04 Mei 2012


KAJIAN TENTANG FISIKA DAN METAFISIKA DALAM KEHIDUPAN MANUSIA DAN PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN


A.    Pendahuluan
”Kenalilah dirimu sendiri, siapakah kita ini, manusia, makhluk kecil yang tampak tidak bermakna di tengah alam raya yang maha luas?”. Pertanyaan besar yang diajukan oleh Socrates ini, dalam perkembangan sejarah kefilsafatan, menjadi padang perburuan baru pemikiran kefilsafatan yang datang kemudian. Dilanjutkan oleh Plato, lalu Aristoteles, dan akhirnya berkembang hingga cabang-cabangnya yang terkecil, sejak masa filsafat pertama, masa abad pertengahan, hingga alam filsafat modern.
Dari orientasi pemikiran terhadap manusia inilah muncul orientasi pemikiran terhadap segala alam yang maujud yang diabdikan bagi pemenuhan kebutuhan manusia, dan nampaklah, sebagaimana kita lihat kini, muncul ilmu-ulmu pengetahuan yang khusus.
Pengkajian tentang diri manusia dan alam yang maujud tersebut, salah satunya termaktub dalam kajian tentang fisika dan metafisika, tentunya secara langsung ataupun tidak langsung membawa pengaruh dalam kehidupan manusia dan perkembangan ilmu penegtahuan.
Makalah ini bukanlah tulisan yang mumpuni tentang fisika dan metafisika, tetapi hanyalah secuil gambaran sebagai pengantar  untuk memahami tentang fisika dan metafisika. Makalah ini dibubuhi dengan sedikit penjelasan tentang hakikat manusia dan hakikat ilmu, tak lain tujuannya adalah supaya kita bisa sampai pada pemahaman bahwa antara manusia dan ilmu (diantaranya mengkaji tentang fisika dan metafisika) adalah satu hal yang tidak bisa dipisahkan (koheren) dan singkron.

B.     Pembahasan
  1. Selayang Pandang tentang Fisika dan Metafisika
a.      Fisika
Secara sederhana fisika dapat diartikan sebagai hal-hal yang menimbulkan pengalaman inderawi, yakni objek-objek yang dapat merangsang alat-alat kelengkapan indera. Fisika memiliki ciri yang mendasar  materi, yakni ekstensi, penempatan ruang, kelambanan, gerakan, kepadatan, dan sebagainya yang tercakup dalam massa (termasuk di dalamnya elemen-elemen) dan  energi.[1] Dengan demikian fisika ialah perkataan yang dipergunakan sebagai nama jenis substansi yang mendasar dari/dalam alam materi.
Sebagai ilmu, fisika merupakan salah satu cabang dari keseluruhan ilmu. Pada dasarnya cabang-cabang ilmu tersebut berkembang dari dua cabang yakni filsafat alam yang kemudian menjadi rumpun ilmu-ilmu alam (the natural science) dan filsaaft moral yang kemudian berkembang ke dalam cabang ilmu-ilmu sosial (the social science). Ilmu-ilmu alam membagi diri kepada dua kelompok lagi yakni ilmu alam -fisik- (the physical science) dan ilmu hayat (the biology science). Ilmu alam bertujuan mempelajari zat yang membentuk alam ada di alam semesta yang kemudian bercabang lagi menjadi fisika (mempelajari massa dan energi), kimia (memepelajari substansi zat), astronomi (mempelajari benda-benda langit),dan ilmu bumi (atau the earth science yang mempelajari bumi).[2]
Tiap-tiap cabang kemudian melahirkan ranting-ranting baru. Fisika sendiri berkembang menjadi mekanika, hidrodinamika, bunyi, cahaya, panas, kelistrikan dan magnetisme, fisika nuklir dan kimia fisik. Sampai tahap ini maka kelompok ilmu ini termasuk ke dalam ilmu-ilmu murni. Ilmu-ilmu murni kemudian berkembang menjadi ilmu-ilmu terapan (teknik).[3]
Sebagai salah satu cabang ilmu alam, fisika berusaha mendiagnosis (objek kajiannya) peristiwa-peristiwa fisikawi yang sering bertindak kognisi, refleksi sinar-sinar, cahaya dan benda-benda visible (kongkrit), pengaruh vibrasi elektromagnetik, perubahan kimiawi, pantulan gelombang-gelombang suara dari benda-benda audible, partikel-partikel yang keluar dari sesuatu yang berbau memiliki rasa maupun rangsangan-rangsangan fisikawi, dan perubahan-perubahan lainnya.[4] Semua tersebut berada di wilayah aplikasi (ilmu) fisika. Degan demikian, melihat objek kajiannya tersebut, fisika lebih didasarkan atas bukti-bukti kongkrit.
                                                                                                                           
b.      Metafisika
Secara etimologi, metafisika berasal dari kata meta ta physika yang berarti hal-hal yang terdapat sesudah fisika,[5] di luar/kebalikan fisika (beyond physics),[6] ajaran tentang dasar-dasar kenyataan (absolute wirklichkeit).[7] Di dalam karyanya, Aristoteles mengkualifikasikan metafisika sebagai pembahasan dasar-dasar filsafat yang juga disebutnya filsafat pertama. Sebagai contoh, sebelum kita memperhatikan bahwa sesuatu barang itu bundar dan kuning, dan sebagainya, maka pertama harus diteliti bahwa barang itu “ada”. Pertanyaan mengenai ke-ada-an sesuatu membuka jalan untuk meneliti “hakikat” kodratnya dan sejauh mana barang itu dapat dikenal dan dimengerti.[8]
Aristoteles mendefenisikan metafisika sebagai ilmu pengetahuan mengenai yang-ada sebagai yang-ada, yang dilawankan misalnya dengan yang-ada sebagai yang digerakkan atau yang-ada sebagai yang dijumlahkan (yang digerakkan dan yang dijumlahkan adalah fisika).[9] Dengan demikian metafisika mempelajari pertanyaan-pertanyaan yang mendalam tentang eksistensi sesuatu. Maka dapat didefenisikan sebagai bagian pengetahuan mausia yang bersangkutan dengan pertanyaan mengenai hakikat yang ada dan yang terdalam.
Lebih lanjut metafisika dapat didefenisikan sebgai berikut:[10]
1)      Suatu usaha untuk memperoleh suatu penjelasan yang benar tentang kenyataan.
2)      Studi tentang sifat  dasar kenyataan dalam aspeknya yang paling umum sejauh hal itu dapat dicapai.
3)      Studi tentang kenyataan yang terdalam dari semua hal.
4)      Suatu usaha intelektual yang sungguh-sungguh untuk melukiskan sifat-sifat umum dari kenyataan.
5)      Teori tentang sifat dasar dari struktur dari kenyataan.
Mengingat metafisika itu sangat luas bahan-bahannya, maka biasanya metafisika dibagi menjadi empat cabang, yaitu ontologi,[11] kosmologi,[12] antropologi metafisik, dan filsafat ketuhanan.
Ontologi menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental. Dalam kerangka tradisional, ontologi dianggap sebagai teori mengenai prinsip-prinsip umum dari hal ada. Sedangkan dalam pemakaiannya akhir-akhir ini ontologi dipandang sebagai teori mengenai apa yang ada.[13]
Kosmologi menyelidiki jenis tata tertib yang paling fundamental dalam kenyataan, yaitu apakah untuk segala sesuatu yang menjadi ada selalu ada suatu sebab yang menentukannya menjadi seperti apa adanya dan bukan sebaliknya, atau apakah hanya ada kebetulan yang murni atau tata tertib teleologis yang mengandung penyesuaian sarana-sarana kepada tujuan.[14]
Adapun antropologi metafisik adalah filsafat tentang manusia yang bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat manusia dan pentingnya dalam alam semesta.[15]
Adapun filsafat ketuhanan adalah filsafat yang lebih mangarahkan penelitiannya dan atau pembicaraaannya mengenai segala sesuatu yang ada, tuhan.[16]
Menurut The Liang Gie, persoalan metafisis (metaphysical problem) terpokok mengenai keberadaan (existence), seperti adanya tuhan, alam semesta, manusia, dan segala realita lainnya. Masalah yang ditanyakan adalah masalah hakikat.[17]
Dewasa ini, dikenal dua macam metafisika, yakni metafisika yang bercorak objektif dan metafisika yang bercorak subjektif.[18] Metafisika yang bercorak objektif ialah pengetahuan tantang hakikat dari benda-benda yang kita alami dalam dunia kenyataan yang bersifat transenden. Menurut Kant dan lain-lain yang sependapat dengannya (kaum positivis); pengetahuan semacam itu adalah spekulatif saja, karena manusia hanya dapat mengetahui apa yang dialaminya. Sedangkan hakikat suatu benda adalah melampaui (di luar) pengalaman manusia. Oleh karena itu Kant mengatakan metafisika adalah pengetahuan yang mustahil. Sedangkan metafisika bercorak subjektif  (timbul pada awal abad ke-20) diartikan merupakan filsafat yang berdasarkan seluruh pribadi dari orang yang melakukannya. Jadi tidak saja akal atau rasionya yang dipakai untuk berfilsafat tetapi perasaan, kemauan, dan seluruh pribadi turut berupaya untuk menyelesaikan soal-soal yang dihadapinya.
Melihat jabaran di atas, dapat diasumsikan, sebenarnya tujuan metafisika ialah hendak mencapai kenyataan yang mutlak (absolute wirklichkeit). Metafisika ini sering juga disebut dengan eksistensialisasi (pengkongkritan, pen. Dimulai dengan esensialisasi).
Pengertian dan pemahaman mengenai metafisika yang bersumber dari Aristoteles ini juga (telah) diterima oleh para filosof-filosof Islam, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dengan tanggapan yang berlainan.[19]
Bagi al-Kindi, metafisika disebutnya sebagai ilmu yang memakai dalil akal dalam ilmu ketuhanan. Ia membagi metafisika atas dua pengertian, yaitu metafisika makhluk dan metafisika Yang Esa (Khaliq al-makhluq atau al-Khaliq al-Wahid).
Dalam perspektifnya, al-Farabi membagi dan menggunakan metafisika untuk dua area dan dua tujuan, yaitu untuk dan tentang pengetahuan makhluk dan sebagai filsafat ilmu.
Berbeda dengan al-Farabi, dengan konteks yang sedikit menerobos, Ibnu Sina menempatkan metafisika sebagai bagian terakhir dari filsafatnya. Fokus dan persoalannya adalah tentang wujud dan jelas. Bagi Ibnu Sina, metafisika adalah ilmu agama, sebab tuhan adalah wujud yang penting; sebab perdana dari segala yang ada. Di samping itu ia juga mnecoba mentasawufkan pengertian filsafat metafisika. Metafisika baginya adalah metafisika plus prinsip tauhid. Hasil penggabungan ini dinamakannya Filsafat Timur. Filsafat Timur diintroduksikannya adalah rasio (akal) dilengkapi dengan rasa tasawuf. Dari sini tersirat bahwa Ibnu Sina mendekatkan pendirian (mengkompromikan)  antara filsafat, ilmu kalam, dan tasawuf agar berjalan saling memberi dan melengkapi.
Sedangkan bagi Ibnu Rusyd, metafisika terdiri dari dua bagian, yaitu ontologi atau ilmu mengenai makhluk dan hakikatnya dan epistimologi yang diartikannya filsafat makrifat. Ibnu Rusyd dengan konsepnya mengenai metafisika mencoba menerangkan tentang ”wujud” tuhan secara filsafat; secara metafisika. Dengan kata lain metafisika dipakainya sebagai ilmu pembantu dalam ilmu kalam (ilmu tauhid).
Dalam dunia filsafat setiap zaman, metafisika menempati tempat yang penting dan selalu menjadi perbincangan. Metafisika dapat diartikan sebagai pangkalan bagi sistem spekulasi, teori-teori, dan tanggapan-tanggapan. Salah satu spekulasi dan atau perbincangan yang tidak terlewatkan dalam kajian metafisika adalah tentang esensi (dalam arti ini adalah hakikat) manusia.
  1. Esensi (Hakikat) Manusia
Esensi merupakan hakikat sesuatu. Sebagai contoh, apabila ditunjukkan gambar berbentuk petak atau diilustrasikan tetang sesuatu dengan satu ciri yaitu petak, kita bisa saja menjawabnya itu adalah bujur sangkar, dan itu tidaklah salah. Namun satu hal yang pasti sebuah bujur sangkar adalah ada dan nyata, karena bukan impian atau khayalan. Ia merupakan satuan yang konseptual dan akali. Bujur sangkar ada, agaknya sudah jelas, tetapi kita perlu mengadakan pembedaan antara apakah bujur sangkar itu dengan kenyataan bahwa bujur sangkar itu ada. Pertanyaan apakah bujur sangkar itu melahirkan sebuah esensi, yakni sesuatu yang menjadikan bujur sangkar merupkan sebuah bujur sangkar. Bisa saja kita mengatakan bahwa esensi bujur sangkar adalah petak. Ini relatif benar (walaupun tidak sepenuhnya benar) karena petak adalah sesuatu yang membuat bujur sangkar itu bujur sangkar (ada). Begitu juga dengan manusia. Dengan begitu esensi sesuatu adalah hakikatnya. Mengkaji mengenai esensi (hakikat) manusia; pertanyaan utama yang muncul adalah ”Apakah manusia itu?”.
Kalau kita berbicara mengenai jati diri manusia mambawa kita kepada pengandaian adanya kesatuan yang utuh di dalam diri manusia. Kesatuan itu begitu mutlak sehingga tidak dapat dibagi-bagi. Aku adalah aku, baik pada waktu bekerja, berdo’a, belajar, berjalan-jalan, berpacaran, makan, dan lain-lain. Keutuhan manusia sebagai dirinya, yaitu makhluk individual yang unik, tidak bisa ditawar, ditambah, atau dikurangi. Aku yang dulu sama dengan aku yang sekarang, dan tetap sama sampai kapanpun sebagai aku. Meskipun lingkungan saya berubah, pergaulan sosial saya berganti, aku tetaplah aku. Aku yang merupakan anak dari orang tuaku, yang pernah menjadi pelajar dan mahasiswa, yang sekarang terlibat dalam pelbagai kegiatan dan lingkungan, yang bisa bekerja dan belajar, yang kadang-kadang berdo’a dan jalan-jalan, yang suatu waktu butuh makan dan makanan, yang pernah pacaran meskipun cuma sekali dan sebentar, tetaplah aku dan bukan orag lain. Dengan begitu,  manusia selalu identik dengan dirinya sendiri, meskipun mengalami perubahan di dalam ukuran dan bentuk, perubahan dalam cara berpikir, merasa, bersikap, cita, perkembangan dalam pergaulan, peranan yang dimainkan, dan lingkungan sosialnya.
Di lain pihak, manusia meskipun sebagai satu kesatuan yang utuh, manusia jelas terdiri dari bagian-bagian dan aspek-aspek yang begitu kaya. Aku terdiri dari badan dan jiwa. masing-masingnya mempunyai kegiatan, kemampuan dan gaya, serta perkembangan sendiri. Manusia banyak melakukan kegiatan yang berbeda satu dengan yang lainnya; menangis, tertawa, berpikir, merenung, membaca, menulis, berharap, jatuh cinta, cemburu, dan lain-lain adalah kualifikasi  kegiatan tersebut. Intensitas aku (manusia) terdiri dari begitu banyak pengalaman, baik yang disadari maupun tidak. Bagian-bagian badan manusia juga bermacam-macam yang mempunyai kegiatan sendiri-sendiri tanpa bisa saling menggantikan. Dengan begitu, aku yang dulu, yang sekarang, serta yang akan datang tetap sama sebagai aku. Namun masing-masing tahap perkembangan mempunyai kepadatan yang berbeda-beda.
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa di dalam diri manusia terdapat kesatuan (unitas) dan keberagaman (kompleksitas). Unitas membawa kita kepada pemahaman bahwa manusia mempunyai jiwa sebagai penggerak; karena manusia bukanlah robot. Hal ini sejalan dengan pendapat Thomas Aquinas yang menyatakan manusia sebagai pribadi adalah makhluk individual yang dianugerahi kodrat rasional. Makhluk individual sendiri adalah makhluk yang merupakan kesatuan antara jiwa dan badan.[20]
Berbeda dengan Thomas Aquinas, bagi Plato, yang disebut manusia atau pribadi adalah jiwa sendiri. Sedangkan badan oleh Plato diaggap sebagai alat yang berguna sewaktu masih hidup di dunia ini. Jiwa sudah ber-ada sebelum bersatu dengan badan. Persatuan jiwa dan badan merupkan hukuman karena kegagalan jiwa untuk memusatkan perhatiannya kepada dunia ide. Jadi manusia mempunyai pra-eksistensi, yaitu sudah ber-ada sebelum dipersatukan dengan badan dan jatuh ke dunia ini.[21]
Manusia memang merupakan suatu objek penyelidikan yang berharga karena ia sendiri yang menyelidiki dirinya dan pikirannya dikacaukan oleh dirinya sendiri. Amsal yang banyak jumlahnya, membuktikan bahwa manusia mempersoalkan dirinya sendiri, seperti manusia dan hewan persis sama; setiap manusia merupakan suatu kemustahilan sampai saat ia dilahirkan; manusia adalah sebuah mesin yang diberi makan dan menghasilkan pikiran; manusia hanyalah sebatang ilalang, sesuatu yang paling lemah di alam raya, namun ia adalah ilalang yang berpikir, manusia yang mulia merupakan sekadar citra Tuhan; dan sebagainya.[22] Dalam bahasa yang lebih lugas disebutkan antara lain, manusia tiada lain kecuali hewan; manusia merupakan hasil sejarah; manusia adalah makhluk rohani; manusia adalah makhluk yang mencoba mempertahankan kemanusiaannya di dalam pelbagai keadaan.[23]
Polemik (gambaran) permasalahan di atas, sebenarnya merupakan sebagian jawaban dari perdebatan atau perbincangan tentang hakikat manusia, yaitu apa itu manusia? Oleh kelompok-kelompok yang terpecah menjadi tiga kelompok.[24] Kelompok pertama, menyatakan yang dikatakan manusia itu adalah jasad/zat/materi. Manusia adalah makhluk materi. Yang sungguh-sungguh ada hanyalah materi. Manusia sungguh-sungguh ada. Karena itu manusia juga materi. Bagi kelompok ini materi adalah satu-satunya hakikat. Apa yang disebut dengan ruh satau jiwa, pikiran, perasaan (tanggapan, kemauan, kesadaran, ingatan, khayalan, penghayatan, dan lain-lain), tidak lain dari pada fungsi, aktivitas, atau kerja badan manusia yang  terdiri dari sel-sel (zat). Atas dasar anggapan ini mereka menyamakan manusia dengan mesin. Lalu apa beda manusia dengan barang, tanaman, dan hewan? Dalam prinsipnya tidak ada perbedaan. perbedaan yang bersifat sekunder hanyalah delam gerak dan kerja sel-sel pada manusia, terutama otaknya. Manusia sama saja dengan binatang. Perbedaannya hanya dalam fungsi pikir. Maka dikatakanlah manusia adalah binatang yang berpikir.
Dalam perkembangan lebih lanjut,  bagi kelompok ini (terutama bagi kaum monostik) perbedaan manusia dengan robot hanya terletak pada komponen dan struktur yang membangunnya dan sama sekali bukan terletak pada substansinya yang pada hakikatnya berbeda secara nyata. Kalau komponen dan struktur robot sudah dapat menyamai menusia, maka robot itupun bisa menjadi manusia.[25]
Kelompok kedua, menyatakan hakikat segala yang ada, dalam hal ini manusia, adalah ruh. Bagi kelompok ini zat adalah manifestasi ruh. Tanpa ruh zat (jazad) tidak bisa apa-apa. Realita yang tampak tidak lain dari pada kekeliruan pandangan kita saja. Dunia adalah maya. Semuanya adalah tipuan panca indera belaka. Filsafat-filsafat agama umumnya cenderung kepada jawaban yang kedua ini.
Kelompok ketiga, merupakan kelompok yang menempuh jalan tengah; perimbangan antara kedua jawaban yang bertentangan di atas. Manusia adalah perkaitan badan dan ruh. Masing-masing merupkan substansi (unsur akal). Adanya jasad tidak bergantung pada ruh dan adanya ruh tidak bergantung pada jasad. Ruh tidak berasal dari jasad dan jasad tidak berasal dari ruh. Ruh berasal langsung dari Tuhan, sedangkan jasad tidak langsung datang dari Tuhan. Ia diciptakan melalui suatu modus, yaitu melalui hukum yang digariskan oleh Tuhan; sunnatullah.
Di dalam Islam, di antara keduanya harus berimbang (balance), baik itu dalam kecenderungan keduanya ataupun kebutuhan keduanya. Pemahaman tentang ruh sebagai yang berasal dari Tuhan adalah hakikat manusia, tidak mengharuskan manusia terjebak dalam memahaminya. Dalam artian, dalam kehidupan di dunia yang dikejar hanyalah kebutuhan ukhrawi saja. Begitu juga sebaliknya; pemahaman manusia adalah materi, jangan samapai membawa pemahaman bahwa yang yang akan dilakukan dan dicapai di dunia ini hanyalah kebahagiaan/kesenangan duniawi saja. Islam datang dengan menagtur kehidupan manusia untuk mengujudkan fitrahnya, salam di dunia dan salam di akhirat. Apabila rusak perimbangan jasmaniah-ruhaniah, pemuasan material dan spritual, maka salam itu rusak pula. Firman Allah; Qur’an Surat al-Qashash ayat 77:[26]


Dan carilah (kekayaan) yang diberikan Tuhan kepada engkau -kebahagiaan- akhirat dan jangan engkau lupakan nasibmu di dunia ini.

Filsafat tentang hakikat manusia mengujudkan pemikiran terhadap manusia yaitu supaya manusia sungguh-sungguh jelas tentang dirinya. Dan manusia sebagai makhluk berpikir meneteskan ilmu.

  1. Hakikat Ilmu
Berpikir  pada dasarnya merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan.[27] Secara sederhana pengetahuan memiliki kualifikasi subjektif dalam hal reaksi dan kesan. Contoh sederhana gula itu manis, laut itu indah, tetapi dalam situasi dan kondisi berbeda tidak semua manusia beranggapan demikian.
            Pengetahuan yang merupakan produk berpikir adalah obor dimana manusia menemukan (jati) dirinya dan menghayati hidup yang lebih sempurna. Berpikir itulah yang mencirikan hakikat manusia dan karena berpikirlah dia menjadi manusia.[28] Aku ada karena aku berpikir. Berpikir melahirkan pengetahuan dan pengetahuan melahirkan ilmu. Jadi dapat dikatakan ilmu adalah pengetahuan yang membuat kita tahu, sedangkan pengetahuan sendiri adalah ke-tahuan yang membuat kita tahu, yakni dalam menjawab segala pertanyaan-pertanyaan atau pemasalahan.
Menghadapi pola ilmu yang ekstrim sekarang ini, anata ilmu dan agama tidak bisa dipisahkan (dalam mencapai kebenaran). Keduanya bersifat saling mengisi, seperti yang dikatakan Einsten bahwa ”ilmu tanpa agama adalah buta dan agama tanpa ilmu lumpuh”.[29]
Sebagaimana diketahui, ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang empunyai cir-ciri tertentu yang membedakan ilmu dengan pengetahuan lainnya.[30] Pengkajian tentang ilmu ini melahirkan tiga hal pokok, yaitu: pertama, apakah yang ingin kita ketahui? (ontologi), kedua, bgaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan (baca: ilmu)? (epistimologi), dan ketiga, apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita? (axiologi). Ketiga permasalahan ini dipelajari filsafat sedalam-dalamnya (radikal dan holistik). Hasil pengkajiannya (jawabannya) menjadi dasar bagi eksistensi ilmu.
Mengkaji mengenai ontologi ilmu, yang menjadi dasar ontologi ilmu adalah fakta empiris, yaitu fakta yang dapat dialami langsung oleh manusia dengan mepergunakan panca indera. Ilmu membatasi diri hanya pada kepada kejadian empiris. Objek penelaahan ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera  manusia. Berdasarkan objek yang ditelaahnya itu, maka ilmu dapat disebut sebagai suatu pengetahuan empiris, dimana objek-objek yang berada di luar jangkauan manusia tidak termasuk ke dalam bidang penelaahan keilmuan. Inilah yang merupakan salah satu  ciri ilmu yaitu orientasi terhadap dunia empiris.[31]  Karena ilmu itu sendiri mengemukakan beberapa asumsi mengenai obejek empiris. Jadi ilmu membatasi diri dalam pembuktiannya (verifikasi) dengan pengalaman. Sedangkan pengetahuan supra-pengalaman bukanlah objek ilmu, cukup menjadi objek pengetahuan secara umum saja.[32]
Berbeda dengan asumsi di atas, sebagian pendapat mengatakan bahwa objek bahasan ilmu tidak terbatas hanya pada fakta empiris saja. Karena menurut mereka, objek ilmu ialah yang ada dan yang mungkin ada.[33] Sistem yang dianut oleh ilmu bukanlah sitem tertutup, tetapi sistem terbuka. Sebab ilmu merefleksikan dirinya dirinya sebagai sistem terbuka yang bersifat luwes dan dinamis.[34] Konsep ini mengantarkan ilmu ke dalam keseimbangan antar konsepsi dan empiris. Sistem terbuka tersebut mempunyai fungsi menjangkau, meramalkan dan mencari arah, dan menerangkan, dimana menerangkan ini ternyata ada hubungannya dengan pengetahuan dan memahami, artinya ilmu memiliki kesadaran akan adanya bidang kemungkinan yang kebih luas untuk mengembangkan dirinya.[35]
           
C.    Penutup
Pengaruh Pengkajian tentang Fisika dan Metafisika dalam Kehidupan Manusia dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Pengkajian tentang fisika dan metafisika membawa pengaruh secara langsung atau tidak langsung dalam kehidupan manusia. Pengkajian terhadap dua hal tersebut akan melahirkan asumsi yang mendalam dan kesadaran tentang jati dirinya sebagai manusia dan hakikat dirinya. Fisika mengajak manusia memahami dirinya secat fisik, sedangkan metafisika mengajak manusia memahami dirinya secara psikis (iman).
Secara sadar atau tidak, manusia dalam kehidupan sehari-hari, sering membicarakan tentang hal-hal yang berbau fisika maupun hal-hal yang berbau maetafisik. Pertanyaan mengenai pesawat kenapa bisa terbang, (kepercayaan) adanya hantu merupakan salah satu contoh sederhana.
Dalam hal persepsi (pengkajian tersebut) manusia bisa terpecah kepada dua kualifikasi. Ada manusia yang hanya percaya pada hal-hal fisik/materi (realism) dan ada manusia yang percaya pada hal-hal yang metafisik/immateri (idealism).
Pengkajian ini membawa pengaruh yang cukup dalam. Manusia yang hanya percaya kepada yang fisik cenderung berpikiran materialis, berbeda dengan manusia yang percaya kepada hal-hal yang metafisik cenderung lebih bersifat ruhani/idealis, walaupun tidak mesti. Perjalanan pemikiran dan pengkajian tentang fisika dan metafisika ini telah mengalami perjalanan yang panjang, terutama metafisika, dan telah pula melahirkan tokoh-tokoh cendikiawan pada masing-masingnya. Dalam catatan sejarah, pengkajian mengenai metafisika sebagi sebuah disiplin (ilmu) atau sekurang-kurangnya pengetahuan, telah dimulai sejak sebelum masehi, tepatnya di Yunani. Dimuali dari Thales, Pythagoras (+ 600 SM), Plotinus (204-269 SM), Thomas Aquinas (1224-1274 M, sampai pada Santre (1905-1980).[36] Thales adalah orang pertama yang mempersoalkan substansi mendalam dari segala sesuatu.[37] Begitu juga pengkajian mengenai fisika, juga telah melahirkan tokoh yang berkompeten, seperti Einsten, dan lain-lain. Tapi yang jelas, perkembangan tersebut telah membawa dampak yang cukup konstributif bagi umat manusia dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan sendiri. Kemajuan yang diperoleh sekarang, tidak terlepas dari peranan pengkajian terhadap fisika dan metafisika tersebut, sehingga manusia lebih bisa memahami jati dirinya sebahai penuntut ilmu serta hakikat ilmu yang dituntutnya itu.

DAFTAR PUSTAKA



Dardini, A., Humaniora, Filsafat, dan Logika, Jakarta, CV. Rajawali, 1986

Effendy, Mochtar, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Palembang: Universitas Sriwijaya Press, 2001

Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat, Buku Ketiga, Pengantar Kepada Metafisika,  Jakarta: Bulan Bintang, 1996

Gie, The Liang, Garis Besar Estetik (Filsafat Keindahan), Yogyakarta: Karya, 1996

Hadi, Hartono, Jati Diri Manusia Berdasarkan Filsafat Organisme Whitehead, Yogyakara: Kanisius, 1996

Hartoko, Dick, Kamus Populer Filsafat, Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 1986

Kattsoff, Louis O.,  Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996

Peursen, C.A Van, Susunan Ilmu Pengetahuan, Sebuah Pengantar Filasafat Ilmu, Jakarta: Gramedia, 1989

Poejawijatna, Tahu dan Mengetahui, Pengantar ke Ilmu dan Filsafat, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991

Rasjidi, M., Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1984

Reese, William L., Dictionary of  Philosophy and Religion, New York: Amherst, 1998

Ash-Shadir, Muhammad Baqir, Falsafatuna, Bandung: MIzan, 1994

Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998

_______, Ilmu dalam Perspektif, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997



[1]Louis O. Kattsoff,  Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), cet. ke-7, h. 54
[2]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), cet. ke-11, h. 93. Peta/ bagan tentang cabang-cabang ilmu tersebut lihat halaman 96
[3]Ibid., Pebandingan antara ilmu murni dan terapan lihat halaman 94
[4]Muhammad Baqir Ash-Shadir, Falsafatuna, (Bandung: Mizan, 1994), cet. ke-4, h. 260
[5]Louis O. Kattsoff, op. cit., h. 74
[6]William L. Reese, Dictionary of Philosophy and Religion, (New York: Amherst, 1998), h. 476
[7]Mochtar Effendy, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, (Palembang: Universitas Sriwijaya Press, 2001), cet. ke-1, buku ke-3, h. 439
[8]Dick Hartoko, Kamus Populer Filsafat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1986), cet. Ke-1, h. 61-62
[9]Louis O. Kattsoff, loc. cit.,
[10]A. Dardini, Humaniora, Filsafat, dan Logika, (Jakarta, CV. Rajawali, 1986), cet. ke-1, h. 17
[11]Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu logos yang berarti “yang ada”  dan ontos yang berarti ”penyelidikan tentan atau lebih tepatnya ”asas-asa rasional dari dar”. Jadi ontologi adalah pembicaraan yang membicarakan (dan berusaha mengetahui esensi) asas-asas rasional dari yang-ada Lihat Louis O. Kattsoff,  op. cit.,  h. 75-76
[12]Perkataan kosmologi berasal dari perkataan Yunana, yaitu cosmos dan logos. Cosmos berarti alam semesta yang teratur,sedangkan logos artinya sebagaimana tersebut di atas. Kosmologi secara sederhana dapat dikatakan pemebicaraan tentang asas-asas rasional dari yang-ada yang teratur. Kosmologi berusaha untuk mengetahui ketertibannya serta susunannya. Ibid.,
[13]A. Dardiri, loc. cit.,
[14]Ibid., h. 17-18
[15]Ibid., h. 18
[16]Dick Hartoko,  op. cit., h. 62
[17]The Liang Gie, Garis Besar Estetik (Filsafat Keindahan), (Yogyakarta: Karya, 1996), h. 10
[18]Mochtar Effendi, op. cit., h. 440
[19]Ibid., h. 440-441
[20]Dikutip oleh Hartono Hadi dalam bukunya, Jati Diri Manusia Berdasarkan Filsafat Oranisme Whitehead, (Yogyakara: Kanisius, 1996), h. 33
[21]Ibid., h. 32
[22]Louis O. Kattsoff, op. cit., h. 398
[23] Ibid., h. 400
[24] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Buku Ketiga, Pengantar Kepada Metafisika,  (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), cet. ke-4, h. 148-152
[25]Jujun S. Suriasumantri, op. cit. h. 66
[26]Lihat juga Q.S. Yunus: 63 dan 64, Q.S. al-Syu’ara’: 20
[27]Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997), cet. ke-3,  h.  1-2
[28]Ibid,  h.  1
[29]Ibid., h. 4
[30]Ibid.,  
[31]Ibid., h. 5-6
[32]Poejawijatna, Tahu dan Mengetahui, Pengantar ke Ilmu dan Filsafat, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991), cet. ke-7, h. 43-44
[33]Ibid., h. 44
[34]Mengenai ulmu sebagai system terbuka ini, lihat C.A Van Peursen, Susunan Ilmu Pengetahuan, Sebuah Pengantar Filasafat Ilmu, (Jakarta: Gramedia, 1989), cet. ke-2, h. 74-75
[35]Ibid., h. 76
[36]Untuk lebih jelasnya mengenai filosof-filofof ini, baik filosof-filosof  Timur maupun filosof-filosof Barat, lihat; M. Rasjidi, Persoalan-persoalan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984). Rangkuman nama-nama filosof tersebut terdapat pada halaman v-vi.
[37]Louis. O. Kattsoff, op. cit., h. i

0 Comment