KAJIAN TENTANG FISIKA DAN METAFISIKA DALAM KEHIDUPAN MANUSIA DAN
PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
A.
Pendahuluan
”Kenalilah
dirimu sendiri, siapakah kita ini, manusia, makhluk kecil yang tampak tidak
bermakna di tengah alam raya yang maha luas?”. Pertanyaan besar yang diajukan
oleh Socrates ini, dalam perkembangan sejarah kefilsafatan, menjadi padang
perburuan baru pemikiran kefilsafatan yang datang kemudian. Dilanjutkan oleh
Plato, lalu Aristoteles, dan akhirnya berkembang hingga cabang-cabangnya yang
terkecil, sejak masa filsafat pertama, masa abad pertengahan, hingga alam
filsafat modern.
Dari
orientasi pemikiran terhadap manusia inilah muncul orientasi pemikiran terhadap
segala alam yang maujud yang
diabdikan bagi pemenuhan kebutuhan manusia, dan nampaklah, sebagaimana kita
lihat kini, muncul ilmu-ulmu pengetahuan yang khusus.
Pengkajian
tentang diri manusia dan alam yang maujud
tersebut, salah satunya termaktub dalam kajian tentang fisika dan metafisika,
tentunya secara langsung ataupun tidak langsung membawa pengaruh dalam
kehidupan manusia dan perkembangan ilmu penegtahuan.
Makalah
ini bukanlah tulisan yang mumpuni tentang fisika dan metafisika, tetapi
hanyalah secuil gambaran sebagai pengantar
untuk memahami tentang fisika dan metafisika. Makalah ini dibubuhi
dengan sedikit penjelasan tentang hakikat manusia dan hakikat ilmu, tak lain
tujuannya adalah supaya kita bisa sampai pada pemahaman bahwa antara manusia
dan ilmu (diantaranya mengkaji tentang fisika dan metafisika) adalah satu hal
yang tidak bisa dipisahkan (koheren) dan singkron.
B.
Pembahasan
- Selayang Pandang tentang Fisika dan Metafisika
a.
Fisika
Secara
sederhana fisika dapat diartikan sebagai hal-hal yang menimbulkan pengalaman
inderawi, yakni objek-objek yang dapat merangsang alat-alat kelengkapan indera.
Fisika memiliki ciri yang mendasar
materi, yakni ekstensi, penempatan ruang, kelambanan, gerakan,
kepadatan, dan sebagainya yang tercakup dalam massa (termasuk di dalamnya
elemen-elemen) dan energi.[1]
Dengan demikian fisika ialah perkataan yang dipergunakan sebagai nama jenis
substansi yang mendasar dari/dalam alam materi.
Sebagai
ilmu, fisika merupakan salah satu cabang dari keseluruhan ilmu. Pada dasarnya
cabang-cabang ilmu tersebut berkembang dari dua cabang yakni filsafat alam yang
kemudian menjadi rumpun ilmu-ilmu alam (the
natural science) dan filsaaft moral yang kemudian berkembang ke dalam
cabang ilmu-ilmu sosial (the social
science). Ilmu-ilmu alam membagi diri kepada dua kelompok lagi yakni
ilmu alam -fisik- (the physical science)
dan ilmu hayat (the biology science).
Ilmu alam bertujuan mempelajari zat yang membentuk alam ada di alam semesta
yang kemudian bercabang lagi menjadi fisika (mempelajari massa dan energi), kimia (memepelajari
substansi zat), astronomi (mempelajari benda-benda langit),dan ilmu bumi (atau the earth science yang mempelajari
bumi).[2]
Tiap-tiap cabang kemudian melahirkan ranting-ranting
baru. Fisika sendiri berkembang
menjadi mekanika, hidrodinamika, bunyi, cahaya, panas, kelistrikan dan
magnetisme, fisika nuklir dan kimia fisik. Sampai tahap ini maka kelompok ilmu
ini termasuk ke dalam ilmu-ilmu murni. Ilmu-ilmu murni kemudian berkembang menjadi
ilmu-ilmu terapan (teknik).[3]
Sebagai
salah satu cabang ilmu alam, fisika berusaha mendiagnosis (objek kajiannya)
peristiwa-peristiwa fisikawi yang sering bertindak kognisi, refleksi
sinar-sinar, cahaya dan benda-benda visible
(kongkrit), pengaruh vibrasi elektromagnetik, perubahan kimiawi, pantulan
gelombang-gelombang suara dari benda-benda audible,
partikel-partikel yang keluar dari sesuatu yang berbau memiliki rasa maupun
rangsangan-rangsangan fisikawi, dan perubahan-perubahan lainnya.[4]
Semua tersebut berada di wilayah aplikasi (ilmu) fisika. Degan demikian,
melihat objek kajiannya tersebut, fisika lebih didasarkan atas bukti-bukti
kongkrit.
b.
Metafisika
Secara etimologi, metafisika
berasal dari kata meta ta physika
yang berarti hal-hal yang terdapat sesudah fisika,[5] di
luar/kebalikan fisika (beyond physics),[6]
ajaran tentang dasar-dasar kenyataan (absolute
wirklichkeit).[7] Di dalam
karyanya, Aristoteles mengkualifikasikan metafisika sebagai pembahasan
dasar-dasar filsafat yang juga disebutnya filsafat pertama. Sebagai contoh,
sebelum kita memperhatikan bahwa sesuatu barang itu bundar dan kuning, dan
sebagainya, maka pertama harus diteliti bahwa barang itu “ada”. Pertanyaan mengenai ke-ada-an
sesuatu membuka jalan untuk meneliti “hakikat” kodratnya dan sejauh mana barang
itu dapat dikenal dan dimengerti.[8]
Aristoteles
mendefenisikan metafisika sebagai ilmu pengetahuan mengenai yang-ada sebagai
yang-ada, yang dilawankan misalnya dengan yang-ada sebagai yang digerakkan atau
yang-ada sebagai yang dijumlahkan (yang digerakkan dan yang dijumlahkan adalah
fisika).[9]
Dengan demikian metafisika mempelajari pertanyaan-pertanyaan yang mendalam
tentang eksistensi sesuatu. Maka dapat didefenisikan sebagai bagian pengetahuan
mausia yang bersangkutan dengan pertanyaan mengenai hakikat yang ada dan yang
terdalam.
Lebih
lanjut metafisika dapat didefenisikan sebgai berikut:[10]
1) Suatu usaha
untuk memperoleh suatu penjelasan yang benar tentang kenyataan.
2) Studi tentang
sifat dasar kenyataan dalam aspeknya
yang paling umum sejauh hal itu dapat dicapai.
3) Studi tentang
kenyataan yang terdalam dari semua hal.
4) Suatu usaha
intelektual yang sungguh-sungguh untuk melukiskan sifat-sifat umum dari
kenyataan.
5) Teori tentang
sifat dasar dari struktur dari kenyataan.
Mengingat
metafisika itu sangat luas bahan-bahannya, maka biasanya metafisika dibagi
menjadi empat cabang, yaitu ontologi,[11]
kosmologi,[12]
antropologi metafisik, dan filsafat ketuhanan.
Ontologi
menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental. Dalam kerangka
tradisional, ontologi dianggap sebagai teori mengenai prinsip-prinsip umum dari
hal ada. Sedangkan dalam pemakaiannya akhir-akhir ini ontologi dipandang sebagai
teori mengenai apa yang ada.[13]
Kosmologi
menyelidiki jenis tata tertib yang paling fundamental dalam kenyataan, yaitu apakah
untuk segala sesuatu yang menjadi ada selalu ada suatu sebab yang menentukannya
menjadi seperti apa adanya dan bukan sebaliknya, atau apakah hanya ada
kebetulan yang murni atau tata tertib teleologis yang mengandung penyesuaian
sarana-sarana kepada tujuan.[14]
Adapun
antropologi metafisik adalah filsafat tentang manusia yang bersangkutan dengan
pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat manusia dan pentingnya dalam alam
semesta.[15]
Adapun
filsafat ketuhanan adalah filsafat yang lebih mangarahkan penelitiannya dan
atau pembicaraaannya mengenai segala sesuatu yang ada, tuhan.[16]
Menurut
The Liang Gie, persoalan metafisis (metaphysical
problem) terpokok mengenai keberadaan (existence),
seperti adanya tuhan, alam semesta, manusia, dan segala realita lainnya. Masalah
yang ditanyakan adalah masalah hakikat.[17]
Dewasa
ini, dikenal dua macam metafisika, yakni metafisika yang bercorak objektif dan
metafisika yang bercorak subjektif.[18]
Metafisika yang bercorak objektif ialah pengetahuan tantang hakikat dari
benda-benda yang kita alami dalam dunia kenyataan yang bersifat transenden.
Menurut Kant dan lain-lain yang sependapat dengannya (kaum positivis);
pengetahuan semacam itu adalah spekulatif saja, karena manusia hanya dapat
mengetahui apa yang dialaminya. Sedangkan hakikat suatu benda adalah melampaui
(di luar) pengalaman manusia. Oleh karena itu Kant mengatakan metafisika adalah
pengetahuan yang mustahil. Sedangkan metafisika bercorak subjektif (timbul pada awal abad ke-20) diartikan
merupakan filsafat yang berdasarkan seluruh pribadi dari orang yang
melakukannya. Jadi tidak saja akal atau rasionya yang dipakai untuk berfilsafat
tetapi perasaan, kemauan, dan seluruh pribadi turut berupaya untuk
menyelesaikan soal-soal yang dihadapinya.
Melihat
jabaran di atas, dapat diasumsikan, sebenarnya tujuan metafisika ialah hendak
mencapai kenyataan yang mutlak (absolute
wirklichkeit). Metafisika ini sering juga disebut dengan eksistensialisasi
(pengkongkritan, pen. Dimulai dengan
esensialisasi).
Pengertian
dan pemahaman mengenai metafisika yang bersumber dari Aristoteles ini juga
(telah) diterima oleh para filosof-filosof Islam, seperti al-Kindi, al-Farabi,
Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dengan tanggapan yang berlainan.[19]
Bagi
al-Kindi, metafisika disebutnya sebagai ilmu yang memakai dalil akal dalam ilmu
ketuhanan. Ia membagi metafisika atas dua pengertian, yaitu metafisika makhluk
dan metafisika Yang Esa (Khaliq
al-makhluq atau al-Khaliq al-Wahid).
Dalam
perspektifnya, al-Farabi membagi dan menggunakan metafisika untuk dua area dan
dua tujuan, yaitu untuk dan tentang pengetahuan makhluk dan sebagai filsafat
ilmu.
Berbeda
dengan al-Farabi, dengan konteks yang sedikit menerobos, Ibnu Sina menempatkan
metafisika sebagai bagian terakhir dari filsafatnya. Fokus dan persoalannya
adalah tentang wujud dan jelas. Bagi Ibnu Sina, metafisika adalah ilmu agama,
sebab tuhan adalah wujud yang penting; sebab perdana dari segala yang ada. Di
samping itu ia juga mnecoba mentasawufkan pengertian filsafat metafisika.
Metafisika baginya adalah metafisika plus prinsip tauhid. Hasil penggabungan
ini dinamakannya Filsafat Timur. Filsafat Timur diintroduksikannya adalah rasio
(akal) dilengkapi dengan rasa tasawuf. Dari sini tersirat bahwa Ibnu Sina mendekatkan
pendirian (mengkompromikan) antara
filsafat, ilmu kalam, dan tasawuf agar berjalan saling memberi dan melengkapi.
Sedangkan
bagi Ibnu Rusyd, metafisika terdiri dari dua bagian, yaitu ontologi atau ilmu
mengenai makhluk dan hakikatnya dan epistimologi yang diartikannya filsafat
makrifat. Ibnu Rusyd dengan konsepnya mengenai metafisika mencoba menerangkan
tentang ”wujud” tuhan secara filsafat; secara metafisika. Dengan kata lain
metafisika dipakainya sebagai ilmu pembantu dalam ilmu kalam (ilmu tauhid).
Dalam
dunia filsafat setiap zaman, metafisika menempati tempat yang penting dan
selalu menjadi perbincangan. Metafisika dapat diartikan sebagai pangkalan bagi
sistem spekulasi, teori-teori, dan tanggapan-tanggapan. Salah satu spekulasi
dan atau perbincangan yang tidak terlewatkan dalam kajian metafisika adalah
tentang esensi (dalam arti ini adalah hakikat) manusia.
- Esensi (Hakikat) Manusia
Esensi
merupakan hakikat sesuatu. Sebagai contoh, apabila ditunjukkan gambar berbentuk
petak atau diilustrasikan tetang sesuatu dengan satu ciri yaitu petak, kita
bisa saja menjawabnya itu adalah bujur sangkar, dan itu tidaklah salah. Namun
satu hal yang pasti sebuah bujur sangkar adalah ada dan nyata, karena bukan
impian atau khayalan. Ia merupakan satuan yang konseptual dan akali. Bujur
sangkar ada, agaknya sudah jelas, tetapi kita perlu mengadakan pembedaan antara
apakah bujur sangkar itu dengan kenyataan bahwa bujur sangkar itu ada.
Pertanyaan apakah bujur sangkar itu melahirkan sebuah esensi, yakni sesuatu yang
menjadikan bujur sangkar merupkan sebuah bujur sangkar. Bisa saja kita mengatakan
bahwa esensi bujur sangkar adalah petak. Ini relatif benar (walaupun tidak
sepenuhnya benar) karena petak adalah sesuatu yang membuat bujur sangkar itu
bujur sangkar (ada). Begitu juga dengan manusia. Dengan begitu esensi sesuatu
adalah hakikatnya. Mengkaji mengenai esensi (hakikat) manusia; pertanyaan utama
yang muncul adalah ”Apakah manusia itu?”.
Kalau
kita berbicara mengenai jati diri manusia mambawa kita kepada pengandaian
adanya kesatuan yang utuh di dalam diri manusia. Kesatuan itu begitu mutlak
sehingga tidak dapat dibagi-bagi. Aku adalah aku, baik pada waktu bekerja,
berdo’a, belajar, berjalan-jalan, berpacaran, makan, dan lain-lain. Keutuhan manusia
sebagai dirinya, yaitu makhluk individual yang unik, tidak bisa ditawar,
ditambah, atau dikurangi. Aku yang dulu sama dengan aku yang sekarang, dan
tetap sama sampai kapanpun sebagai aku. Meskipun lingkungan saya berubah,
pergaulan sosial saya berganti, aku tetaplah aku. Aku yang merupakan anak dari
orang tuaku, yang pernah menjadi pelajar dan mahasiswa, yang sekarang terlibat
dalam pelbagai kegiatan dan lingkungan, yang bisa bekerja dan belajar, yang
kadang-kadang berdo’a dan jalan-jalan, yang suatu waktu butuh makan dan
makanan, yang pernah pacaran meskipun cuma sekali dan sebentar, tetaplah aku dan
bukan orag lain. Dengan begitu, manusia
selalu identik dengan dirinya sendiri, meskipun mengalami perubahan di dalam
ukuran dan bentuk, perubahan dalam cara berpikir, merasa, bersikap, cita,
perkembangan dalam pergaulan, peranan yang dimainkan, dan lingkungan sosialnya.
Di
lain pihak, manusia meskipun sebagai satu kesatuan yang utuh, manusia jelas
terdiri dari bagian-bagian dan aspek-aspek yang begitu kaya. Aku terdiri dari
badan dan jiwa. masing-masingnya mempunyai kegiatan, kemampuan dan gaya, serta perkembangan
sendiri. Manusia banyak melakukan kegiatan yang berbeda satu dengan yang
lainnya; menangis, tertawa, berpikir, merenung, membaca, menulis, berharap,
jatuh cinta, cemburu, dan lain-lain adalah kualifikasi kegiatan tersebut. Intensitas aku (manusia)
terdiri dari begitu banyak pengalaman, baik yang disadari maupun tidak.
Bagian-bagian badan manusia juga bermacam-macam yang mempunyai kegiatan
sendiri-sendiri tanpa bisa saling menggantikan. Dengan begitu, aku yang dulu,
yang sekarang, serta yang akan datang tetap sama sebagai aku. Namun
masing-masing tahap perkembangan mempunyai kepadatan yang berbeda-beda.
Kenyataan
di atas menunjukkan bahwa di dalam diri manusia terdapat kesatuan (unitas) dan
keberagaman (kompleksitas). Unitas membawa kita kepada pemahaman bahwa manusia
mempunyai jiwa sebagai penggerak; karena manusia bukanlah robot. Hal ini
sejalan dengan pendapat Thomas Aquinas yang menyatakan manusia sebagai pribadi
adalah makhluk individual yang dianugerahi kodrat rasional. Makhluk individual sendiri
adalah makhluk yang merupakan kesatuan antara jiwa dan badan.[20]
Berbeda
dengan Thomas Aquinas, bagi Plato, yang disebut manusia atau pribadi adalah
jiwa sendiri. Sedangkan badan oleh Plato diaggap sebagai alat yang berguna
sewaktu masih hidup di dunia ini. Jiwa sudah ber-ada sebelum bersatu dengan
badan. Persatuan jiwa dan badan merupkan hukuman karena kegagalan jiwa untuk
memusatkan perhatiannya kepada dunia ide. Jadi manusia mempunyai
pra-eksistensi, yaitu sudah ber-ada sebelum dipersatukan dengan badan dan jatuh
ke dunia ini.[21]
Manusia
memang merupakan suatu objek penyelidikan yang berharga karena ia sendiri yang
menyelidiki dirinya dan pikirannya dikacaukan oleh dirinya sendiri. Amsal yang
banyak jumlahnya, membuktikan bahwa manusia mempersoalkan dirinya sendiri,
seperti manusia dan hewan persis sama; setiap manusia merupakan suatu
kemustahilan sampai saat ia dilahirkan; manusia adalah sebuah mesin yang diberi
makan dan menghasilkan pikiran; manusia hanyalah sebatang ilalang, sesuatu yang
paling lemah di alam raya, namun ia adalah ilalang yang berpikir, manusia yang
mulia merupakan sekadar citra Tuhan; dan sebagainya.[22]
Dalam bahasa yang lebih lugas disebutkan antara lain, manusia tiada lain
kecuali hewan; manusia merupakan hasil sejarah; manusia adalah makhluk rohani;
manusia adalah makhluk yang mencoba mempertahankan kemanusiaannya di dalam
pelbagai keadaan.[23]
Polemik
(gambaran) permasalahan di atas, sebenarnya merupakan sebagian jawaban dari
perdebatan atau perbincangan tentang hakikat manusia, yaitu apa itu manusia?
Oleh kelompok-kelompok yang terpecah menjadi tiga kelompok.[24]
Kelompok pertama, menyatakan yang
dikatakan manusia itu adalah jasad/zat/materi. Manusia adalah makhluk materi.
Yang sungguh-sungguh ada hanyalah materi. Manusia sungguh-sungguh ada. Karena
itu manusia juga materi. Bagi kelompok ini materi adalah satu-satunya hakikat.
Apa yang disebut dengan ruh satau jiwa, pikiran, perasaan (tanggapan, kemauan,
kesadaran, ingatan, khayalan, penghayatan, dan lain-lain), tidak lain dari pada
fungsi, aktivitas, atau kerja badan manusia yang terdiri dari sel-sel (zat). Atas dasar
anggapan ini mereka menyamakan manusia dengan mesin. Lalu apa beda manusia
dengan barang, tanaman, dan hewan? Dalam prinsipnya tidak ada perbedaan.
perbedaan yang bersifat sekunder hanyalah delam gerak dan kerja sel-sel pada
manusia, terutama otaknya. Manusia sama saja dengan binatang. Perbedaannya
hanya dalam fungsi pikir. Maka dikatakanlah manusia adalah binatang yang
berpikir.
Dalam perkembangan lebih lanjut, bagi kelompok ini (terutama bagi kaum
monostik) perbedaan manusia dengan robot hanya terletak pada komponen dan
struktur yang membangunnya dan sama sekali bukan terletak pada substansinya
yang pada hakikatnya berbeda secara nyata. Kalau komponen dan struktur robot
sudah dapat menyamai menusia, maka robot itupun bisa menjadi manusia.[25]
Kelompok kedua, menyatakan hakikat segala yang
ada, dalam hal ini manusia, adalah ruh. Bagi kelompok ini zat adalah
manifestasi ruh. Tanpa ruh zat (jazad) tidak bisa apa-apa. Realita yang tampak
tidak lain dari pada kekeliruan pandangan kita saja. Dunia adalah maya.
Semuanya adalah tipuan panca indera belaka. Filsafat-filsafat agama umumnya
cenderung kepada jawaban yang kedua ini.
Kelompok ketiga, merupakan kelompok yang menempuh
jalan tengah; perimbangan antara kedua jawaban yang bertentangan di atas.
Manusia adalah perkaitan badan dan ruh. Masing-masing merupkan substansi (unsur
akal). Adanya jasad tidak bergantung pada ruh dan adanya ruh tidak bergantung
pada jasad. Ruh tidak berasal dari jasad dan jasad tidak berasal dari ruh. Ruh
berasal langsung dari Tuhan, sedangkan jasad tidak langsung datang dari Tuhan.
Ia diciptakan melalui suatu modus, yaitu melalui hukum yang digariskan oleh
Tuhan; sunnatullah.
Di
dalam Islam, di antara keduanya harus berimbang (balance), baik itu dalam kecenderungan keduanya ataupun kebutuhan
keduanya. Pemahaman tentang ruh sebagai yang berasal dari Tuhan adalah hakikat
manusia, tidak mengharuskan manusia terjebak dalam memahaminya. Dalam artian,
dalam kehidupan di dunia yang dikejar hanyalah kebutuhan ukhrawi saja. Begitu
juga sebaliknya; pemahaman manusia adalah materi, jangan samapai membawa
pemahaman bahwa yang yang akan dilakukan dan dicapai di dunia ini hanyalah
kebahagiaan/kesenangan duniawi saja. Islam datang dengan menagtur kehidupan
manusia untuk mengujudkan fitrahnya, salam
di dunia dan salam di akhirat. Apabila
rusak perimbangan jasmaniah-ruhaniah, pemuasan material dan spritual, maka salam itu rusak pula. Firman Allah;
Qur’an Surat al-Qashash ayat 77:[26]
Dan carilah (kekayaan) yang diberikan Tuhan
kepada engkau -kebahagiaan- akhirat dan jangan engkau lupakan nasibmu di dunia
ini.
Filsafat tentang hakikat manusia mengujudkan pemikiran
terhadap manusia yaitu supaya manusia sungguh-sungguh jelas tentang dirinya.
Dan manusia sebagai makhluk berpikir meneteskan ilmu.
- Hakikat Ilmu
Berpikir pada dasarnya merupakan sebuah proses yang
membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam
mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan
yang berupa pengetahuan.[27]
Secara sederhana pengetahuan memiliki kualifikasi subjektif dalam hal reaksi
dan kesan. Contoh sederhana gula itu manis, laut itu indah, tetapi dalam
situasi dan kondisi berbeda tidak semua manusia beranggapan demikian.
Pengetahuan yang merupakan produk
berpikir adalah obor dimana manusia menemukan (jati) dirinya dan menghayati
hidup yang lebih sempurna. Berpikir itulah yang mencirikan hakikat manusia dan
karena berpikirlah dia menjadi manusia.[28]
Aku ada karena aku berpikir. Berpikir melahirkan pengetahuan dan pengetahuan
melahirkan ilmu. Jadi dapat dikatakan ilmu adalah pengetahuan yang membuat kita
tahu, sedangkan pengetahuan sendiri adalah ke-tahuan yang membuat kita tahu,
yakni dalam menjawab segala pertanyaan-pertanyaan atau pemasalahan.
Menghadapi
pola ilmu yang ekstrim sekarang ini, anata ilmu dan agama tidak bisa dipisahkan
(dalam mencapai kebenaran). Keduanya bersifat saling mengisi, seperti yang
dikatakan Einsten bahwa ”ilmu tanpa agama adalah buta dan agama tanpa ilmu
lumpuh”.[29]
Sebagaimana
diketahui, ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang empunyai cir-ciri tertentu yang
membedakan ilmu dengan pengetahuan lainnya.[30]
Pengkajian tentang ilmu ini melahirkan tiga hal pokok, yaitu: pertama, apakah yang ingin kita ketahui?
(ontologi), kedua, bgaimanakah cara
kita memperoleh pengetahuan (baca: ilmu)? (epistimologi), dan ketiga, apakah nilai pengetahuan
tersebut bagi kita? (axiologi). Ketiga permasalahan ini dipelajari filsafat
sedalam-dalamnya (radikal dan holistik). Hasil pengkajiannya (jawabannya)
menjadi dasar bagi eksistensi ilmu.
Mengkaji
mengenai ontologi ilmu, yang menjadi dasar ontologi ilmu adalah fakta empiris,
yaitu fakta yang dapat dialami langsung oleh manusia dengan mepergunakan panca
indera. Ilmu membatasi diri hanya pada kepada kejadian empiris. Objek
penelaahan ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca
indera manusia. Berdasarkan objek yang
ditelaahnya itu, maka ilmu dapat disebut sebagai suatu pengetahuan empiris,
dimana objek-objek yang berada di luar jangkauan manusia tidak termasuk ke
dalam bidang penelaahan keilmuan. Inilah yang merupakan salah satu ciri ilmu yaitu orientasi terhadap dunia
empiris.[31] Karena ilmu itu sendiri mengemukakan beberapa
asumsi mengenai obejek empiris. Jadi ilmu membatasi diri dalam pembuktiannya (verifikasi)
dengan pengalaman. Sedangkan pengetahuan supra-pengalaman bukanlah objek ilmu,
cukup menjadi objek pengetahuan secara umum saja.[32]
Berbeda
dengan asumsi di atas, sebagian pendapat mengatakan bahwa objek bahasan ilmu
tidak terbatas hanya pada fakta empiris saja. Karena menurut mereka, objek ilmu
ialah yang ada dan yang mungkin ada.[33]
Sistem yang dianut oleh ilmu bukanlah sitem tertutup, tetapi sistem terbuka.
Sebab ilmu merefleksikan dirinya dirinya sebagai sistem terbuka yang bersifat
luwes dan dinamis.[34]
Konsep ini mengantarkan ilmu ke dalam keseimbangan antar konsepsi dan empiris. Sistem
terbuka tersebut mempunyai fungsi menjangkau, meramalkan dan mencari arah, dan
menerangkan, dimana menerangkan ini ternyata ada hubungannya dengan pengetahuan
dan memahami, artinya ilmu memiliki kesadaran akan adanya bidang kemungkinan yang
kebih luas untuk mengembangkan dirinya.[35]
C.
Penutup
Pengaruh Pengkajian tentang Fisika dan
Metafisika dalam Kehidupan Manusia dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Pengkajian
tentang fisika dan metafisika membawa pengaruh secara langsung atau tidak
langsung dalam kehidupan manusia. Pengkajian terhadap dua hal tersebut akan
melahirkan asumsi yang mendalam dan kesadaran tentang jati dirinya sebagai
manusia dan hakikat dirinya. Fisika mengajak manusia memahami dirinya secat
fisik, sedangkan metafisika mengajak manusia memahami dirinya secara psikis
(iman).
Secara
sadar atau tidak, manusia dalam kehidupan sehari-hari, sering membicarakan
tentang hal-hal yang berbau fisika maupun hal-hal yang berbau maetafisik.
Pertanyaan mengenai pesawat kenapa bisa terbang, (kepercayaan) adanya hantu
merupakan salah satu contoh sederhana.
Dalam
hal persepsi (pengkajian tersebut) manusia bisa terpecah kepada dua
kualifikasi. Ada manusia yang hanya percaya pada hal-hal fisik/materi (realism) dan ada manusia yang percaya
pada hal-hal yang metafisik/immateri (idealism).
Pengkajian ini membawa pengaruh yang cukup dalam. Manusia
yang hanya percaya kepada yang fisik cenderung berpikiran materialis, berbeda
dengan manusia yang percaya kepada hal-hal yang metafisik cenderung lebih
bersifat ruhani/idealis, walaupun tidak mesti. Perjalanan pemikiran dan
pengkajian tentang fisika dan metafisika ini telah mengalami perjalanan yang
panjang, terutama metafisika, dan telah pula melahirkan tokoh-tokoh cendikiawan
pada masing-masingnya. Dalam catatan sejarah, pengkajian mengenai metafisika
sebagi sebuah disiplin (ilmu) atau sekurang-kurangnya pengetahuan, telah dimulai
sejak sebelum masehi, tepatnya di Yunani. Dimuali dari Thales, Pythagoras (+
600 SM), Plotinus (204-269 SM), Thomas Aquinas (1224-1274 M, sampai pada Santre
(1905-1980).[36] Thales
adalah orang pertama yang mempersoalkan substansi mendalam dari segala sesuatu.[37] Begitu
juga pengkajian mengenai fisika, juga telah melahirkan tokoh yang berkompeten,
seperti Einsten, dan lain-lain. Tapi yang jelas, perkembangan tersebut telah
membawa dampak yang cukup konstributif bagi umat manusia dan bagi perkembangan
ilmu pengetahuan sendiri. Kemajuan yang diperoleh sekarang, tidak terlepas dari
peranan pengkajian terhadap fisika dan metafisika tersebut, sehingga manusia
lebih bisa memahami jati dirinya sebahai penuntut ilmu serta hakikat ilmu yang
dituntutnya itu.
DAFTAR PUSTAKA
Dardini, A., Humaniora, Filsafat, dan Logika, Jakarta, CV. Rajawali, 1986
Effendy, Mochtar, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Palembang: Universitas Sriwijaya
Press, 2001
Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat, Buku Ketiga, Pengantar Kepada Metafisika, Jakarta: Bulan Bintang, 1996
Gie, The Liang, Garis Besar Estetik (Filsafat
Keindahan), Yogyakarta: Karya, 1996
Hadi, Hartono, Jati Diri Manusia Berdasarkan Filsafat Organisme Whitehead,
Yogyakara: Kanisius, 1996
Hartoko, Dick, Kamus Populer Filsafat, Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 1986
Kattsoff, Louis O., Pengantar Filsafat, Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1996
Peursen, C.A Van, Susunan Ilmu Pengetahuan, Sebuah Pengantar Filasafat Ilmu, Jakarta:
Gramedia, 1989
Poejawijatna, Tahu dan Mengetahui, Pengantar ke Ilmu dan Filsafat, Jakarta: PT
Rineka Cipta, 1991
Rasjidi, M., Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1984
Reese,
William L., Dictionary of Philosophy and Religion, New
York: Amherst,
1998
Ash-Shadir,
Muhammad Baqir, Falsafatuna, Bandung: MIzan, 1994
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1998
_______, Ilmu
dalam Perspektif, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1997
[1]Louis
O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1996), cet. ke-7, h. 54
[2]Jujun
S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah
Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), cet. ke-11, h. 93. Peta/ bagan
tentang cabang-cabang ilmu tersebut lihat halaman 96
[3]Ibid., Pebandingan antara ilmu murni dan
terapan lihat halaman 94
[4]Muhammad
Baqir Ash-Shadir, Falsafatuna, (Bandung:
Mizan, 1994), cet. ke-4, h. 260
[5]Louis
O. Kattsoff, op. cit., h. 74
[6]William
L. Reese, Dictionary of Philosophy and
Religion, (New York: Amherst, 1998), h. 476
[7]Mochtar
Effendy, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, (Palembang: Universitas
Sriwijaya Press, 2001), cet. ke-1, buku ke-3, h. 439
[8]Dick Hartoko, Kamus Populer Filsafat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1986),
cet. Ke-1, h. 61-62
[9]Louis
O. Kattsoff, loc. cit.,
[10]A. Dardini, Humaniora, Filsafat, dan Logika, (Jakarta, CV. Rajawali, 1986),
cet. ke-1, h. 17
[11]Ontologi berasal dari bahasa
Yunani yaitu logos yang berarti “yang
ada” dan ontos yang berarti ”penyelidikan
tentan atau lebih tepatnya ”asas-asa rasional dari dar”. Jadi ontologi adalah
pembicaraan yang membicarakan (dan berusaha mengetahui esensi) asas-asas
rasional dari yang-ada Lihat Louis O. Kattsoff, op. cit., h. 75-76
[12]Perkataan kosmologi berasal dari
perkataan Yunana, yaitu cosmos dan logos. Cosmos berarti alam semesta yang
teratur,sedangkan logos artinya sebagaimana tersebut di atas. Kosmologi secara
sederhana dapat dikatakan pemebicaraan tentang asas-asas rasional dari yang-ada
yang teratur. Kosmologi berusaha untuk mengetahui ketertibannya serta
susunannya. Ibid.,
[13]A. Dardiri, loc. cit.,
[16]Dick Hartoko, op. cit., h. 62
[17]The Liang Gie, Garis Besar Estetik (Filsafat Keindahan), (Yogyakarta: Karya, 1996), h. 10
[18]Mochtar
Effendi, op. cit., h. 440
[19]Ibid., h. 440-441
[20]Dikutip
oleh Hartono Hadi dalam bukunya, Jati
Diri Manusia Berdasarkan Filsafat Oranisme Whitehead, (Yogyakara: Kanisius,
1996), h. 33
[21]Ibid., h. 32
[22]Louis
O. Kattsoff, op. cit., h. 398
[23] Ibid., h. 400
[24] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Buku Ketiga, Pengantar
Kepada Metafisika, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1996), cet. ke-4, h. 148-152
[25]Jujun
S. Suriasumantri, op. cit. h. 66
[26]Lihat
juga Q.S. Yunus: 63 dan 64, Q.S. al-Syu’ara’: 20
[27]Jujun
S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1997), cet. ke-3, h. 1-2
[29]Ibid., h. 4
[30]Ibid.,
[31]Ibid., h. 5-6
[32]Poejawijatna, Tahu dan Mengetahui, Pengantar ke Ilmu dan Filsafat, (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 1991), cet. ke-7, h. 43-44
[33]Ibid., h. 44
[34]Mengenai
ulmu sebagai system terbuka ini, lihat C.A Van Peursen, Susunan Ilmu Pengetahuan, Sebuah Pengantar Filasafat Ilmu,
(Jakarta: Gramedia, 1989), cet. ke-2, h. 74-75
[35]Ibid., h. 76
[36]Untuk
lebih jelasnya mengenai filosof-filofof ini, baik filosof-filosof Timur maupun filosof-filosof Barat, lihat; M.
Rasjidi, Persoalan-persoalan Filsafat, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1984). Rangkuman nama-nama filosof tersebut terdapat pada
halaman v-vi.
[37]Louis.
O. Kattsoff, op. cit., h. i
0 Comment