HUKUM
KEWARISAN ISLAM
A. Pengertian Kewarisan Islam
Setiap manusia pasti mengalami peristiwa kelahiran
dan kematian. Peristiwa kelahiran seseorang tentu akan menimbulkan
akibat-akibat hukum, seperti timbulnya hubungan hukum dengan orang senasab, dan
munculnya hak dan kewajiban pada dirinya. Peristiwa kematianpun akan menimbulkan
akibat hukum kepada orang lain, terutama pada pihak keluarga dan pihak-pihak
tertentu yang mempunyai hubungan dengan orang tersebut semasa hidupnya.
Dalam hal meninggalnya seseorang, pada prinsipnya
segala kewajiban perorangannya tidak beralih pada pihak lain. Sedangkan harta
kekayaan dari yang meninggal tersebut beralih pada pihak lain.yang masih hidup,
yaitu orang-orang yang telah ditetapkan sebagai penerimanya. Proses peralihan
harta kekayaan dari yang meninggal kepada yang masih hidup inilah yang
diatur oleh hukum kewarisan atau ilmu
faraid.[1]
Dalam proses peralihan harta kekayaan dari yang
meninggal kepada yang masih hidup, syari’at Islam telah meletakkan sistem
kewarisan dalam aturan yang paling baik, bijak dan adil. Al-Qur’an menjelaskan
hukum-hukum waris dan ketentuan bagi setiap ahli waris dengan lengkap dan
sempuran tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan. Bagi setiap laki-laki
dan perempuan ada hak yang akan diperolehnya dari harta ynag ditinggalkan oleh
pewaris, sebagaimana firman Allah dalam surat
an-Nisaa’ ayat 7 menyatakan :
Artinya : Bagi
laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan
bagi wanita ada hak bagian ( pula ) dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan
(an-Nisaa’ : 7)[2]
Dalam membicarakan pengertian kewarisan ada dua
istilah yang mengacu kepada pengertian yang sama, yaitu al-mawaris atau
disebut juga dengan fiqh mawaris dan faraidh.
Lafaz mawaris (موارث) berasal dari bahasa Arab merupakan
bentuk jama’ dari kata al-mirats (الميراث)
yang
berarti perpindahan kepemilikan harta.[3]
Wahbah az-Zuhaili dalam bukunya Al-Fiqh Al-Islami
Wa Adillatuhu menjelaskan
Artinya : Al-Irts
menurut bahasa adalah ketetapan mengenai hak seseorang setelah meninggalnya
seseorang yang lain dengan mengambil sesuatu (harta) yang ditinggalkan si
mayat.
Istilah al-irts ( الإرث ) atau mirats ( ميراث ) secara etimologi adalah bentuk masdar
dari kata waratsa, yaritsu, irtsan ( ورث – يرث – ارثا)
artinya perpindahan hak milik atau perpindahan pusaka.[5]
Dari pengertian al--irts secara bahasa yang
dikemukakan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa mawaris itu secara bahasa
ialah berpindahnya harta seseorang (pewaris) kepada orang lain (ahli waris)
setelah ia meninggal dunia.
Menurut istilah fiqh, pengertian kewarisan itu ialah
sebagaimana dikemukakan oleh Wahbah az-
Zuhaili :
والارث
عند فقه الاسلام هو ما خلفه الموت من
الأموال والحقوق التي يستحقها بمرتبة الوارث الشرعي[6]
Artinya : Al-Irts
menurut fiqh Islam ialah sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal
dunia, berupa harta atau hak-hak yang hak tersebut diperoleh sesuai dengan bagian
seseorang sebagai ahli waris yang telah ditetapkan oleh syara’.
Sedangkan menurut Badran Abu ‘Inaini, kewarisan
ialah :
الإرث
: خلافة عن الميت حقيقة او حكما في ماله بسبب زواجه او قرابته او ولاء[7]
Artinya : AI-irts
ialah pergantian (hak) dari orang yang meninggal dunia menurut hakikat
(benar-benar meninggal) atau meninggal menurut hukum (meninggal berdasarkan
putusan pengadilan) mengenai hartanya dengan sebab perkawinan, kekerabatan,
atau wala’ (memerdekakan budak).
Secara terminologi, al-irts adalah
berpindahnya hak pemilikan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya
yang masih hidup baik yang ditinggalkan itu berupa harta, tanah, atau apa saja
yang berupa hak milik legal secara syar’i.
Amir Syarifuddin mengatakan pengerrtian hukum
kewarisan adalah segala ketentuan yang mengatur cara-cara peralihan dari
seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup, yang
ketentuan-ketentuan tersebut berdasarkan kepada wahyu ilahi yang terdapat dalam
al-Qur’an dan penjelasan yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW.[8]
Sedangkan menurut buku Kompilasi Hukum Islam (KHI)
di Indonesia ,
dalam Bab I Ketentuan Umum pasal 171 huruf a, hukum kewarisan adalah hukum yang
mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian
masing-masing.[9]
Disamping istilah mawaris, para ulama juga
menggunakan istilah faraidh, yaitu bentuk jama’ dari kata faridhah
( فريضة ) yang diambil dari kata faradha (فرض
)
dengan arti ketentuan atau ketetapan yang pasti.[10]
Istilah faraid dikhususkan untuk bagian ahli waris
yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara’. Faraidh oleh ahli ilmu
faraidh diartikan sebagai berikut :
الفقه المتعلق بلإرث و معرفة الحساب
الموصل الي معرفة ذلك و معرفة قدر الوا جب من التركة لكل ذي حق[11]
Artinya : Ilmu
Fiqh yang berkaitan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang cara
pembagian yang dapat menyampaikan pembagian harta pusaka dan pengetahuan
tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap pmilik
harta pusaka.
Dalam Kitab Hasyiyah al-Dasuki karangan
Muhammad ibn Ahmad Urfah ad-Dasuki dikemukakan definisi faraidh sebagai berikut
:
ويسمي علم الفراءض و علم المواريث هو
علم يعرف به من يرث ومن لا يرث ومقدار ما لكل وارث[12]
Artinya : Dinamai
juga ilmu faraidh dan ilmu mawaris, suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui
orang yang mendapat harta warisan, orang yang tidak mendapat harta warisan
sesuai dengan bahagian masing-masing.
Faraid menurut Sayid Sabiq adalah :
الفراءض
جمع فريضة مآخوذة من الفرض و الفرض في الشرع هو النصيب المقدر للوارث ويسمي العلم
بها علم الميراث وعلم الفراءض[13]
Artinya : Faraidh(فرائض) jama’ dari faridhah ( فريضة
) yang diambil dari kata fardhu(فرض
). Menurut syara’ adalah
bagian yang ditentukan untuk ahli waris dan ilmu yang mempelajarinya disebut
ilmu mawaris dan ilmu faraidh.
Sedangkan Ibnu Qasim al-Gaziy mendefenisikan faraidh
sebagai berikut :
والفراءض جمع فريضة بمعني مفروضة من
الفرض بمعني التقدير والفرض شرعا اسم لنصيب مقدر لمسحقه[14]
Artinya : Kata
faraidh ( فرائض)
merupakan jama’ faridhah ( فريضة
)
dengan makna beberapa kewajiban yang telah ditentukan dan fardhu (فرض)
menurut syara’ adalah nama bagi satu pembagian yang telah ditentukan bagi orang
yang berhak.
Jadi ilmu waris atau ilmu faraid adalah ilmu yang
mempelajari tata cara perpindahan dan pembagian harta dari seseorang yang
meninggal dunia kepada ahli warisnya, siapa yang menjadi ahli waris dan berapa
bagian masing-masing mereka.
Bagi seorang muslim, tidak terkecuali apakah ia
laki-laki ataupun perempuan, diwajibkan untuk mempelajari hukum waris ini dan
mengajarkannya kepada orang lain.[15]
Hal itu dinyatakan dalam hadist Nabi SAW :
حدثنا ابراهيم بن
المنذر الحزامي حدثنا حفص بن عمر بن ابي العطاف حدثنا ابو الزناد عن ا لأعرج عن
أبي هريرة قال : قال رسول الله صلي الله عليه وسلم : يا أبا هريرة , تعلموا
الفرائض و علموها فانه نصف العلم وهو ينسي وهو اول شئ ينزع من أمتي (رواه ابن ماجه
و ابو هريرة)[16]
Artinya : Telah
menceritakan kepada kami Ibrahim bin Mundzir al-Hizami, telah menceritakan
kepada kami Hafsah bin Umar bin Abi al_’Ithaf, telah menceritakan kepada kami
Abu az-Zinad dari Abi Hurairah radhiallahu ‘anhu dia berkata : Rasul SAW
bersabda : “wahai Abu Hurairah ! pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah ia.
Sesungguhnya ia adalah setengah ilmu dan ia aka dilupakan. Ia adalah ilmu yang
pertama kali diangkat dari umatku “(HR. Ibnu Majah dan Abu Hurairah)
Hadist ini berisi perintah untuk mempelajari ilmu
waris atau ilmu faraid dan mengajarkannya. Dengan mempelajarinya, maka
seseorang akan tahu dengan ketentuan hukum kewarisan dan dapat menyelesaikan
pembagian harta warisan sesuai dengan ketentuannya. Pada akhirnya, hukum
kewarisan sebagai sebuah hukum yang mempunyai kedudukan penting dan
dikhawatirkan akan hilang oleh Rasulullah SAW dapat diterapkan dan akan tetap
lestari ditengah-tengah kehidupan umat Islam.
B. Dasar Kewarisan Islam
Adanya aturan-aturan yang mengatur tentang kewarisan
dalam Islam akan menghindari penindasan oleh orang-orang yang berkuasa terhadap
orang yang lemah tentang harta warisan. Aturan-aturan tentang kewarisan ini
dapat dijumpai dalam al-Qur’an dan Sunnah, baik berupa penjelasan secara
langsung ataupun tidak langsung. Sumber-sumber dari aturan inilah yang disebut
dengan dasar hukum dalam kewarisan.
Adapun dasar hukum tersebut adalah :
1. Al-Qur’an
Banyak
ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang
harta pusaka dan ahli warisnya, diantaranya adalah :
a. Surat
an-Nisaa’ ayat 33 :
Ayat
diatas menjelaskan ada yang mewarisi harta yang ditinggalkan oleh ibu bapak dan
karib kerabat, tetapi tidak dijelaskan bagian yang akan diperoleh oleh ahli
waris.
Ayat
yang menjelaskan tentang aturan pembagian harta warisan, diantaranya terdapat
dalam surat
an-Nisaa’ ayat 7, 8, 10, 11, 12. 34, 176 dan surat al-Anfaal ayat 75.
b. Firman
Allah dalam surat
an-Nisaa’ ayat 7 menyatakan :
Artinya : Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari
harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian
(pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit maupun
banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. (Surat an-Nisaa’ : 7)[18]
Ayat ini menghapus
aturan kewarisan yang berlaku dalam hukum kewarisan jahiliyah, sebab
kebiasaan orang Arab di zaman jahiliyah, harta warisan yang ditinggalkan
hanya diberikan kepada laki-laki yang sanggup berperang saja, sedangkan yang
diluar ketentuan itu tidak diberikan warisan, seperti anak laki-laki yang tidak
(belum) sanggup untuk berperang dan anak wanita, walaupun mereka dalam keadaan
yatim, mereka tidak akan diberikan harta warisan dari peninggalan orang tuanya.
Namun setelah diturunkannya ayat ini, kebiasaan bangsa Arab waktu itu
berangsur-angsur mulai berubah.
c. Surat
an-Nisaa’ ayat 8 menyatakan :
#sÎ)ur u|Øym spyJó¡É)ø9$# (#qä9'ré& 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuø9$#ur ßûüÅ6»|¡yJø9$#ur Nèdqè%ãö$$sù çm÷YÏiB (#qä9qè%ur óOçlm; Zwöqs% $]ùrã÷è¨B
Artinya : Dan
apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka
berilah mereka dari harta itu (sekedarnya), dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang baik.[19]
Ayat 8 ini menjelaskan
bahwa apabila hadir kerabat yang tidak memgpunyai hak waris, anak yatim dan
orang miskin pada waktu pembagian harta warisan maka hendaklah memberikan
sebahagian harta warisan tersebut kepada mereka. Dan diperintahkan juga agar
kita mengucapkan perkataan yang baik dan pantas.
d. Firman
Allah dalam surat
an-Nisaa’ ayat 11 menyatakan :
Artinya : Allah
mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu yaitu :
bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan
jika anak itu semuanya perempuan yang lebih dari dua, maka bagi mereka dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan, jika anak perempuan itu seorang saja,
maka ia memperoleh separoh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi
masing-masing mereka seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak. Jika yang meninggal itu tidak mempunyai anak dan
ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga, jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibu mendapat seperenam.
(pembagian-pembagian tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau
(dan) sesudah dibayar hutangnya. Tentang orang tuamu dan anak-anakmu, kamu
tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya
bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana.[20]
Dalam ayat diatas
dijelaskan bahwa bahagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan. Bila
pewaris mempunyai anak perempuan lebih dari dua orang, maka ia mendapat dua
pertiga dari harta warisan. Jika anak perempuan seorang saja, ia mendapat
separoh (seperdua). Ibu dan bapak mendapat masing-masing seperenam, jika
pewaris mempunyai anak. Tapi bila pewaris tidak mempunyai anak, ibu mendapat sepertiga dengan
syarat tidak ada ahli waris yang lain. Jika yang meninggal mempunyai
saudara-saudara, maka ibu mendaapat seperenam.
e.
Firman Allah
dalam surat
an-Nisaa’ ayat 12 berbunyi :
Artinya : Dan
bagimu (suami-istri) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu,
jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka
kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi
wasiat yang mereka buat, atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai
anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan sesudah di penuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)
sesudah dibayar hutnag-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan
(seibu saja) maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam
harta. Tetapi jika saudara –saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka
berserikat dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuatnya
atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli
waris). Allah menetapkan yang demikian itu sebagai syari’at yang benar-benar
dari Alllah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. (Surat an-Nisaa’ : 12)[21]
f. Firman
Allah dalam surat
an-Nisaa’ ayat 176 yang berbunyi :
Artinya : Mereka
meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah) katakanlah : Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah (yaitu) jika seseorang meninggal dunia, dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudara perempuannya
tersebut seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang
laki—laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai
anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri
dari ) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara
laki-laki sebanyak dua kali bagian seorang saudara perempuan. Allah menerangkan
(hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu. (surat
an-Nisaa’ :176)[22]
Ayat diatas menjelaskan
tentang bagian yang didapat oleh istri, suami dan bagian saudara-saudara dari
harta yang ditinggalkan oleh pewaris.
g. Firman
Allah dalam surat
al-Anfal ayat 75 :
Artinya : …..dan
orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak
terhadap sesamanya ( dari pada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Surat al-Anfal : 75)[23]
Ayat ini menjelaskan
bahwa diantara orang –orang yang
mempuyai hubungan kerabat ada yang lebih diutamakan dari yang lainya.
2. Hadits
Hadist-hadist
yang membicarakan tentang masalah waris diantaranya :
a. Hadist
tentang cara untuk mengadakan pembagian warisan
عن ابن عباس قال : قال النبي صلي الله
عليه و سلم : الحقوا الفراءض بأهلها فما بقي فلأولي رجل ذكر (متفق عليه)
Artinya : Dari
Ibnu ‘Abbas dari Nabi SAW bersabda : berikanlah harta warisan kepada orang yang
berhak menerimanya, jika harta tersebut bersisa, maka ia untuk lelaki yang
terdekat (HR. Bukhari dan Muslim)[24]
Hadist diatas menjelaskan
bahwa kita diwajibkan untuk memberikan atau mengadakan pembagian harta warisan
kepada ahli waris yang berhak menerimanya, dan apabila ada sisa harta setelah
pembagian tersebut, diberikan kepada laki-laki yang terdekat.
b. Hadist
yang menjelaskkan tentang bagian kakek jika cucunya meninggal sedangkan ia
tidak mempunyai bapak.
عن عمران ابن حصين رضي الله تعالي عنه
قال : جاء رجل الي النبي صلي الله عليه و سلم فقال: ان ابن ابني مات فمالي من
ميراسه ؟ فقال لك السدس فلما ولي دعاه, فقال لك سدس أخر فلما ولي دعاه فقال ان
السدس الأخر طعمة
(رواه احمد ولأربعة و صححه الترمذي)[25]
Artinya : Dari
‘Imran bin Hussein ra. beliau berkata : seorang laki-laki datang kepada Nabi
SAW seraya berkata : sesungguhnya cucu laki-laki dari anak laki-laki saya yang
sudah meninggal, lalu berapakah bagian saya dari harta warisannya?? Beliau
menjawab : bagian untuk kamu seperenam. Setelah orang itu pergi, beliau
memanggilnya kembali dan beliau bersabda : untukmu seperenam lagi. Setelah
orang itu pergi, beliau memanggilnya kembali dan bersabda : sesnugguhnya
seperenam yang kedua adalah tambahan ( diriwayatkan oleh Ahmad dan Arba’ah
dan dinilai shahih oleh Tarmizi)
Hadist diatas
menjelaskan bahwa apabila cucu meninggal, dan meninggalkan seorang kakek, maka
bagian kakek adalah seperenam dari harta
warisan, dengan syarat cucu yang meninggal tersebut tidak mermpunyai bapak.
c. Hadist
tentang orang beda agama tidak saling mewarisi
عن
أسامة بن زيد ان النبي صلي الله عليه و سلم قال : لا يرث المسلم الكافر و لا يرث
الكافر المسلم (رواه مسلم)[26]
Artinya : Dari
Usamah bin Zaid ra. ia berkata : Nabi SAW bersabda : orang muslim tidak
mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi orang muslim (HR.
Muslim)
Hadist diatas
menjelaskan bahwa orang muslim tidak boleh mewarisi harta orang kafir dan
begitu juga sebaliknya orang kafir tidak boleh mewarisi harta orang muslim.
d. Hadist
yang menjelaskan tentang terhalangnya kewarisan orang yang membunuh pewaris
untuk memperoleh harta warisan.
عن عمرو بن شعيب عن
أبيه عن جده رضي الله عنهم قال : قال
رسول الله صلي الله عليه و سلم : ليس
للقاتل من الميراث شيء
(رواه النسائ)[27]
Artinya : Dari
‘Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari neneknya ia berkata : Rasulullah SAW
bersabda : tidak ada hak waris bagi orang yang membunuh terhadap harta warisan
sedikitpun (HR. Nasai)
Hadist diatas
menjelaskan bahwa seorang pembunuh tidak ada haknya untuk mendapatkan harta
warisan dari harta orang yang dibunuhnya sedikitpun.
C. Asas Kewarisan Islam
Sebagai hukum agama yang bersumber dari al-Qur’an
dan Hadist Rasulullah SAW, maka hukum kewarisan Islam mengandung asas-asas yang
mempunyai corak tersendiri, berbeda dengan hukum kewarisan lain.
Asas-asas hukum kewarisan itu adalah sebagai berikut
:
1. Asas Ijbari (memaksa)
Dalam
hukum Islam peralihan harta seseorang yang telah meninggal kepada yang masih
hidup berlaku dengan sendirinya, yang dalam pengertian hukum Islam berlaku
secara ijbari. Ijbari secara etimologi mengandung arti paksaan (compulsory)
yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri. Maka dalam kewarisan Islam, asas
ijbari berarti bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah mati
kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah SWT,
tanpa tergantung kepada kehendak ahli waris atau pewaris. Unsur memaksa dalam
hukum waris ini karena kaum muslimin terikat untuk taat kepada hukum Allah SWT
sebagai konsekuensi logis dari pengakuan kepada ke-Maha Esa-an Allah dan
kerasulan Muhammad SAW seperti yang dinyatakan melalui dua kalimat syahadat.[28]
Maksud
unsur paksaan yang sesuai dengan arti istilah ijbari tersebut terlihat
dari segi bahwa ahli waris terpaksa menerima kenyataan perpindahan harta
pewaris kepadanya sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan (furudhul
muqaddarah). Jadi bukanlah yang dimaksud dengan istilah ijbari itu
bahwa setiap ada kematian maka harta wajib dibagikan sesegera mungkin, sebab sistem
kewarisan Islam tidak mengenal sifat paksaan untuk melakukan pembagian harta
warisan dalam waktu tertentu atau membiarkan harta warisan dalam keadaan tidak
dibagi.
Dengan
adanya kematian si pewaris, maka hartanya secara otomatis beralih kepada ahli
waris tanpa terkecuali apakah ahli warisnya suka menerima atau tidak.
Asas
memaksa dalam kewarisan ini dapat dilihat dari tiga segi yaitu :
a. Dari
segi peralihan harta
Terjadinya
peristiwa kematian secara otomatis menyebabkan terjadinya peralihan harta dari
si mayit kepada orang yang masih hidup. Peralihan ini berlangsung dengan
sendirinya tanpa bisa dicegah oleh si pewaris maupun ahli waris.
Hal
ini dapat dipahami dari kata nashib (نصيب)
yang artinya bagian, saham, dan jatah, bahwa disadari atau tidak dalam harta
pewaris telah terdapat hak ahli waris.
b. Dari
segi jumlah harta yang beralih
Bagian
masing-masing ahli waris sudah ditentukan dan sudah ada ketika peralihan harta
dari pewaris kepada ahli waris terjadi. Pewaris maupun ahli waris tidak bisa
menentukan besar kecilnya bagian tersebut karena semuanya telah ditentukan dan
ditetapkan dalam ketentuan yang ada dalam faraid.
Hal
ini dapat dipahami dari kata mafrudhan (
مفروضا
) yaitu ditentukan atau diperhitungkan, bahwa sudah ditentukan
jumlahnya dan harus dilakukan sedemiklian rupa secara mengikat dan memaksa.
c. Dari
segi kepada siapa harta itu beralih
Begitupun
kepada siapa harta tersebut akan beralih, tidak bisa ditentukan oleh pewaris
maupun ahli waris. Orang –orang yang akan menerima harta tersebut sudah
ditentukan sesuai dengan hubungan dan kekerabatannya kepada si mayit.
Dapat
dipahami bahwa orang-orang yang berhak atas harta tesebut sudah ditentukan
secara pasti, sehingga tidak ada suatu kekuasaan manusiapun dapat mengubahnya,
seperti yang tercantum dalam surat
an-Nisaa’ ayat 11, 12, dan 176.
2. Asas Bilateral
Asas
bilateral dalam hukum kewarisan berarti bahwa seseorang menerima hak kewarisan
dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu garis keturunan laki-laki dan pihak
kerabat garis keturunan perempuan.[29]
Asas
bilateral ini juga tercermin dalam surat
an-Nisaa’ ayat 7, 11, 12 dan 176 yaitu :
a.
Ayat 7
menyatakan bahwa bagi seorang laki-laki dan perempuan sama berhak mendapatkan
harta warisan baik dari ayah maupun dari ibu.
b.
Ayat 11
menyatakan bahwa ayah dan ibu sama-sama berhak mendapatkan warisan dari anaknya
baik laki-laki maupun perempuan.
c.
Ayat 12 dan 176
menyatakan bahwa saudara laki-laki dan saudara perempuan sama-sama berhak
mendapatkan warisan apabila pewaris seorang laki-laki atau perempuan yang punah
(tidak punya keturunan). Dan saudara perempuan menerima warisan apabila seorang
laki-laki tidak punya keturunan, begitu pula sebaliknya laki-laki menerima
warisan apabila seorang perempuan tidak punya keturunan.
Berdasarkan
uraian tentang asas bilateral diatas maka dapat penulis simpulkan bahwa bagi
ahli waris baik laki-laki maupun perempuan memperoleh hak waris dari dua belah
pihak yakni dari pihak laki-laki dan pihak perempuan.
3. Asas Individual
Asas
individual dalam hukum kewarisan berarti bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi
untuk dimiliki secara perorangan. Keseluruhan harta dinyatakan dalam nilai
tertentu yang mungkin dibagi-bagikan, kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada
setiap ahli waris yang berhak menurut kadar bagian masing-masing. Hal ini karena
dalam al-Qur’an telah ditentukan bagian masing-masing ahli waris.[30]
Terhadap
harta warisan yang telah diterima oleh masing -masing ahli waris, mereka berhak
berbuat atau bertindak atas harta yang diperolehnya (bertasharuf). Ahli
waris yang telah punya kemampuan untuk bertindak hukum atas harta warisan yang
diterimanyan tersebut, yakni telah punya ahliyat al-ada’’ dan ahliyat
al- wujub sekaligus. Ahliyat al-Ada’ adalah sikap kecakapan bertindak
seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh
perbuatannya baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif. Sedangkan
Ahliyat al-Wujub adalah sifat kecakapan seseorang untuk meneima hak-hak
yang menjadi haknya, tetapi belum cakap untuk dibebani seluruh kewajiban.
Sedangkan ahli waris yang masih kecil dan belum mampu untuk bertindak hukum,
maka hartanya berada dibawah penguasaan walinya.[31]
Asas
individual ini dapat juga dikaji dalam firman Allah surat an-Nisaa’ ayat 7, 11, 12 dan 176 yaitu
dengan disebutkannya jumlah masing-masing ahli waris (furudhul muqaddarah)
dari harta warisan pewaris tersebut untuk dimilikinya secara penuh.
4. Asas Keadilan Berimbang
Maksud
dari asas keadilan berimbang ini adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban
dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Atas
dasar itulah terlihat asas keadilan
dalam hukum kewarisan Islam. Secara dasar dapat dikatakan bahwa faktor
perbedaan kelamin laki-laki dan perempuan tidak menentukan dalam hak kewarisan.
Adanya perbedaan dari segi jumlah yang didapatkan karena ada perbedaan antara
laki-laki dan perempuan dalam menjalankan kewajibannya. Dan laki-laki dibebani
tanggung jawab untuk menafkahi. Laki-laki membutuhkan materi yang lebih banyak
dari perempuan, karena ia memikul tanggung jawab ganda, yaitu terhadap dirinya
sendiri dan terhadap keluarganya (termasuk perempuan). Bila dikaitkan
pendapatan dengan kewajiban dan tanggung jawab tersebut maka akan terlihat
bahwa laki-laki akan merasakan manfaat dari apa yang diterimanya sama dengan
yang dirasakan perempuan. Inilah bentuk keadilan dalam konsep Islam. [32]
5. Asas Semata Akibat Kematian
Asas
kewarisan semata akibat kematian ini digali dari kata-kata waratsa
( ورث)
yang terdapat dalam al-Qur’an, yang mengandung maksud peralihan harta itu
sesudah kematiannya.
Hukum
Islam menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain dengan nama
kewarisan, berlaku sesudah meninggalnya yang mempunyai harta. Asas ini berarti
bahwa segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup secara langsung,
maupun terlaksana sesudah kematiannya tidak termasuk kepada istilah kewarisan
dalam hukum Islam.
D. Takharuj Dalam Hukum Kewarisan Islam
Pada hakikatnya takharuj termasuk kedalam salah satu
bentuk penyesuaian dalam pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam. Takharuj adalah
mekanisme pembagian harta warisan dengan menempuh jalan perdamaian, yaitu
perdamaian diantara seluruh ahli waris dengan mengadakan kesepakatan terhadap
bagian yang akan diterima.[33]
1. Defenisi Takharuj
Takharuj
berasal dari kata (خرج-يخرج-خروجا
) kharaja,
yakhruju, khuruujan dengan makna keluar, dengan timbangan tafa’ul
(تفاعل ), yaitu (
تخارج- يتخارج – تخارجا ) takharaja, yatakharju, takharujan
dengan makna saling keluar. Artinya ahli waris keluar dari kedudukannya sebagai
ahli waris.
Wahbah az-Zuhaili mendefenisikan takharuj
sebagai berikut :
اتفاق
الورثة باخراج بعضهم من الميراث ببدل شئ من التركة او غيرها[34]
Artinya : Kesepakatan
ahli waris mengeluarkan sebagian dari mereka dari harta warisan, dalam bentuk
pertukaran sesuatu yang diambil dari tirkah atau yang lainnya.
Pengertian
diatas menjelaskan bahwa takharuj itu adalah adanya kesepakatan ahli
waris dalam menyelesaikan pembagian harta warisan, dengan mengeluarkan sebagian
dari mereka yang juga ahli waris, dengan memberikan imbalan yang diambilkan
dari tirkah (harta peninggalan) atau dari sumber lainnya.
Abu
Zahrah mengartikan takharuj sebagai berikut :
التخارج هو ان يتصالح بعض الورثة علي
قدر معلوم في نظير ان يترك حصته فيها, سواء أكان التصالح مع الورثة مجتمعين أم مع بعضهم[35]
Artinya : Takharuj
adalah perdamaian sebagian ahli waris terhadap sejumlah harta tertentu, dengan
melepaskan bagiannya di dalam harta tersebut, yang dilakukan oleh keseluruhan
ahli waris atau sebagian ahli waris saja.
Pengertian
diatas menyatakan bahwa takharuj adalah kesepakatan damai oleh seluruh
ahli waris atau sebagian ahli waris saja, dalam pembagian harta warisan, dengan
adanya ahli waris yang keluar dan tidak mengambil bagiannya.
Muhammad
Musthafa Tsalabi juga mendefenisikan takharuj sebagai berikut :
التخارج
هو آن يتصالح الورثة علي اخراج بعضهم من الميراث في مقابل شئ معلوم من التركة او
من غيرها, سواء اكان هذا التصالح من كل الورثة او من بعضهم[36]
Artinya : Takharuj adalah bersepakatnya ahli waris
untuk mengeluarkan sebagian mereka dari harta warisan dalam bentuk pertukaran
sesuatu yang diambil dari tirkah atau yang lainnya, baik dilakukan oleh seluruh
ahli waris atau sebagian mereka.
Defenisi
diatas menjelaskan bahwa takharuj adalah kesepakatan dari seluruh atau
sebagian ahli waris untuk mengeluarkan sebagian mereka dari pembagian harta
warisan, dengan memberikan imbalan yang diambilkan dari tirkah atau dari
yang lainnya.
Sedangkan
Amir Syarifuddin mendefenisikan takharuj sebagai sebuah kesepakatan yang
dilakukan oleh sebagian atau seluruh ahli waris untuk mengeluarkan salah
seorang dari mereka sebagai ahli waris, dengan memberikan sejumlah harta yang
diambil dari ahli waris sendiri atau dari harta warisan.[37]
2. Bentuk-bentuk takharuj
Ada
beberapa bentuk takharuj, yaitu :
1. Dari
segi waktu pelaksanaan, ada dua bentuk[38]
:
a. Sebelum
harta warisan dibagi
Artinya
kesepakatan yang dilakukan oleh ahli waris dilakukan sebelum dilaksanakannya
pembagian harta warisan menurut ketentuan faraid secara formal. Ini berarti
ahli waris berkeinginan untuk menyelesaikan pembagian harta warisan di luar
ketentuan yang telah ditetapkan oleh syara’.
b. Sesudah
harta warisan dibagi
Artinya
takharuj dilakukan setelah dilakukan pembagian harta warisan menurut
ketentuan syara’ secara formal dan masing-masing ahli waris telah
mengetahui bagiannya masing-masing.
2. Dari
segi kesepakatan ahli waris
Dalam
hal ini, ada dua bentuk takharuj yaitu :
a.
Kesepakatan
dilakukan oleh satu orang atau sebagian ahli waris dengan ahli waris yang akan
keluar.
b.
Kesepakatan
dilakukan oleh seluruh ahli waris. [39]
3. Dari
segi imbalan yang diberikan
Dalam
hal ini ada tiga bentuk :
a. Imbalan
diberikan dari harta salah seorang ahli waris yang melakukan kesepakatan.
b. Imbalan
diberikan dari harta seluruh ahli waris yang melakukan kesepakatan.
c. Imbalan
diberikan dengan mengambil bagian tertentu dari harta warisan.[40]
Artinya
para ahli waris disini dapat melakukan kesepakatan dari mana imbalan akan
diambil. Hal itu bisa dilihat dari siapa yang melakukan kesepakatan. Bisa saja
imbalan diambil dari harta salah seorang ahli waris dan bisa juga dari harta
keseluruhan ahli waris. Atau jika disepakati imbalan bahkan bisa diambil dari
harta warisan.
Penjelasan
tentang takharuj tersebut memperlihatkan bahwa musyawarah dan
kesepakatan merupakan dasar utama dalam takharuj. Dengan musyawarah maka
dapat ditentukan siapa yang akan memberikan imbalan dan dari mana imbalan
tersebut akan diambil.
Penulis
melihat bahwa pembagian harta warisan dengan menggunakan asas musyawarah ini,
yang berbeda dari tata cara pembagian warisan sebagaimana yang telah ditentukan
dalam al-Qur’an dan hadist, bertitik tolak dari sudut pandang terhadap sifat
hukum itu sendiri, yaitu :
1. Hukum yang bersifat memaksa
2. Hukum yang bersifat mengatur
Disebut
sebagai hukum yang bersifat memaksa apabila ketentuan yang tidak dapat
dikesampingkan, maksudnya benar-benar tidak bisa larangan atau perintah dalam
hukum tersebut untuk dikesampingkan, yang jika tidak diperbuat dapat
dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum.
Sedangkan
hukum yang bersifat mengatur maksudnya apabila teks hukum yang ada dapat
dikesampingkan (tidak dipedomani) seandainya para pihak berkeinginan lain
(sesuai kesepakatan atau musyawarah diantara mereka), dan kalaupun ketentuan
hukum tersebut tidak dilaksanakan, perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai
perbuatan melanggar hukum.
Bagi
kalangan yang berpendapat bahwa pembagian harta warisan tidak boleh menyimpang
dari ketentuan yang telah terdapat dalam al-Qur’an maupun Hadist, melihat bahwa
sifat hukumnya adalah memaksa. Secara normatif, aturan-aturan tersebut harus
diikuti dan dilaksanakan apa adanya, meskipun hanya sebagai formalitas saja.
Sedangkan
kelompok yang berpendapat bahwa pembagian harta warisan itu boleh menyimpang
dari ketentuan al-Qur’an dan Hadist, disebabkan karena ketentuan-ketentuan
tersebut hanya bersifat hukum yang mengatur, dan oleh karena itu dapat atau boleh tidak dipedomani apabila ahli
waris berkehendak lain.
Takharuj
sendiri merupakan salah satu bentuk pembagian harta warisan yang
mengkesampingkan ketentuan-ketentuan faraid. Takharuj adalah mekanisme
pembagian harta warisan yang mengutamakan prinsip-prinsip perdamaian, dengan
mengakomodir kehendak dari seluruh ahli waris.
Amir
Syarifuddin berpendapat bahwa penolakan terhadap takharuj pada dasarnya
terletak pada dua hal, yaitu :
1. Pembagian harta warisan dengan cara takharuj
bertentangan dengan asas ijbari. Hal ini karena ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam faraid bersifat memaksa dan oleh karena itu harus diikuti. Dan
jika tidak dilaksanakan dianggap sebagai perbuatan melanggar hukum.
2. Meskipun ada yang menganggap takharuj
sebagai jual beli, tetapi jual beli tersebut belum terpenuhi rukunnya, yaitu
barang yang diperjualbelikan, yang dalam hal ini adalah bagian ahli waris yang
keluar tersebut. Karena harta tersebut belum dibagi, maka bagian ahli waris tersebut
belum jelas dan belum dianggap ada, sehingga dianggap belum memenuhi rukun jual
beli.[41]
Pendapat
ini memperlihatkan bahwa secara formal dan material harta warisan harus dibagi
berdasarkan ketentuan faraid. Secara formal berarti bahwa proses dan cara
pembagiannya harus sesuai dengan ketentuan faraid. Sedangkan secara material
bahwa bagian masing-masing ahli waris dari
harta warisan harus diberikan sehingga dapat dimiliki.
Sementara
kalangan yang membenarkan pembagian harta warisan dengan cara takharuj
adalah ulama-ulama Hanafiah. Jadi pada bab selanjutnya penulis akan membahas
secara mendalam mengenai pendapat Hanafiah yang membolehkan takharuj
ini.
[1] Suparman Usman, dkk, Fiqh
Mawaris, (Hukum Kewarisan Islam), (Jakarta : Gaya Gramedia Pratama, 1997),
h. 1
[2] Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan terjemhannya., (Bandung
: Diponegoro, 2008), h. 78
[3] Hasby as-Shiddiqy, Fiqh
Mawaris, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), h. 5
[4] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh
al- Islami Wa Adillatuhu (Suriah : Dar al-Fikr,
1948), h. 243
[5] Ali Parman, Kewarisan Dalam
Al-Qur’an Suatu Kajian Dengan Pendekatan Tafsir Tematik (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 1995), h. 23
[6] Wahbah az -Zuhaili, loc. cit
[7] Badran Abu ‘Inaini, al-Mawaris Wa al-Hibah Fi
Syari’ah al-Islamiyah Wa al-Qunun, (Mesir : t. tp. t. th), h. 26
[8] Amir Syarifuddin, Hukum
Kewarisan Islam, (Jakarta : Prenada Media, 2004), h. 4
[9] Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen
Agama, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, 1991), h. 98
[10] Ali Parman, op. cit, h.
24
[11] Fathur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung : al-Ma’arif,
1981), Cet. Ke-2
[12] Muhammad bin Ahmad ad-Dasuki, Hassyiyah
ad-Dasuki, (Beirut : Dar al-Fikr, t.th), juz 6, h. 547
[13] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah,
( Beirut : Dar
al-Fikr, t. th) Juz 3 h. 424
[14] Ibnu Qasim al-Gaziri, al-Baijuri
‘Ala Ibnu Qasim al-Gaziy, (Jakarta : t. th), juz 2, h. 66
[15] Abdullah Siddik, Hukum Waris
Islam, (Jakarta : Widjaya, 1984) h. 12
[16] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah,
(Kairo : Darul Fikri), juz 2 h. 107
[17]
Departemen Agama RI, op. cit, h. 83
[18]Ibid,
h. 78
[19]Ibid,
h. 78
[20]
Ibid, h. 78
[21]
Ibid, h. 79
[22]Ibid,
h. 106
[23]
Ibid, h. 186
[24]
Hussein Bahreisy, Himpunan Hadist Shahih Bukhari, (Surabaya : al-Ikhlas,
1981), h. 357
[25]
Hafiz ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughu al-Maram, (Bandung : al-Ma’arif,
t,th) h. 196
[26]
Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subul as-Salam, (Bandung : Dahlan,
1962), h. 98
[27]Ibid
[28]
Amir Syarifuddin, op. cit, h. 7
[29]
Ibid, h. 12
[30]
Ibid, h. 13
[31]
Abdullah Siddik, op. cit., h. 16
[32]
Amir Syarifuddin, op. cit., h. 17
[33]Amir
Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, (Jakarta
: Gunung Agung ), h. 104
[34]
Wahbah az-Zuhaili, loc. cit
[35]
Abu Zahrah, Ahkam at Tirkah wal Mawaris, (Kairo :
Darul Fikri Arabi) h. 217
[36]
Muhammad Musthafa Tsalabi, Ahkam al-Mawaris baina al-Fiqh wa al-Qanun, (Beirut : Dar an-Nahdhah
al-‘Arabiyah, t. th), h. 366
[37] Amir
Syarifuddin, op. cit., h. 105
[38] Ibid.,
h. 106
[39] Abu
Zahrah, op. cit, h. 218
[40]
Ibid
[41]
Amir Syarifuddin : Wawancara Pribadi, Padang ,
29 April 2011
0 Comment