BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam sebagai agama terakhir dan diwahyukan kepada Nabi yang terakhir pula, telah dijamin oleh Allah kesempurnaan ajarannya. Kesempurnaan di sini mengacu kepada aturan-aturan yang terkandung di dalamnya, yang telah mengatur kehidupan manusia dari seluruh aspeknya yang berpusat pada Tauhid mutlak. Tauhid adalah payung utama ajaran Islam, akidahnya mutlak bertumpu pada tauhid, yang juga merupakan ajaran agama Allah yang diwahyukan kepada para rasul sebelumnya. Ajaran ibadah juga bertumpu pada tauhid Ulu>hiyyah yang mengajarkan bahwa hanya Allah-lah tuhan yang wajib dan berhak disembah. Bidang ahklak diajarkan secara pasti, atas dasar-dasar dan nilai Ila>hi, tidak berdasarkan atas nilai-nilai manusiawi yang relatif, situasional dan kondisional. Bidang mu’amalat diajarkan dalam bentuk global yang penerapannya diperlukan pemikiran-pemikiran yang sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan kehidupan masyarakat yang tentu tetap berpegang pada nilai-nilai transendental.
Ajaran Islam yang mengatur tata cara hidup disebut hukum. Dalam Us}u>l fiqh, hukum didefinisikan sebagai titah Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yang berupa tuntutan untuk melakukan sesuatu, yang berarti perintah yang wajib dikerjakan, atau tuntutan untuk meninggalkan sesuatu, yang berarti larangan dan haram dikerjakan, atau berupa ketetapan hukum itu berupa hal yang mubah (fakultatif) yang berarti boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan, maupun ketetapan hukum yang menjadikan dua hal berkaitan dan salah satu menjadi sebab atau syarat atau menjadi penghalang bagi yang lain.
Salah satu ajaran Islam, yang banyak diklaim sebagai bagian dari budaya Islam adalah jilbab. Ayat-ayat yang berbicara mengenai jilbab ini turun untuk merespon kondisi dan konteks budaya masyarakat, yang penekanannya kepada persoalan etika, hukum dan keamanan masyarakat dimana ayat itu diturunkan. Dalam Islam wanita harus menutup tubuhnya dalam pergaulan dengan laki-laki yang secara hukum tidak termasuk muhrimnya dan tidak boleh memamerkan dirinya.
Dalam Islam, penekanan fungsi jilbab adalah untuk menutup aurat, yaitu menutup anggota tubuh tertentu yang dianggap rawan dan dapat menimbulkan fitnah. Selain itu sebagai wujud nyata bentuk penghormatan terhadap wanita.
Di antara tokoh yang sangat menganjurkan bahkan mewajibkan pemakaian jilbab ini adalah Abu> al-A’la> al-Maudu>di>. Dalam bahasa yang digunakan oleh al-Maudu>di adalah H{ija>b, yang meliputi h}ija>b domestik dan h}ija>b non domestik. H{ija>b domestik adalah bahwa wanita muslimah dianjurkan tinggal di dalam rumahnya dan menjaga dirinya untuk tidak meninggalkan rumah bahkan untuk melaksanakan s}ala>t di masjid berjama’ah. Sedangkan h}ija>b non domestik (publik) adalah dengan memakai pakaian yang tertutup rapat, kecuali apa yang biasa terlihat seperti wajah dan kedua telapak tangan. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Bakar bin Abdullah Abu> Zaid. Bahkan tokoh yang kedua ini lebih ekstrim lagi dalam memahami persoalaan ini. Dia bahkan menganggap bahwa wajah dan telapak tangan wajib untuk ditutup ketika berada di luar rumah atau bertemu dengan non muhrimnya.
Namun di sisi lain, masih banyak tokoh yang berpendapat bahwa jilbab bukanlah suatu hal yang wajib dengan berdasarkan argumen bahwa konteks turunnya ayat tentang jilbab tersebut dilatarbelakangi oleh situasi kota Madinah yang kala itu belum mempunyai tempat buang hajat di dalam rumah, sehingga ketika hendak buang hajat, mereka harus ketempat sepi di tengah padang pasir. Kesulitan tentu dihadapi oleh wanita muslimah yang ketika akan buang hajat sering diikuti oleh laki-laki iseng yang menyangka bahwa mereka adalah budak. Untuk membedakan antara wanita muslimah dengan budak tersebut, maka turunlah ayat tersebut. Sehinga dengan memakai jilbab, wanita muslimah dikenali dari pakaian mereka, sehingga mereka terhindar dari gangguan laki-laki iseng.
Diantara mereka adalah Muh}ammad Sa’id al-‘Asyma>wi> yang berpendapat bahwa h}ija>b dalam pengertian penutup kepala atau di Indoneia dikenal dengan jilbab, bukanlah kewajiban agama. Itu merupakan tradisi masyarakat yang bisa diikuti ataupun ditentang. Karena itu, masalah h}ija>b ini tidak memiliki konsekuensi iman-kafir, selama dasarnya tetap kesopanan dan kehormatan.
Oleh karena itu, menarik sekali apabila kedua tokoh ini disandingkan sejajar untuk melacak lebih jauh bagaimana bisa keduanya sampai kepada kesimpulan yang berbeda dengan menggunakan suatu dasar hukum yang sama yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Karena masing-masing tokoh di samping mewakili pemikiran yang berbeda juga mewakili dua kelompok yang berseberangan. Al-Maudu>di> sebagai representasi dari kecendrungan fundamentalis dan al-Asyma>wi> yang mewakili kecendrungan ke arah sekulraris, antara normatifitas dan historisitas. Sehingga kedua tokoh ini layak disandingkan untuk memunculkan wacana dialogis dan dialektis antara keduanya.
B. Pokok Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, dapat ditarik beberapa permasalahan yang perlu dibahas yaitu:
1. Bagaimana istid}la>l hukum yang dikemukakan al-Maudu>di> dan al- ‘Asyma>wi>?
2. Apakah yang mendasari istidla>l hukum dari al-Maudu>di> dan al- ‘Asyma>wi> sehingga pendapat keduanya sangat bertentangan satu sama lainnya?
C. Tujuan dan Kegunaan
Skripsi ini diharapkan memberikan jawaban atas pokok masalah yang telah dipaparkan. Untuk lebih jelasnya, tujuan pembahasan ini adalah:
1. Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai argumentasi hukum jilbab yang dikemukakan al-Maudu>di> dan al-‘Asyma>wi>.
2. Untuk menjelaskan landasan berpikir dari argumen hukum yang digunakan oleh keduanya.
Sementara itu kegunaan dari pembahasan skripsi ini adalah:
1. Diharapkan dapat menambah sumbangan pemikiran dan wacana tentang jilbab dengan jalan komparasi antara tokoh-tokoh yang berseberangan.
2. Menambah dan memperluas orientasi pemikiran dalam wacana jilbab itu sendiri.
B. Telaah Pustaka
Sebelum menganalisa lebih lanjut, penulis akan menelaah karya-karya yang membahas masalah ini. Diantaranya adalah Fadwa el-Guindi dalam karyanya yang merupakan hasil dari observasinya di beberapa daerah di Timur Tengah. Dengan judul: Jilbab antara kesalehan, kesopanan dan perlawanan. Di dalam buku ini dinyatakan bahwa jilbab (yang dalam bahasa Inggris disebut Veil atauVoile dalam bahasa Prancis) bisa dipakai untuk merujuk pada penutup tradisional kepala, wajah (mata, hidung, atau mulut), atau tubuh wanita di Timur Tengah dan Asia Selatan. Menurut el-Guindi juga bahwa, Islam tidak menciptakan atau memperkenalkan kebiasaan berjilbab. Jilbab bukan hanya merupakan pakaian yang dipakai oleh wanita an sich, tetapi juga merupakan pakaian yang sering dikenakan oleh laki-laki. Budaya ini telah ada sebelum Islam- dalam budaya Hellenis, Judaisme, Bizantium dan Balkan. Apakah melalui adopsi, penciptaan kembali atau penciptaan independen, berjilbab dalam sistem sosial Arab telah membangkitkan suatu fungsi dan karakteristik makna tertentu yang ada diwilayah Mediterania utara.
Sedangkan menurut Bakar bin Abdullah Abu> Zaid, h}ija>b dibagi kepada dua kategori. Yang pertama h}ija>b secara umum dan h}ija>b secara khusus. Yang dimaksud dengan h}ija>b secara umum adalah bahwa kewajiban berh}ija>b adalah untuk laki-laki dan perempuan. Dan perbedaan h}ija>b antara laki-laki dan perempuan ini berdasarkan perbedaan-perbedaan yang ada dalam bentuk ciptaan, kemampuan tugas yang dibebankan kepada masing-masing. Bagi laki-laki misalnya, diwajibkan menutup aurat mulai dari pusar sampai lutut dari pandangan kaum perempuan dan laki-laki lain selain istri mereka dan budak perempuan mereka. Dan juga dilarang bertelanjang baik ketika sendiri maupun ketika bersama seperti ketika berjalan di tengah publik.
Sebagaimana sabda Nabi saw:
لا تمشوا عراة
فالله أحق أن يستحيا منه من الناس
Sedangkan h}ija>b secara khusus diwajibkan bagi seluruh wanita muslimah dengan menutup seluruh tubuh termasuk muka dan kedua telapak tangan, serta menutup seluruh perhiasan yang dipakainya dari penglihatan laki-laki lain (ajnabi). Hal itu didasarkan pada dali>l-dali>l al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma>’ ‘amali> dari para istri kaum mukminin, mulai dari zaman Rasulullah, Khulafa>’ ar-Ra>syidi>n, masa Tabi’i>n dan pada masa terpecahnya Daulah Isla>miyyah menjadi beberapa kerajaan kecil pada pertengahan abad ke-14 H.
Sedangkan menurut Abd al¬-H{ali>m Abu> Syuqqah, h}ija>b berdasarkan penafsirannya terhadap surat al-Ah}za>b ayat 53 merupakan suatu kekhususan terhadap istri-istri Nabi saw yang berbentuk tabir atau tirai sebagai pembatas antara laki-laki yang bukan muhrim jika berbicara pada istri-istri beliau, sehingga antara laki-laki yang bukan muhrim tidak akan dapat melihat sosok istri Nabi. Demikian pula halnya, istri-istri nabi hanya hanya diperbolehkan keluar rumah untuk keperluan yang mendesak saja, kalaupun keluar rumah, mereka harus menutup wajah dan bagian tubuh lainnya.
As-S{abu>ni> berpendapat bahwa al-Ah}za>b ayat 53 merupakan dali>l atas wajibnya hukum menutup wajah bagi perempuan, karena laki-laki dilarang untuk melihat wajah seorang perempuan yang bukan muhrimnya, meskipun ayat tersebut turun berkenaan dengan istri-istri Nabi, tetapi berlaku untuk semua perempuan dengan jalan Qiyas, sedangkan illatnya adalah seluruh tubuh perempuan merupakan aurat.
Dan diantara skripsi-skripsi yang telah ditulis mengenai permasalahan ini adalah skripsi saudara Nurul Huda, mahasiwa fakultas Ushu>luddi>n jurusan Tafsir Hadist dengan judul Konsep H{ija>b dalam al-Qur’an (Studi terhadap Surat an-Nu>r dan al-Ah}za>b. Dalam tulisannya, ia mengungkapkan penafsiran ayat-ayat H{ija>b yang terdapat dalam kedua surat tersebut dengan mengemukakan pendapat tokoh-tokoh tafsi>r berlandaskan pada riwayat-riwayat hadi>s\. Berdasarkan ayat-ayat tersebut, dia membagi h}ija>b kepada h}ija>b sebagai pakaian yang berfungsi untuk menutup aurat dari pandangan orang yang bukan muhrimnya, h}ija>b yang berarti tabir yang memisahkan istri-istri Nabi dari dari laki-laki yang bukan muhrim dan h}ija>b yang mengandung pengertian sebagai etika yang mengatur pergaulan antara laki-laki dengan perempuan bukan muhrim. Selanjutnya dia berpendapat bahwa yang dapat dilaksanakan pada masa sekarang adalah h}ija>b jenis yang berarti pakaian sebagai penutup aurat dan h}ija>b yang berarti etika pergaulan antara laki-laki dan perempuan tidak semuhrim.
D. Kerangka Teoritik
Reinterpretasi terhadap nas} al-Qur’an dan as-Sunnah yang jelas dan gamblang makna yang dikandung redaksinya, merupakan suatu keharuasan dalam setiap periode. Pedoman-pedoman sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, sebab ia turun dalam konteks ruang dan waktu, bisa jadi akan mengalami kegagapan jika diterapkan dalam waktu dan ruang lain. Disamping itu, ketentuan hukum yang terjabar dalam kedua sumber tersebut sangat mungkin dipengaruhi oleh sosio kultural saat diturunkan. Pengaruh ini tentunya menjadi faktor yang harus diperhatikan di dalam memahami dan manafsirkan makna yang dikandungnya. 17
Untuk memahami al-Qur’an dengan benar, maka perlu dipahami posisi nabi Muhammad dengan risalah yang dibawanya, dimana satu sisi untuk memproklamirkan bahwa Nabi sebagai nabi terakhir, yang menimbulkan konsekwensi berupa relevansi dan kesesuaian ajaran beliau sepanjang masa18. Di sisi lain, kehadiran nabi untuk seluruh umat manusia dan seluruh alam. Konsekwensi ajaran yang dibawa nabi juga harus dapat menuntaskan masalah yang dihadapi ketika masa pewahyuan yang sarat dengan konteks masa itu. 19
Fazlur Rah}ma>n membagi ayat-ayat al-Qur’an menjadi dua kelompok besar. Pertama, ayat-ayat yang berhubungan dan membicarakan masalah teologi dan etika. Kedua, ayat-ayat kasus yang didalamnya termasuk ayat hukum. Rah}ma>n menulis, ajaran besar dalam al-Qur’an adalah monoteis, keadilan sosial, ekonomi, dan kesetaraan. Rah}ma>n juga menulis, ajaran dasar al-Qur’an adalah moral, yang dari ajaran moral tersebut mengalir pada penekanan terhadap monoteis dan keadilan sosial. Karenanya Rah}ma>n membagi ayat-ayat al-Qur’an kepada, 1) ayat-ayat yang mengadung prinsip umum yang jumlah ayatnya terbatas, dan 2) ayat yang mengandung ajaran khusus (kasuistik) yang jumlah ayatnya jauh lebih banyak.
Demikian juga halnya Tahri>r al-H{adda>d, membedakan antara, 1) ayat-ayat yang mengadung ajaran umum seperti tauhid, etika, keadilan, dan kesetaraan, dengan 2) ayat-ayat yang mengadung ajaran perintah yang biasanya sangat tergantung pada kepentingan manusia, kehususnya sebagai jawaban terhadap masalah yang berkaitan dengan tradisi Arab pra-Islam. 20
Karena itu, sejalan dengan Rah{ma>n, al-H{adda>d membagi ayat-ayat al-Qur’an menjadi dua kelompok yaitu: 1) ayat yang mengandung ajaran prinsip yang bersifat universal yang berlaku dari waktu ke waktu dan dari satu tempat ke tempat lain, dan 2) ayat-ayat berupa perintah atau ajaran yang aplikasinya bergantung pada konteks sosial.
Di antara ciri-ciri nas} normatif universal adalah memiliki ajaran universal, prinsip, fundamental, dan tidak terikat dengan konteks, ruang waktu, tempat, situasi, dan sebagainya. Sementara nas} praktis temporal adalah detail, rinci, bersifat terapan, dapat dilaksanakan dalam kehidupan nyata. Sifat lainnya adalah terikat dengan konteks, ruang, waktu, kondisi, situasi, dan lainnya. Pendeknya, nas} praktis temporal adalah jabaran implementasi dari nas} normatif universal. 21
Pembagian nas} normatif universal dengan nas} praktis temporal pada dasarnya sama dengan pembagian nas} qat}’i dan nas} z{anni. Dapat juga disebut dengan menggunakan terma nas} muh{kama>t untuk kategori yang pertama dan nas} juz’iyyat yaitu partikular atau teknis operasional untuk kategori yang kedua. Kalau nas} yang pertama bersifat universal dan bebas dari dimensi ruang dan waktu, maka nas} yang kedua sangat bergantung kepada ruang dan waktu. Sehingga dalam epistemologi hukum Islam muncul kaidah 22 :
لا تنكر تغير الاحكام بتغير الازمان و الامكان
Dalam Ijtiha>d, perbedaan konteks ruang dan waktu akan menghasilkan produk hukum yang berbeda pula. Selain itu, sebuah produk hukum akan kehilangan spiritnya jika ia gagal menyerap nilai-nilai baru dan tidak adaptif terhadap perubahan. Dalam us}u>l fiqh juga kita temukan kaidah yang termasuk dalam lima kaidah pokok yaitu al-A>dah Muh{akkamah, yang berarti bahwa adat, baik yang bersifat umum ataupun bersifat khusus, dapat dijadikan dasar untuk menentukan suatu hukum.
Menurut al-Asyma>wi> bahwa bercampurnya pemikiran dan retorika keagamaan dengan warisan budaya masyarakat (folklor), tradisi yang terbelakang, dan klise-klise murahan, sugguh berdampak buruk bagi pemikiran keagamaan. Hal ini telah menyebabkan banyaknya perkara yang bercampur-aduk dan menimbulkan kekaburan. Akibatnya, pemikiran keagamaan seolah-olah adalah folklor itu sendiri, demikian juga sebaliknya. Ini juga berakibat pada retorika syari’ah yang bersifat klise yang kemudian dinobatkan sebagai retorika keagamaan yang absah. Dengan iklim seperti ini, konsep-konsep berantakan, retorika bercampur-aduk, dan nilai-nilai dasar agama menjadi melemah. Akibatnya, masyarakat terperosok ke dalam jurang imajiasi dan khayalan yang tidak dapat membedakan antara realitas dengan mitos, tidak dapat memilih mana kebenaran dan mana propaganda belaka. 23
Misalnya, ketika politik mencampuri urusan agama, kepartaian mengintervensi syari>’ah, maka keduanya akan membentuk idiologi (kemazhaban) yang totaliter (diktator), lalu perlahan berubah menjadi keyakinan (dogma) yang kaku. Dalam perjalanannya menuju totalitarianisme, dan guna meliputi semua perkara, menyentuh semua unsur, merambah semua aktifitas, maka dia mesti mencampuradukkan pemikiran dengan tradisi yang berkembang dalam masyarakat, menyingkat perjalanannya dengan tradisi yang usang, dan mencampurkan teks-teks dengan klise-klise tertentu. Dengan begitu, perkara menjadi kabur bagi banyak orang dan memusingkan. Kalau sudah begitu, tidak mudah dan tidak mungkin lagi membedakan antara pemikiran keagamaan yang genuin dengan tradisi masyarakat, antara teks-teks agama dan retorika-retorika klise. 24
Jilbab adalah persoalan yang paling jelas terkait dengan hal ini. Dalam masalah ini, sudah sangat jelas percampuran antara pemikiran keagamaan dengan tradisi masyarakat. Akibatnya, banyak yang kesulitan mengungkap akar masalah dan hakikatnya. Sebagian akhirnya mengangap bahwa jilbab adalah kewajiban agama. Sementara yang lain menganggapnya sebagai slogan politik belaka tanpa studi yang serius. 25
Maka untuk menjawab persoalan yang diangkat dalam pembahasan skripsi ini, maka diperlukan beberapa landasan teoritik. Dengan melihat adanya perbedaan yang nyata antara pendapat kedua tokoh, yang berangkat dari sudut pandang yang berbeda pula. Sehingga ada perbedaan dan pertentangan argimentasi, yang dalam istilah ilmu us}u>l fiqh disebut dengan terma ta’a>rud al-Adillah.
Kata ta’a>rud secara etimologi berarti pertentangan, sedangkan al-adillah adalah bentuk jamak dari kata dali>l, yang berarti alasan, argument, dan dalil.26
Maka untuk menyelesaikan pertentangan ini, akan dilakukan beberapa langkah, yaitu jam’u wa at-taufi>q (mengumpulkan dan mempertemukan), tarji>h}, nasakh, dan tasa>qut} al-dala>lain.
Yang dimaksud dengan jam’u wa at-taufi>q adalah mengkompromikan dalil-dalil yang bertentangan setelah mengumpulkan keduanya. Sedangkan tarji>h} adalah menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang bertentangan berdasarkan beberapa indikasi yang mendukung ketetapan tersebut. Dan nasakh adalah pembatalan dalil yang sudah ada dengan didasarkan dengan dalil yang datang kemudian yang mengandung hukum berbeda. Dan tasa>qut} ad-dala>lain adalah memggugurkan kedua dalil yang bertentangan dan mencari yang lebih rendah.
Oleh karena itu dari teori diatas, maka menurut penulis bahwa yang lebih cocok untuk membahas masalah ini dengan menggunakan teori jam’u wa at-taufi>q, sebab dalil yang mereka kemukakan sama kuat.
Mereka sama-sama berargumen dengan menggunakan firman Allah swt:
وقل للمؤمنات يغضضن من ابصارهن و يحفظن فروجهن ولايبدين إلا ماظهر منها وليضربن بخمرهن علي جيوبهن 27
Lalu berargumen pula dengan firman Allah swt:
يأيها النبي قل لأزواجك وبناتك ونساء المؤمنين يدنين عليهن من جلابيبهن ذالك أدنى ان يعرفن فلا يؤذين وكان الله غفورا رحيما 28
Adapun cara yang digunakan untuk mengkompromikan kedua dalil tersebut adalah
1. Membagi kedua hukum yang bertentangan.
2. Memilih salah satu hukum.
3. Mengambil dalil yang lebuh khusus.29
Dalam Islam dikenal istilah mas}lah}ah. Mas}lah}ah ini dibagi kepada tiga tingkatan. Mas}lah}ah yang pertama disebut dengan mas}lah}ah ad}-d}aru>riyyah, yaitu perkara-perkara yang apabila ditinggalkan akan merusak kehidupan, menimbulkan kerusakan dan timbulnya fitnah kehancuran yang hebat. Perkara ini meliputi lima hal pokok yang harus dijaga ekistensinya, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kedua adalah mas}lah}ah h}ajjiyyah yaitu perkara yang diperlukan untuk menghilangkan dan menghindarkan diri dari kesempitan dan kesulitan dalam hidup. Maka peraturan hidup manusia tidak akan rusak, hanya saja tanpa adanya hal tersebut, maka akan mendatangkan kesulitan dalam menjalankan kehidupan sseperti kebolehan mengqas}a>r s}ala>t bila dalam perjalanan. Ketiga, mas}lah}ah tah}si>niyyah adalah perkara-perkara penyempurnaan yang dikembalikan harga diri, kemuliaan ahklaq dan kebaikan adat istiadat, yang sekiranya tidak ada, tidak akan merusak tatanan hidup dan tidak akan menjatuhkan manusia dalam kesempitan dan kesulitan, tetapi kehidupan akan sunyi dari kemuliaan dan kesempurnaan.30
Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka dalam menjawab masalah yang ada dalam kajian ini, tetap diperlukan ketiga macam mas}lah}ah tersebut. Disamping itu, sesuai dengan kaidah yang berbunyi:
درء المفاسد و جلب المصالح 31
Maksud dari kaidah tersebut adalah apabila dalam suatu perkara terlihat adanya mas}lah}ah dan mafsadah, maka harus ditinggalkan perkara yang mengandung mafsadah. Dengan demikian apa yang dinginkan syari’at Islam dapat terlaksana dengan baik sesuai dengan al-Qur’an dan al-H{adi>s\.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian dengan cara mengkaji dan menelaah sumber-sumber tertulis seperti buku-buku, majalah, artikel, dan lainnya yang berkaitan dengan masalah jilbab serta kedua tokoh tersebut, sehingga ditemukan data-data yang akurat dan jelas.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik komparatif yaitu berusaha memaparkan secara jelas pandangan al-Maudu>di> dan al-‘Asyma>wi> tentang jilbab. Dari hasil pemaparan pendapat kedua tokoh tersebut, penulis akan menganalisa serta membandingkan antara dua istdlal/ argumentasi hukum yang berbeda ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang akan digunakan adalah dengan mengkaji dan menelaah berbagai buku, dan karya tulis yang memiliki relevansi dengan kajian ini. Data primer dari pembahasan ini adalah kitab al-H{ija>b karya al-Maudu>di> dan buku H}aqi>qat al-H{ija>b wa H{ujiyyat al-H{adi>s\\ karya al-‘Asyma>wi> yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Kritik atas Jilbab. Adapun data sekuder adalah kitab, buku, dan karya tulis lainnya yang membahas tentang masalah jilbab dan kedua tokoh ini.
3. Analisis Data
Adapun analisis data yang akan penulis gunakan adalah analisis kwalitatif yakni setelah data yang diperoleh terkumpul kemudian diuraikan dan akhirnya disimpulkan dengan metode:
a. Induktif ialah mwenganalisa data-data berupa pendapat kedua tokoh yang bersifat khusus untuk kemudian ditarik menjadi kesimpulan umum.
b. Deduktif ialah menganalisa pendapat kedua tokoh yang bersifat umum untuk ditarik menjadi kesimpulan yang khusus.
c. Komparatif yaitu menganalisa data atau pendapat al-Maudu>di> dan al-‘Asyma>wi> tentang jilbab dengan cara membandingkan pendapat kedua tokoh.
G. Sistematika Pembahasan
Pembahasan penulisan skripsi ini dibagi menjadi lima bab, setiap bab terdiri dari sub-sub bab.
Bab pertama berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan dan kegunaan, telaah putaka, kerangka teoritik, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Pada bab Kedua akan dibahas gambaran umum tentang jilbab yang meliputi pengertian, sejarah jilbab, latar belakang diturunkanya ayat yang berbicara tentang jilbab dan wacana jilbab dalam Islam.
Pada bab Ketiga akan dibahas tentang biografi al-Maudu>di> dan al-‘Asyma>wi> yang meliputi riwayat hidup, kondisi sosial budaya, dan pandangan keduannya tentang jilbab. Berpijak dari hal ini, kita dapat membaca pola pemikiran kedua tokoh tentang jilbab ini.
Pada bab Keempat akan dibahas analisis terhadap pendapat al-Maudu>di> dan al-‘Asyma>wi> tentang jilbab.
Bab Kelima merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan seluruh rangkaian yang telah dikemukakan dan merupakan jawaban atas permasalahan yang ada, dan saran-saran yang dapat diajukan sebagai rekomendasi lebih lanjut.
BAB II
TINJAUAN UMUM
A. Pengertian dan Sejarah Jilbab
Jilbab atau h}ija>b merupakan bentuk peradaban yang sudah dikenal beratus-ratus tahun sebelum datangnya Islam. Ia memiliki bentuk yang sangat beragam. H{ija>b bagi masyarakat Yunani memiliki ciri khas yang berbeda dengan masyarakat Romawi. Demikian pula halnya dengan h}ija>b pada masyarakat Arab pra-Islam. Ketiga masyarakat tersebut pernah mangalami masa keemasan dalam peradaban jauh sebelum datangnya Islam. Hal ini sekaligus mamatahkan anggapan yang menyatakan, bahwa h}ija>b hanya dikenal dalam tradisi Islam dan hanya dikenakan oleh wanita-wanita muslimah saja. Dalam masyarakat Yunani, sudah menjadi tradisi bagi wanita-wanitanya untuk menutup wajahnya dengan ujung selendangnya, atau dengan mengunakan h}ija>b khusus yang terbuat dari bahan tertentu, tipis dan bentuknya sangat baik.
Peradaban Yunani tersebut kemudian ditiru oleh bangsa-bangsa disekitarnya. Namun, akhirnya peradaban tersebut mengalami kemerosotan dan kemunduran karena kaum wanitanya dibiarkan bebas dan boleh melakukan apapun, termasuk pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki. Sementara itu dalam masyarakat Romawi, seperti diungkapkan Farid Wajdi, kaum wanita sangat memperhatikan h}ija>b mereka dan tidak keluar rumah kecuali dengan wajah tertutup. Bahkan mereka masih berselendang panjang yang menjulur menutupi kepala sampai ujung kaki.
Peradaban-peradaban silam yang mewajibkan pengenaan h}ija>b bagi wanita tidak bermaksud menjatuhkan kemanusiaannya dan merendahkan martabatnya. Akan tetapi, semata untuk menghormati dan memuliakannya, agar nilai-nilai dan norma-norma sosial dan agama mereka tidak runtuh. Selain itu juga untuk menjaga peradaban dan kerajaan mereka agar tidak runtuh.
Gereja-gereja terdahulu dan biarawati-biarawatinya yang bercadar dan berkerudung memakai kebaya panjang, menutupi seluruh tubuhnya sehingga jauh dari kekejian dan kejahatan.
Dalam masyarakat Arab pra-Islam, h}ija>b bukanlah hal baru bagi mereka. Biasanya, anak wanita yang sudah mulai menginjak usia dewasa, mengenakan h}ija>b sebagai tanda bahwa mereka minta untuk segera dinikahkan. Di samping itu bagi mereka, h}ija>b merupakan ciri khas yang membedakan antara wanita merdeka dan para budak atau hamba sahaya. Dalam syair-syair mereka, banyak dijumpai istilah-istilah khusus yang kesemuanya mengandung arti yang relatif sama dengan h}ija>b. Di antara istilah-istilah yang sering mereka gunakan adalah niqa>b, khima>r, qina>’, khaba, dan khadr. Ada lagi bentuk-bentuk h}ija>b yang lain seperti sarung, selimut, baju besi dan jilbab. Bangsa Arab pra-Islam mewajibkan wanitanya berh}ija>b. Mereka menganggapnya sebagai tradisi yang harus dilakukan. Dan ketika Islam datang, ia mensyahkan tradisi tersebut.
H{ija>b berasal dari kata dasar h-j-b, bentuk kata kerjanya hajaba yang diterjemahkan dengan “menyelubungi, memisahkan, menabiri, menyembunyikan, dan menutupi”. H{ija>b diterjemahkan dengan ”penutup, selubung, tirai, tabir, pemisah”. Merujuk pada Ibn Manz}u>r dalam Lisa>n al-’Arab, h}ija>b berarti as-Satr (sekat, pembatas, penutup). H{ija>b menurutnya adalah nama sesuatu yang dipakai untuk menutupi atau memisahkan antara dua hal.
Allah berfirman:
و من بيننا و بينك حجاب
H{ija>b yang bentuk jamaknya al-h}uju>b menurut istilah adalah sesuai dengan pemaknaan di dalam segi bahasanya. Yang dimaksudkan ialah sekat yag menjadi pembatas antara laki-laki dan perempuan untuk menghindari terjadinya fitnah.
Sedangkan jilbab kata jalaba berarti mengalihkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain. Sedangkan jilbab menurut Ibn Manz}u>r adalah pakaian panjang yang lebih lebar dari khimar (kerudung), bukan selendang dan bukan pula selimut kain besar, yang menutupi kepala, punggung, dada, dan seluruhnya dengan jilbab tersebut. Jilbab juga diartikan sebagai pakaian yang dipakai wanita untuk menutupi kepala, punggung dan dada.
Merujuk pada istilah terebut di atas, pada dasarnya antara h}ija>b dan jilbab memiliki arti yang sama, yaitu bahwa keduanya merupakan pakaian wanita yang menutup bagian tubuh sehingga tidak terlihat. Jadi, jilbab yang dimaksud di dalam penelitian ini adalah jilbab yang secara umum dimaknai sebagai baju kurung yang longgar disertai kerudung yang menutup bagian kepala, punggung dan dada perempuan.
Ibn Khaldun menggunakan kata h}ija>b dengan pergertian tabir dan keterpisahan bukan penutup. Sedangkan kata jilbab yang jamaknya jala>bi>b ialah pakaian yang menutup seluruh tubuh dari kepala sampai kaki atau menutupi sebagian besar tubuhnya dipakai di bagian luar sekali seperti halnya baju hujan.
Dalam al-Qur’an, kata-kata h}ija>b terdapat di delapan tempat (QS 7:46, 35:53, 38:32, 41:5, 17:45, 19:17, 83:15) yang pada umumnya memiliki arti sebagai pemisah seperti tirai dan tabir. Sebagaimana dalam ayat berikut, h}ija>b menunjukkan tabir tempat Maryam mengasingkan diri dari orang-orang sekitarnya.
فاتخذ من دونهم حجابا فأرسلنا إليهم روحنا فتمثل لها بشرا سويا
Istilah h}ija>b juga merujuk pada tabir yang dibentangkan dirumah Rasulullah dan digunakan pertama kali untuk memisahkan antara istri-istri beliau dengan laki-laki yang bukan muhrimnya. Hal ini tercatat dalam ayat berikut:
وإذا سألتموهن متاعا فسألوهن من وراء حجاب
Dalam bidang fiqh, salah satu pengertian h}ija>b adalah segala sesuatu yang menghalagi atau menutupi aurat perempuan dari pandangan mata, sehingga perempuan yang berh}ija>b disebut Mahju>bah. Hal tersebut berkaitan dengan surat an-Nu>r ayat 31 dan surat al-Ah}za>b ayat 59 tentang keharusan bagi mukminat untuk menutup auratnya dari laki-laki yang bukan muhrimnya dengan memakai pakaian yang sering disebut dengan terminologi jilbab. Al-Alba>ni> kemudian memandang bahwa jilbab merupakan bagian dari hijab.
Abu> ‘Abdulla>h al-Qurt}u>bi> memberikan pengertian bahwa jilbab adalah baju kurung longgar atau lebar dan lebih lebar dari selendang atau kerudung. Dan di dalam kamus al-Munawwir dijelaskan juga bahwa jilbab adalah baju kurung panjang sejenis jubah panjang.
Dengan merujuk pada kata h}ija>b yang terdapat dalam surat al-Ah}za>b ayat 53, Abu> Syuqqah berpendapat bahwa ada dua bentuk h}ija>b yaitu tirai (tabir) yang ada di dalam rumah Rasulullah untuk membatasi atau memisahkan antara istri-istri beliau ketika berbicara dengan laki-laki yang bukan muhrimnya dan pakaian yang dikenakan oleh istri-istri beliau untuk menutupi seluruh tubuhnya termasuk wajah ketika mereka keluar rumah.
Menurut Fatima Marnissi, konsep h}ija>b mengandung tiga dimensi yang ketiganya saling memiliki keterikatan. Dimensi pertama adalah dimensi visual yakni suatu dimensi yang punya pengertian untuk menyembunyikan sesuatu dari pandangan orang. Sesuai dengan akar kata hijab yang berarti menyembunyikan. Dimensi kedua adalah bersifat ruang yang berarti untuk memisahkan, untuk membuat batas dan untuk mendirikan pintu gerbang. Dimensi ketiga adalah sebagai bagian dari etika yang berkaitan dengan persoalan larangan.
Dan jilbab merupakan fenomena simbolik yang sarat makna. Di Indonesia jilbab pernah mencuat kepermukaan pada tahun 1980-an, karena dikesankan sebagai suatu identitas untuk komunitas yang punya idiologi tertentu.
Jika yang dimaksud jilbab sebagai penutup kepala (veil) perempuan, maka jilbab sudah menjadi wacana dalam code Bilalama (3000 SM) kemudian berlanjut dalam code Hamurabi (2000 SM) dan code Asyiria (1500 SM). Pada waktu ada debat tentang jilbab di Prancis tahun 1989, Maxime Radison, seorang ahli Islamologi terkemuka dari Prancis mengingatkan bahwa di Asyiria ada larangan berjilbab bagi wanita tuna susila. Dua abad sebelum masehi, Tertullen, seorang penulis Kristen apologetik, menyerukan agar semua wanita berjilbab atas nama kebenaran.
Penggunaan jilbab pertama kali, menurut kalangan antropologis bukan berawal dari perintah dan ajaran kitab suci, tapi dari suatu kepercayaan yang beranggapan bahwa si mata iblis (the evil eye) harus dicegah dalam melakukan aksi jahatnya dengan cara mengenakan cadar. Penggunaan jilbab dikenal sebagai pakaian yang digunakan oleh perempuan yang sedang mengalami menstruasi guna menutupi pancaran mata dari cahaya matahari dan sinar bulan. Pancaran mata tersebut diyakini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan kerusakan di dalam lingkungan alam dan manusia. Penggunaan kerudung yang semula dimaksudkan sebagai pengganti gubuk pengasingan bagi keluarga raja atau bangsawaan. Keluarga raja tersebut tidak lagi harus mengasingkan diri ketika ketika menstruasi di dalam gubuk pengasingan yang dibuat khusus, tapi cukup dengan memakai pakaian khusus yang dapat menutupi anggota badannya yang dianggap sensitif. Dan dahulu perempuan yang mengenakan jilbab jelas dari keluarga terhormat dan bangsawan.
Modifikasi menstrual hut menjadi cadar (menstrual hoot) juga dilakukan di New Genuine, British Columbia, Asia dan Afrika bagian tengah, Amerika bagian tengah dan lainnya. Selain menggunakan cadar, perempuan haid juga menggunakan zat pewarna (cilla’) pada daerah sekitar mata guna mengurangi ketajaman pandangan mata. Ada lagi yang menambahkan dengan memakai kalung dan bahan tertentu seperti dari logam, manik-manik dan bahan dari tengkorak manusia.
Nasiruddin juga mamaparkan, bahwa masyarakat tradisional dahulu kala telah muncul perdebatan yang seru tentang jilbab. Apakah boleh wanita yang bukan bangsawan mengenakan jilbab sebagai pengganti pengasingannya di gubuk menstruasi. Agama Yahudi, Kristen, dan agama kepercayaan sebelum Islam juga telah mewajibkan jilbab bagi para wanita, yang jelas tradisi berjilbab, kerudung, dan cadar telah ada jauh sebelum ayat-ayat mengenai h}ija>b diturunkan. Hanya saja diskursus jilbab dalam Islam berbeda dengan agama dan kepercayaan sebelumnya. Sebagaimana halnya ayat-ayat haid, ayat-ayat h}ija>b dalam surat al Ah}}za>b: 59 dan an-Nu>r: 31 tidak berbicara dalam konteks teologi, dalam arti dikaitkan dengan asal-asul darah sakral menstrual taboo, sebagaimana dalam agama Yahudi dan Kristen serta kepercayaan animisme.
Ketentuan penggunaan jilbab sudah dikenal di beberapa kota tua, seperti Mesopotamia, Babylonia dan Asyiria. Perempuan terhormat harus menggunakan jilbab di ruang publik. Sebaliknya budak perempuan dilarang mengenakannya. Dalam perkembangan selanjutnya, jilbab menjadi simbol kelas menengah atas masyarakat kawasan tersebut.
Ketika terjadi perang antara Romawi-Bizantium dengan Persia, rute perdagangan antara pulau mengalami perubahan untuk menghindari akibat buruk wilayah perperangan,. Kota di tepi pesisir jazirah Arab tiba-tiba menjadi penting sebagai wilayah transit perdagangan.
Institusionalisasi jilbab dan pemisahan perempuan mengkristal ketika dunia Islam bersentuhan dengan peradaban Hellenisme dan Persia di kedua kota penting tersebut. Peda periode ini, jilbab yang hanya merupakan pakaian pilihan (accasional costume) mendapat legitimasi (institusionalized) menjadi pakaian wajib bagi perempuan Islam.
B. Latar Belakang Turun Ayat Jilbab
Berkaitan dengan diperintahkannya jilbab, para ahli tafsir menyatakan bahwa kaum wanita pada zaman pra-Islam dulu biasa berjalan di depan kaum laki-laki dengan leher dan dada terbuka serta lengan telanjang. Mereka biasa meletakkan kerudung mereka di belakang pundak dengan membiarkan dadanya terbuka. Hal ini acapkali mendatangkan keinginan dari kaum laki-laki untuk menggodanya, karena mereka terkesima dengan keindahan tubuh dan rambutnya. Kemudian Allah memerintahkan kepada wanita untuk menutupkan kain kerudungnya pada bagian yang biasa mereka perlihatkan, untuk menjaga diri mereka dari kejahatan laki-laki hidung belang.
Di jazirah Arab pada zaman dahulu bahkan sampai kedatangan Islam, para laki-laki dan perempuan berkumpul dan bercampur-baur tanpa halangan. Para wanita pada waktu itu juga mengenakan kerudung, tapi yang dikerudungi hanya terbatas pada bagian belakang saja, adapun leher, dada, dan kalungnya masih kelihatan. Oleh karena tingkahnya tersebut dapat mendatangkan fitnah dan dapat menimbulkan kerusakan yang banyak, dan dari hal itulah Allah lalu menurunkan peraturan sebagaimana terdapat dalam surat an-Nu>r: 31 dan al-Ahz}a>b: 59.
M. Quraisy Shihab menyatakan, bahwa wanita-wanita muslim pada awal Islam di Madinah memakai pakaian yang sama secara general dipakai oleh semua wanita, termasuk wanita tuna susila dan hamba sahaya. Mereka semua juga memakai kerudung, bahkan jilbab, tapi leher dan dadanya mudah terlihat dan tak jarang juga mereka memakai kerudung tapi ujungnya dikebelakangkan hingga leher telinga dan dada mereka terus terbuka. Keadaan inilah yang digunakan oleh orang-orang munafik untuk mengoda wanita muslimah. Dan ketika mereka diingatkan atas perlakuan yang mereka perbuat mereka mengatakan “kami kira mereka hamba sahaya”. Hal ini disebabkan oleh karena pada saat itu identitas wanita muslimah tidak terlihat dengan jelas, dan dalam keadaan inilah Allah memerintahkan kepada wanita muslimah untuk mengenakan jilbabnya sesuai dengan petunjuk Allah kepada Nabi saw dalam surat al-Ah}za>b: 59.
Menurut pendapat yang lain, ayat-ayat h}ija>b turun secara bertahap. Pertama kali Allah memperingatkan kepada istri-istri Nabi saw, supaya tidak berbuat dan berprilaku seperti wanita kebanyakan ketika itu. Firman Allah dalam ayat berikut:
يا نساء النبي لستن كأحد من النساء إن اتقيتن فلا تخضعن بالقول فيطمع الذي في قلبه مرض و قلن قولا معروفا
Kemudian Allah berfirman dalam ayat berikut:
وقرن في بيوتكن و لا تبرجن تبرج الجاهلية الأولى
Setelah Allah memerintahkan kepada istri-istri Nabi saw, Allah meneruskan dengan satu larangan supaya tidak berhadapan langsung dengan laki-laki yang bukan mahram, sebagaimana firman-Nya :
وإذا سألتموهن متاعا فاسألوهن من وراء حجاب ذالكم أطهر لقلوبكم وقلوبهن
Selanjutnya istri-istri Nabi saw juga perlu keluar rumah untuk menunaikan hajatnya, maka Allah memerintahkan mereka untuk menutup aurat apabila hendak keluar rumah. Firman-Nya :
يأيها النبي قل لأزوجك و بناتك و نساء المؤمنين يدنين عليهن من جلابيبهن ذالك أدني أن يعرفن فلا يؤذين وكان الله غفورا رحيما
Dan menurut satu pendapat bahwa penetapan syari’at tentang pemakaian jilbab ini bertahap, ketententuannya turun secara berangsur-angsur sehingga manusia tidak dikejutkan dengan perubahan ketentuan dalam masalah aurat. Yang pertama, dalam surat al-A’ra>f ayat 26 dijelaskan bahwa Allah telah menurunkan (menyediakan) pakaian bagi manusia untuk menutup auratnya. Kedua, dalam surat an-Nu>r ayat 30, Allah memberi petunjuk agar kaum mukminin menahan diri dari untuk tidak melihat wanita yang bukan mahramnya dan memelihara kemaluannya (naluri seks). Sebaliknya pada surat an-Nu>r ayat 31, para mukminat juga diperintahkan agar tidak memandang kepada laki-laki dan menjaga kemaluannya. Bahkan dalam kelanjutan ayat ini para wanita juga dianjurkan untuk tidak menampakkan perhisannya selain apa yang biasa nampak kecuali kepada laki-laki mahramnya. Ketiga, pada surat al-Ah}za>b ayat 33, Allah menganjurkan kepada istri-istri Nabi agar tetap di rumah dan tidak berhias seperti orang-oarng jahiliyah yang cenderung mempertontonkan perhiasannya/ tubuhnya. Maksud dari larangan ini adalah untuk menghilangkan dosa dari keluarga Rasulullah. Keempat, dalam surat al-Ah}za>b ayat 59, Allah dengan tegas memerintahkan kepada Nabi agar mengatakan kepada istri-istrinya, anak-anaknya dan perempuan mukminat agar mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuhnya. Dalam ayat ini juga menjelaskan tujuan dari perintah-Nya tersebut, yaitu (a) supaya mereka lebih mudah dikenal sebagai perempuan baik-baik, merdeka dan telah berkeluarga, (b) supaya mereka tidak diganggu, disakiti, atau diperlakukan tidak senonoh oleh laki-laki, untuk membendung terjadinya perbuatan yang diharamkan.
Dengan hal ini dapat diketahui bahwa jilbab bukanlah milik Islam tapi ia merupakan warisan dari masa-masa sebelumnya yang kemudian mendapat legitimasi keagamaan dalam ajaran Islam.
C. Wacana Jilbab dalam Islam
Ada dua istilah yang digunakan dalam al-Quran yang digunakan untuk penutup kepala yaitu khumu>r dan jala>bi>b, keduanya dalam bentuk jamak dan generik. Kata khumu>r (QS an-Nu>r: 31) bentuk jamak dari kata khima>r dan jala>bi>b (QS al-Ah}za>b: 59) bentuk jamak dari kata jilbab.
Al-Qur’an dan al-H{adi>s\ tidak pernah secara khusus menyinggung bentuk pakaian penutup muka. Bahkan, dalam al-h}adi>s\, muka termasuk dalam pengecualian dan dalam suasana ih}ra>m tidak boleh ditutupi. Lagi pula, ayat-ayat yang berbicara tentang penutup kepala tidak satu pun disangkutpautkan dengan unsur mitologi dan strata sosial. Dua ayat tersebut di atas merupakan tanggapan terhadap kejadian khusus yang terjadi pada masa Nabi. Penerapan ayat seperti ini menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan ulama us}u>l fiqh, apakah yang dijadikan pengangan, apakah lafaznya yang bersifat umum ataukah sebab turunnya yang bersifat khusus.
Dua ayat tersebut dalam konteks keamanan dan kenyamanan kaum perempuan. Bandingkan dengan tradisi chador dalam tradisi Sasania-Persia, dianggap sebagai pengganti kemah menstrual (menstrual hut), tempat pengasingan perempuan menstruasi di luar perkampungan. Sedangkan dalam tradisi Yunani, jilbab dianggap sebagai indentitas kelas sosial tertentu.
Ayat khima>r turun untuk menanggapi model pakaian perempuan yang ketika itu menggunakan penutup kepala (muqani’), tetapi tidak menjangkau bagian dada, sehingga bagian dada dan leher tetap kelihatan. Menurut Muh}ammad Sa’id al-’Asyma>wi>, Surat al-Nu>r/24:31 turun untuk memberikan pembedaan antara perempuan mukmin dan perempuan selainnya, tidak dimaksudkan untuk menjadi format abadi (uri>du fi>hi wadl’ al-tamyiz, wa laisa hukman muabbadan).
Ayat jilbab juga turun berkenaan seorang perempuan terhormat yang bermaksud membuang hajat di belakang rumah di malam hari tanpa menggunakan jilbab, maka datanglah laki-laki iseng mengganggu karena dikira budak. Peristiwa ini menjadi sebab turunnya surat al-Ah}za>b/33:33. Menurut Al-’Asyma>wi> dan Muh}ammad Syahru>r, terkait dengan alasan dan motivasi tertentu (illat); karenanya berlaku kaidah: Suatu hukum terkait dengan illat, di mana ada illat di situ ada hukum. Jika illat berubah, maka hukum pun berubah.
Ayat h}ija>b, sangat terkait dengan keterbatasan tempat tinggal Nabi bersama beberapa istrinya dan semakin besarnya jumlah sahabat yang berkepentingan dengannya. Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan (perlu diingat, ayat h}ija>b ini turun setelah kejadian tuduhan palsu/ h}adi>s\ al-ifk terhadap ‘Aisyah), Umar mengusulkan agar dibuat sekat (Arab: h}ija>b) antara ruang tamu dan ruang privat Nabi. Tetapi, tidak lama kemudian turunlah ayat h}ija>b.
Sedangkan, h}adi>s\ yang berhubungan langsung dengan penggunaan jilbab hanya ditemukan dalam dua h}adi>s\ ah}a>d, h}adi>s\ yang diriwayatkan perorangan, bukan secara kolektif dan massif (masyhu>r atau mutawa>tir). H{adi>s\ pertama bersumber dari Aisyah, Rasulullah bersabda, “Tidak diperkenankan seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan Rasulnya jika sudah sampai usia balig menampakkan (anggota badannya) selain muka dan kedua tangannya sampai di sini,” sambil menunjukkan setengah hasta.
H{adi>s\ kedua dari Abu> Daud yang diterima dari Aisyah, yang menceritakan ketika Asma binti Abi> Bakr masuk ke rumah kediaman Rasulullah SAW, lalu Rasulullah mengatakan kepadanya, “Wahai Asma, sesungguhnya perempuan jika sampai usia balig, tidak boleh dipandang kecuali yang ini,” sambil Rasulullah menunjukkan wajah dan telapak tangannya.
Menurut al-’Asyma>wi>, kedua h}adi>s\ tersebut termasuk h}adi>s ah}a>d, bukan mutawa>tir atau masyhu>r. Berdasar dengan h}adi>s ah}a>d memang kontroversial di kalangan ulama Us}u>l Fiqh. Salah satu h}adi>s\ tersebut di-mursa>l-kan (jaringan penutur terputus sampai pada tabaqat sahabat) oleh Abu> Daud, karena bersumber dari Kha>lid ibn Darik yang bukan hanya tidak berjumpa (mu’a>s}arah) tetapi juga tidak ketemu (liqa>’) dengan Aisyah. Di samping itu, h}ad>is\ ini mulai populer pada abad ketiga Hijriah., dipopulerkan oleh Kha>lid ibn Darik, yang kemudian dimonumentalkan dalam Sunan Abu> Daud. Kalau sekiranya hadis ini direpresentasikan pada umat Islam, maka sejak awal jilbab menjadi tradisi kolektif keseharian (sunnah mutawa>tirah bi al-fi’l), bukannya dengan kualifikasi h}adi>s\ ah}a>d-mursa>l. Tradisi jilbab di kalangan sahabat dan tabi’in, menurut al-’Asyma>wi>, lebih merupakan keharusan budaya daripada keharusan agama.
Muh}ammad Syah}ru>r dalam bukunya Al-Kita>b wa al-Qur’a>n juga pernah menyatakan h}ija>b hanya termasuk dalam urusan harga diri, bukan urusan halal atau haram. Pada awal abad ke-19 Qa>sim Ami>n dalam Tah}ri>r al-Mar’ah sudah mempersoalkan hal ini. Namun perlu ditegaskan, meskipun pemikir itu berpandangan kritis terhadap jilbab, tetapi mereka tetap mengidealkan penggunaan jilbab bagi perempuan. Inti wacana mereka adalah bagaimana jilbab tidak membungkus kreativitas dan produktivitas perempuan, bukannya melarang atau menganjurkan pembukaan jilbab.
Ketika gerakan para mullah mulai marak di Iran pada tahun 1970-an dan mencapai puncaknya ketika Imam Khomeini berhasil menggusur Reza Pahlevi yang dipopulerkan sebagai antek dunia Barat di Timur Tengah, maka Khomeini menjadi lambang kemenangan Islam terhadap boneka Barat. Simbol-simbol kekuatan Khomeini, seperti foto Imam Khomeini dan komunitas Black Veil menjadi tren di kalangan generasi muda Islam seluruh dunia. Semenjak itu jilbab mulai menghiasi kampus dunia Islam, tidak terkecuali Indonesia. Identitas jilbab seolah sebagai lambang kemenangan.
Perkembangan berikutnya, ketika perang dingin blok Timur dan blok Barat usai berbarengan dengan semakin pesatnya kekuatan pengaruh globalisasi, maka timbul kecemasan lebih kompleks dari kalangan umat Islam. Islam dan berbagai pranatanya berhadapan langsung dengan dunia Barat. Apa yang dilukiskan Huntington benturan Barat-Islam akan terjadi pada pasca benturan Timur-Barat, menunjukkan adanya tanda kebenaran, terutama setelah peristiwa 11 September 2001.
Sebagian umat Islam percaya bahwa untuk mengembalikan kekuatan Islam seperti zaman kejayaan dulu, umat Islam harus kembali kepada formalisme keagamaan dan sejarah masa lampaunya. Semangat mengembalikan simbol dan identitas Islam masa lalu terus dipompakan, termasuk di antaranya penggunaan jilbab bagi kaum perempuan dan pemeliharaan kumis dan jenggot bagi laki-laki.
Kadar proteksi dan ideologi di balik fenomena jilbab di Indonesia tidak terlalu menonjol. Fenomena yang lebih menonjol ialah jilbab sebagai tren, mode, dan privacy sebagai akumulasi pembengkakan kualitas pendidikan agama dan dakwah di dalam masyarakat. Lagi pula, bukankah salah satu ciri budaya bangsa dalam potret perempuan masa lalu adalah kerudung? Tidak perlu over estimate atau fobia bahwa fenomena jilbab merupakan bagian dari jaringan ideologi tertentu yang menakutkan. Jilbab tidak perlu dikesankan seperti “imigran gelap” yang selalu dimata-matai, seperti yang pernah terjadi pada masa lalu yaitu fenomena jilbab dicurigai sebagai bagian dari ekspor Revolusi Iran. Sepanjang fenomena jilbab tumbuh di atas kesadaran sebagai sebuah pilihan dan sebagai ekspresi pencarian jati diri seorang perempuan muslimah, tidak ada unsur paksaan dan tekanan, itu sah-sah saja. Tidakkah manusiawi jika seseorang menentukan pilihannya secara sadar?
Pada masa sekarang, jilbab yang dicitrakan sebagai sebuah indentitas muslimah yang baik mengalami semacam distorsi yang bergeser dari aturan yang melingkupinya. Kaidah atau aturan berbusana semakin jauh dari etika islam. Jilbab yang semula merupakan hal yang boleh dikatakan harus, sekarang berubah menjadi semacam aksesoris pelengkap yang mendukung penampilan para wanita islam. Hal ini mengkhawatirkan. Berkaitan dengan latar belakang turunnya ayat jilbab yang meluruskan tradisi jilbab wanita pra-Islam yang melilitkan jilbabnya kepunggungnya, agar dijumbaikan ke depan dadanya, agar tidak memancing laki-laki iseng mengganggu, karena menganggap mereka adalah budak. Namun hal ini kembali terjadi pada masa belakangan ini. Berapa banyak kita menyaksikan para muslimah yang memakai jilbab dengan mencontoh kembali cara berjilbabnya wanita jahiliyyah. Seakan-akan dengan telah memakai jilbab dengan seadanya mereka telah memenuhi kewajiban mereka menutup aurat. Jilbab yang berkembang belakangan disebut dengan kudung gaul atau kudung gaya selebritis. Islam secara spesifik memang tidak menentukan bentuk dari busana muslimah, namun yang jelas menetapkan kaidah yang jelas untuk sebuah busana agar disebut sebagai busana muslimah.
Syarat-syarat busana muslimah menurut Al Albani adalah: (1) Busana yang meliputi seluruh badan selain yang dikecualikan (muka dan telapak tangan). (2) Busana (jilbab) yang tidak merupakan bentuk perhiasan kecantikan. (3). Merupakan busana rangkap dan tidak tipis. (4) Lebar dan tidak sempit, sehingga tampak bagian dari bentuk tubuh. (5) Tidak berbau wangi-wangian dan tidak tipis. (6) Tidak menyerupai busana laki-laki. (7) Tidak menyerupai busana wanita-wanita kafir. (8) Tidak merupakan pakaian yang menyolok mata atau aneh dan menarik perhatian.
Sedangkan menurut H. RAy Sitoresmi Prabu Ningrat, jilbab lebih merupakan produk sejarah, karena ajaran Islam sendiri tidak memberikan corak atau model pakaian secara rinci. Karena ia lebih merupakan mode, maka bisa berbeda atara daerah satu dengan daerah lainnya. Dan lagi menurutnya berdasarkan dari ajaran Islam yang terkandung dalam surat al-A’ra>f ayat 26, al-Ah}za>b ayat 59 dan an-Nu>r ayat 31 diketahui bahwa esensi dari pakaian yang bernafaskan taqwa bagi wanita mukminah mengandung unsur sebagai berikut, (a) menjauhkan wanita dari gangguan laki-laki jahat dan nakal, (b) menjadi pembeda antara wanita yang berakhlaq terpuji dengan wanita yang berakhlaq tercela, (c) menghindari timbulnya fitnah seksual bagi kaum laki-laki dan (d) memelihara kesucian agama dari wainta yang bersangkutan. Pakaian yang memenui empat prinsip ini seharusnya memiliki syarat-syarat sebagai berikut, yaitu, menutupi seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan, bahan yang digunakan tidak terlalu tipis sehingga tembus pandang atau transparant dan berpotongan tidak ketat hingga dapat menimbulkan semangat erotis bagi yang memandangnya.
Berkaitan dengan fungsi jilbab yang disyari’atkan dalam Islam ini adalah menutup aurat wanita yang diwajibkan menutupnya. Sampai seberapa ukuran tubuh yang harus ditutup dengan jilbab akan sangat tergantung dengan pemahaman ulama terhadap nas}-nas} al-Qur’an dan Sunnah yang bersifat z}anni> (dapat ditafsirkan), dan pendapat para fuqaha>’ dalam ijtiha>d mereka tentang batas aurat wanita sebagaimana yang digariskan dalam surat an-Nu>r ayat 31:”wala> yubdi>na z}i>natahunna illa> ma> z\ahara minha>…”. Perbedaan pendapat ulama tentang aurat tersebut adalah sebagai berikut:
a. Jumhu>r fuqaha>’, diantaranya maz}hab-maz}hab Maliki>, Sya>fi’i>, Ibn Hazm, Syi>’ah Zaidiah, yang masyhu>r dari Hambali dan salah satu riwayat dari maz}hab Hanafi dan Syi>’ah Imamiah yang diriwayatkan dari tingkatan tabi’in seperti At}a>’ dan H{asa>n Bas}ri> dan tingkatan sahabat seperti ‘Ali> ibn Abi> T{a>lib, A’isyah dan Ibn Abbas berpendapat bahwa:”hanya muka dan kedua telapak tangan saja yang bukan termasuk aurat wanita.”
b. Sufyan as\-S|auri, Mazin dan salah satu kalangan dari mazhab Hanafi mengatakan bahwa, muka dan kedua talapak tangan dan telapak kaki tidak termasuk aurat bagi kaum wanita.
c. Salah satu pendapat dari kalangan maz\ha>b Hambali> dan sebagian Syi’ah Zaidah dan Z{ahi>ri> berpendapat bahwa hanya muka saja dari tubuh wanita yang tidak ternasuk aurat.
d. Salah satu riwayat dari Ima>m Ah}mad ibn Hambal dan berpendapat Abu> Bakar ibn ‘Abdu ar-Rah}ma>n dari kalangan tabi’i>n mengatakan bahwa seluruh tubuh wanita tanpa pengecualian adalah aurat.
BAB III
PANDANGAN AL-MAUDU<DI < DAN AL-ASYMA<WIdi> dan Pandangannya tentang Jillbab.
1. Biografi Singkat al-Maudu>di>
Al-Maudu>di> dilahirkan pada tanggal 3 Rajab 1321 H/ 25 September 1903 M di Aurangabad, suatu kota terkenal di Kesultanan Hydarabad (Deccan), sekarang bernama Andra Prades di India. Ia dilahirkan dari keluarga terhormat, dan nenek moyangnya dari pihak ayah keturunan dari nabi Muhammad. Karena itulah ia memakai gelar “Sayyid”. Keluarganya mempunyai tradisi yang lama sebagai pemimpin agama, karena banyak dari nenek monyang al-Maudu>di> adalah syaikh-syaikh tarekat sufi yang terkenal. Salah seorang dari syaikh-syaikh yang tersebut adalah syaikh yang namanya itu al-Maudu>di> mengambil nama keluarga, yaitu Khawajah Qudbuddin Maudud (meninggal tahun 527 H), seorang syaikh terkenal dari tarekat Chisht. Nenek moyang al-Maudu>di> pindah ke anak benua India dari Chisht pada akhir abad ke 9 H/ abad ke-15 M. Orang yang pertama tiba kali tiba di anak benua India tersebut adalah orang yang sama namanya dengan al-Maudu>di> yaitu Abu> al-A’la> al-Maudu>di> (meninggal pada tahun 935 H).
Ayah al-Maudu>di>, Ah}mad H{asan, dilahirkan pada 1855, seorang ahli fiqh dan orang yang sangat saleh. Al-Maudu>di> adalah anak yang paling kecil dari tiga bersaudara. Setelah memperoleh pendidikan di rumahnya, tahun 1914 saat berumur menjelang sebelas tahun ia masuk ke sekolah menengah Madrasah Fauqaniyah di Aurangabad yang berafiliasi ke Usmaniyah University Heidarabad, suatu madrasah yang menggabungkan pendidikan modern Barat dengan pendidikan Islam Tradisional. Al-Maudu>di> menyelesaikan pendidikan menengahnya dengan sukses lalu memasuki perguruan tinggi Da>r al-’Ulu>m di Hydarabad. Tetapi waktu itu pendidikan formalnya tergangu kerena bapaknya sakit lalu meninggal dunia. Namun demikian hal tersebut tidak menggangu al-Maudu>di> untuk meneruskan pendidikannya, sekalipun dilakukan di luar lingkungan lembaga-lembaga pendidikan reguler. Pada permulaan tahun 1920-an al-Maudu>di> telah menguasai bahasa Arab, Persi dan Inggris di samping bahasa ibunya, Urdu, untuk mempelajari masalah-masalah yang menjadi perhatiannya secara bebas. Jadi sebagian besar dari apa yang ia pelajari itu diperoleh dengan belajar sendiri, sekalipun dalam waktu yang singkat ia memperoleh petunjuk dan pendidikan yang sistematis dari guru-gurunya yang cakap. Jadi pertumbuhan intelektual al-Maudu>di> sebagian besar adalah hasil dari usahanya sendiri dan dorongan yang ia terima dari guru-gurunya. Moral yang kuat, penghargaannya terhadap ketetapan dan kebenaran, sebagian memantulkan kesalehan dari orang-orang tuanya yang perhatiannya kepada pendidikan moral sangat tinggi.
Setelah berhenti dari pendidikan formal itu, al-Maudu>di> berbelok kepada jurnalisme untuk mencari nafkah hidup. Pada tahun 1918, ia telah menulis artikel-artikel untuk surat kabar Urdu yang terkemuka, dan pada tahun 1920, pada usia 17 tahun ia telah diangkat menjadi editor surat kabar Taj yang diterbitkan dari Jabalpore, suatu kota di propinsi yang sekarang bernama Madhya Pradesh, India. Pada akhir 1920-an, al-Maudu>di> datang ke Delhi dan pertama-tama memegang surat kabar Muslim (1921-1923) dan kemudian al-Jam’iyyat (1925-1928), dua surat kabar yang diterbitkan oleh Jam’iyyat al-Ulama Hind, suatu organisasi ulama-ulama muslim India.
Pada tahun 1924, al-Maudu>di> mulai mengambil perhatian dalam gerakan politik. Ia mengambil bagian dalam gerakan Khilafah pimpinan Muhammad Ali (w. 1931) dan Abu al-Kalam Azaz dan didukung oleh Liga Muslim India, serta terlibat dalam suatu gerakan rahasia. Tetapi ia segera meninggalkan organisasi tersebut karena tidak setuju dengan idenya. Al-Maudu>di> juga bergabung dengan gerakan Ta>rikh al-H{ijrah, suatu organisasi oposisi terhadap pemerintahan Inggris atas India, dan menganjurkan kepada seluruh umat muslim agar melakukan hijrah secara massal ke Afganistan. Namun dalam organisasi inipun ia berbeda pendapat dengan pimpinan gerakan ini, karena ia menekankan bahwa tujuan dan strategi dari gerakan seharusnya realistis dan terencana.
Pada tahun yang sama al-Maudu>di> juga dengan intens menerjemahkan beberapa buku bahasa Inggris ke bahasa Urdu. Nama al-Maudu>di> mulai mencorong saat dia dengan sangat jenial menulis sebuah buku berjudul al-Jiha>d Fi> al-Isla>m pada tahun 1930. Buku ini merupakan hasil serial tulisannya selama enam bulan yang muncul di majalah Al-Jam’iat dengan judul Islam kaqanun-i-jang (Islam’s Law of War). Buku-bukunya banyak mendapat sambutan dari berbagai kalangan dalam usaha mengembalikan Islam pada kejayaannya. Buku-bukunya seperti Toward Understanding Islam (Menuju Pemahaman Islam), Purdah (Hijab), Islamic Law and Constitutions (Hukum dan Konstitusi Islam) misalnya, merupakan buku-buku sangat berpengaruh dan banyak mendapat kajian serius para aktivis Muslim di berbagai negara Islam. Bahkan bukunya yang berjudul Toward Understanding Islam yang terbit tahun 1930 menjadi buku pegangan gerakan Ikhwan Muslimi>n di Mesir. Karya lain al-Maudu>di> yang tak kalah pentingnya adalah bukunya yang berjudul Tafhi>m Al-Qur’a>n. Sebuah buku tafsir dalam bahasa Urdu yang dia tulis sejak tahun 1942 dan baru selesai pada tahun 1972.
Ciri utama dari kitab tafsir ini adalah dalam menyampaikan arti dan pesan al-Qur’an dalam bahasa dan gaya yang menyentuh hati dan pikiran orang, serta menunjukkan relevansi al-Qur’an dengan masalah-masalah yang mereka hadapi setiap hari, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Ia menerjemah al-Qur’an itu secara langsung dan dengan idiom Urdu modern yang kuat. Terjemahannya lebih mudah dibaca dan lebih jelas dari pada terjemahannya secara harfiah dari al-Qur’an. Ia menyampaikan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi kehidupan manusia dan sebagai buku pertunjuk bagi gerakan untuk melaksanakan petunjuk itu dalam kehidupan manusia. Ia berusaha menerangkan ayat-ayat al-Qur’an dalam konteks dari pesannya yang kekal. Tafsir ini mempunyai pengaruh yang jauh terhadap pemikiran Islam kontemporer di anak benua India, dan dengan perantaraan terjemahannya mungkin di luar India.
Untuk mewujudkan ide-ide besarnya itu, al-Maudu>di> tidak cukup menulis, melainkan juga mendirikan organisasi Islam yang kemudian menjelma menjadi Partai Islam yang disebut dengan Jamaat Islami yang didirikan pada 26 Agustus 1940 di Lahore. Tidak hanya ide-ide al-Maudu>di>, JI ternyata juga realisasi dari ide-ide salah seorang pemikir besar Pakistan lainya, yakni Muh}ammad Iqbal. Sebagai gerakan Islam, JI memiliki tujuan yang sangat jelas yaitu: mencapai rid}a> Allah dengan cara penegakan ajaran agama di muka bumi. Keanggotaannya terbuka untuk semua orang. Namun untuk menjadi anggota JI diperlukan penyaringan yang ketat dan sangat selektif. Penyeleksian ditujukan untuk membuat fondasi pergerakan agar sangat kokoh dan tidak goyah. Sebab sebuah gerakan, dalam pandangan al-Maudu>di>, jika tidak memiliki lapisan dasar yang kuat dan dengan pandangan yang sangat kuat, akan sangat gampang dipatahkan. Soliditas pandangan dan wawasan para anggota jamaat menjadi agenda utama gerakan ini. Dan ini sesuai dengan cara perubahan masyarakat yang diajarkan al-Maudu>di>. Yakni perubahan yang dilakukan dari atas (top-down). Sebuah garapan yang mengincar tokoh-tokoh dan bukan massa. Sebab, dalam pandangan al-Maudu>di>, perubahan sebuah masyarakat akan gampang berjalan jika para elit pemikirnya telah mengerti Islam yang benar. Tak heran jika para pengikutnya berasal dari para golongan kampus. Cara seleksi yang ketat ini, agak sedikit menghambat partai ini untuk menggaet pengikut. Bahkan tak jarang dianggap eksklusif, karena membidik orang-orang tertentu. Tuduhan ini sebenarnya bersumber pada ketidakmengertian mereka terhadap cara dan tujuan JI.
Dalam rangka mengadakan perubahan, menurut al-Maudu>di>, harus diadakan revolusi Islam (inqala>b al-isla>mi>). Namun revolusi yang al-Maudu>di> maksud bukanlah revolusi berdarah-darah sebagaimana yang dilakukan oleh kaum komunis yang menginginkan perubahan dalam sekejap mata. Al-Maudu>di> menekankan, revolusi harus dilakukan dengan cara gradual dan dengan penanaman keyakinan akan kebesaran Islam.
Dalam sebuah pertemuan pada tahun 1945 ia menyatakan bahwa yang dia maksud dengan revolusi tidaklah mengerahkan seluruh massa. Revolusi yang dimaksudkan adalah inqilab-i-imamat (revolution in leadership). Dia mengatakan, yang mengadakan perubahan bukanlah otak masyarakat umumnya, namun para penggerak masyarakat dan peminpinnya. Al-Maudu>di> menyatakan, revolusi Islam adalah sebuah revolusi dengan esensi damai dan tanpa tumpahan darah. Makanya dia menekankan pendidikan sebagai sarana utama. Al-Maudu>di> sendiri dalam perjalanan hidupnya mengalami banyak cobaan yang dihadapi dengan gagah dan kokoh. Dia pernah divonis hukuman mati pada tahun 1954 karena protesnya atas kasus Ahmadiyah dan tuntutannya agar pemerintah menjadikan Ahmadiah sebagai minoritas-non muslim. Saat mendengar keputusan hukuman mati itu, dia berkata “Jika ajalku telah tiba, maka tak ada seorangpun yang mampu mencegah kematianku, namun jika kematian belum saatnya maka apapun usaha mereka tak mungkin akan berhasil juga.” Nyatanya hukuman itu dikoreksi menjadi hukuman 14 tahun dan akhirnya dia dilepas pada tahun 1955 setelah pengadilan menyatakan tak cukup bukti. Jamaat Islami kini bukan hanya berada di Pakistan, namun juga di India, Bangladesh, Srilanka, Kashmir dan Afghanistan. Setiap Jamaat yang ada di negeri itu memang tak memiliki hubungan langsung secara organisatoris dengan JI di Pakistan. Namun pikiran-pikiran dan programnya mereka ambil dari pikiran-pikiran al-Maudu>di>. Al- Maudu>di> meninggal pada 22 September l979 di New York, Amerika Serikat, karena penyakit ginjal. Dia dimakamkan di kota Lahore. Dan beberapa saat sebelum meninggal, dia sempat mendapat anugerah Faisal King Award dari kerajaan Arab Saudi berkat aktivitasnya dalam bidang pemikiran dan kontribusinya pada peradaban Islam.
2. Kondisi Sosial, Budaya dan Politik
Ditilik dari sejarah, India adalah sebuah negara besar yang berpenduduk jutaan jiwa. Pada masa kejayaannya, India merupakan kerajaan Islam yang berada di bawah undang-undang Islam. Ketika Inggris menjajah India, mereka mengeruk kekayaan dan bertujuan memperlemah umat Islam dan memperkuat golongan Hindu melalui proses pembauran nasional dengan meninggalkan identitas Islam. Kondisi umat Islam ketika itu berada pada puncak keterbelakangan dan kesengsaraaan. Negara Turki Usmani yang mewakili kepemimpinan kaum muslimin di seluruh dunia telah bergeser setelah kejatuhan Sultan Abdu>l H{ami>d. Pada tahun 1909, penjajah Inggris banyak menguras kekayaan negeri ini dan memerangi orang-orang muslim dan Hindu dengan jalan memecah belah mereka. Pada masa itu banyak ulama muslim berada dalam tingkat kebodohan, rendah diri, dan keteransingan yang parah, karena mereka tidak memahami ilmu-ilmu yang berkembang dari Barat, dan penemuan baru, sehingga mereka tidak mampu memberikan solusi alternatif terhadap permasalahan yang dialami umat. Hal ini memberikan peluang bagi penjajah menyebarkan provokasi bahwa agama bertentangan dengan ilmu pengetahuan, kemajuan dan peradaban.
Pada saat al-Maudu>di> dilahirkan, kondisi keluarganya tergolong keluarga syarif sebagai tokoh yang menyebarkan benih Islam di bumi India. Keluarga al-Maudu>di> pernah mengabdi pada Moghul dan dekat dengan istana selama pemerintahan Bahadur Syah Zafar, penguasa terakhir dari dinasti tersebut. Namun setelah adanya pemberontakan besar dan jatuhnya dinasti Moghul, keluarga al-Maudu>di> kehilangan statusnya. Warisan pengabdian mereka pada penguasa muslim menyebabkan mereka dapat terus dekat dengan kejayaan sejarah muslim di India, dan hal ini menyebabkan mereka tidak akur dengan pemerintahan Inggris yang bercokol di India.
Latar belakang pendidikan ayah al-Maudu>di>, Sayyid Ahmad Hasan yang pernah mengeyam pendidikan sekolah tinggi Anglo-Oriental Muslimnya Sayyid Ahmad Khan di Aligharh dan kemudian menimba ilmu hukum di Allahabad dan sangat menyukai kehidupan tasauf dengan menciptakan lingkungan sendiri yang sangat religius dan zuhud bagi anak-anaknya.
Setelah kematian ayahnya, minat al-Maudu>di> untuk terjun ke politik makin kuat yang diilhami oleh semangat nasionalisme India. Keberadaan gerakan Khilafah yang berada di Jabalpur mendorong ia untuk ikut aktif memobilisasi massa untuk mendukung Partai Kongres. Namun takkala gerakan khilafah runtuh pada 1924, ia tidak percaya lagi pada Partai Kongres karena hanya mengutamakan kepentingan Hindu dengan kedok sentimen nasionalis. Begitu juga nasionalisme hanyalah merupakan penyesat dan perong-rong persatuan orang-orang muslim. Hal yang sama juga pernah terjadi terhadap orang-orang Turki dan Mesir yang menyebabkan penolakan terhadap imperium Usmaniah dan kekhilafahan Islam.
Di India saat itu terjadi dua peristiwa penting yang merupakan katalisator yang mendorong al-Maudu>di> mengambil peranan sebagai pemimpin, pemikir Islam dan juru bicara gagasan-gagasan Islam sebagai konsepsi alternatif bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pada tahun 1925, seorang tokoh dari gerakan kebangunan Hindu, Swami Shandhanad, dibunuh oleh seorang ekstrimis Islam yang berkeyakinan bahwa salah satu tugas agama bagi tiap orang muslim adalah membunuh orang-orang kafir. Peristiwa tersebut menyulut perdebatan terbuka dan sengit. Dalam perdebatan tersebut terlontar pendapat bahwa Islam adalah agama yang disiarkan dengan pedang (kekerasan). Pada saat itu, seorang tokoh Islam India, Muhammad Ali> Jauhar, dalam suatu pidatonya sambil menangis menghimbau bahwa apakah tidak ada tokoh Islam yang sanggup menjawab tuduhan tersebut. Al-Maudu>di> merasa terpanggil dan merasa bertangungjawab memenuhi himbauan terebut. Dia kemudian menulis artikel pada tahun 1927 yang diterbitkan menjadi sebuah buku dengan judul Jiha>d dalam Islam. Dalam buku itu, al-Maudu>di> tidak hanya menjelaskan butir-butir pemikirannya yang kemudian hari berkembang menjadi konsepsi Islam tentang kemasyarakatan dan kenegaraan.
Peristiwa penting kedua yang amat mempengaruhi sikap dan pemikiran al-Maudu>di> adalah gerakan kemerdekaan India, khususnya masalah hari depan hubungan antara umat Islam dan Hindu selepas India dari penjajahan Inggris. Pada tahun 1930, waktu rakyat India, baik muslim maupun Hindu, dengan sangat keras menentang dan mendesak untuk dapat lepas dari penjajahan Inggris, al-Maudu>di> dengan sangat keras juga menentang keras pilihan-pilihan yang ditawarkan kepada umat Islam, baik oleh Partai Kongres di bawah pimpinan Mahtma Gandhi maupun Liga Muslim dibawah pimpinan Ali> Jinnah. Sadar akan realitas kuatnya komunalisme agama di India, al-Maudu>di> dapat merasakan keprihatinan hidup Islami dalam negara India nanti, yang jelas dalam dominasi yang kuat oleh Hindu. Keprihatinan ini bertambah lagi dengan kuatnya anggapan bahwa Mahatma Gandhi memperlihatkan kecendrungan untuk bersandar pada dukungan golongan Hindu. Dalam hal ini, al-Maudu>di> menyatakan, bahwa umat Islam India adalah suatu masyarakat sendiri yang memiliki tata nilai moral yang berbeda dan pola kehidupan yang khusus, dan di antara umat Islam dan Hindu terdapat ketidakcocokan yang mendasar. Oleh karenanya menurut al-Maudu>di>, tidak mungkin Islam bergabung dengan umat Hindu dalam satu negara.
Penolakan nasionalisme Islam di India menyebabkan ia tidak dapat bersatu dengan Liga Muslim yang dipimpin oleh Muhammad Ali Jinnah. Al-Maudu>di> menganggap Ali Jinnah dan kawan-kawannya adalah sekuleris yang sudah terpengaruh Barat, dan tidak akan mempu memberikan kepemimpinan Islami.
Dengan sikapnya yang menentang masuknya umat Islam India dalam satu negara tunggal India yang akan didominasi umat Hindu dan penolakannya tarhadap gagasan mendirikan negara nasional Islam dibawah pimpinan Liga Muslim yang sekuler itu. Al-Mau>dudi> berpendirian bahwa sebagai jalan keluar harus diadakan revolusi Islam sebagai langkah awal terciptanya masyarakat dan negara Islam. Revolusi yang dimaksud adalah merupakan perjuangan Islam.
3. Istidla>l al-Maudu>di> tentang Jilbab.
Al-Maudu>di> memulai pendapatnya dengan kata-kata bahwasanya hal yang paling pertama diterapkan oleh Islam dalam hukum kemasyarakatan adalah menghapuskan ketertelanjangan dan menjelaskan batasan-batasan aurat laki-laki dan perempuan. Hal ini dikarenakan pada zaman jahiliyah dulu orang Arab biasa bertelanjang di depan teman-teman mereka, tanpa merasa malu. Dan mereka juga terbiasa untuk tidak menggunakan penutup ketika mandi dan buang hajat. Dan ketika melakukan tawaf di Ka’bah, baik laki-laki maupun perempuan, melakukannya dengan bertelanjang, dan menganggapnya salah satu dari perbuatan yang baik dan paling utama. Secara umum, kondisi cara berpakaian wanitanya ketika itu menampakkan sebagian dadanya. Al-Maudu>di> mengatakan bahwa kondisi inilah yang sekarang terjadi di Eropa, Amerika dan Jepang.
Sebelum menjelaskan pendapat al-Maudu>di> tentang jilbab, maka perlu juga disebutkan hal yang berkenaan dengan penutupan aurat dan hal yang bersangkutan secara langsung dengan penutupan aurat dengan menggunakan jilbab itu.
Maka, ketika Islam datang, hal inilah yang yang pertama kali disorot. Sebagai mana firman Allah:
يابني أدم قد أنزلنا عليكم لبسا يواري سوءاتكم وريشا
Setelah ayat ini turun, yang menunjukkan kewajiban untuk menutup tubuh dengan pakaian atas setiap laki-laki dan perempuan, maka Islam menetapkan batasan-batasan aurat secara jelas antara aurat laki-laki dan perempuan. Aurat menurut syara’ adalah bagian dari tubuh yang wajib untuk ditutup. Dan ditetapkan bahwa aurat laki-laki berada diantara pusar dan lutut, dan diperintahkan agar tidak memperlihatkan bagian tersebut kepada siapapun. Hal ini berdasarkan kepada h}adi>s\
عن أبي أيوب الأنصاري عن النبي صلي الله عليه و سلم: ما فوق الركبتين من العورة و أسفل من السترة من العورة
Adapun batasan aurat wanita lebih luas lagi dari laki-laki, karena mereka diperintahkan agar menjaga seluruh tubuhnya, kecuali muka dan kedua tangannya, dari seluruh manusia, termasuk ayah, saudara dan seluruh kerabat laki-laki, kecuali suaminya.
Sebagaimana disebutkan dalam h}adi>s\- h}adi>s\ berikut:
لا يحل لامرأة تؤمن بالله و اليوم الأخر أن تخرج يدها إلى ههنا و قبض نصف الذراع
الجارية إذا حاضت لم يصلح أن يرى منها إلا وجهها و يدها إلى المفصل
Dan dalam sebuah riwayat juga pernah diceritakan perihal Aisyah yang mengenakan perhiasan ketika keluar rumah bersama dengan anak saudaranya Abdullah ibn at}-T{ufail, yang membuat Nabi tidak senang. Nabi Bersabda:
إذا عرقت المرأة لم يحل لها أن تظهر إلا وجهها و إلا ما دون هذا وقبض على ذراع نفسه فترك بين قبضة و بين الكف مثل قبضة أخرى
و كانت أسماء بنت أبى بكر رضي الله عنهما أخت زوج النبي صلي الله عليه وسلم فدخلت عليه ذات مرة في لباس رقيق يشف عن جسمها فأعرض النبي عنها و قال يا أسماء! إن المرأة إذا بلغت المحيض لم يصلح أن يرى منها إلا هذا و هذا وأشار إلى وجهه و كفه
Dari seluruh riwayat-riwayat yang telah disebutkan diatas, dapat diketahui bahwa, seluruh tubuh wanita, kecuali muka dan tangannya, merupakan aurat yang harus ditutup, sekalipun di hadapan karib kerabatnya di rumah. Wanita tidak boleh menyingkapkan auratnya di hadapan siapapun selain suaminya, baik itu bapaknya, saudaranya ataupun anak saudaranya. Dan juga tidak diperbolehkan memakai pakaian yang tipis yang dapat memperlihatkan auratnya.
Hal tersebut di atas berkenaan dengan wanita yang talah mulai baliq. Dan hal ini terus berlaku selama mereka masih mempunyai keinginan untuk merasakan kelezatan jasmaniyah. Apabila masa itu telah lewat maka ada semacam keringanan yang diberikan kepadanya.
Hal ini diisyaratkan dalam Firman Allah:
والقواعد من النساء اللاتي لا يرجون نكاحا فليس عليهن جناح أن يضعن ثيابهن غير متبرجات بزينة و أن يستعففن خير لهن
Keringanan ini hanya ditujukan kepada wanita yang telah lemah disebabkan karena usia yang telah tua dan orang lain melihat kepadanya kecuali dengan pandangan yang memuliakan dan karena hormat. Maka atas wanita seperti ini, tiadalah mengapa ia membuka khima>rnya di rumahnya.
Dan maksud lain dari hal ini ditetapkan adalah agar laki-laki tidak memasuki rumah kecuali dengan meminta izin terlebih dahulu terhadap ahli bait, sehingga dia tidak melihat wanita dalam keadaan yang tidak sepantasnya dilihat.
Ini juga dimaktubkan dalam Firman Allah:
وإذا بلغ الأطفال منكم الحلم فليستأذنوا كما استأذن الذين من قبلهم
Dan dalam ayat ini telah diisyaratkan adanya atas umur, yaitu balighnya seseorang dengan cara mimpi basah yaitu munculnya perkembangan perasaan kearah kesenangan jasmani. Apabila anak telah sampai pada umur ini, maka ketentuan ukum ini juga akan diberlakukan kepadanya.
Di samping hal ini, juga diperintahkan kepada orang asing agar tidak masuk ke dalam rumah tanpa mendapat izin dari tuan rumah terlebih dahulu. Sebagaimana firman Allah:
يأيها الذين أمنوا لا تدخلوا بيوتا غير بيوتكم حتى تستأنسوا و تسلموا على أهلها
Ini merupakan maksud memberi batas yang jelas antara tuan rumah dengan orang lain diluar mereka, sehingga kehidupan rumah tangga antara laki dan perempuan tersebut aman dari pandangan orang-orang asing.
Hal ini pernah dialami sendiri oleh Nabi pada suatu saat, ketika para sahabat berpindah dari satu ruangan keruangan yang lain di rumah Nabi. Sedangkan beliau sedang bersama dengan seorang sahabat yang bernama Mudri yang sedang mencukur rambut beliau. Maka beliau besabda:
لو أعلم أنك تنظر لطغت به في عينك, إنما جعل الاستئذان من أجل البصر
Setelah itu Nabi lalu mengumumkan:
من اطلع في بيت قوم بغير إذنهم فقد حل لهم أن يفقؤا عينيه
Kemudian beliau memerintahkan kepada laki-laki asing agar tidak masuk ke dalam rumah apabila ingin meminta sesuatu, akan tetapi mereka dapat meminta dari belakang h}ija>b. Firman Allah:
وإذا سألتموهن متاعا فاسألوهن من وراء حجاب. ذالكم أطهر لقلوبكم و قلوبهن
Dalam ayat ini terdapat isyarat yang jelas mengenai illat hukum yang terdapat dalam akhir ayat yang berbunyi, “z\a>likum at}ha>r li qulu>bikum wa qulu>bihin”, yang bermaksud agar antara laki-laki dan wanita tidak terlibat dalam suatu hal yang dapat menimbulkan fitnah. Dan batasan yang diletakkan sebagai h}ija>b tersebut merupakan larangan terhadap percampuran antara laki-laki dan perempuan.
Hal selanjutnya yang berkenaan dengan penjagaan terhadap keterbukaan aurat itu adalah dilarangnya berduaan dengan lawan jenis dan menyentuh. Al-Maudu>di> mengatakan, batasan ketiga yang telah ditetapkan Islam adalah tidak boleh bagi laki-laki berdua-duaan dengan wanita yang bukan istrinya dan menyentuh tubuhnya, walaupun laki-laki itu masih termasuk kerabatnya. Al-Maudu>di> mendasarkan pendapatnya ini kepada h}adi>s\ yang berbunyi:
إياكم والدخول على النساء. فقال رجل من الأنصار: يا رسول الله! أفرأيت الحمو؟ قال: الحمو الموت
Begitu juga dengan menyentuh perempuan. Dalil yang banyak digunakan adalah h}adi>s\ yang diriwayatkan dari ‘Aisyah yang menceritakan peristiwa pembai’atan terhadap rasul yang dilakukan oleh para wanita. Pada waktu itu Nabi tidak menyalami mereka seperti yang beliau lakukan ketika membai’at kaum laki-laki, tapi beliau hanya menjawab dengan ucapan saja. Hal ini sesuai dengan perkataan Nabi: Aku tidak bersalaman dengan perempuan, sesungguhnya ucapanku kepada seratus wanita sama dengan ucapanku kepada satu wanita.
Beralih kepada pendapat al-Maudu>di> mengenai jilbab didasarkan kepada penafsirannya terhadap ayat berikut:
يأيها النبي قل لأزوجك وبناتك و نساء المؤمنين يدنين عليهن من جلابيبهن ذالك أدنى أن يعرفن فلا يؤذين
Al-Maudu>di> menafsirkan jala>bi>b, jamak dari jilbab dengan pakaian yang besar, khima>r atau rida’. Al-Maudu>di> berpendapat bahwa ayat turun khusus tentang menutup wajah. Dan dari ayat ini juga dapat dipahamai bahwa wanita ketika keluar rumah diharuskan mengenakan pakaian yang tertutup rapat seperti dengan menggunakan khima>r atau niqab, yang merupakan penanda bahwa mereka adalah wanita yang mulia dan agar mereka tidak diganggu oleh orang jahat.
Al-Maudu>di> juga mengebutkan bahwa seluruh ahli tafsir juga berpendapat dengan pendapat yang sama dalam menafsirkan ayat ini. Antara lain Ibn Abbas, Ibn Sirri>n, at-T{abari>, Abu> Bakar al-Jas}as}, ar-Ra>zi> dan al-Baid}awi>. Al-Maudu>di> menambahkan bahwa jelas bahwa dari masa sahabat yang terpercaya sampai dengan abad ke-8 Hijriah, seluruh ahli ilmu memahami ayat dengan satu pemahaman yang sama. Dan apabila merujuk kembali kepada h}adi>s\-h}adi>s\, maka diketahui bahwa setelah ayat ini turun pada masa nabi, wanita disyari’atkan mengenakan niqa>b secara umun. Dan mereka dilarang keluar melakukan perjalanan.
Dalam sunan Abu> Daud dan Tirmi>z}i>, Muwat}t}a>’ dan kitab h}adi>s\ lainnya, bahwasanya Nabi memerintahkan bahwa wanita yang sedang ihra>m tidak boleh mengenakan niqa>b atau pun memakai kaus tangan. Beliau juga melarang kaum wanita mengenakan dua sarung tangan dan niqa>b dalam ihra>m mereka.
Kedua h}adi>s\ di atas menunjukkan dengan jelas bahwa kaum wanita pada masa Nabi saw telah terbiasa mengenakan niqa>b dan dua sarung tangan, kemudian mereka dilarang mengenakannya ketika ihram. Ketentuan hukum ini tidak bertujuan agar wajah kaum wanita ditampak-tampakkan, namun pada hakikatnya bertujuan agar qina’ tidak dianggap bagian ihram yang harus ditutupi sebagaimana qina’ ini menjadi bagian pakaian mereka sehari-hari. Dalam h}adi>s\-h}adi>s\ yang lain, diriwayatkan bahwa para istri Nabi saw dan kaum muslimah pada umumnya menutupi wajah mereka dari pandangan orang lain ketika mereka ihra>m. Dalam Suna>n Abu> Da>ud diriwayatkan dari ‘Aisyah, ia berkata, “Suatu saat, rombongan yang mengendarai onta melewati kami yang sedang ihram bersama Rasul saw. Apabila rombongan itu lewat di depan kami, maka salah seorang dari kami akan menjulurkan jilbabnya dari kepalanya untuk menutupi wajahnya, dan apabila mereka telah lewat, maka kami menyingkapnya lagi.”
Dalam Muwatta Ima>m Ma>lik diriwayatkan dari Fatimah binti Munzir, “Kami menutupi wajah kami, tatkala kami (Kaum wanita) sedang ihram, dan saat itu kami bersama Asma’ binti Abu> Bakar as-Siddiq, dan ia tidak mengingkari perbuatan kami.” Dalam Fath al-Bari, diriwayatkan dari ‘Aisyah. Ia berkata, “Seorang wanita mengulurkan jilbabnya dari atas kepalanya untuk menutupi wajahnya.”
Dari beberapa riwayat di atas inilah al-Maudu>di> mendasarkan argumentsinya tentang wajibnya wanita mengenakan jilbab. Jelas bahwa al-Maudu>di> selalu mendasarkan pendapatnya berdasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an, h}adi>s\ dan pendapat para sahabat Nabi. Dari hal ini pula bahwa pemahaman yang melatarbelakangi pendapatnya tentang jilbab ini merupakan manifestasi dari keperihatinan beliau terhadap kondisi masyarakat tempat beliau berada khususnya, dan negara Islam lainnya secara umumnya. Hal ini dikarenakan munculnya budaya yang sangat permisif yang tanpa batas sebagai akibat dari maraknya pertarungan budaya lokal dengan budaya yang datang dari luar. Hal disikapi oleh al-Maudu>di> dengan menjadikan masa Nabi dan sahabat sebagai acuan dan contoh yang harus dilaksanakan dan tentu saja dicontoh. Orientasi berfikir seperti inilah yang memunculkan gagasan beliau mengenai jilbab tersebut diatas. Sehingga kesan yang tertangkap adalah bahwa al-Maudu>di> sangat konsisten namun di satu sisi sangat terpaku kepada sejarah Nabi (orientasi sejarah) dan mendasarkan pendapatnya dengan sumber yang mencul pada masa Nabi tanpa melakukan penafsiran ulang (reinterpretasi) terhadap teks tersebut.
B. al-Asyma>wi> dan Pandangannya tentang Jilbab.
1. Biografi Singkat dan Kondisi Sosial dan Budaya.
Tidak cukup banyak sumber yang menyebutkan tentang keberadaan biografi dari al-Asyma>wi>. Namun yang jelas bahwa Muhammad Sa’id al-Asyma>wi> adalah seorang juris, pakar perbandingan hukum Islam – hukum konfensional, dan penantang utama terhadap ideologisasi agama Islam di negeri Piramida Mesir. Buku utamanya yang berjudul Al-Islam al-Siyasi (Islam Politik), merupakan magnun opus-nya al-Asyma>wi> yang banyak dicari dan dijadikan rujukan untuk memahami nalar (imaji) dan fenomena Islam politik di Timur Tengah umumnya.
Al-Asyma>wi> mengalami karir hukum dan intelektualnya dalam instansi pemerintah. Beliau adalah mantan ketua Peradilan Tinggi Kairo. Meskipun banyak mendapat kecaman dan ancaman dari bebearapa kelompok ekstrimist di Mesir karena karangan-karangannya, al-Asyma>wi> tetap memilih hidip di Kairo dengan mendapat perlindungan dari pemerintah selama 24 jam.
Al-Asyma>wi> meraih gelar akademiknya sebagai sarjana hukum dari Universitas Kairo tahun 1954. Karir hukumnya dimulai dari bawah sebagai asisten jaksa di Propinsi Aleksandria, sampai pada puncaknya sebagai Hakim Agung. Beliau aktif menulis di berbagai media massa di Mesir, diantaranya kolom tetap di majalah mingguan Oktober, dan juga menulis berbagai buku dalam bidang hukum yang banyak diminati.
Kehidupan al-Asyma>wi> yang secara akademik dekat dengan masa dimana negeri Mesir dikenal sebagai gudang ilmuan yang sangat merdeka dalam mengutarakan pendapat mereka. Di tengah kondisi seperti inilah al-Asyma>wi> tumbuh dan berkembang. Mesir pada masa itu sedang mengalami transformasi intelekstual yang sangat cepat. Kita mengenal bebarapa tokoh yang sangat lantang menyuarakan pendapatnya yang kesemuanya berasal dari negeri Piramida ini. Sebutlah misalnya, Qosim Amin, Nawaal el Sadawi, Huda Sa’rawi, Fatima Marnisi, dan Fadwa el Guindi serta lainnya. Belum lagi tokoh-tokoh yang mencurahkan segala pemikirannya untuk kemajuan Mesir. Diatara mereka ada tokoh-tokoh yang sangat disegani dalam dunia pemikiran Islam, contoh saja al-Afgani, Rasyid Ridho, Muhammad Abduh dan lain-lain. Secara tidak langsung maupun tidak langsung, al-Asyma>wi> bersinggungan dengan pemikiran-pemikiran yang sangat plural dan liberal ini. Termasuk ketika dia dalam pendidikannya, tentunya dia tidak asing dengan pergulatan wacana yang ada di Mesir, sampai ketika akhirnya dia diangkat menjadi hakim Agung pemerintah, yang otomatis dia harus menjawab permasalahan yang tidak hanya berkaitan dengan kondisi masyarakat secara aktual, tetapi juga tapi juga berkaitan dengan hukum yang bersifat kontemporer yang tidak bisa dengan hanya mengunakan pendekatan hukum islam (fiqh) semata-mata tanpa menggunakan piranti-piranti lainnya berupa sosial, budaya, politik dan ekonomi.
Oleh karena itu, dikarenakan pola pikir yang begitu liberal dalam menjawab persoalan umat, maka tak jarang ia mendapat ancaman dan serangan dari ulama-ulama yang berseberangan dengannya, sehingga pernah ia diancam dibunuh karena ia dianggap telah kafir. Oleh karena itulah, sampai sekarang ia masih hidup dibawah perlindungan aparat pemerintah Mesir selama 24 jam.
2. Istid}la>l al-’Asyma>wi> tentang Jilbab.
Permasalahan jilbab menurut al-’Asyma>wi> muncul dalam wacana pemikiran keislaman setelah beberapa kelompok menyebutnya sebagai kewajiban Islam. Sebagian menghukuminya fardu a’in, kewajiban individu setiap perempuan mulimah yang sudah baligh. Dari kewajiban ini, muncul tuduhan bagi mereka yang tidak ber-jilbab sebagaimana yang ditetapkan kelompok ini, telah keluar dari agama dan mendurhakai syari’at, dan pentas mendapat sanksi yang sepadan dengan ilhad, orang-orang atheis; yaitu hukum bunuh (Idam). Sementara itu, busana yang menyerupai jilbab yang dikenakan gadis-gadis dan perempuan di bebarapa negara non-muslim, oleh kelompok tersebut hanya dianggap sebagai slogan politik belaka, bukan kewajiban agama. Lalu apakah hakikat jilbab, apa yang dimakud dengan jilbab, dan landasan keagamaan apa yang digunakan oleh mereka yang menganggapnya sebagai kewajiban agama, dan mengapa sebagian menganggapnya sebagai hanya slogan politik dan bukan kewajiban agama.
Untuk menjawab ini, al-Asyma>wi> berusaha mengeksplorsi dan menelusuri ayat-ayat al-Qur’an serta h}adi>s\ yang menjadi landasan bagi pendukung jilbab ini.
Ada tiga hal pokok yang dipaparkan oleh al-’Asyma>wi> dalam rangka menjelaskan polemik ini.
Soal pertama adalah berkaitan dengan ayat h}ija>b. H{ija>b secara kebahasaan berarti penutup (assatir). Hajbu asy-Syay berarti satruhu (menutupnya). Perempuan berhijab berarti perempuan yang bertutup dengan penutup tertentu. Kalau ditelusuri lebih lanjut, ayat al-Qur’an yang berbicara mengenai h}ija>b perempuan, adalah perintah yang khusus bagi istri-istri Nabi saja. Ayat itu asal muasalnya berarti (perintah) mengenakan penutup/ tirai yang memisahkan mereka dengan kaum laki-laki mukmin.
Dalam firman Allah:
يأيها الذين أمنوا لا تدخلوا بيوت النبي إلا أن يؤذن لكم إلى طعام غير ناظرين إناه ولكن إذا دعيتم فادخلوا فإذا طعمتم فانتشروا ولا مستئنسين لحديث إن ذالكم كان يؤذى النبي فيستحى منكم و الله لا يستحى من الحق و إذا سألتموهن متاعا فسألوهن من وراء حجاب ذالكم أطهر لقلوبكم و قلوبهن وما كان لكم أن تؤذوا وسول الله ولا أن تنكحوا أزواجه من بعده أبدا إن ذالكم عند الله عظيما
Ayat di atas, setidaknya mengandung tiga produk hukum: Pertama: menerangkan etika yang patut diperhatikan kaum mukmin bila diundang menghadiri resepsi atau perjamuan yang diselenggarakan Nabi. Kedua, anjuran perlunya meletakkan tirai antara istri-istri Nabi dengan kaum mukmin umumnya. Ketiga, larangan mengawini bekas istri-istri setelah beliau meninggal.
Menyangkut produk hukum yang pertama, konteks turunnya ayat tersebut dapat diceritakan sebagai berikut. Konon, ketika Nabi menikahi Zainab binti Jahsy (mantan isrti Zaid bin Usamah, bekas anak angkat beliau). Karena kejadian itu, Allah menurunkan ayat ini guna menasehati kaum mukmin, agar tidak memasuki rumah Nabi ketika diundang dalam sebuah resepsi kecuali ketika setelah makanan sudah matang, agar bila setelah usai makan, hendaklah mereka segera membubarkan diri, dan tidak berlama-lama duduk sambil berbual-bual.
Konteks produk hukum kedua, yaitu perintah hijab yang khusus bagi istri-istri Nabi, adalah sebagai berikut. Suatu ketika, Umar bin Khattab pernah menyakan kepada Nabi,” Wahai rasulullah, istri-istrimu banyak didatangi orang-orang- entah mereka orang baik maupun jahat- untuk berbagai keperluan. Tidakkah lebih baik sekiranya engkau perintahkan mereka memasang hijab?” Oleh karena usulan Umar tersebut, maka turunlah ayat ini. Sebagian pendapat mengatakan, ketiga produk di atas, turun bersamaan ketika resepsi pernikahan Nabi dengan Zainab. Produk hukum tersebut menerangkan kepada kaum mukmin, (pertama) tentang etika yang baik dalam memenuhi undangan Nabi; (kedua), tentang perluya meletakkan tirai antara mereka dengan istri-istri Nabi; dan (ketiga), larangan mengawini bekas istri Nabi setelah beliau wafat. Pendapat demikian, tidak menutup kemungkinan adanya dua versi tentang konteks atau sebab turunnya ayat.
Maksud umum ayat tersebut adalah anjuran dibuatkan tirai pemisah antara istri-istri Nabi dengan kaum mukmin, sehingga bila mereka ingin berbicara dengan salah seorang dari istri Nabi, atau meminta sesuatu, agar melakukanya diantara penghalang (tirai). Dengan demikian mereka tidak saling berpandangan-pandangan baik muka tubuh atau keduanya.
H{ija>b yang berarti penutup ini, adalah khusus diperuntukkan bagi istri-istri Nabi, tidak termasuk hamba sahaya, putri-putri beliau, dan perempuan mukminah lainnya. Dalil tentang itu dapat dikemukakan dari apa yang diriwayatkan dari Anas ibn Malik. Diceritakan, suatu saat ketika Nabi pernah bermukim antara Khaibar dan Madinah selama tiga hari ketika menikahi Shafiyah binti Huyai. Kaum mukminin ketika itu berinisiatif perlunya memberi penutup antara mereka dengan istri Nabi tersebut. Sebab secara tradisional dikenal, kalau dia tidak ditutupi maka dia akan dianggap sebagai hamba sahaya biasa. Ketika berpergian, Nabi mendudukkannya di belakangnya, sambil menggantungkan tirai antara dia dengan kaum mukminin lainnya. Dengan begitu, kaum mikminin paham kalau beliau adalah istri Nabi, dan sudah menjadi ibu bagi kaum mukminin umumnya, bukan lagi berstatus sebagai hamba sahaya.
Hal yang kedua yang dilihat oleh al-’Asyma>wi> adalah persoalan ayat Khima>r. Ayat yang termaktub sebagai berikut:
و قل للمؤمنات يغضضن من أبصارهن ويحفظن فروجهن ولايبدين زينتهن إلاماظهر منها وليضربن بخمرهن علي جيوبهن
Secara historis, ayat ini turun dalam kondisi dimana kaum permpuan di zaman Nabi sudah mempunyai tradisi menutup kepala mereka dengan khimar. Yaitu menjumbaikan kerudung ke bagian punggung, sementara itu bagian sebelah atas dada dan leher tidak tertutup. Ayat ini lantas menganjurkan kaum mukminah untuk meralat tradisi itu dengan menjumbaikan kerudung itu justru ke bagian dada. Atas anjuran tersebut, maka mereka lantas menjumbaikan kerudungnya ke bagian dada agar tertutupi.
Illat, logika atau argumen hukum ayat ini berkaitan dengan koreksi atas tradisi yang telah berkembang ketika ayat ini turun, dimana perempuan ketika itu mengenakan kerudung untuk menutup kepala sembari menjumbaikannya ke punggung, sementara bagian dada tetap transparan. Untuk itu, ayat ini menganjurkan agar lebih mengutamakan menutup bagian dada sebagai koreksi atas tradisi menjumbaikan kerudung ke punggung, tanpa menetapkan jenis busana tertentu.
Bisa juga, argumen hukumnya- besar kemungkinan- sebagai pembeda antara perempuan mukminah dengan yang non mukminah- yang ketika itu masih membiarkan dada mereka tetap transparan. Ini mirip dengan h}adi>s\ Nabi yang menganjurkan kaum muslimin untuk mencukur kumis dan memanjangkan jenggot; sebuah h}adi>s\ yang hampir disepakati kebanyakan ahli fiqh sebagai anjuran yang bermaksud temporal (liqasdil waqtiy). Inilah ketika itu salah satu simbol pembeda antara orang mukmin dengan orang non mukmin, yang notabene mempunyai ciri sebaliknya; biasa memnjangkan kumis dan mencukur jenggot.
Jadi, dari konteks ayat dan h}adi>s\ tersebut, jelas terlihat maksud-maksud pembedaan dan identifikasi yang lebih jelas antara orang mukmin dengan yang non mukmin, perempuan mukminah dengan perempuan non mukiminah. Ini mengindikasikan bahwa hukum yang ditetapkan tersebut adalah hukum yang bersifat temporal, selama masa dibutuhkannya pembedaan itu – bukan hukum yang kekal (hukm mu’abbad).
Hal yang ketiga yang menjadi persoalan bagi al-’Asyma>wi> adalah mengenai ayat tentang jala>bi>b. Sebagai mana firman Allah :
يأيها النبي قل لأزوجك وبناتك و نساء المؤمنين يدنين عليهن من جلابيبهن ذالك أدنى أن يعرفن فلا يؤذين
Al-’Asyma>wi> berpendapat bahwa konteks sejarah turunnya ayat ini berkenaan dengan tradisi perempuan Arab ketika itu yang suka dan terbiasa melakukan tabazzul, bersenang-senang. Mereka membiarkan muka mereka terbuka sebagaimana hamba sahaya perempuan, dan oleh kondisi tertentu, mereka terpaksa membuang hajat di padang pasir. Beberapa laki-laki yang nakal sering kali berprilaku buruk terhadap mereka dengan anggapan kalau mereka adalah hamba sahaya atau golongan yang kurang terhormat. Lantaran merasa diganggu, mereka melaporkan hal itu kepada Nabi. Lalu turunlah ayat ini untuk membedakan antara perempuan mukminah merdeka dengan hamba sahaya. Tanda pembedaan itu dilakukan dengan cara memanjangkan pakaian, sehingga mereka relatif mudah dikenali dan tidak mendapat perlakuan buruk dari laki-laki nakal yang menguntit mereka.
Sebagian menyebutkan bahwa jilbab adalah rida’ (sorban), sebagian mendefenisikan sebagai pakaian yang lebih besar ketimbang khimar (kerudung), dan yang lain menyebutnya qina’ (penutup muka). Tapi menurut al-’Asyma>wi>, yang betul adalah gaun besar yang menutupi sekujur tubuh atau mantel.
Sedangkan argumen hukum ayat ini atau maksud memanjangkan pakaian itu adalah untuk membedakan antara perempuan merdeka dengan hamba sahaya atau perempuan kurang terhormat lainnya. Dengan begitu, potensi kesalahpahaman mudah dihindari dan mereka relatif lebih mudah dikenali. Dengan aturan begitu, perempuan merdeka tidak rentan terhadap perlakuan yang tidak baik, dan terbebas dari kejahatan-kejahatan. Hal ini didasarkan kepada sikap Umar ibn Khattab yang perah menegur seorang hamba sahaya yang menggunakan kerudung dan memanjangkan mantel mereka. Sebab, dalam pandangan Umar, itulah yang menjadi ciri khas dari gaun perempuan merdeka. Di kalangan para ulama sendiri terdapat perbedaan dalam memahami dan memaknai kalimat idna’ al-jalabib / memanjangkan mantel secara variatif dan plural.
Dalam kaidah us}u>l fiqh dikenal diktum atau kaidah bahwa al-h}ukm yadu>r ma’a al-illah wuju>dan wa ‘ada>man (ada dan tidak adanya hukum, bergantung pada landasan argumennya). Artinya, bila ada sebuah produk hukum, semestinya harus ada landasan argumennya. Bila tidak ada landasan argumennnya, maka hukum menjadi tiada. Dengan berlandaskan argumen ini, maka al-’Asyma>wi> melihat bahwa argumen hukum yang ada pada konteks ayat tersebut, yaitu perbedaan antara perempuan merdeka dengan perempuan hamba sahaya, sudah tidak kita jumpai. Kini, kita tidak lagi menemukan hamba sahaya. Dengan demikian relevansi perebedaan seperti itu tidak diperlukan lagi. Kita juga tidak lagi menemukan adanya wanita yang membuang hajat di padang pasir dengan mendapat perlakuan buruk dari laki-laki yang iseng. Lenyapnya argumen hukum tersebut, dengan sendirinya menafikan adanya hukum. Maka dengan demikian, kita menyimpulkan bahwa penamaannya sebagai syari’at menjadi sudah tidak relevan lagi.
Dari uraian yang lalu, jelas terlihat bahwa ayat yang menyangkut topik ini tidak menimbulakan konsekuensi hukum yang pasti, agar perempuan mukmin mengenakan busana tertentu secara mutlak dan untuk setiap zamannya. Sekiranya salah satu ayat dari ketiga ayat di atas sudah menetapkan suatu hukum secara pasti dan menyakinkan, tentu tidak perlu lagi adanya teks yang menerangkan hukum yang sama dalam ayat yang lain. Beragamnya ayat yang kita lihat, menunjukkan bahwa setiap ayat memiliki maksud khusus dan tujuan-tujuan tertentu yang berbeda dengan ayat laainnya. Sebab secara logika, pembuat hukum konvensional saja senantiasa menghindar dari pengulangan-pengulangan dan kerancuan, apalah lagi pembuat hukum tertinggi (Allah).
Namun demikian, ada dua h}adi>s\ yang biasa digunakan sebagai landasan pewajiban atas perempuan untuk menutup kepala – yang diartikan secara salah dengan kosa kata jilbab yang sebetulnya lebih berarti mantel. Aisyah meriwayatkan, bahwa Nabi pernah bersabda:
لا يحل لامرأة تؤمن بالله و اليوم الأخر أن تخرج يدها إلى ههنا و قبض نصف الذراع
H}adi>s\ kedua diriwayatkan Abu> Daud dari Aisyah, bahwa Asma>’ binti Abu Bakar, suatu saat berkunjung ke rumah Nabi, lantas Nabi bersabda menegurnya:
يا أسماء! إن المرأة إذا بلغت المحيض لم يصلح أن يرى منها إلا هذا و هذا وأشار إلى وجهه و كفه
Sebagai catatan, kedua h}adi>s\ ini adalah h}adi>s\ yang statusnya ah}ad (h}adi>s\ yang diriwayatkan secara individual), bukan h}adi>s\ yang yang diakui dan diriwayatkan secara kolektif atau h}adi>s\ mutawa>ti>r (h}adi>s\ yang diriwayatkan oleh kolektivitas yang terpercaya), ataupun h}adi>s\ masyhu>r (h}adi>s\ yang secara individual, tapi mendapat penguatan dari pelbagai faktor. Dalam apresiasi yang tepat, h}adi>s\ ah}ad hanya dapat diterima sebagai h}adi>s\ pembanding atau pembantu (isti’nas), yang tidak berhak dijadikan landasan ada atau tidak adanya suatu hukum syari’at. Di sisi lain, meski h}adi>s\ tersebut berasal dari satu riwayat pokok yaitu dari A’isyah, namun di antara kedua h}adi>s\ tersebut terlihat adanya kontradiksi. H{adi>s\ pertama mengatakan bahwa Nabi menggenggam setengah lengannya (nisfu az-zira’) ketika menyabdakan h}adi>s\ ini. Artinya, menurut h}adi>s\ pertama, organ tubuh yang boleh terlihat dari perempuan adalah wajah dan setengah lengan (tentunya termasuk kedua telapak tangan. Sementara h}adi>s\ kedua, hanya membolehkan terlihatnya muka dan telapak tangan saja (tidak masuk setengah lengan). Lebih dari itu, redaksi h}adi>s\ pertama menggunakan kosa kata halal-haram (la yahil, tidak halal), sementara h}adi>s\ kedua menggunakan kosa kata boleh-tidak boleh (la yasluh, tidak boleh. Perbedaan kedua redaksi tersebut sangat besar, sebab halal-haram termasuk dalam kategori hukum syari’ah, sementara boleh-tidak boleh lebih kepada perbuatan yang utama (al-afd}a>l), yang lebih baik (as-s}alah) dalam kondisi sosio-kultural tertentu.
Di samping kontradiksi yang jelas antara kedua h}adi>s\ tersebut, ada juga soal lain, yaitu masalah temporasi hukum/ waqtiyatul ah}ka>m: temporasi hukum dalam h}adi>s\ tertentu, dengan batasan waktu tertentu, dan era tertentu. Sebagian ahli fiqh berpendapat bahwa, di antara produk hukum yang dikeluarkan Nabi, terdapat juga legislasi hukum yang sifatnya temporal (tasyri’ zamaniy), yang khusus merespon kondisi zaman tertentu. Suatu kali Nabi, menyuruh atau melarang sesuatu dalam kondisi tertentu dan oleh sebab khusus. Lantas, suruhan atau larangan Nabi tersebut, dipahami para sahabat sebagai hukum abadi, meskipun pada hakikatnya hanya berupa hukum temporal.
Luputnya perbedaan antara dua model hukum ini – yang abadi dan temporal – menyebabkan polemik yang keras antara ahli fiqh. Suatu ketika, sebagian mereka menganggap produk hukum yang dihasilkan Nabi bersifat umum, abadi, tidak berubah, sedangkan sebagian yang lain menganggapnya sebagai produk hukum dengan argumen temporal, yang sifatnya hanya sebagai produk hukum demi kepentingan tertentu yang dapat berubah seiring waktu.
Dengan mengutip pendapat di atas, yang dapat disimpulkan dari kedua h}adi>s\ tersebut, khususnya h}adi>s\ yang menggunakan lafaz} as-salah (boleh), lebih dekat pada bentuk hukum temporal yang erat berkait dengan kondisi tertentu, bukan hukum abadi sama sekali. Ini diperkuat dengan apa yang telah disebutkan di atas, bahwa ayat khima>r bertujuan meluruskan tradisi yang berlaku, dan pembedaan antara perempuan mukminah dengan non mukminah, ayat jilbab bertujuan membedakan antara perempuan merdeka dengan perempuan hamba sahaya atau wanita terhormat dengan wanita kurang terhormat, seperti PSK.
Lalu al-’Asyma>wi> menerangkan bahwa, sesungguhnya prinsip dasar al-Qur’an dan cara Islam dalam aplikasi hukumnya adalah prisip tanpa paksaan (ada>mul ikra>h) sampai dalam bagian h}udu>d (pidana) sekalipun. Implementasi hukum Islam selalu saja dilakukan dengan menguatkan etos panutan yang baik (al-qud}wah al-h}asanah), nasehat yang lembut (an-nasi>h}ah al-lat}i>fah), dan nasehat-nasehat terpuji.
Prinsip al-Qur’an menyebut (QS. 2: 256), “la> ikra>ha fi ad-di>n” (tidak ada paksaan dalam beragama). Jika saja al-Qur’an menegaskan penolakannya atas paksan dalam beragama, maka – lebih dari itu – tidak ada paksaan dalam implementasi hukum-hukum, atau kewajiban-kewajibannya. Sanksi atas penerapan dan tidak diterapkannya hanyalah dosa agamis. Ini menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Begitu juga dalam hal h}udu>d (sanksi pidana): kaidahnya adalah tidak ada sanksi atas orang yang bertaubat (la> had ‘ala at-ta>ib), artinya sanksi tidak boleh dikenakan kepada orang yang menyatakan tobatnya, namun ditegakkan atas orang yang menolak bertobat dan bersikeras untuk ditegakkan sanksi baginya. Teladan Nabi – dalam kasus hukum rajam atas perempuan yang melakukan zina – menunjukkan, bila pelaku ingin terlepas dari sanksi, maka hendaknya masyarakat memberinya peluang untuk melakukan itu.
Jika demikian adanya prinsip Islam dan kaidah al-Qur’an, maka tidak boleh adanya paksaan atas perempuan untuk memakai pakaian tertentu,baik paksaan secara fisik atau pun secara mental. Jika hal itu terjadi, maka si pemaksa menjadi berdosa, karena menggunakan cara yang tidak Islami sekaligus menggunakan metode yang tidak Qur’ani.
Hasil paksaan atau semacam paksaan agar perempuan menggunakan penutup kepala – yang disebut secara salah sebagai h}ija>b, walau h}ija>b bermakna lain, sebagaimana telah diterangkan – tidak lain hanyalah perilaku riya dan pamer. Kadangkala, kita menyaksikan banyak perempuan mengenakan celak (asbagh) dan make-up (masahiq) secara berlebihan, sehingga tidak sesuai lagi dengan esensi hijab itu sendiri. Kadang-kadang, kita juga menemukan kasus, dimana perempuan berjilbab, justru bertandang ke diskotik-diskotik umum, atau klub-klub malam dengan mengagandeng laki-laki sambil berdangsa. Atau mereka berjalan atau duduk dengan laki-laki di jalanan gelap, atau tempat terpencil, tanmpa adanya mahram.
Sesungguhnya, esensi h}ija>b adalah mengendalikan diri dari sahwat, dan membentengi diri dari dosa-dosa, tanpa terkait dengan pakaian atau gaun tertentu. Adapun perilaku sederhana dan tidak pamer dalam berpakaian dan berpenampilan, itu tentulah juga prisip yang dituntut setiap nalar yang benar dan dipegang teguh oleh perempuan terhormat.
Dari hal-hal yang telah diterangkan diatas, dapat ditarik bebarapa point kesimpulan:
a. Hijab secara kebahasaan berarti mengenakan penutup tertentu. Dalam redaksi al-Qur’an, yang dimaksud dengan kata h}ija>b adalah penutup atau tirai yang khusus bagi istri-istri Nabi. Ini diperlukan dalam konteks zaman itu, untuk memisahkan antara istri-istri Nabi dengan kaum mukmin umumnya agar tidak terlalu leluasa. Dengan keadaan berh}ija>b, baik bagi istri-istri Nabi, maupun kaum mukmin umumnya, tidak saling bertatap muka.
b. Khima>r sebagaimana telah diterangkan, adalah semacam tradisi lama perempuan mukminah yang gemar mengenakan kerudung penutup kepala sambil dijumbaikan ke bagian punggung sehingga bagian dada tetap terlihat agak transparan. Untuk meluruskan tradisi ini, al-Qur’an menganjurkan perempuan beriman untuk menjumbaikan kerudungnya ke bagian dada. Evaluasi al-Qur’an itu berguna untuk membedakan antara mereka yang perempuan beriman dengan bukan golongan mukminah.
c. Untuk merendahkan jilbab sebagaimana yang telah disebutkan, bertujuan membedakan antara perempuan mukmin yang merdeka dengan hamba sahaya, atau antara wanita terhormat dengan perempuan tidak terhormat seperti PSK. Maka jika argumen dasar hukum ini sudah lenyap karena tidak ada lagi hamba sahaya di zaman kini, maka tidak ada lagi alasan untuk pewajiban implementasi hukum ini.
d. H{adi>s\ Nabi tentang h}ija>b merupakan h}adi>s\ ah}ad yang hanya berfungsi sebagai pengarah dan penasehat saja. H{adi>s\ tersebut juga tergolong h}adi>s\ temporal, yang berkait dengan kondisi tertentu; dalam situasi dimana perlunya membedakan antara perempuan dengan yang tidak beriman. Sementara, hukum yang kekal dan tidak temporal adalah kesopanan itu sendiri dan tidak berlebih-lebihan dalam berbusana.
BAB IV
ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA AL-MAUDU<DI<
DAN AL-'ASYMA<WI di>
Sebagaimana dipaparkan pada bab III yang lalu, terlihat bahwa, kedua tokoh ini sangat bertentangan dalam produk hukum yang dihasilkan. Al-Maudu>di> yang cendrung berkiblat kepada tokoh-tokoh gerakan garis kanan dan gerakan spritual yang kental, sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran yang dihasilkan oleh tokoh dari pihak ini dan yang sealiran dengannya. Dengan kondisi sosial budaya saat ini sangat membutuhkan semacam peredam terhadap pengaruh budaya yang cenderung merusak dan menghancurkan moral dan spritual kaum muslimin umumnya dan kaum muda muslim khususnya. Arus globalisasi yang sangat kuat menyebabkan percampuran dua budaya yang berinteraksi, mengakibatkan adanya pergeseran terhadap nilai-nilai yang telah ada di masyarakat.
Contohnya saja dalam hal berbusana. Percampuran dua budaya, baik dengan jalan langsung ataupun melalui media menyebabkan terjadinya akulturasi dua budaya yang berbeda. Efek langsung dari akulturasi ini menimbulkan suatu budaya baru yang mengkombinasikan dua corak budaya ini. Budaya Barat dikenal sebagai budaya yang terbuka dan cenderung sangat permisif. Dalam hal berbusana, budaya barat sekarang sangat terbuka dalam artian yang sebenarnya. Segala lekuk tubuh tidak ada satupun yang disembunyikan dan orang manapun boleh melihatnya, suka atau tidak suka dengan cara mereka berpakaian. Sedangkan budaya berpakaian yang diajarkan Islam adalah tertutup dari pandangan mata orang yang melihatnya. Sehingga tidak ada seorang yang diperbolehkan untuk melihatnya, baik itu orang yang masih termasuk kerabatnya apalagi orang lain, terkecuali suaminya. Bahkan, al-Maudu>di> juga berpendapat bahwa wajah dan telapak tangan harus ditutup dari pandangan mata orang lain.
Pendapat ini kebanyakan dipegangi oleh golongan yang memiliki kecendrungan untuk berpegang hanya kepada bunyi teks tanpa melihat latar belakang turunnya ayat secara sosiologis historis. Hal yang musti diamalkan adalah apa yang termaktub dalam lafaz ayat dengan tanpa ragu dan bimbang. Mereka tidak peduli dengan yang namanya kritik terhadap dalil dalam mengamalkan sesuatu yang diyakini. Apa pun yang tersebut dalam sebuah teks, itulah yang musti dilakukan dan dijalankan tanpa ragu dan tanya. Sehingga terkesan golongan ini sangat ketat dan ekslusif dalam menjalankan syari’at Islam.
Salahkah pendapat ini? Tentu saja tidak. Penulis berpendapat bahwa, dengan melihat situasi masa itu (ketika al-Maudu>di hidup) bahkan masa sekarang, betapa banyak kita menyaksikan kebenaran ucapan dari al-Maudu>di> yang sangat menentang budaya ketelanjangan barat yang sudah mulai ditiru dan digugu oleh para remaja Islam. Dimana-mana di seluruh negeri muslim telah mulai teracuni oleh budaya setengah telanjang – untuk tidak menyebutnya telanjang – ini.
Dan kecendrungan yang berkembang ini, di negeri muslim yang masih agak kuat Islamnya pun mengalami pergeseran perspektif dalam mengamalkan tradisi busana muslim. Maka, sekarang marak muncul busana muslim kontemporer yang tetap dengan mengenakan jilbab, akan tetapi dengan modifikasi sedemikian rupa sehingga para muslimah ini tetap tampil lebih menawan sebagai akibat langsung dari akulturasi dua budaya. Sehingga berkembang istilah di kalangan kaum muslim dengan istilah jilbab gaul, jilbab artis dan lainnya. Fenomena ini muncul seiring dengan berkembangnya fasion yang terlalu menonjolkan keterbukaan dan keketatan busana. Busana muslim pun tak luput kena imbas dari mode fasion ini. Sehingga sekarang banyak kita jumpai para remaja putri muslim yang mengenakan busana semacam ini. Jilbab dengan baju ketat nan melekat dan kadang kala memperlihatkan pusar. Berdasarkan perspektif inilah, pendapat al-Maudu>di> mendapat pembenaran secara real dan nyata.
Kembali kepada pendapat al-Maudu>di> tentang jilbab. Jilbab menurut beliau adalah baju kurung besar yang dipakai oleh wanita sebagai pakaian luar yang tidak memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh dari wanita tersebut, sehingga tertutup auratnya. Berdasarkan penafsirannya terhadap ayat 59 surat al-Ah}za>b yang berbicara mengenai jilbab. Jala>bi>b, merupakan kata jamak dari jilbab yang mengandung pengertian pakaian yang besar, khima>r atau rida’. Al-Maudu>di> berpendapat bahwa ayat ini turun berkenaan khusus tentang wajibnya menutup wajah bagi perempuan. Dan dari ayat ini juga dapat dipahamai bahwa wanita ketika keluar rumah diharuskan mengenakan pakaian yang tertutup rapat seperti dengan menggunakan khima>r atau niqab, yang merupakan penanda bahwa mereka adalah wanita yang mulia dan agar mereka tidak diganggu oleh orang jahat.
Dalam pemikiran al-Maudu>di> dapat disimpulkan bahwa ada dua ruang yang harus digunakan ketika membahas tentang kewajiban pengenaan jilbab. Pertama, ruang pribadi/ privasi dan yang kedua, ruang publik. Cara pengenaan jilbab pada dua ruang ini tentu saja memiliki perbedaan.
Dalam ruang pribadi dalam hal ini adalah rumah maka wanita dianjurkan mengenakan jilbab dan juga diperbolehkan mengenakan perhiasannya. Hal ini dimaksudkan untuk melayani suami saja. Namun, hal ini tidak boleh diperlihatkan kepada orang lain termasuk karib kerabat yang telah dikenal sekalipun. Yang boleh terlihat adalah muka dan tangan saja. Ini berkaitan erat dengan tindakan preventif untuk menghindari terjadinya fitnah. Hal ini sejalan dengan kaidah sadu lizzaria’ah. Sehingga, apabila hendak masuk rumah seseorang dianjurkan untuk minta izin terlebih dahulu, agar terhindar dari melihat dari keadaan yang mestinya tidak boleh dilihat. Hal ini juga berkaitan erat dengan suruhan untuk menahan pandangan dari hal yang tidak baik.
Sedangkan pada ruang publik di mana orang bertemu dan berjumpa, maka wanita menurut al-Maudu>di> harus menutup seluruh tubuhnya termasuk muka dan telapak tangan dari pandangan orang-orang yang tidak baik dan menunjukkan bahwa dia adalah wanita terhormat. Argumentasi yang diajukan oleh al-Maudu>di> adalah bahwa bahwa fitnah timbul mulai dari pandangan mata. Mata adalah pintu gerbang menuju pintu kejahatan, karena dengan perantara mata orang bisa tahu bahwa wanita ini seksi dan menawan sehingga muncul keinginan yang negatif dalam dirinya. Dan secara umum seorang wanita diketahui cantik dan menawannya adalah dari wajah dan wanita dikatakan seksi apabila mempunyai tubuh yang aduhai. Oleh karena itu, ketika keluar dari wilayah privat, wajah ini harus ditutup dari pandangan orang lain terutama non muhrim dan begitu juga dengan tubuhnya harus dibungkus dengan pakaian yang tertutup dan tidak memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya. Sebab dikhawatirkan, akan mendatangkan fitnah bagi orang lain dan bagi dirinya sendiri. Dengan begitu wanita muslimah akan tetap terjaga kehormatannya dan harga dirinya.
Dari pendapat al-Maudu>di> ini, dapat dilihat bahwa pendapat al-Maudu>di> di samping sangat tekstual dan normatif juga sangat women oriented. Kesan yang didapat adalah bahwa wanita sangat tabu berada dalam ruang publik tanpa mengenakan pakaian dengan kriteria yang sangat ketat. Wanita seluruhnya adalah aurat, sehingga apapun yang ada pada tubuhnya harus ditutupi dengan jilbab. Hal ini mengindikasikan bahwa yang harus menjaga agar para laki-laki tidak terjebak melakukan dosa adalah kaum wanita.
Ini merupakan ciri dari pandangan dan pendapat yang sangat berorientasi patriarkhi (men orentied). Padahal dalam al-Qur’an sebagai sumber utama normatif Islam, dikatakan bahwa wanita dan laki-laki sama harus menjaga padangan dan kemaluan dari hal yang mengandung dosa. Artinya, laki-laki dan wanita harus memiliki kewajiban yang sama. Jangan hanya wanitanya disuruh memakai jilbab sedangkan para lelaki tetap bebas jelalatan memandangi hal yang seharusnya tidak boleh dipandang secara berlebihan.
B. Analisis terhadap pandangan al-Asyma>wi>
Dalam pandangan al-Asyma>wi>, tampak jelas sekali bahwa ia sangat menentang pendapat yang menyatakan bahwa jilbab adalah kewajiban agama yang bersifat tetap dan kontinyu. Menurutnya, penafsiran ayat tentang jilbab ini masih menjadi perdebatan (ikhtila>f) dan silang pendapat oleh para ahli fikih (ra’yul basyar) atau bukan hukum agama yang jelas, tepat, dan pasti. Ada tiga ayat Al Qur’an yang ditafsirkan sebagai perintah penggunaan jilbab atas perempuan, serta dua h}adi>s\ Nabi yang dijadikan landasannya.
Pertama, ayat h}ija>b (kewajiban h}ija>b), meskipun ayat tersebut ditujukan untuk istri-istri Nabi, ayat tersebut tetap berlaku bagi perempuan mukminah lainnya karena mengandung perintah kemuliaan akhlak, yang tentu tidak berlaku pengkhususan. Bagi yang menuntut peniadaan h}ija>b, ayat tersebut tidak bersinggungan sama sekali dengan tradisi model penutup rambut bagi perempuan mukminah. Penamaan penutup kepala dengan h}ija>b dan melandaskannya pada ayat tersebut merupakan tindakan salah kaprah karena h}ija>b secara bahasa adalah as-satir (penutup tertentu/sekat), bukan jilbab atau penutup kepala.
Kedua, ayat khima>r, QS 24:31, yakni anjuran untuk menjumbaikan kerudung ke dada sebagai koreksi atas tradisi perempuan yang memperlihatkan dadanya. Bagi yang mendukung kewajiban berjilbab, ayat Al Qur’an tersebut memerintah untuk bertutup dan telapak tangan. Bagi yang mendukung peniadaan kewajiban berjilbab, ayat ini meluruskan tradisi berbusana pada zaman itu dengan penekanan pada penutup dada dan agar tidak memperlihatkannya dan tidak ada sangkut pautnya dengan penutup kepala.
Ketiga, ayat jala>bi>b, QS 33:59, yakni perintah memanjangkan pakaian perempuan untuk membedakan perempuan merdeka dan budak agar tidak digoda oleh laki-laki. Bagi yang mendukung kewajiban berjilbab, ayat tersebut menyuruh seluruh perempuan mukminah-budak atau bukan-untuk menutup organ tubuh dan bertindak sopan. Bagi yang tidak mendukung, hukum yang tetap dari ayat tersebut adalah kesopanan dan tidak berlaku pamer yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan perintah berjilbab.
Dari hal di atas, tampak bahwa, al-Ásyma>wi> membedakan antara h}ija>b (QS. As-Sajadah [32]: 53), khima>r (QS. an-Nu>r [24]:31) dan jilbab (QS. Al-Ah}za>b [33]: 59). Karena penamaan jilbab, di beberapa tempat bermacam-macam; sebagian dengan rida>’ (sorban), sebagian lagi dengan khima>r (kerudung, tapi lebih besar ukurannya), dan yang lain dengan qina>’ (penutup muka atau topeng).
Menurutnya, aturan atau perintah berjilbab bagi perempuan sesungguhnya bersifat temporal. Artinya, jilbab menjadi “perintah wajib”pada waktu Nabi Saw saja dengan alasan-alasan (‘illah) tertentu. Dengan alasan tersebut maka menurut al-’Asyma>wi>, saat ini alasan itu sudah tidak relevan lagi.
Masih menurut al-’Asyma>wi> hijab (penutup kepala) bukanlah kewajiban yang diwajibkan agama (prinsip syari>’at). Dalam kenyataannya, h}ija>b adalah simbol politik. Menurutnya, hakikat h}ija>b adalah pengendalian diri dari syahwat, dan pembentengan diri dari dosa-dosa, tanpa terkait dengan pakaian atau gaun tertentu (ziyy muáyyan aw liba>s kha>s}). H{ija>b merupakan contoh syari>’at temporal (tasyri>’ waqti>), atau syari’at yang didasarkan pada waktu tertentu (li qas}hd al-waqti>).
Menurut al-’Asyma>wi>, di antara alasan yang penting dikemukakan lagi tentang jilbab sesungguhnya adalah alasan etika universal, yakni tentang kesopanan dan kehormatan. Bahwa ukuran kesopanan dan kehormatan tidak hanya dari satu sudut pandang, yaitu yang diwakili jilbab, akan tetapi kesopanan dan kehormatan lebih kepada sikap dan bukan penampakan fisik.
Lebih dari yang dikatakan al-’Asyma>wi> tersebut, dalam sejarah Islam sendiri juga pernah diceritakan bahwa jilbab bukan hanya dipakai oleh perempuan, tapi juga lelaki. Bahkan Rasulullah Saw pernah memakai jilbab. Hal ini seperti dikemukan Fadwa El Guindi dari temuan penelitian lapangannya tentang gerakan Islam di Mesir tahun 1970-an. Temuan menarik itu berasal dari data etnografis, historis, dan lintas kultural yang ditulis dalam Veil: Modesty, Privacy, and Resistence (Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan, 2003). Teksnya diambil dari S{ah}i>h} Bukha>ri>, sebagai kumpulan h}adi>s\ Nabi termasyhur yang menyebutkan bahwa pada suatu waktu Nabi mendatangi rumah Abu> Bakr dengan menggunakan qina’ (menutup muka, mutaqannián). Temuan lainnya, sejumlah lelaki Arab pra-Islam yang dikenal dengan z\u> khi>ma>r. Lelaki itu adalah al-Aswa>d al-Ánsi> dan Áuf ibn Rabi’ ibn z\i> al-Ramahayn. Dikenal sebagai z\u> khima>r, karena ia bertempur sambil mengenakan jilbab istrinya dan selalu menang. Pada suatu saat, ketika seseorang roboh dalam pertempuran, ada yang bertanya, “siapa yang menyerangmu?” jawabnya, orang berjilbab itu”.
Sebenarnya, kedua tokoh ini sama-sama mengunakan pendekatan fiqh dan tafsir dalam menjelaskan fenomena jilbab ini. Namun dalam hal metodologi penemuan terahadap hukum pengenaan jilbab, mereka bersimpang jalan. Kedua tokoh ini secara bersamaan mengunakan penafsiran terhadap ayat 59 surat al-A{h}za>b sebagai landasan hukum dari kewajiban pemakaian jilbab bagi wanita muslimah. Mereka juga menggunakan h}adi>s\ yang sama yang menerangkan batasan aurat wanita yang tidak boleh nampak yang berasal dari ‘Aisyah ra yang diriwayatkan oleh Abu> Daud yang menceritakan tentang perihal Asma> yang datang ke rumah Nabi dengan mengenakan pakaian yang tipis. Artinya sumber hukum yang digunakan tetap merujuk kepada dua sumber hukum Islam yaitu al-Qur’an dan al-H{adi>s\. Namun, tampak jelas bahwa, kesimpulan akhir dari pendapat kedua tokoh sangat berbeda.
Bila ditarik ke arah paradigma yang ada dalam pemikiran Islam, kedua tokoh ini merupakan representasi dari dua corak pemikiran yang telah ada sejak masa awal Islam. Dalam bahasa Amin Abdullah, historisitas dan normatifitas, dalan bahasa Cak Nur, doktin dan peradapan. Kedua corak ini mengusung dua corak pemikiran yang tentu saja berbeda antara satu dengan lainnya. Corak yang pertama cenderung menggunakan paradigma yang berlandaskan lebih pada sosiologis historis dan konteks. Sedangkan yang kedua cendrung menggunakan pendekatan paradigma yang normatif dan tekstualis. Sehingga, wajar kedua tokoh ini bertentangan dalam menetapkan hukum tentang masalah jilbab ini.
Al-Maudu>di> yang merupakan representasi dari yang menganut paham normatifitas, sebagaimana terlihat selalu mendasarkan pendapatnya kepada al-Qur’an dan al-H{adi>s\ dan menerapkan apa yang tercantum dalam teks yang berasal dari kedua sumber ini, tanpa melakukan adaptasi terhadap kondisi yang melingkupinya pada masa sekarang. Jilbab, dalam hal ini yang dijadikan sebagai pokok masalah, oleh al-Maudu>di> dianggap sebagai kewajiban yang harus dilakukan oleh seluruh kaum muslimah, tanpa ada atau ada sebab-sebab [illat] yang menyebabkan jilbab itu diwajibkan. Jilbab merupakan kewajiban abadi yang harus dilaksanakan selamanya.
Dan al-’Asyma>wi> sebagai representasi dari golongan menganut paham historisitas dalam artian bahwa segala hukum muncul karena ada hal-hal yang melatarbelakanginya. Hukum tidak ada tanpa ada sesuatu sebab (illat) yang menyebabkan sesuatu itu disuruh atau sesuatu itu dilarang. Hukum merupakan respon terhadap masalah yang muncul dan ada saat itu dan untuk kebutuhan saat itu pula. Hal disebutkan dalam kaidah us}u>l fiqh yang berbunyi al-hukm yadu>ru ma’a allatihi wuju>dan wa ‘adaman. Hal inilah yang dijadikan sebagai landasan berfikir oleh al-’Asyma>wi> dalam menerapkan dan menafsirkan hukum pengenaan jilbab, sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Perbedaan metodologi inilah yang sebenarnya menyebapkan kedua tokoh ini berbeda dalam menghasilkan produk hukum. Namun, di sisi lain ada semacam titik temu yang dapat ditarik, bahwa kedua tokoh sebenarnya sama-sama menganjurkan pengenaan jilbab bagi para muslimah. Al-Maudu>di> yang memang sedari awal telah mewajibkan pengenan jilbab bagi para muslimah, terutama ketika mereka keluar dari wilayah privat mereka ke publik. Alasan yang paling masuk akal adalah untuk melindungi diri dari pandangan tidak senonoh dari para penjahat dan sebagai identitas bahwa mereka adalah wanita muslimah yang terhormat.
Sedangkan al-Asyma>wi> menyatakan, bahwasanya jilbab memang bukan merupakan kewajiban dari Islam. Ia hanya merupakan perintah yang bersifat temporal bukan perintah yang bersifat kekal. Al-’Asyama>wi> berargumen bahwa kewajiban berjilbab merupakan respon dari kondisi yang terjadi pada masa itu, yang mana kaum wanita muslimah apabila ingin membuang hajat mereka harus melakukannya di gurun pasir. Pada waktu mereka kembali, mereka seringkali diikuti oleh orang-orang munafik yang sering mengganggu mereka. Dan apabila mereka dilarang, maka beralasan bahwa mereka mengira bahwa kaum wanita tersebut adalah para budak. Sehingga turunlah ayat yang menyuruh untuk mengenakan jilbab apabila keluar dari rumah sebagai identitas bahwa mereka adalah wanita muslimah lagi merdeka. Menurut al-’Asyma>wi>, alasan pengenaan jilbab sebagai identitas bahwa mereka adalah wanita merdeka dan sebagai pembeda dari wanita budak sudah hilang. Sebab saat ini, sudah tidak ada lagi yang namanya budak. Sehingga dengan demikian, pengenaan jilbab sudah bukan merupakan kewajiban yang mutlak. Bagi al-Asyma>ni>, perngenaan jilbab semata adalah atas dasar kesopanan dan kepantasan dan tidak berlebihan dalam pengenaannya.
Dari keterangan di atas bahwa al-Asyma>wi> secara tersirat juga menganjurkan pengenaan jilbab sebagai bagian dari busana yang sopan. Al-’Asyma>wi> sama sekali tidak menyatakan bahwa jilbab tidak boleh dipakai karena ia adalah bagian dari masa lalu yang usang. Ia memang secara tegas menyatakan konsep jilbab adalah bukan dari budaya Islam, melainkan ia merupakan warisan dari masa pra Islam yang telah ada sebelum Islam datang ke tanah Arab. Tradisi ini, sebagaimana telah disebutkan dalam latar belakang turunnya ayat ini merupakan ralat terhadap budaya berjilbab yang terjadi masa itu. Ketika ayat ini diturunkan yaitu ayat jilbab, mayoritas perempuan mengenakan jilbab dengan cara menjumbaikan kerudungnya ke arah penggung sehingga leher dan sebagian bagian dari dada perempuan itu terlihat. Lalu ayat ini turun agar para wanita memprioritaskan jumbaian kerudungnya ke arah dada sebagai koreksi terhadap tradisi yang ada ini. Makanya, al-’Asyma>wi> mengatakan bahwa jilbab bukanlah merupakan tradisi Islam secara genuin, namun jilbab merupakan budaya yang telah ada sebelum Islam datang ke tanah Arab. Namun, al-’Asyma>wi> sama sekali tidak mengatakan bahwa Islam tidak boleh dikenakan oleh wanita muslimah. Bahkan, penulis berasumsi bahwa sebagai seorang hakim agung, tidak mungkin ia akan berpendapat bahwa wanita boleh mempertontonkan auratnya ke sembarang orang dengan tidak mengenakan jilbab dan khimar. Karena, sebagai seorang ulama tentunya ia sangat mengetahui betapa sangat tidak terpujinya tindakan tersebut.
Namun, sisi yang disorot oleh al-’Asyma>wi> adalah dari segi historis dari keberadaan jilbab tersebut. Penulis berpendapat bahwa pendapat al-’Asyma>wi> ini merupakan respon terhadap pendapat yang mengharuskan jilbab dengan segala karakteristiknya yang menurut al-’Asyma>wi> sudah tidak tepat dengan kondisi konteks sekarang. Sehingga muncul pendapatnya bahwa hal seperti itu tidak dapat lagi dikatakan sebagai syari’ah yang kemudian memunculkan kontrofersi di kalangan ulama ini.
Dengan merujuk pada pengertian jilbab yang merupakan gaun besar yang menutupi seluruh tubuh diatas, maka tampak ada semacam pendistorsian terhadap makna ini ketika ditarik ke konteks Indonesia. Jilbab yang ada dalam pengertian Indonesia secara umum adalah penutup kepala yang digunakan untuk menutup rambut perempuan. Kesalahan terhadap pemahaman makna jilbab ini berimbas pada pemahaman tentang menutup aurat secara baik dan benar. Kasus yang ada di Indonesia kebayakan adalah munculnya asumsi bahwa ketika sesorang telah mengenakan jilbab dalam perngertian tadi, maka sesorang itu telah dianggap telah menutup auratnya. Lalu muncullah berbagai bentuk variasi jilbab yang banyak kita temui sekarang. Istilah yang sering digunakan adalah jilbab gaul.
Jilbab yang ada dalam pengertian masyarakat umum, dalam pendapat al-Maudu>di> dan al-’Asyma>wi> disebut dengan khimar atau kerudung. Dari hal ini jelas bahwa pengertian jilbab di Indonesia mengalami pergeseran makna yang sangat jauh yang juga berpengaruh tentunya kepada cara pelaksanaan dari perintah mengenakan jilbab ini. Memang di Indonesia telah banyak orang mengenakan jilbab dan ini patut disukuri keberadaannya sebagai identitas kemusliman. Namun, apakah sudah sesuai dengan tuntunan Islam atau belum?
Cara berpakaian para muslimah Indonesia cenderung mengikuti model yang sebenarnya dalam kacamata Islam telah menyimpang dari kaidah tentang menutup aurat secara benar. Asumsi yang dibangun adalah ketika seseorang wanita telah menutup kepala dengan kerudung, maka ia dianggap telah berjilbab. Asumsi semacam ini kerap kali menyesatkan. Berdasarkan ini pula, maka muncullah model jilbab model seperti yang banyak kita lihat. Wanita muslimah yang berjilbab dengan balutan celana jean dan baju pendek yang melilit dan membalut tubuh secara ketat dan ada juga yang mengombinasikannya dengan baju yang transparan, sehingga bayangan kulit di bawah baju tersebut tetap saja terlihat bahkan ada juga yang dengan sengaja memakai baju yang sudah ketat juga pendek sehingga tetap saja kelihatan pusarnya. Ini adalah kenyataan model jilbab yang ada di Indonesia saat ini. Sehingga menurut penulis perlu diadakan semacam penjernihan terhadap pemahaman tentang jilbab ini.
Penulis setuju dengan pendapat al-’Asymawi yang mengatakan bahwa inti dari jilbab adalah identitas kemuslimahan yang bercorak pada kesederhanaan dan kepantasan dalam berbusana tanpa perlu menentukan model jilbab yang akan dipergunakan. Pilihan terhadap model diserahkan sepenuhnya kepada kaum wanita. Akan tetapi pengenaan jilbab tersebut tetap harus tetap mengacu pada kaidah–kaidah berbusana yang tidak mempertontonkan aurat seorang perempuan. Apabila hal ini telah dipenuhi, maka ciri-ciri busana yang baik dapat dikatakan sudah memenuhi syarat untuk menutup aurat. Model yang digunakan adalah pengenaan jilbab dalam pengertian baju yang panjang dan tidak transparan yang tidak memperlihatkan lekuk-lekuk dari tubuh wanita yang dikombinasikan dengan pengenaan jilbab yang menjuntai ke dada. Dengan demikian, ciri dari busana muslimah yang diinginkan oleh al-Maudu>di> dan al-’Asyma>wi> terpenuhi. Dan begitulah seharusnya seorang muslimah berbusana dalam kesehariannya
Bibliografi
1. Kelompok al-Quran dan Tafsir
Al-Qur’an al-Karim
Al-Baqi, Muh}ammad Fuad, Al-Mu’jam al-Mufah}ras li Alfa<z} al-Qur'am,
Bairut: Da>r al-Fikr, 1994.
Al-Qurt}u>bi>, Abu> Abdullah, al-Jami’ li ah}ka>m al-Qur’an, cet.I, 10 Juz, Bairut: Da>r al-Kutu>b al-’A, M. ‘Ali>, Tafsi>r Aya>t Ah}ka>m, 2 jilid, Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.
….., S{ofwah at-Tafa>si>r, 3 juz, Bairut: Da>r al-Fikr, t. t .
Syahru>r, Muh}ammad, al-Kita>b wa al-Qura>n: Qira>ah Mu’a> s}irah, Damaskus: al-Ahalli li at-Tiba’ah wa al-Nasr wa Al-Tawzi’, 1990.
Syihab, M. Quraisy, Wawasan al-Qur’an Tafsir Maudhu’I atas Berbagai Persoalan Umat, cet. VIII, Bandung: Mizan, 1998.
2. Kelompok al-Hadis dan Ilmu Hadis
Al-Alba>ni>, Muh}ammad Nasi>r al-Di>n, Jilbab Wanita Muslimah Menurut al-Qur’an
dan As-Sunnah, terj. Hawin Murtadho, Solo: at-Tibyan,2001.
al-Bukhari, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, 4 juz, t.tp: Da>r al-Fikr, 1981.
Anas, Ma>lik ibn, Al-Muwat}t}a’, Kuala Lumpur, Malaysia: Zafar Sdn Bhd, 1997.
Abu> Daud, ibn Sulaiman ibn Ish}a>q, Sunan Abi> Daud, 4 juz, Beirut: Da>r al-Fikr,
t.t.>
Imam Muslim, S}{ah}i>h} Muslim, 2 jilid, Bandung: Dahlan, t.t.
At-Tirmizi, Abu> Isa Muh}ammad ibn Isa, Sunan at-Tirmizi, cet, II, 5 juz, Beirut: Da>r al-Fikr, 1978.
3. Kelompok Fiqh dan Usul Fiqh
Abu> Zahrah, Muh{ammad, Us{u>l al-Fiqh, Kairo: Da>r al-Fikr al -Arabi, 1958.
Fauzi, Ilyas Supena dan Muhammad, Dekontruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, Yogyakarta: Gama Media, 2002.
Mazhab Jogja Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, Yogyakarta:
ar-Ruzz, 2002.
Muhammad, KH. Husein, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, Yogyakarta: LKiS, 2002.
Rahman, Asmuni Abd. Kaidah –kaidah Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang, 1976
Abu> Zaid, Bakar bin Abdullah, Menjaga Kehormatan,alih bahasa: Gunaim Ihsan dan Uzeir Hamdan, Jakarta: Yayasan as-Shofwa, 2003.
4. Kelompok Ensiklopedi dan Kamus
Al-Barik, Hayya binti Muba>rak: Ensiklopedi Wanita Muslimah, terj. Amir
Hamzah Fahrudiin, Jakarta: Darul Falah, 1997.
Dahlan (ed), Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, , Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam Depag RI, Ensiklopedi Islam, jil. II, Jakarta: Depag RI, 1993.
Ibn Manzu>r, Abu al-Fadl Jamal al-Di>n Muh}ammad ibn Makram, Lisa>n al-Arab, , Bairut: Da>r as-Sadr, 1990.
Munawwir,Ahmad Warso, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
Tim Penyusun Pustaka Azet, Leksikom Islam, Jakarta: PT Pustakazet- Perkasa,1998.
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Penerbit Djambatan, 1992.
5. Lain-lain
Al-‘Asyma>wi>, Muh}ammad Sa’id, Kritik Atas Jilbab, alih bahasa Novriantoni Kahar dan Opie Tj, Jakarta, Jaringan Islam Liberal dan The Asia Foundation, 2003,
Ali, H. A. Mukti, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung:
Mizan, 1993.
Basyir, Ahmad Azhar, Refleksi atas Persoalan Keimanan (Seputar Masalah Filsafat, Hukum, Politik dan Ekonomi), cet. IV, Bandung: Mizan, 1996.
Esposito, John L. Islam dan Politik, terj. H. M. Yoesoef Soe’yb, Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Fazlurrahman, Nasib Wanita sebelum Islam, cet. I, Jatim, Putra Pelajar, 2000.
Al-Ghaffar, Abd Rasu>l Abd H{asa>n, Wanita Islam dan Gaya Hidup Modern, terj.
Baurhanuddin Fanani, Bandung: Pustaka Hidayat, 1984.
El-Guindi, Fadwa, Jilbab antara Kesalehan, Kesopanan dan Perlawanan, alih bahasa Mujiburrahman, Jakarta: Serambi,2003.
Al-H}adda>d, Tah{ri>r, Wanita dalam Syari’ah dan Masyarakat, alih bahasa Abid Bisri, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1972.
Mut{ahari, Murtad}a, H{ija>b: Gaya Hidup Wanita Islam, Bandung:, Mizan, 1995.
Mas’udi, Masdar F, Islam dan Reproduksi Perempuan, Bandung: Mizan, 1997.
Muh}ammad Farid Wajdi, Da>irat al-Ma’arif al-Qarn al-Isyri>n, Jil. III, Bairut: Da>r al-Ma’rifah, 1991.
Marnissi, Fatima, Wanita di Dalam Islam, terj. Yaziar Rudianti, Bandung: Pustaka, 1994.
Al-Maudu>di>, Abu> al-A’la,> al-H{ija>b, Beirut: Da>r al-Fikr, tt.
Prabuninggrat, H. RAy Sitoresmi, Sosok Wanita Muslimah, cet. II, Yogyakarta: PT. Duta Wacana, 1997.
Reza Nasr, Sayyid Vali, al-Maudu>di> dan Jama’ah Islami: Asal-usul, Teori dan Praktek Kebangkitan Islam dalam Ali Rahmena (ed), Para Perintis Zaman Baru Islam, terj. Illyas Hasan, cet. 2, Bandung: Mizan, 1994.
Syuqqah, Abd al-H{ali>m Abu>, Kebebasan Wanita, alih bahasa Chairul Hakim dan As’ad Yasin, Jakarta: Gema Inasani Perss, 1997.
Sjazali, Munawir, Islam dan Tata Negara , cet. I , Jakarta: UI Pers, 1990.
Ibnu Taimiyyah, Majmu>’ Fata>wa> Syaikh al-Isla>m Ah}mad Ibnu Taimiyyah, t.t.p: tn.p, t. T.
Terjemah Note Hlm No
BAB I
“Dan janganlah kamu berjalan dalam keadaan telanjang “. 11 7 1
“Maka Allah lebih berhak untuk dimalui dari pada manusia”. 12 7 2
“Perubahan hukum seiring dengan berubahnya tempat dan kondisi merupaka sesuatu yang tidak dapat diingkari”. 22 11 3
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasaannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya……” 27 14 4
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anakmu dan istri-istri orang-orang mukmin:”Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. 28 15 5
“Menolak kerusakan dan mengambil kemaslahatan”. 31 16 6
BAB II
“Maka ia mengadakan tabir (yang melinduginya) dari mereka, lalu Kami mengutus Roh Kami kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna”. 12 23 7
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir”. 13 23 8
“Hai istri-istrei Nabi, kau sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu berrtaqwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara, sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik”. 30 29 9
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang jahiliyah dahulu”. 31 29 10
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka”. 32 30 11
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anakmu dan istri-istri orang-orang mukmin:”Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. 33 30 12
BAB III
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu”. 19 50 13
“Dari Abi Ayyub al-Ans}a>ri, dari Nabi saw: yang terletak di atas kedua lutut adalah aurat dan yang terletak di bawah pusar adalah aurat”. 20 51 14
“Tidak diperbolehkan bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, mengeluarkan tangannya (kecuali) sampai di sini. Dan Nabi mengenggam setengah lengan”. 21 51 15
“Wanita yang telah haid tidak boleh kelihatan dari dirinya kecuali wajahnya dan tangannya sampai pergelangan”. 22 51 16
“Dan dari Aisyah r.a bekata: aku keluar bersama dengan anak saudaraku, Abdullah ibn at-T{ufail dengan berhias, maka Nabi saw tidak senang atas hal tersebut. Lalu aku berkata: dia adalah anak saudaraku ya Rasulallah! Maka beliau bersabda: apabila perempuan keluar, tidak boleh baginya kelihatan kecali wajahnya dan juga yang selain ini. Beliau lalu mengisyaratkan dengan mengengam lengannya sendiri, sehingga menyisakan antara telapak tangan dengan genggaman tersebut seperti satu genggaman pula”. 23 52 17
“Dan Asma’ binti Abi Bakr r.a saudara istri Nabi saw suatu saatmasuk ke rumah Nabi dengan mengenakan pakaian yang tipis. Maka nabi berpaling darinya seraya berabda: wahai Asma’, apabila perempuan telah mencapai masa haid, maka tidak boleh terlihat darinya kecuali ini dan ini dan mengisyaratkan ke wajah dan dua telapak tangan”. 24 52 18
“Dan perempuan-perempuan tua yagng telah terhenti (dari haid dan mengandung) dan tiada ingin kawin (lagi), tiadalah dosa atas mereka mananggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka”. 26 53 19
“Dan apabila anak-anakmu telah sampai usia balig, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin”. 27 53 20
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. 28 54 21
“Seandainya aku tahu bahwa kamu melihat-lihat, maka akan aku tutupi matamu. Karena sesungguhnya timbulnya izin itu karena adanya pandangan mata”. 29 54 22
“Siapa saja yang masuk ke rumah suatu kaum tanpa mendapat restu dari mereka, maka boleh bagi mereka untuk menusuk kedua matanya”. 30 54 23
“Apabila kamu memeinta suatu (keperluan) kepada mereka (istri-isti Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimui dan hati mereka”. 31 55 24
“Dari Uqbah ibn ‘Amir: bahwasanya Rasulullah saw bersabda: janganlah kamu mendatangi perempuan. Berkata seorang sahabat dari golongan Anshar: Bagaimana pendapat engkau tentang al-Hamw. Rasulullah saw barsabda: al-Hamw adalah kematian”. 32 55 25
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anakmu dan istri-istri orang-orang mukmin:”Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu”. 34 56 26
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak(makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya hal itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu memita sesuatu (keperluan) kepada meraka (istri-istri Nabi) , maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suaci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati ) Rasulullah dan tidak pula mengawini istri-istrinya selama-lamanya, sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu amat besar (dosanya) di sisi Allah”. 39 62 27
“Katakanlah kepada wanita yang beriman:” Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka”. 41 64 28
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anakmu dan istri-istri orang-orang mukmin:”Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu”. 42 66 29
Lampiran II
BIOGRAFI ULAMA
1. Imam Bukhari
Nama lengkapnya Abu> “Abdilla>h Muh}ammad ibn Hasan Isma>’i>l ibn Ibra>hi>m al-Mughi>rah ibn al-Bardizbah al-Ja’fi al-Bukha>ri>. Beliau lahir pada hari Jum’at tanggal 13 Syawal 194 H dikota Bukhara. Pada usia sepuluh tahun beliau sudah hafal beberapa h}adi>s\. Beliau adalah orang pertama yang menyusun kitab s}ah}i>h} yang kemudian jejeknya diikuti oleh ulama lainnya. Hasil karyanya yang fenomenal adalah al-Jami’ as-S{ah}i>h} yang terkenal dengan sebutan S{ah}i>h} al-Bukha>ri>. Beliau wafat pada tahun 259 di kota Baghdad.
2. Imam Muslim.
Nama lengkapnya Abu> al-H}usain Muslim H{ajjaj al-Qusyairi an-Naisabu>r. Beliau lahir pada tahun 202 H dan wafat pada tahun 261 H. Beliau adalah seorang ulama ahli h}adi>s\ terkemuka setelah Imam al-Bukha>ri>, yang keduanya terkenal dengan julukan “asy-Syaikha>ni”. Karya besarnya adalah S{ah}i>h} Muslim, yang merupakan kitab h}adi>s\ rujukan dalam kehujjahan h}adi>s\ setelah S{ah}i>h} Bukha>ri.
3. Imam Abu> Da>ud
Nama lengkapnya adalah Sulayma>n ibn al-Asy’as ibn Ish}a>q ibn Imran al-Azdi Abu> Da>ud a—Sijista>ni>. Abu> Da>ud adalah seorang perawi h}adi>s\, ia terkenal lewat karyanya yang berjudul al-Sunan. Kitab ini berisi himpunan h}adi>s\ Nabi lengkap dengan rangkaian nama rawinya. Ulama ahli h}adi>s\ dari kalangan Sunni sepakat bahwa karya Abu> Da>ud tersebut termasuk kelompok al-Kutu>b al-Khamsah (lima Kitab h}adi>s\). Ulama h}adi>s\ menempatkan karya Abu> Da>ud tersebut pada ururtan ketiga sesudah kitab S{ah}i>h} al-Bukha>ri> dan S{ah}i>h} Muslim.
Ulama h}adi>s\ dengan nama Abu> Da>ud dan masing-masing juga menghimpun h}adi>s\ Nabi sesungguhnya ada dua orang yaitu Abu> Da>ud al-Thayalisi dan Abu> Da>ud al-Sijista>ni. Abu> Da>ud yang disebut pertama bernama lengkap Sulaima>n ibn Daud al-Jarud Abi> Da>ud al-Thayalisi penyusun kitab h}adi>s\ Musnad. Ia adalah salah seorang ulama yang menyampaikan riwayat h}adi>s\ kepada Ahamad ibn Hambal (w. 241H-855 M).
4. Imam at-Tirmi>z\i>
Nama lengkapnya adalah Abu> al-H{asan Muh}ammad ibn Isa berasal dari desa Tirmi>z\i> di pantai sungai Jihan di Bukhara. Dalam membaca kalimat Tirmizi boleh dengan tiga macam cara yaitu Tirmizi, Turmuzi dan Tarmizi.
Beliau lahir pada tahun 200 H, dan wafat pada tahun 267 H. Kitab Tirmi>z\i> termasuk dalam kitab yang Enam yaitu Bukha>ri>, Muslim, Abu> Da>ud, Tirmi>z\i> dan Ibn Ma>jah. Beliau termasuk penulis terkenal juga h}adi>s\-h}adi>s\nya dapat dijadikan pengangan dalam mengambil keputusan setiap permasalahan dan juga diakaui secara umum h}adi>s\-h}adi>s\nya walaupun tinggkatannya di bawah kitab S{ah}i>h} Bukha>ri>.
5. Abdul Wahha>b Khalla>f
Beliau lahir pada bulan maret 1888 di daerah Kufruziyah. Setelah hafal al-Quran, beliau belajar di al-Azhar pada tahun 1910. Pada tahun 1915, beliau lulus dari fakultas Hukum Islam Universitas al-Azhar, kemudian diangkat menjadi pengajar di sana. Pada tahun 1920, beliau menduduki jabatan Hakim Mahkamah Syar’iyyah, yang pada akhirnya pada tahun 1931, beliau diangkat menjadi Ketua Mahkamah Syar’iyyah. Pada tahun 1924, beliau ditugaskan menjadi Direktur Departemen Perwakafan. Dan pada tahun 1934, dikukuhkan menjadi Guru besar Fakultas Hukum Islam Universitas al-Azhar, Kairo. Karya-karya beliau diantaranya, Ilmu Us}u>l Fiqh, Mas}a>dir at-tasyri>’ fi>ma> la> nassa fi>hi, dan lain. Beliau wafat pada tanggal 20 Januari 1956.
6. Abdul H{ali>m Muh}ammad Abu> Syuqqah.
Beliau lebih populer dengan nama Abu> Abdurrahma>n. Beliau adalah seorang pemikir,pendidik, dan penulis yang produktif yang brilian dan tulus. Dia pernah berkerja di Departemen Pendidikan dan Pengajaran, Qatar. Sejak muda aktif di Gerakan Ikhwan al-Muslimin dan akrab dengan pendirinya, Hasan al-Banna. Dia juga pendiri majalah al-Muslim al-Mu’a>sir, yang merupakan corong gerakan intelektual muslim yang berani dan kritis.
7. Asghar Ali Engineer.
Beliau adalah ilmuan India, Direktur Pusat Studi Islam Bombay, seorang ilmua dan ahli teologi dengan reputasi internasional. Beliau menulis sejumlah tulisan baik dalam bentuk buku maupun artikel di bidang teologi Islam, Hukum Islam, Sejarah dam Filsafat Islam. Ia juga mengajar di sejumlah negara. Buku terpenting karya Ashgar adalah The Rights of Women the Origin and Development.
8. Fazlur Rah}ma>n.
Ia dilahirkan pada tahun 1919 di sebuah daerah yang terletak di Pakistan. Ia dibesarkan dalam sebuah keluarga dengan tradisi mazhab Hanafi. Pada awalnya ia memperoleh pendidikan agama di madrasah dan secara informal diperolehnya pengajaran keagamaan dari ayahnya yang menjadi seorang ahli agama. Setelah menamatkan pendidikan menengah, Rahman melanjutkan studinya di Departement Ketimuran Universitas Punjab, dan berhasil meraih gelar MA pada tahun 1924. Karena mutu pendidikan Islam di India amat rendah, ia akhirrnya melanjutkan studinya ke Oxford Universty di Inggris dan merampungkan studi doktoralnya pada tahun 1950. Setelah meraih Doktor of Philosophy (Ph. D) dari Oxford University, Rahman tidak langsung ke Pakistan, tetapi memilih menerap sementara waktu di Barat. Akhirnya ia mengajar beberapa tahun di Duhan Universty Inggris. Kemudian di Institute of Islamic Studies, Mc Gill University, Kanada.
Setelah berkelana agak lama di Barat pada akhirnya ia kembali ke Pakistan di awal taun 60-an. Pada Agustus 1962,ia ditunjuk sebagai direktur Lembaga Riset Islam, setelah sebelumnya menjabat sebagai staf di lembaga tersebut. Pada tahun 1964, ia ditunjuk sebagai anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam Pemerintah Pakistan. Pemikiran Rahman yang kritis dan modern banyak ditentang oleh ulama-ulama Pakistan. Ia akhirnya berpulang kehadirat Ilahi pada tanggal 26 Juli 1988. Di antara karya yang ditinggalkannya adalah an-Nas’at, Kitab asy-Syifa’, Propecy in Islam, Philosophy an Ortodoxy, Islam dan lain-lain.
9. Quraisy Shihab.
Ia adalah seorang pemikir Kontemporer Indonesia yang Master dan Doktornya ia dapatkan dari Kairo dengan kajian al-Quran dan Hadis. Beliau telah menulis sejumlah buku dan sejumlah artikel khususnya di bidang tafsir dan masalah-masalah sosial keagamaan. Ia pernah menjadi Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Duta Besar di Sudi Arabia sejak tahun 1999.
10. Fatima Mernisi.
Adalah seorang sosiolog dan penulis asal Moroko. Mernisi lahir di kota Fez dalam keluarga kelas menengah. Dia belajar di Universitas Muhammad V di kota Rabat dan kemudian melanjutkan ke Paris. Di sini ia sempat bekerja sebentar sebagai wartawan. Dia menyelesaikan studi sarjananya di Amerika Serikat, dan pada tahun 1973, meraih gelar doktor dalam bidang sosiologi dari Universitas Brandeis. Sekembalinya ke Mororko, ia bekerja di Depatement Sosiologi Universitas Muhammad V. Kini ia menekuni bidang penelitian di Universitaire de Recherhe Scientificue , Moroko.
#Skripsi
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam sebagai agama terakhir dan diwahyukan kepada Nabi yang terakhir pula, telah dijamin oleh Allah kesempurnaan ajarannya. Kesempurnaan di sini mengacu kepada aturan-aturan yang terkandung di dalamnya, yang telah mengatur kehidupan manusia dari seluruh aspeknya yang berpusat pada Tauhid mutlak. Tauhid adalah payung utama ajaran Islam, akidahnya mutlak bertumpu pada tauhid, yang juga merupakan ajaran agama Allah yang diwahyukan kepada para rasul sebelumnya. Ajaran ibadah juga bertumpu pada tauhid Ulu>hiyyah yang mengajarkan bahwa hanya Allah-lah tuhan yang wajib dan berhak disembah. Bidang ahklak diajarkan secara pasti, atas dasar-dasar dan nilai Ila>hi, tidak berdasarkan atas nilai-nilai manusiawi yang relatif, situasional dan kondisional. Bidang mu’amalat diajarkan dalam bentuk global yang penerapannya diperlukan pemikiran-pemikiran yang sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan kehidupan masyarakat yang tentu tetap berpegang pada nilai-nilai transendental.
Ajaran Islam yang mengatur tata cara hidup disebut hukum. Dalam Us}u>l fiqh, hukum didefinisikan sebagai titah Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yang berupa tuntutan untuk melakukan sesuatu, yang berarti perintah yang wajib dikerjakan, atau tuntutan untuk meninggalkan sesuatu, yang berarti larangan dan haram dikerjakan, atau berupa ketetapan hukum itu berupa hal yang mubah (fakultatif) yang berarti boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan, maupun ketetapan hukum yang menjadikan dua hal berkaitan dan salah satu menjadi sebab atau syarat atau menjadi penghalang bagi yang lain.
Salah satu ajaran Islam, yang banyak diklaim sebagai bagian dari budaya Islam adalah jilbab. Ayat-ayat yang berbicara mengenai jilbab ini turun untuk merespon kondisi dan konteks budaya masyarakat, yang penekanannya kepada persoalan etika, hukum dan keamanan masyarakat dimana ayat itu diturunkan. Dalam Islam wanita harus menutup tubuhnya dalam pergaulan dengan laki-laki yang secara hukum tidak termasuk muhrimnya dan tidak boleh memamerkan dirinya.
Dalam Islam, penekanan fungsi jilbab adalah untuk menutup aurat, yaitu menutup anggota tubuh tertentu yang dianggap rawan dan dapat menimbulkan fitnah. Selain itu sebagai wujud nyata bentuk penghormatan terhadap wanita.
Di antara tokoh yang sangat menganjurkan bahkan mewajibkan pemakaian jilbab ini adalah Abu> al-A’la> al-Maudu>di>. Dalam bahasa yang digunakan oleh al-Maudu>di adalah H{ija>b, yang meliputi h}ija>b domestik dan h}ija>b non domestik. H{ija>b domestik adalah bahwa wanita muslimah dianjurkan tinggal di dalam rumahnya dan menjaga dirinya untuk tidak meninggalkan rumah bahkan untuk melaksanakan s}ala>t di masjid berjama’ah. Sedangkan h}ija>b non domestik (publik) adalah dengan memakai pakaian yang tertutup rapat, kecuali apa yang biasa terlihat seperti wajah dan kedua telapak tangan. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Bakar bin Abdullah Abu> Zaid. Bahkan tokoh yang kedua ini lebih ekstrim lagi dalam memahami persoalaan ini. Dia bahkan menganggap bahwa wajah dan telapak tangan wajib untuk ditutup ketika berada di luar rumah atau bertemu dengan non muhrimnya.
Namun di sisi lain, masih banyak tokoh yang berpendapat bahwa jilbab bukanlah suatu hal yang wajib dengan berdasarkan argumen bahwa konteks turunnya ayat tentang jilbab tersebut dilatarbelakangi oleh situasi kota Madinah yang kala itu belum mempunyai tempat buang hajat di dalam rumah, sehingga ketika hendak buang hajat, mereka harus ketempat sepi di tengah padang pasir. Kesulitan tentu dihadapi oleh wanita muslimah yang ketika akan buang hajat sering diikuti oleh laki-laki iseng yang menyangka bahwa mereka adalah budak. Untuk membedakan antara wanita muslimah dengan budak tersebut, maka turunlah ayat tersebut. Sehinga dengan memakai jilbab, wanita muslimah dikenali dari pakaian mereka, sehingga mereka terhindar dari gangguan laki-laki iseng.
Diantara mereka adalah Muh}ammad Sa’id al-‘Asyma>wi> yang berpendapat bahwa h}ija>b dalam pengertian penutup kepala atau di Indoneia dikenal dengan jilbab, bukanlah kewajiban agama. Itu merupakan tradisi masyarakat yang bisa diikuti ataupun ditentang. Karena itu, masalah h}ija>b ini tidak memiliki konsekuensi iman-kafir, selama dasarnya tetap kesopanan dan kehormatan.
Oleh karena itu, menarik sekali apabila kedua tokoh ini disandingkan sejajar untuk melacak lebih jauh bagaimana bisa keduanya sampai kepada kesimpulan yang berbeda dengan menggunakan suatu dasar hukum yang sama yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Karena masing-masing tokoh di samping mewakili pemikiran yang berbeda juga mewakili dua kelompok yang berseberangan. Al-Maudu>di> sebagai representasi dari kecendrungan fundamentalis dan al-Asyma>wi> yang mewakili kecendrungan ke arah sekulraris, antara normatifitas dan historisitas. Sehingga kedua tokoh ini layak disandingkan untuk memunculkan wacana dialogis dan dialektis antara keduanya.
B. Pokok Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, dapat ditarik beberapa permasalahan yang perlu dibahas yaitu:
1. Bagaimana istid}la>l hukum yang dikemukakan al-Maudu>di> dan al- ‘Asyma>wi>?
2. Apakah yang mendasari istidla>l hukum dari al-Maudu>di> dan al- ‘Asyma>wi> sehingga pendapat keduanya sangat bertentangan satu sama lainnya?
C. Tujuan dan Kegunaan
Skripsi ini diharapkan memberikan jawaban atas pokok masalah yang telah dipaparkan. Untuk lebih jelasnya, tujuan pembahasan ini adalah:
1. Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai argumentasi hukum jilbab yang dikemukakan al-Maudu>di> dan al-‘Asyma>wi>.
2. Untuk menjelaskan landasan berpikir dari argumen hukum yang digunakan oleh keduanya.
Sementara itu kegunaan dari pembahasan skripsi ini adalah:
1. Diharapkan dapat menambah sumbangan pemikiran dan wacana tentang jilbab dengan jalan komparasi antara tokoh-tokoh yang berseberangan.
2. Menambah dan memperluas orientasi pemikiran dalam wacana jilbab itu sendiri.
B. Telaah Pustaka
Sebelum menganalisa lebih lanjut, penulis akan menelaah karya-karya yang membahas masalah ini. Diantaranya adalah Fadwa el-Guindi dalam karyanya yang merupakan hasil dari observasinya di beberapa daerah di Timur Tengah. Dengan judul: Jilbab antara kesalehan, kesopanan dan perlawanan. Di dalam buku ini dinyatakan bahwa jilbab (yang dalam bahasa Inggris disebut Veil atauVoile dalam bahasa Prancis) bisa dipakai untuk merujuk pada penutup tradisional kepala, wajah (mata, hidung, atau mulut), atau tubuh wanita di Timur Tengah dan Asia Selatan. Menurut el-Guindi juga bahwa, Islam tidak menciptakan atau memperkenalkan kebiasaan berjilbab. Jilbab bukan hanya merupakan pakaian yang dipakai oleh wanita an sich, tetapi juga merupakan pakaian yang sering dikenakan oleh laki-laki. Budaya ini telah ada sebelum Islam- dalam budaya Hellenis, Judaisme, Bizantium dan Balkan. Apakah melalui adopsi, penciptaan kembali atau penciptaan independen, berjilbab dalam sistem sosial Arab telah membangkitkan suatu fungsi dan karakteristik makna tertentu yang ada diwilayah Mediterania utara.
Sedangkan menurut Bakar bin Abdullah Abu> Zaid, h}ija>b dibagi kepada dua kategori. Yang pertama h}ija>b secara umum dan h}ija>b secara khusus. Yang dimaksud dengan h}ija>b secara umum adalah bahwa kewajiban berh}ija>b adalah untuk laki-laki dan perempuan. Dan perbedaan h}ija>b antara laki-laki dan perempuan ini berdasarkan perbedaan-perbedaan yang ada dalam bentuk ciptaan, kemampuan tugas yang dibebankan kepada masing-masing. Bagi laki-laki misalnya, diwajibkan menutup aurat mulai dari pusar sampai lutut dari pandangan kaum perempuan dan laki-laki lain selain istri mereka dan budak perempuan mereka. Dan juga dilarang bertelanjang baik ketika sendiri maupun ketika bersama seperti ketika berjalan di tengah publik.
Sebagaimana sabda Nabi saw:
لا تمشوا عراة
فالله أحق أن يستحيا منه من الناس
Sedangkan h}ija>b secara khusus diwajibkan bagi seluruh wanita muslimah dengan menutup seluruh tubuh termasuk muka dan kedua telapak tangan, serta menutup seluruh perhiasan yang dipakainya dari penglihatan laki-laki lain (ajnabi). Hal itu didasarkan pada dali>l-dali>l al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma>’ ‘amali> dari para istri kaum mukminin, mulai dari zaman Rasulullah, Khulafa>’ ar-Ra>syidi>n, masa Tabi’i>n dan pada masa terpecahnya Daulah Isla>miyyah menjadi beberapa kerajaan kecil pada pertengahan abad ke-14 H.
Sedangkan menurut Abd al¬-H{ali>m Abu> Syuqqah, h}ija>b berdasarkan penafsirannya terhadap surat al-Ah}za>b ayat 53 merupakan suatu kekhususan terhadap istri-istri Nabi saw yang berbentuk tabir atau tirai sebagai pembatas antara laki-laki yang bukan muhrim jika berbicara pada istri-istri beliau, sehingga antara laki-laki yang bukan muhrim tidak akan dapat melihat sosok istri Nabi. Demikian pula halnya, istri-istri nabi hanya hanya diperbolehkan keluar rumah untuk keperluan yang mendesak saja, kalaupun keluar rumah, mereka harus menutup wajah dan bagian tubuh lainnya.
As-S{abu>ni> berpendapat bahwa al-Ah}za>b ayat 53 merupakan dali>l atas wajibnya hukum menutup wajah bagi perempuan, karena laki-laki dilarang untuk melihat wajah seorang perempuan yang bukan muhrimnya, meskipun ayat tersebut turun berkenaan dengan istri-istri Nabi, tetapi berlaku untuk semua perempuan dengan jalan Qiyas, sedangkan illatnya adalah seluruh tubuh perempuan merupakan aurat.
Dan diantara skripsi-skripsi yang telah ditulis mengenai permasalahan ini adalah skripsi saudara Nurul Huda, mahasiwa fakultas Ushu>luddi>n jurusan Tafsir Hadist dengan judul Konsep H{ija>b dalam al-Qur’an (Studi terhadap Surat an-Nu>r dan al-Ah}za>b. Dalam tulisannya, ia mengungkapkan penafsiran ayat-ayat H{ija>b yang terdapat dalam kedua surat tersebut dengan mengemukakan pendapat tokoh-tokoh tafsi>r berlandaskan pada riwayat-riwayat hadi>s\. Berdasarkan ayat-ayat tersebut, dia membagi h}ija>b kepada h}ija>b sebagai pakaian yang berfungsi untuk menutup aurat dari pandangan orang yang bukan muhrimnya, h}ija>b yang berarti tabir yang memisahkan istri-istri Nabi dari dari laki-laki yang bukan muhrim dan h}ija>b yang mengandung pengertian sebagai etika yang mengatur pergaulan antara laki-laki dengan perempuan bukan muhrim. Selanjutnya dia berpendapat bahwa yang dapat dilaksanakan pada masa sekarang adalah h}ija>b jenis yang berarti pakaian sebagai penutup aurat dan h}ija>b yang berarti etika pergaulan antara laki-laki dan perempuan tidak semuhrim.
D. Kerangka Teoritik
Reinterpretasi terhadap nas} al-Qur’an dan as-Sunnah yang jelas dan gamblang makna yang dikandung redaksinya, merupakan suatu keharuasan dalam setiap periode. Pedoman-pedoman sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, sebab ia turun dalam konteks ruang dan waktu, bisa jadi akan mengalami kegagapan jika diterapkan dalam waktu dan ruang lain. Disamping itu, ketentuan hukum yang terjabar dalam kedua sumber tersebut sangat mungkin dipengaruhi oleh sosio kultural saat diturunkan. Pengaruh ini tentunya menjadi faktor yang harus diperhatikan di dalam memahami dan manafsirkan makna yang dikandungnya. 17
Untuk memahami al-Qur’an dengan benar, maka perlu dipahami posisi nabi Muhammad dengan risalah yang dibawanya, dimana satu sisi untuk memproklamirkan bahwa Nabi sebagai nabi terakhir, yang menimbulkan konsekwensi berupa relevansi dan kesesuaian ajaran beliau sepanjang masa18. Di sisi lain, kehadiran nabi untuk seluruh umat manusia dan seluruh alam. Konsekwensi ajaran yang dibawa nabi juga harus dapat menuntaskan masalah yang dihadapi ketika masa pewahyuan yang sarat dengan konteks masa itu. 19
Fazlur Rah}ma>n membagi ayat-ayat al-Qur’an menjadi dua kelompok besar. Pertama, ayat-ayat yang berhubungan dan membicarakan masalah teologi dan etika. Kedua, ayat-ayat kasus yang didalamnya termasuk ayat hukum. Rah}ma>n menulis, ajaran besar dalam al-Qur’an adalah monoteis, keadilan sosial, ekonomi, dan kesetaraan. Rah}ma>n juga menulis, ajaran dasar al-Qur’an adalah moral, yang dari ajaran moral tersebut mengalir pada penekanan terhadap monoteis dan keadilan sosial. Karenanya Rah}ma>n membagi ayat-ayat al-Qur’an kepada, 1) ayat-ayat yang mengadung prinsip umum yang jumlah ayatnya terbatas, dan 2) ayat yang mengandung ajaran khusus (kasuistik) yang jumlah ayatnya jauh lebih banyak.
Demikian juga halnya Tahri>r al-H{adda>d, membedakan antara, 1) ayat-ayat yang mengadung ajaran umum seperti tauhid, etika, keadilan, dan kesetaraan, dengan 2) ayat-ayat yang mengadung ajaran perintah yang biasanya sangat tergantung pada kepentingan manusia, kehususnya sebagai jawaban terhadap masalah yang berkaitan dengan tradisi Arab pra-Islam. 20
Karena itu, sejalan dengan Rah{ma>n, al-H{adda>d membagi ayat-ayat al-Qur’an menjadi dua kelompok yaitu: 1) ayat yang mengandung ajaran prinsip yang bersifat universal yang berlaku dari waktu ke waktu dan dari satu tempat ke tempat lain, dan 2) ayat-ayat berupa perintah atau ajaran yang aplikasinya bergantung pada konteks sosial.
Di antara ciri-ciri nas} normatif universal adalah memiliki ajaran universal, prinsip, fundamental, dan tidak terikat dengan konteks, ruang waktu, tempat, situasi, dan sebagainya. Sementara nas} praktis temporal adalah detail, rinci, bersifat terapan, dapat dilaksanakan dalam kehidupan nyata. Sifat lainnya adalah terikat dengan konteks, ruang, waktu, kondisi, situasi, dan lainnya. Pendeknya, nas} praktis temporal adalah jabaran implementasi dari nas} normatif universal. 21
Pembagian nas} normatif universal dengan nas} praktis temporal pada dasarnya sama dengan pembagian nas} qat}’i dan nas} z{anni. Dapat juga disebut dengan menggunakan terma nas} muh{kama>t untuk kategori yang pertama dan nas} juz’iyyat yaitu partikular atau teknis operasional untuk kategori yang kedua. Kalau nas} yang pertama bersifat universal dan bebas dari dimensi ruang dan waktu, maka nas} yang kedua sangat bergantung kepada ruang dan waktu. Sehingga dalam epistemologi hukum Islam muncul kaidah 22 :
لا تنكر تغير الاحكام بتغير الازمان و الامكان
Dalam Ijtiha>d, perbedaan konteks ruang dan waktu akan menghasilkan produk hukum yang berbeda pula. Selain itu, sebuah produk hukum akan kehilangan spiritnya jika ia gagal menyerap nilai-nilai baru dan tidak adaptif terhadap perubahan. Dalam us}u>l fiqh juga kita temukan kaidah yang termasuk dalam lima kaidah pokok yaitu al-A>dah Muh{akkamah, yang berarti bahwa adat, baik yang bersifat umum ataupun bersifat khusus, dapat dijadikan dasar untuk menentukan suatu hukum.
Menurut al-Asyma>wi> bahwa bercampurnya pemikiran dan retorika keagamaan dengan warisan budaya masyarakat (folklor), tradisi yang terbelakang, dan klise-klise murahan, sugguh berdampak buruk bagi pemikiran keagamaan. Hal ini telah menyebabkan banyaknya perkara yang bercampur-aduk dan menimbulkan kekaburan. Akibatnya, pemikiran keagamaan seolah-olah adalah folklor itu sendiri, demikian juga sebaliknya. Ini juga berakibat pada retorika syari’ah yang bersifat klise yang kemudian dinobatkan sebagai retorika keagamaan yang absah. Dengan iklim seperti ini, konsep-konsep berantakan, retorika bercampur-aduk, dan nilai-nilai dasar agama menjadi melemah. Akibatnya, masyarakat terperosok ke dalam jurang imajiasi dan khayalan yang tidak dapat membedakan antara realitas dengan mitos, tidak dapat memilih mana kebenaran dan mana propaganda belaka. 23
Misalnya, ketika politik mencampuri urusan agama, kepartaian mengintervensi syari>’ah, maka keduanya akan membentuk idiologi (kemazhaban) yang totaliter (diktator), lalu perlahan berubah menjadi keyakinan (dogma) yang kaku. Dalam perjalanannya menuju totalitarianisme, dan guna meliputi semua perkara, menyentuh semua unsur, merambah semua aktifitas, maka dia mesti mencampuradukkan pemikiran dengan tradisi yang berkembang dalam masyarakat, menyingkat perjalanannya dengan tradisi yang usang, dan mencampurkan teks-teks dengan klise-klise tertentu. Dengan begitu, perkara menjadi kabur bagi banyak orang dan memusingkan. Kalau sudah begitu, tidak mudah dan tidak mungkin lagi membedakan antara pemikiran keagamaan yang genuin dengan tradisi masyarakat, antara teks-teks agama dan retorika-retorika klise. 24
Jilbab adalah persoalan yang paling jelas terkait dengan hal ini. Dalam masalah ini, sudah sangat jelas percampuran antara pemikiran keagamaan dengan tradisi masyarakat. Akibatnya, banyak yang kesulitan mengungkap akar masalah dan hakikatnya. Sebagian akhirnya mengangap bahwa jilbab adalah kewajiban agama. Sementara yang lain menganggapnya sebagai slogan politik belaka tanpa studi yang serius. 25
Maka untuk menjawab persoalan yang diangkat dalam pembahasan skripsi ini, maka diperlukan beberapa landasan teoritik. Dengan melihat adanya perbedaan yang nyata antara pendapat kedua tokoh, yang berangkat dari sudut pandang yang berbeda pula. Sehingga ada perbedaan dan pertentangan argimentasi, yang dalam istilah ilmu us}u>l fiqh disebut dengan terma ta’a>rud al-Adillah.
Kata ta’a>rud secara etimologi berarti pertentangan, sedangkan al-adillah adalah bentuk jamak dari kata dali>l, yang berarti alasan, argument, dan dalil.26
Maka untuk menyelesaikan pertentangan ini, akan dilakukan beberapa langkah, yaitu jam’u wa at-taufi>q (mengumpulkan dan mempertemukan), tarji>h}, nasakh, dan tasa>qut} al-dala>lain.
Yang dimaksud dengan jam’u wa at-taufi>q adalah mengkompromikan dalil-dalil yang bertentangan setelah mengumpulkan keduanya. Sedangkan tarji>h} adalah menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang bertentangan berdasarkan beberapa indikasi yang mendukung ketetapan tersebut. Dan nasakh adalah pembatalan dalil yang sudah ada dengan didasarkan dengan dalil yang datang kemudian yang mengandung hukum berbeda. Dan tasa>qut} ad-dala>lain adalah memggugurkan kedua dalil yang bertentangan dan mencari yang lebih rendah.
Oleh karena itu dari teori diatas, maka menurut penulis bahwa yang lebih cocok untuk membahas masalah ini dengan menggunakan teori jam’u wa at-taufi>q, sebab dalil yang mereka kemukakan sama kuat.
Mereka sama-sama berargumen dengan menggunakan firman Allah swt:
وقل للمؤمنات يغضضن من ابصارهن و يحفظن فروجهن ولايبدين إلا ماظهر منها وليضربن بخمرهن علي جيوبهن 27
Lalu berargumen pula dengan firman Allah swt:
يأيها النبي قل لأزواجك وبناتك ونساء المؤمنين يدنين عليهن من جلابيبهن ذالك أدنى ان يعرفن فلا يؤذين وكان الله غفورا رحيما 28
Adapun cara yang digunakan untuk mengkompromikan kedua dalil tersebut adalah
1. Membagi kedua hukum yang bertentangan.
2. Memilih salah satu hukum.
3. Mengambil dalil yang lebuh khusus.29
Dalam Islam dikenal istilah mas}lah}ah. Mas}lah}ah ini dibagi kepada tiga tingkatan. Mas}lah}ah yang pertama disebut dengan mas}lah}ah ad}-d}aru>riyyah, yaitu perkara-perkara yang apabila ditinggalkan akan merusak kehidupan, menimbulkan kerusakan dan timbulnya fitnah kehancuran yang hebat. Perkara ini meliputi lima hal pokok yang harus dijaga ekistensinya, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kedua adalah mas}lah}ah h}ajjiyyah yaitu perkara yang diperlukan untuk menghilangkan dan menghindarkan diri dari kesempitan dan kesulitan dalam hidup. Maka peraturan hidup manusia tidak akan rusak, hanya saja tanpa adanya hal tersebut, maka akan mendatangkan kesulitan dalam menjalankan kehidupan sseperti kebolehan mengqas}a>r s}ala>t bila dalam perjalanan. Ketiga, mas}lah}ah tah}si>niyyah adalah perkara-perkara penyempurnaan yang dikembalikan harga diri, kemuliaan ahklaq dan kebaikan adat istiadat, yang sekiranya tidak ada, tidak akan merusak tatanan hidup dan tidak akan menjatuhkan manusia dalam kesempitan dan kesulitan, tetapi kehidupan akan sunyi dari kemuliaan dan kesempurnaan.30
Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka dalam menjawab masalah yang ada dalam kajian ini, tetap diperlukan ketiga macam mas}lah}ah tersebut. Disamping itu, sesuai dengan kaidah yang berbunyi:
درء المفاسد و جلب المصالح 31
Maksud dari kaidah tersebut adalah apabila dalam suatu perkara terlihat adanya mas}lah}ah dan mafsadah, maka harus ditinggalkan perkara yang mengandung mafsadah. Dengan demikian apa yang dinginkan syari’at Islam dapat terlaksana dengan baik sesuai dengan al-Qur’an dan al-H{adi>s\.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian dengan cara mengkaji dan menelaah sumber-sumber tertulis seperti buku-buku, majalah, artikel, dan lainnya yang berkaitan dengan masalah jilbab serta kedua tokoh tersebut, sehingga ditemukan data-data yang akurat dan jelas.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik komparatif yaitu berusaha memaparkan secara jelas pandangan al-Maudu>di> dan al-‘Asyma>wi> tentang jilbab. Dari hasil pemaparan pendapat kedua tokoh tersebut, penulis akan menganalisa serta membandingkan antara dua istdlal/ argumentasi hukum yang berbeda ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang akan digunakan adalah dengan mengkaji dan menelaah berbagai buku, dan karya tulis yang memiliki relevansi dengan kajian ini. Data primer dari pembahasan ini adalah kitab al-H{ija>b karya al-Maudu>di> dan buku H}aqi>qat al-H{ija>b wa H{ujiyyat al-H{adi>s\\ karya al-‘Asyma>wi> yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Kritik atas Jilbab. Adapun data sekuder adalah kitab, buku, dan karya tulis lainnya yang membahas tentang masalah jilbab dan kedua tokoh ini.
3. Analisis Data
Adapun analisis data yang akan penulis gunakan adalah analisis kwalitatif yakni setelah data yang diperoleh terkumpul kemudian diuraikan dan akhirnya disimpulkan dengan metode:
a. Induktif ialah mwenganalisa data-data berupa pendapat kedua tokoh yang bersifat khusus untuk kemudian ditarik menjadi kesimpulan umum.
b. Deduktif ialah menganalisa pendapat kedua tokoh yang bersifat umum untuk ditarik menjadi kesimpulan yang khusus.
c. Komparatif yaitu menganalisa data atau pendapat al-Maudu>di> dan al-‘Asyma>wi> tentang jilbab dengan cara membandingkan pendapat kedua tokoh.
G. Sistematika Pembahasan
Pembahasan penulisan skripsi ini dibagi menjadi lima bab, setiap bab terdiri dari sub-sub bab.
Bab pertama berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan dan kegunaan, telaah putaka, kerangka teoritik, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Pada bab Kedua akan dibahas gambaran umum tentang jilbab yang meliputi pengertian, sejarah jilbab, latar belakang diturunkanya ayat yang berbicara tentang jilbab dan wacana jilbab dalam Islam.
Pada bab Ketiga akan dibahas tentang biografi al-Maudu>di> dan al-‘Asyma>wi> yang meliputi riwayat hidup, kondisi sosial budaya, dan pandangan keduannya tentang jilbab. Berpijak dari hal ini, kita dapat membaca pola pemikiran kedua tokoh tentang jilbab ini.
Pada bab Keempat akan dibahas analisis terhadap pendapat al-Maudu>di> dan al-‘Asyma>wi> tentang jilbab.
Bab Kelima merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan seluruh rangkaian yang telah dikemukakan dan merupakan jawaban atas permasalahan yang ada, dan saran-saran yang dapat diajukan sebagai rekomendasi lebih lanjut.
BAB II
TINJAUAN UMUM
A. Pengertian dan Sejarah Jilbab
Jilbab atau h}ija>b merupakan bentuk peradaban yang sudah dikenal beratus-ratus tahun sebelum datangnya Islam. Ia memiliki bentuk yang sangat beragam. H{ija>b bagi masyarakat Yunani memiliki ciri khas yang berbeda dengan masyarakat Romawi. Demikian pula halnya dengan h}ija>b pada masyarakat Arab pra-Islam. Ketiga masyarakat tersebut pernah mangalami masa keemasan dalam peradaban jauh sebelum datangnya Islam. Hal ini sekaligus mamatahkan anggapan yang menyatakan, bahwa h}ija>b hanya dikenal dalam tradisi Islam dan hanya dikenakan oleh wanita-wanita muslimah saja. Dalam masyarakat Yunani, sudah menjadi tradisi bagi wanita-wanitanya untuk menutup wajahnya dengan ujung selendangnya, atau dengan mengunakan h}ija>b khusus yang terbuat dari bahan tertentu, tipis dan bentuknya sangat baik.
Peradaban Yunani tersebut kemudian ditiru oleh bangsa-bangsa disekitarnya. Namun, akhirnya peradaban tersebut mengalami kemerosotan dan kemunduran karena kaum wanitanya dibiarkan bebas dan boleh melakukan apapun, termasuk pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki. Sementara itu dalam masyarakat Romawi, seperti diungkapkan Farid Wajdi, kaum wanita sangat memperhatikan h}ija>b mereka dan tidak keluar rumah kecuali dengan wajah tertutup. Bahkan mereka masih berselendang panjang yang menjulur menutupi kepala sampai ujung kaki.
Peradaban-peradaban silam yang mewajibkan pengenaan h}ija>b bagi wanita tidak bermaksud menjatuhkan kemanusiaannya dan merendahkan martabatnya. Akan tetapi, semata untuk menghormati dan memuliakannya, agar nilai-nilai dan norma-norma sosial dan agama mereka tidak runtuh. Selain itu juga untuk menjaga peradaban dan kerajaan mereka agar tidak runtuh.
Gereja-gereja terdahulu dan biarawati-biarawatinya yang bercadar dan berkerudung memakai kebaya panjang, menutupi seluruh tubuhnya sehingga jauh dari kekejian dan kejahatan.
Dalam masyarakat Arab pra-Islam, h}ija>b bukanlah hal baru bagi mereka. Biasanya, anak wanita yang sudah mulai menginjak usia dewasa, mengenakan h}ija>b sebagai tanda bahwa mereka minta untuk segera dinikahkan. Di samping itu bagi mereka, h}ija>b merupakan ciri khas yang membedakan antara wanita merdeka dan para budak atau hamba sahaya. Dalam syair-syair mereka, banyak dijumpai istilah-istilah khusus yang kesemuanya mengandung arti yang relatif sama dengan h}ija>b. Di antara istilah-istilah yang sering mereka gunakan adalah niqa>b, khima>r, qina>’, khaba, dan khadr. Ada lagi bentuk-bentuk h}ija>b yang lain seperti sarung, selimut, baju besi dan jilbab. Bangsa Arab pra-Islam mewajibkan wanitanya berh}ija>b. Mereka menganggapnya sebagai tradisi yang harus dilakukan. Dan ketika Islam datang, ia mensyahkan tradisi tersebut.
H{ija>b berasal dari kata dasar h-j-b, bentuk kata kerjanya hajaba yang diterjemahkan dengan “menyelubungi, memisahkan, menabiri, menyembunyikan, dan menutupi”. H{ija>b diterjemahkan dengan ”penutup, selubung, tirai, tabir, pemisah”. Merujuk pada Ibn Manz}u>r dalam Lisa>n al-’Arab, h}ija>b berarti as-Satr (sekat, pembatas, penutup). H{ija>b menurutnya adalah nama sesuatu yang dipakai untuk menutupi atau memisahkan antara dua hal.
Allah berfirman:
و من بيننا و بينك حجاب
H{ija>b yang bentuk jamaknya al-h}uju>b menurut istilah adalah sesuai dengan pemaknaan di dalam segi bahasanya. Yang dimaksudkan ialah sekat yag menjadi pembatas antara laki-laki dan perempuan untuk menghindari terjadinya fitnah.
Sedangkan jilbab kata jalaba berarti mengalihkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain. Sedangkan jilbab menurut Ibn Manz}u>r adalah pakaian panjang yang lebih lebar dari khimar (kerudung), bukan selendang dan bukan pula selimut kain besar, yang menutupi kepala, punggung, dada, dan seluruhnya dengan jilbab tersebut. Jilbab juga diartikan sebagai pakaian yang dipakai wanita untuk menutupi kepala, punggung dan dada.
Merujuk pada istilah terebut di atas, pada dasarnya antara h}ija>b dan jilbab memiliki arti yang sama, yaitu bahwa keduanya merupakan pakaian wanita yang menutup bagian tubuh sehingga tidak terlihat. Jadi, jilbab yang dimaksud di dalam penelitian ini adalah jilbab yang secara umum dimaknai sebagai baju kurung yang longgar disertai kerudung yang menutup bagian kepala, punggung dan dada perempuan.
Ibn Khaldun menggunakan kata h}ija>b dengan pergertian tabir dan keterpisahan bukan penutup. Sedangkan kata jilbab yang jamaknya jala>bi>b ialah pakaian yang menutup seluruh tubuh dari kepala sampai kaki atau menutupi sebagian besar tubuhnya dipakai di bagian luar sekali seperti halnya baju hujan.
Dalam al-Qur’an, kata-kata h}ija>b terdapat di delapan tempat (QS 7:46, 35:53, 38:32, 41:5, 17:45, 19:17, 83:15) yang pada umumnya memiliki arti sebagai pemisah seperti tirai dan tabir. Sebagaimana dalam ayat berikut, h}ija>b menunjukkan tabir tempat Maryam mengasingkan diri dari orang-orang sekitarnya.
فاتخذ من دونهم حجابا فأرسلنا إليهم روحنا فتمثل لها بشرا سويا
Istilah h}ija>b juga merujuk pada tabir yang dibentangkan dirumah Rasulullah dan digunakan pertama kali untuk memisahkan antara istri-istri beliau dengan laki-laki yang bukan muhrimnya. Hal ini tercatat dalam ayat berikut:
وإذا سألتموهن متاعا فسألوهن من وراء حجاب
Dalam bidang fiqh, salah satu pengertian h}ija>b adalah segala sesuatu yang menghalagi atau menutupi aurat perempuan dari pandangan mata, sehingga perempuan yang berh}ija>b disebut Mahju>bah. Hal tersebut berkaitan dengan surat an-Nu>r ayat 31 dan surat al-Ah}za>b ayat 59 tentang keharusan bagi mukminat untuk menutup auratnya dari laki-laki yang bukan muhrimnya dengan memakai pakaian yang sering disebut dengan terminologi jilbab. Al-Alba>ni> kemudian memandang bahwa jilbab merupakan bagian dari hijab.
Abu> ‘Abdulla>h al-Qurt}u>bi> memberikan pengertian bahwa jilbab adalah baju kurung longgar atau lebar dan lebih lebar dari selendang atau kerudung. Dan di dalam kamus al-Munawwir dijelaskan juga bahwa jilbab adalah baju kurung panjang sejenis jubah panjang.
Dengan merujuk pada kata h}ija>b yang terdapat dalam surat al-Ah}za>b ayat 53, Abu> Syuqqah berpendapat bahwa ada dua bentuk h}ija>b yaitu tirai (tabir) yang ada di dalam rumah Rasulullah untuk membatasi atau memisahkan antara istri-istri beliau ketika berbicara dengan laki-laki yang bukan muhrimnya dan pakaian yang dikenakan oleh istri-istri beliau untuk menutupi seluruh tubuhnya termasuk wajah ketika mereka keluar rumah.
Menurut Fatima Marnissi, konsep h}ija>b mengandung tiga dimensi yang ketiganya saling memiliki keterikatan. Dimensi pertama adalah dimensi visual yakni suatu dimensi yang punya pengertian untuk menyembunyikan sesuatu dari pandangan orang. Sesuai dengan akar kata hijab yang berarti menyembunyikan. Dimensi kedua adalah bersifat ruang yang berarti untuk memisahkan, untuk membuat batas dan untuk mendirikan pintu gerbang. Dimensi ketiga adalah sebagai bagian dari etika yang berkaitan dengan persoalan larangan.
Dan jilbab merupakan fenomena simbolik yang sarat makna. Di Indonesia jilbab pernah mencuat kepermukaan pada tahun 1980-an, karena dikesankan sebagai suatu identitas untuk komunitas yang punya idiologi tertentu.
Jika yang dimaksud jilbab sebagai penutup kepala (veil) perempuan, maka jilbab sudah menjadi wacana dalam code Bilalama (3000 SM) kemudian berlanjut dalam code Hamurabi (2000 SM) dan code Asyiria (1500 SM). Pada waktu ada debat tentang jilbab di Prancis tahun 1989, Maxime Radison, seorang ahli Islamologi terkemuka dari Prancis mengingatkan bahwa di Asyiria ada larangan berjilbab bagi wanita tuna susila. Dua abad sebelum masehi, Tertullen, seorang penulis Kristen apologetik, menyerukan agar semua wanita berjilbab atas nama kebenaran.
Penggunaan jilbab pertama kali, menurut kalangan antropologis bukan berawal dari perintah dan ajaran kitab suci, tapi dari suatu kepercayaan yang beranggapan bahwa si mata iblis (the evil eye) harus dicegah dalam melakukan aksi jahatnya dengan cara mengenakan cadar. Penggunaan jilbab dikenal sebagai pakaian yang digunakan oleh perempuan yang sedang mengalami menstruasi guna menutupi pancaran mata dari cahaya matahari dan sinar bulan. Pancaran mata tersebut diyakini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan kerusakan di dalam lingkungan alam dan manusia. Penggunaan kerudung yang semula dimaksudkan sebagai pengganti gubuk pengasingan bagi keluarga raja atau bangsawaan. Keluarga raja tersebut tidak lagi harus mengasingkan diri ketika ketika menstruasi di dalam gubuk pengasingan yang dibuat khusus, tapi cukup dengan memakai pakaian khusus yang dapat menutupi anggota badannya yang dianggap sensitif. Dan dahulu perempuan yang mengenakan jilbab jelas dari keluarga terhormat dan bangsawan.
Modifikasi menstrual hut menjadi cadar (menstrual hoot) juga dilakukan di New Genuine, British Columbia, Asia dan Afrika bagian tengah, Amerika bagian tengah dan lainnya. Selain menggunakan cadar, perempuan haid juga menggunakan zat pewarna (cilla’) pada daerah sekitar mata guna mengurangi ketajaman pandangan mata. Ada lagi yang menambahkan dengan memakai kalung dan bahan tertentu seperti dari logam, manik-manik dan bahan dari tengkorak manusia.
Nasiruddin juga mamaparkan, bahwa masyarakat tradisional dahulu kala telah muncul perdebatan yang seru tentang jilbab. Apakah boleh wanita yang bukan bangsawan mengenakan jilbab sebagai pengganti pengasingannya di gubuk menstruasi. Agama Yahudi, Kristen, dan agama kepercayaan sebelum Islam juga telah mewajibkan jilbab bagi para wanita, yang jelas tradisi berjilbab, kerudung, dan cadar telah ada jauh sebelum ayat-ayat mengenai h}ija>b diturunkan. Hanya saja diskursus jilbab dalam Islam berbeda dengan agama dan kepercayaan sebelumnya. Sebagaimana halnya ayat-ayat haid, ayat-ayat h}ija>b dalam surat al Ah}}za>b: 59 dan an-Nu>r: 31 tidak berbicara dalam konteks teologi, dalam arti dikaitkan dengan asal-asul darah sakral menstrual taboo, sebagaimana dalam agama Yahudi dan Kristen serta kepercayaan animisme.
Ketentuan penggunaan jilbab sudah dikenal di beberapa kota tua, seperti Mesopotamia, Babylonia dan Asyiria. Perempuan terhormat harus menggunakan jilbab di ruang publik. Sebaliknya budak perempuan dilarang mengenakannya. Dalam perkembangan selanjutnya, jilbab menjadi simbol kelas menengah atas masyarakat kawasan tersebut.
Ketika terjadi perang antara Romawi-Bizantium dengan Persia, rute perdagangan antara pulau mengalami perubahan untuk menghindari akibat buruk wilayah perperangan,. Kota di tepi pesisir jazirah Arab tiba-tiba menjadi penting sebagai wilayah transit perdagangan.
Institusionalisasi jilbab dan pemisahan perempuan mengkristal ketika dunia Islam bersentuhan dengan peradaban Hellenisme dan Persia di kedua kota penting tersebut. Peda periode ini, jilbab yang hanya merupakan pakaian pilihan (accasional costume) mendapat legitimasi (institusionalized) menjadi pakaian wajib bagi perempuan Islam.
B. Latar Belakang Turun Ayat Jilbab
Berkaitan dengan diperintahkannya jilbab, para ahli tafsir menyatakan bahwa kaum wanita pada zaman pra-Islam dulu biasa berjalan di depan kaum laki-laki dengan leher dan dada terbuka serta lengan telanjang. Mereka biasa meletakkan kerudung mereka di belakang pundak dengan membiarkan dadanya terbuka. Hal ini acapkali mendatangkan keinginan dari kaum laki-laki untuk menggodanya, karena mereka terkesima dengan keindahan tubuh dan rambutnya. Kemudian Allah memerintahkan kepada wanita untuk menutupkan kain kerudungnya pada bagian yang biasa mereka perlihatkan, untuk menjaga diri mereka dari kejahatan laki-laki hidung belang.
Di jazirah Arab pada zaman dahulu bahkan sampai kedatangan Islam, para laki-laki dan perempuan berkumpul dan bercampur-baur tanpa halangan. Para wanita pada waktu itu juga mengenakan kerudung, tapi yang dikerudungi hanya terbatas pada bagian belakang saja, adapun leher, dada, dan kalungnya masih kelihatan. Oleh karena tingkahnya tersebut dapat mendatangkan fitnah dan dapat menimbulkan kerusakan yang banyak, dan dari hal itulah Allah lalu menurunkan peraturan sebagaimana terdapat dalam surat an-Nu>r: 31 dan al-Ahz}a>b: 59.
M. Quraisy Shihab menyatakan, bahwa wanita-wanita muslim pada awal Islam di Madinah memakai pakaian yang sama secara general dipakai oleh semua wanita, termasuk wanita tuna susila dan hamba sahaya. Mereka semua juga memakai kerudung, bahkan jilbab, tapi leher dan dadanya mudah terlihat dan tak jarang juga mereka memakai kerudung tapi ujungnya dikebelakangkan hingga leher telinga dan dada mereka terus terbuka. Keadaan inilah yang digunakan oleh orang-orang munafik untuk mengoda wanita muslimah. Dan ketika mereka diingatkan atas perlakuan yang mereka perbuat mereka mengatakan “kami kira mereka hamba sahaya”. Hal ini disebabkan oleh karena pada saat itu identitas wanita muslimah tidak terlihat dengan jelas, dan dalam keadaan inilah Allah memerintahkan kepada wanita muslimah untuk mengenakan jilbabnya sesuai dengan petunjuk Allah kepada Nabi saw dalam surat al-Ah}za>b: 59.
Menurut pendapat yang lain, ayat-ayat h}ija>b turun secara bertahap. Pertama kali Allah memperingatkan kepada istri-istri Nabi saw, supaya tidak berbuat dan berprilaku seperti wanita kebanyakan ketika itu. Firman Allah dalam ayat berikut:
يا نساء النبي لستن كأحد من النساء إن اتقيتن فلا تخضعن بالقول فيطمع الذي في قلبه مرض و قلن قولا معروفا
Kemudian Allah berfirman dalam ayat berikut:
وقرن في بيوتكن و لا تبرجن تبرج الجاهلية الأولى
Setelah Allah memerintahkan kepada istri-istri Nabi saw, Allah meneruskan dengan satu larangan supaya tidak berhadapan langsung dengan laki-laki yang bukan mahram, sebagaimana firman-Nya :
وإذا سألتموهن متاعا فاسألوهن من وراء حجاب ذالكم أطهر لقلوبكم وقلوبهن
Selanjutnya istri-istri Nabi saw juga perlu keluar rumah untuk menunaikan hajatnya, maka Allah memerintahkan mereka untuk menutup aurat apabila hendak keluar rumah. Firman-Nya :
يأيها النبي قل لأزوجك و بناتك و نساء المؤمنين يدنين عليهن من جلابيبهن ذالك أدني أن يعرفن فلا يؤذين وكان الله غفورا رحيما
Dan menurut satu pendapat bahwa penetapan syari’at tentang pemakaian jilbab ini bertahap, ketententuannya turun secara berangsur-angsur sehingga manusia tidak dikejutkan dengan perubahan ketentuan dalam masalah aurat. Yang pertama, dalam surat al-A’ra>f ayat 26 dijelaskan bahwa Allah telah menurunkan (menyediakan) pakaian bagi manusia untuk menutup auratnya. Kedua, dalam surat an-Nu>r ayat 30, Allah memberi petunjuk agar kaum mukminin menahan diri dari untuk tidak melihat wanita yang bukan mahramnya dan memelihara kemaluannya (naluri seks). Sebaliknya pada surat an-Nu>r ayat 31, para mukminat juga diperintahkan agar tidak memandang kepada laki-laki dan menjaga kemaluannya. Bahkan dalam kelanjutan ayat ini para wanita juga dianjurkan untuk tidak menampakkan perhisannya selain apa yang biasa nampak kecuali kepada laki-laki mahramnya. Ketiga, pada surat al-Ah}za>b ayat 33, Allah menganjurkan kepada istri-istri Nabi agar tetap di rumah dan tidak berhias seperti orang-oarng jahiliyah yang cenderung mempertontonkan perhiasannya/ tubuhnya. Maksud dari larangan ini adalah untuk menghilangkan dosa dari keluarga Rasulullah. Keempat, dalam surat al-Ah}za>b ayat 59, Allah dengan tegas memerintahkan kepada Nabi agar mengatakan kepada istri-istrinya, anak-anaknya dan perempuan mukminat agar mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuhnya. Dalam ayat ini juga menjelaskan tujuan dari perintah-Nya tersebut, yaitu (a) supaya mereka lebih mudah dikenal sebagai perempuan baik-baik, merdeka dan telah berkeluarga, (b) supaya mereka tidak diganggu, disakiti, atau diperlakukan tidak senonoh oleh laki-laki, untuk membendung terjadinya perbuatan yang diharamkan.
Dengan hal ini dapat diketahui bahwa jilbab bukanlah milik Islam tapi ia merupakan warisan dari masa-masa sebelumnya yang kemudian mendapat legitimasi keagamaan dalam ajaran Islam.
C. Wacana Jilbab dalam Islam
Ada dua istilah yang digunakan dalam al-Quran yang digunakan untuk penutup kepala yaitu khumu>r dan jala>bi>b, keduanya dalam bentuk jamak dan generik. Kata khumu>r (QS an-Nu>r: 31) bentuk jamak dari kata khima>r dan jala>bi>b (QS al-Ah}za>b: 59) bentuk jamak dari kata jilbab.
Al-Qur’an dan al-H{adi>s\ tidak pernah secara khusus menyinggung bentuk pakaian penutup muka. Bahkan, dalam al-h}adi>s\, muka termasuk dalam pengecualian dan dalam suasana ih}ra>m tidak boleh ditutupi. Lagi pula, ayat-ayat yang berbicara tentang penutup kepala tidak satu pun disangkutpautkan dengan unsur mitologi dan strata sosial. Dua ayat tersebut di atas merupakan tanggapan terhadap kejadian khusus yang terjadi pada masa Nabi. Penerapan ayat seperti ini menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan ulama us}u>l fiqh, apakah yang dijadikan pengangan, apakah lafaznya yang bersifat umum ataukah sebab turunnya yang bersifat khusus.
Dua ayat tersebut dalam konteks keamanan dan kenyamanan kaum perempuan. Bandingkan dengan tradisi chador dalam tradisi Sasania-Persia, dianggap sebagai pengganti kemah menstrual (menstrual hut), tempat pengasingan perempuan menstruasi di luar perkampungan. Sedangkan dalam tradisi Yunani, jilbab dianggap sebagai indentitas kelas sosial tertentu.
Ayat khima>r turun untuk menanggapi model pakaian perempuan yang ketika itu menggunakan penutup kepala (muqani’), tetapi tidak menjangkau bagian dada, sehingga bagian dada dan leher tetap kelihatan. Menurut Muh}ammad Sa’id al-’Asyma>wi>, Surat al-Nu>r/24:31 turun untuk memberikan pembedaan antara perempuan mukmin dan perempuan selainnya, tidak dimaksudkan untuk menjadi format abadi (uri>du fi>hi wadl’ al-tamyiz, wa laisa hukman muabbadan).
Ayat jilbab juga turun berkenaan seorang perempuan terhormat yang bermaksud membuang hajat di belakang rumah di malam hari tanpa menggunakan jilbab, maka datanglah laki-laki iseng mengganggu karena dikira budak. Peristiwa ini menjadi sebab turunnya surat al-Ah}za>b/33:33. Menurut Al-’Asyma>wi> dan Muh}ammad Syahru>r, terkait dengan alasan dan motivasi tertentu (illat); karenanya berlaku kaidah: Suatu hukum terkait dengan illat, di mana ada illat di situ ada hukum. Jika illat berubah, maka hukum pun berubah.
Ayat h}ija>b, sangat terkait dengan keterbatasan tempat tinggal Nabi bersama beberapa istrinya dan semakin besarnya jumlah sahabat yang berkepentingan dengannya. Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan (perlu diingat, ayat h}ija>b ini turun setelah kejadian tuduhan palsu/ h}adi>s\ al-ifk terhadap ‘Aisyah), Umar mengusulkan agar dibuat sekat (Arab: h}ija>b) antara ruang tamu dan ruang privat Nabi. Tetapi, tidak lama kemudian turunlah ayat h}ija>b.
Sedangkan, h}adi>s\ yang berhubungan langsung dengan penggunaan jilbab hanya ditemukan dalam dua h}adi>s\ ah}a>d, h}adi>s\ yang diriwayatkan perorangan, bukan secara kolektif dan massif (masyhu>r atau mutawa>tir). H{adi>s\ pertama bersumber dari Aisyah, Rasulullah bersabda, “Tidak diperkenankan seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan Rasulnya jika sudah sampai usia balig menampakkan (anggota badannya) selain muka dan kedua tangannya sampai di sini,” sambil menunjukkan setengah hasta.
H{adi>s\ kedua dari Abu> Daud yang diterima dari Aisyah, yang menceritakan ketika Asma binti Abi> Bakr masuk ke rumah kediaman Rasulullah SAW, lalu Rasulullah mengatakan kepadanya, “Wahai Asma, sesungguhnya perempuan jika sampai usia balig, tidak boleh dipandang kecuali yang ini,” sambil Rasulullah menunjukkan wajah dan telapak tangannya.
Menurut al-’Asyma>wi>, kedua h}adi>s\ tersebut termasuk h}adi>s ah}a>d, bukan mutawa>tir atau masyhu>r. Berdasar dengan h}adi>s ah}a>d memang kontroversial di kalangan ulama Us}u>l Fiqh. Salah satu h}adi>s\ tersebut di-mursa>l-kan (jaringan penutur terputus sampai pada tabaqat sahabat) oleh Abu> Daud, karena bersumber dari Kha>lid ibn Darik yang bukan hanya tidak berjumpa (mu’a>s}arah) tetapi juga tidak ketemu (liqa>’) dengan Aisyah. Di samping itu, h}ad>is\ ini mulai populer pada abad ketiga Hijriah., dipopulerkan oleh Kha>lid ibn Darik, yang kemudian dimonumentalkan dalam Sunan Abu> Daud. Kalau sekiranya hadis ini direpresentasikan pada umat Islam, maka sejak awal jilbab menjadi tradisi kolektif keseharian (sunnah mutawa>tirah bi al-fi’l), bukannya dengan kualifikasi h}adi>s\ ah}a>d-mursa>l. Tradisi jilbab di kalangan sahabat dan tabi’in, menurut al-’Asyma>wi>, lebih merupakan keharusan budaya daripada keharusan agama.
Muh}ammad Syah}ru>r dalam bukunya Al-Kita>b wa al-Qur’a>n juga pernah menyatakan h}ija>b hanya termasuk dalam urusan harga diri, bukan urusan halal atau haram. Pada awal abad ke-19 Qa>sim Ami>n dalam Tah}ri>r al-Mar’ah sudah mempersoalkan hal ini. Namun perlu ditegaskan, meskipun pemikir itu berpandangan kritis terhadap jilbab, tetapi mereka tetap mengidealkan penggunaan jilbab bagi perempuan. Inti wacana mereka adalah bagaimana jilbab tidak membungkus kreativitas dan produktivitas perempuan, bukannya melarang atau menganjurkan pembukaan jilbab.
Ketika gerakan para mullah mulai marak di Iran pada tahun 1970-an dan mencapai puncaknya ketika Imam Khomeini berhasil menggusur Reza Pahlevi yang dipopulerkan sebagai antek dunia Barat di Timur Tengah, maka Khomeini menjadi lambang kemenangan Islam terhadap boneka Barat. Simbol-simbol kekuatan Khomeini, seperti foto Imam Khomeini dan komunitas Black Veil menjadi tren di kalangan generasi muda Islam seluruh dunia. Semenjak itu jilbab mulai menghiasi kampus dunia Islam, tidak terkecuali Indonesia. Identitas jilbab seolah sebagai lambang kemenangan.
Perkembangan berikutnya, ketika perang dingin blok Timur dan blok Barat usai berbarengan dengan semakin pesatnya kekuatan pengaruh globalisasi, maka timbul kecemasan lebih kompleks dari kalangan umat Islam. Islam dan berbagai pranatanya berhadapan langsung dengan dunia Barat. Apa yang dilukiskan Huntington benturan Barat-Islam akan terjadi pada pasca benturan Timur-Barat, menunjukkan adanya tanda kebenaran, terutama setelah peristiwa 11 September 2001.
Sebagian umat Islam percaya bahwa untuk mengembalikan kekuatan Islam seperti zaman kejayaan dulu, umat Islam harus kembali kepada formalisme keagamaan dan sejarah masa lampaunya. Semangat mengembalikan simbol dan identitas Islam masa lalu terus dipompakan, termasuk di antaranya penggunaan jilbab bagi kaum perempuan dan pemeliharaan kumis dan jenggot bagi laki-laki.
Kadar proteksi dan ideologi di balik fenomena jilbab di Indonesia tidak terlalu menonjol. Fenomena yang lebih menonjol ialah jilbab sebagai tren, mode, dan privacy sebagai akumulasi pembengkakan kualitas pendidikan agama dan dakwah di dalam masyarakat. Lagi pula, bukankah salah satu ciri budaya bangsa dalam potret perempuan masa lalu adalah kerudung? Tidak perlu over estimate atau fobia bahwa fenomena jilbab merupakan bagian dari jaringan ideologi tertentu yang menakutkan. Jilbab tidak perlu dikesankan seperti “imigran gelap” yang selalu dimata-matai, seperti yang pernah terjadi pada masa lalu yaitu fenomena jilbab dicurigai sebagai bagian dari ekspor Revolusi Iran. Sepanjang fenomena jilbab tumbuh di atas kesadaran sebagai sebuah pilihan dan sebagai ekspresi pencarian jati diri seorang perempuan muslimah, tidak ada unsur paksaan dan tekanan, itu sah-sah saja. Tidakkah manusiawi jika seseorang menentukan pilihannya secara sadar?
Pada masa sekarang, jilbab yang dicitrakan sebagai sebuah indentitas muslimah yang baik mengalami semacam distorsi yang bergeser dari aturan yang melingkupinya. Kaidah atau aturan berbusana semakin jauh dari etika islam. Jilbab yang semula merupakan hal yang boleh dikatakan harus, sekarang berubah menjadi semacam aksesoris pelengkap yang mendukung penampilan para wanita islam. Hal ini mengkhawatirkan. Berkaitan dengan latar belakang turunnya ayat jilbab yang meluruskan tradisi jilbab wanita pra-Islam yang melilitkan jilbabnya kepunggungnya, agar dijumbaikan ke depan dadanya, agar tidak memancing laki-laki iseng mengganggu, karena menganggap mereka adalah budak. Namun hal ini kembali terjadi pada masa belakangan ini. Berapa banyak kita menyaksikan para muslimah yang memakai jilbab dengan mencontoh kembali cara berjilbabnya wanita jahiliyyah. Seakan-akan dengan telah memakai jilbab dengan seadanya mereka telah memenuhi kewajiban mereka menutup aurat. Jilbab yang berkembang belakangan disebut dengan kudung gaul atau kudung gaya selebritis. Islam secara spesifik memang tidak menentukan bentuk dari busana muslimah, namun yang jelas menetapkan kaidah yang jelas untuk sebuah busana agar disebut sebagai busana muslimah.
Syarat-syarat busana muslimah menurut Al Albani adalah: (1) Busana yang meliputi seluruh badan selain yang dikecualikan (muka dan telapak tangan). (2) Busana (jilbab) yang tidak merupakan bentuk perhiasan kecantikan. (3). Merupakan busana rangkap dan tidak tipis. (4) Lebar dan tidak sempit, sehingga tampak bagian dari bentuk tubuh. (5) Tidak berbau wangi-wangian dan tidak tipis. (6) Tidak menyerupai busana laki-laki. (7) Tidak menyerupai busana wanita-wanita kafir. (8) Tidak merupakan pakaian yang menyolok mata atau aneh dan menarik perhatian.
Sedangkan menurut H. RAy Sitoresmi Prabu Ningrat, jilbab lebih merupakan produk sejarah, karena ajaran Islam sendiri tidak memberikan corak atau model pakaian secara rinci. Karena ia lebih merupakan mode, maka bisa berbeda atara daerah satu dengan daerah lainnya. Dan lagi menurutnya berdasarkan dari ajaran Islam yang terkandung dalam surat al-A’ra>f ayat 26, al-Ah}za>b ayat 59 dan an-Nu>r ayat 31 diketahui bahwa esensi dari pakaian yang bernafaskan taqwa bagi wanita mukminah mengandung unsur sebagai berikut, (a) menjauhkan wanita dari gangguan laki-laki jahat dan nakal, (b) menjadi pembeda antara wanita yang berakhlaq terpuji dengan wanita yang berakhlaq tercela, (c) menghindari timbulnya fitnah seksual bagi kaum laki-laki dan (d) memelihara kesucian agama dari wainta yang bersangkutan. Pakaian yang memenui empat prinsip ini seharusnya memiliki syarat-syarat sebagai berikut, yaitu, menutupi seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan, bahan yang digunakan tidak terlalu tipis sehingga tembus pandang atau transparant dan berpotongan tidak ketat hingga dapat menimbulkan semangat erotis bagi yang memandangnya.
Berkaitan dengan fungsi jilbab yang disyari’atkan dalam Islam ini adalah menutup aurat wanita yang diwajibkan menutupnya. Sampai seberapa ukuran tubuh yang harus ditutup dengan jilbab akan sangat tergantung dengan pemahaman ulama terhadap nas}-nas} al-Qur’an dan Sunnah yang bersifat z}anni> (dapat ditafsirkan), dan pendapat para fuqaha>’ dalam ijtiha>d mereka tentang batas aurat wanita sebagaimana yang digariskan dalam surat an-Nu>r ayat 31:”wala> yubdi>na z}i>natahunna illa> ma> z\ahara minha>…”. Perbedaan pendapat ulama tentang aurat tersebut adalah sebagai berikut:
a. Jumhu>r fuqaha>’, diantaranya maz}hab-maz}hab Maliki>, Sya>fi’i>, Ibn Hazm, Syi>’ah Zaidiah, yang masyhu>r dari Hambali dan salah satu riwayat dari maz}hab Hanafi dan Syi>’ah Imamiah yang diriwayatkan dari tingkatan tabi’in seperti At}a>’ dan H{asa>n Bas}ri> dan tingkatan sahabat seperti ‘Ali> ibn Abi> T{a>lib, A’isyah dan Ibn Abbas berpendapat bahwa:”hanya muka dan kedua telapak tangan saja yang bukan termasuk aurat wanita.”
b. Sufyan as\-S|auri, Mazin dan salah satu kalangan dari mazhab Hanafi mengatakan bahwa, muka dan kedua talapak tangan dan telapak kaki tidak termasuk aurat bagi kaum wanita.
c. Salah satu pendapat dari kalangan maz\ha>b Hambali> dan sebagian Syi’ah Zaidah dan Z{ahi>ri> berpendapat bahwa hanya muka saja dari tubuh wanita yang tidak ternasuk aurat.
d. Salah satu riwayat dari Ima>m Ah}mad ibn Hambal dan berpendapat Abu> Bakar ibn ‘Abdu ar-Rah}ma>n dari kalangan tabi’i>n mengatakan bahwa seluruh tubuh wanita tanpa pengecualian adalah aurat.
BAB III
PANDANGAN AL-MAUDU<DI < DAN AL-ASYMA<WIdi> dan Pandangannya tentang Jillbab.
1. Biografi Singkat al-Maudu>di>
Al-Maudu>di> dilahirkan pada tanggal 3 Rajab 1321 H/ 25 September 1903 M di Aurangabad, suatu kota terkenal di Kesultanan Hydarabad (Deccan), sekarang bernama Andra Prades di India. Ia dilahirkan dari keluarga terhormat, dan nenek moyangnya dari pihak ayah keturunan dari nabi Muhammad. Karena itulah ia memakai gelar “Sayyid”. Keluarganya mempunyai tradisi yang lama sebagai pemimpin agama, karena banyak dari nenek monyang al-Maudu>di> adalah syaikh-syaikh tarekat sufi yang terkenal. Salah seorang dari syaikh-syaikh yang tersebut adalah syaikh yang namanya itu al-Maudu>di> mengambil nama keluarga, yaitu Khawajah Qudbuddin Maudud (meninggal tahun 527 H), seorang syaikh terkenal dari tarekat Chisht. Nenek moyang al-Maudu>di> pindah ke anak benua India dari Chisht pada akhir abad ke 9 H/ abad ke-15 M. Orang yang pertama tiba kali tiba di anak benua India tersebut adalah orang yang sama namanya dengan al-Maudu>di> yaitu Abu> al-A’la> al-Maudu>di> (meninggal pada tahun 935 H).
Ayah al-Maudu>di>, Ah}mad H{asan, dilahirkan pada 1855, seorang ahli fiqh dan orang yang sangat saleh. Al-Maudu>di> adalah anak yang paling kecil dari tiga bersaudara. Setelah memperoleh pendidikan di rumahnya, tahun 1914 saat berumur menjelang sebelas tahun ia masuk ke sekolah menengah Madrasah Fauqaniyah di Aurangabad yang berafiliasi ke Usmaniyah University Heidarabad, suatu madrasah yang menggabungkan pendidikan modern Barat dengan pendidikan Islam Tradisional. Al-Maudu>di> menyelesaikan pendidikan menengahnya dengan sukses lalu memasuki perguruan tinggi Da>r al-’Ulu>m di Hydarabad. Tetapi waktu itu pendidikan formalnya tergangu kerena bapaknya sakit lalu meninggal dunia. Namun demikian hal tersebut tidak menggangu al-Maudu>di> untuk meneruskan pendidikannya, sekalipun dilakukan di luar lingkungan lembaga-lembaga pendidikan reguler. Pada permulaan tahun 1920-an al-Maudu>di> telah menguasai bahasa Arab, Persi dan Inggris di samping bahasa ibunya, Urdu, untuk mempelajari masalah-masalah yang menjadi perhatiannya secara bebas. Jadi sebagian besar dari apa yang ia pelajari itu diperoleh dengan belajar sendiri, sekalipun dalam waktu yang singkat ia memperoleh petunjuk dan pendidikan yang sistematis dari guru-gurunya yang cakap. Jadi pertumbuhan intelektual al-Maudu>di> sebagian besar adalah hasil dari usahanya sendiri dan dorongan yang ia terima dari guru-gurunya. Moral yang kuat, penghargaannya terhadap ketetapan dan kebenaran, sebagian memantulkan kesalehan dari orang-orang tuanya yang perhatiannya kepada pendidikan moral sangat tinggi.
Setelah berhenti dari pendidikan formal itu, al-Maudu>di> berbelok kepada jurnalisme untuk mencari nafkah hidup. Pada tahun 1918, ia telah menulis artikel-artikel untuk surat kabar Urdu yang terkemuka, dan pada tahun 1920, pada usia 17 tahun ia telah diangkat menjadi editor surat kabar Taj yang diterbitkan dari Jabalpore, suatu kota di propinsi yang sekarang bernama Madhya Pradesh, India. Pada akhir 1920-an, al-Maudu>di> datang ke Delhi dan pertama-tama memegang surat kabar Muslim (1921-1923) dan kemudian al-Jam’iyyat (1925-1928), dua surat kabar yang diterbitkan oleh Jam’iyyat al-Ulama Hind, suatu organisasi ulama-ulama muslim India.
Pada tahun 1924, al-Maudu>di> mulai mengambil perhatian dalam gerakan politik. Ia mengambil bagian dalam gerakan Khilafah pimpinan Muhammad Ali (w. 1931) dan Abu al-Kalam Azaz dan didukung oleh Liga Muslim India, serta terlibat dalam suatu gerakan rahasia. Tetapi ia segera meninggalkan organisasi tersebut karena tidak setuju dengan idenya. Al-Maudu>di> juga bergabung dengan gerakan Ta>rikh al-H{ijrah, suatu organisasi oposisi terhadap pemerintahan Inggris atas India, dan menganjurkan kepada seluruh umat muslim agar melakukan hijrah secara massal ke Afganistan. Namun dalam organisasi inipun ia berbeda pendapat dengan pimpinan gerakan ini, karena ia menekankan bahwa tujuan dan strategi dari gerakan seharusnya realistis dan terencana.
Pada tahun yang sama al-Maudu>di> juga dengan intens menerjemahkan beberapa buku bahasa Inggris ke bahasa Urdu. Nama al-Maudu>di> mulai mencorong saat dia dengan sangat jenial menulis sebuah buku berjudul al-Jiha>d Fi> al-Isla>m pada tahun 1930. Buku ini merupakan hasil serial tulisannya selama enam bulan yang muncul di majalah Al-Jam’iat dengan judul Islam kaqanun-i-jang (Islam’s Law of War). Buku-bukunya banyak mendapat sambutan dari berbagai kalangan dalam usaha mengembalikan Islam pada kejayaannya. Buku-bukunya seperti Toward Understanding Islam (Menuju Pemahaman Islam), Purdah (Hijab), Islamic Law and Constitutions (Hukum dan Konstitusi Islam) misalnya, merupakan buku-buku sangat berpengaruh dan banyak mendapat kajian serius para aktivis Muslim di berbagai negara Islam. Bahkan bukunya yang berjudul Toward Understanding Islam yang terbit tahun 1930 menjadi buku pegangan gerakan Ikhwan Muslimi>n di Mesir. Karya lain al-Maudu>di> yang tak kalah pentingnya adalah bukunya yang berjudul Tafhi>m Al-Qur’a>n. Sebuah buku tafsir dalam bahasa Urdu yang dia tulis sejak tahun 1942 dan baru selesai pada tahun 1972.
Ciri utama dari kitab tafsir ini adalah dalam menyampaikan arti dan pesan al-Qur’an dalam bahasa dan gaya yang menyentuh hati dan pikiran orang, serta menunjukkan relevansi al-Qur’an dengan masalah-masalah yang mereka hadapi setiap hari, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Ia menerjemah al-Qur’an itu secara langsung dan dengan idiom Urdu modern yang kuat. Terjemahannya lebih mudah dibaca dan lebih jelas dari pada terjemahannya secara harfiah dari al-Qur’an. Ia menyampaikan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi kehidupan manusia dan sebagai buku pertunjuk bagi gerakan untuk melaksanakan petunjuk itu dalam kehidupan manusia. Ia berusaha menerangkan ayat-ayat al-Qur’an dalam konteks dari pesannya yang kekal. Tafsir ini mempunyai pengaruh yang jauh terhadap pemikiran Islam kontemporer di anak benua India, dan dengan perantaraan terjemahannya mungkin di luar India.
Untuk mewujudkan ide-ide besarnya itu, al-Maudu>di> tidak cukup menulis, melainkan juga mendirikan organisasi Islam yang kemudian menjelma menjadi Partai Islam yang disebut dengan Jamaat Islami yang didirikan pada 26 Agustus 1940 di Lahore. Tidak hanya ide-ide al-Maudu>di>, JI ternyata juga realisasi dari ide-ide salah seorang pemikir besar Pakistan lainya, yakni Muh}ammad Iqbal. Sebagai gerakan Islam, JI memiliki tujuan yang sangat jelas yaitu: mencapai rid}a> Allah dengan cara penegakan ajaran agama di muka bumi. Keanggotaannya terbuka untuk semua orang. Namun untuk menjadi anggota JI diperlukan penyaringan yang ketat dan sangat selektif. Penyeleksian ditujukan untuk membuat fondasi pergerakan agar sangat kokoh dan tidak goyah. Sebab sebuah gerakan, dalam pandangan al-Maudu>di>, jika tidak memiliki lapisan dasar yang kuat dan dengan pandangan yang sangat kuat, akan sangat gampang dipatahkan. Soliditas pandangan dan wawasan para anggota jamaat menjadi agenda utama gerakan ini. Dan ini sesuai dengan cara perubahan masyarakat yang diajarkan al-Maudu>di>. Yakni perubahan yang dilakukan dari atas (top-down). Sebuah garapan yang mengincar tokoh-tokoh dan bukan massa. Sebab, dalam pandangan al-Maudu>di>, perubahan sebuah masyarakat akan gampang berjalan jika para elit pemikirnya telah mengerti Islam yang benar. Tak heran jika para pengikutnya berasal dari para golongan kampus. Cara seleksi yang ketat ini, agak sedikit menghambat partai ini untuk menggaet pengikut. Bahkan tak jarang dianggap eksklusif, karena membidik orang-orang tertentu. Tuduhan ini sebenarnya bersumber pada ketidakmengertian mereka terhadap cara dan tujuan JI.
Dalam rangka mengadakan perubahan, menurut al-Maudu>di>, harus diadakan revolusi Islam (inqala>b al-isla>mi>). Namun revolusi yang al-Maudu>di> maksud bukanlah revolusi berdarah-darah sebagaimana yang dilakukan oleh kaum komunis yang menginginkan perubahan dalam sekejap mata. Al-Maudu>di> menekankan, revolusi harus dilakukan dengan cara gradual dan dengan penanaman keyakinan akan kebesaran Islam.
Dalam sebuah pertemuan pada tahun 1945 ia menyatakan bahwa yang dia maksud dengan revolusi tidaklah mengerahkan seluruh massa. Revolusi yang dimaksudkan adalah inqilab-i-imamat (revolution in leadership). Dia mengatakan, yang mengadakan perubahan bukanlah otak masyarakat umumnya, namun para penggerak masyarakat dan peminpinnya. Al-Maudu>di> menyatakan, revolusi Islam adalah sebuah revolusi dengan esensi damai dan tanpa tumpahan darah. Makanya dia menekankan pendidikan sebagai sarana utama. Al-Maudu>di> sendiri dalam perjalanan hidupnya mengalami banyak cobaan yang dihadapi dengan gagah dan kokoh. Dia pernah divonis hukuman mati pada tahun 1954 karena protesnya atas kasus Ahmadiyah dan tuntutannya agar pemerintah menjadikan Ahmadiah sebagai minoritas-non muslim. Saat mendengar keputusan hukuman mati itu, dia berkata “Jika ajalku telah tiba, maka tak ada seorangpun yang mampu mencegah kematianku, namun jika kematian belum saatnya maka apapun usaha mereka tak mungkin akan berhasil juga.” Nyatanya hukuman itu dikoreksi menjadi hukuman 14 tahun dan akhirnya dia dilepas pada tahun 1955 setelah pengadilan menyatakan tak cukup bukti. Jamaat Islami kini bukan hanya berada di Pakistan, namun juga di India, Bangladesh, Srilanka, Kashmir dan Afghanistan. Setiap Jamaat yang ada di negeri itu memang tak memiliki hubungan langsung secara organisatoris dengan JI di Pakistan. Namun pikiran-pikiran dan programnya mereka ambil dari pikiran-pikiran al-Maudu>di>. Al- Maudu>di> meninggal pada 22 September l979 di New York, Amerika Serikat, karena penyakit ginjal. Dia dimakamkan di kota Lahore. Dan beberapa saat sebelum meninggal, dia sempat mendapat anugerah Faisal King Award dari kerajaan Arab Saudi berkat aktivitasnya dalam bidang pemikiran dan kontribusinya pada peradaban Islam.
2. Kondisi Sosial, Budaya dan Politik
Ditilik dari sejarah, India adalah sebuah negara besar yang berpenduduk jutaan jiwa. Pada masa kejayaannya, India merupakan kerajaan Islam yang berada di bawah undang-undang Islam. Ketika Inggris menjajah India, mereka mengeruk kekayaan dan bertujuan memperlemah umat Islam dan memperkuat golongan Hindu melalui proses pembauran nasional dengan meninggalkan identitas Islam. Kondisi umat Islam ketika itu berada pada puncak keterbelakangan dan kesengsaraaan. Negara Turki Usmani yang mewakili kepemimpinan kaum muslimin di seluruh dunia telah bergeser setelah kejatuhan Sultan Abdu>l H{ami>d. Pada tahun 1909, penjajah Inggris banyak menguras kekayaan negeri ini dan memerangi orang-orang muslim dan Hindu dengan jalan memecah belah mereka. Pada masa itu banyak ulama muslim berada dalam tingkat kebodohan, rendah diri, dan keteransingan yang parah, karena mereka tidak memahami ilmu-ilmu yang berkembang dari Barat, dan penemuan baru, sehingga mereka tidak mampu memberikan solusi alternatif terhadap permasalahan yang dialami umat. Hal ini memberikan peluang bagi penjajah menyebarkan provokasi bahwa agama bertentangan dengan ilmu pengetahuan, kemajuan dan peradaban.
Pada saat al-Maudu>di> dilahirkan, kondisi keluarganya tergolong keluarga syarif sebagai tokoh yang menyebarkan benih Islam di bumi India. Keluarga al-Maudu>di> pernah mengabdi pada Moghul dan dekat dengan istana selama pemerintahan Bahadur Syah Zafar, penguasa terakhir dari dinasti tersebut. Namun setelah adanya pemberontakan besar dan jatuhnya dinasti Moghul, keluarga al-Maudu>di> kehilangan statusnya. Warisan pengabdian mereka pada penguasa muslim menyebabkan mereka dapat terus dekat dengan kejayaan sejarah muslim di India, dan hal ini menyebabkan mereka tidak akur dengan pemerintahan Inggris yang bercokol di India.
Latar belakang pendidikan ayah al-Maudu>di>, Sayyid Ahmad Hasan yang pernah mengeyam pendidikan sekolah tinggi Anglo-Oriental Muslimnya Sayyid Ahmad Khan di Aligharh dan kemudian menimba ilmu hukum di Allahabad dan sangat menyukai kehidupan tasauf dengan menciptakan lingkungan sendiri yang sangat religius dan zuhud bagi anak-anaknya.
Setelah kematian ayahnya, minat al-Maudu>di> untuk terjun ke politik makin kuat yang diilhami oleh semangat nasionalisme India. Keberadaan gerakan Khilafah yang berada di Jabalpur mendorong ia untuk ikut aktif memobilisasi massa untuk mendukung Partai Kongres. Namun takkala gerakan khilafah runtuh pada 1924, ia tidak percaya lagi pada Partai Kongres karena hanya mengutamakan kepentingan Hindu dengan kedok sentimen nasionalis. Begitu juga nasionalisme hanyalah merupakan penyesat dan perong-rong persatuan orang-orang muslim. Hal yang sama juga pernah terjadi terhadap orang-orang Turki dan Mesir yang menyebabkan penolakan terhadap imperium Usmaniah dan kekhilafahan Islam.
Di India saat itu terjadi dua peristiwa penting yang merupakan katalisator yang mendorong al-Maudu>di> mengambil peranan sebagai pemimpin, pemikir Islam dan juru bicara gagasan-gagasan Islam sebagai konsepsi alternatif bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pada tahun 1925, seorang tokoh dari gerakan kebangunan Hindu, Swami Shandhanad, dibunuh oleh seorang ekstrimis Islam yang berkeyakinan bahwa salah satu tugas agama bagi tiap orang muslim adalah membunuh orang-orang kafir. Peristiwa tersebut menyulut perdebatan terbuka dan sengit. Dalam perdebatan tersebut terlontar pendapat bahwa Islam adalah agama yang disiarkan dengan pedang (kekerasan). Pada saat itu, seorang tokoh Islam India, Muhammad Ali> Jauhar, dalam suatu pidatonya sambil menangis menghimbau bahwa apakah tidak ada tokoh Islam yang sanggup menjawab tuduhan tersebut. Al-Maudu>di> merasa terpanggil dan merasa bertangungjawab memenuhi himbauan terebut. Dia kemudian menulis artikel pada tahun 1927 yang diterbitkan menjadi sebuah buku dengan judul Jiha>d dalam Islam. Dalam buku itu, al-Maudu>di> tidak hanya menjelaskan butir-butir pemikirannya yang kemudian hari berkembang menjadi konsepsi Islam tentang kemasyarakatan dan kenegaraan.
Peristiwa penting kedua yang amat mempengaruhi sikap dan pemikiran al-Maudu>di> adalah gerakan kemerdekaan India, khususnya masalah hari depan hubungan antara umat Islam dan Hindu selepas India dari penjajahan Inggris. Pada tahun 1930, waktu rakyat India, baik muslim maupun Hindu, dengan sangat keras menentang dan mendesak untuk dapat lepas dari penjajahan Inggris, al-Maudu>di> dengan sangat keras juga menentang keras pilihan-pilihan yang ditawarkan kepada umat Islam, baik oleh Partai Kongres di bawah pimpinan Mahtma Gandhi maupun Liga Muslim dibawah pimpinan Ali> Jinnah. Sadar akan realitas kuatnya komunalisme agama di India, al-Maudu>di> dapat merasakan keprihatinan hidup Islami dalam negara India nanti, yang jelas dalam dominasi yang kuat oleh Hindu. Keprihatinan ini bertambah lagi dengan kuatnya anggapan bahwa Mahatma Gandhi memperlihatkan kecendrungan untuk bersandar pada dukungan golongan Hindu. Dalam hal ini, al-Maudu>di> menyatakan, bahwa umat Islam India adalah suatu masyarakat sendiri yang memiliki tata nilai moral yang berbeda dan pola kehidupan yang khusus, dan di antara umat Islam dan Hindu terdapat ketidakcocokan yang mendasar. Oleh karenanya menurut al-Maudu>di>, tidak mungkin Islam bergabung dengan umat Hindu dalam satu negara.
Penolakan nasionalisme Islam di India menyebabkan ia tidak dapat bersatu dengan Liga Muslim yang dipimpin oleh Muhammad Ali Jinnah. Al-Maudu>di> menganggap Ali Jinnah dan kawan-kawannya adalah sekuleris yang sudah terpengaruh Barat, dan tidak akan mempu memberikan kepemimpinan Islami.
Dengan sikapnya yang menentang masuknya umat Islam India dalam satu negara tunggal India yang akan didominasi umat Hindu dan penolakannya tarhadap gagasan mendirikan negara nasional Islam dibawah pimpinan Liga Muslim yang sekuler itu. Al-Mau>dudi> berpendirian bahwa sebagai jalan keluar harus diadakan revolusi Islam sebagai langkah awal terciptanya masyarakat dan negara Islam. Revolusi yang dimaksud adalah merupakan perjuangan Islam.
3. Istidla>l al-Maudu>di> tentang Jilbab.
Al-Maudu>di> memulai pendapatnya dengan kata-kata bahwasanya hal yang paling pertama diterapkan oleh Islam dalam hukum kemasyarakatan adalah menghapuskan ketertelanjangan dan menjelaskan batasan-batasan aurat laki-laki dan perempuan. Hal ini dikarenakan pada zaman jahiliyah dulu orang Arab biasa bertelanjang di depan teman-teman mereka, tanpa merasa malu. Dan mereka juga terbiasa untuk tidak menggunakan penutup ketika mandi dan buang hajat. Dan ketika melakukan tawaf di Ka’bah, baik laki-laki maupun perempuan, melakukannya dengan bertelanjang, dan menganggapnya salah satu dari perbuatan yang baik dan paling utama. Secara umum, kondisi cara berpakaian wanitanya ketika itu menampakkan sebagian dadanya. Al-Maudu>di> mengatakan bahwa kondisi inilah yang sekarang terjadi di Eropa, Amerika dan Jepang.
Sebelum menjelaskan pendapat al-Maudu>di> tentang jilbab, maka perlu juga disebutkan hal yang berkenaan dengan penutupan aurat dan hal yang bersangkutan secara langsung dengan penutupan aurat dengan menggunakan jilbab itu.
Maka, ketika Islam datang, hal inilah yang yang pertama kali disorot. Sebagai mana firman Allah:
يابني أدم قد أنزلنا عليكم لبسا يواري سوءاتكم وريشا
Setelah ayat ini turun, yang menunjukkan kewajiban untuk menutup tubuh dengan pakaian atas setiap laki-laki dan perempuan, maka Islam menetapkan batasan-batasan aurat secara jelas antara aurat laki-laki dan perempuan. Aurat menurut syara’ adalah bagian dari tubuh yang wajib untuk ditutup. Dan ditetapkan bahwa aurat laki-laki berada diantara pusar dan lutut, dan diperintahkan agar tidak memperlihatkan bagian tersebut kepada siapapun. Hal ini berdasarkan kepada h}adi>s\
عن أبي أيوب الأنصاري عن النبي صلي الله عليه و سلم: ما فوق الركبتين من العورة و أسفل من السترة من العورة
Adapun batasan aurat wanita lebih luas lagi dari laki-laki, karena mereka diperintahkan agar menjaga seluruh tubuhnya, kecuali muka dan kedua tangannya, dari seluruh manusia, termasuk ayah, saudara dan seluruh kerabat laki-laki, kecuali suaminya.
Sebagaimana disebutkan dalam h}adi>s\- h}adi>s\ berikut:
لا يحل لامرأة تؤمن بالله و اليوم الأخر أن تخرج يدها إلى ههنا و قبض نصف الذراع
الجارية إذا حاضت لم يصلح أن يرى منها إلا وجهها و يدها إلى المفصل
Dan dalam sebuah riwayat juga pernah diceritakan perihal Aisyah yang mengenakan perhiasan ketika keluar rumah bersama dengan anak saudaranya Abdullah ibn at}-T{ufail, yang membuat Nabi tidak senang. Nabi Bersabda:
إذا عرقت المرأة لم يحل لها أن تظهر إلا وجهها و إلا ما دون هذا وقبض على ذراع نفسه فترك بين قبضة و بين الكف مثل قبضة أخرى
و كانت أسماء بنت أبى بكر رضي الله عنهما أخت زوج النبي صلي الله عليه وسلم فدخلت عليه ذات مرة في لباس رقيق يشف عن جسمها فأعرض النبي عنها و قال يا أسماء! إن المرأة إذا بلغت المحيض لم يصلح أن يرى منها إلا هذا و هذا وأشار إلى وجهه و كفه
Dari seluruh riwayat-riwayat yang telah disebutkan diatas, dapat diketahui bahwa, seluruh tubuh wanita, kecuali muka dan tangannya, merupakan aurat yang harus ditutup, sekalipun di hadapan karib kerabatnya di rumah. Wanita tidak boleh menyingkapkan auratnya di hadapan siapapun selain suaminya, baik itu bapaknya, saudaranya ataupun anak saudaranya. Dan juga tidak diperbolehkan memakai pakaian yang tipis yang dapat memperlihatkan auratnya.
Hal tersebut di atas berkenaan dengan wanita yang talah mulai baliq. Dan hal ini terus berlaku selama mereka masih mempunyai keinginan untuk merasakan kelezatan jasmaniyah. Apabila masa itu telah lewat maka ada semacam keringanan yang diberikan kepadanya.
Hal ini diisyaratkan dalam Firman Allah:
والقواعد من النساء اللاتي لا يرجون نكاحا فليس عليهن جناح أن يضعن ثيابهن غير متبرجات بزينة و أن يستعففن خير لهن
Keringanan ini hanya ditujukan kepada wanita yang telah lemah disebabkan karena usia yang telah tua dan orang lain melihat kepadanya kecuali dengan pandangan yang memuliakan dan karena hormat. Maka atas wanita seperti ini, tiadalah mengapa ia membuka khima>rnya di rumahnya.
Dan maksud lain dari hal ini ditetapkan adalah agar laki-laki tidak memasuki rumah kecuali dengan meminta izin terlebih dahulu terhadap ahli bait, sehingga dia tidak melihat wanita dalam keadaan yang tidak sepantasnya dilihat.
Ini juga dimaktubkan dalam Firman Allah:
وإذا بلغ الأطفال منكم الحلم فليستأذنوا كما استأذن الذين من قبلهم
Dan dalam ayat ini telah diisyaratkan adanya atas umur, yaitu balighnya seseorang dengan cara mimpi basah yaitu munculnya perkembangan perasaan kearah kesenangan jasmani. Apabila anak telah sampai pada umur ini, maka ketentuan ukum ini juga akan diberlakukan kepadanya.
Di samping hal ini, juga diperintahkan kepada orang asing agar tidak masuk ke dalam rumah tanpa mendapat izin dari tuan rumah terlebih dahulu. Sebagaimana firman Allah:
يأيها الذين أمنوا لا تدخلوا بيوتا غير بيوتكم حتى تستأنسوا و تسلموا على أهلها
Ini merupakan maksud memberi batas yang jelas antara tuan rumah dengan orang lain diluar mereka, sehingga kehidupan rumah tangga antara laki dan perempuan tersebut aman dari pandangan orang-orang asing.
Hal ini pernah dialami sendiri oleh Nabi pada suatu saat, ketika para sahabat berpindah dari satu ruangan keruangan yang lain di rumah Nabi. Sedangkan beliau sedang bersama dengan seorang sahabat yang bernama Mudri yang sedang mencukur rambut beliau. Maka beliau besabda:
لو أعلم أنك تنظر لطغت به في عينك, إنما جعل الاستئذان من أجل البصر
Setelah itu Nabi lalu mengumumkan:
من اطلع في بيت قوم بغير إذنهم فقد حل لهم أن يفقؤا عينيه
Kemudian beliau memerintahkan kepada laki-laki asing agar tidak masuk ke dalam rumah apabila ingin meminta sesuatu, akan tetapi mereka dapat meminta dari belakang h}ija>b. Firman Allah:
وإذا سألتموهن متاعا فاسألوهن من وراء حجاب. ذالكم أطهر لقلوبكم و قلوبهن
Dalam ayat ini terdapat isyarat yang jelas mengenai illat hukum yang terdapat dalam akhir ayat yang berbunyi, “z\a>likum at}ha>r li qulu>bikum wa qulu>bihin”, yang bermaksud agar antara laki-laki dan wanita tidak terlibat dalam suatu hal yang dapat menimbulkan fitnah. Dan batasan yang diletakkan sebagai h}ija>b tersebut merupakan larangan terhadap percampuran antara laki-laki dan perempuan.
Hal selanjutnya yang berkenaan dengan penjagaan terhadap keterbukaan aurat itu adalah dilarangnya berduaan dengan lawan jenis dan menyentuh. Al-Maudu>di> mengatakan, batasan ketiga yang telah ditetapkan Islam adalah tidak boleh bagi laki-laki berdua-duaan dengan wanita yang bukan istrinya dan menyentuh tubuhnya, walaupun laki-laki itu masih termasuk kerabatnya. Al-Maudu>di> mendasarkan pendapatnya ini kepada h}adi>s\ yang berbunyi:
إياكم والدخول على النساء. فقال رجل من الأنصار: يا رسول الله! أفرأيت الحمو؟ قال: الحمو الموت
Begitu juga dengan menyentuh perempuan. Dalil yang banyak digunakan adalah h}adi>s\ yang diriwayatkan dari ‘Aisyah yang menceritakan peristiwa pembai’atan terhadap rasul yang dilakukan oleh para wanita. Pada waktu itu Nabi tidak menyalami mereka seperti yang beliau lakukan ketika membai’at kaum laki-laki, tapi beliau hanya menjawab dengan ucapan saja. Hal ini sesuai dengan perkataan Nabi: Aku tidak bersalaman dengan perempuan, sesungguhnya ucapanku kepada seratus wanita sama dengan ucapanku kepada satu wanita.
Beralih kepada pendapat al-Maudu>di> mengenai jilbab didasarkan kepada penafsirannya terhadap ayat berikut:
يأيها النبي قل لأزوجك وبناتك و نساء المؤمنين يدنين عليهن من جلابيبهن ذالك أدنى أن يعرفن فلا يؤذين
Al-Maudu>di> menafsirkan jala>bi>b, jamak dari jilbab dengan pakaian yang besar, khima>r atau rida’. Al-Maudu>di> berpendapat bahwa ayat turun khusus tentang menutup wajah. Dan dari ayat ini juga dapat dipahamai bahwa wanita ketika keluar rumah diharuskan mengenakan pakaian yang tertutup rapat seperti dengan menggunakan khima>r atau niqab, yang merupakan penanda bahwa mereka adalah wanita yang mulia dan agar mereka tidak diganggu oleh orang jahat.
Al-Maudu>di> juga mengebutkan bahwa seluruh ahli tafsir juga berpendapat dengan pendapat yang sama dalam menafsirkan ayat ini. Antara lain Ibn Abbas, Ibn Sirri>n, at-T{abari>, Abu> Bakar al-Jas}as}, ar-Ra>zi> dan al-Baid}awi>. Al-Maudu>di> menambahkan bahwa jelas bahwa dari masa sahabat yang terpercaya sampai dengan abad ke-8 Hijriah, seluruh ahli ilmu memahami ayat dengan satu pemahaman yang sama. Dan apabila merujuk kembali kepada h}adi>s\-h}adi>s\, maka diketahui bahwa setelah ayat ini turun pada masa nabi, wanita disyari’atkan mengenakan niqa>b secara umun. Dan mereka dilarang keluar melakukan perjalanan.
Dalam sunan Abu> Daud dan Tirmi>z}i>, Muwat}t}a>’ dan kitab h}adi>s\ lainnya, bahwasanya Nabi memerintahkan bahwa wanita yang sedang ihra>m tidak boleh mengenakan niqa>b atau pun memakai kaus tangan. Beliau juga melarang kaum wanita mengenakan dua sarung tangan dan niqa>b dalam ihra>m mereka.
Kedua h}adi>s\ di atas menunjukkan dengan jelas bahwa kaum wanita pada masa Nabi saw telah terbiasa mengenakan niqa>b dan dua sarung tangan, kemudian mereka dilarang mengenakannya ketika ihram. Ketentuan hukum ini tidak bertujuan agar wajah kaum wanita ditampak-tampakkan, namun pada hakikatnya bertujuan agar qina’ tidak dianggap bagian ihram yang harus ditutupi sebagaimana qina’ ini menjadi bagian pakaian mereka sehari-hari. Dalam h}adi>s\-h}adi>s\ yang lain, diriwayatkan bahwa para istri Nabi saw dan kaum muslimah pada umumnya menutupi wajah mereka dari pandangan orang lain ketika mereka ihra>m. Dalam Suna>n Abu> Da>ud diriwayatkan dari ‘Aisyah, ia berkata, “Suatu saat, rombongan yang mengendarai onta melewati kami yang sedang ihram bersama Rasul saw. Apabila rombongan itu lewat di depan kami, maka salah seorang dari kami akan menjulurkan jilbabnya dari kepalanya untuk menutupi wajahnya, dan apabila mereka telah lewat, maka kami menyingkapnya lagi.”
Dalam Muwatta Ima>m Ma>lik diriwayatkan dari Fatimah binti Munzir, “Kami menutupi wajah kami, tatkala kami (Kaum wanita) sedang ihram, dan saat itu kami bersama Asma’ binti Abu> Bakar as-Siddiq, dan ia tidak mengingkari perbuatan kami.” Dalam Fath al-Bari, diriwayatkan dari ‘Aisyah. Ia berkata, “Seorang wanita mengulurkan jilbabnya dari atas kepalanya untuk menutupi wajahnya.”
Dari beberapa riwayat di atas inilah al-Maudu>di> mendasarkan argumentsinya tentang wajibnya wanita mengenakan jilbab. Jelas bahwa al-Maudu>di> selalu mendasarkan pendapatnya berdasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an, h}adi>s\ dan pendapat para sahabat Nabi. Dari hal ini pula bahwa pemahaman yang melatarbelakangi pendapatnya tentang jilbab ini merupakan manifestasi dari keperihatinan beliau terhadap kondisi masyarakat tempat beliau berada khususnya, dan negara Islam lainnya secara umumnya. Hal ini dikarenakan munculnya budaya yang sangat permisif yang tanpa batas sebagai akibat dari maraknya pertarungan budaya lokal dengan budaya yang datang dari luar. Hal disikapi oleh al-Maudu>di> dengan menjadikan masa Nabi dan sahabat sebagai acuan dan contoh yang harus dilaksanakan dan tentu saja dicontoh. Orientasi berfikir seperti inilah yang memunculkan gagasan beliau mengenai jilbab tersebut diatas. Sehingga kesan yang tertangkap adalah bahwa al-Maudu>di> sangat konsisten namun di satu sisi sangat terpaku kepada sejarah Nabi (orientasi sejarah) dan mendasarkan pendapatnya dengan sumber yang mencul pada masa Nabi tanpa melakukan penafsiran ulang (reinterpretasi) terhadap teks tersebut.
B. al-Asyma>wi> dan Pandangannya tentang Jilbab.
1. Biografi Singkat dan Kondisi Sosial dan Budaya.
Tidak cukup banyak sumber yang menyebutkan tentang keberadaan biografi dari al-Asyma>wi>. Namun yang jelas bahwa Muhammad Sa’id al-Asyma>wi> adalah seorang juris, pakar perbandingan hukum Islam – hukum konfensional, dan penantang utama terhadap ideologisasi agama Islam di negeri Piramida Mesir. Buku utamanya yang berjudul Al-Islam al-Siyasi (Islam Politik), merupakan magnun opus-nya al-Asyma>wi> yang banyak dicari dan dijadikan rujukan untuk memahami nalar (imaji) dan fenomena Islam politik di Timur Tengah umumnya.
Al-Asyma>wi> mengalami karir hukum dan intelektualnya dalam instansi pemerintah. Beliau adalah mantan ketua Peradilan Tinggi Kairo. Meskipun banyak mendapat kecaman dan ancaman dari bebearapa kelompok ekstrimist di Mesir karena karangan-karangannya, al-Asyma>wi> tetap memilih hidip di Kairo dengan mendapat perlindungan dari pemerintah selama 24 jam.
Al-Asyma>wi> meraih gelar akademiknya sebagai sarjana hukum dari Universitas Kairo tahun 1954. Karir hukumnya dimulai dari bawah sebagai asisten jaksa di Propinsi Aleksandria, sampai pada puncaknya sebagai Hakim Agung. Beliau aktif menulis di berbagai media massa di Mesir, diantaranya kolom tetap di majalah mingguan Oktober, dan juga menulis berbagai buku dalam bidang hukum yang banyak diminati.
Kehidupan al-Asyma>wi> yang secara akademik dekat dengan masa dimana negeri Mesir dikenal sebagai gudang ilmuan yang sangat merdeka dalam mengutarakan pendapat mereka. Di tengah kondisi seperti inilah al-Asyma>wi> tumbuh dan berkembang. Mesir pada masa itu sedang mengalami transformasi intelekstual yang sangat cepat. Kita mengenal bebarapa tokoh yang sangat lantang menyuarakan pendapatnya yang kesemuanya berasal dari negeri Piramida ini. Sebutlah misalnya, Qosim Amin, Nawaal el Sadawi, Huda Sa’rawi, Fatima Marnisi, dan Fadwa el Guindi serta lainnya. Belum lagi tokoh-tokoh yang mencurahkan segala pemikirannya untuk kemajuan Mesir. Diatara mereka ada tokoh-tokoh yang sangat disegani dalam dunia pemikiran Islam, contoh saja al-Afgani, Rasyid Ridho, Muhammad Abduh dan lain-lain. Secara tidak langsung maupun tidak langsung, al-Asyma>wi> bersinggungan dengan pemikiran-pemikiran yang sangat plural dan liberal ini. Termasuk ketika dia dalam pendidikannya, tentunya dia tidak asing dengan pergulatan wacana yang ada di Mesir, sampai ketika akhirnya dia diangkat menjadi hakim Agung pemerintah, yang otomatis dia harus menjawab permasalahan yang tidak hanya berkaitan dengan kondisi masyarakat secara aktual, tetapi juga tapi juga berkaitan dengan hukum yang bersifat kontemporer yang tidak bisa dengan hanya mengunakan pendekatan hukum islam (fiqh) semata-mata tanpa menggunakan piranti-piranti lainnya berupa sosial, budaya, politik dan ekonomi.
Oleh karena itu, dikarenakan pola pikir yang begitu liberal dalam menjawab persoalan umat, maka tak jarang ia mendapat ancaman dan serangan dari ulama-ulama yang berseberangan dengannya, sehingga pernah ia diancam dibunuh karena ia dianggap telah kafir. Oleh karena itulah, sampai sekarang ia masih hidup dibawah perlindungan aparat pemerintah Mesir selama 24 jam.
2. Istid}la>l al-’Asyma>wi> tentang Jilbab.
Permasalahan jilbab menurut al-’Asyma>wi> muncul dalam wacana pemikiran keislaman setelah beberapa kelompok menyebutnya sebagai kewajiban Islam. Sebagian menghukuminya fardu a’in, kewajiban individu setiap perempuan mulimah yang sudah baligh. Dari kewajiban ini, muncul tuduhan bagi mereka yang tidak ber-jilbab sebagaimana yang ditetapkan kelompok ini, telah keluar dari agama dan mendurhakai syari’at, dan pentas mendapat sanksi yang sepadan dengan ilhad, orang-orang atheis; yaitu hukum bunuh (Idam). Sementara itu, busana yang menyerupai jilbab yang dikenakan gadis-gadis dan perempuan di bebarapa negara non-muslim, oleh kelompok tersebut hanya dianggap sebagai slogan politik belaka, bukan kewajiban agama. Lalu apakah hakikat jilbab, apa yang dimakud dengan jilbab, dan landasan keagamaan apa yang digunakan oleh mereka yang menganggapnya sebagai kewajiban agama, dan mengapa sebagian menganggapnya sebagai hanya slogan politik dan bukan kewajiban agama.
Untuk menjawab ini, al-Asyma>wi> berusaha mengeksplorsi dan menelusuri ayat-ayat al-Qur’an serta h}adi>s\ yang menjadi landasan bagi pendukung jilbab ini.
Ada tiga hal pokok yang dipaparkan oleh al-’Asyma>wi> dalam rangka menjelaskan polemik ini.
Soal pertama adalah berkaitan dengan ayat h}ija>b. H{ija>b secara kebahasaan berarti penutup (assatir). Hajbu asy-Syay berarti satruhu (menutupnya). Perempuan berhijab berarti perempuan yang bertutup dengan penutup tertentu. Kalau ditelusuri lebih lanjut, ayat al-Qur’an yang berbicara mengenai h}ija>b perempuan, adalah perintah yang khusus bagi istri-istri Nabi saja. Ayat itu asal muasalnya berarti (perintah) mengenakan penutup/ tirai yang memisahkan mereka dengan kaum laki-laki mukmin.
Dalam firman Allah:
يأيها الذين أمنوا لا تدخلوا بيوت النبي إلا أن يؤذن لكم إلى طعام غير ناظرين إناه ولكن إذا دعيتم فادخلوا فإذا طعمتم فانتشروا ولا مستئنسين لحديث إن ذالكم كان يؤذى النبي فيستحى منكم و الله لا يستحى من الحق و إذا سألتموهن متاعا فسألوهن من وراء حجاب ذالكم أطهر لقلوبكم و قلوبهن وما كان لكم أن تؤذوا وسول الله ولا أن تنكحوا أزواجه من بعده أبدا إن ذالكم عند الله عظيما
Ayat di atas, setidaknya mengandung tiga produk hukum: Pertama: menerangkan etika yang patut diperhatikan kaum mukmin bila diundang menghadiri resepsi atau perjamuan yang diselenggarakan Nabi. Kedua, anjuran perlunya meletakkan tirai antara istri-istri Nabi dengan kaum mukmin umumnya. Ketiga, larangan mengawini bekas istri-istri setelah beliau meninggal.
Menyangkut produk hukum yang pertama, konteks turunnya ayat tersebut dapat diceritakan sebagai berikut. Konon, ketika Nabi menikahi Zainab binti Jahsy (mantan isrti Zaid bin Usamah, bekas anak angkat beliau). Karena kejadian itu, Allah menurunkan ayat ini guna menasehati kaum mukmin, agar tidak memasuki rumah Nabi ketika diundang dalam sebuah resepsi kecuali ketika setelah makanan sudah matang, agar bila setelah usai makan, hendaklah mereka segera membubarkan diri, dan tidak berlama-lama duduk sambil berbual-bual.
Konteks produk hukum kedua, yaitu perintah hijab yang khusus bagi istri-istri Nabi, adalah sebagai berikut. Suatu ketika, Umar bin Khattab pernah menyakan kepada Nabi,” Wahai rasulullah, istri-istrimu banyak didatangi orang-orang- entah mereka orang baik maupun jahat- untuk berbagai keperluan. Tidakkah lebih baik sekiranya engkau perintahkan mereka memasang hijab?” Oleh karena usulan Umar tersebut, maka turunlah ayat ini. Sebagian pendapat mengatakan, ketiga produk di atas, turun bersamaan ketika resepsi pernikahan Nabi dengan Zainab. Produk hukum tersebut menerangkan kepada kaum mukmin, (pertama) tentang etika yang baik dalam memenuhi undangan Nabi; (kedua), tentang perluya meletakkan tirai antara mereka dengan istri-istri Nabi; dan (ketiga), larangan mengawini bekas istri Nabi setelah beliau wafat. Pendapat demikian, tidak menutup kemungkinan adanya dua versi tentang konteks atau sebab turunnya ayat.
Maksud umum ayat tersebut adalah anjuran dibuatkan tirai pemisah antara istri-istri Nabi dengan kaum mukmin, sehingga bila mereka ingin berbicara dengan salah seorang dari istri Nabi, atau meminta sesuatu, agar melakukanya diantara penghalang (tirai). Dengan demikian mereka tidak saling berpandangan-pandangan baik muka tubuh atau keduanya.
H{ija>b yang berarti penutup ini, adalah khusus diperuntukkan bagi istri-istri Nabi, tidak termasuk hamba sahaya, putri-putri beliau, dan perempuan mukminah lainnya. Dalil tentang itu dapat dikemukakan dari apa yang diriwayatkan dari Anas ibn Malik. Diceritakan, suatu saat ketika Nabi pernah bermukim antara Khaibar dan Madinah selama tiga hari ketika menikahi Shafiyah binti Huyai. Kaum mukminin ketika itu berinisiatif perlunya memberi penutup antara mereka dengan istri Nabi tersebut. Sebab secara tradisional dikenal, kalau dia tidak ditutupi maka dia akan dianggap sebagai hamba sahaya biasa. Ketika berpergian, Nabi mendudukkannya di belakangnya, sambil menggantungkan tirai antara dia dengan kaum mukminin lainnya. Dengan begitu, kaum mikminin paham kalau beliau adalah istri Nabi, dan sudah menjadi ibu bagi kaum mukminin umumnya, bukan lagi berstatus sebagai hamba sahaya.
Hal yang kedua yang dilihat oleh al-’Asyma>wi> adalah persoalan ayat Khima>r. Ayat yang termaktub sebagai berikut:
و قل للمؤمنات يغضضن من أبصارهن ويحفظن فروجهن ولايبدين زينتهن إلاماظهر منها وليضربن بخمرهن علي جيوبهن
Secara historis, ayat ini turun dalam kondisi dimana kaum permpuan di zaman Nabi sudah mempunyai tradisi menutup kepala mereka dengan khimar. Yaitu menjumbaikan kerudung ke bagian punggung, sementara itu bagian sebelah atas dada dan leher tidak tertutup. Ayat ini lantas menganjurkan kaum mukminah untuk meralat tradisi itu dengan menjumbaikan kerudung itu justru ke bagian dada. Atas anjuran tersebut, maka mereka lantas menjumbaikan kerudungnya ke bagian dada agar tertutupi.
Illat, logika atau argumen hukum ayat ini berkaitan dengan koreksi atas tradisi yang telah berkembang ketika ayat ini turun, dimana perempuan ketika itu mengenakan kerudung untuk menutup kepala sembari menjumbaikannya ke punggung, sementara bagian dada tetap transparan. Untuk itu, ayat ini menganjurkan agar lebih mengutamakan menutup bagian dada sebagai koreksi atas tradisi menjumbaikan kerudung ke punggung, tanpa menetapkan jenis busana tertentu.
Bisa juga, argumen hukumnya- besar kemungkinan- sebagai pembeda antara perempuan mukminah dengan yang non mukminah- yang ketika itu masih membiarkan dada mereka tetap transparan. Ini mirip dengan h}adi>s\ Nabi yang menganjurkan kaum muslimin untuk mencukur kumis dan memanjangkan jenggot; sebuah h}adi>s\ yang hampir disepakati kebanyakan ahli fiqh sebagai anjuran yang bermaksud temporal (liqasdil waqtiy). Inilah ketika itu salah satu simbol pembeda antara orang mukmin dengan orang non mukmin, yang notabene mempunyai ciri sebaliknya; biasa memnjangkan kumis dan mencukur jenggot.
Jadi, dari konteks ayat dan h}adi>s\ tersebut, jelas terlihat maksud-maksud pembedaan dan identifikasi yang lebih jelas antara orang mukmin dengan yang non mukmin, perempuan mukminah dengan perempuan non mukiminah. Ini mengindikasikan bahwa hukum yang ditetapkan tersebut adalah hukum yang bersifat temporal, selama masa dibutuhkannya pembedaan itu – bukan hukum yang kekal (hukm mu’abbad).
Hal yang ketiga yang menjadi persoalan bagi al-’Asyma>wi> adalah mengenai ayat tentang jala>bi>b. Sebagai mana firman Allah :
يأيها النبي قل لأزوجك وبناتك و نساء المؤمنين يدنين عليهن من جلابيبهن ذالك أدنى أن يعرفن فلا يؤذين
Al-’Asyma>wi> berpendapat bahwa konteks sejarah turunnya ayat ini berkenaan dengan tradisi perempuan Arab ketika itu yang suka dan terbiasa melakukan tabazzul, bersenang-senang. Mereka membiarkan muka mereka terbuka sebagaimana hamba sahaya perempuan, dan oleh kondisi tertentu, mereka terpaksa membuang hajat di padang pasir. Beberapa laki-laki yang nakal sering kali berprilaku buruk terhadap mereka dengan anggapan kalau mereka adalah hamba sahaya atau golongan yang kurang terhormat. Lantaran merasa diganggu, mereka melaporkan hal itu kepada Nabi. Lalu turunlah ayat ini untuk membedakan antara perempuan mukminah merdeka dengan hamba sahaya. Tanda pembedaan itu dilakukan dengan cara memanjangkan pakaian, sehingga mereka relatif mudah dikenali dan tidak mendapat perlakuan buruk dari laki-laki nakal yang menguntit mereka.
Sebagian menyebutkan bahwa jilbab adalah rida’ (sorban), sebagian mendefenisikan sebagai pakaian yang lebih besar ketimbang khimar (kerudung), dan yang lain menyebutnya qina’ (penutup muka). Tapi menurut al-’Asyma>wi>, yang betul adalah gaun besar yang menutupi sekujur tubuh atau mantel.
Sedangkan argumen hukum ayat ini atau maksud memanjangkan pakaian itu adalah untuk membedakan antara perempuan merdeka dengan hamba sahaya atau perempuan kurang terhormat lainnya. Dengan begitu, potensi kesalahpahaman mudah dihindari dan mereka relatif lebih mudah dikenali. Dengan aturan begitu, perempuan merdeka tidak rentan terhadap perlakuan yang tidak baik, dan terbebas dari kejahatan-kejahatan. Hal ini didasarkan kepada sikap Umar ibn Khattab yang perah menegur seorang hamba sahaya yang menggunakan kerudung dan memanjangkan mantel mereka. Sebab, dalam pandangan Umar, itulah yang menjadi ciri khas dari gaun perempuan merdeka. Di kalangan para ulama sendiri terdapat perbedaan dalam memahami dan memaknai kalimat idna’ al-jalabib / memanjangkan mantel secara variatif dan plural.
Dalam kaidah us}u>l fiqh dikenal diktum atau kaidah bahwa al-h}ukm yadu>r ma’a al-illah wuju>dan wa ‘ada>man (ada dan tidak adanya hukum, bergantung pada landasan argumennya). Artinya, bila ada sebuah produk hukum, semestinya harus ada landasan argumennya. Bila tidak ada landasan argumennnya, maka hukum menjadi tiada. Dengan berlandaskan argumen ini, maka al-’Asyma>wi> melihat bahwa argumen hukum yang ada pada konteks ayat tersebut, yaitu perbedaan antara perempuan merdeka dengan perempuan hamba sahaya, sudah tidak kita jumpai. Kini, kita tidak lagi menemukan hamba sahaya. Dengan demikian relevansi perebedaan seperti itu tidak diperlukan lagi. Kita juga tidak lagi menemukan adanya wanita yang membuang hajat di padang pasir dengan mendapat perlakuan buruk dari laki-laki yang iseng. Lenyapnya argumen hukum tersebut, dengan sendirinya menafikan adanya hukum. Maka dengan demikian, kita menyimpulkan bahwa penamaannya sebagai syari’at menjadi sudah tidak relevan lagi.
Dari uraian yang lalu, jelas terlihat bahwa ayat yang menyangkut topik ini tidak menimbulakan konsekuensi hukum yang pasti, agar perempuan mukmin mengenakan busana tertentu secara mutlak dan untuk setiap zamannya. Sekiranya salah satu ayat dari ketiga ayat di atas sudah menetapkan suatu hukum secara pasti dan menyakinkan, tentu tidak perlu lagi adanya teks yang menerangkan hukum yang sama dalam ayat yang lain. Beragamnya ayat yang kita lihat, menunjukkan bahwa setiap ayat memiliki maksud khusus dan tujuan-tujuan tertentu yang berbeda dengan ayat laainnya. Sebab secara logika, pembuat hukum konvensional saja senantiasa menghindar dari pengulangan-pengulangan dan kerancuan, apalah lagi pembuat hukum tertinggi (Allah).
Namun demikian, ada dua h}adi>s\ yang biasa digunakan sebagai landasan pewajiban atas perempuan untuk menutup kepala – yang diartikan secara salah dengan kosa kata jilbab yang sebetulnya lebih berarti mantel. Aisyah meriwayatkan, bahwa Nabi pernah bersabda:
لا يحل لامرأة تؤمن بالله و اليوم الأخر أن تخرج يدها إلى ههنا و قبض نصف الذراع
H}adi>s\ kedua diriwayatkan Abu> Daud dari Aisyah, bahwa Asma>’ binti Abu Bakar, suatu saat berkunjung ke rumah Nabi, lantas Nabi bersabda menegurnya:
يا أسماء! إن المرأة إذا بلغت المحيض لم يصلح أن يرى منها إلا هذا و هذا وأشار إلى وجهه و كفه
Sebagai catatan, kedua h}adi>s\ ini adalah h}adi>s\ yang statusnya ah}ad (h}adi>s\ yang diriwayatkan secara individual), bukan h}adi>s\ yang yang diakui dan diriwayatkan secara kolektif atau h}adi>s\ mutawa>ti>r (h}adi>s\ yang diriwayatkan oleh kolektivitas yang terpercaya), ataupun h}adi>s\ masyhu>r (h}adi>s\ yang secara individual, tapi mendapat penguatan dari pelbagai faktor. Dalam apresiasi yang tepat, h}adi>s\ ah}ad hanya dapat diterima sebagai h}adi>s\ pembanding atau pembantu (isti’nas), yang tidak berhak dijadikan landasan ada atau tidak adanya suatu hukum syari’at. Di sisi lain, meski h}adi>s\ tersebut berasal dari satu riwayat pokok yaitu dari A’isyah, namun di antara kedua h}adi>s\ tersebut terlihat adanya kontradiksi. H{adi>s\ pertama mengatakan bahwa Nabi menggenggam setengah lengannya (nisfu az-zira’) ketika menyabdakan h}adi>s\ ini. Artinya, menurut h}adi>s\ pertama, organ tubuh yang boleh terlihat dari perempuan adalah wajah dan setengah lengan (tentunya termasuk kedua telapak tangan. Sementara h}adi>s\ kedua, hanya membolehkan terlihatnya muka dan telapak tangan saja (tidak masuk setengah lengan). Lebih dari itu, redaksi h}adi>s\ pertama menggunakan kosa kata halal-haram (la yahil, tidak halal), sementara h}adi>s\ kedua menggunakan kosa kata boleh-tidak boleh (la yasluh, tidak boleh. Perbedaan kedua redaksi tersebut sangat besar, sebab halal-haram termasuk dalam kategori hukum syari’ah, sementara boleh-tidak boleh lebih kepada perbuatan yang utama (al-afd}a>l), yang lebih baik (as-s}alah) dalam kondisi sosio-kultural tertentu.
Di samping kontradiksi yang jelas antara kedua h}adi>s\ tersebut, ada juga soal lain, yaitu masalah temporasi hukum/ waqtiyatul ah}ka>m: temporasi hukum dalam h}adi>s\ tertentu, dengan batasan waktu tertentu, dan era tertentu. Sebagian ahli fiqh berpendapat bahwa, di antara produk hukum yang dikeluarkan Nabi, terdapat juga legislasi hukum yang sifatnya temporal (tasyri’ zamaniy), yang khusus merespon kondisi zaman tertentu. Suatu kali Nabi, menyuruh atau melarang sesuatu dalam kondisi tertentu dan oleh sebab khusus. Lantas, suruhan atau larangan Nabi tersebut, dipahami para sahabat sebagai hukum abadi, meskipun pada hakikatnya hanya berupa hukum temporal.
Luputnya perbedaan antara dua model hukum ini – yang abadi dan temporal – menyebabkan polemik yang keras antara ahli fiqh. Suatu ketika, sebagian mereka menganggap produk hukum yang dihasilkan Nabi bersifat umum, abadi, tidak berubah, sedangkan sebagian yang lain menganggapnya sebagai produk hukum dengan argumen temporal, yang sifatnya hanya sebagai produk hukum demi kepentingan tertentu yang dapat berubah seiring waktu.
Dengan mengutip pendapat di atas, yang dapat disimpulkan dari kedua h}adi>s\ tersebut, khususnya h}adi>s\ yang menggunakan lafaz} as-salah (boleh), lebih dekat pada bentuk hukum temporal yang erat berkait dengan kondisi tertentu, bukan hukum abadi sama sekali. Ini diperkuat dengan apa yang telah disebutkan di atas, bahwa ayat khima>r bertujuan meluruskan tradisi yang berlaku, dan pembedaan antara perempuan mukminah dengan non mukminah, ayat jilbab bertujuan membedakan antara perempuan merdeka dengan perempuan hamba sahaya atau wanita terhormat dengan wanita kurang terhormat, seperti PSK.
Lalu al-’Asyma>wi> menerangkan bahwa, sesungguhnya prinsip dasar al-Qur’an dan cara Islam dalam aplikasi hukumnya adalah prisip tanpa paksaan (ada>mul ikra>h) sampai dalam bagian h}udu>d (pidana) sekalipun. Implementasi hukum Islam selalu saja dilakukan dengan menguatkan etos panutan yang baik (al-qud}wah al-h}asanah), nasehat yang lembut (an-nasi>h}ah al-lat}i>fah), dan nasehat-nasehat terpuji.
Prinsip al-Qur’an menyebut (QS. 2: 256), “la> ikra>ha fi ad-di>n” (tidak ada paksaan dalam beragama). Jika saja al-Qur’an menegaskan penolakannya atas paksan dalam beragama, maka – lebih dari itu – tidak ada paksaan dalam implementasi hukum-hukum, atau kewajiban-kewajibannya. Sanksi atas penerapan dan tidak diterapkannya hanyalah dosa agamis. Ini menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Begitu juga dalam hal h}udu>d (sanksi pidana): kaidahnya adalah tidak ada sanksi atas orang yang bertaubat (la> had ‘ala at-ta>ib), artinya sanksi tidak boleh dikenakan kepada orang yang menyatakan tobatnya, namun ditegakkan atas orang yang menolak bertobat dan bersikeras untuk ditegakkan sanksi baginya. Teladan Nabi – dalam kasus hukum rajam atas perempuan yang melakukan zina – menunjukkan, bila pelaku ingin terlepas dari sanksi, maka hendaknya masyarakat memberinya peluang untuk melakukan itu.
Jika demikian adanya prinsip Islam dan kaidah al-Qur’an, maka tidak boleh adanya paksaan atas perempuan untuk memakai pakaian tertentu,baik paksaan secara fisik atau pun secara mental. Jika hal itu terjadi, maka si pemaksa menjadi berdosa, karena menggunakan cara yang tidak Islami sekaligus menggunakan metode yang tidak Qur’ani.
Hasil paksaan atau semacam paksaan agar perempuan menggunakan penutup kepala – yang disebut secara salah sebagai h}ija>b, walau h}ija>b bermakna lain, sebagaimana telah diterangkan – tidak lain hanyalah perilaku riya dan pamer. Kadangkala, kita menyaksikan banyak perempuan mengenakan celak (asbagh) dan make-up (masahiq) secara berlebihan, sehingga tidak sesuai lagi dengan esensi hijab itu sendiri. Kadang-kadang, kita juga menemukan kasus, dimana perempuan berjilbab, justru bertandang ke diskotik-diskotik umum, atau klub-klub malam dengan mengagandeng laki-laki sambil berdangsa. Atau mereka berjalan atau duduk dengan laki-laki di jalanan gelap, atau tempat terpencil, tanmpa adanya mahram.
Sesungguhnya, esensi h}ija>b adalah mengendalikan diri dari sahwat, dan membentengi diri dari dosa-dosa, tanpa terkait dengan pakaian atau gaun tertentu. Adapun perilaku sederhana dan tidak pamer dalam berpakaian dan berpenampilan, itu tentulah juga prisip yang dituntut setiap nalar yang benar dan dipegang teguh oleh perempuan terhormat.
Dari hal-hal yang telah diterangkan diatas, dapat ditarik bebarapa point kesimpulan:
a. Hijab secara kebahasaan berarti mengenakan penutup tertentu. Dalam redaksi al-Qur’an, yang dimaksud dengan kata h}ija>b adalah penutup atau tirai yang khusus bagi istri-istri Nabi. Ini diperlukan dalam konteks zaman itu, untuk memisahkan antara istri-istri Nabi dengan kaum mukmin umumnya agar tidak terlalu leluasa. Dengan keadaan berh}ija>b, baik bagi istri-istri Nabi, maupun kaum mukmin umumnya, tidak saling bertatap muka.
b. Khima>r sebagaimana telah diterangkan, adalah semacam tradisi lama perempuan mukminah yang gemar mengenakan kerudung penutup kepala sambil dijumbaikan ke bagian punggung sehingga bagian dada tetap terlihat agak transparan. Untuk meluruskan tradisi ini, al-Qur’an menganjurkan perempuan beriman untuk menjumbaikan kerudungnya ke bagian dada. Evaluasi al-Qur’an itu berguna untuk membedakan antara mereka yang perempuan beriman dengan bukan golongan mukminah.
c. Untuk merendahkan jilbab sebagaimana yang telah disebutkan, bertujuan membedakan antara perempuan mukmin yang merdeka dengan hamba sahaya, atau antara wanita terhormat dengan perempuan tidak terhormat seperti PSK. Maka jika argumen dasar hukum ini sudah lenyap karena tidak ada lagi hamba sahaya di zaman kini, maka tidak ada lagi alasan untuk pewajiban implementasi hukum ini.
d. H{adi>s\ Nabi tentang h}ija>b merupakan h}adi>s\ ah}ad yang hanya berfungsi sebagai pengarah dan penasehat saja. H{adi>s\ tersebut juga tergolong h}adi>s\ temporal, yang berkait dengan kondisi tertentu; dalam situasi dimana perlunya membedakan antara perempuan dengan yang tidak beriman. Sementara, hukum yang kekal dan tidak temporal adalah kesopanan itu sendiri dan tidak berlebih-lebihan dalam berbusana.
BAB IV
ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA AL-MAUDU<DI<
DAN AL-'ASYMA<WI di>
Sebagaimana dipaparkan pada bab III yang lalu, terlihat bahwa, kedua tokoh ini sangat bertentangan dalam produk hukum yang dihasilkan. Al-Maudu>di> yang cendrung berkiblat kepada tokoh-tokoh gerakan garis kanan dan gerakan spritual yang kental, sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran yang dihasilkan oleh tokoh dari pihak ini dan yang sealiran dengannya. Dengan kondisi sosial budaya saat ini sangat membutuhkan semacam peredam terhadap pengaruh budaya yang cenderung merusak dan menghancurkan moral dan spritual kaum muslimin umumnya dan kaum muda muslim khususnya. Arus globalisasi yang sangat kuat menyebabkan percampuran dua budaya yang berinteraksi, mengakibatkan adanya pergeseran terhadap nilai-nilai yang telah ada di masyarakat.
Contohnya saja dalam hal berbusana. Percampuran dua budaya, baik dengan jalan langsung ataupun melalui media menyebabkan terjadinya akulturasi dua budaya yang berbeda. Efek langsung dari akulturasi ini menimbulkan suatu budaya baru yang mengkombinasikan dua corak budaya ini. Budaya Barat dikenal sebagai budaya yang terbuka dan cenderung sangat permisif. Dalam hal berbusana, budaya barat sekarang sangat terbuka dalam artian yang sebenarnya. Segala lekuk tubuh tidak ada satupun yang disembunyikan dan orang manapun boleh melihatnya, suka atau tidak suka dengan cara mereka berpakaian. Sedangkan budaya berpakaian yang diajarkan Islam adalah tertutup dari pandangan mata orang yang melihatnya. Sehingga tidak ada seorang yang diperbolehkan untuk melihatnya, baik itu orang yang masih termasuk kerabatnya apalagi orang lain, terkecuali suaminya. Bahkan, al-Maudu>di> juga berpendapat bahwa wajah dan telapak tangan harus ditutup dari pandangan mata orang lain.
Pendapat ini kebanyakan dipegangi oleh golongan yang memiliki kecendrungan untuk berpegang hanya kepada bunyi teks tanpa melihat latar belakang turunnya ayat secara sosiologis historis. Hal yang musti diamalkan adalah apa yang termaktub dalam lafaz ayat dengan tanpa ragu dan bimbang. Mereka tidak peduli dengan yang namanya kritik terhadap dalil dalam mengamalkan sesuatu yang diyakini. Apa pun yang tersebut dalam sebuah teks, itulah yang musti dilakukan dan dijalankan tanpa ragu dan tanya. Sehingga terkesan golongan ini sangat ketat dan ekslusif dalam menjalankan syari’at Islam.
Salahkah pendapat ini? Tentu saja tidak. Penulis berpendapat bahwa, dengan melihat situasi masa itu (ketika al-Maudu>di hidup) bahkan masa sekarang, betapa banyak kita menyaksikan kebenaran ucapan dari al-Maudu>di> yang sangat menentang budaya ketelanjangan barat yang sudah mulai ditiru dan digugu oleh para remaja Islam. Dimana-mana di seluruh negeri muslim telah mulai teracuni oleh budaya setengah telanjang – untuk tidak menyebutnya telanjang – ini.
Dan kecendrungan yang berkembang ini, di negeri muslim yang masih agak kuat Islamnya pun mengalami pergeseran perspektif dalam mengamalkan tradisi busana muslim. Maka, sekarang marak muncul busana muslim kontemporer yang tetap dengan mengenakan jilbab, akan tetapi dengan modifikasi sedemikian rupa sehingga para muslimah ini tetap tampil lebih menawan sebagai akibat langsung dari akulturasi dua budaya. Sehingga berkembang istilah di kalangan kaum muslim dengan istilah jilbab gaul, jilbab artis dan lainnya. Fenomena ini muncul seiring dengan berkembangnya fasion yang terlalu menonjolkan keterbukaan dan keketatan busana. Busana muslim pun tak luput kena imbas dari mode fasion ini. Sehingga sekarang banyak kita jumpai para remaja putri muslim yang mengenakan busana semacam ini. Jilbab dengan baju ketat nan melekat dan kadang kala memperlihatkan pusar. Berdasarkan perspektif inilah, pendapat al-Maudu>di> mendapat pembenaran secara real dan nyata.
Kembali kepada pendapat al-Maudu>di> tentang jilbab. Jilbab menurut beliau adalah baju kurung besar yang dipakai oleh wanita sebagai pakaian luar yang tidak memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh dari wanita tersebut, sehingga tertutup auratnya. Berdasarkan penafsirannya terhadap ayat 59 surat al-Ah}za>b yang berbicara mengenai jilbab. Jala>bi>b, merupakan kata jamak dari jilbab yang mengandung pengertian pakaian yang besar, khima>r atau rida’. Al-Maudu>di> berpendapat bahwa ayat ini turun berkenaan khusus tentang wajibnya menutup wajah bagi perempuan. Dan dari ayat ini juga dapat dipahamai bahwa wanita ketika keluar rumah diharuskan mengenakan pakaian yang tertutup rapat seperti dengan menggunakan khima>r atau niqab, yang merupakan penanda bahwa mereka adalah wanita yang mulia dan agar mereka tidak diganggu oleh orang jahat.
Dalam pemikiran al-Maudu>di> dapat disimpulkan bahwa ada dua ruang yang harus digunakan ketika membahas tentang kewajiban pengenaan jilbab. Pertama, ruang pribadi/ privasi dan yang kedua, ruang publik. Cara pengenaan jilbab pada dua ruang ini tentu saja memiliki perbedaan.
Dalam ruang pribadi dalam hal ini adalah rumah maka wanita dianjurkan mengenakan jilbab dan juga diperbolehkan mengenakan perhiasannya. Hal ini dimaksudkan untuk melayani suami saja. Namun, hal ini tidak boleh diperlihatkan kepada orang lain termasuk karib kerabat yang telah dikenal sekalipun. Yang boleh terlihat adalah muka dan tangan saja. Ini berkaitan erat dengan tindakan preventif untuk menghindari terjadinya fitnah. Hal ini sejalan dengan kaidah sadu lizzaria’ah. Sehingga, apabila hendak masuk rumah seseorang dianjurkan untuk minta izin terlebih dahulu, agar terhindar dari melihat dari keadaan yang mestinya tidak boleh dilihat. Hal ini juga berkaitan erat dengan suruhan untuk menahan pandangan dari hal yang tidak baik.
Sedangkan pada ruang publik di mana orang bertemu dan berjumpa, maka wanita menurut al-Maudu>di> harus menutup seluruh tubuhnya termasuk muka dan telapak tangan dari pandangan orang-orang yang tidak baik dan menunjukkan bahwa dia adalah wanita terhormat. Argumentasi yang diajukan oleh al-Maudu>di> adalah bahwa bahwa fitnah timbul mulai dari pandangan mata. Mata adalah pintu gerbang menuju pintu kejahatan, karena dengan perantara mata orang bisa tahu bahwa wanita ini seksi dan menawan sehingga muncul keinginan yang negatif dalam dirinya. Dan secara umum seorang wanita diketahui cantik dan menawannya adalah dari wajah dan wanita dikatakan seksi apabila mempunyai tubuh yang aduhai. Oleh karena itu, ketika keluar dari wilayah privat, wajah ini harus ditutup dari pandangan orang lain terutama non muhrim dan begitu juga dengan tubuhnya harus dibungkus dengan pakaian yang tertutup dan tidak memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya. Sebab dikhawatirkan, akan mendatangkan fitnah bagi orang lain dan bagi dirinya sendiri. Dengan begitu wanita muslimah akan tetap terjaga kehormatannya dan harga dirinya.
Dari pendapat al-Maudu>di> ini, dapat dilihat bahwa pendapat al-Maudu>di> di samping sangat tekstual dan normatif juga sangat women oriented. Kesan yang didapat adalah bahwa wanita sangat tabu berada dalam ruang publik tanpa mengenakan pakaian dengan kriteria yang sangat ketat. Wanita seluruhnya adalah aurat, sehingga apapun yang ada pada tubuhnya harus ditutupi dengan jilbab. Hal ini mengindikasikan bahwa yang harus menjaga agar para laki-laki tidak terjebak melakukan dosa adalah kaum wanita.
Ini merupakan ciri dari pandangan dan pendapat yang sangat berorientasi patriarkhi (men orentied). Padahal dalam al-Qur’an sebagai sumber utama normatif Islam, dikatakan bahwa wanita dan laki-laki sama harus menjaga padangan dan kemaluan dari hal yang mengandung dosa. Artinya, laki-laki dan wanita harus memiliki kewajiban yang sama. Jangan hanya wanitanya disuruh memakai jilbab sedangkan para lelaki tetap bebas jelalatan memandangi hal yang seharusnya tidak boleh dipandang secara berlebihan.
B. Analisis terhadap pandangan al-Asyma>wi>
Dalam pandangan al-Asyma>wi>, tampak jelas sekali bahwa ia sangat menentang pendapat yang menyatakan bahwa jilbab adalah kewajiban agama yang bersifat tetap dan kontinyu. Menurutnya, penafsiran ayat tentang jilbab ini masih menjadi perdebatan (ikhtila>f) dan silang pendapat oleh para ahli fikih (ra’yul basyar) atau bukan hukum agama yang jelas, tepat, dan pasti. Ada tiga ayat Al Qur’an yang ditafsirkan sebagai perintah penggunaan jilbab atas perempuan, serta dua h}adi>s\ Nabi yang dijadikan landasannya.
Pertama, ayat h}ija>b (kewajiban h}ija>b), meskipun ayat tersebut ditujukan untuk istri-istri Nabi, ayat tersebut tetap berlaku bagi perempuan mukminah lainnya karena mengandung perintah kemuliaan akhlak, yang tentu tidak berlaku pengkhususan. Bagi yang menuntut peniadaan h}ija>b, ayat tersebut tidak bersinggungan sama sekali dengan tradisi model penutup rambut bagi perempuan mukminah. Penamaan penutup kepala dengan h}ija>b dan melandaskannya pada ayat tersebut merupakan tindakan salah kaprah karena h}ija>b secara bahasa adalah as-satir (penutup tertentu/sekat), bukan jilbab atau penutup kepala.
Kedua, ayat khima>r, QS 24:31, yakni anjuran untuk menjumbaikan kerudung ke dada sebagai koreksi atas tradisi perempuan yang memperlihatkan dadanya. Bagi yang mendukung kewajiban berjilbab, ayat Al Qur’an tersebut memerintah untuk bertutup dan telapak tangan. Bagi yang mendukung peniadaan kewajiban berjilbab, ayat ini meluruskan tradisi berbusana pada zaman itu dengan penekanan pada penutup dada dan agar tidak memperlihatkannya dan tidak ada sangkut pautnya dengan penutup kepala.
Ketiga, ayat jala>bi>b, QS 33:59, yakni perintah memanjangkan pakaian perempuan untuk membedakan perempuan merdeka dan budak agar tidak digoda oleh laki-laki. Bagi yang mendukung kewajiban berjilbab, ayat tersebut menyuruh seluruh perempuan mukminah-budak atau bukan-untuk menutup organ tubuh dan bertindak sopan. Bagi yang tidak mendukung, hukum yang tetap dari ayat tersebut adalah kesopanan dan tidak berlaku pamer yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan perintah berjilbab.
Dari hal di atas, tampak bahwa, al-Ásyma>wi> membedakan antara h}ija>b (QS. As-Sajadah [32]: 53), khima>r (QS. an-Nu>r [24]:31) dan jilbab (QS. Al-Ah}za>b [33]: 59). Karena penamaan jilbab, di beberapa tempat bermacam-macam; sebagian dengan rida>’ (sorban), sebagian lagi dengan khima>r (kerudung, tapi lebih besar ukurannya), dan yang lain dengan qina>’ (penutup muka atau topeng).
Menurutnya, aturan atau perintah berjilbab bagi perempuan sesungguhnya bersifat temporal. Artinya, jilbab menjadi “perintah wajib”pada waktu Nabi Saw saja dengan alasan-alasan (‘illah) tertentu. Dengan alasan tersebut maka menurut al-’Asyma>wi>, saat ini alasan itu sudah tidak relevan lagi.
Masih menurut al-’Asyma>wi> hijab (penutup kepala) bukanlah kewajiban yang diwajibkan agama (prinsip syari>’at). Dalam kenyataannya, h}ija>b adalah simbol politik. Menurutnya, hakikat h}ija>b adalah pengendalian diri dari syahwat, dan pembentengan diri dari dosa-dosa, tanpa terkait dengan pakaian atau gaun tertentu (ziyy muáyyan aw liba>s kha>s}). H{ija>b merupakan contoh syari>’at temporal (tasyri>’ waqti>), atau syari’at yang didasarkan pada waktu tertentu (li qas}hd al-waqti>).
Menurut al-’Asyma>wi>, di antara alasan yang penting dikemukakan lagi tentang jilbab sesungguhnya adalah alasan etika universal, yakni tentang kesopanan dan kehormatan. Bahwa ukuran kesopanan dan kehormatan tidak hanya dari satu sudut pandang, yaitu yang diwakili jilbab, akan tetapi kesopanan dan kehormatan lebih kepada sikap dan bukan penampakan fisik.
Lebih dari yang dikatakan al-’Asyma>wi> tersebut, dalam sejarah Islam sendiri juga pernah diceritakan bahwa jilbab bukan hanya dipakai oleh perempuan, tapi juga lelaki. Bahkan Rasulullah Saw pernah memakai jilbab. Hal ini seperti dikemukan Fadwa El Guindi dari temuan penelitian lapangannya tentang gerakan Islam di Mesir tahun 1970-an. Temuan menarik itu berasal dari data etnografis, historis, dan lintas kultural yang ditulis dalam Veil: Modesty, Privacy, and Resistence (Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan, 2003). Teksnya diambil dari S{ah}i>h} Bukha>ri>, sebagai kumpulan h}adi>s\ Nabi termasyhur yang menyebutkan bahwa pada suatu waktu Nabi mendatangi rumah Abu> Bakr dengan menggunakan qina’ (menutup muka, mutaqannián). Temuan lainnya, sejumlah lelaki Arab pra-Islam yang dikenal dengan z\u> khi>ma>r. Lelaki itu adalah al-Aswa>d al-Ánsi> dan Áuf ibn Rabi’ ibn z\i> al-Ramahayn. Dikenal sebagai z\u> khima>r, karena ia bertempur sambil mengenakan jilbab istrinya dan selalu menang. Pada suatu saat, ketika seseorang roboh dalam pertempuran, ada yang bertanya, “siapa yang menyerangmu?” jawabnya, orang berjilbab itu”.
Sebenarnya, kedua tokoh ini sama-sama mengunakan pendekatan fiqh dan tafsir dalam menjelaskan fenomena jilbab ini. Namun dalam hal metodologi penemuan terahadap hukum pengenaan jilbab, mereka bersimpang jalan. Kedua tokoh ini secara bersamaan mengunakan penafsiran terhadap ayat 59 surat al-A{h}za>b sebagai landasan hukum dari kewajiban pemakaian jilbab bagi wanita muslimah. Mereka juga menggunakan h}adi>s\ yang sama yang menerangkan batasan aurat wanita yang tidak boleh nampak yang berasal dari ‘Aisyah ra yang diriwayatkan oleh Abu> Daud yang menceritakan tentang perihal Asma> yang datang ke rumah Nabi dengan mengenakan pakaian yang tipis. Artinya sumber hukum yang digunakan tetap merujuk kepada dua sumber hukum Islam yaitu al-Qur’an dan al-H{adi>s\. Namun, tampak jelas bahwa, kesimpulan akhir dari pendapat kedua tokoh sangat berbeda.
Bila ditarik ke arah paradigma yang ada dalam pemikiran Islam, kedua tokoh ini merupakan representasi dari dua corak pemikiran yang telah ada sejak masa awal Islam. Dalam bahasa Amin Abdullah, historisitas dan normatifitas, dalan bahasa Cak Nur, doktin dan peradapan. Kedua corak ini mengusung dua corak pemikiran yang tentu saja berbeda antara satu dengan lainnya. Corak yang pertama cenderung menggunakan paradigma yang berlandaskan lebih pada sosiologis historis dan konteks. Sedangkan yang kedua cendrung menggunakan pendekatan paradigma yang normatif dan tekstualis. Sehingga, wajar kedua tokoh ini bertentangan dalam menetapkan hukum tentang masalah jilbab ini.
Al-Maudu>di> yang merupakan representasi dari yang menganut paham normatifitas, sebagaimana terlihat selalu mendasarkan pendapatnya kepada al-Qur’an dan al-H{adi>s\ dan menerapkan apa yang tercantum dalam teks yang berasal dari kedua sumber ini, tanpa melakukan adaptasi terhadap kondisi yang melingkupinya pada masa sekarang. Jilbab, dalam hal ini yang dijadikan sebagai pokok masalah, oleh al-Maudu>di> dianggap sebagai kewajiban yang harus dilakukan oleh seluruh kaum muslimah, tanpa ada atau ada sebab-sebab [illat] yang menyebabkan jilbab itu diwajibkan. Jilbab merupakan kewajiban abadi yang harus dilaksanakan selamanya.
Dan al-’Asyma>wi> sebagai representasi dari golongan menganut paham historisitas dalam artian bahwa segala hukum muncul karena ada hal-hal yang melatarbelakanginya. Hukum tidak ada tanpa ada sesuatu sebab (illat) yang menyebabkan sesuatu itu disuruh atau sesuatu itu dilarang. Hukum merupakan respon terhadap masalah yang muncul dan ada saat itu dan untuk kebutuhan saat itu pula. Hal disebutkan dalam kaidah us}u>l fiqh yang berbunyi al-hukm yadu>ru ma’a allatihi wuju>dan wa ‘adaman. Hal inilah yang dijadikan sebagai landasan berfikir oleh al-’Asyma>wi> dalam menerapkan dan menafsirkan hukum pengenaan jilbab, sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Perbedaan metodologi inilah yang sebenarnya menyebapkan kedua tokoh ini berbeda dalam menghasilkan produk hukum. Namun, di sisi lain ada semacam titik temu yang dapat ditarik, bahwa kedua tokoh sebenarnya sama-sama menganjurkan pengenaan jilbab bagi para muslimah. Al-Maudu>di> yang memang sedari awal telah mewajibkan pengenan jilbab bagi para muslimah, terutama ketika mereka keluar dari wilayah privat mereka ke publik. Alasan yang paling masuk akal adalah untuk melindungi diri dari pandangan tidak senonoh dari para penjahat dan sebagai identitas bahwa mereka adalah wanita muslimah yang terhormat.
Sedangkan al-Asyma>wi> menyatakan, bahwasanya jilbab memang bukan merupakan kewajiban dari Islam. Ia hanya merupakan perintah yang bersifat temporal bukan perintah yang bersifat kekal. Al-’Asyama>wi> berargumen bahwa kewajiban berjilbab merupakan respon dari kondisi yang terjadi pada masa itu, yang mana kaum wanita muslimah apabila ingin membuang hajat mereka harus melakukannya di gurun pasir. Pada waktu mereka kembali, mereka seringkali diikuti oleh orang-orang munafik yang sering mengganggu mereka. Dan apabila mereka dilarang, maka beralasan bahwa mereka mengira bahwa kaum wanita tersebut adalah para budak. Sehingga turunlah ayat yang menyuruh untuk mengenakan jilbab apabila keluar dari rumah sebagai identitas bahwa mereka adalah wanita muslimah lagi merdeka. Menurut al-’Asyma>wi>, alasan pengenaan jilbab sebagai identitas bahwa mereka adalah wanita merdeka dan sebagai pembeda dari wanita budak sudah hilang. Sebab saat ini, sudah tidak ada lagi yang namanya budak. Sehingga dengan demikian, pengenaan jilbab sudah bukan merupakan kewajiban yang mutlak. Bagi al-Asyma>ni>, perngenaan jilbab semata adalah atas dasar kesopanan dan kepantasan dan tidak berlebihan dalam pengenaannya.
Dari keterangan di atas bahwa al-Asyma>wi> secara tersirat juga menganjurkan pengenaan jilbab sebagai bagian dari busana yang sopan. Al-’Asyma>wi> sama sekali tidak menyatakan bahwa jilbab tidak boleh dipakai karena ia adalah bagian dari masa lalu yang usang. Ia memang secara tegas menyatakan konsep jilbab adalah bukan dari budaya Islam, melainkan ia merupakan warisan dari masa pra Islam yang telah ada sebelum Islam datang ke tanah Arab. Tradisi ini, sebagaimana telah disebutkan dalam latar belakang turunnya ayat ini merupakan ralat terhadap budaya berjilbab yang terjadi masa itu. Ketika ayat ini diturunkan yaitu ayat jilbab, mayoritas perempuan mengenakan jilbab dengan cara menjumbaikan kerudungnya ke arah penggung sehingga leher dan sebagian bagian dari dada perempuan itu terlihat. Lalu ayat ini turun agar para wanita memprioritaskan jumbaian kerudungnya ke arah dada sebagai koreksi terhadap tradisi yang ada ini. Makanya, al-’Asyma>wi> mengatakan bahwa jilbab bukanlah merupakan tradisi Islam secara genuin, namun jilbab merupakan budaya yang telah ada sebelum Islam datang ke tanah Arab. Namun, al-’Asyma>wi> sama sekali tidak mengatakan bahwa Islam tidak boleh dikenakan oleh wanita muslimah. Bahkan, penulis berasumsi bahwa sebagai seorang hakim agung, tidak mungkin ia akan berpendapat bahwa wanita boleh mempertontonkan auratnya ke sembarang orang dengan tidak mengenakan jilbab dan khimar. Karena, sebagai seorang ulama tentunya ia sangat mengetahui betapa sangat tidak terpujinya tindakan tersebut.
Namun, sisi yang disorot oleh al-’Asyma>wi> adalah dari segi historis dari keberadaan jilbab tersebut. Penulis berpendapat bahwa pendapat al-’Asyma>wi> ini merupakan respon terhadap pendapat yang mengharuskan jilbab dengan segala karakteristiknya yang menurut al-’Asyma>wi> sudah tidak tepat dengan kondisi konteks sekarang. Sehingga muncul pendapatnya bahwa hal seperti itu tidak dapat lagi dikatakan sebagai syari’ah yang kemudian memunculkan kontrofersi di kalangan ulama ini.
Dengan merujuk pada pengertian jilbab yang merupakan gaun besar yang menutupi seluruh tubuh diatas, maka tampak ada semacam pendistorsian terhadap makna ini ketika ditarik ke konteks Indonesia. Jilbab yang ada dalam pengertian Indonesia secara umum adalah penutup kepala yang digunakan untuk menutup rambut perempuan. Kesalahan terhadap pemahaman makna jilbab ini berimbas pada pemahaman tentang menutup aurat secara baik dan benar. Kasus yang ada di Indonesia kebayakan adalah munculnya asumsi bahwa ketika sesorang telah mengenakan jilbab dalam perngertian tadi, maka sesorang itu telah dianggap telah menutup auratnya. Lalu muncullah berbagai bentuk variasi jilbab yang banyak kita temui sekarang. Istilah yang sering digunakan adalah jilbab gaul.
Jilbab yang ada dalam pengertian masyarakat umum, dalam pendapat al-Maudu>di> dan al-’Asyma>wi> disebut dengan khimar atau kerudung. Dari hal ini jelas bahwa pengertian jilbab di Indonesia mengalami pergeseran makna yang sangat jauh yang juga berpengaruh tentunya kepada cara pelaksanaan dari perintah mengenakan jilbab ini. Memang di Indonesia telah banyak orang mengenakan jilbab dan ini patut disukuri keberadaannya sebagai identitas kemusliman. Namun, apakah sudah sesuai dengan tuntunan Islam atau belum?
Cara berpakaian para muslimah Indonesia cenderung mengikuti model yang sebenarnya dalam kacamata Islam telah menyimpang dari kaidah tentang menutup aurat secara benar. Asumsi yang dibangun adalah ketika seseorang wanita telah menutup kepala dengan kerudung, maka ia dianggap telah berjilbab. Asumsi semacam ini kerap kali menyesatkan. Berdasarkan ini pula, maka muncullah model jilbab model seperti yang banyak kita lihat. Wanita muslimah yang berjilbab dengan balutan celana jean dan baju pendek yang melilit dan membalut tubuh secara ketat dan ada juga yang mengombinasikannya dengan baju yang transparan, sehingga bayangan kulit di bawah baju tersebut tetap saja terlihat bahkan ada juga yang dengan sengaja memakai baju yang sudah ketat juga pendek sehingga tetap saja kelihatan pusarnya. Ini adalah kenyataan model jilbab yang ada di Indonesia saat ini. Sehingga menurut penulis perlu diadakan semacam penjernihan terhadap pemahaman tentang jilbab ini.
Penulis setuju dengan pendapat al-’Asymawi yang mengatakan bahwa inti dari jilbab adalah identitas kemuslimahan yang bercorak pada kesederhanaan dan kepantasan dalam berbusana tanpa perlu menentukan model jilbab yang akan dipergunakan. Pilihan terhadap model diserahkan sepenuhnya kepada kaum wanita. Akan tetapi pengenaan jilbab tersebut tetap harus tetap mengacu pada kaidah–kaidah berbusana yang tidak mempertontonkan aurat seorang perempuan. Apabila hal ini telah dipenuhi, maka ciri-ciri busana yang baik dapat dikatakan sudah memenuhi syarat untuk menutup aurat. Model yang digunakan adalah pengenaan jilbab dalam pengertian baju yang panjang dan tidak transparan yang tidak memperlihatkan lekuk-lekuk dari tubuh wanita yang dikombinasikan dengan pengenaan jilbab yang menjuntai ke dada. Dengan demikian, ciri dari busana muslimah yang diinginkan oleh al-Maudu>di> dan al-’Asyma>wi> terpenuhi. Dan begitulah seharusnya seorang muslimah berbusana dalam kesehariannya
Bibliografi
1. Kelompok al-Quran dan Tafsir
Al-Qur’an al-Karim
Al-Baqi, Muh}ammad Fuad, Al-Mu’jam al-Mufah}ras li Alfa<z} al-Qur'am,
Bairut: Da>r al-Fikr, 1994.
Al-Qurt}u>bi>, Abu> Abdullah, al-Jami’ li ah}ka>m al-Qur’an, cet.I, 10 Juz, Bairut: Da>r al-Kutu>b al-’A, M. ‘Ali>, Tafsi>r Aya>t Ah}ka>m, 2 jilid, Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.
….., S{ofwah at-Tafa>si>r, 3 juz, Bairut: Da>r al-Fikr, t. t .
Syahru>r, Muh}ammad, al-Kita>b wa al-Qura>n: Qira>ah Mu’a> s}irah, Damaskus: al-Ahalli li at-Tiba’ah wa al-Nasr wa Al-Tawzi’, 1990.
Syihab, M. Quraisy, Wawasan al-Qur’an Tafsir Maudhu’I atas Berbagai Persoalan Umat, cet. VIII, Bandung: Mizan, 1998.
2. Kelompok al-Hadis dan Ilmu Hadis
Al-Alba>ni>, Muh}ammad Nasi>r al-Di>n, Jilbab Wanita Muslimah Menurut al-Qur’an
dan As-Sunnah, terj. Hawin Murtadho, Solo: at-Tibyan,2001.
al-Bukhari, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, 4 juz, t.tp: Da>r al-Fikr, 1981.
Anas, Ma>lik ibn, Al-Muwat}t}a’, Kuala Lumpur, Malaysia: Zafar Sdn Bhd, 1997.
Abu> Daud, ibn Sulaiman ibn Ish}a>q, Sunan Abi> Daud, 4 juz, Beirut: Da>r al-Fikr,
t.t.>
Imam Muslim, S}{ah}i>h} Muslim, 2 jilid, Bandung: Dahlan, t.t.
At-Tirmizi, Abu> Isa Muh}ammad ibn Isa, Sunan at-Tirmizi, cet, II, 5 juz, Beirut: Da>r al-Fikr, 1978.
3. Kelompok Fiqh dan Usul Fiqh
Abu> Zahrah, Muh{ammad, Us{u>l al-Fiqh, Kairo: Da>r al-Fikr al -Arabi, 1958.
Fauzi, Ilyas Supena dan Muhammad, Dekontruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, Yogyakarta: Gama Media, 2002.
Mazhab Jogja Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, Yogyakarta:
ar-Ruzz, 2002.
Muhammad, KH. Husein, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, Yogyakarta: LKiS, 2002.
Rahman, Asmuni Abd. Kaidah –kaidah Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang, 1976
Abu> Zaid, Bakar bin Abdullah, Menjaga Kehormatan,alih bahasa: Gunaim Ihsan dan Uzeir Hamdan, Jakarta: Yayasan as-Shofwa, 2003.
4. Kelompok Ensiklopedi dan Kamus
Al-Barik, Hayya binti Muba>rak: Ensiklopedi Wanita Muslimah, terj. Amir
Hamzah Fahrudiin, Jakarta: Darul Falah, 1997.
Dahlan (ed), Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, , Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam Depag RI, Ensiklopedi Islam, jil. II, Jakarta: Depag RI, 1993.
Ibn Manzu>r, Abu al-Fadl Jamal al-Di>n Muh}ammad ibn Makram, Lisa>n al-Arab, , Bairut: Da>r as-Sadr, 1990.
Munawwir,Ahmad Warso, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
Tim Penyusun Pustaka Azet, Leksikom Islam, Jakarta: PT Pustakazet- Perkasa,1998.
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Penerbit Djambatan, 1992.
5. Lain-lain
Al-‘Asyma>wi>, Muh}ammad Sa’id, Kritik Atas Jilbab, alih bahasa Novriantoni Kahar dan Opie Tj, Jakarta, Jaringan Islam Liberal dan The Asia Foundation, 2003,
Ali, H. A. Mukti, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung:
Mizan, 1993.
Basyir, Ahmad Azhar, Refleksi atas Persoalan Keimanan (Seputar Masalah Filsafat, Hukum, Politik dan Ekonomi), cet. IV, Bandung: Mizan, 1996.
Esposito, John L. Islam dan Politik, terj. H. M. Yoesoef Soe’yb, Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Fazlurrahman, Nasib Wanita sebelum Islam, cet. I, Jatim, Putra Pelajar, 2000.
Al-Ghaffar, Abd Rasu>l Abd H{asa>n, Wanita Islam dan Gaya Hidup Modern, terj.
Baurhanuddin Fanani, Bandung: Pustaka Hidayat, 1984.
El-Guindi, Fadwa, Jilbab antara Kesalehan, Kesopanan dan Perlawanan, alih bahasa Mujiburrahman, Jakarta: Serambi,2003.
Al-H}adda>d, Tah{ri>r, Wanita dalam Syari’ah dan Masyarakat, alih bahasa Abid Bisri, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1972.
Mut{ahari, Murtad}a, H{ija>b: Gaya Hidup Wanita Islam, Bandung:, Mizan, 1995.
Mas’udi, Masdar F, Islam dan Reproduksi Perempuan, Bandung: Mizan, 1997.
Muh}ammad Farid Wajdi, Da>irat al-Ma’arif al-Qarn al-Isyri>n, Jil. III, Bairut: Da>r al-Ma’rifah, 1991.
Marnissi, Fatima, Wanita di Dalam Islam, terj. Yaziar Rudianti, Bandung: Pustaka, 1994.
Al-Maudu>di>, Abu> al-A’la,> al-H{ija>b, Beirut: Da>r al-Fikr, tt.
Prabuninggrat, H. RAy Sitoresmi, Sosok Wanita Muslimah, cet. II, Yogyakarta: PT. Duta Wacana, 1997.
Reza Nasr, Sayyid Vali, al-Maudu>di> dan Jama’ah Islami: Asal-usul, Teori dan Praktek Kebangkitan Islam dalam Ali Rahmena (ed), Para Perintis Zaman Baru Islam, terj. Illyas Hasan, cet. 2, Bandung: Mizan, 1994.
Syuqqah, Abd al-H{ali>m Abu>, Kebebasan Wanita, alih bahasa Chairul Hakim dan As’ad Yasin, Jakarta: Gema Inasani Perss, 1997.
Sjazali, Munawir, Islam dan Tata Negara , cet. I , Jakarta: UI Pers, 1990.
Ibnu Taimiyyah, Majmu>’ Fata>wa> Syaikh al-Isla>m Ah}mad Ibnu Taimiyyah, t.t.p: tn.p, t. T.
Terjemah Note Hlm No
BAB I
“Dan janganlah kamu berjalan dalam keadaan telanjang “. 11 7 1
“Maka Allah lebih berhak untuk dimalui dari pada manusia”. 12 7 2
“Perubahan hukum seiring dengan berubahnya tempat dan kondisi merupaka sesuatu yang tidak dapat diingkari”. 22 11 3
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasaannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya……” 27 14 4
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anakmu dan istri-istri orang-orang mukmin:”Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. 28 15 5
“Menolak kerusakan dan mengambil kemaslahatan”. 31 16 6
BAB II
“Maka ia mengadakan tabir (yang melinduginya) dari mereka, lalu Kami mengutus Roh Kami kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna”. 12 23 7
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir”. 13 23 8
“Hai istri-istrei Nabi, kau sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu berrtaqwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara, sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik”. 30 29 9
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang jahiliyah dahulu”. 31 29 10
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka”. 32 30 11
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anakmu dan istri-istri orang-orang mukmin:”Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. 33 30 12
BAB III
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu”. 19 50 13
“Dari Abi Ayyub al-Ans}a>ri, dari Nabi saw: yang terletak di atas kedua lutut adalah aurat dan yang terletak di bawah pusar adalah aurat”. 20 51 14
“Tidak diperbolehkan bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, mengeluarkan tangannya (kecuali) sampai di sini. Dan Nabi mengenggam setengah lengan”. 21 51 15
“Wanita yang telah haid tidak boleh kelihatan dari dirinya kecuali wajahnya dan tangannya sampai pergelangan”. 22 51 16
“Dan dari Aisyah r.a bekata: aku keluar bersama dengan anak saudaraku, Abdullah ibn at-T{ufail dengan berhias, maka Nabi saw tidak senang atas hal tersebut. Lalu aku berkata: dia adalah anak saudaraku ya Rasulallah! Maka beliau bersabda: apabila perempuan keluar, tidak boleh baginya kelihatan kecali wajahnya dan juga yang selain ini. Beliau lalu mengisyaratkan dengan mengengam lengannya sendiri, sehingga menyisakan antara telapak tangan dengan genggaman tersebut seperti satu genggaman pula”. 23 52 17
“Dan Asma’ binti Abi Bakr r.a saudara istri Nabi saw suatu saatmasuk ke rumah Nabi dengan mengenakan pakaian yang tipis. Maka nabi berpaling darinya seraya berabda: wahai Asma’, apabila perempuan telah mencapai masa haid, maka tidak boleh terlihat darinya kecuali ini dan ini dan mengisyaratkan ke wajah dan dua telapak tangan”. 24 52 18
“Dan perempuan-perempuan tua yagng telah terhenti (dari haid dan mengandung) dan tiada ingin kawin (lagi), tiadalah dosa atas mereka mananggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka”. 26 53 19
“Dan apabila anak-anakmu telah sampai usia balig, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin”. 27 53 20
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. 28 54 21
“Seandainya aku tahu bahwa kamu melihat-lihat, maka akan aku tutupi matamu. Karena sesungguhnya timbulnya izin itu karena adanya pandangan mata”. 29 54 22
“Siapa saja yang masuk ke rumah suatu kaum tanpa mendapat restu dari mereka, maka boleh bagi mereka untuk menusuk kedua matanya”. 30 54 23
“Apabila kamu memeinta suatu (keperluan) kepada mereka (istri-isti Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimui dan hati mereka”. 31 55 24
“Dari Uqbah ibn ‘Amir: bahwasanya Rasulullah saw bersabda: janganlah kamu mendatangi perempuan. Berkata seorang sahabat dari golongan Anshar: Bagaimana pendapat engkau tentang al-Hamw. Rasulullah saw barsabda: al-Hamw adalah kematian”. 32 55 25
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anakmu dan istri-istri orang-orang mukmin:”Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu”. 34 56 26
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak(makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya hal itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu memita sesuatu (keperluan) kepada meraka (istri-istri Nabi) , maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suaci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati ) Rasulullah dan tidak pula mengawini istri-istrinya selama-lamanya, sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu amat besar (dosanya) di sisi Allah”. 39 62 27
“Katakanlah kepada wanita yang beriman:” Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka”. 41 64 28
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anakmu dan istri-istri orang-orang mukmin:”Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu”. 42 66 29
Lampiran II
BIOGRAFI ULAMA
1. Imam Bukhari
Nama lengkapnya Abu> “Abdilla>h Muh}ammad ibn Hasan Isma>’i>l ibn Ibra>hi>m al-Mughi>rah ibn al-Bardizbah al-Ja’fi al-Bukha>ri>. Beliau lahir pada hari Jum’at tanggal 13 Syawal 194 H dikota Bukhara. Pada usia sepuluh tahun beliau sudah hafal beberapa h}adi>s\. Beliau adalah orang pertama yang menyusun kitab s}ah}i>h} yang kemudian jejeknya diikuti oleh ulama lainnya. Hasil karyanya yang fenomenal adalah al-Jami’ as-S{ah}i>h} yang terkenal dengan sebutan S{ah}i>h} al-Bukha>ri>. Beliau wafat pada tahun 259 di kota Baghdad.
2. Imam Muslim.
Nama lengkapnya Abu> al-H}usain Muslim H{ajjaj al-Qusyairi an-Naisabu>r. Beliau lahir pada tahun 202 H dan wafat pada tahun 261 H. Beliau adalah seorang ulama ahli h}adi>s\ terkemuka setelah Imam al-Bukha>ri>, yang keduanya terkenal dengan julukan “asy-Syaikha>ni”. Karya besarnya adalah S{ah}i>h} Muslim, yang merupakan kitab h}adi>s\ rujukan dalam kehujjahan h}adi>s\ setelah S{ah}i>h} Bukha>ri.
3. Imam Abu> Da>ud
Nama lengkapnya adalah Sulayma>n ibn al-Asy’as ibn Ish}a>q ibn Imran al-Azdi Abu> Da>ud a—Sijista>ni>. Abu> Da>ud adalah seorang perawi h}adi>s\, ia terkenal lewat karyanya yang berjudul al-Sunan. Kitab ini berisi himpunan h}adi>s\ Nabi lengkap dengan rangkaian nama rawinya. Ulama ahli h}adi>s\ dari kalangan Sunni sepakat bahwa karya Abu> Da>ud tersebut termasuk kelompok al-Kutu>b al-Khamsah (lima Kitab h}adi>s\). Ulama h}adi>s\ menempatkan karya Abu> Da>ud tersebut pada ururtan ketiga sesudah kitab S{ah}i>h} al-Bukha>ri> dan S{ah}i>h} Muslim.
Ulama h}adi>s\ dengan nama Abu> Da>ud dan masing-masing juga menghimpun h}adi>s\ Nabi sesungguhnya ada dua orang yaitu Abu> Da>ud al-Thayalisi dan Abu> Da>ud al-Sijista>ni. Abu> Da>ud yang disebut pertama bernama lengkap Sulaima>n ibn Daud al-Jarud Abi> Da>ud al-Thayalisi penyusun kitab h}adi>s\ Musnad. Ia adalah salah seorang ulama yang menyampaikan riwayat h}adi>s\ kepada Ahamad ibn Hambal (w. 241H-855 M).
4. Imam at-Tirmi>z\i>
Nama lengkapnya adalah Abu> al-H{asan Muh}ammad ibn Isa berasal dari desa Tirmi>z\i> di pantai sungai Jihan di Bukhara. Dalam membaca kalimat Tirmizi boleh dengan tiga macam cara yaitu Tirmizi, Turmuzi dan Tarmizi.
Beliau lahir pada tahun 200 H, dan wafat pada tahun 267 H. Kitab Tirmi>z\i> termasuk dalam kitab yang Enam yaitu Bukha>ri>, Muslim, Abu> Da>ud, Tirmi>z\i> dan Ibn Ma>jah. Beliau termasuk penulis terkenal juga h}adi>s\-h}adi>s\nya dapat dijadikan pengangan dalam mengambil keputusan setiap permasalahan dan juga diakaui secara umum h}adi>s\-h}adi>s\nya walaupun tinggkatannya di bawah kitab S{ah}i>h} Bukha>ri>.
5. Abdul Wahha>b Khalla>f
Beliau lahir pada bulan maret 1888 di daerah Kufruziyah. Setelah hafal al-Quran, beliau belajar di al-Azhar pada tahun 1910. Pada tahun 1915, beliau lulus dari fakultas Hukum Islam Universitas al-Azhar, kemudian diangkat menjadi pengajar di sana. Pada tahun 1920, beliau menduduki jabatan Hakim Mahkamah Syar’iyyah, yang pada akhirnya pada tahun 1931, beliau diangkat menjadi Ketua Mahkamah Syar’iyyah. Pada tahun 1924, beliau ditugaskan menjadi Direktur Departemen Perwakafan. Dan pada tahun 1934, dikukuhkan menjadi Guru besar Fakultas Hukum Islam Universitas al-Azhar, Kairo. Karya-karya beliau diantaranya, Ilmu Us}u>l Fiqh, Mas}a>dir at-tasyri>’ fi>ma> la> nassa fi>hi, dan lain. Beliau wafat pada tanggal 20 Januari 1956.
6. Abdul H{ali>m Muh}ammad Abu> Syuqqah.
Beliau lebih populer dengan nama Abu> Abdurrahma>n. Beliau adalah seorang pemikir,pendidik, dan penulis yang produktif yang brilian dan tulus. Dia pernah berkerja di Departemen Pendidikan dan Pengajaran, Qatar. Sejak muda aktif di Gerakan Ikhwan al-Muslimin dan akrab dengan pendirinya, Hasan al-Banna. Dia juga pendiri majalah al-Muslim al-Mu’a>sir, yang merupakan corong gerakan intelektual muslim yang berani dan kritis.
7. Asghar Ali Engineer.
Beliau adalah ilmuan India, Direktur Pusat Studi Islam Bombay, seorang ilmua dan ahli teologi dengan reputasi internasional. Beliau menulis sejumlah tulisan baik dalam bentuk buku maupun artikel di bidang teologi Islam, Hukum Islam, Sejarah dam Filsafat Islam. Ia juga mengajar di sejumlah negara. Buku terpenting karya Ashgar adalah The Rights of Women the Origin and Development.
8. Fazlur Rah}ma>n.
Ia dilahirkan pada tahun 1919 di sebuah daerah yang terletak di Pakistan. Ia dibesarkan dalam sebuah keluarga dengan tradisi mazhab Hanafi. Pada awalnya ia memperoleh pendidikan agama di madrasah dan secara informal diperolehnya pengajaran keagamaan dari ayahnya yang menjadi seorang ahli agama. Setelah menamatkan pendidikan menengah, Rahman melanjutkan studinya di Departement Ketimuran Universitas Punjab, dan berhasil meraih gelar MA pada tahun 1924. Karena mutu pendidikan Islam di India amat rendah, ia akhirrnya melanjutkan studinya ke Oxford Universty di Inggris dan merampungkan studi doktoralnya pada tahun 1950. Setelah meraih Doktor of Philosophy (Ph. D) dari Oxford University, Rahman tidak langsung ke Pakistan, tetapi memilih menerap sementara waktu di Barat. Akhirnya ia mengajar beberapa tahun di Duhan Universty Inggris. Kemudian di Institute of Islamic Studies, Mc Gill University, Kanada.
Setelah berkelana agak lama di Barat pada akhirnya ia kembali ke Pakistan di awal taun 60-an. Pada Agustus 1962,ia ditunjuk sebagai direktur Lembaga Riset Islam, setelah sebelumnya menjabat sebagai staf di lembaga tersebut. Pada tahun 1964, ia ditunjuk sebagai anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam Pemerintah Pakistan. Pemikiran Rahman yang kritis dan modern banyak ditentang oleh ulama-ulama Pakistan. Ia akhirnya berpulang kehadirat Ilahi pada tanggal 26 Juli 1988. Di antara karya yang ditinggalkannya adalah an-Nas’at, Kitab asy-Syifa’, Propecy in Islam, Philosophy an Ortodoxy, Islam dan lain-lain.
9. Quraisy Shihab.
Ia adalah seorang pemikir Kontemporer Indonesia yang Master dan Doktornya ia dapatkan dari Kairo dengan kajian al-Quran dan Hadis. Beliau telah menulis sejumlah buku dan sejumlah artikel khususnya di bidang tafsir dan masalah-masalah sosial keagamaan. Ia pernah menjadi Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Duta Besar di Sudi Arabia sejak tahun 1999.
10. Fatima Mernisi.
Adalah seorang sosiolog dan penulis asal Moroko. Mernisi lahir di kota Fez dalam keluarga kelas menengah. Dia belajar di Universitas Muhammad V di kota Rabat dan kemudian melanjutkan ke Paris. Di sini ia sempat bekerja sebentar sebagai wartawan. Dia menyelesaikan studi sarjananya di Amerika Serikat, dan pada tahun 1973, meraih gelar doktor dalam bidang sosiologi dari Universitas Brandeis. Sekembalinya ke Mororko, ia bekerja di Depatement Sosiologi Universitas Muhammad V. Kini ia menekuni bidang penelitian di Universitaire de Recherhe Scientificue , Moroko.
0 Comment