Hukum Umroh Studi Komparasi Antara Mazab Maliki dan Mazhab Syafi’i
Kewajiban dalam melaksanakan ibadah haji merupakan kesepakatan dari
seluruh ulama dengan memakai dasar dari dalil al-Qur’an, akan tetapi
berbeda halnya dalam kewajiban ibadah umroh karena tidak adanya
kepastian mengenai hukumnya didalam al-Qur’an. Mereka terbelah menjadi
dua kubu, yang pertama Mazhab Maliki yang mensunahkan ibadah umroh dan
Mazhab Syafi’i yang mewajibkan ibadah umroh. Penyusun melakukan
penelitian ini dengan tujuan untuk mengetahui apa metode istinbat yang
digunakan, dalil yang valid sehingga bisa diketahui mana yang lebih
rajih.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah berdasarkan
analisis deskriptif-komparatif dengan teknik pengumpulan data melalui
penelaahan pustaka yang disesuaikan dengan pokok pembahasan. Sedangkan
dalam menganalisis data yang terkumpul adalah dengan cara
deduktif,induktif. Adapun pendekatannya melalui ulum al-hadis dan usul
figh untuk menilai sejauh mana kesahihan hadis yang digunakan dalil
dalam istinbat hukum dari kedua mazhab diatas dan kaidah-kaidah usul
yang dipakai dalam metode pentarjihan hukum.
Kesimpulan dari penelitian ini yaitu pendapat Mazhab Maliki yang
menyatakan bahwa ibadah umroh itu hukumnya sunah dilaksanakan sekali
seumur hidup berlandaskan dalil berupa hadis yang diriwayatkan oleh Imam
at-Tirmizi dari Jabir RA. Hadis tersebut ternyata da’if setelah
diteliti sanad dan matnnya. Sedangkan Mazhab Syafi’I yang berpendapat
ibadah umroh wajib dilaksanakan sekali seumur hidup berlandaskan dalil
berupa hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dari Aisyah
RA. Hadis ini setelah diteliti sanad dan matn ternyata berkualitas
sahih, sehingga menurut penyusun pendapat yang lebih rajih adalah
pendapat Mazhab Syafi’i dengan berlandaskan dalil yang sahih.
Dengan demikian, kata akhir dari penyusun, semoga hasil penelitian yang
sudah dalam bentuk skripsi, dapat memberikan kontribusi yang cukup
siknifikan dalam bidang hukum keluarga secara khusus, dan terus
dikembangkan oleh para kalangan akademisi secara umum.
A. Latar Belakang Masalah
Manusia tidak sekedar sebagai binatang yang berakal. Bukan pula sebuah
benda mati yang tunduk kepada undang-undang atau kekuasaan, dan bukan
sebuah mesin yang bergerak di bawah hukum tertentu atau di atas jalan
yang telah digariskan. Ia adalah akal, hati, keimanan, perasaan,
ketaatan, kepatuhan dan kecintaan. Dalam semua itu terdapat rahasia
kekuatan, kecermerlangan, kreasi dan pengorbanannya. Dengan demikian, ia
dapat mengatasi kesulitan dan mampu membuat hal-hal yang luar biasa. Ia
berhak memikul amanat Allah yang tidak dapat dipikul oleh langit, bumi,
dan gunung. Semuanya enggan untuk memikulnya, sehingga dipikul oleh
manusia, dan sampailah ia kepada sesuatu yang tidak pernah dicapai oleh
para malaikat, binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda mati.
Hubungan manusia dengan Tuhannya, bukan hanya hubungan yang legal atau
logis dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban-Nya, tunduk di hadapan-Nya
dan mentaati perintah-perintah serta hukum-hukum-Nya. Melainkan
sesuatu yang harus diiringi dan dihubungkan dengan kerinduan dan
kecintaan. Seorang Muslim membutuhkan suatu santapan hati dan bekal
cinta. Ia merasa butuh untuk memenuhi harapannya, dan untuk memuaskan
rasa dahaganya dari masa ke masa. Ia juga merasa butuh memenuhi
gelasnya, namun apalah artinya sebuah gelas yang diisi namun tidak
pernah terpenuhi? Ia pun merasa butuh untuk membanjiri gelas yang
dipenuhi tapi tidak pernah banjir?
Islam sebagai agama paripurna telah memberikan tuntunan kepada para
pemeluknya agar melakukan berbagai kewajiban. Islam telah mensyari’atkan
berbagai bentuk ibadah yang dapat membersihkan jiwa seseorang,
mengangkat derajat rohani dan jasmaninya serta tidak menyia-nyiakan
kepentingan manusia untuk memakmurkan dunianya. salah satu bentuk amal
ibadah bagi orang Islam adalah melaksanakan ibadah ‘umrah. Dalam hal
ini, ka’bah dan syi’ar-syi’ar Allah yang ada di sekelilingnya, adalah
sesuatu yang paling baik untuk merealisasikan keinginannya dan menghibur
kerinduan serta kecintaannya.
Umat Islam diwajibkan melakukan berbagai ritual, yang adakalanya ritual
tersebut pernah dilakukan umat-umat sebelumnya. Perintah salat, misalnya
merupakan bentuk syari’at klasik pada masa Ibrahim AS dan Nabi-nabi
sebelumnya, bahkan Gereja Kristen Ortodoks hingga kini juga melakukan
ritual salat yang tidak berbeda jauh dengan umat Islam.
Di antara ritual yang amat menggoreskan kenangan dan magis bagi para
pelakunya adalah ibadah haji dan ‘umrah. Sesungguhnya ibadah haji dan
‘umrah adalah menapak tilas leluhur kita, Nabi Ibrahim AS yang
menginjakkan kaki di kota yang gersang dan tandus, Mekkah al-Mukarramah.
Rangkaian ibadah haji meliputi ih}ra>m, wuqu>f di ‘Arafah,
t}awa>f, sa’i, mabit di Muzdalifah dan Mina>, melempah jumrah,
tahallul, dan dikerjakan secara berurutan. Sedangkan ibadah ‘umrah
dilaksanakan sama seperti ibadah haji, minus wuqu>f di ‘Arafah, mabit
di Muzdalifah dan Mina>, serta melempar jumrah. Ibadah ‘umrah juga
dapat dilakukan sewaktu-waktu, berbeda dengan ibadah haji yang telah
ditentukan waktunya.
Dilihat dari aspek moral spiritualnya, ibadah ini merupakan puncak
taqarrub ilahiyah (upaya pendekatan diri kepada Allah). Sedang dilihat
dari aspek sosial edukatifnya ibadah ini merupakan upaya pendekatan
kemanusiaan. Dengan demikian, di dalam pelaksanaannya nilai-nilai moral
berpadu dengan nilai-nilai sosial. Di samping itu juga diorientasikan
untuk menghayati perjuangan Nabi Ibrahim AS dalam meletakkan monumen
ajaran tauhid (keesaan Tuhan), sesuatu yang kemudian secara serius juga
diperjuangkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Menurut pendapat jumhur ulama’, ibadah haji disyari’atkan pada tahun 6
H. Namun, menurut Ibnul-Qayyim ibadah haji disyari’atkan pada tahun 9/10
H. Karena pada tahun itu, kaum muslimin di Madinah dan di seluruh
tanah Arab menunaikan ibadah haji ke Mekkah yang telah bersih dari
berhala-berhala. Dalam pada itu, tidak seorang ulama’ pun yang berbeda
pendapat tentang hukum haji. Kesemuanya tanpa kecuali sepakat, bahwa
ibadah haji wajib dikerjakan oleh orang Islam yang mampu. Siapa yang
mengingkarinya, berarti ia telah kafir. Dalil kewajiban haji adalah
firman Allah SWT:
ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا
وأتموا الحج والعمرة لله
Sementara itu, para ulama’ berbeda pendapat tentang hukum ‘umrah, apakah
‘umrah itu wajib atau sunnah hukumnya. Mereka terbelah ke dalam dua
kubu. Kubu pertama, yaitu golongan ulama’ yang mewajibkan ‘umrah adalah
ulama’ Sya>fi’iyyah dan Hana>bilah. Pendapat ini juga sejalan
dengan ‘Umar, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abba>s, dan Ja>bir bin ‘Abdullah
dari kalangan sahabat, Sa’i>d bin Jubai>r dan Sa’i>d bin
al-Musayyab dari kalangan tabi’in. Kubu kedua, yaitu golongan ulama’
yang menyatakan bahwa ‘umrah itu sunnah adalah ulama’ Ma>liki>yyah
dan Hana>fi>yyah. Pendapat ini juga dinyatakan oleh Ibnu
Mas’u>d dari kalangan sahabat.
Kedua pendapat yang berbeda ini tentu amat bertentangan secara
diametral. Pendapat yang mewajibkan ‘umrah, mengharuskan seorang muslim
agar mengerjakannya tatkala ia telah mempunyai kemampuan fisik dan
finansial, dan apabila ia tidak mengerjakannya, maka ia berdosa. Sedang
pendapat yang menyatakan ‘umrah itu sunnah, hanya menganjurkan dengan
sangat seorang muslim agar mengerjakan ‘umrah, tanpa dikenai sanksi
dosa.
Menilik dari kedua implikasi di atas, kiranya perbedaan pendapat tentang
hukum umrah menarik untuk diperbandingkan. Dalam skripsi ini, akan
diperbandingkan antara pendapat maz\hab Sya>>fi’i dan maz\hab
Ma>liki. Maz\hab Sya>fi’i dipilih karena maz\hab inilah yang
berkembang luas dan dianut hampir seluruh rakyat Indonesia. Sedang,
maz\hab Ma>liki dipilih karena Ima>m asy-Sya>fi’i, sebagai
pendiri maz|hab Sya>fi’i pernah berguru dan menimba ilmu dari
Ima>m Ma>lik.
B. Pokok Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas,
dapat ditarik beberapa permasalahan yang perlu dibahas yaitu:
1. Bagaimanakah istinba>t} yang dikemukakan maz\hab Sya>fi’i dan maz\hab Ma>liki mengenai hukum ‘umrah?
2. Bagaimanakah validitas dalil yang digunakan oleh kedua maz\hab tersebut mengenai masalah di atas?
3. Manakah di antara kedua pendapat di atas yang ra>jih?
C. Tujuan dan Kegunaan
Skripsi ini diharapkan mampu memberikan jawaban bagi pokok masalah yang
telah dipaparkan. Untuk lebih jelasnya, tujuan pembahasan ini adalah:
1. Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai istinba>t hukum ‘umrah.
2. Untuk menjelaskan akurat-tidaknya dalil yang digunakan oleh kedua maz\hab tersebut.
3. Untuk mendapatkan pendapat yang ra>>jih antara kedua pendapat yang bertentangan ini.
Sementara, kegunaan dari pembahasan skripsi ini adalah:
1. Diharapkan berguna sebagai sumbangan pemikiran dalam disiplin ilmu syari’ah, khususnya ilmu fiqh ibadah komparatif.
2. Diharapkan dapat memperluas cakrawala pemikiran fiqh ibadah dan menambah perbendaharaan informasi pengetahuan hukum Islam.
D. Telaah Pustaka
Sebelum menganalisa lebih lanjut, penyusun akan menela’ah karya-karya
yang membahas seputar masalah ini. Salah satu rujukan penting dalam fiqh
perbandingan, yaitu Bida>yah al-Mujtahid buah karya Ibn Rusyd secara
sepintas membahas hukum ‘umrah. Beliau menerangkan adanya perbedaan
pendapat antara kubu ulama’ yang menyatakan bahwa ‘umrah itu wajib, dan
kubu ulama’ yang menyatakan bahwa ‘umrah itu sunnah. Selain itu,
diterangkan pula dalil-dalil apa saja yang menjadi landasan kedua kubu
ulama tersebut. Sebab terjadinya pendapat ialah adanya perlawanan
hadis-hadis dalam soal ini, serta tentang perintah menyempurnakan apakah
berarti wajib atau tidak.Akan tetapi, Ibn Rusyd hanya memaparkan
perbedaan pendapat ini, tidak sampai menerangkan mana pendapat yang
rajih.
‘Abd ar-Rahman al-Jaziri dalam karyanya kitab al-Fiqh ‘ala al-Maz\ahib
al-‘Arba’ah juga menerangkan perbedaan pendapat tentang hukum ‘umrah
ini. Beliau juga tidak lupa menerangkan secara ringkas dalil-dalil kedua
golongan ulama’ itu. Menurut penyusun, Dalam kitab ini hanya dijelaskan
bahwa suatu pekerjaan yang diwajibkan dalam haji juga diwajibkan dalam
umroh, begitu juga pekerjaan yang disunnahkan dalam haji disunnahkan
pula dalam umroh. Tetapi beliau agaknya cenderung pada pendapat yang
menyatakan bahwa ‘umrah itu wajib karena menempatkan pembahasan ulama
yang mewajibkan ‘umrah di atas garis.
M. ‘Ali> as}-S{a>bu>ni> dalam karyanya, Rawa>i’
al-Baya>n: Tafsi>r At al-Ah}ka>m secara sepintas menyinggung
tentang hukum ‘umrah. Beliau hanya menjelaskan perbedaan pendapat antara
ulama Sya>fi’iyyah dan Hana>bilah dengan ulama’ Ma>likiyyah
dan Hana>fiyyah dan menyertakan alasan berdasarkan dalil saja. .
Beliau, dengan mengutip ucapan asy-Syauka>ni> lebih memilih
pendapat yang menyatakan bahwa ‘umrah itu sunnah.
Ima>m an-Nawa>wi, sebagai ulama’ Sya>fi’iyyah juga menerangkan
perbedaan pendapat tentang hukum ‘umrah ini. Beliau menjelaskan bahwa
Ima>m asy-Sya>fi’i, dalam qaul qadimnya menyatakan bahwa ‘umrah
itu sunnah, dan dalam qaul jadidnya, ‘umrah itu wajib. Beliau juga
secara sepintas membahas dalil ulama lain yang menyatakan bahwa ‘umrah
itu sunnah.
Ibn Quda>mah al-Maqdisi> dalam kitabnya, asy-Syarh al-Kabi>r
menerangkan adanya perbedaan pendapat antara segolongan ulama’ yang
menyatakan bahwa ‘umrah itu wajib dan segolongan ulama’ yang menyatakan
bahwa ‘umrah itu sunnah. Beliau juga tidak lupa menjelaskan dalil-dalil
yang dijadikan pegangan masing-masing golongan tersebut. Namun, beliau
sebagai ulama’ Hana>bilah jelas memilih pendapat yang menyatakan
bahwa ‘umrah itu wajib.
Sejauh penelusuran penyusun, belum ada skripsi yang membahas mengenai hukum umrah pada umumnya.
E. Kerangka Teoritik
Kajian tentang hukum ‘umrah, apakah wajib atau sunnah tentu tidak
terlepas dari kajian tentang dali>>l atau sumber hukum sebagai
dasar tempat bertolak dalam melakukan penggalian hukum istinba>t al
ahka>m. Tanpa lebih dahulu mengkaji dali>>l atau sumber
hukumnya, kajian untuk menguaknya akan menjadi tidak utuh.
Para ulama membagi da>lil atau sumber hukum atas dua bentuk. Pertama,
da>lil-da>lil yang disepakati keabsahannya, dan kedua,
da>lil-da>lil yang tidak disepakati keabsahannya. Empat da>lil
atau sumber hukum yang disepakati adalah al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ dan
Qiyas. Para ulama juga bersepakat bahwa istidla>l (proses pencarian
sebuah dalil hukum) mengikuti hirarki di atas, yakni apabila ada suatu
peristiwa atau kasus, maka seseorang yang ingin mengetahui hukumnya
harus merujuk terlebih dahulu pada al-Qur’an. Apabila ia menemukannya,
ia harus mengambil dan melaksanakannya. Bila ia tidak menemukannya, ia
beralih ke as-Sunnah. Demikian pula, bila ia tidak menemukannya, ia akan
menoleh ijma’ tentang kasus tersebut. Dan terakhir kali, bila ia tidak
menemukannya, ia akan berijtihad menggunakan Qiyas.
Dalam hukum melaksanakan ibadah Haji semua ulama’ sepakat bahwa ibadah
Haji wajib dikerjakan oleh orang Islam yang mampu sekali seumur hidup.
Dalil kewajiban haji dalam firman Allah SWT :
ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا
وأتموا الحج والعمرة لله
Akan tetapi para fuqaha berbeda pendapat dalam hal kewajiban umrah.
Dalam kajian ini, maz\hab Ma>liki mengatakan bahwa ‘umrah itu sunnah,
dengan mengetengahkan dali>l h}adis\ berupa tanya jawab tentang
hukum ‘umrah, yang kemudian dijawab Nabi bahwa hukumnya tidak wajib.
H{{adis ini diriwayatkan oleh Ima>m at-Tirmi>zi>, yang
selengkapnya berbunyi:
حدثنا محمد بن عبد الأعلى الصنعاني حدثنا عمر بن علي عن الحجاج عن محمد بن
المنكدر عن جابر أن النبي صلى الله عليه وسلم سئل عن العمرة أواجبة هي؟ قال
لا وأن تعتمروا هو أفضل
Sedangkan maz\hab Sya>fi’i yang menyatakan bahwa ‘umrah itu wajib
mengemukakan dali>l h}adis\, mengenai pertanyaan ‘Am Ahmad bin
Hanba>l, yang selengkapnya berbunyi:
حدثنا محمد بن فضيل قال ثنا حبيب بن أبي عمرة عن عائشة ابنة طلحة عن عائشة
قالت قلت يا رسول الله هل على النساء من جهاد ؟ قال نعم عليهن جهاد لا قتال
فيه الحج والعمرة
Berbeda dengan al-Qur’an yang semuanya otentik dari Allah, kebenaran
suatu h}adis\ Nabi tergantung pada kebenaran berita yang disampaikan
pembawa berita tentang h}adis\. Suatu h}adis\ bila berkualitas
s}ah}i>h} dan atau h}asan, maka wajib diamalkan berdasarkan
kesepakatan para pakar h}adis, ulama-ulama usu>li> terpercaya dan
para fuqaha>’. Sedangkan apabila h}adis\ itu berkualitas d}a’i>f,
maka tidak dapat dijadikan hujjah.
Sebuah h}adis\ untuk dapat dikatakan berkualitas s}ah}i>h} harus
memenuhi beberapa kriteria tertentu, yakni (1) Rangkaian sanad sejak
Ima>m pentakhrij h}adis\ hingga sahabat harus bersambung. (2) Para
perawi yang menuturkan h}adis\ itu merupakan orang-orang yang adil. (3)
Para perawi yang menuturkan h}adis\ itu merupakan orang-orang yang
sempurna hafalannya (tama>m ad}-d}abt}). (4) H{adis\ itu tidak
sya>z\. (5) H{adis itu tidak ber’illat.
Sedangkan kriteria h}adis\ h}asan sama seperti h}adis\ s}ah}i>h},
hanya saja kekuatan hafalan para perawinya di bawah para perawi h}adis\
s}ah}i>h}. Sementara itu, suatu h}adis\ dikatakan d}a’i>f apabila
tidak memenuhi kriteria-kriteria h}adis\ s}ah}i>h} dan h}asan. Hal
ini adakalanya karena kredibilitas perawinya yang kurang adil atau
karena terjadi keterputusan dalam sanadnya, atau pun sebab lainnya.
H{adis\ d}a’i>f, di antaranya h}adis maqlu>b, mud}t}arib, mursal,
munqat}i’, mu’d}al, munkar dan lain-lain.
Dengan demikian, untuk mengetahui kualitas suatu h}adis\, harus
dilakukan penelitian tentang para perawinya serta ditelusuri apakah
h}adis\ itu sya>z\ dan atau ber’illat atau tidak.
Untuk menyelesaikan pertentangan dari dua dalil tersebut sebagai langkah
awal, adalah dengan menggunakan al-jam´u wa at-taufiq, yakni dengan
mengumpulkan dalil yang bertentangan itu, kemudian mengkompromikannya
sesuai dengan syarat-syarat yang bertentangan. Bila solusi tersebut tak
terselesaikan, maka dilakukan langkah lain, yaitu dengan na>sikh
mansu>kh dengan membatalkan salah satunya. Dan alternatif terakhir
yaitu tarji>h (mengunggulkan salah satunya) atau dengan tawaqquf
(menangguhkan pengamalan keduanya hingga nampak dalil yang lebih kuat).
Dalam masalah ini, metode yang diterapkan pada perbenturan dua dalil di
atas adalah metode tarji>h, sebab pada salah satu dua dalil tersebut
terdapat indikasi yang lebih menguatkan daripada yang lain, sehingga
tidak memungkinkan diterapkannya metode al-jam´u wa at-taufiq,
na>sikh mansu>kh dan apalagi tawaqquf.
Metode tarji>h yang digunakan untuk menyelesaikan pertentangan dalil
(Ta`’a>rud} al-Adilah) di atas adalah tarji>h ba`in
an-nus}u>s}. Dalam hal ini, penyusun akan menggunakan pendekatan
melalui ‘ulu>m al-h}adis\ dan us}u>l al-fiqh. Pendekatan melalui
‘ulu>m al-h}adis\ dapat dilakukan dengan melihat beberapa aspek,
yakni tarjih dengan melihat turunnya riwayat, cara periwayatan, usia
perawi ketika meriwayatkan, penunjukan lafal (dengan memperhitungkan
lafal yang ada dalam teks), kandungan matn atau teks yang diriwayatkan
sebagai perantara hukum serta faktor-faktor lain yang mendukung dalil
tersebut. Dalam hal ini, penulis akan mengunakan kaidah-kaidah tarjih
yang berkenaan dengan hal-hal yang menjadi tolak ukur pembedaan dua
dalil di atas, sehingga mampu menggambarkan perbandingan, yang
selanjutnya dapat diambil suatu kesimpulan mana yang paling kuat
(ra>jih}) dari kedua pendapat tersebut. Kaidah-kaidah itu adalah
sebagai berikut:
1. Dari segi sanad
a. Menurut jumhur ulama, dapat dilakukan dari sisi kuantitas para
perawi, yaitu menguatkan h}adis\ yang sanadnya lebih banyak daripada
h}adis\ yang bersanad relatif sedikit, karena kemungkinan terjadinya
kesalahan dalam satu riwayat yang diriwayatkan oleh banyak perawi sangat
kecil.
b. H{adi>s\ yang perawinya lebih kuat ingatannya (d}a>bit}), lebih
kuat agamanya, lebih bisa dipercaya (s\iqah), dan lebih taqwa ditarjih
daripada h}adis\ yang tidak diriwayatkan oleh perawi h}adis\ lain yang
tidak demikian.
c. Men-tarjih h}adis\ yang diterima dan dipelihara seorang perawi
melalui hafalannya daripada h}adis\ yang diterima dan dipelihara hanya
melalui tulisan.
d. Men-tarjih h}adis\ sahabat yang mengalami sendiri peristiwa daripada h}adis\ riwayat sahabat yang tidak mengalaminya.
e. Men-tarjih h}adis\ riwayat orang yang menerimanya secara langsung
daripada h}adis\ yang diriwayatkan seseorang yang menerimanya melalui
perantara.
f. Men-tarjih h}adis\ riwayat orang yang menyebutkan sabab al-wurud-nya atas h}adis\ riwayat orang yang tidak menyebutkannya.
g. Men-tarjih h}adis\ riwayat yang keadilan perawinya diketahui melalui
pernyataan banyak orang, praktek dalam kehidupan sehari-hari dan perawi
yang mengamalkan h}adis\ yang diriwayatkan daripada yang tidak demikian.
2. Dari segi matan
a. Teks umum yang belum dikhususkan lebih didahulukan daripada teks umum yang telah dikhususkan.
b. Teks yang mengandung larangan lebih didahulukan daripada teks yang mengandung perintah.
c. Teks yang mengandung perintah didahulukan daripada teks yang menunjukkan kebolehannya saja.
d. Makna hakekat dari suatu lafal lebih didahulukan daripada makna majaznya.
e. Teks yang sifatnya perkataan lebih didahulukan daripada teks yang sifatnya perbuatan.
f. Teks yang muhkam lebih didahulukan daripada teks yang mufassar, karena lebih pasti.
g. Teks yang s}ari>h (jelas) didahulukan daripada teks yang bersifat kina>yah (sindiran).
F. Metode Penelitian
Metode Penelitian adalah suatu cara bertindak menurut sistem aturan atau
tatanan yang bertujuan agar kegiatan praktis terlaksana secara rasional
dan terarah sehingga dapat mencapai hasil yang maksimal dan optimal.
Adapun langkah-langkah dalam penelitian ini adalah:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (Library research) yaitu
penelitian yang kajiannya dilakukan dengan menelusuri dan menela’ah
literatur atau penelitian yang difokuskan pada bahan-bahan pustaka.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini berdasarkan analisis deskriptif-komparatif yaitu
pemaparan apa adanya terhadap apa yang dimaksud oleh suatu teks dengan
cara memparafrasekan dengan bahasa penyusun. Sehingga dari penelitian
tersebut dapat menggambarkan secara sistematis, faktual dan akurat
mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat dari obyek kajian tersebut. Di
samping itu, penelitian ini juga bersifat komparatif, yakni
membandingkan antara pendapat maz\hab Sya>fi’i dan maz\hab Ma>liki
tentang hukum ‘umrah.
3. Sumber Data
Data-data yang penyusun kumpulkan terdiri dari dua kategori yaitu:
a) Data primer, berupa kitab al-Umm, al-Muwatta’, kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib, Bida>yah al-Mujtahid.
b) Data sekunder berupa kitab-kitab yang membahas tentang fiqh ibadah
ditambah buku-buku lain yang berkaitan dengan masalah ini. Sedangkan
mengenai kita>b h}adis\, akan digunakan kita>b-kita>b h}adis\
yang dikenal dengan nama al-kutub at-tis’ah.
Setelah pengumpulan bahan kepustakaan, kemudian dilakukan peninjauan
data dan diklasifikasikan untuk mempermudah langkah analisis dengan
menempatkan masing-masing data sesuai sistematika yang telah
direncanakan.
4. Analisis Data
Dalam penelitian ini, analisis data yang digunakan adalah:
a) Deduktif, yaitu metode penarikan kesimpulan yang diawali dari
pernyataan yang bersifat umum menuju pernyataan yang bersifat khusus
dengan menggunakan penalaran (berpikir rasional).
b) Induktif, yaitu kerangka berpikir yang didahului oleh fakta-fakta
secara khusus atau peristiwa-peristiwa yang kongkret, kemudian ditarik
ke hal-hal yang umum.
5. Pendekatan Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini, penyusun menggunakan pendekatan ulu>m
al-h}adis dan us}u>l fiqh untuk menilai sejauh mana kesahi>han
h}adis yang digunakan dali>l dalam istinba>t hukum kedua maz\hab
di atas dan kaidah-kaidah us}u>l yang dipakai dalam metode
pen-tarjihan hukum.
G. Sistematika Pembahasan
Skripsi ini terdiri dari lima bab, yang terdiri atas satu bab pendahuluan, tiga bab pembahasan materi dan satu bab penutup.
Bab pertama adalah pendahuluan yang dirinci atas beberapa anak bab,
yakni: latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan dan kegunaan
penelitian, tela’ah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian dan
sistematika pembahasan. Pada dasarnya bab ini tidak termasuk dalam
materi kajian, tetapi lebih ditekankan pada pertanggungjawaban ilmiah.
Pada bab kedua berisi tinjauan umum tentang ‘umrah yang dirinci dalam
beberapa anak bab berupa pengertian, syarat-syarat dan waktu, serta
rukun-rukun ‘umrah.
Pada bab ketiga, penyusun akan melihat riwayat kehidupan pendiri maz\hab
mali>ki dan Sya>fi’i. Untuk itu, dalam bab ini dikemukakan
riwayat kehidupan kedua ulama’ ini. Dan tidak lupa, dipaparkan pendapat
kedua maz\hab ini beserta dali>l berupa h}adis\.
Pada bab keempat, penyusun mengkomparasikan pemikiran kedua maz\hab di
atas serta melacak kesahi>han dali>l h}adis\ kedua maz\hab
tersebut dan melakukan tarjih.
Akhirnya pada bab kelima, yakni penutup, penyusun mengemukakan
kesimpulan umum dari kajian skripsi secara keseluruhan. Hal ini terutama
dimaksudkan sebagai penegasan jawaban permasalahan yang telah
dikemukakan, kemudian penyusun melengkapinya dengan daftar pustaka.
TINJAUAN UMUM
Pengertian ‘Umrah
Dipandang dari sisi bahasa, ‘umrah berarti ziarah. Disebut demikian
karena di dalamnya terdapat unsur menziarahi rasa kasih sayang. Diambil
dari kata i’timar, dikatakan “I’timara fahuwa mu’tamir yaitu zara.”
Menurut pengertian syara’, ‘umrah ialah berziarah ke Baitullah al-Haram
dengan melakukan t}awa>f, sa’i> antara s}afa> dan marwah, serta
bercukur atau menggunting rambut.
‘Umrah dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. ‘Umrah yang terpisah dari haji (mufradah). Waktunya sepanjang tahun,
menurut kesepakatan semua ulama maz\hab. Namun waktu yang paling utama
menurut Imamiyah adalah bulan Rajab. Sedangkan menurut maz\hab lain,
adalah pada bulan Ramad}a>n.
2. ‘Umrah yang terpadu atau bersama haji (‘Umrah Tamattu’). Orang yang
beribadah haji harus melaksanakan ‘umrah terlebih dahulu, kemudian
melakukan amalan-amalan haji pada satu kali perjalanan, sebagaimana yang
dilakukan oleh para jama’ah haji yang datang dari berbagai negara yang
jauh dari Makkah al-Mukarramah. Waktunya adalah bulan-bulan haji, yaitu:
Syawwa>l, Z|ulqa’dah, Dan Z||ulh}ijjah, menurut kesepakatan ulama
maz\hab. Namun mereka berbeda pendapat tentang bulan Z||ulh}ijjah:
apakah satu bulan penuh termasuk bulan haji, atau sepertiga pertama?
Menurut orang yang mengatakan bahwa ‘umrah itu wajib, gugurlah kewajiban
itu bila telah melakukan ‘umrah yang bersama atau terpadu dengan haji.
Sayyid Al-Khui memberikan penjelasan tentang perbedaan antara ‘umrah
mufradah (terpisah dari haji) dengan ‘umrah tamattu’ (bersama haji)
dengan beberapa hal di bawah ini:
1. T{awa>f seorang wanita pada ‘umrah mufradah (terpisah dari haji)
hukumnya wajib dikerjakan, tetapi tidak wajib dalam ‘umrah tamattu’
(‘umrah bersama haji).
2. Waktu ‘umrah tamattu’ (bersama haji) dimulai dari awal bulan
Syawwa>l sampai pada hari kesembilan bulan Z|ulh}ijjah. Sedangkan
waktu ‘umrah mufradah (‘umrah yang terpisah dari haji) adalah sepanjang
tahun.
3. Orang yang melakukan ‘umrah tamattu’ (‘umrah bersama haji) hanya
dibolehkan memendekkan rambutnya saja. Sedangkan orang yang melakukan
‘umrah mufradah (berpisah dari haji) boleh memilih antara memendekkan
atau mencukur rambutnya.
4. ‘Umrah tamatttu’ dan haji terjadi sekali dalam satu tahun tetapi kalau ‘umrah mufradah tidak.
Dalam buku ad-Di>n wa al-H{ajj ‘ala Maz\ahib al-Arba’ah karya
al-Kara>rah dijelaskan bahwa Ima>m Ma>lik dan Ima>m
asy-Sya>fi’i> mengatakan bahwa orang yang melakukan ‘umrah
mufradah dihalalkan melakukan apa saja, sampai bergaul dengan istrinya
kalau dia telah bercukur atau memendekkan rambutnya, baik telah membayar
(memberikan) kurban atau belum.
Syarat-Syarat dan Waktu ‘Umrah
Fuqaha’ telah sepakat di dalam menetapkan beberapa syarat bagi ibadah
haji dan ‘umrah, di mana pelaksanaanya menjadi tidak wajib kalau salah
satu dari syaratnya tidak ada.
Yang dimaksud dengan syarat-syarat tersebut adalah: 1). Beragama Islam.
2). ‘Alig (dewasa). 4). Merdeka. 5), Istit}a>’ah (mampu). Beberapa
syarat di atas telah menjadi kesepakatan para fuqaha.
Persyaratan-persyaratan ini, lebih jelasnya akan diterangkan satu persatu sebagai berikut:
1. Beragama Islam
Syarat pertama ini merupakan syarat mutlak bagi orang yang akan
melaksanakan ibadah haji dan ‘umrah menurut maz\hab H{ana>fi,
Sya>fi’i> dan H{anbali>. Sementara itu, menurut maz\hab
Ma>liki, Islam adalah syarat sah, bukan syarat wajib. Karena itu,
orang kafir tetap mempunyai (dikenai) kewajiban ini, namun hajinya tidak
sah. Hal ini berhubungan dengan hukum duniawi. Adapun mengenai urusan
akhiratnya, maka ada perbedaan pendapat dari ulama fiqih. Apakah di
akhirat kelak, (orang-orang kafir) akan disiksa karena tidak
melaksanakan kewajiban ‘umrah atau tidak? Perbedaan seperti ini dapat
dilihat dalam taklif syariat. Adapun orang yang murtad, menurut maz\hab
H{ana>fi> dan H{anbali>, ia tidak wajib (sunnah) melakukan
ibadah ’umrah. Sedangkan menurut maz\hab Sya>fi’i, ibadah ‘umrah
tetap diwajibkan atas orang murtad yang mampu, namun tidak sah hingga ia
memeluk Islam kembali.
2. ‘Aqi>l
Orang yang tidak berakal seperti gila, ayan atau idiot tidak wajib
‘umrah, kecuali ia sembuh dari penyakit itu. Dan seandainya ia tetap
melaksanakan (‘umrah) dalam keadaan gila, maka ‘umrahnya tidak sah.
3. Ba>lig
Anak kecil (di bawah usia) tidak wajib ‘umrah, akan tetapi, kalau ia
ber’umrah, maka ‘umrahnya dingggap sah, tetapi dikategorikan (dihukumi)
sebagai ‘umrah sunnah.
4. Merdeka
Yang dimaksud dengan merdeka di sini ialah bukan budak belian, hamba
sahaya, yang terikat dengan tugas kewajiban yang dibebankan oleh
tuannya. Sedangkan untuk ibadah ‘umrah ini, sangat memerlukan waktu yang
lama. Di samping itu pula, sudah barang tentu budak tersebut tidak
mempunyai biaya untuk ongkos haji, karena dia di bawah kekuasaan orang
lain.
Pengertian budak dalam dunia Islam ialah para tawanan dalam peperangan
antara muslim (jiha>d fi> sabililla>h) melawan musuh non Islam.
Kemudian ada informasi mengatakan bahwa tawanan Islam diperbudak oleh
musuh (non Islam). Maka tawanan musuh yang berada di tangan muslim
berhak pula dibuat sebagai budak, boleh diperjual-belikan. Jadi dengan
syarat, di pihak musuh terlebih dahulu memperbudak tawanan muslim yang
berada di tangan mereka. Dengan demikian, andaikata ada perbudakan
dewasa ini, maka tidak sesuai lagi dengan persyaratan tersebut. Berarti
dewasa ini, dunia Islam tidak mengenal lagi perbudakan..
5. Mampu
Mampu artinya tidak wajib berhaji bagi orang yang tidak mampu. Dan kalau
pun ia berhaji, maka hajinya sah. Hal ini selaras dengan firman Allah:
ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا
Mengingat karena banyaknya kesukaran-kesukaran untuk pergi ke Baitullah,
banyak hal yang menyangkut dalam kategori orang yang dianggap mampu
atau kuasa untuk pergi melaksanakan ibadah ‘umrah. Mampu di sini
meliputi dua hal: pertama, yang di dalamnya terkait laki-laki,
perempuan, dan kedua, khusus wanita.
a. Yang di dalamnya terkait laki-laki dan perempuan, antara lain:
1) Mampu bekal dan kendaraan
Menurut Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah kemampuan atas bekal dan
kendaraan ini dengan catatan ada bekal berlebih untuk menutupi hutang,
kebutuhan pangan, sandang, papan, kendaraan yang biasa dipakai,
alat-alat kerja serta untuk memenuhi kebutuhan nafkah wajib selama ia
pergi. Sedangkan, menurut Malikiyyah, kemampuan di sini adalah
kemungkinan secara fisik sampai ke Mekkah dan tempat-tempat ibadah, baik
dengan berjalan kaki maupun dengan kendaraan. Hal ini juga dengan
catatan, orang yang akan beribadah itu tidak terlalu terkena kesukaran
yang berat.
2) Kesehatan badan atau jasmani
Untuk menunaikan ibadah haji diperlukan adanya kesehatan jasmani.
Mengenai kesehatan badan atau jasmani ini, ulama berbeda pendapat,
apakah termasuk syarat wajib atau bukan?
H{ana>fiyyah dan Ma>likiyyah tetap menganggap syarat wajib ‘umrah
artinya tanpa kesehatan, maka ‘umrah tidak wajib dilaksanakan juga tidak
perlu mewakilkan pelaksanaannya kepada orang lain dan atau mewasiatkan
(kepada anaknya) untuk di’umrahkan.
Pendapat Sya>fiiyyah dan H{ana>bilah menyatakan bahwa kesehatan
badan atau jasmani tidak termasuk syarat wajibnya haji. Mereka bersandar
pada h}adi>s\ Nabi SAW, yang mengatakan: kemampuan berhaji ialah
kalau seseorang telah memiliki bekal dan kendaraan, tidak termasuk di
dalamnya kesehatan badan atau jasmani.
3) Perjalanan yang aman
Ima>m asy-Sya>fi’i, Ima>m Hanafi, dan Ima>m Ah}mad bin
H{anbal sepakat mengatakan, bahwa amannya perjalanan termasuk syarat
wajib melaksakan haji dan ‘umrah. Karena arti mampu, termasuk di
dalamnya.
Sedang Ima>m yang lain mengatakan, bukan termasuk syarat wajib melainkan syarat yang tidak mutlak dan mengandung nilai wajib.
b. khusus bagi perempuan.
Seorang perempuan hendaklah ketika berangkat haji, bersama-sama dengan
muhrimnya. Menurut Ima>m asy-Sya>fi’i, bahwa yang disyaratkan yang
menjadi mahram itu adalah suaminya, atau dengan perempuan lain yang
dipercaya bisa menjamin keamanan seorang perempuan dalam perjalanan
pulang pergi. Menurut jumhur ulama, seorang suami tidak boleh melarang
istrinya untuk melaksanakan ‘umrah (yang fard}u), baik diizinkan atau
tidak ia pun boleh pergi berhaji tanpa izin suaminya. Sedang Ima>m
Abu Hanifah dan Ima>m Ahmad sependapat atas disyaratkannya mahram
dalam hal ini, bahkan kalau tidak ada mahram, maka wanita itu tidak
haji, tetapi ia mewakilkan hajinya itu kepada orang lain. Sebab, ia
dikategorikan sebagai orang yang lemah atau sakit dan tidak dapat
melaksanakan ibadah haji secara sempurna.
Mengenai kapan ‘umrah dapat dilaksanakan? ‘Umrah dapat dilaksanakan di
seluruh hari dalam setahun. Dan pada bulan Ramad}a>n, disunahkan
berdasar pada sabda Nabi SAW:
فإذا جاء رمضان فاعتمري فإن عمرة فيه تعدل حجة
Menurut pandangan maz\hab H{ana>fi>, dimakruhkan (makru>h
tah}ri>m) melakukan ‘umrah pada hari ‘Arafah dan empat hari
sesudahnya, sehingga siapa yang melakukan ‘umrah pada hari-hari itu,
diwajibkan membayar denda. Disebabkan hari-hari itu merupakan hari yang
teramat sibuk dengan pelaksanaan haji, dan ‘umrah pada saat itu juga
menyibukkan sesorang dari konsentrasi haji yang dapat saja mengakibatkan
terjadinya cacat. Untuk itulah ia dimakruhkan. Sementara maz\hab
Sya>fi’i> berpendapat bahwa sepanjang tahun merupakan waktu yang
disediakan unuk ihram ‘umrah dan seluruh aktifitasnya tanpa terkecuali.
C. Rukun ‘Umrah
Rukun merupakan suatu perbuatan yang mesti dikerjakan (tidak dapat
tidak), karena kalau ditinggalkan, maka ibadah ‘umrah tersebut tidak
sah.
Menurut maz\hab Ma>liki dan H{anbali>, rukun ‘umrah adalah
ih{ra>m, t}awa>f dan sa’i> antara s}afa> dan Marwah. Sedang
menurut maz\hab H{ana>fi>, rukun ‘umrah hanya satu, yaitu
t}awa>f sebanyak empat kali putaran. Adapun menurut maz\hab
Sya>fi’i rukun ‘umrah ada 5 yaitu; ih}ra>m disertai niat,
t}awa>f di Baitullah, sa’i> antara S{afa> dan Marwah, Bercukur
untuk tah{allul, dan Tertib.
Berikut penjelasan tentang rukun ‘umrah:
1. Ih}ra>m
Ih}ra>m menurut maz\hab H{ana>fi> merupakan syarat ‘umrah,
sedangkan menurut maz\\hab Ma>liki, Sya>fi’i dan H{anba>li>
merupakan rukun. Ih}ra>m adalah niat seseorang untuk melakukan ibadah
haji atau ‘umrah. Menurut maz\hab H{ana>fi>, ih}ra>m harus
disertai dengan niat dan talbiah atau perbuatan yang mewakili talbiah,
bisa berupa zikir apa saja atau menggiring hewan kurban. Sedang menurut
maz\hab Ma>liki>, Sya>fi’i dan H{anba>li>, ih}ram harus
disertai dengan niat, dan tidak diharuskan dengan pembacaan talbiah atau
pun menggiring hewan kurban. Pelaksanaan ih}ra>m untuk ‘umrah
seperti pelaksanaan ihram untuk haji, hanya saja orang yang ber’umrah
mengatakan:
Tuhanku, aku hendak melaksanakan ‘umrah, mudahkanlah aku dan terimalah
‘umrah yang aku lakukan, sesungguhnya engkau Maha Mendengar dan Maha
Mengetahui.
Selain mengucapkan talbiyah, disunnahkan juga bagi orang yang
berih}ra>m untuk ‘umrah apa yang disunahkan pada orang yang
berih}ra>m untuk haji. Begitu pula larangan ihram untuk haji dilarang
pula dalam ihram untuk ‘umrah. Untuk memulai ih}ra>m, seseorang
harus memulainya dari miqat makani. Miqat makani ini berbeda-beda
tergantung dari arah orang itu datang. Miqat penduduk Mesir, Syam
(Suriah, Lebanon, Palestina dan Yordania), Maroko, Spanyol, Turki adalah
Juhfah, sebuah desa antara Mekkah dan Madinah. Sedangkan miqat penduduk
Irak dan masyriq adalah Z\|atu ‘Irqin. Sementara, miqat penduduk
Madinah adalah Z|u al-H{ulaifah. Dan miqat penduduk Yaman dan
orang–orang yang melalui jalan mereka adalah Yalamlam.
Dalam pada itu, seseorang yang sudah ih}ra>m, baik untuk haji maupun umrah dilarang melakukan beberapa hal, yaitu:
1. Larangan yang khusus bagi pria, yaitu:
a. Memakai pakaian berjahit, seperti celana, baju, jubah dan kain sarung.
b. Memakai tutup kepala, seperti topi, serban dan sebagainya, tetapi
tidak dilarang memakai payung atau berteduh di bawah pohon dan lainnya.
c. Memakai sepatu yang menutupi dua mata kaki, tetapi dibolehkan memakai terompah.
Larangan tersebut diterangkan oleh Rasulullah SAW dalam h}adis\, bunyinya:
حدثنا يحي بن يحي قال قرأت على مالك عن نافع عن ابن عمر رضي الله عنهما أن
رسول الله صلى الله عليه وسلم سئل عما يلبس المحرم من الثياب؟ قال: لا يلبس
القمص ولا العمائم ولا السراويلات ولا البرانس ولا الخفاف إلا أحد لا يجد
نعلين فليلبس الخفين وليقطعهما أسفل من الكعبين ولا تلبسوا شيئا من الثياب
مسه الزعفران ولا الورس
2. Larangan yang khusus bagi wanita, yaitu; menutup muka dan kedua telapak tangan.
3. Larangan bagi pria dan wanita adalah sebagai berikut:
a. Memakai pakaian yang dicelup dengan sesuatu yang harum, dan harumnya itu berkelanjutan sampai selesai ihram.
b. Bercukur atau menghilangkan rambut, seperti yang dijelaskan dalam surah al-Baqarah:
ولا تحلقوا رؤسكم حتى يبلغ الهدي محله
c. Memotong kuku. Dasar hukumnya adalah dengan menganalogikannya kepada
larangan memotong rambut, kecuali jika kuku itu pecah yang mengakibatkan
seseorang menjadi terganggu melaksanakan ibadah, maka kuku itu boleh
dipotong tanpa mesti membayar fidyah.
d. Melangsungkan pernikahan, baik sebagai wali yang mengakadkan, sebagai
wakil, atau sebagai calon suami atau istri menurut maz\hab
Ma>liki>, Sya>fi’i dan H{anba>li>. Apabila orang yang
sedang ihram tetap melakukan akad nikah, maka nikahnya tidak sah dan
fasakh satu kali cerai menurut Ima>m Ma>lik. Sedang menurut
Ima>m asy-Sya>fi’i dan Ahmad, maka nikahnya fasakh (rusak) tanpa
cerai. Ketentuan ini didasarkan atas sabda Rasul SAW yang berbunyi:
لا ينكح المحرم ولا ينكح ولا يخطب
Sementara menurut maz\hab H{ana>fi>, hal ini diperbolehkan. Sebab
ih}ra>m itu sendiri tidak menghalangi layaknya seorang wanita
melakukan akad nikah. Yang dilarang adalah melakukan senggama. Jadi,
ih}ra>m itu seperti haid}, nifa>s dan z\ihar sebelum dibayar
kafaratnya. Persamaannya terletak dalam hal masing-masing menghalangi
seggama, bukan sahnya akad. Pendapat ini juga berdasarkan perbuatan
Rasul SAW yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbas:
عن ابن عباس رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم تزوج ميمونة وهو محرم
e. Dalam pada itu, semua maz\hab sepakat bahwa orang yang ih}ra>m
dilarang melakukan jima’, berciuman, dan perbuatan-perbuatan yang
mengarah pada jima’.
f. Berbantah, bertengkar dan melakukan kejahatan atau maksiat. Kedua larangan ini didasarkan pada firman Allah SWT:
فمن فرض فيهن الحج فلا رفث ولا فسوق ولا جدال فى الحج
g. Memburu binatang buruan yang ada di darat, baik dengan membunuh atau
pun menyembelih. Hal ini berlaku bila binatang itu halal dimakan,
apabila binatang tersebut tidak halal dimakan, maka menurut maz\hab
H{ana>fi>, Sya>fi’i dan H{anbali orang yang ihram boleh
memburunya. Sedang menurut maz\hab Ma>liki>, tetap tidak
diperbolehkan. Adapun binatang yang hidup di laut, menurut semua mazhab
boleh diburu. Dasar larangan ini adalah firman Allah:
أحل لكم صيد البحر وطعامه متاعا لكم وللسيارة وحرم عليكم صيد البر ما دمتم حرما
h. Memakan daging binatang buruan yang didapat dengan suruhan atau atas bantuan sendiri
i. Mencabut rumput, memotong dahan atau menebang pohon yang ada di tanah haram.
2. T{awa>f di Baitullah
T{awa>f artinya mengelilingi, maksudnya ialah mengelilingi Baitullah.
T{awa>f ini disepakati umat Islam sebagai rukun dalam ‘umrah
berdasarkan firman Allah:
وليطوفوابالبيت العتيق
Untuk melaksanakan t}awa>f dengan baik dan benar, seseorang harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu:
a. Menutup aurat yang harus ditutupi seperti halnya ketika salat.
b. Suci dari najis, hadas besar dan kecil.
c. Memulai t}awa>f dari hajar aswad, dengan menempatkan posisi tubuh bagian kiri sejajar dengan hajar aswad.
d. Mengelilingi Baitullah dari arah kiri tubuhnya.
e. Mengelilingi Baitullah sebanyak tujuh kali putaran.
f. Melakukan t}awa>f di Masjid al-haram.
g. Tidak berpaling dari t}awa>f kepada perbuatan lain.
3. Sa’i> antara S{afa> dan Marwah
Maz\hab Ma>liki, Sya>fi’i dan Hanbali memandang sa’i> sebagai
rukun ‘umrah. Sehingga, tanpa sa’i>, ibadah ‘umrah tidak sah, dan
tidak dapat diganti dengan dam (denda menyembelih kambing). Sedangkan
menurut maz\hab Hanafi, sa’i> merupakan wajib haji, bukan rukun haji,
sehingga apabila ditinggalkan, tidak sampai membatalkan haji, namun
wajib diganti dengan fidyah.
Untuk melaksanakan sa’i> dengan baik, orang yang sa’i> harus memenuhi beberapa persyaratan, yakni:
a. Memulai sa’i> dari s}afa>, dan mengakhirinya di Marwah.
b. Melakukan sa’i> sebanyak tujuh kali. Perjalanan dari S{afa> ke
Marwah dihitung sekali, dan dari Marwah ke S{afa> dihitung sekali.
c. Melakukan sa’i> setelah t}awa>f .
4. Bercukur untuk Tah}allul
Bercukur ini dilakukan setelah kita selesai mengerjakan sa’i>.
Caranya adalah, paling sedikit kita menggunting rambut sebanyak tiga
lembar. Kalau wanita, cukup menggunting ujung rambutnya, dan juga paling
sedikit tiga lembar. Apabila ini sudah dilakukan, maka segala macam
larangan dalam masa kita menggunakan pakaian ih}ra>m haji maupun
‘umrah sudah dibolehkan atau dihalalkan (tah}allul). Kita diperbolehkan
mengganti pakaian ih}ra>m dengan pakaian biasa.
5. Tertib
Rukun ‘umrah, hendaklah dikerjakan secara tertib atau berurut, sejak
rukun pertama sampai terakhir. Berarti, kalau tidak ada salah satu saja
rukun yang kita kerjakan itu tidak tertib, seperti mendahulukan
sa’i>, kemudian baru t}awa>f maka ‘umrah kita batal.
BAB III
PENDAPAT MAZ|HAB MA<LIKI DAN MAZ|HAB SYAfii
1. Biografi Pendiri Maz\hab Ma>liki>
Ima>m Ma>lik bin Anas yang juga sering dipanggil dengan Abu>
Abdilla>h nama lengkapnya adalah Ma>lik bin Anas bin Ma>lik bin
‘Amr bin Hari>s\ bin Gaiman. Menurut keterangan yang paling masyhur
Ima>m Ma>lik dilahirkan pada tahun 93 H atau 712 M di kota
Madinah. Keterangan ini diperkuat oleh az\-Z|ahaby dan Ibn Farihun.
Ayahnya, Anas bin Ma>lik termasuk seorang tabi’in, sedangkan ibunya
bernama al-‘A>liyah binti Syurai>k bin ‘Abd ar-Rahma>n bin
Syurai>k al-Azdiyah.
Selama hidupnya, Ima>m Ma>lik tidak mau turut dalam urusan politik
dan pemerintahan, bahkan sering menentang kebijakan kebijakan penguasa
yang menyimpang dari kebenaran. Ia meninggal pada hari ahad tanggal 10
Rabi’ul awal 179 H (789 M) dalam usia 87 tahun. Saat itu pemerintahan
Islam berada di tangan Khalifah Harun ar-Rasyid dari Bani Abbasiyah.
Ima>m Ma>lik tumbuh dan mendapat pendidikan di kota Madinah dalam
suasana yang diliputi para sahabat, tabi’in, kaum ansor dan para
cendekiawan serta para ahli hukum agama, ia dibesarkan di lingkungan
masyarakat yang berpendidikan dan mempunyai keyakinan beragama yang
sangat kuat.
Dalam usia yang relatif muda, yaitu sekitar umur 10 tahun, Ima>m
Ma>lik telah hafal al-Qur’an dan sejumlah H{adi>s\. Ia
mempelajari h}adi>s\ dari kakeknya yang ada saat itu yang merupakan
seorang ulama terkenal dan dipandang sebagai perawi hadis. Di samping
itu ayahnya Anas dan pamannya Ra>bi’ juga merupakan ulama h}adi>s\
yang banyak meriwayatkan h}adi>s\ dari kakeknya. Ima>m Ma>lik
juga belajar h}adi>s\ dari pamannya yang bernama Abu> Suhail,
seorang ulama terkenal pada masa itu.
Setelah beliau menguasai dasar-dasar ilmu fiqh dan ilmu h}adi>s, beliau juga mengembangkan pengetahuaannya dengan jalan:
a. Menghadiri pertemuaan para ulama di Masjid al-Haram dan tempat-tempat
lain di Makkah. Tempat tersebut selalu dikunjungi oleh para ulama dari
berbagai penjuru dunia, terutama pada saat musim haji. Di situlah
Ima>m Ma>lik beserta para ulama mengadakan diskusi mengenai ilmu
agama Islam.
b. Ima>m Ma>lik mengadakan diskusi dengan ulama-ulama di Madinah.
Dalam forum diskusi ini, Ima>m Ma>lik berjumpa dengan Ima>m
Abu> H{ani>fah sewaktu beliau bermukim di Madinah.
c. Ima>m Ma>lik mengembangkan ilmu pengetahuannya juga dengan cara
membaca kitab atau tulisan-tulisan yang berkaitan dengan ilmu agama.
d. Mengadakan diskusi dengan para muridnya yang bertempat di rumah
beliau sendiri, yang juga dihadiri oleh ulama kenamaan pada zaman itu,
seperti Muh}ammad bin H{asan.
Di antara karya Ima>m Ma>lik adalah kitab al-Muwat}t}a’. Kitab
tersebut ditulis pada tahun 144 H atas anjuran Khalifah Ja’far
al-Mansur. Menurut hasil penelitian yang dilakukan Abu Bakar al-Abhary,
asar Rasulullah SAW, sahabat dan tabi’in yang tercantum dalam kitab
al-Muwat}t}a’ sejumlah 1.720 buah. Kitab al-Muwat}t}a’ mengandung dua
aspek, yaitu aspek hadis dan aspek fiqh. Adanya aspek h}adi>s\ itu
adalah karena al-Muwat}t}a’ banyak mengandung h}adi>s – h}adi>s
yang berasal dari rasulullah SAW.
Ima>m Ma>lik mengumpulkan sejumlah besar h}adi>s dalam kitabnya
kemudian memilihnya selama bertahun-tahun. h}adi>s-h}adi>s itu
dipilih oleh Ima>m Ma>lik setiap tahun, mana yang lebih sesuai
untuk kaum muslim dan mana yang paling mendekati kebenaran. Ada yang
meriwayatkan bahwa hal itu dilakukan Ima>m Ma>lik selama 40 tahun.
Adapun yang dimaksud kandungan dari aspek fiqh adalah karena kitab
al-Muwat}t}a’ itu disusun berdasarkan sistematika dengan bab-bab
pembahasan seperti layaknya kitab fiqh. Ada kitab t}aha>rah,
s}ala>t, zaka>t, puasa, nikah dan seterusnya. Setiap kitab dibagi
lagi menjadi fasal, yang fasalnya mengandung fasal-fasal yang hampir
sejenis. Dengan demikian maka hadis-hadis di dalam al-Muwat}t}a’ itu
menyerupai kitab fiqh.
Kitab al-Mudawwanah al-Kubra’ merupakan kumpulan risalah yang memuat
tidak kurang dari 1.036 masalah dari fatwa Ima>m Ma>lik yang
dikumpulkan Asad bin al-Furat al-Naissa>buri yang berasal dari Tunis.
2. Metode Istinbat Mazhab Ma>Liki
Ima>m Ma>lik tidak pernah menyusun dasar-dasar maz\hab yang
dibangunnya dalam sebuah kitab, sebagaimana yang dilakukan oleh Ima>m
as-Sya>fi’i>, yang membukukan sendiri dasar-dasar yang menjadi
sumbernya dalam menggali hukum dan dan menerangkan sebab-sebab yang
menyebabkan dasar itu dijadikan sebagai hujjah, serta kedudukan
masing-masing dasar itu dalam teori istidla>l.
Oleh karena itu untuk mengetahuinya harus dilakukan penelusuran terhadap
karya-karya monumental beliau yaitu kitab al-Muwat}t}a’ dan kitab fatwa
beliau al-Mudawwanah al-Kubra’. Dalam kitab al-Muwat}t}a’ diterangkan
sebab-sebab Ima>m Ma>lik menjadikan al-Qur’an dan al-H{adi>s\
sebagai sumber utama. Selain itu Ima>m Ma>lik juga menerangkan
alasannya menggunakan ijma’ ahli madinah sebagai dasar hukum dan dasar
penggunaan qiyas untuk menetapkan hukum. Qadi al-Iyad dalam kitabnya
al-Mada>rik sebagaimana dikutip oleh Hasbi as-Siddieqy mengatakan
dasar yang dijadikan sumber dalam menetapkan hukum adalah al-kita>b,
as-sunnah, amal ahl al-madi>nah, dan al-qiya>s. Di tempat lain
as-Syatibi mengklaim bahwa ada empat macam dasar maz\hab Ma>liki
dalam menetapkan hukum, yaitu al-kita>b, as-sunnah, ijma>’ dan
ar-ra’yu. Adapun qaul as-saha>bah dimasukkan dalam kategori as-sunnah
sementara al-maslahah al-mursalah, sadd az\-z\ari>ah, al-‘urf,
istihsa>n serta istisha>b dimasukkan dalam kategori ar-ra’yu.
Adapun penekanannya masing-masing dasar sebagai berikut:
a. Al-Qur’an
Imam Malik memandang al-Qur’an sebagai pokok pangkal hukum syari’at,
pegangan umat Islam yang pertama. Al-Qur’an dalam pandangan Imam Malik
adalah lafadz dan makna. Karenanya tidak boleh terjemahan al-Qur’an
digunakan dalam shalat. Dalam memegang al-Qur’an ini meliputi
pengambilan hukum berdasarkan z}ahir nas}s} al-Qur’an atau keumumannya,
meliputi mafhu>m al-mukha>lafah yang dinamakan dalil dan
mafhu>m al-muwa>faqah yang dinamakan fahwa dengan memperhatikan
illatnya.
b. As-Sunnah
Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Ima>m Ma>lik
melakukan cara yang dilakukan dalam berpegang kepada al-Qur’an. Apabila
dalil syar’i menghendaki penta’wilan maka yang dijadikan pegangan adalah
arti ta’wil tersebut. Apabila terdapat pertentangan antara makna
z}a>hir al-Qur’an dengan makna yang terkandung dalam sunnah sekalipun
jelas, maka yang dipegang adalah makna z}a>hir al-Qur’an. Tetapi
apabila makna yang dikandung oleh as-Sunnah tersebut dikuatkan oleh
Ijma>’ Ahl al-Madi>nah, maka beliau lebih mengutamakan makna yang
terkandung dalam sunnah dari pada z}a>hir al-Qur’an (sunnah yang
dimaksud disini adalah sunnah mutawa>tir dan masyhu>r).
Adapun Ima>m Ma>lik berpendapat bahwa kedudukan as-sunnah terhadap al-Qur’an ada tiga:
1) Men-taqri>r hukum atau mengkokohkan hukum al-Qur’an.
2) Menerangkan apa yang dikehendaki al-Qur’an, men-taqyid kemutlakannya dan menjelaskan kemujmalannya.
3) Sunnah dapat mendatangkan hukum baru yang tidak disebut dalam al-Qur’an.
c. Ijma>’ Ahl al-Madi>nah
Ijma>’ ahl al-madi>nah ini ada beberapa macam diantaranya ijma’
ahl al-madina>h yang asalnya dari al-naql hasil dari mencontoh
Rasulullah SAW. Bukan dari ijtihad ahl al-madina>h seperti ukuran
mud, penentuan tempat atau tempat dilakukannya amalan rutin.
Di kalangan Maz\hab Ma>liki, ijma>’ ahl al-madi>nah lebih
diutamakan dari pada khabar aha>d, sebab ijma>’ ahl al-madi>nah
merupakan pemberitaan oleh jama’ah sedang khabar aha>d hanya
merupakan pemberitaan perorangan. ijma’ ahl al-madi>nah ini ada
beberapa tingkatan yaitu :
1) Kesepakatan ahl al-madi>nah yang asalnya adalah al-Naql.
2) Amalan ahl al-madi>nah sebelum terbunuhnya ‘Us\ma>n bin
‘Affa>n. Hal ini didasarkan bahwa belum pernah diketahui ada amalan
ahl al-madi>nah waktu itu yang bertentangan dengan sunnah Rasul.
3) Amalan ahl al-madi>nah itu dijadikan pendukung, pentarji>h atas dua dalil yang saling bertentangan.
4) Amalan ahl al-madi>nah sesudah masa keutamaan yang menyaksikan amalan Nabi SAW.
d. Fatwa Sahabat
Yang dimaksud sahabat disini adalah sahabat besar yang pengetahuan
mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan pada an-naql. Menurut
Ima>m Ma>lik, para sahabat besar tidak akan memberi fatwa kecuali
atas dasar apa yang dipahami dari Rasulullah SAW. Namun demikian beliau
mensyaratkan bahwa fatwa sahabat tersebut tidak boleh bertentangan
dengan hadis marfu>’ yang dapat diamalkan dari fatwa sahabat yang
demikian ini lebih didahulukan dari pada qiyas dan adakalanya Ima>m
Ma>lik menggunakan fatwa tabi’in besar sebagai pegangan dalam
menentukan hukum.
e. Khabar Aha>d dan Qiyas.
Ima>m Ma>lik tidak mengakui khabar aha>d sebagai sesuatu yang
datang dari Rasulullah SAW, jika khabar aha>d ini bertentangan dengan
sesuatu yang sudah dikenal masyarakat Madinah, sekalipun hanya dalil
dari hasil istinba>t kecuali khabar aha>d itu dikuatkan oleh
dalil-dalil lain yang qat’i>. Dalam menggunakan khabar aha>d ini,
Ima>m Ma>lik tidak selalu konsisten, kadang-kadang ia mendahulukan
Qiyas daripada khabar aha>d. Kalau khabar aha>d itu tidak dikenal
atau tidak populer dikalangan masyarakat Madinah maka hal itu dianggap
sebagai petunjuk bahwa khabar aha>d bukan berasal dari Rasulullah
SAW. Dengan demikian, khabar aha>d tersebut tidak digunakan sebagai
dasar hukum, tetapi menggunakan qiyas dan maslahah.
f. Al-Istihsa>n
Menurut Maz\hab Ma>liki, al-istihsa>n adalah mengambil maslahah
yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully (menyeluruh)
dengan mengutamakan al-istidla>l al-mursal daripada qiyas. Dari
Ta’ri>f di atas, jelas bahwa al-istihsa>n lebih mementingkan
maslahah juz’iyyah atau maslahah tertentu dibandingkan dengan dalil
kully atau dalil yang umum atau dalam kata lain sering dikatakan bahwa
al-istihsa>n adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas yang lain yang
dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan syari’at diturunkan. Tegasnya,
al-istihsa>n selalu melihat dampak sesuatu ketentuan hukum, jangan
sampai membawa dampak merugikan tapi harus mendatangkan maslahah atau
menghindari madarat, namun bukan berarti istihsan adalah menetapkan
hukum atas dasar ra’yu semata, melainkan berpindah dari satu dalil ke
dalil yang lebih kuat yang kandungannya berbeda. Dalil kedua ini dapat
berwujud ijma’, ‘urf atau al-maslahah al-mursalah.
g. Al-Mas}lah}ah} al- Mursalah
Al-Mas}lah}ah al-Mursalah adalah maslahah yang tidak ada ketentuannya,
baik secara tersurat atau sama sekali tidak disinggung oleh nash, dengan
demikian maka al-mas}lah}ah} al-mursalah itu kembali kepada memelihara
tujuan syar’iat diturunkan.
Azas atau pondasi fiqh Islam adalah kemaslahatan umat, tiap-tiap
maslahah dituntut oleh syara’ dan tiap-tiap yang memberi madarat
dilarang oleh syara’. Ini adalah dasar yang disepakati ulama. Maz\hab
Ma>liki menghargai maslahah dan menjadikannya sebagai salah satu
dasar yang berdiri sendiri bahkan Maz\hab Ma>liki kadang-kadang
mentahks}I>s}kan al-Qur’an dengan dasar maslahah.
h. Sadd az\-Z\|\ara>i ‘
Z|ari>’ah menurut lugah, bermakna wasi>lah dan makna sadd
az\-z\ari>’ah ialah menyumbat wasi>lah. Maz\hab Ma>liki
menggunakan sadd az\-z\ari>’ah sebagai landasan dalam menetapkan
hukum. Menurut golongan ini semua jalan atau sebab yang menuju kepada
haram atau terlarang hukumnya haram atau terlarang, dan semua jalan atau
sebab yang menuju kepada yang halal, halal pula hukumnya.
i. Istis}h}a>b
Maz\hab Ma>liki menjadikan Istis}h}a>b sebagai landasan dalam
menetapkan hukum. Istis}h}a>b adalah tetapnya suatu ketentuan hukum
untuk masa sekarang atau yang akan datang berdasarkan atas ketentuan
hukum yang sudah ada di masa lampau. Jadi sesuatu yang telah diyakini
tersebut hukumnya tetap seperti hukum pertama, yaitu tetap ada, begitu
pula sebaliknya. Misalnya seorang yang telah yakin sudah berwudhu,
kemudian datang keraguan apakah sudah batal atau belum maka hukum yang
dimiliki oleh tersebut adalah belum batal wudhunya.
j. ‘Urf dan Adat Kebiasan.
‘Urf adalah urusan yang disepakati oleh segolongan manusia dalam perkembangan hidupnya :
الأمر الذي تتّفق عليه جماعة من النّاس في مجارى حياتها
العمل المتكرّر من الأحاد والجماعة
Golongan Ma>likiyah meninggalkan qiyas apabila qiyas itu berlawanan
dengan ‘urf, disamping itu golongan Ma>likiyah mentakhs}I>s}kan
umum dan mentaqyidkan mutlak dengan ‘urf.
3. Pendapat Maz\hab Ma>liki> tentang Hukum ‘Umrah.
Maz\hab Ma>liki> berpendapat bahwa ‘umrah hukumnya sunnah
mu’akkadah sekali seumur hidup. Mereka mengemukakan alasan-alasan
sebagai berikut:
a. Dalam berbagai ayat yang menunjukkan kewajiban haji seperti firman
Allah SWT, “Wa Lilla>hi ‘ala an-Na>si Hijj al-Baiti” , “Wa az\z\in
fi an-Na>si bi al-Hajji” dan ayat lainnya, ‘umrah tidak disebutkan.
b. Dalil h}adis\ berupa tanya jawab tentang hukum umrah, yang kemudian
dijawab Nabi bahwa hukumnya tidak wajib. Hadis ini diriwayatkan oleh
Ima>m at-Tirmiz\i, yang selengkapnya berbunyi:
حدثنا محمد بن عبد الأعلى الصنعاني حدثنا عمر بن علي عن الحجاج عن محمد بن
المنكدر عن جابر أن النبي صلى الله عليه وسلم سئل عن العمرة أواجبة هي؟ قال
لا وأن تعتمروا هو أفضل
c. Ayat dan h}adis\ yang dijadikan dalil oleh maz\hab Sya>fi’i
seharusnya ditafsirkan (di-ihtimalkan) atas ibadah yang sudah mulai
dilaksanakan. Sebab ungkapan firman Allah “Wa Atimmu al-Hajja wa
al-’Umrata lillahi” memberi pengertian bahwa ibadah itu sudah mulai
dilakukan, dan apabila suatu ibadah sudah mulai dilakukan, maka hukum
menyempurnakannya menjadi wajib, meskipun itu ibadah sunnah.
B. Maz\hab Sya>fi’i`
1. Biografi Pendiri Maz\hab Sya>fi’i
Imam asy-Sya>fi`’i sebagai pendiri maz\hab Sya>fi’i merupakan
salah satu tokoh hukum Islam yang amat terkenal. Nama lengkapnya adalah
Muh}ammad bin Idri>s asy-Sya>fi’i al-Quraisyi>. Dilahirkan di
desa Gazah Palestina pada tahun 150 H / 767 M, dan wafat di Mesir pada
tahun 204 H / 819 M. Silsilah beliau dengan Nabi Muhammad bertemu pada
datuk mereka, Abd al-Manaf. Jelasnya adalah Muh}ammad bin Idri>s bin
al-`Abba>s bin ‘`Us\ma>n bin Sya>fi’ bin Syu’`aib bin ‘`Ubaid
bin Ali> Yazi>d bin Ha>syim bin Mut}t}alib bin ‘Abd
al-Mana>f datuk Nabi Muhammad SAW.
Sya>fi’ bin Syu’`aib adalah yang menjadi nisbat asy-Syafi’i.
Sya>fi’ bertemu Nabi pada masa kecilnya dan ayahnya masuk Islam pada
saat perang Badar. Jadi asy-Syafi’i adalah keturunan Quraisy, tetapi
ibunya bukan dari keturunan Quraisy tetapi berasal dari suku ‘Ad (dari
Yaman) bukan keturunan ‘Alawiyyah.
Sejak dilahirkan ia sudah menjadi yatim, pengasuhan dan bimbingan waktu
kecil adalah di bawah sang ibu. Sejak kecil asy-Sya>fi’i sudah
menampakkan kecintaan dan kecerdasannya. Hal ini terlihat dengan
kemampuannya menghafal al-Qur’an sejak usia 7 tahun, proses belajar
pertama ia pergi ke daerah Huz\ail (pedalaman) yang mana merupakan
tempat orang-orang yang paling ahli dalam bahasa Arab. Imam
asy-Sya>fi’i menimba ilmu dengan berbagai guru, baik yang berkaitan
dengan sya`ir-sya`ir, tata bahasa maupun sastra-sastra Arab. Maka tak
heran dia sangat ahli dalam kebahasaan Arab.
Ketika umurnya mencapai dua tahun, ibunya membawa ke Hijaz dan ke
qabilahnya yaitu penduduk Yaman, karena ibunya Fatimah merupakan
keturunan dari suku Azdiyah dan tinggal di suku tersebut. Akan tetapi
ketika umurnya mendekati usia 10 tahun, ibunya khawatir kalau nasab
anaknya yang mulia dari suku Quraisy akan dilupakan dan dihilangkannya,
sehingga ibunya membawa asy-Sya>fi’i ke Mekah. Perpindahan ini
dilatarbelakangi oleh beberapa hal yaitu:
1. Mekah adalah tanah kelahiran bapak dan nenek moyang Ima>m
asy-Sya>fi’i. Maka ibunya ingin anaknya dibesarkan diantara keluarga
ayahnya yang mempunyai kedudukan sosial yang terpandang dan mendapat
berbagai fasilitas dari Bait al-Mal, karena administrasi pemerintahan
pada waktu itu memang menyediakan tunjangan khusus bagi segenap anggota
keluarga Quraisy dari keturunan Ha>syim dan Mut}t}alib yaitu keluarga
dekat Nabi SAW.
2. Karena kota Mekah merupakan tempat ulama, fuqaha’, para penyair dan
para sastrawan sehingga Ima>m asy-Sya>fi’i dapat berkembang dalam
bahasa Arab yang murni dan mengambil cabang-cabang keilmuan yang
dikehendaki. Walaupun Yaman dan Palestina itu lebih utama bagi ibunya
karena daerah kaumnya yaitu Azdiyah.
Ima>m asy-Sya>fi’i memulai kegiatannya menuntut ilmu sejak masa
kecilya di Mekah. Walaupun ia dibesarkan sebagai anak yatim piatu dalam
asuhan ibunya serta hidup dalam kekurangan dan kesempitan, akan tetapi
semangat untuk menuntut ilmunya tidak pudar. Sang ibu, Fatimah,
mengirimkan asy-Sya>fi’i unrtuk belajar ke Kutta>b (semacam taman
kanak-kanak). Dengan kemauannya yang keras dan dorongan dari ibunya, ia
mendatangi para ulama dan menulis apa yang bermanfaat mengenai hal-hal
yang penting.
Dari pengembaraan ilmiah yang telah dilakukan, Ima>m asy-Sya>fi’i
dapat mengenal berbagai macam ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh
para ulama; mulai pemikiran ulama yang didasarkan pada h}adis\ maupun
ra’yu, tetapi ia banyak dipengaruhi oleh corak pemikiran Irak yang
dijadikan dasar pengembangan maz\habnya pertama kali di Mekah, yaitu
dengan mengaktifkan kembali halaqah di Masjid al-Haram.
Untuk pendalaman h}adis\, Ima>m asy-Sya>fi’i pergi ke Madinah
dengan berguru kepada Ima>m Ma>lik bin Anas. Ia mampu
menyelesaikan pendidikan dengan baik, hal ini dibuktikan dengan
kemampuan menghafal kitab al-Muwat}t}a>’ karya Ima>m Ma>lik
yang dibaca dengan di depan sang guru, hal ini membuat kekaguman
tersendiri bagi Ima>m Ma>lik.
Karena merasa masih harus memperdalam pengetahuannya, ia kemudian pergi
ke Irak, untuk memperdalam lagi ilmu fikih, kepada para murid Abu>
H{ani>fah yang masih ada. Dalam perantauannya tersebut, Ima>m
asy-Sya>fi’i sempat mengunjungi Persia dan beberapa tempat lain.
Pada waktu itu dia menyusun kitab us}u>l fiqh yang pertama dalam
Islam yaitu “ar-Risa>lah”.
Sebagai pecinta ilmu, asy-Sya>fi’i mempunyai banyak guru, begitu
banyaknya guru Ima>m asy-Sya>fi’i sehingga Ima>m Ibn H{ajar
al-‘Asqala>ni> menyusun satu buku khusus yang bernama T}awali
at-Tasib yang di dalamnya disebut nama-nama ulama yang pernah menjadi
guru Ima>m asy-Sya>fi’i, antara lain: Ima>m Muslim bin
Kha>lid, Ima>m Ibrahi>m bin Sa’id, Ima>m Sufya>n bin
Uyainah, Ima>m Ma>lik bin Anas, Ima>m Ibra>hi>m bin
Muh}ammad, Ima>m Yah}ya> bin H{asan, Ima>m Waki>’, Ima>m
Fud}ail bin ‘Iya>d}.
Aktivitas di bidang pendidikan dimulai dengan mengajar di Madinah dan
menjadi asisten Ima>m Ma>lik. Waktu itu usianya sekitar 29 tahun.
Sebagai ulama fikih namanya mulai dikenal, muridnya pun berdatangan dari
berbagai penjuru wilayah Islam. Selain sebagai ulama fikih ia pun
dikenal sebagai ulama ahli h}adis\, tafsi>r, bahasa dan sastra Arab,
ilmu falak, ilmu us}u>l dan ilmu ta>rikh.
Ima>m asy-Sya>fi’i digelari Na>s}ir as-Sunnah artinya pembela
Sunnah karena sangat menjunjung tinggi Sunnah Nabi Muhammad SAW. Abd
al-H{ali>m al-Jundi, menulis buku dengan judul, al-Ima>m
asy-Sya>fi’i, Na>s}ir as-Sunnah wa Wa>d}i’ al-Us}u>l. Di
dalamnya diuraikan secara rinci bagaimana sikap dan pembelaan
asy-Sya>fi’i terhadap Sunnah. Intinya adalah bahwa Ima>m
asy-Sya>fi’i sangat mengutamakan Sunnah Nabi SAW dalam melandasi
pendapat-pendapat dan ijtihadnya. Karena itu ia sangat berhati-hati
dalam menggunakan qiyas. Menurutnya, qiyas hanya dapat digunakan dalam
keadaan terpaksa yaitu dalam masalah mu’amalah (kemasyarakatan) yang
tidak didapati nas}s}nya secara pasti dan jelas di dalam al-Qur’an atau
H{adis\ s}ah}ih}, atau tidak dijumpai dalam ijma’ sahabat. Qiyas sama
sekali tidak dibenarkan dalam urusan ibadah. Dalam penggunaan qiyas,
asy-Sya>fi’`i menegaskan bahwa harus diperhatikan nas-nas Al-Qur’an
dan Sunnah yang telah ada.
Ima>m asy-Sya>fi’i tinggal di Baghdad selama 2 tahun. Atas
wewenang yang diberikan gurunya, Muslim bin Kha>lid az-Zanji>
–seorang ulama besar yang menjadi mufti di Mekah–, Ima>m
asy-Sya>fi’i mengeluarkan fatwa-fatwa selama tinggal di Baghdad.
Pendapat-pendapat Ima>m asy-Sya>fi’i yang difatwakan tersebut
dinamakan dengan qaul qadim. Ketika itu, pengaruh maz\hab Sya>fi’i
mulai tersebar luas di kalangan masyarakat, kemudian untuk sementara
waktu dia terpaksa pergi meninggalkan Bagdad menuju Makkah untuk
memenuhi panggilan hati yang masih haus ilmu pengetahuan.
Pada tahun 198 H. asy-Sya>fi’`i kembali ke Baghdad untuk merawat dan
mengembangkan benih-benih maz\hab yang telah ditebarkan. Pada saat
itulah pengaruhnya mengalami perkembangan pesat. Hampir tidak ada
lapisan masyarakat Baghdad yang tidak tersentuh oleh roda pemikirannya,
dan di antara pilar-pilar pendukung maz\hab Sya>fi’`i yang masyhur
adalah Ah}mad bin H{anbal, az-Za’farani, Abu S|aur, al-Karabisi. Keempat
orang inilah yang tercatat sebagai periwayat qaul qadim yang tertuang
dalam kitab al-Hujjah.
A. Kemudian asy-Sya>fi’i merasa terpanggil untuk memperluas lagi
maz\habnya, dengan berbekal semangat dan tekad dia mengembara ke negeri
Mesir. Di negeri ini, asy-Sya>fi’i meneliti dan menelaah lebih dalam
lagi ketetapan fatwa-fatwanya selama di Baghdad, kemudian muncullah
rumusan-rumusan baru yang kemudian terkenal dengan istilah qaul
jadi>d yang tertulis dalam kitab al-Umm, al-Imla, Mukhtas}ar Muzani
dan al-Buwaiti. Di antara pendukung dan periwayat qaul jadid yang
terkenal adalah : al-Buwaiti, ar-Rabi` al-Jaizi, al-Muradi, al-H{armalah
dan Abdullah bin az-Zubair al-Makki.
Masa muda asy-Sya>fi’i dihabiskan untuk menuntut ilmu pengetahuan di
pusat-pusat ilmu pengetahuan, seperti kota Mekah, Madinah, Kufah, Syam
dan Mesir. Beliau mengembara dari satu tempat ke tempat lain untuk
mempelajari ilmu tafsir, fiqih, dan hadis kepada guru-guru yang banyak
tersebar di berbagai pelosok negerinya.
Guru-guru asy- Sya>fi’i terdiri dari berbagai aliran. Misalnya Sufyan
bin Uyainah di Mekah dan Ima>m Ma>lik bin Anas adalah golongan
ahli h}adi>s, di Irak beliau berguru pada golongan dari ahli ra’yi,
aliran Imam Hanafi dan di Yaman golongan fiqh aliran maz\hab al-Auza’i.
Karena bermacam-macam aliran itulah, maka Ima>m Sya>fi’i terkenal
sebagai ima>m yang sangat hati-hati dalam menentukan hukum serta
beliau terkenal sebagai ahli qiyas.
B. Adapun murid-murid beliau tersebar di negeri, di Mekah ada Abu Bakar
al-H{umai>di, Ibrahi>m bin Muh}ammad al-`Abba>s, Abu Bakar
Muh}ammad bin Idris, Mu>sa bin Abi al-Ja>rud, kemudian di Bagdad,
diantara muridnya adalah H}asan as-Sa’bah az-Za’farani, al-H{usain bin
Ali> al-Karabisiy, Abu T{ur al-Kalbiy dan Ahmad bin Muhammad.
Sedangkan di Mesir di antara muridnya adalah al-Buwait}i, Isma>’il,
al-Muza>ni>, Muh}ammad bin Abdulla>h bin ‘Abd al-H{akam dan
ar-Rabi>’ bin Sulaiman.
Sebagai seorang ilmuwan yang multi disipliner, Ima>m asy-Sya>fi’i
memiliki karya ilmiah yang sangat banyak. Menurut riwayat Ima>m
Abu> Muh}ammad al-H{asan bin Muh}ammad al-Marwaziy –seperti yang
dikutip an-Nawawi– bahwa karya ilmiah Ima>m asy-Sya>fi’i mencapai
113 kitab tentang tafsir, fiqih, kesusastraan arab dan lainnya.36
Metode Ima>m asy-Sya>fi’i dalam mengarang buku itu ada yang
langsung ditulis sendiri atau pun dengan cara mendiktekan kepada
murid-muridnya. Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang kapan
Ima>m asy-Sya>fi’i mulai menulis pendapat-pendapat dan
pemikirannya. Apakah ketika beliau berada di Mekah atau ketika berada di
Bagdad. Menurut riwayat yang masyhur, beliau mulai menulis karyanya
ketika di Mekah sebelum datang ke Iraq untuk yang kedua kalinya.
Karya-karya beliau terkenal dengan materi yang luas dan analisa yang
dalam khususnya ar-Risa>lah dan al-Umm. Di antara karya-karyanya,
yaitu:
1. Ar-Risa>lah. Kitab ini merupakan kitab pertama kali yang ditulis
ulama dalam bidang us}u>l fiqih. Kitab ini disusun dua kali, pertama
ketika beliau berada di Bagdad yang kemudian dikenal dengan
ar-Risa>lah al-Qadi>mah, yang kedua ketika beliau berada di Mesir
yang dikenal dengan ar-Risa>lah al-Jadi>dah. Namun yang sampai
kepada kita sekarang adalah ar-Risa>lah yang kedua.
2. Kitab al-Hujjah. Kitab ini termasuk dalam qaul qadim dalam bidang
fiqih dan furu’, karena disusun ketika Ima>m asy-Sya>fi’i berada
di Bagdad. Isi kitab ini secara umum ditujukan untuk menanggapi pendapat
yang dikemukakan oleh ulama Iraq khususnya pendapat Muhammad bin
al-Hasan.
3. Al-Musnad. Musnad asy-Sya>fi’i merupakan kitab yang berisi riwayat
hadis-hadis asy-Sya>fi’i. Sistematika penyusunan dan pembahasan
kitab ini mengikuti sistematika kitab-kitab fiqih yakni secara
berurutan, diawali dengan masalah ibadah, kemudian munakahah, kemudian
masalah jiha>d, kemudian masalah qad}a>’ dan jinayah. Kitab ini
termasuk kitab yang diperhatikan ulama h}adis\ pada abad kedua Hijriah
dan merupakan kitab h}adis\ pertama yang sampai kepada kita yang
menggunakan “mi’ya>r” ilmu h}adis\.
4. Kitab al-Umm. Kitab al-Umm merupakan kitab yang berisi
masalah-masalah fiqih yang dibahas berdasarkan pokok-pokok pikiran
Ima>m asy-Sya>fi’i yang terdapat dalam kitab ar-Risalah. Kitab
al-Umm ini diriwayatkan oleh ar-Rabi>’ bin Sulaima>n
al-Mura>di.
B. Metode Istinbat Mazhab Syafi’i
Dalam memetik (istinba>t}) suatu hukum, Ima>m asy-Sya>fi’i
dalam bukunya ar-Risa>lah menjelaskan bahwa ia memakai empat dasar:
al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’, Qiyas. Kelima dasar ini yang kemudian
dikenal sebagai dasar-dasar maz\hab Sya>fi’i. Dasar pertama dan utama
dalam menetapkan hukum adalah al-Qur’an. Apabila dalam al-Qur’an tidak
ditemukan hukum suatu masalah, ia beralih pada Sunnah Nabi SAW.
as-Sunnah yang dipakai adalah as-Sunnah yang nilai kuantitasnya
mutawatir (perawinya banyak) maupun ahad (perawinya satu orang) yang
berkualitas s}ah}ih} dan h}asan, bahkan as-sunnah d}a`if. Adapun
syarat-syarat untuk as-sunnah d}a`if adalah; tidak terlalu lemah,
dibenarkan oleh kaidah umum atau dasar kulli (umum) dari nas}s}, tidak
bertentangan dengan dalil yang kuat atau s}ah}ih} dan h}adis\ tersebut
bukan untuk menetapkan halal dan haram atau masalah keimanan, melainkan
sekedar untuk keutamaan amal (fad}a>’il al-`a’ma>l) atau untuk
himbauan (targi>b) dan anjuran (tarhi>b).
Dalam pandangan asy-Sya>fi’i, hadis\ mempunyai kedudukan yang begitu
tinggi setingkat dengan al-Qur’an dalam kedudukannya sebagai sumber
hukum Islam yang harus diamalkan. Karena, menurut Ima>m
asy-Sya>fi’i, hadis\ itu mempunyai kaitan yang sangat erat dengan
al-Qur’an. Bahkan menurutnya, setiap hukum yang ditetapkan Rasulullah
SAW pada hakikatnya merupakan hasil pemahaman yang ia peroleh dari
memahami al-Qur’an.
Dan satu hal yang perlu diketahui bahwa Ima>m asy-Sya>fi’i tidak
bersikap fanatik terhadap pendapat-pendapatnya, hal ini nampak pada
suatu ketika ia pernah berkata: “Demi Allah aku tidak peduli apakah
kebenaran itu nampak melalui lidahku atau melalui lidah orang lain.”.
Adapun penjelasan dari masing-masing sumber hukum tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Al-Qur’an
Asy-Sya>fi’i> menegaskan bahwa al-Qur’an membawa petunjuk,
menerangkan yang halal dan yang haram, menjanjikan balasan; surga bagi
yang ta’at dan neraka bagi yang durhaka, serta memberikan perbandingan
dengan kisah-kisah umat terdahulu. Semua yang diturunkan Allah dalam
al-Qur’an adalah h}ujjah (dalil, argumen) dan rahmat. Menurutnya, setiap
kasus yang terjadi pada seseorang pasti mempunyai dalil dan petunjuk
dalam al-Qur’an.
Menurut asy-Sya>fi’i, al-Qur’an mengandung 3 hal yaitu; amr, nahi dan
khabar serta apa yang tercantum di dalamnya dalam bentuk istikhba>r
dan istifha>m, maksudnya adalah penetapan (taqri>r) atau ancaman.
Yang dikehendaki dari amr adalah wajib, sunnah dan mubah, sedang yang
dikehendaki dari nahi adalah haram, makruh dan tanzih.
Kemudian, nas}-nas} hukum yang terkandung dalam al-Qur’an –kira-kira 500
ayat– terbagi dalam 6 macam; 1). Umu>m dan Khusu>s. 2). Mujmal
dan Mufassar. 3). Mut}laq dan Muqayyad. 4). Is\ba>t [positif] dan
Nafi> [negatif]. 5). Muhkam dan Muta>syabih. 6). Na>sikh dan
Mansu>kh.
b. As-Sunnah
Asy-Sya>fi’i> menegaskan bahwa as-Sunnah merupakan hujjah yang
wajib diikuti, sama halnya dengan al-Qur’an. Untuk mendukung pendapatnya
ini, ia mengajukan dalil, baik berupa dalil naqli maupun dalil aqli.
Asy-Sya>fi’i mengemukakan bahwa Allah secara tegas mewajibkan manusia
menaati Rasulullah SAW.
As-Sunnah selain sebagai sumber yang kedua setelah al-Qur`an juga
sebagai pelengkap yang menginterpretasikan isi kandungan al-Qur`an,
sehingga kedudukan as-Sunnah atas al-Qur`an sebagai berikut:
1. Ta`kid, menguatkan dan mengokohkan al-Qur`an.
2. Tabyin, menjelaskan maksud nas al-Qur`an.
3. Tasbit, menetapkan hukum yang tidak ada ketentuan nasnya dalam al-Qur`an.
Mengenai pembagian khabar (sunnah), maz\hab Sya>fi’i membaginya
menjadi 3; khabar mustafid}, khabar mutawa>tir dan khabar a>had.
Al-Ma>wardi> juga tidak lupa berbicara masalah keadaan serta
sifat-sifat para rawi, isnad serta hal-ihwalnya.
Mengenai khabar mutawa>tir, maz\hab Sya>fi’i> memandang
kebenarannya bersifat pasti sehingga khabar itu mutlak harus diterima
sebagai dalil. Sedang selain khabar mutawa>tir, kesahihan khabar itu
dapat diketahui melalui penelitian dengan menggunakan kriteria tertentu.
Secara lebih rinci, persyaratan h}adis\ s}ah}ih} itu diuraikan oleh
asy-Sya>fi’i> sebagai berikut:
1. Sanad h}adis\ itu haruslah bersambung sampai kepada Nabi SAW.
2. Perawinya harus s\iqah (terpercaya) dalam hal keagamaannya dan dikenal sebagai orang yang selalu bicara benar.
3. Perawi mengerti makna h}adis\ yang diriwayatkannya serta mengetahui
hal-hal yang dapat mengubah makna (bila ia meriwayatkan dengan makna),
atau dapat menyampaikan hadis\nya persis seperti yang didengarnya jika
ia meriwayatkan berdasarkan hafalan, atau memelihara kitabnya jika ia
meriwayatkan dari kitab.
4. Riwayatnya selalu sesuai dengan riwayat para ahli (ahl al-hifz} wa as\-s\iqa>t).
5. Perawi tidak melakukan tadli>s, artinya tidak meriwayatkan dari
seseorang kecuali h}adis\ yang benar-benar didengarnya dari orang
tersebut.
6. Persyaratan ini harus dipenuhi pada setiap tingkatan dalam jalur periwayatan hadi>s\ tersebut.
c. Ijma’
Ijma’ menurut para ulama us}u>l adalah kesepakatan para mujtahid
dalam suatu masa setelah wafatnya Nabi SAW atas suatu perkara agama.
Asy-Sya>fi’i> menegaskan bahwa ijma’ merupakan dalil yang kuat,
pasti, serta berlaku secara luas pada semua bidang. Sesuatu yang telah
disepakati oleh generasi terdahulu, walaupun mereka tidak mengemukakan
dalil Kitab atau Sunnah, dipandangnya sama dengan hukum yang diatur
berdasarkan Sunnah yang telah disepakati. Menurutnya, kesepakatan atas
suatu hukum menunjukkan bahwa hukum itu tidak semata-mata bersumber dari
ra’yu (pendapat) karena ra’yu akan selalu berbeda-beda.
Ima>m asy-Sya>fi’i mendefinisikan ijma` sebagai konsensus ulama’
di masa tertentu atas suatu perkara berdasarkan riwayat Rasul. Karena
menurutnya mereka tidak mungkin sepakat dalam perkara yang bertentangan
dengan as-Sunnah.
Ima>m asy-Sya>fi’i membagi ijma`menjadi dua yaitu ijma>’
s}ari>h dan ijma>’ suku>ti>. Namum yang paling diterima
olehnya adalah ijma>’ s}ari>h sebagai dalil hukum. Hal ini
menurutnya, dikarenakan kesepakatan itu disandarkan kepada nas}s}, dan
berasal dari secara tegas dan jelas sehingga tidak mengandung keraguan.
Sedangkan ijma>’ suku>ti> ditolaknya karena bukan merupakan
kesepakatan semua mujtahid. Dan diamnya mujtahid menurutnya, belum tentu
mengindikasikan persetujuannya.
Melihat kondisi kehidupan para ulama di masanya yang telah terjadi
ikhtilaf dikalangan mereka, maka menurutnya, ijma` hanya terjadi dalam
pokok-pokok fard}u dan yang telah mempunyai dasar atau sumber hukum.
d. Qiyas
Qiyas adalah menyamakan perkara yang tidak ada nas}s} hukumnya kepada
perkara lain yang sudah ada nas}s}} hukumnya karena adanya persamaan
illat hukum. Muhammad Abu Zahrah menjelaskan bahwa ulama yang pertama
kali mengkaji qiyas (merumuskan kaidah-kaidah dan dasar-dasarnya) adalah
asy-Sya>fi’i. Asy-Sya>fi’i> menyatakan bahwa qiyas itu ada
beberapa macam dengan tingkat kejelasan dan kekuatan yang berbeda. Suatu
qiyas dianggap berada pada tingkatan paling kuat apabila keberadaan
hukum pada far’ (kasus cabang) lebih kuat (aula) daripada keberadaannya
pada as}l (kasus pokok).
Sejalan dengan itu, berdasarkan tingkat kejelasan illah sebagai landasan
penetapan hukum bagi far’, para ulama membagi qiyas menjadi tiga macam
sebagai berikut:
1. Qiyas aqwa>, yakni apabila berlakunya hukum pada far’ lebih kuat
daripada berlakunya pada as}l karena keberadaan illah lebih nyata pada
far’ daripada as}l Sebagai contoh, asy-Sya>fi’i> mengemukakan
sebuah hadi>s\ yang menyatakan bahwa Allah mengharamkan seorang
mukmin berprasangka buruk kepada orang mukmin lainnya. Berdasarkan ini,
menuduhnya secara tegas tentu lebih utama lagi keharamannya.
2. Qiyas musa>wi,> yaitu apabila hukum far’ sama derajatnya dengan
hukum as}l. Al-Gazza>li> mengemukakan contohnya sebagai berikut.
Rasulullah SAW mengatakan, bila seorang laki-laki mengalami kepailtan
(ifla>s) atau meninggal dunia, maka pemilik tiap-tiap barang (yang
ada di tangan orang yang meninggal tersebut) lebih berhak atas
barangnya. Berdasarkan qiyas, ketentuan tersebut diberlakukan juga bagi
perempuan yang mengalami keadaan yang sama.
3. Qiyas ad}’af, yaitu apabila keberadaan hukum pada far’ lebih lemah daripada keberadaannya pada as}l.
C. Qiyas merupakan dalil syara’ yang telah ditetapkan secara meyakinkan.
Qiyas mempunyai beberapa unsur yang harus dipenuhi yaitu, maqi>s,
maqi>s ‘alaih dan illat. Karenanya, suatu peristiwa tidak boleh
diqiyaskan kepada suatu peristiwa yang telah ada nas}s} hukumnya
berdasarkan kesamaan perkara yang bukan illat syar’i. Qiyas termasuk
perkara yang amat rumit yang hanya dilakukan oleh para ulama mumpuni
yang memahami nas}-nas}, hukum-hukum dan realitas. Ima>m
Sya>fi’i>, seperti yang dikutip an-Nabha>ni>, berkata bahwa
tidak seorang pun boleh melakukan qiyas sehingga ia menjadi ‘alim,
mengetahui dengan baik sunnah Nabi, pendapat para ulama salaf dan bahasa
Arab. Ia juga harus mempunyai akal yang sehat sehingga mampu membedakan
antara yang rancu (musytabih), tidak tergesa-gesa mengeluarkan
pendapat, dan tidak enggan mendengar pendapat orang yang menentangnya.
Sebab dengan mendengarkan orang lain, bisa jadi mengingatkan apa yang
terlewat dan kesalahan yang ia yakini benarnya.
3. Pendapat Maz\hab Sya>fi’i tentang Hukum Umrah
Maz\hab Sya>fi’i berpendapat bahwa ‘umrah hukumnya wajib dilakukan
sekali seumur hidup. Mereka mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut:
a. Allah SWT berfirman:
وأتموا الحج والعمرة لله
Ayat ini memerintahkan kita agar menyempurnakan ibadah haji dan ‘umrah.
Menyempurnakan artinya melakukan sesuatu hingga tuntas dan utuh. Maka
hal ini menunjukkan bahwa perintah menyempurnakan ibadah haji dan ‘umrah
hukumnya wajib. Selain itu, pada umumnya al-Amr itu menunjukkan arti
wajib, dan pada dasarnya antara ma’tuf ‘alaih yaitu lafal al-hajji dan
ma’tuf yaitu lafal al-’umrah mempunyai kesamaan hukum.
b. Dalil berupa h}adis\, mengenai pertanyaan ‘Am Ah}mad bin H{anbal, yang selengkapnya berbunyi:
حدثنا محمد بن فضيل قال ثنا حبيب بن أبي عمرة عن عائشة ابنة طلحة عن عائشة
قالت قلت يا رسول الله هل على النساء من جهاد ؟ قال نعم عليهن جهاد لا قتال
فيه الحج والعمرة
BAB IV
ANALISIS DAN TARJIhan h}adi>s\
Ketika seorang mujtahid menetapkan suatu hukum maka hal itu tidak bisa
dipisahkan dari keberadaan dalil-dalil yang mendasarinya. Maz\hab
Ma>liki> berpendapat bahwa ‘umrah hukumnya sunnah mu’akkadah
sekali seumur hidup. Dalil yang digunakan adalah h}adi>s\ berupa
tanya jawab tentang hukum ‘umrah, yang kemudian dijawab Nabi bahwa
hukumnya tidak wajib. H{adi>s\ ini diriwayatkan oleh Ima>m
at-Tirmiz\i, yang selengkapnya berbunyi:
حدثنا محمد بن عبد الأعلى الصنعاني حدثنا عمر بن علي عن الحجاج عن محمد بن
المنكدر عن جابر أن النبي صلى الله عليه وسلم سئل عن العمرة أواجبة هي؟ قال
لا وأن تعتمروا هو أفضل
Sedangkan maz\hab Sya>fi’i berpendapat bahwa ‘umrah hukumnya wajib
dilakukan sekali seumur hidup. Dalil yang digunakan adalah h}adi>s\
mengenai pertanyaan ‘As tersebut diriwayatkan oleh Ima>m Ah}mad bin
H{anbal, yang selengkapnya berbunyi:
حدثنا محمد بن فضيل قال ثنا حبيب بن أبي عمرة عن عائشة ابنة طلحة عن عائشة
قالت قلت يا رسول الله هل على النساء من جهاد ؟ قال نعم عليهن جهاد لا قتال
فيه الحج والعمرة
Untuk mengetahui validitas (kesahi>han) dalil yang digunakan baik
oleh maz\hab Ma>liki maupun maz\hab Sya>fi’i yang dalam hal ini
berupa h}adi>s\, maka perlu diperhatikan kaidah-kaidah yang
berhubungan dengan kesahihan sanad h}adi>s\ dan matannya. Dalam
penelitian sanad, ada beberapa kaedah yang harus dipenuhi sebagai syarat
untuk menentukan kesahihannya. Kaedah-kaedah tersebut dapat dibagi
menjadi dua bagian, yakni kaedah-kaedah yang bersifat umum (mayor) dan
kaedah yang bersifat khusus (minor). Unsur-unsur kaedah mayor kesahihan
sanad h}adi>s\ adalah:
a. Sanadnya bersambung (muttas}il)
b. Seluruh periwayat dalam sanad bersifat ‘adil.
c. Seluruh periwayat dalam sanad bersifat d}a>bit}.
d. Sanad h}adi>s\ itu terhindar syuz\u>z\.
e. Sanad h}adi>s\ itu terhindar dari illat.
Dari kaedah-kaedah mayor tersebut diperinci lagi kepada kaedah-kaedah
minor yang harus dipenuhi sebagai syarat h}adi>s itu berkualitas
(s}ah}i>h} sanadnya). Unsur-unsur kaedah minor di atas antara lain:
a. Sanad bersambung.
Suatu sanad dapat dikatakan bersambung apabila :
1. Seluruh perawi dalam sanad itu benar-benar s\iqah (adil dan d}a>bit}).
2. Antara masing-masing perawi dengan perawi terdekat sebelumnya yang
ada dalam sanad itu benar-benar telah ada hubungan periwayatan
h}adi>s\ secara sah menurut ketentuan at-tahammul wa ‘ada>
al-h}adi>s.
b. Periwayat bersifat ‘adil
Seseorang dapat dikatakan adil, bila memenuhi persyaratan berikut:
1. Muslim.
2. Mukalaf.
3. Melaksanakan ketentuan agama.
4. Memelihara muru’ah.
c. Periwayat bersifat d}a>bit.
Unsur-unsur kaedah minor dari kaedah mayor perawi yang d}a>bit} adalah:
1. Perawi memahami dengan baik riwayat yang telah diterimanya.
2. Perawi itu hafal dengan baik riwayat yang telah diterimanya.
3. Perawi itu mampu meriwayatkan riwayat yang telah dihafalnya itu
dengan baik kapan saja dia menghendaki dan sampai saat dia menyampaikan
riwayat itu kepada orang lain.
d. Terhindar dari Syuz\u>z\ (Kejanggalan)
Menurut pendapat Ima>m as-Sy>afi’i, unsur-unsur kaedah minor dari
kaedah ini adalah sebuah h}adi>s\ dikatakan berkemungkinan
mengandung sya>z\ apabila:
1. H{adi>s\ itu memiliki lebih dari satu sanad.
2. Para periwayat h}adi>s\ itu seterusnya s\iqah.
3. Matn atau sanad itu ada yang mengandung pertentangan.
e. Terhindar dari ‘Illat
Unsur-unsur kaedah minor yang ditetapkan dari kaedah mayor di atas adalah sebuah hadis dinyatakan ber’illat apabila :
1. Sanad yang tampak muttas}il dan marfu>’ ternyata muttas}il tetapi mauqu>f.
2. Sanad yang tampaknya muttas}il dan marfu>’, ternyata muttas}il tapi mursal (hanya sampai pada tabi’in)
3. Terjadi percampuran antara satu h}adi>s\ dengan h}adi>s\ lain.
4. Terjadi kesalahan penyebutan riwayat karena kemiripan nama dan sebagainya sedang kualitasnya tidak sama-sama s\iqah.
Sedangkan untuk menentukan suatu matn yang berkualitas s}ah}i>h} maka
ada dua unsur kesahihan matn yang harus dipenuhi yaitu :
a. Terhindar dari syuz\u>z\ (kejanggalan)
b. Terhindar dari ‘illat (cacat).
Penelitian mengenai kesahihan matn ini tidak mudah dilakukan apalagi
kitab-kitab khusus yang menghimpun berbagai matn yang mengandung
syuz\u>z\ ataupun illat belum ada. Selain persyaratan di atas, ulama
h}adi>s\ menerangkan tanda-tanda yang berfungsi sebagai tolak ukur
bagi matn yang s}ah}i>h}. Adapun tolak ukur penelitian matn
(Ma’a>yir Naqd al-Matn) yang dikemukakan para ulama tidaklah seragam,
ada yang terlalu ketat ada pula yang longgar. Menurut al-Kha>t}ib
al-Bagdadi, suatu matn h}adi>s\ baru yang dinyatakan maqbu>l
(diterima karena berkualitas s}ah}i>h}) apabila:
a. Tidak bertentangan dengan akal sehat.
b. Tidak bertentangan dengan hukum al-Qur’an yang muhkam.
c. Tidak bertentangan dengan h}adi>s\ mutawa>tir.
d. Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama salaf.
e. Tidak bertentangan dengan h}adi>s\ a>ha>d yang kesahihannya lebih kuat.
Pendapat tersebut kelihatan cukup selektif, namun ada pula yang
melonggarkan persyaratan tersebut sebagaimana Ibn al-Jauzi> dalam
karyanya “al-Maudu>rat” yang dikutip oleh Syuhudi Ismail menyatakan:
“Setiap h}adi>s\ yang bertentangan dengan akal ataupun ketentuan
agama maka ketahuilah bahwa h}adi>s\ tersebut adalah h}adi>s\
palsu.” Selanjutnya jumhur ulama h}adi>s\ menjelaskan tanda-tanda
matn h}adi>s\ yang palsu itu adalah:
a. Susunan bahasa rancu.
b. Kandungan pernyataannya bertentangan dengan akal sehat dan sulit diinterpretasikan secara rasional.
c. Kandungan pernyataannya bertentangan dengan tujuan pokok ajaran Islam.
d. Kandungan pernyatannya bertentangan dengan sunnatulla>h.
e. Kandungan pernyataannya bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an ataupun h}adi>s\ mutawa>tir.
f. Kandungan pernyataannya berada di luar kewajaran diukur dari petunjuk umum ajaran hukum Islam.
Selanjutnya akan dijelaskan mengenai metode penerimaan dan penyampaian
h}adi>s\ (at-Tah}ammul wa Ada>’ al-H{adi>s\) yang dalam hal
ini ada delapan macam, yaitu:
a. Sama’ min lafz}i asy-Syaikhihi, yakni mendengar sendiri dari
perkataan gurunya, baik secara didiktekan maupun tidak, baik dari
tulisan maupun hafalan. Cara yang demikian merupakan cara yang
tertinggi, sedang lafal-lafal yang digunakan dalam metode ini adalah
akhbarani>, akhbarana>, haddas\ani>, haddas\ana>, sami’tu
dan sami’na>.
b. Al-Qira>’ah ‘ala> asy-Syaikh (al-‘Arad}), yakni si pembaca
menyuguhkan h}adis\nya ke hadapan sang guru, baik ia sendiri yang
membaca maupun orang lain yang membacanya sedang dia mendengarnya,
sedang lafal-lafal yang dipergunakan dalam metode ini adalah qara’tu
‘alaihi, quri’a ‘ala> fula>n wa ana> asma’u, haddas\ana>
atau akhbarana> qiratan ‘alaihi.
c. Al-Ija>zah, yakni pemberian izin dari seseorang kepada orang lain
untuk meriwayatkan h}adi>s\ dari padanya atau kitab-kitab
periwayatannya yang metode ini diperselisihkan oleh para ulama tapi
jumhur muh}addis\i>n membolehkan periwayatan dengan metode ini,
metode ija>zah ini ada tiga tipe antara lain :
1. Ija>zah fi Mu’ayyanin li Mu’ayyanin, adalah izin meriwayatkan
sesuatu yang tertentu kepada orang tertentu dengan lafal Ajaztu laka
riwa>yah al-kita>b al-fula>ni ‘anni>.
2. Ija>zah Fi> Gairi Mu’ayyanin li Mu’ayyanin, adalah izin untuk
meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu kepada orang yang tertentu
dengan lafal Ajaztu laka jami>’a masmu>’ati> aw
marwiyya>ti>.
3. Ija>zah Gairi Mu’ayyanin, adalah izin untuk meriwayatkan sesuatu
yang tidak tertentu kepada orang yang tidak tertentu dengan lafal Ajaztu
li al-muslimi>na jami>’a masmu>’ati>.
d. Al-Muna>walah, yakni seorang guru memberikan sebuah naskah asli
kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksi untuk diriwayatkan.
Metode al-Muna>walah ini ada dua tipe :
1. Dengan dibarengi ija>zah, lafal yang digunakan antara lain
Ha>z\a> sama>’i au riwa>yati> ‘an fula>nin fa arwihi
au anbi’ni au anbi’na.
2. Tanpa dibarengi ija>zah, lafal yang digunakan antara lain
Ha>z\a> sama>’i au riwa>yati, na>wilni>,
na>wilna>.
e. Al-Muka>tabah, yakni seorang guru yang menulis sendiri atau
menyuruh orang lain menulis beberapa h}adi>s\ kepada orang di tempat
lain yang ada di hadapannya, metode inipun ada dua tipe yaitu :
1. Dengan dibarengi ija>zah, lafal yang digunakan antara lain Ajaztu
laka ma> katabtuhu ilaika, Ajaztu ma> katabtuhu ilaika.
2. Tanpa dibarengi ija>zah, lafal yang digunakan antara lain
H{addas\ani> fula>nun kita>batan, akhbarani> fula>nun
kita>batan, kataba ilayya fula>nun.
f. Al-Wija>dah, yakni memperoleh tulisan h}adi>s\ orang lain yang
tidak diriwayatkannya baik dengan lafal as-Sama>’, al-Qira>’ah
maupun selainnya, dari pemilik h}adi>s\ atau pemilik tulisan
tersebut. Metode ini pun masih diperselisihkan di kalangan ulama. Lafal
yang digunakan adalah Qara’tu bi khat}t}i fula>nin, Wajadtu bi
khat}t}i fula>nin, Haddas\ana> fula>nun wija>datan.
g. Al-Was}iyyah, yakni pesan seseorang yang dikatakan mati atau
bepergian, dengan sebuah kitab supaya diriwayatkan. Ibnu Sirin
membolehkan periwayatan dengan metode ini sedang jumhur ulama tidak
membolehkannya kecuali dengan ija>zah dari pewasiat. Lafal yang
digunakan adalah Aus}a> ilayya fula>nun bi kita>bin qa>la
fi>hi haddas\ana>…..
h. Al-I’la>m, yakni pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa
h}adi>s\ yang diriwayatkannya adalah riwayatnya sendiri yang diterima
dari seorang guru, dengan tidak mengatakan (menyuruh) agar si murid
meriwayatkannya. H{adi>s\ yang diriwayatkan berdasarkan al-I’la>m
ini tidak boleh, karena adanya kemungkinan bahwa sang guru telah
mengetahui bahwasanya dalam h}adi>s\ tersebut ada cacatnya. Lafal
yang digunakan adalah a’lamani> fula>nun qala haddas\ana> …..
Sedangkan cara meriwayatkan (menyampaikan) h}adi>s\ yang dalam ilmu
hadisnya disebut Ada>’ al-H{adi>s\ ini pun berbeda-beda karena
cara yang dipakai untuk menerima h}adi>s\ dari guru yang memberikan
pun berbeda-beda. Perbedaan lafal dalam menyampaikan h}adi>s\ ini
mengakibatkan perbedaan nilai suatu h}adi>s\ yang diriwayatkan.
Lafal-lafal untuk menyampaikan h}adi>s\ itu dapat dikelompokkan
kepada dua kelompok yaitu:
a. Lafal untuk meriwayatkan hadis bagi para ra>wi’ yang mendengar
langsung dari gurunya, lafal-lafal itu tersusun sebagai berikut :
سمعنا، سمعت Kedua lafal ini menjadikan nilai h}adi>s\ yang diriwayatkannya tinggi martabatnya,
kemudian lafal : حدثني, حدثنا (دثنا، نا، ثنا، نى، ثنى)
kemudian lafal : (أخانا، أبانا، أرنا، انا) أخبرنا، أخبرنى
kemudian lafal نباء ناء) أنباءنا
kemudian lafal :ذكرلى (لنا) فلان، قال لى (لنا)
Terkadang pula digunakan lafal قثنا berarti قال حدثنا atau قثنى yang berarti قال حدثنى
b. Lafal riwayat bagi ra>wi yang mungkin mendengar sendiri atau
tidak mendengar sendiri. Lafal yang digunakan adalah Anna, ‘an, h}ukiya,
ruwiya.
c. H{adi>s\ yang diriwayatkan dengan s}igat ini tidak dapat digunakan
untuk menetapkan bahwa Nabi benar-benar menyabdakan, kecuali ada
qarinah lain.
Untuk h}adi>s\ Mu’an’an (yang meriwayatkan dengan lafal ‘an) dan
h}adi>s\ yang Muannan (yang diriwayatkan dengan lafal anna) dapat
dinilai bersambung sanadnya bila telah memenuhi syarat-syarat berikut :
a. Pada sanad h}adi>s\ yang bersangkutan tidak terdapat tadli>s (penyembunyian cacat).
b. Para periwayat yang namanya beriring dan di antarai oleh lambang ‘an ataupun anna itu telah terjadi pertemuan.
c. Periwayatan yang menggunakan lambang ‘an ataupun anna adalah periwayatan yang terpercaya (s\iqah).
Berdasakan teori-teori kesahihan h}adi>s\ di atas, penyusun akan
mencoba menganalisis sanad dan matn h}adi>s\\ mengenai permasalahan
ini sehingga bisa diketahui valid tidaknya h}adi>s\\ itu dijadikan
hujjah.
Dalil yang digunakan maz\hab Ma>liki adalah h}adi>s\ yang diriwayatkan oleh Ima>m at-Tirmizi berbunyi:
حدثنا محمد بن عبد الأعلى الصنعاني حدثنا عمر بن علي عن الحجاج عن محمد بن
المنكدر عن جابر أن النبي صلى الله عليه وسلم سئل عن العمرة أواجبة هي؟ قال
لا وأن تعتمروا هو أفضل
Setelah mendapatkan sanad h}adi>s\ tersebut, maka perlu diteliti
biografi para perawi untuk mengetahui apakah sanadnya muttas}il atau
tidak serta apakah para perawi di atas adil dan d}a>bit}.
Berikut
pemaparan biografi mereka:
1. Ima>m at-Tirmiz\i
a. Nama Lengkap: Muh}ammad bin ‘I> bin Saurah bin Mu>sa>
ad}-D{{ah}h}ak Abu I< at-Tirmiz\i>. Beliau wafat pada tahun 279 H.
b. Guru dan muridnya di bidang periwayatan hadis: Guru beliau banyak
sekali antara lain, Qutaibah,
Abu> Mus}’ab, al-Bukhari> dan
lain-lain. Murid b eliau juga banyak sekali antara lain, Ahmad bin
‘Abdullah bin Da>u>d al-Marwazi, Muhammad bin Mahbu>b Abu
al-‘Abbas, Ahmad bin Yu>suf an-Nasafi.
c. Pernyataan para kritikus hadis tentang dirinya:
1). Ibn Hibban: Muh}ammad bin ‘I>m h}adis\ yang diakui kapasitas
keilmuan dan kepribadiannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sanad
beliau dengan Muh{ammad bin ‘Abd al-A’la> as}-S{an’a>ni muttas}il.
2. Muh{ammad bin ‘Abd al-A’la> as}-S{an’a>ni
a. Nama Lengkap: Muh{ammad bin ‘Abd al-A’la> as}-S{an’a>ni
al-Qaisi> Abu> ‘Abdilla>h. Beliau berdiam di kota Basrah dan
wafat di kota yang sama pada tahun 254 H.
b. Guru dan muridnya di bidang periwayatan hadis: Guru Muh{ammad bin
‘Abd al-A’la> as}-S{an’a>ni cukup banyak, antara lain; Marwa>n
bin Mu’a>wiyah, ‘Umar bin Ali> al-Muqaddami>, Mu’tamir bin
Sulaima>n dan lain-lain. Murid beliau juga banyak antara lain; Muslim
dan Abu> Da>u>d, at-Tirmizi, an-Nasa>’i>, Ibnu Ma>jah
dan Hila>l bin al-‘Ala>’, Abu> Zur’ah dan lain-lain.
c. Pernyataan para ulama kritikus hadis tentang dirinya:
1). Abu> Zur’ah: Muh{ammad bin ‘Abd al-A’la> as}-S{an’a>ni s\iqah.
2). Abu> H{a>tim: Muh{ammad bin ‘Abd al-A’la> as}-S{an’a>ni s\iqah.
3). Ibn H{ibba>n: Muh{ammad bin ‘Abd al-A’la> as}-S{an’a>ni s\iqah.
4). Al-Bukha>ri>: Muh{ammad bin ‘Abd al-A’la> as}-S{an’a>ni s\iqah.
5). An-Nasa>’i>: Muh{ammad bin ‘Abd al-A’la> as}-S{an’a>ni merupakan orang yang terbaik.
Tampak dari penilaian para kritikus h}adi>s\, Muh{ammad bin ‘Abd
al-A’la> as}-S{an’a>ni adalah orang yang s\iqah. Dengan demikian,
sanad beliau dengan ‘Umar bin ‘Ali muttas}il.
3. ‘Umar bin ‘Ali>
a. Nama Lengkap: ‘Umar bin ‘Ali> bin ‘At}a>’ bin Miqdam (al-Muqaddami>).
b. Guru dan muridnya di bidang periwayatan hadis: Guru ‘Umar bin
‘Ali> bin ‘At}a>’ bin Miqdam (al-Muqaddami>) banyak sekali,
antara lain Isma>’il bin Abi> Kha>lid, Yah}ya> bin Sai>d
al-Ans}a>ri>, Hisya>m bin Urwah dan lain-lain. Murid beliau
juga banyak, antara lain Abu> Z{afar ‘Abd as-Sala>m bin Mut}ahhar,
Qutaibah bin Sai>d, Muh}ammad bin Hisya>m bin Abi Khairah
as-Sudu>si>, dan lain-lain.
c. Pernyataan para kritikus hadis tentang dirinya:
1). ‘Abdullah bin Ahmad: ‘Umar bin ‘Ali merupakan orang yang baik, namun mudallis.
2). Yahya bin Main; ‘Umar bin ‘Ali adalah mudallis, namun baik perangainya.
3). Ibn Sa’d: ‘Umar bin ‘Ali s\iqah, juga mudallis berat.
4). Hisyam bin ‘Urwah: ‘Umar bin ‘Ali adalah orang baik, tetapi
mudallis. Aku tidak menerima riwayatnya kecuali ia berkata
haddas\ana>.
5). Al-A’masy: ‘Umar bin ‘Ali adalah orang baik, tetapi mudallis. Aku
tidak menerima riwayatnya kecuali ia berkata haddas\ana>.
6). Abu Hatim: Ia orang jujur. Kalau tidak karena tadlis-nya, tentu kami
akan menerimanya. Namun kami khawatir ia mengambil h}adi>s\ dari
orang yang tidak s\iqah.
7). Ibn ‘Adiyy: Saya harap ia tidak mengapa.
8). Ibn Hibban: ‘Umar bin ‘Ali adalah orang s\iqah.
9). As-Sa>ji>: ‘Umar bin ‘Ali orang yang sangat jujur.
10). Al-‘ijli: ‘Umar bin ‘Ali orang yang s\iqah.
Tampak dari penilaian para kritikus h}adi>s\, ‘Umar bin ‘Ali
merupakan orang yang s\iqah, dapat dipercaya, meskipun ia menggunakan
lambang ‘an dalam periwayatannya. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa
‘Umar bin ‘Ali muttas}il sanadnya dengan H{ajja>j.
4. Hajja>j bin Art}a>h
a. Nama Lengkap: Hajja>j bin Art}}a>h bin S||aur bin Hubairah bin
Syara>hi>l an-Nakha’i> Abu> Art}a>h al-Kufi>. Beliau
berdiam dikufah dan wafat dikota yang sama pada tahun 145 H.
b. Guru dan muridnya di bidang periwayatan hadis: Guru beliau banyak
sekali, antara lain asy-Sya’bi>, At}a>’ bin Abi Raba>h}, Amr
bin Syu’aib dan lain-lain. Murid Beliau juga banyak, antara lain
Mans}u>r bin al-Mu’tamir, Muh}ammad bin Isha>q, Qais bin Sa’ad
al-Makki> dan lain-lain.
c. Pernyataan para kritikus hadis tentang dirinya:
1) Al-‘Ijli>: Hajja>j bin Art}}a>h faqih, namun dia lemah. Ia
pernah berkata, ‘Kecintaan akan harta dan kedudukan telah
membinasakanku.’
2) Yahya bin Ma’i>n: Hajja>j bin Art}}a>h sangat jujur, dan tidak kuat serta mudallis.
3) Ibn al-Madini: Saya tinggalkan (hadis-hadis) Hajja>j bin
Art}}a>h dengan sengaja dan tidak saya tulis hadisnya sama sekali.
4) Abu H{a>tim: Hajja>j bin Art}}a>h sangat jujur namun
mudallis. Apabila ia mengatakan haddas\ana, maka ia benar, tidak
diragukan kejujuran dan hafalannya, tetapi kalau pendengaran h}adis\nya
diragukan, maka h}adis\nya tidak dijadikan hujjah.
5) Ibn al-Mubarak: Hajja>j bin Art}}a>h mudallis, dan matru>k (hadisnya ditinggalkan).
6) An-Nasa>’i: Hajja>j bin Art}}a>h tidak kuat.
7) Ibn ‘Adiyy: Para ulama mencela periwayatan Hajja>j bin Art}}a>h karena ia men-tadlis dari az-Zuhri dan perawi lainnya.
Ya’qu>b bin Syaibah: Hajja>j bin Art}}a>h seorang yang lemah hadisnya, dan melakukan banyak id}tira>b (kesalahan).
9) As-Sa>ji>: Hajja>j bin Art}}a>h mudallis, sangat jujur,
buruk hafalannya, dan hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah dalam
masalah furu’ dan hukum.
Dari pernyataan para kritikus di atas, Hajja>j bin Art}}a>h
merupakan seorang mudallis yang lemah, buruk hafalannya, namun juga
seorang yang faqih. Semua kritikus hadis sepakat ia adalah orang yang
hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali ia berkata bahwa ia
menerima hadis dengan kata haddas\ana>. Berhubung, Hajja>j bin
Art}}a>h tidak mengatakan menerima hadis\ ini dengan lambang
haddas\ana, namun dengan lambang ‘an, dapat dikatakan bahwa Hajja>j
bin Art}}a>h tidak muttas}il sanadnya dengan Muh}}ammad bin
al-Munkadir. Atau, bisa pula Hajja>j bin Art}}a>h sesungguhnya
menerima hadis\ ini dari perawi lain, lalu menisbatkannya secara
langsung kepada Muh}}ammad bin al-Munkadir. Atau Hajja>j bin
Art}}a>h memang benar menerima hadis ini dari Muh}}ammad bin
al-Munkadir, tetapi lupa materi hadis\nya secara keseluruhan, tentang
konteks hadis\nya, atau ia menganggap apa yang sebenarnya bukan hadis\
sebagai hadis\ yang berasal dari Nabi.
5. Muh}}ammad bin al-Munkadir
a. Nama Lengkap: Muh}ammad bin al-Munkadir bin Abdilla>>h bin
al-Hudair bin ‘Abd al-‘Uzza> bin Aris\ bin H{a>ris\ah bin Sa’ad
bin Taim bin Murrah at-Taimi> Abu> ‘Abdilla>h. Beliau berdiam
di Madinah dan wafat di kota yang sama pada tahun 131 H.
b. Guru dan muridnya di bidang periwayatan hadis: Guru Muhammad bin
al-Munkadir bin Abdilla>h bin al-Hudair banyak sekali, antara lain
Abu> Hurairah, ‘A Ayyu>b, dan lain-lain. Murid beliau juga banyak
antara lain Zaid bin Aslam, ‘Amr bin Di>na>r, az-Zuhri>, dan
lain-lain.
c. Pernyataan para kritikus hadis tentang dirinya:
1) Ishaq bin Rahawaih: Muh}ammad bin al-Munkadir merupakan orang yang
jujur, dan tidak ada orang yang lebih layak diterima hadis\nya selain
dia.
2) Al-Humaidi: Muh}ammad bin al-Munkadir siqah.
3) Yahya bin Ma’in: Muh}ammad bin al-Munkadir siqah.
4) Abu Hatim: Muh}ammad bin al-Munkadir siqah.
5) Ibn Hibban: Muh}ammad bin al-Munkadir siqah dan merupakan salah satu tokoh qari’.
Dari penilaian para kritikus hadis di atas, tampak Muh}ammad bin
al-Munkadir merupakan orang yang siqah, sehingga meskipun ia menggunakan
lambang ‘an dalam periwayatannya ia dapat dipercaya. Artinya, Muh}ammad
bin al-Munkadir muttasil sanadnya dengan Jabir RA.
6. Ja>bir bin Abdulla>h.
a. Nama Lengkap: Ja>bir bin Abdulla>h bin ‘Amr bin H{ara>m bin
S|a’labah al-Khazraji> as-Silmi> Abu ‘Abdilla>h. Beliau berdiam
dikota Madinah dan wafat dikota yang sama pada tahun 78H.
b. Guru dan muridnya di bidang periwayatan hadis: Guru Ja>bir bin
Abdulla>h banyak sekali, antara lain Nabi Muhammad SAW, Abu>
Bakar, ‘Umar, ‘Ali>, Abu> ‘Ubaidah, dan lain-lain. Dan di antara
murid beliau Sai>d bin Musayyab, asy-Sya’bi>, At}a’ bin Abi>
Raba>h}, dan lain-lain.
Beliau merupakan s}ah}a>bat, suatu tingkatan yang paling tinggi yang
tidak perlu diteliti kembali sifat ‘adalahnya. Mengenai Ja>bir bin
Abdulla>h, sejarah mencatat bahwa beliau tidak ketinggalan mengikuti
satu peperangan pun setelah ayahnya, Abdullah wafat.
Dari pemaparan biografi para periwayat di atas, dapat disimpulkan bahwa
semua rawi yang meriwayatkan hadis di atas s\iqah dan sanadnya muttas}il
kecuali Hajja>j bin Art}}a>h. Hajja>j bin Art}}a>h yang di
kalangan ahli h}adis\ dikenal sebagai seorang yang mudallis. Semua
kritikus h}adis\ sepakat ia adalah orang yang h}adis\nya tidak dapat
dijadikan hujjah, kecuali ia berkata bahwa ia menerima h}adis\ dengan
kata haddas\ana>. Berhubung, Hajja>j bin Art}}a>h tidak
mengatakan menerima h}adis\ ini dengan lambang haddas\ana, namun dengan
lambang ‘an, dapat dikatakan bahwa Hajja>j bin Art}}a>h tidak
muttas}il sanadnya dengan Muh}}ammad bin al-Munkadir. Atau, bisa pula
Hajja>j bin Art}}a>h sesungguhnya menerima h}adis \ ini dari
perawi lain, lalu menisbatkannya secara langsung kepada Muh}}ammad bin
al-Munkadir. Atau Hajja>j bin Art}}a>h memang benar menerima
h}adis\ ini dari Muh}}ammad bin al-Munkadir, tetapi lupa materi
h}adis\nya secara keseluruhan, tentang konteks h}adis\nya, atau ia
menganggap apa yang sebenarnya bukan h}adis\ sebagai h}adis\ yang
berasal dari Nabi. Dengan demikian, h}adis\ ini merupakan h}adis\
d}a’if.
Untuk menilai sejauh mana kesahihan matan h}adis\, maka isi h}adis\ itu
harus diuji dengan al-Qur’an, as-Sunah yang lebih kuat, fakta sejarah
dan akal sehat. Namun, perlu diingat tidak semua h}adis\ yang
bertentangan dengan salah satu keempat tolok ukur pasti ditolak. Untuk
menilai kesahihan matan h}adis, diperlukan ketelitian, kecermatan yang
mumpuni, di samping pengalaman yang cukup.
Pertama, al-Qur’an. Dari titik ini, timbul pertanyaan isi h}adis itu
sesuai atau tidak dengan isi al-Qur’an? Sejauh pengetahuan penyusun,
ayat-ayat al-Qur’an yang menyebutkan masalah ‘umrah, tak ada yang
menjelaskan hukumnya secara definitif. Dalam hal ini, ada ayat yang
berbunyi:
وأتموا الحج والعمرة لله
Dalam ayat ini, disebutkan lafal al-’Umrah yang dikaitkan dengan lafal
al-Hajj yang diperintahkan untuk disempurnakan. Dalam memahami ayat ini,
para ulama berbeda pendapat. Satu hal yang mereka sepakati yakni hukum
haji adalah wajib. Sedangkan mengenai al-’Umrah yang menjadi ma’t}uf
dari ma’t}uf ‘alaih lafal al-Hajj, para ulama berbeda pendapat. Ulama
yang mengatakan bahwa hukum ma’t}uf dan ma’t}uf ‘alaih adalah sama,
akan mengatakan bahwa umrah juga wajib hukumnya. Sedangkan, ulama yang
mengatakan bahwa ma’t}uf tidak mesti sama dengan hukum ma’t}uf ‘alaih
akan mengatakan bahwa hukum umrah tidak mesti sama dengan hukum haji.
Pada langkah ini, belum bisa diputuskan apa hukum umrah dalam al-Qur’an.
Kedua, as-Sunnah yang lebih kuat. Hadis\ yang dijadikan dalil oleh
maz\hab Maliki menyatakan dengan gamblang bahwa hukum umrah tidak wajib.
Kemudian, hal ini perlu diteliti apakah ada hadis\ lain yang semakna
dengannya atau malah bertentangan? Sejauh penelusuran penyusun memang
ada hadis\ yang memperkuat matan hadis\ ini, di samping ada pula
h}adi>s\ lain yang menentang matan h}adi>s\ ini.
Di antara h}adi>s\ yang memperkuatnya yaitu h}adi>s\ yang diriwayatkan Imam Ibnu Majah yang berbunyi:
حدثنا هشام بن عمار حدثنا الحسن بن يحيى الخشني حدثنا عمر بن قيس أخبرني
طلحة بن يحيى عن عمه إسحق بن طلحة عن طلحة بن عبيد الله أنه سمع رسول الله
صلى الله عليه وسلم يقول الحج جهاد والعمرة تطوع
Matan h}adi>s\ di atas menyamakan haji dengan jihad, sementara umrah
dikatakan tat}awwu’ yaitu tidak wajib. Untuk mengetahui apakah rangkaian
periwayatan matan di atas bersambung atau tidak, penyusun menelusurinya
lewat CD Kutub at-Tis’ah. Ternyata didapat keterangan bahwa semua
perawinya s\iqah kecuali Umar bin Qais. Ia adalah seorang yang matruk
al-h}adi>s. Ini artinya h}adi>s\-h}adi>s\nya tidak dapat
dijadikan hujjah. Dan karenanya, gugurlah hadis\ “al-Hajj Jihad wa
al-Umrah tat}awwu’”, yaitu tidak dapat dijadikan syahid (penguat)
h}adi>s\ yang dijadikan dalil oleh maz\hab Maliki.
Langkah ketiga yaitu membenturkannya dengan fakta sejarah, atau bisa
pula sabab al-wurud atau konteks h}adi>s\ ini disampaikan. Sejauh
pengetahuan penyusun, dalam kitab al-Bayan wa at-Ta’rif , h}adi>s\
yang dijadikan dalil oleh maz\hab Maliki tidak tercantum di dalamnya.
Ini artinya h}adi>s\ itu tidak atau belum diketahui sabab al-wurudnya
atau memang tidak ada. Dan kapan h}adi>s\ ini mulai beredar juga
sulit dilacak, apakah muncul setelah firman Allah atau sebelumnya? Hal
ini sulit dilacak.
Langkah terakhir menilik sejauh mana keselarasannya dengan akal sehat.
H}adi>s\ ini yang berkaitan dengan amal ibadah tentu tidak perlu dan
memang tidak layak ditimbang dengan akal. Karena ibadah yang berkaitan
dengan ritual, secara konsensus umat, diterima secara ta’abbudi
sehingga amat tidak layak ditimbang dengan akal.
Akan tetapi ada satu hal yang mengganjal penyusun kenapa h}adi>s\ ini
menjelaskan hukum umrah secara gamblang seperti layaknya kitab fiqh
atau orang alim ditanya tentang suatu persoalan agama? Padahal istilah
wajib dan sebagainya belum muncul pada masa Nabi SAW. Pada masa itu,
belum dikenal adanya pembagian lima macam hukum yang kini telah
dibakukan.
Dari kecurigaan ini, penyusun menyangsikan h}adi>s\ ini berasal
langsung dari Nabi SAW. Menurut penyusun, matan h}adi>s\ ini berasal
dari selain Nabi, bisa tingkatan sahabat atau di bawahnya. Menurut
dugaan penyusun, matan h}adi>s\ ini adalah perkataaan s}ahabat Jabir,
yang kemudian oleh salah seorang perawi di bawahnya dinisbatkan kepada
Nabi. Ini berdasarkan keterangan as-San’a>ni> yang mengatakan
h}adi>s\ itu mauquf pada Jabir.
Dengan demikian, menurut hemat penyusun matan h}adi>s\ ini pun
d}a’if, dan berarti h}adi>s\ ini berkualitas d}a’if, d}aif pada sanad
dan juga matannya.
Adapun dalil yang digunakan maz|\hab Sya>fi’i adalah h}adi>s\
mengenai pertanyaan ‘As\ tersebut diriwayatkan oleh Ima>m Ah}mad bin
H{anbal yang berbunyi:
حدثنا محمد بن فضيل قال ثنا حبيب بن أبي عمرة عن عائشة ابنة طلحة عن عائشة
قالت قلت يا رسول الله هل على النساء من جهاد ؟ قال نعم عليهن جهاد لا قتال
فيه الحج والعمرة
Setelah mendapatkan sanad h}adi>s\ tersebut, maka perlu diteliti
biografi para perawi untuk mengetahui apakah sanadnya muttas}il atau
tidak serta apakah para perawi di atas adil dan d}a>bit}. Berikut
pemaparan biografi mereka:
1. Ah}mad bin H{anbal
a. Nama lengkapnya: Ah}mad bin Muh}ammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad
asy-Syaiba>ni> Abu> Abdilla>h al-Marwa>zi>
al-Bagda>di> (164-241 H).
b. Guru dan muridnya di bidang periwayatan hadis: Guru Ahmad bin Hanbal
cukup banyak, antara lain Sufya>n bin ‘Uyainah, Yahya> bin
Sa’I>d al-Qat}t}a>n, asy-Sya>fi’i> dan lain-lain. Murid
beliau juga banyak, antara lain al-Bukha>ri>, Muslim, Abu>
Dau>d, asy-Sya>fi’i>, Yahya> bin Ma’i>>>n, dua
orang putranya Abdulla>h dan Sa>lih dan lain-lain.
c. Pernyataan para kritikus hadis tentang dirinya:
1) Ibnu Ma’i>n: Saya tidak melihat orang yang lebih baik (pengetahuannya di bidang h}adi>s\) melebihi Ahmad.
2) Al-Qat}t}}a>n: Tidak ada orang datang kepada saya yang kebaikannya melebihi Ahmad. Beliau adalah hiasan umat.
3) Asy-Sya>fi’i>: Saya keluar dari Bagdad dan di belakang saya
tidak ada orang yang lebih paham tentang Islam, lebih zuhud, lebih
wara’, dan lebih berilmu daripada Ahmad.
4) An-Nasa>’i: Ahmad itu adalah seorang ulama yang s\iqah dan ma’mu>n.
5) Ibn Sa’ad: Ahmad itu s\iqah, s\abt dan s}adu>q.
Tidak ada seorang kritikus pun yang mencela Ahmad bin Hanbal. Pujian
yang diberikan orang kepadanya adalah pujian yang berperingkat tinggi
dan tertinggi. Dengan demikian, pernyataannya yang mengatakan bahwa dia
telah menerima riwayat hadis di atas dari Muhammad bin Fudail dengan
metode as-sima>’ dapat dipercaya. Hal ini berarti bahwa sanad anatara
beliau dan Muh}ammad bin Fud{ail bersambung sanadnya.
2. Muh}ammad bin Fud{ail
a. Nama Lengkap: Muh}ammad bin Fud{ail bin Gazwa>n bin Jari>r
ad{-D{abbi>. Beliau berdiam di Kufah dan wafat di kota yang sama pada
tahun 295 H.
b. Guru dan muridnya di bidang periwayatan hadis\: Beberapa Guru
Muh}ammad bin Fud{ail bin Gazwa>n bin Jari>r ad{-D{abbi, antara
lain Isma’i>l bin Abi> Kha>lid, Abi> Ish}a>q
asy-Syaiba>ni>, Yah}ya> bin Sa’i>d al-Ans}a>ri> dan
lain-lain. Sedangkan di antara murid beliau, Ah}mad bin Hanbal, ‘Amr bin
Ali> al- Falla>si>, Abdulla>h bin ‘Umar dan lain-lain.
c. Pernyataan para kritikus hadis tentang dirinya:
1). Us\ma>n ad-Da>rimi>: Muh}ammad bin Fud{ail s\iqah.
2). Yah{ya> bin Ma’i>n: Muh}ammad bin Fud{ail s\iqah.
3). Abu Zur’ah: Muh}ammad bin Fud{ail sangat jujur.
4). Abu> H{a>tim: Muh}ammad bin Fud{ail nerupakan syaikh (kapasitas keilmuannya diakui).
5). Abu Daud: Muh}ammad bin Fud{ail merupakan orang syi’ah.
6). Ibn Hibban: Muh}ammad bin Fud{ail s\iqah, namun syi’ahnya berlebih-lebihan.
7). Ibn Sa’d: Muh}ammad bin Fud{ail s\iqah dan sangat jujur serta banyak meriwayatkan h}adis\.
8). Al-‘Ijli: Muh}ammad bin Fud{ail s\iqah namun syi’ah.
Dari pernyataan kritikus ulama di atas, tampak Muh}ammad bin Fud{ail
merupakan orang yang jujur, s\iqah, namun berhaluan syi’ah. Meskipun, ia
berhaluan syi’ah, h}adisnya dapat diterima sepanjang h}adis yang
diriwayatkannya tidak menonjolkan ajaran-ajaran syi’ah. Dan karena,
h}adis ini tidak bersinggungan dengan aliran kelompoknya, maka dapat
dikatakan bahwa Muh}ammad bin Fud{ail s\iqah, dapat diterima dan
muttas}il sanadnya dengan H{abi>b bin Abi> ‘Amrah.
3. H{abi>b bin Abi> ‘Amrah
a. Nama Lengkap: H{abi>b bin Abi> ‘Amrah al-Qas}s}a>b Abu>
‘Abdillah al-H}amani>. Beliau berdiam di Kufah dan wafat di tempat
yang sama pada tahun 142 H.
b. Guru dan murid dalam periwayatan : Guru H{abi>b bin Abi> ‘Amrah
antara lain Muja>hid, Sai>d bin Zubair, ‘Ar, Syu’bah, Kha>lid
al-Wa>sit}i> dan lain-lain.
c. Pernyataan para kritikus hadis tentang dirinya:
1) Yahya bin Ma’in: H{abi>b bin Abi> ‘Amrah s\iqah.
2) An-Nasa’i>: H{abi>b bin Abi> ‘Amrah s\iqah.
3) Abu H{a>tim: H{abi>b bin Abi> ‘Amrah merupakan orang yang s}a>lih.
4) Ahmad bin H{anbal: H{abi>b bin Abi> ‘Amrah orang yang mumpuni keilmuannya dan s\iqah.
5) Ibn H{ibban: H{abi>b bin Abi> ‘Amrah s\iqah.
Berdasarkan pernyataan para kritikus di atas, dapat disimpulkan bahwa
H{abi>b bin Abi> ‘Amrah s\iqah, sehingga pernyataannya bahwa ia
menerima h}adis\ dari ‘A<isyah binti T{alh{ah, meskipun menggunakan
lambang ‘an dapat diterima.
4. ‘A<isyah binti T{alh{ah
a. Nama Lengkap: ‘Ah.
b. Guru dan muridnya di bidang periwayatan hadis: Guru beliau antara
lain, ‘A Bakr. Muridnya antara lain, H{abi>b bin Abi> ‘Amrah,
Sa>lim bin Abi> Umayyah, ‘Abdulla>h bin al-H{a>ris\ dan
lain-lain.
c. Pernyataan para kritikus hadis tentang dirinya:
1) Yah}ya> bin Ma’i>n: ‘A: ‘An: ‘A<isyah binti T{alh{ah s\iqah.
Berdasarkan pernyataan para kritikus di atas, dapat disimpulkan bahwa
‘A<isyah binti T{alh{ah s\iqah, sehingga pernyataannya bahwa ia
menerima h}adis\ dari ‘A Bakr, meskipun menggunakan lambang ‘an dapat
diterima.
5. ‘A Bakr
a. Nama Lengkap: ‘A Bakr as{-S{iddi>q Ummu ‘Abdillah at-Taymiyyah. Beliau berdiam dan wafat di kota Madinah pada tahun 58 H.
b. Guru dan muridnya di bidang periwayatan hadis: Guru beliau antara
lain, Rasulullah SAW, Abu Bakar as-Siddiq, Hamzah, Fa>t}imah binti
Rasul, ‘Umar bin Khat}t}a>b dan lain-lain. Murid-muridnya antara
lain, Ibrahim bin Ya>zid bin Syuraih, Abu ‘Abdillah, Abu ‘Iyad}, ‘A:
Jika ilmu ‘A<isyah dikumpulkan bersama istri-istri Nabi yang lain dan
ilmu perempuan yang lain, maka ilmu ‘A<isyahlah yang lebih utama.
2) ‘Urwah: ‘A Raba>h: ‘A Burdah meriwayatkan dari ayahnya: Jika kami
mempunyai masalah, maka kami pergi ke ‘Abat, suatu tingkatan yang paling
tinggi yang tidak perlu diteliti kembali sifat ‘adalahnya.
Dari penelitian tentang kepribadian para perawi di atas, nampak bahwa
semua rawi yang meriwayatkan h}adis\ di atas s\iqah dan sanadnya
muttas}il. Dengan demikian, sanad hadis ini berkualitas s}ah}ih}.
Untuk meneliti kesahihan matan h}adis yang dijadikan dalil oleh maz\hab
Syafi’i, perlu diadakan kajian ulang apakah isi h}adis itu sesuai dengan
al-Qur’an, as-Sunnah yang lebih kuat, fakta sejarah dan akal sehat.
Mengenai akal sehat, di muka telah diterangkan bahwa ibadah umrah
bersifat ta’abbudi yang tidak bisa dicerna akal.
Meskipun h}adis ini secara sanad sahih, namun matannya perlu diteliti
sebab yang dinamakan h}adis adalah kesatuan antara sanad dan matan.
Pertama, al-Qur’an. Dalam ayat al-Qur’an yang menyebutkan lafal al-Umrah
tidak disebutkan secara pasti apa hukumnya. Dan para ulama dalam hal
ini berbeda pendapat, ada yang mengatakan wajib dan ada yang mengatakan
tidak wajib. Karenanya, langkah pertama belum bisa menentukan apakah
hukum umrah dalam al-Qur’an.
Langkah kedua, yakni mencari h}adis yang sesuai dengan matan h}adis di
atas, dan yang juga bertentangan. Dalam pada itu, ternyata ada h}adis
yang semakna dengan matan h}adis di atas, dan ada pula yang bertenangan
dengannya.
Di antaranya h}adis yang mendukung matan h}adis ini adalah as\ar riwayat Abu Dawud yang berbunyi:
حدثنا محمد بن قدامة بن أعين وعثمان بن أبي شيبة المعنى قالا حدثنا جرير بن
عبد الحميد عن منصور عن أبي وائل قال قال الصبي بن معبد كنت رجلا أعرابيا
نصرانيا فأسلمت حتى أتيت عمر بن الخطاب فقلت له يا أمير المؤمنين إني كنت
رجلا أعرابيا نصرانيا وإني أسلمت وأنا حريص على الجهاد وإني وجدت الحج
والعمرة مكتوبين علي فأتيت رجلا من قومي فقال لي اجمعهما واذبح ما استيسر
من الهدي وإني أهللت بهما معا فقال لي عمر رضي الله عنه هديت لسنة نبيك صلى
الله عليه وسلم
Dari penelusuran para perawi h}adis ini, didapat keterangan semua
perawinya s\iqah, yang berarti secara sanad dapat dipertanggungjawabkan.
Namun, ada pula hadis lain yang bertentangan dengan h}adis yang
dijadikan dalil mazhab Syafi’i, yaitu h}adis “al-Hajj jihad wa al-Umrah
tatawwu’.” Hadis\ ini diriwayatkan Imam Ibnu Majah, dan setelah diteliti
ada perawi yang tidak siqah. Karenanya, h}adis ini tidak mengganggu
h}adis yang mendukung dalil mazhab Syafi’i.
Langkah ketiga yaitu melihat lebih jauh fakta sejarah yang melingkupi
h}adis\ itu. Setelah meneliti, didapat keterangan bahwa h}adis itu
muncul adanya kecemburuan kaum wanita terhdap kaum pria. Kaum wanita
merasa berkecil hati karena mereka tidak diwajibkan berjihad, padahal
pahala yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya amat besar. Maka dari itu,
Aisyah bertanya kepada Rasul apakah kaum wanita juga wajib berjihad agar
memperoleh balasan pahal yang besar? Nabi menjawab bahwa kaum wanita
juga wajib berjihad yang tidak perlu menumpahkan darah yaitu haji dan
umrah.
Menarik untuk dicermati bahwa kedua ibadah ini dikatakan Nabi sebagai
jihad kaum wanita. Padahal kaum pria juga diwajibkan melaksanakan ibadah
haji. Dalam pada itu, timbul pertanyaan apakah umrah diwajibkan kepada
kaum wanita saja? Ternyata tidak, bahkan Nabi dan para sahabat juga
melakukan umrah. Ini artinya, sabda Nabi berkaitan dengan jihad bagi
wanita adalah ibadah haji dan umrah yang bila dilaksanakan dengan baik
dan benar pahalanya akan setara dengan jihad yang dilakukan kaum pria.
Hal ini merupakan keistimewaan yang diberikan kepada kaum wanita, mereka
tidak perlu berjihad; berperang di medan laga, namun hanya dengan
melaksanakan ibadah haji dan umrah, mereka bisa mendapat pahala jihad.
Semua ulama sepakat bahwa haji adalah wajib, sedangkan mengenai umrah
mereka berbeda pendapat. Dalam hadis ini, umrah disetarakan dengan
jihad, yang artinya umrah itu hukumnya wajib, dan dalam hal ini, Nabi
tidak mengkhususkan kewajiban ini pada kaum wanita saja, yang artinya
juga wajib bagi kaum pria. Karena memang tidak ada nas\s\ syar’i yang
menjelaskan hal itu. Ini bisa kita lihat pada praktek Nabi yang juga
melaksanakan umrah. Dengan demikian, kaum pria di samping wajib berjihad
juga diwajibkan melaksanakan ibadah haji dan umrah jika mampu. Makna
seperti inilah yang bisa disimpulkan karena memang tidak ada nass yang
mengatakan bahwa umrah itu hanya wajib bagi kaum wanita.
Dalam pada itu, bila kita meninjau ulang firman Allah:
وأتموا الحج والعمرة لله
Fi’il amr dalam ayat di atas masuk kategori amr. Dan amr dalam pandangan
ulama us}u>l mempunyai arti yang berbeda-beda. Menurut jumhur, amr
pada dasarnya menunjukkan arti wajib. Namun ada pula ulama, seperti
al-Gazza>li, al-A yang mengatakan bahwa amr itu harus ditangguhkan
terlebih dahulu (tawaqquf) sampai didapatkan qarinah (indikasi) yang
mengatakan bahwa amr itu menunjukkan arti wajib, sunnah atau pun mubah.
Bila pendapat kedua yang dipegang, berarti ada qarinah berupa h}adis\
–yaitu h}adis\ ini dan yang semakna dengannya– yang menjelaskan makna
ayat di atas. Yaitu perintah menyempurnakan ibadah haji dan umrah ini
hukumnya wajib.
Dengan demikian, matan h}adis ini yang dijadikan dalil oleh mazhab Syafi’i juga berkualitas s}ah}ih}.
B. Tarjih
Setelah memaparkan dan mendiskusikan takhrij h}adis\ yang dijadikan
dalil oleh maz\hab Syafi’i dan maz\hab Maliki, penyusun men-tarjih
pendapat maz\hab Sya>fi’i dengan alasan:
1) Perawi h}adi>s\ maz\hab Sya>fi’i yaitu ‘As\ maz\hab
Ma>>liki yaitu Ja>bir. Periwayatan oleh perawi seperti ini
dianggap lebih kuat karena ketetapan hati kepadanya lebih tinggi, dan
adanya z}ann dengan ucapannya lebih kuat.
2) Perawi h}adi>s\ maz\hab Sya>fi’i yaitu ‘Abir, perawi h}adis
maz\hab Ma>liki>. Periwayatan oleh perawi dengan sifat tersebut
adalah lebih kuat karena ia lebih kuat menimbulkan zann.
3) Perawi h}adi>s\ maz\hab Sya>fi’i yaitu ‘Abir– yang tidak
seperti itu. Karena perawi yang terlibat langsung lebih tahu tentang apa
yang diriwayatkannya.
4) Perawi h}adi>s\ maz\hab Sya>fi’i yaitu Abir, meskipun faqih,
namun tidak sefaqih A Burdah dari ayahnya bahwa mereka jika mempunyai
masalah, maka mereka akan pergi ke As\ maz\hab Sya>fi’i lebih tinggi
nilai isna>dnya (rangkaian perawi) dibanding h}adi>s\ maz\hab
Ma>liki, dalam arti lebih pendek jarak antara Nabi dengan yang
Ima>m yang membukukan h}adis\ itu. Karena dengan semakin pendek jarak
isnadnya, maka semakin jauh kemungkinan adanya kesalahan dan
kebohongan.
6) H{adi>s\ maz\hab Ma>liki diperselisihkan tentang mauqu>fnya
dibanding h}adi>s\ maz\hab Sya>fi’i yang disepakati marfu’nya
kepada Nabi. Perawi h}adi>s\ maz\hab Sya>>>fi’i, yaitu
Ani>, h}adis\ yang dijadikan dalil maz\hab Ma>liki> mauqu>f
pada Ja>bir. Sesungguhnya orang yang ditanya oleh orang Arab
pedesaan itu adalalah Ja>bir sendiri, bukan Nabi.
7) H{adi>s\ maz\hab Sya>fi’i menimbulkan hukum wajib, sedang
h}adi>s\ maz\hab Ma>liki menimbulkan hukum nadb. H{adi>s\ dalam
bentuk wajib didahulukan daripada yang nadb karena pada yang wajib
menuntut kehati-hatian.
8.Salah satu perawi h}adis\ maz\hab Ma>>>liki, yaitu Hajja>j
bin Art}a>>>h dikenal mudallis, buruk hafalannya sehingga
kualitas h}a>di>s\ yang diriwayatkannya patut dipertanyakan. Dari
keterangan juga disebutkan, bahwa ia meriwayatkan h}adi>s\ dari orang
yang didengarnya langsung dan juga dari orang yang tidak didengarnya.
Sehingga apa yang diriwayatkannya menjadi tidak akurat.
9) H{adi>>s\ yang dijadikan dalil oleh maz\hab Sya>fi’i
berkualitas s}ah}i>h}. Sedangkan h}adi>s\ yang dijadikan dalil
oleh maz\hab Ma>liki merupakan h}adi>s d}a’if yaitu h}adi>s\
mudallas.
10) H{adi>>s\ yang dijadikan dalil oleh maz\hab Sya>fi’i
diriwayatkan dengan cara langsung mendengar dari Nabi, sedangkan
h}adi>s yang dijadikan dalil oleh maz\hab Ma>liki khabar yang
berlaku pada tempat dan masa Nabi. Khabar yang diriwayatkan melalui
pendengaran lebih utama karena jauh dari kemungkinan adanya kesalahan.
Dengan demikian menurut hemat penyusun, Imam Syafi’i mungkin menetapkan
wajibnya hukum umrah berdasarkan kaidah kebahasaan yang berlaku. Yaitu,
adanya kesamaan hukum antara ma’tuf alaih dengan ma’tuf, sehingga beliau
berpendapat bahwa hukum haji dan umrah itu sama yaitu wajib. Asumsi
pertama dikarenakan lafal al-Umrah diatafkan kepada lafal al-Hajj dengan
menggunakan huruf ataf wawu yang hal ini sesuai dengan kaidah
Al-fiyyah Ibnu Malik :
قاعطف بوا و سا بقا اولا حقا # في الحكم او مصاحبا موافقا
Dari kaidah di atas dapat dipahami bahwa huruf at}af wawu merupakan
salah satu huruf yang berfungsi sebagai penengah antara kalimat
sesudahnya dengan kalimat sebelumnya yang dalam hal ini mengikuti
kesemuanya, baik dari segi lafal maupun hukumnya yang mendahuluinya,
belakangan ataupun secara bersamaan. Karena huruf at}af wawu itu sendiri
mempunyai fungsi mutlak. Sesuai dengan kaidah :
فالعطف مطلق بوا و
Apabila mengacu pada penafsiran Imam Syafi’i terhadap ayat “wa atimmu
al-hajja wa al-umrata lillahi.” ditafsirkan dengan kerjakanlah haji dan
umrah secara sempurna maka tidaklah cukup berhaji dengan meninggalkan
umrah.
Menilik dari uraian di atas dapat kita lihat bahwasanya penyusun lebih
cenderung kepada imam Syafi’i yang menyatakan hukum melakukan umrah
merupakan suatu kewajiban.berdasar h}adis yang menjelaskan salah satu
dasar fondasi Islam adalah ibadah ‘umrah. H{adis\ tersebut diriwayatkan
oleh Ima>m al-Baihaqi yang selengkapnya berbunyi:
أخبرنا علي بن محمد بن عبد الله بن بشران العدل أنبأ أبو جعفر محمد بن عمرو
البختري الرزاز ثنا محمد بن عبيد الله بن يزيد ثنا يونس بن محمد ثنا معتمر
هو ابن سليمان عن أبيه عن يحي بن يعمر قال قلت لابن عمر يا أبا عبد الرحمن
إن قوما يزعمون أن ليس قدر قال فهل عندنا منهم أحد قال قلت لا فابلغهم عني
إذا لقيتهم أن ابن عمر برئ إلى الله منكم وأنتم برء اء منه سمعت عمر بن
الخطاب رضي الله عنه قال بينما نحن جلوس عند رسول الله صلى الله عليه وسلم
إذ جاء رجل عليه سحناء سفر و ليس من أهل البلد يتخطى حتى ورك بين يدي رسول
الله صلى الله عليه وسلم كما يجلس أحدنا فى الصلوة ثم وضع يده على ركبتي
رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال يا محمد ما الإسلام ؟ فال أن تشهد أن لا
إله إلا الله و أن محمدا رسول الله و أن تقيم الصلوة وتؤتي الزكوة و تحج
البيت و تعتمر و تغتسل من الجنابة و تتم الوضؤ وتصوم رمضان قال فإن فعلت
هذا فأنا مسلم قال نعم قال صدقت
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini, ada beberapa hal yang dapat penyusun simpulkan :
1. Maz\hab Ma>liki> yang berpendapat bahwa ibadah ‘umrah itu
hukumnya sunnah dilaksanakan sekali seumur hidup berlandaskan dalil
berupa h}adis\ yang diriwayatkan oleh Ima>m at-Tirmiz\i dari
Ja>bir RA. Sementara maz\hab Sya>fi’i yang berpendapat bahwa
ibadah ‘umrah itu hukumnya wajib dilaksanakan sekali seumur hidup
berlandaskan dalil berupa h}adis\ yang diriwayatkan oleh Ima>m Ah}mad
bin H{anbal dari Aliki yang melalui rangkaian sanad Muh}ammad ‘Abd
al-A’la> as}-S}an’a>ni>, ‘Umar bin ‘Ali>, H{ajja>j bin
Art{a>h, Muh}ammad bin al-Munkadir dari sahabat Ja>bir RA ternyata
berkualitas d}a’if sanadnya. Kesemua rawi ini s\iqah kecuali
H{ajja>j bin Art}a>h yang dikenal mudallis dan buruk hafalannya.
H{adis\ ini dalam istilah ‘ulu>m al-h}adis\ disebut h}adis\ mudallas
yang termasuk kategori h}adis\ d}a’if. Dan setelah diteliti matan
h}adisnya, disimpulkan bahwa matannya juga d}a’if karena redaksinya
hampir sama dengan redaksi kitab fiqh, di samping pembagian lima macam
hukum belum dikenal pada masa Nabi. Karenanya, matan h}adis itu
dicurigai merupakan perkataan sahabat Jabir, bukan sabda Rasul. Dengan
demikian, h}adis yang dijadikan dalil oleh maz\hab maliki d}aif sanad
dan matannya. Sedangkan h}adis\ yang dijadikan dalil oleh maz\hab
Sya>fi’i yang melalui rangkaian sanad Muh}ammad bin Fud}ail,
H{abi>b bin Abi> ‘Amrah, ‘A<isyah binti T{alh}ah dari sahabat
‘A Bakar as}-S{iddi>q berkualitas s}ah}ih} sanadnya karena semua
perawinya s\iqah dan bersambung sanadnya. Mengenai matannya, setelah
diteliti, ternyata juga sejalan dengan h}adis lain yang sanadnya dapat
dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, h}adis yang dijadikan dalil oleh
maz\hab Syafi’i s}ah}ih} sanad dan matannya.
3. Menurut penyusun, pendapat yang lebih raji>h adalah pendapat
maz\hab Sya>fi’i karena berlandaskan h}adis\ yang s}ah}ih}.
B. Saran-saran
1. Perbedaan antara berbagai maz\hab adalah suatu rahmat yang harus
disikapi dengan arif, bukan dengan menonjolkan fanatisme kubu per kubu.
Adanya berbagai macam perbedaan justru akan membuka cakrawala pemikiran
kita sehingga kita dapat melihat persoalan dengan lebih jelas.
2. Manakala terdapat pertentangan dalil dalam masalah hukum Islam
hendaknya ditela’ah kembali validitasnya dan segala sesuatu yang
berkaitan agar bisa diambil metode yang tepat, apakah dengan kompromi,
nasakh atau pun tarji>h.
3. Penelitian ini bukanlah penelitian final, namun merupakan suatu
penelitian yang selanjutnya dapat mengeksploitasi lebih lanjut dan
menghubungkan dengan disiplin ilmu yang lain secara integral.
Akhirnya penyusun mengucapkan rasa syukur yang tak terhingga kepada
Allah Yang Maha Kuasa, dengan petunjuk, kekuatan dan rahmat-Nya sehingga
penelitian ini dapat terselesaikan. Namun penelitian ini menurut
penyusun jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
konstruktif dapat diberikan untuk kesempurnaan penelitian yang akan
datang.
DAFTAR PUSTAKA
A. Kelompok Al-Qur’an/Tafsir
Departemen Agama Republik Indonesia. al-Qur’an dan Terjemahnya.
Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al Qur’an. 1981/1982.
Hamka, Tafsi>r al-Azha>r, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
S{abuni, M. ‘Ali> as-, Rawa>i’ al-Baya>n: Tafsi>r Aya>t al-Ah}ka>m, Mekkah: tnp, t.t.
B. Kelompok Hadis/Ulumul-Hadis
‘Asqala>ni, Ahmad bin ‘Ali> bin Hajar al-, Tahz\i>b
at-Tahz\i>b, Hyderabad: Majlis Da’irah al-Ma’a>rif an-Niz}amiyyah,
1325 H.
…………, al-Isabah fi Tamyiz as}-S{ahabah, Beirut: Dar Sadir, 1328 H.
Ah}mad bin H{anbal, Musnad Ah}mad bin H{anbal, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Bukha>ri, al-, Ta>>ri>kh al-Bukha>ri al-Kabi>>r, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1986.
H{ajja>j. Yu>suf Mizzi al-, Tahz\ib al-Kama>l fi Asma>
ar-Rija>l, ditahqiq oleh Ah}mad ‘Ali> ‘Ubaid dan H{{asan Ahmad
Aga>, Beirut: Dar al-Fikr, 1994.
Ibn H{ajar, Fath al-Ba>ri>, Ttp: Maktabah as-Salafi, t.t.
Isma’il, M. Syuhudi, Kaedah Kesahi>han H{adi>s, cet. 2 Jakarta: Bulan Bintang, 1995.
………, Metodologi Penelitian H{adi>s Nabi, cet.1 Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Naisa>bu>ri, al-Ima>m Abu> al-H{usain Muslim ibn
al-H{ajja>j ibn Muslim al-Qusyairi an-, al-Ja>mi’ as{-S{ah}ih},
Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Rahman, Fatchur, Ikhtis}ar Must}alah H{adi>s, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1974.
S{an’a>ni as}-, Subul as-Sala>>m, Ttp: Maktabah Dahlan, t.t.
T{ahha>n, Mah}mu>d, Taisi>r Mus}t}alah al H}adi>s, T. tp: Dar al-Fikr, t.t.
Tirmizi>, Abu> ‘Isa> Muh}ammad bin ‘Isa> bin Sau>rah at-, Sunan at-Tirmizi>, Beirut: Dar al-Fikr, 1983.
Z|ahabi, az\-, al-Kasyif fi Ma’rifah Man Lah Riwayah fi al –Kutub as-Sittah, T.tp: Dar al-Kutub al-H}adis\iyyah, t.t.
C. Kelompok Fiqh/Us}u>l Fiqh
Abd. Madjid, Ahmad, Seluk Beluk Ibadah Haji dan ‘Umrah, Surabaya: Mutiara Ilmu, 1993.
Asnawi, ‘Abd ar-Rah}im al-, T{aba>qat asy-Sya>fi’iyyah, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1987.
Beik, Khudori, Ta>rikh al-Tasyri’ al-Islamiy, Indonesia: Dar Ihya wa al-Kutub al-Arabiyyah, 1981.
Dahlan, Abdul Azis, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Daqir, ‘Abd al-Ganiy ad-, al-Ima>m asy-Sya>fi’i: Faqi>h as-Sunnah al-Akbar, Damaskus: Dar al-Qalam, 1990.
Do’i, Abd. Rahman I, Shariah The Islamic Law, alih bahasa Basri Iba dan Wadi Maskuri, cet. 1 , Jakarta: Rineka Cipta, 1993.
Gazza>li, al-, al-Mustas}fa>, Beirut: Dar a-Fikr, t.t.
Ghazali, M. Basri dan Djumadris, Perbandingan Mazhab, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992.
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Indonesia: Dar Ihya’, t.t.
Jaziri, Abdur-Rahman al-, al-Fiqh ‘alal-Mazahib al-‘Arba’ah, Beirut: Dar al-Fikr, 1996.
Khallaf, Abd al-Wahhab, Ilm Usul al-Fiqh, Kairo: Dar al-Qalam, 1978.
Maltawi, Hasan Kamil al-, Fiqh al-‘Iba>dah ‘ala maz\hab
al-Ima>m Ma>lik, Kairo: Maktabah asy-Syakhs}iyyah al-Misriyyah,
1996.
Maqdisi, Ibn Qudamah al-, asy-Syarh al-Kabir, dicetak bersama dengan Ibn Qudamah, al-Mugni, Mesir: tnp, 1346 H.
Matdawam, Noor, Pelaksanaan Haji dan ‘Umrah, Yogyakarta: Yayasan “BINA KARIER” LP5BIP, 1986.
Mawardi, al-, al-Hawi al-Kabir, diedit oleh Mahmud Matraji, Beirut: Dar al-Fikr, 1994.
Mughniyyah, M. Jawad, Fiqih Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B, dkk., Jakarta: Lentera Basritama, 1996.
Nahrawi, Ahmad, al-Ima>m asy-Sya>fi’i fi> Maz\habaih
al-Qadi>m wa al-Jadi>d, diterbitkan oleh pengarangnya untuk
kalangan terbatas, 1994.
Nasution, Lahmuddin, Pembaruan Hukum Islam dalam Mazhab Syafi’i, Bandung: Rosda Karya, 2001.
Nawawi, Abi Zakariya Muhyi ad-Din an-, Tahz\\ib al-Asma>’ wa al-Lugah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt.
Nawawi, an-, al-Majmu’, Kairo: Zakaria ‘Ali Yusuf, t.t.
Qardawi, Yusuf al-, Fiqh Perbedaan Pendapat antar Gerakan Islam, cet. ke-4 , Jakarta: Robbani Press, 2002.
Ramli, Mutawakil, Mari Memabrurkan Haji: Kajian dari Berbagai Mazhab, Bekasi: Gugus Press, 2002.
Shiddieqy, Hasbi ash-, Pokok-pokok Pegangan Imam-imam Mazhab dalam Membina Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1972.
Shiddieqy, M. Hasbi ash-, Pedoman Haji, Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
Suyuti, Abul -Fadl Abdur-Rahman as-, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib
an-Nawawi, diedit oleh ‘Abdul-Wahhab ‘Abdul-Latif, Beirut: Dar al-Fikr,
1988.
Sya>fi’i, Asy- >, ar-Risa>lah, ditahqiq oleh Ahmad Muhammad Sya>kir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1309 H.
Sya>t}ibi, Abu> Isha>q asy- >, al-Muwa>faqa>t, Ttp: Da>r al-Fikr al-‘Ara>bi>, 1975.
Syarifuddin, Amir, , Usul Fiqh I, Jakarta: Logos, 1999.
Syarqa>wi, Abd ar-Rahma>n as-, Aimmah al-Fiqh at-Tis’ah, alih bahasa Mujiyo Nurcholis, cet. 1 Bandung: al-Bayan, 1974.
Syirazi, Abu Ishaq asy-, al-Muhazzab fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Syurbasi, A. Asy-, Al-Aimmah al-Arba`ah, terjemahan Jalil Huda dan A. Ahmadi, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1993.
Tim Penyusun, Mengenal Istilah dan Rumus Fuqoha, Kediri: MHM, 1997.
Yafie, Ali. Menggagas Fiqih Sosial, Bandung: Mizan, 1995.
Yanggo, Huzaimah Tahida, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta: Logos, 1997.
Zahrah, M. Abu>, asy-Sya>fi’i Haya>tuh wa ‘As}ruh wa
A<<<lik Ila> Muwat}t}a’, cet. 3, Beirut: Da>r al-Fikr,
1973 M / 1393 H), I: 17-19.
Zuhaili, Wahbah az-, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Beirut: Dar al-Fikr, 1989.
D. Kelompok Buku lain
Ali, Atabik dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus al-’Ashri, Jogjakarta: Multi Karya Grafika, t.t..
Bakker, Anton, Metode-metode Filsafat, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986.
Bisri, Adib dan Munawwir AF, Kamus al-Bisri, Surabaya: Pustaka Progresif 1999.
Cholil, Munawwar, Biografi Empat Serangkai Imam mazhab, cet. ke-9, (Jakarta : Bulan Bintang, 1955), hlm. 200.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fak. Psikologi UGM, 1980.
Madjid, Nurcholish, Perjalanan Religius ‘Umrah dan Haji, Jakarta: Paramadina, 1997
Munawwir, A. Warson Kamus al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.
Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, cet.3 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru, Van Hoeve, 1994), IV: 328.
.
.
Lampiran I
TERJEMAHAN
BAB HLM FOOTNOTE TERJEMAHAN
I 4 9 Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu
(bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.
10 Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah.
9 19 Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu
(bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.
20 Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah.
10 21 Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmizi kepada Muhammad bin Abdul A’la
as-San’ani diteruskan kepada ‘Umar bin Ali dari Hajjaj Muhammad bin
al-Munkadir dari Jabir bin Abdullah, Bahwasannya seseorang bertanya
kepada Rosulullah SAW: “beritahu kepada saya apakah ‘umrah itu wajib
atau tidak?”Rosulullah menjawab: “Tidak, tetapi jika kamu melaksanakan
‘umrah itu lebih baik bagi engkau.
22 Diriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hanbal kepada Muhammad bin fudhail
dari ‘Aisyah binti Thalhah dari ‘Aisyah binti Rasulullah SAW dikatakan
bahwasannya : ‘Aisyah bertanya kepada Rasulullah: ‘Ya Rasulullah,
Apakah wanita itu berkewajiban untuk berjihad? Rosulullah SAW menjawab:
‘Benar, yaitu jihad yang tidak ada peperangan didalamnya, haji dan
‘umrah”.
II 24 9 Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu
(bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.
26 12 Maka apabila bulan Ramadhan datang, maka lakukanlah ibadah
‘umrah. Karena (pahala) ‘umrah di bulan Ramadhan sebanding dengan ibadah
haji.
30 18 Yahya bin Yahya menceritakan kepada kami (Imam Muslim), dia
berkata, ‘Saya membaca (hadis) kepada Imam Malik’, dari Nafi’, dari Ibn
‘Umar, bahwasanya Rasulullah SAW ditanya mengenai apa yang (boleh)
dipakai orang yang sedang ihram? Lalu Rasul menjawab, “Orang yang sedang
ihram tidak boleh mengenakan kemeja, serban, celana, mantel, sepatu
kulit (yang menutupi kedua mata kaki), kecuali apabila seseorang tidak
menemukan sandal. Hendaklah ia memakai sepatu kulit (khuff), dan
potonglah hingga di bawah kedua mata kaki. Dan janganlah kalian
mengenakan busana yang diberi minyak za’faran atau wars (parfum).
19 Dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum korban sampai di tempat penyembelihan.
31 20 Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah, menikahkan atau pun melamar.
21 (Diriwayatkan) dari Ibn ‘Abbas RA, bahwasanya Rasul SAW menikahi Maimunah ketika beliau sedang ihram.
32 22 Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan
mengerjakan haji, maka tidak boleh rafas, berbuat fasik dan
berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakn haji.
23 Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan yang berasal
dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu dan bagi para pejalan kaki.
Dan diharamkan bagi kalian buruan yang ada di darat selama kalian masih
ihram.
33 26 Dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).
III 44 15 Urusan yang disepakati oleh segolongan manusia dalam perkembangan hidupnya.
16 Perbuatan yang diulang-ulang oleh seseorang dan atau segolongan.
45 21 LIHAT BAB I, HLM. 10, FN. 21.
63 62 LIHAT BAB I, HLM. 4, FN. 10.
63 LIHAT BAB I, HLM. 10, FN. 22.
IV 64 2 LIHAT BAB I, HLM. 10, FN. 21.
65 3 LIHAT BAB I, HLM. 10, FN. 22.
74 17 LIHAT BAB I, HLM. 10, FN. 21.
84 24 LIHAT BAB I, HLM. 4, FN. 10.
86 25 Hisyam bin Ammar menceritakan kepada kami (Ibn Majah), al-hasan
bin Yahya al-Khusyani menceritakan kepada kami, umar bin Qais
menceritakan kepada kami, Talhah bin Yahya menceritakan kepada kami,
dari pamannya Ishaq bin Talhah, dari Talhah bin Ubaidillah, bahwasanya
ia mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Ibadah haji itu jihad dan umrah
itu sunnah,”
88 26 LIHAT BAB I, HLM. 10, FN. 22.
95 33 Muhammad bin Qudamah bin A’yun dan Usman bin Abi Syaibah
menceritakan kepada kami (Abu Daud), keduanya berkata, Jarir bin Abd
al-Hamid menceritakan kepada kami, dari Mansur, dari Abi Wa’il, ia
berkata, as-Subai bin Ma’bad berkata, “Saya adalah orang Arab yang
beragama Kristen, lalu saya masuk Islam, kemudian saya mendatangi Umar
bin Khattab, dan berkata kepadanya, ‘Wahai Amir al-Mu’minin, saya adalah
orang Arab yang beragama Kristen lalu saya masuk Islam dan saya sangat
ingin berjihad. Saya tahu bahwa haji dan umrah itu diwajibkan atasku,
lalu saya mendatangi salah seorang pria dari kaumku, lalu ia menjawab,
gabunglah haji dan umrah itu dan sembelihlah hewan kurban semampumu, dan
saya melakukan ihram untuk melaksanakan haji dan umrah itu sekaligus.’
Lalu Umar menjawab, ‘Anda telah diberi petunjuk untuk mengikuti sunnah
Nabi SAW,”
97 34 LIHAT BAB I, HLM. 4, FN. 10.
100 36 Maka hubungkanlah antara kata sebelumnya dan kata setelahnya dengan wawu, dan hukumnya sama dan selaras.
101 38 Wawu merupakan huruf penghubung yang bersifat mutlak.
102 40 Ali bin Muhammad bin Abdillah bin Busyran al-Adl menuturkan
kepada kami (al-Baihaqi), Abu Ja’far Muhammad bin Amr al-Bukhturi
menuturkan kepada kami, Muhammad bin Ubaidillah bin Yazid menuturkan
kepada kami, Yunus bin Muhammad menuturkan kepada kami, mu’tamir bin
Sulaiman menuturkan kepada kami, dari ayahnya, dari Yahya bin Ya’mar, ia
berkata, “Saya berkata kepada Ibn Umar, ‘Wahai Abu Abdirrahman, ada
satu kaum yang berprasangka bahwa takdir itu tidak ada.’ Ibn Umar
bertanya, “Adakah salah seorang mereka di antara kita?” Yahya menjawab,
“Tidak.” Lalu Ibn Umar berkata, “Maka sampaikanlah kepada mereka apabila
kamu bertemu dengan mereka bahwa Ibn Umar berlepas diri dari kalian,
dan kalian berlepas dari Allah. Sesungguhnya saya mendengar Umar bin
Khattab berkata, “Tatkala kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah SAW
tiba-tiba datang seorang pria yang baru datang bepergian, dan ia
bukanlah penduduk sini, lalu ia mendekat hingga duduk bersimpuh di
hadapan Rasulullah SAW seperti salah seorang dari kami duduk dalam
shalat, kemudian ia meletakkan tangannya di atas kedua lutut Rasulullah
SAW, lalu bertanya, “Wahai Muhammad, apa Islam itu?” Rasul menjawab,
“Kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, bahwa Muhammad adalah
utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah,
berumrah, mandi jinabat, menyempurnakan wudhu dan berpuasa di bulan
Ramadhan.” Lalu ia bertanya lagi, “Apakah bila saya melakukannya saya
adalah orang muslim?” Rasul menjawab, “Ya.” Lalu pria itu berkata,
“Engkau benar.”
0 Comment