BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Peradaban Islam mulai muncul di permukaan ketika terjadi hubungan timbal balik antara peradaban orang-orang Arab dengan non-Arab. Pada mulanya, Islam tidak memerlukan suatu bentuk kesenian; tetapi bersama jalannya sang waktu, kaum muslimin menjadikan karya-karya seni sebagai media untuk mengekspresikan pandangan hidupnya. Mereka membangun bentuk-bentuk seni yang kaya sesuai dengan perspektif kesadaran nilai Islam, dan secara perlahan mengembangkan gaya mereka sendiri serta menambah sumbangan kebudayaan di lapangan kesenian. Salah satu bentuknya adalah seni kaligrafi.
Kaligrafi atau biasa dikenal dengan khath tumbuh dan berkembang dalam budaya Islam menjadi alternatif ekspresi menarik yang mengandung unsur penyatu yang kuat. Kaligrafi berkembang pesat dalam kebudayaan Islam adalah: Pertama, karena perkembangan ajaran agama Islam melalui kitab suci Al-Qur’an. Kedua, karena keunikan dan kelenturan huruf-huruf Arab. Khath sendiri sebagai satu bentuk kesenian yang memiliki aturan yang khas, telah tumbuh secara lepas maupun terpadukan dalam bagian-bagian unsur bangunan yang mempunyai makna keindahan tersendiri. Salah satu fakta yang mempesona dalam sejarah seni dan budaya Islam ialah keberhasilan bangsa Arab, Persia, Turki dan India dalam menciptakan bentuk-bentuk dan gaya tulisan kaligrafis ke berbagai jenis variasi, antara lain: Kufi, Riq’ah, Diwani, Tsuluts, Naskhi dan lain-lain.
Di Indonesia, kaligrafi hadir sejalan dengan masuknya agama Islam melalui jalur perdagangan pada abad ke-7 M, lalu menyebar ke pelosok nusantara sekitar abad ke-12 M. Pusat-pusat kekuasaan Islam seperti di Sumatera, Jawa, Madura, Sulawesi, menjadi kawah candradimuka bagi eksistensi kaligrafi dalam perjalanannya dari pesisir/pantai merambah ke pelosok-pelosok daerah.
Pada masa permulaan Islam di Indonesia, penampilan kaligrafi atau khath dapat dikatakan kurang menonjol. Hal ini disebabkan oleh penerapan kaligrafi (dekorasi) sangat terbatas. Karya-karya arsitektur pada masa permulaan Islam seperti masjid-masjid di Banten, Cirebon, Demak dan Kudus, tidak banyak memberikan peluang yang berarti bagi penerapan kaligrafi (khath). Di samping itu, dalam fungsi dekoratifnya, kaligrafi sering dipadukan dengan motif hias tradisional, dan kadang-kadang juga dipadukan dengan aksara Jawa dalam bentuk candra sangkala (sebagai petunjuk angka tahun berdirinya suatu bangunan), sehingga kaligrafi Islam tidak dapat berdiri sendiri sebagai cabang seni rupa. Pada masa itu, sebagian besar karya kaligrafi lebih mementingkan nilai-nilai fungsional dari pada nilai estetis. Dengan kata lain, nilai-nilai keindahan tulisan itu sendiri sebagai karya seni menjadi terabaikan.
Belakangan ini tampak gejala penggarapan kaligrafi, baik secara kaidah khathiyah maupun yang ‘lebih bebas’ ke dalam lukisan. Kaligrafi murni mengalami bentuk pengungkapan baru ke dalam komposisi huruf yang diramu dengan motif dekorasi. Seperti munculnya kembali penggunaan bahan kaca sebagai medium seni lukis, karya-karya seni kaligrafi dalam berbagai bentuk wayang dan tokoh cerita dalam agama Islam dengan gaya khas Cirebon. Namun manifestasi kaligrafi Islam masih tidak beranjak dari konsepsi masa awal Islam yaitu mengisi bidang gambar yang tersedia, hanya saja keterikatan itu tidak sekuat pada masa awal Islam.
Angin baru ditiupkan oleh A. Sadali, AD. Pirous (Bandung), Amri Yahya (Yogyakarta) dan Amang Rahman (Surabaya) yang dengan kemampuan tekniknya melahirkan karya-karya seni lukis kaligrafi yang berkarakteristik. Kaligrafi yang hadir dalam karya pelukis-pelukis tersebut menjadi ekspresi yang larut dalam mediumnya. Unsur-unsur garis, bentuk, warna, tekstur, dan unsur bentuk lainya, mampu mencuatkan nilai-nilai baru dalam seni lukis kaligrafi di Indonesia sebagai kaligrafi kontemporer.
Kehadiran seni lukis kaligrafi di Yogyakarta sebagai karya “pemberontakan” terhadap kaidah-kaidah khathiyah merupakan kebangkitan kembali pada seni kaigrafi, baik pada seniman maupun penikmatnya. Eksperimen-eksperimen yang dilakukan oleh para tokoh pembaharu dalam seni lukis kaligrafi untuk menemukan cara-cara baru dalam berekspresi semangat Islami melalui tulisan indah, adalah tanda-tanda yang memberi harapan besar bagi seni Islam yang sangat dihormati ini.
Studi ini memfokuskan pembahasannya mengenai permasalahan seni lukis kaligrafi dalam perkambangannya pada penghujung abad XX, terutama yang berlangsung di Yogyakarta antara tahun 1976 sampai tahun 2000. Pengambilan batas waktu tersebut karena pada tahun 1976 merupakan awal mula munculnya ide kreatif dari seorang seniman lukis batik Indonesia, Amri Yahya, untuk menuangkan seni kaligrafi ke dalam media lukisan batik. Seperti diketahui, Yogyakarta merupakan satu di antara tiga kota yang mempelopori aliran baru dalam seni kaligrafi kontemporer Islam, yaitu seni lukis kaligrafi yang diwujudkan dalam berbagai tema, melalui pengolahan gaya-gaya lama maupun baru, dan dengan media lama maupun baru pula. Oleh karena itu banyak sekali permasalahan dalam seni lukis kaligrafi yang bisa diungkap, dari berbagai aspek dan berbagai sudut pandang, seperti: aliran dan ragam yang muncul di dalamnya, faktor-faktor yang mendasari munculnya “pemberontakan” terhadap kaidah-kaidah khathiyah dan perbedaan pandangan di kalangan senimam muslim secara umum yang terjun ke bidang seni lukis kaligrafi (tidak hanya pelukis Jogja) terhadap perkembangan seni lukis kaligrafi. Hal ini menarik untuk dikaji lebih seksama, sehingga dapat terungkap permasalahan yang muncul di dalamnya secara lengkap.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Permasalahan pokok yang dibahas dalam skripsi ini, ialah kaligrafi kontemporer di Yogyakarta dalam perkembangannya dari tahun 1976 sampai tahun 2000. Kajian mengenai kaligrafi kontemporer ini difokuskan terhadap permasalahan yang muncul dalam perkembangan seni lukis kaligrafi. Untuk penjabaran permasalahan tersebut, akan dipandu melalui perumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan seni lukis kaligrafi dan mengapa disebut kaligrafi kontermporer?
2. Bagaimana perkembangan seni lukis kaligrafi di Yogyakarta dan faktor apa yang mendasari munculnya “pemberontakan” terhadap rumus-rumus dasar kaligrafi?
3. Siapa tokoh seni lukis kaligrafi di Yogyakarta dan aliran apa yang mereka kembangkan dalam seni lukis kaligrafi?
C. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Studi perkembangan di sini bertujuan untuk memberi penjelasan tentang seni lukis kaligrafi dan mengetahui secara pasti munculnya istilah kontemporer dalam perkembangan seni kaligrafi, khususnya di Yogyakarta.
2. Mengetehui bagaimana perkembangan seni lukis kaligrafi di Yogyakarta dengan berusaha mengungkap secara jelas faktor-faktor yang mendasari munculnya “pemberontakan” terhadap kaidah khathiyah, sehingga melahirkan sebuah karya yang serba aneh dan unik, serta menghadirkan unsur kaligrafi “secara mandiri” yang dilatari unsur lain dalam kesatuan estetik dengan penampilan sebagai gaya ungkapan, media, dan teknik, seperti lukisan kaligrafi.
3. Mengetahui siapa tokoh-tokoh yang mampu mengembangkan aliran dan gaya dalam seni lukis kaligrafi di Yogyakarta.
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan di bidang seni rupa Islam, khususnya seni lukis kaligrafi.
2. Diharapkan dapat menjadi bahan acuan untuk memperkaya wacana tentang perkembangan seni rupa Islam di Indonesia khususnya Yogyakarta. Atau sekedar untuk kebutuhan apresiasi.
D. Tinjauan Pustaka
Kehadiran kaligrafi sebagai salah satu simbol budaya Islam telah mendorong para pelukis (seniman) muslim untuk mengkaji lebih lanjut, tidak hanya berkenaan dengan tulis-menulis yang indah seperti umumnya buku-buku tentang kaligrafi, akan tetapi mengubahnya ke dalam gaya tulisan bebas. Sehingga lahirlah satu kesatuan bentuk “lukisan” kaligrafi yang sesuai dengan keinginan pelukisnya.
Sepengetahuan penyusun, buku-buku yang mengkaji tentang kaligrafi hanya terpusat pada kaligrafi murni atau tradisional. Sedikit sekali yang membahas kaligrafi kontemporer, terutama seni lukis kaligrafi. Seperti buku-buku yang dapat penyusun jumpai, antara lain: “Kaligrafi Islam” oleh Yasin Hamid Safadi terjemahan Abdul Hadi W.M. Secara jelas memaparkan tentang kaligrafi secara umum dari asal-usul huruf Arab sampai pada perkembangan awal di masa khalifah Usman bin Affan tahun 651 M, dan perkembangan lanjut kaligrafi pada abad ke-13 M. Sampai memasuki awal abad ke-19 M tidak menunjukkan perubahan berarti dari rumus-rumus dasar kaligrafi, yang hingga sekarang masih menjadi standar yang baku.
Ismail Raji al-Faruqi dalam bukunya “Seni Tauhid, Esensi dan Ekspresi Estetika Islam” terjemahan Hartono Hadikusumo, membahas tentang kaligrafi kontemporer lebih berifat umum (dalam skala dunia Islam internasional). Pembahasannya pun hanya berkutat pada keberadaan kaligrafi kontemporer dan corak yang digolongkan ke dalam beberapa kategori tanpa kejelasan periodesasinya.
Buku “Seni Kaligrafi Islam” oleh D. Sirojuddin AR., pada bab XI kaligrafi kontemporer yang dijelaskan di dalamnya juga masih bersifat umum. Membahas tentang pengertian sampai pada pengaruh luar terhadap kaligrafi, yang akhirnya muncul istilah kaligrafi kontemporer. Di dalamnya juga membahas seputar keberadaan seni lukis kaligrafi dalam dunia seni rupa Islam di Indonesia.
Dalam buku “Seni Rupa Islam Pertumbuhan dan Perkembangannya” oleh Oloan Situmorang, pada bab IV juga dijelaskan secara singkat tentang penertian dan keberadaan seni lukis kaligrafi. Dari tinjauan buku-buku yang penyusun peroleh tersebut, pembahasan tentang kaligrafi kontemporer (seni lukis kaligrafi) lebih bersifat umum dan terpusat pada definisi, corak serta keberadaannya sebagai sebuah bentuk karya seni yang paling baru. Belum ada yang mengkaji sampai pada permasalahan (perbedaan pandangan) yang ditimbulkan oleh seni lukis kaligrafi. Apalagi studi tentang pekembangannya yang bersifat lokal.
E. Landasan Teori
Kaligrafi kontemporer adalah istilah atau sebutan untuk sebuah karya yang “memberontak” atau “menyimpang” dari rumus-rumus dasar kaligrafi, yang merupakan bentuk manifestasi gagasan dalam wujud visual. Secara estetika kaligrafi kontemporer mengacu kepada kaidah penciptaan seni rupa kontemporer secara umum dan secara etika bersumber kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits, yang membawa muatan artistik-apresiatif yang berfungsi sebagai tontonan (media apresiasi), di sisi lain mengandung muatan etik-religius yang berfungsi sebagai tuntunan (media dakwah).
Sering diistilahkan adanya jenis kaligrafi “murni” dan “lukisan” kaligrafi. Pertama, dimaksudkan sebagai kaligrafi yang mengikuti pola-pola kaidah yang sudah ditentukan dengan ketat, yakni bentuk yang tetap berpegang pada rumus-rumus dasar kaligrafi (khath) yang baku. Penyimpangan, ataupun percampuradukan satu dengan lainnya dipandang sebagai kesalahan, karena dasarnya tidak sesuai dengan rumus-rumus yang sudah ditetapkan. Sedang yang kedua, adalah model kaligrafi yang digoreskan pada hasil karya lukis, atau coretan kaligrafi yang “dilukis-lukis” sedemikian rupa –biasanya dengan kombinasi warna beragam, bebas dan (umumnya) tanpa mau terikat dengan rumus-rumus baku yang sudah ditentukan. Model inilah yang digolongkan ke dalam aliran kaligrafi Kontemporer.
Segala aspek yang terkait dengan perkembangan seni kaligrafi, kiranya dapat dipahami dengan pemikiran yang lebih umum tentang kebudayaan Islam. Teori tentang kebudayaan Islam secara umum juga dapat disebut dengan teori evolusi. Secara hipotesis dapat dikatakan bahwa kebudayaan Islam berkembang dari bentuk-bentuk yang sangat sederhana menjadi semakin kompleks; dari sebuah aturan lama yang telah dibakukan menuju
pada usaha “pemberontakan” dan akhirnya tercipta sebuah aturan baru. Teori evolusi berlaku dalam bidang tata-aturan hidup masyarakat dalam berkesenian karena tata-aturan ini diturunkan sesuai dengan tingkat perkembangan dan keperluan masyarakat yang senantiasa berevolusi. Dalam banyak segi, membicarakan masalah kebudayaan berarti akan mempermasalahkan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia baik sebagai manusia pribadi maupun manusia yang hidup berkelompok. Kita menyadari bahwa manusia sebagai makhluk Tuhan adalah merupakan kelompok makhluk yang memiliki kemampuan dalam hal berfikir, berkehendak dan berkemauan maupun cita-cita yang tiada batasnya. Ia yang selalu bercita-cita dengan dibarengi usaha untuk mendapatkan apa-apa yang menjadi kebutuhan hidupnya. Dapat disebut bahwa manusia itu adalah makhluk yang mempunyai aktifitas dan kreatifitas tinggi dalam usaha memenuhi segala keperluan dan kebutuhan hidupnya. Semua kemampuan ini adalah merupakan ungkapan yang terjelma dari budi dan daya manusia.
Dalam kajian keislaman, selalu saja kita terbentur pada sebuah jalan buntu ketika memasuki wilayah kajian seni Islam. Kebuntuan tersebut muncul dari ambivalensi sikap kaum muslim sendiri dalam menangani persoalan dunia seni. Di satu sisi, sebagian besar orang Islam, dapat dipastikan, akan mengatan bahwa Islam sama sekali tidak bertentangan, apalagi melarang seni. Dengan penuh semangat mereka akan menunjukkan berbagai “dalil” baik Aqliyah19: bahwa Al-Qur’an sendiri mengandung nilai artistik, historis: bahwa hingga kini tilawah Al-Qur’an dan khath atau kaligrafi tersebar luas, maupun naqliyah20: semacam Hadis yang mengatakan bahwa ‘Allah itu Indah dan menyukai keindahan’.21
Dasar-dasar pemikiran di atas dipandang cukup untuk dijadikan acuan dalam studi ini, sehingga kajiannya dapat mendeskripsikan dan menganalisis perkembangan seni lukis kaligrafi di Yogyakarta dalam kurun waktu yang telah ditetapkan. Memang banyak faktor yang menyebabkan perubahan dalam perkembangan seni kaligrafi, baik dari intern maupun ekstern, namun segala permasalahannya perlu didekati secara hitoris. Dengan pendekatan sejarah, diharapkan karya tulis ini dapat menghasilkan sebuah penjelasan yang mampu mengungkapkan gejala-gejala yang relevan dengan waktu dan tempat di mana seni lukis kaligrafi berkembang. Kemudian secara historis dapat pula diungkap kausalitas, pertumbuhan, dan beberapa pandangan yang muncul di dalamnya.
Pengkajian dan penjelasan terhadap kompleksitas gejala sejarah itu, pada gilirannya menghendaki penggunaan konsep-konsep dalam pendekatan ilmu sosial. Dalam konteks studi ini, tentu saja konsep kepribadian, masyarakat dan kebudayaan seperti yang telah dikemukakan di atas, yang menjadi perhatian.
F. Metode Penelitian
Penelitian tentang studi perkembangan ini bertujuan untuk mencapai penulisan sejarah, maka upaya merekontruksi masa lampau dari objek yang diteliti itu ditempuh melalui metode historis, yaitu suatu metode untuk memproses pengumpulan data, penafsiran gejala, peristiwa dan gagasan di masa lampau, guna menemukan generalisasi yang berguna untuk memahami situasi sekarang dan meramalkan perkembangan yang akan datang. 22
Kemudian untuk melaksanakannya diperlukan langkah atau tahap dalam peoses penelitian ini. Sedangkan langkah-langkah yang penyusun ambil adalah sebagai berikut:
1. Heuristik, yaitu suatu tahap pengumpulan data baik tetulis maupun lisan. Dalam pengumpulan data ini, penyusun menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara:
a. Studi kepustakaan, yaitu mengumpulkan data dari literatur yang penyusun dapatkan dengan cara menelaah isinya melalui buku, katalog, majalah, surat kabar yang di dalamnya memuat penjelasan tentang perkembangan seni lukis kaligrafi, khususnya di Yogyakarta.
b. Penelitian lapangan, untuk mendapatkan data yang lebih lengkap. Dalam hal ini penyusun mengadakan obsevasi dan interview, yaitu teknik pengumulan data dengan cara bertanya langsung kepada responden.23 Wawancara yang penyusun lakukan adalah wawancara bebas tanpa menggunakan susunan datar pertanyaan dan jadwal wawancara. Bentuk petanyaan dan jadwal wawancara menyesuaikan dengan kondisi para tokoh seni lukis kaligrafi serta pelukis sebagai responden, yang menggeluti dan penyusun anggap banyak tahu tentang kaligrafi kontemporer, terutama seni lukis kaligrafi dan perkembangannya guna melengkapi data tertulis. Tokoh seni lukis kaligrafi yang akan penyusun wawancarai, antara lain:
1. Amri Yahya, pelukis kelahiran Palembang, mengenyam pendidikan seni rupa di ASRI Yogyakarta, lulus sarjana tahun 1963.
2. Syaiful Adnan, pelukis kelahiran Solok, mengenyam pendidikan seni lukis di ASRI Yogyakarta (1976-1982).
2. Kritik, yaitu menguji dan menganalisis secara kritis terhadap data yang diperoleh melalui kritik ekstern dan intern. Kritik ekstern dilakukan untuk mencari keautentikan sumber. Adapun kritik intern berusaha mencari kasahihan dari informasi yang ada pada sumber tersebut. Dengan kritik inilah akan diperoleh validitas sumber sejarah.
3. Interpretasi, yaitu menafsirkan fakta yang saling berhubungan dari data yang telah teruji kebenarannya.
4. Selanjutnya memasuki tahap historiografi, yaitu merupakan langkah akhir dalam penelitian dengan menghubungkan permasalahan yang satu dengan yang lainnya sehingga menjadi rangkaian yang berarti. Historiografi ini merupakan penulisan, pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian yang penyusun lakukan. 24
G. Sistematika Pembahasan
Penyajian penelitian dalam bentuk skripsi ini mempunyai tiga bagian: awal, isi dan akhir. Bagian pertama tediri dari: Halaman sampul luar dan sampul dalam, halaman nota dinas, halaman pengesahan halaman persembahan, halaman matto, kata pengantar, dan daftar isi.
Bagian isi merupakan bagian utama yang berisi: Pendahuluan, penyajian hasil penelitian, dan kesimpulan serta saran. Bagian ini disajikan dalam lima bab. Pendahuluan menempati bab pertama sebagaimana telah dibahas, di dalamnya menguraikan beberapa hal pokok yaitu latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan kini sistematika pembahasan.
Penyajian hasil penelitian dibagi menjadi tiga bab berikutnya (bab dua, bab tiga, dan bab empat), sebagai suatu kesatuan yang tak terpisahkan satu dengan lainnya. Pada bab dua dipaparkan tentang seputar kaligrafi. Permasalahan penting yang dibahas meliputi pengertian dan asal-usul kaligrafi, kaligrafi murni dan lukisan kaligrafi, serta kaligrafi kontemporer yang menjelaskan tentang pembatasan masa kontemporer dan corak kaligrafi kontemporer. Kemudian kaitannya dengan perkembangan seni lukis kaligrafi di Yogyakarta, pada bab tiga dipaparkan tentang pertumbuhan dan perkebangannya, beberapa faktor yang mendasari munculnya “pemberontakan” terhadap kaidah khathiyah, dan pandangan seniman muslim terhadap seni lukis kaligrafi. Bab keempat membahas tentang tokoh seni lukis kaligrafi berikut biografinya, serta ragam aliran dan gaya seni lukis kaligrafi yang berkembang di Yogyakarta.
Bab berikutnya adalah kesimpulan dan saran. Kesimpulan atas keseluruhan pembahasan skripsi ini, yang diharapkan dapat menarik benang merah dari uraian pada bab-bab sebelumnya menjadi suatu rumusan yang bermakna. Rumusan kesimpulan dan saran tersebut ditulis pada bab kelima, dan sekaligus sebagai bab penutup.
Bagian akhir memuat hal-hal yang penting dan relevan dengan penelitian penyusun lakukan, yang terdiri atas daftar pustaka, lampiran-lampiran dan daftar riwayat hidup.
BAB II
SEPUTAR KALIGRAFI
A. Pengertian dan Asal-Usul Kaligrafi
Ungkapan kaligrafi diambil dari kata Latin “kalios” yang berarti indah, dan “graph” yang berarti tulisan atau aksara. Dalam bahasa Arab tulisan indah berarti “khath” sedangkan dalam bahasa Inggris disebut “calligraphy”.1 Arti seutuhnya kata kaligrafi adalah suatu ilmu yang memperkenalkan bentuk-bentuk huruf tunggal, letak-letaknya dan cara-cara penerapannya menjadi sebuah tulisan yang tersusun. Atau apa-apa yang ditulis di atas garis-garis sebagaimana menulisnya dan membentuknya mana yang tidak perlu ditulis, mengubah ejaan yang perlu diubah dan menentukan cara bagaimana untuk mengubahnya.2 Sedangkan pengertian kaligrafi menurut Situmorang3 yaitu suatu corak atau bentuk seni menulis indah dan merupakan suatu bentuk keterampilan tangan serta dipadukan dengan rasa seni yang terkandung dalam hati setiap penciptanya.
Kaligrafi merupakan seni arsitektur rohani, yang dalam proses penciptaannya melalui alat jasmani.4 Kaligrafi atau khath, dilukiskan sebagai kecantikan rasa, penasehat pikiran, senjata pengetahuan, penyimpan rahasia dan berbagai masalah kehidupan. Oleh sebagian ulama disebutkan “khat itu ibarat ruh di dalam tubuh manusia”.5
Akan tetapi yang lebih mengagumkan adalah, bahwa membaca dan “menulis” merupakan perintah Allah SWT yang pertama diwahyukan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, yang tertuang dalam al-Qur’an surat al-‘Alaq ayat 1-5, yaitu:
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajari (mausia) dengan parantaraan kalam. Dia mengajari manusia apa yang belum diketahuinya”.6
Dapat dipastikan, kalam atau pena mempunyai kaitan yang erat dengan seni kaligrafi. Dapat juga dikatakan bahwa kalam sebagai penunjang ilmu pengetahuan. Wahyu tersebut merupakan “sarana” al-Khaliq dalam rangka memberi petunjuk kepada manusia untuk membaca dan menulis.
Tentang asal-usul kaligrafi itu sendiri, banyak pendapat yang mengemukakan tentang siapa yang mula-mula menciptakan kaligrafi. Untuk mengungkap hal tersebut cerita-cerita keagamaanlah yang paling tepat dijadikan pegangan. Para pakar Arab mencatat, bahwa Nabi Adam As-lah yang pertama kali mengenal kaligrafi. Pengetahuan tersebut datang dari Allah SWT, sebagaiman firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 31:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhya…. “ 7
Di samping itu masih ada lagi cerita-cerita keagamaan lainnya, misalnya saja, banyak yang percaya bahwa bahasa atau sistem tulisan berasal dari dewa-dewa. Nama Sanskerta adalah Devanagari, yang berarti “bersangkutan dengan kota para dewa”. Perkembangan selanjutnya mengalami perubahan akibat pergeseran zaman dan perubahan watak manusia.
Akhirnya muncul tafsiran-tafsiran baru tentang asal-usul tulisan indah atau kaligrafi yang lahir dari ide “menggambar” atau “lukisan” yang dipahat atau dicoretkan pada benda-benda tertentu seperti daun, kulit, kayu, tanah, dan batu. Hanya gambar-gambar yang mengandung lambang-lambang dan perwujudan dari keadaan-keadaan tertentu yang diasosiasikan dengan bunyi ucap sajalah yang dapat diusut sebagai awal pembentukan kaligrafi. Dari situlah tercipta sistem atau aturan tertentu untuk membacanya. Demikian juga sistem tulisan primitif Mesir Kuno atau sistem yang dikembangkan oleh kelompok-kelompok masyarakat primitif.
Pada mulanya tulisan tersebut berdasarkan pada gambar-gambar.8 Kaligrafi Mesir Kuno yang disebut Hieroglyph berkembang menjadi Hieratik, yang dipergunakan oleh pendeta-pendeta Mesir untuk keperluan keagamaan. Dari huruf Hieratik muncul huruf Demotik yang dipergunakan oleh rakyat umum selama beberapa ribu tahun.9 Tulisan yang ditemukan 3200 SM di lembah Nil ini bentuknya tidak berupa kata-kata terputus seperti tulisan paku,10 tetapi disederhanakan dalam bentuk-bentuk gambar sebagai simbol-simbol pokok tulisan yang mengandung isyarat pengertian yang dimaksud. Kaligrafi bentuk inilah yang diduga sebagai cikal bakal kaligrafi Arab.
B. Kaligrafi Murni dan Lukisan Kaligrafi
Seni kaligrafi merupakan kebesaran seni Islam, yang lahir di tengah-tengah dunia arsitektur. Hal ini dapat dibuktikan pada aneka ragam hiasan kaligrafi yang memenuhi masjid-masjid dan bangunan-bangunan lainnya, yang diekspresikan dalam paduan ayat-ayat suci Al-Qur’an, Al-Hadits atau kata-kata hikmah. Demikian juga mushaf Al-Qur’an banyak ditulis dengan berbagai corak kaligrafi.
Berdasarkan eksistensi tulisan (huruf Arab) pada saat pengekspresiannya, dibedakan pengertian antara kaligrafi murni dan lukisan kaligrafi. Keduanya agak berjauhan satu sama lain. Kaligrafi murni adalah seni tulis indah yang mengikuti pola-pola kaidah yang sudah ditentukan dengan ketat, yaitu bentuk-bentuk yang tetap berpegang pada rumus-rumus dasar kaligrafi yang baku (kaidah khathiyah). Di sini dapat dibedakan dengan jelas aliran-aliran seperti Naskhi, Tsuluts, Rayhani, Diwani, Diwani Jali, Farisi, Kufi dan Riq’ah.11 Penyimpangan atau pencampuradukkan satu dengan yang lain dipandang sebagai suatu kesalahan, karena dasarya tidak cocok dengan rumus-rumus yang sudah ditetapkan.12
Jelaslah, bahwa suatu hasil karya kaligrafi tidak boleh mencampuradukkan gaya dalam penulisan kaligrafi misalnya, Naskhi, Riq’ah dan Tsuluts dijadikan satu. Hal itu tidak boleh terjadi, karena merupakan “pelanggaran”. Selanjutnya menurut Situmorang, bahwa suatu gaya kaligrafi sudah ditentukan secara ketat peraturan penulisannya. Keserasian antar huruf, cara merangkai, sentakan, bahkan jarak sepasi harus diperhitungkan dengan serasi.13 Teknik penulisan tiap-tiap kaligrafi atau khath juga mempunyai cara yang berbeda-beda.
Dewasa ini kaligrafi murni atau kaligrafi klasik telah banyak mendapat perhatian dan dikembangkan ke dalam bentuk lukisan kaligrafi (kaligrafi ekspresif atau kontemporer). Istilah “lukisan kaligrafi” biasanya digunakan untuk membedakannya dari “kaligrafi murni” atau “kaligrafi klasik” yang berpegang pada kaidah-kaidah khathiyah.14
Pengertian lukisan yaitu suatu pengucapan pengalaman artistik yang ditumpahkan dalam bidang dua dimensional dengan menggunakan warna dan garis.15 Lukisan adalah suatu bentuk ungkapan batin seseorang dari hasil suatu pengolahan ide berbakat pengalaman indrawi maupun pengalaman jiwa melalui susunan unsur-unsur estetis dengan ukuran dwi marta (dua dimensi). Ungkapan atau pernyataan batin yang juga disebut ekspresi dalam suatu karya seni, haruslah memiliki nilai kebebasan dan mengandung unsur keindahan. Tampilnya keindahan tidak selalu dalam pewujudan fisik dan visual semata-mata, tetapi dapat pula secara moral (perasaan) atau secara kedua-duanya.16 Sedangkan yang dimaksud dengan lukisan kaligrafi adalah model kaligrafi yang digoreskan pada hasil karya lukis, atau coretan kaligafi yang dilukis sedemikian rupa dengan menggunakan warna-warna yang beragam, bebas dan tidak terikat oleh rumus-rumus baku yang ditentukan.17 Menurut Situmorang, lukisan kaligrafi adalah suatu bentuk atau corak seni kaligrafi yang dieksperimenkan ke dalam bentuk lukisan yang dikombinasikan dengan warna-warna, huruf dan corak tulisannya cenderung memiliki gaya atau corak yang bebas dan lepas dari kaidah-kaidah yang telah digariskan dalam kaligrafi yang baku.18
Lukisan kaligrafi merupakan seni lukis yang menampilkan aksara Arab sebagai subject-matter (sasaran) utuh atau sebagian, atau mengambil beberapa huruf saja. Secara prinsip kaligrafi lukis (lukisan kaligrafi) berbeda dengan kaligrafi tulis (kaligrafi murni). Pada lukisan kaligrafi terdapat sejumlah kebebasan dalam berekspresi. Sedangkan dalam kaligrafi tulis, dikenal beberapa macam ketentuan pokok dan rumus-rumus baku.19 Lukisan kaligrafi secara mendasar berbeda dengan lukisan biasa. Di samping si pelukis harus memiliki niat suci dan hati bersih, pemilihan medianya pun harus benar dan tepat.
Oleh karena itu, pengertian lukisan kaligrafi Islam tidak selalu menunjukkan kepada pengembangan gaya-gaya kaligrafi (kontemporer maupun klasik baku) dalam arti huruf seperti dalam kriterium al-Faruqi.20 Fokus lukisan kaligrafi tidak hanya selesai pada huruf, tetapi kehadirannya memang sebagai “lukisan” dalam arti yang sesungguhnya, seperti yang di kemukakan pelukis kaligrafi Syaiful Adnan. Kritikus seni rupa Dan Suwaryono menandaskan bahwa lukisan kaligrafi pada dasarnya ditopang dua unsur elemen seni rupa, berupa unsur-unsur fisiko plastis (berupa bentuk, garis, warna, ruang, cahaya, dan volume) di satu pihak, dan di pihak lain tuntutan-berupa tuntunan yang cenderung ke arah idio plastis (meliputi semua masalah yang secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan isi atau cita pembahasan bentuk). Dalam ungkapan yang lebih mudah, “lukisan” kaligrafi tidak hanya menampilkan sosok huruf yang dilukis, tetapi juga sebagai sebuah lukisan utuh yang menjadikan huruf sebagai salah satu elemennya.21
Menurut Affandi, lukisan kaligrafi adalah karya cipta manusia sebagai hasil pengolahan ungkapan batinnya melalui susunan unsur-unsur tulisan dan unsur-unsur dwi marta yang lain, yang memiliki sifat-sifat simbolik, religius, dan estetik. Membawa pesan kebaikan antara hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia serta manusia dengan alam.22 Jadi, setiap lukisan kaligrafi memiliki kebebasan dalam gaya atau corak tulisan sehingga tercipta suatu kesatuan bentuk lukisan yang sesuai dengan keinginan penciptanya.
Dari pengkajian makna peristilahan tersebut dapat dikatakan: Pertama, lukisan kaligrafi bukan sekedar sebagai seni tulisan indah. Kedua, melalui kebebasan ekspresi estetik, seni tulisan indah kemudian dengan kreasi bentuk dan susunan huruf-huruf dilengkapi dengan unsur-unsur lain menjadi karya lukisan. Ketiga, lukisan merupakan bahasa dari pelukisnya. Bahasa adalah media komunikasi. Lukisan dengan unsur-unsurnya adalah merupakan wujud perlambang yang digunakan oleh pelukis untuk mengutarakan isi hatinya dengan pesan-pesannya. Keempat, lukisan kaligrafi perkembangannya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan Islami. Karena itulah lukisan kaligrafi mengekspresikan keagamaan.23
Medium untuk penciptaan karya lukisan kaligrafi sangatlah bebas, sebebas medium yang digunakan pada karya-karya lukisan umumnya. Lukisan kaligrafi dapat ditampilkan dengan teknik cat minyak, cat air, batik bahkan dengan berbagai teknik eksperimen klasik maupun modern.
Banyak sedikitnya unsur tulisan dalam karya lukisan kaligrafi tidak menjadi masalah. Yang penting adalah keterpaduan dan keselarasan dapat tercapai. Karena yang ditulis adalah ayat-ayat Al-Qur’an, yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai merubah arti dan makna ayat tersebut. Dalam penampilannya, lukisan kaligrafi dapat bercorak realis, surealis,24 dekoratif sampai yang bercorak semi abstrak.
C. Kaligrafi Kontemporer
Kaligrafi yang dikenal dalam bentuk ragamnya sekarang, mempunyai asal-usul yang cukup panjang dan berliku. Perkembangannya telah dimulai sejak berabad-abad yang lampau, dimulai dari pemerintahan Dinasti Ummayah (661-750 M) dengan pusatnya di Damaskus, Syria sampai pada pemerintahan Dinasti Abbasiyah (750-1258 M) dengan pusatnya di Bagdad, dan berlanjut lagi pada masa-masa pemerintahan Fatimiyah (969-1171 M), pemerintahan Ayyub (1771-1250 M), pemerintahan Mameluk (1250-1517 M) dengan pusatnya di Mesir, pemerintahan Usmaniah (1299-1922 M) dan pemerintahan Safavid Persia (1500-1800 M). Demikian lamanya pengembangan kaligrafi Islam berlangsung hingga mencapai kematangannya.25
Dalam perjalanannya, kaligrafi Arab yang lebih sering menjadi alat visual ayat-ayat al-Qur’an, tumbuh tertib mengikuti rumus-rumus berstandar (al-khath al-mansub) olahan Ibnu Muqlah26 yang sangat ketat. Standarisasi yang menggunakan alat ukur titik belah ketupat, alif dan lingkaran untuk mendesain huruf-huruf itu mencerminkan “etika berkaligrafi” dan kepatuhan pada “kaidah murni” aksara Arab.
Namun, belakangan muncul gerakan yang menjauhkan diri dari kebekuan ikatan-ikatan tersebut. Kreasi mutakhir yang “menyimpang” dari grammar lama ini populer dengan sebutan “kaligrafi kontemporer”, merujuk pada gaya masa kini yang penuh dinamika dan kreatifitas dalam mencipta karya yang serba aneh dan unik,27 seperti karya-karya kaligrafis yang dibuat di atas kayu, kanvas lukis, atau bahan lain yang menggambarkan beberapa ayat Al-Qur’an atau Hadits Nabi, atau karya mandiri dari seniman.
Munculnya kaligrafi kontemporer lebih dipengaruhi oleh perkembangan seni rupa Barat yang mengarah pada kebebasan dalam berkarya. Wujud yang ingin ditampilkan adalah nilai-nilai artistik baru secara tersurat dengan menafikan aturan-aturan lama (rumus-rumus dasar kaligrafi), tanpa ingin menyuguhkan makna-makna baru secara tersirat dari ayat-ayat Suci Al-Qur’an.
Ciri-ciri yang telihat dalam kaligrafi kontemporer adalah pada konsep “kebebasan” berkarya, baik karakter huruf yang ditampilkan maupun media yang digunakan. Salah satunya adalah seperti yang ingin ditampilkan dalam karya seni lukis kaligrafi.
1. Pembatasan Masa Kontemporer
Secara terminologis, kata kontemporer berarti ‘zaman sekarang’ atau ‘masa kini’.28 Kata ini menunjukan suatu periode atau suatu angakatan yang paling baru. Jika beberapa literatur menunjuk pada angka tahun ‘70-an sebagai titik awal kebangkitan agakatan seni rupa kontemporer, hal ini dapat dimaklumi dan bisa menjadi keyakinan karena sampai tahun-tahun terakhir sebelum itu, kata kontemporer tidak banyak di kenal di kalangan seni rupa.
Meskipun kaligrafi dapat dimasukkan ke bagian seni rupa, namun tidak harus mengikuti corak periodesasi seni rupa secara utuh,29 yaitu zaman kuno, zaman tengah, dan zaman modern yang masing-masing mempunyai sifat-sifat tersendiri.30 Kendatipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa gaya kaligrafi Islam “kontemporer”, “modern” atau “masa kini “ tidak lepas dari perjalanan dan bias pengaruh seni rupa modern yang merupakan fenomena konsep dan realitas di tengah-tengah lalu lintas perjalanan seni rupa di seluruh pelosok dunia.
Secara kebetulan, dalam proses perkembangannya, seni rupa modern yang awalnya tumbuh di Barat, merembet ke Timur Tengah dan bagain-bagian dunia Islam lainnya termasuk Indonesia. Adanya hubungan kuat Barat-Timur tersebut, karena tulisan yang merupakan bagian dari seni grafis berhubungan erat dengan seni-seni lain seperti menggambar, menulis, dan arsitektur. Di sini tulisan bergabung dalam satu latar kesataun unit media seperti dinding masjid atau kanvas lukis. Oleh karena itu, meskipun tumbuh independen, kenyataannya secara konstan mengikuti dan di ikuti irama seni secara kreatif.
Gejala ini muncul terutama tahun ‘70-an dan berkembang lebih beringas di tahun ‘80-an yang diikuti oleh pameran-pameran yang meluas di negara-negara Islam termasuk Indonesia. Namun, tanda-tanda dan yang mengarah pada model kaligrafi “bebas” atau “dibebaskan” ini sudah berlangsung sebelum tahun-tahun tersebut.dan tidak semata-mata dipengaruhi seni rupa Barat,31 kerena lukisan kaligrafi modern mula-mula muncul di Iraq dan Iran pada tahun 1950-an 32
2. Corak Kaligarafi Kontemporer
Kaligrafi Islam kontemporer merupakan “pemberontakan” atas kaidah-kaidah murni kaligrafi klasik. Perkembangannya sangat pesat menjejali aneka media dalam bentuk-bentuk kategori. Mazhab tersebut berusaha lepas dari kelaziman khath atau kaligrafi murni yang banyak dipegang para khathath di banyak pesantren dan perguruan Islam, seperti Naskhi, Tsuluts, Farisi ,Diwani Diwani Jali, Kufi, dan Riq’ah.33
Di antara ciri-ciri “pelanggaran” yang menunjuk pada bukti kebebasan kreatif yang menghasilkan gaya berbeda ini dapat disimpulkan dari kemungkinan-kemungkinan berikut:
1. Sepenuhnya berdiri sendiri sebagai suguhan khas pelukisnya, dengan mengabaikan sama sekali bentuk anatomi huruf khath murni. Bentuk ini merupakan eksplorasi teknik dan kebebasan ekspresi penuh sang pelukis.
2. Merupakan kombinasi antara hasil imajinasi pelukis dengan gaya murni yang populer. Pada bagain ini , karya kontemporer masih mewarisi bentuk tradisionalnya.
Gaya kontemporer juga lebih mengarah kepada kecenderungan tema, yakni karya dua dimensi atau tiga dimensi yang menghadirkan unsur kaligrafi “secara mandiri” dan dilatari unsur lain dalam kesatuan estetik dengan penampilan sebagai gaya ungkapan, media, dan teknik. Wujud nyata alam pada karya-karya dihadirkan melauli penggambaran nyata berupa pemandangan, benda-benda, dan peristiwa.34
Ciri tertentu dari gaya kaligrafi yang baru ini berbeda dari satu daerah ke daerah lain, tetapi tidak nampak perbedaan yang menonjol dari satu wilayah dalam mengembangkan seni Islam kuno tersebut. Bukan berati bahwa hasil karya para kaligrafer dewasa ini tidak memperlihatakan keragaman corak. Keragaman corak itu ada, tetapi keragaman corak itu lebih didasarkan pada variasi adaptif pengaruh dari dunia non-Islam bukan dari ciri nasional. Kalaupun harus ditetapkan kategori atas kecendrungan kaligrafi kontemporer di dunia Islam, kebanyakan gaya baru itu akan terbagi menjadi kategori-kategori berikut: Tradisional, Figural, Ekspresionis, Simbolik, dan Abstrak 35
a. Kaligrafi Tradisional
Tipe ini dihasilkan oleh para kaligrafer kontemporer muslim dalam berbagai gaya dan tulisan yang telah dikenal generasi kaligrafer terdahulu. Pemakaian kata “tradisional” menunjukan kesenian dengan tradisi khath masa lalu. Pesan-pesan yang lebih ditekankan pada pengaturan yang indah dari huruf-huruf ketimbang menapilkan lukisan kaligrafi dalam bentuk pigura alam. Meskipun demikian, terdapat juga kaligrafer tradisional yang melukis kaligrafi dalam pola dedaunan atau motif-motif bunga dan pola-pola geometris. Namun, efek keseluruhan karya kontemporer para kaligrafer tradisional adalah abstrak.
b. Kaligrafi Figural
Kaligrafi kontemporer disebut sebagai “figural” karena ia menggambungkan motif-motif figural dengan unsur-unsur kaligrafi melalui berbagai cara dan gaya. Unsur-unsur figural lazimnya terbatas pada motif-motif daun atau bunga yang dilukiskan agar lebih sesuai dengan sifat abstrak kaligrafi Islam. Figur-figur manusia atau binatang biasanya jarang ditemukan dalam naskah-naskah al-Qur’an yang ditulis secara kaligrafis, dalam dekorasi masjid atau madrasah. Tipe terakhir ini lebih banyak digunakan pada perkakas rumah tangga. Dalam tipe figural, sering terjadi “peleburan” huruf dalam seni lukis masa lalu dan kontemporer. Dalam desain seperti ini, huruf-huruf diperpanjang atau diperpendek, melebar dan menyelip, atau diperinci dengan perluasan lingkaran, tanda-tanda tambahan dan sisipan lain yang dibuat agar sesuai dengan non-kaligrafis, geometris, floral, fauna, atau sosok manusia.
c. Kaligrafi Ekspresionis
Kaligrafi ekspresionis merupakan tipe ketiga seni kaligrafi kontemporer di dumia Islam kini. Gaya ini berhubungan dengan perkembangan utama dalam estetika Barat. Meskipun para kaligrafer ekspresionis menggunakan “Perbendaharaan Kata” warisan artistik Islam, mereka jauh berpindah dari contoh “Grammar” kaligrafi asli yang sudah baku. Dalam kaligrafi ekspresionis, perlu diusahakan penyampaian pesan emosional, visual, dan respon pribadi terhadap objek-objek, orang-orang atau peristiwa yang digambarkan.
d. Kaligrafi Simbolis
Kategori keempat kaligrafi Islam kontemporer termasuk apa yang disebut kaligrafi “Simbolis” dengan memaksakan “penyatuan melalui kombinasi makna-makna”, peranan huruf-huruf sebagai penyampaian pesan dinaifkan. Bukti dari akulturasi semacam ini sangat kentara dalam desain-desain kaligrafi kontemporer yang menggunakan huruf atau kata Arab tertentu sebagai simbol suatu gagasan atau ide-ide yang kompleks. Misalnya huruf sin diasosiasikan dengan sayf (pedang) atau sikkin (pisau) yang lazimnya disandingkan bersama penggambaran objek-objek asosiasi untuk menyampaikan “pesan-pesan khususnya”. Bagi sebagian kalangan, hampir semua huruf bisa dipahami secara simbolik, meskipun tidak disetujui sebagian yang lain.
e. Kaligarafi Abstrak
Gaya kelima kaligrafi Islam kontemporer ini dijuluki “khat palsu” atau “khat kabur mutlak“ karena menunjukkan corak-corak seni yang menyamai huruf-huruf atau perkataan-perkataan tetapi tidak mengandung makna apapun yang dapat dikaitkan dengannya. Dengan menafikan makna lingustik, huruf-huruf itu hanya menjadi unsur sesuatu corak dan untuk “tujuan-tujuan” seni semata. Melalui penggunaan unsur-unsur abjad yang berubah-ubah itu, ahli-ahli kaligrafi abstrak menggunakan huruf-huruf sebagi corak, tidak sebagai unsur-unsur suatu pesan.
Keragaman corak dari beberapa kategori tersebut di atas, sama-sama ingin menghadirkan (menciptakan) sebuah karya seni sebagai wujud dari ekspresi estetika dan etika islami seorang seniman. Perbedaan yang sangat menonjol hanya terletak pada karakteristik yang berusaha ditampilkan dan media yang digunakan oleh masing-masing seniman sebagai perupayat (pelukis kaligrafi).
Seni rupa kontemporer Islam yang berkembang di Indonesia – termasuk di dalamnya seni lukis kaligrafi– memang membuat masyarakat terkejut dan menimbulkan berbagai pandangan di kalangan seniman muslim, karena kehadirannya yang tiba-tiba populer di tahun ’70-an. Padahal ia tidak muncul begitu saja, melainkan melalui pergumulan ide yang panjang,36 hingga tumbuh subur di kalangan seniman kita beberapa waktu terakhir ini, terutama sejak diadakannya pameran Seni Kaligrafi Islam pada MTQ XI di Semarang (1979) dan pameran pada Muktamar Media Masa Islam se-Dunia I di Balai Sidang Senayan Jakarta (1-3 September 1980).37
Pelopor mazhab ini adalah Ahmad Sadali dan A.D. Pirous (Bandung) diikuti oleh Amri Yahya (Yogyakarta) dan Amang Rahman (Surabaya). Ajaran-ajaran mereka dengan cepat menyebar dan diikuti para pelukis di kampus-kampus seni rupa. Di Yogyakarta, “generasi kedua” sesudah mereka antara lain, Syaiful Adnan, Hatta Hambali, Hendra Buana, Yetmon Amier, dan lain-lain dengan aneka teknik dan gayanya masing-masing.38
BAB III
SENI LUKIS KALIGRAFI DI YOGYAKARTA
A. Pertumbuhan dan Perkembangannya
Seni lukis Kaligrafi merupakan bentuk kreatifitas baru, sebagai prakarsa termuda dalam bidang kesenian Islam yang berkembang seiring dengan tumbuhnya rasa indah pada manusia dari zaman ke zaman. Dengan demikian, pada hakekatnya seni lukis kaligrafi itu merupakan suatu rasa yang hidup, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Perkembangan seni lukis kaligrafi tidak saja dilihat dari bentuk-bentuk tulisan yang indah, tetapi dapat dilihat dari dimensi kultural. Selain menampilkan tulisan-tulisan indah, juga memiliki dimensi religius bagi pencipta dan yang menikmatinya.
Akhir-akhir ini, seni lukis kaligrafi yang dimodifikasi dari keabsahannya sebagai kaligrafi murni, terlihat semakin berkembang dalam masyarakat. Banyak seniman muslim (khususnya pelukis) dengan latar belakang budaya masing-masing, berkarya seni lukis kaligrafi.
Dalam pertumbuhan dan perkembangannya, seni lukis kaligrafi selalu dihubungkan dengan rupa-rupa teknik penggarapan karya secara keseluruhan, seperti teknik batik, teknik grafis, teknik ukir kayu, teknik logam dan lain-lain dalam media dan peralatan (seperti cat minyak atau akrilik) yang beragam pula. Hasil garapan yang menggunakan huruf dengan latar belakangnya membentuk sebuah “lukisan secara utuh”, tidak hanya tulisan terpisah.
Seni lukis kaligrafi mulai tumbuh dan berkembang di Yogyakarta bersamaan dengan munculnya Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia pada tahun 1970-an. Proses pertumbuhan dan perkembangan seni lukis kaligarfi dalam seni kaligrafi kontemporer, pada dasarnya sama dengan Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia, yaitu meliputi aspek ide, kreatifitas, teknik atau bentuk, gaya atau kepribadian, dan fungsinya. Sebagai pelopornya adalah Amri Yahya (1976), kemudian diikuti oleh pelukis-pelukis lainnya seperti Syaiful Adnan (1982), Hendra Buana (1990), Hatta Hambali dan Yetmon Amier (1996), serta para alumnus perguruan seni rupa di Yogyakarta. Bahkan para pelukis dan khathath (kaligrafer) yang tidak memiliki disiplin pendidikan seni rupa pun banyak yang terjun ke “permainan” seni lukis kaligrafi gaya baru ini.
Pada tahun 1970-an, bentuk pengungkapan baru terhadap kaligrafi yang berkembang di Cirebon adalah menggarap karya-karya seni kaligrafi dalam berbagai bentuk wayang dan tokoh cerita dalam agama Islam, dengan menggunakan bahan kaca sebagai medium seni lukis.1 Sementara itu di Yogyakarta, seni lukis kaligrafi yang pertama kali muncul dan dikembangkan adalah dengan menggunakan media batik, yang dipelopori oleh pelukis batik Indonesia, Amri Yahya.
Pada perkembangannya di era ’80-an, seni lukis kaligrafi dalam media batik menjadi karya yang semakin langka, karena deretan pejuang dalam seni lukis batik sudah banyak yang berguguran. Hanya Amri Yahya yang masih kelihatan tegar dalam keyakinannya.
Di samping itu, yang menjadikan karya seni lukis kaligrafi dalam media batik semakin langka, karena penggabungan antara bentuk kaligrafi dengan goresan-goresan ekspresif serta unsur-unsur kebentukan lainnya di dalam media batik, bukanlah pekerjaan yang mudah. Penyebabnya karena:
1. Sulitnya pembuatan lukisan dengan menggunakan teknik batik.
2. Sulitnya memadukan komposisi unsur-unsur kebentukan dengan karakter kaligrafi dalam media batik.
3. Sulitnya dalam hal mengontrol akurasi warna, sesuai dengan warna yang dikehendaki.
Solusinya harus menggunakan konsep yang jelas dan matang, ditunjang oleh kemampuan teknik yang memadai, serta didukung oleh pengalaman dan cita rasa artistik.2 Karena teknik pembuatannya yang lumayan sulit, cenderung membuat seorang seniman merasa bosan untuk menggunakan teknik batik sebagai media lukis kaligrafi, kecuali mereka yang dengan pemahaman dan kecintaan mendalam akan teknik itu.
Perkembangan selanjutnya, pada tahun 1982 muncul gaya baru dalam perjalanan seni lukis kaligrafi, yang oleh sebagian kalangan seniman muslim gaya baru tersebut disebut dengan gaya “Syaifuli”, yaitu aliran atau gaya yang berafiliasi kepada nama penciptanya, Syaiful Adnan, sebagai “generasi kedua” setelah Amri Yahya.3
Seni lukis kaligrafi gaya “Syaifuli”, tidak terikat oleh kaidah-kaidah khathiyah. Kebebasannya merupakan proses pencarian jati diri (karakter) bagi penciptanya sebagai seorang seniman.
“Kaligrafi saya adalah aliran saya sendiri, dan tidak mengikuti satupun dari ke-delapan aliran baku. Bahkan banyak ahli kaligrafi mengklaim karya kaligrafi saya bukan kaligrafi Islam. Hal itu karena penyimpangan dari kaidah-kaidah baku. Tanggapan tersebut bisa jadi karena mereka lupa, bahwa lahirnya ke-delapan aliran baku tersebut berawal dari proses kreatif seorang seniman. Seniman tersebut masing-masing menpunyai ciri khas sendiri yang karena hasil karyanya dinilai sangat bagus maka dikukuhkan menjadi sebuah gaya atau aliran. Dan kalau saya tidak menempatkan diri sebagai pengikutnya maka hal itu bukan suatu kesalahan”.4
Kehadiran gaya “Syaifuli” merupakan usaha untuk mencapai nilai-nilai baru seni lukis kaligrafi yang bernafaskan keindonesiaan. Dalam arti proses penciptaannya mengolah kaligrafi Arab dalam iklim dan bahasa estetik seni rupa Indonesia.5 Dengan corak yang khas ini, membuat seni lukis kaligrafi semakin diakui keberadaanya sebagai perwujudan kesadaran baru mengenai identitas etnik, nasional dan religius di kalangan seniman muslim Yogyakarta dan umat Islam di Indonesia pada umumya.
Generasi selanjutnya yang dikenal sebagai pengembang seni lukis kaligrafi sekitar tahun 1990-an, di antaranya Hendra Buana, Hatta Hambali, dan Yetmon Amier. Mereka mengembangkan seni lukis kaligrafi dengan gaya dan tekniknya masing-masing. Memasuki awal tahun 2000, tidak nampak sosok seniman yang bisa dikatakan sebagai “generasi ketiga” (setelah Syaiful, Hendra, Hatta dan Yetmon), karena tidak terlihat karakteristik dari seniman yang mencoba terjun ke dalam seni lukis kaligrafi.
Pada kenyataannya, pertumbuhan dan perkembangan seni lukis kaligrafi di Yogyakarta umumnya masih terikat pada gaya menulis kaligrafi ‘bebas’ atau ‘dibebaskan’. Hal ini disebabkan karena pengetahuan seniman muslim (pelukis) yang mengembangkan seni lukis kaligrafi kurang menguasai model tulisan yang sesuai dengan kaidah-kaidah khathiyah. Sering dijumpai corak tulisan yang digoreskan pada medium lukisannya hanya berupa bentuk tulisan rekaan saja.
Sifatnya yang ekspresif (mengandung banyak arti) dan mempunyai gaya pribadi (karakteristik) yang sudah tidak semata-mata menganut pada patokan yang baku (kaidah-kaidah khathiyah), menjadikan seni lukis kaligrafi sebagai sebuah karya kontemporer (modern).
B. Faktor yang Mendasari Munculnya “Pemberontakan” terhadap Kaidah Khathiyah
Seorang senimam (pelukis) mempunyai cara sendiri-sendiri dalam menuangkan ide karya seninya. Karena kegelisahannya, mereka mengadakan semacam “pemberontakan” terhadap keyakinan yang pernah dianutnya. Bahkan ada yang mengadakan “pemberontakan” tehadap keyakinan yang sama sekali belum mereka anut. Perasaan terbelenggu itu dirasakan karena kaidah-kaidah khathiyah sangat memenjaranya. Mereka harus menuangkan ide karya seninya dengan aturan-aturan yang mengikat, bahkan merupakan kesalahan besar bagi yang mencampuradukkan kaidah-kaidah tersebut, apalagi mengubahnya.
Melihat kenyataan tersebut, bahwa kaidah-kaidah khathiyah bagi sebagian kalangan seniman (terutama pelukis) hanya merupakan suatu “penjara” atau “belenggu” saja. Mereka menuntut kebebasan!, mereka ingin bebas dari ikatan-ikatan atau aturan-aturan yang “mengikat”nya.
Tidak salah, apabila dengan semangat dan motivasi kuat –dalam melakukan perburuan gaya-gaya seni kaligrafi— untuk mengembangkan seni budaya Islam, mereka berusaha membebaskan diri dari kebekuan yang mengungkung kebebasan mereka dalam berimajinasi. Sebagaimana yang diungkapkan Harsojo6 bahwa karya seni itu bersumber pada dua hal yaitu: pertama peningkatan teknik, dan kedua ekspresi emosi dan pikiran. Makin energik suatu bentuk itu dikuasai dari gerakan yang tidak terkoordinasi, makin tinggilah nilai keindahan dan nilai seninya.
Terseretnya khath (kaligrafi Arab) ke dalam arus perubahan yang dramatis ini dikarenakan alphabetnya sangat toleran dijadikan (dan selalu mencakup) “ekspresi segala sesuatu”. Sementara itu, sejarah kaligrafi sendiri sebenarnya adalah sejarah penemuan dan perburuan gaya-gaya. Oleh Habibullah Fada’ili7 disebutkan bahwa setiap gaya kaligrafi tunduk sepenuhnya terhadap eksperimen dan modifikasi selama bertahun-tahun bahkan berkurun-kurun, sampai terbentuknya pola yang benar-benar sempurna.
Ada beberapa faktor yang mendasari munculnya “pemberontakan” (pembebasan atau pembaharuan) terhadap kaidah-kaidah khathiyah, di antaranya adalah munculnya gejala elit seniman muslim yang datang dari perguruan tinggi seni di Yogyakarta atau seniman terkenal pada pertengahan tahun 1970-an, yang mengkhususkan diri pada karya kaligrafi.8
Sebagai pelaku seni, mereka selalu mendambakan “kemungkinan berkarya”, dalam arti mengharapkan keragaman gaya dalam seni kaligrafi. Dengan kata lain, menghujani seni kaligrafi dengan kemungkinan-kemungkinan baru dan mengakui semua kemungkinan tanpa batas sebagai pencerminan sikap “mencari” kebebasan berimajinasi.9
Senjata paling ampuh yang sangat dibangga-banggakan seniman adalah apa yang disebut “imajinasi”.10 Kebebasan berimajinasi dalam proses penciptaan. Seniman menuntut kebebasan berimajinasi dalam mencipta (berkarya). Itulah suara lantang yang selalu dikumandangkan di mana-mana sebagai suatu manifestasi seni yang menandai setiap karyanya.11
Semua itu bias terjadi, berawal dari ketidakpuasan terhadap sesuatu yang sedang digeluti atau ditekuninya. Seperti yang dialami oleh Syaiful Adnan.12 Ketidakpuasannya tentang kaligrafi yang ditekuninya dari tahun 1977, justru memberinya keluasan atau kebebasan sesuai dengan keinginannya. Dengan selalu mengadakan eksperimen tentang karakter huruf Arab, maka dari hasil keuletannya, ia menemukan karakter huruf yang mantap dan konsisten. Oleh sebagian pengamat seni disebut sebagai gaya “Syaifuli”.
Ada pun faktor lain yang mendasari munculnya “pemberontakan” terhadap kaidah-kaidah khathiyah tersebut, adalah berkembang pesatnya seni rupa kontemporer Barat, yang juga dibarengi dengan munculnya “Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia”. Terutama semenjak tahun ’70-an, pengaruh pemikiran dan orientasi Barat sangat dominan, sehingga memberikan gaya baru pada sosok kaligrafi kontemporer Islam.13
Beberapa langkah gebrakan baru dalam “Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia” yang menjadi faktor mempengaruhi munculnya “pemberontakan” terhadap kaidah-kaidah khathiyah, seperti:
1. Membuang sejauh mungkin sikap “spesialis” dalam seni rupa yang cenderung membangun “bahasa elitis” yang menjadikan maksud si seniman tidak dapat dipahami oleh masyarakat yang lebih menilainya sebagai bagian yang mengandung misteri. Sebagai gantinya, timbul anggapan bahwa kekayaan ide atau gagasan lebih utama dari pada keterampilan “master” dalam menggarap elemen-elemen bentuk.
2. Mencita-citakan perkembangan seni rupa Indonesia dengan jalan mengutamakan pengetahuan yang didasari oleh tulisan dan teori orang Indonesia.
3. Mencita-citakan seni rupa yang lebih hidup, dalam arti kehadirannya tidak diragukan, wajar berguna, dan hidup meluas di kalangan masyarakat.14
Contoh kecil adalah lahirnya lukisan-lukisan abstrak kaligrafis yang dikembangkan oleh Hendra Buana,15 sebagai gerak perkembangan yang berani dan dinamis di tengah kancah seni lukis kontemporer Indonesia. Hendra Buana berusaha menggali kekayaan budaya Islam dengan mengangkat seni kaligrafi. Kendati bentuk-bentuk khat dalam karyanya lebih disesuaikan dengan bahasa bentuk lukisannya dari pada kelayakan gaya atau khat baku.
Kecenderungan yang kuat dan menonjol, ialah kecenderungan kembali ke akar tradisi dan sumber cipta karya seni yang paling dalam. Ada dua hal kecenderungan, yaitu:
1. Para seniman berusaha menggali sumber ilham karyanya dari perbendaharaan estetik yang telah ada dalam sejarah kebudayaan bangsanya.
2. Dalam budaya bangsa Indonesia, seni berperan bukan hanya untuk mengungkapkan kenyataan sosial, tetapi juga mengekspresikan nilai-nilai religius, spiritual dan transendental.
Tugas seorang seniman ialah menyajikan secara estetis keindahan yang dapat ditangkap dari alam bentuk atau kehidupan nyata. Seni adalah tiruan kreatif (mimesis) terhadap kenyataan yang dihadirkan objek-objek di alam rupa atau peristiwa-peristiwa. Sarana yang digunakan untuk menangkap keindahan adalah pencerapan indera, daya bayang (imajinasi) dan akal.16
Seni lukis kaligrafi tidak akan menyuguhkan makna-makna baru secara idio plastis (tersirat) dari ayat-ayat Suci Al-Qur’an, walaupun bertolak dari suatu imaji simbolis tradisional yang memiliki arti klasik dan maha benar, serta fungsi sosial budaya tersendiri. Juga tidak bertujuan untuk berkompetisi dengan imajinasi simbolis dari suatu tradisi yang telah berakar dalam masyarakat Islam. Tetapi ingin menyuguhkan nilai-nilai artistik baru yang dituangkan ke dalam media lukisan dan sekaligus memperkaya imajinya secara fisiko plastis (tersurat) kaligrafi Islam. Adapun hasil dari seni lukis kaligrafi bukan lafal-lafal Al-Qur’an yang mudah dibaca atau tulisan yang hanya selesai pada tulisan, melainkan suatu penyatuan unsur-unsur fisiko plastis dengan idio plastis sebagai cita rasa bentuk kaligrafi Islam yang dijiwai oleh firman Ilahi.17
Sebagai karya “pemberontakan”, seni lukis kaligrafi mempunyai ‘tugas tambahan’ yakni menjalankan fungsinya sebagai sarana untuk berdakwah. Sebagai media dakwah, dalam karya seni lukis kaligrafi tidak hanya ditekankan kepada saratnya muatan-muatan dakwah yang ada di dalam karya-karya tersebut, akan tetapi perlu juga ditopang oleh pengolahan artistik yang memadai (baca: mempunyai nilai artistik). Hal ini disebabkan karena betapapun saratnya muatan dakwah yang ada dalam karya seni lukis kaligrafi tersebut apabila tidak diikuti oleh kaidah-kaidah seni lukis agar artistik dan menarik, maka karya tersebut tidak akan menarik perhatian (menggugah) apresian. Akibatnya muatan dakwah yang terdapat dalam karya tersebut tidak akan sampai kepada apresian.
C. Pandangan Sebagian Seniman Muslim terhadap Seni Lukis Kaligrafi
Munculnya “pemberontakan” terhadap kaidah-kaidah khathiyah merupakan salah satu fakta sejarah yang tidak bisa dilepaskan dari adanya “Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia”. Karya seni lukis kaligrafi yang ditampilkan oleh “pemberontakan” tersebut, mengundang berbagai pandangan di kalangan para seniman muslim (pelukis). Ini hal yang wajar, karena setiap yang baru mesti tidak sama dengan yang sudah ada sebelumnya, bahkan bisa bertentangan dan kadang kala bisa memancing perdebatan yang cukup sengit.
Munculnya pebedaan pandangan terhadap perkembangan seni lukis kaligrafi, salah satunya disebabkan karena masih belum terdapat kesamaan persepsi terhadap seni rupa Islam, baik dari kalangan cendikiawan, maupun para ulama. Kesalahan persepsi yang sangat mendasar adalah masih adanya sebagian besar masyarakat muslim yang selalu mengartikan kaligrafi atau tulisan Arab sebagai ayat Suci Al-Qur’an, dan adanya perbedaan prinsip (yang sebenanya tidak mendasar) antara khathath dan pelukis kaligrafi. Di satu pihak, pelukis kaligrafi menghendaki kebebasan berimajinasi dalam berkarya, dengan alasan bahwa sebuah karya seni itu berawal dari proses kreatif seorang seniman. Sementara di pihak lain khathath atau kaligrafer mengklaim bahwa karya yang diciptakan oleh pelukis kaligrafi, bukanlah kaligrafi Islam, dengan alasan karena tidak mengikuti kaidah-kaidah khathiyah.
Disadari atau tidak, seiring dengan perjalanan kehidupan manusia, seni berlaku sejak masa pra-sejarah sampai zaman modern sekarang ini. Goresan-goresan tua di batu cadas, lukisan di gua-gua, nyanyian primitif, mantera-mantera, peralatan rumah tangga sampai hiasan makam, telah menunjukkan pada kita tentang usia kesenian. Pasti mengalami perubahan dan perkembangan.
Mempermasalahkan tentang seni, pada intinya sama juga dengan mempermasalahkan tentang hidup, karena tidak dapat dipungkiri bahwa seni mempunyai peran dan termasuk dalam sendi-sendi kehidupan, seperti yang terlihat dalam setiap aktivitas manusia, baik bersifat individual maupun sosial.
Apabila seni dikaitkan dengan kehidupan keagamaan (keyakinan), secara faktual akan terlihat. Masyarakat akan berusaha mengaktualisasikan keyakinan keagamaannya melalui simbol-simbol yang representatif. Dalam bidang seni rupa, simbol-simbol ini secara visual merupakan representasi karakteristik. Sebagai contoh, orang Islam akan memajang lukisan kaligrafi, atau ia akan melukis sendiri kaligrafi itu, jika ia seorang seniman.
Seni yang Islami pada prinsipnya harus berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Seni yang Islami adalah seni yang menunjukkan atau mengajak agar orang sadar bahwa ia beragama Islam. Sadar akan tanggung jawabnya sebagai orang Islam, dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam berkeseniannya. Karena dalam setiap manifestasinya berdasarkan kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits, maka setiap seni rupa Islam dapat digunakan sebagai media untuk berdakwah, yakni menyampaikan kandungan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits kepada setiap orang, khususnya umat Islam.
Di samping itu, Islam telah mengatur jalan dan periaku hidup manusia baik untuk kehidupan duniawi maupun kehidupan akhirat. Islam memberi kedudukan yang berharga terhadap kesenian. Penghargaan tersebut melahirkan sikap yang kemudian diintegrasikan ke dalam suatu tuntutan bagi pemeluknya. Sejarah telah membuktikan bahwa berbagai kesenian telah berkembang sampai pada puncak keemasannya di masa dahulu.18
Dari uraian di atas jelaslah bahwa dalam berkesenian (seni lukis kaligrafi) tidak semata-mata merupakan kegiatan jasmani manusia saja, melainkan disertai dengan kegiatan rohani atau aktifitas jiwanya. Kalau seseorang melukis hanya dengan tangannya saja dan tidak disertai dengan kegiatan rohaninya, maka hasilnya belum dapat disebut seni. Kedua batasan tentang kesenian tersebut di atas memandang kesenian dari segi karya seni dan dari sisi seniman selaku kreator, serta dari apresian selaku penikmat seni.
Dalam hal ini, dapat dikatakan terjadi proses pengalihan perasaan dari seorang seniman melalui karyanya kepada apresian yang dapat berupa gagasan, nilai, atau pesan. Pengalihan perasaan itu dapat terjadi karena adanya penginderaan sebagai faktor estetika dengan imajinasi yang bersumber dalam hati sebagai titik tumpunya.19 Dalam al-Qur’an surat an-Nahl ayat 78 dijelaskan sebagai berikut:
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu sedang kamu tidak mengetahui sesuatu dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, pengelihatan dan hati supaya kamu bersyukur”.20
Setiap teori kesenian selalu bertolak dari asumsi bahwa secara moral, semua manusia memberikan reaksi terhadap bentuk, yang dihadapinya. Didukung oleh pengalaman dan pendidikannya, manusia akan melahirkan kesan dalam jiwanya. Mengekspresikan dengan baik adalah tugas dan tanggung jawab seniman yang memungkinkan berkaya seni, baik musik, seni rupa, sastra, drama maupun film, mejadi karya seni yang benar-benar bermakna. Karya seni tersebut dapat berperan sebagai media komunikasi rohani antar seniman dengan orang lain atau apresian.
Sebuah kesalahan besar jika kehadiran seni lukis kaligrafi dianggap sebagai aliran yang menyalahi peraturan (rumus-rumus dasar kaligrafi), bahkan diklaim sebagai hasil karya yang tidak mencerminkan kaligrafi Islam. Kenyataannya, siapa pun boleh punya pandangan yang berbeda (sekalipun di kalangan pelukis itu sendiri) terhadap seni lukis kaligrafi (baik maupun buruk/setuju atau tidak), tetapi yang harus disadari bahwa hadirnya seni lukis kaligrafi merupakan bukti adanya perkembangan positif dalam belantika seni rupa Islam di Indonesia, khususnya Yogyakarta sebagai salah satu pusat seni dan budaya.
Pandangan yang mengatakan bahwa seni lukis kaligrafi belum layak dikatakan sebagai seni lukis, terlontar dari beberapa kalangan seniman muslim, di antaranya Ahmad Sadali dan AD. Pirous (Bandung) pelopor seni lukis kaligrafi. Mereka lebih setuju kalau lukisan kaligrafi itu disebut sebagai graffiti; sebuah coretan berbentuk huruf dengan keserasian warna.21 Bukan sebagai seni lukis.
Berbeda jauh dengan pandangan Affandi (Yogyakarta), seni lukis kaligrafi sebagai kaya lukis menggambarkan ekspresi individual yang karakteristik, meskipun dalam menampilkan tulisan hurufnya dapat saja menggunakan huruf yang sejenis. Huruf dalam karya ini sebagai penbentuk karya lukisan. Dengan gaya dan coraknya masing-masing meskipun tema dan petikan kalimatnya sama, setiap pelukis dapat tampil beda dalam karyanya. Dengan kebebasan ekspresinya, seni lukis kaligrafi tampil dengan ramuan unsur-unsur yang sangat bervariasi, baik unsur pokok maupun unsur pelengkapnya. Tampilnya huruf bukan satu-satunya unsur dalam seni lukis kaligrafi, meskipun unsur huruf mutlak harus ada. Dalam seni lukis kaligrafi seniman bukan hanya membuat tulisan indah, tetapi tulisan indah menjadi unsur mutlak yang diaransemen dalam suatu karya.22
Sementara pandangan Amri Yahya, seni lukis kaligrafi harus berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Implementasinya, setiap penuangan kaligrafi ke dalam wujud seni lukis harus bersumber kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Manifestasi kaligrafi dalam seni lukis tidak harus terikat pada kaidah-kaidah khathiyah. Karena sebagai pelukis (bukan penulis khath/khathath) yang ingin melukis kaligrafi bersumber kepada Al-Qur’an, boleh saja tidak mengikuti kaidah seperti Tsuluts, Kufi, Diwani, dan lain-lain.23 Namun dalam perencanaannya harus berhubungan dengan orang-orang yang berkompeten (ulama, ahli kaligrafi), terutama yang berkaitan dengan tata bahasa dan tata tulis yang benar. Tujuannya untuk menghindari kesalahan diri, terhadap kesalahan-kesalahan fatal yang mungkin terjadi pada saat penuangan ayat-ayat Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Karena seni lukis kaligrafi bukan hanya berfungsi sebagai sarana komunikasi dengan apresian, akan tetapi lebih jauh lagi berfungsi sebagai sarana untuk berdakwah kepada setiap umat (hablun min al-nas). Di samping itu penciptaan seni lukis kaligrafi merupakan manifestasi totalitas pengabdian kepada Allah SWT (hablun min Allah).24
Pandangan yang hampir senada juga diungkapkan oleh Syaiful Adnan. Dalam pandangannya, Seni lukis kaligrafi tidak sekedar menggeluti keindahan artistik semata-mata, melainkan juga menyusupkan pesan dan memberi motivasi kepada penikmat (apresian) agar lebih mengenal kapada Allah SWT. Seni lukis kaligrafi bukan saja menampilakan tulisan yang selesai pada tulisan saja, melainkan pernyataan antara idio plastis dan fisiko plastis yang mengandung nilai-nilai estetik yang religius, dengan bertitik tolak dari Al-Qur’an untuk mencari nilai-nilai baru dalam seni kaligrafi.25 Tak heran jika Syaiful Adnan kurang “senang” kalau seni lukis kaligrafi disejajarkan dengan lukisan biasa secara l’art pour l’art (seni untuk seni) apalagi perilaku beberapa pelukisnya agak urakan. Seni lukis kaligrafi yang berisikan penuangan ayat-ayat Suci Al-Qur’an, hendaknya tetap disucikan sebagi penjelmaan firman Allah SWT. Bukan sekedar pencuci mata, sementara beberapa perangkat huruf, titik, harakatnya ada yang tidak terbaca.26
Berbagai macam pandangan terhadap seni lukis kaligrafi muncul. Namun demikian, seni lukis kaligrafi merupakan sebuah karya adiluhung. Secara estetika sebuah karya lukis kaligrafi mengacu kepada kaidah penciptaan seni rupa modern (kontemporer) secara umum dan secara etika penciptaannya bersumber kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Nilai lebihnya mengandung muatan etik-religius yang berfungsi sebagai media dakwah (tuntunan). Tidak sembarang orang dapat menghayati dalam penciptaannya, itulah mengapa kehadiran seni lukis kaligrafi tidak bisa dipandang sebelah mata (rendah), apalagi jika disejajarkan dengan karya seni lukis pada umumnya.
Demikian pandangan dari beberapa seniman muslim tentang seni lukis kaligrafi, dengan alasannya masing-masing ada sebagian yang mempunyai pandangan, bahwa hasil karya seni yang satu ini bukanlah karya seni lukis. Apa pun namanya itu, umumnya mereka (seniman muslim) lebih setuju tetap dibilang sebagai pelukis bukan kaligrafer, sebab yang ditampilkannya pun adalah lukisan bukan huruf-huruf murni, sehingga karya mereka lebih cenderung sebagai karya seni lukis yang diperkaya oleh unsur-unsur kaligrafi. Titik tolak karya ini adalah lukisan bukan huruf. Torehan huruf yang ada dalam bidang lukisannya telah terpadu dengan struktur bentuk secara keseluruhan, yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Karya-karya mereka tidak sekedar menempelkan huruf pada lukisan. Bidang, warna, garis, tekstur dan huruf Arab menyatu dan membentuk karya lukis.27
Akhirnya, dari berbagai pandangan, tanggapan dan reaksi yang diungkapkan oleh beberapa seniman muslim tersebut, kehadiran seni lukis kaligrafi dianggap oleh para khathath (kaligrafer) membawa banyak hikmah. Hikmah tersebut antara lain: Menimbulkan kesadaran akan kelemahan para khathath sendiri, kekurangan wawasan tentang teknik, kurangnya mengenal ragam media dan kekurangan yang paling menonjol adalah kelemahan tentang bahasa rupa yang ternyata lebih dimiliki oleh para pelukis.
BAB IV
TOKOH DAN ALIRAN SENI LUKIS KALIGRAFI DI YOGYAKARTA
A. Tokoh Seni Lukis Kaligrafi
Ada beberapa tokoh dalam perkambangan seni lukis kaligrafi di Yogyakarta. Di antaranya yang menjadi pelopor seni lukis kaligrafi adalah Amri Yahya dengan karya seni lukis kaligrafinya di atas media batik, dan Syaiful Adnan dengan aliran atau gaya “Syaifuli”nya, sebagai “generasi kedua” setelah Amri, kemudian diikuti oleh pelukis-pelukis lain seperti Hendra Buana, Hatta Hambali, Yemon Amier dan yang lainya.
Amri Yahya, lahir di Palembang, Sumatera Selatan pada tanggal 29
September 1939. Pendidikan seni rupa didapatkan di Yogyakarta. Tahun 1963 lulus sarjana seni rupa di ASRI (sekarang ISI) Yogyakarta dan tahun 1971 lulus sarjana IKIP (sekarang UNY) Yogyakarta. Pada tahun 1978-1979, ia mempelajari keramik dinding di Den Haag Belanda. Sejak tahun 1967 ia aktif mengajar seni rupa di beberapa perguruan tinggi di Yogyakarta maupun luar negeri, terakhir di University of Iowa.
Sejak tahun 1957, sudah giat melakukan pameran. Dimulai di Australia (1957), keliling Asia-Eropa (1962), New York (1964). Selanjutnya ia melakukan pameran keliling lima benua, antara lain: Michigan, San Fransisco, Washington DC, Oklahoma, Iowa City, Santa Barbara,California, Los Angeles, Melbourne, Sidney, Koln, Munich, London, Kopenhagen, Rabe
Denmark), Rijswik, Rotterdam, Den Haag, Paris, Kairo, Damascus, Bagdad, Jeddah, Riyadh, Kuwait, Abu Dhabi, Dubai, Al Ain (UEA), Brunei Darussalam, Malaysia, Bangkok, (melukis, ia sering menjadi juri di berbagai kompetisi seni rupa yang diselanggarakan di dalam maupun luar negeri.
Sebagai pelukis kaligrafi yang menuangkan ekspresi kaligrafinya ke dalam media batik, secara umum konsep penciptaan kaligrafi dalam seni lukis batiknya tidak didasarkan pada konsep yang khas, kecuali menuangkan ekspresi seperti menulis biasa dan tidak melanggar norma-norma atau tuntunan Islam.
Secara idiologis, konsepsi penciptaan kaligrafi dalam seni lukis batiknya, dilandasi oleh rasa sadarnya sebagai hamba Allah. Oleh karena itu ia selalu berusaha mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah. Baik di saat merenung, menikmati alam dan melukis. Secara visual, kaligrafi merupakan salah satu sasaran (subject-matter) yang mudah dipahami. Di samping sebagai hamba Allah yang tidak boleh dan tidak sanggup melukis-Nya. Kaligrafi yang dituangkan di atas kanvas adalah simbol-simbol betapa Maha Besarnya Allah yang telah menciptakan objek sasaran sang hamba yang bernama pelukis. Namun demikian, dalam melukis tidak boleh lepas dari pegangan utamanya Al-Qur’an dan sunnah Rasul. Kalau tidak lepas dari keduanya dalam berkarya Seoul, Tokyo dan Singapura. Selain
, maka karyanya adalah Islami.1
Secara psikologi, pengaruh yang ditimbulkan dari penggunaan kaligrafi sebagai subject-matter dalam seni lukis batiknya dijelaskan, bahwa melukis dengan subject-matter kaligrafi yang bersumber kapada Al-Qur’an maupun Al-Hadits akan lebih mudah dirasakan dekatnya Allah di dalam pikiran dan perasaan. Karena dengan pengaruh Al-Qur’an dan kandungan
isinya, serta dengan menghayati Al-Hadis, akan terasa lebih mudah mengikuti sunnah Rasul tersebut. Di samping itu, faktor gangguan di alam terbuka atau model lainya tidak terjadi ketika melukis kaligrafi (kecuali syetan). Terlebih lagi apabila membaca wahyu Ilahi dan sunnah Rasul itu ditengah malam setelah shalat tahajud.2
Keahliannya dalam seni batik dan kaligrafi diperolehnya secara otodidak, di samping banyak belajar dari sesama sniman dan masyarakat inspirasi kaligrafinya dalam media batik diperoleh dari berbagai sumber, yang merupakan implementasi dari kata “Iqra’”.
“Saya yakin bahwa “Iqra’” itu bukan saja membaca al-Qur’an, tetapi juga membaca alam semesta. Siapa yang peka dalam membaca isi alam semesta ini, ialah bangsa atau pribadi yang dapat menguasai alam semesta ini dalam arti menurut kadar kemampuannya. Inspirasi lain timbul karena saya sering melihat kaligrafi-kaligrafi yang ada di bumi Indonesia, maupun belahan bumi lainnya seperti Cina, Jepang, India dan Thailand. Tampaknya kaligrafi ini mempunyai ciri khas. Tetapi lebih khas lagi atau lebih menarik bagi saya adalah kaligrafi Islami. Saya ingin menggabungkan kaligrafi Arab dengan goresan-goresan saya. Saya ingin menampilkan lukisan kaligrafi dalam media batik”.3
Sebelum berkiprah dalam seni lukis kaligrafi, Amri Yahya dikenal sebagai salah satu pelopor dalam seni lukis batik (pada era ’70-an). Amri adalah salah satu pionir dan inovator di dunia seni lukis batik modern Indonesia. Karya-karyanya menyiratkan suasana cerah dengan nafas kegembiraan. Dalam lukisannya Amri selalu menggunakan unsur-unsur tradisional dalam bahasa seni rupa kontemporer Indonesia.
Aktivitasnya di bidang seni sangat komprehensif. Salah satunya berwujud pameran seni rupa (seni lukis), baik dilakukan secara bersama maupun tunggal, dalam maupun luar negeri (lima benua). Berangkat dari kebosanan dengan tema-tema abstrak dan lebak yang biasa digelutinya, ia berusaha menuangkan ekspresi kaligrafi ke dalam seni lukis batiknya.
“Saya tetap beranggapan, bahwa batik milik Indonesia, bukan milik Belanda, Cina, Malaysia, dan India. Seperti yang dikatakan Brandes, Kuncoroningrat, maupun Prof. Dr. Soekmono, yang mengatakan bahwa batik, 200 tahun yang lalu telah aktif di bumi nusantara. Salah satu di antara sepuluh kehebatan orang nusantara adalah batik. Tiga lainnya yang saya hafal adalah gamelan, wayang, dan makanan”.4
Pada tahun 1976, Amri Yahya menetapkan diri untuk menekuni kaligrafi, khususnya dalam seni lukis batik. Sebagai pelukis muslim, ia senantiasa menghadirkan karya seni yang sarat dengan nilai-nilai agama, yang mampu mengantarkan pemikatnya (apresian) untuk selalu megingat Tuhan.
Kiprah Amri Yahya dalam proses melukis mengalir seperti air. Begitu pula ketika pilihannya jatuh pada seni lukis kaligrafi. Bersama kawan seprofesinya AD. Pirous dan Ahmad Sadali dari Bandung, ia bangkit di tengah gejolak seni rupa kontemporer Indonesia yang dipengaruhi oleh perkembangan seni rupa Barat, dengan menekuni kaligrafi. Meskipun pada awalnya ia tidak begitu mengerti tentang kaidah khathiyah (rumus dasar kaligrafi), tetapi dengan keinginannya yang karas ia terus belajar dan bertanya kepada orang yang mengkritik lukisan kaligrafinya.5
Nilai-nilai keagamaan yang tertaman semasa Amri masih kecil, pengalaman hidup yang sarat akan nuansa keislaman, tumbuh menjadi semangat hidup dan optimisme seiring dengan aktivitas berkeseniannya. Hal ini terlihat dari berbagai upaya untuk selalu menjadi pelopor dalam hal pengembangan di bidang seni (seni lukis kaligrafi).6
Seni lukis kaligrafi lewat karya-karyanya dengan kekhususan teknik dalam media batik, memberikan nuansa baru bagi kesenian Islam, khususnya di Yogyakarta dan lebih luas lagi terhadap peta seni lukis kaligrafi Islam di Indonesia. Pada satu sisi, seni lukis kaligrafi dalam media batik menyodorkan perspektif baru sebagai media ekspresi, yang pada mulanya kaligrafi bertolak kepada kaidah-kaidah khathiyah. Pada sisi lain penuangan kaligrafi ke dalam media batik, menjadi alternatif media ekspresi bagi seni lukis batik itu sendiri, yang pada masa sebelum tahun 1970-an, belum ada seni kaligrafi yang dituangkan ke dalam lukisan batik.
Syaiful Adnan, lahir di Saningbakar, Solok, Sumatera Barat, 5 Juli 1957. Mengenyam pendidikan seni lukis dari SSRI/SMSR Padang (1973-1975) dan selanjutnya dari STRI/ASRI (sekarang ISI) Yogyakarta (1976-1982). Selama itu pula tema-tema lukisannya berkisar antara manusia, dan alam lingkungan. Pada tahun 1977, mengalami titik jenuh dan mulai menekuni kaligrafi sebagai tema-tema yang digarapnya.
Dalam berkaligrafi, ia dianggap telah menemukan model khat baru yang dikatakan sebagai gaya Syaifuli.
Sejak tahun 1983 hingga kini, ia lebih dari 40 kali berpameran di dalam maupun luar negeri. Seperti: Hongkong, Korea Selatan, Kuala Lumpur, Singapura, Jeddah dan Riyadh.
Penghargaan yang pernah diterima antara lain: pemenang II mendali emas dalam Lomba Seni Lukis PORSENI Mahasiswa se-Indonesia di Jakarta (1978), penghargaan Pratisana Affandi Adikarya STRI/ASRI (sekarang ISI) Yogyakarta (1981), penghargaan Majelis Ulama (1985), dan pemenang II lomba Desain Logo MTQ XVI di Yogyakarta (1990).
Dari ratusan karyanya, 74 buah di antaranya dikoleksi oleh tokoh-tokoh. Mulai dari Istana Negara RI, H. Adam Malik, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Museum Nasional, Museum Negara Malaysia, Dr. A. Steenbrink (orientalis) Amerika Serikat, Alm. Zia ul Haq (Presiden Republik Islam Pakistan), Dr. mahathir Muhammad (Perdana Menteri Malaysia), sampai ke kolektor-kolektor Australia, Jepang, Saudi Arabia, Singapura, Prancis, Bangladesh, Kanada, Denmark dan Italia.
Syaiful Adnan merupakan pelukis kaligrafi generasi penerus setelah Ahmad Sadali, AD. Pirous (Bandung), Amang Rahman (Surabaya), dan Amri Yahya (Yogyakarta). Kehadiran kaligrafinya membawa pembaharuan bentuk-bentuk huruf dengan dasar-dasar anatomi yang jauh dari kaidah-kaidah aslinya (khattiyah), atau menawarkan pola baru dalam tata cara mendesain huruf-huruf yang berlainan dari pola yang telah dibakukan. Hasil karya seni lukis kaligrafinya hadir dan semakin mempopulerkan apa yang kemudian diistilahkan oleh sebagian pengamat seni dengan “lukisan kaligrafi”.
Syaiful Adnan, yang sudah mendalami seni lukis kaligrafi sejak tahun 1977, sangat konsisten dalam membuat desain huruf-huruf Arab dan tetap bertahan dengan seni lukis kaligrafinya sebagai hasil pembentukan karakter seninya melalui proses yang panjang. Hal paling berharga yang ditemukan dalam penciptaan seni lukis kaligrafi, adalah menemukan kepuasan rohani secara utuh, yaitu kepuasan secara vertiakal atau hubungan langsung kepada Allah. Sedangkan kepuasan secara horizontal, yaitu kepuasan yang berhubungan dengan sesama manusia. Hal ini juga sebagai sarana menyampaikan misi atau pesan kepada umat manusia. Namun diakui, bahwa sebelumnya ia hanya menggeluti bidang artistik dan estetikanya saja. Kemudian berkembang ke tema-tema ketauhidan dan ukhuwah Islamiyah dalam bentuk karya seni lukis kaligrafinya.7
Dalam konsep seni lukis kaligrafinya ia mendasarkan “kaligrafi sebagai media ekspresi” dan “Al-Qur’an sebagai sumber inspirasi”. Yang dimaksud dengan kaligrafi sebagai media ekspresi estetis, yaitu karakter hurufnya hanya sebagai titik tolak penciptaan. Dalam deformasi8 bentuk maka lahirlah nilai-nilai artistik baru. Proses deformasi tersebut merupakan abstraksi huruf kaligrafi yang lahir secara improvisasi tanpa dibebani oleh ayat-ayat tersebut.
Sedangkan kitab Suci Al-Quran sebagai sumber inspirasi, merupakan kecenderungan dalam penciptaan sebuah karya seni lukis kaligrafi bertitik tolak pada ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam pemilihan ayat-ayat pun tidak asal mengutip, melainkan melalui proses kontemplasi, perenungan dan penghayatan baik secara idio plastis (tersirat) maupun fisiko plastis (tersurat). Dengan demikian diharapkan terciptalah sebuah lukisan kaligrafi yang bernilai, artinya lukisan kaligrafi tersebut tidak hanya selesai pada tulisan saja, melainkan mempunyai arti yang dapat memberi petunjuk atau peringatan kepada apresian (penikmat)-nya agar selalu mendekatkan diri kapada Allah. Selain itu mengekspresikan elemen kaligrafi sebagai tema sentral, dengan elemen lukisan melahirkan kesatuan bahasa estetis yang menyatu, saling berkaitan baik secara karakter bentuk, warna dan tekstur. Selanjutnya kehadiran kaligrafi tidak hanya sekedar bentuk yang artistik saja, melainkan juga diperhitungkan kaidah-kaidah penulisan dan kebenaran bacaannya. Sehingga dalam karya seni lukis kaligrafi dicapai keseimbangan antara elemen kaligrafi dengan elemen lukis dan melahirkan kesatuan bahasa estetis yang utuh.
Hendra Buana, lahir tanggal 8 oktober 1963 di desa Koto Tengah Hilir Bukittinggi Sumatera Barat. Adalah putra terakhir dari 5 bersaudara. Ibunya bernama Lamijnar dan ayahnya Dt. Pakammo keduanya berasal dari Bukittinggi, Sumatera Barat.
Setelah menamatkan pendidikan di SMP Tikam 1980 Bukittinggi, dia melanjutkan ke SMSR Padang. Tahun 1984 dia hengkang ke Yogyakarta memasuki ASRI (FSRD ISI) Yogyakarta, jurusan seni lukis. Setelah tamat pendidikan di FSRD ISI Yogyakarta 1990, Hendra Buana memastikan diri untuk jadi pelukis. Hal ini dibuktikan lewat pameran bersama diantaranya : pameran bersama Tingkata ASEAN di Masjid Istiqlal, Jerman Barat dan New York-Amerika Serikat. Tahun 1988, semasa kuliah di FSRD ISI Hendra Buana pernah terpilih sebagai salah seorang Duta Indonesia ke negara Brunei Darussalam dalam rangka ASEAN WORKSHOP AND EXHIBITION di Brunaei.
Sejak tahun1982 hingga sekarang Hendra Buana kira-kira sudah 65 kali berpameran baik di dalam maupun di luar negri dan sudah 4 kali berpameran tunggal termasuk pameran berduan istri tercintanya Asnida Hassan.
Hendra Buana termasuk 8 team perumus di IKAISI Yogyakarta, dan sekaligus sedang merancang sebuah gallery nasional di Yogyakarta, bersinergi dengan Saudara Noor Mustakim dari Kudus, Jawa Tengah9
Hatta Hambali, lahir di Sengkang, Kabupataen Wajo, Sulawesi Selatan, 8 Agustus 1949. Tahun 1969 mengikuti pendidikan di STSRI/ASRI (sekarang ISI) Yogyakarta. Sejak tahun 1970 tak kurang dari 25 kali berpameran di dalam dan luar negeri. Antara tahun 1970-1975 aktif mengikuti pameran bersama dengan keluarga STRI/ASRI di dalam pelbagai kota di Indonesia. Kemudian dia melanglang buana ke pelbagai kota di dalam dan luar negeri, diantaranya: Jakarta, Bandung, Aceh, Padang, Tokyo, Manila, Singapura, Kuala Lumpur, Brunei Darussalam, dan Merseiles, Italia.10
Yetmon Amier, lahir di Bukittinggi, 9 Desember 1963. Dari SMP di Pakanbaru, melanjutkan pendidikannya di SMSR Padang. Tahun 1984 diterima sebagai mahasiswa jurusan Seni Murni di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakrta dan lulus sarjana tahun 1991.
Dengan segala keberaniannya, ia hanya menggarap tema-tema kaligrafi sebagai satu-satunya ekspresi lukisannya. Berkarya dengan kaligrafi Qur’ani bagi Yetmon Amier memberinya kepuasan batin, Karena akan melestarikan pesan-pesan Tuhan yang suci dan abadi secara indah melalui bahasa seni rupa.
Sejak tahun1995 hinggg sekarang, ia sering berpameran di kota-kota besar di Indonesia. Dan di luar negeri ia sudah berpameran di Kuala Lumpur dan Singapura.11
B. Ragam Aliran dan Gaya
Setiap karya seni yang diciptakan oleh seorang seniman, pada hakekatnya akan merupakan suatu karakteristik. Karakteristik yang terdapat di dalam suatu karya seni, sekaligus menjadi refleksi identitas pribadi penciptanya. Identitas pribadi yang terdapat dalam suatu karya seni (baca: karakteristik) pada dasarnya merupakan hasil pemikiran yang dipadukan dengan cita rasa dan pengalaman estetik seniman, serta dimanifestasikan ke dalam medium ekspresi dengan menggunakan kemampuan teknik yang ada padanya. Walaupun subject-matter (sasaran) yang digarap itu sama, tetapi secara visual akan menampilakan karakteristik yang berbeda satu sama lain.
Beragam gaya seni lukis kaligrafi yang berkembang di Yogyakarta, seperti gaya Irama Lebak, gaya Syaifuli, gaya Abstrak Kaligrafis, gaya Hambali, dan gaya Amier. Namun dalam penampilannya dapat dikelompokkan menjadi aliran dekoratif dan semi abstrak.
Gaya “Irama Lebak” merupakan gaya seni lukis kaligrafi dengan menggunakan media batik yang muncul pada tahun 1976. Disebut gaya Irama Lebak, karena setiap penciptaan karya seni lukis kaligrafi gaya ini, alur goresan huruf atau aksaranya selalu mengikuti irama lebak yang menjadi ciri khas dari background lukisannya. Gaya ini dapat disebut sebagai gaya “Amri” karena gaya “Irama Lebak” pertama kali dikembangkan oleh Amri Yahya, seorang pelukis batik Indonesia, yang namanya harum di tahun 1970-an. Gaya yang dikembangkan oleh Amri Yahya ini juga dapat dikelompokkan ke dalam aliran semi abstrak, karena karya seni lukis yang digarap lebih cenderung mendekati tema-tema abstrak ekspresionis
Ciri khas seni lukis kaligrafi gaya “Irama Lebak” atau “Amri”, tidak nampak sesuatu yang sangat menonjol atau berbeda dari kelaziman umumnya khat berstandar (al-mansub). Kecuali pada pada goresannya yang kerap dipaksa mengikuti alur background. Huruf-hurufnya pun tidak menampakkan ciri-ciri lukisan gaya “Irama Lebak”. Tetapi tetap menjadi unsur rupa yang bercirikan inilah Amri.
Dengan bentuk apa pun, seni lukis kaligrafi gaya “Irama Lebak” tetap mengikuti kaidah khattiyah, seperti gaya Sulus dan Naskhi. Sedang background lukisannya sebagaimana ciri-ciri Amri, banyak menampilkan sosok lebak.
Gaya “Syaifuli” (khat Syaifuli), muncul pada tahun 1982. Berawal dari ketidak puasannya tentang kaligrafi, terus berusaha mengadakan eksperimen tentang karakter huruf-huruf Arab. Sebutan gaya “Syaifuli” sendiri diambil dari nama penciptanya Syaiful Adnan, seorang pelukis yang mulanya menggarap objek-objek yang konvensional.
Karakter huruf pada gaya “Syaifuli” mempunyai keunikan tersendiri, yaitu berupa goresan ramping memanjang yang disesuaikan dengan bentuk huruf Arab aslinya, dan disetiap ujung hurufnya diakhiri dengan bentuk goresan yang meruncing, seperti pedang, ada juga yang mengatakan seperti tanduk.
Gaya “Abstrak Kaligrafis”, dikembangkan oleh pelukis muda berbakat yang cepat sekali mengacu kepada laju perkembangan seni lukis kontemporer Indonesia dan memperkaya diri dengan unsur kaligrafi Islam, Hendra Buana pada tahun 1990. Gaya ini lebih mengutamakan bentuk-bentuk dalam lukisan, dari pada ke lahan gaya atau fan12 sebuah tulisan (khat) yang baku. Seperti gaya Naskhi, Sulus, Farisi, Diwani, Kufi atau Diwani Jali dan lain sebagainya.13
“Abstrak” yang dimaksud di sini, bukan Abstrak seperti yang diungkapkan Al-Faruqi.14 Gaya “Abstrak Kaligrafis” yang berkembang di Jogjakarta merupakan lukisan-lukisan abstrak kaligrafis yang memberi kesan rumit dan magis.15 Dalam gaya “Abstrak Kaligrafis”, huruf atau tulisan merupakan bahasa bentuk baru (modern) dalam ungkapan lukisan menjadi elemen yang menyatu dan berperan ganda sebagai ungkapan estetik atau sebagai ungkapan isi, di mana seluruh bentuk garis dan irama sejalan dalam nafas yang sama.
Pada setiap hasil karya gaya ini, sang pelukis selalu mengungkapkan tekstur yang tebal penuh dengan retakan pecah dan detail yang mengesankan zaman dan arkhalik masa lalu. Hal ini diperkuat dengan warna yang temaram dengan coklat yang kental dan detail relief masa lalu. Jadi seakan-akan menginginkan kesan karya suatu pesan masa lampau untuk masa kini.16 Dari karakter lukisan yang ditampilkannya, gaya “Abstrak Kaligrafis” jelas masuk ke dalam kelompok aliran semi abstrak.
Gaya “Hambali”, sebuah gaya yang dikelompokkan ke dalam aliran dekoratif, karena gaya yang diciptakan semuanya digarap bercorak dekoratif. Gaya “Hambali” tidak menomor-satukan bentuk visual, melainkan kombinasi antara garis-garis indah dengan ornamen-ornamen etnik yang menjadi latar belakangnya. Secara dominan, gaya ini selalu menggunakan warna-warna pastel yang terkesan lunak, tenang namun menyiratkan muatan religius, dalam dan menggugah. Sebutan gaya “Hambali” diambil dari nama pelukisnya, Hatta Hambali.
Huruf-huruf yang digoreskan pada gaya ini, terkesan seperti gaya kaligrafi baku yang dilemaskan, menjuntai dan dihadirkan dengan penuh keutuhan yang disesuaikan dengan ornamen-ornamen etik yang menjadi latar belakang lukisannya.Gaya ini muncul pada tahun 1996.17
Pada tahun yang sama (1996),18 muncul Gaya “Amier” yang dalam setiap karyanya terlihat usaha untuk memadukan kaligrafi Arab dengan elemen-elemen seni lukis. Warna yang ditampilkan adalah warna-warna pastel yang berkesan mistis, didukung warna putih untuk menghadirkan kesan terang, sekaligus mempertegas makna religius. Di samping sapuan kuas dan pisau paletnya sangat detail, ia juga memiliki kemahiran dalam membagi ruang dan membuat tekstur semu.
Karakter huruf yang dihadirkan melalui karya lukisnya, lebih mendekati pada bentuk tulisan Kufi Klasik atau khat Maghribi,19 yang dibebaskan oleh imajinasinya dalam berkarya. Sesuai dengan elemen-elemen seni lukis yang cenderung berkesan mistis dan bermakna religius.
Memasuki awal tahun 2000, aliran dan gaya yang ditampilkan oleh para pelukis muda (setelah Syaiful Adnan, Hendra Buana dan Yetmon Amir) yang terjun ke dunia seni lukis kaligrafi, tidak menunjukkan karakteristik (gaya pribadi) yang menonjol. Umumnya mereka hanya mengikuti gaya-gaya yang sudah dikembangkan oleh generasi sebelumnya. Aliran yang mereka kembangkan kebanyakan ekspresionisme.
Masih banyak lagi ragam aliran dan gaya seni lukis kaligrafi yang tumbuh dan berkembang di Yogyakarta antara tahun 1976-2000. Namun dari sekian ragam gaya yang berkembang, gaya “Syaifuli”lah yang membawa nama harum bagi perkembangan seni lukis kaligrafi di Yogyakarta, dan umumnya di Indonesia.
BAB V
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Dari pembahasan tentang perkembangan seni lukis kaligrafi tersebut di atas, maka penyusun dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Seni lukis kaligrafi adalah seni kaligrafi yang dituangkan ke dalam bentuk lukisan dan merupakan pernyataan antara idio plastis dan fisiko plastis yang mengandung nilai-nilai estetik dan religius. Bentuk menifestasi gagasan dalam wujud visualnya secara estetika mengacu pada kaidah penciptaan seni lukis secara umum, yang secara etika bersumber kepada Al-Qur’an dan Al-Hadis. Disebut kaligrafi kontemporer karena bentuk karya yang ditampikan cenderung membebaskan diri dari rumus-rumus dasar kaligrafi (kaligrafi klasik) dan bersifat mengikuti arus perkembangan seni rupa Barat (modern).
2. Perkembangan seni lukis kaligrafi di Yogyakarta diawali oleh adanya pengaruh “Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia” yang berusaha mengikuti arus perkembangan seni rupa Barat. Seni lukis yang pertama kali berkembang di Yogyakarta adalah dengan menggunakan media batik pada tahun 1976. Banyak ragam aliran dan gaya yang bermunculan di dalamnya. Semua itu lebih dipengaruhi oleh sifat ekspresif yang dimiliki oleh kaidah penciptaan seni lukis secara umum. Perkembangannya yang merupakan bentuk manifestasi gagasan dalam bentuk visual, semakin beringas di tahun 1980-an dengan munculnya gaya “Syaifuli” pada tahun 1982. Banyak kalangan seniman melibatkan dirinya dalam penciptaan (pengembangan) seni lukis kaligrafi yang “memberontak” terhadap rumus-rumus dasar kaligrafi. Beberapa faktor yang mendasari munculnya “pemberontakan” terhadap kaidah khathiyah secara garis besar dikelompokkan menjadi dua: faktor internal dan faktor eksternal. Faktor intern merupakan faktor yang ditimbulkan oleh para seniman muslim sendiri sebagai kreator. Sementara faktor ekstern timbul dari adanya “Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia” di tahun 1970-an.
3. Tokoh dalam dunia seni lukis kaligrafi di Yogyakarta adalah Amri Yahya, sebagai tokoh pelopor dengan gaya “Irama Lebak” (media batik) di tahun 1976, dan Syaiful Adnan (1982) sebagai “generasi kedua” dengan gaya “Syaifuli”nya. Juga dikenal beberapa tokoh lainnya seperti Hendra Buana (1982) dengan gaya “Abstrak Kaligrafis”, Hatta Hambali (1996) dengan gaya “Dekoratif” dan Yetmon Amier (1996) dengan gaya “Tekstur Semu” Lima ragam gaya dalam perkembangan seni lukis kaligrafi yang sering muncul di berbagai pameran tersebut, dapat digolongkan ke dalam tiga kategori kaligrafi kontemporer, yaitu: kaligrafi ekspresionis, kaligrafi figural dan kaligrafi abstrak.
B. Saran-saran
1. Melihat kenyataan yang terjadi dalam perkembangan seni rupa Islam (seni lukis kaligrafi) secara lokal dan pemasalahan yang ditimbulkannya, penyusun rasa penelitian mengenai kebudayaan Islam (terutama di bidang kesenian) perlu diperbanyak. Agar umat Islam secara umum menyadari, bahwa untuk mengembangkan kesenian apa pun bentuknya, bukan berarti kita harus menahan dan melawan arus. Tetapi kita harus mengikutinya.
2. Bersikap anti-pati terhadap perkembangan di bidang apa pun (termasuk berkesenian) adalah bukan sikap yang bijak, karena pada dasarnya suatu bangsa yang maju adalah bangsa yang mau berkembang. Untuk itu, mari kita satukan persepsi terhadap seni rupa Islam guna memperkaya khasanah kebudayaan Islam.
3. Selanjutnya yang perlu kita ingat, berkembangnya seni lukis kaligrafi bukanlah suatu upaya untuk berkompetisi dengan imajinasi simbolis dari suatu tradisi yang telah berakar dalam masyarakat Islam (kaligrafi murni). Tetapi justru ingin menyuguhkan nilai-nilai artistik baru. Sebab tanpa kita sadarai, mereka (para pelukis kaligrafi) telah banyak memberi sumbangsih dalam pengenalan dan pendalaman Islam lewat karya lukisnya, sehingga orang tidak hanya mampu mengaguminya sebagai karya seni semata tetapi juga mampu mengagumi kebesaran Sang Pencipta Alam.
#Skripsi
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Peradaban Islam mulai muncul di permukaan ketika terjadi hubungan timbal balik antara peradaban orang-orang Arab dengan non-Arab. Pada mulanya, Islam tidak memerlukan suatu bentuk kesenian; tetapi bersama jalannya sang waktu, kaum muslimin menjadikan karya-karya seni sebagai media untuk mengekspresikan pandangan hidupnya. Mereka membangun bentuk-bentuk seni yang kaya sesuai dengan perspektif kesadaran nilai Islam, dan secara perlahan mengembangkan gaya mereka sendiri serta menambah sumbangan kebudayaan di lapangan kesenian. Salah satu bentuknya adalah seni kaligrafi.
Kaligrafi atau biasa dikenal dengan khath tumbuh dan berkembang dalam budaya Islam menjadi alternatif ekspresi menarik yang mengandung unsur penyatu yang kuat. Kaligrafi berkembang pesat dalam kebudayaan Islam adalah: Pertama, karena perkembangan ajaran agama Islam melalui kitab suci Al-Qur’an. Kedua, karena keunikan dan kelenturan huruf-huruf Arab. Khath sendiri sebagai satu bentuk kesenian yang memiliki aturan yang khas, telah tumbuh secara lepas maupun terpadukan dalam bagian-bagian unsur bangunan yang mempunyai makna keindahan tersendiri. Salah satu fakta yang mempesona dalam sejarah seni dan budaya Islam ialah keberhasilan bangsa Arab, Persia, Turki dan India dalam menciptakan bentuk-bentuk dan gaya tulisan kaligrafis ke berbagai jenis variasi, antara lain: Kufi, Riq’ah, Diwani, Tsuluts, Naskhi dan lain-lain.
Di Indonesia, kaligrafi hadir sejalan dengan masuknya agama Islam melalui jalur perdagangan pada abad ke-7 M, lalu menyebar ke pelosok nusantara sekitar abad ke-12 M. Pusat-pusat kekuasaan Islam seperti di Sumatera, Jawa, Madura, Sulawesi, menjadi kawah candradimuka bagi eksistensi kaligrafi dalam perjalanannya dari pesisir/pantai merambah ke pelosok-pelosok daerah.
Pada masa permulaan Islam di Indonesia, penampilan kaligrafi atau khath dapat dikatakan kurang menonjol. Hal ini disebabkan oleh penerapan kaligrafi (dekorasi) sangat terbatas. Karya-karya arsitektur pada masa permulaan Islam seperti masjid-masjid di Banten, Cirebon, Demak dan Kudus, tidak banyak memberikan peluang yang berarti bagi penerapan kaligrafi (khath). Di samping itu, dalam fungsi dekoratifnya, kaligrafi sering dipadukan dengan motif hias tradisional, dan kadang-kadang juga dipadukan dengan aksara Jawa dalam bentuk candra sangkala (sebagai petunjuk angka tahun berdirinya suatu bangunan), sehingga kaligrafi Islam tidak dapat berdiri sendiri sebagai cabang seni rupa. Pada masa itu, sebagian besar karya kaligrafi lebih mementingkan nilai-nilai fungsional dari pada nilai estetis. Dengan kata lain, nilai-nilai keindahan tulisan itu sendiri sebagai karya seni menjadi terabaikan.
Belakangan ini tampak gejala penggarapan kaligrafi, baik secara kaidah khathiyah maupun yang ‘lebih bebas’ ke dalam lukisan. Kaligrafi murni mengalami bentuk pengungkapan baru ke dalam komposisi huruf yang diramu dengan motif dekorasi. Seperti munculnya kembali penggunaan bahan kaca sebagai medium seni lukis, karya-karya seni kaligrafi dalam berbagai bentuk wayang dan tokoh cerita dalam agama Islam dengan gaya khas Cirebon. Namun manifestasi kaligrafi Islam masih tidak beranjak dari konsepsi masa awal Islam yaitu mengisi bidang gambar yang tersedia, hanya saja keterikatan itu tidak sekuat pada masa awal Islam.
Angin baru ditiupkan oleh A. Sadali, AD. Pirous (Bandung), Amri Yahya (Yogyakarta) dan Amang Rahman (Surabaya) yang dengan kemampuan tekniknya melahirkan karya-karya seni lukis kaligrafi yang berkarakteristik. Kaligrafi yang hadir dalam karya pelukis-pelukis tersebut menjadi ekspresi yang larut dalam mediumnya. Unsur-unsur garis, bentuk, warna, tekstur, dan unsur bentuk lainya, mampu mencuatkan nilai-nilai baru dalam seni lukis kaligrafi di Indonesia sebagai kaligrafi kontemporer.
Kehadiran seni lukis kaligrafi di Yogyakarta sebagai karya “pemberontakan” terhadap kaidah-kaidah khathiyah merupakan kebangkitan kembali pada seni kaigrafi, baik pada seniman maupun penikmatnya. Eksperimen-eksperimen yang dilakukan oleh para tokoh pembaharu dalam seni lukis kaligrafi untuk menemukan cara-cara baru dalam berekspresi semangat Islami melalui tulisan indah, adalah tanda-tanda yang memberi harapan besar bagi seni Islam yang sangat dihormati ini.
Studi ini memfokuskan pembahasannya mengenai permasalahan seni lukis kaligrafi dalam perkambangannya pada penghujung abad XX, terutama yang berlangsung di Yogyakarta antara tahun 1976 sampai tahun 2000. Pengambilan batas waktu tersebut karena pada tahun 1976 merupakan awal mula munculnya ide kreatif dari seorang seniman lukis batik Indonesia, Amri Yahya, untuk menuangkan seni kaligrafi ke dalam media lukisan batik. Seperti diketahui, Yogyakarta merupakan satu di antara tiga kota yang mempelopori aliran baru dalam seni kaligrafi kontemporer Islam, yaitu seni lukis kaligrafi yang diwujudkan dalam berbagai tema, melalui pengolahan gaya-gaya lama maupun baru, dan dengan media lama maupun baru pula. Oleh karena itu banyak sekali permasalahan dalam seni lukis kaligrafi yang bisa diungkap, dari berbagai aspek dan berbagai sudut pandang, seperti: aliran dan ragam yang muncul di dalamnya, faktor-faktor yang mendasari munculnya “pemberontakan” terhadap kaidah-kaidah khathiyah dan perbedaan pandangan di kalangan senimam muslim secara umum yang terjun ke bidang seni lukis kaligrafi (tidak hanya pelukis Jogja) terhadap perkembangan seni lukis kaligrafi. Hal ini menarik untuk dikaji lebih seksama, sehingga dapat terungkap permasalahan yang muncul di dalamnya secara lengkap.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Permasalahan pokok yang dibahas dalam skripsi ini, ialah kaligrafi kontemporer di Yogyakarta dalam perkembangannya dari tahun 1976 sampai tahun 2000. Kajian mengenai kaligrafi kontemporer ini difokuskan terhadap permasalahan yang muncul dalam perkembangan seni lukis kaligrafi. Untuk penjabaran permasalahan tersebut, akan dipandu melalui perumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan seni lukis kaligrafi dan mengapa disebut kaligrafi kontermporer?
2. Bagaimana perkembangan seni lukis kaligrafi di Yogyakarta dan faktor apa yang mendasari munculnya “pemberontakan” terhadap rumus-rumus dasar kaligrafi?
3. Siapa tokoh seni lukis kaligrafi di Yogyakarta dan aliran apa yang mereka kembangkan dalam seni lukis kaligrafi?
C. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Studi perkembangan di sini bertujuan untuk memberi penjelasan tentang seni lukis kaligrafi dan mengetahui secara pasti munculnya istilah kontemporer dalam perkembangan seni kaligrafi, khususnya di Yogyakarta.
2. Mengetehui bagaimana perkembangan seni lukis kaligrafi di Yogyakarta dengan berusaha mengungkap secara jelas faktor-faktor yang mendasari munculnya “pemberontakan” terhadap kaidah khathiyah, sehingga melahirkan sebuah karya yang serba aneh dan unik, serta menghadirkan unsur kaligrafi “secara mandiri” yang dilatari unsur lain dalam kesatuan estetik dengan penampilan sebagai gaya ungkapan, media, dan teknik, seperti lukisan kaligrafi.
3. Mengetahui siapa tokoh-tokoh yang mampu mengembangkan aliran dan gaya dalam seni lukis kaligrafi di Yogyakarta.
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan di bidang seni rupa Islam, khususnya seni lukis kaligrafi.
2. Diharapkan dapat menjadi bahan acuan untuk memperkaya wacana tentang perkembangan seni rupa Islam di Indonesia khususnya Yogyakarta. Atau sekedar untuk kebutuhan apresiasi.
D. Tinjauan Pustaka
Kehadiran kaligrafi sebagai salah satu simbol budaya Islam telah mendorong para pelukis (seniman) muslim untuk mengkaji lebih lanjut, tidak hanya berkenaan dengan tulis-menulis yang indah seperti umumnya buku-buku tentang kaligrafi, akan tetapi mengubahnya ke dalam gaya tulisan bebas. Sehingga lahirlah satu kesatuan bentuk “lukisan” kaligrafi yang sesuai dengan keinginan pelukisnya.
Sepengetahuan penyusun, buku-buku yang mengkaji tentang kaligrafi hanya terpusat pada kaligrafi murni atau tradisional. Sedikit sekali yang membahas kaligrafi kontemporer, terutama seni lukis kaligrafi. Seperti buku-buku yang dapat penyusun jumpai, antara lain: “Kaligrafi Islam” oleh Yasin Hamid Safadi terjemahan Abdul Hadi W.M. Secara jelas memaparkan tentang kaligrafi secara umum dari asal-usul huruf Arab sampai pada perkembangan awal di masa khalifah Usman bin Affan tahun 651 M, dan perkembangan lanjut kaligrafi pada abad ke-13 M. Sampai memasuki awal abad ke-19 M tidak menunjukkan perubahan berarti dari rumus-rumus dasar kaligrafi, yang hingga sekarang masih menjadi standar yang baku.
Ismail Raji al-Faruqi dalam bukunya “Seni Tauhid, Esensi dan Ekspresi Estetika Islam” terjemahan Hartono Hadikusumo, membahas tentang kaligrafi kontemporer lebih berifat umum (dalam skala dunia Islam internasional). Pembahasannya pun hanya berkutat pada keberadaan kaligrafi kontemporer dan corak yang digolongkan ke dalam beberapa kategori tanpa kejelasan periodesasinya.
Buku “Seni Kaligrafi Islam” oleh D. Sirojuddin AR., pada bab XI kaligrafi kontemporer yang dijelaskan di dalamnya juga masih bersifat umum. Membahas tentang pengertian sampai pada pengaruh luar terhadap kaligrafi, yang akhirnya muncul istilah kaligrafi kontemporer. Di dalamnya juga membahas seputar keberadaan seni lukis kaligrafi dalam dunia seni rupa Islam di Indonesia.
Dalam buku “Seni Rupa Islam Pertumbuhan dan Perkembangannya” oleh Oloan Situmorang, pada bab IV juga dijelaskan secara singkat tentang penertian dan keberadaan seni lukis kaligrafi. Dari tinjauan buku-buku yang penyusun peroleh tersebut, pembahasan tentang kaligrafi kontemporer (seni lukis kaligrafi) lebih bersifat umum dan terpusat pada definisi, corak serta keberadaannya sebagai sebuah bentuk karya seni yang paling baru. Belum ada yang mengkaji sampai pada permasalahan (perbedaan pandangan) yang ditimbulkan oleh seni lukis kaligrafi. Apalagi studi tentang pekembangannya yang bersifat lokal.
E. Landasan Teori
Kaligrafi kontemporer adalah istilah atau sebutan untuk sebuah karya yang “memberontak” atau “menyimpang” dari rumus-rumus dasar kaligrafi, yang merupakan bentuk manifestasi gagasan dalam wujud visual. Secara estetika kaligrafi kontemporer mengacu kepada kaidah penciptaan seni rupa kontemporer secara umum dan secara etika bersumber kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits, yang membawa muatan artistik-apresiatif yang berfungsi sebagai tontonan (media apresiasi), di sisi lain mengandung muatan etik-religius yang berfungsi sebagai tuntunan (media dakwah).
Sering diistilahkan adanya jenis kaligrafi “murni” dan “lukisan” kaligrafi. Pertama, dimaksudkan sebagai kaligrafi yang mengikuti pola-pola kaidah yang sudah ditentukan dengan ketat, yakni bentuk yang tetap berpegang pada rumus-rumus dasar kaligrafi (khath) yang baku. Penyimpangan, ataupun percampuradukan satu dengan lainnya dipandang sebagai kesalahan, karena dasarnya tidak sesuai dengan rumus-rumus yang sudah ditetapkan. Sedang yang kedua, adalah model kaligrafi yang digoreskan pada hasil karya lukis, atau coretan kaligrafi yang “dilukis-lukis” sedemikian rupa –biasanya dengan kombinasi warna beragam, bebas dan (umumnya) tanpa mau terikat dengan rumus-rumus baku yang sudah ditentukan. Model inilah yang digolongkan ke dalam aliran kaligrafi Kontemporer.
Segala aspek yang terkait dengan perkembangan seni kaligrafi, kiranya dapat dipahami dengan pemikiran yang lebih umum tentang kebudayaan Islam. Teori tentang kebudayaan Islam secara umum juga dapat disebut dengan teori evolusi. Secara hipotesis dapat dikatakan bahwa kebudayaan Islam berkembang dari bentuk-bentuk yang sangat sederhana menjadi semakin kompleks; dari sebuah aturan lama yang telah dibakukan menuju
pada usaha “pemberontakan” dan akhirnya tercipta sebuah aturan baru. Teori evolusi berlaku dalam bidang tata-aturan hidup masyarakat dalam berkesenian karena tata-aturan ini diturunkan sesuai dengan tingkat perkembangan dan keperluan masyarakat yang senantiasa berevolusi. Dalam banyak segi, membicarakan masalah kebudayaan berarti akan mempermasalahkan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia baik sebagai manusia pribadi maupun manusia yang hidup berkelompok. Kita menyadari bahwa manusia sebagai makhluk Tuhan adalah merupakan kelompok makhluk yang memiliki kemampuan dalam hal berfikir, berkehendak dan berkemauan maupun cita-cita yang tiada batasnya. Ia yang selalu bercita-cita dengan dibarengi usaha untuk mendapatkan apa-apa yang menjadi kebutuhan hidupnya. Dapat disebut bahwa manusia itu adalah makhluk yang mempunyai aktifitas dan kreatifitas tinggi dalam usaha memenuhi segala keperluan dan kebutuhan hidupnya. Semua kemampuan ini adalah merupakan ungkapan yang terjelma dari budi dan daya manusia.
Dalam kajian keislaman, selalu saja kita terbentur pada sebuah jalan buntu ketika memasuki wilayah kajian seni Islam. Kebuntuan tersebut muncul dari ambivalensi sikap kaum muslim sendiri dalam menangani persoalan dunia seni. Di satu sisi, sebagian besar orang Islam, dapat dipastikan, akan mengatan bahwa Islam sama sekali tidak bertentangan, apalagi melarang seni. Dengan penuh semangat mereka akan menunjukkan berbagai “dalil” baik Aqliyah19: bahwa Al-Qur’an sendiri mengandung nilai artistik, historis: bahwa hingga kini tilawah Al-Qur’an dan khath atau kaligrafi tersebar luas, maupun naqliyah20: semacam Hadis yang mengatakan bahwa ‘Allah itu Indah dan menyukai keindahan’.21
Dasar-dasar pemikiran di atas dipandang cukup untuk dijadikan acuan dalam studi ini, sehingga kajiannya dapat mendeskripsikan dan menganalisis perkembangan seni lukis kaligrafi di Yogyakarta dalam kurun waktu yang telah ditetapkan. Memang banyak faktor yang menyebabkan perubahan dalam perkembangan seni kaligrafi, baik dari intern maupun ekstern, namun segala permasalahannya perlu didekati secara hitoris. Dengan pendekatan sejarah, diharapkan karya tulis ini dapat menghasilkan sebuah penjelasan yang mampu mengungkapkan gejala-gejala yang relevan dengan waktu dan tempat di mana seni lukis kaligrafi berkembang. Kemudian secara historis dapat pula diungkap kausalitas, pertumbuhan, dan beberapa pandangan yang muncul di dalamnya.
Pengkajian dan penjelasan terhadap kompleksitas gejala sejarah itu, pada gilirannya menghendaki penggunaan konsep-konsep dalam pendekatan ilmu sosial. Dalam konteks studi ini, tentu saja konsep kepribadian, masyarakat dan kebudayaan seperti yang telah dikemukakan di atas, yang menjadi perhatian.
F. Metode Penelitian
Penelitian tentang studi perkembangan ini bertujuan untuk mencapai penulisan sejarah, maka upaya merekontruksi masa lampau dari objek yang diteliti itu ditempuh melalui metode historis, yaitu suatu metode untuk memproses pengumpulan data, penafsiran gejala, peristiwa dan gagasan di masa lampau, guna menemukan generalisasi yang berguna untuk memahami situasi sekarang dan meramalkan perkembangan yang akan datang. 22
Kemudian untuk melaksanakannya diperlukan langkah atau tahap dalam peoses penelitian ini. Sedangkan langkah-langkah yang penyusun ambil adalah sebagai berikut:
1. Heuristik, yaitu suatu tahap pengumpulan data baik tetulis maupun lisan. Dalam pengumpulan data ini, penyusun menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara:
a. Studi kepustakaan, yaitu mengumpulkan data dari literatur yang penyusun dapatkan dengan cara menelaah isinya melalui buku, katalog, majalah, surat kabar yang di dalamnya memuat penjelasan tentang perkembangan seni lukis kaligrafi, khususnya di Yogyakarta.
b. Penelitian lapangan, untuk mendapatkan data yang lebih lengkap. Dalam hal ini penyusun mengadakan obsevasi dan interview, yaitu teknik pengumulan data dengan cara bertanya langsung kepada responden.23 Wawancara yang penyusun lakukan adalah wawancara bebas tanpa menggunakan susunan datar pertanyaan dan jadwal wawancara. Bentuk petanyaan dan jadwal wawancara menyesuaikan dengan kondisi para tokoh seni lukis kaligrafi serta pelukis sebagai responden, yang menggeluti dan penyusun anggap banyak tahu tentang kaligrafi kontemporer, terutama seni lukis kaligrafi dan perkembangannya guna melengkapi data tertulis. Tokoh seni lukis kaligrafi yang akan penyusun wawancarai, antara lain:
1. Amri Yahya, pelukis kelahiran Palembang, mengenyam pendidikan seni rupa di ASRI Yogyakarta, lulus sarjana tahun 1963.
2. Syaiful Adnan, pelukis kelahiran Solok, mengenyam pendidikan seni lukis di ASRI Yogyakarta (1976-1982).
2. Kritik, yaitu menguji dan menganalisis secara kritis terhadap data yang diperoleh melalui kritik ekstern dan intern. Kritik ekstern dilakukan untuk mencari keautentikan sumber. Adapun kritik intern berusaha mencari kasahihan dari informasi yang ada pada sumber tersebut. Dengan kritik inilah akan diperoleh validitas sumber sejarah.
3. Interpretasi, yaitu menafsirkan fakta yang saling berhubungan dari data yang telah teruji kebenarannya.
4. Selanjutnya memasuki tahap historiografi, yaitu merupakan langkah akhir dalam penelitian dengan menghubungkan permasalahan yang satu dengan yang lainnya sehingga menjadi rangkaian yang berarti. Historiografi ini merupakan penulisan, pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian yang penyusun lakukan. 24
G. Sistematika Pembahasan
Penyajian penelitian dalam bentuk skripsi ini mempunyai tiga bagian: awal, isi dan akhir. Bagian pertama tediri dari: Halaman sampul luar dan sampul dalam, halaman nota dinas, halaman pengesahan halaman persembahan, halaman matto, kata pengantar, dan daftar isi.
Bagian isi merupakan bagian utama yang berisi: Pendahuluan, penyajian hasil penelitian, dan kesimpulan serta saran. Bagian ini disajikan dalam lima bab. Pendahuluan menempati bab pertama sebagaimana telah dibahas, di dalamnya menguraikan beberapa hal pokok yaitu latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan kini sistematika pembahasan.
Penyajian hasil penelitian dibagi menjadi tiga bab berikutnya (bab dua, bab tiga, dan bab empat), sebagai suatu kesatuan yang tak terpisahkan satu dengan lainnya. Pada bab dua dipaparkan tentang seputar kaligrafi. Permasalahan penting yang dibahas meliputi pengertian dan asal-usul kaligrafi, kaligrafi murni dan lukisan kaligrafi, serta kaligrafi kontemporer yang menjelaskan tentang pembatasan masa kontemporer dan corak kaligrafi kontemporer. Kemudian kaitannya dengan perkembangan seni lukis kaligrafi di Yogyakarta, pada bab tiga dipaparkan tentang pertumbuhan dan perkebangannya, beberapa faktor yang mendasari munculnya “pemberontakan” terhadap kaidah khathiyah, dan pandangan seniman muslim terhadap seni lukis kaligrafi. Bab keempat membahas tentang tokoh seni lukis kaligrafi berikut biografinya, serta ragam aliran dan gaya seni lukis kaligrafi yang berkembang di Yogyakarta.
Bab berikutnya adalah kesimpulan dan saran. Kesimpulan atas keseluruhan pembahasan skripsi ini, yang diharapkan dapat menarik benang merah dari uraian pada bab-bab sebelumnya menjadi suatu rumusan yang bermakna. Rumusan kesimpulan dan saran tersebut ditulis pada bab kelima, dan sekaligus sebagai bab penutup.
Bagian akhir memuat hal-hal yang penting dan relevan dengan penelitian penyusun lakukan, yang terdiri atas daftar pustaka, lampiran-lampiran dan daftar riwayat hidup.
BAB II
SEPUTAR KALIGRAFI
A. Pengertian dan Asal-Usul Kaligrafi
Ungkapan kaligrafi diambil dari kata Latin “kalios” yang berarti indah, dan “graph” yang berarti tulisan atau aksara. Dalam bahasa Arab tulisan indah berarti “khath” sedangkan dalam bahasa Inggris disebut “calligraphy”.1 Arti seutuhnya kata kaligrafi adalah suatu ilmu yang memperkenalkan bentuk-bentuk huruf tunggal, letak-letaknya dan cara-cara penerapannya menjadi sebuah tulisan yang tersusun. Atau apa-apa yang ditulis di atas garis-garis sebagaimana menulisnya dan membentuknya mana yang tidak perlu ditulis, mengubah ejaan yang perlu diubah dan menentukan cara bagaimana untuk mengubahnya.2 Sedangkan pengertian kaligrafi menurut Situmorang3 yaitu suatu corak atau bentuk seni menulis indah dan merupakan suatu bentuk keterampilan tangan serta dipadukan dengan rasa seni yang terkandung dalam hati setiap penciptanya.
Kaligrafi merupakan seni arsitektur rohani, yang dalam proses penciptaannya melalui alat jasmani.4 Kaligrafi atau khath, dilukiskan sebagai kecantikan rasa, penasehat pikiran, senjata pengetahuan, penyimpan rahasia dan berbagai masalah kehidupan. Oleh sebagian ulama disebutkan “khat itu ibarat ruh di dalam tubuh manusia”.5
Akan tetapi yang lebih mengagumkan adalah, bahwa membaca dan “menulis” merupakan perintah Allah SWT yang pertama diwahyukan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, yang tertuang dalam al-Qur’an surat al-‘Alaq ayat 1-5, yaitu:
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajari (mausia) dengan parantaraan kalam. Dia mengajari manusia apa yang belum diketahuinya”.6
Dapat dipastikan, kalam atau pena mempunyai kaitan yang erat dengan seni kaligrafi. Dapat juga dikatakan bahwa kalam sebagai penunjang ilmu pengetahuan. Wahyu tersebut merupakan “sarana” al-Khaliq dalam rangka memberi petunjuk kepada manusia untuk membaca dan menulis.
Tentang asal-usul kaligrafi itu sendiri, banyak pendapat yang mengemukakan tentang siapa yang mula-mula menciptakan kaligrafi. Untuk mengungkap hal tersebut cerita-cerita keagamaanlah yang paling tepat dijadikan pegangan. Para pakar Arab mencatat, bahwa Nabi Adam As-lah yang pertama kali mengenal kaligrafi. Pengetahuan tersebut datang dari Allah SWT, sebagaiman firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 31:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhya…. “ 7
Di samping itu masih ada lagi cerita-cerita keagamaan lainnya, misalnya saja, banyak yang percaya bahwa bahasa atau sistem tulisan berasal dari dewa-dewa. Nama Sanskerta adalah Devanagari, yang berarti “bersangkutan dengan kota para dewa”. Perkembangan selanjutnya mengalami perubahan akibat pergeseran zaman dan perubahan watak manusia.
Akhirnya muncul tafsiran-tafsiran baru tentang asal-usul tulisan indah atau kaligrafi yang lahir dari ide “menggambar” atau “lukisan” yang dipahat atau dicoretkan pada benda-benda tertentu seperti daun, kulit, kayu, tanah, dan batu. Hanya gambar-gambar yang mengandung lambang-lambang dan perwujudan dari keadaan-keadaan tertentu yang diasosiasikan dengan bunyi ucap sajalah yang dapat diusut sebagai awal pembentukan kaligrafi. Dari situlah tercipta sistem atau aturan tertentu untuk membacanya. Demikian juga sistem tulisan primitif Mesir Kuno atau sistem yang dikembangkan oleh kelompok-kelompok masyarakat primitif.
Pada mulanya tulisan tersebut berdasarkan pada gambar-gambar.8 Kaligrafi Mesir Kuno yang disebut Hieroglyph berkembang menjadi Hieratik, yang dipergunakan oleh pendeta-pendeta Mesir untuk keperluan keagamaan. Dari huruf Hieratik muncul huruf Demotik yang dipergunakan oleh rakyat umum selama beberapa ribu tahun.9 Tulisan yang ditemukan 3200 SM di lembah Nil ini bentuknya tidak berupa kata-kata terputus seperti tulisan paku,10 tetapi disederhanakan dalam bentuk-bentuk gambar sebagai simbol-simbol pokok tulisan yang mengandung isyarat pengertian yang dimaksud. Kaligrafi bentuk inilah yang diduga sebagai cikal bakal kaligrafi Arab.
B. Kaligrafi Murni dan Lukisan Kaligrafi
Seni kaligrafi merupakan kebesaran seni Islam, yang lahir di tengah-tengah dunia arsitektur. Hal ini dapat dibuktikan pada aneka ragam hiasan kaligrafi yang memenuhi masjid-masjid dan bangunan-bangunan lainnya, yang diekspresikan dalam paduan ayat-ayat suci Al-Qur’an, Al-Hadits atau kata-kata hikmah. Demikian juga mushaf Al-Qur’an banyak ditulis dengan berbagai corak kaligrafi.
Berdasarkan eksistensi tulisan (huruf Arab) pada saat pengekspresiannya, dibedakan pengertian antara kaligrafi murni dan lukisan kaligrafi. Keduanya agak berjauhan satu sama lain. Kaligrafi murni adalah seni tulis indah yang mengikuti pola-pola kaidah yang sudah ditentukan dengan ketat, yaitu bentuk-bentuk yang tetap berpegang pada rumus-rumus dasar kaligrafi yang baku (kaidah khathiyah). Di sini dapat dibedakan dengan jelas aliran-aliran seperti Naskhi, Tsuluts, Rayhani, Diwani, Diwani Jali, Farisi, Kufi dan Riq’ah.11 Penyimpangan atau pencampuradukkan satu dengan yang lain dipandang sebagai suatu kesalahan, karena dasarya tidak cocok dengan rumus-rumus yang sudah ditetapkan.12
Jelaslah, bahwa suatu hasil karya kaligrafi tidak boleh mencampuradukkan gaya dalam penulisan kaligrafi misalnya, Naskhi, Riq’ah dan Tsuluts dijadikan satu. Hal itu tidak boleh terjadi, karena merupakan “pelanggaran”. Selanjutnya menurut Situmorang, bahwa suatu gaya kaligrafi sudah ditentukan secara ketat peraturan penulisannya. Keserasian antar huruf, cara merangkai, sentakan, bahkan jarak sepasi harus diperhitungkan dengan serasi.13 Teknik penulisan tiap-tiap kaligrafi atau khath juga mempunyai cara yang berbeda-beda.
Dewasa ini kaligrafi murni atau kaligrafi klasik telah banyak mendapat perhatian dan dikembangkan ke dalam bentuk lukisan kaligrafi (kaligrafi ekspresif atau kontemporer). Istilah “lukisan kaligrafi” biasanya digunakan untuk membedakannya dari “kaligrafi murni” atau “kaligrafi klasik” yang berpegang pada kaidah-kaidah khathiyah.14
Pengertian lukisan yaitu suatu pengucapan pengalaman artistik yang ditumpahkan dalam bidang dua dimensional dengan menggunakan warna dan garis.15 Lukisan adalah suatu bentuk ungkapan batin seseorang dari hasil suatu pengolahan ide berbakat pengalaman indrawi maupun pengalaman jiwa melalui susunan unsur-unsur estetis dengan ukuran dwi marta (dua dimensi). Ungkapan atau pernyataan batin yang juga disebut ekspresi dalam suatu karya seni, haruslah memiliki nilai kebebasan dan mengandung unsur keindahan. Tampilnya keindahan tidak selalu dalam pewujudan fisik dan visual semata-mata, tetapi dapat pula secara moral (perasaan) atau secara kedua-duanya.16 Sedangkan yang dimaksud dengan lukisan kaligrafi adalah model kaligrafi yang digoreskan pada hasil karya lukis, atau coretan kaligafi yang dilukis sedemikian rupa dengan menggunakan warna-warna yang beragam, bebas dan tidak terikat oleh rumus-rumus baku yang ditentukan.17 Menurut Situmorang, lukisan kaligrafi adalah suatu bentuk atau corak seni kaligrafi yang dieksperimenkan ke dalam bentuk lukisan yang dikombinasikan dengan warna-warna, huruf dan corak tulisannya cenderung memiliki gaya atau corak yang bebas dan lepas dari kaidah-kaidah yang telah digariskan dalam kaligrafi yang baku.18
Lukisan kaligrafi merupakan seni lukis yang menampilkan aksara Arab sebagai subject-matter (sasaran) utuh atau sebagian, atau mengambil beberapa huruf saja. Secara prinsip kaligrafi lukis (lukisan kaligrafi) berbeda dengan kaligrafi tulis (kaligrafi murni). Pada lukisan kaligrafi terdapat sejumlah kebebasan dalam berekspresi. Sedangkan dalam kaligrafi tulis, dikenal beberapa macam ketentuan pokok dan rumus-rumus baku.19 Lukisan kaligrafi secara mendasar berbeda dengan lukisan biasa. Di samping si pelukis harus memiliki niat suci dan hati bersih, pemilihan medianya pun harus benar dan tepat.
Oleh karena itu, pengertian lukisan kaligrafi Islam tidak selalu menunjukkan kepada pengembangan gaya-gaya kaligrafi (kontemporer maupun klasik baku) dalam arti huruf seperti dalam kriterium al-Faruqi.20 Fokus lukisan kaligrafi tidak hanya selesai pada huruf, tetapi kehadirannya memang sebagai “lukisan” dalam arti yang sesungguhnya, seperti yang di kemukakan pelukis kaligrafi Syaiful Adnan. Kritikus seni rupa Dan Suwaryono menandaskan bahwa lukisan kaligrafi pada dasarnya ditopang dua unsur elemen seni rupa, berupa unsur-unsur fisiko plastis (berupa bentuk, garis, warna, ruang, cahaya, dan volume) di satu pihak, dan di pihak lain tuntutan-berupa tuntunan yang cenderung ke arah idio plastis (meliputi semua masalah yang secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan isi atau cita pembahasan bentuk). Dalam ungkapan yang lebih mudah, “lukisan” kaligrafi tidak hanya menampilkan sosok huruf yang dilukis, tetapi juga sebagai sebuah lukisan utuh yang menjadikan huruf sebagai salah satu elemennya.21
Menurut Affandi, lukisan kaligrafi adalah karya cipta manusia sebagai hasil pengolahan ungkapan batinnya melalui susunan unsur-unsur tulisan dan unsur-unsur dwi marta yang lain, yang memiliki sifat-sifat simbolik, religius, dan estetik. Membawa pesan kebaikan antara hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia serta manusia dengan alam.22 Jadi, setiap lukisan kaligrafi memiliki kebebasan dalam gaya atau corak tulisan sehingga tercipta suatu kesatuan bentuk lukisan yang sesuai dengan keinginan penciptanya.
Dari pengkajian makna peristilahan tersebut dapat dikatakan: Pertama, lukisan kaligrafi bukan sekedar sebagai seni tulisan indah. Kedua, melalui kebebasan ekspresi estetik, seni tulisan indah kemudian dengan kreasi bentuk dan susunan huruf-huruf dilengkapi dengan unsur-unsur lain menjadi karya lukisan. Ketiga, lukisan merupakan bahasa dari pelukisnya. Bahasa adalah media komunikasi. Lukisan dengan unsur-unsurnya adalah merupakan wujud perlambang yang digunakan oleh pelukis untuk mengutarakan isi hatinya dengan pesan-pesannya. Keempat, lukisan kaligrafi perkembangannya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan Islami. Karena itulah lukisan kaligrafi mengekspresikan keagamaan.23
Medium untuk penciptaan karya lukisan kaligrafi sangatlah bebas, sebebas medium yang digunakan pada karya-karya lukisan umumnya. Lukisan kaligrafi dapat ditampilkan dengan teknik cat minyak, cat air, batik bahkan dengan berbagai teknik eksperimen klasik maupun modern.
Banyak sedikitnya unsur tulisan dalam karya lukisan kaligrafi tidak menjadi masalah. Yang penting adalah keterpaduan dan keselarasan dapat tercapai. Karena yang ditulis adalah ayat-ayat Al-Qur’an, yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai merubah arti dan makna ayat tersebut. Dalam penampilannya, lukisan kaligrafi dapat bercorak realis, surealis,24 dekoratif sampai yang bercorak semi abstrak.
C. Kaligrafi Kontemporer
Kaligrafi yang dikenal dalam bentuk ragamnya sekarang, mempunyai asal-usul yang cukup panjang dan berliku. Perkembangannya telah dimulai sejak berabad-abad yang lampau, dimulai dari pemerintahan Dinasti Ummayah (661-750 M) dengan pusatnya di Damaskus, Syria sampai pada pemerintahan Dinasti Abbasiyah (750-1258 M) dengan pusatnya di Bagdad, dan berlanjut lagi pada masa-masa pemerintahan Fatimiyah (969-1171 M), pemerintahan Ayyub (1771-1250 M), pemerintahan Mameluk (1250-1517 M) dengan pusatnya di Mesir, pemerintahan Usmaniah (1299-1922 M) dan pemerintahan Safavid Persia (1500-1800 M). Demikian lamanya pengembangan kaligrafi Islam berlangsung hingga mencapai kematangannya.25
Dalam perjalanannya, kaligrafi Arab yang lebih sering menjadi alat visual ayat-ayat al-Qur’an, tumbuh tertib mengikuti rumus-rumus berstandar (al-khath al-mansub) olahan Ibnu Muqlah26 yang sangat ketat. Standarisasi yang menggunakan alat ukur titik belah ketupat, alif dan lingkaran untuk mendesain huruf-huruf itu mencerminkan “etika berkaligrafi” dan kepatuhan pada “kaidah murni” aksara Arab.
Namun, belakangan muncul gerakan yang menjauhkan diri dari kebekuan ikatan-ikatan tersebut. Kreasi mutakhir yang “menyimpang” dari grammar lama ini populer dengan sebutan “kaligrafi kontemporer”, merujuk pada gaya masa kini yang penuh dinamika dan kreatifitas dalam mencipta karya yang serba aneh dan unik,27 seperti karya-karya kaligrafis yang dibuat di atas kayu, kanvas lukis, atau bahan lain yang menggambarkan beberapa ayat Al-Qur’an atau Hadits Nabi, atau karya mandiri dari seniman.
Munculnya kaligrafi kontemporer lebih dipengaruhi oleh perkembangan seni rupa Barat yang mengarah pada kebebasan dalam berkarya. Wujud yang ingin ditampilkan adalah nilai-nilai artistik baru secara tersurat dengan menafikan aturan-aturan lama (rumus-rumus dasar kaligrafi), tanpa ingin menyuguhkan makna-makna baru secara tersirat dari ayat-ayat Suci Al-Qur’an.
Ciri-ciri yang telihat dalam kaligrafi kontemporer adalah pada konsep “kebebasan” berkarya, baik karakter huruf yang ditampilkan maupun media yang digunakan. Salah satunya adalah seperti yang ingin ditampilkan dalam karya seni lukis kaligrafi.
1. Pembatasan Masa Kontemporer
Secara terminologis, kata kontemporer berarti ‘zaman sekarang’ atau ‘masa kini’.28 Kata ini menunjukan suatu periode atau suatu angakatan yang paling baru. Jika beberapa literatur menunjuk pada angka tahun ‘70-an sebagai titik awal kebangkitan agakatan seni rupa kontemporer, hal ini dapat dimaklumi dan bisa menjadi keyakinan karena sampai tahun-tahun terakhir sebelum itu, kata kontemporer tidak banyak di kenal di kalangan seni rupa.
Meskipun kaligrafi dapat dimasukkan ke bagian seni rupa, namun tidak harus mengikuti corak periodesasi seni rupa secara utuh,29 yaitu zaman kuno, zaman tengah, dan zaman modern yang masing-masing mempunyai sifat-sifat tersendiri.30 Kendatipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa gaya kaligrafi Islam “kontemporer”, “modern” atau “masa kini “ tidak lepas dari perjalanan dan bias pengaruh seni rupa modern yang merupakan fenomena konsep dan realitas di tengah-tengah lalu lintas perjalanan seni rupa di seluruh pelosok dunia.
Secara kebetulan, dalam proses perkembangannya, seni rupa modern yang awalnya tumbuh di Barat, merembet ke Timur Tengah dan bagain-bagian dunia Islam lainnya termasuk Indonesia. Adanya hubungan kuat Barat-Timur tersebut, karena tulisan yang merupakan bagian dari seni grafis berhubungan erat dengan seni-seni lain seperti menggambar, menulis, dan arsitektur. Di sini tulisan bergabung dalam satu latar kesataun unit media seperti dinding masjid atau kanvas lukis. Oleh karena itu, meskipun tumbuh independen, kenyataannya secara konstan mengikuti dan di ikuti irama seni secara kreatif.
Gejala ini muncul terutama tahun ‘70-an dan berkembang lebih beringas di tahun ‘80-an yang diikuti oleh pameran-pameran yang meluas di negara-negara Islam termasuk Indonesia. Namun, tanda-tanda dan yang mengarah pada model kaligrafi “bebas” atau “dibebaskan” ini sudah berlangsung sebelum tahun-tahun tersebut.dan tidak semata-mata dipengaruhi seni rupa Barat,31 kerena lukisan kaligrafi modern mula-mula muncul di Iraq dan Iran pada tahun 1950-an 32
2. Corak Kaligarafi Kontemporer
Kaligrafi Islam kontemporer merupakan “pemberontakan” atas kaidah-kaidah murni kaligrafi klasik. Perkembangannya sangat pesat menjejali aneka media dalam bentuk-bentuk kategori. Mazhab tersebut berusaha lepas dari kelaziman khath atau kaligrafi murni yang banyak dipegang para khathath di banyak pesantren dan perguruan Islam, seperti Naskhi, Tsuluts, Farisi ,Diwani Diwani Jali, Kufi, dan Riq’ah.33
Di antara ciri-ciri “pelanggaran” yang menunjuk pada bukti kebebasan kreatif yang menghasilkan gaya berbeda ini dapat disimpulkan dari kemungkinan-kemungkinan berikut:
1. Sepenuhnya berdiri sendiri sebagai suguhan khas pelukisnya, dengan mengabaikan sama sekali bentuk anatomi huruf khath murni. Bentuk ini merupakan eksplorasi teknik dan kebebasan ekspresi penuh sang pelukis.
2. Merupakan kombinasi antara hasil imajinasi pelukis dengan gaya murni yang populer. Pada bagain ini , karya kontemporer masih mewarisi bentuk tradisionalnya.
Gaya kontemporer juga lebih mengarah kepada kecenderungan tema, yakni karya dua dimensi atau tiga dimensi yang menghadirkan unsur kaligrafi “secara mandiri” dan dilatari unsur lain dalam kesatuan estetik dengan penampilan sebagai gaya ungkapan, media, dan teknik. Wujud nyata alam pada karya-karya dihadirkan melauli penggambaran nyata berupa pemandangan, benda-benda, dan peristiwa.34
Ciri tertentu dari gaya kaligrafi yang baru ini berbeda dari satu daerah ke daerah lain, tetapi tidak nampak perbedaan yang menonjol dari satu wilayah dalam mengembangkan seni Islam kuno tersebut. Bukan berati bahwa hasil karya para kaligrafer dewasa ini tidak memperlihatakan keragaman corak. Keragaman corak itu ada, tetapi keragaman corak itu lebih didasarkan pada variasi adaptif pengaruh dari dunia non-Islam bukan dari ciri nasional. Kalaupun harus ditetapkan kategori atas kecendrungan kaligrafi kontemporer di dunia Islam, kebanyakan gaya baru itu akan terbagi menjadi kategori-kategori berikut: Tradisional, Figural, Ekspresionis, Simbolik, dan Abstrak 35
a. Kaligrafi Tradisional
Tipe ini dihasilkan oleh para kaligrafer kontemporer muslim dalam berbagai gaya dan tulisan yang telah dikenal generasi kaligrafer terdahulu. Pemakaian kata “tradisional” menunjukan kesenian dengan tradisi khath masa lalu. Pesan-pesan yang lebih ditekankan pada pengaturan yang indah dari huruf-huruf ketimbang menapilkan lukisan kaligrafi dalam bentuk pigura alam. Meskipun demikian, terdapat juga kaligrafer tradisional yang melukis kaligrafi dalam pola dedaunan atau motif-motif bunga dan pola-pola geometris. Namun, efek keseluruhan karya kontemporer para kaligrafer tradisional adalah abstrak.
b. Kaligrafi Figural
Kaligrafi kontemporer disebut sebagai “figural” karena ia menggambungkan motif-motif figural dengan unsur-unsur kaligrafi melalui berbagai cara dan gaya. Unsur-unsur figural lazimnya terbatas pada motif-motif daun atau bunga yang dilukiskan agar lebih sesuai dengan sifat abstrak kaligrafi Islam. Figur-figur manusia atau binatang biasanya jarang ditemukan dalam naskah-naskah al-Qur’an yang ditulis secara kaligrafis, dalam dekorasi masjid atau madrasah. Tipe terakhir ini lebih banyak digunakan pada perkakas rumah tangga. Dalam tipe figural, sering terjadi “peleburan” huruf dalam seni lukis masa lalu dan kontemporer. Dalam desain seperti ini, huruf-huruf diperpanjang atau diperpendek, melebar dan menyelip, atau diperinci dengan perluasan lingkaran, tanda-tanda tambahan dan sisipan lain yang dibuat agar sesuai dengan non-kaligrafis, geometris, floral, fauna, atau sosok manusia.
c. Kaligrafi Ekspresionis
Kaligrafi ekspresionis merupakan tipe ketiga seni kaligrafi kontemporer di dumia Islam kini. Gaya ini berhubungan dengan perkembangan utama dalam estetika Barat. Meskipun para kaligrafer ekspresionis menggunakan “Perbendaharaan Kata” warisan artistik Islam, mereka jauh berpindah dari contoh “Grammar” kaligrafi asli yang sudah baku. Dalam kaligrafi ekspresionis, perlu diusahakan penyampaian pesan emosional, visual, dan respon pribadi terhadap objek-objek, orang-orang atau peristiwa yang digambarkan.
d. Kaligrafi Simbolis
Kategori keempat kaligrafi Islam kontemporer termasuk apa yang disebut kaligrafi “Simbolis” dengan memaksakan “penyatuan melalui kombinasi makna-makna”, peranan huruf-huruf sebagai penyampaian pesan dinaifkan. Bukti dari akulturasi semacam ini sangat kentara dalam desain-desain kaligrafi kontemporer yang menggunakan huruf atau kata Arab tertentu sebagai simbol suatu gagasan atau ide-ide yang kompleks. Misalnya huruf sin diasosiasikan dengan sayf (pedang) atau sikkin (pisau) yang lazimnya disandingkan bersama penggambaran objek-objek asosiasi untuk menyampaikan “pesan-pesan khususnya”. Bagi sebagian kalangan, hampir semua huruf bisa dipahami secara simbolik, meskipun tidak disetujui sebagian yang lain.
e. Kaligarafi Abstrak
Gaya kelima kaligrafi Islam kontemporer ini dijuluki “khat palsu” atau “khat kabur mutlak“ karena menunjukkan corak-corak seni yang menyamai huruf-huruf atau perkataan-perkataan tetapi tidak mengandung makna apapun yang dapat dikaitkan dengannya. Dengan menafikan makna lingustik, huruf-huruf itu hanya menjadi unsur sesuatu corak dan untuk “tujuan-tujuan” seni semata. Melalui penggunaan unsur-unsur abjad yang berubah-ubah itu, ahli-ahli kaligrafi abstrak menggunakan huruf-huruf sebagi corak, tidak sebagai unsur-unsur suatu pesan.
Keragaman corak dari beberapa kategori tersebut di atas, sama-sama ingin menghadirkan (menciptakan) sebuah karya seni sebagai wujud dari ekspresi estetika dan etika islami seorang seniman. Perbedaan yang sangat menonjol hanya terletak pada karakteristik yang berusaha ditampilkan dan media yang digunakan oleh masing-masing seniman sebagai perupayat (pelukis kaligrafi).
Seni rupa kontemporer Islam yang berkembang di Indonesia – termasuk di dalamnya seni lukis kaligrafi– memang membuat masyarakat terkejut dan menimbulkan berbagai pandangan di kalangan seniman muslim, karena kehadirannya yang tiba-tiba populer di tahun ’70-an. Padahal ia tidak muncul begitu saja, melainkan melalui pergumulan ide yang panjang,36 hingga tumbuh subur di kalangan seniman kita beberapa waktu terakhir ini, terutama sejak diadakannya pameran Seni Kaligrafi Islam pada MTQ XI di Semarang (1979) dan pameran pada Muktamar Media Masa Islam se-Dunia I di Balai Sidang Senayan Jakarta (1-3 September 1980).37
Pelopor mazhab ini adalah Ahmad Sadali dan A.D. Pirous (Bandung) diikuti oleh Amri Yahya (Yogyakarta) dan Amang Rahman (Surabaya). Ajaran-ajaran mereka dengan cepat menyebar dan diikuti para pelukis di kampus-kampus seni rupa. Di Yogyakarta, “generasi kedua” sesudah mereka antara lain, Syaiful Adnan, Hatta Hambali, Hendra Buana, Yetmon Amier, dan lain-lain dengan aneka teknik dan gayanya masing-masing.38
BAB III
SENI LUKIS KALIGRAFI DI YOGYAKARTA
A. Pertumbuhan dan Perkembangannya
Seni lukis Kaligrafi merupakan bentuk kreatifitas baru, sebagai prakarsa termuda dalam bidang kesenian Islam yang berkembang seiring dengan tumbuhnya rasa indah pada manusia dari zaman ke zaman. Dengan demikian, pada hakekatnya seni lukis kaligrafi itu merupakan suatu rasa yang hidup, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Perkembangan seni lukis kaligrafi tidak saja dilihat dari bentuk-bentuk tulisan yang indah, tetapi dapat dilihat dari dimensi kultural. Selain menampilkan tulisan-tulisan indah, juga memiliki dimensi religius bagi pencipta dan yang menikmatinya.
Akhir-akhir ini, seni lukis kaligrafi yang dimodifikasi dari keabsahannya sebagai kaligrafi murni, terlihat semakin berkembang dalam masyarakat. Banyak seniman muslim (khususnya pelukis) dengan latar belakang budaya masing-masing, berkarya seni lukis kaligrafi.
Dalam pertumbuhan dan perkembangannya, seni lukis kaligrafi selalu dihubungkan dengan rupa-rupa teknik penggarapan karya secara keseluruhan, seperti teknik batik, teknik grafis, teknik ukir kayu, teknik logam dan lain-lain dalam media dan peralatan (seperti cat minyak atau akrilik) yang beragam pula. Hasil garapan yang menggunakan huruf dengan latar belakangnya membentuk sebuah “lukisan secara utuh”, tidak hanya tulisan terpisah.
Seni lukis kaligrafi mulai tumbuh dan berkembang di Yogyakarta bersamaan dengan munculnya Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia pada tahun 1970-an. Proses pertumbuhan dan perkembangan seni lukis kaligarfi dalam seni kaligrafi kontemporer, pada dasarnya sama dengan Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia, yaitu meliputi aspek ide, kreatifitas, teknik atau bentuk, gaya atau kepribadian, dan fungsinya. Sebagai pelopornya adalah Amri Yahya (1976), kemudian diikuti oleh pelukis-pelukis lainnya seperti Syaiful Adnan (1982), Hendra Buana (1990), Hatta Hambali dan Yetmon Amier (1996), serta para alumnus perguruan seni rupa di Yogyakarta. Bahkan para pelukis dan khathath (kaligrafer) yang tidak memiliki disiplin pendidikan seni rupa pun banyak yang terjun ke “permainan” seni lukis kaligrafi gaya baru ini.
Pada tahun 1970-an, bentuk pengungkapan baru terhadap kaligrafi yang berkembang di Cirebon adalah menggarap karya-karya seni kaligrafi dalam berbagai bentuk wayang dan tokoh cerita dalam agama Islam, dengan menggunakan bahan kaca sebagai medium seni lukis.1 Sementara itu di Yogyakarta, seni lukis kaligrafi yang pertama kali muncul dan dikembangkan adalah dengan menggunakan media batik, yang dipelopori oleh pelukis batik Indonesia, Amri Yahya.
Pada perkembangannya di era ’80-an, seni lukis kaligrafi dalam media batik menjadi karya yang semakin langka, karena deretan pejuang dalam seni lukis batik sudah banyak yang berguguran. Hanya Amri Yahya yang masih kelihatan tegar dalam keyakinannya.
Di samping itu, yang menjadikan karya seni lukis kaligrafi dalam media batik semakin langka, karena penggabungan antara bentuk kaligrafi dengan goresan-goresan ekspresif serta unsur-unsur kebentukan lainnya di dalam media batik, bukanlah pekerjaan yang mudah. Penyebabnya karena:
1. Sulitnya pembuatan lukisan dengan menggunakan teknik batik.
2. Sulitnya memadukan komposisi unsur-unsur kebentukan dengan karakter kaligrafi dalam media batik.
3. Sulitnya dalam hal mengontrol akurasi warna, sesuai dengan warna yang dikehendaki.
Solusinya harus menggunakan konsep yang jelas dan matang, ditunjang oleh kemampuan teknik yang memadai, serta didukung oleh pengalaman dan cita rasa artistik.2 Karena teknik pembuatannya yang lumayan sulit, cenderung membuat seorang seniman merasa bosan untuk menggunakan teknik batik sebagai media lukis kaligrafi, kecuali mereka yang dengan pemahaman dan kecintaan mendalam akan teknik itu.
Perkembangan selanjutnya, pada tahun 1982 muncul gaya baru dalam perjalanan seni lukis kaligrafi, yang oleh sebagian kalangan seniman muslim gaya baru tersebut disebut dengan gaya “Syaifuli”, yaitu aliran atau gaya yang berafiliasi kepada nama penciptanya, Syaiful Adnan, sebagai “generasi kedua” setelah Amri Yahya.3
Seni lukis kaligrafi gaya “Syaifuli”, tidak terikat oleh kaidah-kaidah khathiyah. Kebebasannya merupakan proses pencarian jati diri (karakter) bagi penciptanya sebagai seorang seniman.
“Kaligrafi saya adalah aliran saya sendiri, dan tidak mengikuti satupun dari ke-delapan aliran baku. Bahkan banyak ahli kaligrafi mengklaim karya kaligrafi saya bukan kaligrafi Islam. Hal itu karena penyimpangan dari kaidah-kaidah baku. Tanggapan tersebut bisa jadi karena mereka lupa, bahwa lahirnya ke-delapan aliran baku tersebut berawal dari proses kreatif seorang seniman. Seniman tersebut masing-masing menpunyai ciri khas sendiri yang karena hasil karyanya dinilai sangat bagus maka dikukuhkan menjadi sebuah gaya atau aliran. Dan kalau saya tidak menempatkan diri sebagai pengikutnya maka hal itu bukan suatu kesalahan”.4
Kehadiran gaya “Syaifuli” merupakan usaha untuk mencapai nilai-nilai baru seni lukis kaligrafi yang bernafaskan keindonesiaan. Dalam arti proses penciptaannya mengolah kaligrafi Arab dalam iklim dan bahasa estetik seni rupa Indonesia.5 Dengan corak yang khas ini, membuat seni lukis kaligrafi semakin diakui keberadaanya sebagai perwujudan kesadaran baru mengenai identitas etnik, nasional dan religius di kalangan seniman muslim Yogyakarta dan umat Islam di Indonesia pada umumya.
Generasi selanjutnya yang dikenal sebagai pengembang seni lukis kaligrafi sekitar tahun 1990-an, di antaranya Hendra Buana, Hatta Hambali, dan Yetmon Amier. Mereka mengembangkan seni lukis kaligrafi dengan gaya dan tekniknya masing-masing. Memasuki awal tahun 2000, tidak nampak sosok seniman yang bisa dikatakan sebagai “generasi ketiga” (setelah Syaiful, Hendra, Hatta dan Yetmon), karena tidak terlihat karakteristik dari seniman yang mencoba terjun ke dalam seni lukis kaligrafi.
Pada kenyataannya, pertumbuhan dan perkembangan seni lukis kaligrafi di Yogyakarta umumnya masih terikat pada gaya menulis kaligrafi ‘bebas’ atau ‘dibebaskan’. Hal ini disebabkan karena pengetahuan seniman muslim (pelukis) yang mengembangkan seni lukis kaligrafi kurang menguasai model tulisan yang sesuai dengan kaidah-kaidah khathiyah. Sering dijumpai corak tulisan yang digoreskan pada medium lukisannya hanya berupa bentuk tulisan rekaan saja.
Sifatnya yang ekspresif (mengandung banyak arti) dan mempunyai gaya pribadi (karakteristik) yang sudah tidak semata-mata menganut pada patokan yang baku (kaidah-kaidah khathiyah), menjadikan seni lukis kaligrafi sebagai sebuah karya kontemporer (modern).
B. Faktor yang Mendasari Munculnya “Pemberontakan” terhadap Kaidah Khathiyah
Seorang senimam (pelukis) mempunyai cara sendiri-sendiri dalam menuangkan ide karya seninya. Karena kegelisahannya, mereka mengadakan semacam “pemberontakan” terhadap keyakinan yang pernah dianutnya. Bahkan ada yang mengadakan “pemberontakan” tehadap keyakinan yang sama sekali belum mereka anut. Perasaan terbelenggu itu dirasakan karena kaidah-kaidah khathiyah sangat memenjaranya. Mereka harus menuangkan ide karya seninya dengan aturan-aturan yang mengikat, bahkan merupakan kesalahan besar bagi yang mencampuradukkan kaidah-kaidah tersebut, apalagi mengubahnya.
Melihat kenyataan tersebut, bahwa kaidah-kaidah khathiyah bagi sebagian kalangan seniman (terutama pelukis) hanya merupakan suatu “penjara” atau “belenggu” saja. Mereka menuntut kebebasan!, mereka ingin bebas dari ikatan-ikatan atau aturan-aturan yang “mengikat”nya.
Tidak salah, apabila dengan semangat dan motivasi kuat –dalam melakukan perburuan gaya-gaya seni kaligrafi— untuk mengembangkan seni budaya Islam, mereka berusaha membebaskan diri dari kebekuan yang mengungkung kebebasan mereka dalam berimajinasi. Sebagaimana yang diungkapkan Harsojo6 bahwa karya seni itu bersumber pada dua hal yaitu: pertama peningkatan teknik, dan kedua ekspresi emosi dan pikiran. Makin energik suatu bentuk itu dikuasai dari gerakan yang tidak terkoordinasi, makin tinggilah nilai keindahan dan nilai seninya.
Terseretnya khath (kaligrafi Arab) ke dalam arus perubahan yang dramatis ini dikarenakan alphabetnya sangat toleran dijadikan (dan selalu mencakup) “ekspresi segala sesuatu”. Sementara itu, sejarah kaligrafi sendiri sebenarnya adalah sejarah penemuan dan perburuan gaya-gaya. Oleh Habibullah Fada’ili7 disebutkan bahwa setiap gaya kaligrafi tunduk sepenuhnya terhadap eksperimen dan modifikasi selama bertahun-tahun bahkan berkurun-kurun, sampai terbentuknya pola yang benar-benar sempurna.
Ada beberapa faktor yang mendasari munculnya “pemberontakan” (pembebasan atau pembaharuan) terhadap kaidah-kaidah khathiyah, di antaranya adalah munculnya gejala elit seniman muslim yang datang dari perguruan tinggi seni di Yogyakarta atau seniman terkenal pada pertengahan tahun 1970-an, yang mengkhususkan diri pada karya kaligrafi.8
Sebagai pelaku seni, mereka selalu mendambakan “kemungkinan berkarya”, dalam arti mengharapkan keragaman gaya dalam seni kaligrafi. Dengan kata lain, menghujani seni kaligrafi dengan kemungkinan-kemungkinan baru dan mengakui semua kemungkinan tanpa batas sebagai pencerminan sikap “mencari” kebebasan berimajinasi.9
Senjata paling ampuh yang sangat dibangga-banggakan seniman adalah apa yang disebut “imajinasi”.10 Kebebasan berimajinasi dalam proses penciptaan. Seniman menuntut kebebasan berimajinasi dalam mencipta (berkarya). Itulah suara lantang yang selalu dikumandangkan di mana-mana sebagai suatu manifestasi seni yang menandai setiap karyanya.11
Semua itu bias terjadi, berawal dari ketidakpuasan terhadap sesuatu yang sedang digeluti atau ditekuninya. Seperti yang dialami oleh Syaiful Adnan.12 Ketidakpuasannya tentang kaligrafi yang ditekuninya dari tahun 1977, justru memberinya keluasan atau kebebasan sesuai dengan keinginannya. Dengan selalu mengadakan eksperimen tentang karakter huruf Arab, maka dari hasil keuletannya, ia menemukan karakter huruf yang mantap dan konsisten. Oleh sebagian pengamat seni disebut sebagai gaya “Syaifuli”.
Ada pun faktor lain yang mendasari munculnya “pemberontakan” terhadap kaidah-kaidah khathiyah tersebut, adalah berkembang pesatnya seni rupa kontemporer Barat, yang juga dibarengi dengan munculnya “Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia”. Terutama semenjak tahun ’70-an, pengaruh pemikiran dan orientasi Barat sangat dominan, sehingga memberikan gaya baru pada sosok kaligrafi kontemporer Islam.13
Beberapa langkah gebrakan baru dalam “Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia” yang menjadi faktor mempengaruhi munculnya “pemberontakan” terhadap kaidah-kaidah khathiyah, seperti:
1. Membuang sejauh mungkin sikap “spesialis” dalam seni rupa yang cenderung membangun “bahasa elitis” yang menjadikan maksud si seniman tidak dapat dipahami oleh masyarakat yang lebih menilainya sebagai bagian yang mengandung misteri. Sebagai gantinya, timbul anggapan bahwa kekayaan ide atau gagasan lebih utama dari pada keterampilan “master” dalam menggarap elemen-elemen bentuk.
2. Mencita-citakan perkembangan seni rupa Indonesia dengan jalan mengutamakan pengetahuan yang didasari oleh tulisan dan teori orang Indonesia.
3. Mencita-citakan seni rupa yang lebih hidup, dalam arti kehadirannya tidak diragukan, wajar berguna, dan hidup meluas di kalangan masyarakat.14
Contoh kecil adalah lahirnya lukisan-lukisan abstrak kaligrafis yang dikembangkan oleh Hendra Buana,15 sebagai gerak perkembangan yang berani dan dinamis di tengah kancah seni lukis kontemporer Indonesia. Hendra Buana berusaha menggali kekayaan budaya Islam dengan mengangkat seni kaligrafi. Kendati bentuk-bentuk khat dalam karyanya lebih disesuaikan dengan bahasa bentuk lukisannya dari pada kelayakan gaya atau khat baku.
Kecenderungan yang kuat dan menonjol, ialah kecenderungan kembali ke akar tradisi dan sumber cipta karya seni yang paling dalam. Ada dua hal kecenderungan, yaitu:
1. Para seniman berusaha menggali sumber ilham karyanya dari perbendaharaan estetik yang telah ada dalam sejarah kebudayaan bangsanya.
2. Dalam budaya bangsa Indonesia, seni berperan bukan hanya untuk mengungkapkan kenyataan sosial, tetapi juga mengekspresikan nilai-nilai religius, spiritual dan transendental.
Tugas seorang seniman ialah menyajikan secara estetis keindahan yang dapat ditangkap dari alam bentuk atau kehidupan nyata. Seni adalah tiruan kreatif (mimesis) terhadap kenyataan yang dihadirkan objek-objek di alam rupa atau peristiwa-peristiwa. Sarana yang digunakan untuk menangkap keindahan adalah pencerapan indera, daya bayang (imajinasi) dan akal.16
Seni lukis kaligrafi tidak akan menyuguhkan makna-makna baru secara idio plastis (tersirat) dari ayat-ayat Suci Al-Qur’an, walaupun bertolak dari suatu imaji simbolis tradisional yang memiliki arti klasik dan maha benar, serta fungsi sosial budaya tersendiri. Juga tidak bertujuan untuk berkompetisi dengan imajinasi simbolis dari suatu tradisi yang telah berakar dalam masyarakat Islam. Tetapi ingin menyuguhkan nilai-nilai artistik baru yang dituangkan ke dalam media lukisan dan sekaligus memperkaya imajinya secara fisiko plastis (tersurat) kaligrafi Islam. Adapun hasil dari seni lukis kaligrafi bukan lafal-lafal Al-Qur’an yang mudah dibaca atau tulisan yang hanya selesai pada tulisan, melainkan suatu penyatuan unsur-unsur fisiko plastis dengan idio plastis sebagai cita rasa bentuk kaligrafi Islam yang dijiwai oleh firman Ilahi.17
Sebagai karya “pemberontakan”, seni lukis kaligrafi mempunyai ‘tugas tambahan’ yakni menjalankan fungsinya sebagai sarana untuk berdakwah. Sebagai media dakwah, dalam karya seni lukis kaligrafi tidak hanya ditekankan kepada saratnya muatan-muatan dakwah yang ada di dalam karya-karya tersebut, akan tetapi perlu juga ditopang oleh pengolahan artistik yang memadai (baca: mempunyai nilai artistik). Hal ini disebabkan karena betapapun saratnya muatan dakwah yang ada dalam karya seni lukis kaligrafi tersebut apabila tidak diikuti oleh kaidah-kaidah seni lukis agar artistik dan menarik, maka karya tersebut tidak akan menarik perhatian (menggugah) apresian. Akibatnya muatan dakwah yang terdapat dalam karya tersebut tidak akan sampai kepada apresian.
C. Pandangan Sebagian Seniman Muslim terhadap Seni Lukis Kaligrafi
Munculnya “pemberontakan” terhadap kaidah-kaidah khathiyah merupakan salah satu fakta sejarah yang tidak bisa dilepaskan dari adanya “Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia”. Karya seni lukis kaligrafi yang ditampilkan oleh “pemberontakan” tersebut, mengundang berbagai pandangan di kalangan para seniman muslim (pelukis). Ini hal yang wajar, karena setiap yang baru mesti tidak sama dengan yang sudah ada sebelumnya, bahkan bisa bertentangan dan kadang kala bisa memancing perdebatan yang cukup sengit.
Munculnya pebedaan pandangan terhadap perkembangan seni lukis kaligrafi, salah satunya disebabkan karena masih belum terdapat kesamaan persepsi terhadap seni rupa Islam, baik dari kalangan cendikiawan, maupun para ulama. Kesalahan persepsi yang sangat mendasar adalah masih adanya sebagian besar masyarakat muslim yang selalu mengartikan kaligrafi atau tulisan Arab sebagai ayat Suci Al-Qur’an, dan adanya perbedaan prinsip (yang sebenanya tidak mendasar) antara khathath dan pelukis kaligrafi. Di satu pihak, pelukis kaligrafi menghendaki kebebasan berimajinasi dalam berkarya, dengan alasan bahwa sebuah karya seni itu berawal dari proses kreatif seorang seniman. Sementara di pihak lain khathath atau kaligrafer mengklaim bahwa karya yang diciptakan oleh pelukis kaligrafi, bukanlah kaligrafi Islam, dengan alasan karena tidak mengikuti kaidah-kaidah khathiyah.
Disadari atau tidak, seiring dengan perjalanan kehidupan manusia, seni berlaku sejak masa pra-sejarah sampai zaman modern sekarang ini. Goresan-goresan tua di batu cadas, lukisan di gua-gua, nyanyian primitif, mantera-mantera, peralatan rumah tangga sampai hiasan makam, telah menunjukkan pada kita tentang usia kesenian. Pasti mengalami perubahan dan perkembangan.
Mempermasalahkan tentang seni, pada intinya sama juga dengan mempermasalahkan tentang hidup, karena tidak dapat dipungkiri bahwa seni mempunyai peran dan termasuk dalam sendi-sendi kehidupan, seperti yang terlihat dalam setiap aktivitas manusia, baik bersifat individual maupun sosial.
Apabila seni dikaitkan dengan kehidupan keagamaan (keyakinan), secara faktual akan terlihat. Masyarakat akan berusaha mengaktualisasikan keyakinan keagamaannya melalui simbol-simbol yang representatif. Dalam bidang seni rupa, simbol-simbol ini secara visual merupakan representasi karakteristik. Sebagai contoh, orang Islam akan memajang lukisan kaligrafi, atau ia akan melukis sendiri kaligrafi itu, jika ia seorang seniman.
Seni yang Islami pada prinsipnya harus berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Seni yang Islami adalah seni yang menunjukkan atau mengajak agar orang sadar bahwa ia beragama Islam. Sadar akan tanggung jawabnya sebagai orang Islam, dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam berkeseniannya. Karena dalam setiap manifestasinya berdasarkan kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits, maka setiap seni rupa Islam dapat digunakan sebagai media untuk berdakwah, yakni menyampaikan kandungan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits kepada setiap orang, khususnya umat Islam.
Di samping itu, Islam telah mengatur jalan dan periaku hidup manusia baik untuk kehidupan duniawi maupun kehidupan akhirat. Islam memberi kedudukan yang berharga terhadap kesenian. Penghargaan tersebut melahirkan sikap yang kemudian diintegrasikan ke dalam suatu tuntutan bagi pemeluknya. Sejarah telah membuktikan bahwa berbagai kesenian telah berkembang sampai pada puncak keemasannya di masa dahulu.18
Dari uraian di atas jelaslah bahwa dalam berkesenian (seni lukis kaligrafi) tidak semata-mata merupakan kegiatan jasmani manusia saja, melainkan disertai dengan kegiatan rohani atau aktifitas jiwanya. Kalau seseorang melukis hanya dengan tangannya saja dan tidak disertai dengan kegiatan rohaninya, maka hasilnya belum dapat disebut seni. Kedua batasan tentang kesenian tersebut di atas memandang kesenian dari segi karya seni dan dari sisi seniman selaku kreator, serta dari apresian selaku penikmat seni.
Dalam hal ini, dapat dikatakan terjadi proses pengalihan perasaan dari seorang seniman melalui karyanya kepada apresian yang dapat berupa gagasan, nilai, atau pesan. Pengalihan perasaan itu dapat terjadi karena adanya penginderaan sebagai faktor estetika dengan imajinasi yang bersumber dalam hati sebagai titik tumpunya.19 Dalam al-Qur’an surat an-Nahl ayat 78 dijelaskan sebagai berikut:
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu sedang kamu tidak mengetahui sesuatu dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, pengelihatan dan hati supaya kamu bersyukur”.20
Setiap teori kesenian selalu bertolak dari asumsi bahwa secara moral, semua manusia memberikan reaksi terhadap bentuk, yang dihadapinya. Didukung oleh pengalaman dan pendidikannya, manusia akan melahirkan kesan dalam jiwanya. Mengekspresikan dengan baik adalah tugas dan tanggung jawab seniman yang memungkinkan berkaya seni, baik musik, seni rupa, sastra, drama maupun film, mejadi karya seni yang benar-benar bermakna. Karya seni tersebut dapat berperan sebagai media komunikasi rohani antar seniman dengan orang lain atau apresian.
Sebuah kesalahan besar jika kehadiran seni lukis kaligrafi dianggap sebagai aliran yang menyalahi peraturan (rumus-rumus dasar kaligrafi), bahkan diklaim sebagai hasil karya yang tidak mencerminkan kaligrafi Islam. Kenyataannya, siapa pun boleh punya pandangan yang berbeda (sekalipun di kalangan pelukis itu sendiri) terhadap seni lukis kaligrafi (baik maupun buruk/setuju atau tidak), tetapi yang harus disadari bahwa hadirnya seni lukis kaligrafi merupakan bukti adanya perkembangan positif dalam belantika seni rupa Islam di Indonesia, khususnya Yogyakarta sebagai salah satu pusat seni dan budaya.
Pandangan yang mengatakan bahwa seni lukis kaligrafi belum layak dikatakan sebagai seni lukis, terlontar dari beberapa kalangan seniman muslim, di antaranya Ahmad Sadali dan AD. Pirous (Bandung) pelopor seni lukis kaligrafi. Mereka lebih setuju kalau lukisan kaligrafi itu disebut sebagai graffiti; sebuah coretan berbentuk huruf dengan keserasian warna.21 Bukan sebagai seni lukis.
Berbeda jauh dengan pandangan Affandi (Yogyakarta), seni lukis kaligrafi sebagai kaya lukis menggambarkan ekspresi individual yang karakteristik, meskipun dalam menampilkan tulisan hurufnya dapat saja menggunakan huruf yang sejenis. Huruf dalam karya ini sebagai penbentuk karya lukisan. Dengan gaya dan coraknya masing-masing meskipun tema dan petikan kalimatnya sama, setiap pelukis dapat tampil beda dalam karyanya. Dengan kebebasan ekspresinya, seni lukis kaligrafi tampil dengan ramuan unsur-unsur yang sangat bervariasi, baik unsur pokok maupun unsur pelengkapnya. Tampilnya huruf bukan satu-satunya unsur dalam seni lukis kaligrafi, meskipun unsur huruf mutlak harus ada. Dalam seni lukis kaligrafi seniman bukan hanya membuat tulisan indah, tetapi tulisan indah menjadi unsur mutlak yang diaransemen dalam suatu karya.22
Sementara pandangan Amri Yahya, seni lukis kaligrafi harus berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Implementasinya, setiap penuangan kaligrafi ke dalam wujud seni lukis harus bersumber kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Manifestasi kaligrafi dalam seni lukis tidak harus terikat pada kaidah-kaidah khathiyah. Karena sebagai pelukis (bukan penulis khath/khathath) yang ingin melukis kaligrafi bersumber kepada Al-Qur’an, boleh saja tidak mengikuti kaidah seperti Tsuluts, Kufi, Diwani, dan lain-lain.23 Namun dalam perencanaannya harus berhubungan dengan orang-orang yang berkompeten (ulama, ahli kaligrafi), terutama yang berkaitan dengan tata bahasa dan tata tulis yang benar. Tujuannya untuk menghindari kesalahan diri, terhadap kesalahan-kesalahan fatal yang mungkin terjadi pada saat penuangan ayat-ayat Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Karena seni lukis kaligrafi bukan hanya berfungsi sebagai sarana komunikasi dengan apresian, akan tetapi lebih jauh lagi berfungsi sebagai sarana untuk berdakwah kepada setiap umat (hablun min al-nas). Di samping itu penciptaan seni lukis kaligrafi merupakan manifestasi totalitas pengabdian kepada Allah SWT (hablun min Allah).24
Pandangan yang hampir senada juga diungkapkan oleh Syaiful Adnan. Dalam pandangannya, Seni lukis kaligrafi tidak sekedar menggeluti keindahan artistik semata-mata, melainkan juga menyusupkan pesan dan memberi motivasi kepada penikmat (apresian) agar lebih mengenal kapada Allah SWT. Seni lukis kaligrafi bukan saja menampilakan tulisan yang selesai pada tulisan saja, melainkan pernyataan antara idio plastis dan fisiko plastis yang mengandung nilai-nilai estetik yang religius, dengan bertitik tolak dari Al-Qur’an untuk mencari nilai-nilai baru dalam seni kaligrafi.25 Tak heran jika Syaiful Adnan kurang “senang” kalau seni lukis kaligrafi disejajarkan dengan lukisan biasa secara l’art pour l’art (seni untuk seni) apalagi perilaku beberapa pelukisnya agak urakan. Seni lukis kaligrafi yang berisikan penuangan ayat-ayat Suci Al-Qur’an, hendaknya tetap disucikan sebagi penjelmaan firman Allah SWT. Bukan sekedar pencuci mata, sementara beberapa perangkat huruf, titik, harakatnya ada yang tidak terbaca.26
Berbagai macam pandangan terhadap seni lukis kaligrafi muncul. Namun demikian, seni lukis kaligrafi merupakan sebuah karya adiluhung. Secara estetika sebuah karya lukis kaligrafi mengacu kepada kaidah penciptaan seni rupa modern (kontemporer) secara umum dan secara etika penciptaannya bersumber kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Nilai lebihnya mengandung muatan etik-religius yang berfungsi sebagai media dakwah (tuntunan). Tidak sembarang orang dapat menghayati dalam penciptaannya, itulah mengapa kehadiran seni lukis kaligrafi tidak bisa dipandang sebelah mata (rendah), apalagi jika disejajarkan dengan karya seni lukis pada umumnya.
Demikian pandangan dari beberapa seniman muslim tentang seni lukis kaligrafi, dengan alasannya masing-masing ada sebagian yang mempunyai pandangan, bahwa hasil karya seni yang satu ini bukanlah karya seni lukis. Apa pun namanya itu, umumnya mereka (seniman muslim) lebih setuju tetap dibilang sebagai pelukis bukan kaligrafer, sebab yang ditampilkannya pun adalah lukisan bukan huruf-huruf murni, sehingga karya mereka lebih cenderung sebagai karya seni lukis yang diperkaya oleh unsur-unsur kaligrafi. Titik tolak karya ini adalah lukisan bukan huruf. Torehan huruf yang ada dalam bidang lukisannya telah terpadu dengan struktur bentuk secara keseluruhan, yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Karya-karya mereka tidak sekedar menempelkan huruf pada lukisan. Bidang, warna, garis, tekstur dan huruf Arab menyatu dan membentuk karya lukis.27
Akhirnya, dari berbagai pandangan, tanggapan dan reaksi yang diungkapkan oleh beberapa seniman muslim tersebut, kehadiran seni lukis kaligrafi dianggap oleh para khathath (kaligrafer) membawa banyak hikmah. Hikmah tersebut antara lain: Menimbulkan kesadaran akan kelemahan para khathath sendiri, kekurangan wawasan tentang teknik, kurangnya mengenal ragam media dan kekurangan yang paling menonjol adalah kelemahan tentang bahasa rupa yang ternyata lebih dimiliki oleh para pelukis.
BAB IV
TOKOH DAN ALIRAN SENI LUKIS KALIGRAFI DI YOGYAKARTA
A. Tokoh Seni Lukis Kaligrafi
Ada beberapa tokoh dalam perkambangan seni lukis kaligrafi di Yogyakarta. Di antaranya yang menjadi pelopor seni lukis kaligrafi adalah Amri Yahya dengan karya seni lukis kaligrafinya di atas media batik, dan Syaiful Adnan dengan aliran atau gaya “Syaifuli”nya, sebagai “generasi kedua” setelah Amri, kemudian diikuti oleh pelukis-pelukis lain seperti Hendra Buana, Hatta Hambali, Yemon Amier dan yang lainya.
Amri Yahya, lahir di Palembang, Sumatera Selatan pada tanggal 29
September 1939. Pendidikan seni rupa didapatkan di Yogyakarta. Tahun 1963 lulus sarjana seni rupa di ASRI (sekarang ISI) Yogyakarta dan tahun 1971 lulus sarjana IKIP (sekarang UNY) Yogyakarta. Pada tahun 1978-1979, ia mempelajari keramik dinding di Den Haag Belanda. Sejak tahun 1967 ia aktif mengajar seni rupa di beberapa perguruan tinggi di Yogyakarta maupun luar negeri, terakhir di University of Iowa.
Sejak tahun 1957, sudah giat melakukan pameran. Dimulai di Australia (1957), keliling Asia-Eropa (1962), New York (1964). Selanjutnya ia melakukan pameran keliling lima benua, antara lain: Michigan, San Fransisco, Washington DC, Oklahoma, Iowa City, Santa Barbara,California, Los Angeles, Melbourne, Sidney, Koln, Munich, London, Kopenhagen, Rabe
Denmark), Rijswik, Rotterdam, Den Haag, Paris, Kairo, Damascus, Bagdad, Jeddah, Riyadh, Kuwait, Abu Dhabi, Dubai, Al Ain (UEA), Brunei Darussalam, Malaysia, Bangkok, (melukis, ia sering menjadi juri di berbagai kompetisi seni rupa yang diselanggarakan di dalam maupun luar negeri.
Sebagai pelukis kaligrafi yang menuangkan ekspresi kaligrafinya ke dalam media batik, secara umum konsep penciptaan kaligrafi dalam seni lukis batiknya tidak didasarkan pada konsep yang khas, kecuali menuangkan ekspresi seperti menulis biasa dan tidak melanggar norma-norma atau tuntunan Islam.
Secara idiologis, konsepsi penciptaan kaligrafi dalam seni lukis batiknya, dilandasi oleh rasa sadarnya sebagai hamba Allah. Oleh karena itu ia selalu berusaha mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah. Baik di saat merenung, menikmati alam dan melukis. Secara visual, kaligrafi merupakan salah satu sasaran (subject-matter) yang mudah dipahami. Di samping sebagai hamba Allah yang tidak boleh dan tidak sanggup melukis-Nya. Kaligrafi yang dituangkan di atas kanvas adalah simbol-simbol betapa Maha Besarnya Allah yang telah menciptakan objek sasaran sang hamba yang bernama pelukis. Namun demikian, dalam melukis tidak boleh lepas dari pegangan utamanya Al-Qur’an dan sunnah Rasul. Kalau tidak lepas dari keduanya dalam berkarya Seoul, Tokyo dan Singapura. Selain
, maka karyanya adalah Islami.1
Secara psikologi, pengaruh yang ditimbulkan dari penggunaan kaligrafi sebagai subject-matter dalam seni lukis batiknya dijelaskan, bahwa melukis dengan subject-matter kaligrafi yang bersumber kapada Al-Qur’an maupun Al-Hadits akan lebih mudah dirasakan dekatnya Allah di dalam pikiran dan perasaan. Karena dengan pengaruh Al-Qur’an dan kandungan
isinya, serta dengan menghayati Al-Hadis, akan terasa lebih mudah mengikuti sunnah Rasul tersebut. Di samping itu, faktor gangguan di alam terbuka atau model lainya tidak terjadi ketika melukis kaligrafi (kecuali syetan). Terlebih lagi apabila membaca wahyu Ilahi dan sunnah Rasul itu ditengah malam setelah shalat tahajud.2
Keahliannya dalam seni batik dan kaligrafi diperolehnya secara otodidak, di samping banyak belajar dari sesama sniman dan masyarakat inspirasi kaligrafinya dalam media batik diperoleh dari berbagai sumber, yang merupakan implementasi dari kata “Iqra’”.
“Saya yakin bahwa “Iqra’” itu bukan saja membaca al-Qur’an, tetapi juga membaca alam semesta. Siapa yang peka dalam membaca isi alam semesta ini, ialah bangsa atau pribadi yang dapat menguasai alam semesta ini dalam arti menurut kadar kemampuannya. Inspirasi lain timbul karena saya sering melihat kaligrafi-kaligrafi yang ada di bumi Indonesia, maupun belahan bumi lainnya seperti Cina, Jepang, India dan Thailand. Tampaknya kaligrafi ini mempunyai ciri khas. Tetapi lebih khas lagi atau lebih menarik bagi saya adalah kaligrafi Islami. Saya ingin menggabungkan kaligrafi Arab dengan goresan-goresan saya. Saya ingin menampilkan lukisan kaligrafi dalam media batik”.3
Sebelum berkiprah dalam seni lukis kaligrafi, Amri Yahya dikenal sebagai salah satu pelopor dalam seni lukis batik (pada era ’70-an). Amri adalah salah satu pionir dan inovator di dunia seni lukis batik modern Indonesia. Karya-karyanya menyiratkan suasana cerah dengan nafas kegembiraan. Dalam lukisannya Amri selalu menggunakan unsur-unsur tradisional dalam bahasa seni rupa kontemporer Indonesia.
Aktivitasnya di bidang seni sangat komprehensif. Salah satunya berwujud pameran seni rupa (seni lukis), baik dilakukan secara bersama maupun tunggal, dalam maupun luar negeri (lima benua). Berangkat dari kebosanan dengan tema-tema abstrak dan lebak yang biasa digelutinya, ia berusaha menuangkan ekspresi kaligrafi ke dalam seni lukis batiknya.
“Saya tetap beranggapan, bahwa batik milik Indonesia, bukan milik Belanda, Cina, Malaysia, dan India. Seperti yang dikatakan Brandes, Kuncoroningrat, maupun Prof. Dr. Soekmono, yang mengatakan bahwa batik, 200 tahun yang lalu telah aktif di bumi nusantara. Salah satu di antara sepuluh kehebatan orang nusantara adalah batik. Tiga lainnya yang saya hafal adalah gamelan, wayang, dan makanan”.4
Pada tahun 1976, Amri Yahya menetapkan diri untuk menekuni kaligrafi, khususnya dalam seni lukis batik. Sebagai pelukis muslim, ia senantiasa menghadirkan karya seni yang sarat dengan nilai-nilai agama, yang mampu mengantarkan pemikatnya (apresian) untuk selalu megingat Tuhan.
Kiprah Amri Yahya dalam proses melukis mengalir seperti air. Begitu pula ketika pilihannya jatuh pada seni lukis kaligrafi. Bersama kawan seprofesinya AD. Pirous dan Ahmad Sadali dari Bandung, ia bangkit di tengah gejolak seni rupa kontemporer Indonesia yang dipengaruhi oleh perkembangan seni rupa Barat, dengan menekuni kaligrafi. Meskipun pada awalnya ia tidak begitu mengerti tentang kaidah khathiyah (rumus dasar kaligrafi), tetapi dengan keinginannya yang karas ia terus belajar dan bertanya kepada orang yang mengkritik lukisan kaligrafinya.5
Nilai-nilai keagamaan yang tertaman semasa Amri masih kecil, pengalaman hidup yang sarat akan nuansa keislaman, tumbuh menjadi semangat hidup dan optimisme seiring dengan aktivitas berkeseniannya. Hal ini terlihat dari berbagai upaya untuk selalu menjadi pelopor dalam hal pengembangan di bidang seni (seni lukis kaligrafi).6
Seni lukis kaligrafi lewat karya-karyanya dengan kekhususan teknik dalam media batik, memberikan nuansa baru bagi kesenian Islam, khususnya di Yogyakarta dan lebih luas lagi terhadap peta seni lukis kaligrafi Islam di Indonesia. Pada satu sisi, seni lukis kaligrafi dalam media batik menyodorkan perspektif baru sebagai media ekspresi, yang pada mulanya kaligrafi bertolak kepada kaidah-kaidah khathiyah. Pada sisi lain penuangan kaligrafi ke dalam media batik, menjadi alternatif media ekspresi bagi seni lukis batik itu sendiri, yang pada masa sebelum tahun 1970-an, belum ada seni kaligrafi yang dituangkan ke dalam lukisan batik.
Syaiful Adnan, lahir di Saningbakar, Solok, Sumatera Barat, 5 Juli 1957. Mengenyam pendidikan seni lukis dari SSRI/SMSR Padang (1973-1975) dan selanjutnya dari STRI/ASRI (sekarang ISI) Yogyakarta (1976-1982). Selama itu pula tema-tema lukisannya berkisar antara manusia, dan alam lingkungan. Pada tahun 1977, mengalami titik jenuh dan mulai menekuni kaligrafi sebagai tema-tema yang digarapnya.
Dalam berkaligrafi, ia dianggap telah menemukan model khat baru yang dikatakan sebagai gaya Syaifuli.
Sejak tahun 1983 hingga kini, ia lebih dari 40 kali berpameran di dalam maupun luar negeri. Seperti: Hongkong, Korea Selatan, Kuala Lumpur, Singapura, Jeddah dan Riyadh.
Penghargaan yang pernah diterima antara lain: pemenang II mendali emas dalam Lomba Seni Lukis PORSENI Mahasiswa se-Indonesia di Jakarta (1978), penghargaan Pratisana Affandi Adikarya STRI/ASRI (sekarang ISI) Yogyakarta (1981), penghargaan Majelis Ulama (1985), dan pemenang II lomba Desain Logo MTQ XVI di Yogyakarta (1990).
Dari ratusan karyanya, 74 buah di antaranya dikoleksi oleh tokoh-tokoh. Mulai dari Istana Negara RI, H. Adam Malik, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Museum Nasional, Museum Negara Malaysia, Dr. A. Steenbrink (orientalis) Amerika Serikat, Alm. Zia ul Haq (Presiden Republik Islam Pakistan), Dr. mahathir Muhammad (Perdana Menteri Malaysia), sampai ke kolektor-kolektor Australia, Jepang, Saudi Arabia, Singapura, Prancis, Bangladesh, Kanada, Denmark dan Italia.
Syaiful Adnan merupakan pelukis kaligrafi generasi penerus setelah Ahmad Sadali, AD. Pirous (Bandung), Amang Rahman (Surabaya), dan Amri Yahya (Yogyakarta). Kehadiran kaligrafinya membawa pembaharuan bentuk-bentuk huruf dengan dasar-dasar anatomi yang jauh dari kaidah-kaidah aslinya (khattiyah), atau menawarkan pola baru dalam tata cara mendesain huruf-huruf yang berlainan dari pola yang telah dibakukan. Hasil karya seni lukis kaligrafinya hadir dan semakin mempopulerkan apa yang kemudian diistilahkan oleh sebagian pengamat seni dengan “lukisan kaligrafi”.
Syaiful Adnan, yang sudah mendalami seni lukis kaligrafi sejak tahun 1977, sangat konsisten dalam membuat desain huruf-huruf Arab dan tetap bertahan dengan seni lukis kaligrafinya sebagai hasil pembentukan karakter seninya melalui proses yang panjang. Hal paling berharga yang ditemukan dalam penciptaan seni lukis kaligrafi, adalah menemukan kepuasan rohani secara utuh, yaitu kepuasan secara vertiakal atau hubungan langsung kepada Allah. Sedangkan kepuasan secara horizontal, yaitu kepuasan yang berhubungan dengan sesama manusia. Hal ini juga sebagai sarana menyampaikan misi atau pesan kepada umat manusia. Namun diakui, bahwa sebelumnya ia hanya menggeluti bidang artistik dan estetikanya saja. Kemudian berkembang ke tema-tema ketauhidan dan ukhuwah Islamiyah dalam bentuk karya seni lukis kaligrafinya.7
Dalam konsep seni lukis kaligrafinya ia mendasarkan “kaligrafi sebagai media ekspresi” dan “Al-Qur’an sebagai sumber inspirasi”. Yang dimaksud dengan kaligrafi sebagai media ekspresi estetis, yaitu karakter hurufnya hanya sebagai titik tolak penciptaan. Dalam deformasi8 bentuk maka lahirlah nilai-nilai artistik baru. Proses deformasi tersebut merupakan abstraksi huruf kaligrafi yang lahir secara improvisasi tanpa dibebani oleh ayat-ayat tersebut.
Sedangkan kitab Suci Al-Quran sebagai sumber inspirasi, merupakan kecenderungan dalam penciptaan sebuah karya seni lukis kaligrafi bertitik tolak pada ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam pemilihan ayat-ayat pun tidak asal mengutip, melainkan melalui proses kontemplasi, perenungan dan penghayatan baik secara idio plastis (tersirat) maupun fisiko plastis (tersurat). Dengan demikian diharapkan terciptalah sebuah lukisan kaligrafi yang bernilai, artinya lukisan kaligrafi tersebut tidak hanya selesai pada tulisan saja, melainkan mempunyai arti yang dapat memberi petunjuk atau peringatan kepada apresian (penikmat)-nya agar selalu mendekatkan diri kapada Allah. Selain itu mengekspresikan elemen kaligrafi sebagai tema sentral, dengan elemen lukisan melahirkan kesatuan bahasa estetis yang menyatu, saling berkaitan baik secara karakter bentuk, warna dan tekstur. Selanjutnya kehadiran kaligrafi tidak hanya sekedar bentuk yang artistik saja, melainkan juga diperhitungkan kaidah-kaidah penulisan dan kebenaran bacaannya. Sehingga dalam karya seni lukis kaligrafi dicapai keseimbangan antara elemen kaligrafi dengan elemen lukis dan melahirkan kesatuan bahasa estetis yang utuh.
Hendra Buana, lahir tanggal 8 oktober 1963 di desa Koto Tengah Hilir Bukittinggi Sumatera Barat. Adalah putra terakhir dari 5 bersaudara. Ibunya bernama Lamijnar dan ayahnya Dt. Pakammo keduanya berasal dari Bukittinggi, Sumatera Barat.
Setelah menamatkan pendidikan di SMP Tikam 1980 Bukittinggi, dia melanjutkan ke SMSR Padang. Tahun 1984 dia hengkang ke Yogyakarta memasuki ASRI (FSRD ISI) Yogyakarta, jurusan seni lukis. Setelah tamat pendidikan di FSRD ISI Yogyakarta 1990, Hendra Buana memastikan diri untuk jadi pelukis. Hal ini dibuktikan lewat pameran bersama diantaranya : pameran bersama Tingkata ASEAN di Masjid Istiqlal, Jerman Barat dan New York-Amerika Serikat. Tahun 1988, semasa kuliah di FSRD ISI Hendra Buana pernah terpilih sebagai salah seorang Duta Indonesia ke negara Brunei Darussalam dalam rangka ASEAN WORKSHOP AND EXHIBITION di Brunaei.
Sejak tahun1982 hingga sekarang Hendra Buana kira-kira sudah 65 kali berpameran baik di dalam maupun di luar negri dan sudah 4 kali berpameran tunggal termasuk pameran berduan istri tercintanya Asnida Hassan.
Hendra Buana termasuk 8 team perumus di IKAISI Yogyakarta, dan sekaligus sedang merancang sebuah gallery nasional di Yogyakarta, bersinergi dengan Saudara Noor Mustakim dari Kudus, Jawa Tengah9
Hatta Hambali, lahir di Sengkang, Kabupataen Wajo, Sulawesi Selatan, 8 Agustus 1949. Tahun 1969 mengikuti pendidikan di STSRI/ASRI (sekarang ISI) Yogyakarta. Sejak tahun 1970 tak kurang dari 25 kali berpameran di dalam dan luar negeri. Antara tahun 1970-1975 aktif mengikuti pameran bersama dengan keluarga STRI/ASRI di dalam pelbagai kota di Indonesia. Kemudian dia melanglang buana ke pelbagai kota di dalam dan luar negeri, diantaranya: Jakarta, Bandung, Aceh, Padang, Tokyo, Manila, Singapura, Kuala Lumpur, Brunei Darussalam, dan Merseiles, Italia.10
Yetmon Amier, lahir di Bukittinggi, 9 Desember 1963. Dari SMP di Pakanbaru, melanjutkan pendidikannya di SMSR Padang. Tahun 1984 diterima sebagai mahasiswa jurusan Seni Murni di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakrta dan lulus sarjana tahun 1991.
Dengan segala keberaniannya, ia hanya menggarap tema-tema kaligrafi sebagai satu-satunya ekspresi lukisannya. Berkarya dengan kaligrafi Qur’ani bagi Yetmon Amier memberinya kepuasan batin, Karena akan melestarikan pesan-pesan Tuhan yang suci dan abadi secara indah melalui bahasa seni rupa.
Sejak tahun1995 hinggg sekarang, ia sering berpameran di kota-kota besar di Indonesia. Dan di luar negeri ia sudah berpameran di Kuala Lumpur dan Singapura.11
B. Ragam Aliran dan Gaya
Setiap karya seni yang diciptakan oleh seorang seniman, pada hakekatnya akan merupakan suatu karakteristik. Karakteristik yang terdapat di dalam suatu karya seni, sekaligus menjadi refleksi identitas pribadi penciptanya. Identitas pribadi yang terdapat dalam suatu karya seni (baca: karakteristik) pada dasarnya merupakan hasil pemikiran yang dipadukan dengan cita rasa dan pengalaman estetik seniman, serta dimanifestasikan ke dalam medium ekspresi dengan menggunakan kemampuan teknik yang ada padanya. Walaupun subject-matter (sasaran) yang digarap itu sama, tetapi secara visual akan menampilakan karakteristik yang berbeda satu sama lain.
Beragam gaya seni lukis kaligrafi yang berkembang di Yogyakarta, seperti gaya Irama Lebak, gaya Syaifuli, gaya Abstrak Kaligrafis, gaya Hambali, dan gaya Amier. Namun dalam penampilannya dapat dikelompokkan menjadi aliran dekoratif dan semi abstrak.
Gaya “Irama Lebak” merupakan gaya seni lukis kaligrafi dengan menggunakan media batik yang muncul pada tahun 1976. Disebut gaya Irama Lebak, karena setiap penciptaan karya seni lukis kaligrafi gaya ini, alur goresan huruf atau aksaranya selalu mengikuti irama lebak yang menjadi ciri khas dari background lukisannya. Gaya ini dapat disebut sebagai gaya “Amri” karena gaya “Irama Lebak” pertama kali dikembangkan oleh Amri Yahya, seorang pelukis batik Indonesia, yang namanya harum di tahun 1970-an. Gaya yang dikembangkan oleh Amri Yahya ini juga dapat dikelompokkan ke dalam aliran semi abstrak, karena karya seni lukis yang digarap lebih cenderung mendekati tema-tema abstrak ekspresionis
Ciri khas seni lukis kaligrafi gaya “Irama Lebak” atau “Amri”, tidak nampak sesuatu yang sangat menonjol atau berbeda dari kelaziman umumnya khat berstandar (al-mansub). Kecuali pada pada goresannya yang kerap dipaksa mengikuti alur background. Huruf-hurufnya pun tidak menampakkan ciri-ciri lukisan gaya “Irama Lebak”. Tetapi tetap menjadi unsur rupa yang bercirikan inilah Amri.
Dengan bentuk apa pun, seni lukis kaligrafi gaya “Irama Lebak” tetap mengikuti kaidah khattiyah, seperti gaya Sulus dan Naskhi. Sedang background lukisannya sebagaimana ciri-ciri Amri, banyak menampilkan sosok lebak.
Gaya “Syaifuli” (khat Syaifuli), muncul pada tahun 1982. Berawal dari ketidak puasannya tentang kaligrafi, terus berusaha mengadakan eksperimen tentang karakter huruf-huruf Arab. Sebutan gaya “Syaifuli” sendiri diambil dari nama penciptanya Syaiful Adnan, seorang pelukis yang mulanya menggarap objek-objek yang konvensional.
Karakter huruf pada gaya “Syaifuli” mempunyai keunikan tersendiri, yaitu berupa goresan ramping memanjang yang disesuaikan dengan bentuk huruf Arab aslinya, dan disetiap ujung hurufnya diakhiri dengan bentuk goresan yang meruncing, seperti pedang, ada juga yang mengatakan seperti tanduk.
Gaya “Abstrak Kaligrafis”, dikembangkan oleh pelukis muda berbakat yang cepat sekali mengacu kepada laju perkembangan seni lukis kontemporer Indonesia dan memperkaya diri dengan unsur kaligrafi Islam, Hendra Buana pada tahun 1990. Gaya ini lebih mengutamakan bentuk-bentuk dalam lukisan, dari pada ke lahan gaya atau fan12 sebuah tulisan (khat) yang baku. Seperti gaya Naskhi, Sulus, Farisi, Diwani, Kufi atau Diwani Jali dan lain sebagainya.13
“Abstrak” yang dimaksud di sini, bukan Abstrak seperti yang diungkapkan Al-Faruqi.14 Gaya “Abstrak Kaligrafis” yang berkembang di Jogjakarta merupakan lukisan-lukisan abstrak kaligrafis yang memberi kesan rumit dan magis.15 Dalam gaya “Abstrak Kaligrafis”, huruf atau tulisan merupakan bahasa bentuk baru (modern) dalam ungkapan lukisan menjadi elemen yang menyatu dan berperan ganda sebagai ungkapan estetik atau sebagai ungkapan isi, di mana seluruh bentuk garis dan irama sejalan dalam nafas yang sama.
Pada setiap hasil karya gaya ini, sang pelukis selalu mengungkapkan tekstur yang tebal penuh dengan retakan pecah dan detail yang mengesankan zaman dan arkhalik masa lalu. Hal ini diperkuat dengan warna yang temaram dengan coklat yang kental dan detail relief masa lalu. Jadi seakan-akan menginginkan kesan karya suatu pesan masa lampau untuk masa kini.16 Dari karakter lukisan yang ditampilkannya, gaya “Abstrak Kaligrafis” jelas masuk ke dalam kelompok aliran semi abstrak.
Gaya “Hambali”, sebuah gaya yang dikelompokkan ke dalam aliran dekoratif, karena gaya yang diciptakan semuanya digarap bercorak dekoratif. Gaya “Hambali” tidak menomor-satukan bentuk visual, melainkan kombinasi antara garis-garis indah dengan ornamen-ornamen etnik yang menjadi latar belakangnya. Secara dominan, gaya ini selalu menggunakan warna-warna pastel yang terkesan lunak, tenang namun menyiratkan muatan religius, dalam dan menggugah. Sebutan gaya “Hambali” diambil dari nama pelukisnya, Hatta Hambali.
Huruf-huruf yang digoreskan pada gaya ini, terkesan seperti gaya kaligrafi baku yang dilemaskan, menjuntai dan dihadirkan dengan penuh keutuhan yang disesuaikan dengan ornamen-ornamen etik yang menjadi latar belakang lukisannya.Gaya ini muncul pada tahun 1996.17
Pada tahun yang sama (1996),18 muncul Gaya “Amier” yang dalam setiap karyanya terlihat usaha untuk memadukan kaligrafi Arab dengan elemen-elemen seni lukis. Warna yang ditampilkan adalah warna-warna pastel yang berkesan mistis, didukung warna putih untuk menghadirkan kesan terang, sekaligus mempertegas makna religius. Di samping sapuan kuas dan pisau paletnya sangat detail, ia juga memiliki kemahiran dalam membagi ruang dan membuat tekstur semu.
Karakter huruf yang dihadirkan melalui karya lukisnya, lebih mendekati pada bentuk tulisan Kufi Klasik atau khat Maghribi,19 yang dibebaskan oleh imajinasinya dalam berkarya. Sesuai dengan elemen-elemen seni lukis yang cenderung berkesan mistis dan bermakna religius.
Memasuki awal tahun 2000, aliran dan gaya yang ditampilkan oleh para pelukis muda (setelah Syaiful Adnan, Hendra Buana dan Yetmon Amir) yang terjun ke dunia seni lukis kaligrafi, tidak menunjukkan karakteristik (gaya pribadi) yang menonjol. Umumnya mereka hanya mengikuti gaya-gaya yang sudah dikembangkan oleh generasi sebelumnya. Aliran yang mereka kembangkan kebanyakan ekspresionisme.
Masih banyak lagi ragam aliran dan gaya seni lukis kaligrafi yang tumbuh dan berkembang di Yogyakarta antara tahun 1976-2000. Namun dari sekian ragam gaya yang berkembang, gaya “Syaifuli”lah yang membawa nama harum bagi perkembangan seni lukis kaligrafi di Yogyakarta, dan umumnya di Indonesia.
BAB V
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Dari pembahasan tentang perkembangan seni lukis kaligrafi tersebut di atas, maka penyusun dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Seni lukis kaligrafi adalah seni kaligrafi yang dituangkan ke dalam bentuk lukisan dan merupakan pernyataan antara idio plastis dan fisiko plastis yang mengandung nilai-nilai estetik dan religius. Bentuk menifestasi gagasan dalam wujud visualnya secara estetika mengacu pada kaidah penciptaan seni lukis secara umum, yang secara etika bersumber kepada Al-Qur’an dan Al-Hadis. Disebut kaligrafi kontemporer karena bentuk karya yang ditampikan cenderung membebaskan diri dari rumus-rumus dasar kaligrafi (kaligrafi klasik) dan bersifat mengikuti arus perkembangan seni rupa Barat (modern).
2. Perkembangan seni lukis kaligrafi di Yogyakarta diawali oleh adanya pengaruh “Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia” yang berusaha mengikuti arus perkembangan seni rupa Barat. Seni lukis yang pertama kali berkembang di Yogyakarta adalah dengan menggunakan media batik pada tahun 1976. Banyak ragam aliran dan gaya yang bermunculan di dalamnya. Semua itu lebih dipengaruhi oleh sifat ekspresif yang dimiliki oleh kaidah penciptaan seni lukis secara umum. Perkembangannya yang merupakan bentuk manifestasi gagasan dalam bentuk visual, semakin beringas di tahun 1980-an dengan munculnya gaya “Syaifuli” pada tahun 1982. Banyak kalangan seniman melibatkan dirinya dalam penciptaan (pengembangan) seni lukis kaligrafi yang “memberontak” terhadap rumus-rumus dasar kaligrafi. Beberapa faktor yang mendasari munculnya “pemberontakan” terhadap kaidah khathiyah secara garis besar dikelompokkan menjadi dua: faktor internal dan faktor eksternal. Faktor intern merupakan faktor yang ditimbulkan oleh para seniman muslim sendiri sebagai kreator. Sementara faktor ekstern timbul dari adanya “Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia” di tahun 1970-an.
3. Tokoh dalam dunia seni lukis kaligrafi di Yogyakarta adalah Amri Yahya, sebagai tokoh pelopor dengan gaya “Irama Lebak” (media batik) di tahun 1976, dan Syaiful Adnan (1982) sebagai “generasi kedua” dengan gaya “Syaifuli”nya. Juga dikenal beberapa tokoh lainnya seperti Hendra Buana (1982) dengan gaya “Abstrak Kaligrafis”, Hatta Hambali (1996) dengan gaya “Dekoratif” dan Yetmon Amier (1996) dengan gaya “Tekstur Semu” Lima ragam gaya dalam perkembangan seni lukis kaligrafi yang sering muncul di berbagai pameran tersebut, dapat digolongkan ke dalam tiga kategori kaligrafi kontemporer, yaitu: kaligrafi ekspresionis, kaligrafi figural dan kaligrafi abstrak.
B. Saran-saran
1. Melihat kenyataan yang terjadi dalam perkembangan seni rupa Islam (seni lukis kaligrafi) secara lokal dan pemasalahan yang ditimbulkannya, penyusun rasa penelitian mengenai kebudayaan Islam (terutama di bidang kesenian) perlu diperbanyak. Agar umat Islam secara umum menyadari, bahwa untuk mengembangkan kesenian apa pun bentuknya, bukan berarti kita harus menahan dan melawan arus. Tetapi kita harus mengikutinya.
2. Bersikap anti-pati terhadap perkembangan di bidang apa pun (termasuk berkesenian) adalah bukan sikap yang bijak, karena pada dasarnya suatu bangsa yang maju adalah bangsa yang mau berkembang. Untuk itu, mari kita satukan persepsi terhadap seni rupa Islam guna memperkaya khasanah kebudayaan Islam.
3. Selanjutnya yang perlu kita ingat, berkembangnya seni lukis kaligrafi bukanlah suatu upaya untuk berkompetisi dengan imajinasi simbolis dari suatu tradisi yang telah berakar dalam masyarakat Islam (kaligrafi murni). Tetapi justru ingin menyuguhkan nilai-nilai artistik baru. Sebab tanpa kita sadarai, mereka (para pelukis kaligrafi) telah banyak memberi sumbangsih dalam pengenalan dan pendalaman Islam lewat karya lukisnya, sehingga orang tidak hanya mampu mengaguminya sebagai karya seni semata tetapi juga mampu mengagumi kebesaran Sang Pencipta Alam.
0 Comment