
menjelaskan, bahwa khiyar syarat itu diberikan jangka waktu, ia akan
batal apabila jangka waktu tidak ditentukan selama 2 hari, satu bulan atau 3
bulan.
b.
Sepakat
membolehkan khiyar selama 3 hari, sebagaimana pembatalan pembeli.
وهو ان يقول على انى
بالخيار ثلاثة ابما فمادوها.[17]
“Sesungguhnya aku
berkhiyar selama tiga hari, maka tidak lebih dari itu”
c.
Berbeda
pendapat ulama tentang khiyar syarat selama satu bulan dan dua bulan.
Abu Hanifah, Zufar dan Imam Syafi’i, berpendapat orang yang berkhiyar selama
1 atau 2 bulan adalah fasid.[18]
Sedangkan
menurut Malikiyah berlakunya khiyar syarat melihat pada benda.
1)
Masa
khiyar pada benda tetap 36 s/d 38 hari lebih dari itu jual belinya fasid.
2)
Khiyar
pada jual beli
perdagangan massanya 3 s/d 5 hari, lebih dari itu jual belinya fasid.
3)
Khiyar
pada jual
beli binatang ternak melihat kepandaian nya bila binatang itu tidak dapat
dikendalikan khiyarnya 3 s/d 5 hari.[19]
Apabila
bendanya tahan lama diberlakukan khiyar lebih dari 3 hari tiga malam
atau satu bulan atau lebih. Apabila bendanya tidak tahan lama, khiyarnya
cukup 3 hari sesuai dengan hadis.
حدثنا عن نافع ابن
عمر قال: سمعت رجلا من الأنصار وكانت بلسانه لونة يشكروا الى رسول الله ص.م انه
لايزال فى البيع فقال له رسول الله ص.م اذا بعت فقل لاخلابة ثم انت بالخيار فى كل
سلعة البتعتها ثلاث ليال فإن رضيت فامسك وان سخت فارون (رواه البيهقى)[20]
“Hadis Nafi’ dari Ibnu
Umar aku dengar seorang Anshar mengadu kepada Rasulullah Saw, bahwa ia selalu
tertipu dalam jual beli, maka Rasul bersabda apabila kamu menjual hendaklah
kamu katakan tidak ada tipuan, kemudian ada khiyar untukmu pada semua benda
yang dijual, selama 3 hari tiga malam, jika engkau rela berlangsunglah jual
beli, jika tidak kembalikan” (HR. Baihaqy)
Jika
terjadi kerusakan pada benda selama khiyar dilakukan apakah yang
menanggung benda pembeli atau penjual. Dalam hal ini terjadi perbedaan
pendapat:
a.
Ulama
Malik dan sahabat nya Jais dan Auza’i
Ia
mengatakan rusaknya benda menjadi tanggung jawab penjual, sedangkan si pembeli
sebagai titipan, baik yang mengkhiyar keduanya atau salah satu tetapi
menurut salah satu pendapat Malik, ia meriwayatkan apabila benda itu rusak di
tangan pembeli, tanggung jawab resikonya pembeli, seperti gadai dan pinjaman.[21]
b.
Imam
Abu Hanifah
Menyatakan jika kedua
belah pihak mensyaratkan khiyar atau penjual saja mensyaratkan,
sesungguhnya semua tangung jawab penjual. Adapun jika syaratnya timbul dari si
pembeli saja maka benda itu telah keluar dari kepemilikan si penjual dan
sebelum jadi milik si pembeli sampai habis nya masa khiyar.[22]
c. Menurut Syafi’i
Ia mengatakan bahwa tanggungan atas pembeli dan siapa saja
yang mensyaratkan khiyar.[23]
d.
Pendapat
fuqaha’
Sandaran orang yang
berpendapat sesungguhnya jaminan itu ada di tangan penjual atas segala keadaan
bahwasanya akad tidak mengikat, maka kepemilikan belum berpindah dari si
penjual dan sandaran orang yang berpendapat bahwasanya dari pembeli
menyerupakannya dengan jual beli lazim dan pendapat ini lemah.[24]
3.
Khiyar
‘aib
Menurut
Sayyid Sabiq, khiyar ‘aib adalah:
ومتى تم العقد وقد
كان المشترى عالما بالعيب وله الخيار بين ان يرد البيع ويأخذ الثمن الذى دفعه الى
البائع[25]
“Apabila telah sempurna
akad, kemudian si pembeli mengetahui cacat pada benda dan bagi si pembeli ada
hak khiyar antara mengembalikan benda dan mengambil harga yang sudah diserahkan
pada si penjual”
Menurut
Abdurrahman al-Jaziri:
‘Aib
itu adalah sesuatu yang mengakibatkan kurangnya harga barang yang
diperjualbelikan.[26]
Dari
defenisi di atas, penulis dapat menyimpulkan khiyar ‘aib adalah pilihan
antara meneruskan atau menggagalkan jual beli, disebabkan oleh cacat yang
terdapat pada benda yang diperjualbelikan.
Secara
garis besar, ‘aib itu dapat dikategorikan kepada dua macam saja, yaitu ‘aib
dikarenakan unsur kesengajaan dan tidak ada unsur kesengajaan sebagaimana yang
diungkapkan oleh Abdurrahman al-Jaziri:
‘Aib
itu terdiri dari dua pembagian, yaitu:
a.
‘Aib
yang dikarenakan perbuatan penjual, seperti mencampurkan susu dengan air.
b.
‘Aib
asal yang terdiri dari: 1) ‘Aib zahir, misal seekor hewan yang
biasanya penghela
gerobak, tetapi sekarang ia tidak bisa, 2) ‘Aib batin, seperti rusaknya
kelapa, kacang semangka dari kulitnya dan semisal nya.
Semua
cacat itu akan menimbulkan hak khiyar ‘aib bagi si pembeli meskipun
tidak diperjanjikan itu lebih baik dengan ketentuan barang dikembalikan,
sebagaimana kata Abdurrahman al-Jaziri:
العيب الذى يجعل
المشترى الحق فى رد المبيع هو الذى تنقض به قيمة المبيع[27]
“’Aib
yang dijadikan hak si pembeli untuk mengembalikan benda karena dengan ‘aib itu
mengurangi harga benda”
Sementara
itu Imam Malik mengungkapkan bahwa: “’Aib yang dipandang boleh mengembalikan
benda adalah ‘aib yang mengurangi harga, seperti binatang yang tidak patuh”.[28]
Sayyid
Sabiq berpendapat bahwa apabila si pembeli tidak mengetahui ada cacat pada
benda kemudian setelah akad berlangsung baru ia mengetahui bahwa benda itu ada
cacat akad nya dinyatakan gugur, tetapi tidak lazim si pembeli berhak
mengadakan khiyar mengembalikan b arang dan mengambil harga atau menahan
nya dengan mengambil ganti rugi dari cacat benda tersebut kecuali bila ia rela
menerimanya.[29]
Dari
berbagai pendapat utama yang penulis kemukakan di atas, dapat dipahami bahwa
apabila terdapat ‘aib pada suatu benda yang mengurangi harga maka benda boleh
dikembalikan sehingga tidak ada salah satu pihak yang dirugikan.
C. Hukum al-Khiyar
Ahkam al-khiyar maksudnya hak memilih antara menentukan akad atau
menggugurkannya dalam perjanjian jual beli. Adapun hukumnya adalah mubah karena
pelaksanaan khiyar tidak mengandung unsur kezaliman dan gharar,
maka hukum ini sesuai dengan kaedah ushuliyyah.
الأصل فى الأشياء الإباحة[30]
“Ashal
pada sesuatu itu adalah boleh”
1.
Khiyar
majelis
Khiyar
majelis adalah
yang dilakukan selama berada di tempat transaksi atau selama belum berpisah
menurut kebiasaan. Khiyar ini dilakukan oleh pihak yang bertransaksi
jual beli, maka hukum dari pelaksanaan khiyar majelis itu adalah boleh,
sebagaimana yang dijelaskan oleh hadis Rasul:
عن حكيم بن حزام رضى
الله عنه قال, قال رسول الله ص.م الببعان الخيار مالم يتفرقا حتى يتفرقا فان صدقا
وبين يحارك لهمافى بيعهما وان كذبا وكتما محقت بركة بيعهما (رواه البخارى)[31]
“Dari Hakim ibn Hizam ra
berkata: Rasulullah Saw, dia orang yang berjual beli khiyar (memilih) selama
belum berpisah, atau beliau bersabda, sehingga keduanya berpisah, jika keduanya
jujur dan terus terang, maka keduanya mendapat berkah dalam berjual beli itu.
Jika keduanya menyembunyikan dan berdusta, maka dihapuskan berkah jual beli”(HR.
Bukhari)
Dengan
demikian ketentuan memilih selama belum berpisah dalam hadis di atas memberikan
penjelasan bahwa khiyar majelis itu, hukumnya boleh dalam jual beli.
2.
Khiyar
syarat
Khiyar syarat adalah
memilih antara meneruskan jual beli atau membatalkan nya dengan adanya
persyaratan dari kedua belah pihak (pembeli dan penjual). Hal ini adalah boleh,
yang dijelaskan langsung dalam hadis Rasul.
عن عبد الله بن
دينار, انه سمع ابن عمر يقول: قال رسول الله ص.م كل بيعين لابيع بينها حتى يتفرقا
الا بيع الخيار (رواه مسلم)[32]
“Dari Abdullah ibn Dinar
sesungguhnya aku mendengar Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Tiap-tiap dua orang yang melakukan jual beli di antara keduanya sehingga ia
berpisah kecuali bila jual beli khiyar”(HR. Bukhari)
Dari hadis di atas dapat
dipahami bahwa dapat kecuali jual beli dengan khiyar maksudnya adalah khiyar
syarat, hukum membolehkan jual beli dengan khiyar syarat dan ulama
pun sepakat tentang hal ini.
3.
Khiyar
‘aib
Khiyar
‘aib adalah
salah satu bentuk khiyar dalam jual beli antara meneruskan akad atau
membatalkannya disebabkan adanya ‘aib atau cacat pada barang yang
diperjualbelikan itu.
Sesuai dengan hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Syafi’i dan Ashab al-Sunan.
وهو ان رجلا اشترى
غلام فى زمان رسول الله ص.م وكان عنده ما شاء الله ثم رده من عيب وجده فقضى رسول
الله ص.م برده بالعيب [33]
“Bahwa seorang laki-laki
membeli seorang budak di masa Rasulullah dan adalah pada diri budak itu
terdapat cacat, kemudian perkara itu dihadapkan kepada Rasulullah, maka
ketetapan beliau budak itu dikembalikan”
D. Hikmah Khiyar
Khiyar
dalam jual
beli yang disyari’atkan dalam hukum Islam bertujuan untuk menghindari perbuatan
salah satu pihak yang berniat untuk merugikan pihak lain. Bila penjual dan
pembeli memahami arti penting dari syari’at khiyar dalam hukum Islam,
akan tercapai keseluruhan tujuan dari jual beli. Dan berpengaruh kepada
hubungan sesama manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Beberapa
hikmah dari khiyar adalah:
1.
Menimbulkan
kasih sayang antara sesama manusia dengan konsep mu’amalah, sebagaimana
dijelaskan oleh Abduraahman al-Jaziri:
“Sesungguhnya
disyari’atkan khiyar sesama manusia dimaksudkan untuk menjalin kasih
sayang sesama manusia”.[34]
Dari
keterangan di atas, terlihat bahwa salah satu cara untuk menjalin kasih sayang
antara sesama manusia dalam konsep muamalah. Para pihak melakukan transaksi khiyar
majelis, khiyar syarat dan khiyar ‘aib, sehingga tidak ada para
pihak yang merasa dirugikan.
2.
Menghindari
terjadinya penipuan
Seperti
yang sudah dijelaskan sebelumnya, apabila salah seorang yang menyesal atau
kecewa dengan benda yang diperjualbelikan, karena cacat dan ada hak khiyar baginya.
Apabila tidak ada hak khiyar akan mudah sekali terjadi penipuan, dan hal
itu terlarang dalam syari’at Islam. Untuk menghindari hal yang demikian itu,
maka Rasulullah Saw mengatakan dalam hadis beliau:
عن عقبة بن عامر
قال: سمعت النيى ص.م يقول المسلم لايحل المسلم باع من اخيه بيعا وفيه عيب الا بعين
له (رواه ابن ماجه)[35]
“Hadis ini diterima dari
‘Uqbah ibn Amar, ia berkata: Orang Islam sesama orang Islam adalah bersaudara
dan tidak halal bagi sesama mereka menjual benda yang cacat kepada saudaranya,
kecuali ia jelaskan cacatnya”(HR. Ibn Majah)
Hadis
ini memberikan penjelasan kepada para pihak dalam jual beli untuk berterus
terang secara pasti tentang keadaan benda yang diperjualbelikan, artinya
apabila benda itu bagus, katakan bagus, namun bila terjadi cacat hendaklah
dijelaskan agar tidak terjadi penipuan.
3.
Menghindari
pertengkaran yang mengakibatkan permusuhan
Dalam
satu transaksi, apabila seorang pembeli tidak suka dengan benda yang dibelinya
karena ada sesuatu hal. Oleh karena itu, ia mengembalikan pada penjual. Apabila
tidak ada perjanjian sebelumnya tentang hak khiyar, maka akan timbul
pertengkaran antara dua pihak, yang akhirnya jadi ajang permusuhan.
Sementara
syari’at Islam menganjurkan manusia berbuat baik tidak menyukai kesukaran dalam
urusan dunia dan akhirat, sebagaimana diungkapkan oleh Ali Ahmad al-Jarjawi:
Kita
ketahui bahwa syari’at menganjurkan manusia berbuat baik tidak menyukai
kesukaran dari segala urusan. Demikian juga disyari’atkannya khiyar bagi
manusia bagi manusia, apabila ia memiliki sesuatu terlupa dari cacat barangnya
atau tidak melihat atau meneliti nya atau bermusyawarah dengan keluarga dan
menjadikan tenggang waktu tiga hari.[36]
Uraian
di atas memberikan pengertian bahwa khiyar adalah suatu bentuk dalam
mewujudkan jual beli secara utuh dan sempurna, yaitu masing-masing pihak merasa
puas dan merasa tidak dirugikan disebabkan oleh adanya kesempatan untuk
berpikir dengan sempurna, sehingga tercapainya tujuan jual beli, yaitu suka
sama suka, sesuai dengan ayat yang dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Nisa’:
29:
يا
أيها الذين آمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم
ولا تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما (النساء: 29)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS. 4: 29)
Maka dari ayat di atas, dapatlah ditarik pemahaman
bahwa Allah menghalalkan jual beli, dengan adanya kerelaan di antara dua pihak,
dan yang diharamkan Allah adalah mengambil harta sesama dengan jalan yang
batil, baik yang di dalamnya terdapat cacat pada barang yang diperjualbelikan.
[1]
Abu Luis al-Ma’luf, al-Munjid, (Beirut: Dar al-Fikr, [t.th]), Jilid.
III, h. 261
[2]
Mahmud ibn Idris al-Marbawy, Kamus al-Marbawy, (Beirut: Dar al-Fikr,
[t.th]), Jilid. III, h. 192
[3]
Wahbah al-Zauhaili, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1989), Juz. III, h. 579
[4]
Muhammad ibn al-Kahlani, Subul al_Salam, (Bandung: Maktabah Dahlan,
1982), Jilid. III, h. 33
[5]
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut: Dar al-Kutub, [t.th]), Jilid. III,
h. 164
[6]
Abrurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, (Beirut:
Dar-al-Fikr, [t.th]), Juz. II, h. 176
[7] Ibid.,
h. 172
[8] Ibid.,
h. 179
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11]
Muhammad ibn al-Kahlani, op. cit, h. 34
[12] Ibid.
[13]
Abu al-Husain Muslim ibn Hujjaj, Shahih Muslim, (Bandung: Pustaka
Dahlan, [t.th]), Juz. III, h. 1164
[14]
Abrurrahman al-Jaziri, op. cit, h. 174
[15]
Sayyid Sabiq, op. cit, h. 165
[16]
Al-Imam Abu Hanifah al-Nu’man, Radd al-Mukhtar, (Mesir: Mustafa al-Bab
al-Halaby, [t.th]), Juz. IV, h. 565
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19]
Abrurrahman al-Jaziri, op. cit, h. 178
[20]
Abu Bakar Ahmad ibn Husain ibn Abi Baihaqi, Sunan Kubra, (Beirut: Dar
al-Fir, 745), Juz. V, h. 273
[21]
Ibnu Rusdi al-Qurtuby, Bidayah al-Mujtahid, (Riyadh: Mustafa al-Bazy,
1995), Juz. II, h. 369
[22] Ibid.,
h. 376
[23] Ibid.
[24] Ibid.
[25]
Sayyid Sabiq, op. cit, h. 166
[26]
Abrurrahman al-Jaziri, op. cit, h.
[27] Ibid.,
h. 188
[28] Ibid.
[29]
Sayyid Sabiq, loc. cit
[30]
Abdul Wahab Khalaf, Kaedah-Kaedah Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1994), Cet. ke-4, h. 255
[31]
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, ([t.t], Syirkah al-Nur, 1981), Juz. III,
h. 18
[32]
Abu al-Husain Muslim ibn Hujjaj, loc. cit
[33]
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, ([t.t], Syirkah al-Nur, 1981), Juz. III,
h. 18
[34]
Abrurrahman al-Jaziri, op. cit, h. 169
[35]
Abu Ahmad Ali al-Syaukany, Nail al-Authar, (Mesir: al-Haliby, [t.th]),
Juz. V, h. 239
[36]
Ali Ahmad al-Jarjawi, Hikmah al-Tasyri’, (Cairo: Mussah al-Haliby,
[t.th]), Juz. II, h. 167
0 Comment